Anda di halaman 1dari 8

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Web Konferensi E3S373,04030 (2023) https://doi.org/10.1051/e3sconf/202337304030


ISEPROLOK 2022

Kontribusi kelapa sawit terhadap pencapaian SDGs: studi


kasus di provinsi-provinsi utama penghasil kelapa sawit di
Indonesia

ZulkifliAlamsyah1,3*,ArmenMara1,Neza FadiaRayesa2,ErnawatiHamid1,3,Mirawati
Yanita1,3,GinaFauzia1,3, DanDompak MTNapitupulu1,3
1Program Studi Agribisnis Universitas Jambi, Jambi, Indonesia
2Program Studi Agribisnis Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia
3CSSPO Universitas Jambi, Jambi, Indonesia

Abstrak.Perkembangan perkebunan kelapa sawit dan produksinya tidak


hanya diharapkan dapat menghasilkan devisa negara, namun juga
diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap pembangunan sosial
dan ekonomi masyarakat, yang harus sejalan dengan pembangunan
berkelanjutan. tujuan (SDGs). Pengembangan perkebunan kelapa sawit yang
melibatkan masyarakat melalui Skema Nucleus Estate and Smallholder (NES
atau PIR) dengan berbagai variasinya mempunyai beberapa kelemahan yang
merugikan petani, menimbulkan berbagai konflik dan melemahkan posisi
tawar petani, tidak jelasnya penentuan pembangunan perkebunan. biaya dan
tidak jelasnya kriteria dalam menentukan kualitas dan harga tandan buah
segar (TBS) yang dihasilkan petani. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari apakah pengembangan kelapa sawit mampu memperbaiki
kondisi sosial ekonomi masyarakat di Indonesia, terutama di provinsi-provinsi
utama penghasil kelapa sawit sesuai dengan target SDGs, antara lain bebas
kemiskinan (Goal-1), berkurangnya ketimpangan (Goal -10), dan kesehatan
serta kesejahteraan yang baik (Tujuan-3). Penelitian tersebut dilakukan
secara nasional, khususnya di provinsi penghasil kelapa sawit di Indonesia.
Data yang digunakan merupakan data time series periode tahun 1990 hingga
2020. Model analisis yang digunakan adalah model regresi dimana luas lahan
kelapa sawit sebagai variabel independen dan indikator SDGs sebagai
variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan
kelapa sawit secara signifikan dapat mengurangi jumlah penduduk miskin
baik di pedesaan maupun perkotaan,

1. Perkenalan
Dalam kondisi pandemi Covid-19, pasar minyak nabati pada tahun 2022 diperkirakan sebesar 215,4 juta metrik
ton dan akan meningkat menjadi 258,4 juta metrik ton pada tahun 2026 dengan tingkat pertumbuhan sebesar
4,4% per tahun. Minyak kelapa sawit diproyeksikan tumbuh sebesar 5,2% hingga mencapai 101,8 juta metrik ton
pada tahun 2026 (39,4% dari total minyak nabati dunia). Sedangkan minyak kedelai

* Penulis koresponden: zalamsyah@unja.ac.id

© Para Penulis, diterbitkan oleh EDP Sciences. Ini adalah artikel akses terbuka yang didistribusikan berdasarkan ketentuan Creative
Commons Attribution License 4.0 (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/).
Web Konferensi E3S373,04030 (2023) https://doi.org/10.1051/e3sconf/202337304030
ISEPROLOK 2022

diprediksi tumbuh rata-rata 4,5 per tahun dengan share pada tahun 2026 sebesar 29,6% [1]. Sedangkan
di pasar minyak sawit dunia tahun 2021, Indonesia menguasai pasar dengan pangsa ekspor sebesar
54,7%, disusul Malaysia dengan 29,2% [2].
Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2022, luas
panen mencapai 12,5 juta hektar dan berkontribusi terhadap total luas panen dunia sebesar 51,7% [3].
Bagi Indonesia, kelapa sawit merupakan salah satu pilar perekonomian yang memberikan kontribusi
besar terhadap perolehan devisa dan penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat [4, 5] serta
mengurangi kemiskinan pada rumah tangga pertanian dan non-pertanian [6-9]. Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat nilai ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2020 mencapai US$18,7 miliar [10].

