Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH BERDIRINYA LSF

Lembaga sensor merupakan suatu hal yang paling nyata dari kontrol pemerintah
terhadap bentuk dan muatan film. Suatu kelembagaan yang mengatasnamakan film di Indonesia
telah hadirmulai sejak Indonesia dijajah oleh pemerintahan Belanda. Terbentuknya lembaga
tersebutdikarenakan semakin berkembangnya film di Indonesia pada masa itu. Diawali pada tanggal
5Desember 1900 yang menjadikan tanggal itu istimewa. Karena pada tanggal itu PerusahaanBioskop
Belanda mulai mengoperasikan bioskop di sebuah ruma di Kebon Jae, Tanah Abang, disebelah pabrik
kereta (bengkel mobil) Maatschappij Fuchss.

Pada tahun 1916 pemerintahan Belanda mengeluarkan Ordonansi yang mengatur tentangfilm
dan penyelenggaraan usaha bioskop. Ordonansi tersebut banyak mengalami
pembaharuan. Namun, pembaharuan tersebut belum sampai pada tahap suatu film layak tonton atau tid
ak. Padaakhirnya Ordonansi tersebut mengalami penyempurnaan dan melahirkan Film Commisie (vide
Staad blad No 507) yang mengharuskan semua film sebelum diputar di bioskop wajib disensor terlebih
dahulu. Pada saat ini Film Commisie mempunyai fungsi untuk melindungi masyarakat
kulit putih dari serangan kaum pribumi agar masyarakat Indonesia pada masa itu tidak mempunyai
keinginan untuk merdeka.
Pada masa ini, film-film yang masuk di Indonesia kebanyakan film dari Amerika. Oleh sebab
itu mekanisme dari Film Commisie ini adalah adanya pengguntingan film dan adanya hukuman kepada
pelanggar keputusan komisi, merupakan cara tersendiri dari pemerintah colonial untuk menghambat
masuknya secara luas film-film produksi Amerika yang beraliran genre. Film Commisie sendiri
menentukan kategori sensor film, yaitu lolos sensor, lolos sementara, dan tidak lolos. Disini film lolos
sementara dimaksudkan bahwa film tersebut yang sebelumnya diperbolehkan diputar di suatu daerah
tertentu tetapi karena timbulnya gejolak-gejolak di daerah tertentu maka film yang sebelumnya boleh
diputar bisa ditarik dari peredarannya. Namun lembaga ini hanya berjalan sampai lengsernya
pemerintahan Belanda di Indonesia. Setelah Jepang masuk ke Indonesia, Film Commisie dibubarkan
dan digantikan dengan Hodo-Dan

Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia lembaga sensornya pun


mengalami perubahan fungsi dan nama. Terdapat dua lembaga dalam masa ini, yang pertama dibentuk
oleh NICA dengan nama Panitia Pengawas Film dari menghidupkannya lagi Film Commissie. Fungsi
yang diterapkan oleh lembaga ini pun masih sama seperti Film Commissie. Sedangkan yang kedua
Dewan Pertahanan Nasional menerbitkan surat keputusan dan membentuk Badan Pemeriksaan Film.
Fungsi dibentuknya Badan Pemeriksaan Film sebagai filter yang diberikan oleh
propaganda pihak asing melalui film. Sehingga bangsa Indonesia diharapkan tidak terkontaminasi akan
propanda seperti keberpihakkan bangsa Indonesia kepada pihak penjajah.
Tahun terus berlalu, Indonesia pun akhirnya mendapatkan pengakuan kedaulatan. Lembaga
sensor film pun dipegang oleh pemerintahan Indonesia secara penuh. Pada tahun 1950 dibentuknya
Panitia Sensor Film Pusat oleh pemerintah dengan tetap mengacu kebijakan yang diterapkan pada masa
Hindia Belanda tetapi hanya ditambahkan beberapa saja sesuai stabilitas yang terjadi di Indonesia.
Panitia ini ternyata berorientasi pada kepentingan kekuasaan belaka. Salah satu contohnya adalah
pemotongan film “Darah dan Doa” karya Usmar Ismail Film ini berhubungan dengan Perjanjian
Renville serta memaparkan perjuangan long march pasukan Siliwangi dan sikap pasukan Darul Islam.
Dianggap berhubungan dengan politik adalah kala itu film ini dapat dijadikan pemicu upaya
penyelesaian damai dengan Darul Islam.

Pada tahun 1953 melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
tanggal 2 Juni 1953 Nomor 18977/Kab, pemerintah membentuk suatu Panitia Perancang Undang-
Undang Perfilman (PPUF) yang pada tahun berikutnya PPUF diganti menjadi Dewan Film Indonesia
dengan tugas memberikan pertimbangan-pertimbangan dan nasehat-nasehat kepadaMenteri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan dalam bidang perfilman. Untuk memajukan perfilman Indonesia
pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk menyempurnakan lembaga-lembaga sensor film
tersebut. Seiring berjalannya waktu pun lembaga sensor bukan merupakan lembaga yang mutlak.
Lembaga ini harus mengikuti perkembangan jaman yang ada di Indonesia.Artinya lembaga ini bersifat
luwes namun tetap pada kontrol dari pemerintahan. Pada masa
itu, pemerintah pun mendukung resolusi-resolusi MPRS tentang pers, radio, film dan TV. Terdapat
hasil sidang mengenai perfilman yaitu selekas mungkin mengadakan undang-undang perfilman yang
mengatur politik impor, ekspor, produksi, dan peredaran film sesuai dasar dan tujuan revolusi
Indonesia, serta membantuk perkembangan industri film nasional, dan yang terakhirmenyempurnakan
produksi film PFN untuk konsumsi dalam dan luar negeri.
Orde baru pun menghampiri Indonesia. Segala regulasi yang terjadi di Indonesia dirubah
mengikuti Orde Baru termasuk regulasi mengenai perfilman dan tentunya sensor dalam film itu sendiri.
Pada tanggal 5 Agustus 1964 telah diterbitkan Penetapan Presiden Nomor 1/1964 yang secara garis
besar menyatakan bahwa film merupakan alat penerangan. Berdasarkan Penetapan Presiden tersebut
muncullah Instruksi Presiden No. 012/1964 yang menjelaskan bahwa ada pemindahan
tangan mengenai penanganan film yang semula berada di bawah Menteri Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan menjadi naungan Menteri Penerangan. Penpres juga menjelaskan mengenai aturan-aturan
tema film yang lolos sensor, aturan tersebut berbunyi:
“Film yang dibuat di Indonesia wajib: (a) menjadi pendukung, pembela, dan penyebaran
dasar-dasar dan ideologi Pancasila dan Manifesto Politik beserta pedoman-
pedoman pelaksanaannya; (b) menggambarkan hal-hal yang mengandung pemberitaan dan
usulanterhadap keadaan dan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah memelihara
agarsupaya pemberitaan dan ulasan itu bersifat konstruktif dan tetap berpedoman padaManifesto
Politik serta pedoman-pedoman pelaksanannya dan (c) memperlihatkansyarat-syarat ketertiban
umum dan peraturan- peraturan yang berlaku.”

