Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHALUAN
1.1 Latar Belakang
Luka bakar dapat mengakibatkan masalah yang kompleks yang dapat
meluas melebihi kerusakan fisik yang terlihat pada jaringan yang terluka
secara langsung. Masalah kompleks ini mempengaruhi semua sistem tubuh
dan beberapa keadaan yang mengancam kehidupan. Seorang dengan luka
bakar 50% dari luas permukaan tubuh dan mengalami komplikasi dari luka
dan pengobatan dapat terjadi gangguan fungsional, hal ini mempunyai
harapan hidup kurang dari 50%. Sekarang, seorang dewasa dengan luas
luka bakar 75% mempunyai harapan hidup 50%. dan bukan merupakan hal
yang luar biasa untuk memulangkan pasien dengan luka bakar 95% yang
diselamatkan. (http://www.lukabakar.net.htm).
Pengurangan waktu penyembuhan, antisipasi dan penanganan secara
dini untuk mencegah komplikasi, pemeliharaan fungsi tubuh dalam
perawatan luka dan tehnik rehabilitasi yang lebih efektif semuanya dapat
meningkatkan rata-rata harapan hidup pada sejumlah klien dengan luka
bakar serius.
Beberapa karakteristik luka bakar yang terjadi membutuhkan tindakan
khusus yang berbeda. Karakteristik ini meliputi luasnya, penyebab (etiologi)
dan anatomi luka bakar. Luka bakar yang melibatkan permukaan tubuh yang
besar atau yang meluas ke jaringan yang lebih dalam, memerlukan tindakan
yang lebih intensif daripada luka bakar yang lebih kecil dan superficial. Luka
bakar yang disebabkan oleh cairan yang panas (scald burn) mempunyai
perbedaan prognosis dan komplikasi dari pada luka bakar yang sama yang
disebabkan oleh api atau paparan radiasi ionisasi. Djohansjah, M. (2000)
Luka bakar karena bahan kimia memerlukan pengobatan yang
berbeda dibandingkan karena sengatan listrik (elektrik) atau persikan api.
Luka bakar yang mengenai genetalia menyebabkan resiko nifeksi yang lebih
besar daripada di tempat lain dengan ukuran yang sama. Luka bakar pada
kaki atau tangan dapat mempengaruhi kemampuan fungsi kerja klien dan
memerlukan tehnik pengobatan yang berbeda dari lokasi pada tubuh yang
lain. Pengetahuan umum perawat tentang anatomi fisiologi kulit, patofisiologi
luka bakar sangat diperlukan untuk mengenal perbedaan dan derajat luka

bakar tertentu dan berguna untuk mengantisipasi harapan hidup serta


terjadinya komplikasi multi organ yang menyertai. Djohansjah, M. (2000)
Prevalensi luka bakar di Amerika Serikat 2,5 juta / tahun. 12 000 orang
meninggal karna luka bakar dan cedera inhalasi akibat luka bakar. Populasi
yang beresiko

terhadap

luka bakar di antaranya Anak-anak dan usia

lanjut. Remaja laki-laki dan pria usia kerja. Kejadian luka bakar sering
didapat

di

rumah.Kegiatan

yang

bakar: Memasak, Memanaskan

memberikan

atau

resiko

menggunakan

luka
alat-alat

listrik, Kecelakaan industri. 75 % kejadian luka bakar di AS merupakan


akibat perbuatan sendiri. Tersiram air mendidih pada anak-anak yang baru
belajar jalan. Bermain korek api pada anak usia sekolah. Cedera karena
arus listrik pada remaja laki-laki. (Smeltzer & Bare, 2000).
Menurut World Fire Statistics Centre (2008) pada tahun 2003 hingga
2005 tercatat negara yang memiliki prevalensi terjadinya luka bakar terendah
adalah Singapura sebesar 0,12% per 100.000 orang.
Di Indonesia angka kejadian luka bakar cukup tinggi, lebih dari
250 jiwa per tahun meninggal akibat luka bakar. Dikarenakan jumlah anakanak dan lansia cukup tinggi diIndonesia serta ketidak berdayaan
anak-anak danlansia untuk menghindari terjadinya kebakaran, maka usia
anak-anak dan lansia menyumbang angka kematian tertinggi akibat luka
bakar yang terjadidi Indonesia. Pasien mengalami luka bakar diakibatkan
terkena air panas dibagian bokong luas luka bakar > 15% sehingga Luka
bakar yang pasien alami adalah luka bakar grade II yang artinya kerusakan
meliputi epidermis dan sebagian dermis, beupa reaksi inflamasi disertai
proses edukasi, nyeri karena ujung-ujung syaraf teriritasi. Luka bakar pada
pasien ini termasuk dalam Derajat II dangkal (superfisial) yaitu kerusakan
mengenai bagian superfisial dari dermis, Organ-organ kulit seperti
folikel

rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea

penyembuhan

terjadi

spontan

dalam

waktu

masih

utuh,

10-14

hari

(http://www.lukabakar.net.htm).
Berdasarkan catatan journal of burn care and rehabilitation edisi 1992,
diperkirakan ada 2,4 juta kasus luka bakar dalam setahun di Amerika

Serikat. Dari jumlah tersebut ada 650.000 yangditangani oleh ahli medis dan
75.000 ditangani di rumah dan 12.000-nya berakhir dengan kematian (Mer,
2003). Data lain dari the national institute for burn medicine menyebutkan
bahwa sebagian besar pasien luka bakar di Amerika Serikat (75%)
disebabkan kelalaian korban. Penyebab luka bakar antara lain: air panas,
korek api, arus listrik, dan merokok pada penggunaan obat bius dan alkohol
(Smeltzer & Bare, 2000). Penelitian di Belanda menunjukkan 70% kejadian
luka bakar terjadi di lingkungan rumah tangga, 25% di tempat industri, dan
kira-kira 5% akibat kecelakaan lalu lintas.
Penyembuhan luka bakar melalui beberapa fase yakni fase inflamasi,
fase proliferasi, dan fase maturasi. Proses epitelisasi terjadi selama fase
proliferasi. 2 Lapis sel-sel yang mati karena trauma melindungi sel-sel hidup
di lapisan yang lebih dalam dari epitel. Lapis-lapis perbaikan luka terbentuk
dengan adanya integrasi antara kolagen yang disintesis oleh fibroblast
dengan substansi dasar. Selama pemulihan luka,sel-sel pada tepian luka
menggepang menjadi lembaran tipis yang menyebar menutupi celah dalam
epitel. Sedangkan pada tepi luka, pembelahan sel dimulai agak belakangan
untuk menyediakan sel yang diperlukan untuk pemulihan epitel sampai
tebalnya normal. (Smeltzer & Bare, 2000)
Berdasarkan hasil penelitian Shazita Adiba, Secara klinis proses
epitelisasi luka bakar yang dibalut madu berlangsung lebih cepat
dibandingkan luka yang dibalut kasa tulle. Namun secara statistik tidak di
dapatkan perbedaan yang bermakna pada proses epitelisasi luka bakar
derajat dua dangkal (p=0,310) yang diberi madu dan kasa tulle.Prognosis
klien yang mengalami suatu luka bakar berhubungan langsung dengan
lokasi dan ukuran luka bakar. Faktor lain seperti umur, status kesehatan
sebelumnya dan inhalasi asap dapat mempengaruhi beratnya luka bakar
dan pengaruh lain yang menyertai. Madu adalah cairan kental manis yang
dihasilkan oleh lebah. Bahan ini telah lama digunakan sebagai obat, dan
penelititan yang dilakukan pada dekade terakhir telah menunjukkan manfaat
yang besar dari madu.8-10 Selain memiliki efek anti mikroba, madu juga
memiliki

