Anda di halaman 1dari 296

Divisi Buku Perguruan Tinggi

PT RajaGrafindo Persada
DEPOK
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Sembiring, Rosnidar
Hukum Keluarga: Harta-harta Benda dalam Perkawinan/ Rosnidar Sembiring --
Ed. 1. --Cet. 2-- Depok: Rajawali Pers, 2017.
xii, 284 hlm., 21 cm
Bibliografi: hlm. 225
ISBN 978-602-425-021-8

1. Hukum Keluarga. I. Judul

Y
346. 015

M
Hak cipta 2016, pada penulis
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,

M
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
2016.1629 RAJ

U
Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum.
Hukum Keluarga:

D
Harta-harta Benda dalam Perkawinan
Cetakan ke-1, September 2016
Cetakan ke-2, Oktober 2017
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok
Desain cover oleh octiviena@gmail.com
Dicetak di Kharisma Putra Utama Offset

PT RajaGrafindo PersadA
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956
Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id Http: //www.rajagrafindo.co.id

Perwakilan:
Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok, Telp. (021)
84311162. Bandung-40243 Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi Telp. (022) 5206202. Yogyakarta-Pondok
Soragan Indah Blok A-1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan Bantul, Telp. (0274) 625093. Surabaya-60118, Jl.
Rungkut Harapan Blok. A No. 9, Telp. (031) 8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459
Rt. 78, Kel. Demang Lebar Daun Telp. (0711) 445062. Pekanbaru-28294, Perum. De’Diandra Land Blok. C1/01
Jl. Kartama, Marpoyan Damai, Telp. (0761) 65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok
A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. (061) 7871546. Makassar-90221, Jl. ST. Alauddin Blok
A 14/3, Komp. Perum. Bumi Permata Hijau, Telp. (0411) 861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt. 05,
Telp. (0511) 3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol g. 100/V No. 5B, Denpasar, Bali, Telp. (0361) 8607995, Bandar
Lampung-35115, Perum. Citra Persada Jl. H. Agus Salim Kel. Kelapa Tiga Blok B No. 12A Tanjung Karang
Pusat, Telp. 082181950029.
Kata Sambutan

M Y
UM
Ucapan terima kasih dengan sebutan Alhamdulillah, tentunya
adalah kata awal atas diberikannya kesehatan dan perhatian untuk

D
terus berkarya dalam keikutsertaan penulis mencerdaskan bangsa
yang sangat membutuhkan sentuhan karya-karya anak bangsa
ini. Atas Ridha-Nya pada penulislah maka penulisan ini dapat
terwujud dengan baik. Dan tentunya Selawat beriring salam juga
kita sampaikan pada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. yang
atas ajarannya kepada kita sehingga atas turutnya kita pada ajaran
itu maka terwujud pula hasil karya seperti ini dan dengan harapan
dapat digunakan oleh mahasiswa khususnya dan masyarakat
hukum umumnya. Dan semoga syafaat beliau menetes pula ke
penulis dengan persembahan karya tulis yang berjudul Hukum
Keluarga: Harta-harta Benda dalam Perkawinan ini.
Buku ini menjadi setitik pencerahan yang bermanfaat besar
bagi kehidupan manusia, karena beberapa hubungan kemanusiaan
dalam hidupnya sehari-hari bertindak dan berharap menyuluh
generasi yang akan datang untuk lebih baik, dan telah menjadi
perhatian dalam buku ini. Apa yang diuraikan dalam buku ini
telah memenuhi pengisian alam pikiran manusia dalam mengisi

Kata Sambutan v
dan menjalani kehidupan berkeluarga secara privat. Sentuhan-
sentuhan karya seperti ini juga akan memudahkan dan meyakinkan
pengalaman hidup yang dilalui menjadi semakin dirasakan benar
oleh pembaca buku ini. Maka dengan membaca buku ini banyak
hal yang dapat diketahui dalam mengisi dimensi hukum keluarga
yang memang banyak persoalan hukum di dalamnya. Memang
dengan tidak mengurangi rasa hormat, dengan hadirnya buku ini
saya sangat bangga dan berterima kasih, penulisan ini telah hadir

Y
menyuluh hukum keluarga di tengah-tengah kehidupan yang terus
berkembang saat ini.

M
Kepada penulis, sekali lagi saya sampaikan ucapan terima
kasih yang tinggi karena di tengah-tengah kesibukan kehidupannya

M
masih disempatkan menulis buku ini, walaupun sekecil ini namun
sangat besar manfaatnya bagi mahasiswa yang mau mendalami

U
ilmu hukum keluarga dan hartanya dalam perkawinan. Dan semoga
karya-karya ilmiah lainnya terus dapat dihadirkan demi hidupnya

D
ilmu dan tanggung jawab ilmiah beliau sebagai seorang Doktor
yang harus menulis dan berkarya dalam mencerdaskan anak bangsa
ini. Sekecil apa pun yang dituliskan seorang Doktor pasti akan
menjadi butiran ilmu yang dapat mengisi kehausan masyarakat
pencinta ilmu. Dan Selaku Ketua Prodi MKN USU mengucapkan
terima kasih atas hadirnya buku ini, karena Mahasiswa MKN
memang sangat membutuhkannya. Selamat berkarya semoga Allah
Swt. terus memberi kekuatan pada penulis.

Terima kasih,
Medan, Agustus 2016

Ketua Prodi MKN FH USU


Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis

vi HUKUM KELUARGA
Kata PENGANTAR

M Y
UM
Alhamdulillahirabbil alamin, segala puja dan puji penulis
panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan kesempatan

D
dan kemampuan sehingga buku ini dapat terselesaikan.
Buku ini berangkat dari titik temu dan paduan antara
ketertarikan riset penelitian para mahasiswanya (S1, S2, dan
S3) dengannya sebagai pembimbing. Seperti misalnya, tesis
mengenai penyelesaian harta-harta perkawinan bagi putusnya
perkawinan akibat kematian (disebabkan kecelakaan, sedangkan
usia perkawinan baru 8 bulan dan perkawinan tersebut belum
memperoleh anak).
Buku ini sangat bermanfaat bagi pembaca dalam memahami
dan mendalami keberadaan hukum keluarga dan harta-harta
benda dalam perkawinan apalagi ada tiga dimensi hukum yang
mengaturnya yaitu hukum Perdata, hukum Islam, dan hukum Adat.
Dengan menyinggung anak luar kawin, juga dianalisis
Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang
kasus Iqbal, anak Machicha Mochtar, juga menyuguhkan sekilas
contoh akta.

Kata Pengantar vii


Terselesaikannya penulisan buku ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis menghaturkan ucapan
terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang
telah membantu penyusunan buku ini. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Sdr. Fahmi Fadhli Rais, S.Pi.; Novalia
Arnita Simamora, S.H., M.H.; Sudarman Sinaga. Kepada Penerbit
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, penulis mengucapkan terima
kasih karena telah berkenan menerbitkan buku ini sehingga dapat
sampai ke tangan pembaca.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan
agar buku ini dapat memberikan manfaat dalam menambah
wawasan serta ilmu pengetahuan di bidang hukum keluarga dan
harta benda dalam perkawinan. Namun demikian, seperti kata
pepatah “tiada gading yang tak retak”, penulis menyadari sepenuhnya
keterbatasan dan kekurangan buku ini. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun dan konstruktif sangat penulis
harapkan bagi kesempurnaan buku ini dan buku-buku berikutnya.

Medan, Juli 2016

Wassalam penulis,
Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum.

viii HUKUM KELUARGA


DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN v
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix

BAB 1 PENGANTAR HUKUM PERDATA BARAT 1


A. Keberlakuan Burgelijk Wetboek 1
B. Penggolongan Penduduk 4
C. Subjek Hukum 6
D. Kewarganegaraan 11
E. Cakap Bertindak dalam Hukum 19
F. Pengampuan 34

BAB 2 HUKUM PERKAWINAN 41


A. Pengertian Hukum Kekeluargaan
di Indonesia 41
B. Pengertian Hukum Perkawinan 42
C. Sumber-sumber Hukum Perkawinan
Nasional 45

Daftar Isi ix
D. Asas-asas Hukum Perkawinan Nasional 51
E. Syarat Sahnya Perkawinan 54
F. Hubungan Hukum Suami dan Istri
dalam Perkawinan 58
G. Perjanjian Perkawinan 64
H. Akta Perjanjian Kawin 73
I. Contoh Akta Perjanjian Perkawinan 74
J. Contoh Akta Perkawinan 77

BAB 3 HARTA DALAM PERKAWINAN 83


A. Pengertian Harta dalam Perkawinan 83
B. Harta Bersama 91
C. Harta Bawaan 97
D. Perbedaan Harta Bersama dan Harta Bawaan
dalam Perkawinan 104
E. Hadiah dan Hibah 106
F. Pengurusan Harta dalam Perkawinan 111

BAB 4 ANAK DI LUAR PERKAWINAN 115


A. Latar Belakang 115
B. Anak Luar Kawin 122
C. Analisis Keputusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap
Anak Luar Kawin dalam Perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan
Kompilasi Hukum Islam 140

BAB 5 HARTA ANAK YANG LAHIR DI LUAR


PERKAWINAN 145
A. Kedudukan Anak Luar Kawin dalam
Hal Pewarisan 145
B. Pengurusan Harta Warisan Anak yang
Lahir di Luar Pernikahan 148

x HUKUM KELUARGA
BAB 6 ANAK YANG LAHIR SELAMA
PERKAWINAN 149
A. Pengertian 149
B. Hubungan Hukum Orangtua dan Anak 149

BAB 7 Pengangkatan anak (ADOPSI) 159


A. Pengertian Pengangkatan Anak 159
B. Dasar Hukum dari Pengangkatan Anak 161
C. Akibat Hukum dari Pengangkatan Anak 167
D. Persyaratan Adopsi 171
E. Kriteria Motivasi Pengangkatan Anak 174
F. Hukum Islam dan Pengangkatan Anak 176
G. Ketentuan Pengangkatan Anak Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak
serta Peraturan Menteri Sosial
No. 110/Huk/2009 tentang Persyaratan
Pengangkatan Anak 177
H. Contoh Akta Pengangkatan Anak (Adopsi) 182

BAB 8 HUKUM WARIS 187


A. Hukum Waris Perdata (BW) 187
B. Hukum Waris dalam Islam 196
C. Hukum Waris Adat 204

DAFTAR PUSTAKA 225


LAMPIRAN 231
BIODATA PENULIS 283

Daftar Isi xi
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
Bab 1
PENGANTAR HUKUM PERDATA BARAT

M Y
UM
A. Keberlakuan Burgelijk Wetboek

D
Eksistensi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) Indonesia secara historis tidak dapat dilepaskan dari
“Burgerlijk Wetboek” (BW) Belanda dan “Code Civil” Prancis.
Demikian juga Code Civil Prancis banyak mengambil alih dari
hukum Romawi. Pertautan sejarah ini didasarkan atas asas
konkordansi (concordantie beginsel). Kodifikasi BW di Belanda
disahkan melalui Koninklijk Besluit tanggal 10 April 1838 dengan
Staatsblad 1838 Nomor 12 yang dinyatakan berlaku sejak tanggal
1 Oktober 1838. Melalui pengumuman Gubernur Jenderal Hindia-
Belanda tanggal 3 Desember 1847, dinyatakan bahwa sejak tanggal
1 Mei 1848 BW berlaku di Indonesia.1
Secara yuridis formal, KUH Perdata sebagai hasil kodifikasi
Hukum Perdata terdiri dari 4 (empat) buku, yaitu buku I mengatur
tentang orang (Van Personen) mulai Pasal 1 s.d. 498, buku II mengatur
tentang benda (Van Zaken) mulai Pasal 499 s.d. 1232, Buku III

1
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Orang dan Keluarga, (Medan:
USU Press, 2011), hlm. 11.

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 1


mengatur tentang perikatan (Van Verbintenissen) mulai Pasal 1233 s.d.
1864, dan buku IV mengatur tentang pembuktian dan kedaluwarsa
(Van Bewijs en Verjaring) mulai Pasal 1865 s.d. 1993.2
Pada perkembangannya, terdapat pasal-pasal KUH Perdata
yang sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan hukum masyarakat,
sehingga dicabut atau diganti dengan Undang-Undang antara lain
Buku I yang mengatur perkawinan diganti dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Buku II yang mengatur

Y
mengenai tanah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria, Hipotek atas tanah dicabut

M
dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan.3

M
Berdasarkan sistematika Ilmu Hukum, sistematika Hukum
Perdata dibagi atas 4 (empat) bagian yaitu bagian pertama

U
tentang hukum perorangan (Personenrecht), bagian kedua tentang
hukum keluarga (Familierecht), bagian ketiga tentang hukum harta

D
kekayaan (Vermogensrecht), dan bagian keempat tentang hukum
waris (Erfrecht).
Sistem Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia beraneka
ragam, artinya sistem hukum perdata yang berlaku itu terdiri
dari berbagai macam ketentuan hukum di mana setiap penduduk
mempunyai sistem hukumnya masing-masing, seperti Hukum
Adat, Hukum Islam, Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek),
dan lain sebagainya.4 Pluralisme hukum tersebut telah ada sejak
zaman Hindia-Belanda. Setidaknya ada 3 (tiga) faktor yang menjadi
penyebab timbulnya pluralisme dalam sistem hukum yang berlaku
di Indonesia, yaitu: (1) politik pemerintahan Hindia-Belanda; (2)
belum adanya ketentuan hukum yang berlaku secara nasional; dan
(3) faktor etnisitas.5

2
Ibid.
3
Ibid, hlm. 12.
4
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 4.
5
Ibid., hlm. 5.

2 HUKUM KELUARGA
Mengenai keberlakuan BW di Indonesia, Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Mahadi
menyatakan bahwa:6
1. BW sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi, yang masih
berlaku adalah aturan-aturannya yang tidak bertentangan
dengan semangat serta suasana kemerdekaan.
2. Diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin untuk mene­
tapkan aturan mana yang masih berlaku dan aturan mana

Y
yang tidak bisa dipakai lagi.
4. Tidak setuju diambil suatu tindakan legislatif untuk menyatakan

M
bahwa aturan-aturan BW dicabut sebagai aturan-aturan tertulis,
tegasnya tidak setuju untuk menjadikan aturan-aturan BW yang

M
masih berlaku menjadi hukum kebiasaan (hukum adat).

U
Oleh karenanya, secara yuridis formal kedudukan BW
tetap sebagai undang-undang sebab BW tidak pernah dicabut

D
dari kedudukannya sebagai undang-undang. Namun, pada
waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang bulat dan utuh seperti keadaan semula
diundangkan. Beberapa bagian daripadanya sudah tidak berlaku
lagi, baik karena ada suatu peraturan perundang-undangan yang
baru dalam lapangan perdata yang menggantikannya, maupun
karena disingkirkan dan mati oleh putusan-putusan hakim yang
merupakan yurisprudensi karena dipandang sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan masyarakat yang sudah sangat jauh
berubah dibandingkan dengan keadaan masyarakat pada saat BW
dikodifikasikan.7

6
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 13.
7
Ibid., hlm. 14. Salah satu Yurisprudensi tersebut adalah Putusan Mahkamah
Agung RI No 7/K/Sip/1973 tentang tidak ada batas waktu kedaluwarsa dalam
menggugat harta warisan; Putusan Mahkamah Agung RI No 401K/Sip/1972 tentang
utang piutang uang dengan borg suatu barang tetap, kalau yang berutang melakukan
wanprestasi tidak dengan otomatis barang-barang tanggungan itu menjadi milik yang
mengutangkan, akan tetapi hal ini baru benar, kalau tidak diperjanjikan dengan tegas
di dalam surat perjanjian. Berapa pun besarnya bunga utang, asal sudah diperjanjikan

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 3


B. Penggolongan Penduduk
Pemerintah Hindia-Belanda membagi golongan penduduk
di daerah jajahannya menjadi 3 (tiga) golongan, antara lain: (1)
golongan Eropa dan dipersamakan dengannya; (2) golongan Timur
Asing yang terdiri dari Timur Asing golongan Tionghoa dan bukan
Tionghoa, seperti Arab, India, dan lain-lain; dan (3) golongan
Bumiputra, yaitu orang Indonesia asli yang terdiri atas semua
suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.8

Y
Berdasarkan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) dan Pasal 131
IS yang membedakan berlakunya ketentuan hukum bagi ketiga

M
golongan tersebut, yaitu:
Pertama, bagi golongan Eropa di Hindia-Belanda, berdasarkan

M
Pasal 131 IS ayat 2 sub a berlaku seluruh hukum Eropa dan ber­

U
laku sejak 1 Mei 1848 sebagaimana tertuang dalam Stb. 1848 dan
Stb. 1917.

D
Kedua, bagi golongan Timur Asing terdapat perbedaan: (1)
bagi golongan Timur Asing Tionghoa semenjak tahun 1917 dengan
Stb. 1917-129 jo. Stb. 1924-557 diperlakukan di seluruh hukum
Eropa (BW dan WvK) dengan pengecualian mengenai tata cara
perkawinan dan hal mencegah perkawinan; dan (2) bagi golongan
Timur Asing Bukan Tionghoa, berdasar Stb. 1855-79 jo. Stb.
1924-557 diperlakukan sebagian dari Hukum Eropa (hukum harta
kekayaan dan hukum waris dengan testament) untuk lainnya berlaku
hukum adat masing-masing (menurut yurisprudensi hukum adat
tersebut meliputi hukum keluarga dan hukum waris tanpa wasiat).
Ketiga, bagi golongan Bumiputra, berlaku hukum adat yang
telah direseptio dari hukum Islam (vide Pasal 131 IS ayat 2 sub b
juncto Pasal 131 IS ayat 6).9

harus dipenuhi; dan Yurisprudensi lainnya adalah Putusan Mahkamah Agung RI No


562K/Sip/1979 tentang hukum adat: hibah dari suami kepada istri mengenai barang
asal tidak dapat disahkan, karena ahli waris tersebut menjadi kehilangan hak warisnya.
8
Titik Triwulan Tutik, Loc.Cit.
9
Ibid.

4 HUKUM KELUARGA
Perihal untuk menundukkan diri pada Hukum Eropa telah
diatur lebih lanjut di dalam Staatsblad 1917 No. 12. Peraturan ini
mengenal empat macam penundukan yaitu:10
1. Penundukan pada seluruh Hukum Perdata Eropa;
2. Penundukan pada sebagian Hukum Perdata Eropa, yang
dimaksudkan hanya pada hukum kekayaan harta benda saja
(Vermogensrecht), seperti yang telah dinyatakan berlaku bagi
golongan Timur Asing bukan Tionghoa;

Y
3. Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;

M
4. Penundukan secara diam-diam, menurut Pasal 29 yang
berbunyi: “Jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu
perbuatan hukum yang tidak dikenal di dalam hukumnya

M
sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya

U
pada hukum Eropa”.

Riwayat perundang-undangan dalam lapangan hukum perdata

D
untuk Golongan Timur Asing adalah sebagai berikut.11
Mula-mula dengan peraturan yang termuat di dalam Staatsblad
1855 No. 79 Hukum Perdata Eropa (BW dan WvK) dengan
pengecualian hukum kekeluargaan dan hukum warisan, dinyatakan
berlaku untuk semua orang Timur Asing. Kemudian, pada tahun
1917, mulailah diadakan pembedaan antara golongan Tionghoa
dan yang bukan Tionghoa, karena untuk golongan dianggapnya
hukum Eropa yang sudah diperlakukan terhadap mereka itu dapat
diperluas lagi.
Pengaturan bagi golongan Tionghoa terdapat dalam Staatsblad
Tahun 1917 No. 129 (berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia
sejak tanggal 1 September 1925). Menurut peraturan ini sekarang
berlaku bagi bangsa Tionghoa, yaitu seluruh hukum privat Eropa
terkecuali pasal-pasal yang mengenai Burgelijke Stand, upacara-

10
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermassa, 2001), hlm. 12.
11
Ibid., hlm. 13.

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 5


upacara sebelum berlangsung pernikahan (bagian 2 dan 3 dari Titel
4 Buku I BW) dan bagi orang Tionghoa diadakan suatu Burgelijke
Stand tersendiri serta suatu peraturan tersendiri pula tentang
pengangkatan anak (adopsi), yaitu dalam bagian II Staatsblad Tahun
1917 No. 129 tersebut.
Bagi golongan Timur Asing lainnya (Arab, India, dan
sebagainya) kemudian juga diadakan suatu peraturan tersendiri
dalam Ordonansi yang termuat dalam Staatsblad tahun 1924

Y
No. 556 (mulai berlaku sejak tanggal 1 Maret 1925), menurut
peraturan tersebut pada pokoknya bagi mereka itu berlaku hukum

M
privat Eropa dengan pengecualian hukum kekeluargaan dan hukum
kewarisan, sehingga mereka itu tetap untuk bagian-bagian hukum

M
belakangan ini tetap tunduk pada hukum asli mereka sendiri.
Tetapi bagian yang mengenai pembuatan surat wasiat (testament),

U
berlaku untuk mereka.12

D
C. Subjek Hukum
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda
rechtsubject atau law of subject (Inggris). Secara umum, rechtsubject
diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, yaitu manusia
dan badan hukum. Chaidir Ali menyatakan, bahwa yang dimaksud
dengan subjek hukum adalah manusia yang berkepribadian
hukum, dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan
masyarakat demikian itu dan oleh hukum diakui sebagai
pendukung hak dan kewajiban. Selanjutnya Algra menyatakan
bahwa subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak
dan kewajiban, jadi mempunyai wewenang hukum atau disebut
dengan Rechtsbevoegdheid.13
Menurut Pendapat Ahli, subjek hukum adalah sesuatu yang
menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan

12
Ibid. hlm. 14.
13
Titik Triwulan Tutik, Op. Cit., hlm. 41.

6 HUKUM KELUARGA
hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak
dalam hukum; subjek hukum merupakan sesuatu pendukung
hak yang menurut hukum berwenang atau berkuasa bertindak
menjadi pendukung hak (Rechtsbevoegdheid); subjek hukum juga
merupakan segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak
dan kewajiban.14
Subjek hukum memiliki kedudukan dan peranan yang
sangat penting dalam hukum, khususnya hukum keperdataan

Y
karena subjek hukum tersebut yang dapat mempunyai wewenang
hukum.15 Dalam lapangan hukum perdata, mengenal subjek

M
hukum sebagai salah satu bagian dari kategori hukum merupakan
hal yang tidak dapat diabaikan karena subjek hukum adalah konsep

M
dan pengertian (concept en begriff) yang mendasar.
Subjek hukum adalah setiap pembawa hak (recht, right) dan

U
kewajiban (verplicht, obligation) dalam hukum. Hak merupakan
wewenang yang diberikan kepada subjek hukum untuk melakukan,

D
berbuat, atau tidak berbuat sesuatu dalam lapangan hukum
tertentu. Kewajiban adalah suatu pembebanan yang diberikan
oleh hukum kepada subjek hukum untuk melaksanakan sesuatu.16
Berlakunya manusia sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia
dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, bahkan
seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya dapat dianggap
sebagai pembawa hak (dianggap telah lahir) jika kepentingannya
memerlukannya (untuk menjadi ahli waris).17
Dalam ilmu hukum (rechtswetenschap), pengertian orang tidak
identik dengan manusia. Orang diartikan dalam konteks yuridis
analisis hukum perdata, sedangkan manusia merupakan pengertian
biologis yang memiliki budaya dan indrawi. Status subjek hukum
diperoleh manusia pada momentum ketika manusia itu dilahirkan

14
J. Satrio, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999), hlm. 15.
15
Ibid., hlm. 40.
16
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 20.
17
Ibid.

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 7


(sudah merupakan kodrat) dan akan berakhir ketika meninggal
dunia. Prinsip pengakuan manusia sebagai subjek hukum pada
saat dilahirkan mendapat pengecualian dalam Pasal 2 KUH Perdata
yang berbunyi:

“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai


telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.
Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah ada.”18

Y
Prinsip hukum dalam pasal tersebut dikenal dengan fiksi
hukum (rechtsfictie). Eksistensi pasal tersebut memiliki arti penting

M
dalam kaitannya dengan Pasal 836 KUH Perdata yang berbunyi:

“Dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab ini, supaya

M
dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada pada saat
warisan jatuh meluang.”19

U
Berdasarkan prinsip hukum yang terkandung dalam Pasal

D
2 KUH Perdata, apabila terdapat suatu peristiwa hukum (rechts
fictie) yaitu jika seorang wanita hamil, maka anak yang ada dalam
kandungannya akan memperoleh manfaat hukum terhadap seorang
pewaris.
Berkaitan dengan hal di atas, bahwa hubungan hukum yang
dilakukan, maka manusia adalah para pihak yang setiap melakukan
hubungan hukum masing-masing memiliki hak dan kewajiban
secara timbal balik, yaitu pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
dan pihak lain wajib memenuhi tuntutan tersebut dan hak ini
berlaku sebaliknya. Kewenangan untuk menjadi pendukung hak
dan kewajiban, kita sebut sebagai kewenangan hukum. Hal ini
harus dibedakan dengan kewenangan bertindak. Kewenangan
hukum dimiliki oleh semua manusia sebagai subjek hukum,
sedangkan kewenangan bertindak dari setiap subjek hukum
dipengaruhi banyak faktor, misalnya saja faktor usia, statusnya

18
Ibid.
19
Ibid., hlm. 21.

8 HUKUM KELUARGA
(menikah atau belum), status sebagai ahli waris (dalam lapangan
hukum waris) dan lain-lain. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka dalam hal melakukan perbuatan hukum berupa perjanjian,
bahwa pihak-pihak yang hendak melakukan perjanjian harus
memenuhi unsur-unsur perjanjian dan juga syarat-syarat sahnya
perjanjian. Salah satu dari unsur perjanjian yang harus dipenuhi
menyangkut kewenangan bertindak adalah, “Adanya para pihak,
sedikitnya dua orang pihak ini disebut subjek perjanjian, manusia

Y
maupun badan hukum mempunyai wewenang perbuatan hukum
seperti yang ditetapkan oleh undang-undang”.

M
Kecakapan seseorang bertindak di dalam hukum atau
untuk melakukan perbuatan hukum ditentukan dari telah atau

M
belumnya seseorang tersebut dikatakan dewasa menurut hukum.
Kedewasaan seseorang merupakan tolak ukur dalam menentukan

U
apakah seseorang tersebut dapat atau belum dapat dikatakan
cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

D
Kedewasaan seseorang menunjuk pada suatu keadaan sudah
atau belum dewasanya seseorang menurut hukum untuk dapat
bertindak di dalam hukum yang ditentukan dengan batasan
umur. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar
seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai cakap bertindak
dalam melakukan segala perbuatan hukum.
Menurut Pasal 2 KUH Perdata, manusia menjadi pendukung
hak dan kewajiban dalam hukum sejak ia lahir sampai ia meninggal.
Tetapi, UU menentukan tidak semua orang sebagai pendukung
hukum (recht) adalah cakap (bekwaam) adalah kriteria umum
yang dihubungkan dengan keadaan diri seseorang, sedangkan
berwenang (bevoegd) merupakan kriteria khusus yang dihubungkan
dengan suatu perbuatan atau tindakan tertentu.
Seseorang yang cakap belum tentu berwenang, tetapi yang
berwenang sudah pasti cakap. Berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 1330 KUH Perdata maka dapat diketahui yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum yaitu:

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 9


1. Orang yang belum dewasa;
2. Orang yang di bawah pengampuan;
3. Para istri (tetapi ketidakcakapan istri ini telah dicabut dengan
keluarnya UU Nomor 1974 tentang Perkawinan).

Menurut paham konvensional, subjek hukum meliputi


manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon).
Dalam paham progresif, terjadi perkembangan dari subjek hukum

Y
yaitu bukan saja manusia dan badan hukum tetapi juga termasuk
pejabat pemerintah yang diakui sebagai subjek hukum tersendiri.

M
Perkataan orang (person) berarti pembawa hak, yaitu sesuatu
yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subjek hukum.

M
Dewasa ini subjek hukum itu terdiri dari manusia (naturlijke
persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Sebagai subjek hukum,

U
sebagai pembawa hak, manusia mempunyai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban untuk melakukan sesuatu tindakan hukum,

D
ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah, membuat
wasiat dan sebagainya.20
Di samping manusia pribadi sebagai pembawa hak, terdapat
pula badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum
diberi status “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban
seperti manusia, yang disebut Badan Hukum. Badan hukum
sebagai pembawa hak yang tak berjiwa dapat melakukan sebagai
pembawa hak manusia, misalnya dengan melakukan persetujuan-
persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari
kekayaan anggota-anggotanya.21 Perbedaan antara badan hukum
dengan manusia adalah, badan hukum memperoleh status sebagai
subjek hukum karena bukan sifat bawaannya, melainkan diberi
oleh undang-undang. Misalnya:

20
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1989), hlm. 117.
21
Ibid., hlm. 117.

10 HUKUM KELUARGA
1. Koperasi sebagai badan hukum diberikan oleh Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992.
2. Perseroan terbatas sebagai badan hukum diberikan oleh
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1997 tentang Perseroan
terbatas.
3. Yayasan sebagai badan hukum diberikan oleh Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.

Y
Badan hukum itu tidak dapat melakukan perkawinan, tidak
dapat dihukum penjara (kecuali hukuman denda).22

M
Adapun badan hukum terdiri atas:
1. Badan Hukum Publik, yaitu Negara, Daerah Swatantra tingkat

M
I dan Kotamadya, Kotapraja, Desa.
2. Badan Hukum Perdata, yang dapat dibagi lagi dalam:

U
a. Badan Hukum (perdata) Eropa: seperti Perseroan Terbatas,

D
Yayasan, Lembaga, Koperasi.
b. Badan Hukum Indonesia: seperti Gereja Indonesia,
Masjid, Wakaf, Koperasi.

D. Kewarganegaraan
1. Status Kewarganegaraan
Seseorang dapat dinyatakan sebagai warga negara suatu
negara haruslah melalui ketentuan-ketentuan dari suatu negara.
Ketentuan inilah yang menjadi asas atau pedoman dalam
menentukan kewarganegaraan seseorang. Setiap negara memiliki
kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas kewarga­
negaraannya. Dalam penentuan kewarganegaraan, ada 2 (dua) asas
atau pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran
dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan.23

Ibid., hlm. 118.


22

Cholisin, Ilmu Kewarganegaraan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2000), hlm. 109.


23

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 11


Dalam asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ada
2 (dua) asas kewarganegaraan yang digunakan, yaitu ius soli
(tempat kelahiran) dan ius sanguinis (keturunan). Sedangkan dari
asas kewarganegaraan yang berdasarkan perkawinan juga dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan
derajat.24
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan, bahwa asas kewarganegaraan umum terdiri

Y
atas 4 (empat) asas, yaitu asas kelahiran (ius soli), asas ketu­runan
(ius sanguinis), asas kewarga­negaraan tunggal, dan asas kewarga­

M
negaraan ganda terbatas. Asas kelahiran (ius soli) dan asas keturunan
(ius sanguinis) mempunyai pengertian yang sama dengan yang

M
telah diterangkan di atas tadi. Sedangkan asas kewarga­negaraan
tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarga­­negaraan bagi

U
setiap orang. Jadi, setiap warga negara hanya memiliki satu kewarga­
negaraan, tidak bisa memiliki kewarga­negaraan ganda atau lebih

D
dari satu.
Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan ganda (lebih dari satu kewarga­
negaraan) bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang. Jadi, kewarganegaraan ini hanya bisa
dimiliki ketika masih anak-anak dan setelah anak tersebut berumur
18 (delapan belas) tahun, maka ia harus memilih atau menentukan
salah satu kewarganegaraannya. Jadi, sebagai seorang warga negara
tidak boleh memiliki lebih dari satu kewarganegaraan dan jika
seseorang berhak mendapatkan status kewarganegaraan karena
kelahiran dan keturunan sekaligus, maka ia harus memilih salah
satu di antaranya ketika ia sudah berumur 18 tahun.
Permasalahan mengenai kewarganegaraan menjadi penting
setelah beberapa kali terjadi permasalahan yang berkaitan dengan
status kewarganegaraan, tidak sedikit Warga Negara Indonesia

24
Ibid.

12 HUKUM KELUARGA
yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing dan pada
akhirnya sering terjadi persengketaan mengenai anak mereka. Selain
itu, kasus-kasus Warga Negara Asing yang banyak ditemui adalah
menyalahgunakan izin tinggal di Indonesia. Permasalahan tersebut
harus ditangani secara serius. Dengan demikian, informasi dan
pengetahuan mengenai asas kewarganegaraan harus disosialisasikan
pada masyarakat melalui berbagai sarana atau media, seperti media
massa, media elektronik dan pendidikan sekolah.

Y
Penduduk Indonesia adalah mereka yang berada di wilayah
Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu dan telah

M
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh peraturan
Negara Republik Indonesia, sehingga diperbolehkan berdomisili

M
di wilayah Republik Indonesia. Faktor-faktor yang membedakan
penduduk dan bukan penduduk Warga Negara Republik Indonesia

U
adalah faktor jangka waktu dan faktor tempat tinggal. Perbedaan
penduduk dan konsekuensinya akan membawa perbedaan terhadap

D
status kewarganegaraan. Dengan demikian status kewarganegaraan
di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu:
a. Penduduk dengan status Warga Negara Indonesia (WNI).
b. Penduduk dengan status Warga Negara Asing (WNA).

Perbedaan penduduk dan bukan penduduk Negara Indonesia


serta perbedaan penduduk dengan status WNI dan WNA
membawa konsekuensi terhadap perbedaan hak dan kewajibannya.
Mengenai kependudukan orang asing, mengenai Undang-Undang
ex darurat No. 9/1955 yang disebut dalam lembaran Negara
Republik Indonesia No.33 Tahun 1955, menyebutkan bahwa orang
asing dapat menjadi penduduk Indonesia dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Jika ia lama menetap di Indonesia.
b. Orang asing dapat disebut menetap di Indonesia, jika ia
mendapat izin bertempat tinggal di sini (setelah habis masa
izin yang berlaku). Izin itu disebut izin menetap.

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 13


c. Izin menetap itu dapat diberikan kepada orang asing yang
sudah 15 tahun berturut-turut bertempat tinggal di Indonesia
undang-undang darurat itu memuat ketentuan bahwa orang
disebut tidak menetap lagi di Indonesia apabila ia:
1) Melepas hak menetap;
2) Berada di luar negeri terus-menerus selama lebih dari 18
bulan;

Y
3) Tidak memenuhi hak dan kewajiban selama di luar negeri;
4) Memperoleh kedudukan di luar negeri yang serupa

M
dengan kedudukan yang menetap di Indonesia;
5) Berangkat ke luar negeri untuk mempersatukan diri

M
dengan suaminya yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia.

U
Status kewarganegaraan penduduk Indonesia, membawa

D
konsekuensi adanya perbedaan hak dan kewajiban bagi penduduk
Indonesia yang berbeda kewarganegaraannya. Misalnya, hanya
mereka yang berstatus warga negaralah yang diperbolehkan
untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Pasal 26 ayat (1) UUD
1945 menyebutkan bahwa, “Yang menjadi warga negara ialah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”.
Orang-orang bangsa lain, seperti orang-orang peranakan Belanda,
peranakan Tionghoa dan peranakan Arab yang telah menjadi
penduduk Indonesia dapat menjadi Warga Negara Indonesia
melalui Undang-Undang.
Menurut UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia, yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. Mereka yang telah menjadi warga negara berdasarkan undang-
undang atau peraturan atau perjanjian yang sudah terlebih
dahulu berlaku, yaitu sebagai berikut:

14 HUKUM KELUARGA
1) Menurut UU No.3 Tahun 1946 tentang Warga Negara
Indonesia:
a) Penduduk asli dan keturunannya;
b) Istri dari warga negara;
c) Keturunan dari seorang warga negara yang kawin
dengan wanita Warga Negara Asing;
d) Anak-anak yang lahir dalam daerah RI yang oleh

Y
orangtuanya tidak diakui dengan cara sah;
e) Anak-anak yang lahir dalam daerah RI yang tidak

M
diketahui siapa orangtuanya;
f) Anak-anak yang lahir dalam waktu 300 hari setelah

M
ayah seorang Warga Negara Indonesia meninggal;
g) Orang-orang bukan penduduk asli yang paling akhir

U
telah berturut-turut tinggal di Indonesia selama 5
tahun, telah berumur 21 tahun atau telah kawin;

D
h) Masuk menjadi warga negara dengan jalan kewarga­
negaraan (naturalisasi).

Apabila seseorang telah menjadi warga negara suatu negara,


maka ia memiliki suatu hubungan dengan negaranya. Hubungan
tersebut pada umumnya berupa peranan. Peranan pada dasarnya
adalah tugas yang dilakukan oleh seseorang yang sesuai dengan
statusnya sebagai warga negara. Secara teori, status warga negara
meliputi status pasif, aktif, negatif, dan positif.25

2. Dwikewarganegaraan
Pada beberapa negara, untuk menentukan kewarganegaraannya
ada yang memakai asas ius soli, sedang di negara lain berlaku asas
ius sanguinis. Hal demikian itu menimbulkan 2 (dua) kemungkinan,
yaitu:26

25
Ibid., hlm. 112.
26
Kansil, Op.Cit, hlm. 98.

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 15


a. a-patride, yaitu adanya seorang penduduk yang sama sekali
tidak mempunyai kewarganegaraan;
b. bi-patride, yaitu adanya seorang penduduk yang mempunyai
dua macam kewarganegaraan sekaligus (kewarganegaraan
rangkap atau dwi-kewarganegaraan).

Seorang keturunan bangsa X, yang negaranya memakai dasar


kewarganegaraan ius soli, lahir di negara Y, di mana berlaku dasar

Y
ius sanguinis. Orang ini bukanlah Warga Negara X, karena ia tidak
lahir di Negara X, tetapi ia juga bukan Warga Negara Y, karena ia

M
bukanlah keturunan bangsa Y. Dengan demikian maka orang ini
sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan. Ia adalah a-patride.

M
Seorang bangsa B yang negaranya menganut asas ius sanguinis
lahir di Negara A, di mana berlaku asas ius soli. Oleh karena orang

U
ini adalah keturunan bangsa B, maka ia dianggap sebagai warga
negara dari Negara B, akan tetapi oleh Negara A ia juga dianggap

D
sebagai warga negaranya, karena ia dilahirkan di Negara A. orang
ini mempunyai dwi-kewarganegaraan. Ia adalah bi-patride.
Adanya ketentuan-ketentuan yang tegas mengenai kewarga­
negaraan adalah sangat penting bagi tiap negara, karena hal itu
dapat mencegah adanya penduduk yang a-patride dan yang bi-patride.
Ketentuan-ketentuan itu penting pula untuk membedakan hak dan
kewajiban-kewajiban bagi warga negara dan bukan warga negara.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur persoalan kewarga­
negaraan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang
Kewarganegaraan Indonesia (UU No. 62 Tahun 1958), yang
pada pokoknya memakai asas ius sanguinis. Sebelum adanya UU
Kewarganegaraan di Indonesia berlaku peraturan Kewarganegaraan
yang lama, yang pada pokoknya menganut asas ius soli. Sebagai­
mana akibat daripada Peraturan Kewarganegaraan yang lama itu
timbullah masalah dwi-kewarganegaraan di kalangan orang-orang
Cina di Indonesia.27

27
Ibid., hlm. 99.

16 HUKUM KELUARGA
Kewarganegaraan ganda adalah sebuah status yang disematkan
kepada seseorang yang secara hukum merupakan warga negara sah
di beberapa negara. Kewarganegaraan ganda ada karena sejumlah
negara memiliki persyaratan kewarganegaraan yang berbeda dan
tidak eksklusif. Secara umum, kewarganegaraan ganda berarti
orang-orang yang “memiliki” kewarganegaraan ganda, tetapi
secara teknis diklaim sebagai warga negara oleh masing-masing
pemerintah negara bersangkutan.

Y
Masing-masing negara mengikuti alasan-alasan mereka sendiri
dalam menetapkan kriteria mereka untuk kewarganegaraan. Setiap

M
negara memiliki persyaratan berbeda mengenai kewarganegaraan,
serta kebijakan berbeda mengenai kewarganegaraan ganda.

M
Hukum-hukum tersebut kadang meninggalkan celah yang
memungkinkan seseorang mendapatkan kewarganegaraan lain

U
tanpa menghapus kewarganegaraan asli, sehingga menciptakan
kondisi bagi seseorang untuk memiliki dua kewarganegaraan atau

D
lebih. Berikut adalah persyaratan umum bagi seseorang untuk
memperoleh kewarganegaraan di suatu negara:
a. Sedikitnya satu orangtua adalah warga negara di negara
tersebut (jus sanguinis);
b. Orang tersebut lahir di teritori negara bersangkutan (jus soli);
c. Orang tersebut menikahi seseorang yang memiliki kewarga­
negaraan di negara bersangkutan (jure matrimonii);
d. Orang tersebut mengalami naturalisasi;
e. Orang tersebut diadopsi dari negara lain ketika masih di
bawah umur dan sedikitnya satu orangtua asuhnya adalah
warga negara di negara bersangkutan;
f. Orang tersebut melakukan investasi uang dalam jumlah besar.

Setelah kewarganegaraan diberikan, negara pemberi dapat atau


tidak dapat mempertimbangkan penghapusan kewarganegaraan
lamanya secara sukarela agar sah. Dalam hal naturalisasi, sejumlah

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 17


negara mensyaratkan pendaftar naturalisasi untuk menghapus
kewarganegaraan mereka sebelumnya. Sayangnya, penghapusan
tersebut bisa saja tidak diakui oleh negara bersangkutan. Secara
teknis, orang tersebut masih memiliki dua kewarganegaraan.
Sebagaimana ketentuan UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan, bagi anak yang dilahirkan pada dan setelah 1
Agustus 2006 dari pasangan WNI atau salah satu orangtuanya
adalah WNI maka dapat mengajukan kewarganegaraan ganda

Y
terbatas dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah Warga

M
Negara Indonesia (WNI) dan ibu Warga Negara Asing (WNA);
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah Warga

M
Negara Asing (WNA) dan ibu Warga Negara Indonesia (WNI);

U
c. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu Warga
Negara Asing (WNA) yang diakui oleh ayah Warga Negara

D
Indonesia (WNI) dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
d. Anak yang lahir di luar wilayah Republik Indonesia dari
ayah dan ibu Warga Negara Indonesia (WNI), yang karena
ketentuan dari negara tempat anak dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak tersebut;
e. Anak Warga Negara Indonesia (WNI) yang lahir di luar per­
kawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun
dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayah Warga Negara
Asing (WNA);
f. Anak Warga Negara Indonesia (WNI) yang belum berusia 5
(lima) tahun, diangkat secara sah sebagai anak oleh Warga
Negara Asing (WNA) berdasarkan Penetapan Pengadilan.

18 HUKUM KELUARGA
E. Cakap Bertindak dalam Hukum
1. Pengertian
Dalam hukum perdata, istilah kecakapan dan kewenangan,
memiliki arti yang berbeda. Cakap bertindak dalam hukum dikenal
dengan istilah rechtsbekwaamheid, sedangkan wewenang bertindak
dalam hukum disebut rechtsbevoegdheid. Istilah kecakapan dapat
dilihat dalam Pasal 1320 KUH Perdata angka 2 yang berbunyi:

Y
“Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.” Namun tidak
terdapat penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kecakapan.

M
Pada asasnya, setiap orang cakap untuk bertindak dalam hukum
kecuali oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.

M
Pembentuk undang-undang menyebutkan istilah tak cakap
atau onbekwaamheid pada Pasal 1330 KUH Perdata yang mengatakan:

U
“Tak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan”, adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa;

D
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada
siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-
persetujuan tertentu.

Perlu dicermati bahwa pembentuk Undang-Undang dalam


kedua pasal tersebut tidak konsisten menggunakan terminologi
hukum yakni kata perikatan dan persetujuan. Formulasi norma
hukum untuk kecakapan diletakkan pada terminologi “perikatan”
(verbintenis), sedangkan norma hukum tak cakap diletakkan pada
terminologi “persetujuan” (overeenkomst).28
Terminologi “perikatan” pada Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata,
dibaca sebagai persetujuan atau perjanjian. Alasannya adalah dalam
arti perikatan termasuk juga undang-undang. Jadi, tidak mungkin

28
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 37.

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 19


membuat perjanjian yang dilahirkan dari suatu Undang-Undang.
Perjanjian adalah kehendak yang lahir dari para pihak.
Setiap orang yang cakap bertindak dalam hukum tidak secara
otomatis menjadi berwenang melakukan perbuatan hukum. Untuk
berwenang melakukan perbuatan hukum, diperlukan syarat bagi
seseorang adalah kecakapan bertindak. Artinya, tidak mungkin
terjadi seorang yang tidak cakap tetapi berwenang melakukan
suatu perbuatan hukum tertentu. Dengan kata lain, wewenang

Y
melakukan perbuatan hukum merupakan syarat khusus bagi
seseorang. Jadi, jikalau seseorang telah cakap, maka orang tersebut

M
dapat melakukan kewenangan bertindak untuk perbuatan hukum
tertentu. Dalam hukum perdata, orang yang cakap adalah orang

M
yang sudah dewasa. Pengertian dewasa menurut hukum adat
berbeda dengan KUH Perdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang

U
Perkawinan. Dibedakan pula dewasa dalam arti perkawinan dan
dewasa dalam hukum perjanjian.

D
Menurut hukum positif, dikatakan sudah dewasa untuk
membuat perjanjian adalah 18 tahun (Pasal 47-50 UU Perkawinan),
sedangkan dewasa untuk melakukan perkawinan berbeda lagi
pengaturannya, yakni 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan (Pasal 7 UU Perkawinan).
Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele)
disebut curandi dan pengampunya disebut curator. Sebagai dasar
mereka diletakkan di bawah pengampuan adalah bermacam-
macam tergantung kepada statusnya. Mereka ini antara lain, karena
gila (sakit otak), dungu, lemah akal, mata gelap, dan pemborosan.29
Mengenai perempuan yang tak cakap, di Belanda khususnya
ketidakcakapan seorang istri sudah dihapus sejak tanggal 1 Januari
1957. Demikian juga di Indonesia, istri sudah cakap melakukan
perbuatan hukum sejak dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Lahirnya gerakan untuk menghapuskan istri

29
Ibid., hlm. 37.

20 HUKUM KELUARGA
tidak cakap adalah diawali oleh gerakan emansipasi wanita pada
tahun 1970-an, dan sekarang semakin mendapat penguatan dengan
munculnya gerakan gender, yang dapat memberi pengaruh besar
bagi perkembangan hukum.30
Adapun kaitan antara kewenangan hukum, kecakapan ber­
tindak, dan kewenangan bertindak, akan dijelaskan sebagai berikut:
Kewenangan hukum adalah kewenangan untuk menjadi
pendukung hak dan kewajiban di dalam hukum, yaitu kewenangan

Y
untuk menjadi subjek hukum. Sedangkan yang menjadi subjek
hukum, adalah semua manusia dan badan hukum yang juga

M
pendukung hak dan kewajiban. Apabila semua manusia dan
badan hukum bisa menjadi pendukung hak dan kewajiban, maka

M
tidak berarti bahwa semua subjek hukum bisa dengan leluasa
secara mandiri melaksanakan hak-haknya melalui tindakan-

U
tindakan hukum. Untuk itu, harus ada kecakapan bertindak, yaitu
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum pada

D
umumnya. Ada 2 (dua) macam subjek hukum, yaitu subjek hukum
yang oleh Undang-Undang dinyatakan sama sekali tidak cakap
untuk melakukan tindakan hukum (mereka yang ditaruh di bawah
pengampuan karena sakit ingatan), ada yang tindakannya tidak bisa
menimbulkan akibat hukum yang sempurna (anak-anak belum
dewasa pada umumnya), ada yang mempunyai kewenangan yang
terbatas, dalam arti harus didampingi atau mendapat persetujuan
dari orang lain (membuat perjanjian kawin, untuk anak-anak
yang telah mencapai usia menikah) dan ada yang mempunyai
kewenangan penuh (mereka yang sudah dewasa). Jadi, kecakapan
bertindak adalah mengenai kewenangan bertindak bagi subjek
hukum pada umumnya, dan untuk melakukan tindakan-tindakan
hukum, maka kewenangan bertindak adalah mengenai kewenangan
bertindak khusus, yang hanya tertuju pada orang-orang tertentu
untuk tindakan-tindakan hukum tertentu saja.31

30
Ibid., hlm. 39.
31
J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1992), hlm. 296.

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 21


2. Dewasa
Dalam hal-hal yang sangat penting adakalanya dirasa perlu
untuk mempersamakan seorang anak yang masih di bawah umur
dengan seorang yang sudah dewasa, agar anak tersebut dapat
bertindak sendiri di dalam pengurusan kepentingan-kepentingannya.
Untuk memenuhi keperluan ini, diadakan peraturan tentang
“handlichting”, yaitu suatu pernyataan tentang seorang yang belum
mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal

Y
saja dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.32
Pendewasaan (handlichting) atau perlunakan diatur dalam

M
Pasal 419 sampai dengan Pasal 432 KUH Perdata. Undang-undang
tidak memberikan pengertian mengenai pendewasaan, tetapi

M
dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pendewasaan
adalah upaya hukum yang dipergunakan untuk menghilangkan

U
atau menghapuskan keadaan seseorang yang belum dewasa

D
(minderjarigheid) untuk mendapatkan hak-hak kedewasaan baik
untuk keseluruhannya maupun dalam hal-hal tertentu.33
Pendewasaan ini dimaksudkan sebagai pengecualian dari apa
yang ditentukan mengenai kebelumdewasaannya dan perwalian
yang mana orang yang belum dewasa menurut ketentuan hukum
belum dan dianggap tidak cakap bertindak dalam hukum, maka
dengan melalui proses pendewasaan tersebut berarti sifat
kebelumdewasaannya menjadi hapus baik untuk keseluruhan
ataupun secara terbatas dalam hal perbuatan-perbuatan tertentu.34
Wirjono Projodikoro memberikan pengertian pendewasaan
adalah “Pemberian keleluasaan seorang anak yang berumur hampir
21 tahun ingin diperlakukan sebagai orang dewasa, di mana orang
yang belum dewasa itu dapat diberi beberapa kekuasaan dari orang
dewasa”.35

32
Subekti, Op.Cit., hlm. 55.
33
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 54.
34
Ibid., hlm. 55.
35
Wirjono Projodikoro, dalam Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum
Orang dan Keluarga, (Medan: USU Press, 2011), hlm. 55.

22 HUKUM KELUARGA
Menurut Subekti, pendewasaan (handlichtting) adalah:36

“Suatu pernyataan tentang seorang yang belum mencapai usia dewasa


sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan
seorang yang sudah dewasa”.

Pendewasaan juga dikemukakan oleh Achmad Ichsan, yaitu:37

“Jalan atau upaya hukum ataupun cara hukum untuk meniadakan


keadaan belum dewasa baik secara sempurna maupun hanya sebagian

Y
dari orang-orang yang masih berumur di bawah 21 tahun”.

Pendewasaan terbagi menjadi 2 (dua), yaitu dewasa penuh

M
(sempurna) dan dewasa terbatas. Untuk melakukan pendewasaan
penuh, orang yang belum dewasa dan telah mencapai umur 20 (dua

M
puluh) tahun mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal
(yang sekarang ini adalah presiden) setelah mendapat pertimbangan

U
dari HGH (sekarang Mahkamah Agung). Pendewasaan ini diperoleh

D
setelah adanya surat pernyataan dewasa (Venia Aetatis). Akibat
hukumnya adalah perbuatan hukum dari anak yang belum dewasa
disamakan dengan orang dewasa. Presiden dalam surat tersebut dapat
memberikan pembatasan kepada anak yang belum dewasa untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu yang masih memerlukan izin
pengadilan sampai berumur 21 (dua puluh satu) tahun yakni dalam
hal memindahkan atau menjaminkan barang tidak bergerak.38
Untuk pendewasaan yang terbatas, diberikan kepada anak
yang telah berumur 18 tahun oleh pangadilan atas permintaan
anak yang bersangkutan dengan ketentuan orangtua atau
walinya tidak keberatan. Pengadilan akan menetapkan hak-hak
tersebut secara tegas. Akibat hukumnya adalah anak yang belum
dewasa memperoleh hak-hak tertentu seperti orang dewasa, agar
pendewasaan terbatas ini berlaku bagi pihak ketiga maka harus
diumumkan dalam berita negara.39

36
Subekti, Op.Cit., hlm. 55.
37
Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1969), hlm. 80.
38
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati., Op.Cit., hlm. 56.
39
Ibid., hlm. 57.

