Anda di halaman 1dari 8

NAMA : FAISHAL HAKIM QUDUS

NPM : 20227370147
NAMA : JAMINAH
NPM : 20227370038
MATA KULIAH : SEJARAH INDONESIA
KELAS : IPS S2 1a

BAB 17
PERANG DUNIA II DAN PENDUDUKAN JEPANG, 1942-5

Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun merupakan decade yang paling
menentukan dalam sejarah Indonesia. Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah oleh Jepang.
Sumatera di tempatkan di bawah Angkatan Darat ke-25, sedangkan Jawa dan Madura berada di
bawah Angkatan Darat ke-16; Kedua wilayah ini berada di bawah Angkatan Darat Wilayah ke-7
dengan markas besarnya di Singapura. Kalimantan dan Indonesia Timur dikuasai oleh Angkatan
Laut. Kebijakan di antara wilayah-wilayah tersebut sangat berbeda.
Pada umumnya Jawa dianggap sebagai daerah yang secara politik paling maju namun secara
ekonomi kurang penting; sumber daya utama adalah manusia. Kebijakan-kebijakan Jepang di
sana membangkitkan rasa kesadaran nasional yang jauh lebih mantap daripada di kedua wilayah
lainnya, Jawa juga mendapatkan perhatian ilmiah yang lebih besar daripada pulau-pulau lainnya.
Sumatera mempunyai arti yang lebih penting untuk Jepang karena sumber-sumber strategisnya.
Bagi Jepang wilayah yang berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut dianggap terbelakang
secara politik dan penting secara ekonomi; pemerintahan atas wilayah tersebut bersifat sangat
menindas.
Untuk menyapu bersih pasukan-pasukan Belanda dan Sekutu serta mengambil alih pemerintahan
diperlukan waktu berbulan-bulan. Kekuatan militer Belanda tumbang, mereka menyerahkan diri
kepada Jepang. Pihak Jepang menawan semua orang Eropa (kecuali warga negara sekutu-sekutu
Jepang), tetapi dalam beberapa hal keahlian mereka dibutuhkan untuk menjaga agar industry-
industri tetap berjalan.Perkiraan semua tawanan Jepang 170.000 orang, 65.000 orang di
antaranya tentara Belanda, 25.000 orang serdadu-serdadu Sekutu lainnya, dan 80.0000 warga
sipil. Kondisi di kamp-kamp tawanan sangat buruk Kurang lebih dari 20% dari tawanan militer
Belanda, 13% dari warga sipil wanita, dan 10% dari anak-anak meninggal dunia. Jumlah
tertinggi korban yang wafat terdapat di kamp-kamp sipil pria, yaitu 40%.
Para ulama Aceh membentuk PUSA (Persatuan Ulama-Ulama Seluruh Aceh) pada tahun 1939
dibawah pimpinan Mohammad Daud Beureu’eh untuk mempertahankan Islam dan mendorong
modernisasi sekolah-sekolah Islam.
Tujuan utama Jepang adalah menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian
Indonesia dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan rencana-rencananya bagi dominasi
ekonomi jangka Panjang terhadap Asia Timur dan Tenggara. Peraturan-peraturan baru yang
mengendalikan dan mengatur kembali hasil-hasil utama Indonesia serta putusnya hubungan
dengan pasar-pasar ekspor tradisional, secara bersama-sama menimbulkan kekacauan dan
penderitaan yang menjadikan tahun-tahun terburuk dari depresi tampak ringan. Jepang tidak
dapat menampung semua hasil ekspor Indonesia, dan kapal-kapal selam Sekutu segera
menimbulkan begitu banyak kerugian terhadap pelayaran Jepang sehingga komoditi-komoditi
yang diperlukan Jepang pun tidak dapat dikapalkan dalam jumlah yang memadai.
Pada tahun 1943, produksi karet adalah sekitar seperlima dari tingkat produksi tahun 1941 (di
Jawa dan Kalimantan Barat, produksi karet hampir terhenti sama sekali), dan produksi teh sekitar
sepertiganya. Jepang dan Formosa (Taiwan) akan menjadi pemasok utama gula untuk Kawasan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, sehingga komoditi yang merupakan sumber pokok
pendapatan di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini (terutama bagi para buruh upahan yang tidak
memiliki tanah) akan menurun. Pihak Jepang mulai mengambil alih perkebunan-perkebunan
tebu pada bulan Agustus 1943, dan baru sesudah itulah pengelolanya yang berkebangsaan Eropa
ditawan. Demikian pula, perkebunan tembakau yang luas di Sumatera Timur diubah untuk
produksi pangan.
