Dosen:
Dr. Eli Halimah
1. Pendahuluan
1.1 Pengertian Keseimbangan Asam-Basa
1.2 Sistem Bufer
1.2.1 Sistem Bufer Bikarbonat
1.2.2 Sistem Bufer Fosfat
1.2.3 Sistem Bufer Protein
1.2.4 Sistem Hemoglobin
1.3 Sistem Paru-paru
1.4 Sistem Ginjal
2. Klasifikasi Gangguan Asam-Basa
2.1 Aspek Klinis dan Klasifikasi
2.2 Gangguan Keseimbangan Asam–Basa Respiratorik
2.2.1 Asidosis Respiratorik
2.2.2 Alkalosis respiratorik
2.3 Gangguan Keseimbangan Asam–Basa Metabolik
2.3.1 Asidosis Metabolik
2.3.2 Alkalosis Metabolik
3. Diagnosis dan Tatalaksana
3.1 Diagnosis
3.2 Tatalaksana
1. Pendahuluan
1.1 Pengertian Keseimbangan Asam-Basa
Ion hidrogen (H+) terdapat di semua bagian tubuh. Pemeliharaan konsentrasi ion
hidrogen (H+) yang sesuai sangat penting untuk fungsi seluler normal. Keseimbangan asam-basa
atau pH cairan tubuh dipertahankan oleh mekanisme regulasi yang ketat. Regulasi ini melibatkan
buffer tubuh, sistem pernapasan dan ginjal. Teori elektrolit disosiasi diusulkan oleh Arrhenius
(Peraih hadiah Nobel, 1903). Berdasarkan definisi yang diusulkan oleh Bronsted, asam adalah
zat yang mampu mendonorkan proton dan basa adalah yang menerima proton. Asam adalah
donor proton dan basa adalah akseptor proton. Berikut merupakan beberapa contohnya;
Media di dalam sistem biologik adalah larutan air. Suatu asam HA dalam pelarut air akan
melepaskan ion H+ (proton donor) dan air akan menerima ion H+ (proton aseptor). Pada reaksi
ini air bersifat sebagai suatu basa. Asam dalam larutan air akan berdisosiasi dan melepaskan ion
hidrogen dan basa konjugasi (conjugate base) Basa di dalam larutan dapat menerima atau
bergabung dengan ion hidrogen. Suatu basa dalam pelarut air akan menerima ion H+ yang
dilepaskan oleh air, dengan demikian air akan bersifat asam. Basa adalah zat yang di dalam air
menjadi kation dan ion hidroksil. Ion hidroksil dapat mengikat ion hidrogen, sehingga basa
disebut juga sebagai resipien ion hydrogen. Ternyata air dapat bersifat sebagai basa maupun
sebagai asam (amfolit). Keseimbangan asam–basa adalah suatu keadaan dimana konsentrasi ion
H+ yang diproduksi setara dengan konsentrasi ion H+ yang dikeluarkan oleh sel. Keseimbangan
asam–basa adalah keseimbangan ion H+. Pada proses kehidupan keseimbangan asam pada
tingkat molekular umumnya berhubungan dengan asam lemah dan basa lemah, begitu pula pada
tingkat konsentrasi ion H+ atau ion OH– yang sangat rendah.
Walaupun produksi asam akan terus menghasilkan ion hidrogen dalam jumlah sangat
banyak, ternyata konsentrasi ion hidrogen tetap dipertahan pada kadar rendah pH 7,4. Cairan
tubuh harus dilindungi dari perubahan pH karena sebagian besar enzim sangat peka terhadap
perubahan pH. Mekanisme protektif harus berlangsung aktif dan secara terus menerus karena
proses metabolisme juga menyebabkan terbentuknya asam dan basa secara terus menerus (asam
karbonat, asam sulfat, asam fosfat, asam laktat, asam sitrat, ion ammonium, asam asetoasetat, β-
hidroksibutirat).
Pengaturan keseimbangan asam basa diselenggarakan melalui koordinasi dari tiga sistem,
yaitu: 1) sistem bufer, 2) sistem paru dan 3) sistem ginjal. Prinsip pengaturan keseimbangan
asam–basa oleh sistem bufer adalah menetralisir kelebihan ion hidrogen, bersifat temporer dan
tidak melakukan eliminasi (proses eliminasi dilakukan oleh paru dan ginjal). Mekanisme paru
dan ginjal dalam menunjang kinerja sistem bufer adalah dengan mengatur sekresi, ekskresi,
absorpsi ion hidrogen dan bikarbonat serta membentuk bufer tambahan (fosfat, amonia). Kedua
prinsip pengaturan ini bertujuan mempertahankan pH darah pada rentang 7,35–7,45. Mekanisme
tubuh melindungi dampak perubahan pH terdiri dari dua tahap. Pertama, jangka pendek, melalui
pengaturan sistem bufer. Kedua, jangka panjang, kelebihan asam atau basa dieliminasi melalui
ginjal dan paru.
