Anda di halaman 1dari 14

Nama : Aldi K.

Olii

Nim : 223022001

Jurusan/semester : Komunikasi dan Penyiaran Islam/2

Tugas UAS MK : Sosiologi Komunikasi Massa

ADOPSI INOVASI DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MEDIA

A. Pendahuluan
Dalam dua dekade terakhir terjadi perubahan besar dalam pola komunikasi manusia
akibat perkembangan teknologi komunikasi terutama penemuan dan pertumbuhan internet.
Penemuan internet dan pengembangannya yang begitu pesat telah mampu mengubah tatanan
komunikasi antarmanusia, yang tadinya lebih mengandalkan interaksi tatap muka, kini bergeser
ke arah penggunaan media, khususnya internet. Sebab internet memungkinkan hampir semua
orang di belahan dunia mana pun untuk saling berkomunikasi dengan cepat dan mudah.
Seperti ramalan Marshall McLuhan pada awal tahun 60-an tentang the global village
(desa global) dalam bukunya berjudul Understanding Media: Extension of A Man. Desa Global
adalah konsep mengenai perkembangan teknologi komunikasi di mana dunia dianailogikan
maenjadih sebuah desa yang sangat besar. Ramalan McLuhan tersebut kini terbukti, bahkan
semakin nyata dengan berkembang media sosial yang bebas dimiliki oleh siapa saja. Dimana
umumnya, istilah media sosial dipakai bersama-sama dengan sejumlah istilahlainnyayang
memiliki pengertian sama, seperti media baru/new media, media digital/digital media, situs
jejaring sosial/social networking sites, online social network, dll (Papacharissi dalam Kirana
2011). Internet kemudian terus berkembang dan melahirkan berbagai ragam bentuk media baru.
Salah satunya adalah berkembangnya berbagai platform media sosial. Inovasi media sosial terus
berkembang pesat seiring dengan semakin tingginya penetrasi intentet.
Perkembangan media sosial kemudian mempengaruhi berbgaai sendi kehidupan
manusia. Termasuk industri komunikasi yang lekat dengan kebutuhan akan saluran komunikasi.
Salah satunya adalah bidang profesi Public Relations khususnya kegiatan media relations, yang
mengalami perubahan drastis dengan adanya media sosial.
Melihat arus komunikasi di media sosial yang sifatnya tidak terkendali, konsep media
relations dalam PR tentu harus berubah. Konsep PR 1.0 masih menempatkan middle man, yakni
para jurnalis sebagai penyampai pesan. Yang dilakukan para praktisi PR 1.0 dalam kaitannya
dengan media adalah membangun media relations, menjalin hubungan yang amat baik dengan
media mainstream, agar pesan-pesan mereka bisa tersampaikan ke publik melalui media.
Sedangkan PR 2.0 bukan sekadar mengelola jurnalis, tetapi juga mengelola konsumen yang
mampu menjadi publisher di dunia maya. Mereka adalah para blogger, facebookers, friendsters,
plukers serta pemilik akun di Web 2.0 lainnya (Luthfie, 2009).
Konsep PR 2.0 tersebut dalam kaitannya dengan media adalah membangun social media
relations. Sebab di era media sosial khalayak bebas menuliskan pesan apa saja yang mereka
sukai. Jika mereka tidak suka dengan pengalamannya mengonsumsi sebuah produk, mereka
dengan mudah menulisnya di blog, Facebook, Twitter dan menyebarkannya di forum atau milis.
Mereka tidak perlu bersusah payah mengirim surat pembaca ke media cetak yang belum tentu
dimuat. Demikian juga, jika mereka senang dengan sebuah produk mereka tidak akan segan-
segan menulisnya di internet (Badri, 2012).
Melihat tingginya populasi masyarakat dunia maya tersebut, maka di era teknologi ini
eksistensi manusia dalam komunikasi glonal dapat diukur dengan kepemilikan media untuk
berkomunikasi di internet. Salah satunya media sosial yang sangat familiar di kalangan
pengguna internet. Apalagi bagi mahasiswa yang mengambil kajian ilmu komunikasi khususnya
Public Relations, penguasaan terhadap fenomena perkembangan media komunikasi modern
menjadi sebuah keharusan. Dalam konteks ini inovasi media baru yang paling mudah dimiliki
dan diaplikasikan adalah media sosial. Sehingga penelitian terhadap adopsi media sosial bagi
mahasiswa Ilmu Komunikasi konsentrasi Public Relations perlu dilakukan untuk melihat
sejauhmana kesiapan mahasiswa berkomunikasi mengikuti perkembangan teknologi.1
Adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal ini disebabkan
karena proses adopsi inovasi sebenarnya adalah menyangkut proses pengambilan keputusan,
dimana dalam proses ini banyak faktor yang mempengaruhinya. Adopsi inovasi merupakan
proses berdasarkan dimensi waktu. Dalam pemanfaatan komputer dan interner, banyak
kenyataan pustakawan biasanya tidak menerima begitu saja, tetapi untuk sampai tahapan mereka
mau menerima ide-ide tersebut diperlukan waktu yang relatif lama.

