Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Di Indonesia angka kematian akibat luka bakar masih tinggi yaitu
sekitar 40%, terutama diakibatkan oleh luka bakar berat. Faktor risiko kematian
pada pasien luka bakar adalah usia, persentase luas area terbakar dan penyakit
kronis. Kegagalan organ dan sepsis adalah penyebab kematian yang sering
dilaporkan. Penyebab kematian pada fase akut (48 jam pertama) ialah syok luka
bakar dan inhalation injury (Brusselaers, 2010).
Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan pada kulit atau jaringan
organik lain yang utamanya disebabkan oleh panas atau trauma akut. Penyebab
terjadinya luka bakar antara lain adalah kontak dengan sumber panas seperti air
panas, api, bahan kimia, listrik dan radiasi (Peck, 2012).
Luka bakar dapat menimbulkan efek lokal dan sistemik. Efek lokal dari
luka bakar adalah kemerahan, bengkak, nyeri dan perubahan sensasi rasa
(Rudall dan Green, 2010). Penyebab utama terjadinya efek lokal adalah
nekrosis epidermis dan jaringan. Derajat keparahan efek lokal ini dipengaruhi
oleh suhu yang mengenai kulit, penyebab panas dan durasi paparan panas
(Gauglitz dan Jeschke, 2012). Efek sistemik ditimbulkan oleh pelepasan sitokin
dan mediator inflamasi yang lain saat luas luka bakar telah mencapai 30% dari
TBSA (Total Body Surface Area). Luka bakar yang luasnya lebih besar dari
sepertiga TBSA menimbulkan kerusakan berat pada fungsi kardiovaskular yang
disebut dengan syok.
Syok adalah kondisi abnormal ketika perfusi jaringan tidak cukup kuat
untuk mengantarkan asupan oksigen dan nutrisi serta mengeluarkan hasil
produksi sel yang tidak dibutuhkan (Gauglitz dan Jeschke, 2012). Ketika terjadi
luka bakar, salah satu terapi pertolongan awal yang diberikan adalah resusitasi
cairan. Pemberian resusitasi cairan ialah pada 24 hingga 48 jam pertama periode
hipovolemia. Resusitasi cairan bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ
secara menyeluruh dan menghadapi inflamasi sistemik yang masif serta
hipovolemia cairan intravaskular dan ekstravaskular (Tricklebank, 2008).
Pemahaman yang baik tentang penggunaan terapi cairan pada pasien luka bakar
diperlukan agar pasien mendapat terapi yang optimal.

1.2. Rumusan masalah


1. Apa definisi luka bakar?
2. Apa saja etiologi terjadinya luka bakar?
3. Bagaimana tanda dan gejala serta kedalam terjadinya luka bakar?
4. Bagaimana penanganan yang harus dilakukan pada luka bakar?
5. Bagaimana asuhan keperawatan yang harus diberikan pada penderita luka
bakar?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahu apa definisi luka bakar
2. Untuk mengetahui apa saja etiologi terjadinya luka bakar
3. Untuk mengetahui bagaimana tanda dan gejala serta kedalam terjadinya luka
bakar
4. Untuk mengetahui bagaimana penanganan yang harus dilakukan pada luka
bakar
5. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan yang harus diberikan
pada penderita luka bakar

1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi penyusun
Meningkatkan kemampuan dalam pembuatan makalah dengan menggunakan
sumber-sumber yang tersedia.
1.4.2. Bagi pembaca
Sebagai sarana pembelajaran dan menambah wawasan khususnya tentang
konsep luka bakar yang terjadi pada lansia dan bagaimana asuhan
keperawatan yang harus diberikan.
1.4.3. Bagi institusi pendidik prodi keperawatan
Dapat menambah wawasan bagi mahasiswa dan sebagai bahan referensi bagi
mahasiswa.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Struktur dan Fungsi Kulit


Kulit adalah organ terluas tubuh yang mencapai 15% dari total berat
badan dewasa (Kolarsick et al., 2008). Kulit memiliki fungsi protektif
(melindungi dari rangsang termal dan mekanis, mencegah penetrasi
mikroorganisme berbahaya, dan melindungi sel dari radiasi sinar ultraviolet),
sensorik (reseptor terhadap rangsang taktil), termoregulasi (pengaturan produksi
keringat), metabolik (sintesis vitamin D3), dan sinyal seksual (Mescher, 2016).
Kulit sebagai barier fisik berperan dalam memproteksi tubuh dari
lingkungan, terutama epidermis yang merupakan bagian terluar dari kulit
(Venus et al., 2011). Sel tanduk dari lapisan epidermis memberikan
perlindungan mekanis dan barier untuk mencegah keluarnya air dan invasi dari
bahan asing (Kolarsick et al., 2008). Kulit juga berfungsi sebagai pertahanan
pertama melawan mikroorganisme. Mekanisme perlindungan tersebut termasuk
produksi peptida antimikroba, sel langerhans dan sel T di epidermis.
Kekeringan pada bagian luar epidermis dan pelepasan keratinosit secara terus
menerus membantu dalam mencegah perkembangan organisme di kulit (Venus
et al., 2011).
2.1.1. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit. Epidermis tersusun atas
beberapa jenis sel yaitu epitel gepeng berkeratin, sel melanosit, sel langerhans
(penyaji antigen), dan sel merkel (sel taktil epitelial). Sel epitel gepeng
berkeratin merupakan komponen sel terbanyak penyusun epidermis, sel-sel ini
membentuk lapisan yang disebut keratinosit yang menghasilkan protein
keratin. Keratinosit terdiri atas lima lapisan dari bagian dasar hingga ke
permukaan luar epidermis yaitu lapisan yaitu stratum basal, stratum spinosum,
stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneumn (Tortora &
Derrickson, 2012; Mescher, 2016).
2.1.2. Dermis
Dermis merupakan lapisan kedua kulit, berada tepat di bawah
epidermis, lapisan ini terdiri atas jaringan ikat yang tidak beraturan yang
disusun oleh kolagen dan serat elastis. Kompoen penyusun dermis
menyebabkan dermis memiliki struktur yang dapat kuat dan diregangkan
secara bersamaa. Pada bagian atas dermis yang tepat berbatasan dengan
lamina basalis dari stratum epidermis, dermis memberikan gambaran berupa
tonjolan-tonjolan yang disebut dengan papila yang bertautan dengan lamina
basalis stratum membentuk taut dermis-epidermis yang disebut dengan cristae
cutis atau epidermal ridges (Tortora & Derrickson, 2012).
Secara struktural dan fungsional, dermis terbagi menjadi dua lapisan
yaitu stratum papilar dan stratum retikular. Stratum papilar merupakan
jaringan ikat longgar tidak teratur yang terdiri atas pembuluh darah, fibroblas,
sel mast, makrofag, dan sel jaringan ikat lainnya. Stratum rentikular lebih
tebal dibandingkan lapisan papilar, yang terdiri atas jaringan ikat pada
iregular disusun oleh kolagen tipe I. Pada lapisan ini terdapat serat elastin
yang manjaga elastisitas kulit. Dermis merupakan lapisan tempat derivat dari
epidermis berupa folikel rambul dan kelenjar. Pada dermis juga terdapat
komponen persarafan seperti saraf efektor dari serabut pascaganglionik
ganglia simpatis dan serabut saraf aferen yang membentuk di sekitar papila
dermis dan folikel rambut berakhir pada sel taktil epitelial pada reseptor di
dermis (Mescher, 2016).
2.1.3. Subkutan
Lapisan subkutan juga disebut dengan lapisan hipodermis atau fascia
superficialis. Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat kulit
secara longgar pada organ-organ yang berada di bawahnya, yang
memungkinkan pergeseran kulit di atasnya. Lapisan subkutan mengandung
banyak lemak yang jumlahnya bervariasi pada setiap area tubuh (Mescher,
2016).