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 23


Berikut konsep yang dipakai dalam KUH Perdata tentang
ukuran kedewasaan seseorang, yang dinyatakan dalam ketentuan
Pasal 330 KUH Perdata, orang dewasa adalah mereka-mereka
yang telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;
dan mereka yang telah menikah, sekalipun belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut, kedewasaan
dengan kecakapan bertindak dalam hukum menurut KUH Perdata,
yaitu orang-orang yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun

Y
atau lebih; dan mereka-mereka yang sudah menikah sebelum
mencapai umur tersebut, adalah orang-orang yang sudah bisa

M
menyadari akibat hukum dari perbuatannya dan karenanya cakap
untuk bertindak dalam hukum. Menurut KUH Perdata, ada faktor

M
lain selain unsur usia untuk mengukur kedewasaan yaitu status
telah menikah, termasuk kalau suami-istri yang bersangkutan

U
belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun. Sekalipun
Pasal 330 KUH Perdata mengaitkan kedewasaan dengan umur

D
tertentu. Di dalam KUH Perdata berlaku prinsip, bahwa yang
cakap untuk melakukan tindakan hukum adalah mereka-mereka
yang telah dewasa, namun dalam hal ini tidak berarti bahwa
pembuat undang-undang tidak diperbolehkan memberikan
pengecualian-pengecualian. Seperti yang dikatakan di atas, bahwa
adanya pengecualian atas prinsip bahwa yang disebut cakap untuk
melakukan tindakan hukum adalah bagi mereka yang sudah dewasa
(menurut ukuran Pasal 330 KUH Perdata).
Dalam hukum Islam, kecakapan hukum merupakan panutan
seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan
larangan (ahliyat al-wujub), serta kepatutan seseorang untuk
dinilai perbuatannya sehingga berakibat hukum (ahliyat al-ada).
Dalam hal penentuan usia dewasa, khususnya untuk perkawinan,
ulama Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i memiliki
pandangan sendiri, sebagai bukti adalah pandangan dari Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Sejalan dengan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, KHI menyatakan lelaki yang ingin menikah

24 HUKUM KELUARGA
sekurangnya harus berusia 19 (sembilan belas) tahun sedangkan
perempuan 16 (enam belas) tahun. Tentunya, aturan ini bisa di
tawar dengan cara meminta dispensasi kepada pengadilan atau
pejabat yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun
wanita. Namun harus dipahami, batas usia dewasa bukan 19
(sembilan belas) tahun atau 16 (enam belas) tahun. Pasal 98 KHI
menyatakan, batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau
dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, dengan catatan anak

Y
itu tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah menikah.
Oleh karena itu, usia 21 (dua puluh satu) tahun ini juga menjadi

M
pertimbangan penting bagi orang yang hendak melangsungkan
perkawinan. Pasal 15 ayat (2) KHI mengharuskan seseorang yang

M
belum 21 (dua puluh satu) tahun untuk mendapat izin dari kedua
orangtua atau walinya jika hendak menikah, yang hal ini selaras

U
dengan Pasal 6 UU Perkawinan. Sedangkan ukuran kedewasaan
versi draf KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah), pada

D
Buku I tepatnya Bab II tentang Kecakapan Hukum, ditegaskan
bahwa: “Usia dewasa bagi laki-laki adalah 19 (sembilan belas)
tahun penuh dan perempuan 16 (enam belas) tahun penuh. Yang
menarik bagi lelaki, kedewasaan tidak hanya dibuktikan dengan
keluarnya sperma ketika mimpi, tetapi juga kemampuannya untuk
menghamili. Berikut adalah 5 (lima) pasal yang ada dalam Bab II
KHES tentang Kecakapan Hukum:40
1) Pasal 2: Kedewasaan (baligh) dibuktikan dengan keluarnya
sperma ketika bermimpi, kemampuan untuk bisa menghamili,
dan/atau menstruasi;
2) Pasal 3: Umur dewasa (baligh) bagi laki-laki adalah 19
(sembilan belas) tahun penuh, dan bagi perempuan adalah
16 (enam belas) tahun penuh. Bab II, Draf Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah Mahkamah Agung;

40
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Mahkamah Agung, Perma No 2 Tahun
2008, Bab II.

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 25


3) Pasal 4: Seseorang yang setelah mencapai batas akhir usia
baligh, tetapi tidak memperlihatkan tanda-tanda baligh,
dianggap telah mencapai baligh secara hukum;
4) Pasal 5: Tindakan seseorang yang belum mencapai usia baligh
yang memperlihatkan tingkah laku seperti orang yang telah
baligh, tidak diakui secara hukum;
5) Pasal 6: Pengakuan kedewasaan dapat dibuktikan dengan alat-
alat bukti yang dibenarkan Peraturan Perundang-undangan;

Y
dan Pengadilan dapat mengukuhkan dan/atau menolak
permohonan pengukuhan pengakuan kedewasaan berdasarkan

M
alat bukti yang diajukan.

M
Istilah kedewasaan menunjuk kepada keadaan sesudah dewasa,
yang memenuhi syarat hukum, sedangkan istilah Pendewasaan

U
menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh hukum
dinyatakan sebagai dewasa. Hukum membeda-bedakan hal ini,

D
karena hukum menganggap dalam lintas masyarakat menghendaki
kematangan berpikir dan keseimbangan psikis yang pada orang
belum dewasa masih dalam taraf permulaan, sedangkan sisi lain
daripada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa
dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan
khusus. Karena ketidaksempurnaannya, maka seorang yang belum
dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan
perkembangan orang ke arah kedewasaan ia harus dibimbing.

3. Contoh Komparasi Akta Bagi Orang yang Cakap Bertindak


dalam Hukum
Pelepasan HAK DENGAN GANTI RUGI
Nomor:
- Pada hari ini,
- Pukul
- Berhadapan dengan saya, FENNY WULANDARI, Sarjana
Hukum, Notaris yang berkedudukan di Kota Medan dan

26 HUKUM KELUARGA
berkantor di Jalan Kapten Muslim Komplek Griya Riatur Indah
Blok A Nomor 3A, dengan wilayah jabatan meliputi seluruh
Provinsi Sumatera Utara, sesuai dengan keputusan Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
tertanggal ----------, dan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia, Nomor 30 tahun 2004, tentang Jabatan
Notaris, dan dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang saya,
notaris, kenal dan akan disebut pada akhir akta ini: --------------
------------------------------------------------------------------------------

Y
1. Nyonya NGATIYAH, lahir di Saintis, pada tanggal 30-11-
1941 (tiga puluh November seribu sembilan ratus empat

M
puluh satu), Warga Negara Indonesia, Ibu rumah tangga,
bertempat tinggal di Kota Medan, Jalan Marelan VII

M
Lingkungan IV, Kelurahan Tanah Enam Ratus, Kecamatan
Medan Marelan, Pemegang Kartu Tanda Penduduk

U
Republik Indonesia, Nomor Induk Kependudukan:
1271127011410001. ---------------------------------------------

D
- Menurut keterangannya untuk melakukan tindakan hukum
di dalam akta ini penghadap berwenang sepenuhnya dan
tidak memerlukan persetujuan dari siapa pun juga karena
penghadap telah berstatus Janda. ------------------------------------
- Dan selanjutnya untuk melakukan tindakan hukum di dalam
akta ini turut didampingi anak kandung penghadap yaitu: -----
------------------------------------------------------------------------------
- Tuan SUHARSO, lahir di Marelan, pada tanggal 17-10-
1975 (tujuh belas Oktober seribu sembilan ratus tujuh
puluh lima), Warga Negara Indonesia, Wiraswasta,
bertempat tinggal di Kota Medan, Jalan Marelan VII
Lingkungan IV, Kelurahan Tanah Enam Ratus, Kecamatan
Medan Marelan, Pemegang Kartu Tanda Penduduk
Republik Indonesia, Nomor Induk Kependudukan:
1271121710750001. -------------------------------------------
- Seterusnya dalam akta ini disebut “PIHAK PERTAMA” (yang
melepaskan hak).--------------------------------------------------------

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 27


2. Tuan SUPARDI, lahir di Klumpang, pada tanggal 30-
09-1975 (tiga puluh September seribu sembilan ratus
tujuh puluh lima), Warga Negara Indonesia, Tentara
Nasional Indonesia (TNI), bertempat tinggal di Kota
Medan, Pasar 2 Gang Mesjid Lingkungan 17, Kelurahan
Rengas Pulau, Kecamatan Medan Marelan, Pemegang
Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia, Nomor Induk
Kependudukan: 1271063009750004. -----------------------

Y
- Seterusnya dalam akta ini disebut “PIHAK KEDUA” (yang
menerima hak). ---------------------------------------------------------

M
- Para penghadap telah saya, Notaris, kenal. ----------------------
- PIHAK PERTAMA menerangkan dengan akta ini, untuk dan

M
guna kepentingan PIHAK KEDUA, melepaskan segala hak dan
cara dan nama apa pun juga yang ada pada PIHAK PERTAMA

U
atas: ----------------------------------------------------------------------
- Sebidang tanah kosong seluas kurang lebih 153,69-M2

D
(seratus lima puluh tiga koma enam puluh sembilan meter
persegi) dengan ukuran Panjang12 m/12,3 m (dua belas/
dua belas koma tiga meter)dan ukuran lebar 11,5 m/15,8 m
(sebelas koma lima meter/lima belas koma delapan meter)
tanah mana dengan batas-batas sebagai berikut: -------------
- Sebelah Utara dengan ukuran lebar 11,5 m (sebelas koma lima
meter) berbatasan dengan tanah Saudara Khailiza; ------------
- Sebelah Selatan dengan ukuran lebar 13,8 m (tiga belas koma
delapan meter) berbatasan dengan tanah Saudara Ngatiyah;
----------------------------------------------------------------------------
- Sebelah Timur dengan ukuran panjang 12 m (dua belas meter)
berbatasan dengan Jalan; --------------------------------------------
- Sebelah Barat dengan ukuran panjang 12,3 m (dua belas
koma tiga meter) berbatasan dengan tanah Saudara Remin;
----------------------------------------------------------------------------
- Tanah mana merupakan sebagian seluas kurang lebih 9.300-
M2 (sembilan ribu tiga ratus meter persegi)yang terletak
di dalam daerah Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan,
Kecamatan Medan Deli sekarang dikenal dengan Kecamatan

28 HUKUM KELUARGA
Marelan, Kelurahan Tanah Enam Ratus, setempat dikenal
dengan Jalan Al - Iman V, sesuai dengan Gambar TATA LETAK
SITUASI TANAH yang diarsir berwarna merah tertanggal hari
ini juga serta dilekatkan dalam minuta akta ini. ----------------
- Hak atas tanah mana diperoleh penghadap PIHAK PERTAMA
berdasarkan SURAT KETERANGAN TANAH yang dibuat di
bawah tangan bermaterai cukup tertanggal 16-02-1985 (enam
belas Februari seribu sembilan ratus delapan puluh lima),
Nomor: 21/3/SKT/TER/1985 yang diketahui oleh Kepala

Y
Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Deli yang
pada saat itu dijabat oleh Ahmad Dahlan dan surat tanah

M
mana terdaftar atas nama PIHAK PERTAMA NGATIYAH.
-----------------------------------------------------------------------------
- Surat keterangan tanah yang mana aslinya diperlihatkan

M
kepada saya, Notaris dan fotokopinya dijahitkan pada akta
ini. -----------------------------------------------------------------------

U
- Demikian berikut segala sesuatu yang berada dan terdapat

D
serta didirikan dan ditanam di atas tanah tersebut, baik
yang telah ada sekarang maupun yang mungkin akan
ada dikemudian hari,yang menurut sifat dan ketentuan
berdasarkan Undang-Undang termasuk menjadi bilangannya.
------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa untuk memastikan lokasi dan luas tanah tersebut, maka
para pihak telah sama-sama mengetahui keadaan di lapangan
mengenai tanah tersebut dan pihak kedua sebagai pembeli
juga telah mengetahui akan batas-batas tanah tersebut, yang
mana para pihak telah sama-sama mengukur kembali luas
tanah tersebut, sehingga didapat hasil yang sebagaimana yang
telah disebutkan di atas. --------------------------------------------
- Pelepasan hak ini telah terjadi dan diterima oleh PIHAK
KEDUA dan selanjutnya dengan memakai syarat–syarat dan
perjanjian-perjanjian sebagai berikut: ---------------------------

----------------------------------- Pasal 1 -----------------------------------


- Pelepasan hak serta penyerahan ini menurut keterangan kedua
belah pihak telah terjadi dan diterima dengan harga ganti rugi

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 29


sebesar Rp. 23.000.000.- (dua puluh tiga juta rupiah) dan uang
mana menurut keterangan Pihak Pertama telah diterima dari
Pihak Kedua dengan tunai dengan memakai tanda penerimaan
(kuitansi) yang sah secara tersendiri. -----------------------------
----------------------------------------------------------------------------

----------------------------------- Pasal 2 -----------------------------------


- PIHAK KEDUA menerima apa yang dilepaskan haknya serta

Y
diserahkan dengan akta ini menurut keadaan pada hari ini,
dengan membebaskan PIHAK PERTAMA dari segala tuntutan
mengenai kemungkinan kurangnya luas ataupun ukuran

M
tanah tersebut sesuai dengan luas ataupun ukuran yang telah
disebutkan di atas. ----------------------------------------------------

M
----------------------------------- Pasal 3 -----------------------------------

U
- Semua untung dan rugi dari apa yang dilepaskan haknya serta
diserahkan dengan Akta ini mulai hari ini adalah menjadi hak

D
dan tanggungan PIHAK KEDUA. ----------------------------------

----------------------------------- Pasal 4 -----------------------------------


- PIHAK PERTAMA menjamin PIHAK KEDUA tentang
benar adanya hak-hak dan penuntutan-penuntutan PIHAK
PERTAMA atas tanah yang dilepaskan haknya serta diserahkan
dengan Akta ini, dan PIHAK PERTAMA juga menyatakan
dengan tegas dan sejelas-jelasnya bahwa PIHAK PERTAMA
menjamin bahwa tanah tersebut tidak dalam keadaan perkara,
bebas dari sitaan dan silang sengketa serta tidak dibebani
dengan hak tanggungan berupa apa pun juga, dan tidak
disewakan. ---------------------------------------------------------------
- Bahwa PIHAK KEDUA baik sekarang maupun dikemudian
hari tidak akan mendapat tuntutan dari pihak lain yang
mengatakan mempunyai hak terlebih dahulu atau turut
mempunyai hak atas apa yang dilepaskan haknya serta
diserahkan itu, dan karenanya PIHAK KEDUA dibebaskan
oleh PIHAK PERTAMA dari segala tuntutan dari Pihak lain
mengenai hal–hal tersebut. -----------------------------------------

30 HUKUM KELUARGA
- Selanjutnya PIHAK KEDUA telah menerima pernyataan
tersebut dengan tegas dan jelas. -----------------------------------

----------------------------------- Pasal 5 -----------------------------------


- Kedua belah pihak mengetahui bahwa bersamaan dengan
Pelepasan hak serta penyerahan ini PIHAK KEDUA dapat
mengajukan permohonan perolehan sesuatu hak/status atas
tanah tersebut di atas kehadapan Pihak yang berwenang

Y
dalam hal ini dan PIHAK PERTAMA dengan ini dengan tegas
melepaskan hak dan tuntutannya atas tanah tersebut khusus
guna kepentingan PIHAK KEDUA. ----------------------------------

M
- Segala sesuatu tanpa hak lagi bagi PIHAK PERTAMA untuk
menuntut ganti kerugian berupa apa pun juga dari PIHAK

M
KEDUA. ------------------------------------------------------------------
- Bersamaan dengan pelepasan hak-hak seperti tersebut di atas,

U
maka PIHAK PERTAMA dengan ini memberikan kuasa kepada
PIHAK KEDUA, dan -------------------------------------------------

D
- Baik bersama-sama maupun masing-masing untuk jika perlu
menjalankan hak–hak PIHAK PERTAMA dengan sepenuhnya
termasuk untuk memohon hak atas tanah tersebut kepada
Pihak yang berwenang berdasarkan peraturan perundang–
undangan yang berlaku hingga diterbitkan sertifikatnya
(Tanda Bukti Hak Atas Tanah), atas nama PIHAK KEDUA.
----------------------------------------------------------------------------
- Agar supaya pelepasan dan penyerahan hak serta permohonan
tersebut dapat diselesaikan dengan semestinya, demikian
termasuk untuk membuat dan menandatangani Akta-akta/
Surat-surat ataupun segala dokumen lainnya berupa apa pun
juga tidak ada yang dikecualikan, baik secara di bawah tangan
maupun dihadapan pihak yang berwenang. ----------------------
----------------------------------------------------------------------------
- Kuasa tersebut adalah merupakan bagian yang terpenting
dan tidak dapat dipisahkan dari pelepasan dan penyerahan
hak ini, dan dengan tidak adanya kuasa mana pelepasan serta
penyerahan hak ini tidak akan dibuat. -------------------------------

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 31


- Dan karenanya kuasa itu tidak akan batal atau dapat dibatalkan
dicabut kembali karena alasan-alasan apa pun juga termasuk
ketentuan - ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1813 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengenai berakhirnya suatu
kuasa. --------------------------------------------------------------------

----------------------------------- Pasal 6 -----------------------------------


- Bahwa PIHAK PERTAMA menerangkan dengan akta ini,

Y
PIHAK PERTAMA berjanji tidak akan mengajukan sesuatu
permohonan hak atas tanah tersebut dan jika ternyata
kelak sebelum atau sesudah hari ini yang Berwajib sudah

M
atau akan mengeluarkan sesuatu hak atas tanah tersebut,
atas nama PIHAK PERTAMA atau orang lain yang terbukti

M
permohonan hak itu diperbuat sebelum maupun selama tanah
itu dipunyai oleh PIHAK PERTAMA, maka PIHAK PERTAMA

U
akan menyerahkan hak tersebut dan memindah namakannya
kepada PIHAK KEDUA, dengan ketentuan bahwa semua biaya

D
yang diperlukan untuk itu ditanggung dan dibayar oleh PIHAK
PERTAMA sepenuhnya dan kuasa ini berlaku juga untuk
melakukan perbuatan atau tindakan tersebut. ------------------
- Selanjutnya dengan PIHAK PERTAMA memberi kuasa penuh
yang tidak dapat dicabut dan/atau berakhir dengan alasan
apa pun juga dengan demikian PIHAK KEDUA berhak untuk
mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada Pihak lain atas
nama PIHAK PERTAMA dengan ketentuan PIHAK KEDUA
dibebaskan dari pertanggung jawaban sebagai kuasa dan
jika ada menerima uang ganti rugi akan menjadi hak PIHAK
KEDUA sepenuhnya. -------------------------------------------------

----------------------------------- Pasal 7 -----------------------------------


- Segala pajak-pajak mengenai tanah tersebut, terutama Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) sebelum pada hari dan tanggal akta
ini adalah menjadi tanggungan dan pembayaran Pihak Pertama
dan sesudahnya adalah menjadi tanggungan dan pembayaran
Pihak Kedua, sedangkan apabila atas penjualan tanah tersebut
oleh yang berwajib dikenakan Pajak Penghasilan (PPH)

32 HUKUM KELUARGA
maupun Bea Perolehan Hak Atas Tanah maka biaya-biaya
tersebut ditanggung dan dibayar oleh Pihak Kedua. -----------
- Ongkos Akta ini serta biaya-biaya lainnya yang bersangkut
paut dengan Pelepasan serta penyerahan hak ini, seluruhnya
menjadi tanggungan dan pembayaran Pihak Kedua. ----------
----------------------------------------------------------------------------

----------------------------------- Pasal 8 -----------------------------------

Y
- Tentang pelepasan hak dengan ganti rugi ini dan segala
akibatnya pihak-pihak telah memilih domisili yang umum dan
tidak berubah di kantor Panitera Pengadilan Negeri di Kota

M
Medan. ------------------------------------------------------------------
- Akhirnya para penghadap menyatakan dengan ini menjamin

M
akan kebenaran identitas para penghadap sesuai tanda
pengenal yang disampaikan kepada saya, Notaris dan

U
bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut dan
selanjutnya para penghadap menyatakan telah mengerti dan

D
memahami isi akta ini. -----------------------------------------------

----------------------­­DEMIKIANLAH AKTA INI ----------------------


- Dibuat dan diselenggarakan di Kota Medan, pada hari,
tanggal, bulan dan tahun yang telah disebutkan pada awal
akta ini, dengan dihadiri oleh nyonya SUMARNINGSIH, Ahli
Madya, lahir di Medan, pada tanggal 13-08-1981 (tiga belas
Agustus seribu sembilan ratus delapan puluh satu), Warga
Negara Indonesia, Pegawai Kantor Notaris, bertempat tinggal
di Medan, Jalan Setia Budi Pasar Satu Kelurahan Tanjung
Sari, Kecamatan Medan Selayang, Pemegang Kartu Tanda
Penduduk Republik Indonesia, Nomor Induk Kependudukan:
1271215308810001, Nona CITRA WATI, Ahli Madya, lahir di
Tanjung Balai, pada tanggal 12-08-1981 (dua belas Agustus
seribu sembilan ratus delapan puluhsatu), Warga Negara
Indonesia, Pegawai Kantor Notaris, bertempat tinggal di
Medan, Jalan Tengku Amir Hamzah Gang Asuhan Nomor
7, Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Medan Helvetia,
Pemegang Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia, Nomor

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 33


Induk Kependudukan: 1271034506810009,Kemudian setelah
saya notaris bacakan dan jelaskan isi dan maksud akta ini
kepada para penghadap dan saksi–saksi, maka seketika akta
ini ditandatangani serta dibubuhkan cap ibu jari tangan kiri
oleh para penghadap, dan selanjutnya ditandatangani oleh
saksi–saksi dan saya, Notaris. --------------------------------------

F. Pengampuan

Y
1. Pengertian
Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-

M
sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal,
cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap

M
tidak cakap maka untuk menjamin dan melindungi hak-haknya,
hukum memperkenankan seseorang untuk dapat bertindak sebagai

U
wakil dari orang yang berada di bawah pengampuan. Pengampuan

D
diatur dalam buku I KUH Perdata.
Berdasarkan ketentuan Pasal 433 KUH Perdata, bahwa kondisi
sakit jiwa (permanen atau tidak) merupakan hal yang mutlak
seseorang dapat ditempatkan di bawah pengampuan. Namun
demikian, orang yang suka berfoya-foya pun dapat dimintakan
pengampuan.
Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang (yang disebut
curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau
tidak mampu di dalam segala hal, untuk bertindak sendiri di
dalam lalu lintas hukum. Atas dasar itu orang tersebut dengan
keputusan hakim lantas dimasukkan ke dalam golongan orang
yang tidak cakap bertindak. Oleh karenanya, orang tersebut diberi
seorang wakil menurut undang-undang, yaitu yang disebut dengan
pengampu (curator).
Perihal pengampuan (curatele) diatur dalam Pasal 433 s.d. 462
KUH Perdata. Dalam Pasal 433 KUH Perdata disebutkan bahwa:

34 HUKUM KELUARGA
“Setiap orang yang sudah dewasa, yang selalu berada dalam
keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah
pengampuan, pun jika kadang-kadang cakap mempergunakan
pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan
karena keborosannya.”

Dari ketentuan pasal di atas, seseorang yang sudah dewasa


harus ditaruh di bawah pengampuan apabila berada dalam
keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap (buta). Di samping

Y
itu seseorang karena keborosannya juga dapat ditaruh di bawah
pengampuan.41

M
Apabila orang tersebut berada dalam keadaan dungu, sakit
otak atau mata gelap, maka setiap anggota keluarga sedarah

M
berhak meminta pengampuan. Sedangkan apabila disebabkan
keborosannya, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga

U
sedarahnya dalam garis lurus dan oleh keluarga semendanya dalam
garis menyimpang sampai derajat keempat. Seorang suami atau

D
istri dapat meminta pengampuan terhadap istri atau suaminya.
Selain itu, seseorang yang merasa bahwa dirinya tidak mampu
mengurus sendiri kepentingan-kepentingannya diperbolehkan
meminta pengampuan pada diri sendiri. Kejaksaan diwajibkan
meminta pengampuan bagi seseorang yang berada dalam keadaan
dungu, sakit otak, atau mata gelap apabila belum ada permintaan
dari sesuatu pihak.42
Setiap orang yang ditaruh di bawah pengampuan mempunyai
kedudukan yang sama layaknya orang yang belum dewasa.
Sedangkan bagi seseorang yang ditaruh di bawah curatele karena
keborosannya masih dapat membuat surat wasiat dan masih dapat
melakukan perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan
dengan ketentuan mendapat izin dan bantuan dari curator serta
weeskamer.

41
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 57.
42
Ibid.

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 35


Apabila keputusan untuk pengampuan telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap, maka pengadilan akan mengangkat
seorang pengampu. Pengangkatan itu segera diberitahukan kepada
Balai Harta Peninggalan (BHP). Pengampuan akan berakhir, apabila
sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang, sementara itu,
pembebasan dari pengampuan harus memerhatikan ketentuan
undang-undang guna memperoleh izin pengampuan serta harus
diumumkan.43

Y
Dalam menetapkan seseorang diletakkan pengampuan,
Pengadilan Negeri terikat dan harus tunduk pada ketentuan pasal-

M
pasal sebagai berikut:
1) Pasal 438 KUH Perdata: Bila Pengadilan Negeri berpendapat,

M
bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna men­
dasarkan suatu pengampuan, maka perlu didengar para

U
keluarga sedarah atau semenda.

D
2) Pasal 439 KUH Perdata: Pangadilan Negeri setelah mendengar
atau memanggil dengan sah orang-orang tersebut dalam pasal
yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan peng­
ampuan, bila orang itu tidak mampu untuk datang, maka
pemeriksaan harus dilangsungkan di rumahnya oleh seorang
atau beberapa orang Hakim yang diangkat untuk itu, disertai
oleh panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan
Kejaksaan.
Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu ter­
letak dalam jarak sepuluh pal dari Pengadilan Negeri,
maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala
pemerintahan setempat. Dan pemeriksaan ini, yang tidak
perlu dihadiri jawatan Kejaksaan, harus dibuat berita acara
yang salinan autentiknya dikirimkan kepada Pengadilan
Negeri. Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada
yang dimintakan pengampuan itu diberitahukan isi surat

43
Ibid., hlm. 34.

36 HUKUM KELUARGA
permintaan dan laporan yang memuat pendapat dari anggota-
anggota keluarga sedarah.
3) Pasal 440 KUH Perdata: Bila Pengadilan Negeri, setelah
mendengar atau memanggil dengan sah keluarga sedarah
atau semenda, dan setelah mendengar pula orang yang
dimintakan pengampuan, berpendapat bahwa telah cukup
keterangan yang diperoleh, maka pengadilan dapat memberi
keputusan tentang surat permintaan itu tanpa tata cara lebih

Y
lanjut, dalam hal yang sebaliknya, Pengadilan Negeri harus
memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi agar peristiwa-

M
peristiwa yang dikemukakannya menjadi jelas.
4) Pasal 441 KUH Perdata: Setelah mengadakan pemeriksaan

M
tersebut dalam Pasal 439, bila ada alasan, Pengadilan Negeri
dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk

U
mengurus pribadi dan barang-barang orang yang dimintakan
pengampuannya.

D
5) Pasal 442 KUH Perdata: Putusan atas suatu permintaan akan
pengampuan harus diucapkan dalam sidang terbuka, setelah
mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan
berdasarkan kesimpulan Jaksa.

2. Cara Menetapkan Curatele


Pasal 436 BW menegaskan bahwa, yang berkuasa menetapkan
curatele adalah Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya
berdiam orang yang diletakkan di bawah curatele.
Yang dapat memohonkan curatele adalah:
a. bagi yang kekurangan daya berpikir:
1) setiap keluarga sedarah (bloedverwanten) dan suami atau
istri (echtgenoot), Pasal 434 BW;
2) jaksa, akan tetapi hanya apabila seorang bakal kurandus
(curandus) tidak mempunyai suami atau istri ataupun
tidak mempunyai keluarga sedarah di wilayah Indonesia.

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 37


b. Dalam hal razernij: jaksa wajib memintakan kuratel bilamana
kuratel tersebut belum dimintakan. Dalam hal onnozelheid
atau krankzinnigheid: jaksa dapat (tidak wajib) memintakan
Curatele apabila bakal Curandus tidak mempunyai keluarga
sedarah atau suami-istri di wilayah Indonesia;
c. Bagi yang lemah pikiran (zwakheid van vermogens): orangnya
sendiri merasa tidak cakap untuk mengurus kepentingannya
sendiri;

Y
d. Bagi keborosan: hanya oleh keluarga sedarah dalam garis lurus
dan oleh sanak keluarganya dalam garis menyimpang sampai

M
derajat keempat dan/atau suami-istri.44

M
3. Prosedur di Muka Pengadilan

U
a. Dalam Hal Kekurangan Daya Berpikir (krankzinningheid) dan
Dalam Hal Keborosan

D
Permohonannya harus jelas menyebutkan fakta-fakta yang
menyatakan adanya krankzinningheid atau adanya keborosan.
Permohonan itu harus disertai alat-alat bukti dan kalau ada
harus menampilkan saksi-saksi. Bilamana fakta-fakta yang
dibutuhkan cukup penting untuk menetapkan adanya suatu
pengampunan maka wajiblah pengadilan mendengar keluarga
sedarah dan sanak keluarga semenda. Setelah itu pengadilan
mendengar orang yang hendak dimintakan Curatele itu.45 Jika
orang ini tidak mampu berpindah tempat maka pemeriksaan
dilangsungkan di rumahnya oleh seorang hakim atau lebih
yang diangkat untuk keperluan tersebut oleh panitera dan
harus dihadiri pula oleh jaksa.
Setelah permohonan diajukan maka jika ada alasan untuk
pengampuan itu pengadilan mengangkat seorang pengurus

44
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Saifoedin, Hukum Orang dan Keluarga,
(Bandung: Alumni, 1986), hlm. 195-196.
45
Ibid.

38 HUKUM KELUARGA
sementara guna mengurus pribadi dan harta kekayaan orang
yang dimintakan pengampuan itu. Baru setelah itu pengadilan
memberikan putusan. Putusan itu harus diucapkan dalam
sidang terbuka setelah mendengar atau memanggil dengan
sah semua pihak dan setelah ada konklusi jaksa. Atas putusan
Pengadilan Negeri ini diperkenankan naik banding. Pengadilan
Tinggi berwenang untuk mendengar sendiri orang yang
dimintakan Curatele itu jika ada alasan untuk itu.46

Y
b. Dalam hal lemah pikiran
Dalam proses ini tidak diperlukan fakta-fakta yang menun­

M
jukkan lemah pikiran itu dan tidak diperlukan menunjukkan
bukti-bukti. Suami atau istri dari yang memohon didengar

M
demikian pula anak-anaknya. Keterangan saksi-saksi,
demikian pula pemanggilan pihak-pihak, tidak dilakukan

U
dan pengadilan segera memutus setelah mendengar konklusi
jaksa.47

D
4. Berlakunya Akibat Pengampuan
Pengampuan itu mulai berlaku terhitung sejak putusan atau
penetapan pengadilan diucapkan. Dengan diletakkannya seseorang
di bawah curatele maka orang itu mempunyai kedudukan yang
sama dengan seorang minderjarige. Ia menjadi tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum
yang dilakukannya dinyatakan batal kalau yang menjadi kurandus
itu disebabkan oleh kekurangan daya berpikir (krankzinnigheid).
Bagi seorang kurandus karena keborosan maka ketidakcakapan
bertindaknya hanya menyangkut perbuatan hukum dalam bidang
harta kekayaan saja. Untuk melakukan perbuatan-perbuatan
hukum yang tidak bersifat harta kekayaan (misalnya dalam bidang
hukum keluarga), maka ia tetap dapat dianggap cakap bertindak.

46
Ibid., hlm. 197.
47
Ibid.

Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat 39


Terhadap seorang kurandus (curandus) karena lemah pikiran
timbul keragu-raguan apakah ia harus disamakan dengan seorang
kurandus karena kekurangan daya berpikirnya ataukah dengan
kurandus karena keborosan. Menurut Scholten, ia lebih condong
untuk menyamakan kedudukan seorang kurandus karena lemah
pikiran itu dengan seorang kurandus dengan keborosan. Jadi ia
hanya tidak cakap bertindak dalam bidang hukum harta kekayaan
saja.

Y
Seseorang yang kekurangan daya berpikir yang melakukan
perbuatan-perbuatan hukum sebelum ia dinyatakan di bawah

M
curatele, maka perbuatan-perbatan hukum yang dilakukannya
itu dapat pula dimintakan pembatalan apabila ternyata bahwa

M
sebab-sebab curatele itu sudah ada pada waktu perbuatan hukum
itu dilakukannya, dan apabila sebelum meninggal sudah diajukan

U
permohonan curatele kepada pengadilan.

D
5. Berakhirnya Pengampuan
a. Bagi curandus:
Berakhirnya pengampuan bagi curandus adalah dengan
matinya, atau dengan hapusnya atau dengan berhentinya
sebab-sebab curatele. Hal ini harus dilakukan dengan putusan
pengadilan.
b. Bagi curator:
Pengecualian sebab-sebab umum maka yang berlaku untuk
pengakhiran perwalian berlaku pulalah di sini. Di samping itu
berlaku pula Pasal 459 BW yang mengatakan bahwa seseorang
tidak dapat dipaksakan untuk menjadi curator selama lebih dari
delapan tahun kecuali apabila curator itu merupakan suami
atau istri curandus atau keluarga dalam garis lurus ke atas dan
ke bawah.48

48
Ibid.

40 HUKUM KELUARGA
Bab 2
HUKUM PERKAWINAN

M Y
UM
A. Pengertian Hukum Kekeluargaan di Indonesia

D
Di dalam penjelasan umum ditegaskan beberapa konsepsi
dasar yang menyangkut masalah hukum perkawinan, penjelasan
tersebut menyangkut 5 (lima) hal, yaitu:1
1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak
adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus
menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum
perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah
berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
2. Secara historis berlaku berbagai hukum perkawinan bagi
berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah seperti
berikut:
a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam
berlaku hukum agama yang telah diresipir dalam hukum
adat;
b. Bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku hukum adat;

1
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm.
162.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 41


c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen
berlaku Huweliksordomantie Christen Indonesia (S. 1933
No. 74);
d. Bagi orang timur asing Cina dan Warga Negara Indonesia
keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;
e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga
Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya

Y
tersebut berlaku hukum adat mereka;
f. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia

M
keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka
berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

M
3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-

U
Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang ini di satu pihak
harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung

D
dalam Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan di lain pihak
harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup
dalam masyarakat dewasa ini. Undang-Undang perkawinan ini
telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-
ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan.
4. Dalam Undang-Undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau
asas-asas mengenai kewajiban perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan
dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

B. Pengertian Hukum Perkawinan


Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan memberikan definisi bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga
yang bahagia) dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

42 HUKUM KELUARGA
Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat 5 (lima) unsur
dalam perkawinan, yaitu:
1. Ikatan lahir batin
2. Antara seorang pria dengan seorang wanita
3. Sebagai suami-istri
4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Y
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan merumuskan, bahwa ikatan suami-istri

M
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan
perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari

M
agama yang dianut suami-istri. Hidup bersama suami-istri
dalam perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan

U
seksual tetap pada pasangan suami-istri tetapi dapat membentuk

D
rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, aman dan
harmonis antara suami-istri. Perkawinan salah satu perjanjian
suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga bahagia.
Jika dilihat dari hukum Islam, Pengertian (ta’rif) perkawinan
menurut Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu:
aqad yang sangat kuat atau mitsaaqaan ghaaliizhan untuk menaati
perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ibadah.2
Melakukan perbuatan ibadah berarti melaksanakan ajaran agama.
Perkawinan salah satu perbuatan hukum yang dapat dilaksanakan
oleh mukallaf yang memenuhi syarat.
Barangsiapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separuh
lagi, hendaklah ia takwa kepada Allah Swt. demikian sunnah qauliyah
(sunnah dalam bentuk perkataan) Rasullullah Saw.3

2
Asmin, Status Perkawinan antarAgama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hlm. 28.
3
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 3.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 43


Menurut Sayuti Thalib, perkawinan harus dilihat dari tiga
segi pandang yaitu:4
1. Perkawinan dari segi hukum
Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu
perjanjian oleh Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 21 dinyatakan
Perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat, disebutkan
dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaaliizhan”.5

Y
Alasan untuk mengatakan perkawinan suatu perjanjian karena
adanya:6

M
a. Cara mengadakan ikatan perkawinan yaitu dengan aqad
nikah, rukun dan syarat tertentu;

M
b. Cara memutuskan ikatan perkawinan yaitu dengan
prosedur thalaq, fasakh, syiqaq dan sebagainya.

U
2. Perkawinan dilihat dari segi sosial
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian

D
yang umum adalah bahwa orang yang berkeluarga mempunyai
kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.
Dulu sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, wanita
bisa dimadu tanpa batas dan tanpa berbuat apa-apa, tetapi
menurut ajaran Islam dalam perkawinan mengenai kawin
poligami hanya dibatasi paling banyak empat orang dengan
syarat-syarat yang tertentu.
3. Perkawinan dilihat dari segi agama
Pandangan suatu perkawinan dari segi agama yaitu suatu segi
yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan dianggap
suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara
yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan
suami-istri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya.7

4
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia,
1974, hlm. 47.
5
Mohd. Idris Ramulyo, Dalam Sayuti Thaib, Ibid.
6
Ibid.
7
Ibid., hlm. 19.

44 HUKUM KELUARGA
C. Sumber-sumber Hukum Perkawinan Nasional
Istilah sumber hukum digunakan dalam tiga pengertian
yang berbeda satu dengan lainnya, meskipun sebenarnya antara
pengertian yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan yang
erat, bahkan menyangkut substansi yang sukar dipisahkan, yakni:8
1. Sumber hukum dalam pengertian asalnya hukum positif,
wujudnya dalam bentuk konkret ialah berupa keputusan dari

Y
yang berwenang untuk mengambil keputusan mengenai soal
yang bersangkutan;

M
2. Sumber hukum dalam pengertian tempat ditemukan aturan
dan ketentuan-ketentuan hukum positif yang penting bagi
setiap orang untuk mengetahui atau menyelidiki hukum

M
positif dari suatu tempat pada waktu tertentu. Dengan kata

U
lain, sumber hukum di sini diartikan bentuk-bentuk hukum
positif di mana merupakan tempat dapat ditemukan aturan

D
dan ketentuan-ketentuan hukum positif berupa peraturan
atau ketetapan, baik tertulis atau tidak tertulis;
3. Sumber hukum dalam artian hal-hal yang seharusnya
dijadikan pertimbangan oleh penguasa yang berwenang
dalam menentukan isi hukum positifnya. Di samping harus
memerhatikan faktor-faktor politis, agama, hubungan
internasional, dan lain-lainnya.

Pengertian sumber hukum perkawinan (nasional) diartikan


tempat ditemukannya aturan dan ketentuan hukum serta
perundang-undangan (tertulis) yang mengatur mengenai
perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan.
Aturan dan ketentuan hukum serta perundang-undangan
perkawinan yang dimaksud adalah hukum positif, yaitu ketentuan
perkawinan yang sedang berlaku pada saat ini. Ketentuan yang

8
Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara di Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty, 1987), hlm. 1.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 45


secara khusus atau yang berkaitan dengan perkawinan tersebut
dalam penelitian ini akan dibahas sumber hukum perkawinan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang
akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Y
tentang Perkawinan, terjadi perubahan fundamental terhadap
kodifikasi hukum perdata barat. Karena Undang-Undang

M
Perkawinan menyatakan bahwa, “Ketentuan-ketentuan
perkawinan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek tidak berlaku

M
lagi”.9
Undang-Undang Perkawinan memuat kaidah-kaidah hukum

U
yang berhubungan dengan perkawinan dalam garis besar

D
secara pokok, selanjutnya akan ditindaklanjuti dalam berbagai
peraturan pelaksanaannya. Ini berarti Undang-Undang
Perkawinan akan berfungsi sebagai “payung” dan “sumber
pokok” bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian, dan
rujuk yang berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia.
Dalam konsiderans Undang-Undang Perkawinan dinyatakan:
“sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk
pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-Undang
tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga Negara.
Rumusan ketentuan dalam Pasal-pasal Undang-Undang
Perkawinan mencerminkan pelaksanaan teknik Kompilasi
Hukum sebagai modifikasi pelaksanaan unifikasi hukum
perkawinan yang bersifat nasional.10
Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan bermaksud mengadakan unifikasi dalam

9
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 244.
10
Ibid.

46 HUKUM KELUARGA
bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinnekaan
(nuances) yang masih harus dipertahankan, karena masih
berlakunya ketentuan-ketentuan hukum perkawinan yang
beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia.
Dengan sendirinya Undang-Undang Perkawinan mengadakan
perbedaan kebutuhan hukum perkawinan, yang berlaku secara
khusus bagi golongan penduduk Warga Negara Indonesia
tertentu dan itu didasarkan kepada hukum masing-masing

Y
agamanya atau kepercayaan agamanya itu. Bagi umat beragama
selain tunduk pada Undang-Undang Perkawinan, juga tunduk

M
pada ketentuan hukum agamanya atau kepercayaan agamanya
itu.11

M
Menurut Hazairin, bahwa kitab-kitab suci yang memuat
syariat ada berisikan kesamaan-kesamaan yang dapat dijadikan

U
landasan bersama bagi pembinaan hukum nasional, sedangkan
perbedaan-perbedaan dapat dijadikan sumber bagi hukum-

D
hukum khusus bagi umat Islam, hukum khusus bagi Nasrani,
dan khusus bagi umat Hindu Bali. Setiap pemeluk agama tentu
maklum apa yang diperlukannya secara khusus dan buat yang
selebihnya selaras dengan cita-cita unifikasi hukum sebanyak
mungkin dapatlah semua umat beragama yang ditundukkan
kepada satu kodifikasi hukum yang sekarang telah kita mulai
untuk menggantikan berbagai sistem hukum yang diwariskan
oleh kekuasaan kolonial.12
Dari segi isinya, Undang-Undang Perkawinan memuat kaidah-
kaidah hukum yang bersifat materiil dan juga memuat kaidah-
kaidah hukum yang bersifat ajektif mengenai perkawinan
dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan.
Kandungan materi Undang-Undang Perkawinan mengatur
pokok persoalan sebagai berikut:

11
Ibid. hlm. 246.
12
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
(Jakarta: Tintamas, 1975), hlm. 35.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 47


a. Dasar perkawinan;
b. Syarat-syarat perkawinan;
c. Pencegahan perkawinan;
d. Batalnya perkawinan;
e. Perjanjian perkawinan;
f. Hak dan kewajiban suami dan istri;
g. Harta benda dalam perkawinan;

Y
h. Putusnya perkawinan serta akibatnya;
i. Kedudukan anak;

M
j. Hak dan kewajiban antara orangtua dan anak;

M
k. Perwalian;
l. Ketentuan-ketentuan lain;

U
m. Ketentuan peralihan;

D
n. Ketentuan penutup.

Di samping itu, Undang-Undang Perkawinan dilengkapi


dengan Penjelasan Umum dan Penjelasan pasal demi pasal,
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari
pasal-pasal atau Batang Tubuh Undang-Undang Perkawinan.
2. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
Berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahmakah Agung
dan Menteri Agama Nomor 7/KMA/1985 dan Nomor 25
Tahun 1985 dibentuk suatu Tim Proyek Pembangunan Hukum
Islam melalui Yurisprudensi. Tim ini bertugas melaksanakan
usaha pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi
dengan jalan kompilasi hukum. Sasaran proyek ini mengkaji
kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan-
putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat
Indonesia untuk menuju hukum nasional. Penyusunan
Kompilasi Hukum Islam tersebut selain bersumber pada 13
kitab fikih yang kesemuanya mazhab Syafi’i, juga bersumber

48 HUKUM KELUARGA
pada kitab-kitab fikih dari mazhab lain. Memperluas penafsiran
terhadap ketentuan di dalamnya, membandingkannya dengan
Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun
perbandingan di negara-negara lain.13
Dengan adanya instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
disebarluaskan Kompilasi Hukum Islam tersebut untuk dapat
dipergunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya sebagai pedoman dalam menyelesaikan

Y
masalah-masalah di bidang hukum perkawinan, hukum
kewarisan, dan hukum perwakafan di samping peraturan

M
perundang-undangan lainnya. Walaupun dasar dari Kompilasi
Hukum Islam ini hanya berbentuk Instruksi Presiden yang

M
didasarkan pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Namun, dapat
dikatakan kelahiran Kompilasi Hukum Islam ini tidak terlepas

U
dari Undang-Undang Perkawinan sebelumnya yaitu UU No.
7 Tahun 1989.14

D
Selain melengkapi pilar Peradilan Agama, dengan lahirnya
Kompilasi Hukum Islam, telah jelas dan pasti nilai-nilai
hukum Islam di bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan
warisan. Bahasa dan nilai-nilai hukum yang dipertarungkan
di forum Peradilan Agama oleh masyarakat pencari keadilan,
sama kaidah dan rumusanya dengan apa yang mesti diterapkan
oleh para hakim di seluruh nusantara. Sebagai bagian dari
keseluruhan tata hukum Islam, sudah dapat ditegakkan dan
dipaksakan nilai-nilainya bagi masyarakat Islam Indonesia
melalui kewenangan Peradilan Agama. Peran kitab-kitab fikih
dalam penegakan hukum dan keadilan, lambat laun akan
ditinggalkan. Perannya hanya sebagai bahan orientasi dan
kajian doktrin. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan
Peradilan Agama, diarahkan ke dalam persepsi penegakan
hukum yang sama. Pegangan dan rujukan hukum yang mesti

13
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 255.
14
Ibid. hlm. 256.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 49


mereka pedomani sama di seluruh Indonesia, yakni Kompilasi
Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang
memiliki keabsahan dan otoritas.15 Dengan adanya Kompilasi
Hukum Islam sebagai kitab hukum, para hakim tidak
dibenarkan menjatuhkan putusan-putusan yang berdisparitas.
Dengan adanya pedoman Kompilasi Hukum Islam, para hakim
diharapkan bisa menegakkan hukum dan kepastian hukum
yang seragam tanpa mengurangi kemungkinan terjadinya

Y
putusan-putusan yang bercorak variabel. Persamaan persepsi
dan keseragaman putusan melalui Kompilasi Hukum Islam,

M
tetap membuka kebebasan hakim untuk menjatuhkan putusan
yang mengandung variabel. Asal tetap proporsional secara

M
kasuistik.16
Secara rinci materi kandungan ketentuan hukum perkawinan

U
yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai
berikut:17

D
a. Ketentuan umum
b. Dasar-dasar perkawinan
c. Peminangan
d. Rukun dan syarat perkawinan
e. Mahar
f. Larangan kawin
g. Perjanjian perkawinan
h. Kawin hamil
i. Beristri lebih dari satu orang
j. Pencegahan perkawinan
k. Batalnya perkawinan

15
Ibid.
16
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilam Agama, (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1990), hlm. 109-110.
17
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 258.

50 HUKUM KELUARGA
l. Hak dan kewajiban suami dan istri
m. Harta kekayaan dalam perkawinan
n. Pemeliharaan anak
o. Perwalian
p. Putusnya perkawinan
q. Akibat putusnya perkawinan
r. Rujuk

Y
s. Masa berkabung

M
Di samping itu, Kompilasi Hukum Islam dilengkapi dengan
Penjelasan Umum dan Penjelasan pasal demi pasal, yang

M
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pasal-
pasal atau Batang Tubuh Kompilasi Hukum Islam.

U
D. Asas-asas Hukum Perkawinan Nasional

D
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, ditentukan asas-asas mengenai perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Prinsip
atau asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan
adalah sebagai berikut.18
1. Asas Perkawinan Kekal
Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Artinya, perkawinan hendaknya seumur
hidup. Hanya dengan perkawinan kekal saja dapat membentuk
keluarga yang bahagia dan sejahtera. Dalam kaitan ini, Islam
mengharamkan perkawinan untuk jangka waktu tertentu,
misalnya untuk 2 (dua) atau 3 (tiga) bulan saja. Perkawinan
yang seperti ini dalam hukum Islam dinamakan nikah mut’ah.

18
Ibid., hlm. 264.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 51


Tujuan pokok perkawinan ialah untuk menciptakan ikatan
sosial yang benar dan juga dalam hubungan darah. Untuk
mencapai tujuan itu, salah satu bentuk perkawinan yang
absah adalah akad yang permanen.19 Prinsip perkawinan kekal
ini dapat dilihat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan

Y
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

M
2. Asas Perkawinan Menurut Hukum Agama atau Kepercayaan
Agamanya

M
Perkawinan hanya sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Artinya,

U
perkawinan akan dianggap sah bilamana perkawinan itu
dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan agama

D
yang dianut oleh calon mempelai. Prinsip ini mengedepankan
keseimbangan (kafa’ah) agama sebagai dasar untuk melakukan
perkawinan. Kedua calon mempelai harus seagama atau
seiman, kecuali hukum agamanya atau kepercayaannya itu
menentukan lain. Prinsip ini dapat dijumpai dalam Pasal 2
ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
3. Asas Perkawinan Terdaftar
Tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu akan dianggap
mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan
yang dicatat tidak mempunyai kekuatan hukum menurut UU

19
Hammudah ‘Abad Al, The Family Structure in Islam, (Surabaya: Bina Ilmu,1984),
hlm. 140. Dalam Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 264.

52 HUKUM KELUARGA
Perkawinan. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan yang menentukan bahwa, tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Asas Perkawinan Monogami
UU Perkawinan menganut asas monogami, bahwa pada
asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami dalam waktu yang bersamaan.

Y
Artinya, dalam waktu yang bersamaan seorang suami atau istri
dilarang untuk menikah dengan wanita atau pria lain. Prinsip

M
ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang
menyatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan

M
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

U
5. Perkawinan Didasarkan Pada Kesukarelaan atau Kebebasan

D
Berkehendak (Tanpa Paksaan)
Perkawinan merupakan salah satu hak asasi manusia,
oleh karena itu suatu perkawinan harus didasarkan pada
kesukarelaan masing-masing pihak untuk menjadi suami-
istri, untuk saling menerima dan saling melengkapi satu sama
lainnya, tanpa ada suatu paksaan dari pihak manapun juga.
Perkawinan yang tanpa didasari oleh persetujuan kedua belah
pihak yang melangsungkan perkawinan dapat dijadikan alasan
membatalkan perkawinan. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 6
ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa, perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.
6. Keseimbangan Hak dan Kedudukan Suami-istri
Hak dan kedudukan suami-istri dalam kehidupan rumah
tangga maupun masyarakat adalah seimbang. Suami-istri
dapat melakukan perbuatan hukum dalam kerangka hubungan
hukum tertentu. Suami berkedudukan sebagai kepala rumah
tangga dan istri berkedudukan sebaga ibu rumah tangga.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 53


Dalam memutuskan segala sesuatu, maka dirundingkan secara
bersama-sama antara suami-istri. Prinsip ini lebih lanjut
dijabarkan dalam Pasal 31 UU Perkawinan.
7. Asas Tidak Mengenal Perkawinan Poliandri
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yang tidak
membolehkan adanya perkawinan poliandri, di mana seorang
wanita hanya memiliki seorang suami pada waktu yang
bersamaan.

Y
8. Asas Mempersukar Terjadinya Perceraian

M
Sejalan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga
yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka UU Perkawinan
menganut prinsip yang mempersukar terjadinya perceraian.

M
Untuk memungkinkan perceraian maka harus ada alasan-

U
alasan tertentu dan di depan sidang pengadilan. Rasio yuridis
asas mempersulit perceraian adalah sesuai dengan tujuan

D
perkawinan itu sendiri. Prinsip ini secara tegas diatur dalam
ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.

E. Syarat Sahnya Perkawinan


Menurut Hukum Perdata, Perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan di muka petugas kantor pencatatan
sipil. Perkawinan yang dilakukan menurut tata cara suatu agama
saja tidaklah sah.20 Ketentuan tersebut berbeda dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai ius
constitutum telah merumuskan norma hukum mengenai perkawinan
yang sah secara imperatif pada Pasal 2, yang berbunyi:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan;

20
Ali Afandi, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijk Wetboek), Yogyakarta: Yayasan Gadjah Mada, sa., hlm. 5. Dalam Tan Kamello
dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 87.

54 HUKUM KELUARGA
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Dalam penjelasan Pasal 2 tersebut diterangkan bahwa,


“Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan
di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Selanjutnya,
yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan

Y
kepercayaannya adalah sepanjang tidak bertentangan atau
ditentukan lain dalam undang-undang ini.

M
Ada 2 (dua) macam syarat perkawinan, yaitu syarat materiil
dan syarat formal. Syarat materiil adalah syarat yang ada dan
melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan,

M
syarat materiil ini disebut juga dengan syarat subjektif. Sedangkan

U
syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan
perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang, disebut

D
juga “syarat objektif”.21
Syarat-syarat perkawinan dalam hukum nasional diatur dalam
ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang di dalamnya meliputi
persyaratan materiil maupun syarat formal. Dalam melaksanakan
perkawinan, maka para pihak juga harus memenuhi persyaratan
perkawinan yang diatur atau ditentukan di dalam hukum agamanya
atau kepercayaan agamanya masing-masing, termasuk ketentuan
dalam perundang-undangan lain yang berlaku bagi golongan
agamanya dan kepercayaannya itu.
Persyaratan materiil berkenaan dengan calon mempelai yang
hendak melangsungkan perkawinan, yang meliputi:
1. Persyaratan terhadap orangnya (Para pihak)
Persyaratan berikut berlaku umum bagi semua perkawinan,
yaitu:

21
Abulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993), hlm. 76.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 55


a. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai;
b. Calon mempelai sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun
bagi pria dan 18 (delapan belas) tahun bagi wanita;22
c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali
bagi laki-laki yang beristri lebih dari seorang;
d. Bagi wanita tidak sedang dalam jangka waktu tunggu
atau masa iddah.

Y
Adapun ketentuan yang berlaku khusus bagi perkawinan orang
tertentu adalah:

M
a. Tidak terkena larangan/halangan melakukan perkawinan,
baik menurut undang-undang maupun hukum masing-

M
masing agamanya dan kepercayaannya itu;
b. Tidak terkena larangan kawin kembali untuk ketiga

U
kalinya setelah kawin dan bercerai lagi untuk kedua
kalinya berdasarkan hukum masing-masing agamanya

D
dan kepercayaannya itu.
2. Memperoleh izin dari orangtua atau wali calon mempelai, dan
mendapat izin pengadilan bagi mereka yang hendak beristri
lebih dari seorang (berpoligami).

Syarat materiil maupun syarat formil yang terkandung dalam


ketentuan Pasal 2 tersebut memiliki aspek perdata dan aspek
administratif. Aspek perdata membicarakan fungsi substansi dan
aspek pendaftaran membicarakan fungsi administratif. Fungsi
yang terakhir adalah untuk kejelasan dan kepastian hukum adanya
perkawinan yang sudah dilakukan oleh suami-istri bagi masyarakat
dan negara.
Menurut Tan Kamello dalam bukunya yang berjudul Hukum
Orang dan Keluarga, bahwa syarat-syarat perkawinan yang terdapat

Calon mempelai sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16
22

(enam belas) tahun bagi wanita, ketentuan ini sudah berubah dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014 tentang Batas Usia Perkawinan:
Perempuan harus sudah berumur 18 tahun.

56 HUKUM KELUARGA
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdiri dari syarat
substantif dan syarat ajektif. Syarat substantif adalah syarat-
syarat yang menyangkut diri pribadi calon suami dan calon istri,
sedangkan syarat ajektif adalah syarat yang berhubungan dengan
tata cara atau formalitas perkawinan yang dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Persyaratan substantif tersebut adalah sebagai berikut:23
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan (kata sepakat)

Y
calon suami-istri (Pasal 6 ayat (1));
2. Umur dari calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan

M
calon istri berumur (Pasal 7 ayat (1)); Jika belum berumur 21
tahun harus mendapat izin kedua orangtua. Kalau orangtua

M
sudah meninggal diperoleh dari wali, dan jika tak ada wali
diperoleh izin pengadilan setempat;

U
3. Calon istri tidak terikat pada pertalian perkawinan dengan

D
pihak lain (Pasal 3, 9);
4. Adanya waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya
apabila akan melangsungkan perkawinannya yang kedua
(Pasal 11 jo Op No. 9 Tahun 1975);
5. Calon suami-istri memiliki agama yang sama.