Selain sebagai penghasil devisa negara, pengembangan kelapa sawit dan


produksinya juga diharapkan dapat memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat
sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. SDG). Salah satu indikator penting
sebagai wujud pencapaian pembangunan berkelanjutan adalah tingkat kesejahteraan
masyarakat. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa pengembangan kelapa sawit
telah meningkatkan pendapatan petani kelapa sawit secara signifikan dan sekaligus
meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat di wilayah utama produksi kelapa sawit
[11, 6, 7, 12] dan meningkatkan standar produksi kelapa sawit. penghidupan petani [6,
13]. Demikian pula secara makro, ditemukan bahwa selama kurun waktu 2000 hingga
2010,
Pengembangan kelapa sawit mempunyai berbagai dampak terhadap kondisi sosial ekonomi petani
kecil. Penelitian dari University of Kent menyimpulkan bahwa penghidupan yang tidak berkelanjutan,
kesenjangan sosial-ekonomi, dan permasalahan lingkungan masih menjadi tantangan utama dalam
industri kelapa sawit [14]. Terdapat variasi dampak sosial ekonomi kelapa sawit antar lokasi dengan
karakteristik biofisik dan kondisi sosial ekonomi yang berbeda di Indonesia [15]. Beberapa penelitian
yang menghasilkan dampak negatif tersebut antara lain [16-18]. Para peneliti sebelumnya meragukan
pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk menurunkan angka kemiskinan di negara-negara
berkembang.
Kajian ini mengkaji secara makro apakah pengembangan kelapa sawit dapat memperbaiki
kondisi sosial ekonomi masyarakat di Indonesia, khususnya di daerah penghasil kelapa sawit
sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Indikator yang digunakan adalah
tingkat kemiskinan yang dihitung dari persentase penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan, kesejahteraan masyarakat diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM), dan
distribusi pendapatan diukur dengan rasio Gini.

2 Metode penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi seluruh provinsi besar penghasil kelapa sawit di Indonesia yaitu
Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Substansi penelitian
difokuskan pada dampak atau pengaruh pengembangan kelapa sawit terhadap beberapa
indikator target pembangunan berkelanjutan (SDGs). Dalam artikel ini, indikator yang diamati
dibatasi pada (1) pengurangan kemiskinan (Goal 1 – tidak ada kemiskinan) yang diukur dari
persentase penduduk miskin, (2) kesehatan dan kehidupan yang baik (Goal 3 – Good Health and
Well-being) yang diukur dari indeks pembangunan manusia (IPM), dan (3) mengurangi
ketimpangan (Target 10) yang diukur dari koefisien Gini.
HDI menggambarkan tiga dimensi kehidupan manusia. Ketiga dimensi tersebut adalah
kesempatan hidup (umur panjang), pengetahuan, dan taraf hidup yang layak. Untuk menghitung
IPM, setiap komponen IPM distandarisasi dengan nilai minimum dan maksimum.
Badan Pusat Statistik Indonesia [19] menghitung IPM dengan rumus sebagai berikut:

2
Web Konferensi E3S373,04030 (2023) https://doi.org/10.1051/e3sconf/202337304030
ISEPROLOK 2022

=3√( 1+ 2+ 3)*1000 (1)

di mana X1menunjukkan indeks kesehatan, X2menunjukkan indeks pendidikan dan X3menunjukkan indeks
standar hidup layak.
Mengikuti BPS (19), koefisien Gini mengacu pada kurva Lorenz, yaitu kurva pengeluaran
kumulatif yang membandingkan distribusi pendapatan dengan pemerataan yang mewakili
persentase kumulatif penduduk. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

=1−∑ =1 X( + −1) (2)

Dimana GC menunjukkan koefisien gini, fpimenunjukkan frekuensi penduduk pada kelas


pengeluaran ke-i, Fcimenunjukkan frekuensi kumulatif total belanja pada golongan belanja
ke-i, dan Fci-1menunjukkan frekuensi kumulatif total pengeluaran pada kelas pengeluaran
(i-1).
Data time series tahun 1990-2018 digunakan dalam penelitian ini. Rentang waktu
tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa periode tersebut dianggap cukup mewakili
fluktuasi pergerakan atau perubahan variabel penelitian. Data dikumpulkan dari sumber
utama yaitu BPS, baik berupa publikasi nasional maupun publikasi masing-masing provinsi
yang menjadi objek penelitian.
Data dianalisis menggunakan model regresi sederhana dengan variabel luas areal kelapa sawit sebagai
proksi pengembangan kelapa sawit sebagai variabel bebas, sedangkan masing-masing indikator SDGs diamati
sebagai variabel terikat. Secara umum model regresi yang digunakan adalah:

