Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

RESUSITASI CAIRAN PADA LUKA BAKAR

Disusun oleh:

Rismah Yunita Abdal

Pembimbing:

dr. Ati Nurchaeni, Sp.An

dr. Ignatius A.T Sampurna, Sp.B

Pendamping:

dr. Maryam Hasan, MM.

dr. Devi Gandatama, Sp.OG(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS INTERNSHIP


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
RSUD JAILOLO
2023
REFERAT

RESUSITASI CAIRAN PADA LUKA BAKAR

Disusun oleh:

Rismah Yunita Abdal

Pembimbing:

dr. Ati Nurchaeni, Sp.An

dr. Ignatius A.T Sampurna, Sp.B

Pendamping:

dr. Maryam Hasan, MM.

dr. Devi Gandatama, Sp.OG(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS INTERNSHIP


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
RSUD JAILOLO
2023 Mengetahui,
Pendamping Internship RSUD Jailolo

dr. Maryam Hasan, MM


NIP. 19710925 2005012009
BAB I

PENDAHULUAN

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik
dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan
mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok)
sampai fase lanjut.1

Luka bakar merupakan salah satu penyebab utama kecacatan dan kematian
di negara berkembang. Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi
para dokter. Luka bakar berat menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang
relatif tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Di Amerika Serikat,
kurang lebih 250.000 orang mengalami luka bakar setiap tahunnya. Dari angka
tersebut, 112.000 penderita luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan
sekitar 210 penderita luka bakar meninggal dunia. Namun, studi epidemologi luka
bakar di Indonesia masih jarang dilaporkan. 2,3,

Kementerian Kesehatan RI tahun 2014 mengungkapkan bahwa luka bakar


menduduki peringkat ke-6 pada luka yang tidak disengaja dengan jumlah 0,7%.
Kisaran 1% populasi Australia dan Selandia Baru (220.000) menderita luka bakar
dan membutuhkan perawatan medis setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 10% dirawat di RS dan tergolong luka bakar berat yang mengancam
jiwa dan 50% dari semua pasien luka bakar tersebut akan mengalami keterbatasan
dalam beraktivitas.3,7
Luka bakar merupakan hal yang umum, namun bentuk cedera kulit yang
sebagian besar dapat dicegah. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar
resusitasi pada trauma dan penerapannya pada saat yang tepat diharapkan akan
dapat menurunkan angka kejadian luka bakar. Prinsip-prinsip dasar tersebut
meliputi kewaspadaan akan terjadinya gangguan jalan nafas pada penderita yang
mengalami trauma inhalasi, mempertahankan hemodinamik dalam batas normal
dengan resusitasi cairan, mengetahui dan mengobati penyulit-penyulit yang
mungkin terjadi. Mengendalikan suhu tubuh dan menjauhkan atau mengeluarkan
penderita dari lingkungan trauma panas juga merupakan prinsip utama dari
penanganan trauma termal.4,5
Melihat besarnya angka insiden dan mortalitas, serta dampak yang
ditimbulkan oleh luka bakar, maka dokter umum perlu memahami dan dapat
melakukan tatalaksana awal kasus luka bakar. Luka bakar biasanya dinyatakan
dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar. Beratnya luka bakar
tergantung pada dalam, luas, dan letak luka bakar itu sendiri. Selain itu, beratnya
luka bakar, umur serta keadaan kesehatan penderita sebelumnya berkontribusi
terhadap prognosis.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Luka bakar merupakan bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas atau suhu tinggi (seperti api, air panas,
bahan kimia, listrik, radiasi, atau gesekan akibat objek yang bergerak sangat cepat)
atau suhu yang sangat rendah. Luka bakar adalah trauma yang dapat menyerang
siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Luka bakar dapat disebabkan oleh gesekan,
dingin, panas, radiasi, bahan kimia atau sumber listrik, tetapi sebagian besar luka
bakar disebabkan oleh panas dari cairan panas, padatan atau api. 1,6

