KETERANGAN AHLI
Bahwa pada tanggal 3 Nopember 2007, Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. telah
diminta keterangannya oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia
Daerah Metro Jakarta Raya guna keperluan pemeriksaan yang dituangkan dalam Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai Saksi Ahli Psikologi. Bahwa Saksi Ahli Dra. Evita
Adnan, M.Psi. dalam keterangannya di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut
menyatakan bahwa Saksi Ahli adalah SAKSI AHLI PSIKOLOG. Mengutip
pertanyaan penyidik/polisi dan jawaban Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. dalam
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada angka 2, dengan tegas Saksi Ahli-Dra. Evita
Adnan, M.Psi. memberikan jawaban atas pertanyaan penyidik sebagai berikut:
30
SEORANG AHLI PSIKOLOGI. Apalagi status AHLI PSIKOLOG tersebut telah
ditegaskan kembali dalam BERITA ACARA PENYUMPAHAN SEBAGAI
SAKSI AHLI PSIKOLOG YANG TELAH DILAKUKAN PADA TANGGAL
3 DESEMBER 2007.
31
Bahwa jika pada persidangan tertanggal 21 Mei 2008, dimana Saksi Ahli Dra. Evita
Adnan, M.Psi. menyatakan bahwa ia bukanlah seorang AHLI PSIKOLOG namun
seorang KONSELOR (COUNSELLOR), maka serta merta Majelis Hakim dalam Perkara
Pidana No. 522/Pid.B/2008/PN.Jak.Sel. harusnya menolak atau mengabaikan
Hasil Konseling Psikologis Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi., karena tidak
mempunyai kapasitas mengeluarkan hasil analisanya terhadap seseorang tentang
hasil konseling psikologis. Sehingga Hasil Konseling Psikologis 08/pp/P2TP2A/X/07
tertanggal 26 Nopember 2007 dan Nomor 09/pp/P2TP2A/XII/07 tertanggal 17
Desember 2008, yang dikeluarkan oleh Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI
Jakarta yang ditandatangani oleh saksi ahli Dra. Evita Adrian, M.Psi.
menjadi BATAL DEMI HUKUM, karena dikeluarkan bukan oleh AHLI PSIKOLOGI.
Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. tidak pernah melampirkan surat tugas dari
Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Provinsi
DKI Jakarta, baik dalam pemeriksaan di Kepolisian Republik Indonesia daerah metro
Jaya, maupun di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Perkara Pidana No.
522/Pid.B/2008/PN.Jak.Sel.
32
keterangan atau kesaksian-kesaksian para Saksi Ahli yang disampaikan dalam
persidangan tersebut adalah sebagai berikut:
Bahwa Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. menerangkan bahwa visum et
repertum adalah suatu keterangan resmi tentang hasil pemeriksaan dokter atas diri
pasien atas permintaan penyidik/polisi, yang memuat identitas pasien/korban, hasil
pemeriksaan, pengantar dan observasi yang disimpulkan secara singkat dalam
laporannya. Pembuatan Visum Et Repertum harus dilakukan
pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan, kemudian harus
disesuaikan dengan kedaan pasien/korban. Bahkan visum et
repertum juga harus memuat pemeriksaan penunjang, hasil pemeriksaan dan
kesimpulan (jika ada). Dokter juga harus mendengarkan dan memeriksa setiap
keluhan pasien/korban. Semua dokter sepanjang berkompeten berwenang untuk
membuat visum et repertum. Visum et repertum bisa dikeluarkan dengan tanggal
yang berbeda dengan tanggal kejadian, tapi harus disebutkan tanggal
pemeriksaannya.
33
Bahwa Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. menjelaskan sehubungan dengan
istilah "NYERI" yang ditemukan dalam hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh
Dr. Binsano sebagai berikut bahwa NYERI ADALAH SIMPTOMP JADI
TIDAK BISA DIBUAT DAN DIJADIKAN DIAGNOSA, sehingga dokter harus
menemukan penyebab nyeri tersebut dan jika menemukan hal lain harus
menegaskan dalam pemeriksaan lain, seperti melakukan ronsen kepada
pasien/korban.
Jadi hasil akhir nyeri tidak bisa dijadikan diagnosa karena nyeri
merupakan suatu hal yang subjektif dari seorang pasien/korban,
sehingga riwayat penyakit ini tidak biasa digunakan dalam
dunia kedokteran.
Bahwa Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. juga menerangkan tentang
penyakit "reumatoid arthrititf' adalah penyakit yang menyerang sendi,
penyakit kelainan degeneratif atau karena keausan dan ciri-ciri dari penyakit ini
tergantung pada stadiumnya. Bahwa penyakit ini adalah penyakit yang diderita oleh
Saksi Purnima Ralhan Kine.
34
seseorang, dalam hal ini adanya dugaan kekerasan psikis dan fisik dalam rumah
tangga yang diduga dilakukan oleh Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine.
Sehingga secara de jure visum et repertum yang dikeluarkan oleh Dr. Binsano
tersebut telah memberikan penjelasan tentang adanya diagnosa yang tidak pasti,
dengan kata lain diagnosa tersebut mengandung ketidakjelasan akan adanya suatu
penyakit/keluhan yang diderita oleh sikorban/pasien, sehingga dapat menimbulkan
penafsiran yang berbeda-beda tentang adanya kesimpulan akan diagnosa "NYERI"
tersebut. Bahwa dengan tidak dipenuhinya procedural formal tentang pembuatan
visum et repertum yanmg dilakukan oleh Dr. Binsano, maka sudah sepatutnya
menurut hukum jika Majelis Hakim Agung menyatakan VISUM ET REPERTUM
CACAT HUKUM.
35
TENTANG KETERANGAN DAN KESAKSIAN AHLI, DRA.HATMA
SAPAR SHINTO SUKIRNA, MSC.
SAKSI AHLI HATMA SAPAR SHINTO SUKIRNA,. MSC ADALAH PSIKOLOG DARI
UNIVERSITAS INDONESIA DAN JUGA MERUPAKAN ANGGOTA DARI HIMPUNAN
PSIKOLOGI INDONESIA (HIMPSI). Saksi Ahli Hatma Sapar Shinto Sukirna telah
memberikan keterangan dibawah sumpah dalam sidang Perkara Pidana No.
522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. pada tanggal 21 Mei 2008, yang pada intinya
menjelaskan bahwa tidak semua sarjana psikologi berwenang berpraktek
sebagai psikolog, karena untuk menjadi psikolog harus mengikuti pendidikan
khusus. Dari sisi psikologi, seseorang melakukan tindak pidana kekerasan bisa
karena pribadi akibat genetis, asuhan dan situasional, dan untuk mengukur
persepsi korban secara psikologis digunakan alat ukur tanpa
perlu menginventaris persepsi orang (wawancara). Adapun yang
menjadi ukuran adalah dengan melihat gejalanya, namun suatu keadaan dapat
ditimbulkan karena banyak hal. Bahwa istilah "emosional" masih bersifat
kontroversial, karena tidak mudah mendefinisikannya, namun dapat dilihat
dampaknya apakah menimbulkan gangguan atau tidak serta dampak suatu
tindakan banyak dipengaruhi oleh unsur subjektif.
Bahwa setelah Saksi Ahli Hatmasapa Shinto Sukirna mempelajari hasil penelitian
konseling dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak
Provinsi DKI Jakarta, Saksi Ahli Hatmasapar Shinto Sukirna berpendapat bahwa
HASIL PENELITIAN TERSEBUT BUKAN OLEH SEORANG PSIKOLOG,
KARENA TIDAK LAZIM SEORANG PSIKOLOG MENYATAKAN
DIAGNOSA DENGAN CARA SEPERTI ITU, DAN PROSES
PENGAMBILAN KEPUTUSANPUN TIDAK LAZIM. SELAZIMNYA
YANG DISAMPAIKAN ADALAH HASIL
PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS DAN BUKAN HASIL
KONSELING PSIKOLOGIS, KARENA JIKA YANG
DIKELUARKAN HASIL KONSELING ADALAH TREATMENT.
