Dosen Pengampu:
Dewa Jati Primajana, S.E., M.Si.
Anggota Kelompok 3:
1. Ni Komang Yenigita Muliani (2007511057)
2. Fino Rihab Dibihantoro (2007511164)
3. Dewa Ayu Eka Hari sita (2007511251)
4. Anak Agung Istri Prami Suari Pemayun (2007511176)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul
‘’Konsep Dasar Pembangunan Ekonomi Regional Serta Mampu Menganalisis Dan
Memutuskan Strategi Pengembangan Ekonomi Regional Yang Efektif’’ guna memenuhi
tugas dari Bapak Dewa Jati Primajana, S.E., M.Si. pada mata kuliah Ekonomi Pembangunan
Regional Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
Pada makalah ini, kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan referensi oleh
sebab itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami, seluruh anggota kelompok 3 menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat
jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penyusun dan bagi pembaca umumnya.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Shadow Price (harga bayangan) atau disebut juga Accounting Prices dapat
dianggap sebagai suatu penyesuaian yang dibuat oleh si penilai proyek terhadap harga-
harga pasar beberapa faktor produksi atau hasil produksi tertentu, berhubung harga-harga
pasar itu dianggap tidak mencerminkan/mengukur biaya atau nilai sosial yang
sebenarnya (social opportunity cost) dari unsur-unsur atau hasil produksi tersebut.
Shadow Price dari suatu produk atau faktor produksi merupakan social opportunity cost,
yaitu nilai tertinggi suatu produk atau faktor produksi dalam penggunaan alternatif yang
terbaik.
2
Vol. 7, No. 1 (April 1972).
Harga bayangan digunakan untuk menyesuaikan harga pasaran dari beberapa
faktor produksi atau hasil produksi. Harga bayangan terjadi disebabkan oleh beberapa
hal. Adapun hal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Perubahan perekonomian yang bersifat dinamis dan kondisi tidak mampu
diatasi hanya dengan mekanisme pasar. Hal inilah yang menimbulkan adanya
disequilibrium.
b. Adanya proyek yang terlalu besar dan tersembunyi menimbulkan adanya
perubahan harga pasar. Perubahan harga pasar akan berpengaruh terhadap
perubahan harga input dan output yang tidak terduga.
c. Adanya penyimpangan harga yang disebabkan oleh kebijakan tarif.
Harga bayangan yang sering digunakan adalah harga bayangan terhadap faktor
sebagai berikut:
a. Modal
b. Tenaga Kerja
c. Devisa
d. Pangan
e. Penerimaan negara yang bebas untuk dialokasikan.
3
optimal, maka dalam evaluasi proyek makro hendaknya menggunakan harga
bayangan. Harga pasar sering tidak mencerminkan harga yang sesungguhnya dan oleh
karenanya tidak dapat digunakan dalam evaluasi proyek makro, sebab harga yang
terjadi di pasar atau dalam praktik:
a. Mengalami increasing return to scale
Perusahaan monopolistik yang mengalami increasing return to scale,
maka Marginal Revenue-nya tidak sama dengan penerimaan rata-rata
(Average Revenue = AR) jadi tidak memenuhi syarat alokasi sumberdaya yang
optimal karena MC = P (1-1/e). Dimana MC adalah Marginal Cost, P adalah
harga, dan e adalah elastisitas
b. Mengalami technological external effects
Pembangunan proyek-proyek infrastruktur mempunyai efek menaikkan
pendapatan sektor lainnya dan atau menurunkan ongkos rata-rata (Average
Cost = AC)
c. Sering terjadi ketidakpastian (uncertainty)
Ketidakpastian itu contohnya adalah perubahan harga impor atau
ekspor, transportasi dan peraturan pemerintah.
4
Metode kedua yang dapat dilkaukan untuk menilai harga bayangan adalah
metode sistematik. Metode ini dilakukan ketika metode “coba dan salah”
gagal untuk diterapkan. Metode ini dilakukan dengan menginput lambing
aljabar pada harga akunting, mencoba menyatakan permintaan suplementer
atas faktor-faktor dan penawaran produk yang bersangkutan, kemudian
menamakan permintaan total dan penawaran total. Namun kondisi ini pada
kenyataannya sangat sulit untuk ditemukan.
b. Metode Ekuilibrium Parsial
Metode ini menerapkan harga bayangan untuk modal, buruh, dan
devisa secara terpisah.
1. Perhitungan harga bayangan modal
Perhitungan harga bayangan modal menekankan pada faktor-
faktor yang mememngaruhi permintaan dan penawaran modal. Pada
negara berkembang faktor-faktor ini sangat sulit untuk dianalisis sebab
banyak hambatan yang ada seperti kurangnya pengetahuan mengenai
faktor-faktor tersebut, serta kurang banyak digunakan di negara
terbelakang.