1
Muhammad Badri, Titi Antin, “Adopsi Inovasi Media Sosial Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fdk
Uin Suska Riau (Studi Kasus Konsentrasi Public Relations)”, Jurnal Risalah, Vol. 26, No. 4, Desember 2015, h.1-2.
Suatu keputusan untuk melakukan perubahan dari semula hanya mengetahui sampai
sadar dan merubah sikapnya untuk melaksanakan suatu ide baru tesebut, biasanya juga
merupakan hasil dari urutan-urutan kejadian dan pengaruh tertentu
Berdasarkan dimensi waktu. Dengan kata lain suatu perubahan sikap yang dilakukan
oleh pustakawan adalah merupakan proses yang memerlukan waktu dimana tiap-tiap
pustakawan berbeda satu sama lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai hal yang melatar
belakangai pustakawan itu sendiri, misalnya pendidikan, kondisi lingkungan dan karakteristik
dari media teknologi yang mereka adopsi.
Globalisasi media informasi merupakan proses yang berlangsung paling cepat karena
kemajuan teknologi media cetak dan elektronik, komputerisasi, sistem digital, dan sebagainya.
Perkembangan globalisasi sebagai hasil dari perkawinan kepentingan ekonomi dan kemajuan
teknologi membawa pada banyak persoalan, salah satunya mengenai sikap pustakawan.
Pada saat ini yang sangat mendesak adalah kesiapan pustakawan dan sebuah
perpustakaan menghadapi era globalisasi. Globalisasi berkaitan dengan kemampuan seseorang
untuk berkompetisi dan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan, dimana sumber daya manusia
dan kemampuan manusia untuk berinteraksi dengan lingkungannya menjadi faktor yang amat
penting.2

B. Pembahasan
Inovasi

Menurut Rosabeth Moss Kanter inovasi adalah sebuah hasil karya pemikiran baru yang
diterapkan dalam kehidupan manusia. Sedangkan menurut West dan Farr inovasi merupakan
pengenalan dan penerapan dengan sengaja gagasan, proses, produk dan prosedur yang baru
pada unit yang menerapkannya, yang dirancang untuk memberikan keuntungan bagi individu,
kelompok, organisasi dan masyarakat luas (Ancok, 2012).
Dari beberapa definisi tersebut Ancok (2012) menyimpulkan bahwa inovasi adalah suatu

2
Abdul Karim Batubara, “Adopsi Inovasi Media Teknologi Dan Sikap Pustakawan Dalam
Menghadapinya” Jurnal Iqra’ Volume 02 Nomor 02 2008, h.2-3.
proses memikirkan dan mengimplementasikan pemikiran tersebut,
sehingga menghasilkan hal baru berbentuk produk, jasa, proses bisnis, cara baru, kebijakan,
dan lain sebagainya.
Rogers (2003) mendefinisikan inovasi "an idea, practice, or object perceived as new by the
individual or other unit of adoption" (suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/ dirasa
baru oleh individu atau unit adopsi lainnya). Dengan definisi ini maka kata perceived menjadi
kata yang penting karena pada mungkin suatu ide, praktek atau benda akan dianggap sebagai
inovasi bagi sebagian orang tetapi bagi sebagian lainnya tidak, tergantung apa yang dirasakan
oleh individu terhadap ide, praktek atau benda tersebut.
Adopsi Inovasi Media Teknologi
Neubeck melihat bahwa perubahan sosial ke depan mnghadapi persoalan energi terutama
menyangkut tenaga kerja manusia, sehingga perlu memikirkan persoalan pengembangan
teknologi dalam proses ketenagakerjaan, walaupun hal ini berhadapan dengan persoalan-
persoalan politik di suatu negara, karena pengambilalihan teknologi terhadap tenaga kerja
manusia menjadi persoalan-persoalan politik yang sering kali dapat menjatuhkan sebuah

pemerintahaan. Namun, area pembicaraan dalam wacana ini adalah sesungguhnya sebuah difusi
dan inovasi terhadap teknologi yang mau ataupun tidak harus dipikirkan karena menyangkut
kelangkaan energi tadi itu.
Sztompka mengatakan bahwa, konsep perubahaan sosial tercipta dari teori sistem, di
mana perubahaan sosial adalah sebuah perubahaan yang terjadi dalam sebuah sistem, baik pada
tingkat makro, keseluruhan masyarakat dunia, tingkat menengah (mezo), tingkat bangsa (nation

