Anda di halaman 1dari 62

MODUL AJAR

INFORMASI UMUM
A. IDENTITAS
NAMA : SRI WAHYUNI SIREGAR, S.Pd
INSTITUSI : SMAN 8 MANDAU
T.A : 2023 - 2024
JENJANG SEKOLAH : SMA
KELAS : 11.F
ALOKASI WAKTU : 12 X 45 MENIT (6 X PERTEMUAN)

B. KOMPETENSI AWAL
Peserta didik mampu menganalisis kondisi Indonesia pada masa kolonialisme
barat

C. PROFIL PELAJAR PANCASILA


1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlaq mulia
2) Berkebhinekaan global
3) Bernalar kritis

D. SARANA DAN PRASARANA


1. Papan tulis
2. Spidol
3. Laptop
4. LCD
5. Jaringan Internet

E. TARGET PESERTA DIDIK : Fase F KELAS 11 Reguler

F. MODEL PEMBELAJARAN : Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dengan model


pembelajaran discovery learning
KOMPONEN INTI
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Peserta didik mampu menganalisis kolonialisme barat di Indonesia dan
perlawanan terhadap bangsa barat serta dapat menyajikannya dalam bentuk
tulisan ataupun media lainnya

B. PEMAHAMAN BERMAKNA
Dengan mempelajari kolonialisme bangsa barat di Indonesia peserta didik
mampu menjadikan peristiwa masa lampau untuk dijadikan pelajaran di masa
sekarang dan masa yang akan datang.

C. PERTANYAAN PEMANTIK
Kolonialisme merupakan suatu konsep yang identik dengan bangsa barat di era
penjelajahan samudera, Apa yang dimaksud dengan kolonialisme ? Apakah
kolonialisme dapat disamakan dengan imperialisme? apa manfaat yang bisa
diambil dari mempelajari kolonialisme bangsa barat di Indonesia ?

D. KEGIATAN PEMBELAJARAN
PERTEMUAN 1
Tahap Pendahuluan (10 menit)
1. Menyiapkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran seperti
berdoa, absensi, menyiapkan buku pelajaran, bahan teks multimedia,
memasangkan LCD pada laptop.
2. Memotivasi peserta didik secara kontekstual sesuai dengan manfaat
pembelajaran.
3. Memberikan beberapa gambar yang menunjukan peninggalan-peninggalan
sejarah sekaligus menghubungkan dengan ayat-ayat Al Quran: surat
Muhammad ayat 10 tentang mengambil hikmah atas peristiwa masa lampau)
4. Menjelaskan tujuan pembelajaran, kompetensi, literasi, dan karakater yang
harus dicapai.
5. Menyampaikan cakupan materi dan lingkup penilain serta penjelasan uraian
kegiatan.

Tahap Inti (60 menit)


Stimulation
1. Peserta didik diberi motivasi untuk memusatkan perhatian pada topik materi
konsep kolonialisme dan latar belakang penjelajahan samudera
2. Peserta didik diminta untuk menjawab pertanyaan pemantik sebagai
pengantar pembelajaran ke arah materi yang akan dipelajari
3. Guru memberikan gambaran umum terhadap materi yang akan dipelajari
Problem Statement
4. Peserta didik dibimbing oleh guru merumuskan masalah yang akan dicari
jawabannya
Data Collection
5. Peserta didik mengumpulkan data untuk menjawab pertanyaan yang telah
teridentifikasi dengan cara mengamati objek atau kejadian, membaca
berbagai sumber.
Data Processing
6. Peserta didik mengolah data yang telah ditemukan dan mengerjakan LKPD
yang sudah disediakan
Verification
7. Peserta didik dibimbing oleh guru melakukan verifikasi data yang telah
ditemukan
Generalization
8. Masing – masing peserta didik mampu membuat kesimpulan di buku catatan
tentang materi yang dipelajari

Tahap Penutup (10 menit)


1. Peserta didik diminta menyampaikan hambatan dan apa yang diperoleh
selama pembelajaran tadi
2. Guru memberikan arahan untuk persiapan pertemuan selanjutnya

PERTEMUAN 2
Tahap Pendahuluan (10 menit)
1. Menyiapkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran seperti
berdoa, absensi, menyiapkan buku pelajaran, bahan teks multimedia,
memasangkan LCD pada laptop.
2. Memotivasi peserta didik secara kontekstual sesuai dengan manfaat
pembelajaran.
3. Memberikan beberapa gambar yang menunjukan peninggalan-peninggalan
sejarah.
4. Menjelaskan tujuan pembelajaran, kompetensi, literasi, dan karakter yang
harus dicapai.
5. Menyampaikan cakupan materi dan lingkup penilain serta penjelasan uraian
kegiatan.

Tahap Inti (60 menit)


Stimulation
1. Peserta didik diberi motivasi untuk memusatkan perhatian pada topik materi
Masuknya bangsa barat ke Indonesia
2. Peserta didik diminta untuk menjawab pertanyaan pemantik sebagai
pengantar pembelajaran ke arah materi yang akan dipelajari
3. Guru memberikan gambaran umum terhadap materi yang akan dipelajari
Problem Statement
4. Peserta didik dibimbing oleh guru merumuskan masalah yang akan dicari
jawabannya
Data Collection
5. Peserta didik mengumpulkan data untuk menjawab pertanyaan yang telah
teridentifikasi dengan cara mengamati objek atau kejadian, membaca
berbagai sumber.
Data Processing
6. Peserta didik mengolah data yang telah ditemukan dan mengerjakan LKPD
yang sudah disediakan
Verification
7. Peserta didik dibimbing oleh guru melakukan verifikasi data yang telah
ditemukan
Generalization
8. Masing – masing peserta didik mampu membuat kesimpulan di buku catatan
tentang materi yang dipelajari

Tahap Penutup (10 menit)


1. Peserta didik diminta menyampaikan hambatan dan apa yang diperoleh
selama pembelajaran tadi
2. Guru memberikan arahan untuk persiapan pertemuan selanjutnya

PERTEMUAN 3
Tahap Pendahuluan (10 menit)
1. Menyiapkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran seperti
berdoa, absensi, menyiapkan buku pelajaran, bahan teks multimedia,
memasangkan LCD pada laptop.
2. Memotivasi peserta didik secara kontekstual sesuai dengan manfaat
pembelajaran.
3. Memberikan beberapa gambar yang menunjukan peninggalan-peninggalan
sejarah.
4. Menjelaskan tujuan pembelajaran, kompetensi, literasi, dan karakater yang
harus dicapai.
5. Menyampaikan cakupan materi dan lingkup penilain serta penjelasan uraian
kegiatan sesuai silabus.

Tahap Inti (60 menit)


Stimulation
1. Peserta didik diberi motivasi untuk memusatkan perhatian pada topik materi
Masa Pemerintahan bangsa barat
2. Peserta didik diminta untuk menjawab pertanyaan pemantik sebagai
pengantar pembelajaran ke arah materi yang akan dipelajari
3. Guru memberikan gambaran umum terhadap materi yang akan dipelajari
Problem Statement
4. Peserta didik dibimbing oleh guru merumuskan masalah yang akan dicari
jawabannya
Data Collection
5. Peserta didik dibagi ke dalam 5 kelompok, masing – masing akan membahas
tentang : masa pemerintahan VOC, masa pemerintahan Inggris, masa
pemerintahan Hindia Belanda, masa politik etis
6. Peserta didik mengumpulkan data untuk menjawab pertanyaan yang telah
teridentifikasi dengan cara mengamati objek atau kejadian, membaca
berbagai sumber.
Data Processing
7. Peserta didik lalu berdiskusi dengan anggota kelompoknya untuk mengolah
data yang telah ditemukan dan mengerjakan LKPD yang sudah disediakan

Tahap Penutup (10 menit)


1. Peserta didik diminta menyampaikan hambatan dan apa yang diperoleh
selama pembelajaran tadi
2. Guru memberikan arahan untuk persiapan pertemuan selanjutnya

PERTEMUAN 4
Tahap Pendahuluan (10 menit)
1. Menyiapkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran seperti
berdoa, absensi, menyiapkan buku pelajaran, bahan teks multimedia,
memasangkan LCD pada laptop.
2. Memotivasi peserta didik secara kontekstual sesuai dengan manfaat
pembelajaran.
3. Memberikan beberapa gambar yang menunjukan peninggalan-peninggalan
sejarah.
4. Menjelaskan tujuan pembelajaran, kompetensi, literasi, dan karakater yang
harus dicapai.
5. Menyampaikan cakupan materi dan lingkup penilain serta penjelasan uraian
kegiatan sesuai silabus.

Tahap Inti (60 menit)


Verification
1. Perwakilan dari masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya dengan sistem panel (siswa berperan aktif)
2. Peserta didik dari kelompok lain memperhatikan lalu diminta mengajukan
beberapa pertanyaan diakhir diskusi untuk memverifikasi informasi yang
disampaikan oleh kelompok yang tampil
3. Peserta didik dibimbing oleh guru untuk membuat kesimpulan
Generalization
4. Masing-masing peserta didik mampu membuat kesimpulan di buku catatan
dari diskusi yang dilakukan
Tahap Penutup (10 menit)
1. Peserta didik diminta menyampaikan hambatan dan apa yang diperoleh
selama pembelajaran tadi
2. Guru memberikan arahan untuk persiapan pertemuan selanjutnya

PERTEMUAN 5
Tahap Pendahuluan (10 menit)
1. Menyiapkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran seperti
berdoa, absensi, menyiapkan buku pelajaran, bahan teks multimedia,
memasangkan LCD pada laptop.
2. Memotivasi peserta didik secara kontekstual sesuai dengan manfaat
pembelajaran.
3. Memberikan beberapa gambar yang menunjukan peninggalan-peninggalan
sejarah.
4. Menjelaskan tujuan pembelajaran, kompetensi, literasi, dan karakater yang
harus dicapai.
5. Menyampaikan cakupan materi dan lingkup penilain serta penjelasan uraian.

Tahap Inti (60 menit)


Stimulation
1. Peserta didik diberi motivasi untuk memusatkan perhatian pada topik materi
Perlawanan menentang penjajah
2. Peserta didik diminta untuk menjawab pertanyaan pemantik sebagai
pengantar pembelajaran ke arah materi yang akan dipelajari
3. Guru memberikan gambaran umum terhadap materi yang akan dipelajari
Problem Statement
4. Peserta didik dibimbing oleh guru merumuskan masalah yang akan dicari
jawabannya
Data Collection
5. Peserta didik dibagi ke dalam beberapa kelompok dengan beberapa pokok
pembahasan yaitu: Perlawanan Diponegoro (Jawa), Perlawanan Bali,
Perlawanan Rakyat Kalimantan, Perlawanan Tapanuli, Perlawanan
Palembang, Perlawanan Ternate, Dampak Penjajahan di Negara Kolonial.
6. Peserta didik mengumpulkan data untuk menjawab pertanyaan yang telah
teridentifikasi dengan cara mengamati objek atau kejadian, membaca
berbagai sumber.

Data Processing
7. Peserta didik lalu berdiskusi dengan anggota kelompoknya untuk mengolah
data yang telah ditemukan dan mengerjakan LKPD yang sudah disediakan

Tahap Penutup (10 menit)


1. Peserta didik diminta menyampaikan hambatan dan apa yang diperoleh
selama pembelajaran tadi
2. Guru memberikan arahan untuk persiapan pertemuan selanjutnya

PERTEMUAN 6
Tahap Pendahuluan (10 menit)
1. Menyiapkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran seperti
berdoa, absensi, menyiapkan buku pelajaran, bahan teks multimedia,
memasangkan LCD pada laptop.
2. Memotivasi peserta didik secara kontekstual sesuai dengan manfaat
pembelajaran.
3. Menjelaskan tujuan pembelajaran, karakater yang harus dicapai.
4. Menyampaikan cakupan materi dan lingkup penilain serta penjelasan uraian
kegiatan.

Tahap Inti (60 menit)


Verification
1. Perwakilan dari masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya dengan sistem panel
2. Peserta didik dari kelompok lain memperhatikan lalu diminta mengajukan
beberapa pertanyaan diakhir diskusi untuk memverifikasi informasi yang
disampaikan oleh kelompok yang tampil
3. Peserta didik dibimbing oleh guru untuk membuat kesimpulan
Generalization
4. Masing-masing peserta didik mampu membuat kesimpulan di buku catatan
dari diskusi yang dilakukan

Tahap Penutup (10 menit)


1. Peserta didik diminta menyampaikan hambatan dan apa yang diperoleh
selama pembelajaran tadi
2. Guru memberikan arahan untuk persiapan pertemuan selanjutnya

E. ASESMEN
Asesmen Sikap Profil Pelajar Pancasila
No Profil Pelajar Pancasila BT MT MB MK Keterangan
1. Beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan berakhlaq mulia
2. Berkebhinekaan global

3. Bernalar kritis

Keterangan
BT : Belum Terlihat MT : Mulai terlihat
MB : Mulai Berkembang MK : Membudaya

Asesmen Kognitif Formatif


Peserta didik diminta untuk mengerjakan LKPD yang sudah disediakan
Asesmen Kognitif Sumatif
Tes tertulis

F. PENGAYAAN DAN REMEDIAL


Pengayaan: Bagi peserta didik yang sudah mencapai nilai ketuntasan diberikan
pembelajaran pengayaan sebagai berikut :
1. Peserta didik yang mencapai nilai n(ketuntasan) < n < n(maksimum)
diberikan materi masih dalam cakupan capaian pembelajaran dengan
pendalaman sebagai pengetahuan tambahan
2. Peserta didik yang mencapai nilai n > n(maksimum) diberikan materi
melebihi cakupan capaian pembelajaran dengan pendalaman sebagai
pengetahuan tambahan.

Remedial
Pembelajaran remedial dilakukan bagi peserta didik yang hasil capaian
pembelajaran rendah melalui:
1. Tahapan pembelajaran remedial dilaksanakan melalui remidial teaching
(klasikal), atau tutor sebaya, atau tugas dan diakhiri dengan tes
2. Tes remedial, dilakukan sebanyak 2 kali dan apabila setelah 2 kali tes
remedial belum mencapai ketuntasan, maka remedial dilakukan dalam
bentuk tugas tanpa tes tertulis kembali
G. REFLEKSI
- Apakah guru sudah memberikan pembelajaran terbaik untuk siswa?
- Dibutuhkan penanaman karakter dari guru untuk diimplementasikan bagi
para siswa
- Kesulitan apa yang dialami guru selama proses pembelajaran?
- Perlu adanya langkah nyata dari guru untuk memperbaiki proses belajar.
- Apakah menurut guru seluruh siswa mengikuti pelajaran dengan baik?

Padang, Mei 2021


Mengetahui Disusun oleh
Kepala SMAN 7 Padang Guru Mata Pelajaran

Dra. ENNY SASMITA, M.Pd AFDAL AQZAMI, S,Pd


NIP. 196707041992032005

LAMPIRAN

A. LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (PERTEMUAN 1)


Nama :
Kelas :

Lengkapilah kolom di bawah ini!


Para Ahli Defenisi Kolonialisme
Tujuan Penjelajahan Samudra Penjelasan

GOLD

GLORY

GOSPEL
LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (PERTEMUAN 2)

Silakan dilengkapi kolom di bawah ini !

Nama :
Kelas :

Bangsa barat yang masuk ke Proses masuknya


Indonesia

Portugis

Spanyol

Belanda

Inggris

 Jelaskan latar belakang dari masuknya bangsa barat ke Indonesia….


LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (PERTEMUAN 3 & 4)

ATP : Peristiwa sekitar proklamasi dan respon masyarakat terhadap proklamasi


Petunjuk Kegiatan Diskusi :
 Bentuklah 5 kelompok dalam kelas
 Pembagian tema diskusi setiap kelompok:
1. Masa pemerintahan VOC
2. Masa pemerintahan Republik Bataaf
3. Masa pemerintahan Inggris
4. Masa pemerintahan Hindia Belanda
5. Masa politik etis
 Masing – masing kelompok dibimbing oleh guru merumuskan masalah
sesuai tujuan pembelajaran
 Masing – masing kelompok mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
lalu berdiskusi untuk menjawab rumusan masalah
 Selama diskusi, kalian harus mengerjakan secara kolaboratif dalam kelompok
masing – masing
 Sekretaris masing – masing kelompok membuat laporan hasil diskusi
 Masing – masing perwakilan kelompok menampilkan hasil diskusinya di
depan kelas
Masing – masing peserta didik mencatat kesimpulan dan poin – poin penting dari
diskusi yang sudah dilakukan di buku catatan masing – masing.

LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (PERTEMUAN 5 & 6)


ATP : Peristiwa sekitar proklamasi dan respon masyarakat terhadap proklamasi
Petunjuk Kegiatan Diskusi :
 Bentuklah 5 kelompok dalam kelas
 Pembagian tema diskusi setiap kelompok:
1. Perlawanan Minangkabau
2. Perlawanan Aceh
3. Perlawanan Diponegoro (Jawa)
4. Perlawanan Bali
5. Perlawanan Pattimura (Maluku)
 Masing – masing kelompok dibimbing oleh guru merumuskan masalah
sesuai tujuan pembelajaran
 Masing – masing kelompok mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
lalu berdiskusi untuk menjawab rumusan masalah
 Selama diskusi, kalian harus mengerjakan secara kolaboratif dalam kelompok
masing – masing
 Sekretaris masing – masing kelompok membuat laporan hasil diskusi
 Masing – masing perwakilan kelompok menampilkan hasil diskusinya di
depan kelas
Masing – masing peserta didik mencatat kesimpulan dan poin – poin penting dari
diskusi yang sudah dilakukan di buku catatan masing – masing.

B. BAHAN BACAAN GURU DAN PESERTA DIDIK


Pengertian Kolonialisme

Kolonialisme merupakan istilah yang berasal dari kata “colonus”, artinya


adalah menguasai. Oleh sebab itu, kolonialisme dapat dimaknai sebagai suatu
upaya yang dilakukan suatu negara untuk menguasai wilayah tertentu di luar
negaranya. Adapun tujuan dari kolonialisme suatu negara ialah untuk mencapai
kekuatan dominan di berbagai bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sumber
daya alam maupun sumber daya manusia. Hal ini terjadi sebab sebuah negara yang
ingin melakukan kolonialisme tidak memiliki kekayaan bumi yang dibutuhkan.
Selain itu, sebuah negara yang hendak melakukan kolonialisme merupakan negara
superior daripada negara lain.

Ciri utama terjadinya kolonialisme adalah penguasaan suatu wilayah dengan


sumber daya alam yang melimpah untuk dibawa ke negara asal penjajah tersebut.
Biasanya proses kekuasaan ini berlangsung cukup lama karena dukungan militer
yang kuat. Contoh negara yang berhasil menguasai wilayah lain yaitu, Belanda,
Spanyol, Portugis, dan Inggris. Kolonialisme telah berkembang lama di dunia sejak
abad ke-15. Awalnya bangsa Eropa menguasai seluruh wilayah dengan kekuasaan,
sistem politik, serta militer kuat. Namun, beberapa abad kemudian terjadilah
pergolakan antar bangsa dengan perbedaan kultur, budaya, keyakinan sekaligus
sifat dominan yang ingin menguasai seluruh wilayah membuat peperangan tidak
bisa dibendung lagi. Jatuhnya imperium barat sebagai simbol kekuasaan, yaitu
konstantinopel di tangan Turki Utsmani menjadi salah satu contoh dampak
runtuhnya bangsa Eropa. Hingga akhirnya ekonomi serta perdagangan mengalami
kemerosotan. Hal ini didukung pula dengan adanya revolusi industri dengan tujuan
mengembangkan perekonomian.

Revolusi industri inilah yang membuat bangsa Eropa membuat armada-


armada laut seperti kapal besar yang dapat digunakan untuk berlayar menjelajah
samudra. Pelayaran ini dilakukan dengan tujuan menemukan sumber daya lain
yang berlimpah di suatu negara. Ternyata hal tersebut terjadi sebab adanya misi
Perang Salib. Upaya tersebut akhirnya membuat bangsa Eropa menemukan negara-
negara dengan hasil alam yang tinggi namun belum memiliki sistem yang kuat. Hal
inilah yang kemudian membuat bangsa Eropa menjadi berambisi untuk menguasai
seluruh wilayah demi merenggut keuntungan sebanyak-banyaknya sekaligus
kejayaan dalam bidang politik. Itulah awal mula kolonialisme mulai berkembang
dan menjadi sebuah sistem di luar kendali manusia.
Penjelajahan Samudera & Masuknya bangsa barat

Sejarah mencatat jika bangsa-bangsa Eropa memutuskan untuk melakukan


ekspedisi atau penjelajahan ke belahan bumi lain sejak abad ke-15 Masehi, termasuk
sampai ke Nusantara atau wilayah Indonesia saat ini. Zaman ini kemudian disebut
dengan zaman penjelajahan samudra. Penjelajahan samudra juga dikenal sebagai
era the age of discovery. Zaman ini dimulai ketika Kekaisaran Romawi Timur runtuh
usai melawan kekuasaan Islam. Penjelajahan samudra oleh orang-orang Eropa ini
kemudian menjadi penaklukan dan kolonialisme.

Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang berlayar hingga ke Kepulauan


Nusantara. Alfonso de Albuqueque memimpin sekitar 18 kapal yang mengangkut
1.200 orang. Rombongan Portugis ini menaklukkan Malaka pada 1511, lalu
menyasar Maluku pada 1512. Dari sinilah, sejarah kolonialisasi di Indonesia
bermula. Rempah-rempah menjadi alasan utama Portugis menyambangi Kepulauan
Nusantara. Pencapaian dari Portugis ini kemudian diikuti oleh kerajaan
tetangganya, yaitu Spanyol. Portugis dan Spanyol sempat terlibat konflik di Maluku.
Portugis bersekutu dengan Kerajaan Ternate melawan Spanyol yang merangkul
Kerajaan Tidore.

Tidak hanya Spanyol dan Portugis, penjelajahan samudra yang menjelma menjadi
kolonialisme dan imperalisme itu nantinya juga diikuti oleh bangsa-bangsa Eropa
lainnya, termasuk Belanda, Prancis, Inggris, Italia, Belgia, hingga Jerman. Lantas,
apa yang menjadi latar belakang bangsa Eropa melakukan penjelajahan samudra?
Salah satu penyebab utamanya adalah jatuhnya Konstatinopel pada 1453, dari
Kekaisaran Bizantium atau Romawi Timur ke Kesultanan Turki Usmani di bawah
pimpinan Sultan Mehmed II. Penaklukan Konstantinopel (sekarang Istanbul)
menjadi salah satu tonggak peristiwa penting yang mengubah sejarah peradaban
manusia, yaitu penjelajahan bangsa-bangsa Eropa.

Pada akhirnya, penjelajahan samudera yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa disertai


semangat 3G, yaitu gold (kekayaan), glory (kejayaan), dan gospel (menyebarkan
agama Nasrani). Selain itu, orang-orang Eropa ingin mencari dan bertemu Prester
John yang mereka yakini sebagai Raja Kristen yang berkuasa di Timur. Apabila
ditelusuri, semboyan 3G pertama kali dicetuskan oleh Paus Alexander VI dari
Vatikan setelah menyelesaikan perselisihan antara Portugis dan Spanyol dengan
Perjanjian Tordesilas pada 1494.

1. Gold

Gold berarti keinginan memperoleh kekayaan di wilayah-wilayah baru yang


ditemukan, yaitu emas, perak dan bahan tambang serta bahan-bahan lain yang
sangat berharga. Waktu itu, wilayah utama yang dituju adalah Guinea dan rempah-
rempah dari Timur. Kekayaan yang dieksploitasi dari daerah baru itu kemudian
digunakan untuk kepentingan kerajaan atau negara imperialis.

2. Glory

Glory diartikan sebagai kejayaan atau untuk menguasai wilayah yang didatangi dan
dijadikan sebagai koloni. Selain itu, glory juga merupakan semboyan memburu
kejayaan, superioritas, dan kekuasaan melalui penjajahan. Dalam kaitan ini, mereka
saling bersaing dan ingin berkuasa di dunia baru yang ditemukannya. Kepulauan
Nusantara misalnya, pernah cukup lama menjadi jajahan Belanda.

3. Gospel

Gospel merupakan misi menyebarkan ajaran Nasrani (Kristen Katolik dan Kristen
Protestan). Misionaris bangsa-bangsa Eropa menyebarkan agamanya di wilayah-
wilayah baru yang mereka datangi. Setiap kapal milik bangsa-bangsa Eropa yang
melakukan penjelajahan samudra selalu diikuti kelompok misionaris, yang
menganggap penyebaran ajaran Injil merupakan panggilan hidup dan tugas mulia.
Mereka kemudian memanfaatkan daerah koloni sebagai tempat menjalankan misi
tersebut.

Masuknya bangsa barat

a. Bangsa Portugis

Penjelajahan samudra bangsa Portugis untuk menemukan kepulauan


rempah-rempah diawali dengan ekspedisi Bartholomeus Diaz, yang menjadi
orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Tanjung Harapan di Afrika Selatan
pada 1488. Setelah itu, Vasco da Gama mengikuti dan melanjutkan rute
Bartholomeus Diaz, hingga akhirnya sampai di Calicut, India, pada 1498.
Keberhasilan Vasco da Gama mencapai Calicut dan membawa pulang rempah-
rempah membuat Portugal menempatkan Alfonso de Albuquerque sebagai
wakilnya di India.

Di bawah kepemimpinan Alfonso de Albuquerque, Portugis berhasil


menguasai Goa pada 1510 dan Malaka pada 1511. Keberhasilan itu mendorong
Alfonso de Albuquerque untuk mengirim tiga kapalnya ke kepulauan rempah-
rempah di Indonesia Timur (Maluku). Dua kapal dari armada utusan Alfonso de
Albuquerque yang dipimpin oleh Antonio de Abreau dan Francisco Serrao
berhasil mencapai Ternate pada 1512. Dengan begitu, bangsa barat yang pertama
kali datang di nusantara dan kemudian memonopoli perdagangan rempah-
rempah di Maluku yaitu bangsa Portugis.

Pada awalnya, kedatangan Portugis di Ternate disambut baik oleh Sultan


Ternate yang ingin melawan Tidore. Akan tetapi, dalam perkembangannya
kedatangan Portugis ke nusantara membuat kerajaan - kerajaan Islam merasa
terancam. Kerajaan Islam pertama di nusantara yang dikuasai Portugis adalah
Kerajaan Ternate.

b. Bangsa Spanyol

Sesuai isi Perjanjian Tordesillas yang disetujui bersama Portugal pada 1494,
bangsa Spanyol mencari daerah penghasil rempah-rempah dengan menuju ke
arah barat, melalui Samudera Atlantik. Pada 1519, Spanyol memberangkatkan
ekspedisi yang terdiri dari lima kapal di bawah pimpinan Fernando de
Magelhaens atau Ferdinan Magellan. Rute pelayarannya adalah Spanyol -
Samudera Atlantik - pantai timur Benua Amerika - selat di ujung selatan Benua
Amerika - Samudera Pasifik - Filipina. Rombongan Magellan sampai di Filipina
pada April 1521, tetapi ia justru terbunuh setelah terlibat konflik dengan Mactan.
Setelah itu, ekspedisi dilanjutkan di bawah pimpinan Kapten Sebastian del Cano,
yang sampai di Maluku di tahun yang sama.

Sebastian del Cano mendarat di wilayah Tidore dan disambut baik oleh
rajanya, yang bermusuhan dengan Kerajaan Ternate yang lebih dulu menjalin
kerjasama dengan Portugis. Namun, kedatangan bangsa Spanyol ke Indonesia
untuk pertama kalinya ini hanya berlangsung 40 hari (6 November - 18
Desember 1521). Pasalnya tujuan utama Sebastian del Cano singgah di Tidore
adalah untuk mengisi bahan makanan dan mengisi kapalnya dengan rempah-
rempah, terutama cengkih dan pala.

Keberhasilan Sebastian del Cano dalam mendapatkan rempah-rempah serta


kepercayaan dari raja Tidore membuat raja Spanyol senang dan kembali
mengirimkan armadanya ke Indonesia. Akan tetapi, langkah tersebut oleh
Portugis dianggap sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas. Pada
akhirnya pertempuran antara Spanyol bersama Tidore dan Portugis yang
bersekutu dengan Ternate pun tidak dapat dihindarkan.

c. Bangsa Prancis
Keberhasilan bangsa Portugis mencapai dunia Timur mendorong bangsa-
bangsa Eropa untuk berlayar ke Indonesia. Terlebih lagi, jasa pelaut asing dan
peta navigasi dapat dibeli dengan mudah di Lisabon. Pada 1530, Jean Parmentier
dari Prancis meninggalkan Pantai Normandia untuk menjelajahi Indonesia. Dari
sudut pandang pelayaran, ekspedisi ini sangat berhasil karena dapat mencapai
bagian barat Sumatera dalam waktu tujuh bulan. Kendati demikian, dari sudut
pandang perniagaan, Jean Parmentier dapat dikatakan gagal total. Akibat
kegagalan ini, bangsa Prancis enggan untuk mengulangi upayanya dalam waktu
yang lama.

d. Bangsa Inggris

Ekspedisi penjelajahan samudra oleh bangsa Inggris yang pertama dipimpin


oleh Francis Drake dan Thomas Cavendish. Rombongan itu berangkat pada 1577
dengan mengikuti rute penjelajahan bangsa Spanyol. Pada 1579, armada Francis
Drake berhasil mendarat di Ternate dan memborong rempah-rempah untuk
dibawa kembali ke Inggris. Pada abad ke-17, Inggris kembali melakukan
penjelajahan samudra, tetapi dengan mengikuti rute bangsa Portugis. Inggris
kemudian berhasil menguasai India dan mendirikan kongsi dagang EIC (East
India Company). Dalam perkembangannya, EIC menjadi pesaing utama VOC
dan berusaha menguasai kepulauan nusantara.

e. Bangsa Belanda

Dalam melakukan penjelajahan samudra ke dunia Timur, bangsa Belanda


mengacu pada Pedoman Perjalanan ke Timur yang disusun oleh Jan Huygen van
Lin Schoten pada 1595. Buku tersebut memuat peta dan deskripsi rinci mengenai
penemuan-penemuan bangsa Portugis. Pada 1595, Belanda mengirim sebuah
ekspedisi ke dunia Timur yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Cornelis de
Houtman menjadi rombongan Belanda pertama yang tiba di nusantara pada
1596, tepatnya di Banten. Meski sempat disambut baik, Cornelis de Houtman
akhirnya diusir oleh masyarakat dan pedagang setempat karena sikap buruknya.

Pada 1598, Belanda kembali berusaha menembus Banten dengan mengirim


ekspedisi di bawah pimpinan Jacob van Neck. Proses masuknya bangsa Belanda
ke nusantara yang kedua ini cukup mulus, karena mereka pandai berdiplomasi
dan telah belajar dari pengalaman Cornelis de Houtman. Penerimaan Banten pun
semakin terlihat ketika Belanda diizinkan untuk mendirikan kantor dagang.
Setelah Banten, bangsa Belanda kemudian melanjutkan misinya ke Maluku
untuk menggeser kedudukan bangsa Portugis.

Berdirinya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Dan Hak Oktroi

 Sejarah Lahirnya VOC

Keberhasilan Van Neck berlayar ke Indonesia pada tahun 1600


menjadikan Belanda dalam dua tahun menjadi negara yang kaya
rempah-rempah. Keuntungan yang diperoleh berlipat-lipat sehingga
banyak kongsi dagang dari Negeri Belanda dan negara Eropa lain tergiur
untuk datang ke Indonesia. Akan tetapi, banyaknya rempah- rempah
menjadikan penawaran melebihi permintaan sehingga harga rempah-
rempah jatuh.

