Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelvic Inflammatory Disease (PID)


2.1.1 Defenisi
Pelvic Inflammatory Disease (PID) atau Penyakit radang panggul
merupakan penyakit infeksi pada traktus genital bagian atas wanita, yang
mempengaruhi uterus, tuba fallopi, ovarium, endometrium, miometrium,
parametrium, dan peritonium panggul. Pelvic Inflammatory Disease (PID)
merupakan sebuah spektrum infeksi pada traktus genitalia wanita dengan jalur
penyebaran ascending atau naik ke atas, dimana penyebarannya dimulai dari
traktus genitalia bawah. Penyakit yang termasuk dalam PID yaitu endometritis,
salpingitis, tuba-ovarian abses, parametritis, ooforitis, dan peritonitis. Sebagian
besar PID terkait dengan infeksi yang merupakan komplikasi dari infeksi menular
seksual.

2.1.2 Etiologi
Organisme yang paling sering terisolasi dalam kasus PID akut adalah
N.gonorrhoeae dan C.trachomatis. C.trachomatis adalah bakteri patogen
intraseluler dan merupakan mikroorganisme dominan pada infeksi menular
seksual yang dapat menyebabkan PID.
Di Amerika Serikat, N.gonorrhoeae tidak lagi merupakan organisme utama
yang terkait dengan PID, tetapi gonore dilaporkan sebagai penyakit infeksi
menular seksual tersering nomor dua, setelah infeksi klamidia. Secara klinis,
infeksi gonorrheal mungkin asimtomatik atau dapat bermanifestasi sama dengan
infeksi klamidia, namun lebih sering menghasilkan gejala akut. Diperkirakan 10-
20% dari infeksi klamidia atau gonorrheal yang tidak diobati berkembang menjadi
PID

5
6

Gambar 1. Anatomi superfisial saluran genitalia wanita dalam rongga pelvis

Kultur spesimen yang dikumpulkan selama diagnostik melalui laparoskopi


telah menunjukkan bahwa PID merupakan infeksi polimikrobial pada 30 – 40%
kasus. Infeksi polimikrobial pada PID mungkin dimulai sebagai infeksi yang
terisolasi dengan N.gonorrhoeae atau C.trachomatis, yang menyebabkan
peradangan pada saluran genitalia bagian atas yang memfasilitasi keterlibatan
patogen lainnya (anaerob, fakultatif anaerob, dan bakteri lainnya). Organisme lain
ini semakin terisolasi dengan meningkatnya inflamasi dan terbentuknya abses.

Selain N.gonorrhoeae dan C.trachomatis, organisme yang terlibat dalam


PID adalah sebagai berikut : 1) Gardnerella vaginalis; 2) Mycoplasma hominis;
3) Mycoplasma genitalium; 4) Ureaplasma urealyticum; 5) Herpes Simplex Virus
(HSV) 1 & 2; 6) Trichomonas vaginalis; 7) Cytomegalovirus (CMV); 8)
Haemophilus influenza; 9) Streptococcus agalactiae; 10) Escherichia coli; 11)
Enterococcus; 12) Peptococcus sp; 13) Kuman – kuman anaerob lainnya
Pemeriksaan mikrobiologi dari PID mencerminkan kuman patogen
penyebab infeksi menular yang dominan dalam populasi tertentu, serta beberapa
organisme yang jarang terlihat pada populasi itu. Vaginosis bakteriais dapat
menyebabkan peradangan vagina, yang dapat memudahkan ascending infection.
Di beberapa daerah, PID mungkin berasal dari salpingitis granulomatosa yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Schistosoma sp.

Dalam sebuah studi cross-sectional dari 736 wanita dengan PID, pasien
dengan infeksi Trichomonas menunjukkan bukti histologis berupa peningkatan 4
7

kali lipat angka kejadian endometritis akut. Koinfeksi dengan HSV-2,


N.gonorrhoeae, C.trachomatis, dan G.vaginalis dikaitkan dengan bukti histologis
endometritis akut. HSV-2 dikaitkan dengan peradangan tuba fallopi dan ulserasi
saluran bagian bawah dan dapat berkontribusi pada gangguan pertahanan mukosa
saluran endoserviks.

Infeksi HIV dikaitkan dengan peningkatan insiden infeksi C.trachomatis,


Candida, dan Human Papilloma Virus (HPV). N.gonorrhoeae dapat memfasilitasi
penularan HIV melalui modulasi respon imun HIV spesifik. Wanita dengan
infeksi HIV juga memiliki peningkatan risiko pengembangan menjadi PID dan
abses tubo-ovarial.

Gambar 2. Kuman tersering terkait PID dalam pewarnaan Gram. Atas : Neisseria
gonorrhea; bawah : Chlamydia trachomatis
8