2.2. Luka Bakar


2.2.1. Definisi
Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma pada kulit atau jaringan
lainnya yang disebabkan oleh kontak terhadap panas atau pajanan akut lain
baik secara langsung maupun tidak langsung. Luka bakar terjadi saat sel yang
ada pada kulit atau jaringan lainnya mengalami kerusakan akibat cairan panas,
benda panas, api, radiasi, bahan radioaktif, sengatan listrik, dan bahan kimia
berbahaya (Singer et al., 2014). Luka bakar merupakan suatu bentuk
kerusakan pada kulit atau jaringan organik lain yang utamanya disebabkan
oleh panas atau trauma akut (Peck, 2012).
Luka bakar (Combustio) adalah suatu bentuk kerusakan dan atau
kehilangan jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan sumber yang
memiliki suhu sangat tinggi (misalnya api, air panas, bahan kimia, listrik dan
radiasi) atau suhu yang sangat rendah (Moenadjat, 2009).
Luka bakar pada dasarnya merupakan peristiwa perpindahan panas
yang sumber panasnya dapat bervariasi seperti kontak langsung atau tidak
langsung dengan api, listrik, bahan kimia atau radiasi (Sentat dkk, 2015).
2.2.2. Epidemiologi luka bakar
Luka bakar adalah masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius
di dunia. Setiap tahunnya diperkirakan 300.000 kematian diakibatkan oleh
luka bakar. Lebih dari 95% kejadian luka bakar berat terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Angka kematian tertinggi akibat luka
bakar ditempati oleh Asia Tenggara (11,6 kematian per 100.000 populasi per
tahun), kemudian diikuti oleh Mediterania Timur (6,4 kematian per 100.000
populasi per tahun) dan Afrika (6,1 kematian per 100.000 populasi per tahun)
(Mock et al., 2008).
2.2.3. Etiologi
Penyebab dari luka bakar menururt Rudall dan Green (2010), diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Luka bakar suhu tinggi
2. Luka bakar sengatan listrik
3. Luka bakar bahan kimia
4. Luka bakar radiasi
Etiologi terjadinya luka bakar juga ditunjukkan oleh tabel 2.1, antara lain :
Tabel 2.1. Etiologi luka bakar
Tipe Luka Bakar Keterangan
Kobaran api  Luka bakar suhu tinggi
 Kobaran api Penyebabnya bermacam-macam termasuk kebakaran
yang terjadi di rumah.
 Lighter fluid dan petrol adalah faktor terbesar yang sering
ditemukan pada remaja.
 Dapat terjadi berbagai macam luka bakar dengan kedalaman yang
berbeda.
Air panas  Penyebab dari 60% luka bakar pada anak-anak.
 Perlu diketahui faktor penyebab termasuk air panas untuk mandi
atau air minum panas.
Kontak panas  Sering terjadi pada anak-anak dengan presentase yang kecil pada
tangan, wajah, atau ekstermitas.
 Sumbernya adalah radiasi dan setrika.
 Dapat menimbulkan luka bakar fullthickness karena tidak dapat
melepaskan diri dari kontak panas, misalnya pada orang tua atau
pemakai alkohol dan obatobatan.
Jilatan api  Biasanya disebabkan oleh pembakaran dari bahan yang mudah
menguap atau dari bola api yang tidak terduga (contohnya ketika
menuangkan petrol terlalu banyak atau barbeque fire). Umumnya
mengakibatkan superficial flame burn pada wajah, leher dan tungkai
 atas.
Luka bakar sengatan listrik
Jilatan api  Berasal dari sumber llistrik <240 volts.
 Biasanya area luka bakar kecil pada ekstermitas.
 Perlu dilakukan monitoring untuk 24 jam pertama dan dilakukan
ECG.
Arus tinggi  Kecelakaan industri, berasal dari sumber listrik > 1000 volt.
 Dapat terjadi kerusakan sistemik.
 Perlu dilakukan monitoring kerusakan pada jantung, ginjal, dan otot
rangka.
Luka bakar bahan kimia
Asam  Biasanya terasa sakit.
 Umumnya disebabkan oleh hydrofluoric, sulphuric dan
hydrochloric acid.
 Pengecekan pH perlu dilakukan.

Copious lavage dengan atau tanpa antidot adalah hal yang penting.
Basa 
Onset of pain tertunda.

Contoh pembersih rumah tangga, bleching, dan semen.

Pengecekan pH perlu dilakukan.
 Sebagian besar terjadi deeper burns.
 Copious lavage hingga 24 jam dengan atau tanpa antidot adalah hal
yang penting.
Bahan Organik  Luka bakar karena aspal.
 Pemberian air dingin dan penghilangan aspal secepatnya.
 Chemical debridement menggunakan kerosene, gasoline, aseton
atau alkohol dapat menyebabkan iritasi lokal atau toksisitas
sebaiknya dihindari.
Sumber : Yapa dan Enoch (2009)

