ِه ِض
اِإْل يَم اُن ِبْض ٌع: َعْن َأِبي ُه َر ْيَر َة َر َي الَّلُه َعْنُه َقاَل َقاَل َرُسْو ُل اِهلل َص َّلى الَّلُه َعَلْي َو َس َّلَم
َو َأْدَناَه ا ِإَماَطُة اَأْلَذى َعِن، اَل ِإَلَه ِإاَّل الَّلُه: َفَأْفَض ُلَه ا َقْو ُل، َأْو ِبْض ٌع َو ِس ُّتوَن ُش ْع َبًة، َو َس ْبُعوَن
ِ َو اْلَحَياُء ُش ْع َبٌة ِم َن اِإْل يَم ان، الَّطِر يِق
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri, no. 9 dan dalam al-Adabul Mufrad, no.
598; Muslim, 35 [58], dan lafazh hadits di atas adalah lafazh riwayat imam Muslim; Ahmad,
II/414, 445; Abu Dawud, no. 4676; At-Tirmidzi, no. 2614; An-Nasâ-I, VIII/110; Ibnu Mâjah,
no. 57; Ibnu Hibban, no. 166, 181, 191-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân.
SYARH HADITS
1.Hadits ini menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan dan perbuatan hati, amalan
anggota badan, perkataan lisan, serta semua yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh Azza
wa Jalla , juga segala yang dicintai dan diridhai-Nya, baik yang wajib maupun yang
mustahabb. Itu semua masuk dalam iman.
Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih , atau enam puluh cabang lebih
Definisi iman menurut Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa dien dan iman adalah ucapan dan
perbuatan; perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota tubuh.
Iman itu bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa berkurang dengan sebab perbuatan dosa
dan maksiat.
2.Dalam hadits ini disebutkan iman yang paling utama, yang paling rendah, serta yang
pertengahan. Yang pertengahan yaitu malu. Malu disebutkan di sini, karena ia merupakan
faktor terkuat yang mendorong seseorang mengerjakan seluruh cabang keimanan.
Orang merasa malu terhadap Allâh Azza wa Jalla karena menyedari nikmat Allâh Azza wa
Jalla yang melimpah kepadanya, kedermawanan-Nya, kemuliaan nama-nama dan sifat-sifat-
Nya –sementara dia seorang hamba yang sangat banyak kekurangannya terhadap Rabbnya
Yang Maha Mulia dan Maha Besar, dia menzhalimi dirinya dan bermaksiat. Kesadaran ini
mengharuskan dirinya memiliki rasa malu untuk mencegahnya dari (berbuat) kejahatan dan
mengerjakan segala kewajiban dan keutamaan-keutamaan.
3.Cabang iman yang paling tinggi, paling pokoknya, akar dan pondasi iman adalah perkataanَل
ا ِإَلَه ِإاَّل ُهللاdengan jujur dari hatinya, dalam keadaan tahu, sadar dan meyakini bahwa tidak ada
yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allâh semata. Allâh Azza wa Jalla , Rabb
yang mengurusnya dan mengurus seluruh alam dengan keutamaan dan kebaikan-Nya.
Segala sesuatu itu selain Allah k itu faqir, hanya Allâh Yang Maha Kaya. Segala sesuatu itu
lemah, hanya Allâh Yang Maha Kuat. Kemudian seorang hamba beribadah kepada Allâh
Azza wa Jalla dalam setiap keadaan, mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya. Karena
semua cabang-cabang iman itu merupakan cabang dan buah dari pokok ini.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa sebagian iman itu kembali kepada pengikhlasan ibadah
kepada Allâh dan sebagiannya lagi kembali kepada berbuat baik kepada sesama makhluk.
