TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
Organisme yang paling sering terisolasi dalam kasus PID akut adalah
N.gonorrhoeae dan C.trachomatis. C.trachomatis adalah bakteri patogen
intraseluler dan merupakan mikroorganisme dominan pada infeksi menular
seksual yang dapat menyebabkan PID.
Di Amerika Serikat, N.gonorrhoeae tidak lagi merupakan organisme utama
yang terkait dengan PID, tetapi gonore dilaporkan sebagai penyakit infeksi
menular seksual tersering nomor dua, setelah infeksi klamidia. Secara klinis,
infeksi gonorrheal mungkin asimtomatik atau dapat bermanifestasi sama dengan
infeksi klamidia, namun lebih sering menghasilkan gejala akut. Diperkirakan 10-
20% dari infeksi klamidia atau gonorrheal yang tidak diobati berkembang menjadi
PID
5
6
Dalam sebuah studi cross-sectional dari 736 wanita dengan PID, pasien
dengan infeksi Trichomonas menunjukkan bukti histologis berupa peningkatan 4
7
Gambar 2. Kuman tersering terkait PID dalam pewarnaan Gram. Atas : Neisseria
gonorrhea; bawah : Chlamydia trachomatis
8
2.1.4 Patofisiologi
Sebagian besar kasus yang dicurigai sebagai PID terjadi dalam 2 tahap.
Tahap pertama adalah akuisisi infeksi vagina atau cervix. Infeksi ini sering
menular melalui hubungan seksual dan mungkin asimtomatik. Tahap kedua
adalah mikroorganisme naik secara langsung dari vagina atau cervix kegenitalia
bagian atas, dan menimbulkan infeksi serta inflamasi pada struktur yang terkena.
Mekanisme dimana mikroorganisme dapat naik bermigrasi dari saluran
genitalia yang lebih rendah belum jelas. Studi menunjukkan bahwa beberapa
faktor mungkin terlibat. Meskipun lendir cervix memberikan barrier secara
fungsional terhadap penyebaran ke atas, manfaat barrier ini berkurang dengan
adanya peradangan pada vagina dan oleh perubahan hormonal yang terjadi selama
ovulasi dan menstruasi.
Pengobatan antibiotik tehadap infeksi menular seksual dapat mengganggu
keseimbangan flora endogen dalam saluran genitalia bagian bawah, sehingga
menyebabkan organisme non-patogen normal tumbuh terlalu cepat dan naik
keatas.
Pembukaan cervix selama menstruasi, bersama dengan aliran menstruasi
retrograde, juga dapat memfasilitasi naiknya mikroorganisme ke saluran genitalia
bagian atas. Hubungan seksual dapat berkontribusi terhadap naiknya infeksi
melalui kontraksi rahim ritmik yang terjadi selama orgasme. Bakteri juga dapat
bersama sperma masuk menuju ke dalam uterus dan tuba.
Dalam saluran atas, sejumlah mikroba dan faktor pejamu tampaknya
mempengaruhi tingkat inflamasi yang terjadi, dan dengan demikian, jumlah
jaringan parut yang berikutnya akan berkembang. Infeksi tuba falopi awalnya
mempengaruhi mukosa, tetapi peradangan dapat dengan cepat memasuki zona
transmural. Peradangan ini, yang tampaknya dimediasi oleh komplemen, dapat
meningkatkan intensitas pada infeksi berikutnya.
11
dalam mendiagnosis PID. Bahkan, tidak ada tes tunggal sangat spesifik dan
sensitif untuk PID. Namun, sejumlah tes dapat digunakan untuk meningkatkan
spesifisitas diagnosis klinis. Sekret vagina yang telah diberikan saline dan
potasium hidroksida dapat diperiksa untuk adanya leukorrhea (> 10 per LPB).
Kehadiran leukorrhea sebagai indikator laboratorium yang paling sensitif dari
infeksi saluran genitalia bagian atas. Meskipun tidak spesifik, tidak adanya
leukorrhea merupakan prediktor negatif untuk PID.
