Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK

NOVEL “TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK"

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Bahasa Indonesia

Disusun oleh:
Hanum Hanindita Priyono
XII IPA 1

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA BARAT


DINAS PENDIDIKAN WILAYAH XIII
SMA NEGERI I KAWALI
TAHUN AJARAN 2023/2024
ANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK

A. Identitas Novel
 Judul : Tenggelamnya Kapal van der Wijk”
 Pengarang : Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah
 Penerbit : PT Bulan Bintang, 1999
B. Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema yang digunakan dalam Novel ini adalah cinta tak sampai
2. Tokoh dan Penokohan
a. Tokoh Utama
 Zainuddin (Protagonis)
 Hayati (Protagonis)
 Aziz (Antagonis)
b. Tokoh Pembantu
 Mak Base
 Muluk
 Khadijah
c. Penokohan
 Zainuddin (baik, lemah lembut, pandai, suka menolong).
“Zainuddin seorang yang terdidik lemah lembut, didikan ahli seni,
ahli sya'ir, yang lebih suka mengolah untuk kepentingan orang
lain.” (metode analitik, BAB 4 TANAH ASAL)
 Hayati (Cantik, baik, tahu terima kasih, dramatis)
- “Hayati, engkau sangat cantik. Kecantikanmu itu kadang-
kadang yang menyebabkan daku putus asa, mengingat buruk
diriku dan buruk untungku.” (metode dramatik, BAB 6
BERKIRIM-KIRIMAN SURAT)
- “Engku pun serupa pula dengan Hayati, barang yang kecil itu
dibesar-besarkan. Padahal itu hanya suatu kewajiban."
(metode dramatik, BAB 5 CAHAYA HIDUP).
 Aziz (Sombong, pergaulannya bebas, tidak setia, senang berfoya-
foya)
“Aziz bekerja di Padang, jauh dari mata orang tuanya, bergaul
dengan teman sejawat yang tidak berketentuan perangai, sehingga
dia sendiri pun telah terturut-turut pula. Bilamana hari telah
malam, dia. pergi ke tempat pergurauan, melepaskan nafsu
mudanya. Yang lebih disukainya ialah menghabiskan wang dengan
orang-orang yang tak berketentuan. Atau mempermain-mainkan
anak bini orang.” (metode analitik, BAB 11 BIMBANG).
3. Alur
Alur pada novel ini menggunakan alur campur, karena di dalam
novel tersebut banyak mengulang kisah masa lalu dari kehidupan
Zainuddin, seperti contoh pada awal cerita novel tersebut terdapat bagian
cerita tentang perjalanan hidup ayah Zainuddin dan ibunya yang
diceritakan oleh Mak Base. Selain itu juga terdapat cerita dari Muluk
mengenai Zainuddin sebelum dia meninggal. Selebihnya menceritakan
tentang masa depan kehidupan Zainuddin dan Hayati.
4. Latar
a. Latar Suasana
- Suasana damai saat senja, “Matahari telah hampir masuk ke
dalam peraduannya. Dengan amat pelahan, menurutkan perintah
dari alam gaib, ia berangsur turun, turun ke dasar lautan yang
tidak kelihatan ranah tanah tepinya. Cahaya merah telah mulai
terbentang di ufuk Barat, dan bayangannya tampak
mengindahkan wajah lautan yang tenang tak berombak.” (BAB 1
ANAK ORANG TERBUANG)
- Suasana romantis saat hujan, pertemuan pertama Hayati dan
Zainuddin, “Mereka akan kembali ke Batipuh, tiba-tiba hujan
lebat turun seketika mereka ada di Ekor Lubuk. Zainuddin ada
membawa payung dan Hayati bersama seorang temannya
kebetulan tidak berpayung. Hari hujan juga. Mula-mula mereka
sangka akan lekas redanya, rupanya hujan yang tak diikuti angin
yang kerap kali lama sekali…” (BAB 4 TANAH ASAL).
