Anda di halaman 1dari 19

EPISTEMOLOGI ISLAM

Disusun untuk Memenuhi sebagian Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam


Dosen Pengampu: Drs. H. A. Burhanuddin, MPI

Disusun Oleh:
1. Dewi Lestari (203084) 7A
2. Erma Maullina Pratami (203094) 7A
3. Hastin Widy Astuti (203116) 7A
4. Noviana Rahmadani (203177) 7B
5. Nur Hartanti (203180) 7B
6. Qurotul Aini Putri (203196) 7B
7. Ruqoyyah Fauzia Aqnana (203216) 7B
8. Dinar Zuninda (213294) 7C
9. Nurkhasanah (213376) 7C
10. Tety Nur Halimah (213412) 7C
11. Istigfarani Hafizhah (213313) 7E
12. Muhammad Biran (203154) 7E
13. Wasila Sulasti (203246) 7E

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH KLATEN
TAHUN 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Cara Memperoleh Ilmu ....................................................................... 3
B. Objek Kajian Ilmu .............................................................................. 5
C. Kebenaran Ilmu .................................................................................. 8
D. Tujuan Ilmu ........................................................................................ 10
E. Ilmu dan Etika ..................................................................................... 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 15
B. Saran .................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Epistimologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang
hakikat ilmu. Ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan
metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang ada pada suatu objek kajian
ilmu. Apakah objek kajian ilmu itu, dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang
bisa dicapainya, dan kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian
ilmu, kebenaran objektif, subjektif, absolut atau relatif.
Subjek ilmu adalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang dan waktu
yang terbatas, sehingga kajian ilmu pada realitasnya, selalu berada dalam batas-
batas, baik batas-batas yang melingkupi hidup manusia sendiri, maupun batas-
batas objek kajian yang menjadi fokusnya, dan setiap batas-batas itu, dengan
sendirinya selalu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu. Batas-batas
waktu hidup seseorang, berpengaruh pada kkualitas kajiannya, sehingga banyak
sekali revisi dan koreksi dilakukan oleh seseorang terhadap hasil kajiannya
yang terdahulu. Demikian juga batas-batas pendidikan yang ditempuhnya,
sehingga hasil kajian disaat ia menjalani tingkat pendidikan S1, S2, dan S3
tentunya sedikit banyak juga berpengaruh pada kualittas hasil kajiannya,
meskipun ini tidak berlaku mutlak.
Disamping itu, kajian ilmu juga dibatasi oleh objek yang fokus
kajiannya, dan batas objek kajian akan membawa pada konsekuensi terhadap
pilihan metodologinya. Metodologi sebagai jalan penalaran sebuah kajian akan
mengkuti objek kajiannya, sehingga jika seseorang menerapkan pilihan objek
kajiannya pada satu sisi dan emosi seseorang, yang artinya menjadi kajian
psikologi. Maka, tentunya metode yang harus ditempuhnya adalah metodo yang
berlaku dalam kajian psikologi, dan dengan sendirinya, kajian teknik mesin
tidak bisa dipakai sebagai sebuah pendekatan metodologisnya. Jika seseorang
memaksakan kajian psikologi dengan metode teknik mesin, akan berakibat pada

1
hasil kajiannya, yang tentu saja kemungkinan besar terjadi penyimpangan dan
tingkat kebenarannya diragukan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, di bawah ini rumusan masalah yang
dapat paparkan sebagai berikut:
1. Bagaimana cara memperoleh ilmu?
2. Apa saja objek kajian ilmu?
3. Apa yang dimaksud kebenaran ilmu?
4. Apa saja tujuan ilmu?
5. Apa yang dimaksud ilmu dan etika?

C. Tujuan
Adapun tujuan yang akan dipaparkan sebagaimana rumusan masalah di
atas sebagai berikut:
1. Cara memperoleh ilmu
2. Objek kajian ilmu
3. Kebenaran ilmu
4. Tujuan ilmu
5. Ilmu dan etika

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Cara Memperoleh Ilmu


Dalam konsep filsafat, ilmu dapat diperoleh melalui dua jalan, yaitu
jalan kasbi atau khushulin dan jalan ladunni atau khudhuri. Kasbi atau khushulin
adalah cara berpikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten
dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan.
Ilmu ini biasa diperoleh manusia pada umumnya, seseorang yang menempuh
proses itu dengan sendirinya ia akan memperoleh ilmu tersebut. Sedangkan
ilmu ladunni atau khudhuri, diperoleh orang-orang tertentu, dengan tidak
melalui proses ilmu pada umumnya, tetapi oleh proses pencerahan oleh
hadirnya cahaya Ilahi dan qalb, dengan hadirnya cahaya Ilahi semua pintu ilmu
terbuka menerangi kebenaran, terbaca dengan jelas dan terserap dalam
kesadaran intelek. Seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan
secara langsung.
Disini Tuhan bertindak secara sebagai pengajarnya seperti yang
dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa Tuhan bertindak sebagai pengajar bagi
Adam yang telah mengajarkan kepadanya nama-nama benda seperti yang
ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah: 31-32.
َ ُ ََٰٓ َ ْ َ َ َ َ َ َ ََٰٓ ْ َ
ُ ُ َ َ َ ُ َُّ َ َ ْ َ ََّ
ْ‫نتم‬‫َوعل َم َءاد َم ٱلأ ْسما َٓء كل َها ثَّم ع َرض ُه ْم على ٱل َمل ِئك ِة فقال أن ۢ ِب ُٔـ ِونى ِبأسما ِٓء هؤلا ِٓء ِإن ك‬
َ َ َ َ َّ َ َ َّ َّ َ َ َ َ ُ َ
٣٢ ‫ قالوۡا ُسب َٰۡحنك لا ِعل َۡم ل َنآ ِالا َما َعلمۡتنا ؕ ِانك انۡت ال َۡع ِلي ُۡم الۡح ِكي ُۡم‬٣١ ‫ين‬ َ
‫ص ِد ِق‬
ََٰ