Kultur Chlamydia secara kuantitatif mengidetifikasi dengan cepat replikasi
bakteri yang tampaknya terkait dengan penyakit aktif. Namun, penyelidikan DNA
dan hasil kultur ini sering tidak tersedia untuk dokter di unit gawat darurat pada
saat evaluasi awal. Pemeriksaan lainnya yang perlu dipertimbangkan meliputi ,
tes rapid protein reagin (RPR) untuk sifilis, virus hepatitis dan HIV serta urinalisis
yang dilakukan untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih. Namun, perlu
diketahui bahwa leukosit urin positif tidak menyingkirkan PID, karena setiap
proses inflamasi pada pelvis yang berdekatan dapat menghasilkan leukosit dalam
urin.
Pencitraan. Pemeriksaan ultrasonografi harus menjadi pemeriksaan
pencitraan diagnostik yang pertama yang dilakukan pada kasus dugaan PID di
mana ada temuan klinis yang ambigu atau tidak dapat dijelaskan atau
ketidakmampuan untuk melakukan pemeriksaan klinis yang memadai.
Ultrasonografi juga diindikasikan untuk mengevaluasi komplikasi PID, yang
dapat mempengaruhi tatalaksana operasi atau nonoperatif atau keputusan untuk
rawat inap pasien. Modalitas ini sudah tersedia, noninvasif, dan dapat dilakukan
disamping tempat tidur pasien. Ultrasonografi lebih disukai daripada CT scan
sebagai alat untuk mengidentifikasi pada anak perempuan atau remaja dengan
nyeri kuadran kanan bawah atau panggul, terutama karena kekhawatiran tentang
paparan radiasi. Sonografi transvaginal memungkinkan visualisasi rinci dari
uterus dan adneksa, termasuk ovarium dan tuba fallopi yang menebal. MRI
berfungsi sebagai modalitas pencitraan yang sangat baik dalam kasus-kasus di
mana temuan ultrasonografi tidak jelas. Dalam sebuah studi oleh Tukeva et al,
membandingkan MRI dengan sonogram, menemukan bahwa MRI lebih akurat
daripada ultrasonografi dalam mendiagnosis PID. Kadang-kadang, CT scan dapat
17
Gambar 5. Atas : memperlihat pencitraan melalui USG per abdominal, tampak gambaran anekoik
struktur tubular di sekitar adnexa, kesan seperti hidrosalping. Bawah : melelui USG tranvaginal,
tampak memperlihat struktur tubular di sekitar adnexa disertai debris, kesan piosalping.
19
kuadran kanan bawah atau nyeri di daerah panggul. 1,3 Peradangan melenyapkan
gambaran lemak dalam rongga panggul, akibat penebalan fasia. Endometritis
bermanifestasi sebagai pembesaran rongga rahim. Jika ada hidrosalpinx, cairan
yang mengisi struktur tubular mungkin terlihat di daerah adneksa.
Pada awal penyakit, temuan pada CT pada dasar pelvis tampak samar,
tampak pula penebalan ligamen uterosakral, cervicitis, oophoritis, salpingitis, dan
akumulasi cairan dalam kanal endometrium, tuba, dan rongga pelvis. Bahkan,
perubahan inflamasi ringan terlihat lebih baik dengan CT daripada ultrasonografi.
Gambar 7. Cairan dalam rongga endometrium dengan lemak panggul sugestif gambaran
endometritis.
Gambar 8. Wanita usia 40 tahun dengan nyeri periumbilikalis dan leukosit 16.000. Lokulasi lesi
kistik yang kompleks pada pertengahan pelvis dengan lipatan dan dinding tebal meningkatkan
dugaan terhadap pyosalpinx.
mungkin produk dari proses infeksi atau inflamasi lain di pelvis (misalnya, usus
buntu atau diverticulitis), atau mungkin akibat dari kontaminasi dengan isi vagina.
Sebuah hasil lebih dari 2 ml darah nonclotting konsisten dengan kehamilan
ektopik.
