Anda di halaman 1dari 29

KASUS

Seorang anak perempuan bernama AM yang berusia 14 tahun datang dengan ibunya yang
bernama Ny. SL usia 34 tahun ke Pusat Pelayanan Terpadu RSUD setempat dengan membawa
surat permintaan visum dari Kepala Kepolisian Sektor setempat. Surat permintaan tersebut
ditujukan ke Kepala RSUD untuk dilakukan pemeriksaan fisik dan dibuatkan Visum et Repertum
untuk pasangan ibu dan anak tersebut.

Korban AM mengaku pada 1 hari yang lalu saat korban pulang sekolah, korban menemukan
pelaku yang merupakan ayah tiri korban di rumah dikelilingi botol-botol minuman keras dan
barang-barang yang tampak seperti bungkus plastik isi serbuk putih dan jarum suntik. Saat
korban AM sedang berganti baju di dalam kamar, pelaku tiba-tiba masuk dan mendorong korban
ke ranjang lalu memaksa korban untuk membuka baju. Korban mengaku pelaku menutup
mulutnya dan memasukkan alat kelamin pelaku ke alat kelamin korban. Setelah kejadian
tersebut, korban dilepaskan dan korban lari ke rumah temannya. Kejadian ini adalah yang
pertama kalinya. Saat malam hari, korban menceritakan kejadian tersebut ke ibunya, Ny. SL.

Korban SL mengaku marah saat mendengar kejadian ini dan korban SL mengkonfrontasi pelaku
yang merupakan suami korban. Korban SL kemudian terlibat adu mulut dengan pelaku di dalam
kamar. Korban SL mengaku pelaku mendorong korban ke ranjang dan mencekik leher korban,
lalu pelaku menarik kaki korban dan menyeretnya sehingga korban terjatuh ke lantai. Kemudian
kaki kiri korban diinjak oleh pelaku dan disudutkan ke tembok oleh pelaku. Korban berusaha
melawan dengan berteriak, dan dilerai oleh tetangga yang datang. Pelaku kemudian mengancam
akan membakar rumah orangtua korban, akan membunuh mereka dan anak perempuannya jika
melapor polisi.

Menurut korban SL, pelaku tidak memiliki pekerjaan tetap dan mempunyai riwayat penggunaan
NAPZA dan minum alkohol oplosan. Kejadian ini adalah yang kedua kalinya. Setahun
sebelumnya korban yang sedang hamil 4 bulan didorong dan dipukuli suaminya hingga perutnya
terantuk keras ke meja. Sehingga korban mengalami keguguran, bayi dalam kandungannya
meninggal.

Korban AM juga menceritakan sering kena tampar dan dipukul oleh pelaku jika pelaku pulang
dalam keadaan mabuk dan marah-marah.
Pada hasil pemeriksaan fisik saat ini didapatkan keadaan umum korban AM baik, kesadaran
penuh, emosi stabil, dan kooperatif. Tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 88x/m,
frekuensi napas 20x/menit, suhu tubuh 36,9oC.

Pada pemeriksaan fisik korban AM didapatkan liang vagina kemerahan dan tampak robekan
pada selaput dara arah jarum jam 3 dan jam 6. Selain itu, terdapat luka memar pada sisi dalam
paha kiri korban, jarak 6 cm dari lutut kiri bentuk tidak beraturan, warna keunguan, tidak
bengkak, ada nyeri tekan, dengan ukuran luka 2x4 cm. Hasil swab vagina tidak didapatkan
sperma. Korban AM diberikan rujukan ke klinik kandungan dan klinik psikologi anak untuk
penanganan lebih lanjut.

Pada pemeriksaan fisik untuk korban SL, keadaan umum baik, kesadaran penuh, emosi stabil,
dan kooperatif. Tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 88x/m, frekuensi napas 20x/menit,
suhu tubuh 36,8oC.

Pada punggung kaki kiri, punggung jari telunjuk, jari tengah dan jari manis serta kelingking,
jarak 11 cm dari mata kaki luar ditemukan luka memar berbentuk tidak beraturan, batas tidak
tegas, warna biru keunguan, tidak bengkak, ada nyeri tekan, dengan ukuran luka 7x4 cm.

Pada korban SL diberikan obat yang dioleskan ke luka memarnya dan obat penghilang nyeri
yang diminum jika kesakitan.

Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesimpulan, seorang perempuan mengaku berusia 14 tahun
mengaku telah diperkosa oleh seorang pelaku yaitu ayah tiri korban. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan luka memar pada paha dan luka robekan pada selaput dara akibat kekerasan tumpul.
Seorang wanita mengaku berusia 34 tahun mengadu telah dianiaya oleh seorang pelaku yaitu
suami korban. Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka memar di punggung kaki kiri akibat
kekerasan tumpul. Perlukaan ini tidak menimbulkan penyakit dan halangan pekerjaan.