efek

anti

inflamasi

dan

meningkatkan

fibroblastik

serta

angioblastik.11 Analisis mengenai kandungan madu menyebutkan bahwa

unsur terbesar komponen madu adalah glukosa dengan kadar fruktosa


paling besar (76,8%), disamping mineral dan vitamin.12
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan, bahwa yang menjadi judul
dalam makalah ini adalah Luka Bakar ( Combustio).
1.2 Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
Bagaimana Asuhan Keperwatan pada klien dengan Luka Bakar ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan umum dari penulisan ini adalah agar pembaca dan penulis
mampu dan memahami mengenai pasien dengan Luka Bakar dan asuhan
keperawatannya.
1.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan

data

yang

digunakan

adalah

metode

pengumpulan secara empirik dan teoritis berdasarkan dari buku sumber dan
internet.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus
listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang
lebih dalam (Irna Bedah RSUD Dr.Soetomo, 2001).
Luka bakar adalah luka yang disebabkan kontak dengan suhu tinggi
seperti api, air panas, bahkan kimia dan radiasi, juga sebab kontak dengan
suhu rendah (frosh bite). (Mansjoer 2000)

B. Etiologi
1

Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)

a. Gas
b. Cairan
c.

Bahan padat (Solid)

Luka Bakar Bahan Kimia (hemical Burn)

Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)

Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)


Doenges M.E. (2000).

C. Fase Luka Bakar


1.

Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita

akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), brething


(mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gnagguan airway tidak
hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun
masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi
dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian
utama penderiat pada fase akut.
Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik. Doenges M.E.
(2000).

2.

Fase sub akut.


Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi

adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber


panas. Luka yang terjadi menyebabkan:
a.

Proses inflamasi dan infeksi.

b.

Problempenuutpan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau


tidak berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ organ
fungsional.

c.

Keadaan hipermetabolisme.
Doenges M.E. (2000).

3.

Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat

luka dan pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul


pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid,
gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
Doenges M.E. (2000).

D. Klasifikasi Luka Bakar


1.

Berdasarkan kedalaman luka bakar:


a.

Luka bakar derajat I


Luka bakar derajat pertama adalah setiap luka bakar yang di dalam
proses penyembuhannya tidak meninggalkan jaringan parut. Luka
bakar derajat pertama tampak sebagai suatu daerah yang berwarna
kemerahan, terdapat gelembung gelembung yang ditutupi oleh
daerah putih, epidermis yang tidak mengandung pembuluh darah
dan dibatasi oleh kulit yang berwarna merah serta hiperemis.Luka
bakar derajat pertama ini hanya mengenai epidermis dan biasanya
sembuh dalam 5-7 hari, misalnya tersengat matahari. Luka tampak
sebagai eritema dengan keluhan rasa nyeri atau hipersensitifitas
setempat. Luka derajat pertama akan sembuh tanpa bekas. Brunner
and suddart. (2001).

Gambar 1. Luka bakar derajat I


b. Luka bakar derajat II
Kerusakan yang terjadi pada epidermis dan sebagian dermis,
berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi, melepuh,
dasar luka berwarna merah atau pucat, terletak lebih tinggi di atas
permukaan kulit normal, nyeri karena ujungujung saraf teriritasi.
Brunner and suddart. (2001). Luka bakar derajat II ada dua:
1) Derajat II dangkal (superficial)
Kerusakan yang mengenai bagian superficial dari dermis,
apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea masih utuh. Luka sembuh dalam waktu 10-14 hari.
2) Derajat II dalam (deep)
Kerusakan hampir seluruh bagian dermis. Apendises kulit
seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
sebagian masih utuh. Penyembuhan terjadi lebih lama,
tergantung

apendises

kulit

yang

tersisa.

Biasanya

penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.

Gambar 2. Luka bakar derajat II

c. Luka bakar derajat III


Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih
dalam, apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea rusak, tidak ada pelepuhan, kulit berwarna abuabu atau coklat, kering, letaknya lebih rendah dibandingkan kulit
sekitar karena koagulasi protein pada lapisan epidermis dan dermis,
tidak timbul rasa nyeri. Penyembuhan lama karena tidak ada proses
epitelisasi spontan. Brunner and suddart. (2001).

Gambar 3. Luka bakar derajat III

2.

Berdasarkan tingkat keseriusan luka


a. Luka bakar ringan/ minor
1. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
2. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
3. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai
muka, tangan, kaki, dan perineum.
b. Luka bakar sedang (moderate burn)
1. Luka bakar dengan luas 15 25 % pada dewasa, dengan luka
bakar derajat III kurang dari 10 %

2. Luka bakar dengan luas 10 20 % pada anak usia < 10 tahun


atau dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari
10 %
3. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa
yang tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum.
c. Luka bakar berat (major burn)
1. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau
di atas usia 50 tahun
2. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada
butir pertama
3. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
4. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa
memperhitungkan luas luka bakar
5. Luka bakar listrik tegangan tinggi
6. Disertai trauma lainnya
7. Pasien-pasien dengan resiko tinggi.
Marylin E. Doenges. (2000)

E.