1.2 Sistem Buffer
Sistem bufer disebut juga sebagai sistem penahan atau sistem penyangga, karena dapat
menahan perubahan pH. Sistem bufer merupakan larutan yang mengandung asam dan basa
konjugasinya. Bufer ini terdiri dari asam lemah yang menjadi donor ion hidrogen dan basa lemah
yang berfungsi sebagai akseptor ion hidrogen [HA H+ + A]. Di dalam tubuh terdapat beberapa
sistem bufer yaitu sistem bufer asam karbonat–bikarbonat, sistem bufer protein, sistem bufer
hemoglobin dan sistem bufer fosfat. Melalui reaksi yang bersifat reversibel, bufer dapat
mengatasi perubahan konsentrasi ion hidrogen. Bila H+ bertambah ion hidrogen ini akan
bergabung dengan A– . Reaksi mengarah ke kiri, mengurangi A– dan menambah HA. Bila H+
berkurang reaksi mengarah ke kanan, meningkatkan A– dan mengurangi HA. Bufer secara
langsung segera mengambil atau melepaskan ion H+.
Bufer mampu menahan perubahan konsentrasi ion hidrogen dalam batas normal yang
sempit. Konsentrasi bufer cepat menurun dan habis. Untuk menjaga efektivitas sistem bufer, ion
hidrogen harus dieliminasi; dikeluarkan dari tubuh. Efektivitas bufer sangat bergantung pada
konstanta disosiasi dan konsentrasi bufer (HA H++ A– ). Sistem bufer yang baik adalah bila
jumlah A– cukup untuk mengikat seluruh penambahan H+ dan HA cukup untuk mengganti
seluruh H+ yang dikeluarkan dari tubuh. Jumlah A– dan H+ paling banyak adalah bila jumlah
HA = A– . Berikut merupakan tabel sistem buffer dalam tubuh;
Sebagaimana asam karbonat–bikarbonat, sistem ini juga memiliki cadangan fosfat yang
tersedia dalam bentuk natrium mono hidrogen fosfat (NaHPO4 2-).
Asam yang dihasilkan dari suatu proses metabolisme normal di tingkat sel, mengalami
netralisasi secara temporer melalui sistem bufer yang ada di dalam cairan.
Bila terjadi peningkatan pH, gugus karboksil (–COOH) dari asam amino mengalami
disosiasi dan berubah menjadi ion karboksil (– COO−) dan ion H+. Gugus karbosil bertindak
sebagai donor proton.
Sistem bufer protein berfungsi mengatur pH cairan ekstrasel dan interstisium. Protein
sebagai bufer berinteraksi secara ekstensif dengan sistem bufer lainnya. Protein plasma
memiliki kontribusi sebagai sistem bufer pada darah. Cairan interstisium yang mengandung
protein dan asam amino terdisosiasi ikut berperan mengatur pH. Protein mengandung asam
amino histidin yang mempunyai cincin imidazol dengan pKa = 6,0. Pada kebanyakan protein
pK sekitar 7,0–7,4. Proses pengaturan melalui sistem bufer protein berjalan lambat karena ion
hidrogen harus melalui proses difusi membran sel yang dipengaruhi oleh pompa natrium.
1.2.4 Sistem Hemoglobin
Bufer hemoglobin (Hb) merupakan bufer intrasel yang bekerja di dalam sel darah merah.
Hemoglobin dapat berfungsi sebagai bufer karena mengandung residu histidin, yaitu asam
amino basa yang dapat berikatan secara reversibel dengan ion hidrogen, menghasilkan Hb
bentuk berproton dan tidak berproton. Mekanisme pengikatan Hb dan ion hidrogen dapat dilihat
pada gambar berikut;
Pada sel darah merah, hemoglobin dapat mengikat karbondioksida dan mengubahnya
menjadi asam karbonat karena di dalam sitoplasma terkandung anhidrase karbonat, dan proses
pengikatan terjadi dengan cepat karena CO2 berdifusi cepat melintasi membran sel darah merah
tanpa memerlukan mekanisme transportasi aktif membran sel. Kemampuan melakukan
pengaturan ini dikenal sebagai sistem bufer hemoglobin.
