Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HERPES GESTATIONIS PADA KEHAMILAN

Untuk memenuhi tugas

MATA KULIAH ASUHAN KEBIDANAN KOMPLEKS

Kelompok 3
1. Annisa Indriati Fauzy
2. Nurullita Ulfa Yulianie
3. Nurillah ismi
4. Aliska septiani
5. Novitasari
6. Herty Mustika Waty (FB22015)
7. Erlina Istiqomah (FB22012)
8. Mayang Septiningtias (FB22023)

PRODI S1 KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RAJAWALI

2023
I. PENDAHULUAN
Herpes gestationis atau disebut juga pemphigoid gestationis merupakan penyakit
autoimun yang ditandai oleh erupsi bulosa yang terjadi selama kehamilan atau setelah
melahirkan. Herpes gestationis dapat terjadi pada kehamilan berikutnya dan dapat
mengalami eksaserbasi dengan penggunaan obat yang mengandung estrogen atau
progesteron, misalnya pil kontrasepsi
Herpes gestationis merupakan penyakit yang jarang terjadi dengan angka
kejadian 1 dalam 10.000 sampai 1 dalam 60.000 kehamilan. Pada studi retrospektif antara
tahun 1994 sampai 2004 terhadap 505 pasien hamil pada dua rumah sakit berbasis
pendidikan dermatotologi dengan keluhan pada kulit, sekitar 4,2% didiagnosis sebagai
herpes gestationis. Gambaran klinis dan perjalanan penyakit herpes gestationis bervariasi.
Sebagian besar kasus mengalami remisi pada beberapa minggu setelah melahirkan.
Diagnosis herpes gestationis didapatkan melalui anamnesis dengan adanya gejala
awal berupa lesi urtika yang terasa gatal di daerah abdomen sekitar umbilikus, dapat
menyebar ke seluruh abdomen, trunkus anterior dan posterior, ekstremitas, palmar dan
plantar. Dari pemeriksaan dermatologikus ditemukan lesi yang bervariasi mulai dari
eritema, papul sampai plak urtikaria, vesikel atau bula, erosi, dan krusta. Temuan
histopatologi dan temuan imunofluoresensi dapat menegakkan diagnosis herpes
gestationis.
Pada referat ini akan dibahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis penyakit herpes
gestationis. Dengan demikian diharapkan referat ini dapat membantu para mahasiswa
kebidanan mendapatkan informasi mengenai penyakit herpes gestationis.
II. PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Herpes gestationis atau disebut juga pemphigoid gestationis merupakan
penyakit yang jarang ditemukan, dikarakteristikkan sebagai penyakit dermatitis pada
kehamilan. Herpes gestationis adalah penyakit bulosa autoimun yang terjadi selama
kehamilan atau setelah melahirkan. Penulis lain mendefinisikan herpes gestationis
sebagai penyakit yang ditandai oleh erupsi bulosa pruritus yang berhubungan dengan
kehamilan atau tumor trofoblastik, mola hidatidosa dan koriokarsinoma. Penyakit ini
merupakan proses autoimun yang ditandai dengan terdapatnya komplek komplemen-
antibodi IgG di dalam serum dan tidak berhubungan dengan infeksi virus.

2. EPIDEMIOLOGI
Herpes gestationis merupakan penyakit yang jarang terjadi dengan angka
kejadian 1 dalam 10.000 sampai 1 dalam 60.000 kehamilan. Sumber lain
menyebutkan angka kejadian herpes gestationis sekitar 1 dalam 50 000 kehamilan.
Insiden penyakit ini pada populasi Eropa Barat sekitar 0,5 per juta populasi. Terjadi
pada warga Afro-Caribbeans, tetapi sangat jarang di kawasan timur. Pada studi
retrospektif antara tahun 1994 sampai 2004 terhadap 505 pasien hamil pada dua
rumah sakit berbasis pendidikan dermatotologi dengan keluhan pada kulit, sekitar
4,2% didiagnosis sebagai herpes gestationis. Umumnya onset sering terjadi antara
bulan ke-4 dan ke-7 kehamilan tetapi juga dilaporkan pada trimester pertama dan
periode post partum. Herpes gestationis dapat terjadi ataupun tidak pada kehamilan
berikutnya dan dapat terjadi eksaserbasi pada periode post partum, penggunaan obat
yang mengandung estrogen atau progesteron, misalnya pil kontrasepsi.