Dengan adanya Penpres tersebut tema film seperti dimatikan kreativitasnya dalam
mengeksplorasi. Hanya yang berideologikan politik pemerintah saja yang lolos sensor. Kemudian film
yang mendukung ideologi Pancasila serta berhubungan dengan manifesto politik yang
dapat berterbangan di kancah perfilman Indonesia. Saat itu memang Orde Baru, dimana film dijadikan
propaganda untuk mendukung pemerintahan Indonesia. Sayangnya, film dimanfaatkan untuk
melanggengkan kekuasaan negara atau penguasa pada saat itu Film seperti mobil remote
control pemerintah dengan pemerintah sebagai pemegang kendali akan semua hasil dari film tersebut.
Pemerintah mengambil alih penuh dari pensensoran film. Film yang lolos sensor harus sesuai dengan
keinginan pemerintah untuk dijadikan alat propaganda bagi masyarakat Indonesia. Beruntunganya, film
merupakan media massa yang paling efektif. Karena semua lapisanmasyarakat mencari alternatif
hiburan dengan menonton film. Dan alur cerita yang mudah menjadikan film dapat dinikmati semua
lapisan masyarakat, yang pastinya melalui lembaga sensor terlebih dahulu.
Menindaklanjuti Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 46/SK/M/65 pada tanggal 21Mei 1965
dibentuklah suatu lembaga yang bernama Badan Sensor Film (BSF) yang mengatur tentang
penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia. Badan ini terdiri dari 24 orang perwakilan pemerintah
dan sembilan dari partai politik. Adapun fungsi dan tugas BSF tetap menitik
beratkan pada upaya menghindarkan masyarakat dari pengaruh buruk film, dan memperjelas eksistensi
danfungsi film dalam turut memantapkan program nation and character building . Disebutkan bahwa
sebuah film dapat menonjolkan sisi nasionalisme terhadap Indonesia. Kebanyakan produksi film masa
ini menceritakan tentang masalah nasional yang ujung-ujungnya menjadi masalah yang dihadapi
masyarakat Indonesia sendiri. Film bisa menjadi elemen penting dalam pembangunan watak bangsa.
Sebagaimana harapan Kurnia ningrat kepada produser-produser nasional, agar film-film Indonesia
hendaknya lebih mendekati kehidupan masyarakat sehingga disamping penghibur,film-film juga ikut
dalam membantu membangun masyarakat dan negara kita, juga agar produser lebih banyak menyajikan
film-film ilmiah populer, film perjuangan bangsa, film-film hiburan sehat dan film anak-anak.

Bagaimanapun juga BSF tetap bagian cerita penyensoran milik Orde Baru. BSF saat itu
memiliki mekanisme dalam penyensoran dimulai dari pra-produksi sampai tahap pra-editing
dan paling terakhir final film tersebut. Skenario sebuah film harus mempunyai rekomendasi dari
Direktorat Film Departemen Penerangan sebelum syuting dimulai. Hal ini dilakukan untuk melindungi
penyumbang dana terhadap film tertentu yang terutama dilarang BSF. Dikarenakan pengurangan
subsidi mulai tahun 1970-an untuk film. Setelah selesai syuting, rush copy (film
yang belum diedit) harus diserahkan pada lembaga yang sama untuk memperoleh petunjuk tentang bagi
an mana yang harus diedit. Setelah film mencapai titik final baru diberikan kepada BSF untuk
diloloskan atau malah tidak diloloskan walaupun sudah melalui beberapa tahap diatas.Sepanjang tahun
1970-an BSF membuka diri kepada masyarakat Indonesia. BSF menanamkan kepada masyarakat
bahwa lembaga ini memang diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan hiburan
yang layak tanpa pengaruh buruk dari film. Agustus 1971, BSF memulai melakukan transparansi
terhadap mekanisme yang dijalankan dengan menerbitkan bulletin Berskala BSF. Buletin diharapkan
dapat diakses oleh publik terhadap cara kerja dan diskusidi dalam BSF. Namun sayangnya, tahun 1973
buletin ini berhenti bukan dikarenakan alasan pendanaan ataupun ketiadaan minat pengolalanya.
Melainkan mekanisme yang dilakukan BSF tidaklagi menjadi suatu rahasia. Jadi siapapun orang yang
membaca buletin ini akan paham tentang mekanisme pensensoran film. Bagi orang yang ingin
mengakses mekanisme tersebut dapat langsung meminta izin khusus dari Direktorat Jenderal Radio,
Televisi, dan Film (Dirjen RTF)

Badan ini banyak mengalami perubahan anggota, termasuk perubahan anggota dari
unsur pemerintahan. Tahun 1971 yang beriringan juga dengan melemahnya partai politik dalam sistem
politik Indonesia, wakil dari unsur partai politik dikeluarkan dari BSF. BSF pada tahun 1971-1972
yang anggotanya meliputi seniman dan intelektual terkemuka, merupakan yang paling liberal dan
terbuka sejak 1965.
Dengan matinya bulletin Berskala BSF membuktikkan juga otonomi relatif BSF merosot. BSF
pada tahun 1973 kembali tunduk akan manifesto politik pemerintahan dan terdominasi oleh
kepentingan departemen pemerintah. BSF menjadi bawahan dari Dirjen RTF.
Penjelasan diatas belum sampai menyentuh pada lapisan daerah. Seperti yang telah diketahui
terdapat beberapa kasus penghentian peredaran film pada tahun sebelum dan sesudah 1965 oleh
komandan militer lokal dan pemerintahan lokal. Padahal film-film tersebut sudah lolos dari BSF. Oleh
sebab itu pada tahun 1970-an dibuatlah suatu regulasi untuk mengatur kebijakan daerah mengenai film.
Baru pada tahun 1975 Badan Pembinaan Perfilman Daerah (BAPFIDA) didirikan pada tingkat provinsi
yang ditunjuk oleh Gubernur, dan dikepalai oleh kepala wilayah departemen termasuk aparat keamanan
dengan fungsi adalah untuk menjamin keamanan dari pangsa pasar yang adil di tingkat provinsi. Pada
tahun 1977, wewenang BAPFIDA bertambah, lembaga ini berhak untuk menyensor film yang diputar
di wilayahnya. Namun, hanya sekedar untuk melarang film tersebut beredar di provinsi dan untuk
masalah pemotongan atau mengubah film tetap menjadi kewenangan BSF.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 55B/Kep/Menpen/75 tanggal 20 Mei
1975, tugas BSF adalah sebagai badan penyensor pemerintah atas film yang akan
diedarkan/dipertunjukkan kepada umum dan wilayah Indonesia maupun yang akan diekspor. BSF
sendiri mempunyai fungsi untuk mengeluarkan surat tanda lulus sensor film, menolak perederan dan
atau pengeksporan film, memotong bagian-bagian film, dan menarik fim dari peredaran. Dalam laporan
tahun 1975-1976, BSF dalam rangka mendapatkan respon dari masyarakat, yang dalam hal ini adalah
pejabat-pejabat pemerintah serta para pemuka masyarakat, BSF mengirim tim-timnya kedaerah untuk
mengetahui dan menampung secara langsung tanggapan-tanggapan dan reaksi-reaksi masyarakat atas
hasil karya BSF serta keluhan-keluhan terhadap film dan jenis-jenis film tertentu yang dimanfaatkan
oleh BSF sebagai bentuk evaluasi terhadap keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan BSF
selanjutnya