2.1.3 Faktor Resiko


Faktor risiko untuk PID diantaranya meliputi hubungan seksual dengan
banyak pasangan (multiple sexual partner), riwayat infeksi menular seksual
sebelumnya, dan riwayat pelecehan seksual. Prosedur bilas vagina sering telah
dianggap sebagai faktor risiko untuk PID, tetapi penelitian mengungkapkan tidak
ada hubungan yang jelas. Prosedur ginekologi seperti biopsi endometrium,
kuretase, dan histeroskopi merupakan predisposisi untuk naiknya infeksi sehingga
menyebabkan PID. Pada usia lebih muda, ditemukan keterkaitan dengan
peningkatan resiko PID, hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan
permeabilitas mukosa cervix, zona yang lebih besar dari ektopi servik, prevalensi
yang rendah dari proteksi antibodi anti – chlamydia, dan perilaku yang beresiko
tinggi.
Berbagai bentuk alat kontrasepsi dapat mempengaruhi insiden dan
keparahan PID. Penggunaan kontrasepsi barrier yang tepat telah terbukti
menurunkan infeksi menular seksual. Studi terhadap pil kontrasepsi oral
menghasilkan kesimpulan berbeda pada risiko PID. Di satu sisi, beberapa penulis
menyarankan bahwa pil kontrasepsi meningkatkan risiko infeksi endoserviks,
mungkin dengan meningkatkan zona ektopi serviks. Di sisi lain, beberapa bukti
menunjukkan bahwa pil kontrasepsi dapat menurunkan risiko gejala PID,
mungkin dengan meningkatkan viskositas lendir serviks, penurunan aliran
menstruasi anterograde dan retrograde, dan memodifikasi respon imun lokal.
Penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa pil kontrasepsi mungkin tidak
memiliki efek pada kejadian PID.
Sebelumnya, penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) telah
dikaitkan dengan penigkatan resiko PID sebanyak 2 – 9 kali lipat, tetapi saat ini
angka tersebut menjadi lebih kecil. Dalam sebuah penelitian kohort retrospektif
besar dari tahun 2012, risiko secara keseluruhan PID pada wanita yang menerima
IUD adalah 0,54%.
Kelly et al melaporkan 9,6 kasus PID per 1.000 penduduk pasca insersi
IUD, dengan risiko yang paling signifikan adalah dalam 20 hari pertama. Meirik
et al memvalidasi resiko PID tersebut dalam bulan pertama setelah insersi dan
9

juga menemukan bahwa resiko tampaknya dimodifikasi oleh jumlah pasangan


seksual serta usia dan prevalensi infeksi menular seksual dalam komunitas.
PID mungkin memiliki profil mikroba yang berbeda pada pengguna IUD.
Viberga et al menemukan bahwa pada wanita dengan PID, Fusobacterium dan
Peptostreptococcus sp secara signifikan lebih sering terdapat pada pengguna IUD
dibandingkan pasien non-IUD. Actinomycesm Sp ditemukan hampir secara
eksklusif pada pasien dengan IUD.
1) Pekerjaan
Pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber
kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang
membosankan, berulang dan banyak tantangan. Sedangkan bekerja umumnya
merupakan kegiatan yang menyita waktu (Wawan dan Dewi, 2010 : 17).
2) Umur
Menurut Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung mulai
saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok (1998)
semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih
matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang
yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal
ini sebagai pengalaman dan kematangan jiwa (Wawan dan Dewi, 2010 : 17).
3) Lingkungan
Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan
pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau
kelompok (Wawan dan Dewi, 2010 : 18).
4) Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari
sikap dalam menerima informasi (Wawan dan Dewi, 2010 : 18).
5) Informasi/Media Massa
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal
dapat juga memberikan pengaruh jangka pendenk (immediate impact) sehingga
menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Berkembangnya
teknologi akan menyediakan bermacam-macam media massa yang dapat
10

mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Dalam


penyampaian informasi sebagai tugas pokok, media massa juga membawa pesan-
pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang (Wawan dan
Dewi, 2010 : 18).

2.1.4 Patofisiologi
Sebagian besar kasus yang dicurigai sebagai PID terjadi dalam 2 tahap.
Tahap pertama adalah akuisisi infeksi vagina atau cervix. Infeksi ini sering
menular melalui hubungan seksual dan mungkin asimtomatik. Tahap kedua
adalah mikroorganisme naik secara langsung dari vagina atau cervix kegenitalia
bagian atas, dan menimbulkan infeksi serta inflamasi pada struktur yang terkena.
Mekanisme dimana mikroorganisme dapat naik bermigrasi dari saluran
genitalia yang lebih rendah belum jelas. Studi menunjukkan bahwa beberapa
faktor mungkin terlibat. Meskipun lendir cervix memberikan barrier secara
fungsional terhadap penyebaran ke atas, manfaat barrier ini berkurang dengan
adanya peradangan pada vagina dan oleh perubahan hormonal yang terjadi selama
ovulasi dan menstruasi.
Pengobatan antibiotik tehadap infeksi menular seksual dapat mengganggu
keseimbangan flora endogen dalam saluran genitalia bagian bawah, sehingga
menyebabkan organisme non-patogen normal tumbuh terlalu cepat dan naik
keatas.
Pembukaan cervix selama menstruasi, bersama dengan aliran menstruasi
retrograde, juga dapat memfasilitasi naiknya mikroorganisme ke saluran genitalia
bagian atas. Hubungan seksual dapat berkontribusi terhadap naiknya infeksi
melalui kontraksi rahim ritmik yang terjadi selama orgasme. Bakteri juga dapat
bersama sperma masuk menuju ke dalam uterus dan tuba.
Dalam saluran atas, sejumlah mikroba dan faktor pejamu tampaknya
mempengaruhi tingkat inflamasi yang terjadi, dan dengan demikian, jumlah
jaringan parut yang berikutnya akan berkembang. Infeksi tuba falopi awalnya
mempengaruhi mukosa, tetapi peradangan dapat dengan cepat memasuki zona
transmural. Peradangan ini, yang tampaknya dimediasi oleh komplemen, dapat
meningkatkan intensitas pada infeksi berikutnya.
11

Inflamasi dapat meluas ke struktur parametrium yang tidak terinfeksi,


termasuk usus. Infeksi dapat meluas melalui tumpahan bahan purulen dari saluran
tuba atau melalui penyebaran secara limfatik ke luar pelvis dan dapat
mengakibatkan peritonitis akut atau perihepatitis akut, disebut dengan sindrom
Fitz-Hugh-Curtis.