Persyaratan ajektif adalah sebagai berikut:


1. Kedua calon suami-istri atau kedua orangtua atau wakilnya
mem­beritahukan kepada pegawai pencatat perkawinan di
tempat perkawinan akan dilangsungkan secara lisan atau
tertulis;
2. Pemberitahuan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan;
3. Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan meneliti
semua dokumen-dokumen yang berkaitan dengan identitas
calon suami-istri;

23
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 44.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 57


4. Pengumuman tentang waktu dilangsungkan perkawinan
pada Kantor Pencatatan Perkawinan untuk diketahui umum.
Lazimnya ditempel pada papan pengumuman di kantor
tersebut agar mudah dibaca oleh masyarakat;
5. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak
pengumuman;
6. Perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan
dihadiri 2 (dua) orang saksi;

Y
7. Akta perkawinan ditandatangani oleh kedua calon suami-
istri, diikuti saksi dan pegawai pencatat. Akta perkawinan

M
dibuat dalam rangkap 2 (dua). Helai pertama disimpan oleh
pencatat, dan helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan

M
dalam wilayah kantor pencatat perkawinan tersebut. Kepada
suami-istri diberikan kutipan akta perkawinan.24

DU
F. Hubungan Hukum Suami dan Istri dalam Perkawinan
Perkawinan menciptakan hubungan hukum suami dan istri
antara seorang pria dan seorang wanita, yang menimbulkan hak
dan kewajiban masing-masing maupun bersama dalam keluarga.
Dengan kata lain, perkawinan menimbulkan peranan dan tanggung
jawab suami dan istri dalam keluarga, baik masing-masing maupun
sendiri-sendiri. Berikut akan dijabarkan kedudukan hukum suami
dan istri, kewajiban dan hak suami-istri, kewajiban suami dan hak
istri serta kewajiban istri dan hak suami.

1. Kedudukan Hukum Suami dan Istri


Ketentuan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menentukan, bahwa hak dan kedudukan
istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

24
Ibid., hlm. 45.

58 HUKUM KELUARGA
masyarakat dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum serta suami adalah kepala keluarga dan istri
sebagai ibu rumah tangga.
Sesuai dengan maksud Undang-Undang Perkawinan tersebut,
dalam pembinaan keluarga modern tidak dikehendaki terjadinya
perkawinan yang tidak seimbang antara kedudukan suami dan
kedudukan istri. Misalnya, perkawinan yang terjadi antara suami
yang berpendidikan tinggi dengan perempuan yang berpendidikan

Y
rendah dan berasal sebagai pembantu suami adalah tidak baik,
karena dapat berakibat terganggunya kebahagiaan rumah tangga.

M
Bahkan, perkawinan antar agama, di mana selama perkawinan
suami misalnya tetap menganut agama Islam dan istri tetap

M
menganut agama Kristen sering kali menimbulkan kekakuan
dalam hubungan kekerabatan yang menyangkut keagamaan

U
atau mereka yang menjauhkan diri dari masalah keagamaan
atau rohaniah.25 Lain halnya dalam hubungan kemasyarakatan/

D
berwiraswasta, suami bekerja dan istri bekerja sebagai karyawan,
atau berwiraswasta mengadakan hubungan dengan pihak ketiga
dalam usaha tertentu atas tanggung jawab sendiri atau atas
tanggung jawab bersama. Dalam hubungan demikian keluarga
modern banyak menunjukkan keberhasilan, di mana istri tetap
berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan suami sebagai kepala
rumah tangga. Hal mana berarti bahwa seluruh harta kekayaan
hasil pencarian bersama dikuasai dan dimanfaatkan bersama.26
Karena seimbang hak dan kedudukan suami-istri tersebut, masing-
masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Lain
halnya dengan sistem hukum perdata barat, di mana membatasi
bertindak melakukan perbuatan hukum bagi seorang istri, yang
memerlukan izin atau bantuan suaminya, kalau tidak perbuatan
hukumnya menjadi tidak sah.

25
Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, (Jakarta: Fajar Agung, 1987),
hlm. 105.
26
Ibid.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 59


Walaupun hak dan kedudukan suami-istri seimbang namun
mereka mempunyai peranan dan tanggung jawab yang berbeda
dalam keluarga. Menurut Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan,
suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga
sebagai pendamping suami. Demikian pula menurut hukum
Islam suami berkedudukan sebagai kepala keluarga (QS 4:
34) dan istri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam
kedudukan sebagai kepala rumah tangga, suami merupakan

Y
pemimpin dan sekaligus pembimbing terhadap istri, anak-anak,
dan kerumahtanggaan lainnya. Istri sebagai ibu rumah tangga

M
berkewajiban menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah
tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Dalam hukum Islam

M
kewajiban utama seorang istri berbakti lahir batin kepada suaminya
sepanjang dibenarkan oleh agama (QS 4: 34). Istri yang saleh

U
menurut pandangan Al-Qur’an adalah istri yang taat kepada Allah
dan lagi memelihara diri di balik suaminya.27

D
2. Kewajiban dan Hak Suami-Istri
Untuk menegakkan rumah tangga yang bahagia, sejahtera
dan kekal yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat, suami
dan istri memikul kewajiban yang luhur. Dalam mencapai itu,
suami dan istri berkewajiban saling mencintai, menghormati,
setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang
lain. Kewajiban-kewajiban ini dicantumkan di dalam Pasal 30 dan
Pasal 33 Undang-Undang Perkawinan.
Ketentuan Pasal 30 dan Pasal 33 Undang-Undang Perkawinan
tersebut merupakan ciri dari kehidupan keluarga modern, di
mana suami-istri secara bersama-sama wajib memikul tanggung
jawabnya.28 Kelalaian dalam melaksanakan kewajiban masing-
masing, suami atau istri dapat mengajukan gugatan kepada

27
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 338.
28
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 104.

60 HUKUM KELUARGA
Pengadilan. Demikian ketentuan hak suami-istri yang dicantumkan
di dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan.
Ketentuan ini agaknya belum sesuai dengan keluarga yang
hidupnya masih bertaut dengan hubungan kekerabatan, walaupun
undang-undang tidak menutup kemungkinan bagi suami atau
istri untuk menggugat ke pengadilan apabila suami atau istrinya
melalaikan kewajibannya. Oleh karena itu, pada kenyataannya
dalam kehidupan keluarga rumah tangga tidak selamanya

Y
kemampuan berada di tangan suami, adakalanya kemampuan itu
justru ada di tangan istri, sehingga istri menggantikan kedudukan

M
suami mencari nafkah untuk kehidupan rumah tangga mereka.29

M
3. Kewajiban Suami dan Hak Istri
Sebagai kepala keluarga, suami tidak mendapatkan hak-hak

U
istri melebihi dari istri atau istri-istri. Ketentuan dalam Pasal

D
34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa
suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Dari ketentuan tersebut jelas bahwa suami yang berkewajiban
untuk menanggung biaya keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan penghasilannya. Seandainya istri juga bekerja maka ia tidak
berkewajiban untuk menanggung biaya keperluan hidup berumah
tangga tersebut, kecuali istri rela atau ikhlas untuk itu. Saat ini
kewajiban seperti itu tidak harus mutlak dibebankan kepada suami,
kalau perlu bisa dibantu oleh istrinya, namun jangan mewajibkan
istri untuk bekerja.30
Agar dapat hidup dengan tenang, suami-istri harus mempunyai
tempat kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami-istri
bersama. Hal ini ditentukan di dalam Pasal 32 Undang-Undang
Perkawinan. Kediaman tetap dalam keluarga modern tidak berarti

29
Ibid. hlm. 105.
30
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 339.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 61


adanya bangunan rumah tangga yang tetap dikuasai dan/atau
dimiliki bangunannya, tetapi tempat kediaman yang tetap dalam
arti tidak dalam waktu yang singkat berpindah-pindah, sehingga
alamat tempat kediaman menjadi tidak menentu dan tidak dapat
diketahui domisilinya, akibatnya menyulitkan dalam perhubungan
hukum. Begitu pula walaupun penguasaan dan pemilikan tempat
kediaman itu dikuasai oleh istri, namun alamatnya atas nama
suami dalam kedudukannya sebagai kepala rumah tangga.31

Y
Tempat kediaman keluarga yang dimaksud adalah tempat tinggal
layak huni bagi istri dan anak-anaknya, sehingga mereka merasa

M
terlindungi dari gangguan pihak lain, aman dan tentram. Selain
itu, tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan

M
harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat
rumah tangga. Penyediaan tempat kediaman ini menjadi kewajiban

U
suami yang didasarkan pada kesanggupannya dengan memerhatikan
kepentingan dan pendapat istrinya. Dengan demikian, penentuan

D
tempat kediaman bukan semata-mata di tangan suami, harus
dimusyawarahkan secara bersama-sama oleh suami-istri.32
Hammudah ‘Abd Al ‘Ati mengemukakan, yang terpenting
perumahan bagi istri itu haruslah layak untuk menjadi privacy,
kenyamanan dan kebebasannya, serta sesuai dengan tingkat
kehidupannya. Rumah itu haruslah sesuai dengan kapasitas
istrinya, hingga istri merasa memperoleh haknya secara eksklusif.
Tidak seorang pun sanak saudara, anak buah, atau seorang pun
boleh ikut tinggal dirumah itu. Kecuali jika istrinya dengan
senang hati menyatakan setuju. Tujuannya adalah terciptanya
kesejahteraan bagi istri dan stabilitas perkawinnya. Tanggung
jawab seorang suami untuk memberikan tempat tinggal bagi
istrinya tidaklah disertai oleh adanya wewenang untuk memaksa
istrinya tinggal di suatu rumah yang tidak disetujuinya. 33

31
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 106.
32
Ibid.
33
Hammudah ‘Abd Al ‘Ati, Op.Cit., hlm. 205.

62 HUKUM KELUARGA
Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan antara lain menentukan bahwa:

“Dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang, berkewajiban memberi
jaminan hidup yang sama kepada suami-istri dan anak-anaknya”.

Dalam hal ini menurut hukum Islam, seorang suami harus


bisa bertindak dalam memenuhi kebutuhan dan keperluan rumah
tangga kepada masing-masing istri dan anak-anaknya (QS 4: 3)

Y
secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang
ditanggung masing-masing istri. Bahkan para istri harus disediakan

M
tempat tinggal sendiri-sendiri, kecuali mereka menyetujui, rela,
dan ikhlas untuk ditempatkan dalam satu tempat kediaman.34

M
Perspektif hukum Islam menyatakan, bahwa masing-masing
istri bagi orang yang beristri lebih dari seorang hendaklah

U
dipisahkan tempat kediaman mereka, masing-masing menempati
sebuah rumah, rumah itu pun harus sama, kecuali kalau mereka

D
sama-sama rela dan ikhlas ditempatkan dalam sebuah rumah saja.
Pembagian waktu di antara mereka itu, hendaklah sama dan betul
dilakukan. Kalau kiranya suami diam dalam sebuah rumah terpisah
dari istrinya, hendaklah pertemuan suami dengan istri-istrinya itu
pun dilakukan dengan seadil-adilnya. Jika seorang istri dipanggil
ke rumahnya, yang lain pun hendak dipanggil juga ke rumahnya
dengan memakai giliran dan waktu yang tertentu. Diam suami
dengan istri-istrinya hendaklah sama lamanya, sekurang-kurangnya
masa pembagian itu semalam dan sebanyak-banyaknya tiga malam.
Dengan kata lain, suami harus bersikap seadil-adilnya terhadap istri
masing-masing, kecuali kalau dengan ridha yang sungguh-sungguh
dari pihak istri. Apabila suami hendak bepergian hanya dengan salah
seorang istrinya, hendaklah dia mengadakan undian di antara istri-
istrinya itu, siapa yang memperoleh undian hendaklah dia dibawa
dan yang lain boleh ditinggal.35

Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 340.


34

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), hlm. 371-372. Dalam
35

Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 340.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 63


4. Kewajiban Istri dan Hak Suami
Dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Per­
kawinan menentukan bahwa, “Istri wajib mengatur urusan rumah
tangga sebaik-baiknya”. Dengan demikian selaku ibu rumah
tangga, seorang istri berkewajiban untuk menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-
baiknya. Soal pembelanjaan rumah tangga sehari-hari menjadi
kewajiban istri untuk mengatur dan menyelenggarakannya.

Y
Dalam hukum Islam, terhadap istri yang durhaka (nusyuz)
terhadap suaminya, yakni meninggalkan kewajibannya sebagai

M
istri dan ibu rumah tangga, maka kewajiban-kewajiban suami
terhadapnya tidak berlaku atau gugur (QS 4: 34 dan QS 4:

M
128), kecuali dengan alasan yang sah yang dapat dibuktikan
oleh istri. Jika seorang istri durhaka, seorang suami hendaknya

U
menasihatinya dengan bahasa yang lemah lembut. Kalau nasihat

D
tersebut tidak dihiraukannya, pisahkan dirimu dari tempat tidur
istri atau mereka. Selanjutnya bila tidak berhasil, seorang suami
dapat menjalankan haknya untuk memukul istrinya dengan
harapan untuk mendidik dan mengajarinya menjadi istri dan ibu
rumah tangga yang baik bagi suami maupun anak-anaknya. Dengan
berakhirnya durhaka itu, kewajiban suami terhadap istrinya
berlaku kembali seperti semula.36

G. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan adalah suatu jenis perjanjian. Ia
merupakan species dari genus perjanjian. Dengan demikian, ia
harus memenuhi syarat-syarat dari genusnya dan di samping itu
ia mengandung pula sesuatu unsur yang menjadikannya sebagai
species. Dengan demikian kita terdampar ke dalam bidang hukum
perjanjian. Kalau kita sudah sampai ke bidang ini, maka jelas
kelihatan kepada kita, bahwa kita belum mempunyai hukum

36
Ibid.

64 HUKUM KELUARGA
perjanjian (perikatan) yang bersifat unifikasi. Pernyataan ini
berarti, bahwa kita masih tetap bergelimang dalam arus pluralisme.
Yang harus diperhatikan ialah apa syarat-syarat untuk membuat
sesuatu perjanjian, masing-masing menurut:37
1. KUH Perdata;
2. Hukum Adat;
3. Aturan Hukum Intergentil;

Y
4. Aturan Hukum Perdata Internasional.

Perjanjian dapat dilihat dalam arti formal maupun materiil.

M
Rumus perjanjian perkawinan, seperti yang terdapat dalam
ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

M
tentang Perkawinan yaitu suatu jenis perjanjian, yang dibuat pada
waktu atau sebelum dilangsungkannya perkawinan oleh suami-istri

U
atas dasar persetujuan bersama, dan yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, ketentuan tersebut merupakan rumus yang

D
bersifat formal. Artinya adalah rumus itu hanya menggambarkan
kulit (siapa yang membuat, apabila dibuat disahkan oleh siapa),
sama sekali tidak menyinggung isi. Sebenarnya, perjanjian
perkawinan selain mempunyai kulit, juga mempunyai isi. Apabila
rumus mementingkan isi, maka dikatakan bahwa rumus itu bersifat
material. Masalah yang sama terdapat juga pada huwelijksvoorwaarden,
yang dapat diberi rumus formal, tapi juga rumus material.
Rumus formal untuk huwelijksvoorwaarden, pernah diberikan
oleh seorang sarjana Belanda, Hamaker, lebih kurang pada
penghujung abad yang lampau. Rumus formal itu berbunyi, bahwa:
“Tiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan
undang-undang antara calon suami-istri mengenai perkawinan
mereka, tidak dipersoalkan apa isinya”.38 Syarat penting pada

37
Mahadi, Perjanjian Perkawinan, (Medan: Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas USU, sa), hlm. 16.
38
Konsep Disertasi Henry Lie A Weng, sebagaimana dimuat dalam buku
Perjanjian Perkawinan, dalam Mahadi, Op.Cit., hlm. 18.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 65


rumus material ialah disebutnya tujuan perjanjian, yaitu mengatur
dan sebagainya.
Seorang sarjana modern yang lain, Van der Pleeg memberi
rumus material yakni, “Tiap ketentuan yang mengatur kedudukan
hukum harta kekayaan antara calon suami-istri, yang timbul dari
perkawinan mereka, adalah perjanjian perkawinan (overeenkomst
van huwelijksvoorwaarden)”.
Sifat material pada huwelijksvoorwaarden tidak terdapat dalam

Y
KUH Perdata secara langsung. Secara tidak langsung sifat itu dapat
disimpulkan dari bunyi Pasal 119 KUH Perdata, yang berbunyi:

M
“Sejak perkawinan dilangsungkan, secara otomatis terjadi
penyatuan harta antara suami-istri, sepanjang tentang harta itu

M
mereka tidak membuat huwelijksvoorwaarden”. Kalimat induk pada
perumusan Pasal 119 KUH Perdata mengatur mengenai kedudukan

U
harta benda. Anak kalimat dari perumusan itu membolehkan para
pihak untuk membuat huwelijksvoorwaarden. Adalah logis, bahwa

D
huwelijksvoorwaarden juga mengatur mengenai kedudukan harta
benda, yaitu pengaturan itu boleh lain daripada pengaturan, yang
terdapat dalam induk kalimat.39
Perjanjian perkawinan menurut peraturan perundang-
undangan (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Di dalam
KUH Perdata (BW) tentang perjanjian kawin umumnya ditentukan
dalam Pasal 139 sampai Pasal 154. Di dalam Pasal 139 dikatakan
bahwa, “dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami-
istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari
peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan,
asal perjanjian itu tidak menyalahi tata-susila yang baik atau tata
tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah
ini menurut pasal berikutnya”.40

39
Ibid.
40
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2007), hlm.52.

66 HUKUM KELUARGA
Dalam KUH Perdata mensyaratkan perjanjian perkawinan
harus dibuat secara notarial, termasuk perubahannya, kalau tidak
maka perjanjian perkawinannya akan diancam batal demi hukum.
Dalam Pasal 147 KUH Perdata antara lain dinyatakan bahwa atas
ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat
dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung. Selanjutnya
dalam ketentuan Pasal 148 KUH Perdata antara lain menyatakan
bahwa segala perubahan dalam perjanjian perkawinan tidak

Y
dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan dengan akta
dan dalam bentuk yang sama seperti perjanjian kawin yang dulu

M
dibuatnya.41
KUH Perdata juga membatasi dengan melarang hal-hal

M
tertentu untuk dimuat di dalam perjanjian perkawinannya. Hal-
hal yang dilarang dimuat di dalam perjanjian tersebut meliputi:

U
1. Sebagaimana ketentuan Pasal 139 KUH Perdata, bahwa
perjanjian perkawinan yang diadakan tidak boleh berlawanan

D
atau melanggar hukum, ketertiban umum, atau kesusilaan;
calon suami-istri dapat saja mengadakan beberapa
penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar
persatuan harta kekayaan sepanjang perjanjiannya tersebut
tidak menyalahi kesusilaan atau ketertiban umum serta
mengindahkan pula segala ketentuan yang diatur di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Di dalam perjanjian perkawinannya:
a. Tidak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan
pada kekuasaan si suami sebagai suami;
b. Tidak boleh mengurangi kekuasaan suami terhadap anak
pada saat perpisahan meja dan ranjang;
c. Tidak boleh mengurangi hak-hak yang diberikan undang-
undang kepada suami-istri yang hidup terlama;

41
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 287.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 67


d. Tidak boleh mengurangi hak-hak yang dilimpahkan
kepada suami sebagai kepala keluarga (Lihat Pasal 40
KUH Perdata).

Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan diatur di


dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang menetapkan bahwa kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan, yang dalam

Y
bahasa Belanda dinamakan huwelijkse voorwaarden.
Adapun syarat-syarat perjanjian perkawinan tersebut adalah:

M
1. Harus diajukan oleh kedua belah pihak pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan;

M
2. Diajukan secara tertulis, yang kemudian disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan dengan dimuat di dalam akta

U
perkawinan;
3. Perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana

D
melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan;
4. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan
tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua pihak ada
persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga;
5. Perjanjian perkawinan yang telah disahkan tadi berlaku juga
terhadap pihak ketiga tersangkut;
6. Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak
perkawinan itu dilangsungkan dengan membawa akibat hukumnya
mengikat suami-istri dan mengikat pula terhadap pihak ketiga yang
tersangkut dengan perjanjian perkawinan tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa, “pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan

68 HUKUM KELUARGA
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang di sahkan oleh
Pegawai Pencatatan Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Yang
dimaksud dengan “perjanjian” dalam pasal ini tidak termasuk “taklik
talak” sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 29 UU Perkawinan.42
Hal-hal apa saja yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian
perkawinan tidak diatur dalam UU Perkawinan. Kedua belah pihak
(suami-istri) secara bersama-sama bebas menentukan isi perjanjian

Y
perkawinannya asalkan perjanjiannya tidak melanggar batas-batas
hukum agama dan kesusilaan.

M
Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan sebagaimana ketentuan

M
dalam Pasal 29 ayat (2), perjanjian tersebut mulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan (Pasal 29 ayat (3)). Selama perkawinan

U
dilangsungkan, perjanjian perkawinan tidak dapat diubah lagi oleh
suami-istri, kecuali bila suami-istri setuju mengadakan perubahan

D
dan perubahan tersebut tidak akan merugikan pihak ketiga.43
Perjanjian perkawinan ada yang mengatur adanya ketentuan
pengaturan harta dan ada pula perjanjian perkawinan dengan pisah
harta, berikut akan dijelaskan secara rinci.

1. Perjanjian Perkawinan dengan Pengaturan Harta


Hukum Islam terdapat dua pendapat yang mengemukakan
tentang harta bersama, yaitu:
a. Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum Islam tidak
dikenal percampuran harta kekayaan antara suami dan istri
karena perkawinan kecuali adanya “syirkah”, harta kekayaan
istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh
istri tersebut, demikian juga harta kekayaan suami tetap
menjadi hak milik suami dan dikuasai sepenuhnya oleh suami.

42
Ibid., hlm. 53.
43
Ibid., hlm. 288.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 69


Oleh karena itu, wanita yang bersuami tetap dianggap cakap
bertindak tanpa bantuan suami dalam segala hal, termasuk
mengurus harta benda, sehingga ia dapat melakukan segala
perbuatan hukum dalam masyarakat. Sebagaimana Firman
Allah (QS An-Nisa’: 32).

Artinya:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena)

Y
bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan,
dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka

M
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

M
b. Pendapat kedua menyatakan bahwa ada harta bersama antara
suami dan istri menurut hukum Islam. Pendapat ini mengakui

U
bahwa apa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai harta bersama

D
seperti dalam Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 sesuai dengan
kehendak dan aspirasi hukum Islam.

Dalam ketentuan Pasal 35, Pasal 37 Undang-Undang


Perkawinan menyebutkan bahwa: Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 UU
Perkawinan), ini berarti terbentuknya harta bersama dalam
perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai
ikatan perkawinan bubar. Harta bawaan dari masing-masing suami
dan istri serta harta yang diperoleh masing-masing baik hadiah,
warisan menjadi penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan), kecuali
kedua belah pihak menentukan lain dalam perjanjian (Pasal 36
ayat (1) UU Perkawinan), yaitu pisah harta, sehingga masing-
masing berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan). Pasal
37 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa
“Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur

70 HUKUM KELUARGA
menurut hukumnya masing-masing”. Yang dimaksud dengan
“hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan
hukum-hukum lainnya. Sehingga dapat dirumuskan bahwa harta
yang diperoleh selama perkawinan berlangsung karena usahanya
menjadi harta bersama.

2. Perjanjian Kawin Dengan Pisah Harta


Untuk melindungi si istri terhadap kekuasaan si suami yang

Y
sangat luas atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si istri,
Undang-Undang memberikan kepada si istri suatu hak untuk

M
meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan
tetap berlangsungnya perkawinan. Pemisahan kekayaan itu dapat

M
diminta oleh si istri:
a. Apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak

U
baik, mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan

D
keselamatan keluarga;
b. Apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap
kekayaan si istri, hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan
menjadi habis;
c. Apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga si
istri akan kehilangan tanggungan yang oleh undang-undang
diberikan padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan
yang dilakukan oleh suami terhadap kekayaan istrinya.

Gugatan untuk mendapatkan pemisahan kekayaan, harus


diumumkan dahulu sebelum diperiksa dan diputuskan oleh
hakim, sedangkan putusan hakim ini pun harus diumumkan.
Hal ini untuk menjaga kepentingan-kepentingan pihak ketiga,
terutama orang-orang yang mempunyai piutang terhadap si suami.
mereka itu dapat mengajukan perlawanan terhadap diadakannya
pemisahan kekayaan.
Selain membawa pemisahan kekayaan, putusan hakim
berakibat pula, si istri memperoleh kembali haknya untuk

Bab 2 | Hukum Perkawinan 71


mengurus kekayaannya sendiri dan berhak mempergunakan
segala penghasilannya sendiri sesukanya. Akan tetapi, karena
perkawinan belum diputuskan, ia masih tetap tidak cakap menurut
Undang-Undang untuk bertindak sendiri dalam hukum. Pemisahan
kekayaan dapat diakhiri atas persetujuan kedua belah pihak dengan
meletakkan persetujuan itu dalam suatu akta notaris, yang harus
diumumkan sama seperti yang ditentukan untuk pengumuman
putusan hakim dalam mengadakan pemisahan itu.

Y
Dalam Pasal 105 KUH Perdata diatur bahwa suami sebagai
kepala dalam persatuan suami-istri, sehingga ia dapat mengatur

M
seluruh harta istrinya. Apabila tidak ingin hal ini berlaku, maka
dapat dibuat suatu perjanjian kawin sebagai bentuk penyimpangan,

M
sesuai dengan Pasal 140 ayat (2) dan (3) KUH Perdata, sedangkan
dalam Pasal 140 ayat (2) dan (3) KUH Perdata mengatur bahwa,

U
dapat diperjanjikan si istri dapat mengurus harta kekayaan
pribadinya, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan

D
menikmati sendiri pendapatannya. Selain itu, dapat diatur juga
suami tidak boleh memindahtangankan atau membebani barang-
barang tidak bergerak milik istri, surat berharga, piutang yang
didapat sebelum atau sesudah perkawinan, tanpa persetujuan
dari istri. Perjanjian kawin semacam ini disebut dengan perjanjian
kawin di luar persekutuan harta benda, dan diatur dalam Pasal
139 KUH Perdata.
Dengan perjanjian kawin jenis ini, maka tidak ada persekutuan
harta benda sama sekali. Baik persekutuan menurut undang-
undang, untung-rugi, hasil dan pendapatan, maupun percampuran
apa pun secara tegas semuanya ditiadakan.
Misalnya, apabila suami berutang, maka tidak dapat dibebankan
kepada istri sama sekali.
Dalam perjanjian kawin ini, yang diatur antara lain:
a. Tidak ada persekutuan dalam bentuk apa pun.
b. Harta masing-masing tetap milik masing-masing.

72 HUKUM KELUARGA
c. Istri berhak mengurus hartanya sendiri, serta bebas menikmati
hasilnya tanpa bantuan suami.
d. Utang masing-masing tetap menjadi tanggungan masing-
masing.
e. Biaya rumah tangga menjadi tanggungan suami sebagai kepala
rumah tangga (seperti belanja, sekolah, telepon, listrik, air).
f. Perabot rumah tangga dianggap sebagai milik istri.

Y
g. Pakaian, perhiasan, buku-buku yang terkait pendidikan atau
pekerjaan, dianggap sebagai milik yang menggunakan.

M
h. Barang bergerak lainnya karena hibah, warisan, atau apa pun
dalam perkawinan, jatuh kepada salah satu pihak, asal harus

M
dapat dibuktikan asal-usulnya. Apabila tidak dapat dibuktikan,
maka harus dibagi dua.

U
H. Akta Perjanjian Kawin

D
Perjanjian kawin ialah suatu perjanjian (persetujuan)
yang dibuat oleh calon suami-istri atau pada saat perkawinan
dilangsungkan, hal ini dilangsungkan untuk mengatur akibat-
akibat dari perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.
Pada umumnya perjanjian kawin dibuat:
1. Bilamana terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada
salah satu pihak dari pihak lain;
2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (inbreg)
yang cukup besar;
3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri, apabila salah satu
jatuh pailit yang lain tidak tersangkut;
4. Atas utang mereka yang dibuat sebelum kawin, masing-masing
akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.

Adapun syarat perjanjian kawin tersebut dapat kita beda-


bedakan atau dikelompokkan sebagai berikut:

Bab 2 | Hukum Perkawinan 73


1. Syarat-syarat yang mengenai diri pribadi/para pihak.
2. Syarat-syarat cara pembuatan akta perjanjian kawin.
3. Syarat-syarat mengenai isi perjanjian kawin.

Di dalam membuat perjanjian kawin BW mensyaratkan hal-


hal sebagai berikut:
1. Untuk kepastian hukum dari perjanjian kawin tersebut.
2. Untuk mencegah perbuatan tergesa-gesa, oleh karena akibat

Y
dari perjanjian akan mengikat para pihak.
3. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah.

M
Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1956 (tentang

M
pembaruan buku 1 BW) yang intinya perjanjian kawin menurut
BW tidak bisa dirubah selama perkawinan akan tetapi menurut

U
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1956 boleh diubah paling sedikit
sudah berjalan 1 tahun asalkan ada sebab suami di samping sebagai

D
beheer sudah mengarah ke bacsking (149 BW).

I. Contoh Akta Perjanjian Perkawinan


AKTA PERJANJIAN PERKAWINAN

Nomor: ………………….

Pada hari ini,.................., tanggal...................... (........................),


pukul.................. (..................). -------------------------------------------
- Menghadap di hadapan saya,.................................., Sarjana
Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris Kabupaten
………........, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang akan
disebut dan telah dikenal oleh saya, Notaris; ----------------------
I. Nona.................., Sarjana Hukum, lahir di..................,
pada tanggal.................., (………………………………),
Warga Negara Indonesia, Pekerjaan.................., Pemegang
Kartu Tanda Penduduk Nomor.................., bertempat
tinggal di.................., Rukun Tetangga.................., Rukun

74 HUKUM KELUARGA
Warga.................., Desa.................., Kecamatan..................,
Kabupaten..................
II. Tuan.................., Sarjana Hukum, lahir di..................,
pada tanggal.................., (………………………………),
Warga Negara Indonesia, Pekerjaan.................., Pemegang
Kartu Tanda Penduduk Nomor.................., bertempat
tinggal di.................., Rukun Tetangga.................., Rukun
Warga.................., Desa.................., Kecamatan..................,
Kabupaten………………………………....................................

Y
- Para penghadap telah dikenal oleh saya, Notaris. --------------
- Para penghadap menerangkan, bahwa akibat hukum dari

M
perkawinan yang hendak mereka langsungkan mengenai
harta benda mereka akan diatur menurut syarat-syarat dan

M
ketentuan-ketentuan yang berikut: --------------------------------

U
Pasal 1
Antara suami dan istri tidak ada persekutuan harta benda, bukan

D
saja persekutuan harta menurut hukum, tetapi juga percampuran
apa pun juga dengan ini secara tegas ditiadakan.---------------------

Pasal 2
- Pihak istri akan mengurus sendiri harta bendanya, baik yang
tetap maupun yang bergerak, dan bebas memungut hasil dan
bunga dari hartanya, pekerjaannya ataupun dari sumber yang
lain. ----------------------------------------------------------------------
- Untuk mengurus itu, pihak istri tidak memerlukan bantuan
dari pihak suami dan dengan akta ini pihak istri diberi
kuasa yang tidak dapat dicabut kembali untuk menjalankan
pengurusan itu, dan bila pihak suami menjalankan pengurusan
sesuatu urusan dari pihak istri, maka karena perbuatannya itu,
pihak suami harus bertanggung jawab tentang hal itu.------

Pasal 3
- Semua pengeluaran untuk keperluan rumah tangga dan
pengeluaran serta beban-beban lainnya berkenaan dengan

Bab 2 | Hukum Perkawinan 75


perkawinan serta pula pendidikan dari anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan mereka, untuk keseluruhannya itu
adalah menjadi tanggungan dari pihak suami semata-mata,
harus dipikul dan dibayarnya, dan untuk itu pihak istri tidak
dapat dituntut. --------------------------------------------------------
- Pengeluran biasa dan sehari-hari untuk keperluan rumah
tangga yang dilakukan oleh pihak istri, dianggap dilakukan
dengan persetujuan pihak suami. ----------------------------------

Y
Pasal 4
- Barang-barang, pakaian dan perhiasan, buku-buku, surat-

M
surat, alat-alat dan perkakas-perkakas yang berkenaan dengan
pendidikan atau pekerjaan dari masing-masing pihak yang

M
terdapat pada sesuatu waktu, menjadi juga pada waktu
perkawinan diputuskan, adalah hak milik dari pihak yang

U
dianggap menggunakan barang itu. -------------------------------
- Dengan tidak diadakan perhitungan atau penyelidikan lebih

D
jauh, maka barang-barang itu dianggap sama dengan atau
sebagai pengganti dari barang-barang yang serupa yang dibawa
dalam perkawinan. ----------------------------------------------------
- Seluruh barang rumah tangga yang pada sesuatu waktu, jadi
juga pada waktu perkawinan diputuskan terdapat dalam
rumah suami-istri, dengan mengecualikan barang-barang yang
menurut ayat satu dari pasal ini adalah milik pihak suami,
adalah milik pihak istri, oleh karena perabot itu dianggap sama
dengan atau sebagai pengganti dari perabot yang dibawa oleh
pihak dalam perkawinan. -------------------------------------------
- Mengenai hal ini tidak dapat diadakan dan tidak dapat dituntut
supaya dilakukan pemeriksaan atau perhitungan. --------------

Pasal 5
- Mengenai barang-barang bergerak yang tidak termasuk dalam
salah satu ketentuan yang diatur dalam pasal 4, yang selama
perkawinan karena warisan atau karena hibah atau dengan
jalan lain jatuh pada salah satu pihak harus ternyata dari
bukti-bukti atau penjelasan lain. ------------------------------------

76 HUKUM KELUARGA
- Bilamana tidak terdapat bukti atau penjelasan lain, tentang
asal usulnya barang-barang yang berkenaan, pihak suami
tidak berhak menganggap barang-barang itu sebagai
miliknya, sedang pihak istri atau para ahli-warisnya berhak
untuk membuktikan adanya atau harga barang-barang yang
demikian, dengan surat-surat bukti lain, dengan saksi-saksi
atau oleh karena umum telah mengetahuinya. -----------------
- Dari segala sesuatu yang tersebut di atas, dibuatlah -----------

Y
---------------------- DEMIKIANLAH AKTA INI ----------------------
- Dibuat sebagai minute dan diresmikan di......................, pada

M
hari dan tanggal sebagaimana tersebut dalam kepala akta ini,
dengan dihadiri oleh: -------------------------------------------------

M
1. Nyonya ................., Sarjana Hukum, lahir di ..................,
pada tanggal ...................... (......................), bertempat

U
tinggal di Dukuh ................ Desa ............., Kecamatan

D
......................, Kabupaten ………………………………….
2. Tuan ................, Sarjana Hukum, lahir di................, pada
tanggal ................ (………………………………), bertempat
tinggal di Dukuh ................, Desa ................, Kecamatan
................, Kabupaten ………………………………….
- Kedua-duanya pegawai kantor saya, Notaris, sebagai saksi-
saksi. --------------------------------------------------------------------
- Segera setelah akta ini dibacakan oleh saya, Notaris, kepada
para penghadap dan para saksi, maka seketika akta ini ditanda-
tangani oleh para penghadap, para saksi dan saya, Notaris.
----------------------------------------------------------------------------
- Dilangsungkan dengan tiada memakai perubahan suatu apa
pun. ----------------------------------------------------------------------

J. Contoh Akta Perkawinan


Pada hari xxx, bulan xxx, tahun xxx di kota xxx telah dibuat
perjanjian perkawinan dari dan antara

Bab 2 | Hukum Perkawinan 77


1. Nama:
Alamat:
Tempat dan Tanggal Lahir:

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, yang
untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama
1. Nama:
Alamat:

Y
Tempat dan Tanggal Lahir:

M
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, yang
untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.

M
Kedua belah pihak, berdasarkan iktikad baik, sepakat untuk
mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan resmi dan untuk itu

U
bersepakat untuk mengikatkan diri dan tunduk pada perjanjian ini.

D
Pasal 1
Prinsip Dasar
Kedua belah pihak adalah saling sama hak, saling sama martabat,
dan saling sama kedudukan di depan hukum

Pasal 2
Asas
Perjanjian berasaskan pada prinsip keadilan, kesetaraan, kesamaan
kedudukan, hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia.

Pasal 3
Perkawinan Monogami
Kedua belah pihak sepakat bahwa pada prinsipnya perkawinan ini
hanya tunduk pada perkawinan monogami

78 HUKUM KELUARGA
Pasal 4
Keadaan Khusus
(1) Dalam keadaan khusus, kedua belah pihak sepakat untuk
meng­abaikan prinsip monogami;
(2) Keadaan khusus tersebut adalah:
Dalam jangka waktu 15 tahun setelah perkawinan disahkan
oleh pejabat yang berwenang, salah satu pihak berdasarkan
surat keterangan dari Rumah Sakit yang ditunjuk oleh

Y
Perjanjian ini, dinyatakan tidak mempunyai kemampuan
untuk memperoleh keturunan dan;

M
Kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan peng­
angkatan anak (adopsi);
(3) Rumah Sakit yang ditunjuk oleh perjanjian ini adalah RSB

M
XXX.

U
Pasal 5

D
Pengabaian
Pengabaian prinsip monogami ini, selain harus memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, harus berdasarkan
pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan disertai
dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pasal 6
Harta Kekayaan dan Pengelolaan Kekayaan
(1) Harta kekayaan Pihak Pertama saat ini meliputi: XXX
(sebutkan satu persatu);
(2) Pengelolaan harta kekayaan Pihak Pertama merupakan hak
dari Pihak Pertama;
(3) Pihak Pertama berhak untuk melakukan tindakan hukum yang
patut terhadap harta kekayaan sebagaimana disebutkan dalam
ayat (1);
(4) Tindakan hukum tersebut termasuk namun tidak terbatas
pada menjual, menggadaikan, dan menjaminkan kepada pihak
ketiga.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 79


Pasal 7
(1) Harta Kekayaan yang diperoleh oleh kedua belah pihak selama
berlangsungnya perkawinan adalah harta milik bersama;
(2) Pengelolaan harta kekayaan bersama tersebut dijalankan
secara bersama-sama;
(3) Salah satu pihak tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan
hukum tanpa izin terhadap harta bersama termasuk namun
tidak terbatas pada menjual, membeli, menggadaikan, dan

Y
menjaminkan harta bersama kepada pihak ketiga.

M
Pasal 8
Perlindungan Anak dan Kekerasan
Terhadap Rumah Tangga

M
(1) Kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan tindak

U
pidana kekerasan terhadap rumah tangga sebagai telah diatur
dalam UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

D
Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
(2) Kedua belah pihak sepakat segala bentuk kekerasan terhadap
rumah tangga harus ditiadakan baik terhadap anggota keluarga
inti maupun terhadap orang-orang yang bekerja dalam rumah
yang merupakan tempat kediaman dan/atau tinggal dari kedua
belah pihak.

Pasal 9
Perhatian pada Anak
(1) Kedua belah pihak sepakat untuk memberikan perhatian yang
baik terhadap tumbuh kembang anak.
(2) Kedua belah pihak sepakat untuk memberikan waktu yang
seimbang terhadap anak;
(3) Kedua belah pihak sepakat untuk menerapkan prinsip-prinsip
umum sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak dan UU
RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

80 HUKUM KELUARGA
Pasal 10
Perubahan Perjanjian
(1) Perubahan perjanjian hanya dapat dilakukan atas persetujuan
kedua belah pihak.
(2) Perubahan perjanjian hanya dimungkinkan terhadap keten­
tuan yang belum diatur dalam perjanjian ini serta tidak ber­
tentangan dengan hukum.
(3) Perubahan perjanjian tersebut bersifat penambahan sehingga

Y
akan melekat terhadap perjanjian ini.
(4) Perubahan perjanjian hanya sah, berlaku, dan mengikat secara

M
hukum bagi kedua belah pihak apabila telah mendapatkan
pengesahan dari Ketua Pengadilan Negeri di mana perjanjian
ini didaftarkan

UM
Pasal 11
Perselisihan

D
(1) Apabila terjadi perselisihan mengenai isi dan penafsiran
dari perjanjian ini, kedua belah pihak sepakat untuk
menyelesaikannya secara damai;
(2) Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tersebut gagal, maka kedua belah pihak sepakat untuk
menunjuk satu atau lebih mediator;
(3) Mediator berjumlah ganjil yang jumlahnya sekurang-
kurangnya satu dan sebanyak-banyaknya lima;
(4) Pengaturan tentang mediasi akan diatur dalam perjanjian lain
yang melekat pada perjanjian ini;
(5) Pengaturan tentang mediasi dapat dilakukan pada waktu
terjadinya perselisihan.
(6) Apabila mediator gagal dalam menjalankan tugasnya dan/
atau kedua belah pihak tidak mencapai persetujuan terhadap
hasil mediasi, kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk
Pengadilan Negeri XXX sebagai tempat penyelesaian per­
selisihan.

Bab 2 | Hukum Perkawinan 81


Diberikan sebagai SALINAN RESMI,
Yang sama bunyinya. ---------------------

Notaris
(cap dan meterai stempel dengan tandatangan Notaris)

M Y
UM
D

82 HUKUM KELUARGA
Bab 3
HARTA DALAM PERKAWINAN

M Y
UM
A. Pengertian Harta dalam Perkawinan

D
Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup
spiritual, dan materiil yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang
antara anggota, dan antar keluarga dengan masyarakat dan
lingkungannya, dengan jumlah anak yang ideal untuk mewujudkan
kesejahteraan lahir dan batin.1
Upaya untuk mewujudkan keluarga sejahtera ini menjadi
kewajiban dari suatu keluarga yang dibentuk. Apabila dihubungkan
antara ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera, maka tidak dapat dipungkiri
untuk kelangsungan hidup suatu keluarga dibutuhkan harta
kekayaan guna mewujudkan keluarga sejahtera. Kebutuhan akan

1
Muhammad Djumhana, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1994), hlm. 111.

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 83


harta benda dalam keluarga tidak saja untuk pengembangan diri
pribadi suami dan/atau istri tetapi juga demi kebutuhan dan
kepentingan anak-anak.
Kesejahteraan dalam keluarga merupakan suatu hak
yang paling mendasar atau merupakan hak asasi sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatakan bahwa:
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri-sendiri

Y
maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan
dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak

M
melanggar hukum”. Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat
bahwa kekayaan atau harta benda sangat dibutuhkan dalam suatu

M
perkawinan. Masalah harta perkawinan merupakan masalah yang
sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami-istri, utamanya

U
apabila mereka bercerai, sehingga Hukum Harta Perkawinan itu
sudah memainkan peranan yang penting dalam kehidupan keluarga

D
bahkan sewaktu perkawinan masih berjalan mulus. Oleh karena
itu, dalam Bab VII Pasal 35 UU Perkawinan diatur tentang harta
benda dalam perkawinan. Ada ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan
menentukan bahwa:

Ayat (1) menentukan: “Harta benda yang diperoleh selama


perkawinan menjadi harta bersama”, selanjutnya dalam ayat (2)
menyatakan bahwa, “Harta bawaan dari masing-masing suami dan
istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan hal lain”.

Ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan tersebut


di atas memiliki kesamaan dengan ketentuan Pasal 36 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Mengingat bahwa hak milik baik secara pribadi maupun secara
bersama-sama merupakan hak asasi, maka perlu dipertegas
luas lingkup hak milik pribadi dan hak milik bersama dalam
suatu perkawinan. Karena, perkawinan sesungguhnya adalah

84 HUKUM KELUARGA
berkaitan dengan hak milik pribadi suami atau istri, juga berkaitan
dengan hak milik bersama antara suami dan istri selama dalam
perkawinan. Oleh karena itu, ayat (1) Pasal 35 UU Perkawinan
mengatur tentang harta bersama selama perkawinan dan ayat
(2) Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang harta pribadi
dari masing-masing suami atau istri. Tegasnya hak milik pribadi
sebagai hak asasi dan hak milik bersama sebagai hak asasi harus
diatur secara tegas tentang luas ruang lingkupnya agar tidak terjadi

Y
kerancuan dan benturan hak milik antara keduanya.
Menurut J. Satrio, “Hukum harta perkawinan adalah peraturan

M
hukum yang mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta
kekayaan suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan.”2 J.

M
Satrio menyebutkan bahwa hukum harta perkawinan merupakan
terjemahan dari kata “huwelijksvermogensrecht”, sedangkan

U
hukum harta benda perkawinan adalah terjemahan dari kata
“huwelijksgoderenrecht”.

D
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan
ialah semua harta yang dikuasai suami dan istri selama mereka
terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang
berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri,
harta pencaharian hasil bersama suami-istri dan barang-barang
hadiah. Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk
membiayai kehidupan rumah tangga suami-istri, maka harta
perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu:
1. Harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan
yaitu harta bawaan;
2. Harta yang diperoleh suami atau istri secara perorangan
sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan;
3. Harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama
perkawinan yaitu harta pencaharian.

2
Ibid., hlm. 27.

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 85


4. Harta yang diperoleh suami-istri bersama ketika upacara per­
kawinan sabagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan.3

Harta benda dalam perkawinan yang dipergunakan UU


Perkawinan sesungguhnya mempertegas pemikiran tentang
pembedaan hukum benda dengan hukum orang yang dianut
di dalam KUH Perdata. Karena, aturan-aturan hukum tentang
benda berkaitan dengan hak kebendaan, sedangkan perkawinan

Y
merupakan hukum pribadi atau hukum orang. Hal ini diperkuat
dengan cara memperoleh hak milik melalui pewarisan dimasukkan
dalam ketentuan hukum benda bukan dalam hukum orang

M
atau hukum keluarga. Jadi, fokus pembahasannya adalah benda
sebagai objek hukum, atau dengan kata lain berkaitan dengan cara

M
memperoleh atau peralihan hak milik atas benda yang ada dalam
perkawinan.

U
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas bahwa dalam

D
suatu keluarga diperlukan harta kekayaan untuk memenuhi
kebutuhan demi kelangsungan suatu perkawinan yang dibentuk.
Kebutuhan akan harta kekayaan dalam suatu perkawinan
merupakan salah satu usaha untuk menciptakan suatu keluarga
yang sejahtera lahir dan batin. Akan sulit dimengerti bagaimana
kelangsungan suatu perkawinan apabila dalam perkawinan tersebut
tidak didukung oleh adanya harta kekayaan. Ilmu hukum perdata
mengenal adanya pemilikan atas suatu benda secara individu atau
pribadi dan pemilikan benda secara bersama-sama antar para
individu. Pemilikan benda secara individu atau pribadi disebut
dengan hak milik pribadi, sedangkan pemilikan atas suatu benda
secara bersama-sama disebut dengan istilah hak milik bersama.
Perkawinan yang dilangsungkan antara suami istri memiliki 3
(tiga) akibat hukum yaitu: Pertama, akibat dari hubungan suami-

3
Vivi Aisyah, Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, http://mydock.blogspot.com/2012/04/
hukum-perkawinan-dan-harta-perkawinan-dalam-hukum-adat.html#ixz3wJM3yvrp. Diakses
pada tanggal 10 Maret 2016. Pukul 09.00 Wib.

86 HUKUM KELUARGA
istri; Kedua, akibat terhadap harta perkawinan; dan Ketiga, akibat
terhadap anak yang dilahirkan. Persoalan harta benda dalam
perkawinan sangat penting karena salah satu faktor yang cukup
signifikan tentang bahagia dan sejahtera atau tidaknya kehidupan
rumah tangga terletak kepada harta benda. Walaupun kenyataan
sosialnya menunjukkan masih adanya keretakan hidup berumah
tangga bukan disebabkan harta benda, melainkan faktor lain. Harta
benda merupakan penopang dari kesejahteraan tersebut.

Y
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengenal 3 (tiga) macam harta, yaitu: Pertama, harta bersama;

M
kedua, harta bawaan; dan ketiga, harta perolehan. Setelah terjadinya
perkawinan, maka kedudukan harta benda 2 orang yang saling

M
mengikatkan diri dalam ikatan hukum perkawinan akan berubah.
Berkaitan dengan kedudukan harta benda dalam perkawinan

U
pengaturan harta tersebut diatur dalam Pasal 35 Jo. Pasal 36 Jo.
Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 35

D
ayat (1) UU Perkawinan merumuskan bahwa, harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Pada Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan merumuskan bahwa,
harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Berdasarkan ketentuan di atas maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa terdapat 2 (dua) penggolongan harta benda
dalam perkawinan yaitu:
1. Harta bersama (Pasal 35 ayat 1) UU Perkawinan;
2. Harta bawaan yang dibedakan atas harta bawaan masing-
masing suami dan istri dan harta bawaan yang diperoleh dari
hadiah atau warisan (Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan;

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 87


3. Harta yang berasal dari hibah atau warisan adalah harta
masing-masing suami-istri yang diperoleh bukan karena usaha
bersama-sama maupun sendiri-sendiri tetapi diperoleh karena
hibah, warisan atau wasiat. Dengan kata lain, pengertian jenis
harta ini adalah harta yang diperoleh dalam perkawinan tetapi
tidak diperoleh sebagai hasil dari mata pencaharian suami dan
istri tersebut.

Y
Pengertian mengenai harta bersama adalah harta yang
diperoleh setelah suami-istri tersebut berada di dalam hubungan
perkawinan atas usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari

M
mereka. Harta bersama ini juga disebut sebagai harta pencarian.
Harta bawaan adalah harta masing-masing suami-istri yang

M
telah dimilikinya sebelum perkawinan baik diperolehnya karena
mendapat warisan atau usaha-usaha lain.

U
Berdasarkan penggolongan jenis-jenis harta tersebut maka

D
sebagai konsekuensinya terdapat 2 (dua) macam penggolongan
hak milik terhadap harta yaitu:
1. Adanya hak milik secara kolektif atau bersama khusus
mengenai harta yang digolongkan sebagai harta hasil dari
mata pencaharian, pengaturannya adalah hak kepemilikan
terhadap harta tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh
pasangan suami-istri. Dengan adanya hak kepemilikan secara
kolektif ini tentunya wewenang dan tanggung jawab terhadap
harta bersama tersebut berada di tangan suami dan istri.
Apabila suami hendak menggunakan harta bersama maka si
suami harus mendapat persetujuan dari istri, demikian juga
sebaliknya.
2. Adanya hak milik pribadi secara terpisah
Pada harta yang digolongkan sebagai jenis harta yang kedua
yaitu harta bawaan dan jenis harta ketiga yaitu harta yang
diperoleh dalam perkawinan tetapi tidak berasal dari mata
pencaharian, terhadap keduanya pengaturan terhadap hak milik

88 HUKUM KELUARGA
pada dasarnya dilakukan secara terpisah, yaitu masing-masing
suami-istri mempunyai hak milik secara terpisah terhadap harta
yang dimilikinya sebelum terjadinya perkawinan.

Harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1


Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan, bahwa: “Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”
Berdasarkan pasal ini, secara yuridis formal dapat dipahami

Y
pengertian harta bersama adalah harta benda suami-istri yang
didapatkan selama perkawinan. Yang mendapatkan bisa suami-
istri secara bersama-sama, atau suami saja yang bekerja dan istri

M
tidak bekerja atau istri yang bekerja dan suami tidak bekerja. Tidak
ditentukan yang mendapatkan harta, melainkan harta itu diperoleh

M
selama perkawinan. Jadi sangat jelas dan tegas, hukum menentukan
bahwa harta yang diperoleh sebelum perkawinan bukanlah harta

U
bersama. Dengan demikian, sifat norma hukum yang melekat pada

D
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah
memaksa (dwingendrecht) atau disebut juga Imperative Norm.4
Harta bawaan dan harta perolehan diatur dalam Pasal 35 ayat
(2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan
bahwa: “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.”
Mengenai harta bawaan dan harta perolehan walaupun
sudah ditentukan oleh hukum, namun masih terbuka untuk
dijadikan harta bersama dengan cara membuat perjanjian kawin
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Dengan demikian sifat norma hukum yang
melekat pada Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan adalah mengatur
(aanvullendrecht).5

4
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 108.
5
Ibid., hlm. 109.

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 89


Bagaimana pengurusan dan penguasaan mengenai ketiga
macam harta tersebut serta hukum apakah yang berlaku.
Mengenai harta bersama, suami-istri tidaklah bebas dan leluasa
melakukan perbuatan hukum melainkan jika salah satu pihak
akan menjaminkan atau mengalihkan harta tersebut wajib untuk
meminta persetujuan dari pihak lainnya. Misalnya seorang suami-
istri memiliki rumah sebagai harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan. Suaminya seorang pelaku usaha dan istrinya seorang

Y
guru. Suami membutuhkan modal usaha dan memerlukan rumah
tersebut untuk dijadikan jaminan utang kepada bank. Tindakan

M
suami menjaminkan rumah itu harus mendapat izin dari istri. Jika
tidak demikian, maka perjanjian kredit dengan jaminan rumah

M
tersebut menjadi cacat hukum, dan dapat dibatalkan. Biasanya
bank (kreditor) sangat hati-hati mengucurkan kreditnya sehingga

U
dalam contoh di atas, bank meminta kepada istri untuk turut
menandatangani perjanjian kredit agar di belakang hari tidak

D
menjadi masalah hukum. Berbeda halnya dengan harta bawaan
masing-masing suami atau istri yang tidak memerlukan izin salah
satu pihak jika harta tersebut mau dijualkan ataupun dialihkan
kepada pihak lain. Suami atau istri mempunyai hak penuh untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap harta tersebut.
Pengaturan hukum atas harta bersama jika terjadi perceraian
adalah menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan
hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan
hukum-hukum lainnya. Dalam praktik, penggunaan hukum agama
atau hukum adat tergantung pada agama dan suku dari suami-
istri. Jika suami dan istri yang putus karena perceraian menganut
agama Islam, mereka selalu membagi harta benda berdasarkan
hukum Islam, namun tidak pula menutup kemungkinan dibagi
berdasarkan hukum adatnya. Bagi agama non Islam, pembagian
harta benda karena perceraian selalu tunduk pada hukum adat jika
mereka satu suku, dan kalau tidak ada kesepakatan diselesaikan
menurut hukum adat maka yang berlaku adalah hukum positif.