Sementara itu pemerintahan militer membanjiri Indonesia dengan mata uang
kependudukan, yang mendorong meningkatnya inflasi, terutama mulai tahun 1943 dan
seterusnya. Pada pertengahan tahun 1945, mata uang ini bernilai sekitar 2,5 persen dari nilai
nominalnya. Pengaturan pangan dan tenaga kerja secara paksa, gangguan transportasi dan
kekacauan umum telah mengakibatkan timbulkan kelaparan, terutamapada tahun 1944 dan 1945.
Angka kematian meningkat dan kesuburan menurun; sepanjang yang diketahui, pendudukan
Jepang adalah satu-satunya periode selama dua abad di mana jumlah penduduk tidak
meningkatkan secara berarti. Seperti wilayah-wilayah pendudukan lainnya, Indonesia menjadi
suatu negeri yang tingkat penderitaan, inflasi, ketekoran, pencatutan, orupsi, pasar gelap, dan
kematiannya sangat ekstrem.
Kebijaksanaan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas: menghapus
pengaruh-pengaruh Barat di kalangan mereka dan memobilisasi mereka demi kemenangan
Jepang. Seperti halnya Belanda, Jepang bermaksud menguasai Indonesia untuk kepentingan
mereka sendiri. Mereka menghadapi banyak masalah yang sama dengan Belanda dan
menggunakan banyak cara pemecahan yang sama (malah hukum colonial Belanda tetap berlaku,
terkecuali yang bertengtangan dengan hukum militer Jepang). Akan tetapi di tengah-tengah suatu
perang besar yang memerlukan pemanfaatan maksimum atas sumber-sumber, pihak Jepang
memutuskan untuk berkuasa melalui mobilisasi (khususnya di Jawa dan Sumatera) daripada
dengan memaksakan suatu ketenangan yang tertib. Dengan berkembangnya peperangan, maka
usaha-usaha mereka yang semakin menggelora untuk memobilisasi rakyat Indonesia telah
meletakan dasar bagi Revolusi yang terjadi kemudian.
Perlu diingat betapa cepatnya kemajuan militer Jepang terhenti. Pada bulan Mei 1942,
suatu serangan terhadap Australia terhenti dalam pertempuran Laut Koral. Suatu serangan serupa
terhadap Hawai terhenti di Midway pada bulan ini. Pada bulan Agustus 1942, pasukan-pasukan
Amerika mendarat di Guandalkanal (Kepulauan Solomon); pada bulan Februari 1943, pihak
Jepang berhasil dipukul mundur dari sana dengan menderita banyak kerugian. Mulai tahun 1943,
Amerika ganti menjadi pihak ofensif di wilayah Pasisfik. Oleh karena itu, kebijaksanaan Jepang
di Indonesia berkembang dalam konteks militer yang terus menerus memburuk. Ketika perang
mendekati akhirnya, barulah pihak Jepang benar-benar menyadari bahwa kekalahan tidak
terelakan lagi. Namun demikian, sejak tahap pertama pendudukan mereka atas Indonesia mereka
sudah memperkirakan kemungkinan serbuan pihak Sekutu. Bagaimanapun juga, dalam
kenyataan akhirnya, kemajuan Sekutu akan melangkahi Sebagian besar wilayah Indonesia.
Untuk memusnahkan pengaruh barat, maka pihak Jepang melarang pemakaian bahasa
Belanda dan bahasa Inggris dan memajukan pemakaian bahasa Jepang. Pelarangan terhadap
buku-buku yang berbahasa Belanda dan Inggris membuat pendidikan yang lebih tinggi benar-
benar mustahil ada selama masa perang. Kalender Jepang diperkenalkan untuk tujuan-tujuan
resmi, patung-patung Eropa diruntuhkan, jalan-jalan diberi nama baru, dan Batavia dinamakan
Jakarta lagi, sebuah nama yang tidak pernah benar-benar hilang dalam pemakaiannya di
kalangan orang Indonesia. Suatu kampanye propaganda yang intensif dimulai untuk meyakinkan
rakyat Indonesia bahwa mereka dan bangsa Jepang adalah saudara seperjuangan dalam perang
yang luhur untuk membentuk suatu tatanan baru di Asia. Pihak Jepang mempekerjakan orang-
orang Indonesia untuk mengimplementasikan tujuan-tujuan propaganda mereka, khusunya guru-
guru sekolah, para seniman, dan tokoh-tokoh sastra yang dikenal anti-Belanda. Muhammad
Yamin, Sanusi Pane dan Armijn Pane adalah Sebagian dari mereka itu. Film, drama, wayang,
dan terutama radio digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan Jepang. Karena sedikitnya radio,
maka banyak propaganda radio disiarkan lewat pengeras-pengeras suara yang dipasang pada
tempat-tempat umum. Akan tetapi, upaya propaganda ini sering mengalami kegagalan karena
adanya kenyataan-kenyataan berikut akibat pendudukan Jepang. Orang-orang yang telah
menyambut baik orang-orang Jepang sebagai pembebas sering kali dengan cepat menjadi kecil
hati. Namun bagaimanapun juga, kampanye anti-barat ini benar-benar mempertajam sentiment
anti-Belanda pada seluruh masyarakat Indonesia dan mendorong menyebarnya gagasan tentang
Indonesia dikalangan rakyat. Karena bahasa Jepang hanya sedikit diketahui, maka bahasa
Indonesia menjadi sarana bahasa yang utama untuk propaganda dan, dengan demikian statusnya
menjadi bahasa nasional semakin menjadi kokoh.