Gambar 3. Patogenesis ascending infection kuman dari STD menuju PID

PID jarang terjadi pada kehamilan. Namun, korioamnionitis dapat terjadi


pada 12 minggu pertama kehamilan, dimana bakteri dapat naik sebelum lendir
uterus menjadi solid dan menjadi pelindung uterus dari naiknya bakteri. Kematian
janin bisa saja terjadi. Kehamilan serentak mempengaruhi pilihan terapi antibiotik
untuk PID dan diagnosis alternatif kehamilan ektopik harus disingkirkan. Infeksi
rahim biasanya terbatas pada endometrium, tetapi mungkin lebih invasif pada
gravid atau kondisi uterus postpartum.
Variasi genetik memediasi dalam hal respon kekebalan tubuh dimana
memainkan peran penting dalam kerentanan terhadap PID. Varian dalam gen yang
mengatur dinamakan Toll-like receptors (TLRs), yaitu sebuah komponen penting
dalam sistem kekebalan tubuh bawaan, telah dikaitkan dengan perkembangan
peningkatan infeksi C.trachomatis pada kasus PID. Den Hartog et al menemukan
peran kontribusi kemungkinan dari 5 single-nucleoside polimorphisms (SNP)
dalam 4 gen yang mengkode reseptor lokal dalam sel tuba dan sel makrofag dalam
12

sirkulasi. Kehadiran 2 atau lebih SNP tampaknya berkorelasi dengan peningkatan


patologi tuba yang diidentifikasi melalui laparoskopi.

Gambar 4. Salah satu bentuk PID, yaitu salpingitis akut

2.2 Pendekatan Diagnosis


2.2.1 Riwayat Penyakit
Menurut Pasien yang beresiko tinggi untuk penyakit inflamasi panggul
(PID) adalah seorang wanita yang sudah menstruasi dengan usia lebih muda dari
25 tahun dan memiliki banyak pasangan seks, tidak menggunakan kontrasepsi,
dan tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi infeksi menular seksual (IMS).
Usia muda saat hubungan seksual pertama juga merupakan faktor risiko
untuk PID. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) untuk kontrasepsi
memberikan resiko relatif 2 – 3 kali lipat selama 4 bulan pertama setelah insersi
IUD, namun resiko kemudian akan menurun. Wanita yang tidak aktif secara
seksual memiliki insiden yang sangat rendah terhadap infeksi saluran genitalia
bagian atas, seperti halnya wanita yang telah menjalani histerektomi total per
abdominal. Tindakan bilateral tuba ligation (BTL) tidak memberikan
perlindungan terhadap PID, namun pasien yang telah menjalani BTL mungkin
hanya tertunda dalam perjalanan penyakitnya, atau hanya mendapatkan gejala
yang ringan.
13

Tergantung pada tingkat keparahan infeksi, pasien dengan PID mungkin


gejalanya dapat minimal atau dapat timbul dengan gejala toksik seperti demam
(suhu di atas 38°C atau 100.4°F), mual, muntah, nyeri panggul dan perut yang
berat. PID yang disebabkan kuman gonokokal diduga memiliki onset mendadak
dengan gejala yang lebih toksik dari penyakit nongonokokal. Infeksi Gonorrhea
dan klamidia mungkin menyebabkan gejala pada saat menjelang akhir menstruasi
dan dalam 10 hari pertama setelah menstruasi.
Nyeri perut bagian bawah biasanya muncul. Rasa sakit biasanya
digambarkan sebagai nyeri tumpul, kram, bilateral, dan konstan. Dimulai
beberapa hari setelah onset menstruasi terakhir dan cenderung dipicu oleh
gerakan, olahraga, atau senggama. Nyeri pada PID biasanya berlangsung kurang
dari 7 hari; jika sakit berlangsung lebih dari 3 minggu, kemungkinan bukan
merupakan PID secara substansial.
Abdominal discharge yang abnormal timbul pada sekitar 75% kasus.
Perdarahan vagina yang tak terduga, sering terjadi setelah koitus, dilaporkan pada
sekitar 40% kasus. Suhu yang lebih tinggi dari 38°C (ditemukan pada 30% kasus),
mual dan muntah timbul diakhir perjalanan klinis penyakit.

2.2.2 Fisik diagnosik


Karena potensi komplikasi yang serius pada PID yang tidak diobati, maka
CDC(the Center for Disease Control and Prevention) mengadopsi pendekatan
untuk memaksimalkan diagnosis dengan kriteria minimal. CDC juga
mengharuskan setiap dokter untuk memberikan pengobatan empiris.
CDC merekomendasikan pengobatan empiris dari PID ketika seorang
wanita muda yang aktif secara seksual dan beresiko IMS yang mengalami nyeri
perut bawah atau pelvis, tidak ada penyebab yang dapat diidentifikasi untuk
penyakitnya selain PID, dan pada pemeriksaan panggul terdapat 1 atau lebih dari
kriteria minimal berikut ini : cervical motion tenderness, uterine tenderness, dan
adnexal tenderness. Sebuah percobaan multisenter menemukan adneksa adalah
yang paling sensitif saat pemeriksaan fisik, dimana sensitivitas mencapai 95%.
Suhu yang lebih dari 38,3°C (101 ° F) dan adanya cairan abnormal mukopurulen
dari cervix atau vagina, meningkatkan spesifisitas dari kriteria minimal.
14

2.2.3 Diagnosis Banding


Diagnosis PID terutama didasarkan pada anamnesis dan temuan klinis.
Proses diagnostik dapat menjadi tidak tepat, tanpa riwayat penyakit yang didapat
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, tidak ada informasi laboratorium ditemukan
yang spesifik atau sensitif untuk penyakit ini.
Pasien dengan infeksi endoserviks dan PID mungkin asimtomatik. Infeksi
endoserviks dapat juga berkomplikasi akibat infeksi C.trachomatis dan
N.gonorrhoeae yang kurang terdiagnosis dan terobati. Bjartling et al melaporkan
infeksi uretra dengan gejala minimal baik dari riwayat penyakit maupun
ketegangan perut ditemukan pada infeksi C.trachomatis.

