Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HADITS DHAIF

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ulumul Hadits


Dosen Pengampu : Jam Jam, M. Pd

Disusun Oleh : Kelompok 9

1. SODIKIN 222711010175
2. JESIKA MAHARANI 222711010291
3. ZACKY YATUL LATIFAH 222711040039
4. HAQIQI 222711010296

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM ANNUR LAMPUNG
2022
www.iainannurlampung@gmail.com
Alamat : Desa Sidoharjo, Kec. Jati Agung, Kab. Lampung Selatan
i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kami
kemampuan dalam menyelesaikan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah memberikan pengetahuan kepada pembaca
mengenai salah satu sifat hadits yaitu hadits dha’if atau hadits yang bersifat lemah.
Makalah ini pasti memiliki kekurangan didalamnya. Adapun harapan penulis agar
pembaca dapat memberikan saran dan kritiknya pada makalah ini, karena hasil tulisan penulis
tidak terlepas dari kesalahan, seperti kesalahan dalam penulisan ataupun yang lainnya. Untuk
itu penulis memohon maaf jika terjadi kesalahan dalam penulisan ataupun kesalahan lainnya,
karena penulis adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan kemampuan.

Lampung, Januari 2023


Penulis,

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB I PEDAHULUAN......................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Tujuan ................................................................................................................1
C. Manfaat ..............................................................................................................1
D. Rumusan Masalah...............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................2
A. Definisi Hadits Dha’if ........................................................................................2
B. Hukum – hukum menyampaikan Hadist Da’if...................................................3
C. Mengamalkan Hadist Dha’if...............................................................................3
D. Dimana didapatkan Hadist dha’if.......................................................................8
BAB III PENUTUP ............................................................................................................12
A. Kesimpulan.........................................................................................................12
B. Saran ..................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................13

iii
BAB I
PEDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits merupakan kitab yang berisi berita tentang sabda, sikap dan perilaku Nabi
Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat sewaktu para sahabat bersama Nabi.
Kemudian berita tersebut disampaikan kepada para sahabat yang lain yang tidak
mengetahui.
Dalam imu hadits, hadits memiliki klasifikasi yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits
dha’if. Disini penulis hanya membahas hadits dha’if yang merupakan hadits lemah
diantara hadits yang lainnya, karena hadits ini kehilangan satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dha’if juga memiliki banyak macam
ragamnya atau mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau
sedikitnya syarat-syarat hadits shohih yang tidak dipenuhinya.
Hadits dha’if memiliki klasifikasi juga seperti klasifikasi hadis dha’if berdasarkan cacat
pada keadilan dan ke-dhobit-an rawi, dan klasifikasi berdasarkan gugurnya rawi.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan definisi hadits dhaif.
2. Menguraikan klasifikasi hadits dhaif.
3. Menjelaskan macam-macam hadits dha’if berdasarkan cacat rawinya

C. Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu:
Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai hadits dha’if, klasifikasi hadits
dha’if, dan macam-macam hadits dha’if berdsarkan cacat rawinya.

D. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Jelaskan definisi hadits dha’if ?
2. Uraikan klasifikasi hadits dha’if ?
3. Apa saja macam-macam hadits dha’if berdasarkan cacat rawinya ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hadits Dha’if


Kata dha’if menurut bahasa berasal dari kata dhuifun yang berarti lemah lawan dari kata
qawiy yang berarti kuat. Sedangkan dha’if berarti hadits yang tidak memenuhi hadits
hasan. Hadits dhaif disebut juga hadits mardud (ditolak).
Kata dha’if menurut bahasa berarti ‘ajiz atau lemah sebagai lawan dari kata qawiy atau
yang kuat. Adapun lawan dari kata shahih adalah kata dha’if yang berarti saqim atau yang
sakit. Sebutan hadits dha’if secara bahasa bearti hadits yang lemah atau hadits yang kuat
( Ranuwijaya dikutip Suyitno, 2008). Menurut Suyitno (2010) mengemukakan bahwa
secara istilah ada beberapa definisi hadits dha’if yang dikemukakan oleh para ulama,
seperti :
1. Dalam hal ini Al-Nawawi mendefinisikan hadist dhaif sebagai:
1. ‫َﻣ ﺎﻟﻢﻳﻮﺟﺪﻓﻴﻪﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺼﺤﺔﻭﻻﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺤﺴﻦ‬
“ Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-
syarat hadits hasan”
Menurut Firmadani (2012) mengatakan bahwa tidak terkumpulnya sifat-sifat yang
menjadikannya dapat diterima, syarat diterima suatu hadits, antara lain:
a. Memiliki sanad hingga kepada Nabi Saw
b. Sanadnya bersambung
c. Rawinya’adil dan dhabith
d. Tidak mengandung syadz
e. Tidak ada illah