Yang digunakan sebagai shadow price modal adalah “sosial
opportunity cost” faktor modal. Opportunity cost adalah benefit yang
dikorbankan oleh karena sejumlah sumber telah digunakan untuk
kegiatan lain (misalnya kegiatan x), dan bukan untuk kegiatan Y.
Artinya, kegiatan Y tidak jadi dilaksanakan karena sumber yang
seyogyanya dapat dipergunakan untuk kegiatan Y telah dipergunakan
5
Perhitungan produk marginal cukup sulit untuk dilakukan sebab
proyek-proyek memilikki karakteristik yang berbeda-beda.
Perbedaan ini terlihat dari segi penggunaan sumber daya terdapat
beberapa proyek yang sifatnya padat modal dan sebagain proyek
yang sifatnya kurang padat modal. Ketidak mampuan dalam
menggunakan dan menerapkan teknologi dalam menjalankan
proyek dapat menimbulkan pemborosan.
Perhitungan suku bunga bayangan cukup menyulitkan sebab
didalamnya terkandung angka indeks ganda. Kesulitan ini terjadi
sebab sukubunga bayangan mengandung hubungan antara konsep
arus dan stock. Konsep stok dan arus pada sukubunga bayangan
sangat berbeda dengan kenyataan bahwa di negara berkembang
terdapat berbagai stock yang berhubungan dengan berbagai tingkat
daya tahan.
2. Penentuan harga tenaga buruh
Harga tenaga buruh sangat sulit untuk ditentukan sebab setiap
buruh memiliki efisiensi yang berbeda-beda, maka dari itu perlu adanya
berbagai macam jenis harga bayangan untuk berbagai jenis tenaga kerja
sesuai dengan efisiensinya.
Shadow Wage (sosial opportunity cost) tenaga tidak terdidik
yang dipekerjakan pada proyek X adalah, nilai produksi yang
dikorbankan dalam kegiatan lain, karena tenaga itu dipekerjakan di
proyek X. Di negara berkembang sering timbul masalah pengangguran
baik terbuka maupun terselubung. Mengingat seorang penganggur
adalah orang yang tidak berproduksi, maka shadow wage (upah) yang
sebenarnya adalah sama dengan nol. Dengan kata lain, mempekerjakan
seorang penganggur, tidak mengorbankan produksi apapun di tempat
lain. Jadi, Shadow Price (shadow wage) tenaga penganggur adalah sama
dengan nol (produk marginal = nol). Tahap selanjutnya dalam teori
shadow wage dikemukakan bahwa, unsur opportunity cost dalam
penggunaan tenaga tak terdidik tidak hanya terbatas pada produk
marginal saja, tetapi berkaitan juga dengan tambahan konsumsi yang
terbentuk pada saat tenaga tak terdidik bekerja di proyek. Contoh :
6
Misalkan sebuah proyek pembangunan prasarana transportasi
mempekerjakan tenaga tak terdidik dari golongan berasal dari buruh tani
yang produk marginal yang dikonsumsi saat bekerja di sektor pertanian
di pedesaan, diperkirakan sebesar Rp. 3.000,- per bulan. Upah yang akan
dibayar oleh pihak proyek sebulan sebesar Rp. 7.500. Upah tersebut
terdiri dari Rp. 7.000,- merupakan nilai konsumsi, dan Rp. 500,-
merupakan unsur pajak. Simpanan telah dihitung bernilai sosial 12%
setahun. Shadow Wage tenaga kerja tak terdidik tersebut :
Product marginal yang dikonsumsi setahun = Rp. 3.000 x 12 =
36.000.
Upah sebulan yang akan dibayar di proyek sebesar Rp. 7.500,-
dimana Rp.7.000,- adalah konsumsi dan Rp. 500,- adalah pajak.
Jadi upah setahun: 7.500 x 12 = 90.000
Dikurangi pajak: 90.000 – 6.000 = 84.000.
Maka kenaikan konsumsi setelah bekerja di proyek adalah
Rp.84.000 – Rp.36.000 = Rp.48.000,-
Nilai sosial kenaikan konsumsi : 48.000 x 12% = 5.760
Shadow Wage tenaga kerja tersebut : Produk marginal + nilai
sosial kenaikan konsumsi.
SW = 36.000 + 5.760 = 41.760
SW dalam % : (41.760/90.000) x 100% = 46,4%
Shadow wage tenaga kerja tak terdidik (penganggur), minimal
sebesar hasil yang diperoleh apabila “tambahan konsumsi” pada saat
bekerja di proyek diinvestasikan. Bila Tenaga penganggur, artinya
tenaga kerja tak terdidik tersebut diasumsikan tidak mempunyai produk
marginal. ( produk marginal = nol ).