Sampai bulan Agustus 1942, Jawa tetap berada di bawah struktur-struktur pemerintahan
sementara, tetapi kemudian di lantik suatu pemerintahan yang dikepalai oleh seorang militer
(gunseikan). Banyak orang Indonesia diangkat untuk mengisi tempat pejabat-pejabat Belanda
yang ditawan, tetapi banyak pula pejabat-pejabat berkebangsaan Jepang yang diangkat.
Kebanyakan pejabat-pejabat baru yang berkebangsaan Indonesia itu adalah para mantan guru,
dan kepindahan mereka dari system Pendidikan mengakibatkan merosotnya secara tajam standar
pendidikan.
Untuk membantu orang Jepang mengatur negeri ini, maka disamping para pejabat baru
tersebut, pihak Jepang di Jawa juga mencari pemimpin-pemimpin politik guna membantu
memobilisasi rakyat. Pertama-tama mereka menghapuskan semua organisasi politik. Pada bulan
Maret 1942, semua kegiatan politik dilarang dan kemudian semua perkumpulan yang ada secara
resmi dibubarkan dan pihak Jepang mulai membentuk organisasi-organisasi baru. Sejak mula
pertama, Islam tampak menawarkan suatu jalan utama bagi mobilisasi. Pada akhir bulan Maret
1942, pihak Jepang di Jawa sudah mendirikan sebuat Kantor Urusan Agama (dalam bahasa
Jepang: Shumubu).
Pada bulan April 1942, usaha pertama dalam bentuk Gerakan rakyat, “Gerakan Tiga A”,
dimulai di Jawa. Nama ini berasal dari slogan bahwa Jepang adalah pemimpin Asia, pelindung
Asia, dan cahaya Asia. Di dalam gerakan tersebut, pada bulan Juli, didirikan suatu subseksi
Islam yang dinamakan Persiapan Persatuan Umat Islam di bawah pimpinan Abikoesno
Tjokrosoejoso (1897), saudara Tjokroanimoto dan penggantinya sebagai Ketua PSII. Abikoesno
untuk sementara dianggap oleh pihak Jepang sebagai pemimpin Islam Indonesia yang wajar.
Akan tetapi, ini tidak lama sebelum pihak Jepang (seperti halnya orang-orang Belanda) mulai
meragukan pemimpin-pemimpin Islam modermis yang aktif secara politik, seperti yang akan
dilihat di bawah. Secara umum, Gerakan Tiga A tidak berhasil mencapai tujuan-tujuannya. Para
pejabat Indonesia hanya memberi sedikit dukungan. Juga, tidak ada nasionalis Indonesia
terkemuka yang terlibat didalamnya. Selain itu, propagandanya dilancarkan secara keras
sehingga bahkan pada masa-masa awal pendudukan pun hanya sedikit orang Indonesia yang
menanggapinya secara serius.
Pihak jepang mulai menyadari bahwa apabila mereka hendak menyadari bahwa apabila
mereka hendak memobilisasi rakyat Jawa, mereka harus memanfaatkan tokoh-tokoh terkemuka
Gerakan nasionalis sebelum perang. Sjahrir dan Hatta telah dipulangkan ke Jawa oleh pihak
Belanda, tidak lama sebelum penyerangan Jepang. Kedua tokoh ini menentang fasisme dan telah
menawarkan dukungan mereka kepada pihak Belanda. Hatta dan Sjahrir bersahabat akrab dan
memutuskan untuk memakai strategi-strategi yang bersifat saling melengkapi dalam situasi baru
kekuadsaan Jepang. Hatta akan bekerja sama dengan pihak Jepang, berusaha mengurangi
kekerasan pemerintahan mereka, dan memanipulasi kejadian-kejadian untuk kepentingan bangsa
Indonesia. Sjahrir akan tetap menjauhkan diri dan membentuk suatu jaringan ‘bawah tanah’ yang
didukung terutama oleh para mantan anggota PNI-Baru, dan akan berusaha menjalin hubungan
dengan pihak Sekutu. Sjahrir dan Hatta saling berhubungan dengan erat selama perang
berlangsung.