2. Sementara Ajjaj al-khatib mendefinisikan hadits dha’if sebagai berikut:


‫ﻛﻞﺣﺪﻳﺚﻟﻢﻳﺠﺘﻤﻊﻓﻴﻪﺻﻔﺎﺕﺍﻟﻘﺒﻮﻝ‬
“Segala hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”
Kemudian Nur al-Din mendefnisikan hadits dha’if sebagai berikut:

‫ﻣﺎﻓﻘﺪﺷﺮﻁﺎﻣﻦﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺤﺪﻳﺚﺍﻟﻤﻘﺒﻮﻝ‬

”Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadist maqbul”
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dha’if adalah hadits yang
kehilangan salah satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits
2
hasan. Kemudian dha‘if-an atau kelemahan suatu hadits bisa terjadi pada sanad
maupun matan. Kelemahan pada sanad bisa terjadi pada persambungan sanadnya atau
ittishal al-sanad-nya dan bisa terjadi pada kualitas te-tsiqah-anny. Sedangkan
kelemahan pada matannya bisa terjadi pada sandaran matan itu sendiri dan bisa pada
kejanggalannya atau ke-syazannya.

B. Hukum – hukum menyampaikan Hadist Da’if


Hadits dha’if termasuk banyak ragamnya dan mempunyai perbedaaan dan derajat satu
sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau hasan yang
tidak dipenuhinya. Misalnya hadits dha’if yang karena tidak bersambung sanadnya dan
tidak adil periwayatnya.
Menurut Suyitno (2008) mengatakan bahwa kelemahan atau dha’if-an pada suatu hadits
dapat terjadi diberbagai sudutnya antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:

C. Mengamalkan Hadist Dha’if


Dari segi sandaran matannya hadits terbagi tiga, yaitu: mar’fu, mauquf dan maqthu’.
Hadist dikelompokkan kedalam hadist dha’if adalah hadist yang bukan disandarkan
kepada rasullah saw (marfu’) melainkan kepada sahabat atau tabi’in (hadist mauquf dan
maqthu’) (Ranuwijaya dikutip Suyitno, 2008)..
1. Hadist Mauquf
Secara bahasa kata mauquf merupakan ism maf’ul yang berasal dari kata wakafa yang
berarti dihentikan atau diwakafkan. Secara istilah hadist mauquf berarti :

‫ﻣﺎﺭﻭﻱﻣﻦﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻲﻣﻦﻗﻮﻓﻌﻞﺍﻭﺗﻘﺮﻳﺮ‬
“Hadist yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa perkataan, perbuatan atau
karirnya, baik periwayatannya bersambung atau tidak”
Definisi lain menyebutkan:

‫ﻣﺎأﺿﻴﻒٕﺍﱃﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ‬
“Hadist yang disandarkan kepada sahabat”’.
Jadi jelasnya hadist mauquf adalah perkataan, perbuatan dan takrir sahabat.
Hadis ini disebut mauquf karena sandarannya terhenti pada sahabat bukan pada
Rasullah saw.
Ibnu Shalah membagi hadist ini menjadi dua yaitu mauquf maushul artinya hadist
yang sanad-nya bersambung sampai kepada sahabat, sedangkan mauquf ghairu
maushul artinya hadist yang sanad-nya tidak bersambung. Contoh hadist mauquf
3
adalah perkataan Ibnu Umar ra sendiri dan tidak ada petunjuk jika itu merupakan
sabda Rasul yang ia ucapkan setelah ia menceritakan bahwa Rasullah sambil
memegang bahunya dengan bersabda:

‫ﻛﻦﻓﻰﺍﻟﺪﻧﻴﺎﻛﺄﻏﺮﻳﺐﺃﻭﻋﺎﺑﺮﺳﺒﻴﻞ‬
”Jadilah kamu di dunia ini bagaikan orang asing atau orang yang lewat dijalan”
2. Hadist Maqthu’
Kata maqthu’ merupakan isim maf’ul dari kata qatha’a lawan dari washala
(menghubungkan, arti maqthu’ adalah yang diputuskan atau yang terputus, yang
dipotong atau yang terpotong, sehingga hadits maqthu’ adalah hadits yang dipotong
sandarannya hanya sampai pada tabi’in). Secara istilah pengertian hadits maqthu’
adalah:

‫ﻣﺎﺟﺎﺀﻋﻦﺗﺎﺑﻌﻰﻣﻦﻗﻮﻟﻪأﻭﻓﻌﻠﻪﻣﻮﻗﻮﻓﺎﻋﻠﻴﻪﺳﻮﺍﺀﺍﺗﺼﻞﺳﻨﺪﻩﺃﻡﻻ‬
“Ialah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi’in serta
dimauqufkan padanya. Baik sanad-nya bersambung atau tidak”.
Hadits ini disebut maqthu’ karena tidak ditemukan qarinah atau kaitan yang
menunjukkan bahwa hadits ini disandarkan kepada Nabi saw. Contohnya adalah
perkataan Haram bin Jubair yang merupakan seorang tabi’in besar:

‫ﻭﺍﺫﺍﺍﺣﺒﻪﺍﻗﺒﻞﺍﻟﻴﻪ‬,‫ﺍﻟﻤﻮﻣﻦﺍﺫﺍﻋﺮﻑﺭﺑﻪﻋﺰﻭﺟﻞﺍﺣﺒﻪ‬
“Orang mukmin itu bila telah mengenal Tuhannya ‘Azza wa Jalla, niscaya ia
mencintainya dan bila ia mencintainya Allah Menerimanya”
Sebagai ulama ada yang mengatakan hadits mauquf dan maqthu isim dengan sebutan
Atsar dan Khabar (Ranuwijaya dikutip Suyitno, 2008).

3. Ke-dha’if-an dari Segi Sanadnya yang Terputus


Menurut Suyitno (2008) mengemukakan bahwa apabila dilihat dari segi terputusnya
sanad, hadits dha’if menjadi lima macam, yakni:
a. Hadits Mursal
Kata mursal merupakan isim maf’ul dari kata arsala yang berati melepaskan (Atar
dikutip Suyitno, 2008). Secara istilah:

‫ﻫﻮﺍﻟﺬﻯﻳﺴﻘﻄﻣﻦَﺍﺧﺮﺳﻨﺪﻩﻣﻦﺑﻌﺪﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻰ‬
“Hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seorang setelah tabi’iy.
Contoh hadits yang diriwayatkan oleh al-Syafi’iy (Nur al Din Atar. Op. cit.
hal.167) :

4
‫ﺃﺧﺒﺮﻧﺎﺳﻌﻴﺪﻋﻦﺑﻦﺟﺮﻳﺞﻗﺎﻝﺃﺧﺒﺮﻧﻰﺣﻤﻴﺪﺍﻻﻋﺮﺝﻋﻦﻣﺠﺎﻫﺪأﻧﻪﻗﺎﻝﻛﺎﻥﺍﻟﻨﺒﻰﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪ‬
‫ﻟﺒﻴﻚﺍﻟﻠﻬﻢﻟﺒﻴﻚ‬:‫ﻭﺳﻠﻢﻳﻆﻬﺮﻣﻦﺍﻟﺘﻠﺒﻴﺔ‬