B. Epidemiologi
Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Luka
bakar menyebabkan lebih dari 7,1 juta cedera, kehilangan hampir 18 juta tahun
kehidupan yang disesuaikan dengan kecacatan (disability-adjusted life years/
DALYs), lebih dari 180.000 kematian di seluruh dunia, dan sebagian besar
kematian ini terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMIC) dan
hampir dua pertiganya. terjadi di wilayah Afrika dan Asia Tenggara. 3
Kisaran 1% populasi Australia dan Selandia Baru (220.000) menderita luka
bakar dan membutuhkan perawatan medis setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 10% dirawat di RS dan tergolong luka bakar berat yang mengancam jiwa
dan 50% dari semua pasien luka bakar tersebut akan mengalami keterbatasan
dalam beraktivitas.7
Luka bakar sebesar 70% TBSA menghabiskan biaya $700.000 untuk
tatalaksana akut di rumah sakit, ditambah lagi biaya rehabilitasi, peningkatan
waktu kerja serta berkurangnya penghasilan pasien merupakan jumlah tanggungan
yang besar bagi masyarakat untuk menangani luka bakar. 7
Baik pada dewasa maupun anak anak, umumnya kecelakaan terjadi dirumah.
Pada anak anak >80% terjadi dirumah. Lokasi paling berbahaya adalah dapur dan
kamar mandi. Selain itu, larutan pencuci yang mengandung bahan kimia berbahaya
dan garasi atau gudang berisi bahan kimia dan cairan berbahaya yang mudah
terbakar.7
Lokasi anak (%) Lokasi dewasa (%)
Rumah 82% Rumah 56%
Di luar rumh 12% Tempat kerja 17%
Jalan Raya 3% Jalan raya 11%
Tempat kerja 1% Luar rumah 11%
Insitusi/sekolah 1% Institusi 3%
Lain-lain 1% Lain-lain 2%
Tabel 1. Epidemiologi Luka Bakar

C. Etiologi

Penyebab luka bakar pada dewasa dan anak berbeda. Paparan api merupakan
penyebab tersering pada dewasa sedangkan air panas merupakan penyebab
tersering pada anak. 7

Penyebab luka bakar pada anak (%) Penyebab luka bakar pada dewasa(%)
Air panas 55% Api 44%
Kontak 21% Air panas 28%
Api 13% Kontak 13%
Gesekan 8% Kimia 5%
Listrik 1% Gesekan 5%
Kimia 1% listrik 2%
Lainnya 1% Lainnya 3%
Tabel 2. Penyebab Luka Bakar pada Dewasa dan Anak di Australia, Selandia Baru
2009-2010

The American Burn Association (ABA) National Burn Repository 2019


melaporkan bahwa, secara keseluruhan, luka bakar akibat api masih menjadi
mayoritas cedera di AS (41%), dengan luka bakar kedua sebesar 31%. Cedera kimia
(3,5%) dan luka bakar listrik (3,6%) lebih jarang terjadi1. Luka bakar pada anak-
anak.6

Luka bakar dapat dikelompokkan menurut panas, kimia, listrik, dan radiasi.
Luka bakar termal yang terjadi dengan efek langsung lumpuh dengan panas tingkat
tinggi, kontak dengan benda panas, cairan panas, atau uap panas sering terlihat.
Lamanya kontak dan derajat temperatur menentukan derajat kerusakan sel. Luka
bakar kimia karena garam dan larutan asam atau alkali dapat menyebabkan luka
bakar karena efek korosif dari zat ini. Selain itu, luka bakar juga dapat berkembang
karena arus listrik, radiasi, ultraviolet, dan sinar laser. Luka bakar serius akibat
lumpuhnya senjata, bahan peledak, dan bahan mudah terbakar dapat terjadi selama
peperangan.8
D. Patofisiologi
Efek lokal terhadap termal atau panas pada kulit dan jaringan subkutan terlihat dari
tiga zona kerusakan hasil eksperimental model luka bakar oleh Jackson (1950).
Termal tidak hanya merusak kulit secara lokal tetapi juga meningkatkan permeabilitas
kapiler sehingga terjadi kebocoran plasma dari kapiler ke interstitial diikuti edema dan
penurunan kadar albumin di sirkulasi. Hilangnya plasma merupakan penyebab syok
hipovolemik pada luka bakar.

Gambar 1. Patofisiologi Luka Bakar

1. Respon Lokal pada Cedera Luka Bakar


Daerah yang paling dekat dengan sumber panas tidak dapat dikonduksikan
secara cepat dan baik sehingga terjadi koagulasi atau penggumpalan protein sel
dan berdampak pada kematian sel yang cepat. Zona sentral dengan kematian
jaringan ini disebut zona koagulasi atau zona nekrosis.7
Gambar 2. Luka Bakar Model Jackson