Karena perbedaan konkrit dari hasil pemeriksaan psikologi dengan
36
hasil pemeriksaan konseling adalah bahwa konseling sama dengan
treatment yaitu suatu usaha untuk membantu penyelesaian masalah,
apa yang didapat dalam pemeriksaan psikologi digunakan untuk
konseling. Dalam pemeriksaan psikologi, pemeriksa tidak boleh
membuat hasil pemeriksaan psikologi berdasarkan pengakuan si klien
karena hasilnya tidak memadai untuk dijadikan acuan karena dibuat
oleh orang yang tidak berkompeten.
Bahwa hasil konseling dalam berkas perkara tidak sesuai dengan standar
psikologi, karena judulnya bukanlah hasil konseling tapi haruslah hasil
pemeriksaan psikologi, serta kemudian harus ada metode dan kesimpulan secara
ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mengetahui seseorang
terkena dampak trauma psikologi harus dilakukan wawancara
terhadap korban dan lingkungannnya, serta dibutuhkan suatu
observasi yang mendalam dan panjang. Bahkan untuk mengetahui
seseorang mendapat trauma psikoiogi yang diukur adalah dampaknya.
Akan tetapi untuk dapat mengetahui penyebabnya akan diperlukan waktu
yang cukup lama karena banyak yang perlu dihubungi dan untuk mengukur
simpton-simpton mengenai keterangan yang diberikan harus dicatat
kemudian dilihat konsistensinya, sehingga dapat ditemukan apa yang
menjadi penyebabnya.
37
ANAK, PROVINSI DKI JAKARTA, YANG DITANDATANGANI
OLEH SAKSI AHLI DRA. EVITA ADNAN, M.PSI.
Bahwa dugaan kekerasan psikis yang diduga dilakukan oleh Pemohon Kasasi/
Terdakwa Jonathan I. Kine terhadap Saksi Purnima Ralhan Kine dan anaknya Lara
Rose Kine, dilandasi pada hal-hal sebagai berikut:
Bahwa dalam persidangan tanggal 21 Mei 2008 dalam perkara pidana No.
522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Saksi Ahli Dra.
Evita Adnan, M.Psi. menyatakan dirinya sebagai konselor dan bukan ahli psikolog.
Dalam persidangan tersebut tenyata ditemukan bahwa Saksi Ahli Dra. Evita Adnan,
M.Psi. tidak memiliki izin praktek dan tidak terdaftar di Himpunan Psikologi
Indonesia.
38
Bahkan untuk-dapat mengetahui tentang seluk beluk-profesi psikolog dan tanggung
jawab, serta etika yang berlaku bagi profesi psikologi, termasuk untuk menanggapi
kapasitas Saksi Ahli Dra. Evita Adrian, M.Psi., maka Saksi Ahli Psikolog, Hatma Sapar
Shinto Sukirna, Msc, dari Universitas Indonesia dan Himpunan Psikologi Indonesia
(HIMPSI) telah memberikan keterangan dan kesaksiannya sebagai berikut:
Bahwa tentang kompetensi keahlian Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. Majelis
Psikologi Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta
39
Raya (HIMPSI Jaya), No. O1/MKPsi/V/2008, tanggal 5 Mei
2008, yang ditandantangani oleh Dra. Mira Humeser, melalui surat
resmi telah menyatakan sebagai berikut: Berdasarkan penelusuran
terhadap latar belakang pendidikan, diketahui bahwa Saudara
Evita Adnan adalah SI Fakultas Pendidikan IKIP Jakarta,
kemudian melanjutkan pendidikan pada program S2 Magister
Sains Pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
lulus tahun 1995. SEBAGAI LULUSAN PROGRAM MAGISTER SAINS,
YANG BERSANGKUTAN TIDAK MEMILIKI KOMPETENSI SEBAGAI
SEORANG PSIKOLOG.
40
Bahwa didasarkan pada uraian dan penjelasan tersebut diatas, dimana Saksi Ahli
Dra. Evita Adnan, M.Psi. tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang psikologi, maka
sudah sepatutnya menurut hukum, apabila Majelis Hakim Tinggi pada Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta yang terhormat, menyatakan Hasil Konseling Psikologis
08/pp/P2TP2A/X/07 tertanggal 26 Nopember 2007 dan Nomor
09/pp/P2TP2A/XII/07 tertanggal 17 Desember-2008, yang dikeluarkan oleh Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Provinsi DKI Jakarta,
yang ditandatangani oleh Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi., TIDAK SAH
DAN TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN PEMBUKTIAN APAPUN,
SEHINGGA DINYATAKAN BATAL DEMI HUKUM.
Bahwa Saksi Ahli Ir. Hari Budianto, telah memberikan keterangan dibawah sumpah
dalam sidang Perkara Pidana No. 522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. pada tanggal 4 Juni
2008, yang pada intinya menerangkan dan menjeJaskan bahwa ukuran kamar
tidur utama Saksi Purnima Ralhan Kine dan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan
I. Kine adalah 5 X 6,9 m2.
Bahwa Keterangan Saksi Purnima Ralhan Kine yang menyatakan bahwa pada
tanggal 30 Agustus 2007 dikamar tidur utama, Pemohon Kasasi/Terdakwa
Jonathan I. Kine telah mengangkat tubuh Saksi Purnima Ralhan Kine dan
melemparkan dari pintu kamar tidur utama sampai keujung dekat lemari baju
sejauh 8 - 1 0 meter, jelas merupakan keterangan yang berlebihan dan jelas
41
mengandung kebohongan. Oleh karena RUANG KAMAR TIDUR UTAMA
TERSEBUT HANYA BERUKURAN 5 X 6,9 METER, dimana Saksi Ahli Ir.
Hari Budiaoto, telah mengukur ruang tidur utama tersebut. Sehingga TIDAK
MUNGKIN SAKSI PURNIMA RALHAN KINE TERLEMPAR SEJAUH
8 - 10 METER, karena akan menembus dinding kaca dengan teralis kayu
tidur utama tersebut.
Sehingga peristiwa dan kejadian tersebut diatas, hanyalah merupakan rekayasa dan
karangan bohong belaka yang diciptakan oleh Saksi Purnima Ralhan Kine, dengan
tujuan untuk menciptakan suatu kondisi bahwa Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan
I Kine adalah seorang yang sangat kejam dan berbahaya. Oleh karenanya sudah
sepatutnya menurut hukum dan keadilan, segala rekayasa yang terjadi dihapuskan,
serta menyatakan Terdakwa Jonatahan I Kine tidak melakukan kekerasan, apalagi
melemparkan Saksi Purnima Ralhan Kine sejauh 8 - 1 0 meter, karena memang
ukuran ruang kamar tidur utama hanya berukuran 5 x 6.9 meter.
Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) buah pisau bergagang abu-abu merek titanium
merupakan barang bukti yang diduga dipergunakan oleh Pemohon
Kasasi/Terdakwa Jonathan I Kine untuk melakukan tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga. Pisau bergagang abu-abu merek titanium merupakan pisau pemotong
daging yang biasa dipergunakan di dapur dan dibeli Saksi Purnima Ralhan Kine di
Amerika Serikat.
