Anda di halaman 1dari 17

PERANAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI

DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN


DENGAN KEKERASAN DI PERSIDANGAN

Disusun Oleh :

IDRIS
KELAS : FH. B
NPM : 19020069

Nama Dosen :YULKARNAINI SIREGAR SH, MH


Mata Kuliah : HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBINAAN MASYARAKAT INDONESIA
MEDAN 2023
KATA PENGATAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah mengkaruniakan berkah dan rahmat-Nya, sehingga atas izin-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Peranan Saksi Mahkota
Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Di
Persidangan”. Semoga semua yang penulis lakukan berkaitan dengan makalah ini
juga bernilai ibadah di sisi-Nya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu akhirnya hanya kepada TYME, kita kembalikan semua urusan dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis
dan para pembaca pada umumnya.
Semoga makalah ini, diharapkan mampu memberikan pengetahuan
kepada para mahasiswa yang ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan saksi
mahkota dan peranannya dalam mengungkap kebenaran di persidangan. Karena
sebagai mahiswa harus mengetahui hal tersebut agar lebih mendalami tentang alat
bukti yang dapat digunakan dalam menuntut terdakwa yang melakukan
penyertaan (deelneming).
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas
kontribusi semua pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Medan, Januari 2023

Penulis,

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
1. Latar Belakang Masalah 4
2. Rumusan Masalah 6
3. Tujuan Penulisan 6
BAB II PEMBAHASAN. 7
A. Pengertian Saksi Mahkota 7
B. Peranan Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana
Pencurian Dengan Kekerasan Di Persidangan 10
C. Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Mahkota Dalam Perkara Tindak
Pidana Pencurian Dengan Kekerasan 12
BAB III. PENUTUP 16
a. Kesimpulan 16
b. Saran 16
DAFTAR PUSTAKA. 17

3
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Udang-Undang
Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut dengan KUHAP, memuat
instrument hukum publik yang telah mendukung suatu pelaksanaan hukum pidana
materiil yang mempunyai peranan penting guna memperoleh kebenaran materiil.
Hukum mempunyai tujuan penting yaitu menciptakan ketertiban dan
keseimbangan di dalam kehidupan.
Jika dalam suatu peristiwa tindak pidana yang mana guna mengungkap fakta-
fakta berkaitan dengan perbuatan pelaku atau pun tentang kronologis peristiwa
pidana tersebut, sangat penting adanya keberadaan saksi yang melihat,
mendengar, dan yang mengalami sendiri hal tersebut. Namun apabila tidak adanya
saksi yang memenuhi syarat tersebut, maka akan sangat sulit dalam mengungkap
fakta-fakta dalam peristiwa tersebut. Oleh karena itu, jaksa penuntut umum
menghadirkan saksi mahkota dalam proses persidangan karena saksi mahkota
merupakan salah satu terdakwa yang dijadikan saksi dalam perkara yang dianggap
mengetahui dan mengalami tindak pidana tersebut.
Terkait dengan keadaan tersangka sebagai saksi (saksi mahkota), haruslah
diberikan perlindungan hukum agar kesaksiannya berdampak positif terhadap
dirinya, misalnya dikurangi hukumannya oleh pengadilan atau dituntut ringan atau
bahkan dibebaskan oleh Jaksa Penuntut Umum karena sebagai pengungkap fakta
seperti kasus pencurian dengan kekerasan yang dalam proses pembuktiannya
menggunakan saksi mahkota sebagai alat bukti.
Menurut hukum, bahwa yang disebut saksi adalah seseorang yang dapat
memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri. Sementara yang dimaksud dengan keterangan saksi adalah salah satu
alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai

4
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan pengetahuannya 1
Peranan saksi mahkota sebenarnya sangat signifikan untuk mengungkap
siapa, dimana serta bagaimana terjadinya tindak pidana. Hal ini disebabkan oleh
karena saksi mahkota adalah “orang dalam” yang mengetahui betul tentang
perencanaan, persiapan, dan proses pelaksanaan sehingga terjadi tindak pidana
yang dilakukan oleh tersangka atau para tersangka. Begitu pentingnya seorang
saksi berada pada semua tahap kegiatan penyidikan dan penyelidikan, sejak tindak
pidana diketahui sampai dengan putusan Hakim di Pengadilan.
Penanganan tindakan kriminal yang terorganisir, dan tindakan kriminal
dengan motif dari kejahatan yang secara kompleks lainnya tidak luput dari
terlibatnya beberapa terdakwa yang berdasarkan bukti yang telah disediakan oleh
mereka yang mempunyai pengetahuan yang luas atas kejahatan tersebut.
Diperlukannya ketentuan atau peraturan-peraturan mengenai perlindungan
hukum terhadap saksi bukan hanya diharapkan dapat memberikan kepastian
terhadap hukum namun dapat menjamin akan adanya perlindungan terhadap saksi
yang juga berkedudukan sebagai tersangka yang membantu dalam membuktikan
kejahatan dengan memberikan sebuah hadiah atas kesaksiannya tersebut.
Seringkali seorang saksi mendapatkan segala ancaman yang secara fisik
maupun mental, yang disebabkan karena telah dianggap memberatkan pihak-
pihak di dalam kasus yang diselidiki apalagi jika ada penyertaan dalam tindak
pidana yang dilakukan seperti pencurian dengan kekerasan, sehingga akan lebih
berat hukuman yang diterima, sehingga pelaku utama akan berusaha melakukan
tindakan untuk menutup mulut dan berusaha menyembunyikan bahkan
menghilangkan bukti yang diaggap memberatkan mereka sebagai pelaku-pelaku
kejahatan tersebut.
Dalam pengungkapan suatu perkara, saksi haruslah mendapatkan perhatian
dan perlindungan karena seorang saksi sangat dibutuhkan. Kemudian pada Pasal
142 KUHAP menyatakan bahwa pada saat penuntut umum telah menerima satu
berkas perkara yang telah memuat lebih dari satu tindak pidana yang dilaksanakan

1
Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm.
134

5
oleh lebih dari satu tersangka yang tidak termasuk dalam Pasal 141 KUHAP,
penuntut umum diperbolehkan melaksanakan penuntutan kepada para terdakwa
secara terpisah.
Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting karena
kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecendrungan
keputusan hakim. Seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang dapat
menentukan kemana arah keputusan hakim. Hal ini memberikan efek kepada
setiap keterangan saksi selalu mendapat perhatian yang sangat besar baik oleh
pelaku hukum yang terlibat didalam persidangan maupun oleh masyarakat
pemerhati hukum2. Oleh karena itu, sangatlah tepat bahwa yang menjadi latar
belakang penulis dalam membuat makalah ini adalah peranan saksi mahkota
sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencurian dengan kekerasan di
persidangan.
Jadi pentingnya peranan seorang saksi pada semua tahapan di dalam
penyidikan maupun penyelidikan adalah sejak diketahuinya tindak pidana tersebut
sampai pada keputusan hakim di pengadilan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditemukan perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa itu pengertian saksi mahkota?
2. Bagaimana peranan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana?
3. Apa perlindungan hukum terhadap saksi mahkota?
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peranan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara
pidana!
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap saksi mahkota dalam
persidangan !

2
Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Trhamrin, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem
Peradilan Pidana, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya, 2009, hlm. 1..

