Anda di halaman 1dari 28

1

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Dasar Medis

1.1.1 Pengertian Ikterus

Ikterus neonatorum adalah salah satu keadaan menyerupai penyakit hati

yang terdapat pada bayi baru lahir akibat terjadi hiperbilirubinemia, sebanyak

25%-50% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi berat lahir rendah

(Vivian, 2010), dengan meningginya kadar bilirbin di dalam jaringan

ekstravaskular sehingga kulit, konjungtiva, mukosa, dan alat tubuh lainnya

berwarna kuning (Ngastiyah, 2005).

1.1.2 Metabolisme bilirubin

75% dari bilirubin yang ada pada BBL berasal dari penghancuran

hemoglobin, dan 25% dari mioglobin, sitokrom, katalse, dan triptofan

pirolase. Satu gram bilirubin yang hancur menghasilkan 35 mg bilirubin.

Bayi cukup bulan akan menghancurkan eritrosit sebanyak 1 gram /hari

dalam bentuk bilirubin indirek yang terikat dengan albumin bebas (1 gram

albumin akan mengikat 16 gram bilirubin). Bilirubin indirek larut dalam

lemak dan bila sawar otak terbuka, bilirubin akan masuk ke dalam otak dan

terjadilah kernikterus. Yang memudahkan terjadinya hal tersebut ialah

imaturitas, asfiksia/hipoksia, trauma lahir, BBLR (kurang dari 2500 gram),

infeksi, hipoglikemi, hiperkarbia, dan lain-lain. Di dalam hepar bilirubin

akan diikat oleh enzim glucuronil transverase menjadi bilirubin direk yang
larut dalam air, kemudian diekskresi ke sistem empedu, selanjutnya masuk

ke dalam usus dan menjadi sterkobilin. Sebagian diserap kembali dan keluar

melalui urin sebagai urobilinogen.

Pada BBL bilirubin direk dapat diubah menjadi bilirubin indirek di

dalam usus karena di sini terdapat beta-glukoronidase yang berperan

penting terhadap perubahan tersebut.Blirubin indirek ini diserap kembali

oleh usus selanjutnya masuk kembali ke hati.

Keadaan ikterus dipengaruhi oleh:

1. Faktor produksi yang berlebihan melampaui pengeluarannya. Terdapat

pada hemolisis yang meningkat seperti pada ketidakcocokan golongan

darah (Rh, ABO antagonis, defisiensi G-6-PD dan sebagainya).

2. Gangguan dalam uptake dan konjugasi hepar disebabkan imaturitas

hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi (mengubah) bilirubin,

gangguan fungsi hepar akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak

terdapat enzim glukuronil transferase (G-6-PD).

3. Gangguan transportasi bilirubin dalam darah terikat oleh albumin

kemudian diangkut ke hepar. Ikatan ini dapat dipengaruhi oleh obat

seperti salsilat dan lain-lain. Defisiensi albumin menyebabkan lebih

banyak bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat

pada otak (terjadi kenikterus).

4. Gangguan dalam ekskresi akibat sumbatan dalam hepar atau di luar

hepar. Akibat kelainan bawaan atau infeksi, atau kerusakan hepar oleh

penyebab lain (Ngastiyah, 2005).

2
1.1.3 Klasifikasi

Dibagi menjadi: (1) fisiologis dan (2) patologis

1. Ikterus Fisiologis

Ikterus fisiologis adalah ikterus normal yang dialami oleh bayi baru

lahir, tidak mempunyai dasar patologis sehingga tidak berpotensi

menjadi kern ikterus (Vivian, 2010). Ikterus fisiologis mempunyai

tanda-tanda berikut:

a. Warna kuning akan timbul pada hari ke-2 atau ke-3, dan tampak

jelas pada hari ke 5-6, dan menghilang pada hari ke-10.

b. Bayi terlihat normal, minum baik, berat badan naik biasa

(Ngastiyah, 2005).

c. Kadar bilirubin indrect tidak lebih dari 10 mg% pada neonatus

cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.

d. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg% per

hari.

e. Kadar bilirubin direct tidak lebih dari 1 mg%.

f. Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi.

g. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis

(Vivian, 2010).