90 HUKUM KELUARGA
Dengan kata lain harta-harta yang dimiliki oleh pasangan
suami-istri sebelum perkawinan terjadi tidak menjadi bercampur
kepemilikannya atau kepemilikan terhadap harta bawaan tersebut
tidak menjadi kepemilikan secara kolektif. Akan tetapi hak
kepemilikan mengenai jenis harta ini dapat ditentukan menjadi
hak kepemilikan bersama atau kolektif bagi suami dan istri. Dasar
hukum dalam hal ini adalah Pasal 35 ayat 2 yang menyatakan:
“……..adalah di bawah penguasaan masing-masing pihak

Y
sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Hal ini mengandung arti yaitu apabila suami dan istri

M
menghendaki terjadinya percampuran salah satu atau kedua jenis
harta tersebut, maka percampuran harta ini dapat dimungkinkan

M
dengan perjanjian sebelumnya. Mengenai pembagian harta
bersama pasca perceraian, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang

U
Perkawinan tidak mengatur secara tegas merumuskan hukum
yang berlaku dalam pembagiannya karena diserahkan pembagian

D
tersebut kepada hukum masing-masing.
Hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 37 UU Nomor 1
Tahun 1974 yang menyatakan, bahwa: “Bila perkawinan putus
karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing”. Adapun yang dimaksud hukum masing-masing ini ialah
hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. Pembagian
menurut hukum masing-masing ini yang akan menjadi benturan
dalam penggunaan hukum yang berlaku yang dikenal dengan conflict
of law karena pengaturan harta benda perkawinan dan pembagian
harta bersama pasca perceraian menurut hukum agama dan hukum
adat berbeda yang memiliki aturan masing-masing.

B. Harta Bersama
1. Pengertian Harta Bersama
Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang
perkawinan berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan hingga

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 91


perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat perceraian,
kematian maupun putusan Pengadilan.6
Harta bersama meliputi:
a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;
b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau warisan
apabila tidak ditentukan demikian;
c. Utang–utang yang timbul selama perkawinan berlangsung

Y
kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami-
istri.

M
Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bahwa, harta bersama suami-istri hanyalah meliputi

M
harta-harta yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan,
sehingga yang termasuk harta bersama adalah hasil dan pendapatan

U
suami, hasil dan pendapatan istri.7

D
2. Harta Bersama Berdasarkan Hukum Adat
Secara umum, hukum adat tentang harta gono-gini hampir
sama di seluruh daerah. Yang dapat dianggap sama adalah perihal
terbatasnya harta kekayaan yang menjadi harta bersama (harta
persatuan), sedangkan mengenai hal-hal lainnya, terutama
mengenai kelanjutan dari harta kesatuan itu sendiri pada
kenyataanya memang berbeda di masing-masing daerah. Misalnya
di Jawa, pembagian harta kekayaan kepada harta bawaan dan harta
gono-gini setelah terjadi perceraian antara suami dan istri akan
bermakna penting sekali.
Hal ini berbeda sekali dengan kondisi dari salah satu keduanya
meninggal dunia, pembagian tersebut tidak begitu penting.
Sementara itu, di Aceh, pembagian harta kekayaan kepada harta

6
Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga
di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), hlm. 96.
7
J Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 66.

92 HUKUM KELUARGA
bawaan dan hareuta sauhareukat bermakna sangat penting baik
ketika terjadi perceraian maupun pada saat pembagian warisan
jika salah seorang pasangan meninggal dunia.
Meskipun pembagian harta gono-gini di berbagai daerah
boleh dikatakan hampir sama, tetapi ada juga yang dibedakan
berdasarkan konteks budaya lokal masyarakatnya. Salah satu
contoh di mana hukum adat yang cenderung tidak memberlakukan
konsep harta gono-gini, yaitu di daerah Lombok, Nusa Tenggara

Y
Barat. Menurut hukum adat Lombok, perempuan yang bercerai
pulang kerumah orangtuanya dengan hanya membawa anak dan

M
barang seadanya, tanpa mendapat hak gono-gini.

M
3. Harta Bersama Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-
undangan

U
Pasal 119 KUH Perdata menentukan bahwa, mulai saat

D
perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan
bulat antara kekayaan suami-istri, sekadar mengenai itu dengan
perjanjian kawin tidak diadakan dengan ketentuan lain. Persatuan
harta kekayaan itu sepanjang perkawinan dilaksanakan dan
tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan
antara suami dan istri apa pun. Jika bermaksud mengadakan
penyimpangan dari ketentuan itu, suami-istri harus menempuh
jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 139 sampai
Pasal 154 KUH Perdata.
Pasal 128 sampai dengan Pasal 129 KUH Perdata, menentukan
bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami-istri,
maka harta bersama itu dibagi dua antara suami-istri tanpa
memerhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu
sebelumnya diperoleh. Tentang perjanjian kawin itu dibenarkan
oleh Peraturan Perundang-undangan sepanjang tidak menyalahi
tata susila dan ketenteraman umum yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat.

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 93


Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama. Masing-masing suami-istri terhadap harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah pengawasan masing- masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri
dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas
persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami atau
istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan

Y
hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus
karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut

M
hukum masing-masing.
Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

M
tentang Perkawinan jo. Pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
yang menjelaskan bahwa, “Istri mempunyai hak sepenuhnya untuk

U
melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-
masing”. Mereka bebas menentukan terhadap harta tersebut tanpa

D
ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan, atau
diagunkan.
Juga tidak diperlukan bantuan hukum dari suami untuk
melakukan tindakan hukum atas harta pribadinya. Tidak ada
perbedaan kemampuan hukum antara suami-istri dalam menguasai
dan melakukan tindakan terhadap harta pribadi mereka. Ketentuan
ini bisa dilihat dalam Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam, di mana
ditegaskan bahwa tidak ada percampuran antara harta pribadi
suami-istri karena perkawinan dan harta istri tetap mutlak jadi
hak istri dan dikuasai penuh olehnya, begitu juga harta pribadi
suami menjadi hak mutlak dan dikuasai penuh olehnya.
Mengenai wujud harta pribadi itu sejalan dengan apa yang telah
dijelaskan dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Ketentuan ini sepanjang suami-istri tidak menentukan lain dalam
perjanjian perkawinan (hewelijksevoorwaarden) sebelum akad nikah
dilaksanakan. Adapun harta yang menjadi milik pribadi suami atau
istri adalah (1) harta bawaan, yaitu harta yang sudah ada sebelum

94 HUKUM KELUARGA
perkawinan mereka laksanakan, (2) harta yang diperoleh masing-
masing selama perkawinan tetapi terbatas pada perolehan yang
berbentuk hadiah, hibah, dan warisan. Di luar jenis ini semua
harta langsung masuk menjadi harta bersama dalam perkawinan.
Semua harta yang diperoleh suami-istri selama dalam ikatan
perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh
secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama.
Demikian juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan

Y
berlangsung adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi soal
apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah

M
apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau
juga tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu didaftarkan.

M
4. Harta Bersama Menurut Hukum Islam

U
Konsep harta gono-gini beserta segala ketentuannya memang

D
tidak ditemukan dalam kajian fikih (hukum Islam). Masalah harta
gono-gini atau harta bersama merupakan persoalan hukum yang
belum tersentuh atau belum terpikirkan (ghoir al-mufakkar) oleh
ulama-ulama fikih terdahulu, karena masalah harta gono-gini baru
muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern ini. Dalam
kajian fikih Islam klasik, isu-isu yang sering diungkapkan adalah
masalah pengaturan nafkah dan hukum waris. Hal inilah yang
banyak menyita perhatian kajian fikih klasik. Dalam menyoroti
masalah harta benda dalam perkawinan.
Hukum Islam tidak melihat adanya gono-gini. Hukum Islam
lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan
istri. Dalam kitab-kitab fikih, harta bersama diartikan sebagai harta
kekayaan yang dihasilkan oleh suami-istri selama mereka diikat
oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain disebutkan bahwa harta
bersama adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara
suami-istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan
yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dasar hukumnya
adalah Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat (32), bahwa bagi semua

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 95


laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua
wanita dari apa yang mereka usahakan pula.
Hukum Islam juga berpendirian bahwa harta yang diperoleh
suami selama perkawinan menjadi hak suami, sedangkan istri
hanya berhak terhadap nafkah yang diberikan suami kepadanya.
Namun Al-Qur’an dan Hadis tidak memberikan ketentuan yang
tegas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama berlangsung
perkawinan sepenuhnya menjadi hak suami, dan istri hanya

Y
terbatas atas nafkah yang diberikan suaminya. Al-Qur’an dan
hadis juga tidak menegaskan secara jelas bahwa harta benda yang

M
diperoleh suami dalam perkawinan, maka secara langsung istri
juga berhak terhadap harta tersebut. 8

M
Sebagian pendapat para pakar hukum Islam mengatakan
bahwa agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam

U
Al-Qur’an. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar
Harjono, dan Andoerraoef, serta diikuti oleh murid-muridnya.

D
Sebagian ahli lainnya mengatakan bahwa, suatu hal yang tidak
mungkin jika agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama
ini, sedangkan hal- hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci
oleh agama Islam dan ditentukan kadar hukumnya. Jika tidak
disebutkan dalam Al-Qur’an, maka ketentuan itu diatur dalam
hadis yang juga merupakan salah satu sumber hukum Islam juga.9
Perspektif hukum Islam tentang gono-gini atau harta
bersama sejalan dengan apa yang dikatakan Muhammad Syah
bahwa pencaharian bersama suami-istri mestinya masuk dalam
rubu’ mu’amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus.
Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang
kitab-kitab fikih adalah orang Arab yang pada umumnya tidak
mengenal pencaharian bersama suami-istri. Yang dikenal adalah
istilah syirkah atau perkongsian.

8
Alfarabi, Harta Bersama/Gono gini dalam Hukum Perdata, http://alfarabi1706.
blogspot.com/2013/01/harta-bersama-gono-gini-hukum-perdata.html. Diakses 13
Maret 2016, Pukul 09.00 Wib.
9
Ibid., hlm. 109.

96 HUKUM KELUARGA
Hukum Islam mengatur sistem terpisahnya harta suami-
istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain
(tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum Islam
memberikan kelonggaran kepada pasangan suami-istri untuk
membuat perjanjian perkawinan yang pada akhirnya akan mengikat
secara hukum.
Hukum Islam memberikan pada masing-masing pasangan baik
suami atau istri untuk memiliki harta benda secara perorangan yang

Y
tidak bisa diganggu masing-masing pihak. Suami yang menerima
pemberian, warisan, dan sebagainya berhak menguasai sepenuhnya

M
harta yang diterimanya itu tanpa adanya campur tangan istri. Hal
tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan demikian harta bawaan

M
yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak
milik masing-masing pasangan suami-istri.

U
C. Harta Bawaan

D
1. Pengertian Harta Bawaan
Harta Bawaan adalah harta yang dikuasai masing-masing
pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing atau istri berhak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya (Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan).
Dalam hal ini baik KUH Perdata maupun Undang-Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974 sama-sama berlaku bagi siapa saja.
(dengan kata lain, tunduk pada kedua hukum tersebut). sedangkan
harta bersama KUH Perdata dan harta bersama menurut UU
Perkawinan hanya untuk memperbandingkan atau memperjelas
pengertiannya. Harta yang selama ini dimiliki, secara otomatis
akan menjadi harta bersama sejak terjadinya suatu perkawinan
sejauh tidak ada perjanjian mengenai pemisahan harta (yang
dikenal dengan perjanjian perkawinan) sebelum atau pada saat
perkawinan itu dilaksanakan.

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 97


Bila harta yang dimiliki saat ini adalah sebuah rumah, mobil
serta deposito menjadi satu yang dikenal dengan nama harta
bersama, maka sebelum atau pada saat perkawinan dilaksanakan,
kedua pihak atas persetujuan bersama dapat melakukan perjanjian
perkawinan mengenai pemisahan harta secara tertulis yang
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga yang tersangkut (Pasal 29 ayat
(1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Y
Jika terjadi perceraian bila tidak terdapat adanya suatu
perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta, dalam praktik

M
biasanya memang mengalami kesulitan dalam pembuktiannya,
sehingga untuk lebih jelasnya mengenai “bagian masing-masing”,

M
diadakan perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta.
Harta bawaan adalah harta yang dikuasai oleh masing-masing

U
pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing atau istri berhak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta

D
bendanya (Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan). Harta warisan
merupakan harta bawaan yang sepenuhnya dikuasai oleh suami
atau istri, sehingga harta warisan tidak dapat diganggu gugat oleh
suami atau istri. Jika terjadi perceraian maka harta warisan (dari
orangtua) tetap ada di bawah kekuasaan masing-masing (tidak
dapat dibagi).
Undang-Undang yang melindungi pihak di mana pihak
tersebut mempunyai harta warisan disebut dengan perjanjian
perkawinan (Pasal 29 UU Perkawinan) sebagai klausul yaitu:
a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua
belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga tersangkut.
b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

98 HUKUM KELUARGA
c. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan di­
langsungkan.
d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak
dapat diubah, kecuali dari kedua belah pihak ada persetujuan
untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga.

2. Harta Bawaan dalam Keluarga

Y
Kewarisan merupakan salah satu mekanisme peralihan
hak kepemilikan atas suatu harta benda. Pasca musibah gempa

M
dan tsunami, persoalan kewarisan menjadi salah satu masalah
hukum yang membutuhkan penanganan yang baik dan seakurat

M
mungkin. Dengan jumlah korban jiwa yang sangat besar dalam
musibah tersebut, menjadikan seseorang secara seketika dapat

U
menyandang status ahli waris atau mendapatkan hak kepemilikan

D
atas suatu harta warisan, namun tidak jarang juga persoalan terjadi
bahwa harta warisan ini dapat menjadi bumerang dan bahkan
menyebabkan tali persaudaraan terganggu. Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 171 huruf e menjelaskan, bahwa makna ‘harta
warisan’ adalah sebagai harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggal dan membayar seluruh utang-utangnya.
Dari definisi ini berarti, harta warisan terdiri dari 2 jenis harta,
pertama harta bawaan dan kedua harta bersama dalam sebuah
keluarga, warisan bukan hanya berupa harta peninggalan dalam
arti harta yang selama ini dikumpulkan oleh suami dan istri, tetapi
adakalanya juga harta bawaan.
Ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa, “Harta bawaan
adalah harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri
sebelum menikah, serta hadiah, hibah atau warisan yang diterima
dari pihak ketiga selama perkawinan”.

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 99


Sebelum berbicara lebih jauh tentang harta bawaan, dalam
buku Hukum Adat Sketsa Asas, (karangan Iman Sudiyat, Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada) menjelaskan, pada
umumnya harta kekayaan keluarga itu dapat dibedakan ke dalam
4 (empat) bagian:
a. Harta warisan (dibagikan semasa hidup atau sesudah si
pewaris meninggal) untuk salah seorang di antara suami-istri,
dari kerabatnya masing-masing;

Y
b. Harta yang diperoleh atas usaha dan untuk sendiri oleh suami
atau istri masing-masing sebelum atau selama perkawinan;

M
c. Harta yang diperoleh suami-istri selama perkawinan atas
usaha dan sebagai milik bersama;

M
d. Harta yang dihadiahkan pada saat pernikahan kepada suami-

U
istri bersama.

Biasanya pasangan yang menikah sudah dibekali dengan

D
Undang-Undang Perkawinan, namun tidak sedikit yang hanya
sekadar menyimpan undang-undang tersebut tanpa membacanya,
tetapi hanya sebatas pelengkap buku nikah, sehingga banyak
pasangan suami-istri tidak terlalu memahami aturan yang ada di
dalamnya. Akibat belum adanya pemahaman yang benar tentang
harta bawaan ini, maka biasanya nasib harta bawaan sering menjadi
sengketa setelah harta warisan akan dibagikan.
Terlebih lagi bagi seorang istri, ketika suaminya lebih dahulu
meninggal dunia daripada dirinya, para istri banyak yang tidak
memahami hak-hak yang seharusnya diperoleh sebagai warisan
dari suaminya. Pasca musibah gempa dan tsunami di Aceh, banyak
perempuan yang berstatus janda karena suami mereka meninggal
atau hilang pada kejadian itu, yang tidak memperoleh hak-hak
waris yang memang menjadi hak mereka, bahkan dari harta bawaan
yang mereka miliki karena sebelumnya harta itu sudah dipakai
oleh suami untuk keperluan anda dan hukum dalam keseharian
selama berumah tangga. Rida Wahyuni, Staf lapangan Pusat Studi

100 HUKUM KELUARGA


dan Advokasi Hak Waris, Yayasan Bungong Jeumpa, mengatakan,
secara garis besar pemahaman tentang kepemilikan harta antara
suami dan istri secara umum dipahami oleh masyarakat, namun
belum ada penguatan tentang pemahaman tersebut. Sehingga akan
menjadikan satu kesulitan jika konflik keluarga terjadi, terkait
pembagian harta warisan. ketika salah satu dari suami atau istri
meninggal dunia.
Banyak warga yang belum bisa membedakan mana harta

Y
bawaan dan harta bersama. Hal ini terindikasi dari adanya beberapa
kasus yang masuk ke Mahmakah Syar’iyah tentang bagaimana

M
harus membagi harta warisan yang merupakan harta bersama dan
memilah dengan harta bawaan.

M
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama

U
perkawinan akan menjadi harta bersama. Adapun harta bawaan,
tetap menjadi harta milik masing-masing suami dan istri dan di

D
bawah penguasaan masing-masing selama perkawinan sesuai
dengan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan jo. Pasal 86 KHI menyebutkan, harta istri tetap
menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta
suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Akan tetapi kondisi ini dapat saja berubah jika pasangan suami-
istri, sebelumnya telah membuat sebuah janji perkawinan yang
menyebutkan posisi harta bawaan mereka. Akan tetapi, membuat
janji perkawinan ini masih sangat jarang dilakukan masyarakat kita,
meskipun hal ini telah diatur dalam perundang-undangan.
Janji perkawinan dibuat untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan, seperti perseteruan ketika pembagian warisan
dilakukan. Sebelum akad nikah berlangsung, kedua calon pasangan
suami-istri biasanya akan menyepakati tentang hal-hal tertentu
secara tertulis, yang kemudian disebut sebagai janji perkawinan.
Harta bawaan juga sering disebut sebagai harta asal, yang dimiliki
seseorang sebelum melangsungkan perkawinan. Harta bawaan

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 101


ini akan menjadi bagian harta warisan dan berhak diwarisi oleh
pasangan jika pasangannya meninggal dunia.
Harta bawaan tidak berhak diwarisi jika suami-istri berpisah
dengan bercerai. Seorang istri akan bisa mendapat bagian harta
bawaan suami sebesar ¼ bagian, jika sang suami meninggal
dunia dan tidak memiliki anak, dan akan mendapat 1/8 bagian
jika mereka memiliki anak. Suami akan mendapat ½ bagian harta
bawaan istri jika sang istri meninggal dunia, tidak mempunyai

Y
anak dan akan mendapat ¼ bagian jika mereka memiliki anak.
Hak dari pembagian harta bawaan akan gugur (suami atau

M
istri) manakala kedua pasangan ini berpisah dengan cara bercerai.
Terdapat banyak kasus di mana pihak istri atau pihak perempuan

M
sering menderita kerugian, karena tidak mendapatkan hak apa pun
dari peninggalan suaminya, terlebih lagi jika pasangan suami-istri

U
ini tidak memiliki anak. Besarnya peran dari pihak keluarga suami
sering kali mengaburkan hak-hak istri yang ditinggalkan.

D
Meski dalam posisi hukum, kaum perempuan sudah
disetarakan haknya, tetapi dalam pelaksanaan sehari-hari masih
banyak kasus yang bertolak belakang dengan peraturan yang
berlaku. Pemikiran akan keberadaan kaum perempuan sebagai
kaum marginal, masih sering ditemui di pedesaan dalam wilayah
Aceh. Oleh karena itu, penyuluhan hukum terkait dengan hukum
faraid ini juga harus terus diupayakan oleh berbagai pihak.
Dalam buku Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia: (refleksi
terhadap beberapa bentuk integrasi hukum dalam bidang kewarisan di
Aceh), disebutkan bahwa harta bawaan atau hareuta tuha di Aceh
diakui menurut hukum adat dan didefinisikan sebagai harta
benda yang diperoleh laki-laki atau perempuan sebelum menikah,
dalam bentuk warisan, hibah atau harta benda yang dibeli atau
dibuat. Pengamat Adat sekaligus pakar sejarah Aceh, Nurdin
Abdurrahman, mengatakan di sebagian besar daerah Aceh seperti
Aceh Pidie dan Aceh Besar, memberikan bekal harta kepada anak
saat mereka melangsungkan perkawinan sudah menjadi kewajiban

102 HUKUM KELUARGA


bagi orangtuanya. Harta bawaan ini juga dikenal dengan istilah
hareuta peunulang.
Hareuta Peunulang adalah penghibahan benda tidak bergerak
(rumah atau tanah) dari orangtua kepada anak perempuannya yang
telah menikah. Penghibahan tersebut umumnya disaksikan oleh
geuchik. Kebiasaan ini berkembang untuk mengimbangi kenyataan
bahwa pembagian warisan memberikan porsi lebih besar kepada
ahli waris laki-laki. Biasanya orangtua memberikan benda-benda

Y
yang tidak bergerak tersebut untuk menunjang kehidupan baru
yang akan dijalankan oleh anak mereka yang baru melangsungkan

M
pernikahan.
Ada orangtua yang memberikan barang-barang tepat pada

M
saat pernikahan berlangsung, tetapi ada pula yang memberikan
ketika cucu pertama mereka lahir. Pemberian ini juga bertujuan

U
untuk menyatakan bahwa seorang anak sudah resmi memiliki
penghidupan baru dan keluarga yang baru. Kegiatan pemisahan ini

D
juga sering disebut dengan istilah peumeukleh. Kegiatan ini biasanya
juga dilangsungkan di hadapan geuchik (lurah).
Pada saat penyerahan, biasanya geuchik akan menanyakan
berapa banyak harta seorang ayah yang akan diserahkan kepada
anak perempuannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kerugian pihak ahli waris anak laki-laki dimasa yang akan
datang. Oleh sebab itu, seorang ayah biasanya bersikap bijaksana
mempertimbangkan seluruh kekayaan dan jumlah anaknya
sehingga tidak akan menimbulkan ketidakadilan dalam pembagian
harta kepada ahli warisnya kelak.
Dari penjelasan di atas harus dicatat bahwa, meskipun hareuta
peunulang dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, namun
hareuta peunulang tidak merupakan bagian dari warisan orangtua,
dan juga tidak dapat menafikan hak waris anak perempuan. Hal
ini berarti bahwa hareuta peunulang merupakan harta bawaan dan
oleh karena itu tetap berada di bawah penguasaan mutlak dan
eksklusif dari anak perempuan tersebut. Hareuta peunulang tidak

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 103


boleh dibagi dengan ahli waris lainnya. Juga penting untuk dicatat
bahwa sangat kecil kemungkinannya bahwa ahli waris yang lain
akan mempersoalkan penyerahan hareuta peunulang karena tindakan
tersebut akan dianggap tidak menghormati keputusan almarhum
orangtuanya.

D. Perbedaan Harta Bersama dan Harta Bawaan dalam


Perkawinan

Y
Menurut Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, harta

M
benda perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan terbagi atas:10

M
1. Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang
perkawinan berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan

U
hingga perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat
perceraian, kematian maupun putusan Pengadilan.

D
Harta bersama meliputi:
a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;
b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau
warisan apabila tidak ditentukan demikian;
c. Utang–utang yang timbul selama perkawinan berlangsung
kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing
suami-istri.
2. Harta pribadi adalah harta bawaan masing-masing suami-istri
yang merupakan harta tetap di bawah penguasaan suami-istri
yang merupakan harta yang bersangkutan sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian kawin. Dengan kata lain,
harta pribadi adalah harta yang telah dimiliki oleh suami-istri
sebelum mereka melangsungkan perkawinan.

10
Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Op.Cit., hlm. 89.

104 HUKUM KELUARGA


Harta pribadi meliputi:
a. Harta yang dibawa masing-masing suami-istri ke dalam
perkawinan termasuk utang yang belum dilunasi sebelum
perkawinan dilangsungkan;
b. Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau pem­
berian dari pihak lain kecuali ditentukan lain;
c. Harta yang diperoleh suami atau istri karena warisan

Y
kecuali ditentukan lain;
d. Hasil-hasil dari harta milik pribadi suami-istri sepanjang

M
perkawinan berlangsung termasuk utang yang timbul
akibat pengurusan harta milik pribadi tersebut.

M
Menurut J. Satrio, berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, di dalam satu keluarga terdapat lebih dari

U
satu kelompok harta yaitu:11

D
1. Harta bersama
Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan harta bersama suami-istri hanyalah meliputi
harta-harta yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan
sehingga disimpulkan bahwa termasuk harta bersama adalah
hasil dan pendapatan suami, hasil dan pendapatan istri.
2. Harta pribadi
Menurut Pasal 35 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada saat
perkawinan dilangsungkan dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan tidak masuk ke
dalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain.
Harta pribadi tersebut dapat dibedakan lagi meliputi harta
bawaan suami atau istri yang bersangkutan, harta yang
diperoleh suami atau istri sebagai hadiah, hibah, atau warisan.

11
J Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Op.Cit., hlm. 66.

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 105


E. Hadiah dan Hibah
1. Hadiah
Dalam kitab Al-Hujjah Al-Balighah disebutkan bahwa, hadiah
itu dimaksudkan untuk mewujudkan kasih sayang di antara sesama
manusia. Maksud tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan
memberikan balasan serupa. Suatu hadiah dapat menjadikan orang
yang memberi dapat menimbulkan kecintaan pada diri penerima

Y
hadiah kepadanya, selain itu, ketentuan tangan di atas lebih baik
daripada tangan di bawah.

M
Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati
padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan, dan oleh karena

M
itu Rasulullah Saw. menerima hadiah dan menganjurkan untuk
saling memberi hadiah serta menganjurkan untuk menerimanya.

U
Al Imam Al Bukhari telah meriwayatkan hadis di dalam shahihnya
(2585) dan hadis ini memiliki hadis-hadis pendukung yang lain.

D
‘Aisyah ra berkata: “Rasulullah Saw. menerima hadiah dan
membalasnya”.

Dan di dalam Ash Shahihain (Shahih Al Bukhari dan Shahih


Muslim) dari hadis Abu Hurairah ra, berkata bahwa: “Rasulullah
Saw. apabila diberi makanan, beliau bertanya tentang makanan
tersebut, “Apakah ini hadiah atau shadaqah?.” Apabila dikatakan
shadaqah maka beliau berkata pada para sahabatnya “Makanlah!”.
Sedangkan beliau tidak makan, dan apabila dikatakan “Hadiah”,
beliau mengisyaratkan dengan tangannya tanda penerimaan beliau,
lalu beliau makan bersama mereka. (HR. Al Bukhari 2576) dan
(Muslim 1077).

Hadiah menurut istilah syar’i, yaitu menyerahkan suatu


benda kepada seorang tertentu agar terwujudnya suatu benda
kepada seseorang tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan
mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan
syarat.

106 HUKUM KELUARGA


Definisi di antara 3 (tiga) perkara ini adalah niat, maka
shadaqah diberikan kepada seseorang yang membutuhkan dan
dalam rangka mencari wajah Allah Ta’ala. Sedangkan hadiah
diberikan kepada orang fakir dan orang kaya yang diniatkan untuk
meraih rasa cinta dan balas budi atas hadiah yang telah diberikan.
Adapun hukum dari menerima dan menolak hadiah adalah
sebagai berikut:
a. Hukum Menerima Hadiah

Y
Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang diberikan
bingkisan hadiah, apakah wajib menerimanya ataukah

M
disunatkan saja, dan pendapat yang kuat bahwasanya
orang yang diberikan hadiah yang mubah dan tidak ada

M
penghalang syar’i yang mengharuskan menolaknya. Maka,
wajib menerimanya dikarenakan dalil-dalil berikut ini:

U
1) Rasulullah Saw. bersabda: “Penuhilah undangan,

D
jangan menolak hadiah, dan jangan menganiaya kaum
muslimin”. Di dalam Ash-Shahih (al-Bukhari dan
Muslim). Dari Umar ra, beliau berkata: Rasulullah Saw.
memberi ku sebuah bingkisan, lalu aku katakan, “Berikan
ia kepada orang yang lebih fakir dariku”. Maka beliau
menjawab, “Ambillah, apabila datang kepadamu sesuatu
dari harta ini, sedangkan engkau tidak tamak dan tidak
pula memintanya, maka ambillah dan simpan untuk
dirimu, jikalau engkau menghendakinya, maka makanlah,
dan bila engkau tidak menginginkannya, bersedekahlah
dengannya.”
2) Salim Bin Abdillah berkata: “Oleh karena itu, Abdullah
tidak pernah meminta kepada orang lain sedikit pun dan
tidak pula menolak bingkisan yang diberikan kepadanya
sedikit pun”. (Shahih At Targhib 836). Dan di dalam
sebuah riwayat, Umar ra berkata, “Ketahuilah demi Dzat
yang jiwaku di tangan-nya!, saya tidak akan meminta
kepada orang lain sedikit pun dan tidaklah aku diberikan

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 107


suatu pemberian yang tidak aku minta melainkan aku
mengambilnya,” (shahih At Targhib 836).
3) Rasulullah Saw. tidaklah menolak hadiah kecuali
dikarenakan oleh sebab yang syar’i. Oleh karena adanya
dalil-dalil ini maka wajib menerima hadiah apabila tidak
dijumpai larangan syar’i.
4) Demikian pula di antara dalil-dalil yang menunjukkan
wajibnya, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam

Y
Ahmad dari hadis Abu Hurairrah ra, beliau berkata,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Barangsiapa

M
yang Allah datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini,
tanpa dia memintanya, maka hendaklah menerimanya,

M
karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang Allah
kirimkan kepadanya.” (Shahih At-Targhib 839).

U
b. Hukum Menolak Hadiah

D
Setelah jelas bagi kita wajib menerima hadiah, maka tidak
boleh menolaknya, kecuali dikarenakan unsur syar’i. Nabi
Muhammad Saw. melarang kita untuk menolak hadiah, hal ini
berdasarkan sabda beliau, yang menyatakan bahwa: “jangan
kalian menolak hadiah”.

2. Hibah
Para imam mazhab sepakat hibah menjadi sah hukumnya jika
diakukan dengan 3 (tiga) perkara yaitu: Ijab, Kabul, dan Qabdhu
(serah terima barang yang dihibahkan). Oleh karena itu, menurut
pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali, hibah tidak sah kecuali
berkumpulnya tiga perkara itu. Maliki berpendapat bahwa, sah dan
lazimnya suatu hibah itu tidak memerlukan serah terima barang
tetapi cukup adanya ijab dan kabul saja.
Serah terima barang merupakan syarat pelaksanaan dan syarat
sempurnanya hibah. Apabila orang yang menghibahkan dengan
mengakhirkan penyerahan barang, padahal yang menerima hibah

108 HUKUM KELUARGA


terus-menerus memintanya hingga orang yang menghibahkan
mati, sedangkan yang menerima terus memintanya (karena belum
menerima hibahnya tersebut) hibahnya tidak menjadi batal dan
ia berhak menerima kembali kepada ahli warisnya.
Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada
orang lain diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai tanda
kasih sayang. Memberikan sesuatu kepada orang lain, asal barang
atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat

Y
pahala dari Allah Swt. Oleh karena itu, hibah hukumnya adalah
mubah. Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah:

M
177, yang berbunyi:

“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,

M
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan)

U
hamba sahaya”.

D
Selain itu, hibah juga memiliki rukun dan syarat, jenis hibah,
serta hikmah adanya hibah. Berikut akan diuraikan yang terkait
dengan hibah, adalah sebagai berikut:
a. Rukun dan Syarat Hibah
1) Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah
baligh (dewasa), dilakukan atas dasar kemauan sendiri,
dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang
berhak memiliki barang.
2) Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), di antaranya:
“Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada
waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata
atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang
masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah
dilakukan hibah kepadanya”.

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 109


3) Barang yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), di
antaranya adalah, jelas terlihat wujudnya, barang yang
dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul
milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status
kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada
penerima hibah.
4) Akad (Ijab dan Kabul), misalnya si penerima menyatakan,

Y
“saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si
penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.

M
b. Jenis Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

M
1) Hibah barang adalah memberikan harta atau barang

U
kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat
harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada

D
tendensi (harapan) apa pun. Misalnya, menghibahkan
rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
2) Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak
lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan
itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi
milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah
manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna
atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah
berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-
amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman
(ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu,
barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
c. Hikmah hibah
Adapun hikmah hibah adalah:
1) Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
2) Menumbuhkan sikap saling tolong menolong

110 HUKUM KELUARGA


3) Dapat mempererat tali silaturahmi
4) Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.

F. Pengurusan Harta dalam Perkawinan


Pengaturan tentang pengurusan harta kekayaan perkawinan
dalam KUH Perdata didasarkan pada Maritale Macht, sebagaimana
diatur dalam Pasal 105 KUH Perdata, yang menentukan bahwa,

Y
“Suami adalah kepala persekutuan suami-istri (De man is het hoofd
der echtvereeniging)”, sedangkan istri harus taat dan patuh kepada

M
suaminya (Pasal 106 KUH Perdata). Selanjutnya, dalam Pasal 108
KUH Perdata ditentukan, “Bahwa seorang wanita yang terikat tali
perkawinan dalam melakukan perbuatan hukum harus mendapat

M
izin lebih dahulu dari suaminya”. Oleh karena itu, Pasal 108

U
mengandung ketidakcakapan berbuat hukum (onbekwaamheid)
bagi istri. Menurut Pitlo, kedua asas tersebut (asas maritale macht

D
dan asas onbekwaamheid) merupakan 2 (dua) asas yang berbeda
dan menimbulkan akibat hukum yang berlainan. Asas maritale
macht mengakibatkan suami berwenang mengelola sebagian besar
harta kekayaan, sedangkan asas onbekwaamheid mengakibatkan
dalam setiap melakukan perbuatan hukum, istri harus mendapat
persetujuan lebih dahulu dari suami, karena kedua asas tersebut
berbeda, maka tidak dapat diterapkan secara berdampingan.
Suatu ketidaksengajaan telah terjadi adalah, kedua asas tersebut
diterapkan secara bersama-sama dalam KUH Perdata.12
Berdasarkan Asas maritale macht, maka dalam Pasal 124 ayat
(1) dan ayat (2) KUH Perdata ditentukan bahwa, “Suami sendiri
harus mengurus (beheren) sendiri harta kekayaan perkawinan,
tanpa campur tangan istri, suami diperbolehkan menjual,
memindahtangankan dan membebani.”
Menurut Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata ini, suami
diberi wewenang yang sangat besar dalam mengurus (beheren) harta

12
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op.Cit., hlm. 47-48.

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 111


kekayaan perkawinan. Istilah beheren di sini dipergunakan dalam arti
luas yaitu, mengelola. Yang meliputi tindakan pengurusan (beherr)
dalam arti sempit dan tindakan memutus (beschikken). Beheren dalam
arti sempit menurut Pasal 124 ayat (1) KUH Perdata meliputi semua
perbuatan untuk memelihara agar harta kekayaan itu tetap utuh dan
berbuah, atau melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan tujuan
atau fungsinya, sehingga harta kekayaan tersebut menghasilkan,
misalnya mengolah tanah, menyewakan rumah, melakukan

Y
perbaikan atau reparasi. Beschikken (tindakan memutus) berisi
tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan yuridis atas harta

M
kekayaan perkawinan, yang dalam Pasal 124 ayat (2) KUH Perdata
disebutkan sebagai perbuatan menjual, memindahtangankan dan

M
membebani. Menurut Pasal 124 ayat (1) KUH Perdata, suami sendiri
harus mengelola harta kekayaan persatuan.

U
Selajutnya, Pasal 124 ayat (2) KUH Perdata menetukan, tanpa
campur tangan istri, suami berwenang menjual, memindahtangankan

D
atau membebani harta persatuan perkawinan. Istilah mengelola
(beheren) dalam ayat (1) tersebut dipergunakan dalam arti luas,
meliputi tindakan pengurusan (beheren dalam arti sempit) dan
tindakan beschikken (tindakan memutus) sebagaimana diatur dalam
ayat (2) Pasal 124 KUH Perdata. Kewenangan mengelola (besturen)
suami berlaku terhadap harta persatuan, atas nama siapa pun harta
persatuan itu terdaftar. Dalam suatu perkawinan, harta persatuan
dapat berasal dari masing-masing suami-istri atau hasil mereka
bersama. Sebelum perkawinan berlangsung, kemungkinan masing-
masing suami atau istri mempunyai harta, jadi status hartanya
adalah hart prive suami atau hart prive istri. Pada saat perkawinan
berlangsung, harta tersebut dibawa masuk dalam perkawinan
kemudian menurut hukum statusnya berubah menjadi harta
persatuan. Selain berasal dari harta bawaan masing-masing suami
atau istri, harta persatuan juga berasal dari harta yang diperoleh
selama perkawinan berlangsung. Harta persatuan ini dapat berupa
benda tetap maupun benda bergerak yang terdiri atas nama atau

112 HUKUM KELUARGA


tidak atas nama, benda tetap maupun benda bergerak, yang terdiri
atas nama istri yang diperoleh sebelum perkawinan biasanya
dibiarkan tetap atas nama istri. Terhadap harta persatuan yang
terdiri atas nama istri tersebut dapat dijual, dipindahtangankan atau
dibeli oleh suami tanpa campur tangan istri. Jadi, menurut Pasal 124
ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata, benda tetap (misalnya tanah)
maupun benda bergerak (misalnya saham) yang terdiri atas nama
istri, baik diperoleh sebelum maupun sepanjang perkawinan dapat

Y
dijual, dipindahtangankan atau dibebani oleh suami tanpa kuasa,
izin atau persetujuan istri.

M
Terhadap harta kekayaan istri, hak pengelolaan suami
dibedakan atas harta milik istri yang berupa benda tetap dan benda

M
bergerak. Terhadap harta istri yang berupa benda tetap, suami
hanya berwenang melakukan beheren (pengurusan) saja. Beschikken

U
terhadap kekayaan istri yang berupa benda tetap adalah batal demi
hukum (nietheid van rechtswege), karena perbuatan hukum tersebut

D
dilakukan oleh orang yang tidak berwenang.
Terhadap harta istri yang berupa benda bergerak, terdapat
perbedaan pendapat. HR dalam Arrestnya tertanggal 22 Juni
1888 dan tanggal 26 April 1940 menyatakan bahwa, terhadap
harta private istri yang berupa benda bergerak, suami berwenang
melakukan tindakan beschikken. Kewenangan ini didasarkan pada
penafsiran a contrario terhadap Pasal 105 ayat (5) KUH Perdata.
Dalam mengelola harta persatuan suami tidak bertanggung jawab
kepada istri. Untuk itu suami tidak diminta oleh istri untuk
memberi perhitungan dan pertanggungjawaban, juga setelah
persatuan harta kekayaan terputus.
Dengan demikian, kekuasaan suami atas harta persatuan
sangatlah besar. Suami dapat menghabiskan harta persatuan tanpa
sepengetahuan istri. Wewenang mengelola suami ini muncul
dari undang-undang, jadi dalam melakukan pengelolaan, suami
melakukan berdasar kewenangannya sendiri, tidak mendapat
kuasa dari istri, karena tersebut merupakan bagian dari maritale

Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan 113


macht. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan,
kekuasaan suami atas harta kekayaan istri mempunyai 2 (dua)
corak, yaitu:
1. Intern (antara suami-istri) dalam arti, merupakan hak suami
tersendiri.
2. Ekstern (terhadap pihak ketiga) yang berarti suami adalah
wakil (vertegenwoordiger) dari istri.

Y
Berdasarkan Pasal 125 KUH Perdata, diatur jalan keluar
apabila suami tidak dapat melakukan pengelolaan atas harta

M
persatuan, yaitu suami dalam keadaan tidak hadir atau dalam
keadaan memaksa untuk melakukan tindakan terhadap harta

M
persatuan dalam keadaan demikian, maka oleh Pengadilan Negeri
si istri dapat diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum

U
memindahtangankan atau membebani (beschikken) harta persatuan.
Walaupun tidak disebut dalam Pasal 125 KUH Perdata, namun

D
mestinya Pengadilan Negeri berwenang memberi kuasa kepada
istri untuk melakukan pengurusan (beheren) atas harta persatuan,
karena tindakan pengurus ini sangat bermanfaat bagi suami-istri
yang bersangkutan. Selain itu, akibat hukum yang ditimbulkan
oleh tindakan pengurusan (beheren) tidak begitu besar. Kekuasaan
suami dalam mengelola yang sedemikian besarnya atas harta
perkawinan tersebut dibatasi oleh undang-undang dan dapat pula
dibatasi oleh perjanjian.

114 HUKUM KELUARGA


Bab 4
ANAK DI LUAR PERKAWINAN

M Y
UM
A. Latar Belakang

D
Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan
agar keluarga itu selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang
merupakan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk keluarga
yang bahagia, kekal dan sejahtera. Dari kehidupan suami-istri di
dalam suatu ikatan perkawinan tersebut akan berakibat penting
dalam masyarakat yaitu apabila mereka dianugerahi keturunan,
dengan keturunannya mereka bisa membentuk suatu keluarga
sendiri. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk
membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana
kedua suami-istri memikul amanah dan tanggung jawab, si istri
oleh karenanya akan mengalami suatu proses psikologis yang berat
yaitu kehamilan dan melahirkan yang membutuhkan pengorbanan.
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan banyak disinggung perihal masalah
kekeluargaan yang berhubungan erat dengan suatu dasar
perkawinan, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
menjelaskan, bahwa:

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 115


“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.

Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan tersebut di


atas, memberi suatu rumusan arti dan tujuan dari perkawinan.
Arti “Perkawinan” dimaksud adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri, sedangkan

Y
“tujuan” perkawinan dimaksud adalah membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

M
Yang Maha Esa.
Kehadiran seorang anak merupakan kebahagiaan dan

M
kesejahteraan bagi seorang ibu maupun keluarganya karena anak
merupakan buah perkawinan dan sebagai landasan keturunan.

U
Anak sebagai fitrah Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapatkan
perawatan sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa

D
yang akan meneruskan cita-cita bangsa, yaitu mewujudkan suatu
masyarakat yang adil dan makmur. Setiap anak dapat atau mampu
memikul tanggung jawabnya di masa depan, maka perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara normal baik jasmani, rohani maupun sosial.
Anak merupakan generasi muda pewaris suatu bangsa.
Suatu bangsa akan menjadi kuat, makmur dan sejahtera apabila
generasi mudanya terbina, terbimbing, dan terlindung hak-
haknya. Pembinaan anak merupakan tanggung jawab orangtua
atau keluarga, masyarakat, sekolah dan pemerintah serta anak
itu sendiri akan sangat menentukan kelangsungan hidup serta
pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani, dan mental
anak sebagai kader penerus perjuangan bangsa. Dalam proses
pembangunan apabila tidak ada upaya perlindungan terhadap
anak maka akan menimbulkan berbagai masalah sosial dan ini
akan mengganggu jalannya pembangunan itu sendiri, mengganggu
ketertiban dan keamanan negara.

116 HUKUM KELUARGA


Pentingnya mempersoalkan anak disebabkan karena berkaitan
dengan harta warisan. Selain itu, hukum ingin memastikan bahwa
anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu adalah sah, dan
secara sosiologis tidak menjadi pergunjingan dalam masyarakat
dengan memberi label anak haram, anak tidak sah, anak zina, dan
sebagainya, yang pada gilirannya dapat memengaruhi psikologi
anak tersebut. Apabila anak yang dilahirkan tidak sah, oleh seorang
istri misalnya istri berzina dengan pria lain, maka suaminya

Y
dapat menyangkal anak tersebut dengan mengajukan bukti-bukti
yang cukup. Penyangkalannya diajukan kepada pengadilan untuk

M
memberikan keputusan hukum tentang anak tersebut.1
Kedudukan anak luar kawin dalam kehidupan sehara-hari

M
adalah serba sulit, di satu pihak karena status yang demikian
oleh sebagian masyarakat mereka dipandang rendah dan hina, di

U
lain pihak dalam hal kesejahteraan dan hak keperdataan masih
mendapat pembatasan-pembatasan.

D
Sejak lahir manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban,
begitu juga dengan anak luar kawin, mereka juga sebagai pendukung
hak dan kewajiban sebagaimana dengan anggota masyarakat
lainnya. Karena itu, anak luar kawin juga berhak mendapatkan
perlindungan hukum termasuk dalam bidang keperdataan seperti
yang dapat dinikmati oleh anak-anak lainnya. Tidak boleh ada
diskriminasi dalam hal menyangkut hak asasi manusia. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945, yang menyatakan bahwa: “Semua warga negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum”.
Walaupun disadari bahwa anak sebagai subjek hukum dan
sekaligus sebagai generasi pewaris untuk pembangunan dan
memimpin negara di kemudian hari, namun, dalam kenyataannya
masih banyak anak-anak yang belum menikmati haknya. Menurut
ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 67.

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 117


1974 tentang Perkawinan, bahwa kedudukan anak luar kawin
akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, namun sampai saat ini
belum terwujud. Hal demikian berarti sarana hukum yang tersedia
bagi penyelesaian masalah anak luar kawin sampai saat ini belum
memadai.

1. Pengertian Hubungan di Luar Nikah


Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang

Y
pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

M
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian untuk melangsungkan
suatu perkawinan, maka harus memenuhi syarat-syarat maupun

M
ketentuan serta tata cara melakukan perkawinan. Hak dan
kewajiban suami dan istri dan berakhirnya perkawinan dengan

U
perceraian juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1

D
Tahun 1974 tentang Perkawinan.2
Bertitik tolak dari hal-hal tersebut, di sini hubungan luar nikah
dapat kami beri pengertian sebagai berikut:

“Hubungan luar nikah (kawin) adalah hubungan antara laki-laki dan


perempuan sebagaimana layaknya suami-istri tanpa dilandasi dengan
ikatan perkawinan seperti dimaksud Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan”.

Hubungan tersebut tidak memiliki tali perkawinan, oleh


karena itu, tidak ada persyaratan yang harus dipenuhi seperti
dalam melakukan perkawinan maupun hak dan kewajiban yang
jelas di antara mereka. Bentuk-bentuk hubungan luar nikah ini
biasanya berupa hubungan seks dan hidup bersama, berikut akan
dijelaskan pengertian keduanya:3

2
Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan di Luar Nikah, (Jakarta: Djambatan,
1998), hlm. 72.
3
Ibid., hlm. 73.

118 HUKUM KELUARGA


a. Hubungan seks
Setiap manusia normal yang tumbuh dewasa dalam dirinya
pasti memiliki rasa tertarik kepada lawan jenisnya untuk
melakukan hubungan seks atau hubungan kelamin. Apabila
hubungan seks dilakukan di luar perkawinan, maka hubungan
tersebut seperti yang banyak di dengar di masyarakat
dilakukan dengan teman, dengan pacar, dengan pekerja seks
komersial (PSK), dan terkadang dengan orang lain yang baru

Y
dikenal. Bentuk hubungannya dapat berupa perzinaan dan
pemerkosaan.

M
b. Hidup bersama
Hubungan seks sebagaimana dibicarakan di atas merupakan

M
hubungan luar nikah yang sifatnya hanya sebentar. Biasanya
setelah hubungan itu selesai, mereka bubar dan pulang masing-

U
masing ke rumahnya. Berbeda dengan hidup bersama tanpa

D
nikah, mereka tidak ingin hubungannya hanya sebatas hubungan
seks saja, tetapi mereka bersepakat untuk tinggal berdua selama
mereka mau. Dalam kehidupan masyarakat hidup bersama tanpa
nikah kebanyakan dilakukan kaum tunawisma dan tunakarya,
mereka umumnya menempati gubuk-gubuk liar maupun di
bawah jembatan. Ada juga kaum terpelajar atau dari kalangan
berduit yang hidup kumpul “kebo”. Tapi jumlahnya sangat sedikit
dan biasanya pelakunya tidak ingin diketahui identitasnya karena
malu kalau diketahui orang lain.

2. Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Hubungan Luar


Nikah
Adanya kenyataan di masyarakat mengenai hubungan luar nikah
tentu tidak terlepas dari faktor-faktor yang mendorong terjadinya
hubungan itu. Menurut pendapat Gatot Supramono, ada beberapa
faktor yang mendorong terjadinya hubungan luar nikah, yaitu:4

4
Ibid., hlm. 75.

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 119


a. Faktor cinta
Cinta merupakan salah satu faktor yang paling banyak
memengaruhi terjadinya hubungan luar nikah. Kalau ada
laki-laki dan wanita yang sudah sama-sama jatuh cinta, pada
umumnya mereka sering “lupa diri”. Pada kenyataannya,
mereka rela mengorbankan apa saja yang di miliki oleh dirinya
masing-masing. Mereka rela melakukan apa yang mereka
anggap demi cinta yang utuh. Faktor ini sering menyebabkan

Y
terjadinya perbuatan yang menyimpang, misalnya hamil di
luar nikah yang terjadi pada remaja. Hal tersebut menjadi

M
jalan pintas bagi seseorang untuk melakukan hidup bersama
tanpa nikah.

M
b. Faktor mau sama mau
Berbeda dari faktor sebelumnya, faktor mau sama mau antara

U
pria dan wanita melakukan suatu hubungan tidak selalu

D
bermula dari adanya cinta. Pada faktor ini, sepasang manusia
(pria dan wanita) yang berlainan jenis hanya sebatas saling
tertarik saja, bukan karena di landasi saling cinta antara
keduanya. Mereka mau melakukan hubungan luar nikah
karena adanya keinginan sementara (rasa tertarik), hubungan
tersebut biasanya hanya dilakukan sekali atau sesekali.
Bentuknya hanya berupa hubungan seks saja dan tidak untuk
hidup bersama.
c. Tuntutan biologis (mencari kepuasan semata)
Faktor lain yang mendorong terjadinya hubungan di luar nikah
adalah untuk penyaluran tuntutan biologis. Pada kategori ini
pada umumnya sering terjadi di kalangan remaja maupun
di kehidupan rumah tangga. Di kalangan remaja misalnya,
banyaknya wanita hilang keperawanannya bahkan hamil di
luar nikah karena kurang mampu meredam tuntuan biologis.
Di kalangan rumah tangga, hal ini sering terjadi pada rumah
tangga yang sedang bermasalah, terutama ada hambatan
dalam melakukan hubungan suami-istri.

120 HUKUM KELUARGA


d. Faktor ekonomi
Tekanan ekonomi serta menginginkan kehidupan yang lebih
baik yang dijadikan oleh sebagian orang mau melakukan
hubungan di luar nikah demi mendapatkan uang. Bentuk
perbuatan itu berupa perbuatan pekerja seks pada umumnya
yang dilakukan oleh kaum wanita pekerja seks komersial.
Selain itu, karena faktor ekonomi kurang menunjang
kebutuhan hidup, maka sebagian orang rela untuk hidup

Y
bersama tanpa nikah. Mereka yang hidup di gubuk-gubuk liar
atau yang bertempat tinggal di bawah jembatan yang hidupnya

M
seperti layaknya pasangan yang sudah berumah tangga dan
mempunyai anak. Mereka bukannya tidak mau melakukan

M
perkawinan, tetapi tidak mempunyai biaya untuk kepentingan
tersebut.

U
3. Permasalahan yang Timbul Akibat Hubungan di Luar Nikah

D
Akibat adanya hubungan di luar nikah menyebabkan beberapa
permasalahan yang terjadi di masyarakat, yaitu:
a. Pada hubungan di luar nikah terutama atas dasar saling cinta,
biasanya sering terjadi pada pasangan remaja (muda mudi)
saat ini, pergaulan yang kurang sehat sering menimbulkan
wanita hamil di luar nikah. Kondisi seperti ini menimbulkan
paksaan terhadap laki-laki yang telah menghamilinya untuk
bertanggung jawab dan membuat perjanjian untuk mengawini
perempuan tersebut. Karena kondisi tersebut sangat besar
bagi si perempuan, yaitu menjadi hamil dan melahirkan anak
tanpa pernah melakukan perkawinan, sebab akan memberi
efek negatif bagi dirinya maupun keluarganya di hadapan
masyarakat. Keadaan-keadaan seperti ini yang membuat
adanya perjanjian antara keduanya, yaitu untuk menikahi
si perempuan yang telah hamil di luar nikah, apabila janji
tersebut dipenuhi maka tidak akan menjadi masalah, namun
bagaimana halnya jika laki-laki tersebut di kemudian hari

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 121


ternyata ingkar janji, dan apakah laki-laki tersebut dapat
dimintai pertanggungjawaban secara hukum?.
b. Dalam hukum pidana, hubungan di luar nikah tersebut
hanya dilarang apabila salah satu pihak atau kedua-duanya
telah menikah (terikat perkawinan) dengan orang lain. Lalu
bagaimana dengan masalah jika pelakunya adalah orang yang
belum menikah dan salah satu pihak merasa dirugikan?.
c. Apabila dari hubungan di luar nikah tersebut melahirkan

Y
seorang anak, yang menurut Undang-Undang Perkawinan
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya saja, apakah

M
laki-laki yang menghamili masih memiliki hubungan hukum
dengan anak tersebut?.

M
B. Anak Luar Kawin

U
1. Anak Luar Kawin Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum

D
Perdata
Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli
waris diatur dalam Pasal 280 jo Pasal 863 KUH Perdata. Anak luar
kawin yang berhak mewarisi tersebut merupakan anak luar kawin
dalam arti sempit. Mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak
sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina,
dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh
pembuat Undang-Undang dalam Pasal 272 jo 283 KUH Perdata
(tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak
mewaris adalah apa yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 280
KUH Perdata.
Pembagian tersebut dilakukan karena undang-undang yang
telah mengaturnya. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah di
tetapkan, memberikan akibat hukum yang berbeda atas status anak
seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang
sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak
sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283

122 HUKUM KELUARGA


KUH Perdata, dapat diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280
KUH Perdata dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud
dalam Pasal 283 KUH Perdata adalah berbeda.
Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal 283 KUH
Perdata, dihubungkan dengan Pasal 273 KUH Perdata, bahwa
anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya.
Terhadap anak sumbang, Undang-Undang dalam keadaan tertentu
memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan

Y
dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30
ayat (2) KUH Perdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak

M
sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUH Perdata).
Pengecualian seperti ini tidak diberikan untuk anak zina.