Artinya: (31) Dan telah diajarkan Nya kepada Adam nama-nama


semuanya, kemudian Dia kemukakan semua kepada Malaikat, lalu Dia
berfirman: Beritakanlah kepada-Ku nama-nama itu semua, jika kamu adalah
makhluk-makhluk yang benar. (32) Mereka menjawab: Maha suci Engkau!
Tidak ada pengetahuan bagi kami, kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami.
Karena sesungguhnya Engkaulah yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana.
Bukan hanya kepada Adam, kepada manusia lain pun Tuhan juga
bertindak sebagai pengajar yang mengajarkan kepada manusia tentang apa yang
tidak diketahuinya, seperti yang ditegaskan oleh QS. Al-Alaq ayat 1-5.

3
َّ ََ َّ َ ْ ْ
ُ َ َ ُّ َ َ َ َ ََ َ ََ َ َ ْ
ۡ‫ال ِذى‬٣ ‫ ِاقۡراۡ وربك الۡاكۡرم‬٢ ‫خلق ال ِۡانۡسان ِمنۡ علق‬١‫ٱق َرأ ِبٱس ِم ر ِبك ٱل ِذى خلق‬
َ َ
َ َ َ ََّ َ َ ََّ
٥ ؕۡ‫عل َم ال ِۡان َۡسان َما لمۡ َيعۡلم‬٤ ‫عل َم ِبالۡقل ِم‬
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena.
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dalam kaitan ini, secara teknis Al-Qur’an juga memperkenalkan suatu
cara membaca dengan kesadaran Bahiyah. Seperti yang dinyatakan dalam QS.
Al-Alaq ayat 1.
َّ َ ْ ْ
ََ َ َ ْ
١‫ٱق َرأ ِبٱس ِم ر ِبك ٱل ِذى خلق‬
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan.
Membaca yang di perintahkan Tuhan kepada Nabi Muhammad saw.
Seperti yang di jelaskan Al-Qur’an di atas, tidak membaca deretan huruf-huruf
dan susunan kata-kata, akan tetapi membaca realitas dalam sebagai dimensinya
dalam kehidupan di sekelilingnya. Melalui bacaan demikian, Nabi Muhammad
saw. memperoleh wawasan spiritual dan penguasaan pengetauan hikmah. Hal
ini di mungkinkan karena Nabi mempunyai kecerdasan suci. Barangkali karena
hikmah ini juga yang di nasehatkan oleh gurunya imam Syafi’i ketika ia
mengeluhkan kemampuan menghafal yang jelek, dan gurunya memberi nasehat
kepadanya untuk meninggalkan atau tidak melakukan tindakan kemaksiatan.
Dengan membersihkan qalb dan mengosongkan egoisme dan
keakuanya ke titik nol, maka ia berdiri di hadapan Tuhan, seperti seorang murid
berhadapan pada gurunya. Dalam keadaan demikian, ia mempunyai komitmen
yang tinggi atas kebenaran yang diserapnya dan ia melibatkan diri dalam proses
menjadikan kebenaran dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, mereka
yang sudah mencapai ilmu ladunni akan ditandai oleh komitmenya yang tinggi
dalam perilaku kemanusiaan untuk membela kebenaran dan berusaha
mewujudkan dalam kehidupan masyarakat.
Cahaya atau nur Allah hanya akan masuk ke dalam ruh dan qalb untuk
membaca, memahami, dan menyerap kebenaran, jika seseorang telah dapat

4
mengosongkan aql dan qalbnya dari egoisme, ke-aku-an, keangkuhan, dalam
keihlasan yang total.1