2. Ikterus Patologis

Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis

dengan kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut

3
hiperbilirubinemia (Vivian, 2010). Ikterus patologis memiliki tanda dan

gejala sebagai berikut:

a. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan,

b. Serum bilirubin total lebih dari 2 mg/dl.

c. Peningkatan kadar bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam.

d. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg% pada bayi kurang

bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan.

e. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,

defisiensi enzim G-6-PD, dan sepsis).

f. Bilirubin direct lebih dari 1 mg/dl, atau kenaikan bilirubin serum 1

mg/dl/jam atau lebih dari 5 mg/dl/hari.

g. Ikterus menetap sesudah bayi berusia 10 hari (bayi cukup bulan) dan

lebih dari 14 hari pada BBLR (bayi baru lahir rendah)(Ngastiyah,

2005).

h. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik (Vivian, 2010).

i. Ikterus disertai berat lahir <2000gr, masa gestasi <36 minggu,

asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi,

hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah (Surasmi, 2003).

Ikterus dikatakan patologik jika pigmennya, konsentrasinya

dalam serum, waktu timbulnya, dan watu menghilangnya berbeda dari

kreiteria yang telah disebut ikterus fisiologis. Walaupun kadar bilirubin

masih dalam batas-batas fisiologis, tetapi klinis mulai terdapat tanda-

4
tanda Kern Ikterus, maka keadaan ini disebut Ikterus patologis. Ikterus

patologis dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu

1) Prahepatik (ikterus hemolitik)

Ikterus ini disebabkan karena produksi bilirubin yang meningkat

pada proses hemolisis sel darah merah (ikterus hemolitik).

Peningkatan bilirubin dapat disebabkan oleh beberapa factor,

diantaranya adalah infeksi, kelainan sel darah merah, dan toksin dari

luar tubuh, seta dari tubuh itu sendiri.

2) Pascahepatik (obstruktif)

Adanya obstruksi pada saluran empedu yang mengakibatkan

bilirubin konjugasi akan kembali lagi ke dalam sel hati dan masuk ke

dalam aliran darah, kemudian sebagian masuk dalam ginjal dan

diekskresikan dalam urine. Sementara itu, sebagian lagi tertimbun

dalam tubuh sehingga kulit dan sclera berwarna kuning kehijauan

serta gatal. Sebagai akibat dari obstruksi saluran empedu

menyebabkan ekskresi bilirubin ke dalam saluran pencernaan

berkurag, sehingga feses akan berwarna putih keabu-abuan, liat, dan

seperti dempul.

3) Hepatoseluler (ikterus hepatik)

Konjugasi bilirubin terjadi pada sel hati, apabila sel hati mengalami

kerusakan maka secara otomatis akan mengganggu proses konjugasi

bilirubin sehingga bilirubin direct meningkat dalam aliran darah.

Bilirubin direct mudah diekskresikan oleh ginjal karena sifatnya

5
yang mudah larut dalam air, namun sebagian masih tertimbun dalam

aliran darah (Vivian, 2010).

1.1.4 Etiologi dan Faktor Risiko

1. Etiologi

a. Ikterus fisiologis

Penyebab ikterus fisiologis diantaranya karena kurang protein Y dan

Z, enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.

b. Ikterus patologis

1) Penyakit hemolitik, isoantibodi karena ketidakcocokan golongan

darah ibu dan anak seperti Rhesus antagonis, ABO, dan

sebagainya.

2) Kelainan dalam sel darah merah seperti pada defisiensi G-6-PD

(glukosa-6 fosfat dehidrokinase), talasemia, dan lain-lain.

3) Hemolisis: hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma

lahir.