Kenyataan ini diperparah dengan bersaingnya kongsi-kongsi


dagang yang berujung saling konflik. Melihat situasi seperti itu, banyak
kalangan mengusulkan agar dibentuk sebuah organisasi dagang sehingga
tahun 1602 terbentuklah serikat dagang untuk wilayah timur yang disebut
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Lidah orang Indonesia
menyebutnya Kompeni. Pemegang sahamnya adalah pedagang- pedagang
besar Belanda.

a. Tujuan berdirinya VOC

1) Menghindari persaingan tidak sehat antarkongsi dagang Belanda.

2) Memperkuat posisi Belanda menghadapi persaingan dagang dengan


bangsa Eropa lain.

3) Monopoli pedagang rempah-rempah di Indonesia.

4) Membantu pemerintah Belanda yang sedang berjuang melawan


pendudukan Spanyol.

b. Hak-hak istimewa (hak Oktroi) VOC VOC berkembang pesat karena


pemerintah Belanda (Hindia Belanda) memberi hak-hak istimewa (hak
Oktroi), yakni:

1) Menjadi wakil sah pemerintah Belanda di Asia.

2) Melakukan monopoli perdagangan.

3) Mencetak dan mengedarkan mata uang sendiri.


4) Melakukan perjanjian dan perang dengan negara lain.

5) Memungut pajak.

6) Memiliki angkatan perang sendiri.

7) Menyelenggarakan pemerintahan sendiri.

Dengan wewenang seperti itu, perkumpulan dagang seperti VOC


bertindak layaknya seperti sebuah negara sehingga tidak heran jika dalam
waktu lima tahun VOC mempunyai 15 armada dan sangat berkuasa.

 Kebijakan-Kebijakan VOC di Indonesia

1) Memberlakukan dua jenis pajak kepada rakyat. Pertama, pajak


contingenten, yaitu pajak hasil bumi yang langsung dibayarkan kepada
VOC. Pajak ini diterapkan terhadap jajahan langsung, misalnya Batavia.
Kedua, pajak verplichete leverente, yaitu penyerahan wajib hasil bumi
dengan harga yang telah ditentukan VOC. Pajak ini diterapkan terhadap
daerah jajahan yang secara tidak langsung dikuasai, misalnya Kerajaan
Mataram Islam.

2) Menyingkirkan pedagang-pedagang lain, baik pedagang negara Eropa


lain maupun pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Melayu. Hal ini dilakukan
untuk monopoli rempah- rempah.

3) Menentukan luas areal penanaman rempah-rempah. Kebijakan ini


diterapkan di Maluku.

4) Melakukan kebijakan ekstirpasi, yakni penebangan kelebihan jumlah tanaman


rempah rempah agar harga tetap dipertahankan. Untuk melindungi
kebijakan tersebut, Belanda melakukan pelayaran Hongi, yakni pelayaran
menggunakan perahu kecil (kora-kora) untuk patroli terhadap
penyelundupan rempah-rempah.

5) Mewajibkan kerajaan-kerajaan untuk menyerahkan upeti setiap tahun kepada


VOC.

6) Mewajibkan rakyat menanam tanaman tertentu, misalnya kopi, dan


hasilnya dijual kepada VOC dengan harga yang sudah ditentukan oleh VOC.

Langkah-langkah VOC Dalam rangka mendukung kebijakan-kebijakan, VOC


melakukan dua hal sebagai berikut.

1) Menggunakan cara kekerasan


Bila ada raja atau sultan yang menolak berdagang dengan syarat-syarat
yang telah ditentukan VOC, maka raja tersebut ditangkap dan diasingkan
ke daerah lain. Selanjutnya, VOC mengangkat raja atau sultan baru yang
menuruti kemauan VOC.

2) Taktik jitu devide et impera

Devide et impera secara harfiah artinya “pecah belah dan kuasai”. Salah
satu bentuknya adalah dengan mencampuri urusan dalam negeri setiap
kerajaan. Caranya, apabila ada konflik internal di suatu kerajaan atau
dengan kerajaan lain, VOC akan mendatangi salah satu kerajaan untuk
menawarkan bantuan. Ketika tawaran bantuan tersebut diterima, VOC
akan membantu mengalahkan kerajaan lain dengan berbagai syarat atau
perjanjian. Isinya imbalan monopoli perdagangan atau mendapatkan
sebagian wilayah yang dikalahkan. Monopoli perdagangan adalah
VOC mengharuskan para petani menjual rempah-rempahnya kepada VOC
dan tidak boleh kepada kongsi dagang lain dengan harga yang sudah
ditentukan sendiri oleh VOC.

Dengan cara itu, pada tahun 1669, VOC merupakan perusahaan dagang
terkaya sepanjang sejarah. VOC memiliki 150 kapal dagang, 40 kapal
perang, 50.000 pekerja, 10.000 tentara, dan pembayaran deviden (sistem
pembagian keuntungan) sebanyak 40%. Seorang filsuf dari Jerman yang
bernama Karl Marx (1818-1883) menulis dalam bukunya yang berjudul
Das Salam Historia VOC merupakan perusahaan internasional pertama
di dunia. Anggota kongsi ini tidak hanya orang-orang Belanda, tetapi juga
ada orang Spanyol, Portugis, dan Inggris. Yang mengejutkan, mereka
kebanyakan merupakan bekas-bekas penjahat yang kemudian
bergabung dengan VOC sehingga tidak mengherankan bila VOC hancur
akibat korupsi yang merajalela. Das Capital menyebut VOC sebagai salah
satu korporasi pertama dalam sejarah dunia yang paling jahat dan rakus.
Sejarawan Onghokham pernah mengatakan bahwa kolonialisme di Jawa
bukan dengan operasi militer, melainkan lebih banyak dengan melakukan
perjanjian dengan raja atau pangeran setempat. Jumlah tentara VOC dan
Hindia Belanda tidaklah terlalu besar, tetapi hanya kuat secara finansial.

 Sebab-sebab Kehancuran VOC


Setelah berkuasa kurang dari 200 tahun, VOC tidak lagi dapat
mempertahankan hegemoni perdagangannya. Tahun 1799, VOC dibubarkan
oleh Belanda. Sebab-sebab VOC dibubarkan adalah sebagai berikut.

a. Faktor Internal

Persaingan dagang dan korupsi di semua tingkatan, menjadi penyebab


hancurnya VOC yaitu.

1) Menyunat keuntungan yang menjadi hak VOC.

2) Menyunat uang kas dan anggaran.

3) Menggelembungkan anggaran agar kelebihan masuk ke


kantong sendiri.

4) Dalam mengangkat bupati melakukan pungutan liar.

5) Melakukan penyuapan untuk duduk di jabatan-jabatan 19 VOC.

6) Memaksa penduduk menyerahkan upeti.

7) Sengaja membiarkan pedagang liar beroperasi sehingga


mendapatkan sumber pungutan liar.

8) Memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi lebih dari ketentuan.

9) Apabila menjadi karyawan VOC harus menyuap pejabat VOC.

10) Sebagai pejabat VOC berdagang rempah-rempah untuk dirinya sendiri,


bukan atas nama VOC.

11) Perdagangan gelap merajalela karena difasilitasi pejabat VOC yang korup
karena mereka mendapat setoran pungutan liar.

12) Anggaran penggajian pegawai semakin besar sedangkan penghasilan


VOC semakin menipis.

13) Biaya perang untuk menghadapi perlawanan raja/sultan sangat besar


sehingga utang VOC terus menumpuk. 1). Adanya persaingan dagang
dari Eropa lain seperti Inggris dan Prancis. 2). Pemasukan kecil serta
utang menumpuk menyulitkan VOC memberikan bagi hasil kepada
pemegang saham VOC.

b. Faktor Eksternal
Belanda di Eropa dikuasai oleh Prancis tahun 1795 di bawah pimpinan
Napoleon Bonaparte yang kemudian mengganti namanya menjadi Republik
Bataaf (1795-1806). Perubahan politik ini memengaruhi VOC karena
pemerintahan di bawah Napoleon menyerukan “republikanisme-kebebasan
kesetaraan”. Kebijakan VOC menurut Napoleon bertentangan dengan
kebebasan dan kesetaraan. Untuk itu, VOC harus dibubarkan. VOC pun
dibubarkan pada tahun 1799.

Republik Bataaf

Ketika VOC dibubarkan pada tahun 1799, terjadi kekosongan


kekuasaan di Nusantara. Sementara itu, Inggris mengincar Nusantara untuk
dikuasai. Saat itu antara Belanda dengan Prancis menjadi sekutu di Eropa
untuk menghadapi Inggris. Jawa merupakan daerah koloni Belanda-
Perancis yang belum dikuasai Inggris. Untuk itu, Belanda-Prancis
mengangkat seorang gubernur jenderal agar Inggris tidak bisa masuk ke
Jawa.

Tugas berat gubernur jenderal ini adalah menghadapi serangan


Inggris secara tiba-tiba. Dengan demikian, dalam kurun waktu 1806-
1811, Nusantara menjadi jajahan Prancis karena sekutu Belanda-Prancis
dipimpin oleh Prancis walaupun pejabat yang memerintah masih
didominasi orang-orang Belanda. Adapun pejabat tersebut adalah sebagai
berikut.

1. Herman Willem Daendels (1808-1811)

Daendels memegang dua tugas, yaitu mempertahankan Pulau Jawa


agar tidak jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki tanah jajahan dari
pengaruh korupsi. Untuk itulah kekuasaan periode ini tidak semata-mata
memperoleh keuntungan ekonomi, tetapi mempertahankan hegemoni
selama mungkin. Daendels menyadari bahwa sekutu Prancis-Belanda tidak
akan mampu menandingi kekuatan armada Inggris. Untuk itu, Daendels
menerapkan kebijakan sebagai berikut.

a. Membangun jalan raya dari Anyer (ujung barat Jawa) sampai


Panarukan ( ujung timur Jawa) agar tentaranya dapat bergerak dengan cepat.
Selain itu juga untuk mengangkut kopi dari pedalaman Priangan ke
Pelabuhan Cirebon. Dalam pembangunan itu, Daendels menerapkan
kebijakan menghidupkan lagi kerja wajib (verplichte diensten) serta
kebijakan wajib penyerahan hasil bumi (verplichte leverantie).
b. Membangun benteng pertahanan, contohnya Benteng Lodewijk di
Surabaya.

c. Membangun pangkalan angkatan laut di Merak dan Ujung Kulon.

d. Mendirikan pabrik senjata di Surabaya.

Daendels tidak menyukai raja-raja Jawa karena semangatnya yang anti


feodalis. Dia memang pengagum Napoleon Bonaparte yang menyebarkan
paham republikanisme, kebebasan, kesetaraan. Kebijakan yang antifeodal
tampak pada sikapnya terhadap Raja Solo dan Raja Yogyakarta, yakni:

a. Semua Raja Jawa harus mengakui Raja Belanda, junjungannya.

b. Mengangkat pejabat Belanda dengan sebutan minister.

c. Jika di VOC seorang residen Belanda ketika menghadap raja diperlakukan


sama seperti seorang bupati dengan duduk di lantai dan
mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat kepada Raja 22 Jawa,
maka minister tidak diperlakukan seperti itu. Minister duduk sejajar
dengan raja dan tidak perlu mempersembahkan sirih sebagai tanda
hormat.

d. Ketika minister datang ke keraton harus disambut raja.

e. Ketika bertemu di jalan dengan raja, minister tidak perlu turun dari
kereta, tetapi cukup membuka jendela.

Melihat tindakan Daendels seperti itu, Sultan Hamengkubuwono II


membangkang dan akhirnya Daendels menyerbu Yogyakarta lalu
menurunkan Sultan Hamengkubuwono II dan menggantikannya dengan
Sultan Hamengkubuwono III yang masih kecil.

Sikap yang kedua ialah terhadap Raja Banten. Daendels


mengasingkan Raja Banten karena menentang pembangunan jalan Anyer-
Panarukan. Karena otoriter, Daendels dipanggil ke Belanda. Ada dua versi
sebab Daendels dipanggil, yakni tenaganya diperlukan untuk memimpin
tentara Prancis menghadapi Rusia atau hubungannya yang buruk dengan
raja-raja Jawa dikhawatirkan merugikan Belanda jika Inggris menyerbu
Jawa.

2. Jan Willem Janssen (1811-1811)


Pada masa Janssen menjabat (20 Februari sampai 18 September 1811),
Inggris menyerbu Jawa melalui darat dan laut sehingga Janssen menyerah
di Tuntang (Jawa Tengah) dengan membuat perjanjian Tuntang yang isinya
sebagai berikut. a. Pulau Jawa dan sekitarnya jatuh ke tangan Inggris. b.
Tentara yang dahulu anak buah Daendels menjadi tentara Inggris. c. Orang-
orang Belanda dapat dipekerjakan oleh Inggris. Dengan penjanjian
Tuntang ini, berarti Nusantara jatuh ke tangan pemerintahan Inggris.

Pemerintahan Inggris

Peristiwa Belanda menyerah kepada Inggris melalui Kapitulasi Tuntang


(1811), menjadi awal pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Thomas Stamford
Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur EIC di Indonesia. Ia memegang
pemerintahan selama lima tahun (1811-1816) dengan membawa perubahan berasas
liberal.

Pendudukan Inggris atas wilayah Indonesia tidak berbeda dengan


penjajahan bangsa Eropa lainnya. Raffles banyak mengadakan perubahan-
perubahan, baik di bidang ekonomi maupun pemerintahan. Raffles bermaksud
menerapkan politik kolonial seperti yang dijalankan oleh Inggris di India. Kebijakan
Daendels yang dikenal dengan nama Contingenten diganti dengan sistem sewa
tanah (Landrent). Sistem sewa tanah disebut juga sistem pajak tanah. Rakyat atau
para petani harus membayar pajak sebagai uang sewa, karena semua tanah
dianggap milik negara. Berikut ini pokok-pokok sistem Landrent.

1. Penyerahan wajib dan wajib kerja dihapuskan.


2. Hasil pertanian dipungut langsung oleh pemerintah tanpa perantara bupati.

3. Rakyat harus menyewa tanah dan membayar pajak kepada pemerintah


sebagai pemilik tanah.

Pemerintahan Raffles didasarkan atas prinsip-prinsip liberal yang hendak


mewujudkan kebebasan dan kepastian hukum. Prinsip kebebasan mencakup
kebebasan menanam dan kebebasan perdagangan. Kesejahteraan hendak
dicapainya dengan memberikan kebebasan dan jaminan hukum kepada rakyat
sehingga tidak menjadi korban kesewenang-wenangan para penguasa.

Dalam pelaksanaannya, sistem Landrent di Indonesia mengalami kegagalan, karena:


 sulit menentukan besar kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya
berbeda
 sulit menentukan luas sempit dan tingkat kesuburan tanah

 terbatasnya jumlah pegawai

 masyarakat pedesaan belum terbiasa dengan sistem uang

Tindakan yang dilakukan oleh Raffles berikutnya adalah membagi


wilayah Jawa menjadi 16 daerah karesidenan. Hal ini mengandung maksud untuk
mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah yang
dikuasai. Setiap karesidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh
asisten residen. Di samping itu Thomas Stamford Raffles juga memberi sumbangan
positif bagi Indonesia yaitu:

1. membentuk susunan baru dalam pengadilan yang didasarkan pengadilan


Inggris
2. menulis buku yang berjudul History of Java

3. menemukan bunga Rafflesia-arnoldii

4. merintis adanya Kebun Raya Bogor

Perubahan politik yang terjadi di Eropa mengakhiri pemerintahan Raffles di


Indonesia. Pada tahun 1814, Napoleon Bonaparte akhirnya menyerah kepada
Inggris. Belanda lepas dari kendali Prancis. Hubungan antara Belanda dan Inggris
sebenarnya akur, dan mereka mengadakan pertemuan di London, Inggris.
Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang tertuang dalam Convention of
London 1814. Isinya Belanda memperoleh kembali daerah jajahannya yang dulu
direbut Inggris. Status Indonesia dikembalikan sebagaimana dulu sebelum perang,
yaitu di bawah kekuasaan Belanda. Penyerahan wilayah Hindia Belanda dari
Inggris kepada Belanda berlangsung di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1816.
Inggris diwakili oleh John Fendall dan Belanda diwakili oleh Mr. Ellout, van der
Capellen, dan Buyskes.

