Anda di halaman 1dari 49

dapur, dan Terdakwa/Pemohon Kasasi jarang-jarang ke dapur

kecuali untuk ambil makanan di kulkas.

- Berdasarkan keterangan Saksi Purnima, barang itu terletak di bawah


ranjang, sedangkan berdasarkan keterangan saksi Riska dan Eet
alias Eti, pisau tersebut terlihat di laci meja rias saksi Purnima yang
kuncinya hanya dimiliki oleh saksi Purnima sendiri. Sedangkan
tongkat base Ball biasanya tergeletak di bawah tempat tidur.

KETERANGAN AHLI

AHLI KONSELOR, DRA. EVITA ADNAN, M.PSI.

Bahwa pada tanggal 3 Nopember 2007, Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. telah
diminta keterangannya oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia
Daerah Metro Jakarta Raya guna keperluan pemeriksaan yang dituangkan dalam Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai Saksi Ahli Psikologi. Bahwa Saksi Ahli Dra. Evita
Adnan, M.Psi. dalam keterangannya di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut
menyatakan bahwa Saksi Ahli adalah SAKSI AHLI PSIKOLOG. Mengutip
pertanyaan penyidik/polisi dan jawaban Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. dalam
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada angka 2, dengan tegas Saksi Ahli-Dra. Evita
Adnan, M.Psi. memberikan jawaban atas pertanyaan penyidik sebagai berikut:

- Pertanyaan dari penyidik/polisi

Sekarang ini Saudari diperiksa dan didengar keterangannya


sebagai SAKSI AHLI PSIKOLOG oleh pemeriksa sehubungan...

- Dra. Evita Adnan, M.Psi. menjawab:

YA. SAYA MENGERTI DAN BERSEDIA untuk memberikan


keterangan yang sebenar-benarnya.

Bahwa melihat dari pertanyaan dan jawaban tersebut diatas, SECARA DE


JURE SAKSI AHLI DRA. EVITA ADNAN, M.PSI. ADALAH

30
SEORANG AHLI PSIKOLOGI. Apalagi status AHLI PSIKOLOG tersebut telah
ditegaskan kembali dalam BERITA ACARA PENYUMPAHAN SEBAGAI
SAKSI AHLI PSIKOLOG YANG TELAH DILAKUKAN PADA TANGGAL
3 DESEMBER 2007.

Bahwa ternyata DALAM PERSIDANGAN TERTANGGAL 21 MEI 2008, ketika


Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. dimintai kesaksiannnya sebagai saksi ahli
psikolog, SAKSI AHLI DRA. EVITA ADNAN, M,PSI. MALAH MENOLAK
MENYATAKAN DIRINYA SEBAGAI SEORANG AHLI PSIKOLOG, DAN
MENERANGKAN BAHWA IA ADALAH SEORANG KONSELOR
(COUNSELLOR). Sehingga pernyataan Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. tentang
status profesi yang disampaikan pada saat memberikan keterangan dalam Berita
Acara Pemeriksaan di Kepolisian Republik Indonesia Daerah Metro Jakarta Raya saling
bertolak belakang dengan pada saat memberikan kesaksian dalam Perkara Pidana No.
522/Pid.B/2008/PN.Jak.Sel. di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Oleh karenanya
kedudukan Saksi Ahli Dra. Evita Adnan. M.psi jelas sangat diragukan, karena
keterangan dan kesaksian tersebut telah dilandasi pada kebohongan,
SEHINGGA SUMPAH YANG DIBERIKAN DALAM BERITA ACARA
PENYUMPAHAN SEBAGAI SAKSI AHLI PSIKOLOG YANG TELAH
DILAKUKAN PADA TANGGAL 3 DESEMBER 2007 MERUPAKAN
SUMPAH PALSU. Bahwa pernyataan yang saling bertentangan tersebut,
apalagi keterangan dan kesaksian tersebut telah dilakukan penyumpahan, akan
tetapi materi yang disumpah berbeda, sehingga telah terjadi sumpah
palsu. Hal ini jelas telah menimbulkan kerugian bagi orang lain, yang dalam hal
ini Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine, dimana dengan didasarkan
pada sumpah palsu tersebut Peohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine telah
didudukkan sebagai Terdakwa dalam kasus kekerasan psikis dan fisik dalam
rumah tangga di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang didasarkan pada hasil
Konseling Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. tentang kekerasan psikis yang
dilakukan oleh Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine.

31
Bahwa jika pada persidangan tertanggal 21 Mei 2008, dimana Saksi Ahli Dra. Evita
Adnan, M.Psi. menyatakan bahwa ia bukanlah seorang AHLI PSIKOLOG namun
seorang KONSELOR (COUNSELLOR), maka serta merta Majelis Hakim dalam Perkara
Pidana No. 522/Pid.B/2008/PN.Jak.Sel. harusnya menolak atau mengabaikan
Hasil Konseling Psikologis Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi., karena tidak
mempunyai kapasitas mengeluarkan hasil analisanya terhadap seseorang tentang
hasil konseling psikologis. Sehingga Hasil Konseling Psikologis 08/pp/P2TP2A/X/07
tertanggal 26 Nopember 2007 dan Nomor 09/pp/P2TP2A/XII/07 tertanggal 17
Desember 2008, yang dikeluarkan oleh Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI
Jakarta yang ditandatangani oleh saksi ahli Dra. Evita Adrian, M.Psi.
menjadi BATAL DEMI HUKUM, karena dikeluarkan bukan oleh AHLI PSIKOLOGI.
Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. tidak pernah melampirkan surat tugas dari
Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Provinsi
DKI Jakarta, baik dalam pemeriksaan di Kepolisian Republik Indonesia daerah metro
Jaya, maupun di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Perkara Pidana No.
522/Pid.B/2008/PN.Jak.Sel.

TENTANG TIDAK DIPERTIMBANGKANNYA KETERANGAN DAN


KESAKSIAN PARA SAKSI AHLI

Bahwa Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine keberatan dengan Pertimbangan-


pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Perkara Pidana No.
522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. karena tidak mempertimbangkan semua keterangan dan
kesaksian para Saksi Ahli yang telah memberikan Penjelasan sesuai dengan
keahliannya di persidangan. Majelis Hakim hanya mendengar dan mencatat semua
keterangan-keterangan Saksi Ahli yang meletakkan keterangan tersebut sebagai
pemanis dalam putusan Majelis Hakim saja, tanpa pernah menjadikan kesaksian para
ahli tersebut sebagai pertimbangan hukum dalam mengambil keputusan agar dapat
menemukan hukum dan keadilan yang sebenar-benarnya. Adapun keterangan-

32
keterangan atau kesaksian-kesaksian para Saksi Ahli yang disampaikan dalam
persidangan tersebut adalah sebagai berikut:

TENTANG KETERANGAN DAN KESAKSIAN AHLI, DR. H. NAZRAL


NAZAR, SPB.FINACS.
SAKSI AHLI DR. H. NAZRAL NAZAR, SPB.FINACS. ADALAH DOKTER BEDAH DARI
UNIVERSITAS INDONESIA DAN JUGA SEBAGAI MAJELIS PEMBINAAN PROFESI DAN
ORGANISASI PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI). Saksi Ahli
Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. telah memberikan keterangan/kesaksian dibawah
sumpah dalam persidangan Perkara Pidana No. 522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. pada
tanggal 4 Juni 2008, yang menerangkan dan menjelaskan bagaimana seharusnya
visum et repertum diterbitkan oleh seorang dokter guna kepentingan penyidikan
terhadap adanya suatu dugaan tindak pidana yang dilakukan dan disangkakan
terhadap seseorang.

Bahwa Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. menerangkan bahwa visum et
repertum adalah suatu keterangan resmi tentang hasil pemeriksaan dokter atas diri
pasien atas permintaan penyidik/polisi, yang memuat identitas pasien/korban, hasil
pemeriksaan, pengantar dan observasi yang disimpulkan secara singkat dalam
laporannya. Pembuatan Visum Et Repertum harus dilakukan
pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan, kemudian harus
disesuaikan dengan kedaan pasien/korban. Bahkan visum et
repertum juga harus memuat pemeriksaan penunjang, hasil pemeriksaan dan
kesimpulan (jika ada). Dokter juga harus mendengarkan dan memeriksa setiap
keluhan pasien/korban. Semua dokter sepanjang berkompeten berwenang untuk
membuat visum et repertum. Visum et repertum bisa dikeluarkan dengan tanggal
yang berbeda dengan tanggal kejadian, tapi harus disebutkan tanggal
pemeriksaannya.

33
Bahwa Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. menjelaskan sehubungan dengan
istilah "NYERI" yang ditemukan dalam hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh
Dr. Binsano sebagai berikut bahwa NYERI ADALAH SIMPTOMP JADI
TIDAK BISA DIBUAT DAN DIJADIKAN DIAGNOSA, sehingga dokter harus
menemukan penyebab nyeri tersebut dan jika menemukan hal lain harus
menegaskan dalam pemeriksaan lain, seperti melakukan ronsen kepada
pasien/korban.

Jadi hasil akhir nyeri tidak bisa dijadikan diagnosa karena nyeri
merupakan suatu hal yang subjektif dari seorang pasien/korban,
sehingga riwayat penyakit ini tidak biasa digunakan dalam
dunia kedokteran.

Bahwa Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. juga menerangkan tentang
penyakit "reumatoid arthrititf' adalah penyakit yang menyerang sendi,
penyakit kelainan degeneratif atau karena keausan dan ciri-ciri dari penyakit ini
tergantung pada stadiumnya. Bahwa penyakit ini adalah penyakit yang diderita oleh
Saksi Purnima Ralhan Kine.

KETERANGAN SAKSI AHLI DR. H. NAZRAL NAZAR, SPB.FINACS.


TELAH MEMBANTAH KEABSAHAN VISUM ET REPERTUM YANG
DIKELUARKAN OLEH DR. BINSANO DARI RUMAH SAKIT
JAKARTA

Bahwa visum et repertum diterbitkan/dikeluarkan oleh Dokter Binsano oleh karena


adanya permintaan dari penyidik/polisi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia
Daerah Metro Jakarta Raya untuk dipergunakan bagi penyidik/polisi agar dapat
kiranya mengungkapkan adanya suatu dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh

34
seseorang, dalam hal ini adanya dugaan kekerasan psikis dan fisik dalam rumah
tangga yang diduga dilakukan oleh Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine.

Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, SPB.FINACS. menyatakan dengan


tegas bahwa visum et repertum yang dikeluarkan oleh Rumah
Sakit Jakarta tertanggal 23 September 2007 yang
ditantangani oleh Dr. Binsano, adalah tidak layak, karena tidak
memuat hasil pemeriksaan sebagaimana-mestinya, dimana diagnosa
dari visum et repertum tersebut hanya memberikan penjelasan "NYERI PADA LEHER
DAN TULANG BELAKANG". Sementara seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa nyeri
adalah simpton, jadi tidak bisa dibuat dan dijadikan sebagai diagnosa, sehingga
diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, yakni dengan melakukan ronsen terhadap
pasien/korban, KARENA "NYERI" HANYA MERUPAKAN KELUHAN, dan
terhadap adanya diagnosa "NYERI" tersebut, haruslah ditemukan penyebabnya.

Sehingga secara de jure visum et repertum yang dikeluarkan oleh Dr. Binsano
tersebut telah memberikan penjelasan tentang adanya diagnosa yang tidak pasti,
dengan kata lain diagnosa tersebut mengandung ketidakjelasan akan adanya suatu
penyakit/keluhan yang diderita oleh sikorban/pasien, sehingga dapat menimbulkan
penafsiran yang berbeda-beda tentang adanya kesimpulan akan diagnosa "NYERI"
tersebut. Bahwa dengan tidak dipenuhinya procedural formal tentang pembuatan
visum et repertum yanmg dilakukan oleh Dr. Binsano, maka sudah sepatutnya
menurut hukum jika Majelis Hakim Agung menyatakan VISUM ET REPERTUM
CACAT HUKUM.