42
PISAU MEREK TITANIUM TERSEBUT TIDAK PERNAH
DIPEGANG APALAGI DIPERGUNAKAN OLEH PEMOHON
KASASI/ TERDAKWA JONATHAN I. KINE, KAREN A PISAU
MEREK TITANIUM TERSEBUT SELALU ADA DIDAPUR.
Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) buah pisau bergagang abu-abu merek titanium
tersebut dijadikan sebagai barang bukti oleh Jaksa Penuntut Umum, oleh karena
pada 8 September 2007 Saksi Purnima Ralhan Kine telah menemukan pisau merek
titanium tersebut dilaci meja samping dekat tempat tidur.
Bahwa fakta persidangan tidak dapat membuktikan bahwa barang bukti berupa 1
(satu) buah pisau bergagang abu-abu merek titanium merupakan alat yang
dipergunakan sebagai kejahatan sebagaimana yang diduga dilakukan oleh Pemohon
Kasasi/Terdakwa Jonathan I. Kine, karena Pemohon Kasasi/Terdakwa
Jonathan I. Kine sendiri telah membantah meletakkan barang
bukti tersebut dilaci meja samping dekat tempat tidur, bahkan
Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I Kine tidak tahu menahu
adanya barang bukti tersebut di kamar tidur utama. Bahkan
ditemukan fakta dipersidangan bahwa atas kesaksian Saksi Riska dan Saksi Eti yang
menyatakan bahwa mereka diajak masuk kekamar setelah sebelumnya Saksi Purnima
Ralhan Kine masuk terlebih dahulu kedalam rumah, kemudian Saksi Purnima Ralhan
Kine menunjukkan adanya barang bukti tersebut. Apalagi barang bukti tersebut
ditemukan didalam dilaci meja samping dekat tempat tidur Saksi Purnima sendiri
sebagaimana kesaksian Saksi Riska dan Eti dimuka persidangan. Bahkan Saksi Purnima
Ralhan Kine masih memiliki kunci rumah dan kamar, sehingga masih bisa mondar-
mandir masuk kerumah dan kekamar tidur utama.
Oleh karenannya bisa saja barang bukti tersebut diletakkan sendiri oleh Saksl
Purnima Ralhan Kine dengan maksud menjerat serta meletakkan Pemohon Kasasi/
Terdakwa Jonathan I Kine sebagai seorang penjahat dalam rumah tangga "mereka"
sendiri. Hal ini terlihat dengan adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh Saksi
Purnima Ralhan Kine antara lain, adanya upaya Saksi Purnima Ralhan Kine untuk
43
memisahkan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I Kine dari anaknya, Kara Rose
Kine, dengan cara mengajukan Permohonan Pengasuhan Anak di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dalam Reg. Perkara No. 394/Pdt.P/2007/PN.Jak.Sel. dan selanjutnya
mengajukan Proses Perceraian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Reg.
Perkara No. 47/Pdt.G/2008/PN.Jaks.Sel./ tertanggal 28 Januari 2008.
Bahwa Majelis Hakim juga tidak membahas dan tidak berupaya mencari tahu akan
barang bukti tersebut, sehingga Majelis Hakim sendiri terlihat masih ragu-ragu
sehubungan dengan barang bukti tersebut, sehingga dalam pertimbangan
hukumnya Majelis Hakim hanya mengutip keterangan dan kesaksian Saksi Purnima
Ralhan Kine, sehingga pertimbangan hukum Majteis Hakim tersebut menjadi tidak
objektif dan terkesan dipaksakan. Adapun pertimbangan Majelis Hakim tersebut
dapat dilihat pada halaman 32 poin 15 yang berbunyi sebagai berikut:
44
Sehingga didasarkan pada fakta hukum, adanya barang bukti berupa 1 (satu)
buah pisau bergagang abu-abu merek titanium TIDAK TERBUKTI
DIPERGUNAKAN PEMOHON KASASI/TERDAKWA JONATHAN I. KINE,
karena keberadaan barang bukti tersebut muncul dalam kasus ini hanya
didasarkan pada keterangan Saksi Purnima Ralhan Kine.
45
tersebut dipanggil oleh Purnima untuk melihat pisau di laci meja
rias Purnima, dan sepengetahuan kedua saksi tersebut, kunci laci
meja rias hanya dimiliki oleh saksi Purnima sendiri, sedangkan
tongkat baseball biasanya tergeletak di bawah tempat tidur.
Sehingga berdasarkan fakta hukum barang bukti tersebut menjadi tidak sah, oleh
karenanya sudah sepatutnya menurut hukum, apabila Majelis Hakim Agung
menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) buah pisau bergagang
46
abu-abu merek titanium tidak terbukti dipergunakan oleh
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine.
Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) buah kayu pemukul baseball warna coklat
merupakan barang bukti yang diduga dipergunakan oleh Pemohon Kasasi/ Terdakwa
Jonathan I. Kine untuk melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Kayu pemukul baseball warna coklat merupakan tongkat baseball yang dari dahulu
selalu berada didalam rumah, yang tempatnya selalu berpindah-pindah dan
Pemohon Kasasi/Terdakwa Jontahan I. Kine masih memiliki kayu pemukul baseball
yang lain artinya Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine memliki lebih dari satu
kayu pemukul baseball. Bahwa Saksi Eti dan Saksi Riska juga mengetahui bahwa
kayu pemukul baseball tersebut berada dirumah dan salah satunya berada di kamar
tidur utama. Bahkan Saksi Endah Irmawati dimuka persidangan menyatakan bahwa
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine suka berolah raga dan pernah melihat
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine memakai topi dan membawa kayu
pemukul baseball di lingkungan Jakarta International School (JIS).
Bahwa adalah sangat ironis jika adanya kayu pemukul baseball warna coklat
dianggap sebagai alat untuk melakukan kejahatan, khususnya kekerasan dalam
rumah tangga yang diduga dilakukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I.
Kine, padahal kayu pemukul baseball warna coklat sejak dulu sudah ada dirumah.
Bahkan fakta dipersidangan juga tidak membuktikan adanya ancaman terhadap
Saksi Purnima Ralhan Kine. Bahkan dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim hanya
menjelaskan sebagai berikut :
47
Bahwa pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak membuktikan apapun terhadap
keberadaan barang bukti tersebut, karena fakta persidangan tidak menemukan
adanya hubungan barang bukti tersebut dengan keberadaan kasus yang ada.
Bahkan Majelis Hakim juga tidak membahas dan tidak berupaya mencari tahu akan
barang bukti tersebut, sehingga Majelis Hakim sendiri terlihat masih ragu-ragu
sehubungan dengan barang bukti tersebut, sehingga dalam pertimbangan
hukumnya Majelis Hakim hanya mengutip keterangan dan kesaksian Saksi Purnima
Ralhan Kine, sehingga pertimbangan hukum Majelis Hakim tersebut menjadi tidak
objektif dan terkesan dipaksakan.
Sehingga didasarkan pada fakta hukum, adanya barang bukti berupa kayu pemukul
baseball warna coklat TIDAK TERBUKTI DIPERGUNAKAN PEMOHON
KASASI/ TERDAKWA JONATHAN I. KINE, karena keberadaan barang bukti
tersebut muncul dalam kasus ini hanya didasarkan pada keterangan Saksi Purnima
Ralhan Kine.
Sehingga berdasarkan fakta hukum barang bukti tersebut menjadi tidak sah, oleh
karenanya sudah sepatutnya menurut hukum, apabila Majelis Hakim Agung
menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) buah kayu pemukul
baseball warna coklat tidak terbukti dipergunakan oleh Pemohon
Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine.
