Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“CULTURE SHOCK DAN KONSEKUENSI BUDAYA”


Dosen pengampu: Istiana, S.Psi., M.Pd., M. Psi

Disusun oleh Kelompok 4 :

Salma Hanifa Abdi 218600357

Ade Suryani Panjaitan 218600302

Chaterine Aulia Dawolo 218600354

Baniah Hasibuan 218600364

Kiki Andini 218600383

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MEDAN AREA
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Terima kasih kami ucapkan
untuk Ibu Istiana selaku dosen pengampu yang mana telah membimbing dan mengajarkan
banyak ilmu kepada kami yang fakir akan ilmu ini.

Seperti judulnya, makalah ini akan membahas tentang “CULTURE SHOCK DAN
KONSEKUENSI BUDAYA”. Dengan adanya makalah ini, kami berharap pembaca mampu
mengetahui dengan jelas mengenai apa itu culture shock dan, hingga adanya konsekuensi
budaya.

Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun, baik dari Ibu Dosen maupun teman-teman pembaca sekalian yang
demikian akan kami jadikan bahan evaluasi untuk kedepannya.

Medan, 28 September 2023

Kelompok 12

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB I ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1
1. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
3. Tujuan ........................................................................................................................ 2
BAB II .................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 3
2.1. Culture Shock ......................................................................................................... 3
2.1.1 Pengertian Culture Shock ..................................................................................... 3
2.1.2 Studi Tentang Hasil / Akibat Dari Kontak Budaya ............................................... 5
2.2. Konsekuensi / Resiko Lintas Budaya....................................................................... 7
2.2.1 Kehilangan Budaya .............................................................................................. 7
2.2.2 Penambahan Budaya ............................................................................................ 8
2.3 Meningkatkan Hasil Kontak Antara Budaya ................................................................ 9
2.3.1 Pertimbangan-pertimbangan Organisasional ........................................................ 9
2.3.2 Seleksi Personil .................................................................................................. 10
2.3.3 Program Pelatihan Lintas Budaya ....................................................................... 10
BAB III ............................................................................................................................... 12
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Proses Adaptasi dalam komunikasi antarbudaya merupakan faktor penting untuk para
pendatang yang memasuki lingkungan baru dimana memiliki budaya berbeda. Para
pendatang perlu mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan perbedaan bahasa,
kebiasaan, perilaku yang tidak biasa atau mungkin aneh dan keanekaragaman budaya,
baik dalam gaya komunikasi verbal maupun non-verbal untuk mencapai kesuksesan
beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Proses adaptasi ini tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan mulus, bahkan dapat
membuat individu merasa terganggu. Budaya yang baru biasanya dapat menimbulkan
tekanan, karena memahami dan menerima nilai-nilai budaya lain adalah sesuatu yang
sangat sulit terlebih jika nilai-nilai budaya tersebut sangat berbeda dengan nilai-nilai
budaya yang kita miliki. Biasanya seseorang akan melalui beberapa tahapan sampai dia
akhirnya bisa bertahan dan menerima budaya dan lingkungannya yang baru. Dalam
prosesnya, pembelajaran dan adaptasi terhadap kebudayaan baru tidak jarang seorang
mahasiswa gagal untuk menyesuaikan diri dan merasakan ketidaknyamanan psikis
maupun fisik, akibatnya mereka mengalami gegar budaya (culture shock) bahkan stress
dan depresi. Maka dari itu, dalam menjalani proses adaptasi terhadap budaya baru
tentulah seseorang tersebut melalui proses-proses komunikasi sebagai suatu cara untuk
menanggulangi gegar budaya (culture shock) yang dialaminya.
Ruben dan Stewart (dalam Ibnu Hamad 2013:374) menjelaskan tentang culture shock
(gegar budaya) bahwa Culture Shock merupakan hal yang selalu dan hampir pasti terjadi
(disease/wabah) dalam adaptasi budaya. Culture Shock yang berlebihan, terluka, dan
keinginan untuk kembali yang besar terhadap merupakan rasa putus asa, ketakutan
rumah. Hal ini disebabkan karena adanya keterasingan dan kesendirian yang disebabkan
oleh benturan budaya. Ketika individu masuk ke dalam budaya lain, keluar dari zona
nyamannya, maka seseorang itu akan mengalami hal tersebut.

Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan culture shock?
2. Apa yang menjadi pemicu terjadinya culture shock?
3. Hal apa yang menentukan keberhasilan dalam hubungan antar budaya?