Di sekitar zona koagulasi, terdapat zona statis yang area jaringan


kerusakannya tidak separah zona koagulasi dalam menghasilkan kematian sel
langsung, tetapi terjadi gangguan sirkulasi di daerah kulit dan jaringan
subkutan. Apabila tidak diobati, zona ini akan mengalami nekrosis karena
reaksi inflamasi berlangsung di bawah pengaruh mediator inflamasi yang
diproduksi karena respon jaringan terhadap cedera. Secara klinis, hal ini terlihat
sebagai perkembangan kedalaman luka bakar. Ini menghasilkan fenomena
daerah luka bakar yang tampak viable pada awalnya tapi kemudian (3-5 hari
setelah terbakar) menjadi nekrotik. 7
Di sekitar zona stasis terdapat zona dengan kerusakan jaringan yang
menyebabkan pelepasan mediator-mediator inflamasi sehingga terjadi
vasodilatasi. Zona ini dikenal dengan zona hiperemia. Dengan adanya
vaskularisasi pada zona ini menyebabkan jaringan kembali normal. Dalam luka
bakar yang mencakup lebih dari 10% pada anak-anak atau 20% pada orang
dewasa dari total luas permukaan tubuh (TBSA), zona hiperemia mungkin
melibatkan hampir keseluruhan tubuh. 7
Kontribusi dari ketiga zona ini (Nekrosis, Stasis dan Hiperemia) terhadap
keseluruhan luka bakar tergantung pada keadaan luka bakar itu sendiri.
Terkadang, zona stasis termasuk pertengahan dermis, namun compromise
vaskular progresif memperluas zona nekrosis yang menghasilkan luka bakar
dalam. Hal ini sangat mungkin terjadi pada pasien lanjut usia dan pada pasien
tersebutdi mana penanganan yang tepat untuk syok post terbakar dan sepsis tidak
dilakukan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa waktu yang tepat serta perawatan
luka darurat yang efektif dari pasien yang terbakar dapat meningkatkan
penyembuhan luka.7

2. Respon Umum pada Cedera Luka Bakar


1. Pertukaran Kapiler Normal7
Zat melewati dinding kapiler dengan salah satu dari tiga cara: difusi, filtrasi,
dan transportasi molekuler besar
a. Difusi adalah mekanisme pengalihan partikel sangat kecil seperti oksigen,
karbon dioksida atau sodium.
Hal ini menyiratkan bahwa partikel-partikel melintasi dindingkapiler
(membran) dengan mudahdanbergerak ke arah konsentrasi ("menurun"
dari yang lebih terkonsentrasi ke kurang).
b. Filtrasi adalah mekanisme transfer air dan beberapa zat lainnya.Jumlah air
yang disaring melalui kapiler tergantung pada kekuatan yang mendorong
masuk dan keluardinding kapiler, serta faktor-faktor di dinding kapiler.
Kekuatan yang menyebabkan pergerakan melewati dinding kapiler
dirangkum oleh Hipotesis Starling.
c. Transpor molekul besar kurang dipahami dengan baik. Molekul besar
mungkin melintasi dinding kapiler kebanyakan dengan melewati ruang
antara sel endotel. Kapiler cukup tahan terhadap molekul besar itulah
sebabnya mengapa disebut "semipermeabel"(mudah menyerap air dan
partikel kecil seperti Na, Cl, namun relatif kedap molekul besar seperti
albumin).
2. Peningkatan Permeabilitas Kapiler7
Perubahan ini disebabkan oleh mediator inflamasi yang dilepaskan oleh
sel endotel yangrusak, olehtrombosit, dan oleh leukosit.
3. Efek Luka Bakar di Seluruh Tubuh
Terdapat perubahan pada hampir semua sistem organ dalam tubuh setelah
luka bakar. Luka bakar <20% TBSA efeknya mungkin tidak signifikan.
Penyebab dari perubahannya adalah lepasnya mediator inflamasi dan
stimulasi saraf sehingga terjadi perubahan dalam pengendalian fungsi tubuh
sertareaksi langsung pada beberapa organ tubuhuntuk mensirkulasikan
mediator. Luka bakar menyebabkan gangguan sirkulasi sistemik, gangguan
metabolisme, pengendalian suhu, status imun, gangguan paru dan gangguan
pertumbuhan jangka panjang.7

E. Klasifikasi
 Berdasarkan Luas Luka Bakar
Patokan yang masih dipakai dan diterima luas mengikuti Rules of Nines dari
Wallace. Luka bakar yang terjadi pada daerah muka dan leher jauh lebih
berbahaya daripada luka bakar di tungkai bawah dan harus waspada terhadap
timbulnya obstruksi jalan napas.10,12
Perhitungan Rules of nines relatif akurat untuk orang dewasa, namun tidak
akurat untuk anak-anak karena anak-anak secara proporsional memiliki kepala
dan bahu lebih besar dibandingkan dewasa. 10,12