Sepak terjang dari BSF belum berhenti sampai disini, pada tahun 1977 Pedoman
Sensordidasarkan pada Keputusan Menteri, salah satunya contoh yang diatas. Sementara itu
pedoman yanglain ditetapkan oleh BSF sendiri yang disebut Kode Etik BSF pada 1980, yang kemudian
diperluasdalam Kode Etik Produksi Film Nasional pada tahun 1981. Namun untuk permasalahan tugas
danfungsi, masih mengikuti pedoman kerja berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan
No03A/Kep/Menpen/1977.
Perjalanan belum berakhir, tibalah dimana perfilman mengalami pembenahan
mengikuti perhatian yang diberikan masyarakat. Mulai dari tahun 1990-an banyak stasiun televisi
swasta yangmeminta perhatian kepada pemerintah. Dirasa perlu adanya perbaikan akan mekanisme
untuk Badan Sensor Film. Untuk mengatasi perubahan yang terjadi di masyarakat, mulailah
digiatkan persiapan dan penyelenggaraan jajak pendapat tentang perlunya Undang-undang tentang
Perfilman. Jajak pendapatpun berlangsung dan sampai pada tanggal 30 Maret 1992 ditetapkanlah
Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Undang-undang tersebut membuat Badan
Sensor Film bekerja lebih spesifik, detail, dan berusaha lebih memihak kepada masyarat serta
film maker. Dari segala macam pasal dan bab yang berada di Undang-Undang tersebut, terdapat
empat pengertian pokok yang menjadi rujukan semua peraturan dan ketentuan di bidang
perfilman. Salah satu pengertiannya tentang sensor film. Sensor film adalah penelitian dan penilaian
terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan
dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau
suara tertentu.
Dengan pengetian yang serinci itu, film lebih dikerucutkan dan mendetail akan pengertiannya.
Terlebih dengan adanya pengertian dari sensor film sebagai acuan yang digunakan oleh Badan Sensor
Film yang sejak tahun 1994 mengalami perubahan nama menjadi Lembaga Sensor Film (LSF). Aturan-
aturan penyensoran telah menjadi detail, komprehensif, dan bersifat publik, serta meningkatkan peran
sensor dalam industri film dan juga kejelasan pembatasan regulasi pemerintah. Tugas penyensoran
tidak hanya sekadar memotong atau menghapus apa-apa yang tidak patut ditonton oleh masyarakat,
khususnya remaja dan anak-anak, tetapi sekaligus membimbing dan mengajak masyarakat untuk dapat
mengembangkan sikap kritis dalam menapis atau lebih tepat lagi dalam melakukan self censorship.
Menjelang tahun 1998-2001, Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan.Segala
kebijakan dirubah walaupun tetap mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945. Namun, masa ini benar-
benar membuka pintu kebebasan. Sayangnya, kesempatan itu dilewati tanpa rasa tanggung jawab.
Tidak ingin ketinggalan, film pun menginginkan kebebasan tersebut. Produksi
film berani menampilkan adegan yang disebut bebas tanpa tanggung jawab tetapi secara bertahap.Perfil
man Indonesia sempat mengalami koleps perhatian dari pemerintah dan tidak luwes dengan masih
berpegang teguh akan kebijakan Orde Baru. Memang dibawah Departemen
Penerangan perfilman seperti dikendalikan. Namun, sisi baiknya ada yang menaruh perhatian pada perf
ilman Indonesia. Sampai pada suatu waktu di mana titik kulminasi sudah mencapai puncaknya,
masyarakat Indonesia terkejut dan menyadari bahwa banyak perubahan perlu dilakukan untuk
memperbaiki dunia film kita, khususnya yang berkaitan dengan aspek etika dan moral dalam membuat
dan mempertunjukkan atau menayangkan film untuk umum.
Dengan memperhatikan perkembangan film dan LSF yang sekarang, sering terjadi
sedikit peperangan antar keduanya. Banyak beberapa film yang lolos sensor dan tidak
lolos sensor. Sesuai wewenang LSF bahwa sebuah film diluluskan sepenuhnya, dipotong sebagian
gambar tertentu,ditiadakan suara tertentu, dan ditolaknya seluruh film; untuk diedarkan, diekspor,
dipertunjukkan,dan ditayangkan

Sebagai penonton sudah menyadari dengan adanya penyensoran tersebut, yang paling
mudah diketahui adalah peniadaan suara tertentu. Terdapat mekanisme yang dilakukan oleh LSF, yang
dikatakan oleh Akhlis Suryapati (anggota LSF) dalam Eric Sasono (2012), yaitu :
Anggota LSF bekerja dibagi dalam kelompok-kelompok sensor dan mereka
mendapat jadwal untuk menyensor film-film yang masuk. Mereka akan meluluskan atau tid
ak meluluskan sebuah film dan kemudian akan membuat surat untuk ditandatangani
olehKetua LSF. Apabila ada film yang tak bisa diputuskan di tingkat komite sensor, maka
film itu biasanya dibicarakan di tingkat pelaksana harian. Apabila pada
tingkat pelaksana harian tidak juga diputuskan, maka biasanya keputusan diambil di tingkat
pleno, dimana seluruh anggota LSF yang berjumlah 45 orang itu akan diundang untuk
membicarakannya
Namun yang jadi pertanyaan adalah mengapa film yang bergenre horror dengan menampilkan
adegan panas dapat lulus sensor dan disaksikan masyarakat Indonesia. Berdasarkan Pedoman dan
Kriteria Penyensoran diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994, Bab IV Pasal 19
disebutkan bahwa adegan yang dapat menimbulkan birahi dan terlalu terbuka agar untuk dipotong.
Namun, adegan itu tetap tidak dipotong. Mekanisme yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film terlalu
terpaku dengan Orde Baru. Bahwa tema sebuah film yang tentang seks
tidak boleh lebih dari 50 persen. Sayangnya, sineas ini adalah yang terpandai di kalangannya. Dengan
tidak menampilkan cerita yang berbau seks sebanyak lima puluh persen, hanya sebagian.
Namun,dengan genre seperti itu banyak bertebaran di Indonesia
Terjadi kesalahpahaman antara peraturan yang dibuat dengan eksekutor peraturan
tersebut.Selain itu yang juga penting adalah standar penyensoran LSF yang masih bersandar
kepada peraturan yang dibuat pada masa Orde Baru. Peraturan penyensoran yang seharusnya menjadi
kewajiban pemerintah, hingga kini belum dibuatkan yang baru sehingga kecurigaan masih
mendominasi perlakuan terhadap pembuat film. LSF kali ini sedang mengalami gelombang birokrasi.
LSF masih direbutkan oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan KementrianPendidikan
dan Kebudayaan. Namun, ada kecenderungan Lembaga Sensor Film berada di naungan Kemendikbud.
Alasannya mudah karena film sangat dekat dengan unsur budaya.
Itu semua hanyalah peraturan yang sulit berjalan efektif. Karena tidak ada pengawasan secara
langsung tentang peraturan yang dibuat oleh LSF. Di setiap film selalu disebutkan batas umur untuk
dapat menyaksikan film tersebut. Realita di lapangan menunjukkan bahwa film yang telah lolos sensor
dengan label “Untuk Dewasa” nyatanya masih bisa ditonton oleh siapa saja,termasuk anak-anak usia
sekolah dasar (di bawah 15 tahun). Padahal undang-undang pun jugasudah menjelaskan bagi yang
melanggar akan dikenakan sangsi. Peraturan tetap peraturan. Tidaksemua masyarakat Indonesia
mengerti tentang peraturan tersebut. Seharusnya pemerintah tidak perlu merevisi segala undang-
undang untuk perfilman, buatlah peraturan tentang pemantauanterhadap penonton film di pintu masuk
tiap-tiap bioskop. Dengan regulasi yang seperti ini perlindungan kepada masyarakat Indonesia dapat
berjalan. Seperti fungsi yang diuraikan oleh LSF.
LSF melakukan perjalan yang cukup berliku. Terdapat beberapa perubahan akankebijaknnya.
Berarti lembaga ini melakukan suatu evaluasi karena tidak ingin melakukan kesalahanyang sama pada
tahun-tahun sebelumnya. Namun, dengan adanya Lembaga Sensor Film seperti
ini bangsa Indonesia dapat melihat film yang sudah difilter oleh lembaga ini dan dirasakan sesuaidenga
n kepribadian bangsa Indonesia. Tanpa LSF pun dipastikan film dengan tema apapun, genreapapun,
adegan apapun dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Filmmaker pun akan membuat film seapik
dan sesuai dengan undang-undang penyensoran agar filmnya dapat dinikmati masyarakat Indonesia dan
tidak mengalami kerugian. Namun, ada baiknya jika LSF melakukan suatu transparansi terhadap
pemilihan anggota, alasan memilih film lulus sensor,dan
mekanisme pengambilan keputusan di dalam lembaga ini. Dan melakukan sebuah perlindungan terhada
p konsumen

TUGAS, FUNGSI DAN KEWENANGAN LEMBAGA SENSOR FILM

Pasal 6 di PP no 18 tahun 2014 LSF mempunyai tugas:


a. melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada
khalayak umum; dan
b. melakukan penelitian dan penilaian judul, tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu
film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum.

Pasal 7 PP No. 18 Tahun 2014 mempunyai fungsi


a. perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan
film dan iklan film yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman Indonesia;
b. penyusunan pedoman penerbitan dan pembatalan surat tanda lulus sensor;
c. sosialisasi secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film dan iklan film agar
dapat menghasilkan film dan iklan film yang bermutu;
d. pemberian kemudahan masyarakat dalam memilih dan menikmati pertunjukan film dan iklan film
yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film;
e. pembantuan pemilik film dan iklan film dalam memberi informasi yang benar dan lengkap kepada
masyarakat agar dapat memilih dan menikmati film yang bermutu; dan
f. pemantauan apresiasi masyarakat terhadap film dan iklan film yang diedarkan, dipertunjukkan dan
menganalisis hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
melakukan
g. tugas penyensoran berikutnya dan/atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pengambilan
kebijakan kearah pengembangan perfilman di Indonesia.