M
Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak
pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan

U
kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya
(maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan

D
badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang
lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak
relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan
luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana
salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang
lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan
dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,
yang antara keduanya berdasarkan ketentuan Undang-Undang ada
larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUH Perdata).
Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah
anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat
perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling
menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah
oleh ayahnya (Pasal 280 KUH Perdata).
Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya
karena kelahiran, kecuali apabila anak itu overspelig atau

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 123


bloedsrhenning (anak zina). Antara ayah dan anak hanya terjadi
hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUH Perdata).
Pasal 280 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa: “Dengan
pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin,
menimbulkan hubungan perdata antara anak dan bapak atau
ibunya”. Artinya adalah, bahwa antara anak luar kawin dan “ayah”
(biologisnya) maupun “ibunya” pada asasnya tidak ada hubungan
hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau “ayah” dan/atau

Y
“ibunya”memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya.
Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan/atau ibunya,

M
pada asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai
hubungan hukum dengan siapa pun.

M
Kalau kita melihat prinsip seperti tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa hubungan hukum antara orangtua dan anaknya

U
yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya.
Akan tetapi, jika dihubungkan dengan anak luar kawin, hubungan

D
hukum antara anak luar kawin dan ayah yang mengakuinya
didasarkan atas hubungan darah, yaitu melalui suatu pengakuan.
Dengan demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan
darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan
anak luar kawin di dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah
dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris yang
diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan
anak sah.
Anak sah berada di bawah kekuasaan orangtua sebagaimana
diatur dalam Pasal 299 KUH Perdata, sedangkan anak luar
kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian
sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUH Perdata.
Untuk dapat menjadi seorang ahli waris KUH Perdata telah
menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Berdasarkan Pasal 832 KUH Perdata untuk dapat menjadi
ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar
kawin. Dimungkinkan menjadi ahli waris melalui pemberian

124 HUKUM KELUARGA


melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUH
Perdata.
b. Berdasarkan Pasal 836 KUH Perdata, ahli waris harus sudah
ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan
ini disimpangi oleh Pasal 2 KUH Perdata yang menyebutkan,
bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan
dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si
anak menghendakinya.

Y
Ketentuan Pasal 832 KUH Perdata memperjelas kedudukan

M
masing-masing ahli waris, yakni harus didasari oleh suatu
hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu
diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris

M
sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUH

U
Perdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun
tidak. KUH Perdata tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang

D
jelas tentang anak luar kawin, KUH Perdata hanya memberikan
penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 250 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa:

“Anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan/atau


dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah”.

Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUH


Perdata tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang disebut
dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal 43 UU
Perkawinan, yaitu:
a. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;
b. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 125


Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 menyebutkan
bahwa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menentukan bahwa:

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum


masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”

Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat

Y
di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil bagi yang
bukan beragama Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti

M
yang diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, bertujuan untuk melindungi warga negara dalam

M
membangun keluarga dan memberikan kepastian hukum terhadap
hak suami, istri, dan anak-anaknya.

U
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan,
menyebutkan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

D
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”. Begitu pula di
dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa:
a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat;
b. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 1954.

Walaupun pernikahan siri dianggap sah menurut agama Islam,


yaitu adanya ijab dan kabul, wali nikah dan pengantin yang sudah
cukup umur, namun perkawinan tersebut juga harus sah secara
hukum negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum negara,
maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat
dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya.
Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu
yang melahirkannya.

126 HUKUM KELUARGA


Dari 5 (lima) rukun nikah itu tak ada seorang ulama (empat
mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat.
Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadis Sahih
yang secara eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi
jika pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya tetap
dianggap anak sah.
Sebuah Hadis Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya

Y
bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina
hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.” Dari hadis itu,

M
dapat dijelaskan anak juga bernasab (hubungan hukum) dengan
lelaki yang memiliki tempat tidur yang sah.

M
Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara,
perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab

U
anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi
hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab pada

D
ibu dan bapaknya, kecuali karena perzinaan anak hanya bernasab
dengan ibunya.
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan memberikan definisi bagi anak yang sah yaitu, “anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah”. Sedangkan Pasal 250 KUH Perdata menentukan bahwa,
“tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”. Berdasarkan
kedua ketentuan tersebut, keabsahan suatu perkawinan sangat
menentukan kedudukan hukum dari anak-anak, anak yang
dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh
si suami sebagai bapaknya.
Kompilasi Hukum Islam tidak secara tegas memberikan
definisi atau batasan tentang anak, namun hanya memberikan
pengertian anak secara negatif, sebagaimana yang dijelaskan dalam
Pasal 98 ayat (1) yaitu: “Batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 127


anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan”.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 ayat (2) menentukan bahwa,
anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun dan belum pernah menikah. Batas umur 21 (dua puluh
satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan
kepentingan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental

Y
seorang anak dicapai pada umur tersebut.
Batas umur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya,

M
dan tidak pula mengurangi kemungkinan kemampuan untuk
itu berdasarkan hukum yang berlaku. Anak kandung adalah

M
anak yang lahir dari kandungan ibu dan ayah kandungnya.
Sedangkan anak sah adalah anak kandung yang lahir dari

U
perkawinan orangtuanya yang sah menurut ajaran agama. Anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

D
perkawinan yang sah. Apabila suatu perkawinan yang menurut
hukum sah, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan itu akan
merupakan anak yang sah pula.

2. Kedudukan dan Pengakuan Anak yang Lahir di Luar


Perkawinan
Berdasarkan ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, seorang
anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan
orangtuanya apabila telah diakui secara sah. Dengan demikian,
apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orangtuanya,
maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan
bapak maupun ibu biologisnya.
Berbeda halnya dengan UU No. 1 Tahun 1974, dalam KUH
Perdata dinyatakan secara tegas bahwa anak tidak sah adalah anak
yang dilahirkan setelah 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan

128 HUKUM KELUARGA


dibubarkan.5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal
istilah anak luar kawin. Istilah anak luar kawin (Erkent Natuurlijke
Kind) dijumpai dalam KUH Perdata Bab XII Bagian Kedua. Sebutan
lain untuk anak luar kawin adalah anak wajar. Selain itu, dikenal
pula istilah anak zina dan anak sumbang.6
Anak luar kawin dapat diartikan dalam 3 (tiga) golongan,
yaitu:
a. Anak zina, yaitu anak yang dilahirkan di luar perkawinan

Y
antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu
atau keduanya terikat dengan perkawinan lain;

M
b. Anak sumbang, yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan
antara seorang pria dengan seorang wanita yang menurut

M
undang-undang tidak diperkenankan melakukan perkawinan
satu sama lain;

U
c. Anak alami, yaitu anak yang dilahirkan di luar perkawinan,

D
tetapi kedua orangtuanya tidak terikat dengan perkawinan
lain.7

Dari ketiga jenis anak luar kawin tersebut, tidak semuanya


dapat memperoleh harta warisan dari orangtuanya. Hanya anak
alami saja yang dapat memperoleh harta warisan, itu pun dengan
persyaratan khusus melalui lembaga pengakuan. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, mengenai anak yang dilahirkan
di luar perkawinan atau anak luar kawin, mengenal lembaga
pengakuan dan pengesahan anak. Lembaga pengakuan anak diatur
dalam Pasal 280 KUH Perdata yang mengatakan bahwa dengan
pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin,
timbullah hubungan hukum perdata antara si anak dengan ayah
atau ibunya. Dalam UU Perkawinan dijelaskan bahwa anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata

5
Ibid., hlm. 68.
6
Ibid., hlm. 69.
7
Ibid.

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 129


dengan ibunya dan keluarga ibunya. Yang menjadi pertanyaan
adalah siapa yang mengakui anak tersebut?. Jika dicermati Pasal 41
UU Perkawinan, maka tidak akan terjadi pengakuan itu dilakukan
oleh seorang ibu, melainkan harus dilakukan oleh seorang ayah
karena hubungan perdata antara anak dengan ibunya sudah
berlangsung secara otomatis tepat sejak anak itu dilahirkan.8
Pada prinsipnya, anak yang dilahirkan karena perzinaan
(overspel) atau dikenal dengan anak sumbang tidak mungkin untuk

Y
diakui. Dalam hal tertentu, pengecualian atas pengakuan ini hanya
dimungkinkan dengan adanya dispensasi dari Presiden. Lembaga

M
pengesahan anak diatur dalam 2 (dua) cara yaitu melalui Pasal
272 KUH Perdata dan Pasal 274 KUH Perdata. Dalam Pasal 272

M
KUH Perdata, pengesahan dilakukan dengan perkawinan orangtua,
sedangkan dalam Pasal 274 KUH Perdata, pengesahan dilakukan

U
dengan surat pengesahan Presiden setelah mendengar nasihat
Mahkamah Agung.

D
Akan tetapi, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum
memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga
ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja,
dalam ayat (2) disebutkan bahwa Kedudukan anak luar kawin
tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah
yang sampai sekarang belum diundangkan oleh pemerintah.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan
yang lama dalam hal ini KUH Perdata. Sehingga anak luar
kawin memiliki kedudukan secara hukum setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
tetap diperlukan suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan
keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orangtuanya.

8
Ibid.

130 HUKUM KELUARGA


Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan:
a. Pengakuan sukarela
Pengakuan sukarela adalah suatu pengakuan yang dilakukan
oleh seseorang dengan cara yang telah ditentukan oleh undang-
undang, bahwa ia adalah bapaknya dan ibunya seorang anak
yang telah dilahirkan di luar perkawinan). Dengan adanya
pengakuan, maka timbullah hubungan Perdata antara si anak
dan si bapak yang telah mengakuinya sebagaimana diatur

Y
dalam Pasal 280 KUH Perdata.
Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang

M
ditentukan dalam Pasal 281 KUH Perdata, yaitu:
1) Dalam akta kelahiran si anak. Berdasarkan Pasal 281

M
ayat (1) KUH Perdata, untuk dapat mengakui seorang

U
anak luar kawin bapak atau ibunya dan/atau kuasanya
berdasarkan kuasa autentik harus menghadap di hadapan

D
pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan
terhadap anak luar kawin tersebut;
2) Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan
pada saat perkawinan orangtuanya berlangsung yang
dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam
Pasal 281 ayat (2) Jo Pasal 272 KUH Perdata, pengakuan
ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi
seorang anak sah;
3) Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan
dalam akta autentik, seperti akta notaris sebagaimana
diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUH Perdata;
4) Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil,
yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil
menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam
Pasal 281 ayat (2) KUH Perdata.

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 131


b. Pengakuan Paksaan
Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara
paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar
perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap
bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri, agar anak luar
kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau
ibunya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289 KUH
Perdata.

Y
Anak luar kawin yang mendapat pengakuan adalah anak luar
kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan

M
bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara
mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina

M
atau anak sumbang). Menurut KUH Perdata, ahli waris yang
berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan,

U
yaitu:

D
1) Golongan I: Anak, atau keturunannya dan janda atau
duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal
852, 852a, 852b, dan 515 KUH Perdata.
2) Golongan II: Orangtua (bapak atau ibu), saudara-saudara
atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan
di dalam Pasal 854, Pasal 855, Pasal 856, dan Pasal 857
KUH Perdata.
3) Golongan III: Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis
lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di
dalam Pasal 853, Pasal 858 ayat (1) KUH Perdata.
4) Golongan IV: Sanak keluarga di dalam garis menyamping
sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di
dalam Pasal 858 ayat (2), Pasal 861, Pasal 832 ayat (2),
Pasal 862, Pasal 863, Pasal 864, Pasal 856 dan Pasal 866
KUH Perdata.

132 HUKUM KELUARGA


3. Status Hukum Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Adat, apabila seorang istri melahirkan anak
sebagai akibat hubungan gelap dengan seorang laki-laki bukan
suaminya, maka si suami menjadi ayah dari anak yang dilahirkan
tadi, kecuali apabila suami berdasar alasan-alasan yang dapat
diterima oleh masyarakat Hukum Adat, menolaknya.
Di dalam Hukum Adat, tidak ada aturan sebagaimana dikenal

Y
dalam Hukum Islam yang menetapkan waktu tidak lebih dari 6
(enam) bulan setelah menikah, sebagai syarat kelahiran anak
agar diakui sebagai anak yang sah. Anak yang dilahirkan setelah

M
perceraian, menurut Hukum Adat, mempunyai ayah bekas suami
wanita yang melahirkan tadi, apabila kelahirannya terjadi dalam

M
batas waktu-waktu mengandung.

U
Terhadap anak-anak di luar perkawinan, Hukum Adat di
berbagai daerah tidak mempunyai pandangan yang sama. Akan

D
tetapi pada dasarnya hal itu tercela, dan Hukum Adat mempunyai
berbagai cara untuk mengatasi hal itu. Pertama-tama ada lembaga
kawin paksa (seperti di Sumatera dan Bali) di mana laki-laki yang
menyebabkan kehamilan si wanita, dipaksa untuk mengawininya
dan terhadapnya dapat dijatuhi Hukum Adat, apabila hal itu tidak
dapat dipatuhinya.
Kemudian ada cara lain, yaitu dengan cara mengawinkan
wanita yang hamil tadi dengan laki-laki lain agar si anak lahir
sebagai anak yang sah (di Jawa nikah tambalan). Namun
dapat dikatakan, bahwa pada umumnya anak luar kawin tidak
mempunyai ayah (kecuali di Minahasa dikenal lembaga lilian yang
bermaksud untuk menghilangkan keraguan bahwa ayah biologis
adalah juga ayah si anak secara yuridis).
Anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai ikatan
kekeluargaan menurut hukum dengan yang menikahinya. Oleh
karena itu, anak hanya mewarisi dari ibunya dan keluarga dari ibu
seperti yang dikatakan oleh S.A. Hakim, S.H., di dalam Hukum Adat

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 133


Perorangan, Perkawinan, dan Pewarisan. Menurut Hukum Islam, anak
luar kawin tidak dapat diakui maupun dipisahkan oleh ayahnya
(ayah alaminya). Anak-anak tersebut hanya mempunyai hubungan
hukum dengan ibunya. Tetapi, si anak tetap mempunyai ibu, yaitu
seorang perempuan yang melahirkan anak, dengan pengertian
bahwa antara anak dan ibu itu ada hubungan hukum dan sama
seperti halnya dengan anak sah yang mempunyai ayah.
Menurut buku Dr. Wirdjono, Hakikat dalam Hukum Islam,

Y
disebutkan bahwa ada kemungkinan seorang anak hanya
mempunyai ibu dan tidak mempunyai ayah. Jadi, status anak

M
yang lahir di luar perkawinan menurut hukum Islam adalah
anak tidak sah, yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan

M
ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya, tetapi tetap
mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, atau perempuan

U
yang melahirkannya.
Menurut Hukum Perdata, anak di luar perkawinan dikenal

D
dengan istilah natuurlijke kind (anak alam). Anak luar kawin itu
dapat diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem yang dianut
di dalam BW, dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja,
belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan
orangtuanya. Baru setelah adanya pengakuan, terbitlah suatu
pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya (hak
mewaris) antara anak dengan orangtua yang mengakuinya,
demikian menurut Subekti. Jadi, anak luar kawin tersebut berstatus
sebagai anak yang diakui atau istilah hukumnya natuurlijke kind.
Pasal 272 BW yang berbunyi sebagai berikut: Kecuali
anak-anak yang dibenihkan dalam zina, atau dalam sumbang,
tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan
kemudian kawinnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila
kedua orangtua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut
ketentuan-ketentuan Undang-Undang, atau apabila pengakuan itu
dilakukan dalam akta perkawinan sendiri.

134 HUKUM KELUARGA


Jikalau kedua orangtua yang telah melangsungkan perkawinan
belum memberikan pengakuan terhadap anaknya yang lahir
sebelum perkawinan, pengesahan anak hanya dapat dilakukan
dengan cara pengesahan dari Kepala Negara, yaitu Presiden harus
meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam,
tetapi semata-mata dilakukan di muka Pencatatan Sipil dengan
catatan dalam Akta Kelahiran anak tersebut, atau dalam akta

Y
perkawinan orangtua, atau dalam surat akta tersendiri dari pegawai
Pencatatan Sipil, bahkan dibolehkan juga dalam akta notaris.

M
Jadi, jika ditinjau menurut Hukum Perdata yang tercantum
dalam Burgerlijk Wetboek, kita akan melihat adanya tiga tingkatan

M
status hukum daripada anak di luar perkawinan, yakni:
a. Anak di luar perkawinan yang belum diakui oleh kedua

U
orangtuanya;

D
b. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu
atau kedua orangtuanya;
c. Anak di luar perkawinan yang menjadi anak sah, sebagai akibat
kedua orangtuanya melakukan perkawinan yang sah.

Adapun status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan


sebagai unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan Nasional yang
tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU tersebut, dinyatakan
bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.
Ketentuan pasal tersebut menetapkan bahwa anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai pertalian
kekeluargaan dengan akibat-akibatnya, terutama hak mewaris
hanya dengan ibunya. Sebaliknya, anak yang sah mempunyai
hubungan perdata di samping dengan ibunya dan keluarga ibunya,
juga hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 135


4. Syarat Mendapatkan Warisan
Untuk dapat menjadi seorang ahli waris, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Berdasarkan ketentuan Pasal 832 KUH Perdata, yaitu untuk
dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik
sah atau luar kawin. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal

Y
874 KUH Perdata, bahwa diimungkinkan menjadi ahli waris
melalui pemberian melalui surat wasiat.

M
b. Berdasarkan ketentuan Pasal 836 KUH Perdata, bahwa ahli
waris harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia.
Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2 KUH Perdata,

M
yang menyebutkan bahwa: “anak yang ada dalam kandungan

U
seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan,
bilamana kepentingan si anak menghendakinya”.

D
Ketentuan Pasal 832 KUH Perdata memperjelas kedudukan
masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu hubungan
darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu
diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris
sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut
KUH Perdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara
sah maupun tidak. KUH Perdata hanya memberikan penjelasan
tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam Pasal
250 KUH Perdata, yaitu setiap anak yang dilahirkan dan/atau
dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan batasan
yang diberikan oleh Pasal 250 KUH Perdata, bahwa yang disebut
dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah.
Sementara dalam hukum Waris Islam berlaku ketentuan
mengenai rukun yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan,
rukun tersebut meliputi:

136 HUKUM KELUARGA


a. Muwarits (Pewaris)
Muwarits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan
harta benda. Harta warisan dapat dibagi setelah pewaris
dinyatakan meninggal dunia baik secara fisik maupun secara
hukum, peristiwa kematian itu harus diketahui secara pasti
atau bisa juga berdasarkan keputusan hakim seperti orang
hilang yang tidak diketahui keberadaannya apakah ia sudah
mati atau masih hidup. Jadi syarat pembagian waris itu adalah

Y
pewaris secara pasti telah meninggal dunia atau atas putusan
hakim.

M
b. Warits (Ahli Waris)
Warits adalah seorang atau beberapa orang yang berhak

M
menerima harta warisan. Orang yang berhak mendapat
warisan tersebut dikarenakan adanya hubungan darah atau

U
nasab, hubungan perkawinan, karena memerdekakan si mayat

D
dan karena sesama Islam.
c. Mauruts (Harta Warisan)
Sebelum menguraikan apa yang dimaksud dengan harta
warisan, terlebih dahulu diketahui apa yang disebut dengan
“harta peninggalan” atau dalam bahasa Arab disebut dengan
“tirkah atau tarikah”, yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh
seseorang yang meninggal dunia, baik yang berbentuk benda
dan hak-hak kebendaan, serta hak-hak yang bukan hak
kebendaan.

Pengertian tersebut di atas menegaskan, bahwa harta


peninggalan itu terdiri dari:
a. Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Yang
termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak, benda
tidak bergerak, dan piutang-piutang;
b. Hak-hak kebendaan. Yang termasuk dalam kategori hak-hak
kebendaan ini seperti sumber air minum, irigasi pertanian
dan perkebunan;

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 137


c. Hak-hak yang bukan kebendaan. Yang termasuk dalam
kategori hak-hak yang bukan kebendaan ini seperti hak khiyar,
hak syuf ’ah (hak beli diutamakan bagi salah seorang anggota
syarikat atau hak tetangga atas tanah pekarangan).

Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris,


terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan
dengan harta peninggalan si mayat, yang terdiri dari:

Y
a. Zakat atas harta peninggalan
Yang dimaksud dengan zakat atas harta peninggalan yaitu

M
zakat yang semestinya harus dibayarkan oleh si mayat, akan
tetapi zakat tersebut belum dapat direalisasikan, lantas ia

M
meninggal, maka untuk ini zakat tersebut harus dibayar dari
harta peninggalannya, seperti zakat pertanian dan zakat harta.

U
b. Biaya pemeliharaan mayat
Yang dimaksud dengan biaya pemeliharaan mayat adalah biaya

D
yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan jenazah, seperti
kafan dan penguburan.
c. Biaya utang-utang yang masih ditagih oleh kreditor (pemberi
pinjaman)
Hal ini sejalan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad
yang artinya berbunyi sebagai berikut: “Jiwa orang mukmin
disangkutkan dengan utangnya, sehingga utangnya itu dilunasi”.
d. Wasiat
Yang dimaksud dengan wasiat di sini adalah wasiat yang
bukan untuk kepentingan ahli waris, dan jumlah keseluruhan
wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) dari jumlah
keseluruhan harta peninggalan. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, yang artinya:

138 HUKUM KELUARGA


“Kamu wasiatkan sepertiga dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya
lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
berkecukupan daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin,
mengemis kepada orang lain”.

Menurut ketentuan hukum Waris Islam, yang menjadi sebab


seseorang itu mendapatkan warisan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:

Y
a. Karena hubungan perkawinan. Seseorang dapat memperoleh
harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya

M
hubungan perkawinan antara si mayat dengan seseorang
tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah: suami
atau istri dari si mayat.

M
b. Karena adanya hubungan darah. Seseorang dapat memperoleh

U
harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya
hubungan nasab atau hubungan darah/kekeluargaan dengan

D
si mayat, yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti: ibu,
bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara
dan lain-lain.
c. Karena memerdekakan si mayat. Seseorang dapat memperoleh
harta warisan (menjadi ahli waris) dari si mayat disebabkan
seseorang itu memerdekakan si mayat dari perbudakan,
dalam hal ini dapat saja seorang laki-laki atau seorang
perempuan.
d. Karena sesama Islam. Seseorang Muslim yang meninggal
dunia, dan ia tidak meninggalkan ahli waris sama sekali,
maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul Maal dan
lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum
muslimin.

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 139


C. Analisis Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 Terhadap Anak Luar Kawin dalam
Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Kompilasi Hukum Islam
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

Y
VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, bahwa Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
menyatakan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

M
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”, ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang

M
Dasar 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

U
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut

D
hukum ternyata mempunyai hubungan sedarah dengan ayahnya.
Ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan bahwa, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dimaknai dan diartikan
sebagai berikut:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan


perdata dengan ibunya dengan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah termasuk hubungan perdata dan keluarga ayahnya”.

140 HUKUM KELUARGA


Berdasarkan putusan tersebut di atas, maka tampak bahwa
putusan ini tidak ada disebut menghapuskan atau mengubah
ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, hanya saja mengubah makna dari ketentuan
pasal tersebut, asalkan memenuhi persyaratan (Conditionally
Unconstitutional) yakni sepanjang ayat tersebut dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/

Y
atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah
termasuk hubungan perdata dan keluarga ayahnya.

M
Akan tetapi, dalam putusan Mahkamah Konstitusi ini juga
masih terdapat kontroversi pendapat yang berkaitan dengan frasa

M
“anak luar nikah atau anak di luar perkawinan” yang dimaksudkan,
hubungan perdata yang dimaksud, hak-hak apa saja yang dimaksud

U
dalam konteks hubungan keperdataan itu (termasuk waris
terhadap anak tersebut atau tidak), dan bagaimana besar bagian

D
hak waris yang diperoleh.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga turut menyikapi Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut melalui Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil
Zina dan Perlakuan Terhadapnya. MUI menyatakan, bahwa:

“Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat hubungan
badan di luar pernikahan yang sah menurut hukum agama, dan
merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).

Selanjutnya, MUI menjelaskan bahwa ketentuan hukum


terhadap anak di luar pernikahan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali
nikah, waris, dan nafaqah dengan laki-laki yang menyebabkan
kelahirannya;
b. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, waris dan
nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya;

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 141


c. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang
dilakukan orang yang mengakibatkan kelahirannya;
d. Pezina dikenakan hukuman Hadd oleh pihak yang berwenang,
untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifz al-nasb);
e. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman Ta’zir terhadap
lelaki pezina yang menyebabkan lahirnya anak dengan
mewajibkan untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut
dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat

Y
wajibah;
f. Hukuman sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan

M
nomor 5 bertujuan untuk melindungi anak, bukan untuk
mengesahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan

M
lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

U
2. Analisis Anak Luar Kawin dalam Hal Mewaris Setelah

D
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Kesimpulan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/
PUU-VIII/2010 pada tanggal 17 Februari 2012 tersebut adalah
bahwa, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata
dan keluarga ayahnya”. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
menimbulkan banyak perbedaan pendapat di kalangan ahli
hukum maupun ahli agama. Adapun yang menjadi bagian yang
kontroversial tersebut adalah mengenai hak bagian warisan dari
anak yang lahir di luar perkawinan atau yang disebut dengan anak
zina.
Jika dikaji dalam perspektif Hukum Islam, anak zina tidak
berhak untuk mewarisi dari ayah biologisnya. Hal itu karena anak
zina tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya

142 HUKUM KELUARGA


(lelaki yang menyebabkan kelahirannya). Sebagaimana Rasulullah
Saw. bersabda, bahwa:

“Siapa pun laki-laki yang melacur dengan perempuan yang merdeka


atau budak perempuan, maka anaknya adalah anak zina dan mewarisi
atau diwarisi”.9

Oleh karena itu, anak zina dalam perspektif hukum Islam


tidak memiliki hak waris dari ayah biologisnya. Selain itu,

Y
menurut kalangan pendapat ahli, Muhammad Jawad Mugniyah
dalam bukunya yang berjudul “Fikih 5 (Lima) Mahzab”, yang

M
mengacu pada mahzab Hanafi, menjelaskan bahwa antara anak
hasil zina dengan ayah biologisnya tidak dapat saling mewarisi.
Hal itu disebabkan bahwa anak zina tidak memiliki hubungan

M
hukum (hubungan syar’i) dengan ayah biologisnya. Dengan kata

U
lain, anak zina tidak termasuk anak yang syar’i berdasarkan ayat
Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah Saw. yang tidak diragukan

D
kebenarannya.10
Dalam ketentuan Pasal 862 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, bahwa anak luar kawin yang telah diakui oleh ayah
biologisnya saja yang berhak untuk mendapatkan warisan.
Dalam ketentuan pasal tersebut bahwa untuk mendapatkan
bagian warisan, anak luar kawin harus mendapat pengakuan
dari ayahnya. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, putusan MK
tersebut mengesampingkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Dalam putusannya, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dengan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/

9
Wahbah Azzuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Cet 10, (Kuala Lumpur: Darul
Fikr, 2007), hlm. 489.
10
Neng Djubaidah, Farida Prihartini dan Sulaikin Lubis, Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia, (Jakarta: Hecca Publishing bekerja sama dengan Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 23.

Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan 143


atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah
termasuk hubungan perdata dan keluarga ayahnya”. Ketentuan
tersebut berarti, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan akan
mendapatkan bagian hak warisan (hubungan keperdataan) selama
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah termasuk hubungan perdata dan ayahnya, tanpa harus
mendapatkan pengakuan dari ayah si anak (anak luar nikah).

Y
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga sesuai dengan
ketentuan dalam hukum Islam dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,

M
yaitu antara anak zina dengan ayah biologisnya pada dasarnya tidak
memiliki hubungan keperdataan (dalam Islam disebut dengan

M
hubungan nasab), sehingga di dalam bidang hukum kewarisan
antara anak zina terhadap ayah biologisnya tidak memiliki hak

U
waris. Akan tetapi, untuk melindungi anak tersebut Majelis Ulama
Indonesia mengeluarkan fatwa melalui Nomor 11 Tahun 2012

D
tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya,
yang salah satunya adalah mewajibkan ayah biologisnya untuk
mencukupi kebutuhan hidup si anak (anak luar kawin) dikarenakan
untuk melindungi kehidupan si anak. Hal yang serupa juga
tergambar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu bahwa anak
luar kawin berhak atas hubungan keperdataan tidak hanya pada
ibunya tetapi juga terhadap ayah dan keluarga ayahnya selama
dapat dibuktikan secara benar dan rasional, ketentuan tersebut
guna melindungi kehidupan si anak.

144 HUKUM KELUARGA


Bab 5
HARTA ANAK YANG LAHIR
DI LUAR PERKAWINAN

M Y
UM
A. Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Hal Pewarisan

D
Berdasarkan ketentuan Hukum Perdata, berkaitan dengan
anak dibedakan atas 3 (tiga) golongan terhadap anak-anak, yaitu:
1. Anak sah, yaitu yang dilahirkan dalam perkawinan;
2. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan, tetapi diakui oleh
ayah atau ibunya. Pertalian kekeluargaan ini hanya mengikat
orang yang mengakui anak itu;
3. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan tidak diakui oleh
ayahnya maupun ibunya, menurut hukum anak tersebut tidak
punya ibu.

Anak luar kawin, yang bapak ibunya tidak boleh kawin karena
dekatnya hubungan darah (anak sumbang), dan anak luar kawin
yang berasal dari hubungan laki-laki dengan perempuan yang
salah satu atau keduanya terikat perkawinan (anak zina), tidak
ada kemungkinan untuk diakui oleh bapak dan/atau ibunya.
Anak seperti ini, tidak berhak sama sekali atas harta warisan dari
orangtuanya dan sebanyak-banyaknya hanya memperoleh sekadar
nafkah yang cukup untuk hidup.

Bab 5 | Harta Anak yang Lahir di Luar Perkawinan 145


Terhadap anak luar kawin yang tidak diakui, karena tidak
mempunyai keluarga maka juga tidak ada ketentuan tentang
hukum warisnya. Oleh karena itu, anak luar kawin yang tidak
diakui tidak akan mewarisi dari siapa pun juga. Anak luar kawin
hanya mempunyai hubungan hukum dengan pihak orang yang
mengakuinya. Adapun dengan keluarga sedarah dari orangtua yang
mengakui tersebut mereka tidak mempunyai hubungan hukum
sama sekali. Jadi, anak tersebut tidak berhak terhadap barang-barang

Y
keluarga orangtua yang mengakuinya (Pasal 872 KUH Perdata).
Adapun pengecualiannya adalah, apabila tidak meninggalkan ahli

M
waris sampai dengan derajat yang mengizinkan pewarisan, maka
anak luar kawin tersebut berhak menuntut seluruhnya harta warisan

M
dengan mengesampingkan negara (Pasal 873 KUH Perdata). Anak
luar kawin dapat disahkan dengan perkawinan orangtuanya atau

U
dengan surat pengesahan. Jika pengesahan karena perkawinan
orangtuanya, maka keadaan anak tersebut sama dengan anak yang

D
lahir dalam perkawinan.
Hal ini berarti ia berhak penuh atas warisan yang terbuka dari
peninggalan orangtuanya. Jika pengesahan dilakukan dengan surat
pengesahan maka dalam hal pewarisan tidak boleh merugikan
anak-anak sah yang ada sebelum pengesahan itu dilakukan. Dalam
hal mewarisi yang diatur menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, hak bagian anak luar nikah tergantung dengan siapa
anak luar nikah tersebut mewaris. Hanya anak luar nikah yang
telah diakui dan disahkan oleh orangtuanya yang mendapat harta
warisan. Besarnya hak bagian anak luar kawin tersebut adalah
sabagai berikut:
1. Anak luar nikah mewarisi bersama-sama golongan pertama,
yang meliputi anak-anak atau sekalian keturunannya (Pasal
852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan suami atau
istri hidup lebih lama (Pasal 852 A Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata), maka bagian anak luar nikah tersebut ialah
1/3 dari harta yang ditinggalkan.

146 HUKUM KELUARGA


2. Anak luar nikah mewarisi bersama-sama ahli waris golongan
kedua dan golongan ketiga, Pasal 863 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menentukan, bahwa: Jika pewaris tidak
meninggalkan keturunan ataupun suami dan istri, tetapi
meninggalkan keluarga sedarah ataupun saudara (laki-laki
maupun perempuan) atau keturunan saudara, hak anak luar
nikah menerima ½ dari warisan.
3. Anak luar nikah mewaris dengan ahli waris golongan keempat,

Y
yang meliputi sanak saudara dalam derajat yang lebih
jauh, maka besarnya hak bagian anak luar nikah adalah ¾

M
berdasarkan Pasal 863 ayat (1) bagian ketiga Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.

M
4. Anak luar nikah mewaris dengan ahli waris keluarga yang
bertalian darah dalam lain penderajatan, maka besarnya hak

U
bagian anak luar nikah menurut Pasal 863 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dihitung dengan melihat

D
keluarga yang terdekat hubungan penderajatannya dengan
pewaris (dalam hal ini adalah golongan ketiga), sehingga
anak luar nikah menerima setengah bagian (Pasal 863 ayat
(1) bagian kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
5. Anak luar nikah sebagai satu-satunya ahli waris. Apabila
anak luar nikah yang telah diakui oleh orangtuanya sebagai
ahli waris tunggal, maka anak luar nikah tersebut mendapat
seluruh harta warisan (Pasal 865 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata).

Selain bagian anak luar nikah dalam pewarisan yang telah


dijelaskan di atas, maka anak luar nikah yang diakui oleh
orangtuanya juga berhak mendapatkan atau menuntut bagian
mutlak atau legitieme portie. Pengertian legitieme portie adalah ahli
waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian yang dilindungi
oleh undang-undang. Menurut Pasal 961 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata bagian mutlak atau legitieme portie dari bagian

Bab 5 | Harta Anak yang Lahir di Luar Perkawinan 147


luar nikah adalah ½ dari bagian yang menurut Undang-Undang
sedianya harus diwariskan dalam pewarisan karena kematian.

B. Pengurusan Harta Warisan Anak yang Lahir di Luar


Pernikahan
Pengurusan harta warisan anak yang lahir di luar pernikahan
dapat diurus oleh Notaris dengan membuat beberapa perjanjian.

Y
Perjanjian-perjanjian yang dapat digunakan dan dibuat untuk
menyelesaikan sengketa waris apabila terdapat anak luar kawin

M
adalah dengan membuat ketentuan sebagai berikut:
1. Akta Pembatalan, akta pembatalan merupakan akta yang

M
memuat kesepakatan para ahli waris untuk membatalkan akta
pembagian waris yang telah pernah dibuat sebelumnya, dan

U
untuk membuat akta pembagian waris yang baru, dalam akta
ini anak luar kawin yang dahulu belum masuk sebagai ahli

D
waris dicantumkan sebagai ahli waris dengan bagian sesuai
yang telah ditentukan oleh undang-undang;
2. Akta Perdamaian, akta ini merupakan kesepakatan ahli waris
untuk menyelesaikan sengketa waris dengan cara mufakat dan
membagi waris menurut Undang-Undang;
3. Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, pembuatan akta ini
merupakan solusi dari sengketa hak waris dalam pewarisan
yang di dalamnya terdapat anak luar kawin yang dahulu pada
saat pembuatan akta pembagian waris tidak masuk sebagai
ahli waris dan tidak memperoleh haknya. Akta perjanjian
pelepasan hak tuntutan ini dibuat tanpa membatalkan akta
pembagian waris yang telah dibuat, melainkan dalam akta
ini anak luar kawin tersebut membuat pernyataan bahwa
ia telah melepaskan segala haknya atas harta warisan dan
tidak akan menuntut ahli waris lainnya atas harta warisan.
Dalam akta ini juga diperjanjikan untuk itu si anak luar kawin
mendapatkan kompensasi dari ahli waris yang lain sesuai
dengan kesepakatan di antara para ahli waris.

148 HUKUM KELUARGA


Bab 6
ANAK YANG LAHIR
SELAMA PERKAWINAN

M Y
UM
A. Pengertian

D
Secara yuridis, yang dimaksud dengan anak sah adalah
pertama, anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah; kedua,
anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh
karena itu, anak sah tidak dapat dilepaskan dari suatu perkawinan
yang sah.1

B. Hubungan Hukum Orangtua dan Anak


1. Kedudukan Hukum Anak
Kesahan suatu perkawinan akan menentukan kedudukan
hukum, peranan, dan tanggung jawab anak dalam keluarga.
Mengenai kedudukan hukum anak diatur di dalam Pasal 42 sampai
dengan Pasal 44 dan Pasal 55 Undang-Undang Perkawinan.
Dalam hal ini perlu diketahui UU Perkawinan membedakan
anak dalam perkawinan atas anak yang sah dan anak yang tidak
sah. Keduanya mempunyai kedudukan hukum yang berbeda dalam

1
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 68.

Bab 6 | Anak yang Lahir Selama Perkawinan 149


keluarga. Ketentuan dalam Pasal 42 UU Perkawinan menentukan
bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah, ini berarti bahwa anak sah itu meliputi:
a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, yakni
anak-anak yang dilahirkan sesudah perkawinan yang sah
dilangsungkan, termasuk pula kawin hamil;
b. Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah,
yakni anak-anak yang dilahirkan sesudah perkawinan yang

Y
sah dilakukan tetapi kemudian orangtuanya bercerai.

M
Pengertian anak yang sah ini hendaknya termasuk pula anak-
anak yang dilahirkan dari hasil pembuahan suami-istri yang sah

M
di luar rahim dan dilahirkan oleh istri yang menikah secara sah
dengan suaminya.

U
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

D
itu, dengan kata lain perkawinan yang tidak menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu merupakan
perkawinan yang tidak sah, sehingga anak-anak yang dilahirkannya
pun termasuk anak yang tidak sah pula. Anak-anak yang sah itu
dengan sendirinya mempunyai hubungan hukum dengan orangtua
mereka. Orangtua mempunyai tanggung jawab dan kewajiban
terhadap anak-anaknya dan demikian pula anak-anak mempunyai
hak dan kewajiban terhadap orangtuanya.

2. Kewajiban Orangtua Terhadap Anak


Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, hubungan
hukum antara orangtua dengan anak terlihat secara jelas dalam
“alimentatieplicht”, yaitu suatu kewajiban orangtua terhadap anak
untuk memberikan penghidupannya sampai si anak memiliki
kemampuan untuk mencari nafkah sendiri, misalnya sudah bekerja,
bahkan adakalanya anak dibiayai oleh orangtuanya walaupun
sudah berumah tangga, misalnya untuk melanjutkan pendidikan ke

150 HUKUM KELUARGA


jenjang yang lebih tinggi. Akan tetapi, hal tersebut tergantung pada
kondisi orangtua masing-masing anak. Sebaliknya, adakalanya si
anak sudah dibebani kewajiban untuk mencari nafkah hidupnya
sejak selesai Sekolah Dasar dan bahkan membantu orangtuanya
untuk mengurangi beban kehidupan mereka.2
Secara normatif, orangtua memiliki kewajiban hukum sebagai
perwujudan tanggung jawab terhadap anaknya untuk membiayai
kehidupan sandang, pangan, dan pendidikan selama anak-anak

Y
tersebut masih belum dewasa. Kewajiban normatif tersebut
bersifat hukum memaksa (dwingendrecht), artinya tidak boleh

M
kewajiban orangtua terhadap anaknya dilepaskan dengan membuat
perjanjian untuk hal tersebut.

M
Dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, bahwa kewajiban orangtua terhadap anak adalah:

U
a. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak

D
mereka sebaik-baiknya;
b. Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orangtuanya putus.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 45 UU


Perkawinan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab
dan kewajiban kedua orangtua terhadap anak-anak mereka untuk
mengasuh, memelihara dan mendidik, serta lainnya melekat
sampai anak-anaknya dewasa atau mampu berdiri sendiri. Bila
terjadi perceraian maka pengurusan anak tersebut diputuskan
oleh pengadilan.
Berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan
orangtua terhadap anak juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 26
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang menentukan bahwa:

2
Ibid., hlm. 106.

Bab 6 | Anak yang Lahir Selama Perkawinan 151


a. Orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
1) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
2) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya;
3) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
b. Dalam hal orangtua tidak ada, atau tidak diketahui kebera­
daannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melak­sanakan

Y
kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai

M
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hukum Islam, seorang ibu jauh lebih berhak terhadap

M
pemeliharaan anak dari seorang ayah. Seorang perempuan lebih
didahulukan tentang masalah pemeliharaan, baru berikutnya

U
seorang laki-laki. Oleh karena itu, hak pemeliharaan didahulukan
kepada orang-orang perempuan dari mahram anak, ditinjau dari

D
segi nasab, kemudian baru kepada perempuan mahram dari selain
ashabah. Dengan kata lain, lebih diutamakan keluarga yang terdekat
dan seterusnya guna menjaga rasa belas kasih terhadap anak kecil.
Lebih diutamakan ibunya daripada ayah dalam pemeliharaan ini
berlaku sejak anak itu dilahirkan. Oleh karena itu, ayah tidak
mempunyai hak memisahkan anak dari ibunya di saat anak itu
masih menyusu, sedangkan keperluan anak kepada ibunya sesudah
menyusu tidak kurang dari kebutuhan di waktu menyusui.3
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, batas pemeliharaan
anak sampai usia dewasa atau mampu berdiri sendiri adalah 21
(dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik
maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Ini berarti orang yang cacat fisik atau mental walaupun sudah
berusia 21 (dua puluh satu) tahun dianggap tidak berada dalam
pemeliharaan orangtuanya.

3
Ibid., hlm. 351.

152 HUKUM KELUARGA


Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa,
pemeliharaan anak belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua
belas) tahun dalam terjadinya perceraian adalah hak ibunya. Bagi
yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di
antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
Semua biaya pemeliharaan anak tadi ditanggung oleh ayahnya.
Orangtua juga dituntut untuk menyelenggarakan nafkah bagi
anak-anaknya sesuai dengan kemampuan dan kadar keluasan

Y
rezeki yang ada padanya. Islam mewajibkan kepada seorang ayah
untuk mencari dan memberi nafkah kepada anak-anak dan istrinya,

M
sedangkan ibunya berkewajiban untuk mengasuh, memelihara,
dan mendidik anak-anaknya tersebut.

M
3. Hak-hak Anak

U
Mengenai hak-hak seorang anak secara rinci diatur dalam

D
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak sebagai upaya untuk menjamin
terwujudnya kesejahteraan anak, yaitu suatu tata kehidupan dan
penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dengan
wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial, terutama
terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ini membedakan hak-hak
seorang anak secara umum dan hak-hak anak secara khusus bagi
anak-anak yang mengalami hambatan rohani, jasmani, sosial, dan
memerlukan pelayanan khusus.
Ketentuan tersebut di atas diatur dalam Pasal 2 sampai
dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, yang secara umum anak-anak berhak atas

Bab 6 | Anak yang Lahir Selama Perkawinan 153


kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan
kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
Kesejahteraan dimaksud bukan saja diberikan pada waktu anak
dilahirkan, tetapi juga pada saat dan semasa dalam kandungan.
Semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, anak
berhak atas pemeliharaan dan perlindungan. Demikan pula semasa
dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, anak berhak atas

Y
pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa,

M
untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. Terhadap
lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat

M
pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, anak berhak
mendapat perlindungan. Bahkan anaklah yang pertama-tama

U
berhak mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan dalam
keadaan yang membahayakan.

D
Hak-hak anak berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diatur dalam Pasal
52 sampai dengan Pasal 66, yang akan diuraikan sebagai berikut:

Pasal 52
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orangtua, keluarga,
masyarakat, dan negara;
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya
hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum, bahkan sejak
dalam kandungan.
Pasal 53
(1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya;
(2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan
status kewarganegaraan.

154 HUKUM KELUARGA


Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik dan/atau mental berhak memperoleh
perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya
negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat
manusia, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan
berpastisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Pasal 55

Y
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir,
dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya

M
di bawah bimbingan orangtua dan/atau wali.
Pasal 56

M
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang­tuanya,

U
dibesarkan, dan diasuh oleh orangtuanya sendiri;
(2) Dalam hal orangtua anak tidak mampu membesarkan dan

D
memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan undang-
undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat
sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 57
(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dan dirawat,
dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh
orangtua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orangtua angkat atau
wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orangtua
telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai orangtua;
(3) Orangtua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) harus menjalankan kewajibannya sebagai orangtua yang
sesungguhnya.

Bab 6 | Anak yang Lahir Selama Perkawinan 155


Pasal 58
(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum
dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran,
perlakuan buruh, dan pelecehan seksual selama dalam
pengasuhan orang­tua atau walinya, atau pihak lain manapun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
(2) Dalam hal orangtua, wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk penganiayaan fisik, mental, penelantaran, perlakuan

Y
buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan/
atau pem­bunuhan anak yang seharusnya dilindungi, maka

M
harus dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 59

M
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orangtuanya

U
secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali
jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan

D
bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi
anak;
(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak
anak untuk orangtuanya tetap dijamin oleh Undang-Undang.
Pasal 60
(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya, sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya;
(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan mem­berikan
informasi sesuai dengan tingkat intelek­tualitas dan usianya
demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-
nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 61
Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang
sebaya, bermain, berekspresi, dan berkreasi sesuai dengan minat,
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.

156 HUKUM KELUARGA


Pasal 62
Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan
mental spiritualnya.
Pasal 63
Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan dalam peristiwa
peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa

Y
lainnya yang mengandung unsur kekerasan.
Pasal 64

M
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan
eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan

M
dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik,
moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.

U
Pasal 65
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan

D
eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak,
serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya.
Pasal 66
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;
(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat
dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak;
(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara
melawan hukum.
(4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya
boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya
dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir;
(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan dengan memerhatikan
kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya

Bab 6 | Anak yang Lahir Selama Perkawinan 157


dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi
kepentingannya;
(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;
(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk
membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan
Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang

Y
tertutup untuk umum.

M
Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999,
Hak-hak anak juga diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18

M
Undang-Undang Nomor 23 Tahun tentang Perlindungan Anak,
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan memberikan

U
jaminan pemenuhan hak-hak anak tersebut dan tidak adanya
perlakuan diskriminasi terhadap anak-anak.

158 HUKUM KELUARGA


Bab 7
PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI)

M Y
UM
A. Pengertian Pengangkatan Anak

D
Secara etimologis istilah pengangkatan anak atau adopsi
berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari kata bahasa
Inggris, yaitu adoption1 atau dalam bahasa Belanda, adoptie2 ataupun
dalam bahasa latin, adoptio3. Maksud dari pengangkatan anak di sini
adalah mengangkat anak untuk dijadikan anak kandung sendiri.
Adopsi memiliki arti mengambil anak orang lain untuk dijadikan
anak sendiri, sehingga memutuskan hubungan antara orangtua
kandungnya, serta segala urusan perwalian dan waris jatuh kepada
orangtua angkat tersebut.
Adopsi atau pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
mengambil anak orang lain ke dalam keluarganya sendiri, sehingga
dengan demikian antara orang yang mengambil anak dan yang
diangkat timbul suatu hubungan hukum.4

1
Jhon M. Echols dan Hasan Sadly, Kamus Inggris Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Utama, 2004), hlm. 13.
2
Subekti dan Tjoro Sudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT Pradnya Paramita,
1977), hlm. 6.
3
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: PT Ghalia, 1986), hlm. 28.
4
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga: Edisi Revisi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2001), hlm. 35

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 159


Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), adopsi ini tidak termuat, hanya lembaga pengangkatan
anak diatur di dalam Staatsblad 1917 No. 129, di dalam
peraturan tersebut ditetapkan, bahwa pengangkatan anak adalah
pengangkatan seorang anak laki-laki sebagai anak oleh seorang
laki-laki yang telah beristri atau pernah beristri yang tidak
mempunyai keturunan laki-laki. Jadi, hanya anak laki-laki saja yang
dapat diangkat. Akan tetapi pada saat ini, menurut Yurisprudensi

Y
dinyatakan bahwa anak perempuan dapat diangkat sebagai anak
oleh seorang ibu yang tidak mempunyai anak. Sementara menurut

M
yurisprudensi putusan MA RI No 1413 K/Pdt/1988 tanggal 18
Mei 1990 jo putusan MA RI No 53 K/Pdt/1995 tanggal 18 Maret

M
1996 Pengangkatan anak diartikan sebagai anak yang sejak lahir
diurus, dipelihara, dikhitankan, disekolahkan, dikawinkan oleh

U
orangtua angkatnya. Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian adopsi secara umum

D
adalah suatu tindakan mengalihkan seorang anak dari kekuasaan
orangtua kandungnya ke dalam kekuasaan orangtua angkatnya,
untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandungnya
sendiri, sehingga dengan sendirinya anak angkat mempunyai hak
dan kedudukan yang sama seperti anak kandung. Pihak-pihak yang
terlibat dalam hal terjadinya pengangkatan anak adalah sebagai
berikut:
1. Pihak orangtua kandung, yang menyediakan anaknya untuk
diangkat.
2. Pihak orangtua baru, yang mengangkat anak.
3. Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan
pengangkatan anak.
4. Pihak perantara, yang dapat secara individual atau kelompok
(badan, organisasi).
5. Pembuatan Undang-Undang yang merumuskan ketentuan
pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan.

160 HUKUM KELUARGA


6. Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau
menghambat pengangkatan anak.
7. Anak yang diangkat, yang tidak dapat menghindarkan diri dari
perlakuan yang menguntungkan atau merugikan dirinya.

Tentang hubungan hukum antara orangtua asal setelah anak


tersebut diangkat oleh orang lain menjadi putus, anak tersebut
mewaris kepada bapak yang mengangkatnya.

Y
B. Dasar Hukum dari Pengangkatan Anak

M
Adapun dasar-dasar hukum pengangkatan anak di Indonesia
adalah sebagai berikut:

M
1.     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak

U
Dasar hukum ini digunakan, karena dalam undang-undang ini

D
dari Pasal 1 sampai 16 menyebutkan hak-hak anak, tanggung
jawab orangtua terhadap kesejahteraan anak dan usaha-usaha
yang harus dilakukan untuk kesejahteraan anak. Hal-hal yang
telah disebutkan tadi tidak hanya berlaku untuk anak kandung
tapi juga berlaku bagi anak adopsi, karena baik anak kandung
maupun anak adopsi harus mendapatkan hak dan perlakuan
yang sama.
2. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarga­
negaraan Republik Indonesia
Dalam Pasal 2 ayat (1) menyebutkan “Anak Asing yang belum
berumur 5 (lima) tahun yang diangkat oleh seorang warga
Negara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan
Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan
sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang
mengangkat anak tersebut”. Pasal ini hanya berlaku bagi anak
asing yang diadopsi oleh Warga Negara Indonesia, karena hal ini
akan berkaitan dengan kewarganegaraan anak adopsi tersebut.

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 161


3.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Dalam undang-undang ini benar-benar diatur bagaimana dalam
mengusahakan perlindungan terhadap anak. Dalam undang-
undang ini diatur tentang pengangkatan anak dari Pasal 39
sampai 41. Selain mengatur tentang pengangkatan anak, juga
diatur tentang hak dan kewajiban anak dalam Pasal 4 sampai
19, baik anak kandung maupun anak adopsi yang mempunyai

Y
hak dan kewajiban yang sama. Pasal 39 mengatur mengenai
tujuan adopsi yaitu adopsi dilakukan untuk kepentingan yang

M
terbaik bagi anak dan dilakukan menurut adat setempat dan
peraturan perundang-undangan, menyatakan juga adopsi tidak

M
memutuskan hubungan antara anak yang diadopsi dan orangtua
kandungnya. Dalam proses adopsi agama calon orangtua adopsi

U
dan calon anak adopsi harus sama, apabila asal usul orangtua
kandung tidak diketahui, maka agama anak akan disesuaikan

D
dengan agama mayoritas penduduk setempat. Adopsi yang
dilakukan oleh Warga Negara Asing adalah merupakan upaya
terakhir yang dapat dilakukan untuk anak yang bersangkutan.
Pasal 40 mengatur bahwa “Setiap orangtua adopsi wajib untuk
memberitahukan asal usul orangtua kandung anak kepada anak
yang bersangkutan, tetapi dalam pemberitahuannya dilihat
dari situasi, kondisi dan kesiapan anak.” Sementara, Pasal 41
mengatur bahwa “Pemerintah dan masyarakat ikut serta dalam
bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan adopsi
anak.“
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial
Dasar hukum ini digunakan dalam adopsi anak dan
pengangkatan anak, karena tujuan pengadopsian anak dan
pengangkatan anak adalah agar kehidupan dan kesejahteraan
anak dapat terpenuhi. Dalam undang-undang ini, Pasal 1
sampai dengan Pasal 12 dalam proses menyejahterakan anak

162 HUKUM KELUARGA


terdapat campur tangan pemerintah, masyarakat dan yayasan
atau organisasi sosial. Seperti yang disebutkan dalam Pasal
1 yaitu “Setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan
sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak
mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial”.
Ini berarti bahwa anak adopsi juga berhak untuk mendapatkan
kesejahteraan dalam kehidupannya dan setiap orang dan
negara wajib ikut serta dalam mewujudkan kesejahteraan

Y
tersebut.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha

M
Kesejahteraan Anak
Bagi anak yang mempunyai masalah dalam Peraturan

M
Pemerintah ini diatur usaha-usaha untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi anak-anak yang mempunyai masalah

U
dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Agar dapat
menyejahterakan anak-anak tersebut adopsi anak dapat

D
menjadi salah satu solusi terbaik.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak jo Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 1989 tentang Pengangkatan Anak jo
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2005 tentang
Pengangkatan Anak.
Dalam Surat Edaran ini menyebutkan syarat-syarat peng­
angkatan anak, permohonan pengesahan pengangkatan anak,
pemeriksaan di pengadilan dan lain-lain.
7. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan “Convention on the Right of the Child” (Konvensi
tentang Hak-hak Anak)
Dasar hukum ini digunakan, karena dalam konvensi tentang
Hak-hak Anak disebutkan, anak berhak mendapat per­
lindungan, kesempatan, dan fasilitas untuk berkembang secara

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 163


sehat dan wajar, mendapat jaminan sosial, mendapatkan
pendidikan dan perawatan dan lain-lain. Untuk mewujudkan
hal-hal tersebut adopsi adalah salah satu cara yang sesuai.

Dasar hukum adopsi anak secara khusus oleh Dinas Kesejah­


teraan Sosial:
1. Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/1980
tentang Organisasi Sosial Dasar hukum ini mengatur tentang

Y
organisasi-organisasi sosial, termasuk yayasan sosial yang
bertugas dalam menangani adopsi anak.