Luas luka bakar


Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal
dengan nama rule of nine atua rule of wallace yaitu:
1) Kepala dan leher

: 9%

2) Lengan masing-masing 9%

: 18%

3) Badan depan 18%, badan belakang 18%

: 36%

4) Tungkai maisng-masing 18%

: 36%

5) Genetalia/perineum

: 1%
Total

Marylin E. Doenges. (2000)

: 100%

F.

Berat ringannya luka bakar


Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa
faktor antara lain :

1)

Persentasi area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.

2)

Kedalaman luka bakar.

3)

Anatomi lokasi luka bakar.

4)

Umur klien.

5)

Riwayat pengobatan yang lalu.

6)

Trauma yang menyertai atau bersamaan.


Marylin E. Doenges. (2000)

American college of surgeon membagi dalam:


1.

Parah critical:
a)

Tingkat II

: 30% atau lebih.

b)

Tingkat III

: 10% atau lebih.

c)

Tingkat III pada tangan, kaki dan wajah.

d)

Dengan adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue


yang luas.

2.

3.

Sedang moderate:
a) Tingkat II

: 15 30%

b) Tingkat III

: 1 10%

Ringan minor:
a) Tingkat II

: kurang 15%

b) Tingkat III

: kurang 1%

Marylin E. Doenges. (2000)

10

Psikologis
Imun
Daya tahan tubuh menurun

Patofisiologi (Hudak & Gallo; 1997)

11

MULTI SISTEM ORGAN FAILURE

Perubahan Fisiologis Pada Luka Bakar

Perubahan

Pergeseran

Tingkatan hipovolemik

Tingkatan diuretik

( s/d 48-72 jam pertama)

(12 jam 18/24 jam pertama)

Mekanisme

Dampak dari

Mekanisme

Dampak dari

Vaskuler ke

Hemokonsentrasi

Interstitial ke

Hemodilusi.

12

cairan

insterstitial.

ekstraseluler.
Fungsi renal.

oedem pada

vaskuler.

lokasi luka bakar.


Aliran darah renal

Oliguri.

Peningkatan

berkurang karena

aliran darah

desakan darah

renal karena

turun dan CO

desakan darah

berkurang.

meningkat.

Kadar

Na+ direabsorbsi

sodium/natriu

oleh ginjal, tapi

melalui diuresis

m.

kehilangan Na+

(normal kembali

melalui eksudat

setelah 1

dan tertahan dalam

minggu).

Defisit sodium.

Kehilangan Na+

Diuresis.

Defisit sodium.

cairan oedem.
Kadar

K+ dilepas sebagai

potassium.

akibat cidera

kembali ke

jarinagn sel-sel

dalam sel, K+

darah merah, K+

terbuang

berkurang ekskresi

melalui diuresis

karena fungsi renal

(mulai 4-5 hari

berkurang.

setelah luka

Hiperkalemi

K+ bergerak

Hipokalemi.

bakar).
Kadar

Kehilangan protein

Hipoproteinemia.

Kehilangan

protein.

ke dalam jaringan

protein waktu

akibat kenaikan

berlangsung

permeabilitas.

terus

Hipoproteinemia.

katabolisme.
Keseimbang

Katabolisme

Keseimbangan

Katabolisme

Keseimbangan

an nitrogen.

jaringan,

nitrogen negatif.

jaringan,

nitrogen negatif.

kehilangan protein

kehilangan

dalam jaringan,

protein,

lebih banyak

immobilitas.

kehilangan dari

13

masukan.
Keseimbnag

Metabolisme

Asidosis

Kehilangan

Asidosis

an asam

anaerob karena

metabolik.

sodium

metabolik.

basa.

perfusi jarinagn

bicarbonas

berkurang

melalui diuresis,

peningkatan asam

hipermetabolis

dari produk akhir,

me disertai

fungsi renal

peningkatan

berkurang

produk akhir

(menyebabkan

metabolisme.

retensi produk akhir


tertahan),
kehilangan
bikarbonas serum.
Respon

Terjadi karena

Aliran darah

Terjadi karena

Stres karena

stres.

trauma,

renal berkurang.

sifat cidera

luka.

peningkatan

berlangsung

produksi cortison.

lama dan
terancam
psikologi
pribadi.

Eritrosit

Terjadi karena

Luka bakar

Tidak terjadi

Hemokonsentrasi

panas, pecah

termal.

pada hari-hari

menjadi fragil.

Lambung.

pertama.

Curling ulcer (ulkus

Rangsangan

Akut dilatasi

Peningkatan

pada gaster),

central di

dan paralise

jumlah cortison.

perdarahan

hipotalamus dan

usus.

lambung, nyeri.

peingkatan
jumlah cortison.

Jantung.

MDF meningkat 2x

Disfungsi

14

Peningkatan zat

CO menurun.

lipat, merupakan

jantung.

MDF (miokard

glikoprotein yang

depresant

toxic yang

factor) sampai

dihasilkan oleh kulit

26 unit,

yang terbakar.

bertanggung
jawab terhadap
syok spetic.

Brunner and suddart. (2001).

Penatalaksanaan
A.

Resusitasi A, B, C.

1) Pernafasan:
a)

Udara panas mukosa rusak oedem obstruksi.

b)

Efek toksik dari asap: HCN, NO2, HCL, Bensin iritasi


Bronkhokontriksi obstruksi gagal nafas.

2) Sirkulasi:
gangguan permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler pindah ke
ekstra vaskuler hipovolemi relatif syok ATN gagal ginjal.
B.

Infus, kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka.

C. Resusitasi cairan Baxter.


Dewasa : Baxter.
RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.

Anak: jumlah resusitasi + kebutuhan faal:


RL : Dextran = 17 : 3
2 cc x BB x % LB.

Kebutuhan faal:

15

< 1 tahun : BB x 100 cc


1 3 tahun

: BB x 75 cc

3 5 tahun

: BB x 50 cc

diberikan 8 jam pertama


diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua:
Dewasa

: Dextran 500 2000 + D5% / albumin.

( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
(Albumin 25% = gram x 4 cc) 1 cc/mnt.
Anak

: Diberi sesuai kebutuhan faal.

D. Monitor urine dan CVP.


E.

Topikal dan tutup luka


-

Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan


nekrotik.

F.

Tulle.

Silver sulfa diazin tebal.

Tutup kassa tebal.

Evaluasi 5 7 hari, kecuali balutan kotor.

Obat obatan:
o

Antibiotika

: tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.

Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai

16

hasil kultur.
o

Analgetik

: kuat (morfin, petidine)

Antasida

: kalau perlu

Brunner and suddart. (2001).