35
TENTANG KETERANGAN DAN KESAKSIAN AHLI, DRA.HATMA
SAPAR SHINTO SUKIRNA, MSC.

SAKSI AHLI HATMA SAPAR SHINTO SUKIRNA,. MSC ADALAH PSIKOLOG DARI
UNIVERSITAS INDONESIA DAN JUGA MERUPAKAN ANGGOTA DARI HIMPUNAN
PSIKOLOGI INDONESIA (HIMPSI). Saksi Ahli Hatma Sapar Shinto Sukirna telah
memberikan keterangan dibawah sumpah dalam sidang Perkara Pidana No.
522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. pada tanggal 21 Mei 2008, yang pada intinya
menjelaskan bahwa tidak semua sarjana psikologi berwenang berpraktek
sebagai psikolog, karena untuk menjadi psikolog harus mengikuti pendidikan
khusus. Dari sisi psikologi, seseorang melakukan tindak pidana kekerasan bisa
karena pribadi akibat genetis, asuhan dan situasional, dan untuk mengukur
persepsi korban secara psikologis digunakan alat ukur tanpa
perlu menginventaris persepsi orang (wawancara). Adapun yang
menjadi ukuran adalah dengan melihat gejalanya, namun suatu keadaan dapat
ditimbulkan karena banyak hal. Bahwa istilah "emosional" masih bersifat
kontroversial, karena tidak mudah mendefinisikannya, namun dapat dilihat
dampaknya apakah menimbulkan gangguan atau tidak serta dampak suatu
tindakan banyak dipengaruhi oleh unsur subjektif.

Bahwa setelah Saksi Ahli Hatmasapa Shinto Sukirna mempelajari hasil penelitian
konseling dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak
Provinsi DKI Jakarta, Saksi Ahli Hatmasapar Shinto Sukirna berpendapat bahwa
HASIL PENELITIAN TERSEBUT BUKAN OLEH SEORANG PSIKOLOG,
KARENA TIDAK LAZIM SEORANG PSIKOLOG MENYATAKAN
DIAGNOSA DENGAN CARA SEPERTI ITU, DAN PROSES
PENGAMBILAN KEPUTUSANPUN TIDAK LAZIM. SELAZIMNYA
YANG DISAMPAIKAN ADALAH HASIL
PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS DAN BUKAN HASIL
KONSELING PSIKOLOGIS, KARENA JIKA YANG
DIKELUARKAN HASIL KONSELING ADALAH TREATMENT.
Karena perbedaan konkrit dari hasil pemeriksaan psikologi dengan

36
hasil pemeriksaan konseling adalah bahwa konseling sama dengan
treatment yaitu suatu usaha untuk membantu penyelesaian masalah,
apa yang didapat dalam pemeriksaan psikologi digunakan untuk
konseling. Dalam pemeriksaan psikologi, pemeriksa tidak boleh
membuat hasil pemeriksaan psikologi berdasarkan pengakuan si klien
karena hasilnya tidak memadai untuk dijadikan acuan karena dibuat
oleh orang yang tidak berkompeten.

Bahwa hasil konseling dalam berkas perkara tidak sesuai dengan standar
psikologi, karena judulnya bukanlah hasil konseling tapi haruslah hasil
pemeriksaan psikologi, serta kemudian harus ada metode dan kesimpulan secara
ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mengetahui seseorang
terkena dampak trauma psikologi harus dilakukan wawancara
terhadap korban dan lingkungannnya, serta dibutuhkan suatu
observasi yang mendalam dan panjang. Bahkan untuk mengetahui
seseorang mendapat trauma psikoiogi yang diukur adalah dampaknya.
Akan tetapi untuk dapat mengetahui penyebabnya akan diperlukan waktu
yang cukup lama karena banyak yang perlu dihubungi dan untuk mengukur
simpton-simpton mengenai keterangan yang diberikan harus dicatat
kemudian dilihat konsistensinya, sehingga dapat ditemukan apa yang
menjadi penyebabnya.

KETERANGAN SAKSI AHLI HATMASAPTA SHINTO SUKIRNA


TELAH MEMBANTAH HASIL KONSELING PSIKOLOGIS
08/PP/P2TP2A/X/07 TERTANGGAL 26 NOPEMBER 2007
DAN NOMOR 09/PP/P2TP2A/XII/07 TERTANGGAL 17
DESEMBER 2008, YANG DIKELUARKAN OLEH PUSAT
PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN

37
ANAK, PROVINSI DKI JAKARTA, YANG DITANDATANGANI
OLEH SAKSI AHLI DRA. EVITA ADNAN, M.PSI.

Bahwa dugaan kekerasan psikis yang diduga dilakukan oleh Pemohon Kasasi/
Terdakwa Jonathan I. Kine terhadap Saksi Purnima Ralhan Kine dan anaknya Lara
Rose Kine, dilandasi pada hal-hal sebagai berikut:

- TERHADAP HASIL KONSELING PSIKOLOGI SAKSI PURNIMA


RALHAN KINE Surat dari Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Provinsi DKI Jakarta
Nomor: 09/pp/P2TP2A/XII/07 tertanggal 17 Desember
2007, tentang HASIL KONSELING PSIKOLOGIS KLIEN A.N.
NY. KINE PURNIMA RALHAN, yang ditandatangani oleh
Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi.

- TERHADAP HASIL KONSELING PSIKOLOGI LARA ROSE KINE Surat


dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan
Anak, Provinsi DKI Jakarta Nomor 08/pp/P2TP2A/X/07
tertanggal 26 November 2007, tentang HASIL KONSELING
PSIKOLOGIS KLIEN A.N. LARA ROSE KINE yang ditandatangani
oleh Dra Evita Adnan. M.Psi.

Bahwa dalam persidangan tanggal 21 Mei 2008 dalam perkara pidana No.
522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Saksi Ahli Dra.
Evita Adnan, M.Psi. menyatakan dirinya sebagai konselor dan bukan ahli psikolog.
Dalam persidangan tersebut tenyata ditemukan bahwa Saksi Ahli Dra. Evita Adnan,
M.Psi. tidak memiliki izin praktek dan tidak terdaftar di Himpunan Psikologi
Indonesia.

38
Bahkan untuk-dapat mengetahui tentang seluk beluk-profesi psikolog dan tanggung
jawab, serta etika yang berlaku bagi profesi psikologi, termasuk untuk menanggapi
kapasitas Saksi Ahli Dra. Evita Adrian, M.Psi., maka Saksi Ahli Psikolog, Hatma Sapar
Shinto Sukirna, Msc, dari Universitas Indonesia dan Himpunan Psikologi Indonesia
(HIMPSI) telah memberikan keterangan dan kesaksiannya sebagai berikut:

- Tidak semua lulusan sarjana psikologi otomatis dapat berpraktek selaku


psikolog.
- Profesi Psikolog berbeda dengan konselor, seorang psikolog mempunyai
izin praktek psikologi.
- Psikolog yang terdaftar di Himpunan Psikologi Indonesia dapat dikenakan sangsi
apabila melakukan pelanggaran kode etik.
- Bahwa terhadap konseling kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan oleh
Psikolog Klinis.
- Bahwa seorang konselor tidak dibenarkan memberikan hasil
konseling psikologi untuk kepentingan pemeriksaan hukum.
- Prosedur konseling kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan secara
profesional, berimbang dan dilakukan cross check dengan para pihak
termasuk pelaku.
- Bahwa hasil konseling psikologi yang dikeluarkan oleh Dra.
Evita Adnan, M.Psi. selaku konselor tidak dapat dibenarkan
dalam praktek psikologi.

- Bahwa Sdri Evita Adnan selaku konselor tidak berkompeten


untuk mengeluarkan surat hasil konseling psikologi yang
berhubungan dengan konseling dan perawatan yang
sedianya dilakukan seorang yang berprofesi selaku
psikologi, dan harus dilakukan oleh seorang psikolog klinis.

Bahwa tentang kompetensi keahlian Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. Majelis
Psikologi Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta

39
Raya (HIMPSI Jaya), No. O1/MKPsi/V/2008, tanggal 5 Mei
2008, yang ditandantangani oleh Dra. Mira Humeser, melalui surat
resmi telah menyatakan sebagai berikut: Berdasarkan penelusuran
terhadap latar belakang pendidikan, diketahui bahwa Saudara
Evita Adnan adalah SI Fakultas Pendidikan IKIP Jakarta,
kemudian melanjutkan pendidikan pada program S2 Magister
Sains Pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
lulus tahun 1995. SEBAGAI LULUSAN PROGRAM MAGISTER SAINS,
YANG BERSANGKUTAN TIDAK MEMILIKI KOMPETENSI SEBAGAI
SEORANG PSIKOLOG.

Dari data tersebut diatas, dapat kami sampaikan bahwa


Saudara Evita Adnan bukan psikolog.

YANG BERSANGKUTAN TIDAK MEMPUNYAI KOMPETENSI


MAUPUN HAK UNTUK MELAKUKAN KEGIATAN / PRAKTEK
SEBAGAI PSIKOLOG.

Bahwa lebih lanjut Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (Indonesia


Psychological Association) dalam Surat No. 170/PP-Himpsi/VI/08 tanggal 06 Juni
2008 yang ditandatangani oleh Ketua Umum HIMPSI Dra. Retno Suhapti, SU, MA.,
Psikolog dan Prof. Dr. Soetardjo, Psikolog selaku Majelis Himpunan Psikologi
Indonesia, yang pada intinya menyatakan sebagai berikut:

SDR EVITA ADNAN TIDAK MEMENUHI KUALIFIKASI UNTUK


MEMPEROLEH SURAT IJIN PRAKTIK PSIKOLOGI DAN SEBAGAI
KONSEKUENSINYA IA TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN UNTUK
MELAKUKAN PRAKTIK PSIKOLOGI.

40
Bahwa didasarkan pada uraian dan penjelasan tersebut diatas, dimana Saksi Ahli
Dra. Evita Adnan, M.Psi. tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang psikologi, maka
sudah sepatutnya menurut hukum, apabila Majelis Hakim Tinggi pada Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta yang terhormat, menyatakan Hasil Konseling Psikologis
08/pp/P2TP2A/X/07 tertanggal 26 Nopember 2007 dan Nomor
09/pp/P2TP2A/XII/07 tertanggal 17 Desember-2008, yang dikeluarkan oleh Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Provinsi DKI Jakarta,
yang ditandatangani oleh Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi., TIDAK SAH
DAN TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN PEMBUKTIAN APAPUN,
SEHINGGA DINYATAKAN BATAL DEMI HUKUM.

TENTANG KETERANGAN DAN KESAKSIAN AHLI IR. HARI


BUDIANTO

Bahwa Saksi Ahli Ir. Hari Budianto, telah memberikan keterangan dibawah sumpah
dalam sidang Perkara Pidana No. 522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. pada tanggal 4 Juni
2008, yang pada intinya menerangkan dan menjeJaskan bahwa ukuran kamar
tidur utama Saksi Purnima Ralhan Kine dan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan
I. Kine adalah 5 X 6,9 m2.

KETERANGAN DAN KESAKSIAN AHLI IR. HARI .BUDIANTO


MEMBANTAH KETERANGAN DAN KESAKSIAN PURNIMA RALHAN
KINE YANG MENYATAKAN BAHWA PURNIMA RALHAN KINE
DILEMPAR SEJAUH 8-10 METER

Bahwa Keterangan Saksi Purnima Ralhan Kine yang menyatakan bahwa pada
tanggal 30 Agustus 2007 dikamar tidur utama, Pemohon Kasasi/Terdakwa
Jonathan I. Kine telah mengangkat tubuh Saksi Purnima Ralhan Kine dan
melemparkan dari pintu kamar tidur utama sampai keujung dekat lemari baju
sejauh 8 - 1 0 meter, jelas merupakan keterangan yang berlebihan dan jelas

41
mengandung kebohongan. Oleh karena RUANG KAMAR TIDUR UTAMA
TERSEBUT HANYA BERUKURAN 5 X 6,9 METER, dimana Saksi Ahli Ir.
Hari Budiaoto, telah mengukur ruang tidur utama tersebut. Sehingga TIDAK
MUNGKIN SAKSI PURNIMA RALHAN KINE TERLEMPAR SEJAUH
8 - 10 METER, karena akan menembus dinding kaca dengan teralis kayu
tidur utama tersebut.

Sehingga peristiwa dan kejadian tersebut diatas, hanyalah merupakan rekayasa dan
karangan bohong belaka yang diciptakan oleh Saksi Purnima Ralhan Kine, dengan
tujuan untuk menciptakan suatu kondisi bahwa Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan
I Kine adalah seorang yang sangat kejam dan berbahaya. Oleh karenanya sudah
sepatutnya menurut hukum dan keadilan, segala rekayasa yang terjadi dihapuskan,
serta menyatakan Terdakwa Jonatahan I Kine tidak melakukan kekerasan, apalagi
melemparkan Saksi Purnima Ralhan Kine sejauh 8 - 1 0 meter, karena memang
ukuran ruang kamar tidur utama hanya berukuran 5 x 6.9 meter.

