Anda di halaman 1dari 3

SINOPSIS NOVEL LOVE FOR IMPERFECT THINGS: HAEMIN SUNIM

“Kebebasan sejati berarti terbebas dari rasa gelisah dan ketidaksempurnaan” –


Sangchan, Master Zen abad ke-6.

Banyak dari kita menganggap bahwa hidup sekaan-akan semuanya baik-baik saja.
Kita kerap mengabaikan masalah, memendam perasaan negatif, tertekan akan tuntutan untuk
menjadi orang baik dengan standar manusia lain, yang akibatnya kita justru merasa cemas
atau depresi. Beberapa di antara kita melampiaskan perasaan dengan cara bekerja lebih keras
di kantor, di sekolah, atau di rumah, dan berharap itu semua akan membuat diri kita dan
orang yang kita cintai lebih bahagia.

Bab satu ( Memelihara Diri). Pada bab satu ini, Haenim Sunim membagi menjadi sub
bab, sub bab pertama dengan judul sub “Jangan Menjadi Terlalu Baik”. Haenim Sunim
merupakan seorang yang introvert dan selalu berusaha berbuat baik, mengabaikan serta tidak
memvalidasi perasaan-perasaan yang ada pada dirinya, bagaimana ia dituntut harus selalu
menjadi baik, rela berkorban dan tanpa sadar mendahulukan kepentingan orang lain sebelum
kepentingannya. Namun poin utama dalam sub bab ini, mengajak pembaca untuk berbuat
baik kepada diri sendiri terlebih dahulu. Haenim Sunim membuat sebuah pengingat yaitu:
“Apa yang kita rasakan bukanlah sesuatu yang bsia dikesampingkan begitu saja, melainkan
sesuatu yang sangat penting. Perasaan dalam diri kita tidak akan hilang dengan mudahnya
hanya karena kita telah menekan atau mengabaikannya”. Serta yang terpenting adalah disaat
kita merasa berbuat baik pada orang lain itu baik, tetapi jangan lupa kita juga wajib berbuat
baik kepada diri sendiri lebih dahulu.

Pada sub bab kedua, Haenim Sunim bertemu dengan teman lamanya semasa kuliah
saat berkunjung ke Australia dan membicarakan perasaannya dengan bebas. Ia bursama
teman lama tidak perlu menampilkan kepribadian buatan, Ia bisa menerima mereka apa
adanya dan menunjukkan dirinya yang sesungguhnya kepada mereka. Ia juga tidak perlu
meyakinkan orang lain bahwa dirinya layak dicintai dengan mengerjakan apa yang mereka
inginkan, Ia makhluk yang berharga dan berhak untuk dicintai.

Bab dua, topik yang dibicarakan adalah keluarga. Pada sub bab ini, Haenim Sunim
bercerita bagaimana Ia yang menyayangi ibunya, disaat ibunya jatuh sakit ia menemaninya
sebulan penuh sebagai bentuk pengabdiannya. Walaupun demikian, Ia selalu mendoakan
orang-orang yang disayanginya meskipun seringkali Ia tidak mengungkapkannya dan
mengira orang tersebut akan mengetahuinya. Pada sub bab berikutnya, Haenim Sunim
menceritakan bagaimana hubungannya dengan sosok ayahnya. Bagaimana Ia cenderung
memiliki perasaan yang lebih sulit dan rumit dalam hubungan dengan ayah dibandingkan
dengan ibu. Haenim menceritakan bahwa hal yang terjadi pada ayahnya karena peristiwa saat
ayahnya bersama kakeknya dahulu harus merasakan pahitnya ditinggalkan.

Bab tiga, topik yang diangkat yakni rasa empati. Haenim beranggapan bahwa di
dalam rasa empati yang besar, ada sebuah tindakan kepada seseorang dengan contoh
berpelukan. Pelukan singkat kepada orang yang dikasihi akan memberikan rasa perlindungan
dari rasa stress yang kita hadapi setiap hari. Kita juga dijarkan bahwa mendengarkan dengan
kesungguhan, kesabaran, dan penuh perhatian merupakan salah satu wujud ungkapan cinta
yang terpenting baginya.

Pada bab empat, Haenim Sunim mengangkat topik hubungan. Pada sub bab pertama,
ia menceritakan hubungannya dengan biksu senior yang membuatnya merasa dituntut akan
suatu pekerjaan. Namun akhirnya, Ia beranggapan bahwa dirinyalah yang sering mengeluh
padahal tugas yang diberikan sangat ringan. Namun pada sub bab kedua, ia merasa dalam
setiap hubungan yang seringkali merasakan kecewa, Ia hanya memendam dan tidak
mengungkapkan rasa kecewanya. Pada akhirnya, Ia sadar bahwa rasa kecewanya kepada
seseorang karena ekpetasi atas orang lain yang tidak terpenuhi.

Bab lima, topik yang dibicarakannya adalah keberanian. Haenim Sunim membuat
keputusan bahwa Ia memilih untuk menjadi biksu, setelah rentetan perjalanan di mana Ia
yang dulu miskin dan dirundung saat SMA, membuatnya bersikukuh untuk mendapatkan
gelar dan menikmati kekayaan atas pekerjaannya. Namun beralih haluan mengabdikan diri
kepada Tuhannya. Ia dicemooh atas pilihan yang dilakukannya, tetapi Haenim Sunim tidak
menyesal atas apa yang dipilihnya.

Pada bab enam, Haenim mengangkat topik pengampunan. Ia menceritakan temannya


semasa SMA memiliki masalah dengan keluarganya, di mana trauma dan rasa depresi pada
temannya membuat Ia dimintai tolong untuk menyembuhkannya. Ia berusaha memberikan
stimulus kepada temannya, bahwa perasann kesal dan amarah seharusnya dirasakan dan
diterima. Namun pada akhirnya, temannya sadar akan apa yang disarankan oleh Haenim
Sunim dan berterima kasih padanya.

Bab tujuh dengan topik pemcerahan. Pada sub bab yang pertama, Haenim
mengunjungi komunitas Budhha yang ada di Perancis. Ia merasa bahwa kehidupan orang-
orang desa terutama para biksu, terasa begitu lambat dibandingkan dengan orang-orang yang
ada di kota. Namun Ia akhirnya menyadari bahwa keterlambatan yang dilakukan oleh orang-
orang desa tersebut karena merasakan kesadaran yang ada di diri mereka.

Pada bab delapan, Haenim mengangkat topik penerimaan. Di mana ia mencoba untuk
melupakan dan menerima suatu ketika ia berada pada masalah yang membuatnya ada dititik
terendah hidupnya. Ia berusaha menerima energi negatif yang ada pada dirinya hingga
ketenangan batin yang ia dapatkan.

Anda mungkin juga menyukai