Seorang anak perempuan bernama AM yang berusia 14 tahun datang dengan ibunya yang
bernama Ny. SL usia 34 tahun ke Pusat Pelayanan Terpadu RSUD setempat dengan membawa
surat permintaan visum dari Kepala Kepolisian Sektor setempat. Surat permintaan tersebut
ditujukan ke Kepala RSUD untuk dilakukan pemeriksaan fisik dan dibuatkan Visum et Repertum
untuk pasangan ibu dan anak tersebut.
Korban AM mengaku pada 1 hari yang lalu saat korban pulang sekolah, korban menemukan
pelaku yang merupakan ayah tiri korban di rumah dikelilingi botol-botol minuman keras dan
barang-barang yang tampak seperti bungkus plastik isi serbuk putih dan jarum suntik. Saat
korban AM sedang berganti baju di dalam kamar, pelaku tiba-tiba masuk dan mendorong korban
ke ranjang lalu memaksa korban untuk membuka baju. Korban mengaku pelaku menutup
mulutnya dan memasukkan alat kelamin pelaku ke alat kelamin korban. Setelah kejadian
tersebut, korban dilepaskan dan korban lari ke rumah temannya. Kejadian ini adalah yang
pertama kalinya. Saat malam hari, korban menceritakan kejadian tersebut ke ibunya, Ny. SL.
Korban SL mengaku marah saat mendengar kejadian ini dan korban SL mengkonfrontasi pelaku
yang merupakan suami korban. Korban SL kemudian terlibat adu mulut dengan pelaku di dalam
kamar. Korban SL mengaku pelaku mendorong korban ke ranjang dan mencekik leher korban,
lalu pelaku menarik kaki korban dan menyeretnya sehingga korban terjatuh ke lantai. Kemudian
kaki kiri korban diinjak oleh pelaku dan disudutkan ke tembok oleh pelaku. Korban berusaha
melawan dengan berteriak, dan dilerai oleh tetangga yang datang. Pelaku kemudian mengancam
akan membakar rumah orangtua korban, akan membunuh mereka dan anak perempuannya jika
melapor polisi.
Menurut korban SL, pelaku tidak memiliki pekerjaan tetap dan mempunyai riwayat penggunaan
NAPZA dan minum alkohol oplosan. Kejadian ini adalah yang kedua kalinya. Setahun
sebelumnya korban yang sedang hamil 4 bulan didorong dan dipukuli suaminya hingga perutnya
terantuk keras ke meja. Sehingga korban mengalami keguguran, bayi dalam kandungannya
meninggal.
Korban AM juga menceritakan sering kena tampar dan dipukul oleh pelaku jika pelaku pulang
dalam keadaan mabuk dan marah-marah.
Pada hasil pemeriksaan fisik saat ini didapatkan keadaan umum korban AM baik, kesadaran
penuh, emosi stabil, dan kooperatif. Tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 88x/m,
frekuensi napas 20x/menit, suhu tubuh 36,9oC.
Pada pemeriksaan fisik korban AM didapatkan liang vagina kemerahan dan tampak robekan
pada selaput dara arah jarum jam 3 dan jam 6. Selain itu, terdapat luka memar pada sisi dalam
paha kiri korban, jarak 6 cm dari lutut kiri bentuk tidak beraturan, warna keunguan, tidak
bengkak, ada nyeri tekan, dengan ukuran luka 2x4 cm. Hasil swab vagina tidak didapatkan
sperma. Korban AM diberikan rujukan ke klinik kandungan dan klinik psikologi anak untuk
penanganan lebih lanjut.
Pada pemeriksaan fisik untuk korban SL, keadaan umum baik, kesadaran penuh, emosi stabil,
dan kooperatif. Tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 88x/m, frekuensi napas 20x/menit,
suhu tubuh 36,8oC.
Pada punggung kaki kiri, punggung jari telunjuk, jari tengah dan jari manis serta kelingking,
jarak 11 cm dari mata kaki luar ditemukan luka memar berbentuk tidak beraturan, batas tidak
tegas, warna biru keunguan, tidak bengkak, ada nyeri tekan, dengan ukuran luka 7x4 cm.