Dalam hadits tersebut Mujahid merupakan seorang ‘abi’in dan dan tidak pernah
berjumpa dengan Rasullah saw, serta tidak menyebutkan perantara antara dirinya
dengan Rasullah saw hingga mendapatkan hadits tersebut, sehingga hadits tersebut
disebut hadits mursal.
Hadist mursal ini masuk kedalam kategori hadits mardud, karena jenis dan sifat
perawi yang digugurkannya tersebut tidak jelas, apakah sahabat ataukah tabi’in.
b. Hadits Munqathi’
Kata munqathi’ merupakan isim fa’il dari inqatha’a lawan dari ittishal yang
artinya hadits yang terputus. Secara istilah hadis munqathi’ adalah:

‫ﺍﻟﻤﻨﻘﻂﻊﻫﻮﺍﻟﺤﺪﻳﺚﺍﻟﺪﻯﺳﻘﻄﻣﻦﺭﻭﺍﺗﻪﺭﺍﻭﺍﻭﺣﺪﻗﺒﻞﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻰﻓﻰﻣﻮﺿﻊﻭﺍﺣﺪﺍﻭﻣﻮﺍﺿﻊﻣﺘ‬
‫ﻌﺪﺩﺓﺑﺤﻴﺚﻻﺑﺰﻳﺪﺍﻟﺴﺎﻗﻄﻓﻰﻛﻞﻣﻨﻬﻤﺎﻋﻠﻰﻭﺍﺣﺪﻭﺍﻻﻳﻜﻮﻥﺍﻟﺴﺎﻗﻄﻓﻰﺍﻭﻝﺍﻟﺴﻨﺪ‬
“Hadits muqathi’ adalah hadits yang gugur salah seorang rawinya sebelum
sahabat disatu tempat atau beberapa tempat dengan catatan bahwa rawi yang
gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal
sanad”.
Definisi tersebut menjadikan hadits munqathi berbeda dengan hadist lain,
contohnya adalah :

‫ﺣﺪﺛﻨﺎﺷﺠﺎﻉﺑﻦﻣﺨﻠﺪﺛﻨﺎﻫﺴﻴﻢﺃﺧﺒﺮﻧﺎﻳﻮﻧﺲﺑﻦﻋﺒﻴﺪﻋﻦﺍﻟﺤﺴﻦﺃﻥﻋﻤﺮﺟﻤﻊﺍﻟﻨﺎﺱﻋﻠﻰﺃﺑﻲﺑﻦﻛ‬
‫ﻌﺐﻓﻜﺎﻥﻳﺼﻠﻰﻟﻬﻢﻋﺸﺮﺑﻦﻟﻴﻠﺔﻭﻻﻳﻘﻔﺖﺑﻬﻢﺇﻻﰱﺍﻟﻨﺼﻒﺍﻟﺒﺎﻗﻰ‬....
Hadits tersebut munqathi’ karena Hasan Bashri dilahirkan pada tahun 21 H
sedangkan Umar Bin Khattab wafat tahun 23 H atau pada awal muharam tahun 23
H, sehingga tidak mungkin Hasan Bashri mendengar dari Umar Bin Khattab
(Rahman dikutip Suyitno, 2008).
c. Hadits Mu’dhal
Kata mu’dhal merupakan isim maf’ul dari fi’il a’dhala yang artinya memayahkan
atau memberatkan atau tempat melemahkan. Secara istilah hadits mu’dhal adalah:

‫ﻣﺎﺳﻘﻄﻣﻦﺭﻭﺍﺗﻪﺍﺛﻨﺎﻥﺃﻭﺍﻛﺜﺮﻋﻠﻲﺍﻟﺘﻮﺍﻟﻰﺳﻮﺍﺀﺳﻘﻄﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻰﻭﻟﺘﺎﺑﻌﻰﺃﻭﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻰﻭﺗﺎﺑﻌﻪﺃﻭﺛﻨﺎﻥﻗﺒﻠﻬﻤﺎ‬

5
“Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang rawi atau lebih, baik bersama
sahabat tabi’in, tabi’in bersama tabi’it tabi’in, maupun dua orang sebelum
sahabat dan tabi’in.
Definisi tersebut memberikan pemahaman tentang hadits mu’dhal adalah hadits
yang gugur dua orang rawi atau lebih dari awal sanad-nya. Contohnya hadits
mu’dhal adalah hadits yang diriwayatkan al-Syafi’I :