2.2.4. Klasifikasi luka bakar


Menurut etiologinya luka bakar dibagi menjadi empat yaitu thermal
burn luka bakar yang disebabkan oleh adanya kontak dengan suhu tinggi,
chemical burn luka bakar yang disebabkan oleh kontak dengan zat kimia
berbahaya, electrical burn luka bakar yang disebabkan oleh adanya kontak
dengan sumber listrik, dan radiation burn luka bakar yang disebabkan oleh
adanya paparan terhadap radiasi.
Menurut kedalaman luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan
kedalaman luka bakar, luas area, dan tingkat kerusakan yang terjadi.
Berdasarkan kedalaman kerusakannya, luka bakar diklasifikasikan menjadi 4
derajat, antara lain :
1. Luka bakar derajat I (Superficial)
Pada luka derajat pertama, lapisan epidermis masih utuh namun
terjadi eritema, warna memucat dan timbul rasa sakit. Contoh luka derajat
pertama adalah bercak terbakar matahari dan luka kecil yang disebabkan
terkena air mendidih di dapur (Yasti et al., 2015).
2. Luka bakar derajat II (Partial thickness)
Terjadi kerusakan epidermal pada luka derajat kedua (Yasti et al.,
2015). Jika luka mengenai sedikit bagian atas dari lapisan dermis, luka ini
disebut luka bakar derajat dua permukaan. Pada jenis luka bakar ini sering
timbul gelembung-gelembung yang berisi air, contohnya adalah luka
bakar yang dikarenakan terkena nyala api (Gauglitz dan Jeschke, 2012).
Apabila kerusakan lebih dalam dan sensasi raba mulai berkurang, maka
telah timbul luka bakar derajat dua yang lebih dalam. Luka bakar yang
telah mengenai retikular dermis tampak lebih pucat dan burik (Gauglitz
dan Jeschke, 2012).
3. Luka bakar derajat III (Full thickness)
Kerusakan pada luka bakar derajat ketiga melibatkan seluruh
lapisan dermis yang ditandai dengan kulit mengeras, berwarna gelap,
kering, dan tidak terasa sakit (Gauglitz dan Jeschke, 2012).
4. Luka bakar derajat IV (Full thickness)
Kerusakan telah terjadi pada seluruh lapisan kulit, jaringan
subkutan dan jaringan yang lebih dalam seperti otot, tulang dan otak
(Rudall dan Green, 2010; Gauglitz dan Jeschke, 2012).
Kedalaman dan luas luka bakar perlu ditentukan sebelum melakukan
perawatan terhadap luka.
Tabel 2.2. Kerusakan luka bakar berdasarkan kedalamannya
Tingkat Waktu
Kedalaman Derajat Penampilan
Kerusakan Penyembuhan
Warna merah muda,
Superficial I Epidermis basah, terasa sakit dan 1 hari
berdarah
Warna merah muda,
Partial thickness : Epidermis hingga 1 sampai 2
II basah, berdarah, terasa
Superficial papillary dermis minggu
sakit, dan melepuh
Warna setengah
Partial thickness : Epidermis hingga kemerahan, kering,
II > 4 minggu
Deep dermal reticular dermis tidak berdarah, sensasi
rasa berkurang.
III Seluruh kulit Hitam atau putih,
kering dan kasar, tidak,
Full thickness > 4 minggu
IV Kulit, tendon, jaringan, tidak berdarah, tanpa
otot dan tulang sensasi rasa.
Sumber : Rudall dan Green (2010); Gauglitz dan Jeschke (2012)

Terdapat dua metode yang biasa digunakan untuk menghitung luas


luka bakar yaitu Wallace‟s “rule of nines” dan Lund and Browder chart
(Rudall dan Green, 2010). Berdasarkan Role of Nine untuk orang dewasa,
setiap ekstermitas atas, kepala dan leher dihitung 9% dari TBSA, ekstermitas
bawah dan tubuh anterior dan posterior masing-masing 18% dari TBSA,
perineum dan genitalia diasumsikan 1% dari TBSA (Gauglitz dan Jeschke,
2012). Metode penentuan luas luka bakar dengan Lund and Browder chart
lebih akurat, karena mempertimbangkan perubahan proporsi tubuh
berdasarkan usia. Contohnya, anak-anak memiliki kepala yang proporsinya
relatif lebih besar daripada orang dewasa. Bagian eritema sebaiknya tidak
diikutkan dalam perhitungan ini (Rudall dan Green, 2010). Anak-anak
memiliki porsi yang besar pada bagian kepala dan leher untuk
mengkompensasi area yang lebih kecil pada ekstermitas bawah. Kepala dan
leher bayi dianggap 21% TBSA dan masing-masing kaki 13% TBSA
(Gauglitz dan Jeschke, 2012). Perkiraan luas dan kedalaman luka bakar
membantu dalam penentuan tingkat keparahan luka, prognosis dan pengaturan
terapi kepada pasien (Mlcak et al., 2012).
2.2.5. Patofisiologi luka bakar
Luka bakar dapat menimbulkan efek lokal dan sistemik. Efek lokal
dari luka bakar adalah kulit kemerahan, bengkak, nyeri dan perubahan sensasi
rasa (Rudall dan Green, 2010). Derajat keparahan efek lokal ini dipengaruhi
oleh suhu yang mengenai kulit, penyebab panas dan durasi paparan panas.
Penyebab utama terjadinya efek lokal adalah nekrosis epidermis dan jaringan
(Gauglitz dan Jeschke, 2012).
Pada efek lokal, dikenal adanya zona luka bakar yang dibagi
berdasarkan tingkat kerusakan jaringan. Jackson‟s burn model membagi luka
bakar menjadi 3 zona yaitu zona koagulasi, zona stasis, dan zona hiperemia.
Zona koagulasi adalah pusat dari luka bakar dan telah terjadi kerusakan berat
atau nekrosis sebagai hasil dari kerusakan jaringan yang tidak dapat pulih
(Rudall dan Green, 2010). Area yang melingkupi zona nekrosis mengalami
kerusakan ringan dengan penurunan perfusi jaringan disebut zona stasis. Zona
stasis berhubungan dengan kerusakan vaskular dan vessel leakage. Zona
hiperemia adalah area yang mengalami vasodilatasi dari inflamasi sekitar luka
bakar. Area ini berisi jaringan hidup yang menjadi awal proses penyembuhan
dan secara umum tidak berisiko terjadi nekrosisi lebih lanjut. (Gauglitz dan
Jeschke, 2012).
Pembagian zona beserta efek resusitasi yang memadai dan tidak
memadai ditunjukkan oleh efek sistemik ditimbulkan oleh pelepasan sitokin
dan mediator inflamasi yang lain saat luas luka bakar telah mencapai 30% dari
TBSA (Total Body Surface Area). Luka bakar yang luasnya lebih besar dari
sepertiga TBSA menimbulkan kerusakan berat pada fungsi kardiovaskular
yang disebut dengan syok (Gauglitz dan Jeschke, 2012). Penyebab syok
adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang terjadi selama 36 jam
setelah timbulnya luka bakar. Protein dan cairan yang tertarik menuju ke
ruang intersisial menimbulkan edema dan dehidrasi. Untuk mengkompensasi
kondisi ini, pembuluh perifer dan splanknik mengalami kontriksi dan terjadi
hipoperfusi (Rudall dan Green, 2010).
Sirkulasi mediator inflamasi mempengaruhi penyimpanan air dan
garam pada renal, perbaikan kontraktilitas jantung dan menyebabkan
vasokonstriksi. Adanya hipovolemia dan gangguan fungsi jantung dapat
menyebabkan kondisi ini berlanjut menjadi iskemik. Efek sistemik yang
dihasilkan oleh luka bakar adalah penurunan volume intravaskular,
peningkatan resistensi vaskular, penurunan cardiac output, iskemik dan
asidosis metabolik (Gauglitz dan Jeschke, 2012).
2.2.6. Pathway luka bakar
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), sebagai berikut :

Bahan kimia Termis Radiasi Listrik petir

Luka bakar

 Gangguan citra tubuh


Biologis Psikologis  Defisiensi pengetahuan
 Asnietas

Pada wajah Di ruang tertutup Kerusakan kulit

Kerusakan mukosa Keracunan gas Penguapan  Resiko infeksi


 Gangguan rasa nyaman
 Kerusakan integritas kulit
Odema laring CO Meningkat HB Peningkatan pembuluh darah

Obstruksi jalan nafas HB tidak mampu mengikat O2 Ekstravasasi cairan (H2O2, Gangguan sirkulasi
Elektrolit)