Kalimat syahadat merupakan kalimat yang paling agung dan memiliki banyak keutamaan.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Aku bersaksi bahwa tidak ada
ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh. Kalimat yang menjadi
tegak dengannya langit dan bumi. Semua makhluk diciptakan karena kalimat ini. Dengan
(membawa misi) kalimat itu, Allâh Azza wa Jalla mengutus para Rasul-Nya, menurunkan
Kitab-kitab-Nya, dan menetapkan syari’at-Nya. Dengan sebab kalimat itulah mizan
(timbangan) diadakan, diletakkan catatan-catatan amal, serta manusia digiring menuju surga
atau neraka. Dengan sebab kalimat ini, makhluk terbagi menjadi dua: Mukmin dan kafir,
serta yang baik dan yang jahat. Kalimat itu adalah pangkal dari penciptaan, perintah, pahala,
dan siksa. Ia adalah kebenaran yang karenanya makhluk diciptakan. Tentangnya dan tentang
hak-haknya diadakan pertanyaan dan hisab (perhitungan). Atas dasar kalimat itulah ada
pahala dan siksa, kiblat dipancangkan, dan azas-azas agama diletakkan. Dan karena kalimat
inilah pedang-pedang jihad dihunus. Dia adalah hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas segenap
makhluk-Nya. Dia adalah kalimat Islam dan kunci negeri kesejahteraan (Surga).
Tentangnyalah makhluk yang pertama dan yang terakhir akan ditanya.
Sungguh, kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser di hadapan Allâh Azza wa Jalla
sampai dia tanya tentang dua pertanyaan:
Sedang jawaban pertanyaan kedua adalah dengan mewujudkan (syahadat) “bahwa Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh” baik dalam ‘ilmu
(pengetahuan), pengakuan, kepatuhan, dan ketaatan.”[3]
Makna yang benar dari kalimat Tauhid اَل ِإٰل ـَه ِإاَّل ُهللاadalah:
Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh
Lafazh ( اَل ِإٰل ـَهlâ ilâha) adalah menafikan semua yang disembah selain Allâh, dan lafazh ِإاَّل ُهللا
(illallâh) adalah menetapkan segala bentuk ibadah yang ditujukan hanya kepada Allâh
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak ada
sekutu bagi Allâh dalam kekuasaan-Nya.[5]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ini merupakan kalimat yang paling agung yang
menafikan sesembahan kepada selain Allâh dan menetapkan segala sifat yang istimewa untuk
Allâh Azza wa Jalla . Penunjukan kalimat ini akan penetapan bahwasanya tiada ilah yang
berhak disembah selain Allâh lebih besar daripada sekedar perkataan kita “Allâh adalah
Ilaah,” dan tidak ada satupun yang meragukan ini.”[7]
Semua yang disembah selain Allâh dinamakan ( آِلَهةtuhan-tuhan) karena mereka memang
disembah oleh manusia, meskipun pada hakikatnya mereka tidak berhak diibadahi tetap saja
namanya tuhan. Akan tetapi, semua itu adalah tuhan yang bathil. Maka, penamaan (ِإٰل ـٌهilaah)
bagi sesembahan selain Allâh ditetapkan dalam satu segi dan dinafikan dalam segi yang lain.
Ditetapkan dari segi eksistensinya dan dinafikan dari segi keberhakannya untuk diibadahi.
[8]
Kalimat syahadat lâ ilâha illallâh memiliki dua rukun: yaitu al-itsbât (menetapkan) dan an-
nafyu (meniadakan).
Lafazh lâ ilâha berarti meniadakan atau menolak (an-nafyu) segala ilah (sesembahan) selain
Allâh Azza wa Jalla .
Dan lafazh illallâh berarti menetapkan (al-itsbaat) bahwa segala bentuk ibadah
(penghambaan) itu hanya bagi Allâh semata, tidak ada sesuatu pun yang boleh dijadikan
sebagai sekutu dalam peribadahan kepada-Nya.