LSF mempunyai wewenang pada pasal 8 PP no 18 tahun 2014 :


a. penentuan penggolongan usia penonton;
b. pengembalian film dan iklan film yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria penyensoran
untukdiperbaiki oleh pemilik film dan iklan film;
c. penyensoran ulang (re-censor) film dan iklan film yang sudah diperbaiki oleh pemilik film dan
iklan film. sesuai pedoman dan kriteria penyensoran;
d. pemberian surat tanda lulus sensor yang dibubuhkan untuk setiap kopi-jadi film dan iklan film yang
dinyatakan telah lulus sensor;
e. pembatalan surat tanda lulus sensor;
f. pengusulan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku
g. usaha perfilman yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perfilman; dan
h. pelaporan kegiatan sensor film dan iklan film baik yang lulus dan yang tidak lulus sensor kepada
Presiden melalui Menteri secara periodic
BUDAYA LOKAL
MADURA

BUDAYA DASAR MASYARAKAT MADURA


Budaya kelompok
Masyarakat Madura adalah masyarakat yang kolekitivis, hal ini terbukti dengan adanya kelompok-
kelompok tertentu yang berada dalam masyarakat Madura itu sendiri. Dan masing-masing dari
kelompok itu juga mempunyai salah seorang penguasa kelompok. Perilaku dari anggota kelompok itu
pun bermacam- macam sesuai dengan kebijakan dari kelompok masing-masing
Budaya Gotongroyong
Budaya ini sangat terlihat saat ada prosesi kematianatau pernikahan yang diselenggarakan oleh
penduduk Madura. Karena di saat itulah sanak saudara yang berada jauh dari Madura akan dengan rela
hati menyempatkan diri datang ke Madura untuk membantu keluarganya yang di Madura, begitu pula
dengan tetangga-tetangga dekat atau jauhnya
Acculturasi
Akulturasi adalah proses secara bertahap, seseorang mendeteksi kesamaan dan perbedaan budayanya
sendiri dengan lingkungan barunya. Orang Madura dan orang Jawa pada kenyataannya memiliki
budaya yang sama dalam hal sopan santun
Keduanya ternyata sama-sama menjunjung tinggi sopan santun kepada orang lain terutama kepada
orang yang lebih tua atau kepada kedua orang tua. Hanya saja yang berbeda adalah dalam menjaga
harga diri. Jika harga diri orang Madura dilecehkan dan tidak dihargai maka orang Madura akan marah
dan tidak terima akan hal itu
Jika orang lain masih meremehkannya dan membuatnya sakit hati maka tidak hanya dirinya yang
tersakiti yang akan maju menghadapi orang yang telah membuatnya sakit hati, akan tetapi sanak
saudara dan orang-orang sesama Madura (bagi yang berada di luar Madura) akan membantu temannya
yang sedang sakit hati ini untuk melawan orang tersebut. Inilah yang membedakan antara orang Jawa
dan Madura pada umumnya
Dekulturasi
Dekulturasi adalah proses dimana seseorang tidak mempelajari budaya mendasar dari budaya barunya.
Dan dia masih tetap memegang budayanya sendiri. Bagi orang Madura yang berada di perantauan,
mereka akan tetap memegang budaya kekeluargaannya, yakni merasa malu jika perbuatan yang
dilakukan itu salah, sopan santun, keramahan, dan “taretan dhibi’”, sebagaimana telah dijelaskan di
atas tadi pada bagian enkulturasi. Akan tetapi yang perlu diingat dan dijadikan catatan adalah jangan
sampai membuat orang Madura sakit hati
Asimilasi
Asimilasi adalah tingkat akulturasi dengan budaya baru dan tingkatan dekulturasi dari budaya asalnya.
Dan dari asimilasi inilah cikal bakal terjadinya adaptasi. Dalam masyarakat Madura, adat pernikahan
orang Madura dahulu adalah dengan cara lesehan tanpa ada kursi ataupun pelaminan. Akan tetapi
karena semakin banyaknya orang Madura yang memiliki pasangan yang berasal dari luar Madura
maka saat ini, adat pernikahan Madura yang awalnya lesehan itu menjadi tidak ada dan berganti dengan
adat pernikahan seperti orang Jawa kebanyakan
Bahkan jika ada keluarga yang bisa menikahkan anak-anaknya di gedung-gedung hal itu menjadi
kebanggaan tersendiri
Selain itu pula, prosesi tukar cincin dalam pernikahan orang Madura saat ini mulai merebak. Padahal
sebenarnya prosesi tukar cincin itu bukan berasal dari adat budaya Islam, hanya sebagian masyarakat
Madura yang masih memegang teguh ajaran Islamnya saja yang tidak melakukan prosesi tukar cincin
tersebut. Karena prosesi itu dilaksanakan sebelum akad nikah, dan dalam Islam jika belum di akad
nikah maka kedua orang laki-laki dan perempuan itu belum menjadi mahram
Masyarakat Madura yang memiliki beragam budaya ini perlu dilestarikan, terlebih lagi nilai-nilai
budaya yang masih sarat dengan nilai-nilai Islam. Dan dengan mengetahui budaya Madura kita juga
dapat mengetahui bagaimana cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang Madura, karena
sebenarnya orang Madura itu tidaklah seperti anggapan orang kebanyakan, bahwa orang Madura itu
kasar dan suka membunuh. Dan untuk orang-orang yang berasal dari luar Madura semoga dengan
adanya makalah ini menjadi mengerti tentang budaya Madura, dan dapat mempermudah kita dalam
berinteraksi dan berkomunikasi antar individu
Padahal, Huub de Jonge, salah seorang pakar budaya Madura dalam bukunya mengatakan, bahwa
Madura secara demografis-antropologis, termasuk kelompok lima besar setelah Jawa, Sunda, Bali dan
Minangkabau. Menurut A. Latief Wiyata, salah satu antropolog madura pernah suatu ketika di bulan
Oktober 1991 selama seminggu para pakar masyarakat dan budaya Madura dari seluruh dunia
berkumpul di kota Leiden, Nederland dalam suatu lokakarya internasional dengan topik Madurese
Culture: Continuity and Change yang diselenggarakan oleh KITIV (Koninklijk Instituut voorTaal Land
en Volkenkunde atau Royal Institut of Linguistics and Antropology). Lokakarya yang dihadiri kurang
lebih 20 orang yang terdiri dari ahli-ahli antropologi, sosiologi, sejarawan, musikologi, islamologi dan
ekonomi pedesaan dengan keahliannya masing-masing tersebut telah menghasilkan sebuah buku
berjudul Across Madura Strait The Dynamics of an Insular Society (Dijk, Jonge and Touwen
Bouwsma, 1995)
Pertanyaan yang menggelitik penulis disini, mengapa justru orang asing yang sangat peduli dan tertarik
meneliti soal karakteristik orang Madura? Bahkan, peneliti asing beberapa tahun yang lalu harus hidup
bertahun-tahun bersama dengan penduduk Madura di perkampungan. Seandainya mereka ada
keinginan untuk mengetahui Madura lebih jauh lagi, seharusnya mereka berlama-lama di Madura
seperti halnya peneliti orang asing yang kagum terhadap penghormatan dan kesopanan orang Madura
setelah lama mempelajari sikap dan prilaku hidup bersamanya
Dan lagi, kita mengetahui bahwa karakteristik etnis Madura sangat berbeda jauh dengan etnis lainnya.
“Karakteristik masyarakat Madura yang menonjol sekali adalah sifatnya yang ekspresif, spontan dan
terbuka,” ujar A. Latief Wiyata, salah satu pakar antropolog asal sumenep madura. Itu semua
menunjukkan bahwa perlakuan yang dianggapnya tidak adil dan menyakitkan hati, secara spontan
masyarakat Madura akan bereaksi
Sebaliknya, kalau ada perlakuan yang membuat hati senang, maka masyarakat Madura tanpa basa-basi
secara terus terang akan mengungkapkan seketika itu juga sehingga hal itu menunjukkan kejujuran dari
hati yang paling dalam tanpa tendesi. Masyarakat Madura juga gigih memegang prinsip, meskipun
dirinya harus berhadapan dengan “moncong senapan.” Sebab, dalam kehidupan Madura ada satu
falsafah yang sangat terkenal yaitu : lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu
Dengan begitu konsep malo bukan hanya merupakan ungkapan malo (malu), akan tetapi menunjuk
pada suatu kondisi psiko-kultural serta ekspresi reaktif yang secara spontan muncul akibat
pengingkaran terhadap eksistensi diri, baik pada tingkatan individual maupun kolektif (keluarga,
kampung, desa atau kesukuan)
Semoga paparan ini penting bagi akademisi, pengamat sosial, teknokrat, dan para pengambil
kebijaksanaan di pemerintahan saat ini dalam melakukan expansi pembangunan industri, jalan, dan
perdagangan yang telah ada. Semoga bermanfaat
(disadur dari Disertasi Prof.Dr.Kuntowijoyo, dan berbagai sumber dan diangkat dari
jawatimuran.wordpress.com)

