Anda di halaman 1dari 27

FARMASI KLINIS

PNEUMONIA YANG DIDAPAT DI RUMAH SAKIT

HOSPITAL-ACQUIRED PNEUMONIA (HAP)

OLEH

KELOMPOK I :

1. ALFRIAN TRIANOS FEK (204111037 )


2. APRILIA FUNAN MAUK (204111058 )
3. ERLIZIA MARIA DA GRACA AMARAL GUSMAO (204111061)
4. KLAUDIO SAPUTRA KAKA (204111051 )
5. MARIA CHIKITALYA WULA (204111039)
6. YOHANA NOPE RATRIGIS (204111034)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

UNIVERSITAS CITRA BANGSA

KUPANG

2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, tugas makalah yang
diberikan kepada kami dapat terselesaikan. Terima kasih juga kepada Ibu apt. Cahyani Purnasari
S.Si .,M.Si. pengampu mata kuliah Farmasi Klinis yang telah memberikan kepercayaan untuk
menyusun makalah kami yang berjudul Pneumonia Yang Didapat Di Rumah Sakit.

Kami berharap melalui penyusunan makalah ini adalah salah satu tugas agar terlatih guna
meningkatkan motifasi belajar kami semua. Dalam penyusunan makalah ini kami merasa masih
banyak kekurangan baik teknis penyusunan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
kami miliki. Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan penyusunan
makalah ini.

Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi yang
membutuhkan, khususnya untuk kita semua sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Kupang, 13 Juli 2023

Penulis
DAFTAR ISI

COVER……………………………………………………………………………………………

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………….1

1.1. Latar Belakang…………………………………………………………………………….. 2

1.2. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………..2

1.3. Tujuan……………………………………………………………………………………….2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………………...3

2.1.Etiologi……………………………………………………………………………………….4

2.2.Patofisiologi………………………………………………………………………………….4

2.3.Manifestasi Klinis…………………………………………………………………………...5

2.4.Diagnosis…………………………………………………………………………………….5

BAB III PEMBAHASAN……………………………………………………………………….6

3.1. Pertanyaan I………………………………………………………………………………..6

3.2. Pertanyaan II………………………………………………………………………………7

3.3. Pertanyaan III……………………………………………………………………………...7

BAB IV PENUTUP…………………………………………………………………………….8

4.1. Kesimpulan………………………………………………………………………………...8

4.2. Saran………………………………………………………………………………………..8

DAFTRA PUSTAKA……………………………………………………………………………
BAB I

PENGAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pneumonia merupakan suatu peradangan parenchym paru-paru, mulai dari bagian alveoli
sampai bronchus, bronchiolus, yang dapat menular, dan ditandai dengan adanya konsolidasi,
sehingga mengganggu pertukaran oksigen dan carbon dioksida di paru-paru. Konsolidasi adalah
proses patologis, dimana alveoli terisi dengan campuran eksudat inflamatori, bakteri dan sel
darah putih. Secara klinis Pneumonia diklasifikasi sebagai Pneumonia Lobaris,
Bronchopneumonia, dan Atypical Pneumonia. Tapi ini tidak berkorelasi sepenuhnya dengan
penyebab bakteriologis, dan perbedaan disetiap kasus sering kurang jelas (Walker R &
Whittlesea C, 2012). Pengklasifikasian yang lebih praktis untuk Pneumoia adalah menurut sifat
aquisisinya, seperti yang sering digunakan yaitu Community-assosiated Pneumonia (CAP),
Hospital-associated Pneumonia (HAP) atau Health care-associated Pneumonia (HCAP) dan
Ventilator-associated Pneumonia (VAP).

Faktor risiko terjadinya pneumonia secara umum adalah status gizi, umur, jenis kelamin,
berat badan lahir, pemberian ASI, status imunisasi, ventilasi ruangan, merokok, dan riwayat
penyakit saluran nafas.

Terdapat beberapa klasifikasi Pneumonia berdasarkan letak terjadi dan cara didapatnya :

1. Community-acquired Pneumonia (CAP), adalah Pneumonia pada masyarakat, yang


terjadi melalui inhalasi atau aspirasi mikroba patogen ke paru-paru (lobus paru).
Penyebabnya 85% disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophylus influenzae,
dan Moraxella catarrhalis.
2. Hospital-acquired Pneumonia (HAP) atau Health care-associated Pneumonia
(HCAP), adalah pneumonia yang muncul setelah 48 jam dirawat di rumah sakit atau
fasilitas perawatan kesehatan lainnya, dengan tanpa pemberian intubasi tracheal.
Pneumonia terjadi karena ketidakseimbangan pertahanan host dan kemampuan kolonisasi
bakteri sehingga menginvasi saluran pernafasan bagian bawah.
3. Ventilator-acquired Pneumonia (VAP), adalah pneumonia yang berhubungan dengan
ventilator. Pneumonia terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trachea.
Ventilator mekanik adalah alat yang dimasukkan melalui mulut dan hidung atau lubang
didepan leher dan masuk ke dalam paru.

Hospital-Acquired Pneumonia (HAP) adalah suatu Pneumonia yang terjadi 48 jam atau
lebih setelah pasien masuk rumah sakit, dan tidak dalam masa inkubasi atau diluar suatu infeksi
yang ada saat masuk rumah sakit. HAP merupakan penyebab paling umum kedua dari infeksi
diantara pasien di Rumah Sakit, dan sebagai penyebab utama kematian karena infeksi
(mortalitas-rate sekitar 30-70%), dan diperkirakan 27-50% berhubungan langsung dengan
pneumonia. HAP memperpanjang tinggal di Rumah Sakit 7-9 hari dan dihubungkan dengan
biaya perawatan yang lebih tinggi. Faktor resiko umum untuk berkembangnya HAP adalah umur
lebih tua dari 70 tahun, co-morbiditas yang serius, malnutrisi, penurunan kesadaran, berlama
lama tinggal di rumah sakit, dan penyakit obstruksi paru yang khronis. HAP adalah infeksi yang
paling umum terjadi pada pasien yang membutuhkan perawatan pada Intensive Care Unit dan
hampir 25% dari infeksi nosokomial di Intensive care unit, dengan insiden rate 6-52%.
1.2. Rumusan Masalah

1. Karakteristik apa yang dimiliki ML yang menunjukkan bahwa menepatkan dia pada
risiko HAP ?
2. Bagaimana terapi antimikroba yang di kelola untuk ML ?
3. Bagaimana modifikasi terapi antiniotik ML ?