1
Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan culture shock?
2. Mengetahui apa pemicu terjadainya culture shock
3. Mengetahui hal apa yang menentukan keberhasilan dalam hubungan antar budaya?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Culture Shock

2. 1.1 Pengertian Culture Shock


Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut “gegar budaya”, adalah
istilah psikologis untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi
kondisi lingkungan social budaya yang berbeda. Istilah culture shock pertama kali
dikenalkan oleh Kelvero Oberg pada tahun 1960. Pada awalnya definisi culture shock
menekankan pada komunikasi. Oberg mendefinisikan culture shock sebagai
kecemasan yang timbul akibat hilangnya sign dan symbol hubungan social yang
familiar.
Definisi Gegar budaya adalah reaksi individu pada lingkungan baru yang
belum dikenalinya sehingga menimbulkan reaksi awal berupa cemas akibat individu
kehilangan tanda-tanda yang dikenalnya di lingkungan lama. Gegar budaya (culture
shock) terjadi karena adanya ketidaksetaraan pandangan antara budaya satu dengan
lainnya, sehingga membuat suatu budaya baru yang datang ke budaya lainnya
mengalami kehilangan harapan atau antisipasi terhadap kesamaan. Gegar Budaya
dapat mengakibatkan stress dan ketegangan saat individu dihadapkan pada situasi
yang belum pernah dirasakan sebelumnya. seperti adanya perbedaan bahasa, gaya
berpakaian, makanan dan kebiasaan makan, relasi interpersonal, cuaca (iklim), waktu
belajar, makan dan tidur. tingkah laku pria dan wanita, peraturan, sistem politik,
perkembangan perekonomian, sistem pendidikan dan pengajaran, sistem terhadap
kebersihan. pengaturan keuangan, cara berpakaian maupun transportasi umum.
Dengan demikian terjadinya culture shock biasanya dipicu oleh salah satu
diantara lebih tiga penyebab berikut ini, yaitu:
a) Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian dari
kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gestures),
ekspresi wajah ataupun kebuasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada
seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.
b) Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari maupun tak
disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah
penyebab jelas dari gangguan gangguan ini.

3
c) Krisis identitas, dengan pergi ke luar negeri seseorang akan kembali mengevaluasi
gambaran tentang dirinya.
Gegar kultural dapat didefinisikan sebagai sekumpulan pengalaman psikologis
yang kompleks yang sering terjadi tetapi dapat mengganggu. Sekumpulan orang yang
mengalami perubahan sosial dan perubahan kultural akan merasakan adanya tekanan
ataupun ketidaknyamanan psikologis, ketidaknyamanan tersebut memiliki tingkatan
yang bergantung kepada situasi psikologis dan sosialnya. DeVito (2011)
mengungkapkan bahwa komunikasi adalah suatu tindakan seseorang atau beberapa
orang dengan cara mengirimkan informasi maupun menerima informasi dan di dalam
situasi tertentu mempunyai pengaruh tertentu dan memiliki kesempatan menimbulkan
adanya umpan balik. Gegar Budaya dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda
mengenai individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya
dalam negerinya sendiri (intra-national) dan individu yang berpindah ke negeri lain
untuk periode waktu lama. Hal-hal tersebut benar dipicu oleh kecemasan yang timbul
akibat hilangnya tanda dan lambang hubungan sosial yang selama ini familiar
dikenalnya dalam interaksi sosial, seperti petunjuk-petunjuk dalam bentuk kata-kata,
isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-norma yang individu
peroleh sepanjang perjalanan hidup sejak individu tersebut lahir. Gegar budaya yang
paling jarang disadari oleh makhluk sosial adalah gegar budaya dalam berbahasa,
yang mana berbahasa sangat penting dalam komunikasi untuk menjalin hubungan
dengan orang lain, seperti; adanya perbedaan penuturan kata, perbedaan pelafalan,
perbedaan intonasi, dan adanya bahasa gaul, sehingga setiap individu yang memiliki
perbedaan bahasa yang sangat signifikan akan sangat bermasalah dengan keadaan
tersebut.
Adapun dampak positif dan negatif culture shock adalah sebagai berikut:
1. Dampak positif
a. Melatih kemampuan individu atau masyarakat untuk menjadi bagian dari
masyarakat multikultural.
b. Individu akan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari lebih dalam lagi
mengenai kebudayaannya sendiri.
c. Individu akan terlibat langsung dalam mempelajari kebudayaan yang baru tersebut.
Individu tidak akan terperangkap dalam budaya yang dapat mengisolasi dirinya
sendiri dari masyarakat.