state), maupun regional. Pada tingkat mikro; seperti komunitas lokal, asosiasi, perusahaan,
keluarga, ikatan pertemanan, merupakan sebuah sistem kecil.
Perubahaan-perubahaan sikap pustakawan selalu dipengaruhi oleh hal-hal baru dalam
teknologi informasi yang menciptakan suatu keadaan yang berbeda dengan keadaan sebelumnya
dalam sistem informasi. Seperti yang dijelaskan oleh Sztompka bahwa konsep dasar perubahaan
sosial mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan; (2) pada waktu yang berbeda; (3) di antara keadaan

sistem sosial yang sama. Dengan demikian, maka menurut Hawley dalam Sztompka bahwa
perubahaan sosial adalah setiap perubahaan yang tak terulang dari sistem sosial sebagai suatu
kesatuan.
Sesuatu yang baru menyebabkan perubahaan dalam diri pustakawan itu selalu
berhubungan dengan difusi inovasi, di mana perubahaan dipacu oleh penyebaran suatu
pengetahuan yang baru. Dengan demikian, dalam proses difusi inovasi terjadi kegiatan
mengkomunikasikan pengetahuan baru di masyarakat. Rogers mengatakan bahwa, ada empat
unsur hal yang selalu ada dalam difusi inovasi, yaitu, (1) inovasi; (2) saluran komunikasi; (3)
waktu; dan (4) sistem sosial. Keempat unsur ini berlangsung dalam sistem yang simultan, di
mana masing-masing sistem itu berhubungan satu dengan lainnya selama proses difusi inovasi
itu berlangsung.
Inovasi berkaitan dengan gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh
seseorang dan masyarakatnya. Konsep baru ini terbentang antara konsep pengenalan, persuasi,
dan keputusan menggunakannya (adopsi). Dengan demikian, maka baru itu memiliki spectrum
dimensional yang luas seperti pada gambar di bawah ini.
inovasi berkaitan dengan teknologi komunikasi yang digunakan untuk
mengkomunikasikan sesuatu yang baru pada diri pustakawan. Teknologi komunikasi ini tidak
saja berhubungan dengan media teknologi, namun juga berkaitan dengan pendekatan komunikasi
yang digunakan. Media teknologi berkaitan dengan perangkat keras, sedangkat pendekatan
komunikasi berhubungan dengan perangkat lunaknya. Menggunakan internet dilakukan dengan
pertimbangan, bahwa internet adalah media paling popular dan media paling massal saat ini
sehingga apabila informasi itu dilakukan di internet maka akan terkonstruksi sebuah image yang
lebih baik dari kondisi semestinya. Difusi inovasi juga berhubungan dengan rentang waktu yang
berlalu selama difusi inovasi berlangsung. Rentang waktu itu berlangsung dari pengguna pertama
inovasi sampai dengan pengguna terakhir.
Difusi inovasi berlangsung pada sistem sosial sudah mulai terbuka terhadap ide-ide baru,
paling tidak ditandai dengan perubahan wawasan, pandangan, sikap, dan baru masuk pada
perubahan perilaku. Seperti disebutkan di atas, bahwa difusi inovasi amat dekat dengan
perubahan sosial, sedangkan perubahaan sosial itu berkaitan dengan sistem sosial
masyarakatnya.
Sebagaimana Talcott Parsons, dalam Ritzer menjelaskan teori sistem sosial, bahwa setiap
masyarakat memiliki sistem sosial yang dapat digambarkan dengan AGIL. A adalah Adaptation,
di mana sistem beradaptasi dengan lingkungannya. G adalah Goal attainment, di mana system
memiliki tujuan-tujuan yang akan dicapai. I adalah Integration, di mana setiap bagian sistem
berhubungan satu dengan lainnya secara erat dan saling mendukung fungsi-fungsi masing-
masing. L adalah Latency (pattern maintance). Sistem juga secara laten memiliki kemampuan
untuk mempertahankan pola-pola, aturan-aturan yang ada, bahkan memiliki kemampuan untuk
memperbaiki sistem yang rusak apabila ada serangan dari sistem.
Sebagaimana teori sistem sosial, maka setiap saat sistem sosial berhubungan dengan
sistem-sistem sosial lainnya yang lebih besar maupun dalam subsistemnya, karena selain sistem
sosial, dalam sebuah sistem umum, maka sistem terdiri dari sistem budaya, sistem sosial,
perilaku organisme dan sistem kepribadian.3
Media massa
Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator
kepada khalayak. Istilah “massa”mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk, yang komponennya sulit
dibedakan satu sama lain (McQuail, 1994: 31). Menurut kamus bahasa Inggris ringkas memberikan
definisi “massa” sebagai suatu kumpulam orang banyak yang tidak mengenal keberadaan
individualitas”.
1.Jika khalayak tersebar tanpa diketahui dimana mereka berada, maka biasanya digunakan media massa.
Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber ke penerima dengan
menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi. Adapun
karakteristik media massa menurut Hafied Cangara (1998: 134-135) adalah: Bersifat
melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari
pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi.
2.Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog
antara pengirim dan penerima. Kalau toh terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan
waktu dan tertunda.
3.Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki
kecepatan bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan diterima oleh
banyak orang pada saat yang sama.
4.Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, film dan semacamnya.
5.Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal
usia, jenis kelamin, dan suku bangsa.
3
Abdul Karim Batubara, “Adopsi Inovasi Media Teknologi Dan Sikap Pustakawan Dalam
Menghadapinya” Jurnal Iqra’ Volume 02 Nomor 02 2008, h.3-6
Jadi, media massa adalah industri dan teknologi komunikasi yang mencakup surat
kabar, majalah, radio, televisi dan film. Istilah ‘massa’ mengacu pada kemampuan teknologi
komunikasi untuk mengirimkan pesan melalu ruang dan waktu dan menjangkau banyak orang.4
Media Massa dan Masyarakat