َفَم ْن َيْك ُفْر ِبالَّطاُغ وِت َو ُيْؤ ِم ْن ِباِهَّلل َفَقِد اْس َتْم َس َك ِباْلُعْر َوِة اْلُو ْثَقٰى اَل اْنِفَص اَم َلَها ۗ َوُهَّللا َسِم يٌع َع ِليٌم
… Barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allâh, maka sungguh ia telah
berpegang pada tali yang sangat kuat. Allâh Maha Mendengar, Maha Mengetahui. [Al-
Baqarah/2:256]
Imam Malik t mengatakan, “Thaghut adalah semua yang diibadahi selain Allâh Azza wa Jalla
.”[9]
َٰذ
ِلَك ِبَأَّن َهَّللا ُهَو اْلَح ُّق َو َأَّن َم ا َيْدُعوَن ِم ْن ُدوِنِه ُهَو اْلَباِط ُل َو َأَّن َهَّللا ُهَو اْلَعِلُّي اْلَك ِبيُر
Demikianlah (kebesaran Allâh) karena Allâh, Dia-lah (Rabb) Yang Haqq (untuk diibadahi).
Dan apa saja yang mereka ibadahi selain Dia, itulah yang bathil. Dan sungguh Allâh, Dia-
lah Yang Mahatinggi, Mahabesar.”[Al-Hajj/22: 62]
َو ِحَس اُبُه َع َلى ِهللا َع َّز َو َج َّل،َم ْن َقاَل اَل ِإٰل ـَه ِإاَّل ُهللا َو َك َفَر ِبَم ا ُيْعَبُد ِم ْن ُد ْو ِن ِهللا َح ُر َم َم اُلُه َو َد ُم ُه.
Barangsiapa telah mengucapkan lâ ilâha illallâh (tidak ada ilah yang berhak diibadahi
dengan benar selain Allâh) dan mengingkari (sesembahan-sesembahan) selain Allâh, maka
haramlah harta dan darahnya, dan hisab (perhitungan amal)nya diserahkan kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala[10]
Konsekuensi dari rukun kalimat ini yaitu seorang Muslim yang sudah jelas mengucapkan
kalimat tauhid ini, maka ia wajib menolak dan mengingkari semua yang disembah selain
Allâh Azza wa Jalla . Semua yang disembah dan diibadahi selain Allâh adalah bathil. Dan ia
pun wajib menetapkan bahwa satu-satunya yang benar dan yang wajib diibadahi hanya Allâh
Azza wa Jalla saja. Kita wajib beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak boleh
kepada selain-Nya.
Seorang yang beriman harus berusaha menyingkirkan apa saja yang mengganggu jalan kaum
Muslimin. Dia harus berusaha menyingkirkan batu, duri, kayu, pohon yang tumbang, dahan
yang patah, pecahan kaca dan yang lainnya. Dan termasuk mengganggu jalan kaum Muslimin
yaitu bila seseorang parkir mobil atau motor atau berhenti sembarangan yang menutup jalan
orang lewat. Oleh karena itu seseorang harus parkir pada tempatnya dan tidak boleh
mengganggu jalan kaum Muslimin.