RE-INTERPRETASI MAKNA BHPA’, BHABU’ GURU RATO


Oleh: Matroni Musèrang*
Orang Madura tentu tahu dan mendengar istilah Bhapa’ Bhabu’ Guru Rato. Ada tiga kata yang penting
untuk kita refleksikan maknya
Bhapa’ (eppa’) atau bapak. Bapak tentu simbol orang yang menjadi pemimpin keluarga. Sebagai
pemimpin keluarga ia harus mampu membaca watak istri, anak-anaknya termasuk juga harus mampu
membaca saudara dari isteri dan saudara dari dari bapak. Pemimpin keluarga bagi orang Madura
merupakan hal penting, sebab kalau ada bhek-rembhek (musyawarah keluaga) yang diutamakan adalah
pihak laki-laki yang dalam hal ini di simbolkan oleh Bhapa’
Artinya untuk menjadi pemimpin desa, pemimpin Kabupaten, presiden, apalagi pemimpin ummat, ada
tanggungjawab besar yang harus diemban oleh seorang pemimpin yaitu kemampuan membaca semua
watak atau karakter manusia, karakter budaya dan karakter keilmuannya
Bhabu’ (embu’) atau ibu. Yang disimbol dengan sosok perempuan. Ibu atai perempuan bagi orang
Madura adalah sosok sangat dekat dengan anak-anaknya. Seringkali anak-anak tidak mau gendong ke
bapak di sebabkan psikologi anak lebih dekat dengan ibu. Ibu adalah pengeran kathon (pengeran
bayang-bayang). Artinya ibu adalah manifestasi dari sifat Tuhan di dunia, seperti kasih sayang sama
anak, perhatiannya sama bapak dan anak, perasa, dan lainnya
Maka wajar jika ibu dikatakan pengeran kathon, sebab ulama, budayawan yang menjunjung tinggi
seorang ibu ia akan di angkat derajatnya oleh pengeran Allah, sekedar contoh Gus Dur, K.H Hasyim
Asy’Arie, KHR Syamsul Arifin, Gus Mus, Emha, K.H Bisri Syamsuri, K.H Ahmad Dahlan, tokoh-
tokoh besar dunia dapat dipastikan karena mampu menjaga akhlak kita terhadap ibu dan perempuan
sebagai symbol
Ibu sebagai simbol keperempuanan, Rasulullah yang pertama kali meyakinkan itu wahyu bukan
kakeknya, akan tetapi Siti Khatijah, ini salah satu bukti nyata bahwa perempuan merupakan sosok yang
luar biasa dalam proses untuk mengenal siapa sebenarnya DIRI/AKU. Ngaji abe’ kata orang Madura,
orang-orang yang sukses ngaji abe’ adalah orang-orang yang mampu menghargai isteri atau
perempuan. Maka siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya
Guru, bahasa Arabnya Ustadz (namun tidak hanya ustadz sebab bagi orang Arab sebutan ustadz
merupakan sosok manusia yang alim, akhlaknya terpuji, bijak).Artinya Guru adalah sosok yang mampu
mengayomi, memberikan pengetahuan baru yang bermanfaat (tidak plagiat atau copas), akan tetapi
mampu membaca dan memahami sendiri, di sini mengapa penting merenung atau berpikir. bukan
kemudian Guru memiliki rasa “aku guru” sehingga tidak lagi penting untuk belajar
Gus Mus mengatakan “jangan berhenti belajar” artinya guru, ulama, rato, ibu dan bapak harus terus
belajar sebab kalau berhenti belajar kita akan merasa benar, merasa paling alim, merasa paling “suci”
karena keturunan Wali dan keturunan Rasul, jangan dulu, selalulah belajar agar menjadi guru yang
dimaksud oleh orang Madura itu
Rato atau raja, sebagai pemimpin yang dihormati. Rato adalah pemimpin negara kalau sekarang. Rato
semua titahnya adalah sabda. Rato pemimpin yang bijaksana, yang mampu menjaga keamanan bangsa
dan negerinya
Bhapa’ Bhabu’ Guru Rato sebenarnya memiliki nilai etika, nilai akhlak, nilai tengka, nilai filosofis
dan nilai keilmuan bagi kita agar tidak menjadi sosok manusia yang kaku dalam melihat keberagaman
manusia. Tiga ikon ini menjadi tanda bahwa akhlak kita yang pertama adalah kepada kedua orang tua,
kedua kepada guru dan terakhir kepada rato, artinya tiga ikon ini adalah hirarki tauhid kemanusiaan
dalam menuju akhlak yang sempurna
KARAPAN SAPI
Karapan Sapi merupakan budaya asli dari tanah Madura yang sudah dikenal sejak abad ke-14 M. Pada
zaman dahulu sapi merupakan satu-satunya alat Transportasi tercepat yang ada di Madura dan banyak
digunakan oleh masyarakat , khususnya masyarakat elite atau kerajaan. Karapan Sapi ini merupakan
salah satu contoh budaya dan hiburan bagi masyarakat Madura yang telah turun temurun dilaksanakan
Karapan Sapi menurut wikipedia : sebuah istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang
berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur. Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam
kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba
adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter dan
lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit.
Karapan sapi sendiri menurut masyarakat Madura adalah adu balap sapi jantan menggunakan kaleles.
Kaleles disini merupakan sarana pelengkap untuk dinaiki joki/sais yang menurut istilah Madura
disebut tukang tongkok. Sapi-sapi jantan yang akan dipacu dipertautkan dengan pangonong pada leher-
lehernya sehingga menjadi satu pasangan. Untuk pasangan sapi kerrap yang berada di sebelah kanan
disebut pangluar dan yang sebelah kiri disebut pangdelem. sedangkan orang yang menahan tali kekang
sapi sebelum dilepas disebut tukang tambeng. Tukang Getak merupakan orang yang menggertak sapi
agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat. Tukang Tonja merupakan orang yang
bertugas menarik dan menuntun sapi saat perlombaan. Tukang Gubra adalah anggota rombongan yang
bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi kerrap.Karapan Sapi tidak serta merta ada
di Madura. Ada beberapa versi tentang asal usul Karapan Sapi ini. Versi pertama mengatakan
bahwa karapan sapi telah ada di Madura sejak abad ke-14. Waktu itu karapan sapi digunakan untuk
menyebarkan agama islam oleh seorang Kyai yang bernama Pratanu. Versi yang lain juga mengatakan
bahwa karapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di
daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday yang lama mengembara di Madura membawa
pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju.
Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi Poday
adalah dengan menggunakan sapi. Sehingga lama-kelamaan karena banyaknya petani yang
menggunakan sapi untuk membajak sawahnya secara bersamaan, maka timbullah niat para petani
untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan untuk menggarap sawah
itu menjadi semacam olahraga lomba adu cepat yang hingga saat ini disebut .
Karapan Sapi dan Sapi Kerrap merupakan dua hal yang berbeda. Orang Madura memberi perbedaan
antara Karapan sapi dan Sapi kerrap ini. Karapan sapi adalah sebuah even adu pacu sapi jantan dalam
keadaan bergerak, berlari dan dinamis. Sedangkan Sapi kerrap adalah sebutan untuk sapi jantan yang
diperlombakan itu sendiri, baik satu sapi maupun lebih. Adanya perbedaan ini adalah untuk
membedakan antara sapi kerrap dengan Sapi Biasa serta Sapi Sono.