6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Saksi Mahkota
Saksi mahkota dalam bahasa Inggris digunakan istilah crown witness
sedangkan dalam bahasa Belanda digunakan istilah kroon getuige. Kedua
istilah tersebut jika diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia
memiliki makna “saksi mahkota”. Penggunaan kedua istilah tersebut oleh
para ahli maupun para penstudi hukum kadang-kadang digunakan secara
berdiri sendiri, bergantian atau ada juga yang menggunakan kedua-duanya
secara bersamaan, belum ada konsistensi, tergantung keperluan dan
pandangan masing-masing.
Mengenai asal usul istilah saksi mahkota menurut Andi Hamzah, saksi
mahkota dikenal dalam praktek pengadilan di Nederland, yaitu salah seorang
terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan kejahatan itu,
misalnya delik narkoba atau terorisme dikeluarkan dari daftar terdakwa dan
dijadikan saksi. Dasar hukumnya ialah asas oportunitas yang ada di tangan
jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang ke pengadilan baik
dengan syarat maupun tanpa syarat.3
Istilah saksi mahkota tidak populer digunakan dalam kepustakaan teori
hukum acara pidana di Indonesia. Dalam sistem hukum acara pidana
Indonesia yang sumber formilnya sebahagian terbesar berasal dari Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak ditemukan
secara tegas pengaturan dan penggunaan istilah saksi mahkota. Demikian
pula dalam peraturan perundang-undangan pidana khusus seperti Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan lain-lain tidak ditemukan
istilah saksi mahkota.
Istilah saksi mahkota dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan

3
Andi Hamzah, 2013, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Cet. Ketujuh, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 272.

7
Atas Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, tidak diatur secara lengkap dan terperinci.
Saksi mahkota adalah istilah untuk tersangka/terdakwa yang dijadikan
saksi untuk tersangka/terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu
perbuatan pidana. Walaupun tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, tapi
dalam praktiknya memang sering dijumpai adanya saksi mahkota untuk
pembuktian pada perkara pidana.
Pengertian saksi perlu diuraikan agar dapat dipahami bahwa saksi mahkota
pada dasarnya juga adalah saksi, hanya saja memperoleh tambahan predikat
“mahkota” sehingga menjadi “saksi mahkota”. Keterangan saksi tersebut
diperoleh dari seorang tersangka yang kemudian dijadikan sebagai saksi
dengan diberikan “mahkota” sehingga ia bersedia menjadi saksi, dimana ia
sendiri sesungguhnya sebagai pelaku tindak pidana terhadap perkara pidana
yang dilakukan dalam bentuk “penyertaan”.
Menurut Lilik Mulyadi, mengenai saksi mahkota tidak terdapat definisi
yang otentik dalam ketentuan KUHAP, namun berdasarkan perspektif
empirik maka saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau
diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-
sama melakukan tindak pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut
diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang
berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan
terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan
apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan
yang pernah dilakukan.
Dengan demikian sesungguhnya istilah saksi mahkota ini lahir dari
perkembangan praktek pelaksanaan Pasal 142 KUHAP tentang pemisahan
perkara oleh penuntut umum (splitsing). Pasal 142 KUHAP menegaskan
bahwa dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat
beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang
tidak termasuk ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan
penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.

8
Berdasarkan uraian diatas, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat
bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu
dalam hal adanya perbuatan pidana penyertaan, dan terhadap bentuk
perbuatan pidana penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan
(splitsing), serta apabila dalam bentuk penyertaan dalam tindak pidana
tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi.
Hal ini bertujuan agar terdakwa tidak terlepas dari pertanggung jawabannya
sebagai pelaku perbuatan pidana. 4
B. Peranan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam tindak pidana
pencurian dengan kekerasan di Persidangan
Menurut Soerjono Soekanto pengertian peranan adalah merupakan aspek
dinamis dari kedudukan (status) yang dimiliki seseorang, sedangkan status
merupakan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang apabila orang tersebut
melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan kedudukannya,
maka ia menjalankan suatu peranan. Maka dalam makalah ini secara
kontekstual pengertian “peranan” dimaksud adalah tindakan yang dilakukan
oleh tersangka sebagai “saksi mahkota” untuk memberikan kesaksian di
depan sidang pengadilan guna membuktikan dakwaan jaksa penuntut umum
dalam suatu perkara pidana di persidangan. Jadi peranan yang dimaksud
disini adalah peranan saksi mahkota untuk memberikan keterangan di depan
sidang pengadilan atas permintaan jaksa penuntut umum untuk membuktikan
dakwaannya.
Jadi saksi mahkota adalah alat bukti yang digunakan dalam membuka
tabir tindak pidana yang terjadi dikarenakan kurangnya alat bukti yang
dihadirkan. Dalam kamus hukum „bukti‟ yaitu sebagai segala sesuatu yang
memperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau ketidakbenaran fakta lain oleh
para pihak dalam perkara pengadilan guna memberikan bahan kepada hakim
bagi penilaiannya.5
Makna penting dari pembuktian adalah mencari kebenaran atas suatu
peristiwa dalam konteks hukum yang mempunyai sebab akibat oleh