Gambar Efek Bohr. CO2 yang dihasilkan di jaringan perifer berikatan dengan air membentuk asam karbonat yang terdisosiasi menjadi ion
H+ (proton) dan ion HCO3 —. Deoksihemoglobin bertindak sebagai bufer yang mengikat proton dan membawanya ke paru .
Di dalam paru hemoglobin melepaskan proton yang bergabung dengan ion bikarbonat
membentuk asam karbonat yang akan terurai menjadi H2 O dan CO2 oleh enzim karbonat
anhidrase dan CO2 akan dikeluarkan oleh paru. 78 Bufer utama cairan ekstrasel adalah sistem
bikarbonat dan hemoglobin. Hemoglobin (Hb) penting sebagai pengangkut oksigen ke jaringan,
pengangkut CO2 dan sebagai sistem bufer yang kuat. Hemoglobin sebagai bufer cukup efektif
karena di dalam molekulnya terdapat beberapa kelompok bufer dengan pKa 6,5–7,8. Kelompok
imidazol pKa sekitar 6 merupakan bufer utama hemoglobin. Fosfat dan Hb penting karena pKa
dekat dengan kisaran normal.
1.3 Sistem Organ Paru-Paru
Sistem pernapasan berkontribusi pada keseimbangan asam dan basa dalam tubuh dengan
mengatur kadar asam karbonat dalam darah. Peranan sistem respirasi dalam keseimbangan
asam–basa adalah mempertahankan agar PCO2 selalu konstan walaupun terdapat perubahan
kadar CO2 akibat proses metabolisme tubuh. Sistem pernapasan meng atur kadar karbon
dioksida yaitu PCO2 darah arteri berkisar 40 mmHg. Ventilasi paru dikendalikan oleh pH dan
PaCO2 darah.
Terdapat dua reseptor yang mengatur fungsi ventilasi, yaitu: Pusat pernapasan di medula
oblongata yang merespons penurunan pH cairan serebrospinal dengan cara meningkatkan
ventilasi alveolar. Reseptor kedua yaitu Carotid dan aortic bodies dekat bifurkasio arteri karotis
interna dan eksterna dan pada arkus aorta. Penurunan pH mengaktifkan reseptor ini untuk
meningkatkan ventilasi alveolar. Keseimbangan asam basa respirasi bergantung pada
keseimbangan produksi dan ekskresi CO2 . Jumlah CO2 yang berada di dalam darah tergantung
pada metabolic rate (laju metabolisme) sedangkan proses ekskresi CO2 tergantung pada fungsi
paru. Kelainan ventilasi dan perfusi pada dasarnya akan mengakibatkan ketidakseimbangan rasio
ventilasi perfusi sehingga pada akhirnya akan terjadi V/Q mismatch (ketidakseimbangan
ventilasi perfusi). Ketidakseimbangan rasio ventilasi perfusi pada akhirnya dapat menyebabkan
hipoksia maupun retensi CO2 sehingga terjadi gangguan keseimbangan asam basa.
Kendali sistem ventilasi tergantung pada dua stimulus utama yaitu peningkatan PaCO2
dan penurunan PaO2 (hipoksemia). Stimulus CO2 Stimulus CO2 terhadap ventilasi terjadi pada
daerah kemosensitif di pusat pernapasan pada medula oblongata. Karbondioksida merupakan
stimulus utama pernapasan yang dapat terjadi walaupun hanya terdapat sedikit peningkatan
PaCO2 . Pada kebanyakan orang normal, setiap peningkatan 1 mmHg PaCO2 terjadi peningkatan
pernapasan sebesar 1-4 L/menit. Apabila terjadi peningkatan PaCO2 arteri seperti pada kelainan
paru intrinsik dan penurunan pH akan merangsang pernapasan yang bertujuan untuk menurunkan
PaCO2 . Peningkatan PaCO2 adalah akibat penurunan ventilasi alveolar seperti yang terjadi pada
kelainan paru obstruktif, bukan akibat peningkatan produksi CO2 . Kegagalan dalam
mempertahankan kadar CO2 akan mengakibatkan akumulasi CO2 dan asidosis respiratorik.