Yi = -0 + -iXi + -jZj + εi (3)

Dimana i = 1 untuk indikator tujuan 1 (jumlah penduduk miskin dalam %), i = 2 untuk indikator tujuan 3
(indeks pembangunan manusia), dan i = 3 untuk indikator tujuan 10 (koefisien Gini), dan t adalah tahun
pengamatan (2000-2020). X adalah luas tanam kelapa sawit, dan Zj adalah variabel eksogen yang berhubungan
dengan masing-masing tujuan SDGs.

3 Hasil dan diskusi

3.1 Dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit terhadap pengentasan kemiskinan

Kelapa sawit merupakan komoditas penting pada subsektor perkebunan di Indonesia. Kelapa sawit memberikan
kontribusi yang signifikan dalam mendukung sektor pertanian dan perekonomian provinsi penghasil kelapa
sawit. Sebagai komoditas unggulan, pengembangan kelapa sawit mempunyai multiplier effect terhadap sektor
lain. Dengan demikian, perluasan perkebunan kelapa sawit akan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat,
mengurangi pengangguran, dan menurunkan angka kemiskinan. Hasil estimasi pengaruh luas perkebunan
kelapa sawit terhadap pengentasan kemiskinan di provinsi-provinsi utama penghasil kelapa sawit disajikan pada
tabel 1 berikut.

3
Web Konferensi E3S373,04030 (2023) https://doi.org/10.1051/e3sconf/202337304030
ISEPROLOK 2022

Tabel 1.Pengaruh pengembangan kelapa sawit terhadap jumlah penduduk miskin.

Miskin di Daerah Perkotaan + Pedesaan Miskin di Daerah Pedesaan


Propinsi
Koefisien t-status. Masalah. Koefisien t-status. Masalah.

Aceh - 3.406E-5* - 3.209 . 005 - 4.699E-5* - 5.249 . 000


Utara
- 7.551E-6* - 6.578 . 000 - 8.700E-6* - 5.222 . 000
Sumatera
Barat
- 2.027E-5* - 3.841 . 001 - 6.716E-6 - 1.112 . 288
Sumatera
Riau - 5.659E-5* - 4.042 . 001 - 5.817E-6* - 4.871 . 000
Jambi - 9.636E-6* - 5.150 . 000 - 6.693E-6* - 4.222 . 001
Selatan
- 1.507E-5* - 9.637 . 000 - 1.209E-5* - 7.002 . 000
Sumatera
Bengkulu - 2.647E-5* - 14.900 . 000 - 2.087E-5* - 9.876 . 000
Barat
- 4.859E-6* - 4.348 . 001 - 3.820E-6* - 4.046 . 002
kalimantan
Pusat
- 6.307E-6* - 9.918 . 000 - 5.976E-6* - 15.349 . 000
kalimantan
Selatan
- 7.601E-6* - 10.716 . 000 - 7.536E-6* - 7.519 . 000
kalimantan
Timur
- 6.498E-6* - 7.386 . 000 - 1.018E-5* - 8.802 . 000
kalimantan
NASIONAL - 9.528E-7* - 12.245 . 000 - 1.042E-6* - 9.508 . 000
* ) Signifikan pada - = 1%.