Media audio visual terutama televisi tidak bisa dilepaskan dari denyut nadi kehidupan
masyarakat karena efeknya yang banyak mempengaruhi perilaku pemirsa. Kalau ada pertanyaan
seberapa jauh pengaruh media terhadap perilaku? Maka jawabannya akan sulit, meski ada
beberapa penelitian yang telah mencoba menggali hubungan antara tayangan media dengan
perilaku masyarakat, tidak semua mampu mengungkap dengan gamblang hubungan tersebut
akan tetapi yang pasti program-program tersebut mempengaruhi perilaku manusia.

Media mencerminkan keadaan suatu masyarakat, artinya bahwa realitas yang ada dalam
masyarakat kemudian dikonstruksi kembali ke dalam media dengan cara yang berbeda sesuai
dengan kapasitas, struktur kelembagaan dan ideologi media. Semua elemen tersebut berpadu dan
membentuk gambaran tayangan yang hadir ke hadapan publik. Tidaklah mengherankan jika satu
event/kejadian yang sama seperti bencana alam, kecelakaan dan kegiatan seremoni bisa
dihadirkan secara berbeda. Ini disebabkan karena media mengambilnya dari sudut (angle) yang
berbeda dan dipersepsikan secara berbeda pula. Bagaimanapun warna sebuah berita setidaknya
ditentukan oleh wartawan di lapangan, redaktur, kebijakan redaksional, visi dan ideologi media.
Elemen tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari proses produksi pesan baik pada
media cetak maupun elektronik.

Perkembangan teknologi telah menempatkan komunikasi di garis depan dari sebuah


perubahan sosial. Dalam konteks ini perubahan dan dinamika dalam suatu masyarakat
dipengaruhi oleh proses komunikasi lintas wilayah dan budaya. Komunikasi mempengaruhi pola
perilaku, gaya hidup, cara pandang, dan tatanan sosial masyarakat. Seiring globalisasi, dinamika
kehidupan manusia modern melingkupi pergerakan manusia, barang atau gagasan di antara negara
dan akselerasi wilayah. Ada empat dimensi pokok globalisasi yang saat ini dapat kita jadikan
acuan menggali hubungan ekonomi dan kapital; media, informasi dan teknologi komunikasi,
imigrasi dalam skala besar, produksi kebudayaan dan konsumerisme.
4
Hamdani Thaha, “Media Massa dan Masyarakat” Al-Tajdid, Vol. I No. h.2-3.
Dalam situasi dimana pergulatan ideologi berlangsung dengan ketat, bangsa Indonesia
mengalami tekanan yang mengakibatkan keterpurukan dan krisis dalam berbagai aspek kehidupan –
khususnya watak bangsa (nation character) sehingga sulit melihat dengan jernih bagaimana
kolonialisme bermetamorfosis dengan banyak istilah seperti ‘globalisasi ekonomi’ yang secara
perlahan masuk melalui banyak pintu. Kolonialisme dan kapitalisme selalu bermuara pada
pengerukan sebanyak-banyaknya sumber-sumber produksi untuk mencapai keuntungan sebanyak-
banyaknya. Paham ini mulai berkembang di kota-kota utama dunia besar sebagai pusat
masuknya informasi yang kemudian merembes ke kota besar dan kota-kota kecil lainnya lewat
istilah kosmopolitan. Karena istilah ini lahir dalam budaya Barat – tentu saja tidak terlepas
dari akar ideologi tersebut. Pada intinya istilah kosmopolitan mengandung dimensi
keanekaragaman lalu lintas budaya dari berbagai kutub peradaban. Namun yang kemudian terjadi
adalah istilah ini kemudian menyempit dan menjadi ‘made in USA’ .

