Anda di halaman 1dari 11

ANALISA JURNAL BERJUDUL

“A COMPARISON OF OUTCOMES OF MANAGEMENT OF DENGUE HAEMORRHAGIC


FEVER USING MINIMAL INTERVENTION AND THE STANDARD MANAGEMENT PROTOCOL
IN PAEDIATRIC UNITS OF A SRI LANKAN TERTIARY CARE FACILITY; A RETROSPECTIVE
COMPARATIVE CROSS-SECTIONAL STUDY”

“PERBANDINGAN HASIL PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN


MENGGUNAKAN INTERVENSI MINIMAL DAN PROTOKOL PENATALAKSANAAN STANDAR
DI UNIT PEDIATRIK DI FASILITAS PERAWATAN TERSIER SRI LANKA: SEBUAH STUDI
CROSS-SECTIONAL KOMPARATIF RETROSPEKTIF”

MAYA AZRIANI

(1911102411106)

DOSEN PEMBIMBING :

NS. FATHMA ZULAIKHA., M.KEP

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
2023
REVIEW JURNAL MENGGUNAKAN STROBE

NO KOMPONEN JURNAL HASIL REVIEW


a. Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian ini
menggunakan metode quasi eksperimental dengan
pre-test dan post- test nonequivalent without control
group penilaian adanya tanda-tanda
dehidrasi,menilai fekuensi diare. ”HONEY THERAPY
TO REDUCE THE FREQUENCY OF DIARRHEA IN
CHILDREN”

b. Abstrak : Diare berdampak pada kesehatan anak, salah


satunya dehidrasi. Studi laboratorium dan uji klinis, madu
murni memiliki aktivitas bakterisida yang menyebabkan
diare. Pemberian madu bermanfaat dalam mengurangi
Judul dan Abstrak frekuensi diare pada anak. Madu memiliki sifat antibakteri,
antiinflamasi dan antivirus yang dapat mengobati diare.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas madu
untuk mengurangi frekuensi diare pada anak. Desain
penelitian ini adalah quasi-experimental pretest dan
posttest nonequivalent tanpa control group. Sampel
penelitian adalah 20 anak yang mengalami diare. Madu
diberikan 3 kali sehari sebanyak 5 ml. Hasil : Hasil
penelitian menunjukkan bahwa frekuensi diare menurun
setelah diberi madu, yang berarti ada efek pemberian madu
terhadap penurunan frekuensi diare pada anak (p<0,001).
Kesimpulan: Madu dapat digunakan sebagai terapi
alternatif untuk mengurangi frekuensi diare pada anak.
2 Pendahuluan a. Latar Belakang
Salah satu penyebab kematian pada anak balita adalah diare,
yang merupakan penyebab utama kedua kematian balita di
dunia. Virus, bakteri, dan protozoa adalah penyebab diare
(Carvajal et al., 2016). Angka kejadian diare adalah 1,7
miliar per tahun dan 760.000 anak balita meninggal akibat
diare (Sharif et.al., 2017). Diare adalah penyakit endemik dan
dapat menyebabkan kematian. Diare dapat merusak
kesehatan balita. Efek diare adalah dehidrasi,
ketidakseimbangan asam dan basa, hipoglikemia,
hipokalemia, masalah status gizi, dan masalah sirkulasi.
Proses homeostasis akan terjadi akibat dehidrasi yang
mengakibatkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
dalam tubuh. Beberapa penatalaksanaan diare adalah
mencegah terjadinya dehidrasi, pemberian Oral Rehidration
Salt, pemberian zinc, pemberian asupan makanan saat diare,
dan penanganan lainnya.
Madu mampu menghambat 60 spesies bakteri, jamur dan
virus penyebab diare (Saha, 2015). Dari penelitian
laboratorium dan uji klinis, madu murni memiliki aktivitas
bakterisida yang dapat melawan beberapa organisme
enteropatogenik, termasuk spesies Salmonella, Shigella dan
E. (Samarghandian et. Al., 2018). Madu dapat digunakan
untuk mengobati diare karena efek antibakteri dan kandungan
nutrisi yang mudah dicerna. Manfaat lain dari madu adalah
membantu dalam menggantikan cairan tubuh yang hilang
akibat diare. Pengobatan utama untuk diare adalah mengganti
cairan yang hilang untuk mencegah dehidrasi dengan
memberikan cairan rehidrasi. Mengganti gula dengan madu
dalam rehidrasi oral jauh lebih bermanfaat karena madu
mengandung fruktosa yang meningkatkan penyerapan air dan
mengurangi penyerapan garam natrium sehingga mencegah
kelebihan natrium dalam tubuh. Selain itu, fruktosa dapat
meningkatkan penyerapan garam kalium, sedangkan gula
dapat mengurangi penyerapan (Ayu, 2022). Beberapa
penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa 65% anak balita
mengalami penurunan frekuensi diare dengan diberikan
madu (Nurjanah, 2022). Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya adalah pada metode pemberian madu,
yaitu 5 ml madu tiga kali sehari dan diberikan pada anak usia
35 tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
efektivitas madu terhadap frekuensi diare pada anak-anak.
b. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui


efektivitas madu terhadap frekuensi diare pada anak-
anak
3 Metode a. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan quasi
eksperimental dengan pre-test dan post-test
nonequivalent without control group
b. Pengaturan

Penurunan frekuensi diare dengan lembar observasi alat


ukur untuk melihat perkembangan frekuensi diare dalam
24 jam, lama tinggal, dan madu diberikan dengan
meletakkan checklist pada kolom yang disediakan.
Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 3-5 tahun
yang diobati dengan diare, yaitu 20 anak. Intervensi
dilakukan dengan memberikan 5 ml madu 3 kali sehari
dan memberikannya kepada anak. Intervensi ini
dilakukan sejak anak mengalami diare hingga anak
dinyatakan sembuh. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan paired t-test
c. Peserta

usia 3-5 tahun yang diobati dengan diare, yaitu 20 anak.


d. Variabel
Variabel independen adalah pemberian madu dengan jarum
suntik pengukur. Sedangkan variabel dependen adalah
penurunan frekuensi diare dengan lembar observasi alat
ukur untuk melihat perkembangan frekuensi diare dalam 24
jam, lama tinggal, dan madu diberikan dengan meletakkan
checklist pada kolom yang disediakan
e. Data/sumber pengukuran

Dalam penelitian ini data didapatkan berdasarkan hasil


pre test dan post test.
f. Bias

Tidak terdapat dalam jurnal


g. Ukuran studi

Tidak disebutkan dalam jurnal


h. Variabel kuantitatif

Dalam penelitian ini tidak dijelaskan variabel apa namun


menurut reviewer penelitian ini menggunakan uji kausa
komparatif untuk mengetahi sebab dan akibatnya dan
juga dalam penelitian ini menggunakan pre test dan post
test nonequaivalent without control group.
i. Metode statistic

Signifikansi statistic dalam penelitian hanya dijelaskan


dengan menggunakan menggunakan paired t-test yang
menggunakan uji beda dua sampel berpasangan.
Dikarenakan model ini hanya menganalisis model
penelitian sebelum dan sesudah
4 Hasil a. Peserta

Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 3-5 tahun


yang diobati dengan diare, yaitu 20 anak
b. Deskriptif data

Penelitian ini melakukan penilaian awal sebelum


intervensi dilakukan. Penilaian adalah adanya tanda-
tanda dehidrasi pada anak-anak, menilai tingkat
dehidrasi anak dan menilai frekuensi diare. Variabel
independen adalah pemberian madu dengan jarum
suntik pengukur. Sedangkan variabel dependen adalah
penurunan frekuensi diare dengan lembar observasi alat
ukur untuk melihat perkembangan frekuensi diare dalam
24 jam, lama tinggal, dan madu diberikan dengan
meletakkan checklist pada kolom yang disediakan.
Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 3-5 tahun
yang diobati dengan diare, yaitu 20 anak. Intervensi
dilakukan dengan memberikan 5 ml madu 3 kali sehari
dan memberikannya kepada anak. Intervensi ini
dilakukan sejak anak mengalami diare hingga anak
dinyatakan sembuh. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan paired t-test.