Meskipun banyak pasien dengan PID memiliki presentasi atipikal dan


menunjukkan sedikit gejala, lebih dari 25% dari pasien ini memenuhi kriteria
objektif untuk infeksi saluran genitalia bagian atas pada pemeriksaan laparoskopi.
Sensitivitas pemeriksaan panggul hanya 60%.
Semua pasien wanita usia subur dengan nyeri perut bagian bawah
memerlukan tes kehamilan. Diagnosis kehamilan ektopik sering terlambat atau
salah didiagnosis sebagai PID. Nyeri pada PID biasanya berlangsung kurang dari
7 hari. Jika rasa sakit berlangsung lebih dari 3 minggu, kemungkinan bukan PID
secara substansial. Diagnosis Banding dapat meliputi :
 Tumor adneksa
 Appendisitis
 Kehamilan ektopik
 Endometriosis
 Sistitis interstitial
 Kista ovarium
 Torsio ovarium
15

2.2.4 Pemeriksaan Penunjang


Sejumlah prosedur dapat dilakukan untuk meningkatkan diagnosis PID dan
komplikasinya. Prosedur – prosedur ini mungkin tidak diperlukan, juga bukan
merupakan indikasi dalam pengelolaan setiap kasus PID. Prosedur tepat untuk
beberapa pasien, bersama dengan temuan yang sesuai dan spesifik untuk PID,
adalah sebagai berikut:
 Konfirmasi laparoskopi
 Pemeriksaan USG transvaginal atau MRI dapat menunjukkan tuba
menebal, berisi cairan dengan atau tanpa cairan bebas di pelvis atau dapat
berupa abses tubo-ovarium (TOA).
 Biopsi endometrium yang menunjukkan endometritis
Laparoskopi adalah standar kriteria untuk diagnosis PID, tetapi diagnosis
PID di unit gawat darurat dan klinik sering didasarkan pada kriteria klinis, dengan
atau tanpa laboratorium tambahan dan bukti pencitraan. Tidak ada satu tes yang
sangat spesifik dan sensitif untuk PID , namun tes laboratorium, pencitraan, dan
prosedur dapat digunakan untuk meningkatkan spesifisitas diagnosis.
Kriteria tambahan untuk meningkatkan spesifisitas diagnostik meliputi :
 Suhu oral lebih dari 38,3°C (101°F)
 Discharge abnormal cervix atau vagina mukopurulen
 Leukositosis pada pemeriksaan Gram cairan vagina
 Laju Endap Darah meningkat
 Protein C-reaktif (CRP) meningkat
 Bukti laboratorium infeksi serviks dengan N.gonorrhoeae atau
C.trachomatis (melalui kultur atau probe DNA)

Studi Laboratorium. Lakukan pemeriksaan tes kehamilan. Jika hasilnya


positif, kemungkinan kehamilan ektopik harus dipikirkan. Kehamilan juga secara
langsung mempengaruhi pemilihan regimen antibiotik dan pertimbangan pasien
untuk masuk rawat inap. Pada hitung darah lengkap, kurang dari 50% wanita
dengan PID akut memiliki lekosit lebih dari 10.000 / uL. Karena sensitivitas dan
spesifisitas yang buruk, hitung leukosit tinggi bukan merupakan salah satu kriteria
diagnostik untuk PID yang dirumuskan oleh CDC. Kultur darah tidak membantu
16

dalam mendiagnosis PID. Bahkan, tidak ada tes tunggal sangat spesifik dan
sensitif untuk PID. Namun, sejumlah tes dapat digunakan untuk meningkatkan
spesifisitas diagnosis klinis. Sekret vagina yang telah diberikan saline dan
potasium hidroksida dapat diperiksa untuk adanya leukorrhea (> 10 per LPB).
Kehadiran leukorrhea sebagai indikator laboratorium yang paling sensitif dari
infeksi saluran genitalia bagian atas. Meskipun tidak spesifik, tidak adanya
leukorrhea merupakan prediktor negatif untuk PID.
Kultur Chlamydia secara kuantitatif mengidetifikasi dengan cepat replikasi
bakteri yang tampaknya terkait dengan penyakit aktif. Namun, penyelidikan DNA
dan hasil kultur ini sering tidak tersedia untuk dokter di unit gawat darurat pada
saat evaluasi awal. Pemeriksaan lainnya yang perlu dipertimbangkan meliputi ,
tes rapid protein reagin (RPR) untuk sifilis, virus hepatitis dan HIV serta urinalisis
yang dilakukan untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih. Namun, perlu
diketahui bahwa leukosit urin positif tidak menyingkirkan PID, karena setiap
proses inflamasi pada pelvis yang berdekatan dapat menghasilkan leukosit dalam
urin.
Pencitraan. Pemeriksaan ultrasonografi harus menjadi pemeriksaan
pencitraan diagnostik yang pertama yang dilakukan pada kasus dugaan PID di
mana ada temuan klinis yang ambigu atau tidak dapat dijelaskan atau
ketidakmampuan untuk melakukan pemeriksaan klinis yang memadai.
Ultrasonografi juga diindikasikan untuk mengevaluasi komplikasi PID, yang
dapat mempengaruhi tatalaksana operasi atau nonoperatif atau keputusan untuk
rawat inap pasien. Modalitas ini sudah tersedia, noninvasif, dan dapat dilakukan
disamping tempat tidur pasien. Ultrasonografi lebih disukai daripada CT scan
sebagai alat untuk mengidentifikasi pada anak perempuan atau remaja dengan
nyeri kuadran kanan bawah atau panggul, terutama karena kekhawatiran tentang
paparan radiasi. Sonografi transvaginal memungkinkan visualisasi rinci dari
uterus dan adneksa, termasuk ovarium dan tuba fallopi yang menebal. MRI
berfungsi sebagai modalitas pencitraan yang sangat baik dalam kasus-kasus di
mana temuan ultrasonografi tidak jelas. Dalam sebuah studi oleh Tukeva et al,
membandingkan MRI dengan sonogram, menemukan bahwa MRI lebih akurat
daripada ultrasonografi dalam mendiagnosis PID. Kadang-kadang, CT scan dapat
17

digunakan sebagai studi diagnostik awal untuk menginvestigasi nyeri panggul


yang tidak spesifik pada wanita, dan PID dapat ditemukan secara kebetulan. CT
scan sangat sensitif untuk mendeteksi patologi panggul; Namun, CT scan tidak
sespesifik sonografi dalam membedakan patologi adneksa pada salah satu tuba
atau ovarium. Jika diagnosis PID masih belum jelas, konfirmasi dengan
ultrasonografi disarankan.