Gagal nafas Hipoxia otak Tekanan inkotik me↓ Gangguan perfusi

 Ketidakefektifan pola nafas  Kekurangan volume cairan Cairan intravascular me↓


Laju metabolisme meningkat
 Resiko ketidakefektifan perfusi
jaringan otak
Hipovolemia & hemokonsentrasi
Glukogenolisis

Gangguan sirkulasi makro


 Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebuthan tubuh
2.1.7. Penyembuhan luka bakar
Luka bakar yang tidak dirawat akan menyebabkan komplikasi, infeksi,
dan perdarahan. Oleh karena itu, penanganan dalam penyembuhan luka bakar
bertujuan mencegah terjadinya infeksi sekunder dan memberikan kesempatan
kepada sisa-sisa sel epitel berproliferasi dan menutup permukaan luka bakar
(Balqis, dkk, 2016).
Proses penyembuhan luka bakar dapat terjadi secara normal tanpa
bantuan, walaupun beberapa bahan obat kimia maupun alami dapat membantu
dan mendukung proses penyembuhan (Balqis, dkk, 2016). Penyembuhan luka
melewati tiga fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferase (fase fibroplasias) dan
fase remodeling (fase penyudahan) (Fitri, 2015).
2.1.7.1. Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari ke-5.
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang
meningkatkan permeabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan, sel radang
disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan edema dan pembengkakan
(Moenadjat, 2009).
Iskemik pada luka melepaskan histamin dan agen kimia vasoaktif
lainnya yang menyebabkan vasodilatasi sekitar jaringan. Aliran darah akan
lebih banyak ke daerah sekitar jaringan dan menghasilkan eritema,
pembengkakan, panas dan rasa tidak nyaman seperti rasa berdenyut
(Moenadjat, 2009).
2.1.7.2. Fase proliferasi
Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi (hari ke-6 sampai
akhir minggu ke-3). Fase proliferasi disebut juga fibroplasia karena yang
menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Pada fase ini luka dipenuhi
oleh sel radang. Fibroblast dan kolagen membentuk jaringan berwarna
kemerahan dan mudah berdarah dengan permukaan yang berbenjol halus
yang disebut jaringan granulasi (Moenadjat, 2009).
Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk
menyesuaikan diri dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut.
Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan
tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai
25% jaringan normal (Moenadjat, 2009).
Epitel dari tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya
dan berpindah mengisi permukaan luka. Proses ini baru berhenti setelah
epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan
tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan
jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan
dalam fase penyudahan (Moenadjat, 2009).
Angiogenesis akan terjadi untuk membangun jaringan pembuluh
darah baru. Kapiler baru yang terbentuk akan terlihat pada kemerahan
(ruddy), jaringan granulasi tidak rata atau bergelombang (bumpy). Migrasi
sel epitel terjadi diatas dasar luka yang bergranulasi. Migrasi berhenti ketika
luka menutup dan mitosis epitelium menebal ke lapisan ke-4 hingga 5 yang
diperlukan untuk membentuk epidermis (Moenadjat, 2009).
2.1.7.3. Fase maturasi/ Remodeling
Fase ini berlangsung selama 2 bulan atau lebih, bahkan sampai
bertahun. Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari
penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan dan akhirnya
terbentuk kembali jaringan yang baru. Tubuh berusaha menormalkan
kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan.
Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas serta
mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada
akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira 80%
kemampuan kulit normal (Moenadjat, 2009).
2.1.8. Terapi luka bakar
Pemeriksaan keadaan dari pasien luka bakar perlu dilakukan sebelum
pemberian terapi. Pemeriksaan ini dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan
primer dan sekunder. Pada pemeriksaan primer, pasien berada dalam kondisi
yang mengancam jiwa sehingga harus segera diidentifikasi dan dilakukan
pengobatan. Manajemen awal dari pasien luka bakar sama dengan
penanganan untuk pasien trauma lain yang meliputi ABCDE (Mlcak et al.,
2012).
Manajemen awal penanganan atau resusitasi luka bakar sangat penting
untuk dilakukan. Selain hal tersebut, beberapa pasien memerlukan terapi
berikut :
1. Analgesik
Nyeri yang terjadi setelah luka bakar ditimbulkan oleh berbagai
sumber dan alasan. Berbagai macam nyeri yang terjadi setelah luka bakar
ialah nyeri nosiseptif, nyeri neuropati, nyeri yang berhubungan dengan
inflamasi, phantom-limb pain, Sympathetically Maintained Pain (SMP),
dan Complex regional pain syndrome (CRPS) (Girtler dan Gustorff,
2012).
Kontrol nyeri penting untuk dilakukan pada fase akut dan fase
selanjutnya. Beberapa faktor mempengaruhi nyeri, diantaranya luka bakar
awal atau yang telah meluas, kegelisahan, lingkungan dan ambang nyeri
pasien (Rudall dan Green, 2010). Berdasarkan intensitas dan penyebab
nyeri, WHO merekomendasikan tahapan terapi untuk nyeri yang
ditunjukkan oleh tabel 2.2 terapi dimulai dengan salah satu obat dari taraf
1 dan meningkat sampai analgesik yang digunakan cukup kuat atau
memulai tahap yang lebih tinggi (Girtler dan Gustorff, 2012).
Tabel 2.2. Tahapan terapi nyeri
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
Analgesik nonopioid Opioid ringan/ sedang Opioid kuat
NSAID, Coxibe Tramadol Morfin
Metamizol Pethidin Hidromorfin
Parasetamol Fentanil
Oksikodon
Metadon
+ Tahap 1
Ketamin, antikonvulsan, antidepresan
Terapi tanpa obat
Anastesi lokal
Sumber : Girtler dan Gustorff (2012)
2. Antibiotik
Pasien luka bakar akan sering memperlihatkan respon inflamasi
sistemik seperti peningkatan suhu tubuh, denyut jantung, kecepatan
pernapasan dan peningkatan jumlah leukosit sehingga tampak seperti
terjadi sepsis tanpa infeksi. Antibiotik sistemik dan tes sensitivitas
sebaiknya menjadi panduan kultur, tidak diberikan profilaksis.
Antimikroba atau antiseptik topikal sering diberikan untuk mencegah
perkembangan infeksi pada area luka bakar, jaringan yang dicangkok atau
tempat donor. Melokalisir infeksi pada luka dapat mengganggu
penyembuhan atau menyebabkan kerusakan jaringan yang dicangkok.
Pemilihan pengobatan biasanya diatur oleh hasil dari wound swab dan
pemeriksaan fisik dari luka. Staphylococcus aureus, Pseudomonas
aeruginosa dan Acinetobacter baumannii adalah patogen yang biasanya
meyerang (Green dan Rudall, 2010).
Antimikroba topikal yang dapat diberikan ialah silver nitrat
(AgNO3), natrium hipoklorida (NaOCl), silver sulfadiazin, sulfamilon,
povidon-iodin, gentamisin sulfat, basitrasin atau polimiksin,
nitrofurantoin, mupirocin, acticoat AB dan nistatin (Gallagher et al.,
2012). Penggunaan antibiotik topikal ditunjukkan oleh tabel 2.3 sebagai
berikut :
Tabel 2.3. Antibiotik topikal
Pembawa yang Penggunaan dan
Terapi Aktivitas
Sesuai Pembatasan
Silver  Krim (Flamazine) Broad spektrum, melawan  Luka yang dicurigai terdapat
sulvadiazin  Salep atau matrix dressings bakteri gram- dan gram+ koloni Pseudomonas spp.
 Salep kombinasi dengan termasuk Pseudomonas  Penetrasi eskar yang baik.
cerium nitrate spp.  Tidak digunakan diawal karena
Flammacerium perubahan penampilan luka
menyulitkan pemeriksaan.
Honey dressing  Salep atau matrix dressings Natural antimicrobial  Penggunaan untuk aid autolysis
ketika pembedahan tidak tepat
dan pada sloughy wounds
Nitrofurazon  Krim (Furacin) Dapat melawan bakteri  Produk tidak diizinkan untuk
gram – dan gram +, sedikit luka infeksi atau graft
aktivitas dalam melawan
Pseudomonas spp
Alginat/  Gel (Flaminal Hydro dan Meticillin-resistant Penggunaan pada
Glukosa oksida/ Flaminal Forte) Syaphylococcus aureus koloni luka yang
Laktoperoksida (MRSA), Candida berat untuk
albicans, Pseudomonas mengurangi
spp., Escherichia coli mikroba dan
membantu
penyembuhan
Povidon iodin  Larutan, spray, salep, Aktivitas antimikroba Untuk luka infeksi
dressings (Imadine) dapat melawan berbagai atau grafts
organism termasuk MRSA, Toksisitas
virus dan jamur. sistemik terlihat
saat diaplikasikan
pada luka yang
luas.
Sumber : Green dan Rudall (2010)
Infeksi yang dapat terjadi pada pasien luka bakar adalah sepsis,
pneumonia, blood stream infection (BSI), catheter-related BSI (CR-BSI),
suppurative thrombophlebitis, abdominal sepsis, ophthalmic infections,
chondritis, urosepsis, suppurative sinusitis, tetanus, dan HIV (Gallagheret
al., 2012).
3. Terapi lain
a. Laksatif
Pasien luka bakar sering mengalami konstipasi karena
penggunaan opioid dosis tinggi. Kemungkinan terjadinya konstipasi
perlu diperkiraan secara terus menerus dan pemberian laksatif harus
ditentukan dengan tepat. Pasien dengan luka bakar di area punggung
atau sekitar pantat beresiko terjadi kontaminasi dan infeksi. Laksatif
diberikan pada kasus ini dengan tujuan agar feses menjadi lebih lunak
(Green dan Rudall, 2010).
b. Antikoagulan
Luka bakar merupakan faktor risiko dari venous
thromboemboli, oleh karena itu sebagian besar pasien sebaiknya
profilaksis dengan low molecule weight heparin LMWH (Green dan
Rudall, 2010).
c. Acid Suppression
Luka bakar adalah faktor risiko dari duodenal ulcer (Curling‟s
ulcer), oleh karena itu sebaiknya pasien mendapatkan proton pump
inhibitor atau antagonis reseptor H2 (Green dan Rudall, 2010).
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN LUKA BAKAR