B. Objek Kajian Ilmu


Filsafat Islam berpandangan bahwa objek kajian ilmu adalah ayat-ayat
Tuhan sendiri, yang mencakup ayat-ayat Tuhan yang tertulis dalam kitab suci
yang berisi firman-firman-Nya, dan juga ayat-ayat Tuhan yang tersembunyi
dalam ciptaan-Nya, termasuk alam semesta dan manusia itu sendiri. Penelitian
terhadap kitab suci menghasilkan ilmu agama, sementara penelitian tentang
alam semesta dalam dimensi fisik atau materi menghasilkan ilmu alam dan ilmu
pasti, yang mencakup penelitian tentang manusia dalam konteks dimensi
fisiknya. Namun, penelitian pada aspek non-fisik manusia, seperti perilaku,
watak, dan eksistensinya dalam berbagai aspek kehidupan, menghasilkan ilmu
humaniora. Selain itu, kajian terhadap ketiga ayat-ayat Tuhan itu yang
dilakukan pada tingkatan makna, yang berusaha untuk mencari hakikatnya,
melahirkan ilmu filsafat.
Oleh karena itu, jika dilihat pada objek kajiannya, maka agama, ilmu,
dan filsafat adalah berbeda baik dalam hal metode yang ditempuhnya maupun
tingkat dan sifat dari kebenaran yang dihasilkannya. Akan tetapi jika dilihat dari
sumbernya, maka ketiganya berasal dari sumber yang satu, yaitu ayat-ayat-Nya.
Dalam kaitan ini, maka ketiganya pada hakikatnya saling berhubungan dan
saling melengkapi. Ilmu dipakai untuk memecahkan persoalan-persoalan
teknis. Filsafat memberikan landasan nilai-nilai dan wawasan yang
menyeluruh, sedangkan agama mengantarkan kepada realitas pengalaman
spiritual, memasuki dimensi yang Ilahi.
Agama dilihat dari segi doktrin, kitab suci dan eksistensi kenabian
adalah bidang kajian ilmu agama. Akan tetapi jika dilihat dari pengalaman,
pemikiran, dan penafsiran manusia terhadap doktrin kitab suci, Tuhan, dan
kenabian itu maka kajian atas pemikiran dan pemahaman manusia tersebut

1
Musa Asy’arie, Filsafat Islam dan Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: Lesfi, 2017),
hal. 61-64

5
dapat masuk pada kajian ilmu humaniora. Sedangkan kajian filsafat dapat
memberikan penjelasan dan konsep mengenai Tuhan, doktrin, dan kenabian,
tetapi sifatnya spekulatif dan hanya agama yang dapat memberikan tata cara
yang teknis bagaimana berhubungan dengan Tuhan dan menghayati ajaran-
ajaran-Nya yang dibawa oleh para Nabi utusan-Nya dan yang tentang dalam
kitab suci.
Oleh karena itu wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya bercorak
tauhid dan tauhid dalam konsep Islam tidak hanya berkaitan dengan konsep
teologi saja tetapi juga dalam konsep antropologi dan epistemologi.
Epistemologi Islam sesungguhnya tidak mengenal prinsip ekonomi keilmuan
seperti yang sekarang banyak dilakukan di kalangan umat Islam Indonesia yang
membagi ilmu agama dan ilmu umum atau syariah dan non syariah yang secara
institusional dipisahkan penyelenggaraanya, yaitu ilmu agama penyelenggaraan
pendidikannya di bawah Kementrian Agama dan yang umum penyelenggaraan
pendidikannya di bawah Kementrian Pendidikan. Telah dijelaskan dalam Al-
Qur’an, yaitu ayat-ayat tentang alam, manusia, dan kitab suci yang di dalamnya
terdapat hukum-hukum dan semuanya itu diciptakan agar manusia mau
memikirkannya. Karena dalam proses pemikiran tersebut maka akan diketahui
kebenaran yang memungkinkan manusia memanfaatkan untuk kepentingan
hidupnya. Dalam QS. Al-Zukhruf ayat 3-4 dijelaskan bahwa dirinya sebagai
objek berfikir dan menjadi pusat pengetahuan hikmah:
َ ََ َ َ
َ َٰ ُ ٗ َّ َ ُ َ ُ َّ َ َّ ًّ َ ً ُ ُ َٰ َ َ َّ
٤ ؕ‫ َواِ نه ِف ۤۡىۡ ا ِم ال ِۡكت ِب لديۡنا لع ِل ٌّى ح ِكيۡم‬٣‫ِانا جعلۡنه قر َٰۡءنا ع َر ِبيا لعلكمۡ تع ِۡقلوۡن‬
Artinya: Sesungguhnya kami menjadikan Al-Qur’an berbahasa Arab
agar kamu berpikir. (3) Dan sesungguhnya Al-Qur’an dalam induk Kitab, di
sisi Kami adalah tinggi dan penuh hikmah.(4)
Selanjutnya QS. Al-Baqarah ayat 164 mengatakan tentang alam
sebagai objek pemikiran untuk kepentingan hidup manusia.
َ َ ْ ْ ْ َ َّ ْ ُ ْ َ َ َّ َ ْ َّ ََٰ ْ َ َ
ْ ‫إَّن فى َخ ْلق ٱ َّلس ََٰم ََٰوت َوٱ ْلأ‬
‫ك ٱل ِتى تج ِرى ِفى ٱل َبح ِر ِبما َينف ُع‬
ِ ‫ل‬ ‫ف‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬‫و‬ ‫ار‬
ِ ‫ه‬ ‫لن‬ ‫ٱ‬‫و‬ ‫ل‬ ِ ‫ي‬‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫ف‬ ‫ل‬
ِ ِ‫ت‬‫خ‬ ‫ٱ‬ ‫و‬ ‫ض‬ ِ ‫ر‬ ِ ِ ِ ِ
ُ َ ْ َ َ َ
َ َّ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َّ َ َّ َ ُ َّ َ َ َ َ َّ
‫يها ِمن ك ِل دآَّبة‬ َ ‫ثف‬
ِ ‫اس ومآ أنزل ٱّلل ِمن ٱلسما ِٓء ِمن مآء فأحيا ِبهِ ٱلأرض بعد موتِها وب‬ ‫ٱلن‬
َ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ َّ ْ َ َّ َ ََٰ ْ ََ
١٧٤‫اب ٱل ُم َسخ ِر َب ْين ٱ َّلسما ِٓء َوٱلأ ْر ِض ل َء ََٰايت ِلق ْوم َيع ِقلون‬ ِ ‫وتص ِر ِيف ٱ ِلري ِح وٱلسح‬