Gambar 3. Rule of Nine pada dewasa

Sedangkan untuk mengestimasi luas luka bakar pada luka bakar yang tidak
luas dapat menggunakan area palmar (jari dan telapak tangan) dari tangan
pasien yang dianggap memiliki 1% total body surface area (TBSA). Metode ini
sangat berguna bila pasien memiliki luka bakar kecil yang tersebar sehingga
tidak dapat menggunakan metode “Rule of Nine”.10,12
Gambar 4. Palmar area untuk estimasi luka bakar kecil

Penggunaan “Rule of Nine” sangat akurat untuk digunakan pada pasien


dewasa, namun tidak akurat bila digunakan pada pasien anak. Hal ini
disebabkan karena proporsi luas permukaan tubuh pada anak sangat berbeda
dengan pasien dewasa. Anak-anak memiliki proporsi paha dan kaki yang kecil
dan bahu dan kepala yang lebih besar dibandingkan orang dewasa. Oleh karena
itu, penggunaan “Rule of Nine” tidak disarankan untuk pasien anakanak karena
dapat menghasilkan estimasi cairan resusitasi yang tidak akurat. Penggunaan
“Pediatric Rule of Nine” harus digunakan untuk pasien anak dengan luka bakar.
Namun setiap peningkatan umur pada anak, persentasi harus disesuaikan. Setiap
tahun setelah usia 12 bulan, 1% dikurangi dari area kepala dan 0,5%
ditambahkan pada dua area kaki anak. Setelah anak mencapai usia 10 tahun,
tubuh anak sudah proporsional sesuai dengan tubuh dewasa. 7,10,12

Gambar 5. Rule of Nine Pediatric untuk umur 1 dan 4 tahun

 Berdasarkan Kedalaman Luka Bakar


Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat
7,10
panas sumber, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita.
1. Luka Bakar derajat I
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superficial), kulit
hiperemis berupa eritema, tidak dijumpai bullae, terasa nyeri karena ujung-
ujung saraf sensorik teriritas. Penyembuhan terjadi secara spontan tanpa
pengobatan khusus.
2. Luka Bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi
inflamasi disertai proses eksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung
saraf sensorik teriritasi.
a. Derajat II dangkal / (Superficial) IIA
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari
corium/dermis. Organ-organ kulit seperti folikel (rambut, kelenjar
keringat, kelenjar sebasea masih banyak. Semua ini merupakan benih-
benih epitel. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14
hari tanpa terbentuk sikatrik.
b. Derajat II dalam / Deep (IIB)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa-sisa
jaringan epitel tinggal sedikit. Organ-organ kulit seperti folikel rambut,
kelenjar keringat, kelenjar sebasea tinggalsedikit. Penyembuhan terjadi
lebih lama dan disertai parut hipertropi. Biasanya penyembuhan terjadi
dalam waktu lebih dari satu bulan.
3. Luka Bakar derajat III:
Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam
sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit mengalami
kerusakan, tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai bullae, kulit yang
terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucat sampai berwarna hitam kering.
Terjadi koagulasi protein pada epidermis yang dikenal sebagai eskar. Tidak
dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung-ujung sensorik rusak,
penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.
 Berdasarkan Derajat dan Luas Kulit Terkena
1. Luka bakar ringan
Disebut ringan jika terdapat luka bakar derajat II seluas <15% pada
dewasa dan <10% pada anak atau derajat III seluas <1%.
2. Luka bakar sedang
Luka bakar sedang adalah luka bakar derajat II seluas 15-25% pada
dewasa dan 10-20% pada anak atau derajat III seluas <10%.
3. Luka bakar berat
Merupakan luka bakar derajat II seluas >25% pada dewasa dan >20%
pada anak atau derajat III seluas >10% atau mengenai wajah, telinga, mata,
kaki, alat kelamin/ perineum, atau akibat listrik tegangan tinggi (>1000V)
atau dengan cedera inhalasi dan trauma lainnya. 7,10

F. Pemeriksaan Emergensi

Penilaian cepat dan penanganan awal pada korban luka bakarsangat penting
untuk menyelamatkan nyawa. Berapa pun luas luka bakarnya, pasien akan
dikategorikan ke dalam salah satu dari dua kategori; cedera non-luka bakar yang
terlihat jelas dan tersembunyi. 7

Riwayat perjalanan kejadian luka bakar harus diperhatikan untuk mengetahui


cedera lain yang mungkin terjadi:7

- Kecelakaan lalu lintas jalan raya, terutama dengan kecepatan tinggi


- Ledakan
- Cedera listrik, terutama tegangan tinggi
- Melompat atau terjatuh saat melarikan diri