1.3.1 Stimulus O2
Stimulus O2 terjadi melalui perantaraan kemoreseptor di badan karotis yang terletak di
percabangan arteri karotis. Hipoksemia akan merangsang ventilasi apabila terjadi penurunan
PaO2 di bawah 50–60 mmHg sehingga meningkatkan frekuensi napas yang mengakibatkan
penurunan PaCO2 dan meningkatkan pH (alkalosis respiratorik).
1.3.2 Hipoksemia
Hipoksemia adalah terjadinya penurunan tekanan parsial oksigen (PaO2) < 80 mmHg
pada orang dewasa yang menghirup udara pada 81 suhu ruangan. Pada bayi baru lahir rentang
normal PaO2 berkisar antara 40–70 mmHg. Secara klinis, hipoksemia dibagi menjadi a)
hipoksemia ringan (PaO2 60–80 mmHg), b) hipoksemia sedang (PaO2 40–60 mmHg) dan c)
hipoksemia berat (PaO2 < 40 mmHg).
Respiratory Regulation of Blood pH: The respiratory system can reduce blood pH by
removing CO2 from the blood.
1.4 Sistem Organ Ginjal
Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa, ginjal harus mengeluarkan anion asam
nonvolatil dan mengganti HCO3 – . Ginjal mengatur keseimbangan asam–basa dengan sekresi
dan reabsorpsi ion hidrogen dan ion bikarbonat. Pada mekanisme pengaturan oleh ginjal ini
berperan tiga sistem bufer asam karbonat–bikarbonat, bufer fosfat dan pembentukan amonia. Ion
hidrogen, CO2 dan NH3 diekskresi ke dalam lumen tubulus dengan bantuan energi yang
dihasilkan oleh mekanisme pompa natrium di basolateral tubulus. Pada proses tersebut, asam
karbonat dan natrium dilepas kembali ke sirkulasi untuk dapat berfungsi kembali. Tubulus
proksimal adalah tempat utama reabsorpsi bikarbonat dan pengeluaran asam.
1.4.1 Regenerasi Bikarbonat
Bikarbonat dipertahankan dengan cara reabsorpsi di tubulus proksimal agar konsentrasi
ion bikarbonat di tubulus sama dengan di plasma. Pembentukan HCO3 – baru, merupakan
hasil ekskresi H+ dengan bufer urin dan dari produksi dan ekskresi NH4 +. Bikarbonat dengan
ion hidrogen membentuk asam karbonat. Asam karbonat kemudian berdisosiasi menjadi CO2
dan air. Reaksi ini dipercepat oleh enzim anhidrase karbonat yang terdapat pada brush border
sel tubulus ginjal. CO2 ini masuk sel tubulus dan dengan bantuan enzim anhidrase karbonat
kembali membentuk asam karbonat. Asam karbonat berdisosasi menjadi ion bikarbonat dan
hidrogen. Bikarbonat kembali ke aliran darah dan ion H+ kembali ke cairan tubulus untuk
dipertukarkan dengan natrium. Dengan cara ini bikarbonat di reabsorbsi kembali. Berdasarkan
pH urin, ginjal dapat mengembalikan bikarbonat ke dalam darah atau membiarkannya keluar
melalui urin.
Sel tubular tidak permeabel terhadap bikarbonat; dengan demikian, bikarbonat
dilestarikan daripada diserap kembali. Langkah 1 dan 2 dari konservasi bikarbonat
ditunjukkan.
Langkah 1: Ion natrium direabsorbsi dari filtrat untuk ditukar dengan H+ melalui mekanisme
antiport di membran apikal sel yang melapisi tubulus ginjal.
Langkah 2: Sel-sel menghasilkan ion bikarbonat yang dapat dialirkan ke kapiler peritubulus.
Langkah 3: Ketika CO2 tersedia, reaksi didorong ke pembentukan asam karbonat, yang
berdisosiasi untuk membentuk ion bikarbonat dan ion hidrogen.
Langkah 4: Ion bikarbonat masuk ke kapiler peritubulus dan kembali ke darah. Ion hidrogen
disekresikan ke dalam filtrat, di mana ia dapat menjadi bagian dari molekul air baru dan
diserap kembali seperti itu, atau dikeluarkan dalam urin.