Salah satu pengertian sempit globalisasi adalah Amerikanisasi – pengertian ini rasanya
tidak berlebihan bila melihat desarnya arus modal Amerika yang menembus berbagai belahan
dunia. Pada tahun 2002 Divisi Kependudukan PBB mencatat bahwa Mc. Donald’s sebagai salah
satu ‘made in Amerika’ terkemuka memiliki 30.000 warung di 118 negara di dunia dan
diperkirakan dalam dekade 1999 - 2000 an setiap hari ada 3 warung Mc. Donald’s di buka,
bisa dibayangkan bagaimana derasnya penetrasi label Amerika di hampir seluruh penjuru
dunia.

Penetrasi ini secara perlahan menggiring berbagai lapisan masyarakat terutama generasi muda
yang dengan tidak sadar membangun konsep diri (self concept) yang rentan menimbulkan rasa
minder (inferior) bila mengidentifikasikan diri di saat juga harus menghadapi masalah dan tekanan
dari luar dan dalam budaya sendiri. Mereka merasa malu dan minder bila tidak nongkrong di
KFC, berbalut merek Blue Jeans dan Lee Cooper serta rasa minder kalau tidak mengidentifikasikan
dirinya dengan label-label Barat. Bila ini menjangkiti generasi muda maka disinilah pintu
masuknya Amerikanisasi berawal, khasanah nilai-nilai dan kearifan lokal yang mengagungkan
kesederhanaan, beralih dengan mempersepsikan sesuatu sesuai dengan standar materi dan hedonisme.

Tayangan yang hadir di layar kaca mewakili secara simbolis realitas yang ada didalam
masyarakat. Jika saat ini - misalnya dalam program stasiun televisi di negeri ini saat ini banyak
yang bermunculan tayangan bertema hantu - itulah realitas masyarakat kita. Lalu ketika
muncul protes dan kritikan karena dianggap kurang mendidik apakah mesti dibuatkan Undang -
Undang Anti hantu seperti halnya Rencana Undang-Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi
yang saat ini sedang digagas dan menimbulkan pro dan kontra?

Meskipun banyak pendapat yang mengatakan bahwa realitas dalam masyarakat dikonstruksi
kembali kedalam media melalui film dan sinetron namun semuanya belumlah merupakan realitas
sesungguhnya. Kita bisa melihat bagimana sinetron di televisi sebagai hiburan yang mengangkat
“realitas perempuan” yang mayoritas penontonnya perempuan muda, ibu-ibu dan pembantu rumah-
tangga. Kebanyakan tayangan tersebut menampilkan perempuan yang memarahi anak gadis, suami,
pembantu hingga tetangganya sampai kelihatan urat lehernya. Mungkin salah satu sebab
mengapa para tenaga kerja wanita yang berprofesi sebagai PRT yang dikirim keluar negeri
mengalami pelecehan karena dari dalam negeri sendiri terlalu sering dikatakan pembantu bodoh dan
dungu. Secara tidak sadar perempuan Indonesia direpresentasikan oleh seringnya tokoh
perempuan menangis dalam begitu banyak episode Sinetron dan film serta pakaian minim artis dan
liuk tubuh penyanyi dangdut perempuan. Pertanyaannya adalah apakah realitas yang dikonstruksi
media tersebut identitas perempuan bangsa Indonesia? Jawabannya mungkin bukan
mencerminkan identitas perempuan Indonesia tetapi itulah realitas perempuan Indonesia saat ini.