Pasien yang tidak komunikatif, baik yang tidak sadar, intubasi, psikotik, atau di
bawah pengaruh zat-zat tertentu, harus dianggap berpotensi mengalami cedera yang
lain dan ditata laksana dengan tepat.7
Setelah pertolongan pertama diberikan sesegera mungkin, dilanjutkan dengan
prinsip-prinsip survei primer dan sekunder dan resusitasi simultan. Petugas medis
harus mengenakan alat pelindung diri (APD) seperti sarung tangan, kacamata dan
apron sebelum menemui pasien.7

Pertolongan Pertama
Pertolongan pertama efektif pada tiga jam pertama dari waktu kejadian
terjadinya luka bakar. Terdiri dari:7
a. Menghentikan proses terbakar
Pada luka bakar api, penderita berguling di tanah secara aktif maupun pasif
menerapkan Stop, Drop, Cover (face) & Roll technique. Pakaian yang
terbakar harus segera dilepaskan secepat mungkin. 7
b. Menurunkan suhu luka
Permukaan luka harus diturunkan suhunya menggunakan air mengalir guna
meredam reaksi inflamasi dan menghentikan progres kerusakan zona stasis.
Suhu ideal adalah 15oC atau berkisar antara 8oC sampai 25oC. Caranya dapat
dengan menyemprotkan air.7,9

Gambar 5. Struktur ESMB

Primary Survey
Pada kondisi yang mengancam kehidupan lakukan identifikasi dan
manajemen darurat. Jangan terganggu oleh luka bakar. 7
a. Airway maintanance dengan fiksasi tulang belakang servikal
b. Breathing dan ventilasi dengan pemberian oksigen
c. Circulation dengan kontrol perdarahan dan pasang akses intravena
d. Disability- periksa status neurologis
e. Exposure pengendalian lingkungan dan estimasi TBSA/luas luka bakar
A. Airway Maintenance dengan Kontrol Tulang Belakang Cervical
Periksa apakah jalan napas paten, paling mudah dengan berbicara
kepada pasien. Jika jalan nafas tidak paten, bersihkan saluran napas dari
bahan asing dan buka saluran napas dengan chin lift/ jaw thrust. Hindari
gerakan tulang belakang servikal seminimal mungkin dan jangan
diposisikan hiperfleks atau hiperekstensi kepala dan leher.7
Kontrol cervical spine (paling baik dengan rigid collar). Cedera di
atas klavikula, seperti cedera pada wajah atau pasien tidak sadar, sering
dikaitkan dengan fraktur servikal.7
B. Breathing dan Ventilasi
- Periksa dada dan pastikan ekspansi dada cukup dan sama.
- Selalu berikan oksigen tambahan -100% aliran tinggi (15 l/ menit) melalui
NRM.
- Jika diperlukan ventilasi melalui bag and mask atau intubasi pasien jika
perlu.
- Keracunan karbon monoksida dapat memberi warna cherry pink,dan
pasien tidak bernafas.7
C. Circulation dengan Haemorrhage Control
- Berikan tekanan pada titik perdarahan
o Pucat terjadi akibat kehilangan 30% volume darah.
o Terganggunya mental terjadi saat kehilangan 50% volume darah.
- Periksa denyut nadi sentral - apakah kuat atau lemah?
- Periksa tekanan darah
- Capillary refill time (di pusat dan perifer) -normalnya adalah ≤2 detik. Jika
CRT lebih lama menunjukkan hipovolemia atau kebutuhan akan
escharotomy pada anggota badan tersebut; periksa anggota badan lain7
D. Disability: Status Neurologis
- Menentukan tingkat kesadaran:
A- Alert
V- Respon terhadap rangsangan vokal (Vocal)
P - Merespon rangsangan nyeri (Pain)
U- tidak responsif (Unresponsive)
- Periksa respon pupil terhadap cahaya.
- Ingatlah bahwa hipoksemia dan syok dapat menyebabkan kegelisahan dan
penurunan tingkat kesadaran.7
E. Exposure with Environmental Control
- Lepas semua pakaian dan aksesoris termasuk cincin dan arloji
- Log roll pasien untuk memvisualisasikan permukaan posterior
- Jaga agar pasien tetap hangat
- Area yang terbakar diperkirakan dengan menggunakan metode Rule of
Nines atau palmar (Rule of One's) .7