G. Terapi Komplementer untuk penanganan luka bakar


1.

Penggunaan Madu
Efek penggunaan madu dan tulle sebagai kontrol terhadap proses
epitelisasi luka bakar derajat dua dangkal dianalisis dengan uji MannWhitney. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak didapatkan perbedaan
yang signifikan antara proses epitelisasi dengan madu dan dengan tulle
sebagai kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan secara klinis proses epitelisasi luka bakar
balut madu lebih cepat dibandingkan dengan balut kasa tulle. Namun
secara staistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada proses
epitelisasi luka bakar derajat dua dangkal yang dibalut madu dan kasa
tulle.
Alasan yang dapat menjelaskan perbedaan ini adalah jenis madu yang
digunakan. Kualitas madu bagi penyembuhan luka sangat dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain, komposisi nektar, jenis bunga, cuaca
dan iklim, cara pengolahan, dan beberapa faktor lain. Sebagian besar
peneliti tidak menyebutkan jenis madu yang digunakan. Tetapi bila
dilihat dari tempat pelaksanaan penelitian, sebagin besar dilakukan di
negara sub-tropis, dimana kelembaban udara jauh lebih rendah dan
memiliki jenis tanaman yang berbeda dengan daerah tropis sehingga
berdampak pada kandungan madu dan manfaatnya di bidang medis.
Berbagai penelitian terdahulu menyebutkan bahwa madu efektif sebagai
alternatif pengobatan untuk berbagai macam luka termasuk luka bakar.
Namun tidak dijelaskan bagaimana peranan madu dalam proses
penyembuhan luka bakar. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui derajat kesembuhan (re-epitalisasi) luka

17

bakar derajat dua dangkal dengan menggunakan madu dan kasa tulle
sebagai media pembalut luka.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN (Brunner And Suddart, (2001).

1.

Pengkajian Primer
Pemeriksaan jasmaninya diarahkan kepada diagnosis cidera yang
mengancam nyawa dan meliputi A, B, C, D, E. Mencatat tanda vital awal
( baseline recording ) penting untuk memantau respon penderita terhadap
terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda tanda vital, produksi urine dan
tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul
bila keadaan penderita mengijinkan
a. Airway
Ada tiga hal utama dalam tahapan airway ini yaitu look, listen dan feel.
Look atau melihat yaitu perawat melihat ada tidaknya obstruksi jalan
napas,

berupa

agitasi:

hipoksemia),

penurunan

kesadaran

(hipercarbia), pergerakan dada dan perut pada saat bernapas,


keburuan pada area kulit perifer dan kuku dan bibir (sianosis), adanya
sumbatan di hidung, posisi leher, keadaan mulut untuk melihat ada
tidaknya darah. Tahapan kedua listen atau mendengar, yang di dengar
yaitu bunyi napas. Ada dua jenis suara napas yaitu suara napas
tambahan obstruksi parsial, antara lain snoring, gurgling, stridor, dan
suara parau (laring), dan yang kedua yaitu suara napas hilang berupa
obstruksi total dan henti napas. Terakhir yaitu feel, pada tahap ini
perawat merasakan aliran udara yang keluar dari lubang hidung
pasien.
b. Breathing
Pada tahap look (melihat), yang dilakukan yaitu melihat apakah pasien
bernapas, pengembangan dada apakah napasnya kuat atau tidak,
keteraturannya, dan frekuensinya. Pada tahap listen (mendengar)
yang di dengar ada tidaknya vesikuler dan suara tambahan napas.
Tahap terakhir yaitu feel merasakan pengembangan dada saat

18

bernapas, lakukan perkusi dan pengkajian suara paru dan jantung


dengan menggunakan stetoscope.
c. Circulation
Pengkajian circulation yaitu berhubungan dengan jantung, peredaran
darah untuk memastikan apakah ada jantung bekerja atau tidak, pada
tahap look atau melihat, yang dilakukan yaitu mengamati nadi saat
diraba. Berdenyut selama beberapa kali permenit, ada tidaknya
sianosis pada ekstremitas, ada tidaknya keringat dingin pada tubuh
pasien, ada tidaknya akral dingin. Pada tahap feel, yang dirasakan
yaitu gerakan nadi saat dikaji (nadi radialis, brakhialis, dan carotis)
d. Disability
Yang dikaji pada tahapan ini yaitu GCS ( glasgow Coma Scale ) dan
keadaan pupil dengan menggunakan penlight. Pupil normal yaitu
isokor, mengecil:miosis, melebar:dilatasi. Dilakukan pemeriksaan
neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran
e. Exsposure
Setelah mengurus prioritas prioritas untuk menyelamatkan jiwanya,
penderita harus diperiksa dari ubun ubun sampai ujung jari jari kaki
sebagai bagian dari mencari cidera.

2.

Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis dapat menggunakan format AMPLE (alergi, medikasi, past
illness, last meal, dan environment). Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala
hingga kaki dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik yang
lebih spesifik sperti foto thoraks dan lain lain.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan
jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya di evaluasi dan
distabilkan secara bersamaan, sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk

19

tanda tanda dan gejala gejala syok. Jangan hanya berpatokan pada
tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok.
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik
secara signifikan hingga pasien kehilangan 30 % dari volume darah.
Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan.
Pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami
takikardi, tanpa memperhatikan drajat syoknya.
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume
darah yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada
pasien hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan
langsung lebih berkaitan pada respon terapi di bandingkan klasifikasi awal.
3.

Pengkajian Umum

a)

Aktifitas/istirahat:
Tanda: Penurunan kekuatan, tahanan; keterbatasan rentang gerak pada
area yang sakit; gangguan massa otot, perubahan tonus.

b) Sirkulasi:
Tanda (dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT): hipotensi
(syok); penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera;
vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan
dingin (syok listrik); takikardia (syok/ansietas/nyeri); disritmia (syok
listrik); pembentukan oedema jaringan (semua luka bakar)

c)

Integritas ego:
Gejala: masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda: ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri,
marah.

d)

Eliminasi:
Tanda: haluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat; warna
mungkin hitam kemerahan bila terjadi mioglobin, mengindikasikan
kerusakan otot dalam; diuresis (setelah kebocoran kapiler dan
mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi); penurunan bising usus/tak ada;

20

khususnya pada luka bakar kutaneus lebih besar dari 20% sebagai
stres penurunan motilitas/peristaltik gastrik.

e)

Makanan/cairan:
Tanda: oedema jaringan umum; anoreksia; mual/muntah.