Biopsi endometrium. Digunakan untuk menentukan diagnosis
histopatologis endometritis, suatu kondisi yang seragam terkait dengan salpingitis.
Biopsi endometrium memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas 90%. Prosedur ini
dilakukan dengan pipet pengisap endometrium atau kuret dan ditoleransi dengan
baik. Spesimen untuk kultur juga dapat diperoleh selama prosedur, tetapi sering
terkontaminasi dengan flora vagina.
Pedoman CDC saat ini menyarankan biopsi endometrium dilakukan pada
wanita yang menjalani laparoskopi yang tidak memiliki tanda-tanda salpingitis,
dengan alasan bahwa endometritis mungkin satu-satunya tanda dari PID.
Penggunaan modalitas diagnostik biopsi endometrium di unit darurat terbatas.
Pelatihan operator yang signifikan diperlukan, dan hasil dari prosedur tidak segera
tersedia untuk para dokter.
Temuan biopsi endometrium biasanya mengkonfirmasi adanya infeksi
tetapi jarang mengidentifikasi organisme penyebabnya. Endometritis kronis lebih
sering ditemukan daripada endometritis akut.
2.3.2 Pencegahan
Pada suatu penelitian menunjukkan bahwa mencegah infeksi klamidia
dapat mengurangi insiden PID.1 Selain itu, siapa saja yang telah memiliki kontak
seksual dengan seorang wanita yang menderita PID dalam 60 hari sebelum onset
gejalanya harus diberikan terapi empiris untuk C.trachomatis dan N.gonorrhoeae.
Infeksi uretral gonokokal atau klamidia dengan rekan seorang wanita yang
terinfeksi sangat mungkin dan lebih sering tanpa gejala pada laki-laki. Wanita
yang didiagnosis dengan infeksi klamidia atau gonokokal harus dilakukan tes
ulang dalam waktu 3 – 6 bulan berikutnya. Wanita-wanita ini memiliki resiko
tinggi terjadinya infeksi ulang dalam waktu 6 bulan pengobatan. Remaja lebih
mungkin untuk terjadinya PID berulang daripada orang dewasa dan mungkin
memerlukan pendekatan yang berbeda untuk menindaklanjutinya.
Peningkatan edukasi, pemeriksaan rutin, diagnosis, dan pengobatan empiris
infeksi ini dapat mengurangi insiden dan prevalensi serta perkembangan gejala
sisa jangka panjang. Edukasi harus berkonsentrasi pada strategi untuk mencegah
PID dan IMS, termasuk mengurangi jumlah pasangan seksual, menghindari
24
praktik – praktik seksual tidak aman, dan secara rutin menggunakan perlindungan
barrier yang tepat. Remaja yang berisiko tinggi untuk terjadi PID, harus
disarankan untuk menunda interkoitus sampai usia 16 tahun atau lebih.
Wanita dengan PID harus dinasihati untuk menjauhkan diri dari aktivitas
seksual atau menggunakan perlindungan barrier dengan ketat dan tepat sampai
gejala mereka telah sepenuhnya mereda dan telah menyelesaikan seluruh rejimen
pengobatan .
The US Preventive Services Task Force(USPSTF) merekomendasikan
pemeriksaan untuk infeksia klamidia pada semua wanita tidak hamil yang aktif
secara seksual yang berumur 25 tahun atau lebih yang memiliki resiko tinggi
(Grade A), semua wanita hamil yang berumur 25 tahun atau lebih yang memiliki
resiko tinggi (Grade B). USPSTF merekomendasi untuk tidak melakukan
pemeriksaan rutin untuk wanita berumur 25 tahun atau lebih jika tidak memiliki
resiko tinggi (Grade C) dan pemeriksaan klamidia pada laki-laki.
Beberapa pasien yang diobati untuk IMS dan PID gagal mematuhi rejimen
pengobatan karena rendahnya kemampuan untuk membaca medikamentosa dan
pemahaman yang buruk tentang diagnosis penyakit yang mereka alami. Orang-
orang sering tidak menindaklanjuti atau tidak memberitahu mitra seksual mereka.