M
2. Keputusan Menteri Sosial Nomor 58/HUK/1985 tentang Tim
Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak Antar Warga

M
Negara Indonesia dan Warga Negara Asing Inter Country
Adoption Keputusan Menteri Sosial ini mengatur tentang

U
perizinan pengangkatan anak atau adopsi akan yang dilakukan
antar WNI dan WNA.

D
Berdasarkan Pasal 8 Staatsblad 1917 No. 129 berkaitan dengan
syarat-syarat tentang adopsi, disebutkan bahwa ada 5 (lima) syarat
adopsi, yaitu sebagai berikut:5
1. Persetujuan orang yang mengangkat anak;
2. Apabila anak yang diangkat itu adalah anak sah dari
orangtuanya, maka diperlukan izin dari orangtua itu, apabila
bapak sudah wafat dan ibu telah kawin lagi, maka harus
ada persetujuan dari walinya dan Balai Harta Peninggalan
(Weeskamer) selaku pengawas wali;
3. Apabila anak yang akan diangkat itu adalah lahir di luar
perkawinan, maka diperlukan izin dari orangtuanya, yang
mengakuinya sebagai anak dan jika anak itu sama sekali tidak
diakui sebagai anak, maka harus ada persetujuan dari walinya
serta dari Balai Harta Peninggalan;

5
Ibid.

164 HUKUM KELUARGA


4. Apabila anak yang diangkat itu sudah berusia 15 tahun, maka
diperlukan pula persetujuan dari anak itu sendiri;
5. Apabila yang akan mengangkat anak itu seorang perempuan
janda, maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan
ayah dari almarhum suaminya, atau jika tidak ada saudara
laki-laki atau ayah yang masih hidup, atau jika mereka tidak
menetap di Indonesia, maka harus ada persetujuan dari
anggota laki-laki dan keluarga almarhum suaminya dalam

Y
garis laki-laki sampai derajat keempat; Persetujuan yang
dimaksud pada sub ini dapat diganti dengan izin Pengadilan

M
Negeri dari wilayah kediaman janda yang ingin mengangkat
anak.

M
Adapun ketentuan lainnya yang diatur dalam Staatsblad 1917

U
No. 129 adalah:6
• Pasal 10 Staatsblad 1917 No. 129 menyebutkan, bahwa

D
pengangkatan anak ini harus dilakukan dengan Akta Notaris;
• Pasal 11, mengenai nama keluarga (geslachtsnaam) orang yang
mengangkat anak, nama-nama juga menjadi nama dari anak
yang diangkat;
• Pasal 12, menyamakan seorang anak angkat dengan anak sah
dari perkawinan orang yang mengangkat;
• Pasal 13, mewajibkan Balai Harta Peninggalan untuk apabila
ada seorang janda ingin mengangkat anak, mengambil
tindakan-tindakan yang perlu mengurus dan menyelamatkan
barang-barang kekayaan anak yang diangkat;
• Pasal 14 yang menyebutkan, suatu pengangkatan anak
berakibat terputusnya hubungan hukum antara anak yang
diangkat dan orangtuanya sendiri, kecuali:
1. Mengenai larangan kawin yang berdasar atas suatu tali
kekeluargaan

6
Wirdjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm. 82.

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 165


2. Mengenai peraturan Hukum Pidana yang berdasarkan
pada tali kekeluargaan
3. Mengenai perhitungan biaya perkara di muka hakim dan
biaya dari gijzeling (ditahan dalam penjara berhubung
dengan adanya utang uang)
4. Mengenai kesaksian dalam akta autentik
• Pasal 15, yang menentukan bahwa suatu pengangkatan anak

Y
tidak dapat dibatalkan oleh yang bersangkutan sendiri, bahwa
pengangkatan anak perempuan atau pengangkatan anak
secara lain daripada dengan akta notaris adalah batal dengan

M
sendirinya (van Rechtswege Nietig); Pengangkatan anak dapat
dibatalkan, apabila bertentangan dengan pasal-pasal tersebut

M
dalam Staatsblad 1917 No. 129.

U
Dalam Hukum Adat, dengan diangkatnya seorang anak,
hubungan hukum dengan keluarga yang lama tidak terputus,

D
kecuali: menurut Hukum Adat di Bali (pengangkatan anak
“sentana”). Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung, seseorang
dapat dinyatakan sebagai anak angkat dari kedua orangtua
angkatnya, apabila ia telah dibesarkan, dikhitankan, dikawinkan,
bertempat tinggal bersama, dan telah mendapat hibah dari
orangtuanya (orangtua angkatnya).7 Tentang kedudukan hukum
anak angkat di dalam Hukum Adat, ada beberapa Yurisprudensi
Mahkamah Agung, mengenai status dan kedudukan hukumnya
di dalam hal mewaris dari kedua orangtua yang mengangkatnya.
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 182 K/Sip/1959 tanggal
15 Juli 1959 tersebut menyebutkan, bahwa: Anak angkat berhak
mewarisi harta peninggalan orangtua angkatnya yang tidak
merupakan harta yang diwarisi oleh orangtua angkat tersebut.
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 27 K/Sip/1959 tanggal
18 Maret 1959, menentukan, bahwa: Menurut hukum yang berlaku

7
Ibid., hlm. 37.

166 HUKUM KELUARGA


di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta
gono-gini dari orangtua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka
(barang asal), anak angkat tidak berhak mewarisinya.
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 516K/Sip/1968 tanggal
4 Januari 1969, menurut Hukum Adat yang berlaku di Sumatera
Timur, anak angkat tidak mempunyai hak mewarisi harta
peninggalan orangtua angkatnya. Ia hanya dapat memperoleh
hadiah atau hibah dari orangtua angkat selagi hidup.

Y
Dari ketentuan Yurisprudensi ini, kedudukan anak angkat
dari beberapa daerah mencerminkan bagaimana adat istiadat

M
masyarakat adat setempat memberikan status hukum kepada anak
yang diangkat. Seperti di Jawa, biasanya yang diangkat selaku anak

M
masih kerabat dekat, misalnya keponakan sendiri, dan kebanyakan
yang mengangkat anak itu tidak mempunyai anak sendiri.

U
Bagaimana pandangan Hukum Islam dalam lembaga

D
pengangkatan anak ini. Penamaan anak angkat tidak menjadikan
seorang anak angkat tersebut mempunyai hubungan darah dengan
orangtua angkatnya. Penamaan dan penyebutan anak angkat tidak
diakui di dalam Hukum Islam untuk dijadikan sebagai dasar dan
sebab mewaris, karena prinsip dasar sebab mewaris dan prinsip
pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau urhaam.
Hubungan anak angkat dengan orang yang mengangkatnya
bukanlah hubungan anak sulbi. Anak sulbi asalnya adalah anak
sulbi, artinya anak kandung yang berasal dari sumsum tulang sulbi
atau tulang punggung kamu, QS IV: 23b dan 1.8

C. Akibat Hukum dari Pengangkatan Anak


Pengadilan dalam praktik telah merintis mengenai akibat
hukum di dalam pengangkatan antara anak dengan orangtua
sebagai berikut:

8
Ibid., hlm. 38.

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 167


1. Hubungan darah: mengenai hubungan ini dipandang sulit
untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua
kandung.
2. Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan
bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari
orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris
dari orangtua angkat.
3. Hubungan perwalian: dalam hubungan perwalian ini terputus

Y
hubungannya anak dengan orangtua kandung dan beralih
kepada orangtua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu

M
putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban
orangtua kandung beralih kepada orangtua angkat.

M
4. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak
tidak akan mendapat marga, gelar dari orangtua kandung,

U
melainkan dari orangtua angkat.

D
Selain akibat hukum yang mengaitkan hak dan kewajiban anak
setelah diangkat oleh orangtua angkatnya, terdapat juga akibat
anak tersebut dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan
perbuatan pengangkatan anak tersebut seperti akibat hukum
dengan orangtua kandung dan orangtua angkat.

1. Dengan Orangtua Kandung


Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan
dengan orangtua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak
terpenuhinya prosedur atau tata cara pengangkatan anak secara
terang dan tunai. Kedudukan orangtua kandung telah digantikan
oleh orangtua angkat.
Hal seperti ini terdapat di daerah Nias, Gayo, Lampung dan
Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah
memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya

168 HUKUM KELUARGA


saja, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan
orangtua kandungnya. Hanya hubungan dalam arti kehidupan
sehari-hari sudah ikut orangtua angkatnya dan orangtua kandung
tidak boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan, pemeliharaan
dan pendidikan si anak angkat.

2. Dengan Orangtua Angkat


Kedudukan anak angkat terhadap orangtua angkat mempunyai

Y
kedudukan sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak
atas hak mewaris dan keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam

M
beberapa daerah di Indonesia, seperti di Pulau Bali, perbuatan
mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan anak itu

M
dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke
dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut

U
berkedudukan sebagai anak kandung.

D
Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat
hubungan antara si anak dengan orangtua angkatnya seperti
hubungan anak dengan orangtua kandung dan hubungan dengan
orangtua kandungnya secara hukum menjadi terputus. Anak
angkat mewarisi dari orangtua angkatnya dan tidak dari orangtua
kandungnya.
Terdapat sebuah pengaturan khusus tentang hak waris anak
angkat yang diatur dalam beberapa putusan Mahkamah Agung
yang menjelaskan bahwa tidak semua harta peninggalan bisa
diwariskan kepada anak angkat. Hal tersebut dapat dilihat dalam
beberapa keputusan Mahkamah Agung, antara lain
1.    Putusan MA tanggal 18 Maret 1959 No. 37 K/Sip/1959
Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak
angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari
orangtua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal)
anak angkat tidak berhak mewarisinya.

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 169


2.    Putusan MA tanggal 24 Mei 1958 No. 82 K/Sip/1957
Anak kukut (anak angkat) tidak berhak mewarisi barang-
barang pusaka, barang-barang ini kembali kepada waris
keturunan darah.
3.    Putusan MA tanggal 15 Juli 1959 No. 182 K/Sip/1959
Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orangtua
angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh

Y
orangtua angkat tersebut.

Secara garis besar akibat hukum tentang perbuatan peng­

M
angkatan anak sudah sangat jelas pengertiannya karena telah diatur
di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Akibat hukum

M
tersebut akan selalu muncul apabila sebuah keluarga memutuskan
untuk mengangkat seorang anak, karena perbuatan tersebut akan

U
menciptakan hak dan kewajiban kepada anak yang telah diangkat.
Secara legal, adopsi atau pengangkatan anak dikuatkan

D
berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Hal ini berimplikasi
secara hukum, sedangkan adopsi ilegal adalah adopsi yang
dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orangtua
yang mengangkat dengan orangtua kandung anak. Jika, seorang
anak diadopsi secara legal, maka setelah pengangkatan ada akibat
hukum yang ditimbulkan, seperti hak perwalian dan pewarisan.
Sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orangtua
angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak itu pula,
segala hak dan kewajiban orangtua kandung teralih pada orangtua
angkat. Kecuali, bagi anak angkat perempuan yang beragama Islam,
bila ia akan menikah maka yang bisa jadi wali nikah hanyalah
orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya. Dalam hal ini
perkawinan siapa pun orangnya yang melangsungkan perkawinan
di Indonesia, maka ia harus tunduk pada hukum atau Undang-
Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Khazanah hukum kita, baik hukum
adat, hukum Islam maupun hukum nasional memiliki ketentuan

170 HUKUM KELUARGA


mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama,
artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai
untuk menentukan pewarisan bagi anak.
Menurut hukum adat, bila menggunakan lembaga adat
penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum
adat yang berlaku. Bagi keluarga yang perantau, Jawa misalnya,
pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga
antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karena itu,

Y
selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga
tetap berhak atas waris dari orangtua kandungnya.

M
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa
akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan ahli waris

M
dari orangtua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama
dari ayah kandungnya. Sementara dalam Staatsblad 1979 No. 129,

U
akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara
hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai

D
anak yang dilahirkan dari perkawinan orangtua angkat. Artinya,
akibat pengangkatan anak tersebut maka terputus segala hubungan
perdata yang berpangkal pada keturunan kelahiran, yaitu antara
orangtua kandung dan anak tersebut. Secara otomatis hak dan
kewajiban seorang anak angkat itu sama dengan anak kandung,
dan anak angkat berhak mendapatkan hak yang sama dengan anak
kandung orangtua angkat. Anak angkat juga berhak mengetahui
asal usulnya. Karena itu, orangtua angkat wajib menjelaskan
tentang asal muasalnya kepada si anak angkat, tak perlu khawatir
si anak lalu akan kembali kepada orangtua kandungnya.

D. Persyaratan Adopsi
Ketentuan dalam Pasal 5 Staatsblad 1917 Nomor 129, mengatur
siapa-siapa yang dapat mengangkat anak, dipersyaratkan bahwa
pengangkatan anak dapat dilakukan oleh suami-istri bersama-sama
atau jika ia telah bercerai dengan istrinya, maka pengangkatan anak
itu dilakukan oleh suami sendiri. Dalam hal seorang laki-laki yang

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 171


kawin atau telah pernah kawin mengangkat anak, ia harus tidak
mempunyai keturunan laki-laki yang sah menurut garis laki-laki,
baik berdasarkan pertalian darah maupun karena pengangkatan
anak. Demikian pula seorang janda yang ditinggal suaminya karena
meninggal dunia dan tidak kawin lagi, dapat mengangkat anak
jika dari perkawinannya tidak mempunyai keturunan, kecuali
sebelum meninggal dunia suaminya telah membuat wasiat yang
tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak

Y
dapat melakukan pengangkatan anak.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983

M
diatur syarat-syarat pengangkatan anak, yang dibedakan atas:
1. Syarat-syarat bagi perbuatan pengangkatan anak antar Warga

M
Negara Indonesia:
a. Calon orangtua angkat:

U
1) Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara

D
orangtua kandung dengan orangtua angkat (private
adoption) diperbolehkan;
2) Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang
tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah
(single parent adoption) diperbolehkan.
b. Syarat-syarat bagi calon anak yang diangkat:
1) Dalam hal calon anak angkat berada dalam asuhan
suatu yayasan sosial harus dilampirkan surat
izin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang
bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang
kegiatan pengangkatan anak;
2) Calon anak angkat yang berada dalam asuhan
Yayasan Sosial yang dimaksud di atas harus pula
mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau
pejabat yang ditunjuk, bahwa anak tersebut diizinkan
untuk diserahkan sebagai anak angkat.

172 HUKUM KELUARGA


2. Syarat-syarat bagi perbuatan pengangkatan anak Warga Negara
Asing oleh orangtua angkat Warga Negara Indonesia (inter
country adoption):
a. Calon orangtua angkat:
1) Pengangkatan anak WNA harus dilakukan melalui
suatu Yayasan Sosial bahwa yayasan tersebut telah
diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan
anak, sehingga pengangkatan anak WNA yang

Y
langsung dilakukan antara orangtua kandung WNA
dengan orangtua angkat tidak diperbolehkan;

M
2) Pengangkatan anak WNA oleh seorang WNI yang
tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah

M
(single parent adoption) tidak diperbolehkan.

U
b. Syarat-syarat bagi calon anak angkat WNA:
1) Usia calon anak angkat harus belum mencapai 5 tahun;

D
2) Disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial atau
pejabat yang ditunjuk bahwa calon anak angkat WNA
yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai
anak angkat oleh calon orangtua angkat WNI yang
bersangkutan.
3. Syarat-syarat bagi perbuatan pengangkatan anak Warga Negara
Indonesia oleh orangtua angkat Warga Negara Asing (inter
country adoption):
a. Calon orangtua angkat:
1) Harus telah berdomisili dan bekerja tetap di
Indonesia sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
2) Harus disertai izin tertulis Menteri Sosial atau pejabat
yang ditunjuk bahwa calon orangtua angkat WNA
memperoleh izin untuk mengajukan permohonan
pengangkatan anak seorang Warga Negara Indonesia;

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 173


3) Pengangkatan anak WNI harus dilakukan suatu
Yayasan Sosial bahwa yayasan tersebut telah
diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan
anak, sehingga pengangkatan anak WNI yang
langsung dilakukan antara orangtua kandung WNI
dengan orangtua angkat WNA tidak diperbolehkan;
4) Pengangkatan anak WNI oleh seorang WNA yang
tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum

Y
menikah tidak diperbolehkan.
b. Syarat-syarat bagi calon anak angkat WNI:

M
1) Usia calon anak angkat harus belum mencapai 5
(lima) tahun;

M
2) Disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial atau

U
pejabat yang ditunjuk bahwa calon anak angkat WNI
yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai

D
anak angkat oleh calon orangtua angkat WNA yang
bersangkutan.

E. Kriteria Motivasi Pengangkatan Anak


Adapun kriteria pengangkatan anak di Indonesia didasari
sebagai berikut:
1. Karena tidak mempunyai anak. Hal ini adalah suatu motivasi
yang bersifat umum karena jalan satu-satunya bagi mereka
yang belum atau tidak mempunyai anak, di mana dengan
pengangkatan anak sebagai pelengkap kebahagiaan dan
kelengkapan serta menyemarakkan rumah tangga.
2. Karena belas kasihan terhadap anak-anak tersebut, disebabkan
orangtua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya.
Hal ini adalah motivasi yang sangat positif, karena di samping
mambantu si anak juga membantu beban orangtua kandung
si anak asal didasari oleh kesepakatan yang ikhlas antara
orangtua angkat dengan orangtua kandung.

174 HUKUM KELUARGA


3. Karena belas kasihan di mana anak tersebut tidak mempunyai
orangtua. Hal ini memang suatu kewajiban moral bagi yang
mampu, di samping sebagai misi kemanusiaan.
4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah
anak perempuan atau sebaliknya. Hal ini adalah juga
merupakan motivasi yang logis karena umumnya orang ingin
mempunyai anak perempuan dan anak laki-laki.
5. Sebagai pemancing bagi yang tidak punya anak, untuk dapat

Y
mempunyai anak kandung. Motivasi ini berhubungan erat
dengan kepercayaan yang ada pada anggota masyarakat.

M
6. Untuk menambah jumlah keluarga. Hal ini karena orangtua
angkatnya mempunyai banyak kekayaan.

M
7. Dengan maksud agar anak yang diangkat mendapat

U
pendidikan yang baik. Motivasi ini erat hubungannya dengan
misi kemanusiaan.

D
8. Karena faktor kekayaan. Dalam hal ini, di samping motivasi
sebagai pemancing untuk dapat mempunyai anak kandung,
juga sering pengangkatan anak ini dalam rangka untuk
mengambil berkat baik bagi orangtua angkat maupun dari
anak yang diangkat demi untuk bertambah baik kehidupannya.
9. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris
bagi yang tidak mempunyai anak kandung. Hal ini berangkat
dari keinginan agar dapat memberikan harta dan meneruskan
garis keturunan.
10. Adanya hubungan keluarga, maka orangtua kandung dari si
anak tersebut meminta suatu keluarga supaya dijadikan anak
angkat. Hal ini juga mengandung misi kemanusiaan.
11. Diharapkan anak dapat menolong di hari tua dan menyambung
keturunan bagi yang tidak mempunyai anak. Dari sini terdapat
motivasi timbal balik antara kepentingan si anak dan jaminan
masa tua bagi orangtua angkat.

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 175


12. Ada perasaan kasihan atas nasib si anak yang tidak terurus.
Pengertian tidak terurus, dapat saja berarti orangtuanya hidup
namun tidak mampu atau tidak bertanggung jawab, sehingga
anaknya menjadi terkatung-katung. Di samping itu, juga dapat
dilakukan terhadap orangtua yang sudah meninggal dunia.
13 Untuk mempererat hubungan keluarga. Di sini terdapat misi
untuk mempererat pertalian famili dengan orangtua si anak
angkat.

Y
14. Karena anak kandung sakit-sakitan atau selalu meninggal
dunia, maka untuk menyelamatkan si anak, diberikannya anak

M
tersebut kepada keluarga atau orang lain yang belum atau tidak
mempunyai anak, dengan harapan anak yang bersangkutan

M
akan selalu sehat dan panjang usia. Dari motivasi ini terlihat
adanya unsur kepercayaan dari masyarakat kita.

U
F. Hukum Islam dan Pengangkatan Anak

D
Seorang Muslim menurut agama Islam haruslah mengasihi
sesama manusia, saling tolong manusia, “Dan manusia-manusia
yang beriman baik pria maupun wanita masing-masing mereka
tolong menolong” (Al Baqarah: 71). Dalam suasana tolong-
menolong ini, tidak terkecuali upaya menolong anak-anak kecil
atau bayi yang terlantar, tidak mampu, atau miskin.
Intinya agama Islam menganjurkan umatnya untuk menolong
dan membantu sesama, jadi juga menolong dan membantu anak-
anak atau bayi yang terlantar, atau tidak mampu itu. Dalam upaya
menolong anak-anak atau bayi yang terlantar, agama Islam kemung­
kinan untuk melakukan pengangkatan anak, tetapi tidak dalam arti
pengangkatan untuk dijadikan seperti anak kandung. Menurut hukum
Islam, bahwa pengangkatan anak bertujuan utama kepentingan
kesejahteraan si anak angkat dan bukan melanjutkan keturunan.
Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam menegaskan tentang penger­
tian Anak Angkat sebagai, “Anak yang dalam hal pemeli­haraan

176 HUKUM KELUARGA


untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan”. Dengan demikian, menurut
hukum Islam yang diperbolehkan adalah pengangkatan anak yang
bentuk hubungannya seperti pemeli­haraan anak. Oleh sebab itu, ada
penulis dari kalangan Islam yang cenderung menyebut hubungan
demikian bukan peng­angkatan anak melainkan memungut anak
(laqietr),9 yang secara tegas dibedakan dengan pengangkatan anak

Y
(adopsi). Tetapi pada umumnya orang tidak keberatan dengan
istilah pengangkatan anak (adopsi) asalkan diberi arti sebagaimana

M
dimaksud oleh agama Islam tadi.
Pengangkatan dengan arti dan sifat yang demikian adalah

M
sesuai dengan kaidah dalam Surat Al Ahzab ayat (4) dan (5),
di mana pengangkatan anak menurut hukum Islam tidak

U
memberi kepada anak angkat status seperti anak kandung dari
orangtua yang mengangkat, sehingga: (i) si anak angkat tetap

D
mempunyai hubungan darah dan hubungan mewarisi dengan
orangtua kandungnya; (ii) di belakang nama si anak angkat tetap
menggunakan nama ayah angkatnya; (iii) tidak ada hubungan
darah dan hubungan mewaris antara anak angkat dengan orangtua
angkat; (iv) orangtua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali
nikah anak angkat.

G. Ketentuan Pengangkatan Anak Berdasarkan Peraturan


Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan
Pengangkatan Anak serta Peraturan Menteri Sosial No.
110/Huk/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum
yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan
orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung

9
Fuad Mohd, Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1985), hlm. 81.

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 177


jawab atas perawatannya, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkat.10 Untuk
melaksanakan ketentuan mengenai pengangkatan anak sebagai­
mana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, maka prosesnya perlu mengikuti
ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 54
Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak.
Pengangkatan anak terdiri dari Pengangkatan anak antar

Y
Warga Negara Indonesia; dan pengangkatan anak antara Warga
Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.11 Pengangkatan

M
anak antar Warga Negara Indonesia dapat dilakukan berdasarkan
adat kebiasaan setempat ataupun berdasarkan Peraturan

M
Perundang-undangan.12
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 54

U
Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak, bahwa
dalam pengangkatan anak ada beberapa persyaratan yang harus

D
dipenuhi, yaitu:
1. Syarat anak yang diangkat:
a) Belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b) Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c) Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga
pengasuhan anak; dan
d) Memerlukan perlindungan khusus.
2. Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, meliputi:
a) Anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas
utama;

10
Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
dan Pengangkatan Anak.
11
Lihat ketentuan Pasal 7 huruf a dan huruf b.
12
Lihat ketentuan Pasal 8 huruf a dan huruf b Pemerintah No. 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak.

178 HUKUM KELUARGA


b) Anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia
12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan
c) Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak
memerlukan perlindungan khusus.

Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan


dan Pengangkatan Anak juga memberikan persyaratan terhadap

Y
calon orangtua angkat, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 13
Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan

M
dan Pengangkatan Anak, yang menentukan sebagai berikut:
a. Sehat jasmani dan rohani;

M
b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi
55 (lima puluh lima) tahun;

U
c. Beragama sama dengan agama calon anak angkat;

D
d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak kejahatan;
e. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. Tidak merupakan pasangan sejenis;
g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu
orang anak;
h. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orangtua atau
wali anak;
j. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan
dan perlindungan anak;
k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam)
bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
m. Memperoleh izin menteri dan/atau kepala instansi sosial.

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 179


Pengangkatan anak yang dilakukan antar Warga Negara
Indonesia harus mengikuti tata cara atau prosedur pengangkatan
anak, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan
Anak, yang menentukan bahwa: “Pengangkatan anak secara adat
kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam
masyarakat yang bersangkutan”.
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 20 menjelaskan bahwa,

Y
pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke
pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan. Selanjutnya,

M
pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak
ke instansi lain.13

M
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 18 Peraturan
Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Peng­

U
angkatan Anak, yang menyatakan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut
mengenai persyaratan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud

D
dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17
diatur dengan Peraturan Menteri”. Salah satunya adalah dengan
Peraturan Menteri Sosial No. 110/Huk/2009 tentang Persyaratan
Pengangkatan Anak.
Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No. 110/Huk/2009
tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, menjelaskan bahwa,
tujuan pengangkatan anak adalah untuk kepentingan terbaik
bagi anak untuk mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan
anak yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.14
Adapun syarat-syarat pengangkatan anak yang diatur dalam
peraturan menteri sosial ini meliputi persyaratan terhadap calon
anak angkat maupun persyaratan terhadap calon orangtua angkat.

13
Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak.
14
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Sosial No. 110/Huk/2009 tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak.

180 HUKUM KELUARGA


Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Sosial No.
110/Huk/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, bahwa
syarat material calon anak yang dapat diangkat meliputi:
a. Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan
anak; dan

Y
d. Memerlukan perlindungan khusus.

Permohonan pengangkatan anak harus melampirkan per­

M
syaratan administratif calon anak angkat yang meliputi: Copy
KTP orangtua kandung/wali yang sah/kerabat calon anak angkat;

M
Copy kartu keluarga orangtua calon anak angkat; Dan kutipan akta
kelahiran calon anak angkat.15

U
Berdasarkan ketentuan Pasal 7, bahwa syarat-syarat calon

D
orangtua angkat dalam hal pengangkatan anak adalah sebagai
berikut:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi
55 (lima puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak kejahatan;
e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu
orang anak;
h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;

15
Pasal 5 Peraturan Menteri Sosial No 110/Huk/2009 tentang Persyaratan
Pengangkatan Anak.

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 181


i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orangtua
atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan
dan perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam)

Y
bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri atau Kepala Instansi Sosial Provinsi.

M
Umur calon orangtua angkat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, yaitu perhitungan umur calon orangtua angkat pada

M
saat mengajukan permohonan pengangkatan anak. Selanjutnya,
Persetujuan tertulis dari calon anak angkat sebagaimana dimaksud

U
pada ayat (1) huruf i, disesuaikan dengan tingkat kematangan jiwa
dari calon anak angkat.16

D
H. Contoh Akta Pengangkatan Anak (Adopsi)
PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI)

Nomor: 03,-
- Pada hari ini, Rabu, tanggal 27-05-2015 (dua puluh tujuh Mei
dua ribu lima belas). -------------------------------------------------
- Pukul 16.00 WIB (Waktu Indonesia Barat). ---------------------
- Berhadapan dengan saya, XXX, Sarjana Hukum, Notaris di
Medan, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang nama-namanya
akan disebut pada bagian akhir akta ini:--------------------------
1. Nyonya zzzz, lahir di Pematangsiantar, pada tanggal 18-
12-1995 (delapan belas Desember seribu sembilan ratus
sembilan puluh lima), Warga Negara Indonesia, Pelajar/
Mahasiswa, bertempat tinggal di Medan, Jalan Kemiri G

16
Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Sosial No. 110/Huk/2009
tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

182 HUKUM KELUARGA


Pinang nomor: 5-C, Kelurahan Sudirejo II, Kecamatan
Medan Kota, pemegang Kartu Tanda Penduduk nomor:
1271015812950003. --------------------------------------------
- menurut keterangannya untuk melakukan perbuatan
hukum dalam akta ini tidak perlu mendapat
persetujuan dari siapa pun dikarenakan penghadap
tidak pernah melakukan pernikahan. ------------------
- selanjutnya dalam akta ini disebut juga: Pihak PERTAMA
----------------------------------------------------------------------------

Y
2. Nyonya KKKK, lahir di Balige, pada tanggal 28-01-1976
(dua puluh delapan Januari seribu sembilan ratus tujuh

M
puluh enam), Warga Negara Indonesia, Wiraswasta,
bertempat tinggal di Toba Samosir, Jalan Pemandian, Desa

M
Lumban Silintong, Kecamatan Balige, pemegang Kartu
Tanda Penduduk nomor:1212016801760002. ---------------

U
- Untuk sementara berada di Medan. -------------------
- Dalam melakukan perbuatan hukum dalam akta ini

D
dilakukan bersama-sama dengan suaminya yang sah,
-----------------------------------------------------------------
Tuan ccccc, lahir di Balige, pada tanggal 15-07-1982
(lima belas Juli seribu sembilan ratus delapan puluh
dua), Warga Negara Indonesia, Pegawai Negeri
Sipil, bertempat tinggal di Toba Samosir, Jalan
Pemandian, Desa Lumban Silintong, Kecamatan
Balige, pemegang Kartu Tanda Penduduk nomor:
1212011507820005, sesuai dengan Akta Perkawinan
Nomor 474.2/01/678/II/2008 tertanggal 20-02-
2008 (dua puluh Februari dua ribu delapan) yang
kutipan akta ini dikeluarkan di Toba Samosir pada
tanggal 20-02-2008 (dua puluh Februari dua ribu
delapan) oleh Kantor Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Toba Samosir, yang turut hadir dan
membubuhi tanda tangannya dalam akta ini.-----------
- Untuk sementara berada di Medan. --------------------
- selanjutnya dalam akta ini disebut juga: Pihak KEDUA. ---------
- Para Penghadap saya, Notaris, kenal. ------------------------------

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 183


- Para Penghadap menerangkan terlebih dahulu: ------------------
- bahwa Pihak Pertama adalah Ibu kandung dari bayi laki-laki:
------------------------------------------------------------------------------

KULI, lahir di Medan, pada tanggal 03-02-2015 (tiga Februari


dua ribu lima belas), Warga Negara Indonesia, berdasarkan surat
keterangan lahir yang dikeluarkan oleh pimpinan Rumah Sakit
Umum Bahagia Medan Dokter Alim Said, Sp. OG pada tanggal
26-02-2015 (dua puluh enam Februari dua ribu lima belas) dan

Y
ditandatangani oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan POLITM.
Kes, Nomor Induk Pegawai (NIP): 196110989032002.-

M
- bahwa untuk memberikan kesempatan dalam kehidupan dan
pendidikan yang lebih luas dan baik terhadap anak tersebut di
atas, maka Pihak Pertama dengan akta ini menyerahkan anak

M
tersebut kepada Pihak Kedua untuk diasuh dan dibesarkan.
-----------------------------------------------------------------------------

U
- bahwa Pihak Kedua bersedia membiayai, memelihara,
mengurus, memerhatikan, membimbing dan mendidik anak-

D
anak tersebut di atas -------------------------------------------------
sebagai anak-anak mereka sendiri. ---------------------------------
- bahwa Pihak Pertama menerangkan dengan ini telah
memberikan dan menyerahkan anak-anaknya yang bernama,
KULI tersebut di atas kepada Pihak Kedua untuk diambil,
diangkat dan dianggap oleh Pihak Kedua sebagai anak-anaknya
sendiri, pula Pihak Pertama telah menyerahkan kepada Pihak
Kedua semua kekuasaannya sebagai orangtua anak tersebut
dan melepaskan semua haknya atas diri dan badan anak-anak
tersebut, hak-hak mana selanjutnya menjadi tanggung jawab
dan kepunyaan Pihak Kedua yang dianggap sebagai orangtua
anak tersebut. ----------------------------------------------------------
- bahwa Pihak Kedua menerangkan mereka telah mengangkat
anak tersebut sebagai anak mereka sendiri yang sah. ---------
----------------------------------------------------------------------------
- bahwa pihak Kedua menerangkan mereka memiliki pekerjaan
yang tetap sebagaimana yang tertera dalam Kartu Pegawai
Negeri Sipil Republik Indonesia, terdaftar atas nama CCCC,
Nomor Induk Pegawai (NIP) 19820715 200701 1 002, yang

184 HUKUM KELUARGA


dikeluarkan pada tanggal 9-11-2009 (sembilan November dua
ribu sembilan) oleh Kepala Badan Kepegawaian Negera III
Nomor Induk Pegawai (NIP): 010081802, sehingga mereka
menyatakan sanggup secara finansial untuk memelihara,
mengurus, membimbing dan memerhatikan pendidikannya,
hingga Pihak Kedua meninggal dunia. ----------------------------
- Selanjutnya para pihak menerangkan: ----------------------------
- bahwa apabila mungkin dikemudian hari ternyata dalam
perkawinan Pihak Kedua yaitu Nyonya KKK dan Tuan CCCC,

Y
tidak lagi terjalin suatu kebahagian dan keharmonisan dalam
rumah tangganya, sehingga terjadi pisah tempat tidur atau

M
kediaman/domisili maupun putusnya perkawinan mereka
atau bercerai, maka Tuan CCCC berjanji dan mengikat diri
sepenuhnya untuk tetap dan bersedia menanggung segala

M
biaya-biaya hidup, pemeliharaan, pendidikan, dan segala
hak atas anak-anak tersebut yang diberikan oleh peraturan

U
hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
----------------------------------------------------------------------------

D
- bahwa apabila Nyonya KKK meninggal dunia lebih dahulu
dari suaminya Tuan CCCC tersebut, maka Tuan CCC berjanji
dan mengikat diri sepenuhnya untuk wajib dan bersedia
menanggung segala biaya hidup, pengurusan dan pendidikan
terhadap anak-anak tersebut di atas. ------------------------------
- Akhirnya mengenai akta ini dan segala akibatnya para pihak
memilih tempat kedudukan hukum (domisili) yang tetap dan
umum di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Medan di Medan.
----------------------------------------------------------------------------

--------------------- DEMIKIANLAH AKTA INI ---------------------


- Dibuat dan diresmikan di Medan, pada hari dan tanggal
seperti tersebut pada bagian awal akta ini, dengan dihadiri
oleh: ---------------------------------------------------------------------
1. Nona RI, SH, Lahir di Ngaso, pada tanggal 04-12-1990
(empat Desember seribu sembilan ratus sembilan puluh),
Pekerjaan Pegawai Kantor, Warga Negara Indonesia,
bertempat tinggal di Medan. ----------------------------------

Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi) 185


2. Tuan Ok, SH, Lahir di Pematangsiantar, pada tanggal
03-10-1989 (tiga Oktober seribu sembilan ratus delapan
puluh sembilan), Pekerjaan Pegawai Kantor Notaris,
Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di Medan.
-----------------------------------------------------------------------
- Keduanya sebagai saksi-saksi. --------------------------------------
- Segera setelah saya, Notaris bacakan dan jelaskan isi dan
maksud akta ini kepada para penghadap dan saksi-saksi, maka
akta ini ditandatangani oleh para penghadap, saksi-saksi dan

Y
saya, Notaris. ----------------------------------------------------------
- Di samping menandatangani akta ini, para penghadap juga

M
membubuhkan cap ibu jarinya pada lembar lain. -----------------
- Dilangsungkan dengan perubahan yakni pencoretan dan

M
penggantian. -----------------------------------------------------------
- Minuta akta ini telah ditandatangani sebagaimana mestinya.

U
-----------------------------------------------------------------------------
- Diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya. ------------------

186 HUKUM KELUARGA


Bab 8
HUKUM WARIS

M Y
M
A. Hukum Waris Perdata (BW)

U
1. Pengertian Hukum Waris

D
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan
harta kekayaan yang ditinggalkan seorang yang meninggal serta
akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya, hanya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta
benda saja yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian, seperti hak
seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak dan hak
seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak
sah dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan
hukum kekeluargaan), dinyatakan oleh undang-undang diwarisi
oleh ahli warisnya.1
Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan
bahwa, “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Oleh
karena itu, harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah
meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan
terbuka. Dalam hal ini, ada ketentuan khusus dalam Pasal 2 Kitab

1
Effendi Perangin-Angin, Hukum Waris, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2013), hlm. 3.

Bab 8 | Hukum Waris 187


Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan pun dianggap sebagai telah
dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu
dilahirkan dianggap tidak pernah ada. Jelasnya, seorang anak yang
lahir saat ayahnya telah meninggal, berhak mendapat warisan. Hal
ini diatur dalam Pasal 836 KUH Perdata, yang menentukan bahwa,
“Dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 KUH Perdata
ini supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada

Y
pada saat warisan jatuh meluang”.2
Hukum waris menurut konsepsi perdata Barat yang bersumber

M
pada BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh
karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta

M
kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan.
Hak dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang

U
timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan,
demikian pula haknya dengan hak dan kewajiban yang timbul

D
dari hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan.3
Menurut Pitlo, “Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang
meng­atur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang,
yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si
mati dan akibat dari pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh
si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang mem­
perolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka,
maupun dalam hubungan antar mereka dengan pihak ketiga”.4
Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang
kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya
karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika
terpenuhi 3 (tiga) persyaratan, yaitu:5

2
Ibid., hlm. 4.
3
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
(Bandung: Revika Aditama, 2011), hlm. 25.
4
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda,
Terjemahan M. Isa Arief, Jakarta: Intermassa, 1979, hlm. 1.
5
Eman Suparman, Loc.Cit.

188 HUKUM KELUARGA


a. Ada seseorang yang meninggal dunia;
b. Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan
memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
c. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.

Sifat hukum waris Perdata Barat (BW) yaitu, menganut:6


a. Sistem pribadi, yaitu yang menentukan bahwa ahli waris
adalah perseorangan, bukan kelompok ahli waris.

Y
b. Sistem bilateral, yaitu mewaris dari pihak ibu maupun bapak.
c. Sistem perderajatan, yaitu ahli waris yang derajatnya lebih

M
dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh
derajatnya.

M
Dalam hukum waris BW, berlaku suatu asas yang menentukan

U
bahwa, “Apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu
juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli

D
warisnya”.7
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris
adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan
atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Berdasarkan sistematika Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, maka jelas bahwa masalah-masalah penting yang
menyangkut kewarisan diatur di dalam Buku II tentang Kebendaan.
Sistematika tersebut memberi petunjuk bahwa hak kewarisan
dan segala sesuatu yang timbul karenanya dipandang sebagai hak
kebendaan. Dalam kaitan ini memang banyak bukti bahwa hukum
waris memiliki dimensi hukum kebendaan. Hal ini dapat ditinjau
dari beberapa aspek antara lain yang tercantum di dalam Pasal 833,
Pasal 834, dan Pasal 1000 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.8

6
Effendi Perangin-Angin, Loc.Cit.
7
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Vorkink van Hoeve
S Gravenhage,sa,), hlm. 8. Dalam Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 28.
8
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991),
hlm. 13.

Bab 8 | Hukum Waris 189


Yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW adalah,
“Adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk
sewaktu-waktu menuntut pembagian harta warisan”.9 Ini berarti,
apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan
di depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh
ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera dalam Pasal 1066
BW, yaitu:
a. Seorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta

Y
peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta
benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara

M
para ahli waris yang ada;
b. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut

M
walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;
c. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat

U
saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu;

D
d. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat
selama 5 (lima) tahun, namun dapat diperbaharui jika masih
dikehendaki oleh para pihak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1066 tersebut di atas, dapat


dipahami bahwa sistem hukum waris BW memiliki ciri yang
khas, yaitu menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris
secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta
tersebut. Atau apabila tidak untuk dibagi maka harus terlebih
dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris.

2. Warisan dalam Sistem Hukum Waris BW


Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem
hukum perdata yang bersumber pada BW meliputi seluruh harta
benda beserta hak dan kewajiban pewaris dalam lapangan hukum
harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Namun, ketentuan

9
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm. 12.

190 HUKUM KELUARGA


tersebut ada beberapa pengecualian, yaitu hak dan kewajiban
dalam lapangan hukum harta kekayaan yang tidak dapat beralih
kepada ahli waris antara lain:10
a. Hak untuk memungut hasil (vruchtgebruik);
b. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan
bersifat pribadi;
c. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatcschap

Y
menurut BW maupun firma menurut Wvk, sebab perkongsian
ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota atau
persero.

M
Pengecualian lain, yaitu ada beberapa hak yang terletak dalam

M
lapangan hukum keluarga, tetapi dapat diwariskan kepada ahli
waris pemilik hak, yaitu:11

U
a. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;

D
b. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan
sebagai anak sah dari ayah atau ibunya.

Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa menurut BW, kematian


seseorang mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban
pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas
dijelaskan dalam Pasal 833 ayat (1) BW, yang menyatakan bahwa:
“sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh
hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang
dari yang meninggal”.12 Peralihan hak dan kewajiban dari yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut “saisine”.13
Adapun yang dimaksud dengan saisine adalah, ahli waris yang
memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia

10
Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm. 82.
11
Ibid.
12
Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 28.
13
Lihat Surbekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermassa, 1977), hlm.
79. Dalam Eman Suparman, Ibid.

Bab 8 | Hukum Waris 191


tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila
ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.
Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun
harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam
perkawinan, sebab harta perkawinan dalam BW dari siapa pun
juga, merupakan sutau kesatuan yang secara bulat dan utuh dalam
keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris
ke ahli warisnya. Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan

Y
pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang
ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 849 BW,

M
yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang tidak memandang akan
sifat atau asal dari daripada barang-barang dalam suatu peninggalan

M
untuk mengatur pewarisan terhadapnya”. Sistem hukum waris BW
mengenal sebaliknya dari sistem waris adat yang membedakan

U
“macam” dan “asal” barang yang ditinggalkan pewaris. Sedangkan
sistem BW, tidak mengenal hal tersebut, melainkan harta asal

D
yang dibawa masing-masing ketika menikah, maupun harta yang
diperoleh selama perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan
bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.14

3. Pewaris dan Dasar Hukumnya


Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki
maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan
maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang
harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat
maupun tanpa surat wasiat. Dasar hukum seorang ahli waris
mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris
BW ada 2 (dua) cara, yaitu:15
a. Menurut ketentuan Undang-Undang;
b. Ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).

14
Ibid., hlm. 28.
15
R Subekti, Op.Cit., hlm. 78.

192 HUKUM KELUARGA


Dasar hukum tersebut menentukan bahwa untuk melanjutkan
kedudukan hukum bagi harta seseorang yang meninggal,
sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang
meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas
menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia
meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak menentukan
sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi
terhadap harta kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang

Y
kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang akan
ditinggalkan oleh seseorang tersebut.16

M
Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi
harta peninggalan pewaris juga melalui cara yang ditunjuk dalam

M
surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan
tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat

U
utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah
pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik

D
kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat
masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat
wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah,
dicabut, maupun ditarik kembali oleh siapa pun.17
Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruh hartanya
dengan surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli
waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi,
pemberian seorang calon pewaris berdasarkan surat wasiat tidak
bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab
intestato.

4. Ahli Waris Menurut Sistem BW dan Porsi Bagiannya


Undang-undang mengatur beberapa hal yang menyangkut ahli
waris. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut masalah ahli waris

16
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 85.
17
Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 29.

Bab 8 | Hukum Waris 193


tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 832, Pasal 833, Pasal 834,
Pasal 837 dan Pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Ketentuan Undang-Undang pada prinsipnya menegaskan
bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah
dan suami-istri yang masih hidup. Jika yang pertama tidak ada,
maka negara lah yang maju menjadi ahli waris. Menurut undang-
undang, seluruh ahli waris dengan sendirinya memperoleh hak
milik atas semua harta peninggalan pewaris.18

Y
Ahli waris memiliki hak untuk mengadakan gugatan kepada
siapa saja demi memperjuangkan hak warisnya. Gugatan yang berisi

M
tuntutan untuk memperoleh warisan yang didasarkan kepada hak
waris yang dimilikinya lebih dikenal dengan “heriditatis pelitio”.

M
Gugatan semacam itu dapat ditujukan kepada setiap orang sejauh
menyangkut diserahkannya segala sesuatu yang timbul dari hak

U
waris termasuk di dalamnya segala hasil pendapatan dan ganti rugi.19

D
Pada dasarnya semua harta peninggalan adalah milik ahli
waris, dalam hal ini berlaku hukum waris menurut undang-undang.
Adapun ketetapan dalam wasiat tetap diakui keberadaannya. Oleh
sebab itu, setiap ahli waris dapat menuntut pembayaran dari suatu
harta warisan atau harta peninggalan. Artinya adalah semua harta
warisan atau harta peninggalan harus segera dibagi-bagi kepada
para ahli waris dalam keadaan utuh tidak terbagi-bagi, jadi dalam
satu kesatuan.
Undang-undang menetapkan adanya keluarga sedarah yang
berhak mewaris dan keberadaan suami atau istri (yang hidup paling
lama) dengan pewaris. Mereka yang berhak mewaris dapat dibagi
menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:
a. Golongan I: Anak, atau keturunannya dan janda atau duda, yang
jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, Pasal 852 a,

18
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991),
hlm. 66.
19
Ibid.

194 HUKUM KELUARGA


Pasal 852b, dan Pasal 515 KUH Perdata.20 Bagian golongan
pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke
bawah, yaitu anak-anak beserta keturunannya, janda dan/atau
duda yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama, masing-
masing memperoleh satu bagian yang sama. Oleh karena itu,
bila terdapat empat orang anak dan janda maka mereka masing-
masing mendapat hak 1/5 bagian dari harta warisan.21
b. Golongan II: Bagian golongan kedua yang meliputi anggota

Y
keluarga dalam garis lurus ke atas, yaitu orangtua, (bapak/ibu),
saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya

M
ditetapkan di dalam Pasal 854, Pasal 855, Pasal 856, dan Pasal
857 KUH Perdata.22 Bagi orangtua ada peraturan khusus

M
yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang ¼
(seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka

U
menjadi ahli waris bersama saudara pewaris. Oleh karena
itu, bila terdapat 3 (tiga) orang saudara yang menjadi ahli

D
waris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan
ibu masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh
harta warisan; sedangkan separuh dari harta warisan itu
akan diwarisi oleh tiga orang saudara yang masing-masing
memperoleh 1/6 bagian.23
c. Golongan III: meliputi kakek, nenek, dan leluhur dalam garis
lurus ke atas, yang jumlah bagiannya telah ditetapkan dalam,
Pasal 853, Pasal 858 ayat (1) KUH Perdata.24 Apabila pewaris
sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama
dan golongan kedua, maka dalam kondisi ini sebelum harta
warisan dibagi, terlebih dahulu harus di bagi 2 (dua) atau
yang disebut dengan kloving. Selanjutnya separuh yang satu
merupakan bagian sanak keluarga dari garis ayah pewaris,

20
Ibid., hlm. 67.
21
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 87.
22
Sudarsono, Loc.Cit.
23
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 88.
24
Sudarsono, Loc.Cit.

Bab 8 | Hukum Waris 195


dan bagian yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak
keluarga dari garis ibu pewaris. Bagian yang masing-masing
separuh hasil kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris
untuk bagian dari garis ayah; sedangkan untuk bagian dari
garis ibu harus diberikan kepada nenek.25
d. Golongan IV: Ahli waris golongan keempat meliputi anggota
keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya
sampai derajat keenam. Yang terdiri dari, paman dan bibi

Y
serta keturunannya, baik dari garis pihak ayah maupun garis
dari pihak ibu, yang bagiannya telah ditetapkan dalam Pasal

M
858 ayat (2), Pasal 861, Pasal 832 ayat (2), Pasal 862, Pasal
863, Pasal 864, Pasal 865, dan Pasal 866 KUH Perdata. Cara

M
pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli
waris golongan ketiga, yaitu harta warisan dibagi 2 (dua), satu

U
bagian untuk paman dan bibi serta garis keturunannya dari
garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman dan bibi serta

D
keturunannya dari garis ibu.26

B. Hukum Waris dalam Islam


1. Pengertian Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan
harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal
ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi
bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta peninggalan
dan harta warisan bagi orang yang meninggal dimaksud.27

2. Sistem Hukum Waris Islam


Warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam yaitu,
“sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia

25
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 90.
26
Ibid., hlm. 91.
27
Ibid., hlm. 33.

196 HUKUM KELUARGA


dalam keadaan bersih”. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi
oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak,
“setelah dikurangi dengan pembayaran utang-utang pewaris dan
pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si
peninggal waris”.28
Menurut Hazairin, “Sistem kewarisan Islam adalah sistem
individual bilateral”.29 Hal tersebut karena atas dasar ayat-
ayat kewarisan dalam Al-Qur’an antara lain seperti yang

Y
tercantum masing-masing dalam surat An-Nissa (QS IV) ayat
7,8,11,12,13,33, dan ayat 176 serta setelah sistem kewarisan atau

M
sistem hukum waris menurut Al-Qur’an yang individual bilateral
itu dibandingkan dengan sistem hukum waris individual bilateral

M
dalam masyarakat yang bilateral.
Adapun ciri atau spesifikasi sistem hukum waris Islam

U
menurut Al-Qur’an, yaitu:30

D
a. Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orangtua si
pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem
hukum waris di laur Al-Qur’an hal itu tidak mungkin sebab
orangtua baru mungkin menjadi ahli waris jika pewaris
meninggal dunia tanpa keturunan; mati punah.
b. Jika meninggal dunia tanpa keturunan maka ada kemungkinan
saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai ahli
waris dengan orangtuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya.
Prinsip di atas maksudnya ialah jika orangtua pewaris, dapat
berkonkurensi dengan anak-anak pewaris, apabila dengan
saudara-saudaranya yang sederajat lebih jauh dari anak-
anaknya. Menurut sistem hukum waris di luar Al-Qur’an hal
tersebut tidak mungkin sebab saudara si pewaris tertutup
haknya oleh orangtuanya.

28
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm. 17. Lihat juga Eman Suparman, Op.Cit.,
hlm. 13.
29
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Tintamas,sa),
hlm. 14-15. Lihat juga Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 15.
30
Ibid.

Bab 8 | Hukum Waris 197


c. Bahwa suami-istri saling mewaris; artinya pihak yang hidup
paling lama menjadi ahli waris dari pihak lainnya.

Sistem kewarisan Islam menurut Al-Qur’an sesungguhnya


merupakan perbaikan dan perubahan dari prinsip-prinsip hukum
waris yang berlaku di Negeri Arab sebelum Islam, dengan sistem
kekeluargaannya yang patrilineal. Pada dasarnya sebelum Islam
telah dikenal tiga prinsip pokok dalam hukum waris, yaitu:31

Y
a. Anggota keluarga yang berhak mewarisi pertama adalah kaum
kerabat laki-laki dari pihak bapak yang terdekat atau disebut

M
ashabah;
b. Pihak perempuan dan anggota keluarga dari garis ibu, tidak

M
mempunyai hak waris;
c. Keturunannya yaitu anak, cucu, canggah, pada dasarnya lebih

U
berhak mewarisi daripada leluhur pewaris, yaitu ayah, kakak,
maupun buyutnya.

D
Setelah Islam datang, Al-Qur’an membawa perubahan dan
perbaikan terhadap ketiga prinsip di atas sehingga pokok-pokok
hukum waris Islam dalam Al-Qur’an sebagaimana ditentukan
dalam surat An-Nisa ayat-ayat tersebut di atas.

3. Unsur-unsur dan Asas-asas Hukum Waris Islam


a. Unsur-unsur Hukum Waris Islam
Unsur-unsur hukum waris Islam dalam pelaksanaan hukum
kewarisan masyarakat Muslim yang mendiami Negara Republik
Indonesia terdiri atas 3 (tiga) unsur yang perlu diuraikan, yaitu
(1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli waris. Ketiga unsur
tersebut akan diuraikan sebagai berikut:32

31
Ibid., hlm. 16.
32
Mohammad Daud Ali, “Hukum Kewarisan Islam: Asas-Asas dan Konstelasinya
dengan Hukum Kewarisan Nasional”, Makalah disampaikan pada seminar sehari
Lembaga Pendidikan Alhuda, Jakarta, 15 Januari 1994, hlm. 8. Lihat juga Zainudin
Ali, Op.Cit., hlm. 46.

198 HUKUM KELUARGA


1) Pewaris
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama
Islam. Meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih
hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu
proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah
meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh
karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan
haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris,

Y
meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang
kematiannya. Pewaris di dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat

M
7, 11, 12, 33, dan 176 terdiri atas orangtua yaitu ayah dan ibu
(Al-walidain), dan kerabat (Al-aqrabin).33

M
2) Harta warisan
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian

U
dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris

D
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,
dan pembayaran utang serta wasiat pewaris. Harta warisan
tercantum dalam Al-Qur’an dalam Surat An-Nisa ayat 7
dengan istilah tarakah atau harta yang akan ditinggalkan (Al-
Qur’an surat An-Nisa ayat 180) beralih kepada orang yang
berhak menerimanya (ahli waris).34
3) Ahli Waris
Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena
hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan
(nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris.

33
Umar Syihab, Hukum Kewarisan Islam dan Pelaksanaannya di Wajo, (Disertasi
Doktor Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, 1988), hlm. 89. Lihat Juga Zainuddin
Ali, Ibid.
34
Umar Syihab, Ibid., hlm. 91.

Bab 8 | Hukum Waris 199


b. Asas-asas Hukum Waris Islam
Asas-asas hukum waris Islam terdiri atas: Ijbari; bilateral;
individual; keadilan berimbang; dan akibat kematian.35 Berikut
akan dijelaskan asas-asas tersebut:

1) Ijbari
Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam
mengandung arti pengalihan harta seseorang yang meninggal

Y
dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut
ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris

M
atau ahli warisnya.36
Asas ijbari dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu: (1) dari

M
pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia.
Hal ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 7, yang

U
menjelaskan bahwa bagi laki-laki dan perempuan ada bagian
warisan harta peninggalan ibu ayah dan keluarga dekatnya. Oleh

D
karena itu, dalam jumlah harta yang ditinggalkan oleh pewaris,
terdapat bagian atau hak ahli waris. Oleh karena itu, pewaris
tidak perlu menjanjikan sesuatu yang akan diberikan kepada ahli
warisnya sebelum ia meninggal dunia. Demikian juga halnya
dengan ahli waris, tidak perlu meminta-minta hak kepada (calon)
pewarisnya.37
Demikian juga bila unsur ijbari dilihat dari segi, (2) jumlah
harta yang sudah ditentukan bagi masing-masing ahli waris. Hal
ini, tercermin dalam kata mafrudan yang makna asalnya adalah
ditentukan atau diperhitungkan. Apa yang sudah ditentukan atau

35
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1960), hlm. 45.
36
Amir Syarifuddin mengemukakan bahwa, kata ijbari berarti kewajiban
(compulsary), yaitu kewajiban melakukan sesuatu. Unsur kewajiban itu terlihat dalam
perpindahan harta pewaris kepada ahli warisnya sesuai jumlah yang diwajibkan oleh
Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 11, 12, 13 dan ayat 33. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung,
1984), hlm. 18.
37
Muhammad Daud Ali, Op.Cit., hlm. 4.