Dari Tabel 1, di 11 provinsi utama penghasil kelapa sawit, pengembangan kelapa sawit berhasil
menurunkan angka kemiskinan secara signifikan baik di pedesaan maupun perkotaan dengan tingkat
signifikansi 1 persen, kecuali di pedesaan Sumatera Barat yang menunjukkan tingkat signifikansi yang tidak
signifikan. Secara nasional, pengembangan kelapa sawit seluas 1 juta hektar mampu menurunkan jumlah
penduduk miskin masing-masing sebesar 0,95% dan 1,04% untuk wilayah perkotaan + perdesaan dan
perdesaan. Sementara itu, di provinsi-provinsi utama penghasil kelapa sawit, terdapat variasi besaran dampak
pembangunan kelapa sawit dalam menurunkan angka kemiskinan. Untuk perkotaan + perdesaan berkisar
antara 4,86% (Kalimantan Barat) hingga 56,59% (Riau), sedangkan untuk perdesaan berkisar antara 3,82%
(Kalimantan Barat) hingga 46,99% (Aceh).
Penurunan angka kemiskinan akibat pengembangan kelapa sawit sejalan dengan penelitian Susilowati dkk.
[20] bahwa secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi pengentasan kemiskinan antara lain peningkatan
kendali atas aset-aset produktif dan terbukanya akses serta pemanfaatan kesempatan kerja. Selain itu,
pengentasan kemiskinan dapat dicapai dengan menggunakan faktor-faktor pendukung pengentasan
kemiskinan, terutama dengan memperhatikan faktor-faktor potensial seperti pembangunan pertanian.
Pengembangan kelapa sawit juga berkontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto. Berdasarkan data
yang ada, Kasryno (2011) menyatakan bahwa kontribusi produk kelapa sawit terhadap total nilai bersih
pertanian mengalami peningkatan yang menunjukkan bahwa kontribusinya terhadap PDB juga cenderung
meningkat. Sementara itu, peningkatan PDB diyakini dapat menurunkan angka kemiskinan [21-25].
Koefisien regresi pada Tabel 1 juga dapat digunakan untuk menghitung luas lahan kelapa sawit yang perlu
dikembangkan untuk mengurangi 1% jumlah penduduk miskin. Tabel 2 menunjukkan luas areal kelapa sawit
yang harus dikembangkan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 1 persen.

4
Web Konferensi E3S373,04030 (2023) https://doi.org/10.1051/e3sconf/202337304030
ISEPROLOK 2022

Meja 2.Luas perkebunan kelapa sawit mampu mengurangi 1% jumlah penduduk miskin.

Penambahan Luas lahan (ha)


Propinsi
Perkotaan + Pedesaan Pedesaan

Aceh 29.360,0 21.281,1


Sumatera Utara 132.432,8 114.942,5
Sumatera Barat 49.334,0 -
Riau 17.671,0 171.909,9
Jambi 103.777,5 149.409,8
Sumatera Selatan 66.357,0 82.713,0
Bengkulu 37.778,6 47.915,7
Kalimantan Barat 205.803,7 261.780,1
Kalimantan Tengah 158.554,0 167.336,0
Kalimantan Selatan 131.561,6 132.696,4
Kalimantan Timur 153.893,5 98.231,8
NASIONAL 1.049.538,2 959.692,9

Tabel 2 menunjukkan bahwa secara nasional, penurunan angka kemiskinan di perdesaan dan
perkotaan sebesar 1% dapat dicapai melalui perluasan perkebunan kelapa sawit seluas 1.049.532,2
hektar, sedangkan untuk pengurangan 1% jumlah penduduk miskin di perdesaan hanya 959.692,9
Perluasan lahan kelapa sawit seluas hektar. Di provinsi-provinsi penghasil kelapa sawit utama, perluasan
kelapa sawit untuk mengurangi 1% angka kemiskinan sangat bervariasi. Untuk wilayah perkotaan dan
perdesaan, penambahan luas areal kelapa sawit terkecil terdapat di Riau seluas 17.671 hektar,
sedangkan terbesar terdapat di Kalimantan Barat yaitu 205.803,7 hektar. Sedangkan untuk perdesaan,
terkecil di Aceh dengan luas 21.281,1 hektar dan terluas di Kalimantan Barat dengan luas 261.780,1
hektar.

3.2 Dampak pengembangan perkebunan kelapa sawit terhadap distribusi pendapatan

Salah satu bentuk ketimpangan distribusi pendapatan ditinjau dari sudut pandang ekonomi adalah
ketimpangan distribusi pendapatan antar kelompok penduduk. Distribusi pendapatan digunakan untuk
mempelajari apakah hasil pembangunan dapat dialokasikan secara merata kepada masyarakat. Perkembangan
kelapa sawit sebagai komoditas unggulan mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian
Indonesia. Hal ini juga diharapkan dapat meningkatkan distribusi pendapatan, tidak hanya bagi pelaku usaha
perkebunan, namun juga bagi petani dan pelaku ekonomi di sektor terkait seperti buruh, jasa transportasi, dan
perdagangan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah Gini Ratio. Dampak pengembangan kelapa
sawit terhadap distribusi pendapatan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3.Pengaruh pengembangan kelapa sawit terhadap rasio gini.