1.4.2 Sekresi Ion Hidrogen
Ekskresi ion H+ dari tubulus proksimal dan distal sangat sedikit, hanya sekitar 0,025
mmol/L (pH 4.6) atau 0,1 mEq/L pada pH urin 4,0. Untuk mengeluarkan 3040 mmol ion H+
menurut perhitungan diperlukan urin 1200 L per hari. Namun adanya aktivitas bufer di dalam
lumen tubulus tidak memerlukan volume urin sebesar itu. Bufer utama di lumen tubulus
adalah fosfat (HPO4 2– / H2 PO4 – ) dan amonia (NH3 ). Fosfat di dalam tubulus bergabung
dengan ion H+ membentuk H2 PO4 – . Kemampuan pengaturan (eliminasi) ion H+ dalam
keadaan normal sangat tergantung pada pH cairan yang berada di tubulus ginjal (normal
berada pada rerata 4,0–4,5). Ion H+ diekskresikan dengan bufer lumen tubulus terutama
fosfat. Bila terjadi perubahan pH, maka ion H+ di ekskresi melalui lumen tubulus. Proses
eliminasi ini berlangsung di tubulus proksimal dan distal serta pada duktus koligentes.
Normalnya berkisar 100 mEq ion H+ per hari, dan ini setara dengan ion H+ yang diabsorbsi
di usus.
Ion H+ disekresikan melalui pertukaran dengan ion Na+ dengan bantuan energi yang
berasal dari pompa Na–K–ATPase yang berfungsi mempertahankan konsentrasi ion Na+.
Sekresi ion H+ melintasi concentration gradient, 40 nmol/L di plasma dan 25.000 nmol/L (25
x 103 nmol/L) di urin. Ginjal mampu mengeluarkan ion H+ melalui pompa proton (H–K–
ATPase dan H–ATPase) sampai pH urin turun menjadi 4,5.
1.4.3 Produksi dan Ekskresi NH4 +
Sungguhpun pasangan amonium/amonia tidak berfungsi bufer secara fungsional (pKa =
9,4), tetapi mempunyai peran sebagai pengangkut utama proton ke urin. Dengan cara ini dua
kali jumlah asam dapat dikeluarkan pada pH 4,5. Amonia dibuat di sel tubulus ginjal dari
asam amino glutamin dengan bantuan enzim glutaminase. Enzim ini berfungsi optimal pada
pH rendah. Amonia tidak diionisasi dan cepat sekali merendahkan concentration gradient.
Ammonia bergabung dengan ion H+ membentuk ion amonium yang tidak kembali ke sel
tubulus dan keluar melaui urin bersamaan dengan ion H+. Produksi dan ekskresi NH4 +
diatur ginjal sebagai respons perubahan keseimbangan asam basa. Anion asam nonvolatil
diekskresikan dengan NH4 +. Setiap ekskresi NH4 + dalam urin, HCO3 – kembali ke dalam
darah.
Gambar 1. Perubahan tingkat PaCO2 (Partial pressure of carbon dioxide/ PCO2) dan konsentrasi
bikarbonat [HCO3-] dapat membantu mengidentifikasi sifat gangguan asam basa.
Klasifikasi yang umum digunakan umumnya menggambarkan masalah dan kelainan yang terjadi,
sesuai dengan namanya.
Terjadi karena ketidakseimbangan antara pembentukan CO2 di jaringan perifer dengan ekskresinya di
paru; ditandai oleh peningkatan atau penurunan konsentrasi CO2
• Gangguan keseimbangan asam–basa metabolik
Terjadi karena pembentukan CO2 oleh asam fixed dan asam organik yang menyebabkan peningkatan
ion bikarbonat di jaringan perifer atau cairan ekstrasel.
Gambar 2. Klasifikasi, karakteristik, dan kompensasi gangguan asam-basa sederhana (Bhagavan & Ha,
2015).
Asidosis respiratorik terjadi apabila terdapat gangguan ventilasi alveolar yang mengganggu eliminasi
CO2 sehingga akhirnya terjadi peningkatan PaCO2 (hiperkapnia). Awalnya sistem bufer dapat
mengatasi namun akhirnya terjadi penurunan pH (Holmes, 1993).
Kemoreseptor yang terletak pada medula dan badan karotis akan memberi respons terhadap
perubahan PCO2. Pada beberapa keadaan respons kemoreseptor di medula akan menyebabkan
peningkatan ventilasi paru. Pada keadaan normal perubahan PCO2 dikendalikan oleh kemoreseptor
pusat (medula). Bila terdapat hipoksia atau hiperkapnia kronik, maka kemungkinan terjadi supresi
kemoreseptor pusat seperti dijumpai pada penderita penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Pada
keadaan tersebut, ventilasi akan dipertahankan oleh kemoreseptor pada badan karotis sebagai respons
terhadap perubahan PO2 dan perubahan pH. Bila keadaan berlanjut dan kemoreseptor gagal
memberikan respons atau pada keadaan dimana sirkulasi paru inadekuat, maka pH akan turun dan
timbul asidosis respiratorik akut (Bhagavan & Ha, 2015).