c. Data Hasil
 Pada Uji Mann-Whitney U Test ditemukan bahwa
jumlah trombosit terendah, hematocrit tertinggi yang
tercatat dan kadar enzim hati tertinggi yang tercatat
dibandingkan antara kelompok SP dan kelompok MI
selama fase kritis pada dua kelompok (p=0,772),
namun perbedaan yang signifikan secara statistic
diamati pada AST tertinggi (p=0,004)/ALT (p=0,009)
pada dua kelompok, ketiga parameter tersebut lebih
tinggi pada kelompok sp.
 Pada Uji Mann-Whitney U juga dijelaskan bahwa
sekitar 50% (n=62) pasien dalam sampel mengalami
komplikasi penatalaksanaan, 61 di antaranya
termasuk dalam kelompok SP. Proporsi dengan
komplikasi dibandingkan antara kedua kelompok
studi
 Pada uji eksak Fisher dengan Uji Chi-Square untuk
melihat perbandingan komplikasi antara dua
kelompok penelitian didapatkan hasil bahwa ketika
mempertimbangkan kelebihan cairan, efusi pleura
bilateral terdapat pada satu pasien (4%) pada
kelompok MI dibandingkan dengan 32 pasien
(32,7%) pada kelompok SP dan perbedaan ini
signifikan secara statistik (p=0,004). Sesak napas
akibat kelebihan cairan terdeteksi pada 25 pasien
(25,5%) pada kelompok SP, dan tidak ada yang
mengalami sesak napas akibat kelebihan cairan
pada kelompok MI (p=0,005). Asites terdeteksi pada
tiga pasien (3,1%), dan edema umum terlihat pada
lima pasien (5,1%) pada kelompok SP dan tidak ada
yang mengalami asites atau edema umum pada
kelompok MI, namun, perbedaan ini tidak signifikan
secara statistik (p>0,05). Dalam menangani
kelebihan cairan, hampir 14% pasien pada kelompok
SP memerlukan furosemid intravena dibandingkan
dengan tidak ada pasien pada kelompok MI.
 Infeksi sekunder merupakan komplikasi lain yang
diamati pada kelompok SP (n=16, 16,3%) tetapi
pasien kelompok MI tidak mengalami infeksi
sekunder selama sakit, perbedaannya signifikan
secara statistik (p=0,04). Infeksi kanula (6%),
septikemia (6%) dan ISK (4%) adalah jenis-jenis
infeksi yang diamati
 Kuota cairan adalah panduan untuk terapi cairan
selama fase kritis DBD. Hal ini dihitung dengan
menambahkan 5% cairan ekstra pada terapi
pemeliharaan selama 24 jam. Pada sampel
penelitian kami, kelompok intervensi minimal hanya
membutuhkan 80% dari kuota cairan sedangkan
kelompok protokol standar membutuhkan 91% dari
kuota cairan. Perbedaan persentase kuota cairan
yang digunakan pada kedua kelompok ini signifikan
secara statistik (p<0,0001; uji Fisher's exact).
 Semua pasien dalam sampel penelitian ini sembuh
dengan atau tanpa komplikasi
Lima dari 123 pasien (5.3%) pendekatan int dirawat
di Unit Perawatan Intensif (ICU) karena syok pada
saat masuk (n=1), perdarahan (n=2), kelebihan
cairan (n-2), dan septikemia (n=1), sedangkan tidak
ada (0%) yang membutuhkan perawatan ICU pada
kelompok intervensi minimal (p<0,001). Durasi rata-
rata rawat inap pada pasien yang dikelola sesuai
protokol standar atau dengan intervensi minimal
adalah 5 hari (rentang interkuartil: 2 hari dan 2 hari).
 Pada uji chi-square untuk membandingkan hasil
akhir pasien dalam dua kelompok belajar didapatkan
hasil bahwa perkembangan kommplikasi, 61 (62%)
pasien pada kelompok SP mengalami setidaknya
satu komplikasindibandingkan dengan hanya satu
pasien (4%) pada kelompok MI dan perbedaan ini
sangat signifikan secara statistic (p<0,0001).