Diakui atau tidak, media massa telah menarik begitu banyak energi sosial mulai dari
pakaian, cita rasa, hingga pemakaian bahasa. Melalui media massa elemen-elemen budaya pop
Amerika seakan menjadi menu yang melebur dan membentuk watak budaya pop di Indonesia,
merembes dari kota-kota besar lalu menuju kota-kota kecil. Lihatlah bagaimana Britney Spears,
Christina Aguillera atau Ashley Simpson kemudian menular ke Agnes Monika dan artis remaja lainnya
dan menjadi ikon remaja yang diikuti gaya dandanannya. Kalau kebetulan ke Jakarta dan
berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan maka kita akan menjumpai begitu banyak istilah yang campur
aduk mulai dari hingar-bingar pemakaian kata-kata bahasa Inggris tertentu seperti “thank you”,
“okay”, atau “cool” sampai “so what gitu loh” di hampir semua media elektronik, Summit
Building, Plaza Senayan, Atrium Plaza Senen, Depok Trade Center dan masih banyak lagi –
bahkan sudah merambah ke daerah tercinta lewat “Sultan Square” - hanya untuk memberi label
tempat merupakan ciri dari bahasa budaya pop Indonesia. Akibatnya sering tidak terhindar dari
kelatahan salah kaprah pemahaman makna padahal begitu banyak padanannya dalam bahasa
Indonesia.
Bila kita menonton tayangan dari negeri lainnya di Asia seperti Jepang, Thailand dan Cina
hampir tidak ditemukan eskpresi kemarahan berlebihan seperti di Indonesia. Keberadaan
perempuan yang konstruksi dalam berbagai jenis sinerton atau apapun namanya boleh jadi
merupakan gambaran kondisi psikologis yang disebut patologi sosial “masyarakat yang sakit”
suatu masyarakat yang sakit secara sosial karena banyaknya himpitan persoalan yang tidak bisa
dipecahkan sementara di lain pihak mereka tidak mempunyai kemampuan subsistensi sosial yang
cukup kuat, suatu keadaan dimana masyarakat toleran dan sabar menghadapi berbagai macam
persoalan hidup. Antonio Gramsci, seorang penyokong teori media kritis menyatakan bahwa proses
hegemoni dapat muncul dalam banyak cara dan pola, intinya hal itu terjadi ketika sesuatu
diinterpretasi pada cara yang menungkinkan kepentingan satu kelompok diatas yang lainnya.
Mc.Quail dalam teori media kritis lainnya mengatakan bahwa media merupakan pemain utama
dalam pertarungan ideologi, dimana ideologi yang dominan dapat diabadikan oleh media. Dalam
pandangan marxisme klasik media merupakan instrumen kelas atau kelompok yang dominan
dimana kaum kapitalis mengembangkan ideologinya. Media menyebarkan ideologi penguasaan
dan menindas kelas lain dalam masyarakat. Pada gilirannya apa yang tertangkap stasiun televisi di
pusat kekuasaan kemudian merembes menuju kota lain dan kota-kota kecil sampai pelosok desa
yang terjangkau siaran tersebut. Pada tahap ini tidak ada yang dapat membendung penetrasi
berbagai nilai dan budaya dari luar selain kemampuan masyarakat itu sendiri untuk dapat menjadi
jaring bagi sebuah ketahanan budaya dan kearifan lokal.5

Masyarakat adalah dimana norma sosial itu di terapkan, sebelum jauh membahas
mengenai kedudukan norma siosial dalam sebuah masyarakat modern , maka akan terlebih
dahulu dibahas mengenai struktur masyarakat itu sendiri. Burhan bungin membagi struktur
masyarakat sebelum membentuk suatu kebudayaan. Burhan bungin membagi menjadi 5
struktur yang paling akhir dalam pembagian struktur beliau adalah kebudayaan. Berawal dari
kelompok sosial9, Kelompok sosial adalah kehidupan bersama manusia dalam himpunan atau
kesatuan-kesatuan manusia yang umumnya secara fisik relatif kecil yang hidup secara guyub
ada juga beberapa kelompok sosial yang dibentuk secara bformal dan memiliki aturan-aturan
yang jelas. Berdasarkan struktur kelompok dan proses sosialnya.

5
Hamdani Thaha, “Media Massa dan Masyarakat” Al-Tajdid, Vol. I No. h.2-12
Lembaga (pranata) sosial adalah sekumpulan tata aturan yang mengaturinteraksi dan
proses-proses sosial dalam masyarakat, lembaga sosial memungkinkan setiap struktur dan
fungsi serta harapan-harapan setiap anggota dalam masyarakat dapat berjalan dan memenuhi
harapan sebagaimana yang disepakati bersama, lembaga sosial ini berfungsi untuk
menciptakan ketertiban.10 Stratifikasi sosial atau strata sosial adalah struktur sosial yang
berlapis-lapis dalam masyarakat,11 lapisan sosial menunjukan bahwa masyarakat memiliki
strata atau kelas atau tingkatan, tetap kelas starata atau tingkatan tersebut diberi nilai atau
diberi tingkatan berdasarkan kesepakatan masyarakat atau kelompok dengan kriteria atau
ketentuan yang tidak sama dalam setiap perkumpulan masyarakat atau kelompok

Selanjtunya adala Mobilitas sosial, menurut Harton dan Hunt 12, mobilitas sosial dapat
diartikan sebagai suatu gerakan perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya,
mobilitis ini dapat berupa naiknya strata sosial atau kelas sosial masyarakat atau sebaliknya
naiknya kelas sosial atau strata sosial yang ada masyarakat, denga kata lain mobilitas sosial ini
adalah pergerakan kelas sosial masyarakat dalam sebuah kelompok tertentu.