‫ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ)ﺃﺧﺒﺮﻧﺎﺳﻌﻴﺪﺑﻦﺳﺎﻟﻢﻋﻦﺍﺑﻦﺟﺮﺍﻥﺭﺳﻮﻝﺍﷲﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢﻛﺎﻥﺇﺫﺍﺭﺃﻯﺍﻟﺒﻴﺖﺭﻓﻊﻳ‬
‫)ﺪﻳﻪ‬

Dalam hadits tersebut antara Ibnu Juraij dengan Rasullah sal ada dua perantara,
yaitu tabi’in dan shabat. Karena tabi’in dan sahabat tidak disebut dalam sanad
hadits tersebut maka riwayat hadits tersebut disebut mu’dhal. Hadis mudallas ini
dihukum lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah (Rahman dikutip Suyitno, 2008)..
d. Hadits Mudallas
Kata Mudallas merupakan isim maf’ul dari kata tadlis yang berarti gelap. Hadits
ini dinamakan demikian dikarnakan mengandung kesamaran dan ketutupan.
Secara istilah hadits mudallas adalah:

‫ﻣﺎﺭﻭﻯﻋﻠﻰﻭﺟﻪﻳﻮﻫﻢﺃﻧﻪﻻﻋﻴﺐﻓﻴ‬

“Hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itum
tidak ternoda” (Rahman dikutip Suyitno, 2008).
Menurut Ibid dikuti Suyitno (2008) mengatakan bahwa hadits mudallas terbagi
menjadi tiga yaitu Pertama, mudallas isnad yaitu hadits yang disampaikan oleh
seorang rawi dari orang yang sezaman dengannya dan ia bertemu dengan orang
tersebut, tetapi ia tidak mendengar hadits yang diriwayatkan itu darinya atau orang
yang semasa dengannya tetapi ia seolah-olah mendengar darinya.
Kedua, mudallas syuyukh yaitu hadits yang diriwayatkan seorang rawi dari
gurunya dengan menyebut nama kuniyahnya, mana keturunannya atau mensifati
gurunya dengan sifat-sifat yang tidak atau belum dikenal orang banyak.
Ketiga, mudallas taswiyah yaitu bila seorang rawi meriwayatkan dari perawinya
yang tsiqah yang oleh guru tersebut diterima oleh guru yang lemah dan guru yang
lemah ini menerima dari guru yang tsiqah tapi si mudalis meriwayatkan tanpa
menyebut nama rawi yang lemah bahkan ia meriwayatkan dengan lafaz yang
mengandung pengertian bahwa semua perawinya tsiqah.
6
e. Hadits Mu’allaq
Kata mu’allaq merupakan isim maf’ul dari fi’il ‘allaqa yang berhati
menghubungkan, menguatkan dan menjadikannya sebagai sesuatu yang tergantung
atau digantungkan. Hadits ini dikatakan mu’allaq karena sanadnya hanya ittishal
dengan bagian atas, namun terputus dengan bagian bawah (Jumantoro dikutip
Suyitno, 2008). Sedangkan menurut istilah hadits mu’allaq adalah hadits yang
gugur rawinya, seorang atau lebih dari awal sanadnya (Rahman dikutip
Suyitno,2008).
Menurut Jumantoro dikutip Suyitno (2008) mengatakan bahwa ada beberapa
pendapat ulama tentang hokum hadits mu’allaq, yaitu:
1) Hadits mu’allaq pada prinsipnya dikelompokkan kepada hadits dha’if
(mardud) disebabkan karena sanad yang digugurkan itu tidak diketahui sifat-
sifat dan keadaan-keadaanya secra menyakini baik mengenai ke’adilannya
maupun kedhabitannya, kecuali yang digugurkan itu adalah seorang sahabat
yang sudah terkenal ke’adilannya.
2) Hadits mu’allaq bisa dianggap shahih bila sanad yang digugurkan ini
disebutkan oleh hadits lain yang shahih.
4. Kedha’ifan dari Sudut Kecacatan Rawinya
Dari segi kecacatan rawinya dan mereka berpendapat bahwa hadits dha’if terbagi
menjadi ada 12 macam. Sebaliknya ulama yang tidak menganggap hadits maudhu’
bagian dari hadits tidak memasukannya kebagian dari hadits dha’if dan berpendapat
hadits dha’if ada 11 macam, yakni:
a. Hadits matruk
b. Hadits munkar dan ma’ruf
c. Hadits mu’alal
d. Hadits mudraj
e. Hadits maqlub
f. Hadits mudltharib
g. Hadits muharraf
h. Hadits mushahaf
i. Hadits mubham, majhul, dan mastur
j. Hadits syadz dan makhfudh
k. Hadits mukhtalith