Pada tanggal 9 Juli 1942, Sukarno, yang telah dikirim ke Jakarta oleh pihak Jepang di
Sumatera atas permintaan Angkatan Darat ke-16, bergabung dengan Hatta dan Sjahrir. Sukarno
tidak begitu tertarik terhadap perbeda-perbedaan teoretis antara fasisme dan demokrasi dan
menganggap perang tersebut terutama sebagai pertarungan antara kedua macam imprealisme.
Dia bergabung dengan Hatta dalam bekerja sama dengan pihak Jepang demi tujuan yang lebih
luhur, yaitu kemerdekaan. Sukarno dan Hatta mulai segera mendesak pihak Jepang yang masih
tetap merasa enggan supaya membentuk suatu organisasi politik massa di bawah pimpinan
mereka.
Hanya seorang pemimpin terkemuka dari masa sebelum perang yang melakukan kegiatan
perlawanan atau bawah tanah yang aktif di Indonesia, sebagaimana istilah-istilah tersebut di
pahami dalam konteks Eropa yang sedang diduduki (walaupun ada beberapa orang Indonesia di
negeri Belanda yang tergabung dengan gerakan bawah tanah Belanda). Tak lama sebelum
kemenangan Jepang, Amir Sjarifuddin menerima sejumlah besar uang dari seorang pejabat
Belanda guna membentuk gerakan perlawanan anti-Jepang. Akan tetapi, kini perlawanan
bersenjata malah lebih sia-sia lagi daripada semasa di bawah Belanda. Polisi Militer Jepang
menembus organisasi Amir dan, pada bulan Januari 1943, dia dan 53 orang lainnya ditangkap.
Pada bulan Februari 1944, beberapa orang pembantunya dihukum mati, sedang hukuman Amir
sendiri diperingan menjadi seumur hidup karena adanya permintaan dari Sukarno dan Hatta.
Pihak Jepang tidak berani melukai perasaan elite intelektual di Jawa yang sedikit jumlahnya
dengan menghukum mati salah seorang anggotanya yang terkemuka.
Di daerah-daerah luar Jawa ada beberapa perlawanan dari kelompok-kelompok yang
tidak ada kaitannya dengan kaum politisi perkotaan dari masa sebelum perang. Suatu
pemberontakan petani terhadap pihak Jepang di Aceh dipimpin oleh seorang ulama muda pada
bulan November 1942, tetapi dapat ditumpas dengan korban serratus orang Aceh lebih dan
delapan belas orang Jepang. Di Kalimantan Barat dan Selatan, pihak Jepang mencurigai adanya
komplotan-komplotan yang melawan mereka di kalangan orang-orang Cina, para pejabat, dan
bahkan para sultan. Semua komplotan semacam itu dihancurkan melalui penangkapan-
penangkapan di Kalimantan Selatan pada bulan Juli 1943 dan memenjarakan sedikitnya 1.000
orang, termasuk 12 orang sultan, di Kalimantan Barat antara September 1943 dan awal tahun
1944. Suatu usaha untuk mendirikan negara Islam di daerah Amuntai, Kalimantan Selatan
ditumpaskan pada bulan September 1943. Pada akhir tahun 1944, orang-orang Dayak di
Kalimantan Barat mulai membunuh orang-orang Jepang. Akan tetapi, tak satu pun dari bentuk-
bentuk perlawanan rakyat tersebut yang benar-benar mengancam kekuasaan Jepang, dan
semuanya mengalami akibat-akibat yang sangat buruk.
Di Jawa tidak ada satu pun perlawanan rakyat yang serius sampai tahun 1944. Sementara
itu, pihak Jepang mencari pemimpin-pemimpin Indonesia untuk membantu mereka memobilisasi
rakyat demi kepentingan perang. Pada bulan September 1942, di Jakarta diselenggarakan suatu
konferensi para pemimpin Islam yang menelurkan hasil-hasil yang mengecewakan pihak Jepang.