1.3. Tujuan

1. Mengetahui karakteristik apa yang dimiliki ML yang menunjukkan bahwa


menepatkan dia pada risiko HAP
2. Mengetahui terapi antimikroba yang di kelola untuk ML
3. Mengetahui modifikasi terapi antiniotik ML
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pneumonia merupakan suatu peradangan parenchym paru-paru, mulai dari bagian alveoli
sampai bronhus, bronchiolus, yang dapat menular, dan ditandai dengan adanya konsolidasi,
sehingga mengganggu pertukaran oksigen dan carbon dioksida di paru-paru. Konsolidasi adalah
proses patologis, dimana alveoli terisi dengan campuran eksudat inflamatori, bakteri dan sel
darah putih. Secara klinis Pneumonia diklasifikasi sebagai Pneumonia Lobaris,
Bronchopneumonia, dan Atypical Pneumonia. Tapi ini tidak berkorelasi sepenuhnya dengan
penyebab bakteriologis, dan perbedaan disetiap kasus sering kurang jelas (Walker R &
Whittlesea C, 2012). Pengklasifikasian yang lebih praktis untuk Pneumoia adalah menurut sifat
aquisisinya, seperti yang sering digunakan yaitu Community-assosiated Pneumonia (CAP),
Hospital-associated Pneumonia (HAP) atau Health care-associated Pneumonia (HCAP) dan
Ventilator-associated Pneumonia (VAP).

Infeksi Nosokomial (asal kata dari nosos = penyakit, komeon = merawat) adalah suatu
infeksi yag diperoleh atau dialami oleh pasien selama dirawat di rumah sakit dan menunjukkan
gejala infeksi baru setelah 72 jam pasien berada di rumah sakit, serta infeksi itu tidak ditemukan
atau diderita pada saat pasien masuk rumah sakit. Infeksi nosokomial dapat terjadi pada berbagai
system atau organ tubuh seperti saluran kemih kelamin, saluran pencernaan, pembuluh dan aliran
darah, luka pembedahan atau post-operasi, dan pada sistem pernafasan misalnya Pneumonia
nosokomial.

Faktor resiko terjadinya pneumonia secara umum adalah status gizi, umur, jenis kelamin,
berat badan lahir, pemberian ASI, status imunisasi, ventilasi ruangan, merokok, dan riwayat
penyakit saluran nafas.

Klasifikasi Pneumonia Terdapat beberapa klasifikasi Pneumonia berdasarkan letak terjadi


dan cara didapatnya :
1. Community-acquired Pneumonia (CAP), adalah Pneumonia pada masyarakat, yang terjadi
melalui inhalasi atau aspirasi mikroba patogen ke paru-paru (lobus paru). Penyebabnya 85%
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophylus influenzae, dan Moraxella catarrhalis.

2. Hospital-acquired Pneumonia (HAP) atau Health care-associated Pneumonia (HCAP), adalah


pneumonia yang muncul setelah 48 jam dirawat di rumah sakit atau fasilitas perawatan kesehatan
lainnya, dengan tanpa pemberian intubasi tracheal. Pneumonia terjadi karena ketidakseimbangan
pertahanan host dan kemampuan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi saluran pernafasan
bagian bawah.

3. Ventilator-acquired Pneumonia (VAP), adalah pneumonia yang berhubungan dengan


ventilator. Pneumonia terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trachea. Ventilator
mekanik adalah alat yang dimasukkan melalui mulut dan hidung atau lubang didepan leher dan
masuk ke dalam paru

Hospital-Acquired Pneumonia (HAP)

Hospital-acquired pneumonia (HAP) adalah suatu Pneumonia yang terjadi 48 jam atau
lebih setelah pasien masuk rumah sakit, dan tidak dalam masa inkubasi atau diluar suatu infeksi
yang ada saat masuk rumah sakit. HAP merupakan penyebab paling umum kedua dari infeksi
diantara pasien di Rumah Sakit, dan sebagai penyebab utama kematian karena infeksi
(mortalitas-rate sekitar 30-70%), dan diperkirakan 27-50% berhubungan langsung dengan
pneumonia. HAP memperpanjang tinggal di Rumah Sakit 7-9 hari dan dihubungkan dengan
biaya perawatan yang lebih tinggi. Faktor resiko umum untuk berkembangnya HAP adalah umur
lebih tua dari 70 tahun, co-morbiditas yang serius, malnutrisi, penurunan kesadaran, berlama
lama tinggal di rumah sakit, dan penyakit obstruksi paru yang khronis. HAP adalah infeksi yang
paling umum terjadi pada pasien yang membutuhkan perawatan pada Intensive Care Unit dan
hampir 25% dari infeksi nosokomial di Intensive care unit, dengan insiden rate 6-52%.
Health Care-Associated Pneumonia (HCAP)

Health Care-associated pneumonia (HCAP) adalah Pneumonia yang terjadi pada anggota
masyarakat (yang tidak dirawat di rumah sakit), yang secara ekstensif kontak dengan perawatan
kesehatan, sehingga merubah resiko mereka terhadap mikroba yang virulent dan resisten dengan
obat. Anggota masyarakat yang kontak secara ekstensip dengan sistem perawatan kesehatan
(health Care) akan membawa flora yang jauh lebih mirip dengan pasien di Rumah Sakit dari
pada anggota masyarakat yang sehat, sehingga pneumonia pada penderita ini dikenal sebagai
Health Care-associated pneumonia (HCAP)

Ventilator-Associated Pneumonia (VAP)

Ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah suatu Pneumonia yang terjadi lebih dari
48 jam sesudah pemakaian endotracheal intubasi. Kondisi ini dapat terjadi karena pemakaian
ventilasi mekanik atau endotracheal tube, yang akan melewati pertahanan saluran nafas bagiaa
atas, membiarkan atau mendorong sekresi orofaring, selain mencegah batuk yang efektif, dan ini
merupakan suatu titik lemah untuk suatu infeksi.

2.1.Etiology

Mikroorganisme yang banyak pada Pneumonia nosokomial (HAP, VAP, HCAP) adalah :

1. Streptococcus pneumonia, sering resisten obat pada HCAP

2. Staphylococcus aureus, baik metisilin sensitif (MSSA) atau metisilin resisten (MRSA)

3. Gram negatif batang yang tidak memproduksi Extended Spectrum Beta-lactamase (ESBL)

4. Gram negatif batang penghasil ESBL, termasuk Enterobacter sp., Escherichi coli, Klebsiella
pneumonia

5. Pseudomonas aeruginosa, dan

6. Acinetobacter spesies (Maxine AP et al, 2013; Justin LR et al, 2010).


Mikroba yang paling bertanggung jawab untuk HAP adalah Streptococcus pneumonia,
Staphylococcus aureus (MSSA dan MRSA), Pseudomonas aeruginosa, Gram negatif batang
yang tidak memproduksi ESBL dan yang memproduksi ESBL (Enterobacter sp., Escherichi coli,
Klebsiella pneumonia). Mikroorganime yg bertanggung jawab pada VAP adalah Acinetobacter
sp. dan Strenotrophomonas maltophilia. Adapun penyebab HCAP umumnya Streptococcus
pneumonia dan Haemophylus Influenzae yang mungkin resisten obat, atau adanya mikroba yang
mirip penyebab HAP. Mikroba anaerobik (bacteroides, streptococcus anaerobic, fusobacterium)
mungkin dapat juga menyebabkan pneumonia pada pasien di rumah sakit, dan jika diisolasi
merupakan bagian dari flora polimikroba. Mycobacterium, Jamur, Chlamydiae, Virus,
Rickettsiae, dan Protozoa tidak umum menyebabkan pneumonia nosocomial.