1. Pasal-Pasal Tindakan Pelanggaran Hukum


a. Kekerasan terhadap anak dibawah umur
b. Penguguran kandungan
Abortus provocatus medicalis dinyatakan legal di Prancis dan Pakistan;
pengguguran kandungan karena alasan sosial dinyatakan legal di Swedia, Inggris juga
Yugoslavia; sedangkan Indonesia menyatakan abortus provocatus medicalis sebagai
tindakan legal sejak diundangkannya UU No. 23/1992 tentang Kesehatan (selanjutnya
disebut UU Kesehatan 1992) yang kemudian dinyatakan tidak berlaku sejak
ditetapkannya UU No. 36/2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan
2009) yang pada prinsipnya melarang pengguguran kandungan, dan hanya dapat
dilakukan dengan syarat yang ketat.
c. Kekerasan dalam rumah tangga

d. Peran dokter dalam kasus forensik


Peran dokter dalam perkara pemeriksaan perkara pidana
2. Visum et Repertum
Visa (seen; appearance) bermaksud tanda melihat atau penandatanganan dari barang
bukti tentang suatu hal yang ditemukan, disetujui dan disahkan. Reparta (find out;
inventions) melapor atas apa yang ditemukan atau didapatkan : dari adanya pemeriksaan
oleh dokter terhadap korban.
Keterangan yang dibuat secara tertulis oleh dokter atas permintaan penyidik berenang
mengenai hasil pemeriksaan medik manusia hidup atau mati –atau pada bagian/ yang
diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah untuk
kepentingan peradilan.
a. Aspek medikolegal VER
1. Dasar Hukum → VER tidak pernah disebutkan secara langsung dalam KUHAP,
namun tertera “keterangan ahli”
2. KUHAP :
a. Pasal 186 : Apa yang ahli nyatakan pada sebuah sidang
b. Pasal 187 (c) : Surat yang dibuat atas sumpah jabatan/sumpah adalah (c) Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasar keahliannya
tentang suatu keadaan, dengan diminta secara resmi daripadanya.
3. Secara Sah Tertera pada: Lembaran Negara (LN) No. 350 tahun 1937 (visa
reparta)
b. Manfaat dan Fungsi VER
1. Sebagai bentuk bantuan dalam bidang medis untuk memecahkan suatu kasus
perkara yang hanya bisa ditemukan dengan ilmu kedokteran.
2. Sebagai petunjuk terangnya suatu perkara (pidana/ perdata)
3. Alat ganti bukti yang sah → KUHAP Pasal 184 ayat 1, bukti:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
4. Mendukung proses penuntutan dan pengadilan (karena visum bersifat mengikat
(tanpa memaksa) hakim dalam putusan perkara)
c. Jenis VER

d. Pembuatan
VER
1. Pembuat
Dokter
dengan
keahlian khusus yang sudh disumpah dan memiliki kewenangan atas apa yang
dilihat dan ditemukannya pada pemeriksaan (KUHP pasal 133 ayat 1)
a. Ahli kedokteran atau kehakiman
b. Dokter atau ahli lainnya
2. Pihak yang meminta
VER dibuat harus dengan adanya permintaan tertulis dari pihak berwenang, sbb:
a. Penyidik
b. Hakim Pidana/ Perdata/ Agama
c. Jaksa Penuntut Umum
e. Prosedur permintaan oleh penyidik

f. Bentuk dan isi VER


Pro Justitia
Dituliskan pada bagian atas surat/ lembar, disebelah kiri atau tengah
Digunakan dengan maksud memeuhi persyaratan yuridis (bentuk sah isi keterangan tertulis tersebut dapat memiliki kekuatan hukum dan
dapat dipertanggung jawabkan); pengganti materai

Visum et Repertum
Ditulis sebagai bentuk perihal; menyatakan jenis dari barang bukti

(Pendahuluan)
Kalimat yang menyatakan bahwa dengan ini (Identitas dokter + asal institusi) atas permintaan (identitas penyidik + asal institusi)melakukan
pemeriksaan (apa jenisnya)
Pada (tempat dan waktu dilakukannya pemeriksaan), terhadap..
Identitas barang bukti (korban)

(Pemberitaan)
Berisi hasil pemeriksaan medik berupa deskripsi jelas dari segala temuan dan yang dilihat scr objektif dari barang bukti
Berupa hasil pemeriksaan dari PF head to toe dan dengan/ tanpa Pemeriksaan Lanjutan (Lab atau penunjang lainnya histoPA, serologi,
toksikologi, dsb)
Pada pembedahan mayat dilakukan pembukaan pada tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul

Kesimpulan
Memuat intisari dan opini atau kesan pendapat dokter sesuai keilmuannya