Ultrasonografi transvaginal. Teknik pencitraan dengan ultrasonografi dapat


dilakukan untuk kasus dugaan PID dimana temuan klinis tidak jelas. USG
transvaginal lebih unggul dari pada ultrasonografi transabdominal untuk
mendiagnosis PID, serta untuk kelainan endometrium dan massa pada panggul.
Modalitas ini sudah tersedia dan non invasif dan dapat dilakukan di samping
tempat tidur pasien.
USG transvaginal memiliki sensitivitas buruk (81%) dan spesifisitas (78%)
dalam PID ringan atau atipikal. Temuan Bermanfaat meliputi penebalan tuba
fallopi ( > 5 mm), penebalan silia, cairan yang mengisi tuba falopi, batas
endometrium tidak jelas, ovarium dengan beberapa kista kecil dan cairan bebas
dengan jumlah sedang hingga besar dalam panggul pada PID akut dan berat.
Pemeriksaan ultrasonografi pelvis juga berguna untuk mengevaluasi
kemungkinan kehamilan ektopik pada pasien yang memiliki gejala seperti PID.
Modalitas ini juga dapat membantu dalam mengevaluasi gangguan lain, termasuk
kista hemoragik ovarium, torsi ovarium, endometrioma, dan appendisitis.
Penebalan endometrium tidak spesifik untuk PID karena temuan ini juga
dapat dilihat pada hiperplasia endometrium, polip, atau kanker.
18

Gambar 5. Atas : memperlihat pencitraan melalui USG per abdominal, tampak gambaran anekoik
struktur tubular di sekitar adnexa, kesan seperti hidrosalping. Bawah : melelui USG tranvaginal,
tampak memperlihat struktur tubular di sekitar adnexa disertai debris, kesan piosalping.
19

Gambar 6. Ultrasonografi menunjukkan penebalan endometrium secara heterogen yang


kompatibel dengan endometritis.

Laparoskopi. Pemeriksaan ini merupakan standar kriteria untuk


mendiagnosis PID.Hal ini secara signifikan lebih spesifik dan sensitif dari kriteria
klinis saja. Kriteria minimal untuk mendiagnosis PID pada tuba secara
laparoskopi meliputi edema dinding tuba, hiperemis pada permukaan tuba, dan
adanya eksudat pada permukaan tuba dan fimbriae.2 Massa panggul yang
konsisten dengan abses tuboovarial atau kehamilan ektopik bisa divisualisasikan
secara langsung. Eksudat abses hepar atau adhesi dapat terlihat. Spesimen dapat
diambil untuk dilakukan kultur dan pemeriksaan histologis. Kelemahan utama
laparoskopi adalah prosedur yang mahal dan invasif, menunjukkan variabilitas
interobserver, dan membutuhkan ruang operasi dan anestesi. Selain itu, temuan
pada laparoskopi tidak selalu berkorelasi dengan keparahan penyakit, hanya
permukaan struktur yang terlihat melalui teropong. Sebanyak 20% kasus,
laparoskopi mungkin tidak menentukan diagnosis PID sepenuhnya.
Computed tomography (CT) – scan. Dapat juga digunakan sebagai studi
diagnostik awal untuk meninvestigasi nyeri panggul yang tidak spesifik pada
wanita, dan PID dapat ditemukan secara kebetulan. Karena kekhawatiran tentang
paparan radiasi, ultrasonografi lebih disukai dari pada CT sebagai modalitas
diagnostik awal pada anak perempuan atau remaja dengan nyeri perut pada
20

kuadran kanan bawah atau nyeri di daerah panggul. 1,3 Peradangan melenyapkan
gambaran lemak dalam rongga panggul, akibat penebalan fasia. Endometritis
bermanifestasi sebagai pembesaran rongga rahim. Jika ada hidrosalpinx, cairan
yang mengisi struktur tubular mungkin terlihat di daerah adneksa.
Pada awal penyakit, temuan pada CT pada dasar pelvis tampak samar,
tampak pula penebalan ligamen uterosakral, cervicitis, oophoritis, salpingitis, dan
akumulasi cairan dalam kanal endometrium, tuba, dan rongga pelvis. Bahkan,
perubahan inflamasi ringan terlihat lebih baik dengan CT daripada ultrasonografi.

Gambar 7. Cairan dalam rongga endometrium dengan lemak panggul sugestif gambaran
endometritis.

Biasanya, sebuah abses tuboovarial divisualisasikan sebagai massa dimana massa


mungkin memiliki margin reguler dan mengandung unit yang mirip dengan yang
terlihat pada endometrioma atau kista hemoragik. Batasnya mungkin tebal dan
tidak teratur.
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Meskipun MRI memiliki
spesifisitas yang relatif tinggi (95%) dan sensitivitas (95%) dalam keadaan ini,
namun harga yang mahal dan jarang diindikasikan dalam kasus PID akut. Temuan
PID pada MRI mirip dengan yang ditemukan pada CT scan.
21

Gambar 8. Wanita usia 40 tahun dengan nyeri periumbilikalis dan leukosit 16.000. Lokulasi lesi
kistik yang kompleks pada pertengahan pelvis dengan lipatan dan dinding tebal meningkatkan
dugaan terhadap pyosalpinx.