Maka kenaikan konsumsi adalah : Rp. 84.000 – Rp. 0 = Rp.
84.000,-
Nilai sosial kenaikan konsumsi = (Rp. 84.000 x 12%) = Rp.
10.080,-
Jadi shadow wage tenaga tersebut pada proyek = (produk marginal
+ nilai sosial kenaikan konsumsi) = Rp. 0 + Rp. 10.080,- = Rp.
10.080,-
7
Jadi Shadow Wage dalam % = 10.080 / 90.000 x 100% = 11,2%
dari upah finansial.
3. Penentuan kurs devisa
Kurs devisa bayangan sangat penting bagi negara yang sedang
mengalami permasalahan dalam neraca pembayaran. Harga bayangan
untuk nilai valuta asing adalah nilai resmi yang ditentukan oleh lembaga
pemerintah yang berwenang dikali dengan faktor konfersi.
Shadow Price Devisa merupakan suatu nilai tukar implisit.
Misalnya, harga satu dolar dalam rupiah (…Rp/$). Nilai tukar implisit
ini dapat menyimpang dari nilai tukar resmi. Misal pada tahun 2018 nilai
tukar resmi sebesar Rp. 10.000,- per dolar kondisi ini tergantung tingkat
tukar implisit itu merupakan suatu koefisien untuk menilai semua jenis
barang dan jasa yang bersifat tradeable (tradeable goods). Tradeable
goods adalah jenis barang dan jasa yang:
Sekarang diimpor ataupun diekspor
Bersifat pengganti yang erat hubungannya dengan barang yang
diimpor/diekspor.
Jenis barang/jasa yang tidak memenuhi syarat (i) dan (ii) oleh
karena adanya kebijakan pemerintah yang melarang ekspor-impor
jenis barang/jasa tersebut.
Untuk menentukan shadow price faktor dan benefit yang bersifat
tradeable, didasarkan pada “border price” faktor dan benefit tersebut .
Border price adalah harga perbatasan dinyatakan dalam devisa (jumlah
dolar). Untuk barang yang diimpor, border price adalah harga cif (tidak
termasuk pajak seperti bea masuk, pajak impor, pajak penjualan
8
CIF (Cost, Insurance and Freight) adalah harga barang impor
dipelabuhan dalam negeri yang mencakup harga barang itu diluar negeri
ditambah asuransi pengiriman dan ongkos pengiriman. Fob (Free On
Board) adalah harga barang dipelabuhan dalam negeri siap untuk
benefit (dalam dolar atas dasar border price) dengan shadow exchange
rate. Hasil perkalian ini menghasilkan nilai dalam rupiah, yang kemudian
dimasukkan dalam arus benefit dan atau biaya proyek.
Contoh perhitungan Shadow price Devisa : Misalkan suatu proyek
penghasil tekstil merencanakan akan memproses satu ton kapas setiap
tahun. Kapas sebagai bahan baku diperoleh dari mengimpor dengan harga
CIF sebesar $ 3,50 per kilogram. Setelah dihitung ternyata Shadow
Exchange Rate diperoleh sebesar Rp. 11.880 / $1 diatas nilai tukar resmi
sebesar Rp. 9.000/$1. Sosial opportunity Cost penggunaan kapas dalam
proyek sama dengan 1 ton x $3,50 x Rp.11.880 = 1.000 kg x $ 3,50 x Rp.
11.880 = Rp. 41.580.000,- per tahun. Angka ini dimasukkan dalam arus
biaya proyek.
Teori Shadow Exchange Rate. SER dihitung berdasarkan
pengalaman dengan mengukur pengeluaran yang dibuat negara yang
bersangkutan dengan devisa tambahan yang diperoleh dalam dua sampai
lima tahun. Misalkan dalam dua tahun terakhir negara tersebut. membeli
barang q1 + q2 + q3 +…..qn = Σqi Maka pembelian di masa mendatang
tidak jauh berbeda dengan pola pembelian tersebut. Jika border price
barang i dilambangkan $i, maka nilai tambah pengeluaran devisa adalah
$1q1 + $2q2 + $3q3 + ..$nqn = Σ$iqi. Nilai dalam mata uang setempat
adalah p1q1 + p2q2 + p3q3 + …pnqn =Σpiqi dimana p adalah harga
jual barang di dalam negeri. Tingkat harga p tidak mencakup biaya
angkut dan pemasaran di dalam negeri tetapi mencakup segala jenis
kenaikan diatas border price kali nilai tukar resmi.
Hasil perbandingan Σpiqi/Σ$iqi = kepuasan marginal satu satuan
9
devisa dari sudut masyarakat. Bila dalam perdagangan bebas, hasil
10
32% dari nilai tukar resmi ( 1,2 x 1,1 – 1,0 = 0,32 = 32%).