(Penutup)
Kalimat baku: “Demikian visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhny berdasar keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah
sesuai dengan kitab undang- undang hukum acara pidana”
Tandatangan, cap, dsb

g. Ketentuan umum penulisan VER


1. Diketik di atas kertas berkepala surat (kop) instansi pemeriksa.
2. Bernomor dan bertanggal.
3. Mencantumkan “Pro justitia” dibagian atas (kiri atau tengah)
4. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta jelas. Tidak
menggunakan singkatan terutama dalam mendeskripsikan temuan pemeriksaan.
5. Tidak menggunakan istilah asing atau istilah kedokteran.
6. Berstempel instansi pemeriksa tersebut.
7. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan → Hanya diberikan kepada
penyidik peminta Visum et Repertum (instansi).
8. Lama pembuatan VER
h. Lama pembuatan visum
Pada saat permintaan VER dalam maksud bahan laporan penyidik ke atasan (untuk
pengembangan kasus  penangkapan dan penahanan terdakwa, atau untuk
kepentingan lainnya), dokter sebaiknya membuat visum sementara. Selanjutnya VER
dikonsep dan diketik, saat penyidik kembali meminta. Biasanya tenggat pengerjaan
dalam beberapa hari –2 minggu. Atau pembuatan VER dapat didasarkan lama masa
penahanan selama penyidikan, berdasarkan KUHAP yaitu 60 hari. Visum et
repertum dapat disimpan dalam jangka waktu :
1. 10 TAHUN (permenkes no. 749A tahun 1989 tentang rekam medis)
2. 30 TAHUN (sistem arsip nasional)
a. Pencabutan visum
1. Tidak dibenarkan
2. Bila asalnya datang dari keluarga, berlaku KUHAP pasal 134 ayat 2 : Keluarga
keberatan  kewajiban penyidik menerangkan sejelas-jelasnya.
Bila tetap memaksa dicabut, berlaku KUHAP pasal 222 : Barang siapa dengan
sengaja mencegah, menghalangi, menggagalkan pemeriksaan mayat untuk
pengadilan diancam penjara 9 bulan atau denda 4500
3. Dalam keadaan VER tetap harus dicabut/ dibatalkan, maka sesuai Instruksi
Kapolri No. Pol: Ins/E/20/IX/75 :
a. Pencabutan menggunakan form tertanda pejabat yg disebutkan dalam
instruksi/ berwenang/ setingkat
b. Dilakukan setelah dibahas mendalam
c. Mengerti bahwa dengan adanya pencabutan tidak dapat diharapkan lagi
sesuatu sebagai keterangan dari barang bukti berupa manusia yang luka atau
mati.