TENTANG BARANG BUKTI

1 (SATU) BUAH PISAU BERGAGANG ABU-ABU MEREK


TITANIUM

Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) buah pisau bergagang abu-abu merek titanium
merupakan barang bukti yang diduga dipergunakan oleh Pemohon
Kasasi/Terdakwa Jonathan I Kine untuk melakukan tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga. Pisau bergagang abu-abu merek titanium merupakan pisau pemotong
daging yang biasa dipergunakan di dapur dan dibeli Saksi Purnima Ralhan Kine di
Amerika Serikat.

42
PISAU MEREK TITANIUM TERSEBUT TIDAK PERNAH
DIPEGANG APALAGI DIPERGUNAKAN OLEH PEMOHON
KASASI/ TERDAKWA JONATHAN I. KINE, KAREN A PISAU
MEREK TITANIUM TERSEBUT SELALU ADA DIDAPUR.

Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) buah pisau bergagang abu-abu merek titanium
tersebut dijadikan sebagai barang bukti oleh Jaksa Penuntut Umum, oleh karena
pada 8 September 2007 Saksi Purnima Ralhan Kine telah menemukan pisau merek
titanium tersebut dilaci meja samping dekat tempat tidur.

Bahwa fakta persidangan tidak dapat membuktikan bahwa barang bukti berupa 1
(satu) buah pisau bergagang abu-abu merek titanium merupakan alat yang
dipergunakan sebagai kejahatan sebagaimana yang diduga dilakukan oleh Pemohon
Kasasi/Terdakwa Jonathan I. Kine, karena Pemohon Kasasi/Terdakwa
Jonathan I. Kine sendiri telah membantah meletakkan barang
bukti tersebut dilaci meja samping dekat tempat tidur, bahkan
Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I Kine tidak tahu menahu
adanya barang bukti tersebut di kamar tidur utama. Bahkan
ditemukan fakta dipersidangan bahwa atas kesaksian Saksi Riska dan Saksi Eti yang
menyatakan bahwa mereka diajak masuk kekamar setelah sebelumnya Saksi Purnima
Ralhan Kine masuk terlebih dahulu kedalam rumah, kemudian Saksi Purnima Ralhan
Kine menunjukkan adanya barang bukti tersebut. Apalagi barang bukti tersebut
ditemukan didalam dilaci meja samping dekat tempat tidur Saksi Purnima sendiri
sebagaimana kesaksian Saksi Riska dan Eti dimuka persidangan. Bahkan Saksi Purnima
Ralhan Kine masih memiliki kunci rumah dan kamar, sehingga masih bisa mondar-
mandir masuk kerumah dan kekamar tidur utama.

Oleh karenannya bisa saja barang bukti tersebut diletakkan sendiri oleh Saksl
Purnima Ralhan Kine dengan maksud menjerat serta meletakkan Pemohon Kasasi/
Terdakwa Jonathan I Kine sebagai seorang penjahat dalam rumah tangga "mereka"
sendiri. Hal ini terlihat dengan adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh Saksi
Purnima Ralhan Kine antara lain, adanya upaya Saksi Purnima Ralhan Kine untuk

43
memisahkan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I Kine dari anaknya, Kara Rose
Kine, dengan cara mengajukan Permohonan Pengasuhan Anak di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dalam Reg. Perkara No. 394/Pdt.P/2007/PN.Jak.Sel. dan selanjutnya
mengajukan Proses Perceraian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Reg.
Perkara No. 47/Pdt.G/2008/PN.Jaks.Sel./ tertanggal 28 Januari 2008.

BAHWA FAKTA PERSIDANGAN JUGA TIDAK MENEMUKAN


SIAPA SEBENARNYA YANG MELETAKKAN PISAU TERSEBUT
DILACI MEJA SAMPING DEKAT TEMPAT TIDUR MEREKA. DAN
HAL TERPENTING DALAM KASUS INI TIDAK ADA SEORANG
SAKSIPUN YANG PERNAH MELIHAT
PEMOHON KASASI / TERDAKWA JONATHAN I. KINE
MENGGUNAKAN BARANG BUKTI BERUPA 1 (SATU) BUAH
PISAU BERGAGANG ABU-ABU MEREK TITANIUM UNTUK
MENAKUT-NAKUTI APALAGI MENGANCAM KEHIDUPAN SAKSI
PURNIMA RALHAN KINE.

Bahwa Majelis Hakim juga tidak membahas dan tidak berupaya mencari tahu akan
barang bukti tersebut, sehingga Majelis Hakim sendiri terlihat masih ragu-ragu
sehubungan dengan barang bukti tersebut, sehingga dalam pertimbangan
hukumnya Majelis Hakim hanya mengutip keterangan dan kesaksian Saksi Purnima
Ralhan Kine, sehingga pertimbangan hukum Majteis Hakim tersebut menjadi tidak
objektif dan terkesan dipaksakan. Adapun pertimbangan Majelis Hakim tersebut
dapat dilihat pada halaman 32 poin 15 yang berbunyi sebagai berikut:

Bahwa pada tanggal 8 September 2007 sekitar jam 9:30 WIB,


Saksi Purnima Ralhan Kine datang lagi kerumah suaminya yakni
terdakwa tersebut untuk mengambil pakaian Lara dan pada saat
masuk ke kamarnya, saksi melihat ada pisau pemotong daging
yang biasanya didapur, di kamar tersebut...

44
Sehingga didasarkan pada fakta hukum, adanya barang bukti berupa 1 (satu)
buah pisau bergagang abu-abu merek titanium TIDAK TERBUKTI
DIPERGUNAKAN PEMOHON KASASI/TERDAKWA JONATHAN I. KINE,
karena keberadaan barang bukti tersebut muncul dalam kasus ini hanya
didasarkan pada keterangan Saksi Purnima Ralhan Kine.

Sedangkan saksi Riska telah memberikan kesaksian di pengadilan atas


peristiwa yang terjadi pada tanggal 8 September 2007 yang
menyatakan saksi melihat pisau dan tongkat base ball itu setelah saksi
Purnima masuk lebih dahulu ke dalam rumah, baru kemudian
memanggil saksi Riska dan Eti untuk melihat pisau dan tongkat base
ball tersebut. Namun putusan Pengadilan Negeri telah menyita
alat tersebut sebagai barang bukti yang seolah-olah Terdakwa
telah mempersiapkan untuk melakukan pembunuhan
terhadap Purnima, atau seolah-olah barang tersebut
digunakan untuk “pengancaman” adalah logika hukum majelis
sangat tidak berdasar dan mengada-ada, karena hal-hal sebagai
berikut:

- Saksi Purnima mempunyai kunci, artinya akses untuk masuk ke


rumah kapan saja dapat dia lakukan. Berdasarkan keterangan
Saksi sendiri ketika masuk langsung ke kamar tidur dan melihat
ada pisau dan tongkat base ball tersebut. Hal tersebut seolah-olah
saksi Purnima sudah tahu sebelumnya kalau ada pisau, kemudian
memanggil saksi Riska dan Eti untuk melihat hal tersebut. Pisau
itu milik saksi Purnima yang dibeli di Amerika dan selalu berada di
dapur, dan Terdakwa/Pemohon Kasasi jarang-jarang ke dapur
kecuali untuk ambil makanan di kulkas.

- Berdasarkan keterangan Saksi Purnima, barang itu terletak di laci


meja rias, sedangkan berdasarkan keterangan di persidangan
saksi Riska dan Eet alias Eti menyatakan bahwa kedua saksi

45
tersebut dipanggil oleh Purnima untuk melihat pisau di laci meja
rias Purnima, dan sepengetahuan kedua saksi tersebut, kunci laci
meja rias hanya dimiliki oleh saksi Purnima sendiri, sedangkan
tongkat baseball biasanya tergeletak di bawah tempat tidur.

- Bahwa peristiwa pada tanggal 8 September 2007 yang telah


dinyatakan Saksi Purnima pada saat persidangan di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tidak sepenuhnya benar, karena pada
tanggal 20 Agustus 2007 Saksi Purnima telah meninggalkan
rumah dan membawa sebagian barangnya beserta barang-barang
milik Lara (Anak), begitu juga pada tanggal 30 Agustus 2007
Saksi Purnima telah membawa semua barang miliknya termasuk
alat kosmetik dan baju milik Lara (Anak) secara keseluruhan;

Bahwa keterangan-keterangan saksi yang ditambahkan oleh


Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah
keterangan saksi Juju dan saksi Eti yang terkait dengan
peristiwa tanggal 30 Agustus 2007, dimana dalam putusan
tersebut dinyatakan bahwa kedua saksi tersebut melihat
Terdakwa / Pemohon Kasasi mendorong Saksi Purnima.
Padahal fakta pada saat persidangan kedua saksi tersebut
hanya mengetahui peristiwa yang terjadi pada tanggal 22
September 2007, dan juga hanya mengetahui setelah kejadian
pecahnya meja kaca yang diklaim oleh Saksi Pelapor akibat
perbuatan dari Terdakwa/ Pemohon Kasasi (tidak melihat
secara langsung pada saat kejadian);

Sehingga berdasarkan fakta hukum barang bukti tersebut menjadi tidak sah, oleh
karenanya sudah sepatutnya menurut hukum, apabila Majelis Hakim Agung
menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) buah pisau bergagang

46
abu-abu merek titanium tidak terbukti dipergunakan oleh
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine.

1 (SATU) BUAH KAYU PEMUKUL BASEBALL WARNA COKLAT

Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) buah kayu pemukul baseball warna coklat
merupakan barang bukti yang diduga dipergunakan oleh Pemohon Kasasi/ Terdakwa
Jonathan I. Kine untuk melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Kayu pemukul baseball warna coklat merupakan tongkat baseball yang dari dahulu
selalu berada didalam rumah, yang tempatnya selalu berpindah-pindah dan
Pemohon Kasasi/Terdakwa Jontahan I. Kine masih memiliki kayu pemukul baseball
yang lain artinya Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine memliki lebih dari satu
kayu pemukul baseball. Bahwa Saksi Eti dan Saksi Riska juga mengetahui bahwa
kayu pemukul baseball tersebut berada dirumah dan salah satunya berada di kamar
tidur utama. Bahkan Saksi Endah Irmawati dimuka persidangan menyatakan bahwa
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine suka berolah raga dan pernah melihat
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine memakai topi dan membawa kayu
pemukul baseball di lingkungan Jakarta International School (JIS).

Bahwa adalah sangat ironis jika adanya kayu pemukul baseball warna coklat
dianggap sebagai alat untuk melakukan kejahatan, khususnya kekerasan dalam
rumah tangga yang diduga dilakukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I.
Kine, padahal kayu pemukul baseball warna coklat sejak dulu sudah ada dirumah.
Bahkan fakta dipersidangan juga tidak membuktikan adanya ancaman terhadap
Saksi Purnima Ralhan Kine. Bahkan dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim hanya
menjelaskan sebagai berikut :

"...dan tongkat baseball di atas meja yang biasanya ada


dibawah tempat tidur".

47
Bahwa pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak membuktikan apapun terhadap
keberadaan barang bukti tersebut, karena fakta persidangan tidak menemukan
adanya hubungan barang bukti tersebut dengan keberadaan kasus yang ada.
Bahkan Majelis Hakim juga tidak membahas dan tidak berupaya mencari tahu akan
barang bukti tersebut, sehingga Majelis Hakim sendiri terlihat masih ragu-ragu
sehubungan dengan barang bukti tersebut, sehingga dalam pertimbangan
hukumnya Majelis Hakim hanya mengutip keterangan dan kesaksian Saksi Purnima
Ralhan Kine, sehingga pertimbangan hukum Majelis Hakim tersebut menjadi tidak
objektif dan terkesan dipaksakan.

FAKTA PERSIDANGAN MENYATAKAN BAHWA TIDAK ADA


SEORANG SAKSIPUN YANG PERNAH MELIHAT PEMOHON
KASASI/TERDAKWA JONATHAN I. KINE MENGGUNAKAN KAYU
PEMUKUL BASEBALL WARNA COKLAT UNTUK MENAKUT-
NAKUTI APALAGI MENGANCAM SAKSI PURNIMA RALHAN
KINE.

Sehingga didasarkan pada fakta hukum, adanya barang bukti berupa kayu pemukul
baseball warna coklat TIDAK TERBUKTI DIPERGUNAKAN PEMOHON
KASASI/ TERDAKWA JONATHAN I. KINE, karena keberadaan barang bukti
tersebut muncul dalam kasus ini hanya didasarkan pada keterangan Saksi Purnima
Ralhan Kine.