6
Artinya: Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian
malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang
bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air,
lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan
di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-
tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.
Pada ayat lain, yaitu QS. Ar-Rad ayat 3-4) juga menambahkan:
َ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َّ َ َّ ُ
َْ ْ َ ْ َ َ َّ ُ ْ َ َ ََٰ َ َ
‫َوه َو ٱل ِذى مد ٱلأرض وجعل ِفيها رو ِسى وأنهرا ومِ ن ك ِل ٱلثمر ِت جعل ِفيها زوجي ِن ٱثني ِن‬
ْ َ َٰ َ َ ً َ َٰ

ََّٰ َ ََٰ َ َ َ ْ َ َّ َ َ َ َ َ ََٰ َّ َّ َ َّ ْ


‫ َو ِفى ٱلأ ْر ِض ِقطع ُّمتج ِو ََٰرت َوجنت‬٣‫ُيغ ِشى ٱل ْيل ٱلن َه َار ِإن ِفى ذ ِلك ل َء ََٰايت ِلق ْوم َيتفك ُرون‬
ْ َ َٰ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ َ َ َٰ َ َٰ َ ْ ُ َ ْ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ََٰ ْ َ ْ
‫ن يل ِصنوان وغير ِصنوان يسقى ِبمآء و ِحد ونف ِضل بعضها على بعض ِفى‬ ِ‫ِمن أعنب وزرع و خ‬
َ ُ ْ َ َ َ ََٰ َّ ُُ ْ
٤‫ٱلأك ِل ِإن ِفى ذ ِلك ل َء ََٰايت ِلق ْوم َيع ِقلون‬
Artinya: Dan Dia yang menghamparkan bumi dan menjadikan gunung-
gunung dan sungai-sungai di atasnya. Dan padanya Dia menjadikan semua
buah-buahan berpasang-pasangan; Dia menutupkan malam kepada siang.
Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
orang-orang yang berpikir (3) Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang
berdampingan, kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, pohon kurma yang
bercabang, dan yang tidak bercabang; disirami dengan air yang sama, tetapi
Kami lebihkan tanaman yang satu dari yang lainnya dalam hal rasanya.
Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
orang-orang yang berakal.(4)
Sedangkan mengenai manusia, QS. Ar-Rum ayat 20-21 mengatakan:
ُ َ ََ َ ْ َ َ ُ َ َ َ َ ُ َ َ َُّ ُ ُ ََ َ ْ َ
‫ ومِ ن ءاي ِتهِ ۦٓ أن خلق لكم‬٢٠ ‫َومِ ْن َء ََٰاي ِتهِ ۦٓ أن خلقكم ِمن تراب ثم ِإذآ أنتم بشر تنت ِشرون‬
َ َٰ َ ْ َ َ
َ َ َ ََٰ َّ ً ْ ً َّ ُ َْ َ َ َ َ ۟ ُ ُ َ ً َْ ُ ُ َ
‫ِم ْن أنف ِسك ْم أز ََٰوجا ِلت ْسكنوٓا ِإل ْي َها َوجعل َبينكم َّم َودة َو َرح َمة ِإن ِفى ذ ِلك ل َء ََٰايت ِلق ْوم‬
َ َّ َ َ
٢١ ‫َيتفك ُرون‬
Atinya: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia
menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia
yang berkembang biak.(20) Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah
Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.(21)2

2
Ibid, hal. 54-57

7
C. Kebenaran Ilmu
Kebenaran selalu berkaitan dengan dimensi keilmuan menjadi prinsip
yang fundamental dalam epistemologi. Di dalamnya tersusun nilai-nilai benar
dan salah. Kebenaran dalam wacana keilmuan sepenuhnya bersandar kepada
manusia melalui kemampuannya mengembangkan kapasitas berpikirnya yang
bekerja untuk mencapai suatu kebenaran, dan seringkali kebenaran itu gagal
dicapainya. Sebaliknya berbagai kesalahan justru muncul dan dari berbagai
kesalahan itu, baru kemudian didapatkan suatu kebenaran, dan kebenaran
menjadi anak kandung kesalahan. Kebenaran hanya dapat diketahui seseorang
karena ada kesalahan yang ditemuinya. Oleh karena itu, kesalahan seharusnya
membawa seseorang kepada kebenaran. Kebenaran dalam wacana ilmu adalah
ketepatan metode dan kesesuaiannya antara pemikiran dengan hukum-hukum
internal dari objek kajiannya. Setiap objek pemikiran secara internal sudah ada
hukum-hukum yang menjadi bagian dari adanya, sejak awal keberadaannya.
Dengan pemahaman atas hukum-hukum itu, maka manusia bisa memanfaatkan
untuk kepentingan hidupnya, karena melalui pemahaman dan penguasaan atas
hukum-hukum itu suatu kebudayaan akan terbentuk.
Oleh karena objek pemikiran itu berbeda, maka hukum-hukum internal
dan objek pemikiran itu juga berbeda, sehingga perbedaan ini juga berakibat
pada perbedaan kebenaran. Masing-masing ilmu pada dasarnya memiliki
tingkat kebenarannya sendiri-sendiri, yang masing-masing kebenaran itu tidak
bisa saling meniadakan. Kebenaran ilmu alam, berbeda dengan kebenaran
filsafat dan berbeda pula dengan kebenaran agama. Kebenaran ilmu alam
bersifat lebih objektif daripada kebenaran filsafat dan agama, akan tetapi tidak
berarti tingkat objektivitasnya dapat dicapai seratus persen. Bagaimanapun
juga, suatu kebenaran ilmu pada dataran apapun tidak terlepas dari kapasitas
pemikiran. Pemikiran adalah bagian dari diri pribadi yang sangat kompleks,
yang tidak pernah dapat melepaskan diri dari bawaan pribadinya. Hal ini akan
sangat berpengaruh pada realitas kebenaran itu.3