3. ETIOLOGI
Herpes gestationis merupakan penyakit autoimun, yang dimediasi oleh
antibodi. Herpes gestationis disebabkan oleh adanya autoantibodi terhadap membran
basalis kulit yang dicetuskan oleh deposit C3 pada dermal-epidermal junction.
Hampir semua pasien herpes gestationis menunjukkan adanya antibodi pada BP180
(kolagen tipe XVII), sebuah protein transmembran dengan ujung N-terminal dalam
komponen intraseluler hemidesmosom dan ujung C-terminal dalam ekstraseluler.
Apa yang menginisiasi terbentuknya autoantibodi sampai saat ini masih belum jelas,
tetapi penyebab herpes gestationis yang terjadi pada kehamilan merupakan akibat
imunogenetik dan reaktivitas silang potensial antara jaringan plasenta dan kulit. Pada
studi imunogenetik menyatakan adanya peningkatan antigen HLA DR3 atau DR4,
sekitar 50% pasien mempunyai kedua antigen tersebut. Secara esensial, 100% wanita
dengan riwayat herpes gestationis menunjukkan adanya antibodi antiHLA. Hal ini
disebabkan oleh variasi dari antigen HLA pada plasenta, dimana umumnya terkait
paternal, penemuan antibodi anti HLA meningkat frekuensinya selama kehamilan.
Autoantibodi pada herpes gestasional terikat pada membran basalis amnion,
struktur yang didapat dari jaringan ektoderm fetus dan secara antigen mirip dengan
kulit. Wanita dengan herpes gestasional juga menunjukkan peningkatan MHC II
dalam stroma vili korion. Ekspresi MHC II dalam plasenta menginisiasi respon
alogenik pada area membran basalis plasenta, kemudian terjadi reaksi silang dengan
kulit.
Beberapa penelitian mendokumentasikan peningkatan frekuensi allel HLk'-
DR3, DR4, dan C4 null pada pasien dengan herpes gestationis. Seorang wanita dapat
mempunyai antibodi langsung terhadap antigen HLA suaminya. Wanita kulit hitam
jarang mengalami herpes gestationis, hal ini kemungkinan berhubungan dengan
rendahnya kadar HLA-DR4 pada orang kulit hitam Amerika.
Penyakit ini dapat muncul pada jaringan derivat paternal, jaringan fetus, dan
mola hidatidosa atau koriokarsinoma, kemudian jaringan tersebut mengekspresikan
antigen HLA dari ayah. Ketidakcocokan HLA antara ibu dan fetus akan menstimulasi
respon imun berupa reaksi silang dengan kulit ibu. Terdapat bukti klinis insufisiensi
plasenta, dan temuan imunohistokimia di plasenta, serta dipengaruhi oleh ibu dengan
titer antibodi yang tinggi terhadap antigen HLA kelas 1.
Pasien dengan herpes gestationis kronis cenderung terjadi pada wanita yang
berusia lebih tua dan multigravida, dengan riwayat herpes gestationis pada kehamilan
sebelumnya. Herpes gestationis dapat berhubungan dengan penyakit autoimun lain.
Pada penelitian akhir-akhir ini, sekitar 14% berhubungan dengan penyakit Graves,
hipotiroid, vitiligo, alopesia areata, dan trombositopenia autoimun. Terdapat
peningkatan jumlah penyakit Graves pada pasien dengan herpes gestationis.