3.1. Pengkajian Keperawatan


Pengkajian keperawatan yang dilakukan pada lansia dengan luka bakar, ialah
sebagai berikut :
1. Biodata
Terdiri atas nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
alamt, tnggal MRS, dan informan apabila dalam melakukan pengkajian klita
perlu informasi selain dari klien. Umur seseorang tidak hanya
mempengaruhi hebatnya luka bakar akan tetapi anak dibawah umur 2 tahun
dan dewasa diatsa 80 tahun memiliki penilaian tinggi terhadap jumlah
kematian (Lukman F dan Sorensen K.C). data pekerjaan perlu karena jenis
pekerjaan memiliki resiko tinggi terhadap luka bakar agama dan pendidikan
menentukan intervensi yang tepat dalam pendekatan .
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan adalah nyeri, sesak nafas
disebabakna kerena iritasi terhadap saraf. Dalam melakukan pengkajian
nyeri harus diperhatikan paliatif, severe, time, quality (P,Q,R,S,T). Sesak
nafas yang timbul beberapa jam/ hari setelah mengalami luka bakar dan
disebabkan karena pelebaran pembuluh darah sehingga timbul penyumbatan
saluran nafas bagian atas.
3. Riwayat penyakit sekarang
Gambaran keadaan klien mulai tarjadinya luka bakar, penyabeb
lamanya kontak, pertolongan pertama yang dilakuakn serta keluhan klien
selama menjalan perawatanketika dilakukan pengkajian. Apabila dirawat
meliputi beberapa fase : fase emergency (±48 jam pertama terjadi perubahan
pola bak), fase akut (48 jam pertama beberapa hari/ bulan ), fase rehabilitatif
(menjelang klien pulang).
4. Riwayat penyakit masa lalu
Merupakan riwayat penyakit yang mungkin pernah diderita oleh
klien sebelum mengalami luka bakar. Resiko kematian akan meningkat jika
klien mempunyai riwaya penyakit kardiovaskuler, paru, DM, neurologis,
atau penyalagunaan obat dan alkohol.
5. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran keadaan kesehatan keluarga dan penyakit
yang berhubungan dengan kesehatan klien, meliputi : jumlah anggota
keluarga, kebiasaan keluarga mencari pertolongan, tanggapan keluarga
mengenai masalah kesehatan, serta kemungkinan penyakit turunan
6. Pola ADL
Meliputi kebiasaan klien sehari-hari dirumah dan di RS dan apabila
terjadi perubahan pola menimbulkan masalah bagi klien. Pada pemenuhan
kebutuhan nutrisi kemungkinan didapatkan anoreksia, mual, dan muntah.
Pada pemeliharaan kebersihan badan mengalami penurunan karena klien
tidak dapat melakukan sendiri. Pola pemenuhan istirahat tidur juga
mengalami gangguan. Hal ini disebabkan karena adanya rasa nyeri .
7. Riwayat psiko-sosial
Pada klien dengan luka bakar sering muncul masalah konsep diri
body image yang disebabkan karena fungsi kulit sebagai kosmetik
mengalami gangguan perubahan. Selain itu juga luka bakar juga
membutuhkan perawatan yang laam sehingga mengganggu klien dalam
melakukan aktifitas. Hal ini menumbuhkan stress, rasa cemas, dan takut.
8. Aktifitas/istirahat
Tanda : Penurunan kekuatan, tahanan; keterbatasan rentang gerak pada area
yang sakit; gangguan massa otot, perubahan tonus.
9. Sirkulasi
Tanda (dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT) : hipotensi
(syok); penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera;
vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin
(syok listrik); takikardia (syok/ansietas/nyeri); disritmia (syok listrik);
pembentukan oedema jaringan (semua luka bakar).
10. Integritas ego
Gejala : masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda : ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri,
marah.
11. Eliminasi
Tanda : haluaran urine menurun/ tak ada selama fase darurat; warna
mungkin hitam kemerahan bila terjadi mioglobin, mengindikasikan
kerusakan otot dalam; diuresis (setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi
cairan ke dalam sirkulasi); penurunan bising usus/tak ada; khususnya pada
luka bakar kutaneus lebih besar dari 20% sebagai stres penurunan
motilitas/peristaltik gastrik.
12. Makanan/cairan
Tanda : oedema jaringan umum; anoreksia; mual/muntah.
13. Neurosensori
Gejala : area batas; kesemutan.
Tanda : perubahan orientasi; afek, perilaku; penurunan refleks tendon dalam
(RTD) pada cedera ekstremitas; aktifitas kejang (syok listrik); laserasi
korneal; kerusakan retinal; penurunan ketajaman penglihatan (syok listrik);
ruptur membran timpanik (syok listrik); paralisis (cedera listrik pada aliran
saraf).
14. Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama secara eksteren
sensitif untuk disentuh; ditekan; gerakan udara dan perubahan suhu; luka
bakar ketebalan sedang derajat kedua sangat nyeri; smentara respon pada
luka bakar ketebalan derajat kedua tergantung pada keutuhan ujung saraf;