َلَقْد َر َأْيُت َرُج ًال َيَتَقَّلُب ِفي الَج َّنِة ِفي َش َج َرٍة َقَطَعَها ِم ْن َظْه ِر الَّطِر ْيِق َك اَنْت ُتْؤ ِذ ي اْلُم ْسِلِم ْيَن
َفُأْد ِخ َل اْلـجَـَّنَة، َوِهللا ُأَلَنـِّح ـَيَّن َهَذ ا َع ِن اْلُم ْسِلِم ْيَن اَل ُيْؤ ِذْيِهْم: َفَقاَل، َم َّر َر ُج ٌل ِبُغْص ِن َش َج َرٍة َع َلى َظهِر َطِر ْيٍق: َو ِفي ِرَو اَيٍة
Dalam riwayat lain: Ada laki-laki yang melewati batang pohon yang berada di tengah jalan,
lalu ia berkata, ‘Demi Allâh! Saya akan menyingkirkannya agar tidak mengganggu kaum
Muslimin.’ Maka (dengan itu) ia dimasukkan ke surga.”[12]
َفَغَفَر َلُه، َبْيَنَم ا َر ُج ٌل َيْم ِش ي ِبَطرْيٍق َو َج َد ُغ ْص َن َش ْو ٍك َع َلى الَّطِر ْيِق َفَأَّخ َرُه َفَش َك َر ُهللا َلُه: َو ِفي ِرَو اَيٍة َلُهَم ا
Dalam riwayat lain di al-Bukhâri dan Muslim, “Suatu hari seseorang melewati sebuah jalan
lalu mendapati dahan berduri di jalan tersebut. Lalu ia menyingkirkannya, kemudian dengan
itu Allâh berterima kasih kepadanya dan mengampuninya.”[13]
Malu yaitu rasa yang menimpa seseorang ketika dia melakukan perbuatan yang membuatnya
gelisah. Malu termasuk sifat yang terpuji. Akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
antaranya juga malu. Sampai-sampai Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu
daripada gadis yang dipingit, tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah malu
dalam kebenaran.
Jadi, malu itu adalah sifat terpuji, tetapi tidak patut malu dalam hal kebenaran. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ِإَّن َهَّللا اَل َيْس َتْح ِيي َأْن َيْض ِر َب َم َثاًل َم ا َبُعوَض ًة َفَم ا َفْو َقَها
Sesungguhnya Allâh tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih
kecil dari itu… [Al-Baqarah/2:26]
Tidak patut malu dalam kebenaran. Rasa malu pada selain kebenaran, termasuk akhlak
terpuji. Orang yang tidak memiliki rasa malu, dia tidak peduli dengan apa yang dia perbuat
dan apa yang dia katakan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِإَذ ا َلْم َتْس َتْح ِي ؛ َفاْص َنْع َم اِش ْئَت:ِإَّن ِم َّم ا َأْد َر َك الَّناُس ِم ْن َكاَل ِم الُّنُبَّوِة اُأْلْو َلى
Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian
terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.[14]
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[15]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada
yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al–hayâ (hujan), tetapi makna ini tidak
masyhur. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu seseorang.
Begitu pula dengan hilangnya rasa malu dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh
seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih
sempurna.
Al-Junaid rahimahullah berkata, “Rasa malu yaitu menyadari kenikmatan dan keteledoran
sehingga menimbulkan rasa malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotifasi untuk
meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[16]
Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa: Malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong
seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga
menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat dan mencegah dari sikap
melalaikan hak orang lain.[17]
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada
seorang hamba. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Karena malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela
serta mendorongnya berperangai dengan akhlak mulia. Dalam konteks ini, malu seperti itu
termasuk iman. Al-Jarrah bin ‘Abdullah al-Hakami rahimahullah berkata, “Aku tinggalkan
dosa selama empat puluh tahun karena malu kemudian aku mendapatkan sifat wara’
(takwa).”[19]
Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allâh) dengan mengenal
keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka,
pengetahuan-Nya terhadap mata yang khianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu
yang didapat dengan usaha ini juga sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki
malu, baik yang berasal dari tabiat maupun yang didapat dengan usaha maka tidak ada sama
sekali yang menahannya dari perbuatan keji dan maksiat, sehingga ia menjadi syaitan yang
terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan
kepada Allâh.[20]
Dahulu orang-orang Jahiliyyah sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk
karena dicegah oleh rasa malunya. Diantara contohnya, apa yang dialami oleh Abu Sufyan
ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
Abu Sufyan berkata:
َلْو اَل اْلـَح َياُء ِم ْن َأْن َيْأِثُرْو ا َع َلَّي َك ِذًبا َلَك َذ ْبُت َع َلْيِه،َفَو ِهللا
Demi Allâh! Kalau bukan karena rasa malu yang aku khawatir dituduh sebagai pendusta
oleh mereka, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Rasûlullâh).[21]
Rasa malu telah menghalanginya untuk berbuat dusta mengenai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Dia malu dituduh sebagai pendusta.