3
Ibid, hal. 64-65

8
Ilmu pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk menjelaskan
berbagai fenomena empiris yang terjadi di alam ini, tujuan dari upaya tersebut
adalah untuk memperoleh suatu pemahaman yang benar atas fenomena
tersebut. Terdapat kecenderungan yang kuat sejak berjayanya kembali akal
pemikiran manusia adalah keyakinan bahwa ilmu merupakan satu-satunya
sumber kebanaran, segala sesuatu penjelasan yang tidak dapat atau tidak
mungkin diuji, diteliti, atau diobservasi adalah sesuatu yang tidak benar, dan
karena itu tidak patut dipercayai.
Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah dapat
dijawab dengan ilmu, banyak sekali hal-hal yang merupakan konsern manusia,
sulit, atau bahkan tidak mungkin dijelaskan oleh ilmu seperti masalah Tuhan,
hidup sesudah mati, dan hal-hal lain yang bersifat non – empiris. Oleh karena
itu bila manusia hanya mempercayai kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya
kebenaran, maka dia telah mempersempit kehidupan dengan hanya
mengikatkan diri dengan dunia empiris, untuk itu diperlukan pemahaman
tentang apa itu kebenaran baik dilihat dari jalurnya (gradasi berfikir) maupun
macamnya.4
Kebenaran ilmu pengetahuan tidak bersifat absolut. Kebenaran ilmu
pengetahuan dapat diterima selama tidak ada fakta yang menolak
kebenarannya. Kebenaran ilmu pengetahuan bersifat pragmatis. Ilmu
pengetahuan yang dipandang benar dan dianggap sebagai pengetahuan yang
sahih sepanjang tidak ditolak kebenarannya dan bermanfaat bagi manusia. Ilmu
pengetahuan juga tidak selalu memberikan jawaban yang memuaskan terhadap
masalah-masalah manusia. Ilmu pengetahuan mempunyai berbagai
keterbatasan dan keterbatasan inilah yang memerlukan bantuan filsafat dalam
memberikan bantuan filsafat dalam jawaban.
Kebenaran filsafat diperoleh dengan melakukan perenungan
kefilsafatan dan bersumber dari rasio sehingga menghasilkan kebenaran yang
bersifat subyektif dan solipsistik, sehingga tidak mampu memberikan jawaban

4
Mulyo Wiharto, Kebenaran Ilmu, Filsafat dan Agama, Forum Ilmiah Indonesia. Vol. 2. No.
3, 2005

9
yang memuaskan semua pihak. Untuk permasalahan-permasalahan filsafat
tertentu juga tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, maka manusia
mencari jawaban yang pasti dengan kebenaran kepada agama. Kebenaran
agama bersifat mutlak karena berasal dari sesuatu yang mutlak dan memberikan
penyelesaian yang memuaskan bagi banyak pihak. Agama memberikan
kepastian yang mantap terhadap suatu bentuk kebenaran karena kebenaran
agama didasarkan pada suatu kepercayaan. Agama mengandung sistem credo
atau tata kepercayaan tentang sesuatu yang mutlak di luar manusia.
Dalam konsep filsafat Islam, kebenaran sesungguhnya datang dari
Tuhan melalui hukum-hukum yang sudah ada ditetapkan pada setiap ciptaan-
Nya, yaitu dalam alam semesta, manusia dan Al-Qur’an semua itu merupakan
ayat-ayat Tuhan yang menjadi sumber kebenaran yang terkandung dalam
sunnatullah, hukum alam, hukum akal sehat, dan juga hukum agama
(moralitas).5 Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 60 menegaskan:
َ ُ َ َ َ َ ُّ َ َ
٦٠ ‫الۡحـق ِمنۡ َّر ِبك فلا تكنۡ ِم َن ال ُۡممۡت ِري َۡن‬
Artinya: Kebenaran itu dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau
(Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.
Selanjutnya Al-Qur’an surat Saba’ ayat 6 menegaskan:
َْ ْ َّ َّ
َْ ٰ ْ ْ ُ ْ ُ
َ َ ََّ َ ُ َ َّ ْ َ ْ َ َ ْ ْ ‫َو َي َرى الذيْ َن ا ْو ُتوا الع ْل َم الذ‬
٦‫اط الع ِزْي ِزالح ِم ْي ِد‬
ِ ‫ي ِالى ِص َر‬
ْٓ ‫ي ان ِزل ِاليك ِمن ر ِبك هو الحقَّۙ ويه ِد‬
ْٓ ِ ِ ِ

Artinya: "Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat


bahwa (wahyu) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu itulah
yang benar dan memberi petunjuk (bagi manusia) kepada jalan (Allah) Yang
Mahaperkasa, Maha Terpuji."