Karena kontras jaringan yang unggul, MRI dapat membedakan


hematosalpinx dengan pyosalpinx. MRI juga dapat digunakan untuk membedakan
tubo-ovarium abses (TOA) dari neoplasma ovarium dalam kasus dugaan PID.
Dalam sebuah studi yang membandingkan USG dan MRI dalam mendiagnosis
PID yang kemudian dikonfirmasi dengan laparoskopi, penemuan MRI menjadi
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan ultrasonografi. Mengingat biaya yang
tinggi dan kurang ketersediaan sarama, MRI lebih baik digunakan sebagai pilihan
terakhir.
Kuldosintesis. Dapat dilakukan dengan cepat di unit gawat darurat.
Dengan tersedianya scanning ultrasonografi transvaginal, kuldosintesis saat ini
jarang dilakukan, tetapi tetap bernilai dalam keadaan dimana teknologi tidak
tersedia. Untuk prosedur, jarum spinal 18gauge melekat pada jarum suntik 20 mL,
lalu dimasukkan melalui transvaginal ke dalam cul-de-sac. Biasanya, ini hanya
menghasilkan 2-4 ml cairan dari panggul, dapat berupa cairan purulen yang
menunjukkan proses infeksi atau inflamasi. Temuan positif leukosit dan bakteri
tidak spesifik: leukosit dan bakteri mungkin mengindikasikan adanya PID, atau
22

mungkin produk dari proses infeksi atau inflamasi lain di pelvis (misalnya, usus
buntu atau diverticulitis), atau mungkin akibat dari kontaminasi dengan isi vagina.
Sebuah hasil lebih dari 2 ml darah nonclotting konsisten dengan kehamilan
ektopik.
Biopsi endometrium. Digunakan untuk menentukan diagnosis
histopatologis endometritis, suatu kondisi yang seragam terkait dengan salpingitis.
Biopsi endometrium memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas 90%. Prosedur ini
dilakukan dengan pipet pengisap endometrium atau kuret dan ditoleransi dengan
baik. Spesimen untuk kultur juga dapat diperoleh selama prosedur, tetapi sering
terkontaminasi dengan flora vagina.
Pedoman CDC saat ini menyarankan biopsi endometrium dilakukan pada
wanita yang menjalani laparoskopi yang tidak memiliki tanda-tanda salpingitis,
dengan alasan bahwa endometritis mungkin satu-satunya tanda dari PID.
Penggunaan modalitas diagnostik biopsi endometrium di unit darurat terbatas.
Pelatihan operator yang signifikan diperlukan, dan hasil dari prosedur tidak segera
tersedia untuk para dokter.
Temuan biopsi endometrium biasanya mengkonfirmasi adanya infeksi
tetapi jarang mengidentifikasi organisme penyebabnya. Endometritis kronis lebih
sering ditemukan daripada endometritis akut.

2.3 Penatalaksanaan Dan Pengelolaan


2.3.1 Gambaran Umum
Pasien yang tidak membaik dalam 72 jam dengan medikamentosa, harus
dievaluasi ulang untuk kemungkinan dilakukannya intervensi laparoskopi atau
bedah dan peninjauan kembali diagnosis lain yang memungkinkan. Laparoskopi
harus digunakan jika diagnosis diragukan. Lavage laparoskopi pelvis, drainase
abses, dan adhesiolisis mungkin diperlukan.
Kebanyakan abses tuboovarial (60-80%) mengalami perbaikan dengan
pemberian antibiotik. Jika pasien tidak merespon, laparoskopi mungkin berguna
untuk mengidentifikasi lokulasi pus yang membutuhkan drainase. Pembesaran
massa dipelvis mungkin mengindikasikan perdarahan sekunder dari erosi
pembuluh darah atau rupturnya abses. Abses yang belum diatasi dapat didrainase
23

secara perkutan melalui kolpotomi posterior dilakukan dengan bantuan CT atau


ultrasonografi, laparoskopi, atau melalui laparotomi.
Keuntungan dari laparoskopi meliputi visualisasi secara langsung dari
panggul dan diagnosis bakteriologis yang lebih akurat jika bahan untuk kultur
dapat diperoleh. Namun, laparoskopi tidak selalu tampak pada PID akut; Selain
itu, harganya yang mahal dan memerlukan anestesi umum.
Laparotomi biasanya diperuntukkan bagi pasien dengan keadaan darurat
bedah (misalnya, abses yang ruptur atau tidak merespon terhadap manajemen
medikamentosa dan drainase laparoskopi) dan untuk pasien yang bukan
merupakan kandidat untuk manajemen laparoskopi. Pengobatan dipandu oleh
temuan intraoperatif dan keinginan pasien untuk memelihara kesuburan.
Pembedahan mungkin melibatkan salpingo-ooforektomi unilateral atau
histerektomi dan salpingo-ooforektomi bilateral. Idealnya, operasi dilakukan
setelah infeksi akut dan peradangan telah diatasi. Pada pasien dengan PID
berulang, adhesi pada pelvis dapat mempersulit dalam tindakan operasi.

2.3.2 Pencegahan
Pada suatu penelitian menunjukkan bahwa mencegah infeksi klamidia
dapat mengurangi insiden PID.1 Selain itu, siapa saja yang telah memiliki kontak
seksual dengan seorang wanita yang menderita PID dalam 60 hari sebelum onset
gejalanya harus diberikan terapi empiris untuk C.trachomatis dan N.gonorrhoeae.
Infeksi uretral gonokokal atau klamidia dengan rekan seorang wanita yang
terinfeksi sangat mungkin dan lebih sering tanpa gejala pada laki-laki. Wanita
yang didiagnosis dengan infeksi klamidia atau gonokokal harus dilakukan tes
ulang dalam waktu 3 – 6 bulan berikutnya. Wanita-wanita ini memiliki resiko
tinggi terjadinya infeksi ulang dalam waktu 6 bulan pengobatan. Remaja lebih
mungkin untuk terjadinya PID berulang daripada orang dewasa dan mungkin
memerlukan pendekatan yang berbeda untuk menindaklanjutinya.
Peningkatan edukasi, pemeriksaan rutin, diagnosis, dan pengobatan empiris
infeksi ini dapat mengurangi insiden dan prevalensi serta perkembangan gejala
sisa jangka panjang. Edukasi harus berkonsentrasi pada strategi untuk mencegah
PID dan IMS, termasuk mengurangi jumlah pasangan seksual, menghindari
24