4. PATOGENESIS
Faktor hormonal memiliki peranan dalam terjadinya manifestasi penyakit ini.
Selain terjadi pada wanita hamil, wanita yang sedang menstruasi, dan yang sedang
menggunakan kontrasepsi oral, penyakit ini juga dapat berhubungan dengan penyakit
mola hidatidosa dan koriokarsinoma. Antibodi IgG terikat pada lamina lucida dan
komplemen. Ikatan antigen-antibodi pada membran basalis disertai aktivasi
komplemen memicu kemotaksis eosinofil pada lokasi kompleks antigen antibodi di
membran basalis. Aktivasi eosinofil, neutrofil, dan sel T dengan predominan fenotif
Th2 terlibat dalam proses pembentukan bula. Degranulasi eosinofil dan kerusakan
dermal-epidermal junction memulai terbentuknya formasi vesikobulosa. Peristiwa
imunologi yang menstimulasi respon imun ini masih belum diketahui.
Antibodi yang berperan pada penyakit herpes gestationis terdapat di regio C-
terminal BP180. Regio ini juga merupakan lokasi target pada pasien dengan sikatrik
pemphigoid dan beberapa BP lain. Autoantibodi ini langsung mengenai antigen target
pada hemidesmosom yang sama. Reaksi autoantibodi dengan membran basalis
amnion plasenta dimulai dari trimester kedua dan ditemukan pada kulit dan sumsum
tulang fetus. Autoantibodi yang terlibat adalah antibodi IgG1 dan IgG3. Dilaporkan
satu kasus dengan antibodi IgA.

5. GEJALA KLINIK
Herpes gestationis terjadi pada akhir kehamilan, ditandai dengan onset yang tiba-
tiba berupa lesi urtika yang sangat gatal. Sekitar 50% pasien mengaku lesi pertama
kali muncul di abdomen, berdekatan dengan umbilikus. Sedangkan pada pasien lain
distribusi lokasi tidak khas, yaitu pada ekstremitas, palmar atau plantar. Lesi secara
cepat menyebar ke seluruh tubuh, pemphigoid –like eruption, menyebar di muka,
membran mukosa, palmar dan plantar (walaupun lokasi lain dapat terlibat). Onset
timbulnya vesikel dapat terjadi dalam beberapa jam persalinan. Sedangkan pada
seperempat pasien lesi dimulai selama periode post partum. Sepuluh persen neonatus
dapat mengalami gejala serupa, tetapi umumnya ringan dan dapat sembuh sendiri.
Lesi khas pada herpes gestationis berupa urtika atau plak yang secara cepat
berkembang menjadi mixed dermatitis, termasuk pembentukan massa yang tegang,
phempigoid-like blister. Vesikel dapat timbul pada plak urtika atau pada kulit yang
tampak normal. Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy (PUPPP) dapat
menunjukkan mikrovesikulasi, tapi tidak jelas, berupa vesikel sub epidermal.
Onset penyakit ini sering terjadi pada trimester kedua, dengan plak urtika dan
papul yang muncul di sekitar umbilikus dan ekstremitas. Pada awal perjalanan
penyakitnya, lesi kulit terdiri dari papula “urticated”, plakat, lesi target dan bercak
annulus, yang terasa gatal. Selanjutnya, akan muncul vesikel dan bula. Infiltrat plak
eritema, vesikel dan bula sering berukuran annular atau membentuk konfigurasi
polisiklik. Seiring dengan perkembangan penyakit, lesi dapat menyebar ke seluruh
abdomen, punggung, dada, dan ekstremitas, termasuk palmar dan plantar.
Keterlibatan area muka, scalp dan mukosa oral relatif jarang. Penyakit ini sering
timbul segera setelah melahirkan dan kemudian mengalami remisi spontan dalam 3
bulan. Tidak terdapat skar, kecuali disebabkan oleh eskoriasis atau infeksi sekunder.
Biasanya terjadi rekurensi pada kehamilan selanjutnya, dan dapat diprovokasi oleh
periode menstruasi atau kontrasepsi oral.
Sejumlah kasus dengan penyakit yang persisten telah dilaporkan. Sebagian
besar penelitian menyatakan tidak terdapat peningkatan angka kematian fetus secara
statistik, walaupun sejumlah bayi baru lahir sering lahir prematur dan berat badan
lahir tidak sesuai usia gestasi. Sekitar 5% kasus, terdapat manifestasi lesi urtika atau
bula pada neonatus. Neonatal herpes gestationis mungkin terjadi pada 3% dari
kehamilan, dengan uji immunofluoresensi positif pada neonatus, didapat dari transfer
antibodi melalui plasenta. Lesi biasanya terbatas dan sembuh spontan tanpa
memerlukan terapi khusus.
Herpes gestationis dimulai pada usia gestasi 4 sampai 5 minggu, dengan
mayoritas terjadi pada trimester kedua dan ketiga. Hampir setengah dari kasus
berkembang pada kehamian pertama. Ada risiko tinggi kekambuhan pada kehamilan
berikutnya, gejala mungkin akan timbul lebih awal dan lebih berat. Pada sebagian
besar kasus, penyakit ini relatif tenang pada akhir kehamilan, dan muncul lebih berat
segera setelah melahirkan. Biasanya penyakit ini berlangsung beberapa minggu
sampai beberapa bulan, rerata adalah 6 bulan, tapi kadang-kadang dapat berlanjut
selama beberapa tahun. Kemungkinan menetapnya penyakit ini berhubungan dengan
usia yang lebih tua, multiparitas dan keterlibatan mukosa.