Ini memaksa mengalihkan pandangan kepada kelompok-kelompok pimpinan lainnya. Pihak
Jepang berharap akan mengganti MIAI dari masa sebelum perang dengan suatu oraganisasi baru
yang berada dibawah arahan mereka. Akan tetapi, para pemimpin Islam tidak hanya
memutuskan untuk tetap mempertahankan MIAI, melainkan juga memilih pengurus baru yang
lebih didominasi oleh tokoh-tokoh PSII daripada pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan NU
yang pada dasarnya bersifat nonpolitik. Pihak Jepang memang sudah meragukan para politisi
Islam perkotaan. Mereka mulai menyadari bahwa jalan menuju rakyat melalui Islam dapat hanya
diberikan oleh Muhammadiyah dan NU yang memiliki sekolah-sekolah, kegiatan-kegiatan
kesejahteraan, dan hubungan-hubungan informal yang membentang dari wailayah-wilayah
perkotaan sampai ke kota-kota kecil serta desa-desa, dan yang tidak mempunyai tuntutan-
tuntutan politik yang jelas. Jelaslah, diperlukan suatu pendekatan baru untuk mobilisasi.
Pada bulan Oktober 1942, suatu pertemuan para pimpinan daerah-daerah pendudukan di
Tokyo diberi tahu bahwa, dengan terhentinya kemajuan militer, mobilisasi rakyat di wilayah-
wilayah pendudukan harus diberi prioritas. Kolonel Horie Choso, Kepala Kantor Urusan Agama
di Jakarta, melakukan perjalanan keliling Jawa pada akhir tahun itu, mengadakan pertemuan
dengan para kyai yang pesantren-pesantrennya tampaknya menjadi alat yang ideal untuk
memobilisasi dan mengindoktrinasi para pemuda. Pada bulan Desember 1942, Horie mengatur
agar 32 orang kyai diterima di Jakarta oleh Gunseikan, suatu kehormatan yang tidak mungkin
terjadi di zaman Belanda. Pihak Jepang kini menemukan saluran bagi mobilisasi. Pada bulan
Desember, mereka membuka saluran lain lagi dengan berjanji di depan suatu pertemuan rakyat
Jakarta bahwa sebuah partai politik baru akan segera didirikan.
Pada awal tahun 1943, pihak Jepang mulai mengerahkan usaha-usahanya pada
mobilisasi. Gerakan-gerakan pemuda yang baru diberi prioritas tinggi dan ditempatkan di bawah
pengawasan ketat pihak Jepang. Pada bulan Agustus 1942, sekolah-sekolah Latihan bagi para
pejabat dan guru baru sudah dibuka di Jakarta dan Singapura, tetapi kini organisasi-organisasi
pemuda berkembang jauh lebih luas. Suatu Korps Pemuda (Seinendan) yang bersifat semi militer
dibentuk pada bulan April 1943 untuk para pemuda yang berusia 14 dan 25 tahun (kemudian 22
tahun). Korps tersebut mempunyai cabang-cabangnya sampai ke desa-desa yang besar, tetapi
terutama aktif di daerah-daerah perkotaan. Untuk para pemuda yang berusia 25 sampai 35 tahun,
dibentuklah suatu Korps Kewaspadaan (Keibodan) sebagai organisasi pembantu polisi,
kebakaran, dan serangan udara. Pada pertengahan tahun 1943, dibentuk Heiho (Pasukan
Pembantu) sebagai bagian dari Angkatan Laut Jepang. Pada akhir perang, sekitar 25.000 pemuda
Indonesia berada dalam Heiho, di mana mereka mendapat latihan dasar yang sama dengan para
serdadu Jepang. Berbagai organisasi lainnya juga dibentuk, yang beberapa diantaranya akan
dibahas di bawah. Pada semua organisasi itu terdapat indoktrinasi yang intensif dan disiplin yang
keras. Konon, lebih dari 2 juta pemuda Indonesia berada dalam organisasi-organisasi semacam
itu pada akhir perang, kira-kira 60% di antaranya dalam Keibodan.
Pada bulan Maret 1943, organisasi politik yang dijanjikan juga muncul di Jawa dan
Gerakan Tiga A dihapuskan. Badan baru itu dinamakan Putera, sebuah singkatan dari Pusat
tenaga Rakyat. Badan ini berada di bawah pengawasan ketat pihak Jepang, tetapi 4 orang yang
terkemuka diangkat menjadi ketuanya: Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kyai Haji
Mas Mansur (1896-1946), Ketua Muhammadiyah dari masa sebelum perang. Dengan demikian,
pihak Jepang telah menghubungakan dua orang tokoh nasionalis perkotaan yang terkemuk
dengan pemimpin dua sistem pendidikan yang penting. Akan tetapi, organisasi baru ini lagi-lagi
hanya mendapat sedikit dukungan, antara lain karena pihak Jepang tetap tidak bersedia memberi
kebebasan kepada kekuatan-kekuatan rakyat yang begitu potensial. Misalnya, pihak Jepang tidak
memberi Putera kekuasaan apapun atas gerakan-gerakan pemuda. Dalam Kenyataannya,
Dewantara kembali ke Yogyakarta pada awal tahun 1944 untuk memusatkan perhatian pada
sekolah-sekolah Taman Siswa-nya guna melewati masa-masa sulit, sedangkan Mansur sedikit
demi sedikit menarik diri dari keterlibatan aktif, mungkin di karenakan kesehatannya yang
buruk.