D. Tujuan Ilmu
Secara Ontologis, ilmu pada dasarnya adalah manusia. Ia lahir dari
manusia dan untuk manusia. Ilmu merupakan proses manusia menjawab
ketidaktahuannya mengenai berbagai hal dalam hidupnya. Sebagai jawaban
manusia, ilmu adalah produk manusia. Dari jurusan ini, maka ilmu tergantung
sepenuhnya pada manusia, yaitu bagaimana keadaan manusia menghadapi

5
Ibid, hal. 67-68

10
ketidaktahuannya itu dan bagaimana ia melihat hal yang tidak diketahuinya itu,
dari sisi mana dan bagaimana. Oleh karena itu, tujuan ilmu pada hakikatnya
tidak dapat dilepaskan dengan realitas dan tantangan yang dihadapi manusia itu
sendiri.
Dalam kehidupan ini keadaan dan situasi hidup manusia selalu berubah,
ketika ia belum tahu hukum-hukum alam ataupun hukum-hukum objek
kajiannya yang lain, barangkali ia memandangnya dengan berbagai perasaan,
baik perasaan takut, mengagumi dan bahkan mendapatkan tantangan yang
mengasyikkan. Akan tetapi, setelah semua perasaan itu dilaluinya dan ia
menemukan hukum-hukum serta jawaban yang dicarinya, bisa saja keadaan
menjadi berubah. Karena dengan hukum-hukum dan jawaban yang diketahui
dan dikuasainya itu terbentang sejumlah kemungkinan di depan matanya yang
dapat dimanfaatkan untuk mengubah keadaan hidupnya.
Pada tahap ini ilmu merupakan bagian dari usaha manusia untuk
mengubah kehidupannya menjadi lebih baik lagi, dan dalam perkembangannya
ilmu menjadi alat manusia mewujudkan keinginannya, bahkan mengabdi pada
kepentingannya. Dalam masyarakat yang semakin modern, dimana kapitalisme
yang menggerakkan industrialisasi makin menentukan kehidupan manusia,
maka ilmu telah bergeser kedudukannya untuk kepentingan memperkuat
kapitalisme. Ilmu telah berpihak dan bekerja sama dengan kekuasaan politik
dan kekuatan militer dalam sebuah kepentingan ekonomi dari suatu elite
masyarakat baru atau kapitalisme baru.
Akibat yang lebih jauh lagi baik dalam proses maupun produk, ilmu
tidak netral lagi dan ilmu sepenuhnya berpihak untuk kepentingan-kepentingan
penciptanya, suatu kelompok kecil yang menguasai dana atau ekonomi,
kekuasaan politik, dan kekuatan militer. Kesatuan dan kerja sama ekonomi,
politik, dan militer ini untuk ilmu dan teknologi, merupakan aksi penindasan
elite menguasai kepentingan terhadap rakyat yang semakin tak berdaya. Oleh
karena itu, munculnya konflik dari para elite yang menguasai iptek, ekonomi,
politik, dan militer, atau konflik di antara mereka sendiri, telah berkembang
makin kompleks dan telah melahirkan bencana dan penderitaan dimana-mana,

11
dimana rakyat dan mereka yang menjadi korbannya sama sekali tidak dapat
mengerti apa sebenarnya yang terjadi dan menimpa mereka. Hal ini dikarenakan
mereka memang telah berada di luar sistem elite itu.
Ilmu untuk ilmu. Barangkali hanya mungkin terjadi dalam kehidupan
yang asketik, di mana seseorang menikmati kebahagiaan spiritual karena
penemuan-penemuan baru dalam ilmunya, tanpa mengaitkan dengan
kepentingan dirinya dan kepentingan pihak-pihak lain yang mungkin sangat
memerlukan untuk tujuan-tujuan ekonomi, politik dan kekuasaan. Akan tetapi
dalam kehidupan yang makin materialistik ini, barangkali jumlah mereka sangat
kecil dan kebanyakan ilmu telah menjadi suatu komoditi, sehingga kalangan
akademisi dan intelektual telah terkooptasi gaya hidup baru yang materialistik
itu. Mereka hidup dalam menara gading yang tenang dan ilmunya diperjual
belikan untuk kepentingan elite, melalui riset-riset pesanan yang memihak.
Dalam konsep Filsafat Islam, ilmu pada hakikatnya merupakan
perpanjangan dan pengembangan ayat-ayat Allah. Sedangkan ayat-ayat Allah
merupakan eksistensi kebesaran-Nya dan manusia diwajibkan untuk berpikir
tentang ayat-ayat Allah itu, untuk tujuan yang tidak bertentangan dengan ajaran-
ajaran-Nya. Sebaliknya, tidak untuk merusak dan melahirkan kerusakan dalam
kehidupan bersama karena akibat buruknya juga menimpa dirinya sendiri. Oleh
karena itu, kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum-hukum ilmu atau
konsep teoritik tidak boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu, karena
akibatnya dapat merusak. Al-Qur’an Surat Al-Mu’minun 71 mengatakan:
َ َٰ َ َ ُ َ ُ َ َ ُّ َ َ َّ َ
َّ ‫ـق اه َۡوا َٓء ُهمۡ ل َف َس َدت‬
ۡ‫الس َٰم َٰوت َوالۡارۡض َو َمنۡ ِفي ِۡهَّن َبلۡ اتيۡن ُهمۡ ِب ِذك ِۡر ِهمۡ ف ُهم‬ ِ ‫َول ِو ات َبع الۡح‬
َ ُ َ
٧١‫ۡن‬ ؕ ‫عنۡ ِذك ِۡر ِهمۡ ُّمع ِۡرضو‬
Artinya: Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti
binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya
Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka
tetapi mereka berpaling dari peringatan itu.6