Sehingga berdasarkan fakta hukum barang bukti tersebut menjadi tidak sah, oleh
karenanya sudah sepatutnya menurut hukum, apabila Majelis Hakim Agung
menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) buah kayu pemukul
baseball warna coklat tidak terbukti dipergunakan oleh Pemohon
Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine.

48
BAHWA MAJELIS HAKIM PENGADILAN TINGGI TIDAK SECARA
OBYEKTIF MEMPERTIMBANGKAN JUDEC FACTIE DAN JUDEC JURIS
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN, KARENA FAKTA-
FAKTA YANG SEBENARNYA TIDAK ADA AKIBAT PSIKIS DAN PHISIK
YANG BERAT, NAMUN JIKA MAJELIS HAKIM BERPENDAPAT LAIN,
MAKA SEMESTINYA DITERAPKAN KETENTUAN PASAL 44 AYAT (4)
UU NO.23 TAHUN 2004

1. Selanjutnya pada alenia keduanya menyatakan sebagai berikut:


”Menimbang bahwa Majelis Hakim tingkat Banding menilai
pertimbangan hukum dan putusan majelis hakim tingkat pertama yang
menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan
penuntut umum adalah sudah tepat dan benar, sehingga diambil alih
serta dijadikan pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Banding kecuali
mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan dinilai Majelis Hakim
Tingkat Banding kurang berat untuk bisa menimbulkan efek jera bagi
terdakwa “.

Bahwa pada saat pemeriksaan dipengadilan dakwaan jaksa penuntut


umum telah dibuat secara komulatif, yaitu didakwa melanggar
ketentuan pasal 45 ayat 1 Jo. Pasal 44 ayat 4 UU No. 23 Tahun 2004.
Sedangkan berdasarkan pasal 64 ayat 1 KUHP bila antara perbuatan
meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada
hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana.
Namun JPU telah melakukan dakwaan komulatif terhadap perbuatan
yang dilakukan oleh Terdakwa/Pemohon Kasasi yang nyata-nyata
sejenis, dimana JPU hanya mengulang perbuatan yang didakwakan
kemudian hanya mengganti ketentuan pasalnya saja. Hal tersebut
menunjukan JPU tidak begitu yakin atau ragu-ragu atas apa yang
didakwakan, namun tetap berkehendak agar Terdakwa/Pemohon

49
Kasasi harus dihukum sehingga dakwaan dibuat secara komulatif.
Apabila mengacu pada ketentuan pasal 44 KUHP, maka semestinya
dakwaan JPU dibuat alternatif.

Oleh karena dakwaan JPU berdasarkan ketentuan pasal 45 ayat 1 dan


pasal 44 ayat 4 UU No. 23 Tahun 2004, maka harus dibuktikan akibat
psikis dan pisik yang diderita oleh saksi korban Purnima Ralhan Kine.

Bahwa Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine sangat keberatan dengan


pertimbangan Majelis Hakim tentang UNSUR MELAKUKAN PERBUATAN
KEKERASAN SECARA PSIKIS, oleh karena Majelis Hakim tidak berlaku objektif
yang hanya mengutip keterangan Saksi Purnima Ralhan , Saksi Jaya Shree Ralhan,
Saksi Siti Jusiah alias Juju dan Saksi Eet yunun alias Eti, dan telah
mengabaikan keterangan dan kesaksian si Riska, Saksi Ahli Dr.
H. Nazral Nazar, Spb.Finacs., Saksi Ahli Hatma Sapar Shinto
Sukirna, Msc., Saksi Ahli Ir. Hari Budianto serta : mempertimbangkan
keterangan saksi a de charge yang terdiri dari Guerten Robert Leonard, Saksi
Kram William Woodron, Saksi Myrni Wibowo, Saksi Dewi Irawati,
Saksi Endah Irmawati dan Saksi Esther Wijayanti.

Bahkan lebih tragisnya lagi ketika Majelis Hakim tidak mempertimbangkan


keterangan dan kesaksian Saksi Riska yang notabene saksi ini adalah saksi diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum. Padahal Saksi Riska lebih mengetahui situasi dan kondisi
dalam rumah tangga Saksi Purnima Ralhan Kine dengan Pemohon Kasasi/ Terdakwa
Jonathan I. Kine. Dalam persidangan tertanggal 21 Mei 2008 Saksi Riska telah
mencabut keterangan yang diberikan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada
tanggal 10 Oktober 2007, oleh karena penyidik dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia Daerah Metro Jakarta Raya telah melakukan pemeriksaan terhadap Saksi
Riska tidak dengan prosedural yang benar, yakni melakukan Berita Acara Pemerikaan
bukan di kantor polisi akan tetapi di Kantor Penasehat Hukum Saksi Purnima Ralhan
Kine, Kantor Advokat Amir Syamsuddin & Partners, dimana pemeriksaan terhadap
Saksi Riska dilakukan dalam keadaan penuh tekanan dan paksaan.

50
Bahwa selanjutnya Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine keberatan menolak
pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman 31 sampai dengan halaman 32
karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Adapun yang menjadi keberatan
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine adalah sebagai berikut:

PERISTIWA YANG TERJADI PADA TANGGAL 19 AGUSTUS


2007 SEKITAR PUKUL 19:00 WIB

Sebagaimana yang disebutkan pada poin 1 sampai dengan 6 halaman 31 dan 32


Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 522/Pid.B/2008/PNJak.Sel., dimana
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine dituduh melemparkan gelas dengan
kuat, dan lagi Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I Kine dituduh mengancam akan
membunuh Saksi Purnima dan keluarganya.

Bahwa dalam persidangan telah ditemukan fakta dari kesaksian-kesaksian yang telah
didengar dalam persidangan, dimana tidak ada Saksi yang melihat dan mendengar
peristiwa yang terjadi pada tanggal 19 Agustus 2007 tersebut. Maka apabila
peristiwa tanggal 19 Agustus 2007 yang telah tuduhkan sebagai bentuk kekerasan
psikis, maka dengan tiadanya saksi yang melihat dan mendengar peristiwa dan
kejadian tersebut secara langsung, maka sudah sepatutnya tuduhan terhadap
peristiwa kejadian tertanggal 19 Agustus2007 harus ditolak, karena tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan adanya perbuatan tersebut.

BAHWA PADA PERISTIWA YANG TERJADI PADA TANGGAL 30


AGUSTUS 2007 SEKITAR PUKUL 19:00 WIB.

Sebagaimana yang disebutkan pada poin 7 sampai dengan 14 halaman 32 Putusan


Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. Dimana Pemohon
Kasasi/Terdakwa Jonathan I Kine dituduh melempar Saksi Purnima Ralhan Kine

51
seberat 55 Kilogram sejauh 8 - 1 0 meter dari pintu masuk kamar tidur utama
sampai ke ujung kamar dekat lemari baju.

Bahwa dalam persidangan telah ditemukan fakta dari Saksi Ahli Ir. Hari Budianto
yang telah didengar dalam persidangan terhadap kejadian dimana Saksi Purnima
Ralhan Kine memberikan keterangan bahwa ia dilempar sejauh 8 - 1 0 meter.
Saksi Ahli Ir. Hari Budianto, telah memberikan kesaksian dengan menjelaskan
bahwa ukuran kamar tidur utama Saksi Purnima Ralhan Kine dan Pemohon
Kasasi/Terdakwa Jonathan I Kine adalah 5 X 6,9 m2. Sehingga keterangan Saksi
Purnima Ralhan Kine yang menyatakan bahwa pada tanggal 30 Agustus 2007
dikamar tidur utama Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I. Kine telah mengangkat
tubuh Saksi Purnima Ralhan Kine dan melemparkan dari pintu kamar tidur utama
sampai keujung dekat lemari baju sejauh 8-10 meter, jelas merupakan
keterangan yang berlebihan dan jelas mengandung kebohongan, karena
ruang kamar tidur utama tersebut hanya berukuran 5x6,9 meter, dimana Saksi Ahli
Ir. Hari Budianto, telah mengukur ruang tidur utama tersebut (blue print denah lantai
rumah yang otentik yang dimiliki Patra Jasa dengan tanda tangan dan stempel Patra
jasa bahwa unkuran ruangan hanya 5x6,9m juga digunakan sebagai bukti). Sehingga
tidak mungkin Saksi Purnima Ralhan Kine terlempar sejauh 8-10 meter, karena
akan menembus tembok kaca dengan teralis kayu di kamar tidur utama tersebut.
Bahwa jika dilihat secara bijaksana dan didasarkan pada logika yang ada, maka
seseorang dilempar sejauh 8 - 10 meter, sudah pasti akan menimbulkan kesakitan
yang cukup parah. Sekiranya hal tersebut benar terjadi, Saksi Purnima Ralhan Kine
adalah seorang yang sangat sakti, karena tidak mengalami kesakitan yang berarti.
Bahwa fakta yang ada, keesokan harinya pada tanggal 31 Agustus 2007 ternyata
Saksi Purnima Ralhan Kine tidak dalam status ijin kerja atau ijin sakit, dan Saksi
Purnima Ralhan Kine tetap masuk bekerja dan mengajar seperti biasanya. Bahwa
terhadap peristiwa pelemparan tersebut tidak ada seorang
saksipun yang melihat kejadian tersebut, karena kejadian ada
didalam kamar tidur utama dan pintu dalam keadaan tertutup. Hal ini
juga didukung oleh keterangan dan kesaksian Saksi Riska sedang bersama Lara Rose

52
Kine. Sehingga dapat dipastikan Lara Rose Kine juga tidak melihat kejadian tersebut.
Sehingga pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman 32, angka 12, yang
menyatakan "BAHWA MELIHAT KEJADIAN TERSEBUT LARA MENANGIS
KETAKUTAN", jelas tidak terbukti.

Bahwa terhadap peristiwa pelemparan tersebut tidak ada visum et repertum dan
tidak ada seorang saksipun yang melihat kejadian tersebut. Sehingga peristiwa dan
kejadian tersebut diatas, hanyalah merupakan rekayasa dan karangan bohong
belaka, dengan tujuan untuk menciptakan suatu kondisi bahwa Pemohon Kasasi/
Terdakwa Jonathan I Kine adalah orang yang sangat kejam dan sangat berbahaya.
Oleh karenanya sudah sepatutnya menurut hukum dan keadilan, segala rekayasa
yang terjadi untuk segera dihentikan dan dihapuskan dalam perkara ini, SERTA
MENYATAKAN TERDAKWA JONATAHAN I. KINE TIDAK MELAKUKAN
KEKERASAN, apalagi melemparkan Saksi Purnima Ralhan Kine sejauh 8 - 10-meter,
karena memang ukuran ruang kamar tidur utama hanya berukuran 5 x 6,9 meter.

Bahwa Majelis Hakim juga terlihat meragu akan peristiwa kejadian tersebut, namun
tetap memaksakan kejadian yang dilakukan Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I
Kine telah melempar Saksi Purnima Ralhan Kine sejauh 8 - 1 0 meter seolah pernah
terjadi. Keraguan Majelis Hakim terlihat dalam pertimbangan hukum pada poin 13
halaman 32 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. yang berbunyi sebagai berikut:

Bahwa setelah itu saksi Purnima mendatangi terdakwa dan


menanyakan kenapa mengambil paksa Lara dari sekolah dan
kenapa bersikap kasar kepada ibu, tetapi terdakwa marah lalu
mengangkat saksi dan melempar sehingga jatuh ke lantai.

Bahwa dalam pertimbangan hukum tersebut, Majelis Hakim berupaya menjadikan


peristiwa pelemparan tersebut manjadi dapat diterima dengan cara menghilangkan
atau tidak memasukkan kata "sejauh 8-10 meter" kedalam pertimbangan

53
hukum Majelis Hakim. Sehingga peristiwa dan kejadian melempar sejauh 8-10
meter tersebut menjadi sepertinya tidak ada, lalu kemudian Majelis Hakim memberi
pertimbangan dengan kata-kata sebagai berikut:

”...lalu mengangkat saksi dan melempar sehingga jatuh ke


lantai".

Bahwa terhadap peristiwa seperti tersebut diatas telah diramu sedemikian rupa
agar kejadian tertanggal 30 Agustus 2007 seolah-olah merupakan suatu kejadian
yang sangat nyata, akan tetapi faktanya telah terjadi manipulasi kata dalam
pertimbangan hukum Majelis Hakim. Maka oleh karenanya sudah sepatutnya tuduhan
terhadap peristiwa kejadian tertanggal 30 Agustus 2007 harus ditolak, karena tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan adanya perbuatan melempar sejauh 8 - 1 0
meter tersebut.