Kini, pihak Jepang mencoba mengembangkan para guru Islam tradisional pedesaaan
sebagai mata rantai utama mereka dengan rakyat Jawa. Terdapat banyak kesulitan antara pihak
Jepang dengan para pemimpin Islam pada umumnya, khususnya antara mereka dengan kaum
Islam modernis di kota-kota. Haji Rasul memimpin perlawanan Islam terhadap sikap
membungkuk sebagai penghormatan kepada Kaisar di Tokyo yang bertentangan dengan
kewajiban seorang muslim untuk bersembahyang menghadap ke Mekah dan tunduk hanya
kepada Tuhan. Akhirnya, pihak Jepang sepakat tentang tidak perlunya membungkukkan badan
kepada Kaisar pada upacara-upacara keagamaan. Pihak Jepang juga menginginkan agar Perang
Dunia II di nyatakan sebagai perang Sabil, yang dengan tegas ditolak oleh kaum muslim karena
Jepang, seperti halnya Sekutu, adalah kaum kafir: peperangan atas nama mereka tidak dapat
disebut sebagai Perang Sabil. Pada akhir tahun 1942, pihak Jepang juga harus melupakan
keinginan mereka melarang pemakaian bahasa Arab, tetapi penggunaan itu hanya dilakukan
dengan syarat bahwa bahasa Jepang juga diajarkan di sekolah-sekolah Islam dan bahwa
kurikulum pihak Jepang bagi pelajaran-pelajaran nonagama diterima. Pihak Jepang tetap
mempertahankan Peraturan Guru (goeroe ordonnantie) tahun 1925 dan para pejabat bangsa
Indonesia bahkan melaksanakannya secara lebih keras, baik sebagai perlawanan mereka terhadap
kaum elite Islam maupun karena rasa takut akan tindakan disipliner pihak Jepang apabila mereka
tampak terlalu lunak. Sekolah-sekolah Islam modernislah yang paling terpengaruh oleh
kebijakan-kebijakan ini.
Sementara para politisi Islam modernis di kota-kota dan pihak Jepang saling merasa
kecewa, para kyai wilayah pedesaan jawa yang lebih sederhana tampak lebih menyetujui akan
rencana-rencana pihak Jepang . Kombinasi didiplin fisik, militer, dan rohani orang-orang Jepang
menyentuh perasaan yang renponsif di kalangan masyarakat pesantren. Pada bulan Juli 1943,
pihak Jepang mulai membawa kelompok-kelompok kyai yang berjumlah sekitar 60 orang ke
Jakarta untuk mengikuti kursus-kursus Latihan selama kurang lebih sebulan. Sampai bulan Mei
1945, lebih dari seribu orang kyai telah menyelesaikan kursus-kursus tersebut. Di dalamnya
mereka mendengarkan beberapa, ceramah tentang masalah-masalah agama, tetapi terutama
diindoktrinasi dengan propaganda Jepang. Mereka tampaknya begitu bermanfaat bagi maksud-
maksud pihak Jepang sehingga semua usaha yang dilakukan MUAI sendiri untuk
mengorganisasikan para kyai dihalangi oleh pihak Jepang. Pimpinan MIAI ingin menjalin
hubungan dengan Islam pedesaan, tetapi pihak Jepang lebih suka berurusan langsung dengan
mereka yang sudah mempunyai hubungan itu.
Untuk merangsang dukungan terhadap perang yang semakin memburuk, pihak Jepang
sudah mulai keterlibatan beberapa orang Indonesia dalam urusan-uruasan pemerintahan di Jawa.
Pada bulan Agustus dan Oktober 1943, berturut-turut Birma dan kemudian Fulipina diberi
kemerdekaan semu. Jawa dianggap belum siap memperoleh kemerdekaan, tetapi beberapa
dewan dibentuk untuk memberi kesan adanya partisipasi. Jumlah orang Indonesia yang menjadi
penasihat (sanyo) pemerintah Jepang bertambah banyak. Di Jakarta dibentuk Dewan Penasihat
Pusat (Chuo Sangi-in) yang diketuai oleh Soekarno, dan dewan-dewan daerah (Shu Sangi-kai)
juga dibentuk. Akan tetapi, kesemuanya itu berfungsi sebagai penasihat belaka. Langkah-
langkah yang malah kurang berarti lagi terhadap keterlibatan rakyat dimulai di Sumatera pada
akhr tahun 1943. Pada tahapan ini, Angkatan Laut tidak melakukan langkah-langkah yang sama
di wilayahnya kecuali memperkenankan adanya beberapa konsultasi dalam pemerintahan
kotapraja.