f)

Neurosensori:
Gejala: area batas; kesemutan.
Tanda: perubahan orientasi; afek, perilaku; penurunan refleks tendon
dalam (RTD) pada cedera ekstremitas; aktifitas kejang (syok listrik);
laserasi korneal; kerusakan retinal; penurunan ketajaman penglihatan
(syok listrik); ruptur membran timpanik (syok listrik); paralisis (cedera
listrik pada aliran saraf).

g)

Nyeri/kenyamanan:
Gejala: Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama secara
eksteren sensitif untuk disentuh; ditekan; gerakan udara dan perubahan
suhu; luka bakar ketebalan sedang derajat kedua sangat nyeri;
smentara respon pada luka bakar ketebalan derajat kedua tergantung
pada keutuhan ujung saraf; luka bakar derajat tiga tidak nyeri.

h)

Pernafasan:
Gejala: terkurung dalam ruang tertutup; terpajan lama (kemungkinan
cedera inhalasi).
Tanda:

serak;

batuk

mengii;

partikel

karbon

dalam

sputum;

ketidakmampuan menelan sekresi oral dan sianosis; indikasi cedera


inhalasi.
Pengembangan torak mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar
dada; jalan nafas atau stridor/mengii (obstruksi sehubungan dengan
laringospasme, oedema laringeal); bunyi nafas: gemericik (oedema
paru); stridor (oedema laringeal); sekret jalan nafas dalam (ronkhi).

21

i)

Keamanan:
Tanda:
Kulit umum: destruksi jaringan dalam mungkin tidak terbukti selama 3-5
hari sehubungan dengan proses trobus mikrovaskuler pada beberapa
luka.
Area kulit tak terbakar mungkin dingin/lembab, pucat, dengan pengisian
kapiler lambat pada adanya penurunan curah jantung sehubungan
dengan kehilangan cairan/status syok.
Cedera api: terdapat area cedera campuran dalam sehubunagn dengan
variase intensitas panas yang dihasilkan bekuan terbakar. Bulu hidung
gosong; mukosa hidung dan mulut kering; merah; lepuh pada faring
posterior;oedema lingkar mulut dan atau lingkar nasal.
Cedera kimia: tampak luka bervariasi sesuai agen penyebab.
Kulit mungkin coklat kekuningan dengan tekstur seprti kulit samak
halus; lepuh; ulkus; nekrosis; atau jarinagn parut tebal. Cedera secara
mum ebih dalam dari tampaknya secara perkutan dan kerusakan
jaringan dapat berlanjut sampai 72 jam setelah cedera.

Cedera listrik: cedera kutaneus eksternal biasanya lebih sedikit di


bawah nekrosis. Penampilan luka bervariasi dapat meliputi luka aliran
masuk/keluar (eksplosif), luka bakar dari gerakan aliran pada proksimal
tubuh tertutup dan luka bakar termal sehubungan dengan pakaian
terbakar.
Adanya fraktur/dislokasi (jatuh, kecelakaan sepeda motor, kontraksi otot
tetanik sehubungan dengan syok listrik).

j)

Pemeriksaan diagnostik:
(1)

LED: mengkaji hemokonsentrasi.

(2)

Elektrolit serum mendeteksi ketidakseimbangan cairan dan


biokimia. Ini terutama penting untuk memeriksa kalium terdapat

22

peningkatan dalam 24 jam pertama karena peningkatan kalium


dapat menyebabkan henti jantung.
(3)

Gas-gas darah arteri (GDA) dan sinar X dada mengkaji fungsi


pulmonal, khususnya pada cedera inhalasi asap.

(4)

BUN dan kreatinin mengkaji fungsi ginjal.

(5)

Urinalisis

menunjukkan

mioglobin

dan

hemokromogen

menandakan kerusakan otot pada luka bakar ketebalan penuh luas.


(6)

Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap.

(7)

Koagulasi memeriksa faktor-faktor pembekuan yang dapat


menurun pada luka bakar masif.

(8)

Kadar karbon monoksida serum meningkat pada cedera


inhalasi asap.

2.

Diagnosa Keperawatan
Marilynn E. Doenges dalam Nursing care plans, Guidelines for planning and
documenting patient care mengemukakan beberapa Diagnosa keperawatan
sebagai berikut :

a. Resiko tinggi bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan


obtruksi trakeabronkial;edema mukosa dan hilangnya kerja silia. Luka
bakar daerah leher; kompresi jalan nafas thorak dan dada atau
keterdatasan pengembangan dada.

b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan


Kehilangan cairan melalui rute abnormal. Peningkatan kebutuhan :
status hypermetabolik, ketidak cukupan pemasukan. Kehilangan
perdarahan.

c.

Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan cedera

23

inhalasi asap atau sindrom kompartemen torakal sekunder terhadap


luka bakar sirkumfisial dari dada atau leher.

d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan Pertahanan primer tidak


adekuat;

kerusakan

perlinduingan

kulit;

jaringan

traumatik.

Pertahanan sekunder tidak adekuat; penurunan Hb, penekanan


respons inflamasi.

e. Nyeri berhubungan dengan Kerusakan kulit/jaringan; pembentukan


edema. Manifulasi jaringan cidera contoh debridemen luka.

f.

Resiko

tinggi

kerusakan

perfusi

jaringan,

perubahan/disfungsi

neurovaskuler perifer berhubungan dengan Penurunan/interupsi


aliran darah arterial/vena, contoh luka bakar seputar ekstremitas
dengan edema.

g. Perubahan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan status hipermetabolik (sebanyak 50 % - 60% lebih besar dari
proporsi normal pada cedera berat) atau katabolisme protein.

h. Kerusakan

mobilitas

fisik

berhubungan

dengan

gangguan

neuromuskuler, nyeri/tak nyaman, penurunan kekuatan dan tahanan.

i.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Trauma : kerusakan


permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit (parsial/luka bakar
dalam).

j.

Gangguan citra tubuh (penampilan peran) berhubungan dengan krisis


situasi; kejadian traumatik peran klien tergantung, kecacatan dan
nyeri.

k.

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan


pengobatan berhubungan dengan Salah interpretasi informasi Tidak
mengenal sumber informasi.

3.

Tindakan Keperawatan
a. Kaji

refleks

gangguan/menelan;

perhatikan

pengaliran

air

liur,

ketidakmampuan menelan, serak, batuk mengi.


b. Kaji/catat ukuran, warna, kedalaman luka, perhatikan jaringan nekrotik
dan kondisi sekitar luka.
c. Awasi frekuensi, irama, kedalaman pernafasan ; perhatikan adanya
pucat/sianosis dan sputum mengandung karbon atau merah muda.