BAHWA PADA PERISTIWA YANG TERJADI PADA TANGGAL


8 SEPTEMBER 2007 SEKITAR PUKUL 09:30 WIB.

Sebagaimana yang disebutkan pada poin 15 halaman 32 Putusan Pengadilan Negeri


Jakarta Selatan No. 522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. dimana Pemohon Kasasi/ Terdakwa
Jonathan I. Kine dituduh melakukan ancaman dengan meletakkan 1 (satu) buah
pisau bergagang abu-abu merek titanium dan 1 (satu) buah kayu pemukul baseball
warna coklat.

Bahwa pisau bergagang abu-abu merek titanium merupakan pisau pemotong


daging yang biasa dipergunakan di dapur dan dibeli Saksi Purnima Ralhan Kine di
Amerika Serikat. Fakta persidangan tidak dapat pembuktikan bahwa barang bukti
berupa 1 (satu) buah pisau bergagang abu-abu merek titanium merupakan alat yang
dipergunakan sebagai kejahatan sebagaimana yang diduga dilakukan oleh Pemohon
Kasasi/Terdakwa Jonathan I. Kine, karena Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I.
Kine telah membantah meletakkan barang bukti tersebut dilaci meja samping dekat

54
tempat tidur, bahkan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine tidak tahu
menahu adanya barang bukti tersebut. Bahkan ditemukan fakta persidangan bahwa
atas kesaksian Saksi Riska dan Saksi Eti yang menyatakan bahwa mereka diajak masuk
kekamar, setelah sebelumnya saksi Purnima Ralhan Kine masuk terlebih dahulu
masuk kedalam rumah, kemudian Saksi Purnima Ralhan Kine menunjukkan adanya
barang bukti tersebut. Perlu menjadi perhatian bagi Majelis Hakim Agung yang
terhormat, bahwa Saksi Purnima Ralhan Kine masih memiliki kunci rumah dan kamar,
sehingga masih bisa keluar masuk rumah dan kamar tidur utama. Sehingga bisa saja
barang bukti tersebut diletakkan sendiri oleh Saksi Purnima Ralhan Kine dengan
maksud menjerat serta menempatkan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine
sebagai seorang penjahat dalam rumah tangga mereka sendiri. Hal ini terlihat
dengan adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh Saksi Purnima Ralhan Kine untuk
memisahkan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I Kine dari anaknya, Lara Rose
Kine, dengan cara mengajukan Permohonan Pengasuhan Anak di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dalam Reg. Perkara No. 394/Pdt.P/2007/PN.Jak.Sel. dan selanjutnya
mengajukan proses Perceraian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Reg.
Perkara No. 47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel., tertanggal 28 Januari 2008. Bahwa fakta
persidangan juga tidak menemukan siapa sebenarnya yang meletakkan pisau
tersebut dilaci meja samping dekat tempat tidur mereka. Dan hal terpenting dalam
kasus ini tidak ada seorang saksipun yang pernah melihat Pemohon Kasasi/Terdakwa
Jonathan I. Kine menggunakan barang bukti berupa 1 (satu) buah pisau bergagang
abu-abu merek titanium untuk menakut-nakuti apalagi mengancam kehidupan
Saksi Purnima Ralhan Kine.

Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) buah kayu pemukul baseball warna Coklat
merupakan barang bukti yang diduga dipergunakan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa
Jonathan I. Kine untuk melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Kayu pemukul baseball warna coklat merupakan tongkat baseball yang dari dahulu
selalu berada didalam rumah, yang tempatnya selalu berpindah-pindah. Bahkan
Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I. Kine masih memiliki kayu pemukul baseball
yang lain artinya Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I. Kine memiliki lebih dari

55
satu kayu pemukul baseball. Bahwa Saksi Eti dan saksi Riska juga
mengetahui bahwa kayu pemukul baseball tersebut berada dirumah dan salah
satunya berada di kamar tidur utama. Bahkan saksi Endah Irmawati dimuka
persidangan menyatakan bahwa Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I Kine suka
berolah raga dan pernah melihat Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I Kine
memakai topi dan membawa kayu pemukul baseball di lingkungan Jakarta
International School (JIS). Bahkan Majelis Hakim juga tidak membahas dan tidak
berupaya mencari tahu akan barang bukti tersebut, jadi terlihat ada terdapat
keraguan dari Majelis Hakim sehubungan dengan barang bukti tersebut, sehingga
dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim hanya mengutip keterangan dan
kesaksian Saksi Purnima Ralhan Kine. Maka pertimbangan hukum Majelis Hakim
tersebut menjadi tidak objektif dan terkesan dipaksakan. Fakta persidangan
menyatakan bahwa tidak ada seorang saksipun yang pernah melihat Pemohon
Kasasi/Terdakwa Jonathan I. Kine menggunakan kayu pemukul baseball warna
coklat untuk menakut-nakuti apalagi mengancam saksi purnima ralhan kine, maka
sudah sepatutnya tuduhan ancaman tersebut harus ditolak, karena tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan dalam persidangan.

BAHWA PADA PERISTIWA YANG TERJADI PADA TANGGAL


22 SEPTEMBER 2007 SEKITAR PUKUL 09:30 WIB.

Sebagaimana yang disebutkan pada poin 15 halaman 32 Putusan Pengadilan Negeri


Jakarta Selatan No. 522/Pid.B/2008/PN.Jak.Sel. dimana Pemohon Kasasi/ Terdakwa
Jonathan I Kine dituduh melakukan pemukulan dan mendorong Saksi Purnima Ralhan
Kine.

Bahwa fakta dipersidangan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena tidak
seorang saksipun melihat kejadian tersebut. Bahkan dalam persidangan Saksi
Jayashree Ralhan-hanya menyatakan melihat kaca meja pecah.

56
TENTANG HASIL KONSEL ING PSIKOLOG IS NO. 09/PP/P2T
P2A/X I I/07 TERT ANGGAL 17 DESEMBER 2008, YANG DIKE
LUARKAN OLEH PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYA
AN PEREMPUAN DAN ANAK , PROVINSI DKI JAKARTA, YANG
DI TANDATANGANI OLEH SAKSI AHL I DRA . EVITA ADNAN
M. P S I.

Bahwa Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine menolak dan sangat keberatan
dengan pertimbangan Majelis Hakim tentang dijadikannya Hasil konseling Psikologis
Nomor 09/pp/P2TP2A/XII/07 tertanggal 17 Desember 2008, yang dikeluarkan oleh
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Provinsi DKI Jakarta,
yang ditandatangani oleh saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi., karena secara
hukum hasil Konseling tersebut telah cacat hukum.

Bahwa secara hukum, seseorang dapat diajukan dan diterima sebagai saksi Ahli
apabila tidak ada keberatan terhadap kapasitasnya sebagai ahli (sesuai bidang
keahliannya) termasuk terhadap keterangan atau kesaksiannya. Dalam persidangan
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine telah menyatakan keberatan, karena
KAPASITAS SAKSI AHLI DRA. EVITA ADNAN, M.PSI. BUKAN SEORANG
AHLI PSIKOLOG NAMUN HANYA SEORANG KONSELOR. Pernyataan Saksi
Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. adalah merupakan pengakuannya dimuka persidangan.
Sehingga keterangan dan kesaksian tersebut telah menjadi bukti yang sempurna,
bahwa Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. bukanlah seorang PSIKOLOG. Sementara
KETERANGAN ATAU KESAKSIAN SAKSI AHLI DRA. EVITA ADNAN, M.PSI.
JELAS TELAH MENYALAHI ATURAN DAN ETIKA PSIKOLOGI KETIKA
MELAKUKAN KONSELING TERHADAP KLIEN, KARENA TIDAK
MENDAPATKAN DATA SECARA BERIMBANG, dalam kasus ini, hanya
didasarkan pada konseling dengan Saksi Purnima Ralhan Kine tanpa, pernah
mengecek kebenarannya dari Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine.

Bahwa kehadiran Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. dalam persidangan tertanggal
21 Mei 2008 adalah sebagai Saksi Ahli Psikolog. Hal ini sesuai Dengan keterangan

57
Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
tertanggal 3 Nopember 2007 di Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah
Metro Jakarta Raya sebagai Saksi Ahli Psikolog dan dipertegas dengan Berita Acara
Penyumpahan tertanggal 3 Desember 2007 sebagai Saksi Ahli Psikolog.

Sehingga secara hukum Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. adalah Saksi Ahli
Psikolog. Sehingga didasarkan pada fakta hukum dipersidangan, sudah
sepatutnya menurut hukum Majelis Hakim dalam perkara aquo tidak lagi
menggunakan keterangan dan kesaksian Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, I.Psi.
sebagai pertimbangan hukum, karena Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, I.Psi. hanyalah
seorang konselor (counsellors) sebagaimana pengakuannya dipersidangan,
sementara dalam kasus ini yang diperlukan adalah seorang psikolog. Sehingga
mengacu pada fakta di persidangan tertanggal 21 Mei 2008, dimana Saksi Ahli
Dra. Evita Adnan, M.Psi. telah MENOLAK MENYATAKAN DIRINYA SEBAGAI
SEORANG AHLI PSIKOLOG, DAN MENERANGKAN BAHWA IA ADALAH
SEORANG KONSELOR (COUNSELLOR). Maka kedudukan Saksi Ahli Dra. Evita
Adnan, M.Psi. sebagai ahli jelas sangat diragukan, karena telah
memberikan keterangan palsu atas profesinya.

Bahwa tentang uraian hasil konseling psikologis sebagaimana yang


disebutkan dalam Surat No. 09/pp/P2TP2A/XII/07 sangat tidak dapat
diterima, karena tidak didasari pada keterangan yang berimbang, antara
lain:

TENTANG ADANYA KETERHAMBATAN DALAM KOMUNIKASI


DENGAN SUAMI

Bahwa tidak secara tegas dinyatakan hasil konseling psikologis keterhambatan


komunikasi yang bagaimana yang menjadi masalah dalam rumah tangga Saksi
Purnima Ralhan Kine dengan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine. Karena
bagaimana mungkin bisa dikatakan adanya keterhambatan komusikasi jika Saksi

58
Purnima Ralhan Kine dan Jonathan I. Kine dapat menjalani perkawinan selama 7
(tujuh) tahun dengan penuh cinta kasih, bahkan dalam musim libur tahun 2007
Pemohon Kasasi/ Terdakvva Jonathan I. Kine, Saksi Purnima Ralhan Kine dan anak
mereka Lara Rose Kine dapat melakukan liburan panjang di Amerika Serikat dan
Eropa. Sehingga adanya istilah keterhambatan komunikasi yang terjadi tersebut
hanya dilihat dari cara pandang Saksi Purnima Ralhan Kine, sehingga sangat
subjektif sifatnya. Seharusnya Saksi Ahli Dra. Evita Adnan r M,Psi. juga meminta
keterangan dari Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine agar dapat ditemukan
apa yang menjadi penyebab dan masalah komunikasi diantara Saksi Purnima Ralhan
Kine dengan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine. Sehingga uraian hasil
konseling Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. tidak benar dan dapat menimbulkan
masalah tersendiri bagi kliennya. Hal tersebut telah pula dinyatakan oleh Saksi Ahli
Psikolog, Hatma Sapar Shinto Sukirna, Msc., yang menyatakan bahwa dibutuhkan
data yang berimbang dengan cara melakukan cross check. Adapun keterangan dan
kesaksian Hatma Sapar Shinto Sukirna, Msc. dengan tegas menyatakan sebagai
berikut:
"Prosedur konseling KDRT harus dilakukan secara profesional,
berimbang dan dilakukan cross check dengan para pihak
termasuk pelaku.

TENTANG ADANYA PERILAKU KEKERASAN YANG DILAKUKAN SUAMI


MENGENAI POLA PENGASUHAN ANAK YANG TIDAK SEJALAN DENGAN
KLIEN
Bahwa tidak secara tegas dinyatakan pola pengasuhan anak yang penuh kekerasan
yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine, oleh karena
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine mengasuh anaknya dengan baik dan
penuh cinta kasih, dengan memberikan waktu yang cukup buat Lara Rose Kine,
bermain bersama, bahkan telah memberikan pendidikan yang sangat baik. Bahwa
tidak ada seorang saksipun pernah melihat Pemohon Kasasi/
Terdakwa Jonathan I. Kine melakukan kekerasan terhadap

59
anaknya, Lara Rose Kine (Anak). Bahwa ternyata Saksi Purnima Ralhan Kine
telah berfikiran sangat sempit, karena perbedaan cara mendidik telah dijadikan
alasan bagi saksi Purnima Ralhan Kine sebagai hal yang salah. Sehingga Saksi Purnima
Ralhan Kine hanya memandang-caranya saja yang benar, sementara cara mendidik
yang dilakukan diluar Saksi Purnima Ralhan Kine adalah salah.