11
harga bayangan berubah-ubah.
e. Kesulitan dalam menghitung produktivitas marginal membuat kesulitan dalam
menentukan harga bayangan.
f. Pemerintah membeli input sesuai dengan harga pasar, namun dalam
mengevaluasi suatu proyek pemerintah menggunakan harga bayangan.
g. Harga bayanagan sulit untuk ditetapkan terhadap proyek yang sifatnya padat
modal sebab proyek tersebut banyak membeli input sesuai dengan harga pasar
dan bukan sesuai dengan harga bayangan. Kesulitan lainnya juga terjadi
apabila suatu proyek bersifat substitusi dan komplementer sebab setiap proyek
akan memiliki pendapat yang berbeda.
h. Adanya perlakuan monopoli oleh pemerintah terhadap suatu produk seperti
listrik, air, bahan bakar, dan lain yang ditetapkan berdasarkan biaya alternatif
sosial.
BAB III
STUDI KASUS
ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG PADA LAHAN KERING
DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN
12
3.1 Pendahuluan
Provinsi Kalimantan Selatan, yang memiliki potensi lahan kering yang luas yang
sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, dituntut untuk memberikan
kontribusi dalam upaya mengurangi atau mengatasi beban impor jagung sekaligus
menghemat devisa negara. Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan
Selatan (2005), menunjukkan bahwa lahan kering di Kalimantan Selatan yang dapat
digunakan untuk usaha pertanian adalah 647 ribu hektar.
Dari jumlah tersebut, baru dimanfaatkan seluas 210 ribu hektar atau sekitar 32.5
persen. Salah satu pemanfaatan lahan kering tersebut adalah dengan mengembangkan
komoditas jagung. Peluang pengembangan jagung di Kalimantan Selatan cukup besar
dilihat dari produksi yang dicapai pada tahun 1998 adalah sebesar 32 ribu ton, sementara
keperluan untuk pakan ternak sebesar 158.4 ribu – 184.8 ribu ton ditambah untuk
konsumsi 43.4 ribu ton per tahun. Melihat potensi lahan dan peluang pasar yang ada,
Kalimantan Selatan memiliki peluang untuk mengembangkan komoditas jagung
untuk memenuhi kebutuhan jagungnya. Namun, sampai saat ini Kalimantan Selatan
belum mampu untuk memenuhi kebutuhan jagung di pasar lokalnya. Kabupaten Tanah
Laut memiliki potensi lahan kering 162.45 ribu hektar. Potensi lahan tersebut juga
merupakan lahan yang potensial untuk pengembangan komoditas jagung. Sampai saat ini
komoditas jagung merupakan komoditas yang dominan diusahakan oleh sebagian besar
masyarakat di daerah ini (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Laut,
2004).
Kabupaten Tanah Laut sendiri juga merupakan sentra peternakan ayam.
Kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan untuk Kabupaten Tanah Laut dan
sekitarnya adalah sekitar 6 ribu ton per bulan atau 72 ribu ton per tahun. Produksi jagung
pada tahun 2006 hanya mencapai 56.66 ribu ton, sehingga masih kekurangan produksi
sebesar 15.34 ribu ton. Kekurangan ini diatasi dengan mendatangkan jagung dari luar.
Namun, jagung dari luar memiliki harga yang lebih mahal dan ada ketidakpastian
pengiriman karena faktor cuaca. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar baik di
tingkat kabupaten maupun provinsi masih terbuka. Salah satu unsur dalam
pengembangan komoditas jagung adalah daya saing dan dukungan pemerintah.
Intervensi pemerintah akan mempengaruhi daya saing suatu sistem komoditas. Data dan
informasi tentang keunggulan kompetitif dan komparatif merupakan salah satu
pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya.
13
Suatu komoditas akan mampu bersaing di pasar bila memiliki daya saing tinggi.
Daya saing yang tinggi dicerminkan dengan harga dan kualitas yang baik. Tetapi hal ini
akan menimbulkan masalah apabila komoditas yang dihasilkan tidak mampu bersaing.
Keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas tergantung dari faktor kunci
diantaranya adalah keragaan pasar. Disamping itu intervensi pemerintah berupa
kebijakan akan turut mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif suatu sistem
komoditas. Data dan informasi tentang keunggulan komparatif dan kompetitif
merupakan salah satu pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya.