3. Jenis Luka dan Cara Penulisan pada Visum et Repertum


a. Definisi
Traumatologi (dari Bahasa Yunani trauma yang berarti “luka”) merupakan studi
tentang luka yang disebabkan oleh kecelakaan atau kekerasan pada seseorang, terapi
bedah atau perbaikan kerusakan. Luka merupakan gangguan dari kondisi normal pada
kulit. Pada hakikatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari
permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan yang menyebabkan luka dan
kualifikasi luka.
b. Etiologi
1. Luka karena kekerasan mekanik (benda tajam/tumpul, dan senjata api)
2. Luka karena kekerasan fisik (arus listrik, petir, suhu)
3. Luka karena kekerasan kimiawi (asam, basa, logam berat)
c. Deskripsi Luka
1. Jumlah luka
2. Lokasi luka, meliputi: lokasi berdasarkan regio anatomi dan lokasi berdasarkan
garis koordinat atau bagian-bagian tertentu dari tubuh
3. Bentuk luka, meliputi: bentuk sebelum dirapatkan, bentuk sesudah dirapatkan
4. Ukuran luka, meliputi sesudah/sebelum dirapatkan dalam bentuk Panjang x lebar
x tinggi dalam satuan cm atau mm
5. Sifat-sifat luka, meliputi: daerah pada garis batas luka  batas (tegas/tidak), tepi
(rata/tidak), sudut luka (runcing/tumpul). Daerah di dalam garis batas luka 
jembatan jaringan (ada/tdk), tebing (ada/tdk), dasar luka. Daerah di sekitar garis
batas luka  memar (ada/tdk), lecet/abrasi (ada/tdk)
d. Jenis Traumatologi kecelakaan (Trauma Mekanik)
1. Trauma mekanik
a. Luka benda tumpul (blunt force injury)
Pada trauma tumpul ada 2 variasi utama  benda tumpul yang bergerak pada
korban yang diam, atau korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.
Ada beberapa jenis luka akibat kekerasan benda tumpul yaitu:
1. Luka lecet (abrasion)
2. Luka robek, retak, laceration
3. Kontusio
4. Fraktur
b. Luka benda tajam
1. Luka sayat
2. Luka tusuk
3. Luka bacok
c. Luka tembak
2. Luka Termis
Temperatur dingin
3. Luka kimiawi
Luka bakar pada organ luar maupun organ dalam tubuh yang disebabkan oleh bahan-
bahan kimia yang merupakan asam kuat atau basa kuat dan zat produksi petroleum.
Klasifikasi bahan kimia: asam/acid, basa/alkali, organic compounds.
4. Abortus dan Pembunuhan pada Anak
a. Abortus
1. Definisi abortus
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan, berat janin kurang dari 500 gram dan umur kehamilan kurang dari 20
minggu. Batas umur kandungan yang dapat diterima di dalam abortus adalah
sebelum 28 minggu dan BB fetus yang keluar kurang dari 1000 gr
2. Klasifikasi abortus
a. Abortus Spontan
Abortus yang tidak sengaja terjadi/terjadi secara spontan, yang bisa
disebabkan karena adanya kelainan pada mudigah/fetus atau adanya penyakit
pada ibu.
b. Abortus Provokatus
Abortus yang disengaja. Terbagi menjadi:
1. Abortus medisinalis (abortus therapeutica), yaitu abortus yang
dilakukan karena indikasi medis misal, penyakit jantung, hipertensi, Ca
serviks
2. Abortus kriminalis, yaitu abortus yang dilakukan karena tindakan legal
tanpa indikasi medis.
3. Teknik abortus criminal
METODE YANG DIPAKAI untuk melakukan abortus tergantung dari usia
kehamilan, dimana perlu diketahui oleh penyiik dalam kaitannya dengan
pengumpulan barang-barang bukti
a. UK s.d. 4 minggu  metode yang banyak dipakai: melakukan kerja fisik
yang berat, melakukan kekerasan fisik pada daerah perut, minum obat
pencahar
b. UK s.d. 8 minggu  memakai obat-obatan yang dapat merangsang kontraksi
otot Rahim dan mengganggu keseimbangan hormonal, penyuntikan
cairan/karbol ke dalam Rahim melalui vagina dengan maksud agar terjadi
seperasi placenta dan perlekatannya dengan Rahim, memasukan benda-benda
asing ke dalam Rahim (kateter jarum, kawat, pensil)
c. UK s.d. 12 /16 minggu  cara yang sering dipakai adalah menusuk
kandungan dan memasukkan air sabun, pasta/karbol, menggunakan alat-alat
yang dapat melepas fetus dengan kuret
4. Komplikasi abortus
a. Kematian segera (Immediate), terjadi karena:
1. Vagal reflex (vagal inhibition of the heart) terjadi karena adanya
rangsangan pada permukaan dalam dari canalis servikalis
2. Emboli udara, sering terjadi pada aborsi dengan alat semprot. Udara dapat
ikut masuk ke dalam pembuluh darah dan dapat menyebabkan emboli
udara pada arteri coronaria/otak
b. Kematian yang tidak begitu cepat (moderate), terjadi karena :
1. Emboli cairan, akibat pemakaian cairan (air sabun/antiseptic) sehingga
terjadi nekrosis jaringan/hemolysis
2. Perdarahan, akibat robeknya vagina, cervix, atau uterus
c. Kematian lambat (late), terjadi karena :
1. Sepsis  karena alat-alat tidak steril, uterus tidak bersih, robeknya usus
besar
2. Gagal ginjal akut  akibat syok
5. Penyidikan kasus kematian abortus
Dilakukan pada :
a. Kematian mendadak/tak terduga pada seorang perempuan sehat dalam masa
subur
b. Adanya perdarahan yang keluar pada vagina
c. Kematian seorang wanita di tempat yang tidak seharusnya, misalnya di hotel
d. Adanya barang bukti yang biasa dipakai untuk melakukan obortus di sekitar
korban
6. Pemeriksaan dan introgasi
Ditujukan kepada :
a. Suami/keluarga/kekasih korban
b. Orang yang diduga melakukan tindakan abortus pada korban
c. Korban, bila masih hidup
7. Bukti-bukti pada kasus abortus
Bukti-bukti yang dibutuhkan penyidik di kasus abortus :
a. Adanya kehamilan
b. Umur kehamilan
c. Adanya barang-barang bukti yang dipakai dalam melakukan abortus dan
kaitannya dengan metode yang dipakai
d. Adanya hubungan antara saat dilakukannya abortus dengan saat kematian
korban
e. Alasan motif dilakukannya abortus

b. Pembunuhan Anak
1. Definisi pembunuhan anak
Pembunuhan anak/bayi merupakan sebutan yang bersifat umum bagi setiap
perbuatan merampas nyawa bayi di luar kandungan, sedangkan infanticide
merupakan sebutan yang bersifat khusus bagi tindakan merampas nyawa bayi
yang belum berumur 1 tahun oleh ibu kandungnya sendiri. Pengkhususan
infanticide sebagai tindak pidana yang hukumannya lebih ringan didasarkan atas
pertimbangan bahwa kondisi mental pada saat hamil, melahirkan dan menyusui
sangat labil dan mudah tergoncang akibat gangguan keseimbangan hormon. Di
Indonesia, ada pengkhususan yaitu Kinderdoodslag dan kindermoord, teteapi hal
itu didasarkan atas motif takut ketahuan melahirkan anak. Perbedaan antara
Kinderdoodslag (Pasal 341 KUHP) dan kindermoord (Pasal 342 KUHP) hanya
pada ada tidaknya rencana.
a. Kinderdoodslag dilakukan tanpa rencana
b. Kindermoord dilakukan dengan rencana, sehingga hukuman lebih berat