4) Infeksi: septisemia, meningitis, infeksi saluran kemih, penyakit

karena toksoplasmosis, sifilis, rubella, hepatitis, dan lain-lain.

5) Kelainan metabolik: hipoglikemia, galaktosemia.

6) Obat-obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin

seperti: solfonamida, salisilat, sodium benzoate, gentamisin, dan

sebagainya.

6
7) Pirau eneterohepatik yang meninggi: obstruksi usus letak tinggi,

penyakit Hirschprung, stenosis pilorik, mekonium ileus, dan

sebagainya (Ngastiyah, 2005).

2. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

a. Faktor Maternal

1) Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native

American,Yunani)

2) Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

3) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.

4) ASI

b. Faktor Perinatal

1) Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

2) Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

c. Faktor Neonatus

1) Prematuritas

2) Faktor genetik

3) Polisitemia

4) Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)

5) Rendahnya asupan ASI

6) Hipoglikemia

7) Hipoalbuminemia (Sudigdo, 2004)

1.1.5 Gambaran Klinis

7
Gejala awal biasanya adalah malas minum, suhu badan yang tidak

stabil, iritabilitas, berkurangnya refleks, letargi, dan pergerakan distonik

lengan. Dalam beberapa jam dapat berkembang menjadi kekakuan dan

ekstensi umum, tangan mengepal, ekstensi silang tungkai, dan

opistotonus. Tangisan bayi menjadi bernada tinggi dan dapat timbul

deviasi bola mata akibat paralisis otot ekstraokular. Pada stadium akhir

dapat terjadi apnea serta perdarahan lambung dan paru. Pada bayi yang

hidup dapat terjadi spasme ekstensor yang mengakibatkan hipotonia

umum, kelemahan refleks hisap dan keterbelakangan perkembangan.

Gejala sisa jangka panjang lama termasuk palsi serebral spastik atau

gerakann koreotitoid, retardasi mental, kelemahan gerakan motor halus,

paralisis bola mata ke atas serta tuli nada tinggi.

Pada bayi dengan berat lahir rendah, tanda akut mungkin hanya

berupa tangan mengepal, tonus otot yang meningkat dan apnea

berulang, atau bahkan tidak terdapat gejala sama sekali (William,

1993).

1.1.6 Patofisiologi

Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan

eritrosit.Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan

puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun

mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

1. Ikterus fisiologis Secara umum, setiap neonatus mengalami

peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada

8
hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola

ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin

serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan

dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu

pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin

sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL (Health

Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry

of Health Malaysia, 2002).

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan

faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak

bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan

berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina

cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari

ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus

fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena

polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari

dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar

yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice) (Managing

newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives.

Departement of Reproductive Health and Research, World Health

Organization, Geneva 2003).

9
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi

ikterus yang yang berkepanjangan.Hal ini dapat terjadi karena adanya

faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin

di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu

khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah. Apabila

keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana

khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin (Departement of

Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva

2003).

1.1.7 Penegakan diagnosis

1. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab

Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan

membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan

suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya.

Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan ialah menggunakan saat

timbulnya ikterus yaitu:

a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama

Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama sebagian besar disebabkan

oleh :

1) Inkompatibilitas darah Rh, ABO, atau golongan lain

2) Infeksiintra uterine

3) Kadang-kadang karena defisiensi enzim G-6-PD

10
b. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir

1) Biasanya ikterus fisiologis

2) Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah Rh, ABO atau

golongan lain

3) Defisiensi enzim G-6-PD atau enzim eritrosit lain juga masih

mungkin.