Penelitian dilaksanakan Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan,
dengan pertimbangan karena kabupaten ini merupakan sentra produksi jagung lahan
kering terbesar di Kalimantan Selatan. Penelitian ini meliputi beberapa tahapan kegiatan
yaitu: tahap persiapan/ pra penelitian, pengumpulan data, analisis dan sintesis. Penelitian
lapangan dimulai dari bulan Mei sampai dengan Juli 2007. Pemilihan Petani Reponden
Dari tingkat kabupaten dipilih tiga kecamatan yang mempunyai areal panen jagung
terluas, yaitu Kecamatan Panyipatan, Kecamatan Pelaihari dan Kecamatan Batu Ampar.
Dari ketiga kecamatan tersebut diambil 4 desa yang merupakan sentra produksi jagung di
Kabupaten Tanah Laut, yaitu: Desa Bumi Asih dan Sukaramah di Kecamatan
Panyipatan, Desa Tanjung di Kecamatan Pelaihari dan Desa Tajau Pecah di Kecamatan
Batu Ampar.
Petani responden diambil secara acak sebanyak 20 orang dari masing-masing
desa tersebut, sehingga jumlah sampel seluruhnya adalah 80 responden. Pada saat
analisis data, ada 4 responden yang dikeluarkan sebagai sampel karena tidak memenuhi
asumsi sebaran normal, sehingga jumlah responden adalah 76 petani. Metode Analisis
Data Untuk menganalisis sejauh mana daya saing jagung pada lahan dilakukan
pendekatan terhadap penggunaan sumberdaya domestik dan tradable input. Metode
analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) yang merupakan alat
analisis yang digunakan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau
dampak intervensi dalam pengusahaan berbagai aktivitas usahatani secara keseluruhan
dan sistematis.
Tahapan dalam menggunakan metode PAM adalah: (1) identifikasi input secara
lengkap dari usahatani jagung, (2) menentukan harga bayangan (shadow price) dari input
dan output usahatani jagung, (3) memilah biaya ke dalam kelompok tradable dan
domestik, (4) menghitung penerimaan dari usahatani jagung, dan (5) menghitung dan
14
menganalisis berbagai indikator yang bisa dihasilkan PAM.
15
marginalnya (Gittinger, 1986).
Pada keadaan ini besarnya tingkat upah yang terjadi dapat dipakai sebagai harga
bayangan tenaga kerja. Hal ini tidak berlaku untuk sektor pertanian karena tingkat upah
di pedesaan cenderung lebih tinggi sehingga tidak mencerminkan nilai produk
marginalnya, karena adanya sifat gotong royong (sambatan/gantosan). Menurut
Noorginayuwati (1987), di Kalimantan Selatan dapat dikatakan bahwa tenaga kerja
masih sukar didapat tetapi tidak terlatih, atau nilai produk marginal tenaga kerja lebih
besar dari nol. Menurut Pearson et al. (2003), tingkat divergensi di pasar tenaga kerja
sektor pertanian di Indonesia kecil.
Distorsi tidak begitu signifikan karena peraturan tentang upah minimum tidak
berlaku di sektor pertanian dan tidak memiliki dampak yang berarti dalam perekonomian
Indonesia secara keseluruhan. Fragmentasi yang terjadi diantara sub-pasar tenagakerja
amat kecil karena tenaga kerja bebas keluar masuk di subpasar tersebut, informasi
tentang kesempatan kerja yang baik dan banyaknya buruh kontrak. Oleh karena itu,
harga privat untuk upah tenaga kerja pedesaan merupakan penduga yang baik untuk
harga sosial tenaga kerja. Jadi dalam penelitian ini, untuk menghitung harga
sosial/bayangan tenaga kerja disesuaikan dengan harga aktualnya.
Penentuan harga bayangan lahan dapat didekati melalui: (1) pendapatan bersih
usahatani tanaman alternatif terbaik yang biasa ditanam pada lahan tersebut, (2) nilai
sewa yang berlaku di daerah setempat, (3) nilai tanah yang hilang karena proyek, dan (4)
tidak dimasukkan dalam perhitungan sehingga keuntungan yang didapat petani
merupakan return to management and land. Dalam penelitian ini harga bayangan lahan
akan dipakai seperti yang diusulkan Gittinger (1986), yakni dengan nilai sewanya.
Harga bayangan nilai tukar uang adalah harga uang domestik dalam kaitannya
dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada kondisi bersaing
sempurna. Salah satu pendekatan untuk menghitung harga bayangan nilai tukar uang
adalah harga bayangan harus berada pada tingkat keseimbangan nilai tukar uang.
Keseimbangan terjadi apabila dalam pasar uang semua pembatas dan subsidi terhadap
ekspor dan impor dihilangkan. Menurut Van der Tak (1969) dalam Gittinger (1986),
keseimbangan nilai tukar uang dapat didekati dengan menggunakan Standard
Conversion Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku.