Secondary Survey
Secondary survey merupakan pemeriksaan menyeluruh, pemeriksaan dari
kepala hingga kaki setelah kondisi yang mengancam jiwa telah ditata laksana.
Riwayat: 7
A – Alergi
M – Medication (Pengobatan)
P– Past illness(penyakit masa lalu)
L– last meal(makan terakhir)
E - Events / Environment yang berkaitan dengan cedera
Mekanisme Cedera
Harus diperoleh informasi mengenai interaksi antara orang dan
lingkungannya selengkap-lengkapnya. Pada kasus luka bakar, informasi yang
harus didapat:7
- Jangka waktu pemaparan
- Jenis pakaian yang dipakai
- Suhu dan sifat cairan jika luka bakar cairan
- Pertolongan pertama yang dilakukan
Re-evaluate
Evaluasi ulang primary survey – khususnya pernapasan, Insufisiensi
sirkulasi perifer, penurunan neurologis, resusitasi cairan yang adekuat,
meninjau hasil radiologi, dan perhatikan warna urin untuk haemochromogen.7

F. Resusitasi Cairan

Pada luka bakar, terjadi sekuestrasi cairan ke daerah cedera dan proses ini dapat
menjadi sistemik ketika luas luka bakar >20% luas permukaan tubuh. Edema
sistemik menyebabkan berkurangnya volume plasma secara signifikan. Hilangnya
volume sirkulasi ini ditambah adanya evaporative loss pada permukaan luka bakar
yang lembab. Hal ini akan menyebabkan hypovolemia intravascular manakala tidak
dikoreksi, akan memicu terjadinya kegagalan system organ, khususnya gagal
ginjal.7,10
Luas Luka bakar digambarkan pada burn body chart dan dihitung menggunakan
rule of nines. Bila estimasi luas luka bakar >10% pada anak atau >20% pada dewasa
maka diperlukan resusitasi cairan intravena. Resusitasi cairan diberikan dengan
tujuan preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh darah
vaskular regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap organ
sistemik. Dengan adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan
stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik dalam persiapan
menghadapi intervensi bedah seawal mungkin. 7
Luas luka bakar dikalkulasi menggunakan rule of nines. Jika memungkinkan
timbang berat badan pasien atau tanyakan saat anamnesis. Data-data ini sangat
diperlukan untuk menghitung menggunakan formula resusitasi cairan yaitu
Parkland formula modifikasi.7

Formula Parkland Modifikasi: 3 ml Kristaloid x kgBB x %TBSA

Perhitungan kebutuhan cairan dilakukan pada waktu pasien mengalami trauma


luka bakar, bukan saat pasien datang. Disarankan menggunakan cairan RL, 50%
total perhitungan cairan dibagi menjadi 2 tahap dalam waktu 24 jam pertama. Tahap
I diberikan 8 jam dan tahap 2 diberikan 16 jam setelahnya. Cairan harus diberikan
menggunakan 2 jalur IV line (ukuran 16 G untuk dewasa), diutamakan untuk
dipasang pada kulit yang tidak terkena luka bakar. 7,10,12

Penurunan kecepatan resusitasi menjadi separuhnya setelah 8 jam berhubungan


dengan terjadinya perbaikan permeabilitas vaskuler sekitar 8-10 jam setelah trauma
luka bakar. Tujuan dari pemberian resusitasi cairan adalah untuk memberi
kebutuhan cairan minimal untuk mempertahankan perfusi jaringan disamping
mempertahankan fungsi fisiologis vital.
Untuk pasien anak dengan prinsip yang sama menggunakan parkland formula
modifikasi + Cairan Rumatan : 3 ml x kgBB x %TBSA dan ditambah rumus
maintenance. Anak yang berpuasa beresiko untuk terjadi hipoglikemi karena
terbatasnya cadangan glikogen. Untuk mencegah hipoglikemi, anak yang
memperoleh cairan resusitasi juga mendapat cairan maintenance yang mengandung
glukosa dengan kecepatan tetap tiap jam. Cairan maintenance untuk anak di hitung
per ml/kg/jam menggunakan. 7,10,12

4 ml/kg/jam sampai 10 kg

2ml/kg/jam dari 11-20 kg

1 ml/kg/jam untuk setiap kg >20 kg

Rekomendasi terbaru pilihan cairan maintenance adalah NaCl 0,9% (normal)


saline dengan dekstrose 5%. Pilihan ini bertujuan untuk menurunkan resiko
hiponatremia iatrogenic karena pemberian cairan hipotonik dengan air bebas yang
berlebihan. Hal ini menggambarkan perubahan dari rekomendasi sebelumnya, dan
merupakan respon terhadap perkembangan penelitian untuk mendukung
penggunaan NaCl 0,9% (normal saline), atau kristaloid yang sama tonisitasnya
untuk cairan maintenance pada anak yang sakit.7