luka bakar derajat tiga tidak nyeri.
15. Pernafasan
Gejala : terkurung dalam ruang tertutup; terpajan lama (kemungkinan cedera
inhalasi).
Tanda : serak; batuk mengii; partikel karbon dalam sputum;
ketidakmampuan menelan sekresi oral dan sianosis; indikasi cedera inhalasi.
Pengembangan torak mungkin terbatas pada adanya luka bakar
lingkar dada; jalan nafas atau stridor/mengii (obstruksi sehubungan dengan
laringospasme, oedema laringeal); bunyi nafas: gemericik (oedema paru);
stridor (oedema laringeal); sekret jalan nafas dalam (ronkhi).
16. Keamanan
Tanda :
Kulit umum : destruksi jaringan dalam mungkin tidak terbukti selama 3-5
hari sehubungan dengan proses trobus mikrovaskuler pada beberapa luka.
Area kulit tak terbakar mungkin dingin/lembab, pucat, dengan pengisian
kapiler lambat pada adanya penurunan curah jantung sehubungan dengan
kehilangan cairan/status syok.
17. Cedera api : terdapat area cedera campuran dalam sehubunagn dengan
variase intensitas panas yang dihasilkan bekuan terbakar. Bulu hidung
gosong; mukosa hidung dan mulut kering; merah; lepuh pada faring
posterior;oedema lingkar mulut dan atau lingkar nasal.
18. Cedera kimia : tampak luka bervariasi sesuai agen penyebab. Kulit mungkin
coklat kekuningan dengan tekstur seprti kulit samak halus; lepuh; ulkus;
nekrosis; atau jarinagn parut tebal. Cedera secara mum ebih dalam dari
tampaknya secara perkutan dan kerusakan jaringan dapat berlanjut sampai
72 jam setelah cedera.
19. Cedera listrik : cedera kutaneus eksternal biasanya lebih sedikit di bawah
nekrosis. Penampilan luka bervariasi dapat meliputi luka aliran
masuk/keluar (eksplosif), luka bakar dari gerakan aliran pada proksimal
tubuh tertutup dan luka bakar termal sehubungan dengan pakaian terbakar.
Adanya fraktur/dislokasi (jatuh, kecelakaan sepeda motor, kontraksi otot
tetanik sehubungan dengan syok listrik).
20. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Umumnya penderita datang dengan keadaan kotor mengeluh
panas sakit dan gelisah sampai menimbulkan penurunan tingkat
kesadaran bila luka bakar mencapai derajat cukup berat.
b. TTV
Tekanan darah menurun nadi cepat, suhu dingin, pernafasan
lemah sehingga tanda tidak adekuatnya pengembalian darah pada 48 jam
pertama.
c. Pemeriksaan kepala dan leher
1) Kepala dan rambut
Catat bentuk kepala, penyebaran rambut, perubahan warna
rambut setalah terkena luka bakar, adanya lesi akibat luka bakar,
grade dan luas luka bakar.
2) Mata
Catat kesimetrisan dan kelengkapan, edema, kelopak mata,
lesi adanya benda asing yang menyebabkan gangguan penglihatan
serta bulu mata yang rontok kena air panas, bahan kimia akibat luka
bakar.
3) Hidung
Catat adanya perdarahan, mukosa kering, sekret, sumbatan dan bulu
hidung yang rontok.
4) Mulut
Sianosis karena kurangnya supplay darah ke otak, bibir kering
karena intake cairan kurang.
5) Telinga
Catat bentuk, gangguan pendengaran karena benda asing, perdarahan
dan serumen.
6) Leher
Catat posisi trakea, denyut nadi karotis mengalami peningkatan
sebagai kompensasi untuk mengataasi kekurangan cairan.
7) Pemeriksaan thorak/ dada
Inspeksi bentuk thorak, irama parnafasan, ireguler, ekspansi
dada tidak maksimal, vokal fremitus kurang bergetar karena cairan
yang masuk ke paru, auskultasi suara ucapan egoponi, suara nafas
tambahan ronchi.
8) Abdomen
Inspeksi bentuk perut membuncit karena kembung, palpasi adanya
nyeri pada area epigastrium yang mengidentifikasi adanya gastritis.
9) Urogenital
Kaji kebersihan karena jika ada darah kotor/ terdapat lesi
merupakantempat pertumbuhan kuman yang paling nyaman,
sehingga potensi sebagai sumber infeksi dan indikasi untuk
pemasangan kateter.
10) Muskuloskletal
Catat adanya atropi, amati kesimetrisan otot, bila terdapat luka baru
pada muskuloskleletal, kekuatan oto menurun karen nyeri
11) Pemeriksaan neurologi
Tingkat kesadaran secara kuantifikasi dinilai dengan GCS.
Nilai bisa menurun bila supplay darah ke otak kurang (syok
hipovolemik) dan nyeri yang hebat (syok neurogenik)
12) Pemeriksaan kulit
Merupakan pemeriksaan pada darah yang mengalami luka
bakar (luas dan kedalaman luka). Prinsip pengukuran prosentase luas
luka bakar menurut kaidah 9 (Rule of Nine Lund and Browder)
sebagai berikut :
Bagian Tubuh 1 Th 2 Th Dewasa
Kepala leher 18% 14% 9%
Ekstrimitas atas (kanan dan kiri) 18% 18% 18 %
Badan depan 18% 18% 18%
Badan belakang 18% 18% 18%
Ektrimitas bawah (kanan dan kiri) 27% 31% 30%
Genetalia 1% 1% 1%

Pengkajian kedalaman luka bakar dibagi menjadi 3 derajat


(grade). Grade tersebut ditentukan berdasarkan pada keadaan luka,
rasa nyeri yang dirasanya dan lamanya kesembuhan luka