48
BAHWA MAJELIS HAKIM PENGADILAN TINGGI TIDAK SECARA
OBYEKTIF MEMPERTIMBANGKAN JUDEC FACTIE DAN JUDEC JURIS
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN, KARENA FAKTA-
FAKTA YANG SEBENARNYA TIDAK ADA AKIBAT PSIKIS DAN PHISIK
YANG BERAT, NAMUN JIKA MAJELIS HAKIM BERPENDAPAT LAIN,
MAKA SEMESTINYA DITERAPKAN KETENTUAN PASAL 44 AYAT (4)
UU NO.23 TAHUN 2004
49
Kasasi harus dihukum sehingga dakwaan dibuat secara komulatif.
Apabila mengacu pada ketentuan pasal 44 KUHP, maka semestinya
dakwaan JPU dibuat alternatif.
50
Bahwa selanjutnya Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine keberatan menolak
pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman 31 sampai dengan halaman 32
karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Adapun yang menjadi keberatan
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine adalah sebagai berikut:
Bahwa dalam persidangan telah ditemukan fakta dari kesaksian-kesaksian yang telah
didengar dalam persidangan, dimana tidak ada Saksi yang melihat dan mendengar
peristiwa yang terjadi pada tanggal 19 Agustus 2007 tersebut. Maka apabila
peristiwa tanggal 19 Agustus 2007 yang telah tuduhkan sebagai bentuk kekerasan
psikis, maka dengan tiadanya saksi yang melihat dan mendengar peristiwa dan
kejadian tersebut secara langsung, maka sudah sepatutnya tuduhan terhadap
peristiwa kejadian tertanggal 19 Agustus2007 harus ditolak, karena tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan adanya perbuatan tersebut.
51
seberat 55 Kilogram sejauh 8 - 1 0 meter dari pintu masuk kamar tidur utama
sampai ke ujung kamar dekat lemari baju.
Bahwa dalam persidangan telah ditemukan fakta dari Saksi Ahli Ir. Hari Budianto
yang telah didengar dalam persidangan terhadap kejadian dimana Saksi Purnima
Ralhan Kine memberikan keterangan bahwa ia dilempar sejauh 8 - 1 0 meter.
Saksi Ahli Ir. Hari Budianto, telah memberikan kesaksian dengan menjelaskan
bahwa ukuran kamar tidur utama Saksi Purnima Ralhan Kine dan Pemohon
Kasasi/Terdakwa Jonathan I Kine adalah 5 X 6,9 m2. Sehingga keterangan Saksi
Purnima Ralhan Kine yang menyatakan bahwa pada tanggal 30 Agustus 2007
dikamar tidur utama Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I. Kine telah mengangkat
tubuh Saksi Purnima Ralhan Kine dan melemparkan dari pintu kamar tidur utama
sampai keujung dekat lemari baju sejauh 8-10 meter, jelas merupakan
keterangan yang berlebihan dan jelas mengandung kebohongan, karena
ruang kamar tidur utama tersebut hanya berukuran 5x6,9 meter, dimana Saksi Ahli
Ir. Hari Budianto, telah mengukur ruang tidur utama tersebut (blue print denah lantai
rumah yang otentik yang dimiliki Patra Jasa dengan tanda tangan dan stempel Patra
jasa bahwa unkuran ruangan hanya 5x6,9m juga digunakan sebagai bukti). Sehingga
tidak mungkin Saksi Purnima Ralhan Kine terlempar sejauh 8-10 meter, karena
akan menembus tembok kaca dengan teralis kayu di kamar tidur utama tersebut.
Bahwa jika dilihat secara bijaksana dan didasarkan pada logika yang ada, maka
seseorang dilempar sejauh 8 - 10 meter, sudah pasti akan menimbulkan kesakitan
yang cukup parah. Sekiranya hal tersebut benar terjadi, Saksi Purnima Ralhan Kine
adalah seorang yang sangat sakti, karena tidak mengalami kesakitan yang berarti.
Bahwa fakta yang ada, keesokan harinya pada tanggal 31 Agustus 2007 ternyata
Saksi Purnima Ralhan Kine tidak dalam status ijin kerja atau ijin sakit, dan Saksi
Purnima Ralhan Kine tetap masuk bekerja dan mengajar seperti biasanya. Bahwa
terhadap peristiwa pelemparan tersebut tidak ada seorang
saksipun yang melihat kejadian tersebut, karena kejadian ada
didalam kamar tidur utama dan pintu dalam keadaan tertutup. Hal ini
juga didukung oleh keterangan dan kesaksian Saksi Riska sedang bersama Lara Rose
52
Kine. Sehingga dapat dipastikan Lara Rose Kine juga tidak melihat kejadian tersebut.
Sehingga pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman 32, angka 12, yang
menyatakan "BAHWA MELIHAT KEJADIAN TERSEBUT LARA MENANGIS
KETAKUTAN", jelas tidak terbukti.
Bahwa terhadap peristiwa pelemparan tersebut tidak ada visum et repertum dan
tidak ada seorang saksipun yang melihat kejadian tersebut. Sehingga peristiwa dan
kejadian tersebut diatas, hanyalah merupakan rekayasa dan karangan bohong
belaka, dengan tujuan untuk menciptakan suatu kondisi bahwa Pemohon Kasasi/
Terdakwa Jonathan I Kine adalah orang yang sangat kejam dan sangat berbahaya.
Oleh karenanya sudah sepatutnya menurut hukum dan keadilan, segala rekayasa
yang terjadi untuk segera dihentikan dan dihapuskan dalam perkara ini, SERTA
MENYATAKAN TERDAKWA JONATAHAN I. KINE TIDAK MELAKUKAN
KEKERASAN, apalagi melemparkan Saksi Purnima Ralhan Kine sejauh 8 - 10-meter,
karena memang ukuran ruang kamar tidur utama hanya berukuran 5 x 6,9 meter.
Bahwa Majelis Hakim juga terlihat meragu akan peristiwa kejadian tersebut, namun
tetap memaksakan kejadian yang dilakukan Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I
Kine telah melempar Saksi Purnima Ralhan Kine sejauh 8 - 1 0 meter seolah pernah
terjadi. Keraguan Majelis Hakim terlihat dalam pertimbangan hukum pada poin 13
halaman 32 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. yang berbunyi sebagai berikut:
53
hukum Majelis Hakim. Sehingga peristiwa dan kejadian melempar sejauh 8-10
meter tersebut menjadi sepertinya tidak ada, lalu kemudian Majelis Hakim memberi
pertimbangan dengan kata-kata sebagai berikut:
Bahwa terhadap peristiwa seperti tersebut diatas telah diramu sedemikian rupa
agar kejadian tertanggal 30 Agustus 2007 seolah-olah merupakan suatu kejadian
yang sangat nyata, akan tetapi faktanya telah terjadi manipulasi kata dalam
pertimbangan hukum Majelis Hakim. Maka oleh karenanya sudah sepatutnya tuduhan
terhadap peristiwa kejadian tertanggal 30 Agustus 2007 harus ditolak, karena tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan adanya perbuatan melempar sejauh 8 - 1 0
meter tersebut.