4
M. Sofyan Lubis, 2008, Saksi Mahkota, Varia Peradilan, November 1990, Nomor 62, hlm. 27
5
Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 83.

9
karenanya dalam hukum acara merupakan inti dari pada persidangan. Dalam
perspektif sistem peradilan pidana pada khususnya, maka aspek pembuktian
memegang peranan yang menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang
sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. 6
Sementara itu sistem pembuktian yang dianut oleh Pasal 183 KUHAP
memadukan unsur-unsur obyektif dan subyektif dalam menentukan salah
tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur
tersebut, keduanya saling berkaitan. Jika suatu perkara terbukti secara sah
(sah dalam arti alat-alat bukti menurut undang-undang), akan tetapi tidak
meyakinkan hakim akan adanya kesalahan tersebut, maka hakim tidak dapat
menjatuhkan putusan pidana pemidaanaan terhadap terdakwa.
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem
pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk,
hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat
dipergunakan untuk pembuktian7.
Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Sedangkan istilah ‟saksi mahkota‟ tidak terdapat dalam KUHAP.
Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai ‟saksi
mahkota‟ (kroon getuide) namun dalam praktik dan berdasarkan perspektif
empirik saksi mahkota itu ada.
Dan saksi mahkota ini hanya ada dalam perkara pidana yang merupakan
delik penyertaan. Saki Mahkota adalah saksi yang berasal dan/atau diambil

6
Syaiful Bakhri, 2014, Sistem Peradilan Hukum Pidana Indonesia : Perspektif Pembaharuan
Hukum, Teori dan Praktik Peradilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 43.
7
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19

10
dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-
sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut
diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang
berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan
terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila
perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang
pernah dilakukan saksi tersebut.
Pengaturan mengenai ‟saksi mahkota‟ ini pada awalnya diatur di dalam
pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-
sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka
tinjauan pemahaman (rekoqnisi) tentang saksi mahkota sebagai alat bukti
dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.
Dalam Yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung RI
tidak melarang apabila Jaksa/Penuntut Umum mengajukan saksi mahkota
dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak
termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan
kesaksian. Dan dalam Yurisprudensi tersebut juga ditekankan definisi saksi
mahkota adalah, ”teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-
sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum,
yang perkaranya dipisah karena kurangnya alat bukti”.
Jadi disini penggunaan saksi mahkota ”dibenarkan‟ didasarkan pada
prinsip-prinsip tertentu yaitu,
1) dalam perkara delik penyertaan ;
2). terdapat kekurangan alat bukti ; dan
3). Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing);
Sehinga dapat dinyatakan bahwa ketika suatu perkara pidana dihadirkan
saksi mahkota terkait perkara pencurian dengan kekerasan dalam peradilan
pidana itu disebabkan karena keterbatasan alat bukti dalam pembuktian
perkara pidana baik pencurian dengan kekerasan maupun pidana lainnya.
Saksi mahkota digunakan dalam bentuk penyertaan (deelneming) yaitu