Konsekuensi malu menurut syari’at Islam yaitu sebagaimana disebutkan dalam hadits.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َمِن اْس َتْح َىا ِم َن ِهللا َح َّق اْلَح َياِء َفْلَيْح َفِظ الَّر ْأَس َو َم اَو َعى َو ْلَيْح َفِظ اْلَبْطَن َو َم اَح َو ى َو ْلَيْذ ُك ِر. ِاْس َتْح ُيْو ا ِم َن ِهللا َح َّق اْلَح َياِء
َفَم ْن َفَعَل ٰذ ِلَك َفَقِد اْس َتْح َيا ِم َن ِهللا َح َّق اْلَح َياِء، َو َم ْن َأَر اَد اآْل ِخَر َة َتَر َك ِز ْيَنَة الُّد ْنَيا،اْلَم ْو َت َو اْلِبَلى
Hendaklah kalian malu kepada Allâh dengan sebenar-benar malu. Barangsiapa merasa malu
kepada Allâh dengan benar, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya!
Hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya! Dan hendaklah ia selalu ingat
kematian dan (ketika engkau sudah menjadi) tulang belulang! Barangsiapa menginginkan
kehidupan akhirat, hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang
mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allâh dengan sebenar-
benar malu.[22]
Jika kita mengetahui bahwa cabang-cabang iman semuanya kembali kepada perkara-perkara
ini, maka kita juga mengetahui bahwa semua kebiasaan baik yang tidak bertentangan dengan
syari’at Islam termasuk cabang iman. Dan kadar keimanan seorang hamba, tergantung pada
kadar kebiasaannya itu.
Allâh Azza wa Jalla memisalkan iman dengan pohon yang baik, Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
ۗ ﴾ ُتْؤ ِتي ُأُك َلَها ُك َّل ِح يٍن ِبِإْذ ِن َر ِّبَها٢٤﴿ َأَلْم َتَر َك ْيَف َض َرَب ُهَّللا َم َثاًل َك ِلَم ًة َطِّيَبًة َك َش َج َرٍة َطِّيَبٍة َأْص ُلَها َثاِبٌت َو َفْر ُع َها ِفي الَّس َم اِء
َو َيْض ِر ُب ُهَّللا اَأْلْم َثاَل ِللَّناِس َلَعَّلُهْم َيَتَذ َّك ُروَن
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allâh telah membuat perumpamaan kalimat yang
baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit,(pohon) itu
menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Rabb-nya. Dan Allâh membuat
perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.”[Ibrâhîm/14:24-25]
MARAAJI’:
1. Kutubus sittah
2. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
3. At-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban
4. Madârijus Sâlikîn, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
5. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan
Ibrahim Baajis.
6. Bahjatu Qulûbil Abrâr wa Qurrati ‘Uyûnil akhyâr fii Syarh Jawâmi’il Akhbâr, Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
7. Bahjatun Nâzhîrin Syarh Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
8. Al-Hayâ` fî Dhau-il Qur`ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Salim al-
Hilali.
9. Syahâdatu an Lâ Ilâha illallâh,Syaikh DR. Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz ‘Utsman as-Sindi
10. Dan lainnya.
[2]
Lihat at-Tanbîhat al-Lathîfah, hlm. 84-89, Mujmal Masâ-il Îmân wal Kufri al-‘Ilmiyyah
fii Ushûlil ‘Aqîdah as-Salafiyyah, hlm. 21-27, cet. II, 1424 H dan Mujmal Ushûl Ahlis
Sunnah wal Jamâ’ah fil ‘Aqîdah, hlm. 18-19.