Secara umum ada tiga jenis mobilitas sosial yaitu gerak sosial yang meningkat (Social
13
Climbing), gerak sosial menurun (social singking), dan gerak sosial horizontal. ketiga jenis
mobilitas sosial ini dapat dialami oleh siapa saja dan kapan saja, dan hal ini dipengaruhi oleh
bagaimana prilaku manusia itu sendiri jika dilihat kembali dari usaha yang dilakukan oleh
setia personal masyarakat. Kebudayaan, ini adalah tingkatan terakhir dalam struktur manusia,
kebudayaan dengan arti bebas adalah hasi dari cipta karsa dan rasa manausia, dimana nilai-
nilai yang ada pada kebudayaan tersebut tergantung kepada masyarakat yang menjalankannya.
14
Kebudayaan adalah produk dari seluruh rangkaian proses sosial yang dijalankan oleh
manusia dalam masyarakat dengan segala aktifitasnya, dengan kata lain kebudayaan adalah
hasil nyata dari sebuah proses soaial yang dijalankan oleh manusia bersama masyarakatnya.

Dari proses tersebut maka masyarakat terbentuk, serta segala sesuatu yang berkenaan
dengan kebudayaan masyarakat akan ikut terbentuk juga, seperti peraturan, dan sangksi, apa-
apa saja yang menjadi kaidah serta apa-apa saja yang mesti ada pada budaya tersebut, atau
unsur-unsur dari kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat akan terbentuk sejalan dengan
terbentuknya suatu kelompok masyarakat. Ketika kita berbicara mengenai norma sosial maka
hal ini tidak terlepas juga dari pembahasan mengenai norma budaya, karena kebudayaan
adalah hasil dari interaksi sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok atau individu-
individu yang memiliki perbedaan nilai dan budaya, tetapi disatukan dalam sebuah interaksi
sosial, dan interaksi sosial ini di kuatkan oleh nilai dan aturan dalam bentuk norma. Maka
borma budaya merupaan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari norma sosial sebagai
bentuk umum dari norma budaya.

Teori norma budaya menurut Melvin Defleur hakikatnya adalah bahwa media massa
melalui penyajiannya yang selektif dan penekanannya pada tema-tema tertentu, menciptakan
kesan-kesan pada khalayak. Oleh karena itu perilaku individual biasanya dipandu oleh norma-
norma budaya mengenai suatu hal tertentu, maka media komunikasi secara tidak langsung
akan mempengaruhi perilaku khalayak.15 Dalam hubungan ini terdapat paling sedikit tiga cara
dimana media secara potensial mempengaruhi situasi dan norma bagi individu-individu, yaitu:
1. Pesan yang di bawa oleh komunikasi massa akan menggiring dan memperkuat
pola pemikiran khalayak bahwa suatu bentuk sosial tertentu atau trend sosial yang
baru sedang tumbuh subur dalam suatu masyarakat
2. Media komunikasi akan menekankan dan membuat khalayak lebih percaya
terhadap apa yang terjadi pada saat itu, dengan pola pemikiran apa yang mereka
saksikan pernah terjadi pada mereka.
3. Komunikasi massa dapat mengubah khalayak dan menggeser nilai yang berlaku
pada khalayak kepada sebuah bentu prilaku yang baru. 16

Sejumlah teorisi, meskipun tak sejauh Innis atau McLuhan dalam mengupas kekuatan
komunikasi massa, juga mengakui peran komunikasi massa sebagai alat kontrol sosial dan
pemeliharaan tertib masyarakat. Ini sangat kontras dengan teori libratian yang berkeyakinan
bahwa pers atau media adalah kekuatan pembebas manusia dari tirani, kesewenang-wenangan
dan kebodohan.17 Selain b isa menjadi alat pembebas, media juga bisa menjadi alat penekan,
terhadap sesuatu hal yang sedang berlangsung dalam khalayak.