2.2.Patogenesis

Dalam proses patogenesis terjadinya pneumonia, paru-paru memiliki mekanisme pertahanan


yang kompleks dan bertahap. Mekanisme pertahanan paru-paru yang diketahui sampai sekarang
ini, adalah :

1. Mekanisme perbersihan di saluran nafas, yaitu re-epitelialisasi saluran nafas, flora normal,
faktor humoral lokal immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin A (IgA), sistem transport
mukosilier, refleks bersin, batuk dan aliran lendir.

2. Mekanisme pembersihan dibagian penggantian udara pernafasan, yaitu surfactan, immunitas


humoral lokal IgG, makrofag alveolar dan mediator inflamasi.

3. Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik, yaitu mekanisme anatomik, mekanik,


humoral dan seluler. Mekanisme ini merupakan pertahanan utama dari benda asing di orofarings,
seperti adanya penutupan dan reflek batuk .

Cara mikroba menyerang saluran pernafasan paling banyak adalah melalui aspirasi sekret
orofaringeal. Aspirasi terjadi sering pada saat tidur, terutama pada lansia, dan penderita dengan
tingkat kesadaran yang menurun. Beberapa patogen menyerang melalui inhalasi dalam bentuk
droplet, misalnya Streptococcus pneumonia. Pada kasus yang jarang, pneumonia dapat terjadi
karena penyebaran infeksi melalui hematogen, misalnya Endocarditis trikuspid, atau melalui
penyebaran infeksi yang meluas dari infeksi pleura atau infeksi rongga mediastinum. HAP, VAP,
HCAP mungkin terjadi melalui mikroaspirasi (adalah faktor paling penting) dari sejumlah besar
mikroba pada sekresi orofaring, atau kontaminasi peralatan terapi pernafasan, juga pertahanan
host yang lemah (akibat imunodefesiensi, terlibatnya mikroba yang virulent), yang secara primer
dilewatkan pada saluran pernafasan bagian bawah. Selain itu juga dapat dimulai dengan
perubahan didalam flora normal saluran nafas bagian atas. Kolonisasi pada faring dan mungkin
pada lambung dengan bakteri adalah tahap paling penting dalam patogenesis pneumonia
nosocomial.

Kolonisasi pada faring meningkat oleh karena : faktor eksogen (instrumentasi jalan nafas
bagian atas dengan nasogastrik dan endotracheal tube, kontaminasi oleh tangan yang kotor pada
peralatan, aerosol yang terkontaminasi, dan pengobatan dengan antibiotika broadspectrum,
peningkatan timbulnya mikroba resisten obat) dan faktor endogen dari pasien (malnutrisi, umur
lanjut, penurunan kesadaran, gangguan menelan, dan penyakit paru dan sistemik yang
mendasari). Dalam 48 jam masuk rumah sakit, 75% dari pasien di rumah sakit yang sakit serius,
akan mendapat kolonisasi mikroba pada jalan nafas bagian atas mereka, yang berasal dari
lingkungan di rumah sakit.

Mekanisme pertahanan seluler dan mekanik yang lemah pada paru-paru dari penderita di
rumah sakit meningkatkan resiko infeksi sesudah terjadi aspirasi. Intubasi tracheal meningkatkan
resio infeksi saluran nafas bagian bawah oleh obstruksi mekanik dari trachea, kegagalan dari
pembersihan mukosiliary, trauma sistem eskalator mukosiliary dan adanya gangguan dengan
batuk. Perlekatan bakteria (misal Pseudomonas) pada epitelium trachea dan biofilm yang
melapisi tube endotracheal membuat pembersihan mikroba dari jalan nafas bagian bawah
menjadi sulit.

2.3.Manifestasi klinik

Manifestasi klinik dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk


(produktif, atau non produktif, atau produksi sputum yang berlendir dan purulent), sakit dada
karena pleuritis dan sesak. Sering berbaring pada posisi yang sakit dengan lutut bertekuk karena
nyeri dada.1Pada pemeriksaan fisik didapati adanya retraksi dinding dada bagian bawah saat
bernafas, tachypneu, meningkat dan menurunnya taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak
akibat terjadi konsolidasi atau cairan pada pleura, ronchi, suara nafas brochial, dan peural friction
rub .

Di ruang Intensive Care Unit, infeksi nosokomial khususnya pneumonia nosokomial


lebih sering terjadi dan merupakan infeksi yang serius, dibandingkan dengan di bangsal rawat
inap biasa. Peningkatan insiden HAP adalah karena penderita pada ICU sering membutuhkan
ventilator mekanik, dan penderita dengan ventilator mekanik sebanyak 6-21 kali lebih mungkin
berkembang menjadi HAP dari pada penderita dengan non ventilator mekanik.

2.4.Diagnosis

Diagnosis dari pneumonia nosokomial adalah melalui anamnese, gejala-gejala dan tanda-
tanda klinik (non spesifik), pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis, pemeriksaan laboratorium
dan khususnya pemeriksaan mikrobiologis. Bagaimanapun dua atau lebih manifestasi klinik
(demam, leukositosis, sputum purulen), kekeruhan paru yang baru atau progresif pada radiologi
dada mendekati 70% sensitif dan 75% spesifik untuk diagnosis VAP pada satu penelitian. 5
Walaupun terdapat banyak test-test yang digunakan, semuanya mempunyai hambatan dan tak
satupun betul-betul sensitif dan spesifik untuk dipertimbangkan sebagai test gold standart. Kultur
darah mempunyai nilai diagnostik dan prognostik, tetapi sensitivitasnya hanya 8-20%, dan
perannya terbatas. Serupa, dengan pemeriksaan sputum juga tidak sensitif dan tidak digunakan
secara rutin. Test noninvasif yang paling berguna adalah pemeriksaan aspirasi tracheobronchial
(TBAs). Metoda ini mempunyai derajad sensitivitas yang tinggi, tapi kelemahannya tes ini tidak
dapat membedakan antara mikroba yang beranggungjawab sebagai penyebab pneumoni dan
koloni dari flora normal. Teknik invasive brochoscopy yaitu dengan mengambil sampel langsung
dari saluran nafas bagian bawah tanpa kontaminasi dari saluran nafas bagian atas atau sekresi
oral, hasilnya terlihat tidak berbeda secara bermakna dengan teknik noninvasive.