[3] Zâdul Ma’âd fii Hadyi Khairil ‘Ibâd, I/34, oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah
rahimahullah
[4] Dinukil dari al-Ushûl ats-Tsalâtsah karya Syaikh al-Mujaddid Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab; Fat-hul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd karya Syaikh ‘Abdur-rahman bin Hasan Alusy
Syaikh; Taisîr ‘Azîzil Hamîd karya Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah Alusy Syaikh; Al-Qaulul
Mufîd ‘alâ Kitâbit Tauhîd karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; ‘Aqîdatut
Tauhîd karya Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan; serta Syahâdatu an Lâ Ilâha illallâh
karya Syaikh DR. Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz ‘Utsman as-Sindy, dan kitab-kitab lainnya.
[5] Syarh Tsalâtsatil Ushûl, hlm. 71 Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
[9] Fat-hul Majîd Syarh Kitâbut Tauhiid, I/88; tahqiq DR. Al-Waalid bin ‘Abdur-Rahman
bin Muhammad Aalu Furayyan.
[10] Shahih: HR. Muslim, no. 23 (37), dari Abu Malik, dari ayahnya, yaitu Thariq bin Asy-
yam Radhiyallahu anhu
[11] Shahih: HR. Muslim, no. 1914 [129] , dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[13] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 652 dan Muslim, no. 1914 [127]
[14] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 3483, 3484, 6120; Ahmad, IV/121, 122, V/273; Abu
Dawud, no. 4797; dan lainnya, dari ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari al-Badri Radhiyallahu anhu
[15]
Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’, hlm. 54 karya Ibnu Hibban al-Bustiy.
[16]
Madârijus Sâlikîn, II/270, cet. Darul Hadits-Kairo.Lihat juga Fat-hul Bâri, X/522 tentang
definisi malu.
[17]
Lihat al-Hayâ’ fî Dhau-il Qur’ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah, hlm. 9
[18]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6117 dan Muslim, no. 37 (61)
[19]
Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, I/501
[20]
Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id, hlm. 181
[21]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 7
[22]
Hasan: HR. At-Tirmidzi, no. 2458; Ahmad, I/387; al-Hakim, IV/323; dan al-Baghawi
dalam Syarhus Sunnah, no. 4033 dan ini lafazhnya. Derajat hadits ini hasan karena ada
syawahid (penguat)nya. Lihat Shahîh al-Jâ-mi’ish Shaghîr, no. 935 dan Takhrîj Hidâyatur
Ruwât, II/182-183, no. 1551
Sumber: https://almanhaj.or.id/6055-cabangcabang-iman.html
Hadits 9: Cabang-cabang Iman
"Cabang-cabang Iman".
َو اْلَحَياُء ُش ْع َبٌة ِم َن، َقاَل « اِإل يَم اُن ِبْض ٌع َو ِس ُّتوَن ُش ْع َبًة- صلى هللا عليه وسلم- َع ِن الَّنِبِّى- رضى هللا عنه- َع ْن َأِبى ُهَر ْيَر َة
» اِإل يَم اِن.
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda, "Iman mempunyai lebih dari enam puluh
cabang. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman."
Penjelasan Hadits
Banyak ulama yang menjelaskan definisi bidh'un ()ِبْض ٌع. Al-Qazzaz mengartikannya bilangan
antara tiga sampai sembilan. Ibnu Saidah mengartikannya tiga sampai sepuluh. Ada pula
yang mengatakan satu sampai sembilan, dua sampai sepuluh, atau empat sampai sembilan.
Yang paling banyak dipakai oleh para mufassir adalah pendapat Al-Qazzaz sebagaimana
mereka menafsirkan kata yang sama pada QS. Yusuf ayat 42.
Kata syu'bah ( )ُش ْع َبًةartinya adalah potongan. Pada hadits ini arti yang lebih tepat adalah
cabang atau bagian.