Pemerintahan Hindia Belanda

 Cultuurstelsel & Politik Pintu Terbuka


Pada masa Van den Bosch (1830-1870) sebagai gubernur jenderal
yang baru diberi tugas menyelamatkan keuangan Negeri Belanda. Untuk
tugas itu, Van den Bosch menerapkan kebijakan sebagai berikut. Bosch
menghapus sistem sewa tanah peninggalan Raffles dan menggantinya
dengan sistem yang disebut cultuurstelsel. Secara harfiah, cultuurstelsel
berarti sistem budaya. Oleh bangsa Indonesia, sistem itu disebut Tanam
Paksa atau TP, karena dalam praktiknya rakyat dipaksa menanam tanaman
ekspor seperti kopi, tarum (nila), tebu, tembakau, kayu manis, dan kapas.

Kebijakan tanam paksa adalah sebagai berikut. 1) Mewajibkan


setiap desa menyisakan 20 persen tanah untuk ditanami kopi, tebu, dan
nila. Hasilnya dijual kepada pemerintah dengan harga yang sudah
ditentukan. Tanah yang digunakan untuk tanam paksa bebas dari pajak.
2) Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian wajib mengerjakan tanah
pertanian milik pemerintah selama 66 hari. 3) Waktu mengerjakan tanaman
tidak boleh melebihi waktu tanam padi, yakni tiga bulan. 4) Kelebihan hasil
produksi akan dikembalikan kepada rakyat. 5) Kerugian tanaman akibat
bencana alam atau serangan hama sehingga gagal panen akan ditanggung
oleh pemerintah. 6) Pengawasan dalam penggarapan tanam paksa
dilakukan oleh para kepala desa.

Dalam pelaksanaannya, ternyata tanam paksa berbeda jauh dari konsep


awalnya, yaitu sebagai berikut. 1) Tanah milik petani digunakan
seluruhnya untuk tanam paksa. 2) Tanah yang digunakan tanam pajak
tetap dikenakan pajak. 3) Warga yang tidak mempunyai tanah tetap
bekerja di tanah pertanian pemerintahan selama satu tahun penuh.

Bagi pemerintah Hindia Belanda, sistem TP berhasil dengan luar


biasa. Kas Belanda menjadi surplus sehingga Bosch dipuja-puja sebagai
tokoh yang memakmurkan dan menyejahterakan Negeri Belanda. Atas
“jasanya” itu, Bosch diberi gelar bangsawan de Graaf. Gelar ini diberikan
untuk orang-orang yang berjasa kepada negara. Namun demikian, Sistem
TP banyak mendapat kritik dari berbagai pihak, termasuk orang-orang
Belanda sendiri karena dianggap lebih kejam dari zaman VOC.

Salah satu pengkritik yang paling keras adalah Eduard Douwes


Dekker. Kritiknya ditulis dalam sebuah buku (novel) berjudul Max
Havelaar dengan menggunakan nama samaran Multatuli. Isi buku (novel)
itu menjelaskan kisah petani yang menderita karena kebijakan
sewenang-wenang Belanda dan bertentangan dengan moral Eropa saat
itu yang menjunjung tinggi semangat Revolusi Perancis: kesamaan,
kebebasan, dan persaudaraan. Sistem TP kemudian dihapus pada tahun
1870 setelah dikeluarkan Undang-undang Agraria dan Undang-undang
Gula.

Tujuan dikeluarkan Undang-undang Agraria adalah sebagai


berikut. 1) Melindungi hak milik petani dari penguasa dan modal asing.
Hal ini reaksi dari pemerintah Belanda yang mengambil alih tanah rakyat
dalam TP. 2) Pemodal asing dapat menyewa tanah rakyat seperti halnya di
Inggris, Amerika, Jepang, dan Cina. 3) Membuka kesempatan rakyat untuk
bekerja menjadi buruh perkebunan.

Sementara itu, Undang-undang Gula memberi kesempatan kepada para


pengusaha gula untuk mengambil alih pabrik gula milik pemerintah
Belanda. Penerapan kedua undang-undang itu melatarbelakangi para
pengusaha swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga
era liberalisasi ekonomi dimulai di Indonesia.

Politik Pintu Terbuka (1870-1900) 28 Tahun 1850, partai liberal di


Belanda memenangkan pemilu sehingga partai ini menjalankan
pemerintahan. Perkembangan liberalisme di Belanda dipicu oleh semangat
Revolusi Perancis dan revolusi industri Inggris. Dampak dari
kemenangan partai liberal adalah diterapkannya sistem ekonomi liberal,
termasuk di negeri jajahan (Indonesia). Karena tergantung kepada modal
individu dan swasta untuk menggerakkan perekonomian, maka sistem
ini disebut sistem kapitalisme.

1) Penerapan Sistem Pintu Terbuka.

Di Indonesia, sistem ekonomi liberal diwujudkan dalam bentuk


kebijakan pintu terbuka. Hal tersebut sesuai dengan maksud utama
kebijakan ini, yaitu membuka ruang (pintu) seluas-luasnya bagi
swasta untuk melakukan kegiatan ekonomi. Kebijakan ini berhasil
menarik minat banyak pengusaha, baik dari asing maupun dari etnis
Tionghoa untuk menanamkan modalnya secara besar- besaran.
Tidak hanya dalam bidang perkebunan, tetapi juga pertambangan.
Berikut ini contoh perkebunan milik swasta asing yang ada di
Indonesia.
1. Perkebunan tembakau di Deli (Sumatra Utara), Kedu, Klaten, dan
lain-lain.

2. Perkebunan tebu di Cirebon dan Semarang.

3. Perkebunan kina di Jawa Barat.

4. Perkebunan karet di Palembang dan Sumatra Timur.

5. Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.

6. Perkebunan teh di Jawa Barat.

7. Bersamaan dengan itu, para pengusaha juga mendirikan


pabrik teh, tembakau, gula, rokok, dan pabrik cokelat. Sementara
itu, pertambangan berkembang di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.
Batubara di Sumatra Barat dan Selatan, sedangkan timah di Pulau
Bangka.

2) Dampak Kebijakan Pintu Terbuka.

dampak dari Kebijakan Pintu terbuka? Bagi Belanda dan penguasa


asing berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka,
sedangkan bagi rakyat berdampak pada kesengsaraan dan
penderitaan. Kebijakan ini menjadi tempat eksploitasi baru yang
tidak berbeda dengan TP. Eksploitasi tersebut adalah eksploitasi
manusia dan eksploitasi agraria.

 Eksploitasi Manusia.

Eksploitasi manusia ialah pengerahan tenaga manusia yang


diwarnai tipu daya dan paksaan, ketidakadilan, serta
kesewenang-wenangan yang mereka alami di perkebunan.
Contohnya adanya hukuman cambuk terhadap para kuli yang
melakukan pelanggaran selama bekerja di perkebunan
tembakau di Deli, Sumatra. Bagi yang melarikan diri
mendapat hukuman denda, disekap, kerja tanpa upah, bahkan
dibunuh. Kebijakan ini juga ditandai dengan pengiriman secara
besar-besaran dan secara paksa tenaga kerja dari Jawa
untuk dipekerjakan di perkebunan perkebunan Belanda di
tanah jajahannya yang lain seperti di Suriname dan Guyana.
Sekitar tahun 1890-an, orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang dikirim ke Suriname mencapai 32.965 orang.
Setelah kemerdekaan, mereka hanya sebagian kecil yang
kembali ke Indonesia. Perhitungan tahun 1972 sebanyak 57.688
keturunan Jawa berada di Suriname dan pada tahun 2004
berjumlah 71.879.

 Eksploitasi Agraria.

Eksploitasi agraria tampak dalam bentuk penggunaan


lahan-lahan produktif yang sedang dikerjakan rakyat maupun
lahan-lahan kosong yang masih berupa hutan untuk dijadikan
perkebunan serta areal pertambangan. Pemanfaatan lahan
produktif umumnya di Jawa, sedangkan perkebunan di Sumatra,
dengan menggunakan lahan-lahan yang masih kosong. Ada
beberapa dampak negatif dari kebijakan pintu terbuka bagi
masyarakat Jawa, yakni sebagai berikut.

 Para priayi dan birokrat kesultanan menyewakan tanah


lungguhnya kepada para pengusaha perkebunan swasta
asing karena lebih menguntungkan daripada disewakan
kepada para petani penggarap.

 Di lahan-lahan perkebunan tenaga kerjanya dari rakyat 30


Jawa dan sistem pengupahannya tidak adil karena sangat
murah.

 Sebagian dari rakyat Jawa dikirim ke Suriname untuk


bekerja di perkebunan Belanda.

 Para bupati di 18 wilayah keresidenan di Jawa ikut


menyewakan sebagian tanahnya kepada pengusaha
perkebunan asing dan memaksa rakyat di 18 keresidenan
tersebut bekerja diperkebunan-perkebunan tersebut.

 Reaksi Terhadap Kebijakan Pintu Terbuka. Kebijakan tersebut


sebagai tempat untuk mengeksploitasi rakyat sehingga
Belanda semakin makmur. Hal ini membuat kaum humanis
bersuara lantang. Sudah berabad-abad rakyat menderita demi
kemakmuran Belanda sehingga sudah sepantasnya Belanda
membalas budi dengan memajukan bangsa Indonesia,
bukannya menyengsarakannya. Itulah gagasan dasar yang
mendorong lahirnya politik etis. Salah satu penggagas
munculnya politik etis adalah Van Deventer. Menurutnya,
pemerintah Belanda harus melakukan sesuatu demi
kesejahteraan kaum pribumi.

Politik Etis

Kebijakan politik etis menyangkut dua bidang, yakni politik dan


ekonomi. Dalam bidang politik adalah diberlakukannya kebijakan
desentralisasi, yaitu memberikan ruang, peran, serta Salam Historia
Dari orang-orang Belanda ternyata ada yang peduli terhadap
penderitaan rakyat, yakni Eduard Douwes Dekker (Multatuli). Dialah yang
menghentikan praktek jahat Tanam Paksa karena karya novelnya yang
berjudul “Akulah yang Menderita” atau Max Havelaar. Sikap kritis
terhadap pemerintah Belanda rupanya menurun pada cucunya yang
bernama Ernest Francois Eugene Dekker alias Ernest Douwes Dekker
(Danudirja Setyabudi), pendiri Indische Partij yang tergabung dalam
kelompok tiga serangkai bersama Ki Hadjar Dewantara dan Cipto
Mangunkusuma. kesempatan bagi orang-orang Indonesia untuk
memikirkan nasib dan masa depannya sendiri dengan melibatkan mereka
di dewan-dewan lokal, yaitu sebuah dewan rakyat (masuk dalam
pemerintahan) yang dikenal dengan Volksraad (Dewan Rakyat). Dewan ini
semacam Dewan Perwakilan Rakyat. Melalui dewan ini, aspirasi rakyat
disalurkan melalui wakil-wakilnya yang duduk di dewan ini.

1) Rencana Politik Etis.

Dalam bidang ekonomi diberlakukan Trias van Deventer, yaitu:


1. Irigasi (pengairan) yaitu membangun dan memperbaiki
pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian. 2. Migrasi
yaitu mengajak rakyat untuk bertransmigrasi sehingga terjadi
keseimbangan jumlah penduduk. 3. Edukasi yaitu
menyelenggarakan pendidikan dengan memperluas bidang
pengajaran dan pendidikan.

2) Penyimpangan Politik Etis.

Sekilas gagasan van Deventer sangat mulia, tetapi pada kenyataanya


tidak seindah gagasannya. Penyimpangan tersebut antara lain
sebagai berikut. 1. Irigasi. Perairan hanya dialirkan kepada tanah-
tanah perkebunan swasta, bukan tanah-tanah pertanian rakyat. 2.
Migrasi. Rakyat yang diberangkatkan ke luar Pulau Jawa ternyata
hanya untuk bekerja di perkebunan milik pengusaha Belanda dan
asing. Rakyat yang ikut program ini dijadikan kuli kontrak seperti di
Lampung dan Sumatra Utara. Karena tidak sesuai dengan tujuan
awal, banyak rakyat melarikan diri dan kembali ke daerah asal. Bagi
yang melarikan diri dan tertangkap akan diberi hukuman dan
dikembalikan untuk bekerja lagi. 3. Edukasi. Pengajaran hanya
untuk anak-anak pegawai negeri, bangsawan, dan orang-orang
mampu dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Rakyat
biasa hanya diberi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung
sampai kelas 2 dengan pengantar bahasa Melayu. Politik etis dalam
bidang pengajaran juga tidak mengakomodasi orang asing seperti
Cina dan Arab. Untuk itu, orang Cina mendirikan pendidikan Tiong
Hoa Hak Tong dan Arab mendirikan madrasah. Pelaksanaan
pendidikan yang tidak merata mendorong munculnya sekolah
nonpemerintah seperti Taman Siswa, Perguruan
Muhammadiyah, dan pendidikan kaum perempuan yang digagas
R.A. Kartini.

3) Dampak Politik Etis.

Terlepas dari segala penyimpangan, ternyata politik etis membawa


efek positif bagi pendidikan di Indonesia. Salah satu orang dari
kelompok etis yang bernama Mr. Abendanon (sahabat R.A. Kartini)
berjasa mendirikan sekolah- sekolah, baik untuk priayi maupun
rakyat biasa. Kian terbukanya sekolah- sekolah untuk pribumi
menjadikan pemuda Indonesia berilmu, tetapi juga berwawasan
luas dan sadar politik sehingga lahirlah Dr. Wahidin Sudirohusodo,
Dr. Sutomo, sampai pada tokoh sentral seperti Ir. Sukarno.

Perlawanan menentang penjajah

Perlawanan Raja-Raja Lokal Terhadap VOC

Setelah VOC menancapkan pengaruhnya dengan tujuan menguasai


kerajaan-kerajaan dan melakukan monopoli perdagangan, banyak kerajaan
lokal yang menentang dan melakukan perlawanan. Berikut ini perlawanan
perlawanan terhadap VOC.
1. Sultan Agung Hanyokrokusumo di Mataram (1628–1629) Kerajaan
Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan
Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Daerah kekuasaannya meliputi
hampir seluruh Pulau Jawa. Hanya Jawa Barat yang belum masuk wilayah
Mataram. Pada mulanya, hubungan antara Mataram dengan VOC berjalan
baik. Dibuktikan dengan diperbolehkannya VOC mendirikan kantor
dagang di wilayah Mataram tanpa membayar pajak. Namun, akhirnya
VOC menunjukkan sikap yang tidak baik, ingin memonopoli perdagangan
di Jepara.
Tuntutan VOC tersebut ditolak oleh Bupati Kendal bernama
Baurekso, yang bertanggung jawab atas wilayah Jepara. Namun,
penolakan itu tidak menyurutkan keinginan VOC. Persekutuan dagang
VOC tetap melaksanakan monopoli perdagangannya. Hal ini
membangkitkan kemarahan rakyat Mataram sehingga kantor VOC
diserang. Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, membalasnya
dengan memerintahkan pasukannya untuk menembaki daerah Jepara.
Menyikapi peristiwa tersebut, Sultan Agung bertekad menyerang Kota
Batavia. Penyerangan Sultan Agung terhadap VOC di Kota Batavia
dilakukan sebanyak dua kali.

Serangan pertama dilakukan tahun 1628. Pada pertengahan bulan


Agustus 1628, secara tiba-tiba armada Mataram muncul di perairan Kota
Batavia. Mereka segera menyerang benteng VOC. Berikut ini panglima-
panglima Sultan Agung. a. Tumenggung Baurekso. b. Tumenggung Sura
Agul-agul. c. Kyai Dipati Manduro- Rejo. d. Kyai Dipati Uposonto.