Kesimpulannya, tindak pidana merampas nyawa bayi yang bersifat khusus


(Kinderdoodslag dan kindermoord) harus memenuhi kriteria :
a. Pelaku harus ibu kandung
b. Korban harus bayi anak kandung sendiri
c. Pembunuhan harus dilakukan pada saat dilahirkan atau tidak lama
kemudian
d. Motif pembunuhan karena takut ketahuan telah melahirkan anak

Jika pembunuhan bayi tidak memenuhi syarat tersebut, maka pembunuhan itu
dikategorikan sebagai tindak pidana perampasan nyawa yang bersifat umum
(murder) sebagaimana diuraikan pada pasal 338 dan pasal 340 KUHP dengan
hukuman yang jauh lebih berat

2. Pemeriksaan postmortem
Dokter tidak perlu memerhatikan apakah masalah pembunuhan anak termasuk
Kinderdoodslag, kindermoord, atau pembunuhan biasa sebab masalah itu menjadi
masalah penegak hukum. Dokter hanya perlu memusatkan perhatiannya pada
upaya mengungkap bukti-bukti medik yang relevan bagi penyelesaian perkara,
yaitu:
a. Bayi viable atau tidak
b. Bayi lahir hidup atau lahir mati (still-birth)
c. Sebab kematian bayi
d. Lama hidup di luar kandungan
e. Tanda-tanda kekerasan
3. Viabilitas bayi
Pada hakikatnya, menentukan viabilitas bayi sama artinya dengan melakukan
penilaian terhadap tingkat kemampuannya untuk dapat mempertahankan
hidupnya di luar kandungan tanpa peralatan khusus/canggih. Bayi dikatakan
viable jika memenuhi syarat:
a. Telah dikandung ibunya selama paling tidak 28 minggu
b. Tidak mempunyai cacat berat, seperti misalnya anencephalus
Tujuan menilai viabilitas bayi adalah untuk memberikan fakta kepada hakim guna
dipakai sebagai bahan pertimbangan menentukan hukuman mengingat bahwa bayi
yang nonviable yang lahir hidup tidak akan dapat bertahan lama di luar
kandungan
4. Lahir hidup atau lahir mati
Dikatakan lahir hidup jika bayi menunjukkan tanda-tanda hidup sesudah seluruh
tubuhnya berpisah dari badan ibunya. Jika seandainya bayi menunjukkan gejala
hidup (misalnya bernapas/menangis) saat kedua kakinya masih berada di dalam
perut ibunya dan kemudian mati sebelum kedua kakinya keluar, maka bayi
tersebut diangap lahir mati. Penyebab kelahiran mati antara lain:
a. Kerusakan otak saat persalinan
b. Kekurangan O2 akibat prolapse tali pusat
c. Kelainan plasenta, dll
5. Sebab kematian bayi
Kalau dari pemeriksaan yang dilakukan menunjukkan bayi lahir hidup, maka
pemeriksaan selanjutnya diarahkan untuk mencari sebab kematiannya, yaitu:
a. Kematian Wajar
Disebabkan oleh kerusakan otak waktu dilahirkan, kekurangan O2 akibat
prolapse tali pusat, kelainan plasenta, dll
b. Kematian Tidak Wajar
Disebabkan oleh pembekapan, pemukulan kepala, pencekikan, dan
penjeratan. Cara-cara ini paling sering dilakukan oleh ibu yang melakukan
pembunuhan bayinya sendiri. Cara lain yang tidak begitu sering adalah
menusuk, menggorok leher, atau menenggelamkan bayi. Cara yang sangat
jarang dilakukan adalah membakar, meracun, atau mengubur hidup-hidup.
6. Pemeriksaan terhadap suspek
Pada tindak pidana Kinderdoodslag dan kindermoord, yang menjadi pelakunya
adalah ibu kandungnya sendiri. Yang menjadi persoalan adalah jika suspek
(tersangka) menyangkal atas dasar tidak pernah melahirkan bayi. Dalam
menghadapi kasus seperti ini, penegak hukum dapat meminta bantuan dokter
memeriksa suspek guna membuktikan :
a. Adanya bekas-bekas kehamilan → Striae gravidarum, dinding perut kendor,
ahim dapat diraba diatas symphisis, payudara besar dan kencang
b. Adanya bekas-bekas persalinan → Robekan perineum, keluarnya cairan
lochea
c. Adanya hubungan genetic antara suspek dan korban
5. Kekerasan Seksual
a. Pemerkosaan
Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke
arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-
benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan,
tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan
dari lingkungan yang penuh paksaan. Pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan
yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan
dilakukan di luar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan
seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan secara utuh, misalnya
terhadap anak atau seseorang di bawah 18 tahun.
b. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau
penderitaan psikis pada perempuan korban Intimidasi seksual bisa disampaikan secara
langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain. Ancaman
atau percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.
c. Pelecehan seksual
Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ
seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan
bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan
atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga
mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan
mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
d. Eksploitasi seksual
Tindakan penyalahgunaan kekuasan yang timpang,atau penyalahgunaan
kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh keuntungan
dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya. Praktik eksploitasi seksual yang kerap
ditemui adalah menggunakan kemiskinan perempuan sehingga ia masuk dalam
prostitusi atau pornografi. Praktik lainnya adalah tindakan mengimingimingi
perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan, lalu ditelantarkankan.
Situasi ini kerap disebut juga sebagai kasus “ingkar janji”. Imingiming ini
menggunakan cara pikir dalam masyarakat, yang mengaitkan posisi perempuan
dengan status perkawinannya. Perempuan menjadi merasa tak memiliki daya tawar,
kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi.
e. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau
menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan,
penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara
langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun
eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat terjadi di dalam negara
maupun antar negara.
f. Prostitusi paksa
Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan
untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun
untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari
prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman kekerasan.
Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan
perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual.
g. Perbudakan seksual
Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban sehingga
berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui
pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan ini mencakup situasi
dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah, melayani rumah tangga
atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.
h. Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung
Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena
pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang
tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa praktik di mana perempuan
terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri.
1. Pertama, ketika perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti
kehendak orang tuanya agar dia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang dia
inginkan atau bahkan dengan orang yang tidak dia kenali. Situasi ini kerap disebut
kawin paksa.
2. Kedua, praktik memaksa korban perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu
dianggap mengurangi aib akibat perkosaan yang terjadi.
3. Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa untuk terus berada
dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai. Namun, gugatan cerainya
ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan baik dari pihak suami maupun
otoritas lainnya.
4. Keempat, praktik “Kawin Cina Buta”, yaitu memaksakan perempuan untuk
menikah dengan orang lain untuk satu malam dengan tujuan rujuk dengan mantan
suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya dalam hukum Islam).
Praktik ini dilarang oleh ajaran agama, namun masih ditemukan di berbagai
daerah.
i. Pemaksaan aborsi
Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman,
maupun paksaan dari pihak lain.
j. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan
sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi
yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan
persetujuan. Pada masa Orde Baru, tindakan ini dilakukan untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk, sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan.
Sekarang, kasus pemaksaan pemaksaan kontrasepsi/ sterilisasi biasa terjadi pada
perempuan dengan HIV/AIDS dengan alasan mencegah kelahiran anak dengan
HIV/AIDS. Pemaksaan ini juga dialami perempuan penyandang disabilitas, utamanya
tuna grahita, yang dianggap tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri,
rentan perkosaan, dan karenanya mengurangi beban keluarga untuk mengurus
kehamilannya.
k. Penyiksaan seksual
Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan
dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik
jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk memperoleh pengakuan atau
keterangan darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk menghukumnya atas suatu
perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga.
l. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa
malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Ia termasuk
hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau untuk
merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.
m. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi
perempuan
Kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya,
yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun
seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol
seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan. Sunat
perempuan adalah salah satu contohnya.
n. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama
Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai simbol
moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan perempuan
“nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi
landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan. Kontrol seksual
mencakup berbagai tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan secara langsung
maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan perempuan untuk
menginternalisasi simbolsimbol tertentu yang dianggap pantas bagi “perempuan baik-
baik’. Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang
Paling sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat
kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam tertentu,
larangan berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan kerabat atau
perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada
persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. Aturan yang diskriminatif ini ada di
tingkat nasional maupun daerah dan dikokohkan dengan alasan moralitas dan agama.
Pelanggar aturan ini dikenai hukuman dalam bentuk peringatan, denda, penjara
maupun hukuman badan lainnya.
6. Pemeriksaan Kasus Pemerkosaan
a. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan

b. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan


1. Adanya luka berarti ada kekerasan
2. Namun, bila tidak ditemukan luka, bukan berarti tidak ada kekerasan
3. Tindakan membius termasuk kekerasan
4. Faktor waktu amat berperan pada pemeriksaan ini
c. Yang perlu diketahui dalam kasus pemerkosaan
1. Sperma masih dapat ditemukan bergerak dalam vagina sampai 4-5 jam setelah
persetubuhan
2. Sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak dalam vagina :
a. Pada orang hidup, sampai sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan
b. Pada orang mati, paling lama 7-8 hari setelah persetubuhan
3. Laki-laki sehat air mani keluar tiap ejakulasi sebanyak 2-5 ml (60 jt sperma/mm &
90% motile)
4. Untuk jaga keaslian barang bukti, korban tidak diperkenankan untuk bersihkan
diri atau ganti pakaian
5. Cari bercak air mani yang mungkin tercecer di TKP dengan disinari cahaya UV
6. Jika pelaku segera tertangkap tidak setelah kejadian, maka kepala zakar harus
diperiksa
7. Visum et Repertum :
a. Mencakup hal diatas, disertai perkiraan waktu terjadinya persetubuhan
b. Dalam kesimpulan, tidak boleh mencantumkan kata pemerkosaan
8. Untuk cegah hal negatif, perlu adanya saksi sewaktu pemeriksaan
9. Bite marks yang dibentuk karena perlawanan, dapat ditemukan adanya air liur
pada barang bukti
10. Robekan baru selaput dara diketahui jika masih ada darah atau tampak kemerahan
11. Letak robekan umumnya di bagian belakang
12. Letak robekan dinyatakan sesuai menurut angka jarum jam
13. Robekan lama selaput dara diketahui jika robekan sampai ke dasar
d. Pengumpulan barang bukti dalam kasus pemerkosaan
1. Pengumpulan, penyimpanan dan pengiriman air mani :
a. Barang bukti harus dikeringkan dahulu:
1. Pakaian, dikirim seluruhnya dalam kantung kertas yang terpisah, jangan
sentuh dan lipat daerah yang diduga terdapat bercak
2. Selimut, sprei, sarung bantal, dll, dikirim seluruhnya dengan baik
3. Kendaraan, ambil dan kirim seluruh tempat duduk, pemeriksaan
kendaraan konsultasikan dengan pihak lab
b. Lubang-lubang tubuh manusia :
1. Contoh barang bukti :
a. Korban jangan diperkenankan bersihkan diri atau lubang yang
dicederai
b. Diambil oleh dokter yang berpengalaman
2. Contoh dari dalam vagina :
a. Tiap korban harus diperiksa sesegera mungkin agar dapat lihat
adanya sperma yang masih bergerak, bila tidak bergerak maka
ditemukan untuk jangka waktu yang cukup lama setelah
persetubuhan
b. Pewarnaan/pulasan --> dilakukan oleh orang berpengalaman, diberi
label (pewarnaan yang dipakai, nama orang yang diperiksa dan nama
yang membuat pewarnaan serta tanggal dan lokasinya)
c. Dokter bersihkan vagina dengan memakai sedikit mungkin (5-10 ml)
aquades
d. Seluruh sediaan apus ditaruh dalam tabung reaksi yang kering, diberi
label identitas
e. Setelah itu ditaruh dalam lemari pendingin sampai dikirim ke lab
3. Dubur :
a. Pada kasus sodomi, sediaan apus harus diambil dan disimpan dalam
tabung reaksi kering dan diberi label
b. Pewarnaan/pulasan --> dilakukan oleh orang berpengalaman, diberi
label (pewarnaan yang dipakai, nama orang yang diperiksa dan nama
yang membuat pewarnaan serta tanggal dan lokasinya)
4. Rongga mulut :
a. Pada fellatio, sediaan apus harus diambil dari beberapa tempat dalam
rongga mulut dan disimpan dalam tabung reaksi kering dan diberi
label
b. Pewarnaan/pulasan --> dilakukan oleh orang berpengalaman, diberi
label (pewarnaan yang dipakai, nama orang yang diperiksa dan nama
yang membuat pewarnaan serta tanggal dan lokasinya)
5. Rambut kemaluan :
a. Harus disisir dengan sisir bersih,untuk kumpulkan rambut yang lepas
dari korban ataupun pelaku
b. 24 atau lebih helai rambut harus dicabut, baik dari korban ataupun
tersangka
6. Barang bukti lain :
a. Seperti darah, rambut kepala, serat-serat atau lainnya harus diambil
seluruhnya dan dikirim ke lab menurut prosedur
7. Peran Dokter Dalam Kasus Forensik
a. Dokter Umum :
1. Pemeriksaan korban tindak pidana hidup
2. Pemeriksaan korban tindak pidana meninggal
3. Sebagai saksi ahli
4. Mengeluarkan surat keterangan kematian
5. Penanganan kasus death on arrival
6. Pengisian asuransi
b. Peran dokter terkait pelayanan forensic
1. Memeriksa korban tindak pidana hidup
2. Pemeriksaan kasus kejahatan seksual
3. Pemeriksaan jenazah
4. Menangani kasus DOA
5. Tatacara pengeluaran surat keterangan kematian
6. Peran dokter sebagai saksi ahli