11
keikutsertaan dan pembantuan seorang dalam melakukan suatu tindak pidana,
dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya.
Saksi mahkota memiliki peran penting dalam proses pembuktian dalam
suatu pengungkapan peristiwa pidana yang terjadi. Saksi mahkota biasanya
adalah seorang tersangka/ terdakwa yang memiliki peran paling ringan dalam
suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama sehingga dengan perannya
sebagai saksi mahkota, maka ia akan diberikan keringanan hukum atau bisa
saja dikeluarkan dari daftar tersangka atau terdakwa berdasar pertimbangan
dari penyidik atau majelis hakim.8
Jadi peranan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam tindak pidana
pencurian dengan kekerasan di persidangan cukup penting dalam membantu
penegakan hukum, dimana dengan keberadaan saksi mahkota dalam
pencurian dengan kekerasan diharapkan :
1. Menemukan kebenaran materil yang sebenarnya
2. Proses pembuktian cepat dan sederhana
3. Memenuhi standar batas minimal pembuktian
4. Menegakan keadilan publik
5. Menentukan tuntutan pidana.
C. Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Mahkota Dalam Perkara Tindak
Pidana Pencurian Dengan Kekerasan
Tindak pidana pencurian dengan kekerasan adalah perbuatan untuk
mengambil barang orang lain yang didahului, disertai atau diikuti dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud atau
mempersiapkan atau mempermudah pencurian. Hukum pembuktian yaitu
merupakan bagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam
alat bukti yang sah menurut hukum, tata cara dan syarat-syarat menyerahkan
bukti tersebut merupakan wewenang hakim untuk menilai menolak ataupun
menerima bukti tersebut.9

8
Firdaus, A. S. (2015). Kedudukan Terdakwa sebagai Saksi (Saksi Mahkota) terhadap Terdakwa
Lain dalam Tinjauan Hukum Acara Pidana. Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, 12(3), 227.
9
Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Penerbit
Mandar Maju, Bandung, h. 10

12
Tindak pidana pencurian dengan kekerasan diatur dalam Pasal 365
KUHP, yaitu pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan
yang akan ditujukan pada orang dengan tujuan untuk mempermudah dalam
melakukan aksinya.
Kekuatan pembuktian dengan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam
persidangan adalah sah dan dapat dipertanggungjawabkan dikarenakan telah
memenuhi persyaratan sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti. Kekuatan
pembuktiannya tersebut seluruhnya diserahkan kepada hakim. Adanya
perlindungan terhadap saksi mahkota di dalam pembuktian di persidangan
harus berdasarkan ketentuan atau norma hukum yang berlaku guna
memberikan perlindungan kepada saksi mahkota.10
Adanya ketentuan atau norma hukum ini adalah agar saksi mahkota tidak
terjerat dengan keterangannya sendiri karena apabila berbohong maka akan
dikenakan pasal sumpah palsu yaitu Pasal 242 KUHP.
Akibat hukum yang timbul atas penggunaan saksi mahkota ditinjau pada
pihak yang pro atas digunakannya saksi mahkota tersebut dalam proses
pembuktian perkara pidana berpendapat bahwa saksi mahkota diajukan
sebagai saksi untuk membuktikan apakah terjadi perbuatan pidana serta
apakah benar terdakwa tersebut telah menimbulkan perbuatan pidana itu. Hal
ini sesuai dengan salah satu tujuan hukum acara pidana, yaitu agar terciptanya
suatu ketentraman, keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan di dalam
masyarakat.
Proses pemeriksaan saksi, terdakwa atau tersangka dalam setiap tatanan
pemeriksaan menjadi tiang penting dalam pembuktian atas sub bagian
kejahatan perkara pidana. Pemeriksaan ini tidak tertuju untuk mendapatkan
pengakuan atau yang dengan istilah lain pengakuan ini bukanlah tujuan dari
pemeriksaan perkara.11
Perlindungan terhadap saksi mahkota lebih dipandang sebagai suatu alat
bukti serta diberikan kewajiban di dalam pelaksanaan peradilan pidana
10
Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, h. 10
11
Gerson W. Bawengan, 1997, Penyidikan Perkara Pidana. Teknik Interogasi, Pradnya Paramita,
Jakarta, h. 105