Dalam perlawanan tersebut, Tumenggung Baurekso gugur beserta


putranya. Pasukan Sultan Agung menggunakan taktik perang yang tinggi,
antara lain dengan membendung sungai Ciliwung, (seperti waktu
penyerangan di Surabaya). Namun, penyerangan kali ini mengalami
kegagalan. Akhirnya, pasukan Sultan Agung terpaksa mengundurkan diri.
Meskipun gagal, tetapi tidak membuat Sultan Agung dan pasukannya,
para bangsawan serta rakyatnya patah semangat. Kemudian, disusunlah
strategi baru untuk persiapan serangan kedua.

Serangan kedua dilaksanakan pada tahun 1629 dengan perencanaan


yang lebih sempurna, antara lain sebagai berikut. a. Persenjataan
dilengkapi dengan senjata api dan meriam. b. Pasukan berkuda dan
beberapa gajah. c. Persediaan makanan yang cukup dan pengadaaan
lumbung lumbung padi di Tegal dan Cirebon.

Serangan kedua ini berhasil menghancurkan Benteng Hollandia dan


menewaskan J.P. Coen sewaktu mempertahankan Benteng Meester
Cornellis. Karena banyak pasukan yang tewas, daerah itu dinamakan
Rawa Bangke. Rupanya, VOC dapat mengetahui tempat lumbung
padi di Tegal dan Cirebon. Kemudian, lumbung lumbung itu
dibakar. Akhirnya, serangan kedua ini juga mengalami kegagalan. Kedua
serangan yang gagal ini tidak membuat Sultan Agung putus asa. Dia
telah memikirkan untuk serangan selanjutnya. Namun, sebelum
rencananya terwujud, Sultan Agung mangkat (1645). Kegagalan yang
menyebabkan kekalahan itu, antara lain sebagai berikut. a. Pasukan lelah
karena jarak Mataram (sekarang Yogyakarta) menuju Batavia (Jakarta)
sangat jauh. b. Kekurangan persediaan makanan (kelaparan). c. Kalah
dalam persenjataan. d. Banyak yang meninggal akibat penyakit malaria.

Setelah Sultan Agung mangkat (wafat) pada tahun 1645,


kedudukan sultan digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan
Amangkurat I. Sunan Amangkurat I dalam menjalankan politik
pemerintahannya melakukan kerja sama dengan VOC. Pada tahun 1646
diadakan perjanjian bilateral antara Mataram dengan VOC. Isi perjanjian itu
sangat merugikan Mataram. Adapun isi perjanjian sebagai berikut. a.
Mataram mengakui kekuasaan VOC di Batavia dan VOC mengakui
kekuasaan Amangkurat I di Mataram. b. Apabila ada utusan Mataram
yang akan bepergian ke luar negeri akan diangkut oleh kapal-kapal VOC. c.
Kapal-kapal Kesultanan Mataram diperbolehkan melintasi Selat Malaka
dengan seizin VOC. d. Mataram tidak diperkenankan mengadakan
hubungan dagang dengan Maluku. e. Apabila terjadi peperangan, masing-
masing tidak akan saling membantu musuh. Dengan ditandatanganinya
perjanjian ini, maka Mataram di bawah Amangkurat I mengakui
kedaulatan VOC.

2. Perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makassar (1666 - 1667)

Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan


kecil seperti Gowa, Tallo, Sopeng, dan Bone. Di antara kerajaan itu
yang paling kuat secara ekonomi dan militer adalah kerajaan Gowa atau
Makassar. Adapun kondisi yang membuat Makassar menjadi kerajaan yang
penting karena hal-hal berikut.
a. Letak Makassar yang sangat strategis dalam lalu lintas
perdagangan, yakni
Malaka-Batavia-Maluku.

b. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) membuat saudagar-


saudagar Arab, India, dan Melayu berpindah ke Makassar.
c. Posisi Makassar sebagai pelabuhan transit yang berasal dari
Kesultanan Banjar

(Banjarmasin).

mulanya, hubungan VOC dengan Makassar berjalan dengan baik. Posisi


strategis Makassar memperkuat hubungan tersebut. Setelah VOC
menerapkan kebijakan monopoli perdagangan di Goa, hubungan mereka
menjadi retak. VOC ingin menguasai perdagangan Malaka-Batavia-
Maluku. Sebagai balasannya, Makassar selalu menerobos monopoli VOC
yang memicu ketegangan yang berujung pada peperangan. Perang
diawali dengan perampasan armada VOC di Maluku oleh pasukan
Hasanuddin. Tindakan ini memicu perang yang kemudian dikenal dengan
Perang Makassar (1666-1669). Dalam perang itu, VOC bersekutu dengan
Aru Palaka, Raja Bone yang sedang berseteru dengan Kerajaan Gowa.
Karena kalah persenjataan, maka Kesultanan Gowa dapat dikalahkan dan
Sultan Hasanuddin tunduk pada Perjanjian Bongaya (1667) yang sangat
merugikan Kerajaan Gowa. Isi perjanjian itu adalah:
a. Gowa harus mengakui monopoli
perdagangan VOC.
b. Pedagang dari Barat kecuali VOC harus
meninggalkan Gowa. c. Gowa harus membayar
kerugian perang.

d. VOC akan membangun banteng-benteng di


Makassar. e. Gowa harus mengakui kedaulatan
Kesultanan Bone.

3. Untung Suropati di Jawa (1685 - 1706)

Suropati melawan VOC terjadi pada tahun 1685-1706. Nama


lengkapnya adalah Untung Surapati atau Untung Suropati. Ia adalah bekas
seorang budak yang berasal dari Bali. Setelah menjadi orang bebas, ia
masuk dinas militer VOC. Karena kecakapan dan kepribadiannya yang
kuat, ia dapat mencapai pangkat letnan.

Kemudian, ia mendapat tugas mengadakan operasi militer di daerah


Banten dan Priangan. Dalam operasi itu, Suropati berhasil menangkap
Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya menyerahkan kerisnya kepada
Untung Suropati. Namun secara kesatria, Suropati mengembalikan keris
itu kepada Pangeran Purbaya. Wakil Suropati, seorang pembantu
letnan bangsa Belanda bernama Kuffeler, tidak menyetujui kebijakan
Suropati itu.

Dengan sombong, ia menghina Suropati sebagai atasannya, karena


Suropati seorang pribumi. Maka, terjadilah perselisihan antara keduanya.
Dalam perselisihan itu, Kuffeler mati terbunuh. Sejak itulah Suropati keluar
dari dinas tentara VOC, kemudian mengadakan perlawanan di daerah
Priangan.

Ketika VOC mengirimkan pasukan untuk menangkapnya, ia telah


menyingkir ke Kartasura. Kemudian, VOC mengirimkan pasukan ke
Kartasura di bawah pimpinan Kapten Tack. Dalam pertempuran di
Kartasura, Kapten Tack dan sebagian besar anak buahnya terbunuh oleh
pasukan Surapati. Kemudian, Suropati dan anak buahnya bergerak ke
Jawa Timur dan mendirikan kerajaan kecil di Pasuruan. Sementara itu, di
Mataram terjadi pergantian takhta. Sunan Amangkurat II wafat pada tahun
1703. Ia digantikan oleh putranya, Sunan Amangkurat III, yang juga
terkenal dengan sebutan Sunan Mas.

Dari tindakan-tindakannya, tampaklah bahwa Sunan Mas memihak


perjuangan Suropati. Oleh sebab itu, VOC mencalonkan Pangeran Puger
sebagai raja baru. Dengan dukungan VOC, Pangeran Puger dapat
menggeser kedudukan Sunan Mas.

Setelah naik takhta, Pangeran Puger bergelar Paku Buwono I.


Namun, ia harus menandatangani perjanjian dengan VOC pada tahun
1705. Sementara itu, setelah kedudukannya tergeser, Sunan Mas
menggabungkan diri dengan Untung Suropati di Jawa Timur. Pada tahun
1706, VOC mengirimkan tentara yang kuat ke Jawa Timuruntuk
menyerang Suropati. Dengan gagah berani, Suropati memimpin
perlawanan terhadap VOC, tetapi ia gugur dalam pertempuran di Bangil.

3. Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682)

Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh Pangeran
Surya dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari
Mekah mendapat gelar Sultan Abdulfatah atau lebih dikenal dengan Sultan
Ageng Tirtayasa. Sebelumnya, Banten diperintah oleh kakek dari Sultan
Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Sultan
Ageng Tirtayasa merupakan anak dari Sultan Abul Ma’ali Ahmad.

Pada waktu itu Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar
perdagangan internasional. Oleh karena itu, sejak semula Belanda ingin
menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya, VOC
membangun bandar di Batavia pada tahun 1619. Hal ini menyebabkan
timbulnya persaingan antara Banten dan Batavia untuk memperebutkan
posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu, rakyat
Banten sering melakukan serangan-serangan terhadap VOC.

Sultan Ageng Tirtayasa berusaha memulihkan posisi Banten


sebagai bandar perdagangan internasional sekaligus menandingi
perkembangan perdagangan di Batavia. Beberapa yang dilakukan Sultan
Ageng Tirtayasa adalah sebagai berikut. a. Mengundang para pedagang
dari Eropa lain seperti Inggris, Prancis, Denmark, dan Portugis. b.
Mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara Asia seperti
Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina.

VOC sangat tidak menyukai perkembangan di Banten. Oleh karena itu,


untuk melemahkan peran Banten sebagai bandar perdagangan, VOC sering
melakukan blokade, yaitu kapal-kapal dagang dari Maluku dilarang
meneruskan perjalanan ke Banten. Sebagai balasan, Sultan Ageng
mengirimkan beberapa pasukannya untuk mengganggu kapal-kapal
dagang VOC dan membuat kekacauan di Batavia.

Dalam rangka memberi tekanan dan melemahkan kedudukan


VOC, rakyat Banten juga melakukan perusakan terhadap beberapa bibit
tanaman milik VOC. Akibatnya, hubungan Banten dengan Batavia semakin
memburuk. Untuk menghadapi tentara Banten, VOC terus memperkuat
Kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti
Benteng Noorwijk dengan harapan VOC mampu bertahan dari berbagai
serangan dari luar. Sementara itu, untuk kepentingan pertahanan, Sultan
Ageng Tirtayasa memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang
membentang dari Sungai Untung Jawa sampai Pontang. Hal ini bertujuan
untuk meningkatkan produksi pertanian dan memudahkan transportasi
perang. Karena jasanya itulah, maka Sultan diberi gelar Tirtayasa (“tirta”
artinya air).

Pada tahun 1671, Sultan Ageng mengangkat putra mahkota Abdul


Nazar Abdulkahar sebagai sultan pembantu yang kemudian lebih
dikenal dengan nama Sultan Haji. Sebagai raja pembantu, Sultan Haji
bertanggung jawab pada urusan dalam negeri, sedangkan Sultan Ageng
beserta putranya yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya, bertanggung
jawab atas urusan luar negeri.

Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh perwakilan VOC


di Banten, yakni W. Caeff. Ia kemudian mendekati dan menghasut
Sultan Haji agar urusan pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisahkan
dan jangan sampai kekuasaan jatuh di tangan Arya Purbayasa. Hingga
akhirnya, Sultan Haji mencurigai ayahnya dan saudaranya serta membuat
persengkongkolan dengan VOC. Untuk merebut tanah Kesultanan Banten,
maka timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan Haji
dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam persengkongkolan tersebut,
VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan
Banten, tetapi dengan empat syarat, yakni:
a. Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC.
b. Monopoli ada di Banten, dikuasai dan dipegang VOC.

c. Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila mengingkari janji.

d. Pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman


Priangan segera ditarik kembali.
Isi perjanjian tersebut disetujui oleh Sultan Haji. Pada tahun 1681, VOC
dengan atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten dan
menguasai Istana Surosawan. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian
membangun istana yang baru dan berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng
pun berusaha merebut Banten kembali.
Pada tahun 1682, pasukan Sultan Ageng berhasil mengepung Istana
Surosawan. Kemudian, Sultan Haji meminta bantuan pasukan VOC di
bawah pimpinan Francos Tack. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat
dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. Sultan Ageng
Titayasa akhirnya meloloskan diri bersama putranya, Pangeran Arya
Purbaya, ke Hutan Lebak. Mereka masih melancarkan serangan walaupun
dengan bergerilya. Tentara VOC terus mencari Sultan Ageng Tirtayasa
beserta pengikutnya yang kemudian bergerak ke arah Bogor. Baru
setelah melalui tipu muslihat, pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa
berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia sampai meninggal pada
tahun 1692.

Perlawanan Raja-raja Lokal terhadap Kolonialisme


Belanda

Pascapembubaran VOC, perlawanan rakyat Indonesia terhadap


kolonial Belanda tidak surut, bahkan semakin luas. Dengan berbagai kelicikan
dan tipu muslihat, pejabat kolonial Belanda berhasil menangkap para
pahlawan tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut perlawanan terhadap Hindia
Belanda

1. Sultan Hamengku Buwono II dan Raja Banten


Daendels tidak menyukai raja-raja Jawa karena semangatnya yang anti
feodalis. Dia memang pengagum Napoleon Bonaparte yang menyebarkan
paham republikanisme, kebebasan, kesetaraan. Kebijakan yang antifeodal
tampak pada sikapnya terhadap Raja Solo dan Raja Yogyakarta, yakni:
a. Semua Raja Jawa harus mengakui Raja Belanda,
junjungannya.
b. Mengangkat pejabat Belanda dengan sebutan
minister.

c. Jika di VOC seorang residen Belanda ketika menghadap raja diperlakukan


sama seperti seorang bupati dengan duduk di lantai dan
mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat kepada Raja 22 Jawa,
maka minister tidak diperlakukan seperti itu. Minister duduk sejajar
dengan raja dan tidak perlu mempersembahkan sirih sebagai tanda
hormat.
d. Ketika minister datang ke keraton harus
disambut raja.
e. Ketika bertemu di jalan dengan raja, minister tidak perlu turun dari
kereta, tetapi cukup membuka jendela.

Melihat tindakan Daendels seperti itu, Sultan Hamengkubuwono II


membangkang dan akhirnya Daendels menyerbu Yogyakarta lalu
menurunkan Sultan Hamengkubuwono II dan menggantikannya dengan
Sultan Hamengkubuwono III yang masih kecil.

Sikap yang kedua ialah terhadap Raja Banten. Daendels mengasingkan


Raja Banten karena menentang pembangunan jalan Anyer-Panarukan.
Karena otoriter, Daendels dipanggil ke Belanda. Ada dua versi sebab
Daendels dipanggil, yakni tenaganya diperlukan untuk memimpin tentara
Prancis menghadapi Rusia atau hubungannya yang buruk dengan raja-
raja Jawa dikhawatirkan merugikan Belanda jika Inggris menyerbu Jawa

2. Perlawanan Kapitan Pattimura di Maluku (1817).

Menurut Konvensi London (1814), Kepulauan Maluku merupakan salah


satu wilayah kekuasaan Inggris yang harus diserahkan kepada Belanda.
Pascapenyerahan, pemerintah Belanda segera menunjuk Van Middelkoop
sebagai gubernur di Kepulauan Maluku.

Kembalinya Belanda ke Maluku menimbulkan kekecewaan sekaligus


kemarahan dari rakyat Maluku. Mengapa rakyat Maluku marah?
Pertama, kolonial Belanda diduga akan membebani rakyat dengan
berbagai kewajiban yang memberatkan. Hal yang serupa ini memang telah
terjadi pada masa kekuasaan VOC. Kedua, rakyat takut Belanda akan
memonopoli perdagangan. Karena tidak ingin kembali menderita akibat
penguasaan Belanda, maka rakyat Maluku pun bersiap melakukan
gerakan perlawanan.

Pada 9 Mei 1817, rakyat Saparua mengangkat Thomas Matulessy


sebagai pemimpin gerakan perlawanan. Thomas Matulessy juga diberikan
gelar Pattimura. Pattimura dipilih karena dianggap mempunyai kecakapan
bidang militer serta kemampuan memimpin.