- Suasana menegangkan saat kapal yang ditumpangi Hayati
tenggelam, “Di pagina pertama, dengan huruf yang besar-besar
telah bertemu perkabaran, "Kapal Van der Wijck tenggelam."
Dia terhenyak di tempat duduknya, badannya gemetar, dan
perkabaran itu dibacanya terus: KAPAL VAN DER WIJCK
TENGGELAM” (BAB 26 SURAT HAYATI YANG
PENGHABISAN)
- Suasana sedih, saat Zainuddin tak berdaya setelah kehilangan
Hayati, “Sebulan dua di belakang itu, Zainuddin masih tetap
berulang-ulang hampir tiap-tiap hari ke kubur Hayati. Oleh
karena [218] beroleh pemandangan dari Muluk, supaya hidupnya
tenteram dan pikirannya jangan sampai terganggu, hendaklah dia
mulai melupakan kejadian yang sedih itu, maka ada jugalah reda
pikiran itu sedikit, dan telah dimulainya pula mengarang dan
menyusun hikayat, yang isinya lebih mendalam dan meresap dari
yang dahulu. Tapi belum dikirimnya buat disiarkan.” (BAB 27
SEPENINGGAL HAYATI)
- Suasana kecewa dan, sedih saat Zainuddin meninggal, “Lidahnya
segera surut sehingga tak dapat bercakap-cakap lagi. Di dekat
dokter dia menengok saya sesenang-tenangnya. Seakan-akan ada
yang akan dikatakannya. Setelah itu dilihatnya sebuah tas
penyimpan bundel surut-surat, tenang-tenang, dan ditentangnya
pula muka saya. Akhir sekali dia melihat kapada gambar besar di
dinding itu. Setelah itu dia pun pergilah, buat selama-lamanya....”
(BAB 28 PENUTUP).
b. Latar Waktu
- Sore hari, “Matahari telah hampir masuk ke dalam peraduannya.
Dengan amat pelahan, menurutkan perintah dari alam gaib, ia
berangsur turun, turun ke dasar lautan yang tidak kelihatan ranah
tanah tepinya. Cahaya merah telah mulai terbentang di ufuk
Barat, dan bayangannya tampak mengindahkan wajah lautan
yang tenang tak berombak.” (BAB 1 ANAK ORANG
TERBUANG).
- Malam hari, “Tak ada alasan lagi bagi Aziz hendak menolak
permintaan isterinya. Sehingga setelah kira-kira pukul 7 malam
bersiaplah mereka berdandan dengan pakaian yang rapi, hendak
hadir ke pertunjukan itu.” (BAB 19 CLUB ANAK
SUMATERA).
c. Latar Tempat
- Mengkasar, tempat dilahirkannya Zainuddin.
“Di tepi pantai, di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso
berdiri sebuah rumah bentuk Mengkasar, yang salah satu
jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah seorang anak muda
yang berusia kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang dirinya
menghadapkan mukanya ke laut.” (BAB 1 ANAK ORANG
TERBUANG).
- Dusun Batipuh, tempat bertemunya Zainuddin dan Hayati.
“Di dalam kalangan gadis-gadis di kampung Batipuh telah
menjadi buah mulut, bahwa ada sekarang seorang anak muda
"orang jauh", orang Bugis dan Mengkasar, menumpang di rumah
bakonya, Mande Jamilah.” (BAB 4 TANAH ASAL).
- Jakarta, tempat Zainuddin dan Muluk pertama kali ke Jawa.
“Ditinggalkannya pulau Sumatera, masuk ke tanah Jawa, medann
perjuangan penghidupan yang lebih luas. Sesampai di Jakarta,
disewanya sebuah rumah keci di suatu kampung…” (BAB 17
JIWA PENGARANG).
- Surabaya, tempat Zainuddin, Aziz dan Hayati bertemu Kembali.
“Oleh karena kota Surabaya lebih dekat ke Mengkasar, dan di
sana penerbitan buku-buku masih sepi, maka bermaksudlah dia
hendak pindah ke Surabaya, akan mengeluarkan buku-buku
hikayat bikinan sendiri dengan modal sendiri, dikirim ke seluruh
Indonesia.” (BAB 17 JIWA PENGARANG).