Pasien harus sepenuhnya dididik tentang masalah ini, serta tentang kelayakan
pemeriksaan dan pengobatan untuk IMS lain, termasuk infeksi HIV, hepatitis, dan
sifilis. Secara khusus, pedoman CDC 2010 menyatakan bahwa tes HIV harus
ditawarkan kepada semua wanita yang didiagnosis PID akut.
Penyakit berat
Immunodefisiensi (misalnya, pasien HIV dengan jumlah CD4 rendah atau
pasien yang menggunakan obat-obat imunosupresif)
Kegagalan mencapai perbaikan klinis selama 72 jam pasca rawat jalan
Di seluruh dunia, lebih dari 90% dari individu dengan HIV-positif dengan
PID ditangani sebagai pasien rawat jalan.
Sebuah studi di Nairobi tahun 2018, secara blind control untuk pasien
status HIV, menunjukkan bahwa perempuan yang terinfeksi HIV lebih mungkin
untuk mengalami PID yang berat, dan perbaikan klinis membutuhkan waktu lebih
lama, terlepas dari jumlah CD4. Namun, tidak ada perubahan dalam rejimen
antibiotik yang diperlukan. Kebanyakan pasien menunjukkan respon klinis dalam
48-72 jam setelah dimulainya terapi medikamentosa. Jika pasien terus mengalami
demam, menggigil, nyeri daerah uterus, nyeri adneksa, dan cervical motion
tenderness, maka dipertimbangkan kemungkinan penyebab lain dan rencanakan
untuk laparoskopi diagnostik.
Tidak ada perbedaan besar dari hasil yang diidentifikasi antara manajeman pasien
dengan rawat inap maupun rawat jalan.
Pasien PID dengan intervensi regimen terapi antibiotik intravena (IV) dapat
dialihkan ke antibiotik oral dalam 24 jam setelah perbaikan klinis. Ini harus
dilanjutkan selama total 14 hari. Terapi oral biasanya menggunakan doxycycline.
Namun, azitromisin juga dapat digunakan. Pada pasien dengan abses tuboovarial,
terapi oral harus mencakup klindamisin atau metronidazole. Semua pasien harus
dievaluasi ulang 72 jam berikutnya untuk memantau perbaikan klinis dan
ketaatan pasien terhadap regimen antibiotik.
CDC telah merekomendasikan regimen antibiotik untuk rawat jalan dan
rawat inap pada pengobatan PID. Untuk pengobatan rawat jalan, CDC
mendaftarkan 2 regimen pengobatan yang diterima saat ini, disebut sebagai
sebagai regimen A dan B. Regimen A terdiri dari :
Ceftriaxone 250 mg intramuskular (IM) dosis tunggal, ditambah
Doksisiklin 100 mg secara oral dua kali sehari selama 14 hari
Metronidazol 500 mg secara oral dua kali sehari selama 14 hari dapat
ditambahkan jika ada bukti atau dugaan vaginitis atau jika pasien
menjalani instrumentasi ginekologis 2 – 3 minggu sebelumnya
Untuk rawat inap PID, CDC juga menerima 2 regimen pengobatan yang
diterima saat ini, sebagai regimen A dan B. Regimen A terdiri dari:
Cefoxitin 2 g IV setiap 6 jam atau Cefotetan 2 g IV setiap 12 jam, ditambah
Doksisiklin 100 mg secara oral atau IV setiap 12 jam
27
Untuk pengobatan urogenital, anorektal, dan gonore faring tanpa penyulit, CDC
merekomendasikan dosis IM tunggal ceftriaxone 250 mg bersama dengan dosis
oral tunggal azitromisin 1 g atau doksisiklin 100 mg per 12 jam selama 7 hari.
Jika Ceftriaxone tidak tersedia, cefixime 400 mg per hari dapat diberikan secara
oral dalam kombinasi dengan azitromisin atau doksisiklin. Jika ceftriaxone tidak
dapat diberikan karena alergi, maka Azitromisin 2 g dapat diberikan secara oral
dalam dosis tunggal.