Formula 4ml/ KgBB/ %TBSA diberikan pada pasien dengan trauma inhalasi,
full thickness injury, trauma multipel, trauma listrik, dan pasien yang terlambat di
resusitasi (delayed resuscitation). 12

Resusitasi cairan, tanpa memperhatikan jenis cairan yang dipakai dan


banyaknya estimasi cairan yang diperlukan, harus mencapai target Urine Output
(UO) sebanyak 0.5ml/kgBB/jam = 30-50 ml/jam pada dewasa dan 1.0ml/kgBB/jam
pada anak.7

Dalam 24 jam kedua post trauma, cairan koloid dapat digunakan untuk
membantu mengembalikan volume formula.7

Pemilihan cairan resusitasi yang digunakan adalah yang dapat secara efektif
mengembalikan volum plasma pada pasien tanpa munculnya efek samping. Cairan
kristaloid, hipertonik dan koloid sering diganakan untuk memenuhi tujuan ini.10
1. Kristaloid
Kristaloid merupakan larutan yang terdiri dari garam mineral serta dapat
ditembus secara bebas melalui membran sel. Ion utama yang menentukan
tonisitasnya adalah natrium dan klorin. Penggunaan terapi cairan intravena
pertama yang dilaporkan, dilakukan oleh Thomas Latta pada tahun 1832 di
mana ia menggunakan larutan garam untuk menyadarkan pasien kolera.
Sepanjang sejarah protokol resusitasi luka bakar, sebagian besar formula
resusitasi menganjurkan penggunaan larutan kristaloid yang seimbang.
Sayangnya tidak ada uji coba terkontrol acak yang cukup besar untuk
menentukan pilihan terbaik untuk cairan resusitasi kristaloid isotonik. 11
Keuntungan utama pemberian kristaloid isotonik adalah redistribusi yang
cepat ke kompartemen cairan ekstravaskular (interstitium), yang membutuhkan
cairan intravena lebih lanjut untuk mempertahankan volume di kompartemen
intravaskular. Selanjutnya, penurunan tekanan onkotik plasma, akibat dari
hemodilusi, menyebabkan kebocoran ekstravaskular dan pembentukan edema.
Kekhawatiran tentang pergerakan terapi cairan kristaloid ini telah memicu
kontroversi terkait mana yang lebih baik, pemberian kristaloid-koloid atau
kombinasinya. Berdasarkan bukti yang ada, dapat disimpulkan bahwa larutan
kristaloid seimbang adalah cairan resusitasi awal yang pragmatis pada sebagian
besar pasien yang sakit akut (dan luka bakar). 11

2. Cairan Hipertonik
Pentingnya ion Na di patofisiologi syok luka bakar telah ditekankan oleh
beberapa studi sebelumnya. Na masuk ke dalam sel sehingga terjadi edema sel
dan hipo-osmolar intravascular volume cairan. Pemasangan infus cairan
hipertonik yang segera telah dibuktikan meningkatkan osmolaritas plasma dan
membatasi edema sel. Penggunaan cairan dengan konsentrasi 250 mEq/L,
Moyer at al. mampu mendapatkan resusitasi fisologis yang efektif dengan total
volume yang rendah dibandingkan cairan isotonic pada 24 jam pertama. Namun
Huang et al. menemukan bahwa setelah 48 jam pasien yang diterapi dengan
cairan hipertonik atau RL memberikan hasil yang sama. Mereka juga
mendemonstrasikan bahwa resusitasi cairan hipertonik berhubungan dengan
peningkatan insidens gagal ginjal dan kematian. Saat ini, resusitasi dengan
cairan hipertonik menjadi pilihan menarik secara fungsi fisiologis sesuai
teorinya, tetapi memerlukan pemantauan ketat dan resiko hipernatremi dan
gagal ginjal menjadi perhatian utama.11,12