24

d. Auskultasi paru, perhatikan stridor, mengi/gemericik, penurunan bunyi


nafas, batuk rejan.
e. Perhatikan adanya pucat atau warna buah ceri merah pada kulit yang
cidera
f.

Tinggikan kepala tempat tidur. Hindari penggunaan bantal di bawah


kepala, sesuai indikasi

g. Dorong batuk/latihan nafas dalam dan perubahan posisi sering.


h. Awasi 24 jam keseimbangan cairan, perhatikan variasi/perubahan.
i.

Lakukan program kolaborasi meliputi :


- Berikan pelembab O2 melalui cara yang tepat, contoh masker wajah
- Kaji ulang seri rontgen
- Berikan/bantu fisioterapi dada/spirometri intensif.
- Siapkan/bantu intubasi atau trakeostomi sesuai indikasi.

j.

Awasi tanda vital, CVP. Perhatikan kapiler dan kekuatan nadi perifer.

k. Awasi pengeluaran urine dan berat jenisnya. Observasi warna urine dan
hemates sesuai indikasi.
l.

Perkirakan drainase luka dan kehilangan yang tampak

m. Lakukan perawatan luka bakar yang tepat dan tindakan kontrol infeksi.
n. Pertahankan penutupan luka sesuai indikasi.
o. Tinggikan area graft bila mungkin/tepat. Pertahankan posisi yang
diinginkan dan imobilisasi area bila diindikasikan.
BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Identitas pasien

Identitas Keluarga

Nama

: Tn. E

Nama

: Tn A

Umur

: 32 Tahun

Umur

: 42 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki - Laki

Pekerjaan

:Wiraswsta

Tgl. Pengkajian

: 16 Januari 2015

Hub. dng pasien: Kakak

25

No. Medrek

: 150204

Diagnosa Medis

: Combustio gr 2-3 41%

Alamat

: Kp. Karang Layung, Purwakarta

Jam
15.0

Data
Primary Survey

0
15.0

Airway

Sekret (-)
Darah (-)
Sisa Makanan (-)
15.0
Breathing
0

Rochi (-)
Wheezing (-)
Retraksi dada (+)
PCH (-)
Dispnea (+)
RR 25 x/menit
Pergerakan dada

simetris
Klien tampak sesak
SPO2 98 %
15.1
Circulation
0

Klien mengeluh pusing


TD 130/70 mmhg
Nadi 88 x/menit
RR 25 x/menit
Akral dingin
Kulit kering
Bibir kering
CRT < 2 detik
Konjungtiva ananemis
Terpasang infus RL 20

Alamat : Purwakarta

Masalah Keperawatan

Jam

Tindakan Keperawatan

Clear
Pola napas tidak
efektif

15.1
0

Gangguan Perfusi
Jaringan

15.1
5

Mengatur posisi head


up 30
Memberikan O2 NRM
canul 8 liter/menit
Obs tanda tanda
vital

Mengganti cairan infus

RL 20 gtt/menit
Memberikan

Ceftriaxone 2x1 gr/IV\


Memberikan
Ranitidine 2x
50mg/IV

gtt/menit
Hb 16,1 g/dL
15.1
Disability
0

Kesadaran : compose
mentis

15.1

GCS : 15
Exsposure

Clear

1. Nyeri
2. Resiko Infeksi

26

15.1 - Memberikan
0

Tramadol

Paraf

Klien mengeluh nyeri


Klien tampak meringis

3x 100mg/IV
- Mengkaji

Terdapat luka bakar(+) :

infeksi

tanda-tanda
(rubor,

kalor,

fasialis 2%, leher 2%,

dolor, tumor dan fungsio

dada dan perut 13%,

laesa)

lengan kanan bawah

- R/

3%, paha kanan 4.5 %,


kanan

kemerahan

disekitar luka

paha kiri 4.5, tungkai


bawah

tampak

- Membalut

6%,

luka

bakar

dengan kasa steril

tungkai bawah kiri 6% ,


total luka bakar : 41%
Lekosit:23.100/mm3

Jam
15.4

DX.P

EVALUASI
Pola Napas Tidak Efektif

S : Klien mengatakan sesak napas


1

O : Klien tampak sesak, terpasang O2 NRM 8 liter/menit, RR 24 x/menit, retraksi dada (+)
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan Intervensi
Gangguan perfusi Jaringan
S : Klien mengeluh pusing

P : klien tampak berbaring, akral dingin, CRT < 2 detik, konjungtiva ananemis, TD 130/70, N
90 x/menit, terpasang infus RL 20 gtt/menit
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan Intervensi
Nyeri
S : Klien mengeluh nyeri di area luka bakar

O : klien tampak meringis, Tampak luka bakar 41 %, area sekitar luka tampak kemerahan,
luka bakar tampak menghitam
A : Masalah teratasi sebagian

P : Lanjutkan Intervensi
Resiko Infeksi
S:O : area sekitar luka tampak kemerahan, luka bakar tampak menghitam, leukosit 23.100

27

mm3
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi

Jam
17.00

Secondary Survey
Anamnesa
Alergi :
Klien mengatakan tidak mempunyai alergi baik itu makanan ataupun obat
Medikasi :
Klien mengatakan tidak mempunyai riwayat minum obat sebelumnya
Past Ilness :
Klien mengatakan mempunyai riwayat penyakit DM dan Hipertensi.
Last Meal :
Klien mengatakan minum 2 jam yang lalu 1 gelas, klien belum makan.
Event/Environtmen :
5 jam SMRS di daerah pleret, klien berjalan di atap rumah bangunan tingkat II, tiba-tiba klien
tersangkut kabel listrik, yang melintasi bangunan tersebut, klien kemudian kejang dan terjatuh, klien
lalu pingsan, kulit wajah sebelah kanan, leher, dada, lengan kanan, dan kedua tungkai tampak
menghitam dan mengelupas, kemudian klien dibawa ke RS. Banyu Asih, diberikan infus RL 600cc dan
di rujuk ke RSHS.
Pemeriksaan Fisik Head to toe :
Setelah Dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh di dapatkan data abnormal pasien terpasang
NGT, terpasang kateter warna urine kuning pekat 200 cc, tidak ada peningkatan JVP, tidak ada
trauma pada tulang belakang, tidak ada pembesaran hepar/limfa, BU (+) 7 x/menit, perkusi dullness,
kekuatan otot 5, tidak ada edema pada ekstremitas.