Angkatan Darat ke -16 Jepang di Jawa ingin bergerak lebih cepat dalam menarik peran
serta bangsa Indonesia daripada yang dilakukan Angkatan Darat ke-25 di Sumatera, Angkatan
Laut di Indonesia Timur, ataupun Tokyo. Mungkin karena alas an inilah maka Soekarno, Hatta
dan Ketua Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo (1890) terbang ke Tokyo pada bulan
November 1943 untuk diberi tanda jasa oleh Kaisar. Inilah saat pertama kali Soekarno berada
diluar negeri atau melihat sebuah negara industri. Perjalanan ini mungkin mempunyai kesan
yang hebat bagi Soekarno, tetapi usahanya untuk memperoleh dukungan pihak Jepang yang lebih
besar bagi nasionalisme Indonesia mengalami kegagalan. Perdana Menteri Jenderal Tojo Hideki
(1941-4) menolak permintaannya untuk menggunakan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” atau
bendera Sang Merah Putih.

Pihak Jepang masih tetap membutuhkan sumber-sumber alam Indonesia untuk keperluan perang,
tenaga kerja Indonesia mulai diekploitasi secara lebih kejam daripada saat sebelumnya. Pada
bulan Oktober 1943, pihak Jepang memerintahkan penghimpnan serdadu-serdadu ekonomi
(romusha), terutama para petani yang diambil dari desa-desa mereka di Jawa dan diperkerjakan
sebagai buruh di manapun pihak Jepang memerlukan mereka, sampai ke Birma dan Siam.
Pada saat yang sama, pihak Jepang memberlakukan peraturan-peraturan baru bagi penjualan
beras secara wajib kepada pemerintah dengan harga rendah, yang sebenarnya merupakan system
penyerahan wajib guna memenuhi kebutuhan bala tentara Jepang. Para pejabat bangsa Indonesia
yang harus melaksanakan pengerahan romusha dan penyerahan beras secara wajib sangat di
benci oleh penduduk desa.
Pada bulan Oktober 1943, pihak Jepang membentuk organisasi pemuda Indonesia yang paling
berarti, yaitu PETA (Pembela Tanah Air). Organisasi ini anggotanya berjumlah 37.000 orang
Jawa, 1.600 di Bali, dan 20.000 orang di Sumatera. Peta tidak secara resmi menjadi bagian dari
balatentara Jepang, melainkan di maksudkan sebagai pasukan gerilya pembantu guna melawan
serbuan pihak sekutu. Disiplin Peta sangat ketat dan ide-ide nasionali Indonesia di manfaatkan
dalam induktrinasi.
Pada bulan Oktober 1943, pihak Jepang juga membentuk organisasi baru untuk mengendalikan
Islam. MIAI di bubarkan pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso menjanjikan
kemerdekaan bagi To-Indo’(istilah dalam bahasa Jepang untuk Hindia Timur dipakai secara
resmi sampai bulan April 1945).
Angkatan Darat ke-16 di Jawa diberi tahu supaya mendorong kekuatan-kekuatan nasionalis, dan
bendera Indonesia boleh dikibarkan dikantor-kantor Jawa Hokokai.
Sejak bulan Maret 1944, angkatan laut telah membentuk beberapa komite penasehat di daerah
kekuasaannya, tetapi komite-komite itu tidak mempunyai kekuatan.
Angkatan Darat ke 25 di Sumatera mengumumkan berdirinya suatu badan penasehat pusat
( Sumatera Chuo Sangi-in) yang sifatnya konsultatif untuk pulau pada bulan Maret 1945, tetapi
lembaga ini hanya satu kali mengadakan pertemuan di Bukittinggi sebelum berakhirnya perang.

Laksamana Madya Maeda Tadashi bertugas menangani kantor penghubung angkatan darat-
angkata laut di Jakarta, mereka mempunyai pandangan maju mengenai nasionalisme Indonesia.
Pada bulan Oktober 1944 Laksamana juga mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta
untuk melatih para pemimpin pemuda yang baru bagi sebuah Negara merdeka.