54
tempat tidur, bahkan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine tidak tahu
menahu adanya barang bukti tersebut. Bahkan ditemukan fakta persidangan bahwa
atas kesaksian Saksi Riska dan Saksi Eti yang menyatakan bahwa mereka diajak masuk
kekamar, setelah sebelumnya saksi Purnima Ralhan Kine masuk terlebih dahulu
masuk kedalam rumah, kemudian Saksi Purnima Ralhan Kine menunjukkan adanya
barang bukti tersebut. Perlu menjadi perhatian bagi Majelis Hakim Agung yang
terhormat, bahwa Saksi Purnima Ralhan Kine masih memiliki kunci rumah dan kamar,
sehingga masih bisa keluar masuk rumah dan kamar tidur utama. Sehingga bisa saja
barang bukti tersebut diletakkan sendiri oleh Saksi Purnima Ralhan Kine dengan
maksud menjerat serta menempatkan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine
sebagai seorang penjahat dalam rumah tangga mereka sendiri. Hal ini terlihat
dengan adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh Saksi Purnima Ralhan Kine untuk
memisahkan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I Kine dari anaknya, Lara Rose
Kine, dengan cara mengajukan Permohonan Pengasuhan Anak di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dalam Reg. Perkara No. 394/Pdt.P/2007/PN.Jak.Sel. dan selanjutnya
mengajukan proses Perceraian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Reg.
Perkara No. 47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel., tertanggal 28 Januari 2008. Bahwa fakta
persidangan juga tidak menemukan siapa sebenarnya yang meletakkan pisau
tersebut dilaci meja samping dekat tempat tidur mereka. Dan hal terpenting dalam
kasus ini tidak ada seorang saksipun yang pernah melihat Pemohon Kasasi/Terdakwa
Jonathan I. Kine menggunakan barang bukti berupa 1 (satu) buah pisau bergagang
abu-abu merek titanium untuk menakut-nakuti apalagi mengancam kehidupan
Saksi Purnima Ralhan Kine.
Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) buah kayu pemukul baseball warna Coklat
merupakan barang bukti yang diduga dipergunakan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa
Jonathan I. Kine untuk melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Kayu pemukul baseball warna coklat merupakan tongkat baseball yang dari dahulu
selalu berada didalam rumah, yang tempatnya selalu berpindah-pindah. Bahkan
Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I. Kine masih memiliki kayu pemukul baseball
yang lain artinya Pemohon Kasasi/Terdakwa Jonathan I. Kine memiliki lebih dari
55
satu kayu pemukul baseball. Bahwa Saksi Eti dan saksi Riska juga
mengetahui bahwa kayu pemukul baseball tersebut berada dirumah dan salah
satunya berada di kamar tidur utama. Bahkan saksi Endah Irmawati dimuka
persidangan menyatakan bahwa Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I Kine suka
berolah raga dan pernah melihat Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I Kine
memakai topi dan membawa kayu pemukul baseball di lingkungan Jakarta
International School (JIS). Bahkan Majelis Hakim juga tidak membahas dan tidak
berupaya mencari tahu akan barang bukti tersebut, jadi terlihat ada terdapat
keraguan dari Majelis Hakim sehubungan dengan barang bukti tersebut, sehingga
dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim hanya mengutip keterangan dan
kesaksian Saksi Purnima Ralhan Kine. Maka pertimbangan hukum Majelis Hakim
tersebut menjadi tidak objektif dan terkesan dipaksakan. Fakta persidangan
menyatakan bahwa tidak ada seorang saksipun yang pernah melihat Pemohon
Kasasi/Terdakwa Jonathan I. Kine menggunakan kayu pemukul baseball warna
coklat untuk menakut-nakuti apalagi mengancam saksi purnima ralhan kine, maka
sudah sepatutnya tuduhan ancaman tersebut harus ditolak, karena tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan dalam persidangan.
Bahwa fakta dipersidangan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena tidak
seorang saksipun melihat kejadian tersebut. Bahkan dalam persidangan Saksi
Jayashree Ralhan-hanya menyatakan melihat kaca meja pecah.
56
TENTANG HASIL KONSEL ING PSIKOLOG IS NO. 09/PP/P2T
P2A/X I I/07 TERT ANGGAL 17 DESEMBER 2008, YANG DIKE
LUARKAN OLEH PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYA
AN PEREMPUAN DAN ANAK , PROVINSI DKI JAKARTA, YANG
DI TANDATANGANI OLEH SAKSI AHL I DRA . EVITA ADNAN
M. P S I.
Bahwa Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine menolak dan sangat keberatan
dengan pertimbangan Majelis Hakim tentang dijadikannya Hasil konseling Psikologis
Nomor 09/pp/P2TP2A/XII/07 tertanggal 17 Desember 2008, yang dikeluarkan oleh
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Provinsi DKI Jakarta,
yang ditandatangani oleh saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi., karena secara
hukum hasil Konseling tersebut telah cacat hukum.
Bahwa secara hukum, seseorang dapat diajukan dan diterima sebagai saksi Ahli
apabila tidak ada keberatan terhadap kapasitasnya sebagai ahli (sesuai bidang
keahliannya) termasuk terhadap keterangan atau kesaksiannya. Dalam persidangan
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine telah menyatakan keberatan, karena
KAPASITAS SAKSI AHLI DRA. EVITA ADNAN, M.PSI. BUKAN SEORANG
AHLI PSIKOLOG NAMUN HANYA SEORANG KONSELOR. Pernyataan Saksi
Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. adalah merupakan pengakuannya dimuka persidangan.
Sehingga keterangan dan kesaksian tersebut telah menjadi bukti yang sempurna,
bahwa Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. bukanlah seorang PSIKOLOG. Sementara
KETERANGAN ATAU KESAKSIAN SAKSI AHLI DRA. EVITA ADNAN, M.PSI.
JELAS TELAH MENYALAHI ATURAN DAN ETIKA PSIKOLOGI KETIKA
MELAKUKAN KONSELING TERHADAP KLIEN, KARENA TIDAK
MENDAPATKAN DATA SECARA BERIMBANG, dalam kasus ini, hanya
didasarkan pada konseling dengan Saksi Purnima Ralhan Kine tanpa, pernah
mengecek kebenarannya dari Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine.
Bahwa kehadiran Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. dalam persidangan tertanggal
21 Mei 2008 adalah sebagai Saksi Ahli Psikolog. Hal ini sesuai Dengan keterangan
57
Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
tertanggal 3 Nopember 2007 di Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah
Metro Jakarta Raya sebagai Saksi Ahli Psikolog dan dipertegas dengan Berita Acara
Penyumpahan tertanggal 3 Desember 2007 sebagai Saksi Ahli Psikolog.
Sehingga secara hukum Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. adalah Saksi Ahli
Psikolog. Sehingga didasarkan pada fakta hukum dipersidangan, sudah
sepatutnya menurut hukum Majelis Hakim dalam perkara aquo tidak lagi
menggunakan keterangan dan kesaksian Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, I.Psi.
sebagai pertimbangan hukum, karena Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, I.Psi. hanyalah
seorang konselor (counsellors) sebagaimana pengakuannya dipersidangan,
sementara dalam kasus ini yang diperlukan adalah seorang psikolog. Sehingga
mengacu pada fakta di persidangan tertanggal 21 Mei 2008, dimana Saksi Ahli
Dra. Evita Adnan, M.Psi. telah MENOLAK MENYATAKAN DIRINYA SEBAGAI
SEORANG AHLI PSIKOLOG, DAN MENERANGKAN BAHWA IA ADALAH
SEORANG KONSELOR (COUNSELLOR). Maka kedudukan Saksi Ahli Dra. Evita
Adnan, M.Psi. sebagai ahli jelas sangat diragukan, karena telah
memberikan keterangan palsu atas profesinya.