Berbicara mengenai media massa, maka hal yang terpenting untuk diamati selain
mengemas pesan tetapi juga isi pesan yang ditayangkan atau dibawa oleh media massa, karena
pesan adalah inti dari apa yang ada dalam proses komunikasi, karena pesan inilah yang akan
mengubah prilaku sosial nantinya, sehingga membentuk nilai sosial baru dalam sebuah
kelompok atau khalayak. Untu memastian hal diatas maka isi pesan yang dibawa oleh media
harus juga diperhatikan sebagai pertimbangan apakah norma sosial yang akan ditimbulan oleh
efek pesan tersebut sesuai dengan keinginan komunian. Dalam media komunikasi konten atau
isi pesan memiliki motif utama yang akan memandu proses komunikasi itu apakah berjalan
sesuai dengan keingnan, adapun motif tersebuta adalah sebagai berikut:
1. Menggambarkan dan membandingkan keluaran media, dalam hal ini yang perlu diperhatian
adalah media apa yang akan digunakan dalam menyampaikan pesan tersebut, sehingga
dalam mengemas pesan tidak terjadi kesalahan dan berdampak efektif bagi penerima pesan.
2. Membandingan media dengan realitas sosial. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah
apakah pesan yang akan disampaikan harus sesuai dengan keadaan sebenarnya sipenerima
pesan atau sedikit di setting agar terlihat natural. Contoh, mengenai kenaikan BBM, apakah
isi pesan harus membela masyaraat karena dampak kenaikan BBM atau meredamkan
masyarakat atas kenaikan BBM tersebut.
3. Konten media sebagai cerminan nilai dan keyakinan sosial dan budaya

4. Membuat hipotesis mengenai fungsi dan efek media

5. Mengevalusi kinerja media

6. Melakukan penelitian mengenai bias media

7. Analisi khlayak

8. Menjawab pertanyaan mengenai analisi tekstual dan wacana.18

Beberapa poin diatas dapat menjadi pertimbangan oleh pelaku komunikasi dalam
pengemasan komunikasi yang dilakukan agar efek yang ditimbulkan sesuai dengan keinginan
dan menjadikan Norma yang telah dirancang akan menjadi sebuah norma yang positif. Dalam
hal ini media memiliki peran sebagai pembentuk norma sosial yang positif. Pesan yang
membangun bila tidak dikemas dengan baik maka efek yang dihasilkan tidak akan maksimal
dan tidak akan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan utama, sebagai contoh pesan yang
disampaikan melakui media Televisi. Iklan Rokok, banyak iklan yang ditayangkan dan
ditampilakan sangat apik dan ciamik, hal ini sangat kontradiktif dengan pesan yang ingin
disampaikan pemerintah, yaitu menyarankan kepada masyarakat untuk mau berhenti merokok,
usaha yang dilakukan pemerintah dalam hal peringatan agar masyarakat mau berhrnti merokok
kalah “kemasan” dengan iklan rokok yang ditayangkan produsen rokok.
Simbol serta bahasa yang dikemas oleh produsen rokok ternyata mendapat kedudukan
tersendiri di masayarakat, dan hal ini telah menggeser norma sosial semestinya, bagaimana
tidak, realitas yang dihasilkan oleh Iklan rokok serta usaha

pemerintah dalam membujuk masyarakat mau berhenti merokok ternyata mendapat nilai nol
besar, anak SMP dengan gampangnya menjawab ketika ada masyarakat yang mengingatkan
kepada mereka bahwa rokok belulah pantas untuk mereka konsumsi di usia yang masih sangat
belia. “Gak ngerokok gak ganteng, ga ngerokok gak gaul”, bahasa ini pernah ditayangkan di
TV, tetapi saya lupa ini iklan rokok apa dan tahun berapa tayangnya, Ternyata bahasa itu
menjadi norma baru untuk menesahkan dan melegalkan perilaku merokok siswa SMP yang
merokok, sungguh sangat jauh dari harapan, dan hal ini terjadi karena pesan yg disampaian
untuk mengingatkan bahwa prilaku merokok itu tidak bai untuk kesehatan dan tubuh, karena
hal ini telah menjadi Lumrah, karena terkesan TV menjadi pembuka jalan bagi pelegalan atas
sikap yang mereka lakukan.

B. Penutup

Efek media massa selain positif juga memiliki dampak negatif. Pengelola komunikasi
massa dapat dipastikan tidak berniat untuk menyebarkan dampak negatif kepada khalayaknya.
Media massa harus memiliki efek menambah pengetahuan, mengubah sikap, menggerakkan
perilaku. Efek yang terjadi pada tiga aspek yaitu efek pengetahuan (afektif), perasaan (kognitif),
dan pada sikap perilaku (konatif).

Ada beberapa alasan yang mendorong kita untuk meningkatkan peranan media massa
antara lain agar media dapat memperkenalkan dan mengintegrasikan inovasi yang diperlukan dalam
perikehidupan masyarakat, agar media massa memperluas wawasan yang dapat mengurangi
ketegangan yang menyertai perubahan di era global ini, agar media massa meredam konflik
dengan menyediakan forum diskusi dan dialog antara individu maupun antarkelompok dalam
masyarakat

Anda mungkin juga menyukai