4) Policitemi

5) Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponerosis,

perdarahan hepar, sub capsula dll)

c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu

pertama

1) Sepsis

2) Dehidrasi dan asidosis Defisiensi G-6-PD

3) Pegaruh obat-obatan

4) Sindroma Criggler-Najjar, sindroma Gilbert

d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya

1) Ikterus obtruktif

2) Hipotiroidisme

3) Breast milk jaundice

4) Infeksi

5) Hepatitis neonatal

6) Galaktosemia(Rustam, 2000)

2. Pemeriksaan yang perlu dilakukan:

11
a. Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala

b. Pemeriksaan darah tepi

c. Pemeriksaan penyaring tepi

d. Pemeriksaan laninnya yang berkaitan dengan kemungkinan

penyebab

Ikterus baru dapat dikatakn fisiologis sesudah observasi dan

pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak

mempunyai potensi berkembang menjadi kern ikterus.

(WHO 2003) dalam panduannya menerangkan cara menentukan

ikterus secara visual, sebagai berikut:

1) Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari

dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila

dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada

pencahayaan yang kurang.

2) Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di

bawah kulit dan jaringan subkutan.

3) Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh

yang tampak kuning.

Tabel 2.1 Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus (WHO 2003)


Usia Kuning terlihat Tingkat Keparahan
pada: Ikterus
Hari 1 *Bagian tubuh Berat
manapun
Hari 2 *Lengan dan Tungkai
Hari 3 Tangan dan Kaki

12
dan
seterusny
a

*Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama

dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka

digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar

secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin

serum untuk memulai terapi sinar.

e. Bilirubin Serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan

diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi

lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan

pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan

invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.Umumnya

yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari

cahaya (dengan aluminium foil)

Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar

bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.

f. Bilirubinometer Transkutan Bilirubinometer

Adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip

memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang

gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi

warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.

13
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat

yang amat dipengaruhi pigmen kulit.Saat ini, alat yang dipakai

menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak

terpengaruh pigmen (Dennery, 2001).Pemeriksaan bilirubin transkutan

dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.

Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk

tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh (Suresh, 2004)

menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara

rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari

segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin (Suresh,

2004).

g. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini

menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada

konsentrasi bilirubin serum yang rendah.

Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin

bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini

berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin.

Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin

bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah (Surjono, 1995).

Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan

bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini,

14
maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan

dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin(Dennery, 2001).

1.1.8 Penilaian Ikterus

Penilaian ikterus menurut Kramer. Ikterus dimulai dari kepala,

leher, dan seterusnya. Dan membagi tubuh bayi baru lahir dalam 5 bagian

bawah sampai tumit, tumit-pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan

dan kaki, serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara

pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang

tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut, dan lain-lain.

Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan

dengan angka rata-rata di dalam gambar di bawah ini.

Nomor urut

menunjukkan arah

luasnya ikterus.Makin

besar angkanya makin

tinggi intensitas

ikterusnya.

15
Gambar 2.1 Pembagian ikterus menurut Kramer (Sudigdo, 2004)

Tabel 2.2 Hubungan kadar bilirubin (mg/dl) dengan daerah ikterus menurut
Kramer (Sudigdo, 2004)

Kadar Bilirubin (mg%)


Daerah Luas Ikterus
Prematur Aterm
1 Kepala dan leher 4-8 4-8
Daerah 1 + badan
2 5-12 5-12
bagian atas
Daerah 1,2 + badan
3 bagian bawah dan 7-15 8-16
tungkai
Daerah 1,2,3 + lengan
4 dan kaki di bawah 9-18 11-18
tungkai
Daerah 1,2,3,4 +
5 >10 >15
tangan dan kaki

1.1.9 Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan keperawatan:

a. Memenuhi kebutuhan cairan/ nutrisi dengan memberi minum sesuai

kebutuhanberikan secara berulang-ulang, karena bayi malas minum.

Jika tidak mau menghisap dot berikan pakai sendok, jika tidak habis

berikan melalui sonde. Perhatikan frekuensi buang air besar.