d. Hasil Utama
 Hasil dari penelitian ini yaitu membandingkan
perkembangan komplikasi dan hasil akhir dari pasien
demam berdarah pediatrik yang ditangani sesuai
dengan protokol manajemen standar atau dengan
intervensi minimal di fasilitas pelayanan kesehatan
tersier pada tahun 2019. Analisis didasarkan pada
data sekunder yang diekstrak dari catatan klinis
pasien-pasien tersebut. Temuan menunjukkan
bahwa pendekatan intervensi minimal sama
efektifnya dalam menangani pasien sekaligus
meminimalkan risiko komplikasi akibat
penatalaksanaan. Tidak ada terapi khusus untuk
Demam Berdarah. Manajemen cairan yang cermat
adalah andalan pengobatan pada DHF yang saat ini
diatur oleh pedoman konsesus dan bukan oleh bukti
penelitian yang kuat. Oleh karena itu, bukti ilmiah
yang mendukung penerapan pendekatan intervensi
minimal pada pasien demam berdarah tanpa
komplikasi dapat mengurangi beban. Pada uji eksak
Fisher dengan Uji Chi-Square untuk melihat
perbandingan komplikasi antara dua kelompok
penelitian didapatkan hasil bahwa ketika
mempertimbangkan kelebihan cairan, efusi pleura
bilateral terdapat pada satu pasien (4%) pada
kelompok MI dibandingkan dengan 32 pasien
(32,7%) pada kelompok SP dan perbedaan ini
signifikan secara statistik (p=0,004). Sesak napas
akibat kelebihan cairan terdeteksi pada 25 pasien
(25,5%) pada kelompok SP, dan tidak ada yang
mengalami sesak napas akibat kelebihan cairan
pada kelompok MI (p=0,005). Asites terdeteksi pada
tiga pasien (3,1%), dan edema umum terlihat pada
lima pasien (5,1%) pada kelompok SP dan tidak ada
yang mengalami asites atau edema umum pada
kelompok MI, namun, perbedaan ini tidak signifikan
secara statistik (p>0,05). Dalam menangani
kelebihan cairan, hampir 14% pasien pada kelompok
SP memerlukan furosemid intravena dibandingkan
dengan tidak ada pasien pada kelompok MI.
 Infeksi sekunder merupakan komplikasi lain yang
diamati pada kelompok SP (n=16, 16,3%) tetapi
pasien kelompok MI tidak mengalami infeksi
sekunder selama sakit, perbedaannya signifikan
secara statistik (p=0,04). Infeksi kanula (6%),
septikemia (6%) dan ISK (4%) adalah jenis-jenis
infeksi yang diamati
 Dalam hal ini terjadi karena pada kelompok SP
diberikan cairan intravena, kateterisasi urin dan
pengukuran kapiler per empat jam sekali. Beda
halnya dengan kelompok intervensi minimal yang
hanya menerima cairan oral, yang tidak dikateterisasi
dan tidak melakukan pengukuran hematokrit mikro
secara teratur.
 Sehingga secara signifikan lebih sering terjadi pada
kelompok protocol standar dibandingkan dengan
kelompok intervensi minimal.