Kemampuan Pattimura atau Thomas Matulessy ini sudah tidak


diragukan lagi. Ia memiliki pengalaman yang cukup dalam memimpin
pasukan militer. Pada masa pemerintah Inggris di Maluku, Pattimura
bekerja di dinas militer. Ia juga memiliki pangkat terakhir sebagai mayor.
Ketika dilaksanakan suatu pertemuan, para pejuang Maluku bertekad
untuk merebut Benteng Duurstede dan mengusir semua
penghuninya.Aksi perlawanan untuk merebut Benteng Duurstede tersebut
dimulai pada 15 Mei 1817. Kala itu, rakyat Maluku melakukan perlawanan
terhadap pemerintah Hindia Belanda, dimulai dari 56 perampasan perahu-
perahu pos yang berada di Pelabuhan Porto. Pascaperampasan tersebut,
mereka mulai menyerang benteng. Pada saat itu, banyak serdadu Belanda
yang ditangkap dan dibunuh. Hal yang sama dialami juga oleh Residen
Porto, Van den Berg. Saat itu juga, Benteng Duurstede jatuh ke tangan
rakyat Maluku.

Gubernur Van Middelkoop terkejut mendengar kabar mengenai


kejadian tersebut. Ia lalu segera mengirimkan pasukan dari Ambon di
bawah pimpinan Mayor Beetjes. Pasukan ini didaratkan di Saparua pada 20
Mei 1817. Begitu pasukan Belanda mendarat, rakyat Saparua dengan segera
menyambutnya dengan serentetan tembakan. Akibatnya, dengan terpaksa
pasukan Beetjes memutar haluan dan membelokkannya ke sebuah tikungan
teluk yang terletak di sebelah kiri benteng.

Di tempat ini, lagi-lagi pasukan Beetjes kembali disambut dengan


serangan yang semakin gencar. Pasukan Beetjes pun menjadi kacau-
balau. Sebaliknya, rakyat Maluku semakin bersemangat dalam melakukan
penyerangan terhadap Belanda. Pasukan Belanda berusaha untuk
mundur, tetapi pasukan Pattimura terus-menerus mengejarnya. Di dalam
pertempuran ini, Mayor Beetjes akhirnya tewas.
Sebagai pembalasan atas kekalahannya, Belanda lalu segera
menempatkan kapal- kapal perangnya di wilayah perairan Saparua.
Serangan segera dilancarkan dengan menembakkan meriam ke arah
Duurstede yang dilakukan secara terus-menerus. Pada 2 Agustus 1817,
pasukan Belanda berhasil menduduki Benteng Duurstede. Namun,
mereka gagal menangkap Pattimura. Oleh karena itu, Belanda segera
melancarkan politik adu domba.

Belanda mengumumkan kepada masyarakat tentang tawaran


hadiah sebesar 1.000 gulden. Hadiah tersebut akan diberikan bagi siapa
pun yang dapat menginformasikan keberadaan Pattimura. Ternyata, jeratan
yang dibuat Belanda ini betul mengenai sasaran. Raja Boi adalah orang yang
memberitahukan tempat persembunyian Pattimura kepada pihak Belanda.

Setelah mengetahui lokasi persembunyian Pattimura, Belanda


dengan segera mengerahkan pasukannya. Ia membawa pasukan besar-
besaran demi menangkap Pattimura yang bersembunyi di Bukit Boi. Pada 16
Desember 1918, Pattimura pun dijatuhi dengan hukuman gantung di
Benteng Nieuw Victoria di Kota Ambon. Penangkapan Pattimura ini pun
menjadi tanda berakhirnya perjuangan rakyat Maluku terhadap Belanda.

3. Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin di Palembang (1817 - 1821)

Sultan Mahmud Badaruddin II lahir di Palembang pada tahun 1767.


Ia adalah pemimpin Kesultanan Palembang-Darussalam selama dua
periode (1803-1813 dan 1818-1821) setelah masa pemerintahan ayahnya,
Sultan Muhammad Bahauddin (1776- 1803). Nama aslinya sebelum
menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.

Sejak hasil tambang timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad


ke-18, Palembang menjadi incaran Inggris dan Belanda. Demi menjalin
kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Karena
timbul persaingan antara Belanda dan Inggris, maka Inggris melalui Raffles
berusaha membujuk Sultan Mahmud Badaruddin ll agar mengusir Belanda
dari Palembang.

Sultan Mahmud menolak permintaan Raffles karena tidak ingin


terlibat dalam pertikaian Inggris dan Belanda. Namun, akhirnya terjalin
kerja sama Inggris dan Palembang dengan pihak Palembang lebih
diuntungkan.

a. Peristiwa Loji Sungai Aur (1811).


Pada 14 September 1811, terjadi pembantaian di Loji Sungai Aur.
Pihak Belanda yang disalahkan atas pembataian tersebut. Namun,
Belanda beranggapan bahwa Inggris sengaja melakukannya agar
Kesultanan Palembang mengusir Belanda dari Palembang. Karena
merasa terpojok, Inggris di bawah pimpinan Raffles mengadakan
perundingan dengan Sultan Mahmud Badaruddin II dan berharap
mendapatkan jatah Pulau Bangka yang saat itu masuk wilayah
Kesultanan Palembang. Pulau tersebut juga merupakan penghasil
timah yang diperebutkan Belanda dan Inggris. Namun, permintaan
Inggris jelas ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin II.
b. Penyerbuan Inggris ke Palembang tahun 1812.
Hubungan Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Raffles cukup
baik sebelum takluknya Belanda dari Inggris. Namun, pada 12 Maret
1812, Inggris mengirim ekspedisi militer di bawah pimpinan
Gillespie ke Palembang dan memerangi Palembang dengan alasan
menghukum Sultan Mahmud Badaruddin atas penolakannya
menyerahkan wilayah Pulau Bangka.

Dalam pertempuran itu, Inggris berhasil menduduki Palembang.


Sultan Mahmud Badaruddin pun menyingkir ke Muara Rawas di
hulu Sungai Musi. Pada 1811, Inggris mengalahkan Belanda dan
memaksa Belanda menandatangani Perjanjian Tuntang yang
isinya sebagai berikut. 1) Pemerintah Belanda menyerahkan
Indonesia kepada Inggris di Kalkuta (India). 2) Semua tentara
Belanda menjadi tawanan perang Inggris. 3) Orang Belanda dapat
dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris.

Dengan demikian, Palembang jatuh ke tangan Inggris. Setelah


menguasai Palembang, Inggris mengangkat Pangeran Adipati yang
merupakan adik kandung Sultan Mahmud Badaruddin ll sebagai
Sultan Palembang setelah menandatangani perjanjian dengan
syarat-syarat yang menguntungkan Inggris.

Inggris mengambil alih Pulau Bangka dan mengganti namanya


menjadi Duke of York’s Island dan menempatkan Meares sebagai
residennya. Sementara itu, Sultan Mahmud Badaruddin yang
melarikan diri ke Muara Rawas mulai menghimpun kekuatan dan
mendirikan kubu di Muara Rawas untuk menghadapi serangan dari
Meares yang ingin menangkapnya.
Pada 28 Agustus 1812, terjadi pertempuran di Buay Langu yang
menyebabkan Meares tertembak dan tewas setelah dibawa ke
Mentok. Kedudukan residen kemudian diambil alih oleh Mayor
Robinson. Dalam upaya menangkap Sultan Mahmud Badaruddin,
Mayor Robinson mengadakan perundingan damai dengan Sultan
Mahmud Badaruddin. Melalui serangkaian perundingan, Sultan
Mahmud Badaruddin kembali ke Palembang dan naik takhta pada
Juli 1813 sebelum kembali dilengserkan pada Agustus 1813.

Sementara itu, Mayor Robinson ditahan dan dipecat oleh


Raffles karena mandat yang diberikan tidak dijalankan dengan baik.
Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin bersama rakyat yang
menggunakan stategi perang bergerilya dengan ketangkasan dan
kecerdasannya serta pemahaman terhadap medan perang akhirnya
mampu memaksa Inggris untuk mundur dan kalah. Inggris pun
mengakui kedaulatan Palembang sebagai kesultanan.

Konflik Sultan Mahmud Badaruddin ll dengan Belanda dimulai


sejak ditandatangani Perjanjian London antara Belanda dan Inggris
yang membuat Inggris menyerahkan daerah koloni di Nusantara,
termasuk Palembang, kepada Belanda. Serah terima dilakukan dua
tahun kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 1816 oleh Jhon Fendall
sebagai pengganti Raffles.

Setelah serah terima kekuasaan, Belanda mengangkat Herman


Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan
pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan,
Sultan Mahmud Badaruddin II dan Husin Diauddin. Tindakannya
berhasil. Sultan Mahmud Badaruddin II berhasil naik takhta kembali
pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah
bersekutu dengan Inggris berhasil dibujuk oleh Muntinghe ke
Batavia sebelum akhirnya dibuang ke Cianjur.

Mutinghe melakukan penjajahan ke pedalaman wilayah


Kesultanan Palembang dengan alasan untuk inventarisasi wilayah,
karena pada dasarnya hanya untuk menguji kesetiaan Sultan
Mahmud Badaruddin ll dan karena ketidakpercayaan Mutinghe
kepada Sultan Mahmud Badaruddin ll. Akan tetapi, di daerah Muara
Rawas, Mutinghe dan pasukannya diserang oleh pengikut Sultan
Mahmud Badaruddin ll.

Setelah kembali, Mutinghe bermaksud memaksa Kesultanan


Palembang agar menyerahkan putra mahkota sebagai jaminan agar
Kesultanan Palembang selalu setia terhadap pemerintah Belanda.
Namun, sampai habis batas penyerahannya, Kesultanan Palembang
tidak menyerahkan putra mahkota dan Sultan Mahmud
Badaruddin menyerang Belanda yang didasari oleh sikap Belanda
yang terlalu mencampuri urusan kesultanan dan mengekang
kesultanan agar tunduk kepada Belanda. Sikap inilah yang
menyebabkan Sultan Mahmud Badaruddin dan Kesultanan
Palembang beserta rakyat menyatakan perang terhadap Belanda.
c. Perang Palembang I (1819)
Pertempuran Belanda melawan Kesultanan Palembang pecah
pada 12 Juni 1819. Perlawanan itu dikenal dengan Pertempuran
Menteng yang merupakan pertempuran terdahsyat karena banyak
korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pertempuran terus berlanjut,
akan tetapi karena kuatnya pertahanan Palembang yang sulit
ditembus dan banyaknya korban di pihak Belanda, maka Belanda
memutuskan kembali ke Batavia dengan membawa kekalahan.
d. Perang Palembang II (1819)
Sekembalinya ke Batavia dan memberitahukan keadaaan
peperangan ke pemerintah di Batavia, Gubernur Jenderal Belanda
saat itu, Van der Capellen, mengadakan perundingan dengan
Laksamana Constantijn Johan Wolterbeek dan Mayjend. Hendrik
Markus de Kock yang membahas tentang Kesultanan Palembang
yang sangat sulit ditaklukkan oleh Belanda. Akhirnya, diputuskan
untuk kembali menyerang Palembang.

Oleh karena itu, Belanda mengirimkan ekspedisi ke


Palembang dengan kekuatan penuh dengan tujuan menggulingkan
Sultan Mahmud Badaruddin ll dan menguasai Palembang secara
penuh, serta mengganti Sultan Mahmud Badaruddin dengan
Pangeran Jayadiningrat yang didukung oleh Belanda. Sebab,
Belanda beranggapan bahwa selama Sultan Mahmud Badaruddin
masih berkuasa, maka Palembang tidak akan pernah bisa dikuasai
seluruhnya dan itu berarti Belanda tidak bisa menjangkau jalur
perdagangan di Pulau Bangka yang menjadi wilayah dari
Kesultanan Palembang.

Kabar bahwa Belanda mengirimkan pasukan ekspedisi ke


Palembang telah didengar oleh Sultan Mahmud Badaruddin ll.
Karena ia telah mengira akan ada serangan balik, maka ia
mempersiapkan pertahanan yang tangguh di beberapa tempat di
Sungai Musi sebelum masuk ke Palembang dengan dibuat benteng-
benteng pertahanan yang dikomandani oleh keluarga sultan.

Pada 21 Oktober 1819, pecah pertempuran di Sungai Musi antara


Belanda yang dipimpin oleh Wolterbeek dengan Kesultanan
Palembang yang dipimpin sendiri oleh Sultan Mahmud
Badaruddin. Terjadi tembak-menembak meriam di kedua belah
pihak hingga Wolterbeek menghentikan pertempuran dan
memutuskan kembali ke Batavia.

e. Perang Palembang III (1821)

Setelah pertempuran pada 21 Oktober 1819, Sultan Mahmud


Badaruddin ll mengangkat anaknya, Pangeran Ratu, menjadi sultan
di Kesultanan Palembang dengan gelar Ahmad Najamuddin lll. Hal
ini dilakukan karena Sultan Mahmud Badaruddin ll hanya ingin
terfokus untuk melawan Belanda dan mengusirnya dari Tanah
Palembang dan tidak diganggu oleh urusan Kesultanan Palembang.

Namun, persiapan benteng dan pertahanan Sultan Mahmud


Badaruddin ll di Sungai Musi sudah diketahui oleh Belanda melalui
mata-matanya yang ternyata adalah dari kalangan bangsawan dan
orang Arab di Palembang. Hal ini menyebabkan Belanda
mempersiapkan pasukan yang besar dalam rangka menghadapi
Kesultanan Palembang.

Pada 16 Mei 1821, Belanda di bawah pimpinan De Kock


memasuki sungai Musi dan pertempuran baru terjadi pada 11- 20
Juni 1821. Belanda kembali mengalami kekalahan, akan tetapi hal
ini tidak menyurutkan semangat Belanda. Belanda kembali
menyusun strategi dalam menghadapi Kesultanan Palembang.
Hingga akhirnya pada 24 Juni 1821, yang pada saat itu bertepatan
dengan bulan Ramadan, Belanda menyerang Palembang pada dini
hari.

Terjadilah pertempuran hebat antara pemerintah Belanda


dengan rakyat Palembang. Akibat serangan fajar tersebut,
Palembang dapat dilumpuhkan, tetapi belum dapat dikuasai
sepenuhnya. Baru pada 25 Juni 1821, Palembang jatuh ke tangan
Belanda. Maka, resmilah kolonialisme Belanda di Palembang.

Setelah melakukan perlawanan dan menderita kekalahan akibat


serangan tiba-tiba dari Belanda, Palembang pun dapat
dikuasai oleh Belanda. Sementara itu, Sultan Mahmud Badaruddin
ll dan keluarganya menjadi tawanan Belanda. Pada 13 Juli 1821,
Sultan Mahmud Badaruddin dan keluarganya dikirim ke Batavia
sebelum dipindahkan ke Ternate pada 26 September 1821 sampai
Sultan Mahmud Badaruddin ll meninggal di Ternate pada 26
September 1852.

Sebagian keluarga sultan yang tidak tertangkap


mengasingkan diri ke Marga Sembilan sambil melanjutkan
perlawanan atas Belanda walaupun tidak sehebat Sultan Mahmud
Badaruddin ll. Karena banyaknya perlawanan Kesultanan
Palembang kepada Belanda, maka Belanda membekukan Kesultanan
Palembang.

4. Perlawanan I Gusti Ketut Jelantik di Bali (1846 - 1849)

I Gusti Ketut Jelantik adalah putra dari I Gusti Nyoman Jelantik


Raya. Ia diangkat sebagai patih di Kerajaan Buleleng pada tahun 1828 dan
meninggal pada tahun 1849. I Gusti Ketut Jelantik dikenal luas karena
keberaniannya dalam melawan penjajah Belanda pada saat itu. Sikap dan
tindakannya dinilai berani karena menolak tuntutan Belanda dalam sebuah
perundingan yang menuntut agar Kerajaan Buleleng mengganti kerugian
kapal yang dirusak dan mengakui kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.
Pada saat perundingan itu, pihak Belanda diwakili oleh JPT Mayor
Komisaris Hindia Belanda, sedangkan Kerajaan Buleleng diwakili oleh
Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Mada Karangasem, dan Patih Agung, I
Gusti Ketut Jelantik.