28

Hasil laboratorium
Pemeriksaan
Hematologi

Tanggal 16 Januari 2015, jam 17.00


Hasil

Nilai Normal

Hb

16.1 g/dl

L: 13.5-17.5

Ht

47 %

L: 40-52

23.100 /mm3

4400-11300

5.32 juta/ul

L: 4.5- 6.5

227.000 /mm3

150.000- 450.000

MCV

87.4 fL

80-100

MCH

30.3 pg

26-34

MCHC

34.6 %

32-36

Basopile

0-1

Eosinofil

1-6

Batang

3-5

Segmen

88

40-70

Limfosit

30-45

Monosit

2-10

Leko
Erit
Trombo
Index eritrosite

Hitung jenis lekosit:

Kimia klinik:
SGOT

408

SGPT

264

Ureum

30

mg/dL

Kreatinin

1.00 mg/dL

L:0.7-1.2

Natrium

137 mEq/L

135-145

Kalium

3-7

3.6-5.5

mEq/L

15-50

Lain-lain
Analisa Gas Darah
PH
PCO2

7.386

L: 7.34-7.44

36.4 mm Hg

L: 35-45

29

PO2

88.9 mm Hg

L:69-116

HCO3

21.5 mEq/L

22-26

TCO2

42.1 mmol/L

22-29

Base excess

-2.7

Saturasi O2

96.8 %

Jam

(-2)-(+3)
95-98

Therapy
-

Jam
18.00

mEq/L

O2 Non Rebriting 8 liter/menit


Infus RL 20 gtt/menit
Injeksi:
Ceftriaxone 2x1 gr/IV
Ranitidine 2x 50mg/IV
Tramadol 3x 100mg/IV

DX.P

EVALUASI
Pola Napas Tidak Efektif
S : Klien mengatakan sesak napas

O : Klien tampak sesak, terpasang O2 NRM 8 liter/menit, RR 24 x/menit, retraksi dada (+)
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan Intervensi
Gangguan perfusi Jaringan
S : Klien mengeluh pusing

P : klien tampak berbaring, akral dingin, CRT < 2 detik, konjungtiva ananemis, TD 130/70, N
90 x/menit, terpasang infus RL 20 gtt/menit
A : Masalah teratasi sebagian

P : Lanjutkan Intervensi
Nyeri
S : Klien mengeluh nyeri di area luka bakar
O : klien tampak meringis, Tampak luka bakar 41 %, area sekitar luka tampak kemerahan,
luka bakar tampak menghitam

30

A : Masalah teratasi sebagian


P : Lanjutkan Intervensi
Resiko Infeksi
S:4

O : area sekitar luka tampak kemerahan, luka bakar tampak menghitam, leukosit 23.100
mm3
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
BAB IV
PEMBAHASAN

Luka bakar merupakan penyebab trauma yang sering terjadi dan dapat
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan
cedera oleh sebab lain. Insidensi luka bakar di dunia berkisar lebih dari 800
kasus persatu juta jiwa tiap tahunnya dan merupakan penyebab kematian
tertinggi kedua akibat trauma setelah kecelakaan lalu lintas ( Hettiaratchy dan
Dziewulski, 2004).
Di United Kingdom (UK) sekitar 250 000 orang mengalami luka bakar
setiap tahun. Dari semua pasien luka bakar tersebut sekitar 175000 terjadi
karena kecelakaan dan di rawat di unit gawat darurat, 13000 di rawat di bangsal
rumah sakit. Sekitar 1000 pasien dengan luka bakar yang berat mendapatkan
resusitasi cairan yang cukup, 50% dari pasien adalah anak-anak dengan umur di
bawah 12 tahun. Dengan angka mortalitas 300 per tahun( Hettiaratchy dan
Dziewulski, 2004). Luka bakar juga merupakan masalah besar di negara
berkembang, lebih dari 2 juta kasus luka bakar terjadi di india tiap tahunnya.
Angka mortalitas di negara berkembang lebih tinggi di banding negara maju,
misalkan Nepal 1700 kematian per tahun untuk 20 juta penduduk , dengan angka
kematian sekitar 17 kali dibanding UK ( Hettiaratchy dan Dziewulski, 2004).
Berdasarkan data American Burn Association (ABA) pada tahun 2002,
diperkirakan lebih dari 1,1 juta orang menderita luka bakar tiap tahunnya di
Amerika Serikat, dengan 50.000 kasus perlu dirawat di rumah sakit dan lebih dari
4500 di antaranya meninggal karena komplikasi dari luka bakar ( Klingensmith ,
2003). Angka mortalitas penderita luka bakar di Indonesia masih cukup tinggi,

31

yaitu 38,59% (2001) di RSCM dan 26,41% (2000) di RS Dr. Soetomo. Tercatat di
RSUP DR Sardjito, jumlah kasus luka bakar yang dirawat di bagian bedah terjadi
peningkatan dari 76 kasus pada tahun 2005 menjadi 82 kasus pada tahun 2006,
dengan derajat luka bakar terbanyak adalah derajat II (81,63%). Luka bakar
derajat II masih memiliki faktor-faktor yang mendukung terjadinya penyembuhan
spontan sehingga dengan penatalaksanaan luka yang baik, luka bakar derajat ini
tidak mudah terinfeksi dan jatuh pada derajat yang lebih parah.
Dengan demikian diharapkan penyembuhan luka bakar ini pun tidak
bergantung pada
tindakan bedah ( Klingensmith,2003). Faktor-faktor yang mendukung terjadinya
penyembuhan spontan tersebut diharapkan dari proliferasi lapisan epitel
(Reepitelisasi) di tepi luka dan struktur adneksa kulit. Adanya proliferasi sel-sel ini
diharapkan masa penyembuhan luka bakar derajat II Deep partial-thickness
sekalipun tidak melebihi 4 minggu. Dengan demikian komplikasi berupa
hipertropik jaringan parut dapat ditekan (Pusponegoro, 2004). Reepitelisasi
bergantung pada banyak komponen yang sangat kompleks yang terjadi pada
proses penyembuhan luka, seperti adanya Growth factor, sistem imun tubuh
terhadap infeksi dan komponen-komponen lainnya (Klein, 2007). Banyak
alternatif pengobatan digunakan untuk penanganan pertama pada luka bakar.
Aloe vera telah dipakai untuk penanganan luka bakar derajat dua, dan telah
diteliti di Australia dibandingkan dengan penggunaan saliva manusia. Hasil
penelitian menunjukkan penanganan alternatif secara signifikan menurunkan
temperatur subdermal pada kulit selama periode pengobatan. Akan tetapi tidak
bisa menurunkan mikroflora atau meningkatkan reepitelisasi, kekuatan skar dan
penampilan kosmetik pada skar (Cuttle et al, 2008). Proses reepitelisasi ini dapat
dipicu dengan menciptakan suasana lembab fisiologis (moist environtment).
Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah moist wound dressing, seperti
penutupan luka dengan kasa yang dibasahi dengan NaCl (Galagher,1995).
Selain itu suasana lembab fisiologis juga dapat diciptakan melalui pemberian
agen topikal Aloe vera yang terbukti membantu proses reepitelisasi sehingga
mempercepat proses penyembuhan luka (Muhammad, 2013). Pada penelitian
terkini pun, di dalam saliva manusia ditemukan banyak komponen-komponen
yang berperan dalam proses reepitelisasi tersebut, seperti antibakteri, antifungi,
antiviral, analgetik, dan berbagai jenis growth factor . Pemberian komponen-