Macam-macam Karapan Sapi

1. Kerrap Keni (Karapan kecil) merupakan karapan sapi yang levelnya se-tingkat Kecamatan saja
dengan jarak tempuh sekitar 110 meter. Pemenangnya berhak untuk mengikuti even karapan yang
levelnya lebih tinggi lagi.
2. Kerrap Rajah (Karapan besar) merupakan karapan sapi yang levelnya se-tingkat Kabupaten saja
dan pesertanya adalah dari para juara Kerrap Keni dengan jarak tempuh sejauh 120 meter.
3. Kerrap Karesidenan (Gubeng) merupakan karapan sapi yang levelnya tingkat karesidenan yang
diikuti oleh juara-juara dari empat kabupaten di Madura. Tempatnya adalah di Bakorwil Madura
yaitu di kabupaten Pamekasan dan tepatnya pada hari Minggu yang merupakan acara puncak untuk
mengakhiri musim karapan.
4. Kerrap Onjangan (Karapan undangan) merupakan karapan sapi khusus yang pesertanya berasal
dari undangan suatu kabupaten yang menyelenggarakannya. Karapan ini biasanya diadakan untuk
memperingati hari-hari besar tertentu atau peringatan syukuran dan sejenisnya.
5. Kerrap Jar-ajaran (Karapan latihan) merupakan karapan yang dilakukan hanya untuk melatih sapi-
sapi kerap sebelum turun ke even yang sebenarnya.

Karapan Sapi dalam penentuan juaranya adalah di ambil masing-masing 3 Juara, yaitu 3 juara dari
golongan menang dan 3 juara dari golongan kalah.

Bagi masyarakat Madura, karapan sapi bukan sekadar sebuah pesta rakyat yang perayaannya digelar
setiap tahun. Karapan sapi juga bukan hanya sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karapan sapi adalah sebuah prestise kebanggaan yang akan
mengangkat martabat di masyarakat.Sejarah asal mula Kerapan Sapi tidak ada yang tahu persis, namun
berdasarkan sumber lisan yang diwariskan secara turun temurun diketahui bahwa Kerapan Sapi
pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Pulau Sapudi, Sumenep pada abad
13.Awalnya ingin memanfaatkan tenaga sapi sebagai pengolah sawah Brangkat dari ketekunan
bagaimana cara membajak sapinya bekerja ,mengolah tanah persawahan, ternyata berhasil dan tanah
tandus pun berubah menjadi tanah subur.Melihat gagasan bagus dan membawa hasil positif, tentu saja
warga masyarakat desa mengikuti jejak Pangerannya. Akhirnya tanah di seluruh Pulau Sapudi yang
semula gersang, menjadi tanah subur yang bisa ditanami padi. Hasil panenpun berlimpah ruah dan
jadilah daerah yang subur makmur
Setelah masa panen tiba sebagai ungkapan kegembiraan atas hasil panen yang melimpah Pangeran
Ketandur mempunyai inisiatif mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Areal tanah
sawah yang sudah dipanen dimanfaatkan untuk areal balapan sapi. Akhirnya tradisi balapan sapi
gagasan Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus berkembang dan dijaga kelestariannya.
Hanya namanya diganti lebih populer dengan “Kerapan Sapi”
Bagi masyarakat Madura, Kerapan Sapi selain sebagai tradisi juga sebagai pesta rakyat yang
dilaksanakan setelah sukses menuai hasil panen padi atau tembakau. Kerapan sebagai pesta rakyat di
Madura mempunyai peran di berbagai bidang. Misal di bidang ekonomi (kesempatan bagi masyarakat
untuk berjualan), peran magis religius (misal adanya perhitungan-perhitungan tertentu bagi pemilik
sapi sebelum bertanding dan adanya mantra-mantra tertentu), bidang seni rupa (ada pada peralatan
yang mempunyai hiasan tertentu), bidang seni tari dan seni musik saronen (selalu berubah dan
berkembang)
Anatomi Kerapan
Pengertian kata “kerapan” adalah adu sapi memakai “kaleles”. Kaleles adalah sarana pelengkap untuk
dinaiki sais/joki yang menurut istilah Madura disebut “tukang tongko”. Sapi-sapi yang akan dipacu
dipertautkan dengan “pangonong” pada leher-lehernya sehingga menjadi pasangan yang satu
Orang Madura memberi perbedaan antara “kerapan sapi” dan “sapi kerap”. Kerapan sapi adalah sapi
yang sedang adu pacu, dalam kaedaan bergerak, berlari dan dinamis. Sedang sapi kerap adalah sapi
untuk kerapan baik satu maupun lebih. Ini untuk membedakan dengan sapi biasa. Ada beberapa
kerapan yaitu “kerrap kei” (kerapan kecil), “kerrap raja’’ (kerapan besar), ‘kerrap onjangan” (kerapan
undangan), “kerrap jar-ajaran” (kerapan latihan)
Kaleles sebagai sarana untuk kerapan yang dinaiki tokang tongko dari waktu ke waktu mengalami
berbagai perkembangan dan perubahan. Kaleles yang dipakai dipilih yang ringan (agar sapi bisa berlari
semaksimal mungkin), tetapi kuat untuk dinaiki tokang tongko (joki)
Sapi kerap adalah sapi pilihan dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya berdada air artinya kecil ke bawah,
berpunggung panjang, berkuku rapat, tegar tegak serta kokoh, berekor panjang dan gemuk.
Pemeliharaan sapi kerap juga sangat berbeda dengan sapi biasa. Sapi kerap sangat diperhatikan
masalah makannya, kesehatannya dan pada saat-saat tertentu diberi jamu. Sering terjadi biaya ini tidak
sebanding dengan hadiah yang diperoleh bila menang, tetapi bagi pemiliknya merupakan kebanggaan
tersendiri dan harga sapi kerap bisa sangat tinggi
Sapi kerap ada tiga macam yaitu sapi yang “cepat panas” (hanya dengan diolesi bedak panas dan obat-
obatan cepat terangsang), sapi yang “dingin” (apabila akan dikerap harus dicemeti berkali-kali), dan
sapi “kowat kaso” (kuat lelah, memerlukan pemanasan terlebih dahulu)
Pada waktu akan dilombakan pemilik sapi kerap harus mempersiapkan tukang tongko (joki), “tukang
tambeng” (bertugas menahan, membuka dan melepaskan rintangan untuk berpacu), “tukang gettak”
(penggertak sapi agar sapi berlari cepat), “tukang gubra” (orang-orang yang menggertak sapi dengan
bersorak sorai di tepi lapangan), “tukang ngeba tali” (pembawa tali kendali sapi dari start sampai
finish), “tukang nyandak”(orang yang bertugas menghentikan lari sapi setelah sampai garis finish),
“tukang tonja” (orang yang bertugas menuntun sapi)
Beberapa peralatan yang penting dalam kerapan sapi yaitu kaleles dan pangonong, “pangangguy dan
rarenggan” (pakaian dan perhiasan), “rokong” (alat untuk mengejutkan sapi agar berlari cepat). Dalam
kerapan sapi tidak ketinggalan adanya “saronen” (perangkat instrumen penggiring kerapan).
Perangkatnya terdiri dari saronen, gendang, kenong, kempul, krecek dan gong
Pesta Rakyat
Umumnya sebuah pesta rakyat, penyelenggaraan Kerapan Sapi juga sangat diminati oleh masyarakat
Madura. Setiap kali penyelenggaraan Kerapan Sapi diperkirakan masyarakat yang hadir bisa mencapai
1000-1500 orang. Dalam pesta rakyat itu berabagai kalangan maupun masyarakat Madura berbaur
menjadi satu dalam atmosfir sportifitas dan kegembiraan
Sisi lain yang menarik penonton dari karapan sapi adalah kesempatan untuk memasang taruhan
antarsesama penonton. Jumlah taruhannya pun bervariasi, mulai dari yang kelas seribu rupiahan sampai
puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Biasanya penonton yang berdiri disepanjang arena taruhannya
kecil, tidak sampai jutaan. Tetapi, para petaruh besar, sebagian besar duduk di podium atau hanya
melihat dari tempat kejauhan. Transaksinya dilakukan di luar arena, dan biasanya berlangsung pada
malam hari sebelum karapan sapi dimulai