13
memberikan suatu keadilan dengan menyamakan semua orang di muka
hukum adalah tujuan dari proses peradilan pidana, maka dari itu saksi yang
terlibat dalam tindak pidana diberikan perlindungan dan jaminan yang sama
dengan terdakwa atau tersangka.
Sementara saksi mahkota yang juga sebagai pelaku tindak pidana diduga
kuat telah melakukan kesalahan, dan karenanya sangat mudah untuk
membuktikannya di pengadilan. Yang memungkinkan baginya adalah lepas
dari tuntutan hukum sebagaimana terdapat dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP
yang menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepadanya terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Hanya saja untuk lepas dari tuntutan hukum juga sulit, karena saksi mahkota
yang juga sebagai pelaku tindak pidana yang diduga kuat telah melakukan
kesalahan, tindakannya tidak termasuk dalam kerangka dasar penghapusan
pidana.
UUD 1945 menyebutkan dengan jelas bahwa Negara Indonesia adalah
Negara yang berpedoman berdasarkan atas hukum. Negara Indonesia adalah
Negara hukum yang sangat menjunjung dan menjamin hak asasi manusia dan
akan menjamin semua warga negaranya memiliki kedudukan yang sama di
muka hukum. Hukum memiliki peran mengatur kehidupan bernegara.
Terdakwa atau tersangka memberikan sebuah kesaksian untuk tersangka atau
terdakwa lain, saksi mahkota menjadi kunci dalam pemecahan kasus yang
melibatkan beberapa pelaku. Splitsing adalah tersangka atau terdakwa yang
dapat menjadi saksi mahkota untuk memberikan kesaksian dalam
menanggulangi kejahatan.12 Splitsing juga dapat diartikan sebagai pemisah
berkas perkara.
Terkait penghargaan yang diberikan atas kesaksian yang telah diberikan
tersebut dapat saja berupa pemberian keringanan dalam proses pemidanaan
yakni dalam putusan atau bahkan adanya proses pembebasan bersyarat,
remisi dan hak-hak terdakwa lainnya yang disesuaikan dengan pertimbangan-

12
Sutarto, Suryono, 1991, Hukum Acara Pidana Jilid 1, Badan Penerbit Undip, Semarang, h. 10

14
pertimbangan majelis hakim. Berdasarkan dengan Surat Edaran Kejaksaan
Agung Nomor B-69/E/02/1997 Tahun 1997 tentang Hukum Pembuktian
Dalam Perkara Pidana memberikan penjelasan mengenai saksi mahkota.13
Jadi bentuk perlindungan hukum terhadap saksi mahkota dalam perkara
tindak pidana pencurian dengan kekerasan dapat diberikan dengan
pengurangan hukuman pidana dan pemberian kebebasan dari penuntutan
(imunitas) bergantung penilaian dan kebijakan hakim yang menangani
perkarannya.

13
Muharikin, I. M. (2015). Kedudukan Saksi Mahkota dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia
berdasarkan Asas Non Self Incrimination. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 9