16
dimana:
SERt = nilai tukar bayangan tahun t (Rp/US$)
SCFt = standard conversion factor (faktor konversi standar) tahun t
Xt = nilai ekspor Indonesia tahun t (Rp)
Mt = nilai impor Indonesia tahun t (Rp)
TXt = pajak ekspor tahun t (Rp)
TMt = pajak impor dan bea masuk tahun t (Rp)
Pada tahun 2007, nilai ekspor Indonesia adalah Rp 943.13 trilyun, nilai impor Rp
548.97 trilyun, pajak ekspor Rp 453 milyar dan pajak impor Rp 14.42 trilyun. Jadi, nilai
SCF untuk tahun 2007 adalah 0.9907, sehingga nilai tukar bayangan (SER) adalah Rp
9236 per US$ Hasil dan Pembahasan Tabel PAM digunakan untuk menganalisis daya
saing komoditas jagung. Dari Tabel PAM dapat diketahui nilai PCR dan DRCR yang
merupakan kriteria keunggulan kompetitif dan komparatif suatu komoditas. Hasil
penyusunan Tabel PAM dapat dilihat pada berikut:
PCR (Private Cost Ratio) adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah
dalam harga privat. Nilai PCR menunjukkan ukuran efisiensi secara finansial. Nilai PCR
menggambarkan berapa banyak sistem produksi usahatani jagung dapat dihasilkan untuk
membayar semua faktor domestik yang digunakannya, dan tetap dalam kondisi
kompetitif. Nilai PCR adalah 0.56, ini berarti bahwa berarti sistem produksi usahatani
jagung mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. Berdasarkan nilai PCR
17
pula, dapat dikatakan bahwa komoditas jagung mempunyai keunggulan kompetitif,
karena untuk menghasilkan satu unit nilai tambah pada harga-harga privat hanya
memerlukan kurang dari satu unit input domestik. Dengan kata lain bahwa daerah
Kalimantan Selatan khususnya Kabupaten Tanah Laut memiliki kemampuan secara
ekonomi dalam membiayai dan memproduksi jagung secara efisien dan secara finansial
jagung yang dihasilkan dapat bersaing di pasar domestik dan internasional. Namun
keuntungan maksimal dapat diperoleh apabila sistem produksi jagung mampu
meminimumkan nilai PCR, dengan cara meminimumkan biaya faktor domestik atau
memaksimalkan nilai tambahnya.
DRCR (Domestic Resources Cost Ratio) adalah rasio biaya domestik terhadap
nilai tambah pada harga sosialnya. Nilai DRCR merupakan kriteria keunggulan
komparatif dari usahatani jagung dan menunjukkan kemampuan sistem produksi jagung
dalam membiayai faktor domestiknya pada tingkat harga sosial. Semakin rendah nilai
koefisien DRCR berarti daerah Kabupaten Tanah Laut mampu bertahan walaupun tanpa
bantuan pemerintah karena memiliki sumber daya domestik yang diperlukan bagi
pengembangan komoditas jagung. Nilai DRCR adalah 0.61 yang berarti bahwa untuk
menghasilkan 1 satuan nilai tambah diperlukan 0.61 satuan biaya input domestik yang
kesemuanya dinilai dengan hargaharga bayangan. Sumber daya domestik tersebut antara
lain lahan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman jagung, ketersediaan input benih,
pupuk dan tenaga kerja. Dengan kata lain bahwa daerah Kabupaten Tanah Laut memiliki
keunggulan komparatif dalam usahatani jagung dan mampu memanfaatkan sumber daya
domestik yang ada untuk menggantikan jagung impor guna memenuhi kebutuhan
sendiri.
Berdasarkan nilai PCR dan DRCR, jagung di daerah penelitian memiliki daya
saing terhadap jagung impor di pasar lokal. Ini sesuai dengan kondisi daerah penelitian.
Jagung di daerah penelitian memiliki daya saing dari sisi waktu dan harga. Hasil panen
jagung hampir dipastikan terserap pasar terutama untuk pakan ternak ayam. Kebutuhan
pakan ternak di daerah penelitian telah mencapai 6 ribu ton per bulan atau 72 ribu ton per
tahun, sedangkan produksi hanya mencapai 52 ribu ton per tahun. Selain untuk
kebutuhan daerah itu sendiri, jagung juga dikirim ke provinsi lain seperti Kalimantan
Timur dan Jawa Timur. Selain kedua daerah tersebut, jagung ini juga berpotensi untuk
dikirim ke daerah-daerah lain yang memiliki waktu panen jagung berbeda.