Etiologi
Beberapa faktor di bawah ini dapat menimbulkan asidosis respiratorik, antara lain:
b. Penyakit neuromuskular
- Asma bronkial
- Spasme laring
- Aspirasi
d. Kelainan restriktif:
f. Overfeeding
Hiperkapnia disebabkan oleh karena produksi CO2 yang berlebihan pada overfeeding. Proses oksidasi
karbohidrat, lemak dan protein dalam menghasilkan energi membutuhkan oksigen (O2) dan
menghasilkan CO2 dan H2O yang dapat digambarkan dengan respiratory quotient (RQ). RQ merupakan
perbandingan antara CO2 yang dihasilkan dengan kebutuhan O2 dari masing–masing substrat.
Pada alkalosis respiratorik terjadi hiperventilasi alveolar sehingga terjadi penurunan PaCO2
(hipokapnia) yang dapat menyebabkan peningkatan pH (McNamara & Worthley., 2001).
Hiperventilasi alveolar timbul karena adanya stimulus baik langsung maupun tidak langsung pada pusat
pernapasan, penyakit paru akut dan kronik, overventilasi iatrogenik (penggunaan ventilasi mekanik).
Hiperventilasi kronik umumnya bersifat asimptomatik sedangkan hiperventilasi akut ditandai dengan
rasa ringan di kepala (pusing), parestesia, circumoral numbness dan kesemutan.
Etiologi
Beberapa faktor berikut ini dapat menimbulkan alkalosis respiratorik:
a. Rangsang hipoksemia
- Anemia gravis
- Kelainan neurologis
- Kehamilan
d. Sepsis
• Ketoasidosis. Timbul karena produksi badan keton dalam jumlah sangat tinggi pada metabolisme
fase pasca absortif. Ketoasidosis merupakan akibat dari starvasi dan komplikasi diabetes mellitus
yang tidak terkendali, jaringan tidak dapat memanfaatkan glukosa dari sirkulasi, sehingga
mengandalkan metabolisme lipid dan keton.
• Intoksikasi salisilat.
• Intoksikasi etanol.
Kompensasi paru dengan cara hiperventilasi yang menyebabkan penurunan tekanan parsial CO2,
dapat bersifat lengkap, sebagian atau berlebihan. Berdasarkan kompensasi ini, asidosis metabolik dapat
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
a. Asidosis metabolik sederhana (simple atau compensated metabolic acidosis); penurunan kadar ion
HCO3– sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan pCO2 sebesar 1,2 mmHg.
b. Gabungan asidosis metabolik dengan asidosis respiratorik dapat juga disebut uncompensated
metabolic acidosis; penurunan kadar ion HCO3– sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan pCO2 kurang
dari 1,2 mmHg (pCO2 dapat sedikit lebih rendah atau sama atau lebih tinggi dari normal).
c. Gabungan asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik atau dapat disebut sebagai partly
compensated metabolic acidosis; penurunan kadar ion HCO3– sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan
PCO2 sebesar lebih dari 1,2 mmHg (pH dapat sedikit lebih rendah atau sama atau lebih tinggi dari
normal).
Pada prinsipnya, penyebab gangguan harus diketahui sebelum melakukan pengobatan. Penyebab
potensial demikian bervariasi sehingga seorang klinikus harus menegakkan diagnosis. Pada beberapa
keadaan, diagnosis sangat jelas. Sebagai contoh misalnya kasus asidosis metabolik yang terjadi pada
seorang setelah melakukan aktivitas fisik, tentunya jenis asidosis laktat. Kasus lainnya harus ditelusuri
lebih lanjut. Untuk mengetahui etiologi dari tiap tiap kelompok penyebab asidosis metabolik tersebut
perlu diketahui besarnya anion gap (Julian & Chang, 2016).
Anion gap
Dalam keadaan normal, jumlah anion dan jumlah kation di dalam tubuh adalah sama besar. Ada
anion dan kation yang dapat dihitung (Cl–, HCO3– dan Na+) dan ada anion dan kation yang tak dapat
dihitung (anion atau kation lain dari zat organik). Selisih antara Na dengan HCO3– dan Cl– atau selisih
dari anion lain dan kation lain disebut sebagai anion gap.