Diagnosis banding dari gejala dan tanda infeksai saluran nafas bagian bawah yang baru
pada penderita di rumah sakit adalah congstive heart failure, atelektasis, aspirasi, Akut
Respiratory Distress Sindrome (ARDS), tromboembolisme paru, perdarahan paru, dan reaksi
obat.
Pengobatan dan Lama Pengobatan

Sesudah diagnosa HAP ditegakkan, penting untuk segera memulai terapi, sebab bila
terlambat ini merupakan cara mengatasi infeksi yang buruk. Angka kematian sekitar 30% pada
penderita yang menerima terapi awal yang tepat, dibandingkan dengan sekitar 91% pada pasien
yang tidak menerima terapi awal yang tepat. Seleksi awal dari antimikroba hampir selalu atas
dasar empiris dan berdasarkan pada faktor seperti : beratnya infeksi, faktor resiko spesifik
penderita, dan total jumlah hari dalam rumah sakit sebelum onset. Penumonia dikatakan berat
jika : seseorang harus masuk Intensive care unit, bukti radiografi yang cepat, dan butuh ventilator
mekanik dan butuh oksigen yang tinggi, atau bukti dari adanya sepsis .

Antibiotika empiris yang direkomendasikan untuk infeksi nosokmial atau jika mempunyai resiko
kecil untuk patogen yang multiresisten obat, digunakan salah satu obat dibawah ini :

1. Cefriaxon 1-2 gr IV tiap 12-24 jam

2. Gemifloxacin 320 mg oral sehari

3. Moxifloxacin 400 mg oral atau IV sehari

4. Levofloxacin 750 mg oral atau IV sehari

5. Ciprofloxacin 400 mg IV tiap 8-12 jam

6. Ampisilin-silbactam 1.5-3 grIV setiap 6 jam

7. Piperacillin-tazobactam 3.375-4.5 gr IV tiap 6 jam

8. Ertapenem 1 gr sehari.

Dikarenakan angka kematian yang tinggi, terapi harus dimulai segera pneumonia
dicurigai. Tak ada konsensus regimen yang terbaik, karena populasi pasien ini heterogenous, dan
flora normal serta pola resistensi harus ditentukan dulu. Sesudah hasil dari sputum, darah, dan
kultur cairan pleura tersedia, ini memungkinkan awal terapi yang lebih luas.
Lama terapi antibiotika adalah individualisme berdasarkan mikroba patogennya, beratnya
penyakit, respon terhadap penyakit, dan kondisi co-morbid. Tidak ada konsensus tentang durasi
terapi antibiotika pada semua pasien HAP. Walaupun kecurigaan awal adalah lemah, antibiotika
secara aman harus distop sesudah 72 jam, jika gambaran klinik tidak berubah secara bermakna.
Direkomendasikan bahwa durasi pengobatan harus memperhatikan beratnya penyakit, waktu
untuk munculnya respon klinik, dan mikroba patogennya. Para ahli menyarankan bahwa faktor
utama untuk memutuskan durasi terapi harus pada waktu repon klinik dan tidak melibatkan
patogen, dan pasien harus diterapi paling tidak 72 jam sesudah respon klinik diperoleh. Respon
klinik pada terapi antibiotika tidak mungkin pada 48- 72 jam pertama, jadi regimen antibiotika
empiris tidak harus berubah selama waktu ini, kecuali langsung oleh adanya hasil pemeriksaan
mikrobiologis. Pada pasien yang gagal berrespon sesudah periode awal, rekomendasi adalah
pertimbangkan antibiotika yang lebih luas, pertimbangkan penyebab noninfeksious, dan
dilakukan test diagnostik invasif.

Hospital-acquired pneumonia (HAP) terjadi lebih dari 48 jam sesudah penderita masuk
rumah sakit atau fasilitas perawatan kesehatan lainnya, dan mengeluarkan infeksi yang sudah ada
pada saat masuk rumah sakit. Health care-associated pneumonia (HCAP) terjadi pada anggota
masyarakat yang lebih lama kontak dengan perawatan kesehatan, yang telah merubah mereka
beresiko untuk mikroba yang virulent dan resisten obat. Awalnya harus diterapi dengan
antimikroba yang tepat dan spektrum luas pada dosis yang adekuat bagi semua pasien dengan
suspek HCAP. Diagnosis ditegakkan paling tidak didapati dua dari gejala ini yaitu demam,
leukositosis, dan sputum yang virulent. Selain itu adanya kekeruhan jaringan parenchym paru
yang baru atau progresif pada rontgen paru. Pneumonia umumnya dijumpai pada pasien yang
membutuhkan perawatan yang intensif atau pengguna ventilasi mekanik Kultur saluran nafas
bagian bawah harus diambil pada semua pasien sebelum terapi dengan antimikroba, tetapi
pengambilan dimulai jangan terlambat pada terapi empiris pada penderita yang sakit kritis.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 PERTANYAAN 1

ML adalah seorang priaberusia 71 tahun yang dirawat di rumah sakit karena trombosit vena
dalam. Riwayat medis masa lalunya signifikan untuk penyakit ginjal kronis ( CrCl 0 ml/menit ) ,
diabetes mellitus, COPD, Gerd, hipertensi, dan diagnosis terbaru kanker paru-paru non sel kecil
saat ini tidak menerima kemoterapi obat-obatan termasuk Lisinopril, famotidine, aspirin, insulin
glargine, insulin aspart tiotropium , fluticasone/ samoterol dan albuterol sesuai kebutuhan
Karakteristik apa yang dimiliki M.L menunjukan bahwa menempatkan dia pada risiko HAP ?

• Beberapa faktor risiko HAP telah diidentifikasi, termasuk intubasi dan ventilasi mekanis,
aspirasi, posisi tubuh pasien, pemberian makanan enteral, penggunaan agen antibakteri
sebelumnya, profilaksis perdarahan gastrointestinal (yaitu antagonis histamin tipe 2 dan
penghambat pompa proton) , terapi imunosupresif, dan status gizi buruk atau kontrol
glukosa. Faktor risiko lain yang tidak dapat dimodifikasi terkait dengan pengembangan
HAP termasuk usia lebih tua dari 70 tahun dan penyakit paru-paru kronis.