6. DIAGNOSIS
Dari anamnesis didapatkan keluhan pada kulit berupa erupsi yang sangat
gatal, sering terjadi pada primigravida. Pada pemeriksaan status dermatologikus,
ditemukan erupsi papulovesikular. Lesi bervariasi mulai dari eritema, papul sampai
plak urtika, bula, erosi, dan krusta. Distribusi lesi umumnya pada abdomen, sisi
lateral trunkus, namun dapat juga melibatkan area lain seperti palmar, plantar, dada,
punggung dan muka.
Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan vesikel sub epidermal dengan
infiltral perivaskular limfosit dan eosinofil. Pemeriksaan imunopatologi
menggunakan ELISA dapat mengkonfirmasi adanya deposit autoantibodi IgG pada
area membran basalis. Terdapat deposit yang homogen berbentuk linier C3 sepanjang
membran basalis pada lesi urtika dan peribulosa serta perilesi pada kulit yang terlihat
normal. Deposit IgG pada 30%-40% pasien merupakan deposit IgG, sedangkan IgA
dan IgM jarang ditemukan. Temuan imunofluoresensi tetap bertahan selama beberapa
bulan sampai setahun setelah lesi menghilang. Penemuan terbaru menunjukkan
sensitifitas dan spesifisitas tinggi uji BP180 ELISA dalam mendiagnosis herpes
gestationis.

7. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama yang dapat dipertimbangkan adalah pruritic urticarial
papules and plaques of pregnancy (PUPPP). Diagnosis banding lainnya termasuk
eritema multiforme, reaksi obat, dermatitis kontak iritan, dermatitis herpetiformis,
bulous pemphigoid, dan skabies bulosa. Biopsi, temuan imunofluoresensi dan temuan
klinis menentukan diagnosis.