I Gusti Ketut Jelantik marah besar dengan tuntutan pihak


Belanda agar kerajaannya tunduk kepada kolonial Belanda. Oleh sebab
itu, ia berucap, “Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan
sehelai kertas saja, tapi harus diselesaikan di atas ujung keris. Selama saya
hidup, kerajaan ini tidak akan pernah mengakui kedaulatan Belanda.”

Belanda terus mencoba mencari celah untuk melawan I Gusti Ketut


Jelantik, salah satunya dengan memanfaatkan Raja Klungkung. Dalam
pertemuan yang berlangsung pada 12 Mei 1845, Belanda menuntut agar
Buleleng mengganti rugi kapal dan menghapuskan hak “tawan karang”,
yakni merampas perahu yang terdampar di kawasan Buleleng. I Gusti
Ketut Jelantik marah dengan tuntutan Belanda itu, bahkan ia
menghunuskan sebilah keris pada kertas perjanjian.
Pada 27 Juni 1846, Belanda melakukan serangan ke Kerajaan
Buleleng. Akhirnya, Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda pada 29
Juni 1846. Kemudian, Raja Buleleng dan Patih I Gusti Ketut Jelantik
mundur ke Desa Jagaraga untuk menyusun kekuatan. Patih I Gusti Ketut
Jelantik adalah seseorang yang ahli strategi perang dan menjadi sosok
yang disegani oleh raja-raja lain karena sikapnya yang teguh pendirian.
Hal ini ditunjukkan ketika mempertahankan Desa Jagaraga, Patih I Gusti
Ketut Jelantik terus memperkuat pasukannya dan mendapat bantuan dari
kerajaan lain seperti Klungkung, Karangasem, Badung, dan Mengwi.

Pada 6-8 Juni 1848, pihak Belanda melakukan serangan kedua dengan
mendaratkan pasukannya di Sangsit. Bali yang dipimpin oleh I Gusti Ketut
Jelantik mengerahkan pasukan Benteng Jagaraga yang merupakan benteng
terkuat bila dibandingkan dengan empat benteng lainnya. Sedangkan
pihak Belanda dipimpin oleh Jendral Van Der Wijck. Namun, pihak
Belanda gagal menembus benteng yang dipimpin oleh I Gusti Ketut
Jelantik dan hanya mampu merebut satu benteng saja, yakni benteng
sebelah timur Sangsit yang berada dekat Bungkulan.

Adanya kekalahan ini semakin mengangkat semangat raja-raja


lainnya untuk semakin mengerahkan kekuatan dalam melawan Belanda.
Pasukan Patih Jelantik ini menggegerkan parlemen Belanda yang
kemudian melancarkan serangan besar- besaran yang dipimpin oleh
Jendral Michiels pada 31 Maret 1849. Belanda menyerang Bali dengan
menembakkan meriam-meriamnya.

Pada 7 April 1849, Raja Buleleng dan Patih Jelantik bersama 12 ribu
prajurit berhadapan dengan Jendral Michiels. Karena kalah persenjataan,
Bali terdesak dan mundur sampai Pegunungan Batur Kintamani. Jagaraga
akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada 16 April 1849. I Gusti Ketut Jelantik
gugur pada serangan di Karangasem oleh Belanda yang didatangkan dari
Lombok dan menyerang hingga ke Pegunungan Bale Punduk. Gugurnya
I Gusti Ketut Jelantik membuat perlawanan raja-raja Bali mulai
mengalami kemunduran. Daerah Bali dapat dengan mudah dikuasai.
Hanya tersisa Bali Selatan yang masih melakukan perlawanan.

5. Perlawanan Pangeran Antasari di Kalimantan (1859 - 1862)

Pangeran Antasari lahir pada tahun 1797 di Banjar. Ayahnya bernama


Pangeran Masohut (Mas’ud). Ayahnya merupakan anak dari Pangeran
Amir yang merupakan anak dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah
yang gagal naik takhta pada tahun 1785. Ibunya bernama Gusti Hadijah
binti Sultan Sulaiman. Semasa muda, Pangeran Antasari mempunyai
nama Gusti Inu Kartapati. Pangeran Antasari memiliki tiga putra dan
delapan putri. Ia memiliki saudara perempuan yang bernama Ratu
Antasari yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan
Adam, tetapi meninggal setelah melahirkan calon pewaris Kesultanan
Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih
bayi.

Penjajahan kolonial Belanda ketika menduduki wilayah Kalimantan


tepatnya berada di Banjar. Strategi yang mereka jalankan dikenal dengan
nama politik divide et impera, yang berarti membagi, memecah belah, dan
menguasai atau yang dikenal dengan istilah “politik adu domba”. Hal
tersebut bertujuan untuk menguasai kerajaan di Banjar. Pada tahun 1859,
Sultan Tamjid diangkat menjadi Sultan Kerajaan Banjar, padahal yang
berhak naik takhta adalah Pangeran Hidayat. Sultan Tamjid tidak
disukai oleh rakyat karena terlalu memihak kepada Belanda.
Belanda sengaja memberikan dukungannya kepada Sultan Tamjid. Hal ini
menunjukkan campur tangan Belanda sudah sangat meresahkan,
bahkan dalam pengangkatan seorang sultan pun merekalah yang
menentukan.

Sebagai salah seorang keturunan Raja Banjarmasin yang dibesarkan di


luar istana, Pangeran Antasari merasa prihatin dengan situasi tersebut.
Walaupun ia keluarga Sultan Banjar, tetapi tidak pernah hidup dalam
lingkungan istana. Karena dibesarkan di tengah-tengah rakyat biasa,
Antasari menjadi dekat dengan rakyat, mengenal perasaan, dan
mengetahui penderitaan mereka. Pada waktu itu, kekuasaan kolonial
Belanda sedang berusaha untuk melemahkan Kerajaan Banjar.

Belanda mengadu domba golongan-golongan yang ada di dalam


istana sehingga mereka terpecah-pecah dan bermusuhan. Maka, Antasari
pun berinisiatif untuk mengusir penjajah dari Kerajaan Banjar tanpa
kompromi. Pangeran Antasari berusaha membela hak Pangeran
Hidayat, lalu bersekutu dengan kepala-kepala daerah Hulu Sungai,
Martapura, Barito, Pleihari, Kahayan, Kapuas, dan daerah lain. Mereka
semuanya bertekad untuk mengangkat senjata mengusir Belanda dari
Kerajaan Banjar. Sikap anti terhadap Belanda muncul akibat pergantian
kekuasaan di istana yang menimbulkan keresahan di antara rakyat.

Pada 25 April 1859, Perang Banjar terjadi saat Pangeran Antasari beserta
dengan sekitar 6.000 pasukan menyerang tambang batu bara milik Belanda
di Pengaron. Berawal dari peperangan tersebut, peperangan demi
peperangan terjadi di seluruh wilayah Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh
Pangeran Antasari yang dibantu dengan para panglima dan pasukannya.
Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu
Sungai, Riam Kanan, Tabalong, Tanah Laut, dan Sungai Barito sampai ke
Puruk Cahu.

Pertempuran yang terjadi antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan


pasukan Belanda berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda
yang mendapat bantuan dari Batavia menang dalam persenjataan sehingga
berhasil membuat mundur pasukan Khalifatul Mukminin dan
memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.

Pangeran Antasari berhasil mengerahkan tenaga rakyat dan


mengobarkan semangat mereka sehingga Belanda menghadapi kesulitan.
Karena hebatnya perlawanan, maka Belanda membujuk Pangeran Antasari
untuk menyerah, tetapi ia tetap pada pendiriannya. Ini dijelaskan dalam
surat yang ditulisnya untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijk di
Banjarmasin tanggal 20 Juli 1861, “... dengan tegas kami terangkan
kepada tuan: kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami
berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan) ....”

Pada 14 Maret 1862, Pangeran Antasari diangkat sebagai pimpinan


pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan
menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin di
hadapan para kepala suku Dayak dan adipati penguasa wilayah Dusun
Atas, Kapuas, dan Kahayan, yaitu Tumenggung Surapati/Tumengung
Yang Pati Jaya Raja. Pangeran Antasari juga merupakan pemimpin Suku
Bakumpai, Kutai, Maanya, Murung, Ngaju, Pasir, Siang, Sihong, dan
beberapa suku yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang
Sungai Barito.

Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun


sebagai sepupu dari pewaris Kesultanan Banjar, untuk mengukuhkan
kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di
Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada 14 Maret
1862, bertepatan dengan 13 Ramadan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan,
“Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah.” Seluruh rakyat Banjar
mengangkat Pangeran Antasari menjadi Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminini, yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang,
dan pemuka agama tertinggi.
Dalam keadaan sangat terjepit, Pangeran Hidayat akhirnya menyerah
kepada Belanda. Kepala-kepala daerah lain pun banyak pula yang
menyerah. Pangeran Antasari tetap melanjutkan perjuangan. Baginya,
pantang untuk berdamai dengan Belanda, apalagi menyerah. Ia terus
melanjutkan perjuangannya dengan berperang di kawasan Kalimantan
Selatan dan Tengah. Pada Oktober 1862, suatu serangan besar- besaran
telah direncanakan.

Pasukan telah disiapkan, wabah penyakit cacar menyerang dan


melemahkan pasukan ini beserta Antasari juga terkena wabah tersebut.
Pangeran Antasari meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 di Tanah
Kampung Bayan Begok, Sampirang. Perjuangannya dilanjutkan oleh
putranya yang bernama Muhammad Seman.

6. Perlawanan Teuku Umar di Aceh (1873-1899)

Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat, pada tahun 1854.


Ia anak seorang uleebalang (hulubalang) bernama Teuku Achmad
Mahmud dari perkawinannya dengan adik perempuan Raja Meulaboh.
Umar mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga saudara laki-
laki.

Nenek moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati yang


berasal dari Minangkabau. Dia merupakan keturunan dari Laksamana
Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman
pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Salah seorang keturunan
Datuk Makhudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada
waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut
kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang itu diangkat menjadi
Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan
Ranceh mempunyai dua orang putra, yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku
Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Teuku Nanta Setia
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la
mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien.

Teuku Umar dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani,
dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga
memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi
segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapatkan pendidikan
formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat,
cerdas, dan pemberani.
Ketika Perang Aceh meletus pada 1873, Teuku Umar ikut serta berjuang
bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya. Ketika itu, umurnya baru
menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri,
kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini,
Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong (kepala desa) di
daerah Daya Meulaboh.

Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak
Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku
Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, putri dari Panglima
Sagi XXV Mukim. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak
Dhien, putri pamannya, Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu
Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam
peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang
bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.

Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata


dari pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek
Belanda. Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883.
Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku
Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh.

Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Ketika bergabung


dengan Belanda, Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh.
Hal tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi
Belanda agar Teuku Umar diberi peran yang lebih besar. Taktik tersebut
berhasil. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, permintaan Teuku
Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit,
termasuk seorang Pang Laot (Panglima Laut) sebagai tangan
kanannya, dikabulkan.

Tahun 1884, Kapal Inggris “Nicero” terdampar. Kapten dan awak


kapalnya disandera oleh Raja Teunom. Raja Teunom menuntut tebusan
senilai 10 ribu dolar tunai. Oleh pemerintah kolonial Belanda, Teuku Umar
ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut, karena kejadian tersebut
telah mengakibatkan ketegangan antara Inggris dengan Belanda.

Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal “Nicero”


merupakan pekerjaan yang berat. Sebab, tentara Raja Teunom sangat kuat,
sehingga Inggris sendiri tidak dapat merebutnya kembali. Namun, ia
sanggup merebut kembali asal diberi logistik dan senjata yang banyak
sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Dengan
perbekalan perang yang cukup banyak, Teuku Umar berangkat dengan
Kapal “Bengkulen” ke Aceh Barat dengan membawa 32 orang tentara
Belanda dan beberapa panglimanya.

Tidak lama, Belanda dikejutkan berita yang menyatakan bahwa


semua tentara Belanda yang ikut dibunuh di tengah laut. Seluruh senjata
dan perlengkapan perang lainnya dirampas. Sejak itu, Teuku Umar
kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Teuku Umar
juga menyarankan Raja Teunom agar tidak mengurangi tuntutannya.

Teuku Umar membagikan senjata hasil rampasan kepada tentara


Aceh dan memimpin kembali perlawanan rakyat. Teuku Umar juga
berhasil merebut kembali daerah 6 Mukim dari tangan Belanda. Nanta
Setia, Cut Nyak Dhien, dan Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim
dan tinggal di Lampisang, Aceh Besar, yang juga menjadi markas tentara
Aceh.

Dua tahun setelah insiden Nicero, pada 15 Juni 1886 merapatlah ke


Bandar Rigaih Kapal “Hok Canton” yang dinakhodai pelaut Denmark
bernama Kapten Hansen, dengan maksud menukarkan senjata dengan
lada. Hansen bermaksud menjebak Umar untuk naik ke kapalnya,
menculiknya, dan membawa lari lada yang bakal dimuat ke Pelabuhan
Ulee Lheu dan diserahkan kepada Belanda yang telah menjanjikan imbalan
sebesar $ 25 ribu untuk kepala Teuku Umar.

Umar curiga dengan syarat yang diajukan Hansen dan mengirim


utusan. Hansen berkeras Umar harus datang sendiri. Teuku Umar lalu
mengatur siasat. Pagi dini hari, salah seorang panglima bersama 40 orang
prajuritnya menyusup ke kapal. Hansen tidak tahu kalau dirinya sudah
dikepung. Paginya, Teuku Umar datang dan menuntut pelunasan lada
sebanyak $ 5 ribu. Namun, Hansen ingkar janji dan memerintahkan anak
buahnya menangkap Umar.

Teuku Umar sudah siap dan memberi isyarat kepada anak buahnya.
Hansen berhasil dilumpuhkan dan tertembak ketika berusaha melarikan
diri. Nyonya Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan
awak kapal dilepas. Belanda sangat marah karena rencananya gagal.
Perang pun berlanjut. Pada tahun 1891, Teungku Chik Di Tiro dan Teuku
Panglima Polem VIII Raja Kuala (ayah dari Teuku Panglima Polem IX
Muhammad Daud) gugur dalam pertempuran. Belanda sebenarnya pun
sangat kesulitan karena biaya perang terlalu besar dan lama.

Teuku Umar sendiri merasa perang ini sangat menyengsarakan


rakyat. Rakyat tidak bisa bekerja sebagaimana biasanya, petani tidak dapat
lagi mengerjakan sawah ladangnya. Teuku Umar pun mengubah taktik
dengan cara menyerahkan diri kembali kepada Belanda. September 1893,
Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja
bersama 13 orang panglima bawahannya setelah mendapat jaminan
keselamatan dan pengampunan. Teuku Umar dihadiahi gelar “Teuku
Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland”.

Istrinya, Cut Nyak Dhien, sempat bingung, malu, dan marah atas
keputusan suaminya itu. Umar suka menghindar apabila terjadi
percekcokan. Teuku Umar menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda
dengan sangat meyakinkan. Setiap pejabat yang datang ke rumahnya
selalu disambut dengan menyenangkan. Ia selalu memenuhi setiap
panggilan dari gubernur Belanda di Kutaraja dan memberikan laporan
yang memuaskan sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar dari
gubernur Belanda.

Kepercayaan itu dimanfaatkan dengan baik demi kepentingan


perjuangan rakyat Aceh selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan,
Teuku Umar hanya melakukan perang pura-pura dan hanya memerangi
Uleebalang yang memeras rakyat (misalnya Teuku Mat Amin).
Pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan untuk
menghubungi para pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan
rahasia.