4
2. Dampak Negatif
a. Menimbulkan berbagai kondisi yang mempengaruhi fisik, mental, misalnya
kelelahan dan disorientasi arah.
b. Dapat menimbulkan semacam stressor yang memerlukan penyesuaian, stressor
dapat berupa masalah komunikasi, isolasi, kesulitan dalam penyesuaian diri.
c. Rasa cemas, depresi, dan perasaan akan tidak berdaya menghadapi berbagai situasi
culture shock.
d. Adanya sikap pesimis yang dihadapkan oleh individu pada lingkungan baru
tersebut.
e. Dimana takut akan penolakan yang akan dihadapi seseorang akan budaya baru.
f. Dimana takut akan kehilangan rasa percaya percaya diri atau status yang ada.

Studi Tentang Hasil / Akibat Dari Kontak Budaya


Para ahli mengemukakan beberapa prediktor spesifik yang menentukan
keberhasilan dalam hubungan antar budaya, yaitu:
a) Prediktor cultural
Orang yang tersosialisasi dalam budaya yang secara eksklusif kolektif akan
lebih menderita ketika berada dalam kultur lain daripada mereka yang disosialisasikan
pada budaya yang cenderung mengarahkan pada pengembangan diri (self-direction)
dan luwes interaksinya Studi akhir-akhir ini oleh Carden dan Feicht (1991)
menemukan mahasiswi Turki lebih mengalami chomesicknessp daripada mahasiswi
Amerika ketika mereka harus tinggal di asrama yang jauh dari kota asalnya.
Prediksi lain menyatakan bahwa orang-orang yang melakukan perjalanan
ke suatu negara/bangsa lain yang memiliki perbedaan budaya yang sangat banyak
akan lebih banyak mengalami kesulitan.

b) Prediktor demografi
Kelompok yang berasal dari status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan
serta status pekerjaan yang lebih tinggi memiliki sikap yang positif terhadap
kelompok yang berlainan budaya. Demikian pula, kelompok dari status budaya yang
lebih tinggi mempunyai sikap antar budaya yang lebih positif. Sekuritas kelompok
dalam hierarki sosial khususnya sekuritas ekonomi akan berhubungan dengan
pengukuran tentang prasangka pada kelompok lain dalam beberapa latar budaya.

5
c) Pengaruh pengaruh sosial
Stephen (1985) mengajukan 13 ciri/faktor sosial yang dapat meningkatkan
keharmonisan antar kelompok, yaitu: (1) Kerjasama dalam kelompok harus
dimaksimumkan dan kompetisi antara dua kelompok harus diminimalkan; (2)
Anggota-anggota kelompok yang melakukan kontak (baik dalam maupun antar
kelompok) harus memiliki status yang sama, 3) Kesamaan dimensi non-status dari
anggota kelompok (keyakinan, nilai, dan sebagainya) diperlukan, (4) perbedaan dalam
kompetensi harus dihindarkan (5) Hasil akibatnya harus positif (6) Dukungan
normatif dan institusional yang kuat terhadap kontak yang dilakukan harus ada kontak
antar kelompok harus memiliki potensi untuk berkembang dalam waktu segera; (8)
individuati anggota kelompok harus ditingkatkan (9) Kontak non superfisial
(mendalam) harus ditingkatkan (10) Kontak harus bersifat suka rela; (11) Efek-efek
positif berhubungan dengan lamanya kontak, (12) Kontak harus terjadi dalam
bermacam-macam konteks dengan berbagai anggota kelompok (baik in-group
maupun outgroup); (13) Jumlah anggota (in-group dan out-group) harus sama. Faktor
faktor sosial tersebut perlu dimodifikasi untuk sistem budaya yang berbeda dan garis
lintas budaya yang lain.