• Faktor penting penyebab pneumonia adalah kolonisasi orofaring, umum pada


alkoholisme dan dengan rawat inap yang berkepanjangan, dan paparan antimikroba
sebelumnya. Beberapa faktor dapat berkontribusi pada kolonisasi orofaring ML dengan
bakteri gram negatif.

• Selain penyakit paru-parunya, respon imun yang berubah pada penderita diabetes dan
orang tua dapat mempengaruhi ML untuk infeksi pernafasan. Penggunaan obat yang
menghambat produksi asam lambung, seperti famotidine dan omeprazole, meningkatkan
kemungkinan kolonisasi orofaringeal dan pneumonia; namun obat penekan asam
biasanya digunakan untuk mencegah tukak lambung pada pasien dengan ventilasi
mekanis.
Beberapa faktor risiko umum yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang terkena HAP
termasuk:

1. Peningkatan usia: ML berusia 71 tahun, dan usia lanjut merupakan faktor risiko yang
signifikan untuk HAP. Pada orang tua, sistem kekebalan tubuh umumnya melemah, membuat
mereka lebih rentan terhadap infeksi.

2. Riwayat medis: ML memiliki riwayat medis yang mencakup penyakit ginjal kronis, diabetes
mellitus, GERD (gastroesophageal reflux disease), hipertensi, dan kanker paru-paru non-sel
kecil. Beberapa kondisi medis ini dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan
risiko infeksi, termasuk HAP.

3. Penggunaan obat-obatan: ML sedang menerima beberapa obat-obatan seperti enalapril


(inhibitor ACE), famotidine (antagonis reseptor H2), insulin glargine (insulin basal), tiotropium
(bronkodilator), fluticasone (kortikosteroid inhalasi), dan albuterol (bronkodilator sesuai
kebutuhan). Beberapa obat-obatan ini, terutama kortikosteroid dan bronkodilator inhalasi, dapat
meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan. Selain itu penggunaan obat-obatan tertentu,
obat-obatan imunosupresif, dapat mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh dan meningkatkan
risiko infeksi.

4. Penyakit kronis: Kondisi medis kronis seperti penyakit ginjal kronis, diabetes mellitus,
GERD (gastroesophageal reflux disease), dan hipertensi dapat melemahkan sistem kekebalan
tubuh, membuat seseorang rentan terhadap infeksi.

5. Kanker: Diagnosis kanker, terutama kanker paru-paru non-sel kecil, dapat melemahkan
sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko infeksi termasuk HAP.

6. Kondisi pernapasan: Gangguan pernapasan seperti asma, KOPD (penyakit paru obstruktif
kronik), atau perluasan paru-paru dapat mempengaruhi pertahanan pernapasan dan meningkatkan
risiko HAP.

3.2 PERTANYAAN 2
Tiga hari setelah masuk, saat menerima antikoagulan untuk trombosis vena dalam, M.L.
menunjukkan demam hingga 39,3°C. Antibiotik ditunda secara tidak tepat, dan selama 24 jam
berikutnya, fungsi pernapasannya menurun secara signifikan sehingga membutuhkan intubasi
(PaO2/FIO2 250). Selain itu, temuan objektif menunjukkan peningkatan jumlah WBC (17.200
sel/µL), pergeseran kiri (leukosit imatur, pita 18%), dan infiltrasi baru pada rontgen dada
hariannya. Kultur dahak dikirim, dan keputusan dibuat untuk memulai M.L. pada antibiotik.
Bagaimana seharusnya terapi antimikroba dikelola untuk ML?

Karena keterlambatan dalam pemberian terapi yang tepat telah dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas di rumah sakit dari HAP, pemberian terapi empiris yang cepat sangat
penting. Yang penting, mengubah terapi setelah hasil kultur tersedia mungkin tidak mengurangi
risiko kematian di rumah sakit jika terapi awal yang tidak tepat dipilih. Untuk tujuan ini, pola
bakteriologis lokal dan data kerentanan in vitro harus tersedia dan diperbarui sesering mungkin
untuk memungkinkan pemilihan terapi empiris awal yang tepat. Selain pemilihan agen yang
tepat, pemilihan rejimen dosis yang memadai akan mengoptimalkan sifat farmakodinamik agen
antibakteri dan meningkatkan hasil klinis dan angka kematian.

Resolusi HAP dapat didefinisikan secara klinis dan mikrobiologis. Perbaikan klinis
biasanya terlihat setelah 48 sampai 72 jam pertama terapi. Selama waktu ini, rejimen antibakteri
yang dipilih tidak boleh diubah kecuali kerusakan progresif terjadi atau studi mikrobiologi
mengkonfirmasi patogen

Jika hasil kultur negatif atau tidak meyakinkan (karena spesimen diketahui terkontaminasi
dengan flora mulut), respon pasien terhadap terapi antibiotik awal harus digunakan untuk
mengevaluasi modifikasi rejimen antibiotik. Jika pasien menanggapi rejimen awal, pertimbangan
harus diberikan untuk mempersempit cakupan patogen penyebab yang paling mungkin.

• Jika pasien tidak menanggapi terapi antibiotik awal, seseorang harus mempertimbangkan
apakah (a) patogen tidak tercakup dalam pilihan awal terapi antibiotik, (b) dosis
antibiotik tidak cukup, dan (c) ada faktor lain yang bertanggung jawab atas kegagalan
untuk menanggapi terapi. Faktor-faktor tersebut termasuk pembersihan paru yang buruk
dari jaringan nekrotik dan puing-puing seluler, abses paru atau empiema, dan pertahanan
pejamu yang sangat berubah yang menyebabkan penyakit dasar yang cepat fatal.
• Sebagai catatan, jika salah satu dari organisme berikut ini diisolasi (spesies Serratia,
Pseudomonas, Proteus indole-positive , Citrobacter , atau Enterobacter ), laporan in vitro
yang menunjukkan kerentanan harus dievaluasi secara hati-hati, karena organisme ini
seringkali memiliki gen β-laktamase yang dapat diinduksi ( juga disebut sebagai enzim β-
laktamase tipe I). Pengujian in vitro dapat menunjukkan kerentanan terhadap sefalosporin
generasi ketiga dan penisilin spektrum luas , tetapi ini mungkin tidak diterjemahkan ke
dalam

• kemanjuran dalam pengaturan klinis. Sebagai kemungkinan skenario infeksi organisme


ini, setelah inisiasi dengan salah satu agen di atas, pasien pada awalnya mungkin
merespons; Namun, setelah kurang lebih 1 minggu, kondisi pasien mulai memburuk.
Karena pengobatan dengan agen β-laktam menginduksi ekspresi enzim tipe I, spesimen
sputum berikutnya yang dikirim setelah kira-kira 1 minggu sekarang cenderung
menunjukkan resistensi terhadap sefalosporin generasi ketiga dan penisilin spektrum
yang diperluas .