Propinsi Koefisien t-status. Masalah.

Aceh 1.304E-7* 3.893 . 002


Sumatera Utara 9.384E-10 . 044 . 966
Sumatera Barat 6.340E-10 . 007 . 994
Riau 2.037E-8 1.163 . 266
Jambi 3.894E-8 1.058 . 310
Sumatera Selatan 1.173E-7* 3.726 . 003
Bengkulu 1.757E-7** 2.156 . 050
Kalimantan Barat - 8.331E-10 - . 043 . 966
Kalimantan Tengah 4.309E-8* 4.786 . 000
Kalimantan Selatan 1.452E-8 . 626 . 542
Kalimantan Timur 3.206E-8 1.745 . 104
NASIONAL 4.648E-9* 3.430 . 004
* ) Signifikan pada - = 1%. **) Signifikan pada - = 5%.

5
Web Konferensi E3S373,04030 (2023) https://doi.org/10.1051/e3sconf/202337304030
ISEPROLOK 2022

Tabel 3 menunjukkan bahwa secara nasional, pembangunan kelapa sawit mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap distribusi pendapatan dengan koefisien regresi yang sangat kecil. Terdapat 4 dari 11
provinsi penghasil kelapa sawit utama di Indonesia yang pengembangan kelapa sawitnya memberikan dampak
signifikan terhadap pemerataan pendapatan, yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi
Kalimantan Tengah, dan Provinsi Bengkulu, sedangkan di 7 provinsi lainnya pengembangan kelapa sawit tidak
menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap distribusi pendapatan.
Ada 2 hal yang diduga menjadi penyebab tidak signifikannya dampak pengembangan
kelapa sawit terhadap distribusi pendapatan yang diukur dengan rasio Gini. Pertama,
pengembangan kelapa sawit dalam 10 tahun terakhir didominasi oleh ekspansi pekebun
swadaya eks plasma dengan skala perkebunan yang relatif kecil. Kedua, usaha kelapa sawit
di sentra produksi masih terbatas pada produksi bahan baku (tandan buah segar) yang
pemasarannya dikuasai oleh pedagang pengepul yang langsung menjemput hasil ke kebun
petani, sehingga membatasi masuknya usaha terkait.
Kondisi ini juga dapat dipahami sebagai fenomena yang sejalan dengan hipotesis Kuznets yang
menjelaskan bahwa ketika pembangunan dimulai maka distribusi pendapatan akan semakin tidak
merata. Kuznets berpendapat bahwa antara pembangunan ekonomi dari waktu ke waktu dan
kesetaraan terdapat hubungan terbalik berbentuk U dengan argumen bahwa pembangunan ekonomi
tidak dapat didistribusikan secara adil pada setiap tahap pembangunan ekonomi (26). Oleh karena itu,
ketika ekonomi pertanian tradisional tumbuh, pemilik lahan akan mendapatkan keuntungan utama dan
menimbulkan ketimpangan.
Meski penelitian Kuznets dilakukan pada abad ke-20, namun fenomena tersebut masih ditemukan hingga saat ini.
Beberapa penelitian yang membuktikan hal tersebut antara lain [27-30]. Studi-studi tersebut juga membuktikan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan. Penelitian terbaru yang dilakukan
oleh Martinez [31] dengan kuat memverifikasi bahwa hubungan yang digambarkan oleh Kuznets tampaknya masih
bertahan.

3.3 Dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit terhadap kesehatan dan kesejahteraan

Grubel menyatakan bahwa statistik pendapatan nasional yang mengukur kesejahteraan manusia tidak
sempurna, hal ini memicu UNDP (United Nations Development Program) untuk menerbitkan indikator
kesejahteraan sosial setiap tahunnya untuk 175 negara [32]. Indikator ini dikenal dengan IPM yaitu sebagai alat
yang digunakan untuk menghitung tingkat kesejahteraan antar negara atau antar wilayah.
IPM sebagai salah satu indikator pembangunan memiliki keunggulan karena tidak hanya
menggunakan dimensi ekonomi saja, namun juga dimensi sosial seperti dimensi pendidikan dan
kesehatan. Pengembangan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan diharapkan juga berdampak
positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Hasil estimasi dampak ekspansi kelapa sawit
terhadap IPM di provinsi utama penghasil kelapa sawit disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4.Pengaruh pembangunan kelapa sawit terhadap indeks pembangunan manusia.