32

komponen

dalam

saliva

ini

telah

terbukti

mampu

mempercepat

Reepitelisasi(Rene, 2013). Melalui kandungan saliva ini diharapkan saliva


mampu menjadi suatu zat yang dapat digunakan dalam proses penyembuhan
luka bakar.
Berdasarkan hasil penelitian Shazita Adiba, Secara klinis proses
epitelisasi luka bakar yang dibalut madu berlangsung lebih cepat dibandingkan
luka yang dibalut kasa tulle. Namun secara statistik tidak di dapatkan perbedaan
yang bermakna pada proses epitelisasi luka bakar derajat dua dangkal (p=0,310)
yang diberi madu dan kasa tulle. Prognosis klien yang mengalami suatu luka
bakar berhubungan langsung dengan lokasi dan ukuran luka bakar. Faktor lain
seperti

umur, status

kesehatan

sebelumnya

dan

inhalasi

asap

dapat

mempengaruhi beratnya luka bakar dan pengaruh lain yang menyertai. Madu
adalah cairan kental manis yang dihasilkan oleh lebah. Bahan ini telah lama
digunakan sebagai obat, dan penelititan yang dilakukan pada dekade terakhir
telah menunjukkan manfaat yang besar dari madu.8-10 Selain memiliki efek anti
mikroba, madu juga memiliki efek anti inflamasi dan meningkatkan fibroblastik
serta angioblastik.11 Analisis mengenai kandungan madu menyebutkan bahwa
unsur terbesar komponen madu adalah glukosa dengan kadar fruktosa paling
besar (76,8%), disamping mineral dan vitamin.12
Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn. E dengan luka bakar
di Ruang IGD Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, pengkajian yang sesuai
dengan seimbang untuk penyembuhan luka dan harus dilakukan perawatan luka
dengan teknik antiseptik. Diagnosa yang ditemukan meliputi Gangguan
kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan kebocoran kapiler,
Nyeri berhubungan dengan luka bakar, Infeksi berhubungan dengan proses
inflamasi. Tindakan keperawatan yang dilakukan antara lain Mengobservasi
tanda-tanda vital, Mengkaji tanda-tanda dehidrasi, Memasang infus untuk
memenuhi kebutuhan cairan, Mengajarkan tehnik relaksasi tarik nafas dalam,
Mengatur posis klien senyaman mungkin, Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian anti nyeri analgesic, Mengkaji tanda-tanda infeksi (rubor, kalor, dolor,
tumor

dan

fungsio

Mempertahankan

laesa),

teknik

Membalut

antisptik.

luka

Pada

bakar

dengan

perencanaan

kasa

semua

steril,

tindakan

keperawatan pada pasien dengan luka bakar adanya kerja sama yang baik
antara perawat dan pasien, keluarga pasien, perawat ruangan dan dokter

33

merawat serta rencana tindakan yang disusun dan disesuaikan dengan waktu
saat dirumah sakit.
Selain teknik pengobatan dan perawatan luka bakar yang baik, pasien luka
bakar juga membutuhkan nutrisi yang baik untuk mendukung penyembuhannya.
Gangguan nutrisi pada pasien yang dirawat dapat disebabkan karena adanya
keadaan penyakit penderita atau dapat juga disebabkan kurangnya perhatian
keluarga dalam perawatan. Menurut ahli gizi 75 persen status gizi pasien yang
dirawat di rumah sakit mengalami penurunan. Karena itu pelayanan gizi pasien
khususnya bagi pasien luka bakar yang masih dalam proses penyembuhan agar
dapat dilakukan upaya pemberian nutrisi yang adekuat.

34

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kedalaman luka,
berdasarkan ukuran luas luka bakar dan berdasarkan berat ringannya.
Berdasarkan penyebabnya luka bakar terdiri dari luka bakar yang
disebabkan oleh radiasi, air panas, listrik, bahan/ zat kimia, api dan
sebagainya.
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa
faktor antara lain presentase luasnyaa, kedalaman, umur klien riwayat
pengobatan yang lalu dan trauma yang menyertai atau bersamaan.
Luka bakar dapat mengakibatkan masalah yang kompleks yang dapat
meluas melebihi kerusakan fisik yang terlihat pada jaringan yang terluka
secara langsung. Luka bakar perlu ditangani secara seksama untuk
mencegah kejadian yang mengancam jiwa. Prinsip utama penanganan luka
bakar meliputi pengurangan rasa sakit, mencegah infeksi, menyeimbangkan
cairan dan elektrolit tubuh, serta asupan gizi yang baik.

35

DAFTAR PUSTAKA
Brunner and suddart. (2001). Textbook of Medical Surgical Nursing. Sixth
Edition. J.B. Lippincott Campany. Philadelpia. Hal. 1293 1328.
Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi
2 (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Djohansjah, M. (2001). Pengelolaan Luka Bakar. Airlangga University Press.
Surabaya.
Doenges M.E. (2000). Nursing Care Plan. Guidlines for Planning Patient Care (2
nd ed ). F.A. Davis Company. Philadelpia.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.
volume 2, (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Goodner, Brenda & Roth, S.L. (1995). Panduan Tindakan Keperawatan Klinik
Praktis. Alih bahasa Ni Luh G. Yasmin Asih. PT EGC. Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Volume I.
Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Long, Barbara C. (1999). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).
Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3.
Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.

36

37

Anda mungkin juga menyukai