8. PENATALAKSANAAN
Pada kasus ringan, pengobatan dengan steroid topikal yang poten dapat berhasil,
sekitar 20% pada studi retrospektif baru-baru ini. Pengobatan topikal sering
dikombinasikan dengan antihistamin sistemik. Pada saat timbul lesi vesikobulosa,
diperlukan terapi dengan steroid sistemik. Penyakit derajat moderate respon terhadap
Prednison 20–30 mg/hari, sedangkan penyakit yang lebih berat memerlukan dosis
prednison 40–80 mg/hari. Prednison di-tappering off sampai dosis “maintenance”
terendah. Oleh karena sering terjadi eksaserbasi post partum, dibenarkan untuk
meningkatkan dosis kortikosteroid sementara. Plasmapheresis dapat dipertimbangkan
pada sebagian besar kasus yang berat. Penggunaan dapson masih belum jelas
disamping obat ini dapat menyebabkan penyakit hemolisis pada neonatus. Piridoksin
dilaporkan efektif pada beberapa kasus
Pengobatan post partum dapat bermasalah pada ibu menyusui, sebab obat-
obatan yang diminum oleh ibu dapat melalui air susu ibu. Antihistamin dapat
menyebabkan rasa kantuk pada bayi, steroid dosis tinggi (Prednisolon lebih dari 40
mg/hari) dapat menyebabkan supresi kelenjar adrenal, dan dapson dapat
menyebabkan hemolisis. Kondisi ini harus dikonsultasikan dengan dokter anak. Pada
wanita yang tidak menyusui, dilaporkan keberhasilan penggunaan terapi tetrasiklin
dan penggunaan terapi nikotinamid. Pengobatan dengan imunosupresan dan
imunomodulator seperti immunoglobulin intravena juga dapat digunakan. Beberapa
kasus yang berat membutuhkan pengobatan dengan siklofosfamid, dapson,
metotreksat, IVIG atau plasmaparesis. Neonatus dengan ibu yang menerima
pengobatan dosis tinggi prednison harus dilakukan pemeriksaan secara hati hati oleh
neonatologis terhadap terjadinya insufisiensi adrenal. Lesi serupa pada kulit neonatus
bersifat sementara dan tidak memerlukan terapi.

9. PROGNOSIS
Gejala klinik dan perjalanan penyakit herpes gestasional sangat bervariasi.
Banyak pasien yang mengalami resolusi spontan pada akhir usia gestasi kehamilan,
hanya beberapa yang dapat kambuh saat melahirkan. Beberapa pasien timbul lesi
urtika pada kehamilan pertama, sedangkan lesi vesikel atau bula baru muncul pada
kehamian berikutnya. Beberapa pasien lain mengalami penyakit ini pada kehamilan
pertama dan tidak muncul kembali pada kehamilan berikutnya. Frekuensi ”skip
pregnancy” sekitar 5-10%. Biasanya terjadi kekambuhan saat menstruasi, sekitar
25% pasien mengalami kekambuhan setelah menggunakan kontrasepsi oral. Pada
studi retrospektif kohort terhadap 87 pasien dengan herpes gestationis, 47%
mengalami herpes gestationis pada kehamilan pertama dan pada pasien multipara,
65,7% timbul pada kehamilan pertama tapi mempunyai satu atau lebih episode herpes
gestationis. Ada beberapa laporan kasus herpes gestationis yang persisten selama
beberapa tahun setelah melahirkan. Herpes gestationis dapat berkembang pada
periode post partum, terjadi selama beberapa minggu, beberapa bulan atau tahun
sebelum resolusi sempurna. Sebagian besar pasien mengalami remisi spontan dalam
seminggu sampai sebulan pasca melahirkan.
Sekali terkena herpes gestiationis, biasanya akan terjadi kekambuhan pada
kehamilan berikutnya, yakni sekitar 8%. Walaupun berganti pasangan tidak
meningkatkan risiko herpes gestationis, masih belum jelas apakah hal ini memicu
rekurensi atau tidak. Pasien sebaiknya dikonsultasikan mengenai risiko terjadinya
kekambuhan, tapi tidak disarankan merencanakan kehamilan berikutnya sebab
mereka telah mengalami herpes gestationis pada kehamilan sebelumnya. Pandangan
modern menyatakan bahwa herpes gestationis berhubungan dengan kelahiran
prematur dan risiko berat badan lahir rendah. Persalinan pada ibu dengan herpes
gestationis sebaiknya berlangsung di departemen obsteri yang mempunyai fasilitas
perawatan khusus bayi baru lahir.3 Pada penelitian akhir-akhir ini diketahui bahwa
tidak ada peningkatan morbiditas maternal maupun fetal pada ibu dengan herpes
gestationis.