Di sisi harga, harga jagung ini daerah penelitian lebih murah. Bila mendatangkan
18
jagung daerah daerah lain (P. Jawa) maka harga jagung akan lebih mahal Rp.100 –
Rp.200 per kg. Harga jagung di daerah penelitian juga lebih murah daripada harga
jagung impor. Dengan harga FOB jagung US$ 121 per ton di negara eksportir, harga
jagung impor di tingkat petani di daerah penelitian adalah Rp 1425 per kg. Selain dari
sisi harga, mendatangkan jagung dari luar juga menimbulkan masalah adanya
ketidakpastian pasokan karena jalur transportasi laut yang rawan pada saat-saat tertentu
karena faktor cuaca.
Namun demikian, diperlukan beberapa kebijakan yang operasional untuk
mendorong daya saing potensial ini menjadi daya saing nyata, diantaranya: (1)
menghilangkan atau mengurangi berbagai distorsi pasar yang menghambat
perkembangan usahatani jagung, seperti penghapusan bea masuk impor sarana produksi
pertanian, (2) berbagai kebijakan atau program dalam bidang penelitian dan
pengembangan sehingga ditemukan varietas jagung yang sesuai dengan kondisi lahan
setempat sehingga tingkat produktivitasnya meningkat, dan harga benih terjangkau, dan
(3) menyediakan infrastruktur fisik maupun ekonomi sehingga dapat meningkatkan
aksesibilitas sentrasentra produksi jagung terhadap pasar baik input maupun output.
Peningkatan kualitas jagung juga perlu dilakukan. Berdasarkan standar mutu
jagung impor, jagung di Tanah Laut umumnya memiliki Standar Mutu III, yaitu kadar air
18 persen dan butir rusak/kotoran 5 persen. Meskipun dengan kualitas tersebut jagung
masih dapat diterima oleh pasar lokal, namun akan menjadi kendala jika jagung tersebut
akan diekspor ke luar negeri. Jagung dalam bentuk pipilan dikatakan memiliki Standar
Mutu I jika: kadar air maksimum 14 persen, butir warna lain maksimum 1 persen, butir
pecah maksimum 1 persen dan kotoran maksimum 1 persen. Sehingga untuk kepentingan
jangka panjang, diperlukan penyuluhan sejak dini tentang kualitas jagung pipilan kering
tersebut agar petani mengetahui standar ekspor guna mengantisipasi produksi jagung
melimpah secara lokal dan nasional. Akan tetapi kondisi sosial dan demografi mereka
belum siap atau masih mempelajari teknologi standar dimaksud.
Selain itu juga diperlukan kegiatan promosi. Promosi merupakan berbagai
kegiatan untuk mengkomunikasikan produk dan sekaligus membujuk pelanggan
potensial untuk membelinya. Kegiatannya dapat melalui pameran atau expo, pembuatan
brosur/poster, pembuatan baliho, iklan-iklan melalui media cetak dan elektronik yang
berskala nasional. Dalam promosi yang perlu ditonjolkan adalah spesifikasi produk dan
jaminan kualitas serta jaminan pelayanan yang memuaskan bagi calon konsumen, seperti
19
ketepatan kualitas dan ketepatan waktu produk yang dikirim. Adanya pemberian
discount, seperti cash dan/atau trade discount juga merupakan bagian dari promosi.
BAB IV
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal yang dijabarkan
20
sebagai berikut:
1. Harga bayangan adalah harga yang mewakili nilai sosial yang sesungguhnya di pasar
persaingan sempurna. Harga bayangan besarannya hampir mendekati harga pasaran.
Hal teoritis yang harus kita ketahui adalah bahwa harga bayangan digunakan untuk
pemilihan atau evaluasi proyek apapun, atau dalam hal ini, untuk panduan dalam
merumuskan kebijakan ekonomi apapun, ini adalah pengertian sederhana harga
bayangan yang bersifat sangat fundamental. (Indian Economic Review, New Series,
Vol. 7, No. 1 (April 1972).
2. Harga bayangan kemungkinan hanya terjadi dalam bayangan masyarakat yang
bersifat rasional. Apabila dalam masyarakat terjadi harga yang tidak memenuhi
persyaratan, maka harga tersebut tidak dapat digunakan dalam perencanaan dan
evaluasi proyek, khususnya proyek makro. Proyek makro adalah proyek yang manfaat
dan pengorbanannya ditinjau dan diperhitungkan bagi masyarakat dalam arti
keseluruhan.
3. Perhitungan dalam penentuan harga bayangan dapat dilakukan dengan 2 metode
yakni:
a. Metode Ekuilibrium Umum
b. Metode Ekuilibrium Parsial
4. Manfaat harga bayangan dalam evaluasi proyek sebagai harga bayangan mampu
mengurangi resiko dan hambatan dalam menjalankan suatu proyek. Dalam kebijakan
pemerintah harga bayangan merupakan sketsa bagi pemerintah dalam menentukan
suatu kebijakan fiscal dan moneter guna mewujudkan rencana yang ditetapkan oleh
pemerintah. Kemudian dalam hal perencanaan berfungsi guna mengatasi segala jenis
kesulitan yang dihadapi suatu negara.