TENTANG ADANYA ANCAMAN TERHADAP KLIEN DENGAN ADANYA BENDA TAJAM


DAN BENDA TUMPUL DIKAMAR

Bahwa Pemohan Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine tidak pernah mengancam Saksi
Purnima Ralhan Kine dengan cara apapun. Fakta dipersidangan juga tidak
menemukan siapa sebenarnya yang meletakkan pisau tersebut dilaci meja samping
dekat tempat tidur mereka dan kayu Pemukul baseball warna coklat dikamar. Dan
hal terpenting dalam kasus ini tidak ada seorang saksipun yang pernah melihat
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine menggunakan barang bukti pisau
bergagang abu-abu merek titanium dan kayu pemukul baseball warna coklat untuk
menakut-nakuti apalagi mengancam kehidupan Saksi Purnima Ralhan Kine.

TENTANG ADANYA PENELANTARAN EKONOMI TERHADAP KLIEN DALAM


BENTUK MENUTUP AKSES KLIEN MENGGUNAKAN FASILITAS KEUANGAN

Bahwa Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine merupakan seorang yang


bertanggungjawab atas kehidupan rumah tangganya. Bahkan Pemohon Kasasi/
Terdakwa Jonathan I. Kine telah membuka rekening bersama untuk
dipergunakan dalam rumah tangga mereka. Bahkan Pemohon Kasasi/ Terdakwa
Jonathan I. Kine juga telah membuatkan kartu kredit tambahan yang dapat
dipergunakan oleh Saksi Purnima Ralhan Kine. Sehingga tidak benar Pemohon
Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine menghambat akses keuangan Saksi Purnima
Ralhan Kine. Bahkan cenderung Saksi Purnima Ralhan Kine. sering menggunakan
uang untuk hal-hal yang tidak jelas.

60
Bahwa selain hanya mengakui sebagai konselor (counselors), ternyata Saksi Dra.
Evita Adnan, M.Psi. tidak memiliki izin praktek, bahkan tidak terdaftar di Himpunan
Psikologi Indonesia. Bahwa untuk dapat mengetahui tentang seluk beluk profesi
psikolog dan tanggung jawab serta etika yang berlaku bagi profesi psikologi, maka
Saksi Ahli Psikolog, Hatma Sapar Shinto Sukirna, Msc, dari Universitas Indonesia
dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) telah memberikan keterangan dan
kesaksiannya sebagai berikut:

- Tidak semua lulusan sarjana psikologi otomatis dapat berpraktek


selaku psikolog.
- Profesi Psikolog berbeda dengan konselor, seorang psikolog
mempunyai izin praktek psikologi.
- Psikolog yang terdaftar di Himpunan Psikologi Indonesia dapat
dikenakan sanksi apabila melakukan pelanggaran kode etik.
- Bahwa terhadap konseling kekerasan dalam rumah tangga harus
dilakukan oleh Psikolog Klinis.
- Bahwa seorang konselor tidak dibenarkan
memberikan hasil konseling psikologi untuk
kepentingan pemeriksaan hukum.
- Prosedur konseling kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan
secara profesional, berimbang dan dilakukan cross check dengan para pihak
termasuk pelaku.
- Bahwa hasil konseling psikologi yang dikeluarkan oleh
Dra.Evita Adnan, M.Psi. selaku konselor tidak dapat
dibenarkan dalam praktek psikologi.
- Bahwa Sdri Evita Adnan selaku konselor tidak berkompeten untuk
mengeluarkan surat hasil konseling psikologi yang berhubungan dengan
konseling dan perawatan yang sedianya dilakukan seorang yang
berprofesi selaku psikologi, dan harus dilakukan oleh seorang Psikolog
klinis.

61
Bahwa tentang kompetensi Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. Majelis
Psikologi Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya (HIMPSIJaya)
No. O1/MKPsi/V/2008, tanggal 05 Mei 2008, yang ditandantangani oleh
Dra. Mira Rumeser, melalui surat resmi telah menyatakan sebagai
berikut:

- Berdasarkan penelusuran terhadap latar belakang


pendidikan, ketahui bahwa Saudara Evita Adnan adalah S1
Fakultas pendidikan IKIP Jakarta, kemudian melanjutkan
pendidikan pada Program S2 Magister Sains Pendidikan di
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, lulus tahun 1995.
SEBAGAI LULUSAN PROGRAM MAGISTER SAINS, YANG
BERSANGKUTAN TIDAK MEMILIKI KOMPETENSI SEBAGAI
SEORANG PSIKOLOG.

- Dari data tersebut diatas, dapat kami sampaikan bahwa


Saudara Evita Adnan bukan psikolog. YANG BERSANGKUTAN
TIDAK MEMPUNYAI KOMPETENSI MAUPUN HAK UNTUK
MELAKUKAN KEGIATAN / PRAKTEK SEBAGAI PSIKOLOG.

- Pada halaman 19 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, di


bagian pernyataan saksi Dra. Evita Adnan, dikatakan bahwa ”ahli
tidak melihat bukti adanyakekerasan fisik dan psikis pada diri
korban namun hanya berdasarkan pada keterangan klien”

Bahwa lebih lanjut Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (Indonesia


Psychological Association) dalam Surat No. 170/PP-Himpsi/VI/08 tanggal 06 Juni
2008 yang ditandatangani oleh Ketua Umum HIMPSI Dra. Retno Suhapti,SU, MA.,
Psikolog dan Prof. Dr. Soetardjo, Psikolog selaku Majelis Himpunan Psikologi
Indonesia, yang pada intinya menyatakan sebagai berikut:

62
EVITA ADNAN TIDAK MEMENUHI KUALIFIKASI UNTUK
MEMPEROLEH SURAT IJIN PRAKTIK PSIKOLOGI DAN SEBAGAI
KONSEKUENSINYA IA TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN UNTUK
MELAKUKAN PRAKTIK PSIKOLOGI,

Bahwa didasarkan pada uraian dan penjelasan tersebut diatas, dimana Saksi Ahli
Dra. Evita Adnan, M.Psi. tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang Psikolog,
maka sudah sepatutnya menurut hukum apabila Majelis Hakim Agung yang
terhormat, menyatakan Hasil konseling Psikologis 08/pp/P2TP2A/X/07 tertanggal
26 Nopember 2007 dan lor 09/pp/P2TP2A/XII/07 tertanggal 17 Desember 2008,
yang dikeluarkan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak,
Provinsi Jakarta, yang dibuat dan ditandatangani oleh Saksi Ahli Dra. Evita
Adnan, M.Psi., TIDAK SAH DAN TIDAK MEMPUNYAI
KEKUATAN PEMBUKTIAN APAPUN, SEHINGGA DINYATAKAN
BATAL DEMI HUKUM.

Bahwa didasarkan pada uraian-uraian tersebut diatas, maka terhadap unsur


MELAKUKAN PERBUATAN KEKERASAN SECARA PSIKIS YANG
DITUDUHKAN TERHADAP PEMOHON KASASI/ TERDAKWA, TIDAK
TERBUKTI SECARA SAH DAN MENYAKINKAN. Oleh karena itu sudah
sepatutnya menurut hukum, Majelis Hakim Agung yang terhormat menyatakan
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan Pemohon Kasasi/Terdakwa melakukan
tindak pidana Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dan Rumah Tangga, serta menyatakan MEMBEBASKAN
TERDAKWA JONATHAN I. KINE DARI DAKWAAN ATAU SETIDAK -
TIDAKNYA MELEPASKAN PEMOHON KASASI/ TERDAKWA JONATHAN
I. KINE DARI SEGALA TUNTUTAN.

PEMOHON KASASI KEBERATAN DAN MENOLAK TENTANG


UNSUR MELAKUKAN PERBUATAN KEKERASAN SECARA
FISIK SEBAGAIMANA PASAL 44 AYAT 4 UNDANG

63
UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Bahwa Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I. Kine sangat keberatan atas


pertimbangan hukum Majelis Hakim tentang UNSUR MELAKUKAN
PERBUATAN KEKERASAN SECARA FISIK. Sebagaimana dijelaskan pada
halaman 35 sampai dengan halaman 36 Putusan No.522/ Pid.B/2008/PNJak.Sel.
karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Dimana yang menjadi
keberatan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine adalah sebagai berikut:

Adapun yang menjadi keberatan Pemohon Kasasi/ Terdakwa adalah sebagai


berikut:

BAHWA PADA PERISTIWA YANG TERJADI PADA TANGGAL 30


AGUSTUS 2007 SEKITAR PUKUL 19:00 WIB.

Sebagaimana yang disebutkan pada poin 7 sampai dengan 14 halaman 32 Putusan


Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. Dimana Pemohon
Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine dituduh melempar saksi Purnima Ralhan Kine
sejauh 8 - 1 0 meter dari pintu masuk kamar tidur utama sampai ke ujung kamar
dekat lemari baju.

Bahwa dalam persidangan telah ditemukan fakta dari Saksi Ahli Ir. Hari Budianto
yang telah didengar dalam persidangan terhadap kejadian dimana Saksi Purnima
Ralhan Kine memberikan keterangan bahwa ia dilempar sejauh 8 - 1 0 meter.
Saksi Ahli Ir. Hari Budianto, telah memberikan kesaksian dengan menjelaskan
bahwa ukuran kamar tidur utama Saksi Purnima Ralhan Kine dan Pemohon Kasasi/
Terdakwa Jonathan I. Kine adalah 5 X 6,9 m2. Sehingga keterangan Saksi Purnima
Ralhan Kine yang menyatakan bahwa pada tanggal 30 Agustus 2007 dikamar tidur
utama Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine telah mengangkat tubuh Saksi
Purnima Ralhan Kine dan melemparkan dari pintu kamar tidur utama sampai

64
keujung dekat lemari baju sejauh 8-10 meter, jelas merupakan keterangan
yang berlebihan dan jelas mengandung kebohongan, karena ruang kamar
tidur utama tersebut hanya berukuran 5x6,9 meter, dimana Saksi Ahli Ir. Hari
Budianto, telah mengukur ruang tidur utama tersebut. Sehingga tidak mungkin Saksi
Purnima Ralhan Kine dilempar sejauh 8-10 meter, karena akan menembus tembok
kamar tidur utama tersebut.

Bahwa jika dilihat secara bijaksana dan didasarkan pada logika yang ada, maka
seseorang dilempar sejauh 8 - 10 meter, sudah pasti akan menimbulkan kesakitan
yang cukup parah. Sekiranya hal tersebut benar terjadi, Saksi Purnima Ralhan Kine
adalah seorang yang sangat sakti, karena tidak mengalami kesakitan yang berarti.
Bahwa fakta yang ada, keesokan harinya pada tanggal 31 Agustus 2007 berdasarkan
daftar absensi Jakarta International School, ternyata Saksi Purnima Ralhan Kine tidak
dalam status ijin kerja atau ijin sakit, dan Saksi Purnima Ralhan Kine tetap masuk
bekerja dan mengajar seperti biasanya. Bahwa terhadap peristiwa
pelemparan tersebut tidak ada seorang saksipun yang melihat
kejadian tersebut, karena kejadian ada didalam kamar tidur
utama dan pintu dalam keadaan tertutup. Hal ini juga didukung oleh
keterangan dan kesaksian Saksi Riska yang menyatakan tidak melihat kejadian,
karena pintu dalam keadaan tertutup. Dan pada saat itu Saksi Riska sedang bersama
Lara Rose Kine. Sehingga dapat dipastikan Lara Rose Kine juga tidak melihat
kejadian tersebut sehingga pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman 32,
angka 12, yang menyatakan "BAHWA MELIHAT KEJADIAN TERSEBUT LARA
MENANGIS KETAKUTAN", jelas tidak terbukti.