Mungkin susu tidak cocok (jika bukan ASI perlu ganti susu formula),

b. Mengenal gejala meningkatnya ikterus, jika bayi terlihat mulai

kuning jemur pada matahari pagi sekitar pukul 7-8 selama 15-30

16
menit, periksa darah untuk bilirubin jika hasilnya masih di bawah 7

mg% ulang esok harinya, perhatikan hasil darah bilirubin jika

hasilnya 7 mg% segera hubungi dokter bayi perlu terapi,

c. Gangguan rasa aman dan nyaman akibat pengobatan dengan

memangku bayi setiap memberikan minum dan mengajak

berkomunikasi secara verbal untuk memenuhi kebutuhan psikologik,

mengusahakan agar bayi tidak kepanasan/ kedinginan, memelihara

kebersihan tempat tidur bayi dan lingkunannya, dan mencegah

terjadinya infeksi (Ngastiyah, 2005).

b. Penatalaksanaan berdasarkan waktu timbulnya

c. Ragam terapi

a. Terapi sinar

Terapi sinar diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg

%. Terapi sinar sebenarnya berdasarkan dari pengalaman seorang

perawat di Inggris dimana bayi yang ruangannya mendapatkan sinar

matahari keadaan ikterus cepat menghilang.Kemudian dikembangkan

hingga didapatkan alat untuk terapi sinar atau sering disebut blue

light(Ngastiyah, 2005).

Tujuan terapi sinar (light therapy) bertujuan untuk memcah

bilirubin menjadi senyawa dipirol yang nontiksik dan dikeluarkan

melalui feses dan urine. Indikasinya adalah kadar bilirubin darah ≥

17
10mg% dan setelah atau sebelum dilakukannya tranfusi tukar (Vivian,

2010).

1) Alat-alat yang diperlukan adalah sebagai berikut:

a) Lampu fluoresensi 10 buah masing-masing 20 watt dengan

gelombang sinar 425-475 mm, seperti pada sinar cool white,

daylight, vita kite blue, dan special blue.

b) Jarak sumber cahaya bayi ±45 cm, di antaranya diberi kaca pleksi

setebal 0,5 inci untuk menahan sinar ultraviolet

c) Lampu diganti setiap 200-400 jam (Vivian, 2010).

d) Filter biru yang berfungsi membesarkan energy cahaya yang

sampai pada bayi.

e) Alat-alat pengaman listrik

f) Kaki tumpuan dan regulator untuk turn naiknya lampu

(Ngastiyah, 2005).

2) Cara terapi

a) Baringkan bayi telanjang, hanya genitalia yang ditutupi (pakaikan

popok mini saja. Maksudnya agara sinar dapat merata ke seluruh

tubuh).

b) Kedua mata ditutup dengan penutup yang tidak tembus cahaya.

Dapat dengan kain kasa yang dilipat-lipat dan dibalut.

Sebelumnya katupkan dahulu kelopak mata neonates (untuk

mencegah kerusakan retina).

18
c) Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah, telentang, tengkurap, setiap 6

jam (bila mungkin) agar sinar merata.

d) Pertahankan suhu bayi agar selalu 36,5-370C, dan observasi suhu

setiap 4-6 jam sekali. Jika terjadi kenaikan suhu matikan

sementara lampunya dan bayi diberikan banyak minum. Setelah 1

jam kontrol kembali suhunya. Jika tetap tinggi hubungi dokter.

e) Perhatikan asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan

meningkatnya suhu tubuh bayi.

f) Pada waktu memberi minum bayi dikeluarkan, dipangku, penutup

mata di buka. Perhatikan apakah terjadi iritasi atau tidak.

g) Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam setelah pemberian terapi 24

jam.

h) Bila kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 mg% atau kurang

terapi dihentikan walaupun belum 100 jam.

i) Jika setelah pemberian terapi 100 jam bilirubin tetap tinggi/ kadar

bilirubin dalam serum terus naik, coba lihat kembali apakah

lampu belum melebihi 500 jam digunakan. Selanjutnya hubungi

dokter. Mungkin perlu transfusi tukar (Ngastiyah, 2005).