• Meskipun cefepime lebih mungkin aktif melawan isolat ini, inokulum organisme yang
besar (misalnya, yang terdapat pada pneumonia) dapat mengakibatkan degradasi β-
laktamase dari agen ini juga. Mempertimbangkan bahwa fenomena ini tidak dapat
diidentifikasi dengan menggunakan pengujian in vitro biasa, cefepime harus digunakan
dengan hati-hati pada pasien ini. Terapi pilihan pada pasien ini meliputi trimethoprim-
sulfamethoxazole, fluoroquinolone, atau carbapenem. Spesies Acinetobacter semakin
resisten terhadap banyak agen antibakteri yang umum digunakan. Pengobatan patogen
yang sering resisten ganda ini membutuhkan penggunaan ampisilin-sulbaktam dosis
sangat tinggi (hingga 24 g/hari) atau colistin.

Dalam kasus ini, pengelolaan terapi antimikroba untuk ML dapat melibatkan langkah-langkah
berikut:

1. Pemberian antibiotik empiris awal: Pada awalnya, sebelum hasil kultur tersedia, terapi empiris
yang mencakup antibiotik dengan cakupan yang luas dapat dimulai. Pilihan antibiotik empiris
yang umum untuk HAP termasuk kombinasi agen-agen yang mencakup spektrum luas seperti
beta-laktam (seperti seftriakson atau sefotaksim) ditambah agen yang efektif terhadap bakteri
Gram negatif yang resisten (seperti aminoglikosida atau fluorokuinolon)

2. Penyesuaian terapi berdasarkan hasil kultur: Setelah hasil kultur dan sensitivitas
mikroorganisme diketahui, terapi antimikroba dapat disesuaikan secara tepat. Tujuannya adalah
untuk menyelaraskan antibiotik yang diberikan dengan patogen yang diidentifikasi dan memilih
agen yang paling efektif berdasarkan profil sensitivitas.

3. Durasi terapi: Durasi terapi antimikroba akan ditentukan berdasarkan respons klinis ML dan
jenis infeksi yang didiagnosis. Biasanya, dalam kasus HAP, durasi terapi berkisar antara 7-14
hari, tetapi dapat disesuaikan sesuai dengan keadaan pasien.

Terapi pilihan pada pasien ini meliputi trimethoprim-sulfamethoxazole, f Loroquinolone, atau


carbapenem. Spesies Acinetobacter semakin resisten terhadap banyak agen antibakteri yang
umum digunakan. Pengobatan patogen yang sering resisten ganda ini membutuhkan penggunaan
ampisilin-sulbaktam dosis sangat tinggi (hingga 24 g/hari) atau colistin.

3.3 PERTANYAAN 3

Tujuh puluh dua jam setelah pemberian antibiotik empiris, laboratorium mikrobiologi
melaporkan bahwa lebih dari 100.000 koloni/mL MRSA telah tumbuh pada biakan sputum ML.
Antibiotik diturunkan menjadi terapi vankomisin saja, yang isolatnya rentan. Setelah dosis
pemuatan dan rejimen pemeliharaan yang agresif, konsentrasi palung vankomisin adalah 17
hingga 22 mcg/mL. Namun, M... tetap demam, menunjukkan perkembangan infiltratnya pada
rontgen dada, dan mengalami perburukan fungsi ginjal akut yang memerlukan dialisis dan
memerlukan penyesuaian dosis vankomisin. Kultur trakea berulang hanya menumbuhkan S.
aureus dengan kerentanan terhadap vankomisin, sulfametoksazol-trimetoprim daptomisin, dan
linezolid. Haruskah terapi antibiotik ML dimodifikasi?

Pedoman pengobatan infeksi MRSA IDSA pertama diterbitkan pada tahun 2011 dan dibahas
kemudian bekerja sama dengan pedoman pemantauan terapi vankomisin pertama yang
dikembangkan bersama oleh American Society of Health-System Pharmacist, Society of
Infectious Diseases Pharmacists, dan IDSA.
Untuk pneumonia MRSA, vankomisin IV, atau linezolid 600 mg per oral (PO) atau IV dua kali
sehari, atau klindamisin 600 mg PO atau IV 3 kali sehari (jika strain rentan) direkomendasikan
selama 7 hingga 21 hari, tergantung pada luasnya infeksi. Daptomycin tidak boleh digunakan
untuk pengobatan pneumonia MRSA, karena aktivitasnya dihambat oleh surfaktan paru,
membuatnya tidak aktif dalam pengobatan infeksi paru.

VANKOMISIN

• Dosis vankomisin IV yang dianjurkan adalah 15 hingga 20 mg/kg/dosis (berat badan


aktual) setiap 8 hingga 12 jam, tidak melebihi 2 g/dosis, untuk pasien dengan fungsi
ginjal normal. Dosis pemuatan 25 hingga 30 mg/kg (berat badan aktual) dapat
dipertimbangkan. Beberapa pasien mungkin mengalami efek samping selama infus
vankomisin yang dikenal sebagai sindrom pria merah. Memperpanjang waktu infus
hingga 2 jam untuk dosis yang lebih besar atau pasien premedikasi yang telah mengalami
fenomena ini dengan antihistamin dapat mengurangi efek samping ini.

• Konsentrasi palung vankomisin 15 hingga 20 mcg/mL direkomendasikan untuk


pengobatan pneumonia karena konsentrasi serum palung yang lebih tinggi harus
meningkatkan kemungkinan mengoptimalkan area di bawah kurva (AUC) dan
konsentrasi penghambatan minimum (MIC) dan, oleh karena itu, memperhitungkan nilai
MIC vankomisin yang lebih tinggi dihargai di beberapa isolat. Juga telah didalilkan
bahwa penargetan nilai palung yang lebih tinggi dapat membantu mengatasi gangguan
penetrasi vankomisin yang melekat ke dalam cairan lapisan epitel dan sekresi
pernapasan . Sebagai catatan, tidak ada data yang mengkonfirmasikan bahwa pencapaian
tingkat palung yang lebih agresif dikaitkan dengan perbaikan penyembuhan klinis.

LINEZOLID

• Linezolid mencapai konsentrasi yang lebih tinggi dalam cairan epitel paru daripada
dalam plasma dan berfungsi sebagai alternatif vankomisin untuk pengobatan pneumonia
MRSA. Sebuah analisis retrospektif dari dua percobaan prospektif untuk pengobatan
HAP menemukan bahwa pasien dalam subkelompok kasus MRSA yang secara acak
ditugaskan untuk linezolid mengalami tingkat kesembuhan yang lebih tinggi dan
kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan vankomisin. Sebaliknya, meta-analisis
dari delapan percobaan kontrol acak yang membandingkan antibiotik glikopeptida
dengan linezolid untuk dugaan pneumonia MRSA tidak menemukan bukti yang
mendukung keunggulan linezolid.