III. KESIMPULAN
Herpes gestationis merupakan penyakit autoimun yang terjadi selama
kehamilan atau setelah melahirkan, ditandai oleh erupsi bulosa pruritus yang
berhubungan dengan kehamilan atau tumor trofoblastik, mola hidatidosa dan
koriokarsinoma, serta tidak berhubungan dengan infeksi virus
Angka kejadian herpes gestationis sekitar 1 dalam 50 000 kehamilan.Umumnya
onset terjadi antara bulan keempat dan ketujuh kehamilan tetapi dapat terjadi pada
trimester pertama dan periode post partum.
Herpes gestationis disebabkan oleh adanya autoantibodi terhadap membran
basalis kulit yang dicetuskan oleh deposit C3 pada dermal-epidermal junction. Herpes
gestationis terjadi akibat proses imunogenetik dan reaktivitas silang potensial antara
jaringan plasenta dan kulit.
Pada awal perjalanan penyakitnya, lesi kulit terdiri dari papula “urticated”,
plakat, lesi target dan bercak annulus, yang terasa gatal. Selanjutnya, akan muncul
vesikel dan bula. Lesi biasanya pertama kali muncul di abdomen, berdekatan dengan
umbilikus, namun dapat pula terjadi pada ekstremitas, palmar atau plantar. Lesi secara
cepat menyebar ke seluruh tubuh.
Diagnosis banding utama penyakit ini adalah pruritic urticarial papules and
plaques of pregnancy (PUPPP). Pemeriksaan imunopatologi menggunakan ELISA
dapat menentukan diagnosis herpes gestationis dengan adanya deposit autoantibodi IgG
pada area membran basalis
Pada kasus ringan, pengobatan yang diberikan steroid topikal, sering
dikombinasikan dengan antihistamin sistemik. Pada saat timbul lesi vesikobulosa,
diperlukan steroid sistemik. Beberapa kasus yang berat membutuhkan pengobatan
siklofosfamid, dapson, metotreksat, IVIG atau plasmaparesis.
Sekitar 8% terjadi kekambuhan pada kehamilan berikutnya. Sebagian besar
pasien mengalami remisi spontan dalam seminggu sampai sebulan pasca melahirkan.
Tidak ada peningkatan morbiditas maternal maupun fetal pada ibu dengan herpes
gestationis.

Lampiran
Gambar 1.Pemphigoid gestationis.
(Courtesy of Dr P. Hudson, Peterborough Hospital, Peterborough, UK.

Gambar 2. Pemphigoid gestationis. Early pruritic erythematous stage.


(Courtesy of Dr P. Hudson, Peterborough Hospital, Peterborough, UK.)

DAFTAR PUSTAKA
1. Jeff K Shomick. Pemphigoid Gestationis (Herpes Gestationis). In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's
dermatology in general medicine. 7th ed. United States of America: The McGraw-
Hill Companies Inc, 2008; p. 490-493.
2. William DJ, Timothy GB, Dirk ME. Pemphigoid Gestationis (Herpes Gestationis).
In: Andrew’s Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada: Saunders
Elsevier, 2006; p.469-470.
3. Wojnarowska F, Venning VA, Burge SM. Immunobullous Diseases: Pemphigoid
Gestationis. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook
of Dermatology. 7th ed. Australia: Blackwell Publishing, 2004; p.41.40-41.43.
4. Thomas B Fitzpatrick, Richard A Johnson, Wolff K, Machiel K Polano, Suurmond
D. Herpes Gestationis. In: Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 3th ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies, 1997; p.805-812.
5. Phoebe DL, Jonathan R, Hideko K, Jennifer AS. Pemphigoid Gestationis.
Dermatology Online Journal. 2010; 16(11): 10. [cited 2011 june 12]. Available
from: http://dermatology.cdlib.org/1611/articles/10_2010-05-18/lu.html
6. Ambros-Rudolph CM, et al. The Specific Dermatoses of Pregnancy Revisited and
Reclassified: Results of a Retrospective Two-Center Study on 505 Pregnant Patients.
J Am Acad Dermatol 2006; 54: 395.
7. Marina FC, Claudia GS, Celina WM, Valeria A. Pemphigoid Gestationis: Clinical
and Laboratory Evaluation. Clinics, PubMed Central. 2009; 64(11): 1043-1047.
[cited 2011 june 12]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2780519/

Anda mungkin juga menyukai