Pada kelompok pembentukan asam organik yang berlebihan sebagai penyebab asidosis metabolik,
besar anion–gap akan meningkat oleh karena adanya penambahan anion lain yang berasal dari asam
organik antara lain asam hidroksi butirat pada ketoasidosis diabetik, asam laktat pada asidosis laktat,
asam salisilat pada intoksikasi salisilat atau asam organik akibat intoksikasi etanol (Reddy & Mooradian,
2009).
b. Berkurangnya kadar ion HCO3– di dalam tubuh.
Sistem bufer asam karbonat–bikarbonat yang mengatur keseimbangan ion hidrogen dan
memengaruhi keseimbangan pH. Penurunan konsentrasi HCO3– di cairan ekstrasel menyebabkan
penurunan efektivitas sistem bufer dan asidosis timbul. Penyebab penurunan konsentrasi HCO3–
antara lain adalah diare, renal tubular acidosis (RTA) proksimal (RTA–2), pemakaian obat inhibitor
enzim anhidrase karbonat atau pada penyakit ginjal kronik stadium III–IV.
Jaringan tidak mampu mengupayakan ekskresi ion hidrogen melalui ginjal. Kondisi ini dijumpai pada
penyakit ginjal kronik stadium IV–V, RTA–1 atau RTA–4.
Alkalosis metabolik merupakan suatu proses terjadinya peningkatan primer bikarbonat dalam arteri.
Akibat peningkatan ini, rasio PCO2 dan kadar HCO3– di arteri berubah. Usaha tubuh untuk
memperbaiki rasio ini dilakukan oleh paru dengan menurunkan ventilasi (hipoventilasi) sehingga PCO2
meningkat dalam arteri dan meningkatnya konsentrasi HCO3– dalam urin (Berend et al, 2014). Pada
alkalosis metabolik yang sederhana, kenaikan kadar HCO3– 1 mEq/L akan menyebabkan kenaikan
PCO2 sebesar 0,7 mmHg.
Etiologi
a. Terbuangnya ion H+ melalui saluran cerna atau melalui ginjal dan berpindahnya (shift) ion H+ masuk
ke dalam sel.
Dalam keadaan normal, sekresi ion H+ oleh gaster akan merangsang ekskresi bikarbonat oleh
pankreas dan penyanggaan ini berlangsung adekuat (tidak terjadi gangguan keseimbangan asam–basa).
Terbuangnya ion H+ akibat muntah muntah maupun pemakaian pipa nasogastrik yang terbuka, ion
bikarbonat tidak diekskresi oleh pankreas karena hilangnya stimulus oleh ion H+ di duodenum.
Akibatnya hilangnya ion H+ yang tidak diimbangi oleh berkurangnya bikarbonat akan menimbulkan
alkalosis.
Sekresi ion H+ melalui ginjal, akan meningkat pada keadaan keadaan hiperal–dosteronisme primer,
penggunaan diuretic loop dan tiazid, pasca hiperkapnia, hiperkalsemia. Penggunaan diuretic loop dan
tiazid akan meningkatkan kadar aldosteron, sekunder dari pengurangan volume plasma. Deplesi volume
plasma akan merangsang sistem renin–aldosteron–angiotensin. Semua keadaan keadaan ini akan
merangsang peningkatan sekresi ion H+ dan reabsorbsi bikarbonat dalam tubulus (Seifter & Chang,
2016).
Sekresi ion H+ melalui tubulus juga meningkat pada keadaan asidosis dalam sel akibat masuknya ion
H+ ke dalam sel. Keadaan hipokalemia akan merangsang keluarnya kalium dalam sel masuk ke dalam
plasma. Untuk menjaga keadaan keseimbangan elektrik, ion H+ masuk ke dalam sel sehingga terjadi
asidosis intrasel. Asidosis intrasel merangsang sekresi ion H+ meningkat ke lumen tubulus
mengakibatkan peningkatan reabsorbsi ion–bikarbonat.
Terbuangnya cairan bebas–bikarbonat dalam jumlah besar misalnya pada pemberian diuretic loop
dalam dosis yang tinggi, akan meningkatkan kadar bikarbonat per liter plasma akibat volume plasma
yang berkurang. Pemberian bikarbonat tanpa kendali pada keadaan ketoasidosis diabetik atau asidosis
laktat dapat mengakibatkan alkalosis metabolik. Pemberian insulin pada ketoasidosis diabetikum atau
perbaikan oksigenisasi jaringan pada asidosis laktat akan dengan cepat meningkatkan kadar bikarbonat
plasma.