Propinsi Koefisien t-status. Masalah.

Aceh 7.294E-6 1.520 . 151


Sumatera Utara - 1.429E-6 - . 668 . 515
Sumatera Barat 6.975E-6 . 939 . 364
Riau - 4.388E-7 - . 314 . 758
Jambi 6.810E-7 . 195 . 848
Sumatera Selatan 1.099E-6 . 340 . 739
Bengkulu 8.347E-6 1.273 . 224
Kalimantan Barat 3.050E-7 . 213 . 835
Kalimantan Tengah - 1.408E-6 - . 779 . 449
Kalimantan Selatan 8.617E-6* 4.021 . 001

6
Web Konferensi E3S373,04030 (2023) https://doi.org/10.1051/e3sconf/202337304030
ISEPROLOK 2022

__________
Kalimantan Timur 3.695E-6* 3.224 . 006
NASIONAL 2.604E-7 1.533 . 148
* ) Signifikan pada - = 1%.

Pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan akan mempengaruhi tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi
merupakan kondisi yang diperlukan, namun bukan kondisi yang cukup untuk pengentasan kemiskinan di negara-negara
berkembang. Moges menemukan elastisitas pertumbuhan yang kuat dan elastisitas kemiskinan yang tidak merata di
negara-negara berkembang [35]. Demikian pula temuan dasar Fforde yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
merupakan alat utama dalam pengentasan kemiskinan [36]. Namun pemusatan kegiatan ekonomi pada suatu wilayah
tertentu berdampak langsung pada ketimpangan pendapatan (Hanzi, 2013).

4. Kesimpulan

Pengembangan kelapa sawit sebagai komoditas perkebunan yang memberikan kontribusi signifikan terhadap
perekonomian Indonesia juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam hal pengentasan
kemiskinan, peningkatan pemerataan pendapatan, dan peningkatan indeks pembangunan manusia. Namun penelitian
ini mengungkapkan bahwa pembangunan kelapa sawit secara signifikan menurunkan angka kemiskinan baik di
pedesaan maupun perkotaan, namun meningkatkan ketimpangan pendapatan, dan tidak berdampak pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dalam indeks pembangunan manusia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor dan Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Jambi yang telah mendukung dana dan fasilitas penelitian.

Referensi
1. Riset dan Pasar, Minyak Nabati: Lintasan & Analisis Pasar Global (2022). [Online] Diperoleh
dari: tautan https://www.researchandmarkets.com/reports/338679/
vegetable_oils_global_market_trajectory_and?utm_source=GNOM&utm_medium=Pr
essRelease&utm_code=bq8zhm&utm_campaign=1701344++Trends%2c+and+Forecas
ts+2022-026+with + + Pemain&utm_exec=shbe20prd
2. Ekspor Teratas Dunia, Ekspor Minyak Sawit Berdasarkan Negara (2022). [Online] Diperoleh dari:
https://www.worldstopexports.com/palm-oil-exports-by-country
3. Index Mundi, Luas Panen Kelapa Sawit Berdasarkan Negara (2022). Diperoleh dari:
tautan https://www.indexmundi.com/agriculture/?commodity=palm-
oil&graph=areaharvested
4.LP Koh, DS Wilcove. Alam 448,994(2007)
5. E. Meijaard, dan D. Sheil., Frontiers in Forests and Global Change,2, 22 (2018)
6. C. Kubitza, JB Dib, T. Kopp, VV Krishna, N. Nuryartono, M. Qaim, S. Klasen, Penghematan tenaga kerja
di bidang pertanian dan kesenjangan pada skala spasial yang berbeda: perluasan kelapa sawit di
Indonesia (No. 26 ). Seri Makalah Diskusi EFForTS (2019)
7. JB Dib, VV Krishna, Z. Alamsyah, dan M. Qaim, Kebijakan Penggunaan Lahan,76, 1 (2018)
8. M.Qaim, KT Sibhatu, H. Siregar, I. Grass, Tinjauan Tahunan Ekonomi Sumber Daya, 12, 1
(2020)
9. N. Mehraban, C. Kubitza, Z. Alamsyah, M. Qaim, (2021), Jurnal Ekonomi
Pertanian,1, 1 (2021)
10. BPS, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2018. Badan Pusat Statistik. Jakarta (2008)
11. F. Kasryno, Kajian Ilmu Stok Karbon Tinggi,1, 1 (2015)