c. Kasus tindak pidana hidup
Diajukan oleh penyidik berwenang. Kewajiban dokter :
1. Pasal 179 KUHAP : wajib memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan
yang sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan.
2. Pasal 133, 179 dan 180 KUHAP : seorang dokter jika dimintakan kepadanya
untuk membuatkan visum et repertum, maka secara hukum dokter wajib
melakukan dan tidak ada alasan untuk menolak
d. Pasien yang termasuk dalam lingkup pelayanan forensik klinik
1. Pasien datang dengan surat permintaan visum
2. Pasien korban KLL
3. Pasien dengan luka yang tidak jelas penyebabnya
4. Pasien korban kekerasan seksual
5. Pasien korban keracunan/peracunan
e. Isi visum et repertum
1. Kronologis kejadian
2. Keadaan umum pasien
3. Luka/cedera yang ditemukan
4. Tindakan yang dilakukan terhadap pasien
5. Keadaan sewaktu dalam perawatan dan keadaan waktu pulang
6. Pada kesimpulan harus dijelaskan luka/cedera, kekerasan penyebab dan
derajat/kualifikasi luka
f. Deskripsi luka
1. Regio
2. Koordinat
3. Jenis luka
4. Deskripsi luka
5. Ukuran luka
g. Korban kejahatan seksual
Tugas dokter adalah mencari adanya tanda-tanda kekerasan dan adanya tanda-tanda
persetubuhan. Pembuktian persetubuhan dilakukan dengan dua cara :
1. Membuktikan adanya penetrasi
2. Membuktikan adanya ejakulasi atau adanya air mani di dalam vagina atau anus
h. Korban tindak pidana mati
1. Pemeriksaan luar dan dalam (otopsi)
2. Dokter umum → tidak dibebankan untuk melakukan otopsi jika masih bisa
mendatangkan dokter forensik. Tapi pemeriksaan luar merupakan kompetensi
dokter umum
3. Pada bagian kesimpulan, dokter hanya menuliskan luka yang ditemukan,
kekerasan penyebab dan sebab kematian. Cara mati bukan kewenangan dokter
untuk menyatakan dalam VER
i. Penanganan kasus DOA
1. Melakukan pemeriksaan pasien
2. Melihat apakah terdapat tanda kekerasan/kemungkinan kasus tindak pidana
3. Sebelumnya, melakukan wawancara dengan pengantar mengenai kondisi
jenazah dan kronologis kejadian
4. Jika terdapat ditemukan/kecurigaan tindak pidana atas kematian korban, dokter
menganjurkan pengantar atau petugas RS untuk melapor ke polisi di sekitar
wilayah TKP
5. Jenazah ditahan di RS sampai penyidik memutuskan untuk tindakan forensik
selanjutnya kecuali jika disimpulkan kematian wajar.
6. PRINSIP UTAMA : memperkirakan apakah kematian wajar/tidak wajar untuk
penatalaksanaan selanjutnya
j. Tatacara pengeluaran surat kematian
1. Surat keterangan kematian adalah surat yang menyatakan bahwa seseorang
sudah meninggal
2. Dibuat atas pemeriksaan jenazah, minimal pemeriksaan luar
3. Apabila kematian diduga akibat tindak pidana tertentu pastikan bahwa prosedur
hukum telah dilakukan sebelum surat dikeluarkan dan harus dilakukan
pemeriksaan oleh dokter forensik terlebih dahulu
4. Minimal berisi : identitas korban, tanggal kematian, jenis pemeriksaan, dan
sebab kematian
k. Sebagai saksi ahli
1. Diperlukan pada proses pidana/peradilan untuk menjelaskan suatu perkara yang
masih diragukan
2. Saksi ahli yang memberikan keterangan = keterangan ahli
3. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana untuk kepentingan pemeriksaan
4. Keterangan ahli diberikan berdasarkan keilmuan/keahlian yang dimiliki
5. Diberikan oleh seorang ahli yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan
berisikan keterangan yang berada dalam lingkup keahliannya
6. Ahli tidak perlu melihat, memeriksa atau mengalami sendiri, melainkan dapat
pula memberikan pendapat sesuai dengan keilmuannya
7. Saksi ahli haruslah bersikap jujur, objektif, menyeluruh, ilmiah, tidak memihak
(imparsial), tidak misreprentasi dan mengikuti perkembangan keilmuannya
dengan mengikuti pendidikan berkelanjutan, menghindari terlalu banyak bicara,
bicara terlalu dini dan bicara dengan orang yang tidak berhak mendengar
8. Penampilan saksi ahli jangan melecehkan diri sendiri ataupun lawan bicara,
hadir tepat waktu, berpakaian rapi, sikap yang santun, menyiapkan data kasus,
bersikap tegas dan yakin, mengutarakan sesuatu yang benar dan objektif serta
menyeluruh
REFERENSI

Dr. Y.A Triana Ohoiwutun, S.H, M.H, Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi
Hukum pada Ilmu Kedokteran)

UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak

UU No. 36 Tahun 2009

UU No. 23 Tahun 2004

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Buku Ilmu Kedokteran Forensik FKUI

Anda mungkin juga menyukai