d) Faktor-faktor kepribadian
Ward dan Kennedy melakukan pendekatan melalui pembedaan dua bentuk
adaptasi. Yang pertama, yaitu adaptasi psikologis yang menunjukkan kemampuan
intrapsikis untuk menghadapi lingkungan baru yang dikehendaki. Yang kedua, yaitu
adaptasi sosiokultural yang menunjukkan kemampuan untuk melakukan negosiasi
interaksi dengan anggota- anggota budaya tuan rumah yang baru.
Adaptasi psikologis dipengaruhi oleh pusat kendali internal, beberapa
perubahan kehidupan, kontak dengan teman sebangsa yang lebih banyak untuk
mendapatkan dukungan sosial, dan kesulitan yang lebih rendah dalam mengelolan
kontak sosial sehari-hari. Sedangkan adaptasi sosiokultural meningkat dengan adanya
tingkat perbedaan yang lebih rendah antara budaya tuan rumah dan pendatang,
interaksi yang lebih banyak dengan tuan rumah, ekstroversi, dan tingkat gangguan
mood yang lebih rendah.
Kita bisa mengharapkan bahwa ekstroversi, agreeableness, kesungguhan
(conscientiousnes), stabilitas emosional, dan keterbukaan yang lebih tinggi akan
bersifat prediktif bagi penyesuaian antar budaya, meskipun tingkat pengaruhnya
6
relatif bervariasi terhadap konteks yang berbeda dalam kontak lintas budaya. Variabel
kepribadian berhubungan dengan faktor-faktor sosial lain dalam memprediksi
kesuksesan hubungan antar budaya, seperti tingkat hubungan dengan tuan rumah.

e) Ketrampilan ketrampilan (skills)


Furnham (1989) telah mendekati problem adaptasi lintas budaya dari
kemampuan perspektif. Bergantung dimana kelompok budaya terlibat, orang
membutuhkan pengetahuan khusus tentang kebiasaan interaksi dengan tuan rumah.
Hal ini dapat dikumpulkan da bermacam-macam sumber informasi dan meliputi
bimbingan tentang pembuatan atribui yang benar secara kultural bagi perilaku
interpersonal yang mengherankan bagi calon pendatang yang mungkin terjadi dalam
konteks budaya yang baru.
Argyle (1979) telah mengidentifikasikan tujuh ketrampilan sosial (social
skills) yang dapat dikembangkan pada orang-orang, mencakup perspective-taking,
ekspresi, percakapan, assertiveness, emosionalitas, kontrol kecemasan, dan afiliasi.
Banyak area skill Ini yang melibatkan aspek perilaku nonverbal, yang sangat penting
dalam mengatur interaksi.
Hal ini merupakan suatu pendekatan yang lebih mikroskopis terhadap
adaptasi lintas budaya daripada pendekatan kepribadian dan sangat berguna bagi
program pelatihan yang terfokus.

2.2. Konsekuensi / Resiko Lintas Budaya


Adapun konsekuensi / lintas budaya berupa:

Kehilangan Budaya

Pada tingkat individual, kehilangan identitas budaya bisa terjadi karena


adanya kontak antar budaya. Seseorang boleh jadi menolak tradisinya sendiri dan
menelan mentah mentah radiu dari kebudayaan lain, atau kemungkinan lain seseorang
yang pulang kembali ke darrah asal dari perantauan akan ditolak oleh kelompok
budayanya sendiri.
Tidak semua kontak akan menyebabkan kehilangan akar budaya. Suatu
kelompok mungkin memisahkan diri dari kelompok-kelompok lain dan anggota-
anggotanya memiliki sikap chauvinistik, etnosentris dan stereotipe terhadap

7
kelompok-kelompok lain. Akibatnya. justru identitas kultural mereka menjadi lebih
kokoh melalui kontak lintas budaya.
Menurut Rosenthal dan Feldman (1992) identitas etnis merupakan suatu
konsep yang multidimensional, yang meliputi: (a) Evaluasi diri yang subjektif
(sejauhmana seseorang menggambarkan diri melalui label etnis, (b) Makna evaluatif
terhadap keanggotaan seseorang pada suatu kelompok etnis (positif atau negatif). (c)
Praktek-praktek budaya dari kelompok yang dipunyai seseorang (pilihan
persahabatan, penggunaan bahasa, kesukaan makanan, dsb, (d) Pentingnya kelekatan
pada praktek-praktek ini. Apabila aspek-aspek identitas tersebut tidak berkorelasi
tinggi, maka kontak budaya hanya berpengaruh pada aspek-aspek tertentu dari
identitas etnis tersebut.
Untuk mengevaluasi pendapatnya, Rosenthal dan Feldman mengukur
masing-masing elemen (aspek identitas etnis) itu pada generasi pertama dan kedua
orang-orang Cina yang berimigrasi ke Kanada dan Australia dibandingkan dengan
pelajar Cina di Hongkong, Hasilnya menunjukkan hubungan yang moderat diantara
aspek-aspek identitas etnis itu. Praktek budaya dan penggambaran diri sebagai orang
Cina menurun pada generasi pertama, tetapi tidak berlanjut pada generasi kedua.
Sementara evaluasi subjektif tentang identitas yang dimilikinya dan pentingnya untuk
lekat pada praktek-praktek budaya Cina tidak menurun pada semua generasi.
Rosenthal danFeldman menyimpulkan bahwa aspek-aspek eksternal dari identitas
budaya mungkin berubah secara perlahan-lahan sepanjang waktu, tetapi komponen-
komponen internal adalah lebih bertahan untuk berubah.

Penambahan Budaya

Kemungkinan yang lebih diharapkan dalam kontak antar budaya pada


tingkat kelompok adalah adanya integrasi. Hal ini terjadi ketika kelompok-kelompok
yang berbeda mempertahankan identitas budaya mereka dalam beberapa hal, tetapi
memunculkan penghargaan yang lain pada aspek-aspek yang mengatasnamakan
kelompok. (Bochner, 1982). Integrasi ini dapat terjadi dalam konteks pekerjaan dan
politik yang disokong oleh mikap-sikap akulturatip yaitu: (a) memelihara hubungan
dengan kelompok lain; (b) mempertahankan identitas dan karakteristik budaya yang
dimilikinya.

8
Sementara pada tingkat personal (pribadi), respon terhadap suatu konteks
sosial integratif merupakan seperangkat sikap terbuka yang memungkinkan seseorang
untuk menyeleksi, mengkombinasi dan mensintesiskan ciri-ciri yang pantas atau layak
dari suatu sistem sosial yang berbeda tanpa kehilangan inti budayanya. Ia tidak
chauvinistik tentang kebudayaannya sendiri, tetapi menyadari sepenuhnya kekuatan-
kekuatan dari tiap kelompok budaya yang bermacam-macam yang ia hubungi.

2.3 Meningkatkan Hasil Kontak Antara Budaya


Kita menghadapi suatu kenyataan bahwa situasi historis, politik, ekonomi,
dan sosial secara drastis telah membatasi pengaruh dari pengetahuan psikologi apa
saja yang dapat diterapkan untuk mengembangkan suatu pertemuan antar budaya.
Meskipun demikian. kelompok-kelompok yang signifikan seperti korps diplomatik.
perusahan-perusahaan multinational dan internasional dapat membantu organisasi
organisasi untuk mengefektifkan kontak antar budaya tersebut dan melakukan seleksi
serta melatih personil-personil mereka untuk memperolek efektifitas dalam hubungan
antar budaya.

2.3.1 Pertimbangan-pertimbangan Organisasional

Faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi seseorang bekerja lebih


efektif melalui garis lintas budaya adalah: (a) suatu kebijakan organisasi yang secara
eksplisit mendukung pluralisme kultural; (b) Manajemen puncak yang menyokong dan
menjadi model (contoh) akomodasi budaya; (c) adanya rekan-rekan dari budaya yang
sama bagi pendatang baru di dalam atau di luar kerja yang dapat memberikan
dukungan sosial; (d) perhatian terhadap faktor-faktor yang penting dalam penyesuaian
pasangan, seperti berkonsultasi dengan mereka sebelum penugasan; (e) pelatihan
dalam menggunakan bahasa secara efektif yang biasa digunakan dalam organisasi baik
bagi penutur asli (native speakers) maupun tidak; (f) pelatihan secara mendalam pada
budaya baru sebelum pemberangkatan seperti sifat-sifat atau kebiasaan lingkungan
baru; (g) Adanya media tor kultural in-house untuk memberikan saran- saran dan
konsultasi kepada pendatang baru mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
penyesuaian kultural; (h) penggunaan kriteria untuk evaluasi kinerja yang mencakup
aspek- aspek efektivitas lintas budaya, seperti kemampuan untuk mengatasi
kesalahpahaman; pertimbangan problem pulang kembali seseorang setelah menjalani

9
tugas di luar negeri, terutama memberikan jaminan bahwa tugas tersebut cocok bagi
perkembangan karir pada masa mendatang.

2.3.2 Seleksi Personil

Dalam seleksi personil, akan lebih bijaksana apabila mempertimbangkan juga


latar belakang budaya yang hampir sama dengan budaya tuan rumah, menggunakan
beberapa skema seperti pemetaan nilai-nilai untuk memasangkan (matching) budaya
pendatang dan lokal. Skill yang relevan secara kultural, seperti balass atau
pengetahuan tentang sejarah dan literatur budaya tuan rumah perlu dipertimbangkan
juga. Akhirnya catatan keberhasilan dalam jabatan lintas budaya sebelum sangat
diperlukan bagi tugas-tugas yang akan datang.