Adu Gengsi
Pemilik sapi karapan memperoleh gengsi yang tinggi manakala mampu memenangkan lomba
tradisional tersebut. Selain itu, harga pasangan sapi pemenang karapan langsung melambung. Mislnya,
harga sapi yang memenangkan lomba Karapan Sapi 2003 melambung menjadi Rp200 juta dari 2 tahun
sebelumnya hanya Rp40 juta
Untuk membentuk tubuh pasangan sapi yang sehat membutuhkan biaya hingga Rp4 juta per pasang
sapi untuk makanan maupun pemeliharaan lainnya. Maklum, sapi karapan diberikan aneka jamu dan
puluhan telur ayam per hari, terlebih-lebih menjelang diadu di arena karapan. Berdasarkan tradisi
masyarakat pemilik sapi karapan, maka hewan tersebut menjelang diterjunkan ke arena dilukai di
bagian pantatnya yakni diparut dengan paku hingga kulitnya berdarah agar dapat berlari cepat. Bahkan
luka itu diberikan sambal ataupun balsem yang dioles-oleskan di bagian tubuh tertentu antara lain di
sekitar mata
Sehari sebelum lomba dilaksanakan, pasangan sapi dan pemilik serta sejumlah kerabatnya menginap di
tenda yang dipasang di lapangan. Tidak lupa rombongan itu dimeriahkan oleh kelompok musik
tradisional Sronen yang mengarak pasangan sapi menjelang dipertandingkan. Bahkan jasa dukun pun
diperlukan dalam kegiatan karapan sapi. Para “penggila” Kerapan Sapi melakukan itu semua demi
sebuah gengsi atau prestise yang memang merupakan watak khas orang Madura
CAROK

”Lebih baik berkalang tanah, ……. mati itu lebih terhormat dari pada hidup mananggung aib/malu”
sebuah ungakapan orang Madura
Carok adalah sebuh istilah ”bahasa” Madura kalua kita difinisikan carok merukan sebuah adekan,
pertarungan, duil, yang terdiri dari dua orang atu lebih dimana hal itu dilakukan sebagai penebusan
malu/membersihkan nama baik. Banyak orang menyebut carok adalah tradisi/kebudayaan orang
Madura, namun menurut keterangan guru saya waktu sekolah di MAN Sumenep, ”carok bukanlah
budaya/tradisi, carok dikenal oleh orang sebagai budaya/tradisi, hanya kesalahan presipsi” keterangan
itu saya dapat dari guru Giografi waktu kelas X
Meneurutnya jika carok disebut sebagai budaya ditinjau dari unsur manya. Sementara budaya itu
memiliki sebuah nilai estetika dan etik. Carok tidak ada nilai-nilai yang memuat hal
itu. Carok merukapakan sebuah tindakan yang berdasar pada pelampisan dendam, amara dll. Orang
yang melakukan tindakan bercarok karna mereka tidak bisa mengendalikan emosi dan keegoan
mereka, mereka disulut api dendam dan amrah tanpa adanya kontrol, dan berfikir panjang terhadap
tindakan yang mereka lakukan
Istilah carok yang identik budaya madura memang telah merata di seantero jagat. Klaim carok sebagai
buda mungkin perlu ditinjau ulang, mengingat tidak unsur estetik dan etik dalam carok itu sendiri.
Kalau carok diklaim sebagai budaya, maka muncullah sebuah pertanyaan baru, mngapa carok diklaim
sebagai budaya…? bagai mana proses hingga carok diklaim budaya. Disini tidak akan dibahas
mengapa carok diklaim budaya. Tapi kita perlu untuk dipahami bersama adalah apa itu budaya
Lantas bagaimana dengan pemahaman orang yang memangganggap carok sebagai budaya/tradisi
Madura, apakah itu salah ..? sebelum dijawab, alangkah baiknya kita mengenal apa itu budaya/tradisi
itu sendiri. Waktu di bangku sekolah SMA, kita dikenalkan apa itu budaya dan unsur-unsurnya, (baca
sosilogi budaya dan kebudayaan). Sementaa budaya menurut Raymond Williams “satau-tiga kata yang
paling rumit dalam bahasa ingris” dia menawarkan tiga definisi yang sangat luas
Pertama ”suatau proses umum perkembangan intlektual, spritual dan etis,” kalau kita kaitkan dengan
keagaman budaya yang ada di Madura kita bisa melihat perkembangan budaya madura dengan merejuk
pada faktor-faktor intlektual, spritual, estetis ”filsuf aung” yang kerap dipraktekkan oleh kia’i warok,
seniman dan penyair /sastrawan. hal itu merupakan rumusan budaya yang paling sederhana mudah
dipahami
Kedua budaya bisa sebagai ”pandangan hidup tertentu dari masyarakat, pride, aau kelompok tertentu.”
jika kita melihat perkembangan yang ada di Madura dengan memaki definisi ini, berarti kita tidak mesti
memikirkan faktor intlektual dan estetisnya, namun perkembangan sastra, hiburan, olah raga, dan
upacara ritus religiusnya
Ketiga, wililiam menyatakan budaya bisa merujuk kepada ”karya dan praktek-praktek intlektual,
terutama aktivitas atistik” karna dengan praktek-peraktek itulah, fungsi dan nilai bisa ditunjukkan, ada
proses produksi, ada proses menciptakan makna tertentu. Defininisi budaya trakir ini mngarah pada apa
yang disebut kaum strukturalis dan postruktualis sebagai ”praktek-praktek penandaan” (signifying
practices). Dengan melihat beberapa definisi tersebut kita mngin bisa melihat bebrapa contoh dari
beberapa budaya yand ada di Madura
Dari beberapa uraian tentang definisi maka kita bisa melihat kedalam, apakah carok masuk dalam kata
gori yang disebut oleh Williams atau tidak. Williams menyebutkan bahwa budya adalah sebuah proses
intlektual, spritual dan etis—dan bagaimana dengan carok itu sendiri. Apakah carok memiliki unsur
keintlektualan, apakah juga didalamnya terdapat unsur spritual dan etis, kalau tidak ada maka anggapa
orang yang mengklaim carok sebagaibudaya madura gugur dengan sendirinya
Apa yang terjadi carok seperti yang telah disinggung di atas bahwa dalam carok tidak unsur
budaya, carok hanya
Apakah tradisi itu budaya..? teradisi bukanlah budaya, karna teradisi hanya sebuah rutinitas
masyarakat, dimana dalam tradisi itu sendiri masih belum ada sebuah kesepakat dan penilaiyan
baik/buruk. Tradisi lingkupnya lebih mengarah pada individu, dan tidak akan dikenakan sangsi apa pun
bagi yang tidak melakukan tradisi itu sendiri. Contoh kecil adalah tradisi orang Madura, membuang
sebagian nasi yang diperolah dari selamatan orang mati, hajatan ketika baru baru datang dari hajatan,
atau selamatan orang mati, dengan unka ataau hajatan tertentu.. Membuang sebagian nasi merupakan
tradisi orang madura, namun dalam tradisi ini hanya sebagian orang yang mengikuti atau
melaksanankan. Bagi anak muda tradisi membuang nasi kini jarang dilakukan karna tak ada sangsi apa
pun terhadap orang yang melanggar tradisi tersebut. Lain halnya dengan budaya
Apa yang terjadi carok seperti yang telah disinggung di atas bahwa dalam carok tidak unsur budaya.
Sementara budaya merukan sebuah subsistem yang menjadi panutan pandangan bahkan jika orang
tidak melakukan hal itu diklaim sebagain orang yang tidak baik, atau akan termarjinalkan oleh
masysrakat. Taradisi bukan budaya, namun budaya merupakan sebuah tradisi, rutinitas masyarakat dan
bagi yang mengingkarinya akn dikenakan sangsi moral. Contoh penyambutan tamu. Orang madura
memiliki solidaritas, dan penghargaan yang tinggi terhadap tamu, dan itu merupakan budaya orang
Madura. Jika ada orang yang tidak menyambut tamu dengan baik maka dia dianggap tidak sopan oleh
orang lain, ada sangsi moral tersendiri
Lalu bagai mana dengan carok, apakah carok itu budaya. Sepintas pandangan di atas bisa memberikan
sebuah pandangan sebagai jawab awal. Kemudian kita melangkah sedikit, memasuki detail carok itu
sendiri. Memang carok mereupakan bagian dari sekala yang ada di Madura. Orang Madura dengan
letak geografis yang tandus, panas dan gersang, talah membentuk karakter tersendiri terhadap orang-
orang Madura itu sendiri
Dalam cerita rakyat (masyarakat) orang yang bercarok rata-rata mereka memperebutkan salah satu
pasangan wanita, atau mengganggu, mengusik rumah tangga orang. Dari situlah muncul sebuah
tendensi carok, tendensi itu merukan sebuah pengejawantahan, atau pembelaan, agar dia disebut
jentelmen/jantan (laki-laki). Terjadinya carok terkadang karna dorongan terdekat famili, atau sekedar
unjuk gigi dengan kelebihan (kekebalan tubuh) yang dimiliki. Contoh kasus sederhana yang terjadi
pada salah seorang pelajar SMA Rudi, Dia memiliki pacar kemudian pacarnya selingkuh, dengan laki-
laki lain. Pacar Rudi selingkuh dan diketahui teman-temannya, keudian temannya mengadu terhadap
Rudi, disitulah terjadi pnghasutan dan sebagainya, yang pada endingnya Rudi bercarok dengan
selingkuhan pacarnya
Rudi melakukan carok karena dia didorong oleh teman-temannya. Karna dorogan dari temanya itulah
inseden meregangan nyawa itu terjadi, akhirnya Rudi mendekan dalm penjara akibat perbuatannya.
Rudi malakukan bercarok karna dia ingin dipandang sebagai seoranh lelaki yang
jentel/jantan. Carok dilakuakn berdasar keinginan dia sendiri, selingkuhan pacar Rudi tidak ada
maksud untuk bercarok namun dia hanya ditekan leh keadaan dimana Rudi membabi buta denngan
parang yang ia pegang. Kjadian itu tida diinginngan baik oleh lawan Rudi lebih orang lain, atau kedua
orang tua mereka
Sealilagi carok bukanlah budaya sepeti asumsi orang carok hanya sebagian dari kesalapahan presipsi.
Dalam carok tidak ada unsur estitik dan eik. Carok hanya sebuah peristiwa yang muncul dari individu
dan dikecam secara umum oleh masyarakat umum, Madura khususnya. Masyarakat Madura seperti
yang disampaikan guru sewaktu SMA tidak ada istilah carok menjadi budaya madura. Carok dikalim
oleh orang sebagai budaya Madura lantaran kebetulan orang Madura ada yang bercercarok namun
keberadaan iu bukanlah budaya
Banyak hal yang bertentangan, jika carok diklaim atau disebut sebagai budaya. Budaya Madura
khususnya. Karna orang Madura sendiri tidak mengenal ”menganggap” carok sebagai budaya di
Manudura, melainkan sebuah pristiwa biasa, yang tidak ada unsur budaya sedikitpun. Karna
Bagaimana pun carok bertentang dengan adat dan kepercayaan orang Madura. Selain
itu carok bertentangan dengan prundang-undangan yang berlaku di negara kia indonesia.