7
D. Dimana didapatkan Hadist dha’if
Menurut Suyitno (2008) mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan kedho’if-an dari sudut kecacatan rawinya, hal ini disebabakannya ada yang
menyatakannya hadits maudhu’ sebagai bagian dari hadits dan ada yang tidak
memasukkan hadits maudhu’ sebagai bagian dari hadits menyatakan hadits maudhu’
sebagai hadits dha’if dari segi kecacatan rawinya dan mereka berpendapat bahwa hadits
dho’if terbagi menjadi 12 macam. Sebaliknya ulama yang tidak mengganggap hadits
maudhu’ bagaian dari hadits tidak memasukkannya kebagian dari hadits dho’if dan
berpendapat hadits dho’if ada 11 macam , yakni :
1. Hadits matruk, yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatannya, yang
diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam ilmu haditsatau Nampak
kefasikannya baik pada perkataannya maupun perbuatannya atau orang yang banyak
lupa dan banyak ragu. Perawi yang meriwayatkan hadits ini disebut matruk al-hadits
(orang yang ditinggalkan hadits). Para muhaditsin memandang hadits matruk adalah
hadits yang sangat lemah setelah hadits maudhu’ (Shalih dikutip Suyitno, 2008).
2. Hadits munkar dan ma’ruf. Hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh
orang yang banyak kesalahannya dan banyak kelengahannya atau jelas kefasikannya
yang bertentangan dengan periwayatan orang yang terpercaya (Shalih dikutip
Suyitno, 2008). Lawan dari hadits munkar adalah hadits ma’ruf yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (Rahman dikutip Suyitno, 2008).
3. Hadits mu’alal, yaitu hadits yang pada lahiriahnya tidak ada cacat, namun setelah
diadakan penelitian dan penyelidikan terdapat ‘illat baik pada sanadnya atau
matannya.
4. Hadits mudraj, yaitu hadits yang disadur dengan sesuatu yang buka hadits atas
perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits. Saduran ini dapat terjadi pada sanad
ataupun pada matan, saduran pada matan dapat terjadi diawal, ditengah maupun
diakhir. Contoh saduran dalam sanad adalah seorang rawi memasukkan hadits lain
kedalam hadits yang diriwayatkan yang berbeda sanadnya atau dengan menyisipkan
oran ain yang bukan rawi sebenarnya.
5. Hadits maqlub, yaitu hadits mukhalafah (menyalahi hadits lain) baik disebabkan
karena mendahulukan atau mengakhirkan. Tukar menukar kalimat pada matan hadits
baik disebabkan karena mendahulukannya pada tempat lain dan ini adakalanya terjadi
pada matan hadits dan adakalanya pada sanad hadits.
6. Hadits mudltharib, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan beberapa
jalan yang berbeda yang tidak mungkin dikumpulkan atau ditarjih.
8
7. Hadits muharraf, yaitu hadits yang mukhalafahnya (bersalahannya dengan hadits
riwayat orang lain), terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih
tetapnya bentuk tulisan. Yang dimaksud syakal disini adalah tanda hidup (harakat)
dan tanda mati.
8. Hadits mushahaf, yaitu hadits yang mukhalafahnya terjadi pada titik kata sedangkan
bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits mushahaf ini terbagi dua, yakni mushahaf fi
al-matan dan mushahaf bi al-sanad (Rahman dikutip Suyitno, 2008).
9. Hadits mubham, majhul dan mastur. Hadits mubham adalah hadits yang dlam sanad
atau matannya terdapat seorang rawi yang tidak jelas apakah ia laki-laki ataukah
perempuan. Ke-ibham-an dalam hadits ini terjadi karena tidak disebutkan nama
rawinya atau disebutkan namun tidak dijelaskan siapa yang sebenarnya yang
dimaksud dengan nama itu.
10. Hadits syadz dan makhfudh, hadits syadz yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang
yang maqbul (tsiqah) yang menyalahi riwayat orang yang lebih rajin karena
mempunyai kelebihan kedhabitan atau banyaknya sanad atau lainnya dari segi
pentarjihan.
11. Hadits mukhtalith, yaitu haidts yang rawinya buruk hafalannya disebabkan sudah
lanjut usia, tertimpa bahaya, atau terbakar/hilang kitab-kitabnya. Yang dimaksud
buruk hafalannya adalah salahnya lebih banyak dari pada betulnya, hafalan tidak
lebih banyak daripada lupanya.
Menurut Asrukin (2007) mengatakan bahwa adapun macam-macam hadits dhoif
berdasarkan kecacatan perawinya:
1. Hadits Maudhu’, adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu
mereka katakana bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu disengaja maupun
tidak.
2. Hadits Matruk, adalah haditst yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan
oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
3. Hadits Munkar, adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan
oleh orang yang banyak kesalahannnya, banyak kelengahannya atau jelas
kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Sedangkan menurut Muvarok dkk (2010)
mengatakan bahwa hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
lemah yang berlawanan dengan riwayat perawi yang kuat dan terpercaya (tsiqoh).
4. Hadits Mu’allal (Ma’lul, Mu’all), adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah
diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi

9
karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung,
padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
5. Hadits Mudraj (saduran), adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan
hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits. Menurut Muvarok dkk
(2008) mengemukakan bahwa hadits mudraj adalah hadits yang didalamnya berisi
tambahan-tambahan, baik pada mantan atau pada sanad, karena diduga bahwa sanad
tambahan tersebut termasuk bagian hadits tersebut.
6. Hadits Maqlub, adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain),
disebabkan mendahului atau mengakhirkan. Menurut Muvarok dkk(2008) mengatakan
bahwa hadits maqlub adalah hadits yang terbalik lafadznya pada matan, nama
seseorang atau nasbnya dalam sanad. Maka perawi mendahulukan apa yang
seharusnya diakhirkan, dan sebaliknya, serta meletakkan sesuatu di tempat sesuatu
yang lain. Pembalikan tersebut bisa terjadi pada matan ataupun pada sanad hadits.
7. Hadits Mudhtharrib, adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain
terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada
yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan). Hadits mudhthorib adalah hadits yang
diriwayatkan melalui beberapa jalur yang sanad atau matannya saling berbeda, baik
satu atau beberapa periwayat. Pertentangan tersebut tidak dapat disatuka atau salah
satu dikalahkan (Muvarok dkk, 2008)
Menurut Muvarok dkk (2010) mengatakan bahwa para ulama ahli hadits membolehkan
untuk meriwayatkan hadits dho’if selama :
1. Hadits tersebut tidak berkaitan dengan permasalahan aqidah/ keyakinan.
2. Hadits tersebut bukan berkaitan dengan penjelasan terhadap hukum syariat, yaitu
penjelasan tentang hukum halal dan haram.
Menurut Muvarok dkk (2010) mengatakan bahwa adapun hukum mengamalkan hadits
dha’if, para ulama berselisih pendapat tentang boleh tidaknya mengamalkan hadits dha’if,
ulama yang membolehkan mengamalkan hadits dho’if menyatakan bolehnya
mengamalkan hadits dha’if hanya di dalam masalah fadhoilul a’mal (keutamaan amal)
dengan syarat-syarat :
1. Hadits dha’if tersebut tidak terlalu berat kedho’ifannya.
2. Hadits tersebut termasuk ke dalam prinsip umum yang telah ditetapkan oleh Al-
Qur’an dan hadits yang shahih.
3. Hadits itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.