2.3.3 Program Pelatihan Lintas Budaya

Tujuan utama dari program pelatihan lintas budaya adalah untuk memberikan
skill dan strategi yang akan membara mereka yang akan ditugaskan ke luar negeri
melalui proses penyesuaian. Tujuan lainnya adalah memberi informa faktual tentang
hal-hal pokok atau spesifik dari kultur yang akan didatanginya, mengembangkan skill
untuk negosiasi dan interaksi antar kultur dan mempelajari tentang kulturnya dan
persepu yang telah terbentuk sebelumnya terang orang lain.

Tung sesudah melakukan survey terhadap para manajer di Eropa, Jepang,


dan Amerika menemukan ada 5 tipe program pelatihan antar budaya, yaitu:

1. Area studies program (program studi wilayah) meliputi pemberian informasi


faktual tentang lingkungan dan lokasi negara tuan rumah seperti geografi, iklim,
perumahan dan sekolah (euros mental briefings) serta orientasi budaya yang
meliputi institusi budaya dan sistem nilai dari negara tuan rumah kepada mereka
yang akan ditugaskan ke luar negeri dan keluarga. Program ini dapat dilakukan
dengan cepat.

2. Cultural asimilator (asimilator budaya) menggunakan pendekatan belajar yang


terprogram yang didesain untuk memberikan pengalaman pengalaman antar
budaya (biasanya permasalahan permasalahan dalam hubungan dengan budaya

10
lain) kepada mereka yang akan ditugaskan ke luar negeri dengan mengekspos
beberapa konsep-konsep dasar, sikap-sikap, persepsi, peranan, kebiasaan-
kebiasaan, dan nilai-nilai dari budaya lain.

3. Language training (pelatihan bahasa) memberikan pelajaran bagaimana


berbicara, membaca dan menulis dengan bahasa tuan rumah.

4. Sensitivity training (pelatihan kepekaan) didesain untuk mengembangkan sikap


fleksibilitas dengan memfokuskan pada belajar tingkat afektif dan dengan
penghayatan seksama yang selanjutnya akan diikuti oleh tahap dimana individu
menjadi sadar dan menerima perbedaan perilaku dan sistem nilai dari tuan rumah.

5. Field experience (pengalaman lapangan) mencakup perjalanan singkat ke lokasi


tuan rumah atau suatu omicro culturep lokal sehingga mereka akan mendapatkan
pengalaman secara langsung tentang kultur baru itu sebelum mereka ditugaskan ke
luar negeri. Teman temuan atau permasalahan-permasalahan yang dialaminya
secara langsung dari kehidupannya dan bekerja dengan orang-orang dari budaya
yang berbeda itu akan memberikan kerangka acuan untuk diterapkan selama
mereka bertugas ke luar negeri.

11
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Culture Shock merupakan reaksi emosi negatif yang dirasakan oleh individu ketika
berpindah ke budaya baru yang sangat berbeda dengan budaya asalnya. Culture Shock
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pandangan negative terhadap budaya
barunya, adanya perbedaan bahasa, nilai dan keyakinan antara budaya asal dengan
budaya barunya, adanya diskriminasi dan sikap tidak dihargai oleh warga negara tuan
rumah, serta adanya perasaan kesepian dan kesulitan ekonomi. Jadi dapat disimpulkan
dapat memperkaya pengetahuan dalam bidang psikologi yang kaitannya dengan psikologi
lintas budaya yaitu memberi gambaran bahwa culture shock mampu mempengaruhi
tingkat stres individu apabila tidak mampu menyesuaikan dengan budaya barunya. dapat
disimpulkan bahwa cultural shock merupakan pengalaman yang dapat terjadi pada siapa
saja yang terlibat dalam lingkungan budaya yang berbeda. Dampak dari cultural shock
dapat berbeda tergantung pada kondisi masing-masing individu. Keberhasilan dalam
mengatasi dampak tersebut akhirnya akan sangat mempengaruhi pengalaman yang
diambil dari kejadian tersebut.

12
DAFTAR PUSTAKA

Dayakisni, Tri. (2012). Psikologi lintas budaya. Malang: UMM Press.

Redaksi. (30 September 2023), Gegar Budaya Dampak Negatif dan Positif di Kehidupan
Masyarakat ; https://www.sosiologi.info/2021/10/gegar-budaya-dampak-negatif-dan-
positif-di-kehidupan-masyarakat.html
Istiana, Nini Sri Wahyuni, 2023 “ PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA”. Medan: Universitas
Medan Area

13

Anda mungkin juga menyukai