3.2. Diagnosa Keperawatan


Menurut Nurarif & Kusuma (2015) masalah yang lazim muncul pada luka
bakar, ialah sebagai berikut :
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d deformitas dinding dada, keletihan otot-otot
pernafasan, hiperventilasi
2. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
3. Penurunan curah jantung b.d volume sekuncup jantung, kontraktilitas dan
frekuensi jantung
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
hipermetabolisme dan kebutuhan bagi kesembuhan luka
5. Kerusakan integritas kulit b.d luka bakar terbuka
6. Nyeri akut b.d saraf yang terbuka, kesembuhan luka dan penanganan luka
bakar
7. Gangguan citra tubuh b.d perubahan pada penampilan tubuh
8. Resiko keridakefektifan perfusi ginjal b.d menurunnya sirkulasi darah ke
ginjal
9. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
10. Resiko infeksi b.d hilangnya barier kulit dan terganggunya respon imun
11. Defisiensi pengetahuan b.d proses penanganan luka bakar
12. Ansietas b.d perubahan pada status kesehatan dan pola interaksi
3.3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang dapat diberikan pada klien luka bakar, adalah
sebagai berikut :
Diagnosa : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
hipermetabolisme dan kebutuhan bagi kesembuhan luka
NOC
 Nutritional status : status nutrisi
 Nutritional status : food and fluid intake = status nutrisi : intake makanan
dan cairan
 Nutritional status : nutrient intake = status nutrisi : intake nutrisi
 Weight control : pengendalian berat
Kriteria hasil :
 Adanaya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
 Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
 Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
 Tidak ada tanda – tanda malnutrisi
 Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
 Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
NIC
Nutrition Management (Manajemen Nutrisi)
1. Kaji adanya alergi makanan
2. Berikan substansi gula
3. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
4. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
5. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
Nutrition Monitoring (Monitor Nutrisi)
1. BB pasien dalam batas normal
2. Monitor adanya penurunan berat badan
3. Monitor tipe dan jumlah aktifitas yang biasa dilakukan
4. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
5. Monitor turgor kulit
6. Monitor kekeringan, rambut kusan dan mudah patah
7. Monitor mual dan muntah
8. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjunctiva
9. Monitor kalori dan intake nutrisi
10. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral
11. Catat jika lidah berwarna magenta, Scarlet

Diagnosa : Kerusakan integritas kulit b.d luka bakar terbuka


NOC
 Tissue integrity : Skin and Mocus
 Membranes
 Hemodyalis akses
Kriteria hasil :
 Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (Sensasi, elastisitas, temperatur,
hidrasi, pigmentasi)
 Tidak ada luka/ lesi pada kulit
 Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya cedera berulang
 Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit dan
perawatan alami
NIC
Pressure Management
1. Anjurkan pasien untuk untuk menggunakan pakaian yang longgar
2. Hindari kerutan pada tempat tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4. Monitor kulit akan adanya kemerahan
5. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
6. Monitor status nutrisi pasien
7. Mandikan pasein dengan sabun dan air hangat
Insision site care
1. Bersihkan, pantau dan tingkatkan proses penyembuhan pada luka yang
ditutup dengan jahitan, klip atau staples
2. Monitor proses kesembuhan area insisi
3. Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi
4. Bersihkan area sekitar jahitan atau staples, menggunakan lid kapas steril
5. Gunakan preparat antiseptic, sesuai program
6. Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap
terbuka (tidak dibalut) sesuai program.

Diagnosa : Nyeri akut b.d saraf yang terbuka, kesembuhan luka dan penanganan
luka bakar
NOC
 Pain level (tingkat nyeri)
 Pain control (rasa sakit)
 Comfort level (tingkat kenyamanan)
Kriteria hasil :
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu meggunakan teknik
non faramakologi untuk mengurani nyer, mencari bantuan)
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
 Mampu menegnali nyeri (skala, insensitas, frekuensi dan tand nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
NIC
Pain Management (Manajemen Nyeri)
1. Mampu menegnali nyeri (skala, insensitas, frekuensi dan tand nyeri)
2. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi , frekuensi, kualitas dan faktor prespitasi
3. Observasi reaksi nnonvernal dari ketikdanyamanan
4. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien
5. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
6. Evluasi pengalaman nyeri masa lampau
7. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
8. Bantu pasien dan jeluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
9. Kontrol lingkungan yang dapat mempengatuhi nyeri
10. Pilih dan lakukan pengangan nyeri
11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
12. Ajarakan teknik non farmakologi
13. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
14. Tingkatkan istirahat
15. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
16. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

Diagnosa : Gangguan citra tubuh b.d perubahan pada penampilan tubuh


NOC
 Body image
 Self esteem
Kriteria hasil :
 Body image positif
 Mempu mengidentifikasi kekuatan personal
 Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
 Mempertahankan interaksi sosial.
NIC
Body Image Enhancement
1. K aji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya
2. Monitor frekuensi mengkritik dirinya
3. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit
4. Dorong klien mengungkapkan perasaannya
5. Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu fasilitasi kontak
dengan individu lain dalam kelompok kecil.

Diagnosa : Resiko infeksi b.d hilangnya barier kulit dan terganggunya respon
imun
NOC
 Status Imun
 Penegtahuan : Pengendalian Infeksi
 Pengendalian Resiko
Kriteria Hasil :
 Klien bebas dari tanda dan gejala ifeksi
 Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi
serta penatalaksanaannya.
 Menunjukkan kemampuan untuk mencegah infeksi atau timbulnya infeksi.
 Jumlah leukosit dalam batas normal
 Menunjukkan perilaku hidup sehat
NIC
Infection Control (Kontrol Infeksi)
1. Pertahankan teknik isolasi
2. Gunakan sabun antimirobia untuk cuci tangan
3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
5. Pertahnakan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
6. Ganti letak IV perifer dan line sentral dan dressing sesuai dengan pentunjuk
umum
7. Tingkatakan intake nutrisi
Infection protection
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
2. Pertahankan teknik asepsis pada pasien yang berisiko
3. Pertahankan teknik isolasi K/P
4. Berikan perawatan kulit pada area epidema
5. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas , drainase
6. Inspeksi kondisi luka atau insisi bedah
7. Dorong masukan nutrisi yang cukup
8. Dorong masukan cairan
9. Dorong istirahat
10. Instruksikan pasien untuk minum antibbiotik sesuai resep
11. Ajarkan pasien dan keluarga tand adan gejala infeksi
12. Ajarkan cara menghindari infeksi
13. Laporkan kecurigaan infeksi
14. Laporkan kultur positif

Diagnosa : Ansietas b.d perubahan pada status kesehatan dan pola interaksi
NOC
 Anxiety self-control
 Anxiety level
 Coping
Kriteria Hasil :
 Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
 Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tekhnik untuk
mengontrol cemas
 Vital sign dalam batas normal
 Postur tubuh, ekspirasi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan.
NIC
1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
3. Dengarkan dengan penuh perhatian
4. Identifikasi tingkat kecemasan
5. Intruksikan pasien menggunakan tekhnik relaksasi.