Pada korban SL diberikan obat yang dioleskan ke luka memarnya dan obat penghilang nyeri
yang diminum jika kesakitan.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesimpulan, seorang perempuan mengaku berusia 14 tahun
mengaku telah diperkosa oleh seorang pelaku yaitu ayah tiri korban. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan luka memar pada paha dan luka robekan pada selaput dara akibat kekerasan tumpul.
Seorang wanita mengaku berusia 34 tahun mengadu telah dianiaya oleh seorang pelaku yaitu
suami korban. Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka memar di punggung kaki kiri akibat
kekerasan tumpul. Perlukaan ini tidak menimbulkan penyakit dan halangan pekerjaan.
d. Pembuatan
VER
1. Pembuat
Dokter
dengan
keahlian khusus yang sudh disumpah dan memiliki kewenangan atas apa yang
dilihat dan ditemukannya pada pemeriksaan (KUHP pasal 133 ayat 1)
a. Ahli kedokteran atau kehakiman
b. Dokter atau ahli lainnya
2. Pihak yang meminta
VER dibuat harus dengan adanya permintaan tertulis dari pihak berwenang, sbb:
a. Penyidik
b. Hakim Pidana/ Perdata/ Agama
c. Jaksa Penuntut Umum
e. Prosedur permintaan oleh penyidik
Visum et Repertum
Ditulis sebagai bentuk perihal; menyatakan jenis dari barang bukti
(Pendahuluan)
Kalimat yang menyatakan bahwa dengan ini (Identitas dokter + asal institusi) atas permintaan (identitas penyidik + asal institusi)melakukan
pemeriksaan (apa jenisnya)
Pada (tempat dan waktu dilakukannya pemeriksaan), terhadap..
Identitas barang bukti (korban)
(Pemberitaan)
Berisi hasil pemeriksaan medik berupa deskripsi jelas dari segala temuan dan yang dilihat scr objektif dari barang bukti
Berupa hasil pemeriksaan dari PF head to toe dan dengan/ tanpa Pemeriksaan Lanjutan (Lab atau penunjang lainnya histoPA, serologi,
toksikologi, dsb)
Pada pembedahan mayat dilakukan pembukaan pada tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul
Kesimpulan
Memuat intisari dan opini atau kesan pendapat dokter sesuai keilmuannya
(Penutup)
Kalimat baku: “Demikian visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhny berdasar keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah
sesuai dengan kitab undang- undang hukum acara pidana”
Tandatangan, cap, dsb
b. Pembunuhan Anak
1. Definisi pembunuhan anak
Pembunuhan anak/bayi merupakan sebutan yang bersifat umum bagi setiap
perbuatan merampas nyawa bayi di luar kandungan, sedangkan infanticide
merupakan sebutan yang bersifat khusus bagi tindakan merampas nyawa bayi
yang belum berumur 1 tahun oleh ibu kandungnya sendiri. Pengkhususan
infanticide sebagai tindak pidana yang hukumannya lebih ringan didasarkan atas
pertimbangan bahwa kondisi mental pada saat hamil, melahirkan dan menyusui
sangat labil dan mudah tergoncang akibat gangguan keseimbangan hormon. Di
Indonesia, ada pengkhususan yaitu Kinderdoodslag dan kindermoord, teteapi hal
itu didasarkan atas motif takut ketahuan melahirkan anak. Perbedaan antara
Kinderdoodslag (Pasal 341 KUHP) dan kindermoord (Pasal 342 KUHP) hanya
pada ada tidaknya rencana.