Bahwa terhadap peristiwa pelemparan tersebut tidak ada visum et repertum dan
tidak ada seorang saksipun yang melihat kejadian tersebut. Sehingga peristiwa dan
kejadian tersebut diatas, hanyalah merupakan rekayasa dan karangan bohong
belaka, dengan tujuan untuk menciptakan suatu kondisi bahwa Pemohon kasasi/
Terdakwa Jonathan I. Kine adalah orang yang sangat kejam dan sangat berbahaya.
Oleh karenanya sudah patutnya menurut hukum dan keadilan, segala rekayasa yang
terjadi untuk segera dihentikan dan dihapuskan dalam perkara ini, SERTA

65
MENYATAKAN TERDAKWA JONATAHAN I. KINE TIDAK MELAKUKAN
KEKERASAN, apalagi melemparkan Saksi Purnima Ralhan Kine sejauh 8 – 10 meter,
karena memang ukuran ruang kamar tidur utama hanya berukuran 5 x 6,9 meter.

Bahwa Majelis Hakim juga terlihat meragu akan peristiwa kejadian tersebut, namun
tetap memaksakan kejadian yang dilakukan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I.
Kine telah melepar Saksi Purnima Ralhan Kine sejauh 8 - 1 0 meter seolah pernah
terjadi. Keraguan Majelis Hakim terlihat dalam pertimbangan hukum pada poin 13
halaman 32 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. yang berbunyi sebagai berikut :

”Bahwa setelah itu saksi Purnima mendatangi terdakwa dan


menanyakan kenapa mengambil paksa Lara dari sekolah dan
kenapa bersikap kasar kepada ibu, tetapi terdakwa marah lalu
mengangkat saksi dan melempar sehingga jatuh ke lantai.”

Bahwa dalam pertimbangan hukum tersebut, Majelis Hakim berupaya menjadikan


peristiwa pelemparan tersebut manjadi dapat diterima dengan cara menghilangkan
atau tidak memasukkan kata "sejauh 8-10 meter" kedalam pertimbangan
hukum Majelis Hakim. Sehingga peristiwa dan kejadian melempar sejauh 8-10
meter tersebut menjadi sepertinya tidak ada dan memberi pertimbangan dengan
kata

..lalu mengangkat saksi dan melempar sehingga jatuh ke


lantai".

Bahwa terhadap peristiwa seperti tersebut diatas telah diramu sedemikian rupa
agar kejadian tertanggal 30 Agustus 2007 menjadi nyata, akan tetapi faktanya
telah terjadi manipulasi kata dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim. Maka oleh
karenanya sudah sepatutnya tuduhan terhadap peristiwa kejadian tertanggal 30
Agustus 2007 harus ditolak, karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
adanya perbuatan melempar sejauh 8 - 1 0 meter tersebut.

66
BAHWA PADA PERISTIWA YANG TERJADI PADA TANGGAL
22 SEPTEMBER 2007 SEKITAR PUKUL 09:30 WIB.

Sebagaimana yang disebutkan pada poin 15 halaman 32 Putusan Pengadilan Negeri


Jakarta Selatan No. 522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. dimana Pemohon Kasasi/ Terdakwa
Jonathan I. Kine dituduh melakukan pemukulan dan mendorong Saksi Purnima
Ralhan Kine.

Bahwa fakta dipersidangan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena tidak
seorang saksipun melihat kejadian tersebut. Bahkan dalam persidangan Saksi
Jayashree Ralhan hanya menyatakan melihat kaca meja pacah.

TENTANG VISUM ET REPERTUM YANG DIKELUARKAN


OLEH RUMAH SAKIT JAKARTA TERTANGGAL 23
SEPTEMBER 2007 YANG DILAKUKAN DAN
DITANDANGANI OLEH DR. BINSANO

Bahwa Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine menolak serta keberatan


dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim tentang dijadikannya VISUM ET
REPERTUM YANG DIKELUARKAN OLEH RUMAH SAKIT JAKARTA TERTANGGAL 23
SEPTEMBER 2007 YANG DILAKUKAN DAN DITANTANGANI OLEH DR. BINSANO, oleh
karena menurut Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. bahwa pembuatan visum
et repertum tersebut tidak mengacu pada standar pemeriksaan kedokteran, serta
tidak disesuaikan dengan kondisi dan keadaan pasien/korban.

Bahwa Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazhar Spb.Finacs. telah memberikan keterangan
dibawah sumpah dalam sidang perkara pidana No. 522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. pada
tanggal 4 Juni 2008, yang pada intinya menerangkan dan menjelaskan tentang
bagaimana seharusnya visum et repertum diterbitkan oleh seorang dokter guna
kepentingan penyidikan terhadap adanya suatu dugaan tindak pidana yang
dilakukan dan disangkakan terhadap seseorang.

67
Bahwa Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. menerangkan bahwa Visum Et
Repertum adalah suatu keterangan resmi tentang hasil pemeriksaan dokter atas diri
pasien atas permintaan penyidik/polisi, yang memuat identitas pasien/korban, hasil
pemeriksaan, pengantar dan observasi yang disimpulkan secara singkat dalam
laporannya dan pembuatan visum et repertum tersebut haruslah
dilakukan dengan standar pemeriksaan kedokteran dan harus
disesuaikan dengan kedaan pasien/korban. Visum Et Repertum juga
harus memuat pemeriksaan penunjang tentang hasil pemeriksaan dan kesimpulan
(jika ada) terhadap setiap keluhan pasien/korban.

Bahwa menurut Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. istilah "NYERI" yang
muncul dalam kasus ini, seharusnya dokter menemukan dulu penyebab nyeri
tersebut dan jika menemukan hal lain harus menegaskan dalam pemeriksaan lain,
seperti me-ronsen pasien/korban. Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs., juga
menerangkan bahwa NYERI ADALAH SIMPTON, JADI TIDAK BISA
DIBUAT DAN DIJADIKAN DIAGNOSA, sehingga diperlukan pemeriksaan
lebih lanjut, yakni dengan meronsen pasien/korban untuk menemukan
penyebabnya. Jadi hasil akhir nyeri tidak bisa dijadikan diagnosa karena nyeri
merupakan suatu hal yang subjektif dari seorang pasien/korban, sehingga riwayat
penyakit ini tidak biasa digunakan dalam dunia kedokteran. Bahwa VISUM ET
REPERTUM yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Jakarta tertanggal 23 September 2007
yang dilakukan dan ditantangani oleh DR. BINSANO, adalah tidak layak, karena tidak
memuat hasil pemeriksaan sebagaimana mestinya. Diagnosa dari VISUM ET
REPERTUM tersebut hanya memberikan penjelasan "NYERI PADA LEHER DAN
TULANG BELAKANG", sehingga secara de jure VISUM ET REPERTUM yang
dikeluarkan oleh Dr. Binsano tersebut telah memberikan penjelasan tentang adanya
diagnosa yang tidak pasti, dengan kata lain diagnosa tersebut mengandung keragu-
raguan, sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda tentang adanya
kesimpulan akan diagnosa "NYERI" tersebut.

Bahwa keragu-raguan tersebut terlihat jelas dengan adanya lokasi NYERI yang
berbeda, seperti yang terlihat dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan No.

68
LP/4026/K/IX/2007/SPK Unit 1 tanggal 23 September 2007, pada huruf b laporan,
yang menerangkan bahwa Saksi Purnima Ralhan Kine menderita sakit pada bagian
"PINGGUL". Sementara berbeda dengan Surat Dakwaan Jaksa
Penuntut Umum dalam NOMOR REG. PERK : PDM- 466/JKT.SL/EP.1/03/2008
tertanggal 11 Maret 2008 pada halaman 4, yang dikutip oleh Jaksa Penuntun Umum
dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menyatakan bahwa "namun
Terdakwa Jonathan I. Kine kemudian mendorong saksi Purnima Ralhan
Kine hingga menabrak meja buffet termpat menaruh makanan
sehingga barang-barang yang ada diatas meia tersebut jatuh kelantai
dan mengenai PINGGANGNYA. Keraguan-raguan yang ditimbulkan dari
VISUM ET REPERTUM tersebut, telah memberikan penjelasan tentang "NYERI" yang
terjadi disekitar pinggul dan pinggang. Sehingga tidak ada kepastian dari mana
sebenarnya ”NYERI” itu berasal.

Bahwa Saksi Purnima Ralhan Kine dimuka persidangan juga telah mengakui
bahwa ia menderita penyakit REUMATOID ARTHRITIS YANG EFEKNYA
DAPAT MENYEBABKAN TIMBULNYA RASA NYERI. Hal ini juga telah
dijelaskan pula oleh Saksi Ahli Dr, H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. bahwa penyakit
tersebut adalah penyakit degeneratif, yaitu penyakit yang menyerang bagian
persendian otot, dan efeknya adalah NYERI.

Sehingga didasarkan pada penjelasan Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs.
tentang VISUM ET REPERTUM yang dikeluarkan oleh Dr. Binsano, serta adanya
pengakuan dari Saksi Purnima Ralhan Kine tentang penyakit NYERI yang
dialaminya, maka sudah sepatutnya jika VISUM ET REPERTUM dinyatakan tidak
sah secara hukum serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian, karena tidak
memenuhi standar pembuatan visum et repertum sebagaimana-mestinya. Oleh
karenanya sudah sepatutnya menurut hukum jika Majelis Hakim Agung
menyatakan VISUM ET REPERTUM CACAT HUKUM.

Bahwa didasarkan pada uraian-uraian tersebut diatas, maka terhadap unsur


MELAKUKAN KEKERASAN FISIK DALAM LINGKUNGAN RUMAH

69
TANGGA SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 4 HURUF
(A) YANG DITUDUHKAN TERHADAP PEMOHON
KASASI/TERDAKWA, TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN
MENYAKINKAN.

Bahwa kemudian JPU atas fakta-fakta yang terungkap di persidangan


tersebut diatas, tetap mengajukan tuntutan berdasarkan Pasal 45 ayat 1
dan Pasal 44 ayat 4 yang artinya tuntutan JPU bersifat komulatif.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas apabila berdasarkan
ketentuan Pasal 64 ayat 1 KUHP maka semestinya tuntutan tersebut
bersifat alternatif. Bahwa terlepas dari perbuatan itu benar atau tidak,
faktanya akibat pisik dan psikis yang diderita oleh Saksi Pelapor (Purnima
Ralhan Kine) tidak parah/ berat, sehingga sangat berkeadilan dan
berdasar hukum apabila Majelis Hakim Pengadilan Tinggi membatalkan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan bahwa
terdakwa terbukti bersalah melanggar ketentuan Pasal 45 ayat 1,
kemudian Majelis Pengadilan Tinggi mengadili kembali dengan
menjatuhkan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 44 ayat 4.

BAHWA PEMOHON KASASI SANGAT KEBERATAN DENGAN


PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN TINGGI JAKARTA PADA
HALAMAN 16 ALENIA KE 3 YANG MENYATAKAN TERDAKWA
BERLAKU KEJAM TERHADAP ISTRI (PURNIMA) DAN ANAKNYA
(LARA) BERDASARKAN MEMORI BANDING JPU

2. Bahwa berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada halaman


16 alenia ke 3 yang menyatakan: ” menimbang, bahwa terdakwa
sebagai seorang suami seharusnya memberikan perlindungan dan kasih
sayang kepada istri dan anak-anaknya, akan tetapi dalam kasus ini

70
terdakwa berlaku kejam terhadap isteri dan anak-anaknya, sehingga
menimbulkan trauma dan rasa takut dari isteri karena khawatir akan
mendapat perlakuan yang kejam dari suaminya yaitu terdakwa ”

BAHWA PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM TERSEBUT SANGAT


KEJAM DAN SANGAT MENUSUK SANUBARI TERDAKWA KARENA
SEBAGAI SEORANG AYAH SANGAT MENCINTAI LARA ROSE
KINE BAHKAN BETAPA HANCURNYA PERASAAN TERDAKWA
KETIKA PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN MEMBERIKAN
HAK ASUH KEPADA SAKSI PURNIMA

Sebagai rasa cinta kasih Terdakwa terhadap anak dan isteri, terdakwa
selalu mengajak anak dan isteri untuk pergi berlibur (holiday) baik di
dalam negeri maupun ke luar negeri. Betapa banyak tempat yang telah
dikunjungi baik di Indonesia maupun di luar negeri, sehingga meskipun
Lara Rose Kine baru berumur 5,5 tahun telah mempunyai wawasan yang
luas tentang dunia.

Fakta yang tidak terbantahkan adalah dari sejak kecil Lara Rose Kine
selalu tidur bersama Terdakwa bahkan dalam waktu-waktu tertentu
Terdakwa kerap kali memandikan Lara Rose Kine.