Jadi, iman itu memiliki banyak cabang, sejumlah 63 sampai 69 cabang. Menurut Ibnu Hajar
Al-Asqalani, banyak orang yang telah mencoba merumuskan cabang-cabang iman itu, tetapi
yang paling mendekati kebenaran adalah rumusan Ibnu Hibban. Ibnu Hibban merinci cabang
iman menjadi 69 cabang sebagai berikut:
1. Perbuatan hati yang terdiri dari 24 cabang keimanan.
Yaitu iman kepada dzat, sifat, keesaan dan kekekalan Allah, iman kepada malaikat, kitab-
kitab, Rasul, qafha dan qadar, hari Akhir, alam kubur, hari kebangkitan, dikumpulkannya
semua orang di padang mahsyar, hari perhitungan, perhitungan pahala dan dosa, surga dan
neraka. Kemudian kecintaan kepada Allah, kecintaan kepada sesama, kecintaan kepada Nabi,
keyakinan akan kebesarannya, shalawat kepada Nabi dan melaksanakan sunnah. Keikhlasan
yang mencakup meninggalkan riba dan kemunafikan, taubat, rasa takut, harapan, syukur,
amanah, sabar, ridha terhadap qadha, tawakkal, rahmah, kerendahan hati, meninggalkan
kesombongan, iri, dengki, dan amarah.
Terkait dengan orang lain, ada 6 cabang, yaitu iffah (menjaga kesucian diri) dengan menikah,
menunaikan hak anak dan keluarga, berbakti kepada kedua orang tua, mendidik anak,
silaturahim, taat kepada pemimpin dan berlemah lembut kepada pembantu.
Terkait dengan kemaslahatan umum, ada 17 cabang, yaitu berlaku adil dalam memimpin,
mengikuti kelompok mayoritas, taat kepada pemimpin, mengadakan ishlah seperti
memerangi para pembangkang agama, membantu dalam kebaikan seperti amar ma'ruf dan
nahi munkar, melaksanakan hukum Allah, jihad, amanah dalam denda dan hutang serta
melaksanakan kewajiban hidup bertetangga. Kemudian menjaga perangai dan budi pekerti
yang baik dalam berinteraksi dengan sesama seperti mengumpulkan harta di jalan yang halal,
menginfakkan sebagian hartanya, menjauhi foya-foya dan menghambur-hamburkan harta,
menjawab salam, mendoakan orang yang bersin, tidak menyakiti orang lain, serius dan tidak
suka main-main, serta menyingkirkan duri di jalanan.
Secara bahasa al-hayaa' ( )اْلَحَياُءadalah perubahan yang ada pada diri seseorang karena takut
melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan aib. Sedangkan secara terminologi, berarti
perangai yang mendorong untuk menjauhi sesuatu yang buruk dan mencegah untuk tidak
memberikan suatu hak kepada pemiliknya.
Disebutkannya malu secara khusus dalam hadits ini adalah karena sifat malu adalah
motivator yang akan memunculkan cabang iman yang lain, sebab dengan malu seseorang
merasa takut melakukan perbuatan yang buruk di dunia dan akhirat sehingga malu bisa
berfungsi untuk memerintah dan menghindari atau mencegah. Demikian dijelaskan Ibnu
Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari.
Dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, bisa dilihat betapa
sifat malu ini memang luar biasa sehingga ia tidak menghiasi siapapun kecuali dengan
kebaikan.
ْأ
اْلَحَياُء َال َي ِتى ِإَّال ِبَخْيٍر
1. Iman memiliki cabang yang banyak. Dalam hadits di atas disebutkan lebih dari 60 cabang.
Ini menegaskan bahwa iman bukan hanya pernyataan secara lisan semata. Sekaligus
mendorong kita untuk mengejar kesempurnaan iman dengan memenuhi cabang-cabangnya.
2. Salah satu cabang iman yang istimewa adalah malu. Karena dengan sifat malu, seseorang
bisa terjaga dari perbuatan buruk dan hina yang bisa merendahkannya di hadapan Allah
kemudian di hadapan manusia.