a. Kinderdoodslag dilakukan tanpa rencana
b. Kindermoord dilakukan dengan rencana, sehingga hukuman lebih berat
Jika pembunuhan bayi tidak memenuhi syarat tersebut, maka pembunuhan itu
dikategorikan sebagai tindak pidana perampasan nyawa yang bersifat umum
(murder) sebagaimana diuraikan pada pasal 338 dan pasal 340 KUHP dengan
hukuman yang jauh lebih berat
2. Pemeriksaan postmortem
Dokter tidak perlu memerhatikan apakah masalah pembunuhan anak termasuk
Kinderdoodslag, kindermoord, atau pembunuhan biasa sebab masalah itu menjadi
masalah penegak hukum. Dokter hanya perlu memusatkan perhatiannya pada
upaya mengungkap bukti-bukti medik yang relevan bagi penyelesaian perkara,
yaitu:
a. Bayi viable atau tidak
b. Bayi lahir hidup atau lahir mati (still-birth)
c. Sebab kematian bayi
d. Lama hidup di luar kandungan
e. Tanda-tanda kekerasan
3. Viabilitas bayi
Pada hakikatnya, menentukan viabilitas bayi sama artinya dengan melakukan
penilaian terhadap tingkat kemampuannya untuk dapat mempertahankan
hidupnya di luar kandungan tanpa peralatan khusus/canggih. Bayi dikatakan
viable jika memenuhi syarat:
a. Telah dikandung ibunya selama paling tidak 28 minggu
b. Tidak mempunyai cacat berat, seperti misalnya anencephalus
Tujuan menilai viabilitas bayi adalah untuk memberikan fakta kepada hakim guna
dipakai sebagai bahan pertimbangan menentukan hukuman mengingat bahwa bayi
yang nonviable yang lahir hidup tidak akan dapat bertahan lama di luar
kandungan
4. Lahir hidup atau lahir mati
Dikatakan lahir hidup jika bayi menunjukkan tanda-tanda hidup sesudah seluruh
tubuhnya berpisah dari badan ibunya. Jika seandainya bayi menunjukkan gejala
hidup (misalnya bernapas/menangis) saat kedua kakinya masih berada di dalam
perut ibunya dan kemudian mati sebelum kedua kakinya keluar, maka bayi
tersebut diangap lahir mati. Penyebab kelahiran mati antara lain:
a. Kerusakan otak saat persalinan
b. Kekurangan O2 akibat prolapse tali pusat
c. Kelainan plasenta, dll
5. Sebab kematian bayi
Kalau dari pemeriksaan yang dilakukan menunjukkan bayi lahir hidup, maka
pemeriksaan selanjutnya diarahkan untuk mencari sebab kematiannya, yaitu:
a. Kematian Wajar
Disebabkan oleh kerusakan otak waktu dilahirkan, kekurangan O2 akibat
prolapse tali pusat, kelainan plasenta, dll
b. Kematian Tidak Wajar
Disebabkan oleh pembekapan, pemukulan kepala, pencekikan, dan
penjeratan. Cara-cara ini paling sering dilakukan oleh ibu yang melakukan
pembunuhan bayinya sendiri. Cara lain yang tidak begitu sering adalah
menusuk, menggorok leher, atau menenggelamkan bayi. Cara yang sangat
jarang dilakukan adalah membakar, meracun, atau mengubur hidup-hidup.
6. Pemeriksaan terhadap suspek
Pada tindak pidana Kinderdoodslag dan kindermoord, yang menjadi pelakunya
adalah ibu kandungnya sendiri. Yang menjadi persoalan adalah jika suspek
(tersangka) menyangkal atas dasar tidak pernah melahirkan bayi. Dalam
menghadapi kasus seperti ini, penegak hukum dapat meminta bantuan dokter
memeriksa suspek guna membuktikan :
a. Adanya bekas-bekas kehamilan → Striae gravidarum, dinding perut kendor,
ahim dapat diraba diatas symphisis, payudara besar dan kencang
b. Adanya bekas-bekas persalinan → Robekan perineum, keluarnya cairan
lochea
c. Adanya hubungan genetic antara suspek dan korban
5. Kekerasan Seksual
a. Pemerkosaan
Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke
arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-
benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan,
tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan
dari lingkungan yang penuh paksaan. Pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan
yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan
dilakukan di luar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan
seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan secara utuh, misalnya
terhadap anak atau seseorang di bawah 18 tahun.
b. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau
penderitaan psikis pada perempuan korban Intimidasi seksual bisa disampaikan secara
langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain. Ancaman
atau percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.
c. Pelecehan seksual
Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ
seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan
bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan
atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga
mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan
mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
d. Eksploitasi seksual
Tindakan penyalahgunaan kekuasan yang timpang,atau penyalahgunaan
kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh keuntungan
dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya. Praktik eksploitasi seksual yang kerap
ditemui adalah menggunakan kemiskinan perempuan sehingga ia masuk dalam
prostitusi atau pornografi. Praktik lainnya adalah tindakan mengimingimingi
perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan, lalu ditelantarkankan.