5. Permasalahan yang dihadapi dalam penentuan harga bayangan adalah sebagai
berikut :
a. Kesulitan dalam mendapatkan sumber data;
b. Ketidak seimbangan penuh dalam menentukan nilai intrinsik suatu faktor atau
produk;
c. Harga bayangan bisa bersifat tidak menentu;
d. Konsep harga bayangan yang bersifat statis;
e. Kesulitan dalam menghitung produktivitas marginal membuat kesulitan dalam
menentukan harga bayangan.
21
f. Pemerintah membeli input sesuai dengan harga pasar;
g. Harga bayanagan sulit untuk ditetapkan terhadap proyek yang sifatnya padat
modal;
h. Adanya perlakuan monopoli oleh pemerintah terhadap suatu produk.
3.2 Saran
Pembangunan ekonomi suatu daerah atau suatu negara pada dasarnya merupakan
interaksi dari berbagai kelompok variabel antara sumber daya manusia, sumber daya
alam, modal, teknologi dan lain-lain. Dengan mengetahui harga bayangan diharapkan
seluruh pembaca maupun penulis dapat menyesuaikan harga pasaran dari beberapa faktor
produksi atau hasil produksi sehingga tujuan perekonomian yang ingin dicapai mampu
teralisasi sesuai harapan.
DAFTAR PUSTAKA
22
Amang, B. 1993. Ekonomi Perberasan, Jagung dan Minyak Sawit di Indonesia. Dharma
Karsa Utama, Jakarta.
Arsyad, Lincolin. 1990. Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE: Yogyakarta.
Asian Development Bank. 1992. Competitive and Comparative Advantage in Tea: Indonesia
and Sri Lanka. In: Comparative Advantage Study of Selected Industrial Crops in
Asia. Draft Final Report RETA 5382. The Pragma Corporation, Falls Church.
Clive Gray, Simanjuntak Payaman, Lien K.Sabur, P.F.L. Maspaitella, R.C.G. Varley. 1992.
Pengantar Evaluasi Proyek, Edisi kedua. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.
Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Laut. 2004. Gerakan 100 Ribu Ton
Jagung di Kabupaten Tanah Laut. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kabupaten
Tanah Laut, Pelaihari.
Emilya. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Serta Dampak Kebijakan
Pemerintah pada Pengusahaan Komodias Tanaman Pangan di Propinsi Riau. Tesis
Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gittinger, J. P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi ke-2. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Indian Economic Review, New Series. Vol. 7. No. 1 (APRIL 1972))
Jhingan, M.L. 1990. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. CV Rajawali: Jakarta
Journal of Agricultural and Resource Economics, Vol. 27, No. 2 (Desember 2002))
Kadariah dan C. Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbitan Fakultas
Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Kariyasa, K. 2003. Dampak Tarif Impor dan Kinerja Kebijakan Harga Dasar Beras
Indonesia di Pasar Dunia. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 1 (4) : 315-330.
Krugman, P. R. and M. Obstfeld. 2000. Internasional Economics. Addison-Wesley
Publishing Company, Boston.
Monke, E. A. and E. S. Pearson. 1989. The Policy AnalysisMatrix for Agricultural
Development. CornellUniversity Press, London.
Morrison J. and K. Balcombe. 1992. Policy Analysis Matrices: Beyond Simple Sensitivity
Analysis. Journal of International Development, 14 (4): 459 – 471.
Noorginayuwati. 1987. Analisis Sistem Surjan di Lahan Pasang Surut: Kasus Kecamatan
23
Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Tesis Magister. Fakultas
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Park, K. J. 2001. Corn Production in Asia. Food and Fertilizer Technology Center for the
Asian and Pasific Region, Taipei.
Pearson, P., S. Bahri and C. Gostch. 2003. Is Rice Profitability in Indonesia Still Profitable?.
FPSA Working Paper, February 2003. Stanford University, California.
Rusastra, I. W., B. Rachman dan S. Friyatno. 2004. Analisis Daya Saing dan Struktur
Proteksi Komoditas Palawija. Dalam: Saliem et al.(Editor). Prosiding Efisiensi dan
Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Prentice Hall-Erlangga, Jakarta.
Simanjuntak, S. B. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijaksanaan Pemerintah
terhadap Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia. Disertasi Doktor.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Solahuddin, S. 1999. Pembangunan Pertanian Era Reformasi. Departemen Pertanian,
Jakarta.
Van der Tak, H. G. 1969. The Economic Choice Between Hydroelectric and Thermal Power
Developments. Johns Hopkins University Press, Baltimore.
24