MEMAHAMI TRADISI CAROK PADA MASYARAKAT MADURA

Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, dan, identitas budayanya itu
dianggap sebagai jati diri individual maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan
berkehidupan masyarakat Madura memegang teguhCarok, Carok adalah pemulihan harga diri
ketika diinjakinjak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, tanah, dan, wanita.
Intinya adalah demi kehormatan. Dalam ungkapan Madura Lebbi Bagus Pote Tollang atembang
Pote Mata. (Lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu)

Penelitian tentang budaya Carok dalam masyarakat Madura sangat menarik untuk dikaji
setidaktidaknya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: pertama bahwa tradisi Carok memiliki
konotasi dan persepektif yang negatif bagi masyarakat luas

Carok diartikan pembunuhan sebagai upaya balas dendam, akan tetapi Carok memiliki makna
yang berbeda bagi masyarakat Madura karena berkaitan dengan pemulihan harga diri.
Berdasarkan adanya benturan makna atas Carok tersebut maka hal ini menarik untuk diangkat
sebagai tulisan dalam penelitian ini. (Singgih, 2008)

Carokmerupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa pada masyarakat Madura.


Penyelesaian tersebut merupakan penyelesaian dengan menggunakan jalur kekerasaan.
Penyelesaian dengan jalan kekerasaan ini sering kali menutup kemungkinan penyelesaian
sengketa secara damai

Dalam kaitan ini tampak bahwa sengketa masyarakat diakhiri dengan memunculkan sengketa
yang lain. Penulis tertarik untuk mengungkap fenomena Carok sebagai salah satu upaya
penyelesaian sengketa yang berbenturan dengan aturan Hukum Negara di Indonesia. Dalam
realitasnya, prilaku dan pola kelompok etnik Madura tampak sering dikesankan atas dasar
prasangka subjektif oleh orang luar Madura

Kesan demikian muncul dari suatu pencitraan yang tidak tepat, baik berkonotasi positif maupun
negatif. Prasangka subjektif itulah yang seringkali melahirkan persepsi dan pola pandang yang
keliru sehingga menimbulkan keputusan individual secara sepihak yang ternyata keliru karena
subjektifitasnya. (Singgih, 2008)

Pemahaman Carok

Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjakinjak oleh orang lain, yang berhubungan
dengan harta, tahta, dan, wanita. Intinya adalah demi kehormatan. Ungkapan etnografi yang
menyatakan, etambang pote mata lebih bagus pote tolang (dari pada hidup menanggung
perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) yang menjadi motivasi Carok. (Mien, 2007)

Semua kasus Carok diawali oleh konflik, meskipun konflik tersebut dilatar belakangi oleh
permasalahan berbeda (kasus masalah perempuan, kasus lainnya tuduhan mencuri, perebutan
warisan, pembalasan dendam), semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu
perasaan malo karena pelecehan harga diri (martabat)

Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melekukan Carok, yang ternyata selalu
mendapat dukungan dari lingkungan sosial. Apapun cara Carok yang dilakukan, semua
pelaku Carok yang berhasil membunuh musuhnya menunjukkan perasaan lega, puas, dan bangga

Pengertian harga diri (martabat) dalam kaitannya dengan perasaanmalo yang ditimbulkannya
ketika terjadi pelecehan, kedua hal ini merupakan faktor pemicu utama orang Madura
melakukan Carok, selain faktor lainnya(A. Latief, 2002)
Begitu pula kasus Carok lain yang terjadi di Madura, selalu bersumber dari perasaan malo tidak
selalu hanya muncul secara sepihak, tapi adakalanya pada kedua pihak. Salah satu contoh kasus
adalah Carok yang melibatkan Kamaluddin dan Mokarram ketika melawan Mat Tiken

Kamalludin merasa malo karena tindakan Mat Tiken yang mengganggu istrinya dimaknai sebagai
pelecehan terhadap harga dirinya sebagai seorang suami, oleh karena itu, Kamaluddin
merasa malo, kemudian melakukan Carok kepada Mat Tiken. Mokkaram yang ikut membantu
Kamaluddin ketika menghadapi Mat Tiken juga merasa ikutmalo, karena Kamaluddin adalah
saudara sepupunya, yang dalam kategori sistem kekerabatan Madura termasuk dalam
kategori taretan dalem

Cara Kamaluddin dan Mokaram melakukan Carok tersebut, oleh Mat Tiken, dimaknai pula sebagai
pelecehan terhadap harga dirinya sehingga menimbulkan perasaanmalo

Dengan mengacu pada salah satu contoh kasus Carok tersebut, pelecehan harga diri sama artinya
dengan pelecehan terhadap kapasitas diri. Padahal, kapasitas diri seseorang secara sosial tidak
dapat dipisahkan dengan peran dan statusnya dalam struktursosial

Peran dan status sosial ini dalam prakteknya tidak cukup hanya disadari oleh individu yang
bersangkutan, tetapi harus mendapat pengakuan dari orang atau lingkungan sosialnya. Bahkan,
pada setiap bentuk relasi sosial antara satu orang dan yang lainnya harus saling menghargai
peran dan status sosial masingmasing akan tetapi, ada kalanya hal ini tidak dipatuhi

Bagi orang Madura, tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari peran dan
sosial pada gilirannya timbullah perasaan malo. Dalam bahasa Madura, selain kata malo, juga
terdapat kata todus, yang dalam bahasa Indonesia selalu diterjemahkan sebagai malu

Dalam konteks kehidupan sosial budaya Madura, antara malo dan todus mempunyai pengertian
yang sangat berbeda. Malo bukanlah suatu bentuk lain dari ungkapan perasaan todus(A. Latief,
2002)

Anda mungkin juga menyukai