• Studi ZEPHYR membandingkan linezolid dengan vankomisin pada pasien dengan


pneumonia MRSA nosokomial yang terbukti secara acak, double-blind. Ini adalah uji
coba terbesar yang dilakukan pada populasi ini hingga saat ini, dan menunjukkan
peningkatan statistik dengan linezolid dalam hasil klinis pada akhir penelitian; namun
interval kepercayaan hampir tidak signifikan dan hanya menunjukkan manfaat dengan
linezolid pada pneumonia MRSA nosokomial yang teridentifikasi. Hasil ini mempersulit
pemilihan awal daripada vankomisin untuk terapi empiris cakupan MRSA. Oleh karena
itu, masih belum pasti apakah linezolid atau vankomisin harus dianggap lebih unggul.

• ML berisiko terhadap patogen MDR (rawat inap selama 5 hari atau lebih dan penyakit
imunosupresif) dan harus dimulai secara empiris dengan agen anti-MRSA (vancomycin),
dan perlindungan ganda untuk patogen gram negatif yang resisten (cefepime dan
gentamicin atau ciprofloxacin) .

• (Lihat Tabel di halaman 7 & 8) Dosis dan frekuensi agen antimikroba akan memerlukan
penyesuaian ginjal karena masalah ginjal kronis ML. Ketika hasil kultur diketahui,
rejimen antibiotik dapat dimodifikasi dan individual. Untuk pasien dengan HAP atau
VAP tanpa komplikasi, yang telah menerima antibiotik empiris yang sesuai dengan hasil
yang memuaskan. respon klinis, 7 sampai 10 hari terapi dianjurkan. Namun, pasien yang
terinfeksi dengan basil gram negatif nonfermentasi (yaitu, Pseudomonas dan
Acinetobacter ) dapat memperoleh manfaat dari pengobatan yang lebih lama (14 hari atau
lebih) untuk mencegah kekambuhan.

• Respon klinis ML harus dipantau untuk menentukan apakah antibiotik yang dipilih
efektif dalam mengobati infeksi ini. Parameter ini termasuk kemampuan untuk
menghentikan intubasi mekanik dan penurunan suhu dan jumlah sel darah putih dengan
resolusi pergeseran kiri.

• Karena ML tetap demam meskipun sensitivitas MRSA terhadap vankomisin dengan


konsentrasi palung yang sesuai, adalah tepat untuk mempertimbangkan cakupan MRSA
alternatif. Meskipun kerentanan MRSA terhadap daptomycin, obat ini tidak menembus
surfaktan paru-paru, dan oleh karena itu tidak sesuai untuk digunakan dalam pengobatan
pneumonia. Sulfamethoxazole-trimethoprim adalah pilihan yang kurang menarik karena
kebutuhan dialisis pasien. ML harus dialihkan ke linezolid. Linezolid dengan cepat
mencapai konsentrasi paru-paru yang tinggi dan aman digunakan dalam pengaturan gagal
ginjal akut. Linezolid telah dikaitkan dengan trombositopenia dan neutropenia. Jumlah
trombosit dan WBC harus dipantau pada awal dan setidaknya setiap 7 hari selama
pengobatan .

AGEN TERHIRUP UNTUK PATOGEN MULTIDRUG-RESISTANT

• Karena meningkatnya kejadian pneumonia yang disebabkan oleh organisme gram negatif
MDR, minat telah diperbarui dalam penggunaan produk aminoglikosida dan polimiksin
inhalasi. Ketika diberikan secara sistemik, kedua kelas telah dikaitkan dengan penetrasi
paru yang buruk dan dengan nefrotoksisitas, dengan polimiksin membawa risiko
tambahan neurotoksisitas, dan dengan ototoksisitas aminoglikosida. Namun, konsentrasi
obat yang diusulkan tinggi di tempat infeksi paru, paparan sistemik minimal setelah
pemberian nebulisasi, dan data yang menunjukkan manfaat baik dalam pencegahan dan
pengobatan infeksi paru Pseudomonas pada pasien cystic fibrosis membuat terapi
antibiotik aerosol menjadi strategi yang menarik untuk pengobatan VAP. Pedoman
IDSA/ATS menyatakan bahwa antimikroba aerosol dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan organisme MDR yang tidak merespon terapi IV dengan baik.

• Penggunaan antibiotik inhalasi tambahan pada VAP telah dievaluasi dalam beberapa
penelitian. Tinjauan sistematis dari 16 studi observasional dan uji coba acak tanpa
membutakan mengungkapkan bahwa colistin aerosol dikaitkan dengan pemberantasan
mikroba (OR, 1,61; 95% CI, 1,11–2,35) dan peningkatan respons klinis (OR, 1,57; 95%
CI, 1,14–2,15 ) tetapi hasilnya dibatasi oleh beberapa bias.131 Tinjauan sistematis dari 12
percobaan observasional dan acak dengan beberapa kebutaan menunjukkan bahwa
antibiotik nebulisasi pada pasien dengan VAP memiliki beberapa manfaat pada hasil
pasien. Antibiotik nebulisasi dikaitkan dengan peningkatan angka kesembuhan klinis
(RR, 1,23; 95% CI, 1,05-1,43).132 Tidak ada penelitian yang menunjukkan peningkatan
mortalitas, durasi ventilasi mekanis, atau lama tinggal di unit perawatan intensif.

DOSIS ALTERNATIF ANTIBIOTIK UNTUK PATOGEN MULTIDRUGRESISTANT

• Carbapenems, cephalosporins, dan extended-spectrum penicillins atau β-lactamase


inhibitor mendemonstrasikan pembunuhan yang bergantung pada waktu, dan diketahui
bahwa pembunuhan bakterisidal untuk golongan obat ini dioptimalkan jika konsentrasi
obat bebasnya lebih besar daripada MIC (30%–40%, 50%–60%, dan 60%–70% dari
waktu, masing-masing). Infus yang berkepanjangan atau terus menerus telah digunakan
untuk meningkatkan waktu konsentrasi obat bebas lebih besar daripada MIC, secara
teoritis mengarah pada hasil pasien yang lebih baik.

• Infus kontinyu pertama kali digunakan pada akhir 1970-an dengan peningkatan yang
disarankan dalam angka kesembuhan klinis, tetapi sampai saat ini sebagian besar
ditinggalkan karena masalah logistik tentang stabilitas obat, kompatibilitas obat, dan
akses IV yang terbatas. Kekhawatiran ini berkurang dengan penggunaan infus
berkepanjangan kontemporer. Strategi terakhir ini terutama didukung oleh simulasi
Monte Carlo, teknik pemodelan matematis yang memperkirakan kemungkinan
pencapaian target farmakodinamik pada setiap MIC untuk rentang MIC tertentu.