3. Koloid
Cairan koloid mengandung molekul besar dalam larutan pembawa (paling
sering kristaloid isotonik). Molekul dengan berat molekul tinggi ini cenderung
tidak bocor ke kompartemen ekstravaskular dan akan meningkatkan tekanan
onkotik plasma saat berada di kompartemen intravaskular.3 Cairan ini secara
teoritis meningkatkan ekspansi volume intravaskular. Ini merupakan kelebihan
utama dibandingkan cairan kristaloid. Formula tradisional menggambarkan
rasio kristaloid: koloid 1: 3 untuk mencapai efek intravaskular yang serupa.
Dalam 15 tahun terkahir ini, banyak minat peneliti untuk memeperbanyak
penggunaan koloid didorong oleh kesadaran morbiditas terkait dengan volume
resusitasi yang tidak tepat dan aliran cairan. 11
Larutan koloid dapat berasal dari bahan alami (berasal dari darah, misalnya
albumin atau plasma beku segar) atau semi-sintetis. Keterbatasan utama untuk
koloid alami karena biayanya yang mahal. Subkelas utamanya adalah
hidroksiletil pati (HES), gelatin dan dekstrans, dengan larutan HES yang paling
umum digunakan. Molekul HES dimetabolisme perlahan, menghasilkan
ekspansi volume intravaskular yang berkepanjangan, tetapi dengan potensi
terakumulasi dalam jaringan retikuloendotel seperti kulit, hati dan ginjal.
Kelemahan koloid alamiah ini adalah efek akibat molekul dengan berat molekul
tinggi yang dikaitkan dengan morbiditas dan insiden gagal ginjal akut
dibandingkan dengan cairan lain.11
BAB III

KESIMPULAN

. Luka bakar dapat disebabkan oleh gesekan, dingin, panas, radiasi, bahan
kimia atau sumber listrik, tetapi sebagian besar luka bakar disebabkan oleh panas
dari cairan panas, padatan atau api.
Luka bakar yang luas mempengaruhi metabolisme dan fungsi setiap sel
tubuh. Semua sistem terganggu terutama sistem kardiovaskuler. Semua organ
memerlukan aliran darah yang adekuat sehingga perubahan fungsi kardiovaskuler
memiliki dampak luas pada daya tahan hidup dan pemulihan pasien. Luas area luka
bakar dapat ditentukan berdasarkan rules of nine. Pada dewasa digunakan rumus
ini, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas
atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan,
serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia.
Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang
dewasa.
Resusitasi cairan diindikasikan bila luas luka bakar > 10% pada anak-anak
atau > 20% pada dewasa. Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi
perfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular regional,
sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap organ sistemik. Dengan adanya
resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat
mungkin kembali ke kondisi fisiologik dalam persiapan menghadapi intervensi
bedah seawal mungkin.
Formula yang digunakan untuk manajemen cairan pada luka bakar mayor
modified Parkland formula.. Sedangkan untuk resusitasi luka bakar yang ideal
adalah mengembalikan volume plasma dengan efektif tanpa efek samping yang bias
digunakan adalah Kristaloid isotonic, cairan hipertonik, dan koloid.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
2. EGC. Jakarta. p 66-88

2. Febrianto R, Farhanah N, Sari Ep. Hubungan Luka Bakar Derajat Sedang Dan
Berat Menurut Kategori American Burn Association Dan Faktor – Faktor Yang
Mempengaruhi Kejadian Sepsis Di Rsup Dr. Kariadi. Jurnal Kedokteran
Diponegoro. Vol. 5 No 4. 2016. p 1526-1534.

3. Ferdianty Fa, Devina S. Epidemiology of Burns Injury in dr. Iskak General


Hospital Tulungagung: Two Years (2017-2018) Retrospective Study. Jurnal
Plastik Rekonstruksi. 2020. Vol 7 No 1 p28-34.

4. RSU Dr. Soetomo, 2004, Pedoman Diagnosa dan Terapi. Rumah Sakit
Dr.Soetomo. Bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam. Fakutas Kedokteran
UniversitasAirlangga Surabaya.

5. Sjamsuhidajat, R., De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ke- 2. EGC,
Jakarta, Indonesia.

6. Jeschke MG, Baar MEV, Choudry MA, dkk. Burn Injury. Article citation.
Disease Primers. 6.11.2020.

7. Emergency Management for Severe Burns Injury (ESMB) Course. 18th


Edition. Australia and New Zealand Burn Association Ltd. 2016.

8. Kara YA. Burn Etiology and Pathogenesis. Chapter 2. 2018.

9. Yesti AC, Senel E, Saydam M, Dkk. Guideline and Treatment Algorithm For
Burn Injuries. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg. Vol. 21 No. 2. March 2015.

10. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Luka
Bakar. No HK.01.07. 555. 2019.

11. Shahara H. Penatalaksanaan Resusitasi Cairan pada Pasien Luka Bakar. Jurnal
Kedokteran Nanggroe Medika. Vol 3 No 3. 2020.

12. Anonim. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Penanganan Luka Bakar.


2016.

Anda mungkin juga menyukai