Penyinaran kulit bayi sebanyak mungkin oleh cahaya

berintensits tinggi dalam kisaran biru, hijau, dan hijau-biru

memicu terjadinya tiga perubahan cepat fotokimiawi pada

struktur molekul bilirubin. Perubahan ini memungkinkan ekskresi

19
isomer-isomer ini dari tubuh melalui empedu atau urine tanpa

memrlukan transport atau konjugasi oleh hati sehingga

mengurangi kadar bilirubin dala aliran darah (Lorna, 2011). Ada

beragam sistem dan metode terapi penyinaran. Ini berkisar dari

terapi cahay intensif di unit neonates hingga bilibed di rumah.

Bilibed terbukti merupakan terapi yang efektif, tepat dan aman

untuk bayi dengan ikterus ringan-sedang (Lorna, 2011).

Yang diperhatikan pada pemberian terapi sinar:

Pasang label, kapan terapi dimulai dan kapan seleasainya.

Hitung 100 jam sampai tanggal berapa. Sebelum digunakan cek

lampu apakah lampu semua menyala. Tempelkan pada alat terapi

sinar penggunaan yang ke berapa kali pada bayi itu, untuk

memudahkan mengetahui kapan mencapai 500 jam penggunaan

(Ngastiyah, 2005).

3) Komplikasi terapi sinar

a) Salah satu isu utama fototerapi bagi ibu di rumah sakit adalah

pemisahan mereka dengan bayinya, yang akan berdampak

negatif terhadap menyusui serta berpotensi menimbulkan efek

psikologis pada ibu. Dengan menggabungkan ibu dan bayinya,

ibu dapat melihat isyarat menyusu awal bayi. Isyarat menyusu

lebih lanjut dari bayi seperti menangis dapat memperburuk

perilaku menyusu sehingga menunda pemberian ASI (Koehn,

2005). Hidrasi dan nutrisi dalam jumlah cukup teramat penting

20
bagi bayi ikterus, sehingga keberhasilan menyusui harus

senantiasa diupayakan (Lorna, 2011).

b) Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan

mengakibatkan peningkatan insensible water loss (penguapan

cairan). Pada BBLR kehilangan cairan dapat meningkat 2-3 kali

lebih besar.

c) Frekuensi defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya

bilirubin indirek dalam cairan empedu dan meningkatkan

peristaltik usus.

d) Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar

(berupa kulit kemerahan) tetapi akan hilang jika terapi selesai.

e) Gangguan retina jika mata tidak ditutupi.

f) Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian

lampu dimatikan, terapi diteruskan. Jika suhu terus naik lampu

semua dimatikan sementara, bayi dikompres dingin dan berikan

ekstra minum (Ngastiyah, 2005).

g) Hipo/hipertermia

h) Letargi

i) Feses encer/ urine gelap

j) Perubahan neurobehavioural

k) Hipokalsemia

l) Hitung trombosit yang rendah

b. Transfusi sulih

21
Tranfusi tukar dilakukan pada keadaan hiperbilirubinemia yang

tidak dapat diatasi dengan tindakan lain, misalnya telah diberikan terapi

sinar tetapi kadar bilirubin tetap tinggi.

Pada umumnya tranfusi tukar dilakukan pada ikterus yang

disebabkan karena proses hemolisis yang terdapat pada ketidakselarasan

Rhesus, ABO, defisiensi G6PD, infeksi toksoplasmosis dan sebagainya

(Ngastiyah, 2005).

1) Indikasi untuk melakukan tranfusi tukar adalah:

a) Kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg%

b) Kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam

c) Anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung

d) Bayi dengan kadar Hb tali pusat kurang 14 mg% dan uji Coomb’s

positif (Ngastiyah, 2005).