58
Purnima Ralhan Kine dan Jonathan I. Kine dapat menjalani perkawinan selama 7
(tujuh) tahun dengan penuh cinta kasih, bahkan dalam musim libur tahun 2007
Pemohon Kasasi/ Terdakvva Jonathan I. Kine, Saksi Purnima Ralhan Kine dan anak
mereka Lara Rose Kine dapat melakukan liburan panjang di Amerika Serikat dan
Eropa. Sehingga adanya istilah keterhambatan komunikasi yang terjadi tersebut
hanya dilihat dari cara pandang Saksi Purnima Ralhan Kine, sehingga sangat
subjektif sifatnya. Seharusnya Saksi Ahli Dra. Evita Adnan r M,Psi. juga meminta
keterangan dari Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine agar dapat ditemukan
apa yang menjadi penyebab dan masalah komunikasi diantara Saksi Purnima Ralhan
Kine dengan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine. Sehingga uraian hasil
konseling Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. tidak benar dan dapat menimbulkan
masalah tersendiri bagi kliennya. Hal tersebut telah pula dinyatakan oleh Saksi Ahli
Psikolog, Hatma Sapar Shinto Sukirna, Msc., yang menyatakan bahwa dibutuhkan
data yang berimbang dengan cara melakukan cross check. Adapun keterangan dan
kesaksian Hatma Sapar Shinto Sukirna, Msc. dengan tegas menyatakan sebagai
berikut:
"Prosedur konseling KDRT harus dilakukan secara profesional,
berimbang dan dilakukan cross check dengan para pihak
termasuk pelaku.
59
anaknya, Lara Rose Kine (Anak). Bahwa ternyata Saksi Purnima Ralhan Kine
telah berfikiran sangat sempit, karena perbedaan cara mendidik telah dijadikan
alasan bagi saksi Purnima Ralhan Kine sebagai hal yang salah. Sehingga Saksi Purnima
Ralhan Kine hanya memandang-caranya saja yang benar, sementara cara mendidik
yang dilakukan diluar Saksi Purnima Ralhan Kine adalah salah.
Bahwa Pemohan Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine tidak pernah mengancam Saksi
Purnima Ralhan Kine dengan cara apapun. Fakta dipersidangan juga tidak
menemukan siapa sebenarnya yang meletakkan pisau tersebut dilaci meja samping
dekat tempat tidur mereka dan kayu Pemukul baseball warna coklat dikamar. Dan
hal terpenting dalam kasus ini tidak ada seorang saksipun yang pernah melihat
Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine menggunakan barang bukti pisau
bergagang abu-abu merek titanium dan kayu pemukul baseball warna coklat untuk
menakut-nakuti apalagi mengancam kehidupan Saksi Purnima Ralhan Kine.
60
Bahwa selain hanya mengakui sebagai konselor (counselors), ternyata Saksi Dra.
Evita Adnan, M.Psi. tidak memiliki izin praktek, bahkan tidak terdaftar di Himpunan
Psikologi Indonesia. Bahwa untuk dapat mengetahui tentang seluk beluk profesi
psikolog dan tanggung jawab serta etika yang berlaku bagi profesi psikologi, maka
Saksi Ahli Psikolog, Hatma Sapar Shinto Sukirna, Msc, dari Universitas Indonesia
dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) telah memberikan keterangan dan
kesaksiannya sebagai berikut:
61
Bahwa tentang kompetensi Saksi Ahli Dra. Evita Adnan, M.Psi. Majelis
Psikologi Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya (HIMPSIJaya)
No. O1/MKPsi/V/2008, tanggal 05 Mei 2008, yang ditandantangani oleh
Dra. Mira Rumeser, melalui surat resmi telah menyatakan sebagai
berikut:
62
EVITA ADNAN TIDAK MEMENUHI KUALIFIKASI UNTUK
MEMPEROLEH SURAT IJIN PRAKTIK PSIKOLOGI DAN SEBAGAI
KONSEKUENSINYA IA TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN UNTUK
MELAKUKAN PRAKTIK PSIKOLOGI,
Bahwa didasarkan pada uraian dan penjelasan tersebut diatas, dimana Saksi Ahli
Dra. Evita Adnan, M.Psi. tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang Psikolog,
maka sudah sepatutnya menurut hukum apabila Majelis Hakim Agung yang
terhormat, menyatakan Hasil konseling Psikologis 08/pp/P2TP2A/X/07 tertanggal
26 Nopember 2007 dan lor 09/pp/P2TP2A/XII/07 tertanggal 17 Desember 2008,
yang dikeluarkan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak,
Provinsi Jakarta, yang dibuat dan ditandatangani oleh Saksi Ahli Dra. Evita
Adnan, M.Psi., TIDAK SAH DAN TIDAK MEMPUNYAI
KEKUATAN PEMBUKTIAN APAPUN, SEHINGGA DINYATAKAN
BATAL DEMI HUKUM.
63
UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Bahwa dalam persidangan telah ditemukan fakta dari Saksi Ahli Ir. Hari Budianto
yang telah didengar dalam persidangan terhadap kejadian dimana Saksi Purnima
Ralhan Kine memberikan keterangan bahwa ia dilempar sejauh 8 - 1 0 meter.
Saksi Ahli Ir. Hari Budianto, telah memberikan kesaksian dengan menjelaskan
bahwa ukuran kamar tidur utama Saksi Purnima Ralhan Kine dan Pemohon Kasasi/
Terdakwa Jonathan I. Kine adalah 5 X 6,9 m2. Sehingga keterangan Saksi Purnima
Ralhan Kine yang menyatakan bahwa pada tanggal 30 Agustus 2007 dikamar tidur
utama Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I. Kine telah mengangkat tubuh Saksi
Purnima Ralhan Kine dan melemparkan dari pintu kamar tidur utama sampai
64
keujung dekat lemari baju sejauh 8-10 meter, jelas merupakan keterangan
yang berlebihan dan jelas mengandung kebohongan, karena ruang kamar
tidur utama tersebut hanya berukuran 5x6,9 meter, dimana Saksi Ahli Ir. Hari
Budianto, telah mengukur ruang tidur utama tersebut. Sehingga tidak mungkin Saksi
Purnima Ralhan Kine dilempar sejauh 8-10 meter, karena akan menembus tembok
kamar tidur utama tersebut.
Bahwa jika dilihat secara bijaksana dan didasarkan pada logika yang ada, maka
seseorang dilempar sejauh 8 - 10 meter, sudah pasti akan menimbulkan kesakitan
yang cukup parah. Sekiranya hal tersebut benar terjadi, Saksi Purnima Ralhan Kine
adalah seorang yang sangat sakti, karena tidak mengalami kesakitan yang berarti.
Bahwa fakta yang ada, keesokan harinya pada tanggal 31 Agustus 2007 berdasarkan
daftar absensi Jakarta International School, ternyata Saksi Purnima Ralhan Kine tidak
dalam status ijin kerja atau ijin sakit, dan Saksi Purnima Ralhan Kine tetap masuk
bekerja dan mengajar seperti biasanya. Bahwa terhadap peristiwa
pelemparan tersebut tidak ada seorang saksipun yang melihat
kejadian tersebut, karena kejadian ada didalam kamar tidur
utama dan pintu dalam keadaan tertutup. Hal ini juga didukung oleh
keterangan dan kesaksian Saksi Riska yang menyatakan tidak melihat kejadian,
karena pintu dalam keadaan tertutup. Dan pada saat itu Saksi Riska sedang bersama
Lara Rose Kine. Sehingga dapat dipastikan Lara Rose Kine juga tidak melihat
kejadian tersebut sehingga pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman 32,
angka 12, yang menyatakan "BAHWA MELIHAT KEJADIAN TERSEBUT LARA
MENANGIS KETAKUTAN", jelas tidak terbukti.