praktik – praktik seksual tidak aman, dan secara rutin menggunakan perlindungan
barrier yang tepat. Remaja yang berisiko tinggi untuk terjadi PID, harus
disarankan untuk menunda interkoitus sampai usia 16 tahun atau lebih.
Wanita dengan PID harus dinasihati untuk menjauhkan diri dari aktivitas
seksual atau menggunakan perlindungan barrier dengan ketat dan tepat sampai
gejala mereka telah sepenuhnya mereda dan telah menyelesaikan seluruh rejimen
pengobatan .
The US Preventive Services Task Force(USPSTF) merekomendasikan
pemeriksaan untuk infeksia klamidia pada semua wanita tidak hamil yang aktif
secara seksual yang berumur 25 tahun atau lebih yang memiliki resiko tinggi
(Grade A), semua wanita hamil yang berumur 25 tahun atau lebih yang memiliki
resiko tinggi (Grade B). USPSTF merekomendasi untuk tidak melakukan
pemeriksaan rutin untuk wanita berumur 25 tahun atau lebih jika tidak memiliki
resiko tinggi (Grade C) dan pemeriksaan klamidia pada laki-laki.
Beberapa pasien yang diobati untuk IMS dan PID gagal mematuhi rejimen
pengobatan karena rendahnya kemampuan untuk membaca medikamentosa dan
pemahaman yang buruk tentang diagnosis penyakit yang mereka alami. Orang-
orang sering tidak menindaklanjuti atau tidak memberitahu mitra seksual mereka.
Pasien harus sepenuhnya dididik tentang masalah ini, serta tentang kelayakan
pemeriksaan dan pengobatan untuk IMS lain, termasuk infeksi HIV, hepatitis, dan
sifilis. Secara khusus, pedoman CDC 2010 menyatakan bahwa tes HIV harus
ditawarkan kepada semua wanita yang didiagnosis PID akut.

2.3.3 Perbandingan Rawat Jalan dan Rawat Inap


Kebanyakan pasien dengan PID dikelola sebagai pasien rawat jalan, dan dari data
yang tersedia tidak jelas menunjukkan besarnya manfaat dari rawat inap. Namun,
rumah sakit harus mempertimbangkan untuk hospitalisasi pasien dengan keadaan
sebagai berikut :
 Diagnosis belum jelas
 Abses rongga pelvis pada pemeriksaan ultrasonografi
 Kehamilan
 Ketidakmampuan untuk mentolerir rejimen antibiotik oral rawat jalan
25

 Penyakit berat
 Immunodefisiensi (misalnya, pasien HIV dengan jumlah CD4 rendah atau
pasien yang menggunakan obat-obat imunosupresif)
 Kegagalan mencapai perbaikan klinis selama 72 jam pasca rawat jalan

Di seluruh dunia, lebih dari 90% dari individu dengan HIV-positif dengan
PID ditangani sebagai pasien rawat jalan.
Sebuah studi di Nairobi tahun 2018, secara blind control untuk pasien
status HIV, menunjukkan bahwa perempuan yang terinfeksi HIV lebih mungkin
untuk mengalami PID yang berat, dan perbaikan klinis membutuhkan waktu lebih
lama, terlepas dari jumlah CD4. Namun, tidak ada perubahan dalam rejimen
antibiotik yang diperlukan. Kebanyakan pasien menunjukkan respon klinis dalam
48-72 jam setelah dimulainya terapi medikamentosa. Jika pasien terus mengalami
demam, menggigil, nyeri daerah uterus, nyeri adneksa, dan cervical motion
tenderness, maka dipertimbangkan kemungkinan penyebab lain dan rencanakan
untuk laparoskopi diagnostik.

2.3.4 Terapi Antibiotik


Kebanyakan Dalam gawat darurat, atau saat berada di klinik, pengobatan harus
secepatnya dimulai dan harus mencakup terapi empiris dengan antibiotik
spektrum luas. Semua rejimen harus efektif terhadap C.trachomatis dan
N.gonorrhoeae, serta terhadap organisme gram-negatif fakultatif, anaerob, dan
streptokokus. Untuk menghindari pemberian rejimen yang tidak adekwat, setiap
dokter harus menyadari pedoman saat ini dan pola resistensi kuman secara
nasional dan lokal saat ini.
The Royal College of Obstetricians dan Gynaecologists (RCOG)
merekomendasikan dalam manajemen terapi wanita dengan PID disertai infeksi
HIV positif dengan regimen antibiotik yang sama digunakan untuk mengobati
perempuan dengan HIV-negatif.
Sejumlah penelitian yang dilakukan antara tahun 1992 dan 2006
menunjukkan efektivitas berbagai rejimen parenteral dan oral dalam
menghilangkan gejala akut dan mencapai penyembuhan secara mikrobiologis.
26

Tidak ada perbedaan besar dari hasil yang diidentifikasi antara manajeman pasien
dengan rawat inap maupun rawat jalan.
Pasien PID dengan intervensi regimen terapi antibiotik intravena (IV) dapat
dialihkan ke antibiotik oral dalam 24 jam setelah perbaikan klinis. Ini harus
dilanjutkan selama total 14 hari. Terapi oral biasanya menggunakan doxycycline.
Namun, azitromisin juga dapat digunakan. Pada pasien dengan abses tuboovarial,
terapi oral harus mencakup klindamisin atau metronidazole. Semua pasien harus
dievaluasi ulang 72 jam berikutnya untuk memantau perbaikan klinis dan
ketaatan pasien terhadap regimen antibiotik.
CDC telah merekomendasikan regimen antibiotik untuk rawat jalan dan
rawat inap pada pengobatan PID. Untuk pengobatan rawat jalan, CDC
mendaftarkan 2 regimen pengobatan yang diterima saat ini, disebut sebagai
sebagai regimen A dan B. Regimen A terdiri dari :
 Ceftriaxone 250 mg intramuskular (IM) dosis tunggal, ditambah
 Doksisiklin 100 mg secara oral dua kali sehari selama 14 hari
 Metronidazol 500 mg secara oral dua kali sehari selama 14 hari dapat
ditambahkan jika ada bukti atau dugaan vaginitis atau jika pasien
menjalani instrumentasi ginekologis 2 – 3 minggu sebelumnya