5. Gaya Bahasa
Novel ini menggunakan bahasa melayu lama, itulah mengapa
terkadang agak membingungkan dan asing saat membaca. Namun, masih
dapat dinikmati dan dipahami.
Tidak hanya menggunakan bahasa melayu lama, bagaimana karya
sastra lainnya novel ini juga menggunakan berbagai majas, diantaranya:
 Majas Personifikasi
- “Matahari telah hampir masuk ke dalam peraduannya. Dengan
amat pelahan, menurutkan perintah dari alam gaib, ia berangsur
turun, turun ke dasar lautan yang tidak kelihatan ranah tanah
tepinya.” (BAB I ANAK ORANG TERBUANG).
 Majas Hiperbola
- “Jauh ..... kata ayahnya, jauh benar negeri itu, jauh di balik
lautan yang lebar, subur dan nyaman tanamannya.” (BAB 1
ANAK ORANG TERBUANG).
 Kalimat Retoris
- “Mengapa engkau telah menjawab sekejam itu kepadaku,
Zainuddin?”
6. Sudut Pandang
Buya Hamka menggunakan sudut pandang orang ketiga pada novel
ini, hal ini terbukti dengan penggunaan “Dia”, “ia”, “Zainuddin”, dan
kata ganti lainnya.
7. Nada dan Suasana
Hamka berhasil membuat saya merasa sedih dan hampa setelah
membaca karyanya ini. Sedih melihat bagaimana kisah cinta mereka yang
tak mendapat akhir bahagia dan hampa mengetahui nasib mereka yang
berakhir tragis.
8. Amanat
 Mempertahankan adat istiadat yang mendiskriminasi SARA tidaklah
dibenarkan, dikarenakan sejatinya semua orang mempunyai hak yang
sama.
 Jangan mengambil keputusan saat sedang marah, jangan menjadi
orang yang keras hati dan tidak mudah memaafkan orang lain.
C. Unsur Ekstrinsik
 Latar Belakang
a. Pengarang
Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo, populer
dengan nama penanya Hamka (17 Februari 1908 – 24 Juli 1981)
adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan Indonesia. Ia berkarir
sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Hamka merupakan
sastrawan Indonesia yang sangat hebat, beberapa karya-karya
hebatnya adalah novel “Tenggelamnya Kapal van der Wijck”, “Di
Bawah Lindungan Ka’bah”, juga buku non fiksinya yang berjudul
“Falsafah Hidup”, “Tasauf Modern” dan masih banyak lagi.
b. Agama
Hamka membangun novel ini dengan unsur-unsur islam di
dalamnya, hal ini dapat kita lihat pada tingkah laku, kosakata para
tokoh yang tida lepas dari nuansa islam. Contohnya ada pada
penggalan surat yang dibuat Zainuddin untuk Hayati, “Misalnya
Allah menyampatkan cita-cita hatfku, dan engkau boleh menjadi
suntingku, menjadi isteri yang mengobat luka hatfku yang telah
bertahun-tahun, agaknya…” (BAB 6 BERKIRIM KIRIMAN
SURAT).
c. Ekonomi
Kondisi perekonomian yang tergambar pada novel adalah
perekonomian yang stabil, para tokoh memiliki latar belakang
perekonomian yang cukup, bahkan di atas rata-rata.
d. Sosial
Para tokoh di dalam novel memiliki kondisi sosil yang tidak bebas,
masih terikat erat dengan norma, moril dan juga adat istiadat.
e. Budaya
Budaya yang terdapat pada novel ini cukup beragam, disini kita
dapat melihat bagaimana secercah tradisi di tanah Minangkabau dan
Mengkasar. Tergambar jelas di dalam novel bagaimana tegasnya adat
istiadat Minangkabau, yang membuat Hayati dan Zainuddin tidak
dapat bersama dikarenakan perbedaan adat.

Anda mungkin juga menyukai