Kesimpulannya: intervensi minimal dapat mengurangi


komplikasi pengelolaan DBD dan juga dapat mengurangi
beban system pelayanan kesehatan dan pasien.
e. Analisis lainnya
Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa Komplikasi utama
lainnya yang ditemukan pada populasi penelitian adalah
sepsis yang terlihat hanya pada kelompok SP. Dimana
factor penyebabnya ialah infeksi saluran kemih, infeksi
saluran kanula dan septicemia.
5 Diskusi a. Hasil utama
Penelitian ini mencoba untuk membandingkan
perkembangan komplikasi dan hasil akhir dari pasien
demam berdarah pediatrik yang ditangani sesuai dengan
protokol manajemen standar atau dengan intervensi
minimal di fasilitas pelayanan kesehatan tersier pada
tahun 2019. Analisis didasarkan pada data sekunder
yang diekstrak dari catatan klinis pasien-pasien tersebut.
Temuan menunjukkan bahwa pendekatan intervensi
minimal sama efektifnya dalam menangani pasien
sekaligus meminimalkan risiko komplikasi akibat
penatalaksanaan. Komplikasi seperti kelebihan cairan
dan infeksi cukup tinggi di antara kelompok protocol
standar (p<0,0001) . Kelebihan cairan tampaknya secara
langsung berkaitan dengan terapi cairan intravena.
Presentase kuota cairan yang diberikan selama fase
kritis secara signifikan lebih tinggi pada kelompok SP
yang menerima cairan intravena dibandingkan dengan
kelompok MI yang hanya mendapatkan cairan oral. Dua
anak membutuhkan perawatan ICU karena kelebihan
cairan. WHO dan pedoman nasional menekankan
pentingnya resusitasi cairan restriktif untuk
meminimalkan kelebihan cairan. Oleh karena itu dalam
penelitian ini menyarankan bahwa terapi rehidrasi oral
akan menjadi pilihan yang lebih baik pada anak-anak
dengan DBD tanpa komplikai, untuk meminimalkan risiko
kelebihan cairan.
b. Keterbatasan
Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa Tidak banyak
penelitian yang ditemukan untuk membandingkan hasil
penelitian ini. Sebuah penelitian yang dilakukan di
Taiwan pada tahun 2007 telah mengungkapkan
keuntungan hidrasi oral dibandingkan cairan intravena
pada pasien dewasa dan menyimpulkan bahwa hidrasi
oral mungkin sama efektifnya dengan penggantian
cairan intravena untuk orang dewasa dengan DBD tanpa
syok. Namun, kebutuhan cairan pada anak-anak
berbeda dengan orang dewasa, dan kesimpulan dari
penelitian ini harus ditafsirkan dengan hati-hati.
Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah tidak
disebutkannya jenis cairan oral yang digunakan,
sedangkan pada penelitian ini, cairan rehidrasi oral
digunakan sebagai terapi utama. Penelitian ini JUGA
dibatasi oleh ukuran sampel yang kecil, menjelaskan
kegagalan untuk mendeteksi perbedaan yang signifikan
secara statistik pada beberapa parameter yang
dibandingkan. Selain itu, karena penelitian ini
merupakan penelitian retrospektif, parameter klinis
pasien, yang memberikan gambaran yang lebih jelas
mengenai pasien, tidak dianalisis secara mendalam, dan
penelitian ini merupakan penelitian dengan satu pusat.
Namun demikian, dengan tidak adanya bukti ilmiah
tentang efektivitas protokol manajemen saat ini, kami
percaya bahwa penelitian ini akan menjadi langkah awal
untuk merencanakan uji klinis yang dirancang dengan
baik untuk membandingkan pendekatan intervensi
minimal dan protokol standar dalam manajemen
DBD di masa depan.
c. Interpretasi
Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa pasien dalam
kelompok penelitian selamat, namun ditemukan bahwa
pasien yang menerima cairan intravena cenderung
mengalami efusi pleura dan/atau edema paru. Tidak
banyak penelitian yang ditemukan untuk
membandingkan hasil penelitian ini. Sebuah penelitian
yang dilakukan di Taiwan pada tahun 2007 telah
mengungkapkan keuntungan hidrasi oral dibandingkan
cairan intravena pada pasien dewasa dan menyimpulkan
bahwa hidrasi oral mungkin sama efektifnya dengan
penggantian cairan intravena untuk orang dewasa
dengan DBD tanpa syok. Komplikasi utama lainnya yang
ditemukan pada populasi penelitian ini adalah sepsis,
yang juga terlihat hanya pada kelompok SP (p<0,004).
Infeksi saluran kemih, infeksi saluran kanula, dan
septikemia adalah penyebabnya. Penanganan demam
berdarah membutuhkan lebih banyak sumber daya
manusia dan fasilitas laboratorium dibandingkan dengan
penyakit yang ditularkan melalui vektor lainnya.
Pengukuran HCT yang sering membutuhkan banyak
tenaga kerja dan memakan waktu, terutama selama
epidemi. Tidak ada pasien dalam kelompok MI yang
melakukan pengukuran HCT secara teratur dalam
populasi populasi penelitian penelitian kami, yang
mengindikasikan bahwa pengukuran HCT empat jam
sekali tidak wajib dalam manajemen setiap pasien DBD.
Namun penelitian prospektif diperlukan untuk
menentukan frekuensi pengukuran HCT pada DBD.
Penelitian ini merupakan upaya pertama dalam
menganalisis hasil dari dua pilihan manajemen yang
berbeda untuk DBD pada pasien anak. Temuan dari
penelitian ini akan menjadi penting untuk pengambilan
keputusan klinis dan perumusan pedoman nasional di
masa depan. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan data yang diambil dari catatan klinis
pasien demam berdarah yang ditangani di fasilitas
pelayanan kesehatan tersier selama satu tahun.
Meskipun uji klinis merupakan desain yang ideal untuk
penelitian ini salah satu keuntungan menggunakan data
sekunder adalah bahwa kemungkinan bias informasi
karena perbedaan pelaporan atau perbedaan perawatan
yang diberikan kepada pasien sangat kecil karena data
telah dicatat. Selain itu masalah etika dalam menetapkan
intervensi tidak muncul dalam
penggunaan data sekunder.
d. Generalisabilitas
Dari hasil temuan dari penelitian ini nantinya akan
menjadi perumusan pedoman nasional di masa depan
dikarenakan penelitian ini merupakan upaya pertama
dalam menganalisis hasil dari dua pilihan manajemen
yang berbeda untuk DBD pada pasien anak.
6 Informasi lainnya a. Sumber pendanaan dan peran penyandang dana
Dalam penelitian ini tidak disampaikan terkait sumber
pendanaan
b. Lainnya
Temuan dari penelitian ini akan sangat membantu
untuk merencanakan studi kasus-kontrol prospektif
untuk mebandingkan hasil dari intervensi minimal
dengan protocol standar. Dengan demikian
komplikasi yang terkait dengan pentalaksanaan DBD
dapat dikurangi, dan data tersebut akan mebantu
untuk merevisi pedoman penatalaksaan DBD
l.34, No.1, July 2022 -

Anda mungkin juga menyukai