6
Ibid, hal. 68-71

12
E. Ilmu dan Etika
Dalam bukunya yang berjudul Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam
Berpikir, Musa Asyi’arie menggambarkan bahwa Ilmu hakikatnya pembebasan
manusia. Semua manusia menghadapi kehidupan ini dengan ketidakberdayaan,
mempunyai perasaan yang kecil berhadapan dengan realitas di tuanya yang
besar, baik alam di sekitarnya, seperti gunung berapi yang sewaktu-waktu dapat
memuntahkan laharnya yang mengerikan, maupun sesama makhluk hidup
lainnya, seperti binatang buas, yang sewaktu-waktu bisa menerkamnya dan
merobek-robek tubuhnya. Dengan ilmu, manusia dapat menghadapi tantangan
dan dapat menghindari resiko-resiko yang dihadapi hidupnya Ilmu dengan
demikian membebaskan manusia dari ketakutan dan penderitaan.
Dalam perkembangannya, ilmu telah menjadi suatu sistem yang
kompleks, dan manusia terperangkap di dalamnya. Sulit dibayangkan manusia
bisa hidup layak tanpa ilmu. Ilmu tidak lagi membebaskan manusia, tetapi
manusia menjadi terperangkap hidupnya dalam sistem ilmu. Manusia telah
menjadi bagian dari sistemnya, manusia juga menjadi objeknya dan bahkan
menjadi kelinci percobaan ilmu. Ilmu telah melahirkan makhluk baru yang
sistematik, mempunyai mekanisme yang kadangkala tidak bisa dikontrol oleh
manusianya sendiri. Suatu mekanisme sistomik yang makin hari makin kuat,
makin besar makin kompleks, dan rasanya telah menjadi suatu dunia baru di
atas dunia yang ada ini.
Dunia baru yang artifisial ini, mempunyai etikanya sendiri, yang berada
di luar etika besar sebagai wujud dan pembebasan manusia. Suatu etika yang
pada dasarnya sangat pregmatik, dan sangat tergantung pada tawar-menawar
dengan kepentingan-kepentingan ekonomi, kekuasaan politik, dan kekuatan
militer. Karena tanpa ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan ekonomi,
kekuasaan politik, dan kekuatan militer tidak akan berjalan dengan efektif.
Etika pragmatik yang mengakomodir semua kepentingan yang ada dan untuk
menjaga eksistensinya masing-masing dalam dunia baru yang artifisal, yang
disangga oleh ke empat pilar raksasa, yaitu iptek, uang, kekuasaan dan
kekerasan, dalam sistem kehidupan yang menindas rakyat atau yang lemah.