15
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
Dalam persidangan ini pembuktian kekuatan saksi mahkota sebagai alat
bukti adalah sah dan dapat dipertanggungjawabkan dikarenakan telah
memenuhi persyaratan sehingga dapat dikatakan sebagai alat bukti, dan
kekuatan pembuktiannya seluruhnya diserahkan kepada hakim. Perlindungan
hak terdakwa sebagai saksi mahkota dalam tindak pidana pencurian dengan
kekerasan, belum ada Undang-Undang Khusus yang mengatur mengenai hal
tersebut di dalam peradilan pidana, tetapi haknya sebagai saksi sama dengan
saksi lainnya. Terkait dengan hal ini maka tersangka yang menjadi saksi
mahkota dalam proses pembuktian hingga dalam persidangan memperoleh
perlindungan yang sama seperti saksi pada umumnya yang diatur didalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. Sementara perlindungan hak terdakwa diatur dalam Pasal 50
sampai Pasal 68 KUHAP. Seorang saksi yang peranannya menjadi satu
pelaku dan juga menjadi terdakwa atau tersangka dalam hukum acara pidana,
memiliki hak dan perlindungan yang sama seperti terdakwa/tersangka.
Meskipun demikian, hakim bisa menjadikan saksi mahkota sebagai dasar
pertimbangan hakim di dalam memutuskan perkara tersebut. Dalam hal ini
tindak pidana yang dilakukan berupa tindak pidana penyertaan dengan
menggunakan sistem pemisahan berkas (splitsing) dikarenakan kurangnya
alat bukti keterangan saksi.

b. Saran
Mengenai perlindungan hak terdakwa sebagai saksi mahkota dalam
tindak pidana pencurian dengan kekerasan perlu adanya pengaturan hukum
mengenai perlindungan saksi mahkota dalam persidangan yang bertujuan
adanya kepastian hukum, kemanfaatan hukum, keadilan hukum, dan jaminan
hukum sebagai unsur penegakkan hukum mengenai perlindungan
kepentingan manusia. Dan mengenai kedudukan saksi mahkota dalam tindak
pidana pencurian dengan kekerasan perlu adanya kebijakan hukum yang baru
dalam bentuk pengaturan hukum mengenai saksi mahkota agar tidak lagi
terjadinya perbedaan pendapat dalam Yurisprudensi tentang kebolehan
penggunaan saksi mahkota. KUHAP dan UU No.31 Tahun 2014 perlu
disempurnakan terkait keberadaan saksi mahkota.

16
DAFTAR PUSTAKA
Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, CV. Mandar Maju,
Bandung, 2009, hlm. 134
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
Undang-Undang No. 31 Tahun 2014
Chandra M. Hamzah. Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang Cukup.
Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014
Lilik Mulyadi, Hukum acara Pidana normative,teoritis,praktik dan
permasalahannya, (Bandung: P.T. Alumni, 2007)
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Andi Hamzah, 2013, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Cet. Ketujuh,
Sinar Grafika, Jakarta
Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Trhamrin, Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam Sistem Peradilan Pidana, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya
Anggasakti, T., & Kawa, A. P. (2016). Penggunaan Saksi Mahkota dalam
Pembuktian Perkara Pembunuhan Berencana Berdasarkan Asas Praduga
Tidak Bersalah. Jurnal Verstek, 4(2), 200– 208.
Asmasasmita, R. (2011). Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Firdaus, A. S. (2015). Kedudukan Terdakwa sebagai Saksi (Saksi Mahkota)
terhadap Terdakwa Lain dalam Tinjauan Hukum Acara Pidana. Fakultas
Hukum Universitas Esa Unggul, 12(3), 227.
Harahap, Y. M. (2012). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali
(II). Jakarta: Sinar Grafika.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Penerbit Mandar Maju, Bandung,
Muharikin, I. M. (2015). Kedudukan Saksi Mahkota dalam Proses Peradilan
Pidana di Indonesia Berdasarkan Asas Non Self Incrimination. Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya, 9.
Siahaan, B. (2015). Kajian Yuridis tentang Saksi Pengungkap Fakta
(Whistleblower). Lex Crimen, IV(1), 178–187.
Sutarto, Suryono, 1991, Hukum Acara Pidana Jilid 1, Badan Penerbit Undip,
Semarang
Gerson W. Bawengan, 1997, Penyidikan Perkara Pidana. Teknik Interogasi,
Pradnya Paramita, Jakarta,
Yusman. (2019). Saksi Mahkota dalam Proses Penyelesaian Perkara (Splitsing)
dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. RECHTSREGEL Jurnal Hukum,
2(1), 509–524.

17

Anda mungkin juga menyukai