200 HUKUM KELUARGA


diperhitungkan oleh Allah wajib dilaksanakan oleh hambanya.
Sifat wajib yang dikandung oleh kata itu menyadarkan manusia
untuk melaksanakan kewarisan yang sudah ditetapkan oleh Allah
dalam Al-Qur’an.38
Selanjutnya unsur ijbari yang terakhir, (3) kepastian penerima
harta peninggalan, yakni mereka yang mempunyai hubungan
kekerabatan dan ikatan perkawinan dengan pewaris seperti yang
dirinci oleh Allah Swt. dalam surat An-Nisa ayat 7, 11, 12, 33.

Y
Rincian ahli waris dan pembagiannya yang sudah pasti, tidak ada
suatu kekuasaan manusia pun yang dapat mengubahnya. Unsur

M
yang demikian, dalam kepustakaan hukum kewarisan Islam yang
sui generis dapat disebut bersifat wajib dilaksanakan oleh ahli

M
waris.39

2) Asas bilateral

U
Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam berarti seseorang

D
menerima hak atau bagian kewarisan dari kedua belah pihak; dari
kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan.
Asas ini mempunyai 2 (dua) dimensi saling mewarisi dalam Al-
Qur’an Surah An-Nisa ayat 7, 11, 12, 12, dan 176, yaitu: antara
anak dengan orangtuanya; antara orang yang bersaudara bila
pewaris tidak mempunyai anak dan orangtua.40

3) Asas individual
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti harta
warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara
perorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, seluruh harta
warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan
kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar
bagian masing-masing. Oleh karena itu, bila setiap ahli waris

38
Ibid.
39
Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 18-19.
40
Amir Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa
Raya, 1990), hlm 168.

Bab 8 | Hukum Waris 201


berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris
yang lain berarti mempunyai kemampuan untuk menerima hak
dan menjalankan kewajiban (ahliyat al-ada).41
Asas individual tersebut dalam hukum kewarisan Islam
diperoleh dari analisis garis hukum Al-Qur’an mengenai
pembagian harta warisan. Sebagai contoh, garis hukum surat
An-Nisa ayat 7 yang menjelaskan, bahwa: anak laki-laki untuk
menerima warisan dari orangtua atau keluarga dekatnya. Demikian

Y
juga halnya dengan perempuan berhak menerima harta warisan
orangtuanya dan/atau kerabatnya baik sedikit maupun banyak.

M
Bagian mereka (masing-masing) mempunyai rincian tertentu.42

4) Asas keadilan berimbang

M
Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti

U
keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan
kegunaan dalam melaksanakan kewajiban. Perkataan adil banyak

D
disebut dalam Al-Qur’an yang kedudukannya sangat penting dalam
sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan. Di dalam sistem
ajaran agama Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses, dan
tujuan segala tindakan manusia. Asas keadilan seimbang antara
hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan
kewajiban yang harus ditunaikan. Sebagai contoh, laki-laki dan
perempuan mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban
yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat.43 dalam sistem kewarisan Islam, harta peninggalan
yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah
pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh
karena itu, bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris
berimbang dengan kewajiban atau tanggung jawab terhadap
keluarganya.44

41
Ibid., hlm. 169.
42
Muhammad Daud Ali, Op.Cit., hlm. 5.
43
Ibid., hlm. 6.
44
Ibid., hlm. 15.

202 HUKUM KELUARGA


5) Akibat kematian
Asas kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti
kewarisan ada kalau ada orang yang meninggal dunia, kewarisan
ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang. Oleh karena
itu, pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut
kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu
meninggal dunia. Ini berarti, harta seseorang tidak dapat beralih
kepada orang lain dan disebut harta warisan, selama orang yang

Y
mempunyai harta itu masih hidup. Demikian juga, segala bentuk
pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain,

M
baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian
sesudah meninggalnya, tidak termasuk ke dalam kategori

M
kewarisan menurut hukum Islam.45

U
4. Syarat-syarat Hukum Waris Islam

D
Syarat-syarat dalam hukum waris Islam, terdiri atas syarat
kepastian meninggalnya orang yang mempunyai harta; kepastian
hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia; dan diketahui
sebab-sebab status masing-masing ahli waris.46
Kepastian meninggalnya seseorang yang mempunyai harta
dan kepastian hidupnya ahli waris pada saat meninggalnya pewaris
menunjukkan bahwa perpindahan hak atas harta dalam bentuk
kewarisan tergantung seluruhnya pada saat yang pasti. Oleh
karena itu, meninggalnya pemilik harta dan hidupnya ahli waris
merupakan pedoman untuk menetapkan peristiwa pelaksanaan
hukum kewarisan Islam.
Penetapan pemilik harta meninggal dan ahli waris hidup
sebagai syarat mutlak menentukan terjadinya kewarisan dalam
hukum Islam, berarti hukum kewarisan Islam bertujuan untuk

45
Ibid., hlm. 7.
46
Husnain Muhammad Makhluf, Al-Mawaris Fisy-Syari’at Al-Islamiyah, (Qarihah:
Matabi’ Al-ahram At-Tijariyah, 1971), hlm. 12. Dalam Amir Syarifuddin, Op.Cit.,
hlm. 52-53.

Bab 8 | Hukum Waris 203


menyelesaikan secara tuntas masalah harta warisan orang yang
meninggal, orang hilang tanpa kabar, dan anak yang hidup dalam
kandungan sebagai ahli waris menunjukkan bahwa hukum
kewarisan Islam mempunyai karakteristik dalam menyelesaikan
semua permasalahan yang mungkin timbul dalam kasus
kewarisan.47

C. Hukum Waris Adat

Y
1. Pengertian Hukum Waris Adat

M
Hukum waris adat adalah proses penerusan dan peralihan
kekayaan materiil dan immaterial dari turunan ke turunan.48

M
Menurut Soepomo, hukum waris adat memuat peraturan-
peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan

U
barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud
benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie)

D
kepada keturunannya.49
Sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia
memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain
berbeda-beda, yaitu:50
a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik
garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam
sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam
hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat
batak. Yang menjadi ahli warisnya hanya anak laki-laki sebab
anak perempuan yang telah kawin dengan cara “kawin jujur”
yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami,

47
Umar Syihab, Hukum Kewarisan Islam dan Pelaksanaannya di Wajo, Disertasi,
(Makassar: Universitas Hasanuddin, 1988), hlm. 87. Dalam Zainuddin Ali, Op.Cit.,
hlm. 45.
48
Betrand Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K. Ng.
Soebakti Poesponoto, (Surabaya: Fadjar, 1953), hlm. 197.
49
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat Cetakan Ke-13, Loc.Cit.
50
Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 41.

204 HUKUM KELUARGA


selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orangtuanya yang
meninggal dunia.
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik
garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam
sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi ahli waris
untuk anak-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari garis
perempuan/garis ibu karena anak-anak merupakan bagian
dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan

Y
anggota keluarganya sendiri, contoh sistem ini terdapat pada
masyarakat Minangkabau.

M
c. Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem yang menarik garis
keturunan dari 2 (dua) sisi, baik dari pihak ayah maupun

M
dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki
dan perempuan di dalam hukum waris adalah sama atau

U
sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan
merupakan ahli waris dari harta peninggalan orangtua mereka.

D
2. Unsur-unsur Hukum Waris Adat
Unsur-unsur waris adat yang mendiami Negara Indonesia
terdiri atas: pewaris; harta warisan; dan ahli waris. Berikut akan
diuraikan beberapa unsur-unsur tersebut, yaitu:51
a. Pewaris
Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan
meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya
yang masih hidup, baik keluarga melalui hubungan kekerabatan,
perkawinan maupun keluarga melalui persekutuan hidup
dalam rumah tangga. Pengalihan harta kepada keluarga yang
disebutkan terakhir ini biasanya bersifat jaminan keluarga yang
diberikan oleh ahli waris melalui pembagiannya. Oleh karena
itu, yang tergolong sebagai pewaris adalah: (1) orangtua atau

51
Zainuddin Ali, Op.Cit., hlm. 2-7.

Bab 8 | Hukum Waris 205


ayah/ibu, (2) saudara-saudara yang belum berkeluarga atau
yang sudah berkeluarga tetapi tidak mempunyai keturunan,
dan (3) suami atau istri yang meninggal dunia.52
b. Harta warisan
Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh
seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta
warisan itu terdiri atas:

Y
1) Harta bawaan atau harta asal;
2) Harta perkawinan;

M
3) Harta pusaka yang biasa disebut mbara-mbara nimana dalam
hukum waris adat suku Kaili di Sulawesi Tengah, dan

M
4) Harta yang menunggu, yaitu harta yang akan diterima
oleh ahli waris, tetapi ahli waris yang akan menerima itu

U
tidak diketahui keberadaannya.
c. Ahli waris

D
Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta
peninggalan pewaris, yakni; anak kandung, orangtua, saudara,
ahli waris pengganti (pasambei), dan orang yang mempunyai
hubungan perkawinan dengan pewaris (janda atau duda).
Selain itu, dikenal juga anak angkat, anak tiri, dan anak
luar kawin, yang biasanya diberikan harta warisan di antara
mereka, selain itu, biasa juga diberikan harta dari pewaris,
baik melalui wasiat maupun melalui hibah.

3. Asas-asas Hukum Waris Adat


Ada 5 (lima) asas dalam hukum waris adat, yaitu:53
a. Asas ketuhanan dan pengendalian diri
Yaitu adanya kesadaran bagi para ahli waris bahwa rezeki
berupa harta kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan

52
Umar Syihab, Op.Cit., hlm. 89.
53
Zainuddin Ali, Op.Cit., hlm. 8.

206 HUKUM KELUARGA


dimiliki merupakan karunia Tuhan atas keberadaan harta
kekayaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ridha Tuhan
bila seseorang meninggal dan meninggalkan harta warisan,
maka para ahli waris itu menyadari dan menggunakan
hukum-Nya untuk membagi harta warisan mereka, sehingga
tidak berselisih dan saling berebut harta warisan karena
perselisihan di antara para ahli waris memberatkan perjalanan
arwah pewaris untuk menghadap Tuhan. Dalam hal ini yang

Y
terpenting adalah menjaga kerukunan hidup di antara para
ahli waris dan semua keturunannya.

M
b. Asas kesamaan dan kebersamaan hak
Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa setiap

M
ahli waris memiliki kedudukan yang sama sebagai orang
yang berhak utnuk mewarisi harta peninggalan pewarisnya,

U
seimbang antara hak dan kewajiban tanggung jawab bagi
setiap ahli waris untuk memperoleh harta warisannya. Oleh

D
karena itu, memperhitungkan hak dan kewajiban tanggung
jawab setiap ahli waris bukanlah berarti pembagian harta
warisan itu mesti sama banyak, melainkan pembagian itu
seimbang berdasarkan hak dan tanggung jawabnya.
c. Asas kerukunan dan kekeluargaan
Asas ini menentukan bahwa, para ahli waris mempertahankan
untuk memelihara hubungan kekerabatan yang tentram
dan damai, baik dalam menikmati dan memanfaatkan
harta warisan tidak terbagi maupun dalam menyelesaikan
pembagian harta warisan terbagi.
d. Asas musyawarah dan mufakat
Asas musyawarah dan mufakat, yaitu para ahli waris membagi
harta warisannya melalui musyawarah yang dipimpin oleh
ahli waris yang dituangkan dan bila terjadi kesepakatan dalam
pembagian harta warisan, kesepakatan itu bersifat tulus ikhlas
yang dikemukakan dengan perkataan yang baik yang keluar
dari hati nurani pada setiap ahli waris.

Bab 8 | Hukum Waris 207


e. Asas keadilan
Asas keadilan yaitu asas yang berdasarkan status, kedudukan,
dan jasa, sehingga setiap keluarga pewaris mendapatkan harta
warisan, baik bagian sebagai ahli waris maupun bagian sebagai
bukan ahli waris, melainkan bagian jaminan harta sebagai
anggota keluarga pewaris.

Berdasarkan asas-asas hukum adat yang diuraikan di atas,

Y
ditemukan warga masyarakat yang melaksanakan pembagian harta
warisannya memahami bahwa hukum waris berkaitan dengan

M
proses pengalihan harta peninggalan dari seorang (pewaris)
kepada ahli warisnya. Tolak ukur dalam proses pewarisan itu,
supaya penerusan atau pembagian harta warisan dapat berjalan

M
dengan rukun, damai, dan tidak menimbulkan silang sengketa di

U
antara para ahli waris atas harta peninggalan yang ditinggalkan
oleh pewaris.54

D
4. Sifat Hukum Waris Adat
Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris
Islam atau hukum waris barat seperti di dalam KUH Perdata,
maka tampak perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan
cara-cara pembagiannya yang berlainan.
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan
kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan
yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan
kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual,
sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada
para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana di dalam
hukum waris Islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-
bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan

54
Ibid., hlm. 10.

208 HUKUM KELUARGA


ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik
bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki secara perseorangan,
tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan
Pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi:

“Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta


peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta
peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”.55

Y
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai jika
keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tua-

M
tua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk
harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh
waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat di antara

M
para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan

U
(naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.56
Hukum waris adat tidak mengenal asas “legitieme portie” atau

D
bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat di mana untuk para
waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari
harta warisan sebagaimana diatur dalam Pasal 913 KUH Perdata
atau di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris
untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan
kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari
Pasal 1066 KUH Perdata atau juga menurut hukum Islam. Akan
tetapi, jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan,
sedangkan ia berhak mendapat warisan, maka ia dapat saja
mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta
warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para
waris lainnya.57

55
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Op.Cit., hlm. 10.
56
Ibid.
57
Ibid.

Bab 8 | Hukum Waris 209


Hukum adat waris menunjukkan coraknya yang khas dari
aliran pikiran tradisional Indonesia. Hukum adat waris bersendikan
atas prinsip yang timbul dari paham atau aliran-aliran pikiran magis
relijius, komunal, konkret, dan kontan. Oleh karena itu, hukum adat
waris memiliki sifat yang berbeda dengan hukum waris Islam dan
hukum waris barat. Perbedaannya dengan hukum Islam bahwa
dalam hukum adat, harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat
dibagi-bagi atau pelaksanaannya untuk sementara tidak dibagi

Y
atau ditunda untuk waktu yang lama bahkan hanya sebagian saja
yang dibagi, sedangkan dalam Hukum Islam setiap ahli waris dapat

M
menuntut (tetapi jarang sekali yang menuntut), pembagian harta
peninggalan tersebut sewaktu-waktu.58

M
Yang paling menonjol perbedaan antara hukum adat waris
dengan hukum waris menurut Hukum Islam adalah penggantian

U
waris. Hukum Islam tidak mengenal ketentuan penggantian waris,
sedangkan dalam hukum adat waris, penggantian waris merupakan

D
asas fundamental. Komplikasi Hukum Islam mengadopsi
ketentuan penggantian waris dari hukum adat berdasarkan alasan
yang sama yaitu kebutuhan hukum masyarakat agar tidak terjadi
kekosongan hukum.
Dalam hukum adat waris, pembagian harta warisan merupakan
tindakan bersama secara musyawarah dan kekeluargaan atas asas
gotong-royong, berjalan secara rukun dalam suasana ramah tamah/
tenteram dan damai, dengan memerhatikan keadaan khusus
setiap ahli khusus setiap ahli waris. Sedangkan dalam Hukum
Islam, bagian dari masing-masing ahli waris sudah ditentukan dan
masing-masing bagian dibagi menurut ketentuan tersebut dengan
logikanya masing-masing.
Menurut hukum adat waris, anak perempuan, khususnya di
Jawa yang struktur kekerabatannya bersifat parental, apabila tidak
ada anak laki-laki dapat menutup hak dari saudara-saudara ayah

58
Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, (Surabaya: Laksbang
Yustitia, 2011), hlm. 110.

210 HUKUM KELUARGA


ibunya atau kakek neneknya untuk mendapatkan harta asal atau
harta pusaka, sebab di Jawa dikenal adanya penggantian waris
atau plaatsvervulilling. Sedangkan dalam Hukum Islam, sebelum
ada Komplikasi Hukum Islam, status anak perempuan secara pasti
hanyalah hak terhadap harta gono gini orangtuanya.59
Dalam hukum adat waris harta warisan tidak boleh dipaksakan
untuk dibagi di antara para ahli waris, sedangkan menurut KUH
Perdata ditentukan adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-

Y
masing sewaktu-waktu untuk menurut pembagian dari harta
warisan (Pasal 1066 KUH Perdata). Bahkan di dalam Hukum

M
Barat itu, ahli waris berhak menggugat si pewaris atau wali untuk
segera membagi harta warisan itu, sedangkan dalam hukum adat

M
waris perbuatan yang demikian dianggap tabu dan bertentangan
dengan kebiasaan dan moral. Anak yang memaksakan kehendak

U
untuk membagikan harta benda warisan dianggap “tidak tahu adat”
suatu ungkapan sebagai sanksi moral, bahkan mungkin sebagai

D
sanksi hukum adat. Anak yang demikian, dianggap tidak layak
dan tidak pantas disebut ahli waris. Akan tetapi, saat ini dengan
modernisasi dan hak asasi manusia persoalan gugat menggugat
oleh anak terhadap orangtua dianggap sebagai hal yang wajar.60

5. Sistem Waris Hukum Adat


Dikatakan oleh beberapa ahli hukum bahwa sistem pewarisan
sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan atau struktur sosial
kemasyarakatan setempat. Namun ada pula yang mengatakan
bahwa antara keduanya tidak ada keterkaitannya satu sama lain,
sebagaimana dikatakan oleh Hazairin misalnya. Pada masyarakat
di Indonesia dikenal tiga jenis struktur sosial sebagai organisasi
sosial kemasyarakatan yang dalam hukum adat disebut sistem
kekerabatan yaitu: Matrilineal; Patrilineal; dan Parental. Oleh

59
Ibid., hlm. 111.
60
Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, (Surabaya: Laksbang
Yustitia, 2011), hlm. 111-112.

Bab 8 | Hukum Waris 211


karena itu, sistem pewarisannya pun dalam garis besarnya
dapat dibagi dalam 3 (tiga) jenis utama itu. Walaupun antara
sistem kekerabatan tidak secara langsung berkenaan dengan pola
pewarisan sebagaimana disebutkan di bawah ini.
Di Indonesia, hukum adat memiliki sistemnya sendiri
terutama berkenaan dengan kewarisan. Hukum adat waris
memiliki 3 (tiga) sistem kewarisan, yaitu:
a. Sistem Individual

Y
b. Sistem Kolektif

M
c. Sistem Mayorat

Ad. a) Sistem kewarisan individual memiliki ciri-ciri yaitu

M
harta peninggalan atau harta warisan dapat dibagi-
bagikan di antara para ahli waris seperti yang terjadi

U
dalam masyarakat bilateral (parental) Jawa. Di Jawa,
setiap anak dapat memperoleh secara individual harta

D
peninggalan dari ayah ibu atau kakek neneknya. Sistem
pewarisan individual, yang memberikan hak mewaris
secara individual atau perorangan kepada ahli waris
seperti di Jawa, Madura, Toraja, Aceh, dan Lombok.
Ad. b) Sistem kewarisan kolektif memiliki ciri-ciri bahwa
semua harta peninggalan terutama harta asal atau harta
pusaka diwariskan kepada sekelompok ahli waris yang
berasal dari satu ibu asal berdasarkan garis silsilah
keibuan seperti di Minangkabau atau pada masyarakat
woe-woe Ngadhubhaga di Kabupaten Ngada –Flores yaitu
khususnya terhadap ngora ngadhu-bhaga-bhaga dan ngora
ana woe yaitu harta pusaka tinggi warisan leluhur. Para ahli
waris secara bersama-sama merupakan semacam badan
hukum di mana harta tersebut disebut harta pusaka,
tidak boleh dibagi-bagi kepemilikannya di antara ahli
waris yang bersangkutan dan hanya boleh dibagi-bagikan
pemakaian atau penggarapannya saja di antara para

212 HUKUM KELUARGA


ahli waris itu seperti genggam bauntuiq pada masyarakat
matrilineal di Minangkabau. Sistem pewarisan kolektif,
yang ada asasnya mewajibkan para ahli waris mengelola
harta peninggalan secara bersama/kolektif, tidak dibagi-
bagikan secara individual seperti di Minangkabau.
Ngadhu-bhaga (Flores), Ambon, Minahasa.61
Ad. c) Sistem kewarisan mayorat memiliki ciri-ciri bahwa harta
peninggalan yaitu harta warisan terutama harta pusaka

Y
seluruh atau sebagian besar diwariskan hanya kepada satu
saja. Seperti di Bali hanya diwariskan kepada anak laki-

M
laki tertua atau di Tanah Semendo di Sumatera Selatan
hanya diwariskan kepada anak perempuan tertua saja.

M
Sistem pewarisan mayorat;
a. Mayorat pria: anak/keturunan laki-laki tertua/sulung

U
pada saat pewaris meninggal merupakan ahli waris
tunggal (Lampung, Bali, Irian Jaya)

D
b. Mayorat wanita: anak perempuan tertua pada waktu
pemilik harta warisan meninggal, adalah waris
tunggal (Tanah Semendo, Sumatera Selatan).
c. Mayorat wanita bungsu: anak perempuan terkecil/
bungsu menjadi ahli waris ketika si pewaris
meninggal (Kerinci).

Perlu ditegaskan bahwa ketiga sistem kewarisan tersebut di


atas, masing-masing tidak secara langsung menunjuk pada suatu
bentuk susunan masyarakat tertentu atau struktur sosial tertentu
dari masyarakat hukum adat di mana sistem kewarisan itu berlaku.
Sebab suatu sistem tersebut di atas dapat ditemukan juga dalam
berbagai bentuk susunan masyarakat hukum adat atau dalam suatu
bentuk susunan masyarakat hukum adat dapat pula ditemukan
lebih dari satu sistem kewarisan sebagaimana dimaksud di atas.

61
Ibid., hlm. 118.

Bab 8 | Hukum Waris 213


Sebagaimana dikatakan oleh Hazairin bahwa sifat individual,
kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan, tidak perlu
langsung menunjuk kepada bentuk masyarakat tempat hukum
kewarisan itu berlaku, sebab sistem kewarisan individual tidak
hanya ada atau ditemui dalam masyarakat yang bilateral, tetapi
juga dalam masyarakat patrilineal seperti di Tanah Batak. Bahkan
mungkin saja di sana pun dijumpai sistem mayorat dan sistem
kolektif terbatas.

Y
Demikian pula sistem mayorat, selain dalam masyarakat
patrilineal yang beralih-alih di Tanah Semendo, dijumpai pula

M
pada masyarakat bilateral pada orang Dayak di Kalimantan Barat
dan masyarakat Ngadhu-bhaga di Flores-NTT. Sedangkan sistem

M
kolektif itu dalam batas-batas tertentu dapat pula dijumpai dalam
masyarakat bilateral seperti di Minahasa, Sulawesi Utara. Contoh,

U
sistem kewarisan mayorat, yaitu hak waris hanya diberikan kepada
anak perempuan tertua sebagaimana ditemukan pada masyarakat

D
Tanah-Semendo di Sumatera Selatan yang bentuk susunan
masyarakat hukum adatnya patriarchat yang monolateral, juga
ditemukan pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan Barat yang
bentuk susunan masyarakat adatnya parental atau bilateral. Contoh
lain, sistem kewarisan kolektif yang ditemukan pada masyarakat
matriarchat Minangkabau yang monolateral juga ditemukan pada
masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara yang bentuk susunan
masyarakat hukum adatnya bilateral yaitu parental, yaitu pewarisan
terhadap tanah wawakes un teranak.62

6. Kedudukan Anak Sebagai Ahli Waris


Anak Kandung
a. Anak sah sebagai ahli waris: anak sah mempunyai hak
keutamaan sebagai ahli waris, baik laki-laki maupun
perempuan. Anak sah adalah anak yang lahir dari dan dalam

62
Soerojo Wignjodipoero dalam Ibid., hlm. 119.

214 HUKUM KELUARGA


perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan
yang diakui sah oleh hukum. Namun secara hukum adat, pada
masyarakat tertentu, anak sah tidak secara dengan sendirinya
menurut hukum berhak atas harta asal ayahnya. Misalnya,
pada masyarakat patrilineal di mana jujur/belis belum tuntas
diberikan kepada kerabat perempuan, sehingga perempuan/
ibu belum masuk ke kerabat suami termasuk anak laki-laki
dan perempuan yang masih tetap pada kerabat ibunya.

Y
b. Anak luar kawin yang diakui setelah perkawinan kedua
orangtuanya secara sah. Anak yang diakui ini setelah

M
perkawinan kedua orangtuanya sah secara hukum, maka
kedudukannya berubah dari anak luar kawin menjadi anak

M
yang diakui, sehingga dengan sendirinya menurut hukum ia
adalah anak sah. Dan dengan demikian, kedudukannya sama

U
dengan kedudukan anak sah.
c. Anak tidak sah sebagai ahli waris: secara normatif anak

D
tidak sah (luar kawin) hanya mempunyai hubungan hukum
(keperdataan) dengan ibu kandungnya dan warga kerabat
ibu kandungnya (Ingat putusan Mahkamah Konstitusi
tentang kasus Iqbal/anak Machicha Mochtar). Oleh karena
itu, ia dapat mewaris dari ibunya atau kerabat ibunya. Hal
ini tidak hanya pada masyarakat matrilineal saja, tetapi juga
pada masyarakat patrilineal dan parental. Anak tidak sah
ada dua macam yaitu anak luar kawin yang sewaktu-waktu
dapat berubah status hukumnya menjadi anak sah dan anak
incest yang selamanya tidak mungkin menjadi anak sah. Anak
incest demikian misalnya disebabkan hubungan seksual antara
kedua orang yang mempunyai hubungan darah terlalu dekat.
Misalnya, ayah dengan anak perempuannya, anak laki-laki
dengan ibunya, kakak beradik kandung, anak laki-laki dengan
ibunya, dan sebagainya.
d. Anak laki-laki sebagai ahli waris. Hal ini terutama terdapat
dalam sistem kekerabatan patrilineal dengan bentuk

Bab 8 | Hukum Waris 215


perkawinan jujur, seperti di Tanah Batak, Lampung Pepadun,
Bali (kecuali Tenganan Pagringsingan yang parental), Nafri di
Jayapura/Irian Jaya, Timor, Flores (kecuali Ngadhu-bhaga =
matrilineal). Anak perempuan dapat menerima bagian sebagai
harta bawaan ke dalam perkawinannya mengikuti sang suami.
Jika pewaris hanya mempunyai anak perempuan, maka anak
tersebut (terutama yang sulung) diberi status anak laki-laki
dengan melakukan perkawinan ambil suami (ngakuk ragah)

Y
atau pinjam jago (nginjam jaguk) di Lampung yang beradat
Pepadun. Di Bali disebut sentana rajeg dan perkawinannya

M
disebut perkawinan nyeburin. Bila pewaris tidak mempunyai
keturunan sama sekali, maka diangkatlah anak laki-laki

M
dari saudara kandung laki-lakinya yang terdekat. Pada
masyarakat Ngadhu-bhaga (Flores) dilakukan melalui upacara

U
pengangkatan anak kandung oleh si ayah. Anak ini disebut
ana dheko lega ema seperti sentana rajeg di Bali.

D
e. Anak perempuan sebagai ahli waris. Hal ini dijumpai dalam
sistem kekerabatan matrilineal (seperti di Minangkabau,
Kerinci, Semendo dan Rejanglebong, Lampung Pemingir,
Ngadhu-bhaga (Flores) dan beberapa suku di Timor Besar)
berbentuk perkawinan semenda, dengan 2 (dua) kemungkinan:
suami mengikuti status istri/masuk ke kerabat istri, atau tidak
termasuk kerabat istri, namun tetap pada kerabatnya sendiri
(Minangkabau dan Ngadhu-bhaga). Anak perempuan sebagai
penerima dan penerus harta warisan terdapat di Minangkabau,
wilayah Semendo, Sumatera Selatan dan Lampung Pemingir,
Ngadhu-bhaga di Flores Tengah. Bedanya: di Minangkabau
sang ibu mewariskan hartanya kepada anak kandungnya
dan sang ayah mewariskan kepada kemenakannya i.c. anak
saudaranya wanita tunggal buah perut. Sedangkan di wilayah
Semendo, ayah dan ibu hanya memastikan hartanya kepada
anak perempuannya saja. Jika seorang pewaris di wilayah

216 HUKUM KELUARGA


Semendo hanya mempunyai anak laki-laki, maka anak
tersebut dijodohkan dengan wanita dalam bentuk perkawinan
semendo ngangkit.
f. Anak laki-laki dan anak perempuan sebagai ahli waris.
Kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sebagai ahli
waris yang berhak sama atas harta warisan orangtuanya,
terdapat dalam sistem kekeluargaan parental: Jawa Madura,
Kalimantan (Dayak), Sulawesi (kecuali di Minahasa lebih

Y
cenderung ke patrilineal), Aceh, Riau, Sumatera Selatan,
Sumatera Timur, Tenganan Pegringsingan (Bali), Ternate,

M
Lombok.
Pengertian sama haknya tidaklah berarti bahwa jenis atau

M
jumlah harta warisan dibagi sama rata atau jumlahnya sama
secara matematis di antara para ahli waris, karena harta

U
itu tidak merupakan kesatuan yang dengan begitu saja
secara matematis dapat dinilai harganya dengan uang. Cara

D
pembagiannya pun bergantung kepada keadaan harta dan hak
warisnya berdasarkan asas gotong royong dan asas kepatutan:
segala sesuatu diusahakan pelaksanaannya dalam suasana
rukun-damai, secara musyawarah mufakat, berlandaskan
asas kepatutan. Di Jawa umumnya berdasarkan asas “sigar
semangka” (bagian sama besar), maka di beberapa wilayah
lain berlaku asas “wanita menjunjung, pria memikul” atau sepikul-
segendong. Namun asas yang terakhir ini yaitu asas sepikul
segendong sudah mulai terkoreksi, yaitu setelah adanya UU
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Komplikasi Hukum
Islam.
g. Anak sulung selaku ahli waris
Pada umumnya anak tertua dihormati dan disegani, lebih-
lebih si sulung yang sudah hidup mandiri, baik yang diberi
tanggung jawab maupun yang tidak diberi tanggung jawab
atas kehidupan dan penghidupan adik-adiknya.

Bab 8 | Hukum Waris 217


1) Anak sulung laki-laki
Apabila pewaris meninggal, sebagaimana berlaku di
Lampung yang beradat Pepadun, dan di Bali yang patrilineal
(kecuali Tenganan Pagringsingan) atau juga pada masyarakat
Papua di Teluk Yos Sudarso Jayapura, seluruh tanggung
jawab pewaris selaku kepala rumah tangga, baik dalam
kedudukan adat maupun terhadap harta kekayaan kerabat,
beralih secara langsung kepada anak sulung laki-laki dari

Y
istri tertua (kalau istrinya lebih dari satu). Anak sulung itu
harus tetap tinggal di rumah bapaknya dan bertanggung

M
jawab atas kehidupan adik-adiknya, laki-laki maupun
perempuan sampai mereka mampu hidup mandiri. Mandiri

M
artinya si anak telah mampu mencari nafkah sendiri,
mampu melaksanakan perbuatan hukum sendiri, mampu

U
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
2) Anak Sulung Perempuan

D
Ketika si pewaris meninggal dunia, maka di wilayah
Semendo Sumatera Selatan, harta warisannya tidak
dibagi, tetapi tetap utuh, dan penguasaannya berpindah
ke tangan anak sulung perempuan sebagai tunggu tubang
artinya pengelola harta peninggalan orangtua. Di dalam
pengurusan harta tersebut, ia didampingi kakaknya
laki-laki tertua selaku payung jurai artinya pelindung
keturunan. Fungsi saudara laki-laki mirip dengan
kedudukan Mamak Kepala Waris di Minangkabau sebagai
pengelola harta pusaka.
Pada masyarakat adat Dayak Landak dan Dayak Tayan,
jika di pewaris meninggal, maka bagian-bagian pokok
dari warisannya pun tetap utuh sebagai kebulatan demi
kesejahteraan hidup seluruh anggota kerabat. Sedangkan
yang berfungsi sebagai anak pengkalan artinya pengurus
dan penyantun kehidupan orangtua beserta hartanya
sampai akhir hayatnya ialah anak sulung perempuan.

218 HUKUM KELUARGA


h. Anak Pengkalan dan Anak Bungsu selaku Waris
Pada dasarnya anak pengkalan seyogianya anak sulung
laki-laki ataupun perempuan. Tetapi di dalam masyarakat
Dayak Kendayan Kalimantan Barat, penetapan tentang anak
pengkalan –sulung, kedua, ketiga, itu dilakukan oleh orangtua.
Jika terjadi pembagian warisan, maka bagian terbesar jatuh
ke tangan anak pengkalan, kemudian anak bungsu terakhir
barulah anak-anak yang lain, berdasarkan pertimbangan anak

Y
pengkalan dan anak bungsu tersebut.
Di beberapa daerah di Tanah Batak terdapat sistem pewarisan

M
mayorat yang memberikan hak kepada anak bungsu yang
berdiam terlama di rumah orangtuanya, untuk menguasai

M
harta warisan yang tak terbagi-bagi, bersama-sama dengan
abang-abangnya yang belum manjae (berpencar, misah,

U
mentas).

D
i. Anak Tiri
Dalam masyarakat Lampung beradat Pepadun, bila seorang balu/
duda yang sudah mempunyai anak dan kemudian menikah
lagi dengan seorang janda karena kematian suami dan tidak
mempunyai anak, sedangkan selama perkawinan baru itu
mereka tidak pula dikaruniani anak, tidak mungkin salah
seorang anak dari suami baru dijadikan tegak tegi (penerus
garis keturunan) bagi janda dan mendiang suaminya. Hal ini
misalnya terjadi dalam bentuk perkawinan levirat (Lampung
= semalang), yaitu janda bercerai mati dikawini oleh abang/
adik mendiang suaminya. Maka, anak laki-laki dari suami
(baru) yang nyemalang dan telah mandiri, jika dijadikan tegak
tegi dari suami yang sudah almarhum, dengan sendirinya
berhak atas harta warisan mendiang suami tadi, dan berhak
pula sebagai ahli waris dari harta bawaan janda tersebut dan
harta pencarian pasangan suami-istri pertama (yang bercerai
mati) itu.

Bab 8 | Hukum Waris 219


Sebaliknya, mungkin saja dapat terjadi perkawinan antara
seorang suami yang sudah beristri tetapi tidak dikaruniai
keturunan dengan istri kedua yang sudah beranak, tetapi
dalam perkawinan kedua ini mereka tidak dapat keturunan.
Maka dalam hal ini dapat saja salah seorang anak bawaan dari
istri kedua itu diangkat menjadi penerus garis keturunan suami
tersebut. Dengan demikian maka anak tiri itu menjadi ahli
waris dari bapak tiri dan ibu tiri (istri pertama) dengan jalan

Y
pengangkatan atau pengakuan oleh orangtua tiri tersebut.
j. Anak Angkat

M
Berhak-tidaknya anak angkat mewaris harta orangtua angkatnya,
bergantung pada motif dan tujuan pengangkatannya:

M
1) Kemenakan bertali darah diangkat karena tiadanya
anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan atau

U
generasi di dalam sistem patrilineal atau tidak adanya

D
anak perempuan penerus kesinambungan keturunan di
lingkungan masyarakat matrilineal.
2) Agar menantu laki-laki dapat menjadi anak angkat dalam
hubungan bertali adat, maka dalam perkawinan antara
seorang wanita Lampung dengan seorang pria luar daerah
yang memasukkan menantu (ngurukken mengiyan), si
suami tadi dijadikan anak angkat dari salah satu kepala
keluarga anggota kerabat.
3) Pembinaan pendidikan dan kesejahteraan kemenakan,
warga kerabat lain atau bahkan anak luar kerabat yang
menderita kesekengan, didasari rasa kekeluargaan dan
perikemanusiaan, menciptakan lembaga anak angkat
walaupun tanpa upacara resmi, sehingga menjalin
hubungan tali budi.
4) Berdasarkan hubungan baik dan rasa persaudaraan atau
karena kebutuhan akan tenaga kerja dalam pekerjaan
sehari-hari, maka lahirlah jenis anak angkat bertali emas.

220 HUKUM KELUARGA


a) Anak Angkat Mewaris
Hak mewaris mulai dari yang paling lemah sampai
yang paling kuat, mulai dari yang paling sempit
sampai yang paling luas, dapatlah dilukiskan
berturut-turut sebagai berikut:
(1) Di Wilayah Lampung, anak angkat tegak tegi, selaku
penyambung garis keturunan ayah angkatnya,
menjadi ahli waris ayah angkat tersebut.

Y
(2) Serupa namun agak luas daripada di Lampung
ialah hak anak angkat mutlak di kalangan

M
masyarakat Madura dan kaum Osing di Banyuwangi:
meskipun tidak lagi mewaris dari orangtua

M
kandungnya, namun mereka menjadi ahli waris
dari orangtua angkatnya.

U
(3) Setingkat lebih luas ialah hak anak angkat di

D
wilayah Jawa selebihnya, terutama Jawa Tengah:
mereka “ngangsu sumur loro” artinya “menimba
dari dua sumur”, karena di samping mendapat
warisan dari orangtua angkat, juga masih tetap
mewaris dari orangtua kandungnya. Tinggal
lagi, jika ada anak kandung, maka bagian si anak
angkat tidaklah sebanyak porsi anak kandung.
Dalam pada itu, kalau orangtua angkat khawatir
jangan-jangan anak angkatnya tidak mendapat
bagian yang wajar atau tersisihkan sama sekali
oleh anak kandungnya, maka sebelum meninggal,
orangtua tersebut memberikan bagian dan harta
warisannya kepada anak angkatnya dengan jalan
penunjukan (hibah wasiat). Di samping tidak
boleh mewaris lebih banyak daripada bagian anak
kandung, maka anak angkat itu juga hanya boleh
mewaris harta gono-gini, harta pencarian, tidak
berhak atas bagian harta asal/bawaan.

Bab 8 | Hukum Waris 221


(4) Meningkat kuat lagi ialah hak mewaris anak
angkat di kalangan suku Dayak Kendaan atau
Dayak Benawas di Kalimantan Barat, yang
posisinya sebagai ahli waris tidak berbeda
dengan anak kandung ayah angkatnya.
(5) Yang paling kuat kedudukannya ialah anak
angkat di Minahasa:
(a) Tanpa adanya anak kandung, maka anak

Y
angkatlah yang manjadi ahli waris ayah
angkatnya;

M
(b) Sekalipun ada anak kandung, namun
anak angkat itu mempunyai hak mewaris

M
yang sama dengan anak kandung, kecuali
mengenai harta kalakeran (karena memer­

U
lukan persetujuan para warga kerabat yang

D
bersangkutan);
(c) Di samping harta pencarian, anak angkat
itu pun di berbagai wilayah berhak pula
mewaris harta bawaan;
(d) Meskipun status sebagai anak angkat
sudah dicabut karena tingkah lakunya
yang tercela, namun kalau sebelum itu ia
menunjukkan pengabdian yang sungguh-
sungguh kepada orangtua angkatnya, maka
mungkin haknya atas bagian warisan tidak
dicabut.
b) Anak angkat tidak mewaris
Di Rote, Nusa Tenggara Timur terdapat perkawinan
ambil menantu laki-laki tanpa pembayaran jujur. Si
istri berfungsi sebagai jembatan/penghubung dan
berkedudukan sebagai istri sekaligus suami/kepala
rumah tangga. Meskipun si suami seakan-akan

222 HUKUM KELUARGA


diambil sebagai anak angkat, namun ia tidak berhak
mewaris dari mertuanya, karena yang mewaris kelak
ialah cucu laki-laki keturunan pasangan suami-istri
tersebut.
Lembaga adat “kawin masuk” pada masyarakat
Ngadhu-bhaga di Flores (NTT) serupa dengan
lembaga “perkawinan ambil laki-laki” (ngakuk
ragah) di wilayah Lampung Pepadun, yang juga

Y
tidak menghasilkan hak mewaris bagi si menantu,
meskipun ia nyata-nyata diambil sebagai anak

M
angkat.
Beberapa jenis anak yang kedudukannya lebih lemah

M
daripada anak angkat tak mewaris ialah:
(1) Anak Akuan: yang diakui sebagai anak ber­

U
dasarkan belas kasihan atau karena baik hati;

D
(2) Anak Pancingan, anak panutan, anak pupon: sarana
untuk memperoleh anak kandung sendiri;
(3) Anak piara, anak pungut: dipelihara karena sekeng
(kuat) dan diperlukan tenaganya;
(4) Anak Titip: dititipkan kepada kakek nenek atau
warga kerabat lain/tetangga karena orangtuanya
tidak mampu.63

63
Ibid., hlm. 129-137.

Bab 8 | Hukum Waris 223


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
DAFTAR PUSTAKA

M Y
UM
Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press,1994.

D
Afandi, Ali, Hukum Keluarga Menurut Undang-Undang Hukum Perdata,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 1981.
Ali, Muhammad Daud, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1990.
Anshori, Ghofur, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Eksistensi Dan
Adaotabilitas, Yogyakarta: Ekonisia, 2002.
Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: FH-UII,
cet-3, 1980.
Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan
dan Keluarga Indonesia, Jakarta: Riskita, 2002.
Djubaidah, Neng, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta:
Hesca Publishing, 2005.
Djubaidah, Neng, Farida Prihartini dan Sulaikin Lubis, Hukum
Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: Hecca Publishing bekerja

Daftar Pustaka 225


sama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2005.
, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat
Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 2010.
Fuady, Munir, Konsep Hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2014.

Y
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung:
Mandar Maju, 2007.

M
, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003.

M
Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

U
Hamid, Zhari, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UUP Islam,
Jakarta: Bina Cipta, 1987.

D
Husen, Abdul Rozak, Hak Anak Dalam Islam, Jakarta: Fikahati
Aneska, 1992.
Kartohadiprojo, Sudirman, Pengantar Tata Hukum di Indonesia,
Jakarta: Pustaka Rakyat, 1959.
J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1992.
, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1999.
Harahap, M Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika,
2005.
, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama.
Vol.1, Jakarta: Pustaka Kartini, 1990.
, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: Zahir, 1975.
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tinta Mas, 1960.
Kamello, Tan, dan Syarifah Lisa Andriani, Hukum Orang dan
Keluarga, Medan: USU Press, 2010.

226 HUKUM KELUARGA


Kharli Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Husnain Muhammad Makhluf, Al-Mawaris Fisy-Syari’at Al-Islamiyah,
Qarihah: Matabi’ Al-ahram At-Tijariyah, 1971.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2008.
, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Y
Agama, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008.
Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),

M
Yogyakarta: Liberty, 1988.
Mustofa, Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung: Pustaka

M
Setia, 2011.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan I, Yogyakarta: Sinar

U
Grafika, 2005.
Pandika, Rusli, Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta: Sinar Grafika,

D
2012.
Perangin, Efendi, Hukum Waris, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2010.
Pitlo, A Het Systeem van het Nederlandse Privaatrecht, terjemahan J.
Satrio, Cetakan keempat, H.D. Tjeenk Wilink, Groningen,
1971.
Patrik, Purwahid, Asas-Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam
Perjanjian, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1986.
Poerdarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1976.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung:
Sumur, 1991.
Ramulyo, Mohd Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari
Undang-Undang Nomor Tahun 974 dan Kompilasi Hukum Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Rahman, Fachtur, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1982.

Daftar Pustaka 227


Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002.
Sanusi, Ahmad, Perlunya Pencatatan Perkawinan, Jakarta: Merdeka,
2 Maret 1982.
Saleh, K.Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1976.
Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Y
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.

M
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat Cetakan Ke-13, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1993.

M
Subekti, R, Aneka Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1992.
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta,

U
1991.

D
Sudiyat, Imam, Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty, 1981
Supramono, Gatot, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta:
Djambatan, 1998.
Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:
Alumni, 1985.
, Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,
Jakarta: Graha Indonesia, 1986.
Syahar, Saidus, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah
Pelaksanaannya, Bandung: Alumni, 1981.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2006.
, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan
Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.
Syihab, Umar, Hukum Kewarisan Islam dan Pelaksanaannya di Wajo,
Disertasi, Makassar: Universitas Hasanuddin, 1988.

228 HUKUM KELUARGA


Ter Haar, Betrand, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan
K. Ng. Soebakti Poesponoto, Surabaya: Fadjar, 1953.
Thong Kie, Tan, Buku I Studi Notariat dan Serba Serbi Praktik Notaris,
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000.
Thaib, M. Hasballah, dan Jauhari, Iman, Kapita Selekta Hukum Islam,
Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.
Thaib, M. Hasballah dan Syahril Sofyan, Teknik Pembuatan Akta

Y
Penyelesaian Warisan, Bandung: Citapustaka Media, 2014.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Di Indonesia, Jakarta: Universitas

M
Indonesia, 2009.
Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan

M
Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Vollmar, H.F.A, Pengantar Studi hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo

U
Persada, 1992.
Wadong, Maulana Hasan, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan

D
Anak, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
2000.
Witanto, D. Y, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin
Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan,
Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2012.
Yaswirma, Hukum Keluarga, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Pustaka
Mahmudiah, 1956.
Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok–pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Daftar Pustaka 229


Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Mahkamah Agung.

Y
Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan
Pengangkatan Anak.

M
Peraturan Menteri Sosial No 110/Huk/2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak.

UM
D

230 HUKUM KELUARGA


LAMPIRAN

M Y
UM
MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA

D
PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 110/HUK/2009
TENTANG
PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Sosial RI tentang Persyaratan Pengangkatan
Anak;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979
Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143);

Lampiran 231
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara RI Tahun
1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan
UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 (Lembaran
Negara RI Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 4611);
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor
33, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3474); 2

Y
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3495);

M
5. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara RI Tahun

M
1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 3882);

U
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara RI Tahun 2002
Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor

D
4235);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara RI Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 4844);
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran
Negara RI Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 6434);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara RI
Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 4674);
10. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara RI Tahun 2008

232 HUKUM KELUARGA


Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4916);
11. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara RI Tahun 2009
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4967); 3
12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun 2007

Y
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4737);

M
13. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Lembaran Negara RI
Tahun 2007 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara

M
RI Nomor 4768);
14. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang

U
Pengesahan Convention On The Rights Of The Child
(Konvensi tentang Hak-Hak Anak) (Lembaran Negara
RI Tahun 1990 Nomor 57);

D
15. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 171/M Tahun 2005;
16. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi Dan
Tata Kerja Kementerian Negara sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 20 Tahun 2008;
17. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara
Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 21
Tahun 2008;
18. Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang
Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan
Pencatatan Sipil;
19. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor
82/HUK/2005 tentang Organisasi Dan Tata Kerja
Departemen Sosial;

Lampiran 233
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK

BAB I

Y
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

M
1. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang
sebagai warga negara.

M
2. Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau

U
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua

D
angkat.
3. Calon Anak Angkat yang selanjutnya disingkat CAA adalah anak yang
diajukan untuk menjadi Anak Angkat.
4. Calon Orang Tua Angkat yang selanjutnya disingkat COTA adalah orang
yang mengajukan permohonan untuk menjadi Orang Tua Angkat.
5. Orang Tua Tunggal adalah seseorang yang berstatus tidak menikah
atau janda/duda.
6. Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia adalah pengangkatan
anak Warga Negara Indonesia oleh calon orang tua angkat Warga
Negara Indonesia.
7. Pengangkatan Anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga
Negara Asing adalah pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh
COTA Warga Negara Asing atau anak Warga Negara Asing oleh COTA
angkat Warga Negara Indonesia.
8. Pengangkatan Anak secara langsung adalah pengangkatan anak yang
dilakukan oleh COTA terhadap CAA yang berada langsung dalam
pengasuhan orang tua kandung.
9. Pengangkatan Anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak adalah
pengangkatan anak yang dilakukan oleh COTA terhadap CAA yang
berada dalam Lembaga Pengasuhan Anak yang ditunjuk oleh Menteri.

234 HUKUM KELUARGA


10. Lembaga Pengasuhan Anak adalah lembaga atau organisasi sosial
atau yayasan yang berbadan hukum yang menyelenggarakan
pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat izin dari Menteri untuk
melaksanakan proses pengangkatan anak. 5
11. Lembaga Asuhan Anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau
yayasan yang berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan
anak terlantar.
12. Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak yang selanjutnya
disingkat Tim PIPA adalah suatu wadah pertemuan koordinasi lintas
Instansi guna memberikan pertimbangan kepada Menteri untuk

Y
pemberian izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antara Warga
Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing atau kepada Gubernur
untuk pemberian izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antar

M
Warga Negara Indonesia, yang diselenggarakan secara komprehensif
dan terpadu.

M
13. Anak terlantar atau diterlantarkan adalah anak yang tidak terpenuhi
kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun

U
sosialnya.
14. Anak yang memerlukan perlindungan khusus, adalah perlindungan yang
diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan

D
dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban dari penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak
korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan,
baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak
korban perlakuan salah dan penelantaran.
15. Instansi Sosial adalah Instansi yang tugasnya mencakup bidang sosial
baik di pusat maupun di daerah.
16. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di
lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi
dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial
yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman
praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan
dan penanganan masalah sosial.
17. Izin Pengangkatan Anak adalah persetujuan dari Menteri atau Gubernur
atas permohonan COTA untuk melakukan pengangkatan anak.
18. Penetapan atau Keputusan Pengadilan adalah Putusan atau Penetapan
Ketua Pengadilan yang memutuskan atau menetapkan bahwa CAA
menjadi anak angkat.

Lampiran 235
Pasal 2
(1) Prinsip pengangkatan anak, meliputi:
a. pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
b. pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara
anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya;
c. COTA harus seagama dengan agama yang dianut oleh CAA;

Y
d. dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak
disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk tempat
ditemukannya anak tersebut; dan

M
e. pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara
Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

M
(2) Selain prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) orang tua angkat
wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya

U
dan orang tua kandungnya dengan memerhatikan kesiapan mental
anak.

D
Pasal 3
(1) Pengangkatan Anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak
untuk mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak yang
dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Selain tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan ini
ditujukan sebagai acuan bagi masyarakat dalam melaksanakan
pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.

BAB II
PERSYARATAN CALON ANAK ANGKAT DAN
CALON ORANG TUA ANGKAT

Bagian Pertama
Persyaratan Calon Anak Angkat
Pasal 4
Syarat material calon anak yang dapat diangkat meliputi:
a. anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau diterlantarkan;

236 HUKUM KELUARGA


c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan Anak;
dan
d. memerlukan perlindungan khusus.

Pasal 5
Permohonan pengangkatan anak harus melampirkan persyaratan
administratif CAA yang meliputi:
a. copy KTP orang tua kandung/wali yang sah/kerabat CAA;
b. copy kartu keluarga orang tua CAA; dan

Y
c. kutipan akta kelahiran CAA.

M
Pasal 6
Persyaratan CAA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dibagi dalam

M
3 (tiga) kategori yang meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun merupakan prioritas utama, yaitu

U
anak yang mengalami keterlantaran, baik anak yang berada dalam
situasi mendesak maupun anak yang memerlukan perlindungan
khusus;

D
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua
belas) tahun sepanjang ada alasan mendesak berdasarkan laporan
sosial, yaitu anak terlantar yang berada dalam situasi darurat;
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia
18 (delapan belas) tahun yaitu anak terlantar yang memerlukan
perlindungan khusus.

Bagian kedua
Persyaratan Calon Orang Tua Angkat
Pasal 7
(1) Persyaratan COTA meliputi:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi
55 (lima puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak kejahatan;
e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;

Lampiran 237
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu
orang anak; 8
h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua
atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan
perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial setempat;

Y
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,
sejak izin pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri atau Kepala Instansi Sosial Provinsi.

M
(2) Umur COTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu
perhitungan umur COTA pada saat mengajukan permohonan

M
pengangkatan anak.
(3) Persetujuan tertulis dari CAA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

U
huruf i, disesuaikan dengan tingkat kematangan jiwa dari CAA.

D
Pasal 8
(1) COTA dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak
waktu paling singkat 2 (dua) tahun.
(2) Jarak waktu pengangkatan anak yang kedua sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dikecualikan bagi anak penyandang cacat.
(3) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat
dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh COTA.

BAB III
JENIS PENGANGKATAN ANAK
Pasal 9
Pengangkatan anak terdiri dari:
a. Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia; dan
b. Pengangkatan Anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga
Negara Asing.

Pasal 10
(1) Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, meliputi:

238 HUKUM KELUARGA


a. Pengangkatan Anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; atau
b. Pengangkatan Anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
terdiri dari pengangkatan anak:
a. secara langsung; dan
b. melalui Lembaga Pengasuhan Anak.
(3) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
terdiri dari:
a. Pengangkatan Anak oleh COTA yang salah seorangnya Warga

Y
Negara Asing;
b. Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal.

M
Pasal 11

M
Pengangkatan Anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara
Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, hanya dilakukan melalui
Lembaga Pengasuhan Anak.

DU
BAB IV
KEWENANGAN
Pasal 12
Menteri memiliki kewenangan memberikan izin Pengangkatan Anak untuk
selanjutnya ditetapkan ke pengadilan, yang meliputi:
a. Pengangkatan Anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga
Negara Asing;
b. Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal; dan
c. Pengangkatan Anak yang dilakukan oleh COTA yang salah seorangnya
Warga Negara Asing.

Pasal 13
(1) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan pemberian izin Peng­
angkatan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 2 kepada Pejabat
Eselon I yang memiliki kewenangan di bidang Pengangkatan Anak.
(2) Menteri dapat mendelegasikan pelaksanaan pemberian izin Peng­
angkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf b kepada kepala instansi sosial provinsi.
(3) Pendelegasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
ditetapkan oleh Menteri.