Alkalosis metabolik juga ditemukan pada Sindroma Bartter dan Sindroma Gitelman suatu keadaan
terjadinya mutasi genetik pada transporter Na–K–Cl di bagian asending loop–Henle (Bartter) dan di
tubulus distal (Gitelman). Keadaan ini menyerupai alkalosis metabolik akibat diuretic loop atau tiazid.
Gambaran umum pengaturan keseimbangan asam basa oleh sistem respirasi dan ginjal dapat dilihat pada
gambar 3.
Gambar 3. Pengaturan keseimbangan asam–basa. Pada orang normal, respons respiratorik dikombinasi
dengan respons ginjal. Pada umumnya keduanya secara bersama mampu mengatasi gangguan
keseimbangan.
Petunjuk diagnosis dapat disesuaikan dengan gambar di bawah ini. Pertama kali harus ditentukan
untuk pH kemudian kadar bikarbonat dan CO2. Untuk metabolik asidosis, anion gap diperlukan.
Beberapa penyakit dapat menyebabkan tingkat keparahan dari gangguan keseimbangan asam bas aini.
Tubuh memiliki system komplemen yang akan menyeimbangkan keadaaan asam dan basa.
3.2 Tatalaksana
Tatalaksana asidosis respiratorik adalah megatasi penyakit dasarnya dan bila tedapat hipoksemia
harus diberikan terapi oksigen. Asidosis respiratorik dengan hipoksemia berat memerlukan ventilasi
mekanik baik invasive maupun noninvasif. Pada pasien asidosis respiratorik kronik, penurunan PCO2
harus berhati–hati untuk menghindari alkalosis yang berat mengingat umumnya sudah ada kompensasi
ginjal. Pada asidosis respiratorik yang terjadi bersamaan dengan alkalosis metabolik atau asidosis
metabolic primer, tatalaksana terutama ditujukan untuk kelainan primernya.
Pada kondisi normal, pH darah berkisar antara 7,35 – 7,45 (Berend et al, 2014). Pada kondisi pH <7,
terjadi kerusakan struktur ikatan kimiawi dan perubahan bentuk protein yang menyebabkan kerusakan
jaringan dan perubahan fungsi seluler. Bila pH>7, terjadi kontraksi otot skelet yang tidak terkendali.
Tata laksana alkalosis respiratorik ditujukan terhadap kelainan primernya. Alkalosis yang disebabkan
oleh hipoksemia diatasi dengan memberikan terapi oksigen. Alkalosis respiratorik yang disebabkan oleh
serangan panik diatasi dengan menenangkan pasien atau memberikan pernapasan menggunakan sistem
air rebreathing. Overventilasi pada pasien dengan ventilasi mekanik diatasi dengan mengurangi minute
ventilation atau dengan menambahkan dead space.
Peran bikarbonat pada asidosis metabolik akut bersifat kontroversial tanpa didasari data yang
rasional. Sistem bufer intrasel cukup efektif dalam mempertahankan pH ke nilai normal dibandingkan
dengan sistem bufer ekstrasel. Sebagai konsekuensinya, pasien dapat bertoleransi terhadap pH di bawah
7,0 selama fase hiperkapnia tanpa efek yang membahayakan. Pemberian infus bikarbonat menimbulkan
problem pada pasien– pasien dengan asidosis, antara lain kelebihan pemberian cairan, alkalosis
metabolik, dan hipernatremia.
Pada alkalosis metabolik, disebut letal bila pH darah lebih dari 7,7. Bila ada deplesi volume cairan
tubuh, upayakan agar volume plasma kembali normal dengan pemberian NaCl isotonik. Bila
penyebabnya hipokalemia, lakukan koreksi kalium plasma. Bila penyebabnya hipokloremia, lakukan
koreksi klorida dengan pemberian NaCl isotonik. Bila penyebabnya adalah pemberian bikarbonat
berlebihan, hentikan pemberian bikarbonat. Koreksi alkalosis metabolik bertujuan meningkatkan minute
ventilation, meningkatkan tekanan oksigen arterial dan mixed venous oxygen tension, serta menurunkan
konsumsi oksigen. Oleh karena itu sangat penting melakukan koreksi pada pasien kritis.
Gambar 5. Rangkuman dari penilaian dari pH, bicarbonate dan partial CO2 pada berbagai tipe
gangguan asam basa yang sudah disampaikan di bagian sebelumnya.