Pada suatu hari di Lampisang, Teuku Umar mengadakan pertemuan


rahasia yang dihadiri para pemimpin pejuang Aceh untuk membicarakan
rencana Teuku Umar untuk kembali memihak Aceh dengan
membawa lari semua senjata dan perlengkapan perang milik Belanda
yang dikuasainya. Cut Nyak Dhien pun sadar bahwa selama ini suaminya
telah bersandiwara di hadapan Belanda untuk mendapatkan keuntungan
demi perjuangan Aceh. Bahkan, gaji yang diberikan Belanda secara
diam-diam dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai
perjuangan. Pada 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer
Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000
butir peluru, 500 kilogram amunisi, dan uang 18.000 dolar.

Berita larinya Teuku Umar menggemparkan pemerintah kolonial


Belanda. Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal
Vetter. Tentara baru segera didatangkan dari Pulau Jawa. Vetter
mengajukan ultimatum kepada Umar untuk menyerahkan kembali semua
senjata kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu. Maka,
pada 26 April 1896, Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai Uleebalang
Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda.

Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk


memerangi Belanda. Seluruh komando perang Aceh mulai tahun 1896
berada di bawah pimpinan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya, Cut Nyak
Dhien, dan Panglima Pang Laot serta mendapat dukungan dari Teuku
Panglima Polem Muhammad Daud. Pertama kali dalam sejarah Perang
Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando.

Pada Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie
bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima
Polem. Pada 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar
dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan
sumpah setianya kepada Raja Aceh Sultan Muhammad Daud Syah. Pada
Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan dari mata-matanya
mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh dan segera menempatkan
sejumlah pasukan yang cukup kuat di perbatasan Meulaboh. Malam
menjelang 11 Februari 1899, Teuku Umar bersama pasukannya tiba di
pinggiran Kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan Van
Heutsz mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak
mungkin mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya
adalah bertempur.

Dalam pertempuran itu, Teuku Umar gugur terkena peluru


musuh yang menembus dadanya. Jenazahnya dimakamkan di Mesjid
Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian
suaminya, Cut Nyak Dhien sangat bersedih. Namun, itu bukan berarti
perjuangan telah berakhir. Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak
Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan
Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan perlawanan pejuang Aceh.
7. Perlawanan Sisingamangaraja (1878 - 1907)
Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845, meninggal di
Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di Negeri
Toba, Sumatra Utara dan pejuang yang berperang melawan Belanda.
Sebelumnya, ia dimakamkan di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan
ke Soposurung, Balige pada tahun 1953.

Nama kecil Sisingamangaraja XII adalah Patuan Bosar, yang


kemudian digelari Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan
Bosar Ompu Pulo Batu. Ia naik takhta pada tahun 1876 untuk
menggantikan ayahnya, Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu
Sohahuaon. Selain itu, ia juga disebut juga sebagai Raja Imam.

Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di Negeri Toba


bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu
terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di
Hindia Belanda. Ia tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian
pendek) di Sumatra, terutama Kesultanan Aceh dan Toba karena kerajaan
ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainnya. Di
sisi lain, Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas
kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi
selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan
hingga puluhan tahun.

Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk


oleh Raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang
berkeliling Sumatra Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam
sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para
pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang
merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat
sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari
Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih
mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau
melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya
kepada pemimpin Pagaruyung.

Tahun 1877, para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta


bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh
Singamangaraja XII. Kemudian, pemerintah Belanda dan para penginjil
sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII di
Bakara, tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.

Pada 6 Februari 1878, pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat


kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian, beserta
penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah, pasukan Belanda
terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun,
kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII
yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada 16 Februari 1878 dan
penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.

Pada 14 Maret 1878, datang Residen Boyle bersama tambahan


pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara
dari Sibolga. Pada 1 Mei 1878, Bakkara, pusat pemerintahan
Sisingamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878, seluruh
Bakkara dapat ditaklukkan. Namun, Sisingamangaraja XII beserta
pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi.
Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk
bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam
kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.

Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Sisingamangaraja XII terus


melakukan perlawanan secara gerilya. Namun, sampai akhir Desember
1878, beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta
Ginjang, serta Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial
Belanda. Di antara tahun 1883-1884, Sisingamangaraja XII berhasil
melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian, bersama pasukan bantuan
dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda, di antaranya
Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884.

Sisingamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah


pertempuran dengan Belanda di pinggir Bukit Lae Sibulbulen, di suatu
desa yang bernama Si Ennem Kodn, di perbatasan Kabupaten Tapanuli
Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang. Sebuah peluru menembus
dadanya akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans
Christoffel. Menjelang napas terakhir, ia tetap berucap, “Ahu (aku) …
Sisingamangaraja.”

Turut gugur pada waktu itu dua putranya, Patuan Nagari dan Patuan
Anggi, serta putrinya, Lopian. Sementara itu, keluarganya yang tersisa
ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan
Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung setelah
sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat
Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional
di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953.

Perlawanan Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau (1821-1838)

Muhammad Shahab atau lebih dikenal dengan nama Tuanku Imam


Bonjol adalah seorang ulama dan pemimpin yang memiliki peran penting
dalam melawan Belanda ketika Perang Padri yang terjadi pada 1803-
1838. Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada 1772. Ia
merupakan anak dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya
adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Sebagai anak
seorang alim ulama, Imam Bonjol dididik dan dibesarkan secara
Islami.
Sejak 1800 hingga 1802, Imam Bonjol menimba dan mendalami ilmu-
ilmu agama Islam di Aceh. Usai menuntaskan masa pendidikannya, ia pun
mendapat gelar Malin Basa, yakni gelar untuk tokoh yang dianggap besar
atau mulia. Ia adalah sosok yang ingin menegakkan kebenaran. Perjalanan
Tuanku Imam Bonjol dalam menegakkan kebenaran terbagi dalam
beberapa periode sebagai berikut.

a. Periode 1803-1821.

Ketika itu kaum Padri, yang di dalamnya juga termasuk Imam


Bonjol, hendak membersihkan dan memurnikan ajaran Islam yang
cukup banyak diselewengkan. Kala itu, kalangan ulama di Kerajaan
Pagaruyung menghendaki Islam yang berpegang teguh pada
Alquran serta sunah-sunah Rasulullah SAW. Dalam proses
perundingan dengan kaum adat, tidak didapatkan sebuah
kesepakatan yang dirasa adil untuk kedua belah pihak. Seiring
dengan macetnya perundingan, kondisi pun kian bergejolak hingga
akhirnya kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman
menyerang Pagaruyung pada 1815. Pertempuran pun pecah di Koto
Tangah, dekat Batu Sangkar.
b. Periode 1821-1825.
Pada Februari 1821, kaum adat yang tengah digempur menjalin
kerja sama dengan Hindia Belanda untuk membantunya melawan
kaum Padri. Sebagai imbalannya, Hindia Belanda mendapatkan hak
akses dan penguasaan atas wilayah Darek (pedalaman
Minangkabau). Salah satu tokoh yang menghadiri perjanjian dengan
Hindia Belanda kala itu adalah Sultan Tangkal Alam Bagagar,
anggota keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung. Meskipun dibantu
oleh kekuatan dan pasukan kolonial dalam peperangan, kaum Padri
tetap sulit ditaklukkan. Oleh karena itu, Hindia Belanda melalui
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pemimpin
kaum Padri, yang kala itu telah diamanahkan kepada Imam Bonjol,
untuk berdamai. Tanda dari perjanjian damai tersebut adalah
dengan menerbitkan maklumat Perjanjian Masang pada 1824.

c. Periode 1825-1830.

Pada tahun 1825, di Pulau Jawa sedang terjadi Perang Diponegoro.


Belanda menghadapi kesulitan. Mereka harus mengerahkan
kekuatan militernya ke Pulau Jawa. Oleh karena itu, Belanda
bermaksud mengadakan perjanjian damai dengan Imam Bonjol.
Pada 29 Oktober 1825, Belanda berhasil mengadakan perjanjian
damai dengan kaum Padri yang terkenal dengan sebutan Perjanjian
Padang. Isi perjanjian tersebut adalah kedua belah pihak sepakat
mengadakan gencatan senjata. Setelah perjanjian itu, selama empat
tahun Tanah Minangkabau aman, tidak ada peperangan antara
kaum Padri dengan Belanda.

d. Periode 1830-1838.

Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830, pasukan Belanda


dialihkan untuk menyerang Imam Bonjol. Pada pertengahan tahun
1832, Belanda mengirimkan pasukannya ke Sumatra Barat. Benteng
Padri berhasil direbut Belanda. Namun, pada tahun 1833, benteng
itu dapat direbut kembali oleh pasukan Imam Bonjol dari tangan
Belanda. Belanda terus berusaha menundukkan Iman Bonjol.
Kemudian, Belanda menggunakan siasat benteng. Pasukan
Belanda dipimpin Jenderal Michiels. Ketika itu, kaum Padri sudah
bersatu dengan kaum adat untuk bersama-sama melawan Belanda.

Pada tahun 1833, kondisi peperangan pun berubah. Kaum adat


akhirnya bergabung dan bahu-membahu dengan kaum Padri
melawan pasukan kolonial. Bersatunya kaum adat dan Padri ini
dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama
Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Dari sana lahirlah sebuah
konsensus adat basandi syarak, yakni adat berdasarkan agama.
Bergabungnya kaum adat dan kaum Padri tentu semakin
menyulitkan pasukan Hindia Belanda. Kendati sempat
melakukan penyerangan bertubi-tubi dan mengepung benteng
kaum Padri di Bonjol pada Maret hingga Agustus 1837, hal
tersebut tak mampu menundukkan perlawanan kaum Padri.
Hindia Belanda bahkan tiga kali mengganti komandan
perangnya untuk menaklukkan benteng kaum Padri tersebut.

Sadar bahwa taktik dan strategi perangnya kalah oleh


kaum Padri, pemerintah Hindia Belanda pun mengambil jalan
pintas. Pada tahun 1837, mereka mengundang Imam Bonjol sebagai
pemimpin kaum Padri ke Palupuh untuk kembali merundingkan
perdamaian. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Hindia Belanda
memanfaatkan momen perundingan untuk menjerat Imam Bonjol.
Sesampainya di Palupuh, Imam Bonjol ditangkap. Tak hanya
ditangkap, pemimpin kaum Padri itu pun diasingkan ke Cianjur,
Jawa Barat.
Perjalanan pengasingan Imam Bonjol tak berhenti di sana.
Dia sempat dibuang ke Ambon. Pengasingannya terhenti di Lotak,
Minahasa, dekat Manado, Sulawesi Selatan. Di tempat
pengasingannya yang terakhir itu Imam Bonjol mengembuskan
napas terakhirnya pada 8 November 1864. Setelah Imam Bonjol
tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda.
Itu berarti, seluruh perlawanan dari kaum Padri berhasil dipatahkan
oleh Belanda.

Perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa (1825-1830)

Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah pengaruhnya


pada permulaan abad ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan
Belanda telah menjadikan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang
kemudian menjadikan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran
Diponegoro.

Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwano III, seorang raja


Mataram di Yogyakarta. Ia Lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta
dari seorang garwa ampeyan (selir, istri non permaisuri) bernama R.A.
Mangkarawati yang berasal dari Pacitan. Sultan Hamengkubuwano III
menghendaki Pangeran DiponegoroPerlawanan Pangeran Diponegoro di
Jawa (1825-1830) Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah
pengaruhnya pada permulaan abad ke- 19.

Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah


menjadikan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian
menjadikan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwano III, seorang raja
Mataram di Yogyakarta. Ia Lahir pada 11 November 1785 di
Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir, istri non permaisuri)
bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari Pacitan. Sultan
Hamengkubuwano III menghendaki Pangeran Diponegoro menjadi raja
karena selain berstatus putra tertua, ia juga cakap, ahli agama, dan
dianggap mampu melaksanakan cita-cita leluhurnya.

Bahkan, Inggris menyarankan kepada Sultan Hamengkubuwano


III untuk mengangkat Diponegoro menjadi putra mahkota. Namun,
Diponegoro tidak mau dengan alasan bukan putra dari permaisuri (garwa
padmi). Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Mustahar, lalu
diubah namanya oleh Hamengkubuwono III tahun 1805 menjadi Bendoro
Raden Mas Ontowiryo.
Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut.

a. Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap


tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri urusan keraton
melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda).
b. Adanya kebencian dari rakyat pada umumnya dan para petani pada
khususnya
karena tekanan pajak yang sangat memberatkan.

c. Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak


haknya banyak yang dikurangi.
d. Sebagai alasannya, secara khusus ialah adanya pembuatan jalan oleh
Belanda yang
melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.

Pertempuran pertama meletus pada 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah


pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya
menyingkir ke Dekso. Di kawasan Plered, pasukan Diponegoro
dipimpin oleh Kertapengalasan yang memiliki kemampuan yang cukup
kuat.

Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke


banyak daerah. Dengan dikumandangkannya perang sabil, di Surakarta
oleh Kiai Mojo, di Kedu oleh Kiai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain,
maka pada pertempuran tahun 1825- 1826 pasukan Belanda banyak
terpukul dan terdesak.

Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan


tipu daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain sebagai berikut. a.
Siasat benteng stelsel yang dilakukan oleh Jenderal de Kock mulai tahun
1827. 67 b. Siasat bujukan agar perlawanan menjadi reda. c. Siasat
dukungan hadiah sebesar 20.000 ringgit kepada siapa saja yang dapat
menangkap Pangeran Diponegoro. d. Siasat tipu muslihat, yaitu usul
berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.

Dengan banyak sekali tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin
perlawanan tertangkap dan menyerah, antara lain Pangeran
Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap pada 19 Januari
1827), Pangeran Serang serta Notoprodjo (menyerah pada 21 Juni
1827), Pangeran Mangkubumi (menyerah pada 27 September 1829),
dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah pada 24 Oktober 1829).
Semua itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro.
Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin
menyelesaikan perang secara cepat. Jenderal de Kock melaksanakan tipu
muslihat dengan mengajak berunding Pangeran Diponegoro. De Kock
berjanji, apabila perundingan gagal, maka Diponegoro diperbolehkan
kembali ke pertahanan.

Atas dasar komitmen tersebut, Diponegoro mau berunding di


rumah Residen Kedu, Magelang, pada 28 Maret 1830. Namun, De Kock
ingkar janji sehingga Pangeran Diponegoro ditangkap saat perundingan
mengalami kegagalan. Pangeran Diponegoro kemudian dibawa ke
Batavia, dipindahkan ke Manado, dan pada tahun 1834 dipindahkan ke
Makassar sampai wafatnya pada 8 Januari 1855.
C. GLOSARIUM
Kolonialisme : Penjajahan adalah suatu sistem di mana suatu negara menguasai
rakyat dan sumber daya negara lain tetapi masih tetap berhubungan dengan negara
asal tersebut.
VOC : Vereenigde Oostindische Compagnie (Persatuan Perusahaan Hindia Timur).
Hak Octroi : keistimewaan yang dimiliki VOC untuk menjalankan perdagangan di
kawasan Hindia.
Devide et impera : Politik pecah belah, politik adu domba.

D. DAFTAR PUSTAKA

Carey, Peter 2011. Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa
Jilid I. Jakarta: Gramedia
Carey, Peter 2011. Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa
Jilid II. Jakarta: Gramedia
Hannigan, Tim. 2015. Raffles dan Invansi Inggris Ke Jawa, Jakarta: Gramedia
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana
Lilik Suharmaji. 2019. Sejarah Indonesia Modern, Dari Imperialisme Kuno
Sampai Pengakuan Kedaulatan RI, Yogyakarta: Lingkar Antarnusa
Lilik Suharmaji, 2020. Geger Sepoy Sejarah Kelam Perseteruan Inggris Dengan Keraton
Yogyakarta (1812-1815). Yogyakarta: Araska.
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2008. Sejarah Indonesia Baru 1200-2008, Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta. Sartono Kartodirdjo, 2017. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-
1900 Dari Emperium Sampai Imperium, Yogyakarta: Ombak
William Thorn, Mayor. 2015. Sejarah Penaklukkan Jawa, Yogyakarta: Indoliterasi

Anda mungkin juga menyukai