7
Web Konferensi E3S373,04030 (2023) https://doi.org/10.1051/e3sconf/202337304030
ISEPROLOK 2022

12. M. Gatto, M. Wollni, R. Asnawi, dan M. Qaim, Pembangunan Dunia,95, 127 (2017)
13. M. Euler, V. Krishna, S. Schwarze, H. Siregar, M. Qaim, Pembangunan Dunia,93, 219
(2017)
14. University of Kent, Potensi kelapa sawit untuk mengentaskan kemiskinan bergantung pada tempat
penanamannya. ScienceDaily, 1 Mei 2019. [Online] Diperoleh dari:
www.sciencedaily.com/releases/2019/05/190501114425.htm
15. T. Santika, KA Wilson, S. Budiharta, EA Law, TM Poh, M. Ancrenaz, dan E.
Meijaard, Pembangunan Dunia,120, 105 (2019)
16. M. Sirait, Masyarakat Adat dan Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan
Barat, Indonesia. Universiteit van Amsterdam, Den Haag, Belanda (2009)
17. KR Obidzinski, H. Andriani, Komarudin, dan A. Andrianto, Ekologi dan Masyarakat,17, 1
(2012)
18. S. Sinaga, Mengevaluasi Konsep Inti-Plasma: RELEASE. Gabungan Industri Minyak Nabati
Indonesia. [Online] Diperoleh dari: http://gimni.org/mengevaluasi-konsep-intiplasma/

19. BPS, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2018. Badan Pusat Statistik. Jakarta (2020)
20. D. Susilawati, J. Sri, RA Pramuja, Jurnal Ekonomi Pembangunan,17, 2 (2019)
21. Pertumbuhan AK, Penelitian Ekonomi,71, 2 (2017).
22. D. Mulok, M. Kogid, R. Asid, J. Lily. Manajemen Ekonomi35, 26 (2012)
23. A. Deaton, dan J. Dreze, Keuangan dan Pembangunan38, 16 (2021)
24. J. Bhagwati, Mingguan Ekonomi dan Politik,36, 10 (2021)
25. G. Datt, dan M. Ravallion, Jurnal Perspektif Ekonomi,16, 3 (2002)
26. S. Kuznets, Tinjauan Ekonomi Amerika,45, 1 (1995)
27. GS Fields, Pengamat Riset Bank Dunia,4, 2 (1989)
28. K. Deiningera, dan L. Squire, Jurnal Ekonomi Pembangunan,57, 2 (1998)
29. Higgins, Matthew dan Jeffrey G. Williamson,Menjelaskan Ketimpangan di Seluruh Dunia:
Ukuran Kelompok, Kurva Kuznets, dan Keterbukaan,no 7224, Makalah Kerja NBER, National
Bureau of Economic Research, Inc (1999)
30. Barro, dan J. Robert,Ketimpangan dan Pertumbuhan Ditinjau Kembali, Makalah Kerja
Integrasi Ekonomi Regional 11, Asian Development Bank (2008)
31. Martínez-Navarro, D., Amate-Fortes, dan A. Guarnido-Rueda, Econ Polit,37, 1 (2020)
32. G. Herbert, dan Grubel, Jurnal Cato, Institut Cato,18,2 (1998)
33. Anggota Parlemen Todaro, dan SC Smith,Pertumbuhan ekonomi.Edisi ke-10, Pearson
Education Limited, London (2009)
34. A.Elizabeth dan Stanton,Indeks Pembangunan Manusia: Sebuah Sejarah. Institut
Pembangunan dan Lingkungan Global. Universitas Tufts, Amerika Serikat (2017)
35. Moges, dan Abu Girma, Jurnal Pembangunan Afrika,1,1 (2013)
36. A. Fforde, Jurnal Urusan Asia Tenggara Saat Ini,35, 2 (2016).
37. T. Tambunan, Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia
Indonesia (2001)

Anda mungkin juga menyukai