Kini di bentuklah kelompok-kelompok pemuda dan militer yang baru.Untuk pertama kalinya,
Jawa Hokokai di berikan organisasi pemuda sendiri, Barisan Pelopor yang pada akhir perang
konon beranggotakan 80.000 orang. Pada mulanya, barisan pelopor akan di gunakan untuk
menyiarkan propaganda, tetapi pada bulan Mei 1945 organisasi ini mulai mengadakan latihan
gerilya. Pada bulan Desember 1945, Masyumi di perbolehkan memiliki sayap militer yang
bernama Barisan Hizbullah, pasukan Tuhan, yang memulai latihannya pada bulan Februari 1945
dan mempunyai 50,000 orang anggota pada akhir perang. Kepemimpinanya di dominasi oleh
tokoh- tokoh Muhammadiyah dan anggota faksi PSII dari masa sebelum perang yang bersifat
kooperatif yang di pimpin oleh Agus Salim.
Kini semakin banyak orang Indonesia yang di angkat menjadi pejabat pemerintahan. Pada bulan
November 1944, orang-orang Indonesia mulai di angkat menjadi wakil Presiden. Para penasehat
di himpun ke dalam semacam majelis tinggi. Dewan penasehat Pusat yang mempunyai
wewenang memberikan nasehat yang agak lebih luas. Pihak Jepang akhirnya harus memenuhi
janji kemerdekaan mereka karena runtuhnya posisi militer mereka berlangsung secara cepat.
Pada bulan Oktober 1944 Armada Jepang yang masih tersisa nyaris tersapu bersih di teluk Leyte
dengan hancurnya armada itu, bahkan pertahanan Jepang sendiri hamper tidak dapat bertahan
lebih lama lagi. Pada bulan Januari 1945, serbuan Amerika terhadap Luzon di Filipina di mulai
pada bulan Februari, Manila berhasil di rebut. Setelah kekalahan di Filipina itu, angkatan laut
jepang mengakhiri oposisinya terhadap pemberian kemerdekaan semu di Indonesia.

Pada bulan Februari 1945, detasemen Peta di Blitar (Jawa Timur) menyerang gudang
persenjataan Jepang dan membunuh beberapa serdadu Jepang.
Pada bulan maret 1945, pihak jepang mengumumkan pembentukkan Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Badan ini mengadakan pertemuan pada akhir bulan mei di
bangunan lama Volksraad di Jakarta. Pihak jepang tentu saja memutuskan bahwa bilamana
kemerdekaan terwujud, hendaknya kemerdekaan itu berada ditangan para pemimpin dari
generasi tua yang mereka pandang lebih mudah untuk bekerja sama. Pada bulan juli 1945, pihak
jepang di Jawa berusaha mempersatukan gerakan-gerakan pemuda, Masyumi dan Jawa Hokokai,
ke dalam satu Gerakan Rakyat Baru. Akan tetapi upaya tersebut gagal karena para pemuda
menuntut langkah-langkah nasionalistis yang dramatis.
Akhirnya semua unsur kalangan Jepang sepakat bahwa kemerdekaan harus diberikan kepada
Indonesia.

Pada tanggal 6 Agustus, bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima yang menewaskan
sedikitnya 78.000 orang. Peperangan di Asia sedang mendekati tahap akhir yang mengerikan.
Hari berikutnya dibentuklah keanggotaan panitia persiapan kemerdekaan Indonesia yang
didominasi oleh generasi tua.
Pada tanggal 8 Agustus, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki.
Tak terelakan lagi pihak jepang akan menyerah, kemudian Sukarno, Hatta, dan Radjiman terbang
ke Saigon untuk menemui panglima wilayah Selatan, Panglima tertinggi terauchi hisaichi. Pada
tanggal 14 Agustus, Sukarno dan rekan-rekannya tiba kembali di Jakarta. Pada tanggal 15
Agustus jepang menyerah tanpa syarat . Pada tanggal 16 Agustus pagi Hatta dan Sukarno tidak
dapat ditemukan di Jakarta, karena mereka telah dibawa oleh para pemimpin muda.
Pada malam harinya Sukarno dan Hatta sudah berada di rumah Maeda di Jakarta. Pernyataan
kemerdekaan dirancang sepanjang malam, karena aktivis muda menginginkan bahasa yang
dramatis dan berapi-api, dan akhirnya disetujui lah. Pada tanggal 17 agustus 1945 pagi, Sukarno
membacakan pernyataan kemerdekaan (Proklamasi) tersebut di hadapan sekelompok orang
yang relative sedikit jumlahnya.
Bendera merah putih dikibarkan dan berkumandanglah lagu Indonesia Raya

Anda mungkin juga menyukai