Akibat Saksi Purnima meninggalkan rumah membawa Lara pada


tanggal 20 Agustus 2007, maka Terdakwa sudah tidak kuat menahan
rasa ridunya kepada Lara Rose Kine sehingga pada tanggal 30 Agustus
2007 Terdakwa menjemput anak (Lara) saat jam sekolah berakhir, dan
membelikan Lara makanan favoritnya sebuah cheeseburger, kemudian
sesampainya dirumah Pemohon kasasi dengan anaknya (Lara) bermain
bersama, mewarnai, bermain kelinci, saat itu Terdakwa diberi julukan
sebagai “SUPER DADDY DAY” oleh anaknya (Lara), namun
kebahagiaan itu berusaha direnggut oleh Saksi Purnima. Dalam

71
persidangan saksi Purnima jelas mengatakan bahwa hubungan
emosional antara Lara dengan Pemohon Kasasi lebih dekat apabila
dibandingkan dengan Saksi Purnima sendiri.

Atas keterangan Lara Rose Kine di BAP, hal tersebut sudah sangat
tidak obyektif, karena selama itu Lara Rose Kine dalam pengaruh
doktrin Saksi Purnima dan kedua mertua Terdakwa. Hal itu diperkuat
dengan bukti dalam pemeriksaan tersebut Lara Rose Kine seolah-olah
sudah sangat dewasa dan lancar berbahasa Indonesia, apalagi dalam
keterangannya menyebut Terdakwa dengan sebutan “papa”. Padahal
jelas-jelas Lara Rose Kine memanggil Terdakwa tidak dengan sebutan
“papa” tetapi dengan nama panggilan kesayangannya yaitu “gagi” atau
“daddy.” Dalam pembuatan BAP di Kantor Hukum Amir Syamsyddin
pula, Lara yang waktu itu hanyalah 5,5 tahun saja usianya, didampingi
oleh Jayashree Ralhan (Mertua Terdakwa) sehingga kebenaran
pernyataan Lara patutlah dipertanyakan. Semestinya Lara didampingi
oleh seorang penerjemah tersumpah dan BAP tidak dilakukan di Kantor
Hukum Amir Syamsudin.

Demikian pula dengan tuduhan kekerasan yang dilakukan Terdakwa


terhadap Saksi Purnima adalah sangat tidak berdasar sebagaimana
yang telah diuraikan di atas, sehingga pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Jakarta yang begitu saja percaya atas Memori
Banding JPU tanpa mempertimbangkan fakta-fakta yang terjadi pada
saat dipersidangan dan telah diuraikan dalam putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, kemudian menjatuhkan Putusan selama 2
(dua) tahun adalah Putusan yang sangat tidak berperikemanusiaan dan
tidak berdasar hukum, bahkan telah melanggar Hak Asasi Manusia.

KESIMPULAN

72
Majelis Hakim Agung
Yang Kami Muliakan

Sebelum kami sampai pembahasan pada bagian akhir dari Memori


Kasasi, perkenankanlah kami untuk menyampaikan kesimpulan dari
memori kasasi ini. Kesimpulan ini selain berdasarkan fakta-fakta
apa yang kami uraikan tersebut di atas, dan juga berdasarkan
ungkapan perasaan klien kami setelah mengalami proses
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Hal ini
perlu kami sampaikan, karena klien kami telah diberlakukan secara
tidak adil dan sangat melecehkan intelektualitas klien kami.
Bagaimana mungkin klien kami di kriminalisasi hanya berdasarkan
sebuah konflik rumah tangga, kemudian berdasarkan fakta-fakta
yang penuh dengan rekayasa dilaporkan ke kepolisian dan akhirnya
dinyatakan bersalah oleh suatu proses hukum yang tidak seimbang.
Klien kami tidak pernah mempunyai niat untuk melakukan KDRT
terhadap istrinya, apalagi mempunyai motif untuk melakukan KDRT.
Fakta-fakta yang dilaporkan oleh pelapor adalah fakta-fakta yang
telah didramatisir sedemikan rupa. Tidak ada motif sama sekali.

Majelis Hakim Agung


Yang Kami Muliakan

Sebagaimana yang kami telah uraikan di atas, bahwa persolan ini


bermula dari konflik rumah tangga biasa, namun telah salah
digunakan sebagai dasar oleh pelapor untuk memperoleh
penguasaan hak asuh anak (Lara). Itu pun baru diketahui
belakangan oleh klien kami, karena sebelum proses persidangan
pidana di pengadilan negeri, ternyata pelapor telah mengajukan

73
lebih dahulu hak pengasuhan anak. Klien kami tidak pernah terlintas
berpikir untuk bercerai, karena klien kami sangat mencintai
keluarganya. Bukti kasih sayang klien kami terhadap keluarganya,
klien kami selalu berusaha untuk membahagiakan anak istrinya,
salah satunya dengan cara mengajak istri dan anaknya untuk
berwisata baik di luar maupun di dalam negeri pada setiap
kesempatan libur panjang. Bahkan satu bulan sebelum pelapor
meninggalkan rumah pada tanggal 20 Oktober 2007, klien kami
telah mengajak anak istrinya (pelapor) berlibur ke Paris. Bagaimana
mungkin klien kami kemudian dituduh melempar gelas dan
mengancam membunuh istrinya, sedangkan kenangan waktu
berlibur masih terhitung bilangan minggu. Apalagi tuduhan-tuduhan
tersebut tidak didukung seorang saksipun yang melihat peristiwa
yang telah didakwakan terhadap Pemohon Kasasi. Pada saat
persidangan, semua saksi mencabut BAP dan mengaku telah
diarahkan oleh pelapor atau istrinya.

Hal tersebut semakin runyam, karena penyidik tidak paham tentang


pilosofi, maksud dan tujuan dibentuknya UU No. 23 tahun 2004.
Mereka hanya paham tentang proses penanganan perkara pidana
secara konvensional saja. Betapa banyak ketentuan beracara dalam
UU tersebut yang tidak dilaksanakan. Demikian pula JPU dan hakim
pada Pengadilan Negeri, terlebih lagi pengadilan Tinggi tidak paham
bagaimana seharusnya penanganan proses KDRT pada saat
dimulainya penyidikan.

Majelis Hakim Agung

Yang Kami Muliakan,

Pemohon Kasasi adalah seorang Warga Negara Amerika dan


mempunyai isteri seorang Warga Negara Amerika, menikah di
Amerika berdasarkan ketentuan hukum perkawinan negara

74
Amerika, serta mempunyai kultur yang sangat menghormati
kesetaraan gender, sehingga tidak ada relevansi penerapan asas
teritorial dalam doktrin hukum pidana terhadap kasus konflik rumah
tangga Pemohon Kasasi, apalagi kemudian diskriminalisasi
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004, karena yurisdiksi perkawinan
Pemohon Kasasi tidak tunduk dengan UU No.1 Tahun 1974.

Sehingga konsekuensi asas teritorial dalam doktrin pemidanaan di


Indonesia tidak serta merta secara mutatis mutandis berlaku
terhadap kasus dugaan pelanggaran KDRT orang asing, karena UU
No. 23 Tahun 2004 mempunyai sifat yang khas berbeda dengan
undang-undang lainnya, sehingga terhadap kasus dugaan
pelanggaran KDRT bagi orang asing cukup diterapkan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Perlu kami sampaikan kepada Majelis Hakim Agung Republik


Indonesia yang kami muliakan, aturan mengenai ketentuan acara
dalam pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 23 Tahun 2004 tidak
dilaksanakan oleh penyidik dimana ketentuan tersebut dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan kepada korban, dan dilain pihak
adanya penghormatan atas hukum privat antara suami istri dalam
lingkup rumah tangga, maka ketentuan acaranya bersifat spesialis/
khas mutlak harus dilaksanakan. Namun hal tersebut tidak pernah
dimohonkan atau dilaksanakan baik karena permintaan pelapor
(korban) dan atau polisi, sehingga dapat disimpulkan bahwa
seandainya pun itu benar, perbuatan Pemohon Kasasi cukup
dikenakan pasal 152 KUHP, karena kenyataannya tidak ada akibat
yang sangat serius terhadap diri pelapor baik secara fisik maupun
secara psikis.

75
Penyidikpun telah mengabaikan ketentuan Pasal 17 UU No.23 Tahun
2004, dimana penyidik hanya meminta keterangan dari Dra. Evita
Adnan, M.Psi. tentang kondisi psikis korban, ternyata yang
dilaksanakan adalah hanya sebatas wawancara, tidak ada
pemulihan (recovery) kondisi psikis korban. Atas dasar wawancara
tersebut kemudian dibuat surat keterangan tanpa melalui
metodelogi ilmu psikologi yang benar. Perlu kami sampaikan juga
bahwa ternyata DALAM PERSIDANGAN TERTANGGAL 21 MEI 2008 dalam
perkara No. 522/Pid.B/2008/PNJak.Sel., ketika Saksi Ahli Dra. Evita Adnan,
M.Psi. dimintai kesaksiannnya sebagai saksi ahli psikolog, SAKSI AHLI DRA.
EVITA ADNAN, M,PSI. MALAH MENOLAK MENYATAKAN DIRINYA SEBAGAI
SEORANG AHLI PSIKOLOG, DAN MENERANGKAN BAHWA IA ADALAH SEORANG
KONSELOR (COUNSELLOR), SEHINGGA SUMPAH YANG DIBERIKAN DALAM
BERITA ACARA PENYUMPAHAN SEBAGAI SAKSI AHLI PSIKOLOG YANG
TELAH DILAKUKAN PADA TANGGAL 3 DESEMBER 2007 MERUPAKAN
SUMPAH PALSU. Sehingga Hasil Konseling Psikologis 08/pp/P2TP2A/X/07
tertanggal 26 Nopember 2007 dan Nomor 09/pp/P2TP2A/XII/07 tertanggal
17 Desember 2008, yang dikeluarkan oleh Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta
yang ditandatangani oleh saksi ahli Dra. Evita Adrian, M.Psi. menjadi
BATAL DEMI HUKUM.
Berdasrkan pengakuan Dra. Evita adnan, M.Psi pada saat persidangan mengakui
tidak melihat bukti kekerasan pisik dan psikis, sehingga apa yang dinyatakan
dalam suarat keterangan tersebut hanya merupakan hasil wawancara belaka.
Dan menurut saksi ahli dari Universitas Indonesia dan Himpunan Psikologi
Indonesia (HIMPSI) Hatma Sapar Shinto Sukirna, Msc, menyatakan bahwa
konselor tidak berwenang membuat pernyataan yang berkaitan dengan hukum.

76
Demikian pula dengan visum yang dijadikan dasar sebagai bukti adanya
kekerasan pisik. Ternyata Visum tersebut hanya menyatakan ”nyeri”, dan
menurut saksi ahli Dr, H. Nazral Nazar, Spb.Finacs., bahwa ”nyeri” itu hanya
merupakan gejala bersifat umum, dan tidak dapat dijadikan diagnosis, sehingga
harus dicari apa penyebab ”nyeri” tersebut. Pelapor sendiri tidak konsisten di
mana letak ”nyeri” tersebut, pada saat di BAP menyatakan berada di PINGGUL,
sedangkan di visum meyatakan berada di NYERI PADA LEHER DAN TULANG
BELAKANG, kemudian pada saat dipersidangan berada di PANTAT.
Terlebih lagi pada saat dipersidangan telah diakui oleh pelapor bahwa ia
mempunyai riwayat penyakit REUMATOID ARTHRITIS yang merupakan
penyakit degeneratif, yaitu penyakit yang menyerang bagian persendian
otot, dan efeknya adalah NYERI.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Pemohon Kasasi/ Terdakwa mohon kepada


Yang Mulia Majelis Hakim Agung untuk memutuskan :

1. Menerima Memori Kasasi Tambahan Pemohon Kasasi ;


2. Menyatakan membebaskan terdakwa Jonathan I. Kine dari segala
tuduhan atau setidak-tidaknya menyatakan lepas dari segala tuntutan
hukum;

Apabila Majelis Hakim Agung berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-
adilnya ( ex aquo et bono );

Demikian Memori Kasasi ini kami sampaikan, atas perhatiannya Majelis


Hakim Agung kami ucapkan banyak terima kasih.

77
Hormat kami
Kuasa Hukum Pemohon,

DANU I. NUGRAHA, S.H., M.H.

GATRA E. RAHARDIAN, S.H.

TODDY SEBASTIAN, S.H.

78

Anda mungkin juga menyukai