• Pasien yang didiagnosis dengan VAP dan diobati dengan cefepime (2 g setiap 8 jam
selama 3 jam) telah dievaluasi menggunakan metodologi Monte Carlo. Peneliti
menemukan bahwa pada MIC 1 mcg/mL, semua rejimen memiliki kemungkinan
pencapaian target lebih besar dari 90%. Namun, pada MIC 8 mcg/mL, bila dibandingkan
dengan infus intermiten 30 menit 1 sampai 2 g setiap 8 jam dan 2 g setiap 12 jam, hanya
infus berkepanjangan (3 jam) 2 g setiap 8 jam yang dipertahankan 90 % probabilitas
pencapaian target. Seperti yang dapat diperkirakan, fenomena ini hanya ditunjukkan pada
pasien dengan fungsi ginjal yang terjaga sebagaimana didefinisikan sebagai klirens
kreatinin 50 hingga 120 mL/menit.
• Strategi dosis infus intermiten dan kontinu juga telah dibandingkan ketika menggunakan
piperacillin-tazobactam untuk mengobati infeksi Pseudomonas. Lodise et al.136 secara
retrospektif membandingkan infus intermiten 3,375 g IV piperacillin-tazobactam
(diinfuskan lebih dari 30 menit setiap 6 jam) versus infus diperpanjang 3,375 g IV
piperacillin-tazobactam (diinfuskan lebih dari 4 jam setiap 8 jam). Hasil menunjukkan
lama rawat inap yang lebih singkat (21 hari vs. 38 hari; p = 0,02) dan tingkat kematian 14
hari yang lebih rendah di antara pasien dengan skor Evaluasi Kesehatan Fisiologis dan
Kronis Akut-II >17 (12,2% vs. 31,6%; p = 0,04) pada pasien yang menerima terapi infus
diperpanjang.

Profilaksis Pneumonia Terkait Ventilator

• Risiko pneumonia yang besar di ICU telah mendorong metode agresif untuk mencegah
penyakit ini. Rekomendasi yang paling penting termasuk penggunaan posisi semi-tegak
untuk mengurangi risiko aspirasi, pengendalian infeksi (termasuk mencuci tangan) untuk
mencegah penyebaran patogen dari satu pasien ke pasien berikutnya, dan pengawasan
infeksi ICU.

• Beberapa strategi pencegahan VAP masih kontroversial, termasuk dekontaminasi selektif


saluran pencernaan (SDD), dekontaminasi oral selektif (SOD), dan antiseptik topikal
yang diterapkan pada mukosa mulut. Ketiga strategi mengatasi konsep bahwa VAP
terjadi setelah kolonisasi saluran pernapasan bagian atas. Karena flora saluran pencernaan
dapat berperan dalam kolonisasi ini, dampak dari berbagai pendekatan dekontaminasi
telah dipelajari. Untuk SDD, terapi kombinasi termasuk tobramycin topikal, polymixin E,
dan terkadang amfoterisin B diberikan ke lambung dan orofaring 4 kali sehari dalam
kombinasi dengan pemberian ciprofloxacin IV atau sefalosporin generasi kedua. SOD
menggunakan strategi antimikroba yang mirip dengan SDD, kecuali agen IV dihilangkan
dan terapi kombinasi diterapkan pada orofaring.

• Secara historis, SDD dan SOD lebih banyak digunakan di Eropa, dan sebagian besar
literatur menyelidiki teknik ini pada ribuan pasien dan mendukung hasil penggunaannya
dari luar Amerika Serikat. Pada tahun 2009, De Smet et al. melakukan studi silang besar
yang membandingkan bundel ventilasi perawatan standar versus SDD versus SOD pada
pasien dengan ventilasi mekanis dan menemukan penurunan risiko kematian 28 hari
secara statistik dengan OR 0,83 (95% CI, 0,72–0,97) untuk SDD dan 0,86 (95 % CI,
0,74–0,99) untuk SOD.

• Pada 2015, Roquilly et al. menghasilkan meta-analisis terbesar dari teknik pencegahan
VAP untuk menurunkan angka kematian. Lebih dari 37.000 pasien terlibat dari 157
percobaan acak. Meskipun penurunan mortalitas secara keseluruhan adalah 5% pada
kelompok intervensi, dalam analisis subkelompok, hanya SDD yang secara signifikan
menurunkan mortalitas dibandingkan kontrol dengan RR 0,84 (95% CI, 0,76-0,92).

• Terlepas dari banyak bukti yang mendukung SDD, dokter terkemuka menyarankan masih
ada kekhawatiran praktisi Amerika Utara yang takut bahwa penggunaan antibiotik untuk
SDD secara luas akan meningkatkan resistensi antibiotik dan infeksi Clostridium
difficile, terutama di Amerika Serikat di mana resistensi obat lebih umum daripada di
Utara. Eropa.

Untuk pneumonia MRSA, vankomisin IV, atau linezolid 600 mg per oral (PO) atau IV dua kali
sehari, atau klindamisin 600 mg PO atau IV 3 kali sehari (jika strain rentan) direkomendasikan
selama 7 hingga 21 hari, tergantung pada luasnya infeksi. Daptomycin tidak boleh digunakan
untuk pengobatan pneumonia MRSA, karena aktivitasnya dihambat oleh surfaktan paru,
membuatnya tidak aktif dalam pengobatan infeksi paru.
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Pneumonia adalah suatu peradangan parenkim paru distal dari bronkiolus terminalis yang
mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat.

Pneumonia dibedakan menjadi dua berdasarkan tempat didapatkannya kuman, yaitu pneumonia
komuniti dan pneumonia nosokomial. Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumonia sendiri menurut
Riskesdas 2013, menduduki urutan ke-9 dari 10 penyebab kematian utama di Indonesia, yaitu
sebesar 2,1%.

Diagnosis pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan
fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan
jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih
gejala. Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan antibiotik tertentu
terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian antibitotik bertujuan untuk memberikan
terapi kausal terhadap kuman penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif
diberikan antibiotik empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Balakrishnan RK, Gambaran Pneumonia pada Anak di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari
2011 - Desember 2013. Tersedia dari : http://repository.usu.ac.id/handle/12345 6789/45821

Warganegara Efrida . Pneumonia Nosokomial (Hospital-acquired, Ventilator-associated, dan


Health Care-associated Penumonia). 2017. JK Unila . Volume 1 ( 3 ).

Anda mungkin juga menyukai