Diagnosa : Resiko Jatuh faktor resiko Fisiologis


NOC
 Trauma Risk For
 Injury for
Kriteria hasil :
 Keseimbangan : kemampuan untuk mempertahankan ekulibrium
 Gerakan terkoordinasi kemampuan otot untuk bekerjasama secara volunter
untuk melakukan gerakan yang bertujuan
 Perilaku pencegahan jatuh : tindakan individu atau pemberi asuhan untuk
meminimalkan factor risiko yang dapat memicu jatuh dilingkungan individu
 Kejadian jatuh : tidak ada kejadian jatuh
 Pengetahuan : pemahaman pencegahan jatuh pengetahuan : keselamatan
anak fisik
 Pengetahuan : keamanan pribadi
 Pelanggran perlindungan tingkat kebingungan akut
NIC
1. Mengidentifikasi deficit kognitif atau fisik pasien yang dapat meningkatkan
potensi jatuh dalam lingkungan tertentu
2. Mengidentifikasi perilaku dan factor yang mempengaruhi resiko jatuh
3. Mengidentifikasi karakteristik lingkungan yang dapat meningkatkan potensi
untuk jatuh (misalnya, lantai yang licin dan tangga terbuka)
4. Ajarkan pasien bagimana jatuh untuk meminimalkan cidera.

Diagnosa : Resiko kekurangan volume cairan faktor resiko kehilangan cairan


aktif
NOC
 Fluid balance
 Hydration
 Nutritional Status : Food and Fluid Intake.
Kriteria Hasil :
 Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal,
HT normal
 Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal.
 Tidak ada tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik, membrane mukosa
lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan.
NIC
1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
2. Monitor status hidrasi (kelembapan membrane mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah orostatik)
3. Monitor vital sign
4. Monitor masukan makanan/ cairan dan hitung intake kalori harian

3.4. Implementasi Keperawatan


Setelah rencana tindakan keperawatan disusun secara sistemik.
Selanjutnya rencana tindakan tersebut diterapkan dalam bentuk kegiatan yang
nyata dan terpadu guna memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan yang
diterapkan.

3.5. Evaluasi
Akhir dari proses keperawatan adalah ketentuan hasil yang diharapkan
terhadap perilaku dan sejauh mana masalah klien dapat teratasi. Disamping itu
perawat juga melakukan umpan balik atau pengkajian ulang jika tujuan
ditetapkan belum berhasil/ teratasi.
BAB 4
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan pada kulit atau jaringan
organik lain yang utamanya disebabkan oleh panas atau trauma akut. Kegagalan
organ dan sepsis adalah penyebab kematian yang sering dilaporkan. penyebab
kematian pada fase akut (48 jam pertama) ialah syok luka bakar dan inhalation
injury.
Luka bakar dapat menimbulkan efek lokal dan sistemik. Efek lokal dari
luka bakar adalah kemerahan, bengkak, nyeri dan perubahan sensasi rasa.
Penyebab utama terjadinya efek lokal adalah nekrosis epidermis dan jaringan.
Derajat keparahan efek lokal ini dipengaruhi oleh suhu yang mengenai kulit.
Efek sistemik ditimbulkan oleh pelepasan sitokin dan mediator inflamasi yang
lain saat luas luka bakar telah mencapai 30% dari TBSA (Total Body Surface
Area). Luka bakar yang luasnya lebih besar dari sepertiga TBSA menimbulkan
kerusakan berat pada fungsi kardiovaskular yang disebut dengan syok. Ketika
terjadi luka bakar, salah satu terapi pertolongan awal yang diberikan adalah
resusitasi cairan. Pemberian resusitasi cairan ialah pada 24 hingga 48 jam
pertama periode hipovolemia. Resusitasi cairan bertujuan untuk
mempertahankan perfusi organ secara menyeluruh dan menghadapi inflamasi
sistemik yang masif serta hipovolemia cairan intravaskular dan ekstravaskular.

4.2. Saran
Diharapkan dalam penanganan kasus luka bakar dapat optimal dengan
adanya acuan dari laporan ini, sehingga penyembuhan luka bakar dapat sesuai
dengan jangka waktu ideal nya proses penyembuhan luka dan dengan demikian
dapat meminimilkan resiko terjadi komplikasi pada luka bakar tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Balqis, U., Frengky., Azzahrawani, N., Hamdani., Aliza, D., & Armansyah, T.
(2016). Efikasi Mentimun (Cucumis sativus L.) terhadap Percepatan
Penyembuhan Luka Bakar (Vulnus combustion) Derajat II B pada Tikus Putih
(Rattus norvegicus). Jurnal Medika Veterinaria¸ 10(2).

Brusselaers, N., Monstrey, S., Vogelaers, D., Hoste, E., & Blot, S. (2010). Severe
Burn Injury in Europe: A Systematic Review of the Incidence, Etiology,
Morbidity, and Mortality. Critical Care, 14(5). BioMed Central Ltd.

Fitri, N. (2015). Penggunaan Krim Ekstrak Batang dan Daun Suruhan (Peperomia
pellucida L. H. B. K) dalam Proses Penyembuhan Luka Bakar pada Tikus
Putih (Rattus norvegicus). Jurnal Biopendix, 1(2).

Gauglitz, G.G., & Jeschke, M.G. (2012). Pathophysiology of burn injury. Handbook
of Burns Volume 1 Acute Burn Care. Springer Wien New York.

Kolarsick, P. A. J., Kolarsick, M. A., & Goodwin, C. (2008). Anatomy and


Physiology of the Skin.

Mescher AL. (2016). Sistem Integumen. Dalam : Teks dan Atlas Histologi Dasar
Junquiera.

Mlcak, R.P., Buffalo, M.C. & Jimenez, C. J. (2012). Pre-Hospital Management,


Transportation and Emergency Care. Elsevier Ltd, Inc, BV.

Moenadjat, Y. (2009). Luka Bakar Masalah dan Tata Laksana. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Nurarif, A. H., & Kusuma. H, (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediaAction.

Peck, M. D. (2012). Epidemiology and Prevention of a Burns Throughout The World.


Handbook of Burns Volume 1 Acute Burn Care. Springer Wien New York.

Rudall, N. and Green, A. (2010). Burns Clinical Features and Prognosis.


Pharmaceutical Journal Vol 2.

Sentat, T., & Permatasari, R. (2015). Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Alpukat
(Persea Americana Mill.) terhadap Penyembuhan Luka Bakar pada Punggung
Mencit Putih Jantan (Mus nusculus). Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(2).
Singer A. J., Taira., B.R., & Lee CC. (2014). Thermal Burns. Dalam : Rosen’s
Emergency Medicine-Concepts and Clinical Practice. Elsevier Inc.

Tricklebank, S. (2008). Modern Trends in Fluid Therapy for Burns. Elsevier Ltd.
Burns 35 (2009).

Tortora GJ., & Derrickson B. (2012). The Intugumentary System. Dalam : Principles
of Anatomy and Physiology. United States of America : John Wiley & Sons.

Venus, M., Waterman, J., & McNab, I. (2011). Basic Physiology of The Skin.
Elsevier Ltd.

Yapa, K.S., & Enoch, S. (2009). Management of Burns in the Community. Wounds
UK, 5(2).

Yasti, A.Ç., Şenel, E., Saydam, M., Özok, Gi., Çoruh, A., & Yorgancı, K. (2015).
Guideline and Treatment Algorithm for Burn Injuries.

Anda mungkin juga menyukai