Bahwa terhadap peristiwa pelemparan tersebut tidak ada visum et repertum dan
tidak ada seorang saksipun yang melihat kejadian tersebut. Sehingga peristiwa dan
kejadian tersebut diatas, hanyalah merupakan rekayasa dan karangan bohong
belaka, dengan tujuan untuk menciptakan suatu kondisi bahwa Pemohon kasasi/
Terdakwa Jonathan I. Kine adalah orang yang sangat kejam dan sangat berbahaya.
Oleh karenanya sudah patutnya menurut hukum dan keadilan, segala rekayasa yang
terjadi untuk segera dihentikan dan dihapuskan dalam perkara ini, SERTA
65
MENYATAKAN TERDAKWA JONATAHAN I. KINE TIDAK MELAKUKAN
KEKERASAN, apalagi melemparkan Saksi Purnima Ralhan Kine sejauh 8 – 10 meter,
karena memang ukuran ruang kamar tidur utama hanya berukuran 5 x 6,9 meter.
Bahwa Majelis Hakim juga terlihat meragu akan peristiwa kejadian tersebut, namun
tetap memaksakan kejadian yang dilakukan Pemohon Kasasi/ Terdakwa Jonathan I.
Kine telah melepar Saksi Purnima Ralhan Kine sejauh 8 - 1 0 meter seolah pernah
terjadi. Keraguan Majelis Hakim terlihat dalam pertimbangan hukum pada poin 13
halaman 32 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. yang berbunyi sebagai berikut :
Bahwa terhadap peristiwa seperti tersebut diatas telah diramu sedemikian rupa
agar kejadian tertanggal 30 Agustus 2007 menjadi nyata, akan tetapi faktanya
telah terjadi manipulasi kata dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim. Maka oleh
karenanya sudah sepatutnya tuduhan terhadap peristiwa kejadian tertanggal 30
Agustus 2007 harus ditolak, karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
adanya perbuatan melempar sejauh 8 - 1 0 meter tersebut.
66
BAHWA PADA PERISTIWA YANG TERJADI PADA TANGGAL
22 SEPTEMBER 2007 SEKITAR PUKUL 09:30 WIB.
Bahwa fakta dipersidangan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena tidak
seorang saksipun melihat kejadian tersebut. Bahkan dalam persidangan Saksi
Jayashree Ralhan hanya menyatakan melihat kaca meja pacah.
Bahwa Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazhar Spb.Finacs. telah memberikan keterangan
dibawah sumpah dalam sidang perkara pidana No. 522/Pid.B/2008/PNJak.Sel. pada
tanggal 4 Juni 2008, yang pada intinya menerangkan dan menjelaskan tentang
bagaimana seharusnya visum et repertum diterbitkan oleh seorang dokter guna
kepentingan penyidikan terhadap adanya suatu dugaan tindak pidana yang
dilakukan dan disangkakan terhadap seseorang.
67
Bahwa Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. menerangkan bahwa Visum Et
Repertum adalah suatu keterangan resmi tentang hasil pemeriksaan dokter atas diri
pasien atas permintaan penyidik/polisi, yang memuat identitas pasien/korban, hasil
pemeriksaan, pengantar dan observasi yang disimpulkan secara singkat dalam
laporannya dan pembuatan visum et repertum tersebut haruslah
dilakukan dengan standar pemeriksaan kedokteran dan harus
disesuaikan dengan kedaan pasien/korban. Visum Et Repertum juga
harus memuat pemeriksaan penunjang tentang hasil pemeriksaan dan kesimpulan
(jika ada) terhadap setiap keluhan pasien/korban.
Bahwa menurut Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. istilah "NYERI" yang
muncul dalam kasus ini, seharusnya dokter menemukan dulu penyebab nyeri
tersebut dan jika menemukan hal lain harus menegaskan dalam pemeriksaan lain,
seperti me-ronsen pasien/korban. Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs., juga
menerangkan bahwa NYERI ADALAH SIMPTON, JADI TIDAK BISA
DIBUAT DAN DIJADIKAN DIAGNOSA, sehingga diperlukan pemeriksaan
lebih lanjut, yakni dengan meronsen pasien/korban untuk menemukan
penyebabnya. Jadi hasil akhir nyeri tidak bisa dijadikan diagnosa karena nyeri
merupakan suatu hal yang subjektif dari seorang pasien/korban, sehingga riwayat
penyakit ini tidak biasa digunakan dalam dunia kedokteran. Bahwa VISUM ET
REPERTUM yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Jakarta tertanggal 23 September 2007
yang dilakukan dan ditantangani oleh DR. BINSANO, adalah tidak layak, karena tidak
memuat hasil pemeriksaan sebagaimana mestinya. Diagnosa dari VISUM ET
REPERTUM tersebut hanya memberikan penjelasan "NYERI PADA LEHER DAN
TULANG BELAKANG", sehingga secara de jure VISUM ET REPERTUM yang
dikeluarkan oleh Dr. Binsano tersebut telah memberikan penjelasan tentang adanya
diagnosa yang tidak pasti, dengan kata lain diagnosa tersebut mengandung keragu-
raguan, sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda tentang adanya
kesimpulan akan diagnosa "NYERI" tersebut.
Bahwa keragu-raguan tersebut terlihat jelas dengan adanya lokasi NYERI yang
berbeda, seperti yang terlihat dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan No.
68
LP/4026/K/IX/2007/SPK Unit 1 tanggal 23 September 2007, pada huruf b laporan,
yang menerangkan bahwa Saksi Purnima Ralhan Kine menderita sakit pada bagian
"PINGGUL". Sementara berbeda dengan Surat Dakwaan Jaksa
Penuntut Umum dalam NOMOR REG. PERK : PDM- 466/JKT.SL/EP.1/03/2008
tertanggal 11 Maret 2008 pada halaman 4, yang dikutip oleh Jaksa Penuntun Umum
dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menyatakan bahwa "namun
Terdakwa Jonathan I. Kine kemudian mendorong saksi Purnima Ralhan
Kine hingga menabrak meja buffet termpat menaruh makanan
sehingga barang-barang yang ada diatas meia tersebut jatuh kelantai
dan mengenai PINGGANGNYA. Keraguan-raguan yang ditimbulkan dari
VISUM ET REPERTUM tersebut, telah memberikan penjelasan tentang "NYERI" yang
terjadi disekitar pinggul dan pinggang. Sehingga tidak ada kepastian dari mana
sebenarnya ”NYERI” itu berasal.
Bahwa Saksi Purnima Ralhan Kine dimuka persidangan juga telah mengakui
bahwa ia menderita penyakit REUMATOID ARTHRITIS YANG EFEKNYA
DAPAT MENYEBABKAN TIMBULNYA RASA NYERI. Hal ini juga telah
dijelaskan pula oleh Saksi Ahli Dr, H. Nazral Nazar, Spb.Finacs. bahwa penyakit
tersebut adalah penyakit degeneratif, yaitu penyakit yang menyerang bagian
persendian otot, dan efeknya adalah NYERI.
Sehingga didasarkan pada penjelasan Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, Spb.Finacs.
tentang VISUM ET REPERTUM yang dikeluarkan oleh Dr. Binsano, serta adanya
pengakuan dari Saksi Purnima Ralhan Kine tentang penyakit NYERI yang
dialaminya, maka sudah sepatutnya jika VISUM ET REPERTUM dinyatakan tidak
sah secara hukum serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian, karena tidak
memenuhi standar pembuatan visum et repertum sebagaimana-mestinya. Oleh
karenanya sudah sepatutnya menurut hukum jika Majelis Hakim Agung
menyatakan VISUM ET REPERTUM CACAT HUKUM.
69
TANGGA SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 4 HURUF
(A) YANG DITUDUHKAN TERHADAP PEMOHON
KASASI/TERDAKWA, TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN
MENYAKINKAN.