10
Ulama yang lainnya menyatakan tidak boleh sama sekali untuk mengamalkan hadits-
hadits dha’if, karena telah tercukupi oleh hadits-hadits yang shahih maupun hasan
(Muvarok dkk, 2010). Beberapa contoh hadits dha’if yaitu:

‫ِﺍْﻋ َﻤ ْﻞ ِﻟُﺪ ْﻧَﻴﺎَﻙ َﺗِﻌ ْﻴُﺶ َﺍَﺑًﺪﺍَﻭ آْﻋ َﻤ ْﻞ ﹺٰﻻ ِﺧَﺮِﺗَﻚ َﻛ َﺎﻧﱠَﻚ َﺗُﻤ ْﻮ ُﺕ َﻏًﺪﺍ‬
“Beramallah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan beramallah
untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok.”
Menurut Al-Albani (1995) mengemukakan bahwa riwayat ini sangat mahsyur dan hamper
setiap orang mengutipnya, tetapi sanadnya tidak ada yang marfu’. Bahkan Syekh Abdul
Karim al-Amri tidak mencantumkannya dalam kitabnya al-jaddul-Hatsits fi Bayani ma
laysa bi Hadits.
Sumber sanad yang mauquf (pada shabat) yaitu diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibi dalam
kitab Ghairibul-Hadits I/ 46, dengan matan “Ihrits lidunyaaka….” Dan seterusnya. Dan
terdapat juga dalam riwayat Ibnu Mubarak pada kitab az-Zuhud II/28 dengan sanad lain
yang juga mauquf dan munqathi’ (tidak bersambung). Ringkasan, riwayat hadits tersebut
dho’if karena daya dua permasalahan dalam sanadnya. Pertama, majhulnya (asingnya)
maula (budak/pengikut) Umar bin Abdul Aziz sebagai salah satu perawi sanadnya. Kedua,
dho’if pencacat bagi Laits yang bernama Abdullah bin Shaleh, yang juga merupakan
perawi sanad dalam riwayat ini (Al-Albani, 1995).

‫ِاَن الَنِبَي َﺻ َﻠﯽهللاﹸَﻋ َﻠْﻴِﻪ َﻭ َﺳ ﻠﱠْﻢ َتَو َض َأ َو َم َسَح َعلَى اْلَج ْو َر َبْيِن‬
Artinya: “Bahwasanya Nabi SAW wudhu dan beliau mengudap kedua kaos kakinya”.
Menurut Wardah (2013) mengatakan bahwa hadits tersebut dikatakan dhaif karena
diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi. Seorang perawi yang masih dipersoalkan

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat bias diterima sebagai
hadits shahih dan hadits hasan. Sebab kedha’ifan hadits karena tiga hal yaitu, dha’if dari
sudut sandaran matannya, dari segi sanadnya yang terputus, dan dari sudut kecacatan
rawinya. Hadits dha’if termasuk banyak ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu
sama lain, disebabkan banyak sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau hasan.

B. Saran
Dari hasil pembuatan makalah ini, pembaca dapat memahami yang disampaikan leh
penulis, dan tidak salah lagi membedakan antara hadits shahih, hadits hasan, dan hadits
dha’if.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al-albani, Muhammad Nashiruddin. 1995. Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’. Jakarta:
Gema Insani Press.
Asrukin, Muhammad. 2013. Hadits.
http://www.library.um.ac.id/image/pustakawan/pdfasrukin/Hadits-Sebuah Tinjauan-
Pustaka.pdf. Diakses pada tanggal 29 desember 2014
Muvarok, M. Mufti dan Muhammad Muttaqien dkk. 2010. Satu Jam Mahir
Hadits. Surabaya: Quantum Media PT Java Pustaka Media Utama.
Suyitno. 2008. Studi Ilmu-ilmu Hadits. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
Wardah. 2013. Hadits Dhoif. Http://www.wardah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 29
september 2014.
Firmadani. 2012. Pengertian Hadits Dha’if dan Pembagiannya.
http://Firmadani.blogspot.com. Diakses pada tanggal 30 September 2014.

13

Anda mungkin juga menyukai