Regimen B terdiri dari:


 Cefoxitin 2 g IM dosis tunggal bersamaan dengan probenesid 1 g oral dosis
tunggal, atau sefalosporin generasi ketiga parenteral dosis tunggal
(misalnya, ceftizoxime atau cefotaxime), ditambah
 Doksisiklin 100 mg secara oral dua kali sehari selama 14 hari
 Metronidazol 500 mg secara oral dua kali sehari selama 14 hari dapat
ditambahkan jika ada bukti atau dugaan vaginitis atau jika pasien
menjalani instrumentasi ginekologis 2 – 3 minggu sebelumnya

Untuk rawat inap PID, CDC juga menerima 2 regimen pengobatan yang
diterima saat ini, sebagai regimen A dan B. Regimen A terdiri dari:
 Cefoxitin 2 g IV setiap 6 jam atau Cefotetan 2 g IV setiap 12 jam, ditambah
 Doksisiklin 100 mg secara oral atau IV setiap 12 jam
27

Regimen ini dilanjutkan selama 24 jam setelah klinis pasien mengalami


perbaikan, Jika terdapat abses tuboovarial, Klindamisin atau Metronidazol
digunakan bersama dengan doksisiklin untuk cakupan kuman anaerob yang lebih
efektif.
Regimen B terdiri dari :
 Klindamisin 900 mg IV setiap 8 jam ditambah
 Gentamisin IV loading dose 2 mg/kgBB, diikuti dengan dosis pemeliharaan
1,5 mg/kgBB setiap 8 jam
Terapi IV dapat dihentikan 24 jam setelah pasien membaik secara klinis, dan
terapi oral dengan doksisiklin 100mg 2x/hari harus dilanjutkan hingga total 14
hari. Jika terdapat abses, klindamisin atau metronidazole dapat digunakan dengan
doksisiklin untuk cakupan anaerob yang lebih efektif.
Regimen parenteral alternatif adalah Ampisilin – Sulbaktam 3 g IV setiap 6
jam bersama dengan doksisiklin 100 mg secara oral atau IV setiap 12 jam.
Doksisiklin oral memiliki bioavailabilitas yang sama dengan bentuk IV dan
menghindari pemasangan infus yang menyakitkan dan sklerosis vena. Dosis
gentamisin mungkin dapat diberikan setiap 24 jam. Sefalosporin generasi ketiga
lainnya bisa diganti dengan Cefoxitin dan Ceftriaxone.
Bagi individu yang alergi terhadap sefalosporin, Spektinomisin dianjurkan
di Eropa dan Kanada. Namun, agen ini saat ini tidak tersedia di Amerika Serikat.
Azitromisin 2 g dosis tunggal juga dapat digunakan pada pasien ini, tetapi tidak
secara rutin direkomendasikan, karena kekhawatiran terhadap resistensi antibiotik
ini dan intoleransi potensial pada dosis ini.
Pada bulan April 2016, CDC merekomendasikan untuk menghentikan
antibiotik Fluorokuinolon pada pengobatan gonore di Amerika Serikat. Perubahan
ini didasarkan pada analisis data dari CDC yang menunjukkan bahwa prevalensi
resistensi fluorokuinolon pada kasus gonore pria heteroseksual mencapai 6,7%,
dan meningkat 11 kali lipat dari 0,6% pada tahun 2001. Fluorokuinolon tidak lagi
dianjurkan, obat yang direkomendasikan untuk pengobatan gonore terbatas pada
Sefalosporin.
CDC tidak lagi merekomendasikan penggunaan Sefalosporin oral untuk
infeksi gonokokal akibat peningkatan angka resistensi gonococcal yang terjadi.
28

Untuk pengobatan urogenital, anorektal, dan gonore faring tanpa penyulit, CDC
merekomendasikan dosis IM tunggal ceftriaxone 250 mg bersama dengan dosis
oral tunggal azitromisin 1 g atau doksisiklin 100 mg per 12 jam selama 7 hari.
Jika Ceftriaxone tidak tersedia, cefixime 400 mg per hari dapat diberikan secara
oral dalam kombinasi dengan azitromisin atau doksisiklin. Jika ceftriaxone tidak
dapat diberikan karena alergi, maka Azitromisin 2 g dapat diberikan secara oral
dalam dosis tunggal.

2.3.5 Prognosis dan Komplikasi


PID memiliki 3 komplikasi utama, yakni nyeri pelvis kronis, infertilitas,
dan kehamilan ektopik. Nyeri panggul kronis terjadi pada sekitar 25% pasien
dengan riwayat PID. Nyeri ini diduga berkaitan dengan perubahan siklus
menstruasi, tetapi juga mungkin merupakan hasil dari adhesi atau hydrosalpinx.
Gangguan fertilitas merupakan perhatian utama pada wanita dengan riwayat PID.
Infeksi dan inflamasi dapat menyebabkan jaringan parut dan perlengketan di
dalam lumen tuba. Wanita dengan infertilitas faktor tuba, 50% tidak memiliki
riwayat PID tetapi terdapat parut pada tuba falopii dan antibodi C.trachomatis.
Tingkat infertilitas meningkat dengan jumlah episode infeksi. Risiko kehamilan
ektopik meningkat 15-50% pada wanita dengan riwayat PID. Kehamilan ektopik
adalah akibat langsung dari kerusakan tuba fallopi.
PID dapat menyebabkan abses tuboovarial, peritonitis pelvis, dan sindrom
Fitz-Hugh-Curtis (perihepatitis). Abses tuboovarial dilaporkan sebanyak sepertiga
wanita yang dirawat di rumah sakit akibat PID.

Anda mungkin juga menyukai