70
terdakwa berlaku kejam terhadap isteri dan anak-anaknya, sehingga
menimbulkan trauma dan rasa takut dari isteri karena khawatir akan
mendapat perlakuan yang kejam dari suaminya yaitu terdakwa ”
Sebagai rasa cinta kasih Terdakwa terhadap anak dan isteri, terdakwa
selalu mengajak anak dan isteri untuk pergi berlibur (holiday) baik di
dalam negeri maupun ke luar negeri. Betapa banyak tempat yang telah
dikunjungi baik di Indonesia maupun di luar negeri, sehingga meskipun
Lara Rose Kine baru berumur 5,5 tahun telah mempunyai wawasan yang
luas tentang dunia.
Fakta yang tidak terbantahkan adalah dari sejak kecil Lara Rose Kine
selalu tidur bersama Terdakwa bahkan dalam waktu-waktu tertentu
Terdakwa kerap kali memandikan Lara Rose Kine.
71
persidangan saksi Purnima jelas mengatakan bahwa hubungan
emosional antara Lara dengan Pemohon Kasasi lebih dekat apabila
dibandingkan dengan Saksi Purnima sendiri.
Atas keterangan Lara Rose Kine di BAP, hal tersebut sudah sangat
tidak obyektif, karena selama itu Lara Rose Kine dalam pengaruh
doktrin Saksi Purnima dan kedua mertua Terdakwa. Hal itu diperkuat
dengan bukti dalam pemeriksaan tersebut Lara Rose Kine seolah-olah
sudah sangat dewasa dan lancar berbahasa Indonesia, apalagi dalam
keterangannya menyebut Terdakwa dengan sebutan “papa”. Padahal
jelas-jelas Lara Rose Kine memanggil Terdakwa tidak dengan sebutan
“papa” tetapi dengan nama panggilan kesayangannya yaitu “gagi” atau
“daddy.” Dalam pembuatan BAP di Kantor Hukum Amir Syamsyddin
pula, Lara yang waktu itu hanyalah 5,5 tahun saja usianya, didampingi
oleh Jayashree Ralhan (Mertua Terdakwa) sehingga kebenaran
pernyataan Lara patutlah dipertanyakan. Semestinya Lara didampingi
oleh seorang penerjemah tersumpah dan BAP tidak dilakukan di Kantor
Hukum Amir Syamsudin.
KESIMPULAN
72
Majelis Hakim Agung
Yang Kami Muliakan
73
lebih dahulu hak pengasuhan anak. Klien kami tidak pernah terlintas
berpikir untuk bercerai, karena klien kami sangat mencintai
keluarganya. Bukti kasih sayang klien kami terhadap keluarganya,
klien kami selalu berusaha untuk membahagiakan anak istrinya,
salah satunya dengan cara mengajak istri dan anaknya untuk
berwisata baik di luar maupun di dalam negeri pada setiap
kesempatan libur panjang. Bahkan satu bulan sebelum pelapor
meninggalkan rumah pada tanggal 20 Oktober 2007, klien kami
telah mengajak anak istrinya (pelapor) berlibur ke Paris. Bagaimana
mungkin klien kami kemudian dituduh melempar gelas dan
mengancam membunuh istrinya, sedangkan kenangan waktu
berlibur masih terhitung bilangan minggu. Apalagi tuduhan-tuduhan
tersebut tidak didukung seorang saksipun yang melihat peristiwa
yang telah didakwakan terhadap Pemohon Kasasi. Pada saat
persidangan, semua saksi mencabut BAP dan mengaku telah
diarahkan oleh pelapor atau istrinya.
74
Amerika, serta mempunyai kultur yang sangat menghormati
kesetaraan gender, sehingga tidak ada relevansi penerapan asas
teritorial dalam doktrin hukum pidana terhadap kasus konflik rumah
tangga Pemohon Kasasi, apalagi kemudian diskriminalisasi
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004, karena yurisdiksi perkawinan
Pemohon Kasasi tidak tunduk dengan UU No.1 Tahun 1974.
75
Penyidikpun telah mengabaikan ketentuan Pasal 17 UU No.23 Tahun
2004, dimana penyidik hanya meminta keterangan dari Dra. Evita
Adnan, M.Psi. tentang kondisi psikis korban, ternyata yang
dilaksanakan adalah hanya sebatas wawancara, tidak ada
pemulihan (recovery) kondisi psikis korban. Atas dasar wawancara
tersebut kemudian dibuat surat keterangan tanpa melalui
metodelogi ilmu psikologi yang benar. Perlu kami sampaikan juga
bahwa ternyata DALAM PERSIDANGAN TERTANGGAL 21 MEI 2008 dalam
perkara No. 522/Pid.B/2008/PNJak.Sel., ketika Saksi Ahli Dra. Evita Adnan,
M.Psi. dimintai kesaksiannnya sebagai saksi ahli psikolog, SAKSI AHLI DRA.
EVITA ADNAN, M,PSI. MALAH MENOLAK MENYATAKAN DIRINYA SEBAGAI
SEORANG AHLI PSIKOLOG, DAN MENERANGKAN BAHWA IA ADALAH SEORANG
KONSELOR (COUNSELLOR), SEHINGGA SUMPAH YANG DIBERIKAN DALAM
BERITA ACARA PENYUMPAHAN SEBAGAI SAKSI AHLI PSIKOLOG YANG
TELAH DILAKUKAN PADA TANGGAL 3 DESEMBER 2007 MERUPAKAN
SUMPAH PALSU. Sehingga Hasil Konseling Psikologis 08/pp/P2TP2A/X/07
tertanggal 26 Nopember 2007 dan Nomor 09/pp/P2TP2A/XII/07 tertanggal
17 Desember 2008, yang dikeluarkan oleh Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta
yang ditandatangani oleh saksi ahli Dra. Evita Adrian, M.Psi. menjadi
BATAL DEMI HUKUM.
Berdasrkan pengakuan Dra. Evita adnan, M.Psi pada saat persidangan mengakui
tidak melihat bukti kekerasan pisik dan psikis, sehingga apa yang dinyatakan
dalam suarat keterangan tersebut hanya merupakan hasil wawancara belaka.
Dan menurut saksi ahli dari Universitas Indonesia dan Himpunan Psikologi
Indonesia (HIMPSI) Hatma Sapar Shinto Sukirna, Msc, menyatakan bahwa
konselor tidak berwenang membuat pernyataan yang berkaitan dengan hukum.
76
Demikian pula dengan visum yang dijadikan dasar sebagai bukti adanya
kekerasan pisik. Ternyata Visum tersebut hanya menyatakan ”nyeri”, dan
menurut saksi ahli Dr, H. Nazral Nazar, Spb.Finacs., bahwa ”nyeri” itu hanya
merupakan gejala bersifat umum, dan tidak dapat dijadikan diagnosis, sehingga
harus dicari apa penyebab ”nyeri” tersebut. Pelapor sendiri tidak konsisten di
mana letak ”nyeri” tersebut, pada saat di BAP menyatakan berada di PINGGUL,
sedangkan di visum meyatakan berada di NYERI PADA LEHER DAN TULANG
BELAKANG, kemudian pada saat dipersidangan berada di PANTAT.
Terlebih lagi pada saat dipersidangan telah diakui oleh pelapor bahwa ia
mempunyai riwayat penyakit REUMATOID ARTHRITIS yang merupakan
penyakit degeneratif, yaitu penyakit yang menyerang bagian persendian
otot, dan efeknya adalah NYERI.
Apabila Majelis Hakim Agung berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-
adilnya ( ex aquo et bono );
77
Hormat kami
Kuasa Hukum Pemohon,
78