Tujuan tranfusi tukar ialah mengganti eritrosit yang dapat menjadi

hemolisis, membuang antibodi yang menyebabkan hemolisis,

menurunkan kadar bilirubin indirek, dan memperbaiki anemia

(Ngastiyah, 2005).

2) Sebelum tranfusi tukar dilaksanakan periksa dahulu:

a) Bayi

(1) Kadar bilirubin indirek dan albumin dalam serum, diperlukan

darah 3 mL.

(2) Darah tepi lengkap

22
(3) Golongan daraha, ABO, Rhesus, dan golongan darah lainnya

(1 mL darah)

(4) Kadar G6PD dan enzim lainnya diperlukan 3 mL darah dalam

sitrat/ heparin dan 3 mL darah biasa

(5) Uji Coomb’s (direk dan indirek) bersama titernya diperlukan

darah 3 mL

(6) Biakan darah bila perlu

b) Ibu:

(1) Golongan darah (ABO, Rh, dan golongan darah lainnya)

(2) Test Coomb’s indirek bersama titernya

(3) Kadar Hb dan lainnya jika diperlukan

c) Ayah

(1) Golongan darah ABO, Rh, dan golongan darah lainnya

(2) Sebelum tranfusi dibicarakan dahulu dengan orangtua

(Ngastiyah, 2005).

3) Alat-alat yang dipersiapkan:

a) Spuit 20 mL dengan 3 cabang atau 2 stopcock

b) Spuit 5 mL, 10 mL 2 buah atau 20 mL

c) Glukonas calcius 10% dan heparin encer (2 mL heparin 1000U

dalam 250mL NaCl fisiologik)

d) Kateter polyethylene kecil sepanjang 15-20 cm

e) Dua buah nierbekken, 1 botol kosong (bekas botol infus) untuk

menampung darah yang dibuang

23
f) Alat-alat vena seksi

g) Dua set infuse

h) Lampu duduk 200-250 watt, O2, dan alat-alat resusitasi jika ada

i) Kertas dan pulpen untuk mencatat pemberian darah (pertama

berapa mL, kedua, ketiga, dst)

j) Bangku duduk untuk dokter dan baju ruangan (Ngastiyah, 2005).

4) Teknik

a) Kosongkan lambung bayi (3-4 jam sebelumnya jangan diberi

minum, bila memungkinkan 4 jam sebelumnya diberi infuse

albumin 1 gram/kgBB atau plasma manusia 20mL/kgBB)

b) Lakukan teknik aseptik dan antiseptik pada daerah tindakan

c) Awasi selalu tanda-tanda vital dan jaga agar jangan sampai

kedinginan

d) Bila tali pusat masih segar, potong ±3-5 cm dari dinding perut.

Bila tali pusat sudah kering, potong rata dengan dinding perut

untuk mencegah bahaya perdarahan tali pusat, lalu buat jahitan

laso di pangkal tali pusat

e) Kateter polietilen diisi dengan larutan heparin kemudian salah

satu ujungnya dihubungkan dengan semprit 3 cabang, sedangkan

ujung yang lain dimasukkan dalam vena umbilicus sedalam 4-5

cm

f) Periksa tekanan pada vena umbilicus dengan mencabut ujung luar

dan mengangkat akteter naik ±6 cm

24
g) Dengan mengubah-ubah keran pada semprit 3 cabang, alkukan

penukaran dengan cara mengeluarkan 20 ml darah dan

memasukkan 20 ml darah. Demikian berulang-ulang sampai

jumlah total yang keluar adalah 190 ml/kgBBdan darah yang

masuk adalah 170 ml/kgBB. Selama proses pertukaran, semprit

harus sering dibilas dengan heparin.

h) Setelah darah masuk sekitar 150ml, lanjutkan dengan

memasukkan Ca-glukonat 10% sebanyak 1,5 ml dan perhatikan

denyut jantung bayi. Apabila lebih dari 100 kali per menit

waspadai adanya henti jantung

i) Bila vena umbilicus tak dapat dapakai, maka gunakan vena safena

magna ±1cm di bawah ligamentum inguinal dan medial dari arteri

femoralis (Vivian, 2010).