13
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara
etika pragmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika pragmatik
berorientasi pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama
antara iptek, uang, kekuasaan, dan kekerasan, yang cenderung menindas untuk
kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik, dengan etika pembebasan
manusia dan penindasan kekuatan elite, etika pembebasan yang bersifat
spiritual dan universal.
Etika pembebasan manusia yang bersifat spiritual dan universal itu, bisa
muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang menolak etika pragmatik yang
dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu yang menjujung tinggi kebenaran,
kebebasan, dan kemandirian. Ilmuwan ini biasanya bekerjasama dengan para
rohaniawan dan rakyat kecil pada umumnya, menjadi sebuah gerakan
perlawanan terhadap berlangsungnya etika pragmatik yang bertumpu pada
kekuasaan birokrasi politik yang sudah mapan.
Dalam pandangam filsafat Islam, kebenaran dan ilmu tidak boleh berada
di bawah kekuasaan hawa nafsu, karena akan melahirkan kerusakan. Dengan
demikian etika ilmu adalah keberpihakan kepada kebenaran, pembebasan
manusia, dan kemandirian. Artinya, tidak terkooptasi oleh sistem yang
menindas. Al-Qur’an Surat an-Nisa 161-162 mengatakan:
َ َ َ َ
ً‫ين م ْن ُه ْم َع َذابا‬ َ ‫الناس ب ْال َباطل َوأ ْع َت ْد َنا للْ َكافر‬ َّ َ َ ْ ْ ْ َ ُ ْ َ ُ ُ ْ ََ َ
‫الربا وقد نهوا عنه وأك ِل ِهم أموال‬ ُ ْ َ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫وأخ ِذ ِهم‬
ْ‫نزل من‬ َ ُ َ َ َ َْ َ ُ َ َ ُ ْ ُ َ ُ ْ ْ َ ْ ُ ْ ْ ْ َ ُ َّ َ
ً
َ
ُ
‫ ل ِك ِن الر ِاسخون ِفي ال ِعل ِم ِمنهم والمؤ ِمنون يؤ ِمنون ِبما أنزل ِإليك وما أ‬١٦١ ‫أ ِليما‬
ِ
ُ
ْ‫ك َس ُن ْؤ ِتيهم‬ َ َ
‫ئ‬ ‫ول‬ ‫أ‬ ‫ر‬ ‫الآخ‬ ‫م‬ ْ ‫اّلل َو ْال َي‬
‫و‬
َّ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ َّ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َّ َ
‫ب‬ ‫ون‬‫ن‬‫م‬ ‫ؤ‬ ‫م‬ ‫ال‬ ‫و‬ ‫اة‬‫ك‬‫الز‬ ‫ون‬ ‫ت‬ ‫ؤ‬‫م‬ ‫ال‬ ‫و‬ ‫لاة‬ ‫الص‬ ‫ين‬ ‫يم‬ ‫ق‬ ‫م‬
ْ َ َ
ُ ‫ك َوال‬ ‫ق ْب ِل‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ
ً َ ْ
١٦٢‫أج ًرا ع ِظيما‬
Artinya: Melakukan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang
darinya; dan memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Kami
sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang sangat pedih.
Akan tetapi, orang-orang yang ilmunya mendalam di antara mereka dan orang-
orang mukmin beriman pada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Nabi
Muhammad) dan pada (kitab-kitab) yang diturunkan sebelummu. (Begitu pula)
mereka yang melaksanakan salat, yang menunaikan zakat, dan yang beriman
kepada Allah serta hari Akhir. Kepada mereka akan Kami berikan pahala yang
besar.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam konsep filsafat, ilmu dapat diperoleh melalui dua jalan, yaitu
jalan kasbi atau khushulin dan jalan ladunni atau khudhuri. kasbi atau khushulin
adalah cara berpikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten
dan berharap berharap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan
penemuan. Ilmu ini biasa diperoleh manusia pada umumnya, seseorang yang
menempuh proses itu dengan sendirinya ia akan memperoleh ilmu tersebut.
Objek kajian ilmu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri, yang mencakup ayat-
ayat Tuhan yang tertulis dalam kitab suci yang berisi firman-firman-Nya, dan
juga ayat-ayat Tuhan yang tersembunyi dalam ciptaan-Nya, termasuk alam
semesta dan manusia itu sendiri. Kebenaran dalam wacana ilmu adalah
ketepatan metode dan kesesuaiannya antara pemikiran dengan hukum-hukum
internal dari objek kajiannya. Setiap objek pemikiran secara internal sudah ada
hukum-hukum yang menjadi bagian dari adanya, sejak awal keberadaannya.
Tujuan ilmu pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dengan realitas dan
tantangan yang dihadapi manusia itu sendiri. Ilmu merupakan proses manusia
menjawab ketidaktahuannya mengenai berbagai hal dalam hidupnya. Sebagai
jawaban manusia, ilmu adalah produk manusia. Dari jurusan ini, maka ilmu
tergantung sepenuhnya pada manusia, yaitu bagaimana keadaan manusia
menghadapi ketidaktahuannya itu dan bagaimana ia melihat hal yang tidak
diketahuinya itu, dari sisi mana dan bagaimana. Dengan ilmu, manusia dapat
menghadapi tantangan dan dapat menghindari resiko-resiko yang dihadapi
hidupnya Ilmu dengan demikian membebaskan manusia dari ketakutan dan
penderitaan.
Etika yang pada dasarnya sangat pregmatik, dan sangat tergantung pada
tawar menawar dengan kepentingan-kepentingan ekonomi, kekuasaan politik,
dan kekuatan militer. Etika pragmatik berorientasi pada kepentingan-
kepentingan elite sebagai wujud kerja sama antara iptek, uang, kekuasaan, dan

15
kekerasan, yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang
bersifat materialistik, dengan etika pembebasan manusia dan penindasan
kekuatan elite, etika pembebasan yang bersifat spiritual dan universal.

B. Saran
Berdasarkan dari apa yang telah dijelaskan pada makalah ini, pasti ada
kekurangannya. Maka kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun,
yang mana kritik dan saran itu akan membuat kami termotivasi untuk membuat
makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca
dan dapat menambah wawasan mengenai Epistemologi Islam.

16
DAFTAR PUSTAKA

Asy’arie, Musa. 2017. Filsafat Islam dan Sunnah Nabi dalam Berpikir.
Yogyakarta: Lesfi,

Wiharto, Mulyo. 2005. Kebenaran Ilmu, Filsafat dan Agama. Forum Ilmiah Indonesia.
Vol. 2. No. 3

17

Anda mungkin juga menyukai