Lampiran 239
Pasal 14
(1) Kepala Instansi Sosial Provinsi memiliki kewenangan;
a. memberikan izin Pengangkatan Anak antar Warga Negara
Indonesia untuk selanjutnya ditetapkan ke pengadilan; dan
b. memberikan rekomendasi untuk pemberian izin Pengangkatan
Anak yang diberikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13.
(2) Pemberian izin Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Instansi Sosial

Y
Provinsi setempat sesuai dengan lingkup wilayah kewenangannya.
(3) Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota memiliki kewenangan
memberikan rekomendasi atas permohonan izin Pengangkatan Anak

M
antar Warga Negara Indonesia di lingkup kabupaten/kota setempat
untuk dilanjutkan ke Tim PIPA provinsi.

M
Pasal 15

U
(1) Menteri melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pemberian izin Pengangkatan Anak.

D
(2) Gubernur melalui Kepala Instansi Sosial Provinsi melakukan
pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
pemberian izin Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia dan
Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal di provinsi dan kabupaten/
kota.
(3) Bupati/Walikota melalui Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota
melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia yang
berada di lingkup wilayah kabupaten/kota.
(4) Gubernur melakukan pembinaan, bimbingan, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setelah mendapat pendelegasian
kewenangan Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal dari Menteri.

Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, bimbingan, dan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diatur dengan Peraturan Menteri
tersendiri.

240 HUKUM KELUARGA


BAB V
PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA

Bagian Pertama
Pengangkatan Anak Secara Adat Kebiasaan
Pasal 17
(1) Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia yang berdasarkan
adat kebiasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf
a dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat

Y
yang bersangkutan.
(2) Kepala Instansi Sosial provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban
melakukan pencatatan dan pendokumentasian terhadap Pengangkatan

M
Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dimohonkan penetapan pengadilan untuk memperoleh status hukum

M
anak dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

U
(4) Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke
Departemen Sosial, instansi sosial dan instansi terkait.

D
Bagian Kedua
Pengangkatan Anak Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

Paragraf Pertama
Pengangkatan Anak Secara Langsung
Pasal 18
(1) Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia secara langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, CAA harus
berada dalam pengasuhan orang tua kandung atau wali;
(2) Pelaksanaan pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia secara
langsung hanya dapat dilakukan oleh COTA baik suami maupun istri
berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 19
Persyaratan COTA pada pengangkatan anak secara langsung meliputi:
a. persyaratan material; dan
b. persyaratan administratif.

Lampiran 241
Pasal 20
Persyaratan material COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf
a, meliputi:
a. sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu
untuk mengasuh CAA;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55
(limapuluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak

Y
kejahatan;
e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;

M
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak;

M
h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak, bagi anak yang telah mampu

U
menyampaikan pendapatnya dan izin tertulis dari orang tua kandung
atau wali anak;

D
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi
setempat;
l. memperoleh rekomendasi dari Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota;
dan
m. memperoleh izin Kepala Instansi Sosial Provinsi.

Pasal 21
(1) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf b, yaitu harus melampirkan:
a. surat keterangan sehat dari Rumah Sakit Pemerintah;
b. surat keterangan Kesehatan Jiwa dari Dokter Spesialis Jiwa dari
Rumah Sakit Pemerintah;
c. copy akta kelahiran COTA;
d. surat Keterangan Catatan Kepolisian setempat;
e. copy surat nikah/akta perkawinan COTA;
f. kartu keluarga dan KTP COTA;
g. copy akta Kelahiran CAA;

242 HUKUM KELUARGA


h. keterangan penghasilan dari tempat bekerja COTA;
i. surat izin dari orang tua kandung/wali yang sah/kerabat di atas
kertas bermaterai cukup;
j. surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang
menyatakan bahwa pengangkatan anak demi kepentingan terbaik
bagi anak dan perlindungan anak;
k. surat pernyataan jaminan COTA secara tertulis di atas kertas
bermaterai cukup yang menyatakan bahwa seluruh dokumen
yang diajukan adalah sah dan sesuai fakta yang sebenarnya;

Y
l. surat pernyataan secara tertulis di atas kertas bermaterai cukup
yang menjelaskan bahwa COTA akan memperlakukan anak angkat
dan anak kandung tanpa diskriminasi sesuai dengan hak-hak dan

M
kebutuhan anak;
m. surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang
menjelaskan bahwa COTA akan memberitahukan kepada anak

M
angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya
dengan memerhatikan kesiapan anak;

U
n. surat rekomendasi dari Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota;
dan

D
o. surat Keputusan Izin Pengangkatan Anak yang dikeluarkan oleh
Kepala Instansi Sosial Provinsi.
(2) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
yang berupa copy harus dilegalisir oleh lembaga yang menerbitkan
dokumen atau lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 22
(1) Pengangkatan anak secara langsung, dilaksanakan dengan tata cara:
a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada
Kepala Instansi Sosial Provinsi di atas kertas bermaterai cukup
dengan melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan
COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 21 ayat
(1);
b. Kepala Instansi Sosial Provinsi/Kabupaten/Kota menugaskan
Pekerja Sosial Provinsi/Kab/Kota untuk melakukan penilaian
kelayakan COTA;
c. permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Kepala Instansi
Sosial Provinsi melalui Instansi Sosial Kabupaten/Kota;

Lampiran 243
d. Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota mengeluarkan rekomendasi
untuk dapat diproses lebih lanjut ke provinsi;
e. Kepala Instansi Sosial Provinsi mengeluarkan Surat Keputusan
tentang Izin Pengangkatan Anak untuk dapat diproses lebih lanjut
di pengadilan;
f. setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses
pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan
tersebut ke Instansi Sosial dan ke Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil kabupaten/kota; dan

Y
g. Instansi sosial mencatat dan mendokumentasikan serta
melaporkan pengangkatan anak tersebut ke Departemen Sosial
RI.

M
(2) Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf e, dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan
mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan.

M
Paragraf Kedua

U
Pengangkatan Anak Melalui Lembaga Pengasuhan Anak

D
Pasal 23
(1) Pengangkatan anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, CAA harus berada dalam
Lembaga Pengasuhan Anak.
(2) Pada pengangkatan anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), CAA harus memenuhi
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5.

Pasal 24
Persyaratan COTA pada pengangkatan anak melalui Lembaga Pengasuhan
Anak meliputi:
a. persyaratan material; dan
b. persyaratan administratif.

Pasal 25
Persyaratan material COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf
a, meliputi:
a. sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu
untuk mengasuh CAA;

244 HUKUM KELUARGA


b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55
(limapuluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;
e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak;

Y
h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak, bagi anak yang telah mampu

M
menyampaikan pendapatnya dan izin tertulis dari orang tua/wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

M
k. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak

U
izin pengasuhan diberikan;
m. memperoleh rekomendasi dari Kepala Instansi Sosial Kabupaten; dan

D
n. memperoleh izin untuk pengangkatan anak dari Kepala Instansi Sosial
Provinsi.

Pasal 26
(1) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 huruf b, yaitu harus melampirkan:
a. surat keterangan sehat dari Rumah Sakit Pemerintah;
b. surat keterangan Kesehatan Jiwa dari Dokter Spesialis Jiwa dari
Rumah Sakit Pemerintah;
c. copy akta kelahiran COTA;
d. Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) setempat;
e. copy surat nikah/akta perkawinan COTA;
f. kartu keluarga dan KTP COTA;
g. copy akta kelahiran CAA;
h. keterangan penghasilan dari tempat bekerja COTA;
i. surat pernyataan persetujuan CAA di atas kertas bermaterai cukup
bagi anak yang telah mampu menyampaikan pendapatnya dan/
atau hasil laporan Pekerja Sosial;

Lampiran 245
j. surat izin dari orang tua kandung/wali yang sah/kerabat di atas
kertas bermaterai cukup;
k. surat pernyataan di kertas bermaterai cukup yang menyatakan
bahwa pengangkatan anak demi kepentingan terbaik bagi anak
dan perlindungan anak;
l. surat pernyataan akan memperlakukan anak angkat dan
anak kandung tanpa diskriminasi sesuai dengan hak-hak dan
kebutuhan anak di atas kertas bermaterai cukup;
m. surat pernyataan dan jaminan COTA di atas kertas bermaterai

Y
cukup yang menyatakan bahwa seluruh dokumen yang diajukan
adalah sah dan sesuai fakta yang sebenarnya;
n. surat pernyataan bahwa COTA akan memberitahukan kepada

M
anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya
dengan memerhatikan kesiapan anak;
o. laporan sosial mengenai anak dibuat oleh Pekerja Sosial Lembaga

M
Pengasuhan Anak atau surat keterangan dari COTA mengenai
kronologis anak hingga berada dalam asuhan mereka;

U
p. surat penyerahan anak dari orangtua/wali yang sah/kerabat
kepada rumah sakit/kepolisian/masyarakat yang dilanjutkan

D
dengan penyerahan anak kepada Instansi Sosial;
q. surat penyerahan anak dari Instansi Sosial kepada Lembaga
Pengasuhan Anak;
r. surat keputusan kuasa asuh anak dari Pengadilan kepada Lembaga
Pengasuhan Anak;
s. laporan Sosial mengenai COTA dibuat oleh Pekerja Sosial instansi
sosial provinsi dan Lembaga Pengasuhan Anak;
t. surat keputusan izin asuhan dari kepala instansi sosial;
u. laporan sosial perkembangan anak dibuat oleh Pekerja Sosial
Instansi sosial dan Lembaga Pengasuhan Anak;
v. surat rekomendasi dari Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota;
w. surat rekomendasi pertimbangan perizinan pengangkatan anak
dari Tim PIPA daerah; dan
x. surat Keputusan Izin untuk Pengangkatan Anak yang dikeluarkan
oleh Kepala Instansi Sosial Provinsi untuk ditetapkan di
pengadilan.
(2) Persyaratan administrartif COTA sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), yang berupa copy harus dilegalisir oleh lembaga yang menerbitkan
dokumen atau lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

246 HUKUM KELUARGA


Pasal 27
(1) Pengangkatan anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak dilaksanakan
dengan tata cara sebagai berikut:
a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada
Kepala Instansi Sosial Provinsi di atas kertas bermaterai cukup
dengan melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan
COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 26 ayat
(1);
b. Kepala Instansi Sosial Provinsi menugaskan Pekerja Sosial Provinsi

Y
dan Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak untuk melakukan
penilaian kelayakan COTA dengan melakukan kunjungan rumah
kepada keluarga COTA;

M
c. Kepala Instansi Sosial Provinsi mengeluarkan Surat Izin Peng­
asuhan Sementara;
d. Pekerja Sosial melakukan bimbingan dan pengawasan selama

M
pengasuhan sementara;
e. COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak kepada

U
Kepala Instansi Sosial Provinsi di atas kertas bermaterai cukup;
f. Pekerja Sosial dari Instansi Sosial Provinsi dan Pekerja Sosial

D
Lembaga Pengasuhan Anak melakukan kunjungan rumah untuk
mengetahui perkembangan CAA selama diasuh COTA:
g. Kepala Instansi Sosial Provinsi membahas hasil penilaian
kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen
permohonan pengangkatan anak dalam forum Tim Pertimbangan
Pengangkatan Anak di Provinsi;
h. Kepala Instansi Sosial mengeluarkan surat untuk izin peng­
angkatan anak agar dapat diproses lebih lanjut di pengadilan;
i. dalam hal permohonan pengangkatan anak ditolak, maka anak
akan dikembalikan kepada Lembaga Pengasuhan Anak;
j. setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses
pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan
tersebut ke Instansi Sosial; dan ke Dinas Kependudukan Catatan
Sipil kabupaten/kota;
k. Kepala Instansi Sosial mencatat dan mendokumentasikan serta
melaporkan pengangkatan anak tersebut ke Departemen Sosial
RI.
(2) Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf h, dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan
mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan.

Lampiran 247
Paragraf Ketiga
Pengangkatan Anak Oleh Orang Tua Tunggal
Pasal 28
(1) Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh
Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri.
(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan pemberian izin
pengangkatan anak kepada Gubernur.

Pasal 29

Y
(1) Pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Orang Tua
Tunggal Warga Negara Indonesia dapat dilakukan setelah memperoleh
persetujuan tertulis dari Pemerintah Republik Indonesia dan dari

M
pemerintah negara asal anak;
(2) Pelaksanaan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat

M
(2) harus memenuhi persyaratan dan prosedur yang ditentukan oleh
negara di mana CAA berasal.

U
Pasal 30

D
Pelaksanaan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dilakukan melalui Lembaga Pengasuhan
Anak.

Pasal 31
Persyaratan COTA pada pengangkatan anak oleh Orang Tua Tunggal
meliputi:
a. persyaratan material; dan
b. persyaratan administratif.

Pasal 32
Persyaratan material COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf
a, meliputi:
a. sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu
untuk mengasuh CAA;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55
(limapuluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;

248 HUKUM KELUARGA


e. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak;
f. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;
g. memperoleh persetujuan anak, bagi anak yang telah mampu
menyampaikan pendapatnya dan izin tertulis dari orang tua/wali anak;
h. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
i. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi;
j. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,sejak

Y
izin pengasuhan diberikan; dan
k. memperoleh izin pengangkatan anak dari Menteri Sosial untuk
ditetapkan di pengadilan.

M
Pasal 33

M
(1) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 huruf b, yaitu harus melampirkan:

U
a. surat keterangan sehat dari Rumah Sakit Pemerintah;
b. surat keterangan Kesehatan Jiwa dari Dokter Spesialis Jiwa dari

D
Rumah Sakit Pemerintah;
c. copy akta kelahiran COTA;
d. surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) setempat;
e. kartu Keluarga dan KTP COTA;
f. keterangan penghasilan dari tempat bekerja COTA;
g. surat pernyataan persetujuan CAA di atas kertas bermaterai cukup
bagi anak yang telah mampu menyampaikan pendapatnya dan/
atau hasil laporan Pekerja Sosial;
h. surat izin dari orang tua kandung/wali yang sah/kerabat di atas
kertas bermaterai cukup;
i. surat pernyataan di kertas bermaterai cukup yang menyatakan
bahwa pengangkatan anak demi kepentingan terbaik bagi anak
dan perlindungan anak;
j. surat pernyataan akan memperlakukan anak angkat dan
anak kandung tanpa diskriminasi sesuai dengan hak-hak dan
kebutuhan anak di atas kertas bermaterai cukup;
k. surat pernyataan dan jaminan COTA di atas kertas bermaterai
cukup yang menyatakan bahwa seluruh dokumen yang diajukan
adalah sah dan sesuai fakta yang sebenarnya;

Lampiran 249
l. surat pernyataan bahwa COTA akan memberitahukan kepada
anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya
dengan memerhatikan kesiapan anak;
m. laporan sosial mengenai CAA dibuat oleh Pekerja Sosial Lembaga
Pengasuhan Anak atau surat keterangan dari COTA mengenai
kronologis anak hingga berada dalam asuhan mereka;
n. surat penyerahan anak dari ibu kandung/wali yang sah/kerabat
kepada rumah sakit/kepolisian/masyarakat yang dilanjutkan
dengan penyerahan anak kepada Instansi Sosial;

Y
o. surat penyerahan anak dari Instansi Sosial kepada Lembaga
Pengasuhan Anak;
p. surat keputusan kuasa asuh anak dari Pengadilan kepada Lembaga

M
Pengasuhan Anak;
q. laporan sosial mengenai COTA yang dibuat oleh Pekerja Sosial
Instansi Sosial dan Lembaga Pengasuhan Anak;

M
r. surat keputusan Izin Asuhan dari Menteri Sosial cq Direktur
Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial;

U
s. laporan sosial perkembangan anak dibuat oleh Pekerja Sosial
Fungsional Departemen Sosial dan Pekerja Sosial Lembaga

D
Pengasuhan Anak;
t. surat keputusan TIM PIPA tentang Pemberian Pertimbangan
Pengangkatan Anak; dan
u. surat Keputusan Izin Pengangkatan Anak yang dikeluarkan oleh
Menteri Sosial untuk ditetapkan di pengadilan.
(2) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), yang berupa copy harus dilegalisir oleh lembaga yang menerbitkan
dokumen atau lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 34
(1) Pengangkatan anak oleh Orang Tua Tunggal dilaksanakan dengan tata
cara sebagai berikut:
a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak
kepada Menteri Sosial di atas kertas bermaterai cukup dengan
melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan COTA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 33 ayat (1);
b. Menteri Sosial c.q. Direktur Pelayanan Sosial Anak menugaskan
Pekerja Sosial Instansi Sosial untuk melakukan penilaian kelayakan
COTA dengan dilakukan kunjungan rumah kepada keluarga COTA;

250 HUKUM KELUARGA


c. Menteri Sosial c.q Direktur Pelayanan Sosial Anak mengeluarkan
Surat Keputusan Izin Pengasuhan Anak Sementara diberikan
kepada COTA melalui Lembaga Pengasuhan Anak;
d. penyerahan anak dari Lembaga Pengasuhan Anak kepada COTA;
e. bimbingan dan pengawasan dari Pekerja Sosial selama pengasuhan
sementara;
f. COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak disertai
pernyataan mengenai motivasi pengangkatan anak kepada
Menteri Sosial di kertas bermaterai cukup;

Y
g. kunjungan rumah oleh Pekerja Sosial Departemen Sosial dan
Lembaga Pengasuhan Anak untuk mengetahui perkembangan
CAA selama diasuh COTA;

M
h. Menteri Sosial c.q Direktur Pelayanan Sosial Anak membahas
hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti
berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam Tim

M
PIPA;
i. diterbitkannya Surat rekomendasi dari TIM PIPA tentang

U
perizinan pertimbangan pengangkatan anak;
j. Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi

D
Sosial mengeluarkan Surat Izin pengangkatan anak untuk
ditetapkan di pengadilan;
k. apabila permohonan pengangkatan anak yang ditolak maka anak
akan dikembalikan kepada orang tua kandung/wali yang sah/
kerabat atau menetapkan pengasuhan alternatif lain sesuai dengan
kepentingan terbaik bagi anak;
l. setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses
pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan
tersebut ke Departemen Sosial; dan
m. Departemen Sosial mencatat dan mendokumentasikan peng­
angkatan anak tersebut.
(2) Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf j, dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan
mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan.

Pasal 35
Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal yang kewenangan pemberian
izin pengangkatannya telah didelegasikan oleh Menteri kepada Gubernur,
tata cara pengajuannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 27.

Lampiran 251
BAB VI
PENGANGKATAN ANAK OLEH COTA YANG SALAH
SEORANGNYA WARGA NEGARA ASING
Pasal 36
(1) CAA pada pengangkatan anak oleh COTA yang salah seorangnya Warga
Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a,
harus berada dalam Lembaga Pengasuhan Anak.
(2) CAA pada pengangkatan anak oleh COTA yang salah seorangnya Warga
Negara Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5.

Y
Pasal 37

M
Persyaratan COTA pada pengangkatan anak oleh COTA yang salah
seorangnya Warga Negara Asing meliputi:

M
a. persyaratan material; dan
b. persyaratan administratif.

U
Pasal 38

D
Persyaratan material COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf
a, meliputi:
a. sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu
untuk mengasuh CAA;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55
(limapuluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;
e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak;
h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan dari anak, bagi anak yang telah mampu
menyampaikan pendapatnya dan izin tertulis dari orang tua/wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang
menyatakan bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

252 HUKUM KELUARGA


k. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang
menyatakan bahwa akan melaporkan perkembangan anak kepada
Departemen Luar Negeri melalui Perwakilan RI setempat setiap tahun
hingga anak berusia 18 (delapan belas) tahun;
l. dalam hal CAA dibawa ke luar negeri COTA harus melaporkan ke
Departemen Sosial dan ke Perwakilan RI terdekat di mana mereka
tinggal segera setelah tiba di negara tersebut;
m. COTA bersedia dikunjungi oleh perwakilan RI setempat guna melihat
perkembangan anak sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun.

Y
n. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi dan
Lembaga Pengasuhan Anak;
o. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,sejak

M
izin pengasuhan diberikan;
p. melalui Lembaga Pengasuhan Anak;

M
q memperoleh persetujuan pengangkatan anak secara tertulis dari
pemerintah negara asal suami atau istri melalui kedutaan atau
perwakilan negara suami dan/atau istri yang ada di Indonesia;

U
r. memperoleh rekomendasi untuk pengangkatan anak dari Kepala
Instansi Sosial Provinsi;

D
s. memperoleh izin pengangkatan anak dari Menteri Sosial untuk di
tetapkan di pengadilan.

Pasal 39
(1) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 huruf b, yaitu harus melampirkan:
a. surat keterangan sehat dari Rumah Sakit Pemerintah;
b. surat keterangan Kesehatan Jiwa dari Dokter Spesialis Jiwa dari
Rumah Sakit Pemerintah;
c. copy akta kelahiran COTA;
d. surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) setempat;
e. copy surat nikah/akta perkawinan COTA;
f. kartu keluarga dan KTP COTA;
g. copy akta kelahiran CAA;
h. keterangan penghasilan dari tempat bekerja COTA;
i. surat pernyataan persetujuan CAA di atas kertas bermaterai cukup
bagi anak yang telah mampu menyampaikan pendapatnya dan/
atau hasil laporan Pekerja Sosial;

Lampiran 253
j. surat izin dari orang tua kandung/wali yang sah/kerabat di atas
kertas bermaterai cukup;
k. surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan
bahwa pengangkatan anak demi kepentingan terbaik bagi anak
dan perlindungan anak;
l. surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang
menyatakan bahwa akan memperlakukan anak angkat dan anak
kandung tanpa diskriminasi sesuai dengan hakhak dan kebutuhan
anak di atas kertas bermaterai cukup;

Y
m. surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang
menyatakan bahwa COTA akan memberitahukan kepada anak
angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya

M
dengan memerhatikan kesiapan anak;
n. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup
yang menyatakan akan melaporkan perkembangan anak kepada

M
Departemen Luar Negeri melalui Perwakilan RI setempat setiap
tahun hingga anak berusia 18 (delapan belas) tahun;

U
o. membuat surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup
yang menyatakan bahwa dalam hal CAA dibawa ke luar negeri

D
COTA harus melaporkan ke Departemen Sosial dan ke Perwakilan
RI terdekat di mana mereka tinggal segera setelah tiba di negara
tersebut;
p. membuat surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai
cukup yang menyatakan bahwa COTA bersedia dikunjungi oleh
perwakilan RI setempat guna melihat perkembangan anak sampai
anak berusia 18 (delapan belas) tahun;
q. surat pernyataan dan jaminan COTA secara tertulis di atas kertas
bermaterai cukup yang menyatakan bahwa seluruh dokumen yang
diajukan adalah sah dan sesuai fakta yang sebenarnya;
r. laporan sosial mengenai Anak dibuat oleh Pekerja Sosial Lembaga
Pengasuhan Anak atau surat keterangan dari COTA mengenai
kronologis anak hingga berada dalam asuhan mereka;
s. surat penyerahan anak dari ibu kandung/wali yang sah/
kerabat kepada COTA/rumah sakit/kepolisian/masyarakat yang
dilanjutkan dengan penyerahan anak kepada Instansi Sosial;
t. surat penyerahan anak dari Instansi Sosial Provinsi kepada
Lembaga Pengasuhan Anak;
u. surat keputusan kuasa asuh anak dari Pengadilan kepada Lembaga
Pengasuhan Anak;

254 HUKUM KELUARGA


v. laporan Sosial mengenai COTA dibuat oleh Pekerja Sosial Instansi
Sosial Provinsi;
w. surat keputusan Izin Asuhan dari Instansi Sosial Provinsi;
x. laporan sosial perkembangan anak dibuat oleh Pekerja Sosial
Instansi Sosial Provinsi;
y. surat keputusan TIM PIPA tentang Pemberian Pertimbangan Izin
Pengangkatan Anak;
z. surat Izin Pengangkatan Anak yang dikeluarkan oleh Menteri
Sosial untuk ditetapkan di pengadilan.

Y
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus
memenuhi persyaratan administrasi lainnya, yang meliputi:
a. rekomendasi dari instansi sosial provinsi;

M
b. surat izin dari pemerintah negara asal suami dan/atau istri;
c. foto copy pasport dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan

M
Kartu Ijin Tinggal Tetap (KITAP)
d. akte kelahiran suami dan/atau Istri Warga Negara Asing;

U
e. copy kutipan akte perkawinan/surat nikah yang dilegalisir di
catatan sipil/KUA jika perkawinan di Indonesia dan di legalisir

D
negara asal dikeluarkannya surat tersebut jika perkawinan di Luar
Negeri;
f. persetujuan dari keluarga suami atau Istri Warga Negara Asing
yang dilegalisir di negara asal dikeluarkannya surat tersebut;
g. surat keterangan catatan kepolisian dari Negara asal suami atau
Istri Warga Negara Asing dan melaporkannya kepada Markas
Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
h. laporan sosial dari negara asal di mana COTA berdomisili.
(3) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), yang berupa copy harus dilegalisir oleh lembaga yang menerbitkan
dokumen atau lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 40
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf k, dan
ayat (2) huruf b dan huruf d harus disahkan di negara asal suami atau istri
melalui Departemen luar negeri Negara setempat, diketahui oleh perwakilan
RI di negara tersebut, dan kemudian disahkan di Departemen Luar Negeri
dan kedutaan besar asing yang ada di Indonesia serta Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia.

Lampiran 255
Pasal 41
(1) Pelaksanaan pengangkatan anak oleh COTA yang salah seorangnya
Warga Negara Asing dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:
a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada
Kepala Instansi Sosial Provinsi di atas kertas bermaterai cukup
dengan melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan
COTA sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 dan Pasal 39 ayat
(1) dan ayat (2);
b. Kepala Instansi Sosial Provinsi menugaskan Pekerja Sosial Instansi

Y
Sosial Provinsi dan Lembaga Pengasuhan Anak untuk melakukan
penilaian kelayakan COTA dengan melakukan kunjungan rumah
kepada keluarga COTA;

M
c. Kepala Instansi Sosial Provinsi mengeluarkan Surat Izin
Pengasuhan Sementara;
d. Pekerja Sosial melakukan bimbingan dan pengawasan selama

M
pengasuhan sementara;
e. COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak kepada

U
Kepala Instansi Sosial Provinsi di atas kertas bermaterai cukup;
f. Pekerja Sosial dari Instansi Sosial Provinsi dan Lembaga

D
Pengasuhan Anak melakukan kunjungan rumah untuk
mengetahui perkembangan CAA selama diasuh COTA:
g. Kepala Instansi Sosial Provinsi membahas hasil penilaian
kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen
permohonan pengangkatan anak dalam forum Tim Pertimbangan
Pengangkatan Anak di Provinsi;
h. Kepala Instansi Sosial mengeluarkan surat rekomendasi untuk
Izin pengangkatan anak agar dapat diproses lebih lanjut di
Departemen Sosial;
i. Menteri Sosial c.q Direktur Pelayanan Sosial Anak membahas
hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti
berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam forum
Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak di Departemen Sosial;
j. forum TIM PIPA mengeluarkan surat keputusan tentang
pertimbangan pengangkatan anak;
k. Menteri Sosial mengeluarkan Keputusan tentang Izin Pengangkatan
Anak untuk ditetapkan di pengadilan;
l. dalam hal permohonan pengangkatan anak ditolak, maka anak
dikembalikan kepada Lembaga Pengasuhan Anak;
m. setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses
pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan

256 HUKUM KELUARGA


tersebut ke Departemen Sosial dan Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil kabupaten/kota; dan
n. Departemen Sosial mencatat dan mendokumentasikan peng­
angkatan anak tersebut.
(2) Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat(1) huruf l, dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan
mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan.

BAB VII

Y
PENGANGKATAN ANAK ANTARA WARGA NEGARA
INDONESIA DENGAN WARGA NEGARA ASING

M
Bagian Pertama
Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Oleh

M
Warga Negara Asing Di Indonesia
Pasal 42

U
(1) CAA pada pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh COTA
yang Warga Negara Asing harus berada dalam Lembaga Pengasuhan

D
Anak.
(2) Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh COTA Warga Negara
Asing, CAA harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 4 dan Pasal 5. 28
(3) Pengajuan permohonan pengangkatan anak, selain harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga melampirkan
penetapan pengadilan yang menetapkan bahwa CAA terlantar.

Pasal 43
Persyaratan COTA pada pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh
Warga Negara Asing meliputi:
a. persyaratan material; dan
b. persyaratan administratif.

Pasal 44
Persyaratan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a,
meliputi:
a. sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu
untuk mengasuh CAA;

Lampiran 257
b. berada dalam rentang umur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan
paling tinggi 55 (limapuluh lima) tahun pada saat COTA mengajukan
permohonan pengangkatan anak;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;
e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang

Y
anak;
h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;

M
i. memperoleh persetujuan dari anak, bagi anak yang telah mampu
menyampaikan pendapatnya;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah untuk

M
kesejahteraan dan perlindungan anak serta demi kepentingan terbaik
bagi anak;

U
k. membuat pernyataan tertulis akan dan bersedia melaporkan
perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Indonesia melalui

D
Perwakilan RI setempat setiap tahun hingga anak berusia 18 (delapan
belas) tahun;
l. dalam hal CAA dibawa ke luar negeri COTA harus melaporkan ke
Departemen Sosial dan ke Perwakilan RI terdekat di mana mereka
tinggal segera setelah tiba di negara tersebut;
m. COTA bersedia dikunjungi oleh perwakilan RI setempat guna melihat
perkembangan anak sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun
n. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi dan
Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak;
o. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak
izin pengasuhan diberikan;
p. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal COTA melalui
kedutaan atau perwakilan negara COTA;
q. CAA berada di Lembaga Pengasuhan Anak;
r. telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;
s. memperoleh izin pengangkatan anak dari Menteri Sosial untuk
ditetapkan di pengadilan.

258 HUKUM KELUARGA


Pasal 45
(1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf
b, yaitu harus melampirkan:
a. surat keterangan sehat COTA dari Rumah Sakit Pemerintah;
b. surat keterangan kesehatan dari Dokter Spesialis Jiwa Pemerintah
yang menyatakan COTA tidak mengalami gangguan kesehatan
jiwa;
c. Surat keterangan tentang fungsi organ reproduksi COTA dari
dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Pemerintah;

Y
d. akte kelahiran COTA yang dilegalisir di negara asal dikeluarkannya
surat tersebut;
e. copy paspor dan Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) dan Kartu

M
Ijin Tinggal Tetap (KITAP); serta surat keterangan tempat tinggal;
f. copy KTP orang tua kandung CAA dan/atau copy kartu keluarga

M
orang tua kandung CAA dan/atau surat keterangan identitas
agama orang tua kandung CAA dan/atau penetapan pengadilan

U
tentang agama CAA;
g. Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) COTA dari MABES

D
POLRI;
h. copy akte perkawinan yang dilegalisir di negara asal dikeluarkannya
surat tersebut;
i. copy akte kelahiran anak kandung COTA, apabila COTA telah
mempunyai seorang anak;
j. keterangan penghasilan dari tempat bekerja COTA yang dilegalisir
oleh kedutaan besar negara COTA dan dilihat dan dicatat di Deplu
dan Dephukham;
k. surat pernyataan persetujuan CAA di atas kertas bermaterai cukup
bagi anak yang telah mampu menyampaikan pendapatnya dan/
atau hasil laporan Pekerja Sosial,
l. surat izin dari orang tua/wali di atas kertas bermaterai cukup;
m. surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan
bahwa pengangkatan anak untuk kesejahteraan dan perlindungan
anak, serta demi kepentingan terbaik bagi anak;
n. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang
menyatakan bahwa akan dan bersedia melaporkan perkembangan
anak kepada Departemen Luar Negeri Indonesia melalui
Perwakilan RI setempat setiap tahun hingga anak berusia 18
(delapan belas) tahun;

Lampiran 259
o. membuat surat penyataan di atas kertas bermaterai cukup yang
menyatakan bahwa dalam hal CAA dibawa ke luar negeri COTA
harus melaporkan ke Departemen Sosial dan ke Perwakilan RI
terdekat di mana mereka tinggal segera setelah tiba di negara
tersebut;
p. surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan
bahwa COTA bersedia dikunjungi oleh perwakilan RI setempat
guna melihat perkembangan anak sampai anak berusia 18
(delapan belas) tahun
q. surat pernyataan dan jaminan COTA secara tertulis di atas kertas

Y
bermaterai cukup yang menyatakan bahwa seluruh dokumen yang
diajukan adalah sah dan sesuai fakta yang sebenarnya;

M
r. surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan
bahwa akan memperlakukan anak angkat dan anak kandung tanpa
diskriminasi sesuai dengan hak-hak dan kebutuhan anak di atas

M
kertas bermaterai cukup;
s. surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan

U
bahwa COTA akan memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya dengan
memerhatikan kesiapan anak;

D
t. surat izin dari pemerintah negara asal COTA yang dilegalisir
Departemen Luar Negeri setempat;
u. persetujuan dari keluarga COTA yang dilegalisir di negara asal
dikeluarkannya surat tersebut;
v. laporan sosial mengenai CAA yang dibuat oleh Pekerja Sosial
Lembaga Pengasuhan Anak;
w. surat penyerahan anak dari ibu kandung kepada rumah sakit/
kepolisian/masyarakat yang dilanjutkan dengan penyerahan anak
kepada Instansi Sosial;
x. surat penyerahan anak dari Instansi Sosial kepada Lembaga
Pengasuhan Anak;
y. laporan sosial mengenai COTA dibuat oleh Pekerja Sosial Instansi
Sosial;
z. surat keputusan Izin Asuhan yang ditandatangani Direktur
Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial atas nama Menteri
Sosial RI tentang pemberian izin pengasuhan sementara;
aa. laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi
dan Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak mengenai
perkembangan anak selama diasuh sementara oleh COTA;
bb. foto CAA bersama COTA;

260 HUKUM KELUARGA


cc. surat keputusan TIM PIPA tentang pertimbangan izin peng­
angkatan anak;
dd. surat Keputusan Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan
dan Rehabilitasi Sosial tentang pemberian izin pengangkatan anak
untuk diproses lebih lanjut di pengadilan; dan
ee. Penetapan pengadilan bahwa status CAA sebagai anak terlantar.
(2) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
yang berupa copy harus dilegalisir oleh lembaga yang menerbitkan
dokumen atau lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan

Y
perundang-undangan.

Pasal 46

M
(1) Pengangkatan anak WNI oleh WNA dilaksanakan dengan tata cara
sebagai berikut:

M
a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak
kepada Menteri Sosial di atas kertas bermaterai cukup dengan

U
melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan COTA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 45 ayat (1);

D
b. Menteri c.q. Direktur Pelayanan Sosial Anak menugaskan Pekerja
Sosial Instansi Sosial untuk melakukan penilaian kelayakan COTA
dengan dilakukan kunjungan rumah kepada keluarga COTA;
c. Direktur Pelayanan Sosial Anak atas nama Menteri Sosial cq
Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan
Surat Keputusan Izin Pengasuhan Anak Sementara kepada COTA
melalui Lembaga Pengasuhan Anak;
d. penyerahan anak dari Lembaga Pengasuhan Anak kepada COTA;
e. bimbingan dan pengawasan dari Pekerja Sosial selama pengasuhan
sementara;
f. COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak disertai
pernyataan mengenai motivasi pengangkatan anak kepada
Menteri Sosial di kertas bermaterai cukup;
g. kunjungan rumah oleh Pekerja Sosial Departemen Sosial dan
Lembaga Pengasuhan Anak untuk mengetahui perkembangan
CAA selama diasuh COTA;
h. Direktur Pelayanan Sosial Anak membahas hasil penilaian
kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen
permohonan pengangkatan anak dalam Tim PIPA;
i. diterbitkannya Surat rekomendasi dari TIM PIPA tentang
perizinan pertimbangan pengangkatan anak;

Lampiran 261
j. Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial mengeluarkan Surat Izin pengangkatan anak untuk untuk
ditetapkan di pengadilan;
k. apabila permohonan pengangkatan anak ditolak maka anak akan
dikembalikan kepada orang tua kandung/wali yang sah/kerabat,
Lembaga Pengasuhan Anak, atau pengasuhan alternatif lain sesuai
dengan kepentingan terbaik bagi anak;
l. setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses
pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan
tersebut ke Departemen Sosial; dan

Y
m. Departemen Sosial mencatat dan mendokumentasikan peng­
angkatan anak tersebut.

M
(2) Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf j, dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan
mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan.

M
Bagian Kedua

U
Pengangkatan Anak Warga Negara Asing di Indonesia
Oleh Warga Negara Indonesia

D
Pasal 47
(1) Pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga
Negara Indonesia, harus memenuhi syarat:
a. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik
Indonesia;
b. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal
anak; dan
c. COTA dan CAA harus berada di wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Pelaksanaan pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga
Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan dan prosedur yang ditentukan oleh negara
anak di mana anak tersebut berasal.

Pasal 48
(1) Persetujuan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (1) huruf a dan huruf b, dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia
harus dilaporkan dan dicatat di instansi yang berwenang dengan
tembusan pemberitahuan ke Departemen Sosial.

262 HUKUM KELUARGA


Pasal 49
(1) Tata cara pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh
Warga Negara Indonesia, tunduk kepada tata cara dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara asal anak.
(2) Pemerintah Indonesia dapat memberikan rekomendasi sesuai dengan
permintaan Negara yang bersangkutan.

BAB VIII
PENGANGKATAN ANAK WARGA NEGARA INDONESIA YANG

Y
DILAHIRKAN DI LUAR WILAYAH INDONESIA
Pasal 50
(1) Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di luar

M
wilayah Indonesia oleh Warga Negara Indonesia yang berada di luar
negeri, harus dilaksanakan di Negara Republik Indonesia.

M
(2) Dalam hal ibu kandung CAA berkewarganegaraan Indonesia dan ayah
kandung berkewarganegaraan asing pelaksanaan pengangkatan anak

U
dapat diproses di Negara Republik Indonesia atau di negara asal ayah
kandung CAA.

D
Pasal 51
Pengangkatan anak yang dilahirkan di luar wilayah Indonesia yang
memerlukan perlindungan khusus dapat dilakukan pengangkatan anak oleh
COTA Warga Negara Asing.

Pasal 52
(1) Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di luar
wilayah Indonesia oleh Warga Negara Indonesia atau Warga Negara
Asing yang berada di luar negeri harus memenuhi persyaratan dan tata
cara pengangkatan anak sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan ini.
(2) Selain memenuhi persyaratan dan tata sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan
di luar wilayah Indonesia harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah RI melalui
Perwakilan RI di negara COTA dan CAA berada;
b. adanya pengesahan atas dokumen pengangkatan anak di negara
asal COTA melalui Departemen Luar Negeri negara setempat,
untuk kemudian dilihat/diketahui oleh Perwakilan R.I di negara
tersebut dan kemudian disahkan di Departemen Luar Negeri dan

Lampiran 263
kedutaan besar negara asal COTA di Jakarta serta Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia;
c. menyampaikan laporan sosial CAA secara tertulis dan berkala
minimal 1 (satu) tahun sekali ke Perwakilan RI di mana COTA dan
CAA berada dan COTA mengijinkan bilamana Tim berkunjung
untuk melihat perkembangan CAA;
d. CAA sementara ditempatkan di lembaga sosial setempat yang
memperoleh ijin dari Pemerintah negara setempat hingga COTA
memperoleh penetapan atau putusan pengangkatan anak dari
pengadilan.

Y
BAB IX

M
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53

M
Pada saat peraturan ini berlaku, maka Keputusan Menteri Sosial RI Nomor
13/HUK/1993 jo Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 2/HUK/1995 dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

U
Pasal 54

D
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2009

MENTERI SOSIAL RI,

TTD
DR (HC) H. BACHTIAR CHAMSYAH, S.E.

SALINAN, Peraturan ini disampaikan kepada Yth:


1. Presiden Republik Indonesia.
2. Wakil Presiden Republik Indonesia.
3. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
4. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI.
5. Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI.
6. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI.
7. Menteri Luar Negeri.

264 HUKUM KELUARGA


8. Menteri Dalam Negeri.
9. Menteri Hukum dan HAM.
10. Menteri Agama.
11. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.
12. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
13. Kepala Kepolisian RI.
14. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
15. Para Gubernur di seluruh Indonesia.

Y
16. Para Pejabat Eselon I di lingkungan Departemen Sosial RI.
17. Para Kepala Dinas Sosial Provinsi di seluruh Indonesia.

M
18. Para Pejabat Eselon II di lingkungan Departemen Sosial RI.

UM
D

Lampiran 265
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 54 TAHUN 2007
TENTANG
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

Y
bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengangkatan anak
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang

M
Pelaksanaan Pengangkatan Anak;

Mengingat:

M
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

U
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,

D
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN PENG­
ANGKATAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
2. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkat.

266 HUKUM KELUARGA


3. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu
tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
4. Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat,
mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan adat kebiasaan.
5. Lembaga pengasuhan anak adalah lembaga atau organisasi sosial
atau yayasan yang berbadan hukum yang menyelenggarakan
pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat izin dari Menteri untuk
melaksanakan proses pengangkatan anak.

Y
6. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok dan organisasi
sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
7. Pekerja sosial adalah pegawai negeri sipil atau orang yang ditunjuk

M
oleh lembaga pengasuhan yang memiliki kompetensi pekerjaan sosial
dalam pengangkatan anak.
8. Instansi sosial adalah instansi yang tugasnya mencakup bidang sosial

M
baik di pusat maupun di daerah.
9. Menteri adalah me nteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

U
di bidang sosial.

D
Pasal 2
Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang
dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 3
(1) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat.
(2) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Pasal 4
Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dengan orang tua kandungnya.

Pasal 5
Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing hanya
dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Lampiran 267
Pasal 6
(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asalusulnya dan orang tua kandungnya.
(2) Pemberitahuan asal- usul dan orang tua kandungnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memerhatikan kesiapan
anak yang bersangkutan.

BAB II
JENIS PENGANGKATAN ANAK

Y
Pasal 7
Pengangkatan anak terdiri atas:

M
a. pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan
b. pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga
Negara Asing.

M
Bagian Pertama

U
Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia
Pasal 8

D
Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a, meliputi:
a. pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan
b. pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9
(1) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, yaitu pengangkatan anak yang
dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan
adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat.
(2) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat
dimohonkan penetapan pengadilan.

Pasal 10
(1) Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b mencakup pengangkatan
anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga
pengasuhan anak.
(2) Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai­
mana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

268 HUKUM KELUARGA


Bagian Kedua
Pengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia
Dengan Warga Negara Asing
Pasal 11
(1) Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga
Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, meliputi:
a. pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara
Asing; dan
b. pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga

Y
Negara Indonesia.
(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui putusan pengadilan.

M
BAB III

M
SYARAT-SYARAT PENGANGKATAN ANAK
Pasal 12

U
(1) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;

D
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan
anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
(2) Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12
(dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan
perlindungan khusus.

Pasal 13
Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55
(lima puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;

Lampiran 269
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak;
h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali
anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

Y
k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak

M
izin pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

M
Pasal 14

U
Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, harus memenuhi
syarat:

D
a. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui
kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia;
b. memperoleh izin tertulis dari Menteri; dan
c. melalui lembaga pengasuhan anak.
Pasal 15
Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, harus memenuhi
syarat:
a. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik Indonesia;
dan
b. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.

Pasal 16
(1) Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh
Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat di­
delegasikan kepada kepala instansi sosial di provinsi.

270 HUKUM KELUARGA


Pasal 17
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, calon
orang tua angkat Warga Negara Asing juga harus memenuhi syarat:
a. telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;
b. mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan c.
membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada
untuk Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan
Republik Indonesia setempat.

Y
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pengangkatan anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal

M
16, dan Pasal 17 diatur dengan Peraturan Menteri.

M
BAB IV
TATA CARA PENGANGKATAN ANAK

U
Bagian Pertama

D
Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia
Pasal 19
Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara
yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pasal 20
(1) Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan
diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan.
(2) Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke
instansi terkait.

Pasal 21
(3) Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan
jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun.
(4) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat
di­lakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh calon orang tua
angkat.

Lampiran 271
Bagian Kedua
Pengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia
Dengan Warga Negara Asing
Pasal 22
(1) Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga
Negara Asing yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan
untuk mendapatkan putusan pengadilan.
(2) Pengadilan menyampaikan salinan putusan pengangkatan anak ke
instansi terkait.

Y
Pasal 23
Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh

M
Warga Negara Indonesia berlaku mutatis mutandis ketentuan Pasal 22.

M
Pasal 24
Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di wilayah

U
Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia oleh Warga Negara Asing
yang berada di luar negeri harus dilaksanakan di Indonesia dan memenuhi

D
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

Pasal 25
(1) Dalam proses perizinan pengangkatan anak, Menteri dibantu oleh Tim
Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tim Pertimbangan Perizinan
Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB V
BIMBINGAN DALAM PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK
Pasal 26
Bimbingan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh
Pemerintah dan masyarakat melalui kegiatan:
a. penyuluhan;
b. konsultasi;
c. konseling;
d. pendampingan; dan
e. pelatihan.

272 HUKUM KELUARGA


Pasal 27
(1) Penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dimaksudkan
agar masyarakat mendapatkan informasi dan memahami tentang
persyaratan, prosedur dan tata cara pelaksanaan pengangkatan anak.
(2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. meningkatkan pemahaman tentang pengangkatan anak;
b. menyadari akibat dari pengangkatan anak; dan
c. terlaksananya pengangkatan anak sesuai dengan peraturan
perundang- undangan.

Y
Pasal 28

M
(1) Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dimaksudkan
untuk membimbing dan mempersiapkan orang tua kandung dan calon
orang tua angkat atau pihak lainnya agar mempunyai kesiapan dalam

M
pelaksanaan pengangkatan anak.
(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:

U
a. memberikan informasi tentang pengangkatan anak; dan
b. memberikan motivasi untuk mengangkat anak.

D
Pasal 29
(1) Konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, dimaksudkan
untuk membantu mengatasi masalah dalam pengangkatan anak.
(2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. membantu memahami permasalahan pengangkatan anak; dan
b. memberikan alternatif pemecahan masalah pengangkatan anak.
Pasal 30
(1) Pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d di­
maksudkan untuk membantu kelancaran pelaksanaan pengangkatan
anak.
(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. meneliti dan menganalisis permohonan pengangkatan anak; dan
b. memantau perkembangan anak dalam pengasuhan orang tua angkat.

Pasal 31
(1) Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e dimaksudkan
agar petugas memiliki kemampuan dalam proses pelaksanaan peng­
angkatan anak.

Lampiran 273
(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. meningkatkan pengetahuan mengenai pengangkatan anak; dan
b. meningkatkan keterampilan dalam pengangkatan anak.

BAB VI
PENGAWASAN PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK
Pasal 32
Pengawasan dilaksanakan agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran
dalam pengangkatan anak.

Y
Pasal 33

M
Pengawasan dilaksanakan untuk:
a. mencegah pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan

M
peraturan perundang-undangan;
b. mengurangi kasus-kasus penyimpangan atau pelanggaran pengangkatan

U
anak; dan
c. memantau pelaksanaan pengangkatan anak.

D
Pasal 34
Pengawasan dilaksanakan terhadap:
a. orang perseorangan;
b. lembaga pengasuhan;
c. rumah sakit bersalin;
d. praktik-praktik kebidanan; dan
e. panti sosial pengasuhan anak.
Pasal 35
Pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh
Pemerintah dan masyarakat.

Pasal 36
Pengawasan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
dilakukan oleh Departemen Sosial.

Pasal 37
Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
dilakukan antara lain oleh:

274 HUKUM KELUARGA


a. orang perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok;
d. lembaga pengasuhan anak; dan
e. lembaga perlindungan anak.

Pasal 38
(1) Dalam hal terjadi atau diduga terjadi penyimpangan atau pelanggaran

Y
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak, masyarakat dapat
melakukan pengaduan kepada aparat penegak hukum dan/atau Komisi
Perlindungan Anak Indonesia, instansi sosial setempat atau Menteri.

M
(2) Pengaduan diajukan secara tertulis disertai dengan identitas diri
pengadu dan data awal tentang adanya dugaan penyimpangan atau
pelanggaran.

M
BAB VII

U
PELAPORAN
Pasal 39

D
Pekerja sosial menyampaikan laporan sosial mengenai kelayakan orang
tua angkat dan perkembangan anak dalam pengasuhan keluarga orang tua
angkat kepada Menteri atau kepala instansi sosial setempat.

Pasal 40
Dalam hal pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara
Asing, orang tua angkat harus melaporkan perkembangan anak kepada
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik
Indonesia setempat paling singkat sekali dalam 1 (satu) tahun, sampai
dengan anak berusia 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 41
Semua administrasi yang berkaitan dengan pengangkatan anak berada di
departemen yang bertanggung jawab di bidang sosial.

Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bimbingan, pengawasan, dan
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 32, dan Pasal 39
diatur dengan Peraturan Menteri.

Lampiran 275
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Y
Pasal 44
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan

M
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

M
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2007

U
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

D
ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2007


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

276 HUKUM KELUARGA


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2007 NOMOR 123

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 54 TAHUN 2007
TENTANG

Y
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

M
I. UMUM
Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan

M
nasional. Untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia
yang berkualitas diperlukan pembinaan sejak dini yang berlangsung

U
secara terus-menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial anak.

D
Kondisi ekonomi nasional yang kurang mendukung sangat
memengaruhi kondisi perekonomian keluarga dan berdampak pada
tingkat kesejahteraan anak Indonesia. Kenyataan yang kita jumpai
sehari- hari di dalam masyarakat masih banyak dijumpai anak-anak
yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan, di mana banyak
ditemui anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu dan anak penyandang
cacat dengan berbagai permasalahan mereka yang kompleks yang
memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan, baik dari
pihak Pemerintah maupun masyarakat.
Komitmen Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak
telah ditindak lanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang ini mengatur
tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan,
pemenuhan hak–hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Salah satu
solusi untuk menangani permasalahan anak dimaksud yaitu dengan
memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan
pengangkatan anak. Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan
bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat
kebiasaan setempat.
Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat
atas pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak
dilakukan tanpa melalui prosedur yang benar, pemalsuan data,
perdagangan anak, bahkan telah terjadi jual beli organ tubuh anak.

Lampiran 277
Untuk itu, perlu pengaturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak,
baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat, yang
dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah ini dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan
pengangkatan anak yang mencakup ketentuan umum, jenis
pengangkatan anak, syarat-syarat pengangkatan anak, tata cara
pengangkatan anak, bimbingan dalam pelaksanaan pengangkatan anak,
pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak dan pelaporan.
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini juga dimaksudkan
agar pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

Y
peraturan perundang- undangan sehingga dapat mencegah terjadinya
penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan
kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi anak.

M
II. PASAL DEMI PASAL

M
Pasal 1
Cukup jelas.

U
Pasal 2
Cukup jelas.

D
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”setempat” adalah setingkat desa atau
kelurahan.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengangkatan anak secara langsung”
adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang
tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada langsung

278 HUKUM KELUARGA


dalam pengasuhan orang tua kandung. Yang dimaksud dengan
“pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak”
adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua
angkat terhadap calon anak angkat yang berada dalam lembaga
pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12

Y
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)

M
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b

M
Yang dimaksud dengan ”sepanjang ada alasan mendesak”
seperti anak korban bencana, anak pengungsian dan

U
sebagainya. Hal ini dilakukan demi kepentingan terbaik bagi
anak.
Huruf c

D
Yang dimaksud dengan ”anak memerlukan perlindungan
khusus” adalah anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas
dan terisolasi; anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual, anak yang diperdagangkan; anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya (napza); anak korban penculikan,
penjualan dan perdagangan; anak korban kekerasan baik
fisik dan/atau mental; anak yang menyandang cacat; dan
anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”orang tua tunggal” adalah seseorang
yang berstatus tidak menikah atau janda/duda.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Lampiran 279
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)

Y
Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah Mahkamah
Agung melalui Panitera Mahkamah Agung, Departemen Sosial,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat

M
Jenderal Imigrasi, Departemen Luar Negeri, Departemen
Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan Agung dan
Kepolisian Republik Indonesia.

M
Pasal 21
Cukup jelas.

U
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.

D
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 20 ayat (2).
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan
Anak” yaitu tim yang dibentuk oleh Menteri, yang bertugas
memberikan pertimbangan dalam memperoleh izin pengangkatan
anak dan beranggotakan perwakilan dari instansi yang terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”konseling” adalah kegiatan yang
dilakukan setelah tahap konsultasi dalam hal terjadinya
permasalahan pengangkatan anak.

280 HUKUM KELUARGA


Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.

Y
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31

M
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.

M
Pasal 33
Cukup jelas.

U
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35

D
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah suatu badan yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang bertugas:
1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan
anak, mengum­p ulkan data dan informasi, menerima
pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak.
2. Memberikan laporan, sasaran, masukan, dan pertimbangan
kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.

Lampiran 281
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.

Y
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4768

M M
DU

282 HUKUM KELUARGA


BIODATA PENULIS

M Y
UM
Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, lahir di Pematang
Siantar pada tanggal 2 Februari 1967. Ia telah menyelesaikan

D
S1 (1990), S2 (2002), S3(2013), di Universitas Sumatera Utara
dengan menerima beasiswa (di semua strata).
Pendidikan doktor diselesaikan pada almamater yang sama
pada tahun 2013 dengan prediket cum laude/pujian. Pada tahun
1991, sebagai penerima beasiswa TID (Tunjangan Ikatan Dinas), ia
menjadi dosen pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
dalam mengasuh mata kuliah hukum adat (S1), hukum keluarga
dan harta-harta benda dalam perkawinan (MKN), dan hukum
waris adat (S2 Ilmu Hukum).
Pernah menjadi kepala Perpustakaan Universitas cabang
Fakultas Hukum periode 2009-2012, sekarang menjadi Ketua
Umum Ilmu-ilmu Umum LIDA (Lembaga Ilmu-ilmu Dasar)
Universitas Sumatera Utara, anggota Komisi Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran USU dan RSUP H. Adam Malik
Medan dan anggota MPD (Majelis Pengawas Daerah), Pengawas
Notaris-notaris Kabupaten Deli Serdang. Penulis juga aktif
mengajar pada Program Magister Ilmu Hukum di Perguruan Tinggi

Lampiran 283
Swasta, serta aktif mengikuti kegiatan ilmiah; seminar, workshop
dan pelatihan, juga sering diundang menjadi narasumber. Penulis
bisa dihubungi via email: oni_usu@yahoo.com.

M Y
UM
D

284 HUKUM KELUARGA

Anda mungkin juga menyukai