Tranfusi tukar dilakukan oleh dokter di dalam kamar yang

aseptic.Perawat membantu dokter dan mengawasi keadaan umum bayi

sambil mencatat setiap selesai memasukkan darah.Selama tranfusi

berlangsung perhatikan agar bayi tidak kedinginan (karena dalam

keadaan telanjang di kamaryangterbuka)maka pergunakan lampusorot

untuk menghangatkannya.Jarak dengan pasien diperkirakan dengan

besarnya lampu (jangan terlalu panas). Control suhu bayi selama trnfusi

berlangsung dan pantau denyut jantungnya setiap ½ jam. Suhu bayi harus

sekitar 36,2-36,5OC. Bila suhu lebih rendah dari itu beritahukan

25
dokter.Juga denyut nadi/ jantung menjadi makin lemah (mungkin tranfusi

dihentikan sementara)(Ngastiyah, 2005).

5) Perawatan setelah tranfusi tukar

a) Vena umbilikus (vena lain yang dipakai memasukkan katetr jika

tidak dapat pada vena umbilikus yaitu vena safena, cabang vena

femoralis. Hal ini dilakuakn jika tali pusat telah lepas) dikompres

dengan larutan NaCl fisiologis, kemudian ditutup dengan kasa

steril dan diplester.

b) Bayi diberikan antibiotikum

c) Kadar Hb dan bilirubin serum diperiksa setiap 12 jam

d) Bila perlu tranfusi tukar diulang sesuai kebutuhan

Bayi diberi terapi sinar kembali

Yang perlu dipantau adalah:

(1) Tanda vital setiap jam

(2) Kompres pada bekas katetr dimasukkan bila kering dibasahi lagi

(3) Perhatiakn sekitar vena tersebut apakah terjadi merah dan

pergeseran (tanda infeksi). Bila ada beritahukan dokter karena

biasanya katetr akan dicabut

(4) Perhatiakn pemberian minumnya (Ngastiyah, 2005).

6) Komplikasi tranfusi tukar adalah

a) Vaskular: terjadi thrombosis, emboli.

b) Jantung: aritmia, volume jantung berlebihan, henti jantung

26
c) Gangguan elektrolit: hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia,

asidosis, alkalosis, hipoglikemia, hipokalsemia, hipotermi, dan

lain sebagainya.

d) Infeksi: baakteriemia, hepatitis B, virus sito-megali dan lain

sebagainya (Ngastiyah, 2005).

e) Ketdakseimbangan hemodinamik, Apnea, Bradikardia, Sianosis,

Vasospasme, Thrombosis, Trombositopenia, Koagulopati,

Gangguan keseimbangan elektrolit, Sepsis, Enterokolitis

nekrotikans, Perforasi usus, 23,5% menderita komplikasi non-

fatal dengan 28%-nya mengalami sekuelae berlanjut ar=tau

permanen, kematian 4,7% ( Lorna, 2011).

1.1.10 Komplikasi

Terjadi kernikterus.Kernikterus (ensefalopati) adalah suatu kerusakan

otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus

striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah di dasar

ventrikel IV (Ngastiyah, 2005). Kernikterus ditandai dengan kadar bilirubin

darah yang tinggi (>20 mg% pada bayi cukup bulan atau >18 mg% pada

bayi berat lahir rendah) disertai dengan gejala kerusakan otak berupa mata

berputar, letargi, kejang, tidak mau menghisap, tonus otot meninggi, leher

kaku dan akhirnya opistotonusdan sianosis, serta dapat juga diikuti dengan

ketulian, gangguan bicara, dan retardasi mental di kemudian hari (Vivian,

2010).

27
1.2 Tinjauan Keperawatan

28

Anda mungkin juga menyukai