Situasi ini kerap disebut juga sebagai kasus “ingkar janji”. Imingiming ini
menggunakan cara pikir dalam masyarakat, yang mengaitkan posisi perempuan
dengan status perkawinannya. Perempuan menjadi merasa tak memiliki daya tawar,
kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi.
e. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau
menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan,
penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara
langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun
eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat terjadi di dalam negara
maupun antar negara.
f. Prostitusi paksa
Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan
untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun
untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari
prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman kekerasan.
Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan
perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual.
g. Perbudakan seksual
Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban sehingga
berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui
pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan ini mencakup situasi
dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah, melayani rumah tangga
atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.
h. Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung
Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena
pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang
tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa praktik di mana perempuan
terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri.
1. Pertama, ketika perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti
kehendak orang tuanya agar dia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang dia
inginkan atau bahkan dengan orang yang tidak dia kenali. Situasi ini kerap disebut
kawin paksa.
2. Kedua, praktik memaksa korban perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu
dianggap mengurangi aib akibat perkosaan yang terjadi.
3. Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa untuk terus berada
dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai. Namun, gugatan cerainya
ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan baik dari pihak suami maupun
otoritas lainnya.
4. Keempat, praktik “Kawin Cina Buta”, yaitu memaksakan perempuan untuk
menikah dengan orang lain untuk satu malam dengan tujuan rujuk dengan mantan
suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya dalam hukum Islam).
Praktik ini dilarang oleh ajaran agama, namun masih ditemukan di berbagai
daerah.
i. Pemaksaan aborsi
Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman,
maupun paksaan dari pihak lain.
j. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan
sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi
yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan
persetujuan. Pada masa Orde Baru, tindakan ini dilakukan untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk, sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan.
Sekarang, kasus pemaksaan pemaksaan kontrasepsi/ sterilisasi biasa terjadi pada
perempuan dengan HIV/AIDS dengan alasan mencegah kelahiran anak dengan
HIV/AIDS. Pemaksaan ini juga dialami perempuan penyandang disabilitas, utamanya
tuna grahita, yang dianggap tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri,
rentan perkosaan, dan karenanya mengurangi beban keluarga untuk mengurus
kehamilannya.
k. Penyiksaan seksual
Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan
dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik
jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk memperoleh pengakuan atau
keterangan darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk menghukumnya atas suatu
perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga.
l. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa
malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Ia termasuk
hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau untuk
merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.
m. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi
perempuan
Kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya,
yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun
seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol
seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan. Sunat
perempuan adalah salah satu contohnya.
n. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama
Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai simbol
moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan perempuan
“nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi
landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan. Kontrol seksual
mencakup berbagai tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan secara langsung
maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan perempuan untuk
menginternalisasi simbolsimbol tertentu yang dianggap pantas bagi “perempuan baik-
baik’. Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang
Paling sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat
kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam tertentu,
larangan berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan kerabat atau
perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada
persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. Aturan yang diskriminatif ini ada di
tingkat nasional maupun daerah dan dikokohkan dengan alasan moralitas dan agama.
Pelanggar aturan ini dikenai hukuman dalam bentuk peringatan, denda, penjara
maupun hukuman badan lainnya.
6. Pemeriksaan Kasus Pemerkosaan
a. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
Dr. Y.A Triana Ohoiwutun, S.H, M.H, Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi
Hukum pada Ilmu Kedokteran)
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak