Anda di halaman 1dari 177

Pengaruh Rasio Likuiditas, Profitabilitas, Tata Kelola Perusahaan

(Good Corporate Governance), dan Kebijakan Hutang Terhadap


Financial Distress Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Aneka
Industri Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Periode 2014 - 2019

DRAFT TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Sidang Tesis


Guna Memperoleh Gelar Magister Akuntansi

Disusun Oleh :

Amira Tresnawati
NIM. 178110002

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PASUNDAN
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT. yang telah

melimpahkan rahmat serta kasih sayang-Nya, sehingga saya dapat menyusun

proposal penelitian ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam juga semoga

senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.beserta para

keluarga dan para sahabatnya.

Proposal penelitian ini saya susun untuk memenuhi salah satu persyaratan

kelulusan dari Program Pascasarjana Program Studi Magister Akuntansi UNPAS.

Adapun judul proposal penelitian yang saya ajukan adalah Pengaruh Rasio

Keuangan Perusahaan, Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance), dan

Kebijakan Hutang Terhadap Financial Distress.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan proposal penelitian ini masih

banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang

sifatnya membangun agar saya dapat lebih baik lagi dalam menyusun suatu laporan

karya ilmiah untuk masa yang akan datang.

Harapan saya semoga proposal penelitian yang saya buat ini dapat bermanfaat

bagi saya khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Bandung, 30 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………….……........... i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………............. ii
BAB I …………………………………………………………………………….. 1
PENDAHULUAN ……………………………………………………………..…. 1
1.1.Latar Belakang Penelitian …………………………….……………….... 1
1.2.Rumusan Masalah ……………..………..……………………………..... 8
1.3.Tujuan Penulisan ……………………..………......................................... 8
1.4. Manfaat Penulisan …………………………………….………………… 9
BAB II ……………………………………………………………………….…. 10
KAJIAN PUSTAKA ……………………………………………….................... 10
2.1. Kajian Pustaka ……………………………..………………………..… 10
2.2. Kebijakan Hutang …………………………………………………..… 49
2.3. Perbedaan Penelitian Terdahulu …………………..………………..… 55
2.4. Kerangka Pemikiran ……….……………………………………....…. 55
2.5. Pengembangan Hipotesis …………..……………………………........ 57
BAB III ………………………………………………………………..…….… 58
METODE PENELITIAN ……………………………………………………… 58
3.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……………………....… 58
3.2. Populasi dan Sampel ………….………………………………………. 61
3.3. Jenis dan Sumber Data ……………………………………………...… 62
3.4. Metode Pengumpulan Data …………………………………………… 62
3.5. Metode Analisis ………………………………………………………. 63

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Setiap negara pasti ingin selalu meningkatkan perekonomian agar terus

mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Seperti halnya Indonesia, negara-

negara berkembang lainnya selalu berusaha untuk terus memperbaiki dan

mengembangkan sektor ekonomi hingga dapat menjadi negara maju. Untuk

mencapai hal tersebut pemerintah melakukan pembangunan dan pengendalian

secara menyeluruh terhadap sektor-sektor dan sistem yang saling bersinergi.

Di Indonesia, perekonomian tumbuh dan berkembang dengan berbagai

macam kegiatan usaha dan lembaga-lembaga yang ada. Perusahaan

merupakan suatu badan yang didirikan oleh perorangan atau lembaga dengan

tujuan utama untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Pada

dasarnya, tujuan didirikannya suatu perusahaan adalah untuk

memaksimumkan keuntungan perusahaan dan kemakmuran pemilik

perusahaan. Maka dari itu pihak manjemen harus dapat menghasilkan

keuntungan yang optimal dan pengendalian yang seksama terhadap kegiatan

operasional, terutama yang berkaitan dengan keuntungan perusahaan.

Dengan tujuan tersebut pihak manajemen perusahaan dituntut untuk

melakukan kinerja secara optimal dalam aktivitas perusahaan, terutama

masalah keuangan sehingga terhindar dari kondisi rugi dan bangkrut.

Kebangkrutan perusahaan biasanya diawali dengan kondisi kesulitan keuangan

1
(financial distress). Kondisi financial distress mempunyai arti bahwa

perusahaan mengalami kondisi keuangan pada setiap tahunnya semakin

menurun. Kondisi ini pada umumnya ditandai dengan berbagai kondisi. Salah

satunya ialah perusahaan selama dua tahun berturut-turut mempunyai laba

bersih negatif (Mas’ud dan Srengga,2012).

Kondisi financial distress ini terjadi sebelum adanya kebangkrutan

serta memicu kondisi keuangan perusahaan akan semakin memburuk.Apabila

keadaan perusahaan yang sudah mendekati financial distress biasanya

manajemen perusahaan mengambil keputusan untuk menutup semua kegiatan

dalam perusahaan baik itu kegiatan produksi maupun kegiatan operasional

lainnya sebelum terjadinya kebangkrutan atau yang sering disebut dengan

likuidasi. Kesulitan keuangan dapat disebabkan oleh ketidakmampuan

perusahaan dalam mengantisipasi perkembangan global yang akan

mengakibatkan pengecilan volume usaha sehingga pada akhirnya

mengakibatkan kebangkrutan perusahaan.

Dikutip dari Bisnis.com pada tanggal 02 Desember 2019 bahwa

“Sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor aneka industri dan

pertanian rentan mengalami kebangkrutan. Berdasarkan data dari Kementerian

Keuangan per 31 Desember 2018, beberapa BUMN pada bidang aneka industri

dan pertanian mencatatkan nilai rendah pada indeks Altman Z Score.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, BUMN pada

sektor industri dan pertanian merupakan perusahaan yang rentan bangkrut

karena perolehan nilai buruk pada indeks ini. "Untuk sektor lainnya masih

2
terbilang aman. Rata-rata ada di zona kuning dan hijau," jelasnya dalam Rapat

Kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Kompleks

Parlemen, Jakarta, Senin (2/12/2019).

Sementara itu, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian

Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, salah satu penyebab banyaknya

BUMN industri dan pertanian yang berada di zona merah adalah karena

kurangnya aset lancar pada perusahaan tersebut. Selain itu, laba sebelum bunga

dan pajak (EBIT) yang dikumpulkan perusahaan tidak cukup untuk

menghadapi tekanan perekonomian.

Guna mengatasinya, ia mengatakan pemerintah akan memberikan

tambahan modal pada perusahaan yang mengalami financial distress. Hal ini

diharapkan dapat kembali menyehatkan kondisi keuangan sebuah perusahaan.

Salah satu contoh penambahan modal adalah dengan menerbitkan surat utang.

Ia mengatakan, selama besaran utang terkendali dan perusahaan dapat

membayar dengan tepat waktu, ia optimistis cara ini tidak akan menimbulkan

masalah tambahan”.

Masalah keuangan perusahaan dapat terjadi dengan berbagai penyebab,

misalnya saja perusahan mengalami rugi terus-menerus, penjualan yang tidak

laku, bencana alam yang membuat aset perusahaan rusak,sistem tata kelola

perusahaan (Corporate Governance) yang kurang baik atau dikarenakan oleh

kondisi perekonomian negara yang kurang stabil yang memicu timbulnya

krisis keuangan. Long dan Evenhouse (1989) dalam Emrinaldi (2007)

menemukan bahwa faktor-faktor penyebab kesulitan keuangan dapat

3
dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu kondisi ekonomi secara makro,

kebijakan industri dan finansial, perilaku debitor dan kreditor. Brigham dan

Daves (2003) dalam Anggarini (2010) berpendapat financial difficulties terjadi

karena serangkaian kesalahan, pengambilan keputusan yang tidak tepat, dan

kelemahan-kelemahan yang saling berhubungan yang dapat menyumbang

secara langsung maupun tidak langsung kepada manajemen serta tidak adanya

atau kurangnya upaya mengawasi kondisi keuangan sehingga penggunaan

uang tidak sesuai dengan keperluan.

Tentu saja permasalahan keuangan sedapat mungkin diusahakan untuk

dihindari oleh semua perusahaan. Akibat terburuk yang muncul dari

permasalahan keuangan yang dialami perusahaan adalah perusahaan dapat

dinyatakan pailit oleh pengadilan di negara setempat. Kepailitan (failure)

sendiri di Indonesia diatur dalam UU.No.1 tahun 1998 tentang Kepailitan,yang

isinya menyebutkan debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak

dapat membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat

ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik

atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan lima orang atau lebih

krediturnya. Permohonan ini dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk

kepentingan umum.

Adanya ancaman-ancaman permasalahan tersebut membuat para

manajer harus berpikir keras mengenai strategi untuk mengantisipasi kondisi-

kondisi yang menyebabkan terjadinya permasalahan keuangan yang mungkin

menyerang perusahaan. Seperti contohnya ketika krisis keuangan terjadi tahun

4
1998 membuat banyak perusahaan mengalami kesulitan keuangan karena

banyak perusahaan yang memiliki hutang pada pihak ketiga, dimana pada saat

itu bunga hutang melonjak sangat tinggi karena adanya krisis, sehingga jumlah

kewajiban merekapun ikut tinggi. Financial distress sendiri didefinisikan

sebagai tahap penurunan kondisi keuangan perusahaan yang terjadi sebelum

terjadi kebangkrutan ataupun likuidasi (Platt dan Platt, 2002). Definisi lain

mengenai financial distress menurut Emrinaldi (2007) financial distress

merupakan kondisi kesulitan keuangan yang dimulai dari kesulitan likuiditas

(jangka pendek) sebagai indikasi kesulitan keuangan yang paling ringan,

sampai pernyataan kebangkrutan yang merupakan kesulitan keuangan yang

paling berat. Financial distress dapat diakibatkan oleh penyebab yang

bermacam-macam. Whitaker (1999) menyatakan bahwa awal tahun terjadinya

financial distress adalah saat arus kas perusahaan kurang dari jumlah utang

porsi utang jangka panjang yang telah jatuh tempo. Hal ini berarti perusahaan

tidak mampu memenuhi pembayaran kewajibanmya yang seharusnya dibayar

pada saat itu juga. Kondisi perekonomian yang kurang stabil seperti sekarang

ini mempengaruhi keadaan perusahaan manufaktur yang terdaftar di bursa

efek indonesia, dimana hal tersebut dapat menyebabkan probabilitas

perusahaan mengalami kesulitan keuangan atau Financial Distress semakin

tinggi.

Permasalahan keuangan (financial distress) sudah menjadi ancaman

bagi seluruh perusahaan, karena permasalahan keuangan dapat menyerang

seluruh jenis perusahaan walaupun perusahaan yang bersangkutan adalah

5
perusahaan yang besar. Peliknya permasalahan keuangan pada perusahaan ini

menjadi bahan yang menarik untuk diteliti karena banyak perusahaan berusaha

untuk menghindari permasalahan ini. Selain itu, permasalahan keuangan

memiliki pengaruh yang besar, dimana bukan hanya pihak perusahaan yang

mengalami kerugian, tetapi juga stakeholder dan shareholder perusahaan juga

akan terkena dampaknya.

Kategori perusahaan yang mengalami financial distress perusahaan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan yang mempunyai

Earning Per Share (EPS) negatif, sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Elloumi dan Gueyie (2001), yang mendefinisikan financial distress sebagai

perusahaan yang memiliki laba per lembar saham (Earning Per Share) negatif.

Penggunaan EPS sebagai proksi penelitian karena EPS adalah rasio yang

paling terlihat ketika perusahaan mengalami kerugian dalam usahanya.

Melalui EPS dapat tergambarkan keuntungan perusahaan yang diperoleh pada

periode tersebut dan secara implisit bagaimana kinerja perusahaan pada masa

lalu dan prospek ke depan perusahaan tersebut, sesuai dengan pernyataan

Whitaker (1999) yang menyatakan sebuah perusahaan memiliki pertumbuhan

yang baik di masa yang akan datang apabila mempunyai nilai Earning Per

Share (EPS) positif secara terus menerus pada setiap periodenya. Sebaliknya,

EPS yang negatif dalam beberapa periode menggambarkan prospek earning

yang tidak baik dan juga pertumbuhan perusahaannya sehingga hal tersebut

kurang menarik bagi para investor. Dalam kondisi seperti itu perusahaan akan

6
sulit untuk mendapatkan dana dikarenakan pendapatanya negatif, sehingga

dapat memicu terjadinya financial distress.

Secara umum, perusahaan akan lebih produktif jika perusahaan dalam

keadaaan stabil, baik dari segi keuangannya, personel, maupun iklim politik

dan sosial dari negara tempat perusahaan tinggal. Alasan mengapa perusahaan

sukses atau gagal menurut Porter (1991) mungkin lebih disebabkan oleh

strategi yang diterapkan oleh perusahaan. Artinya, kesuksesan suatu

perusahaan banyak ditentukan oleh karakteristik stategis dan manajerial

perusahaan tersebut. Strategi tersebut diantaranya juga mencakup strategi

penerapan sistem Good Corporate Governance (GCG) dalam perusahaan.

Setiawan (2011) menjelaskan Corporate Governance diperlukan untuk

memastikan arah strategi dan pengelolaan perusahan tidak melenceng dari

rencana yang ada dan juga untuk mengurangi adanya praktik kecurangan dari

lingkungan intern perusahaan. Lebih lanjut Setiawan (2011) juga memaparkan

bahwa mekanisme Corporate Governance dapat diartikan sebagai suatu aturan

main, prosedur, dan hubungan yang jelas antara pihak-pihak pengambil

keputusan dengan pihak yang akan melakukan pengawasan terhadap

keputusan tersebut. Mekanisme Corporate Governance yang baik penting

dalam meningkatkan kinerja keuangan perusahaan sehingga perusahaan dapat

menghindari permasalahan keuangan.

Dengan demikian, sistem tata kelola perusahaan (Corporate

Governance) sangat menentukan tercapainya tujuan perusahaan, sebab tata

kelola perusahaan ini yang akan menentukan arah jalannya perusahaan,

7
kebijakan, pengembangan, maupun rencana-rencana dimasa depan. Hal ini

senada dengan pendapat Porter (1991) bahwa kesuksesan perusahaan banyak

ditentukan oleh karakteristik strategis dan manajerial perusahaan tersebut.

Tidak hanya Corporate Governance saja yang dapat mempengaruhi timbulnya

financial distress, terdapat faktor internal perusahaan yang diduga dapat

mempengaruhi terjadinya financial distress. Faktor yang lain misalnya

likuiditas perusahaan, leverage, ukuran perusahaan dan direktur turnover.

Likuiditas merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk membayar

kewajiban-kewajiban finansial yang segera harus dilunasi (yang bersifat

jangka pendek). Kewajiban finansial jangka pendek yang harus segera

dipenuhinya itu dapat berupa utang yang akan jatuh tempo dalam jangka dekat,

upah tenaga kerja, utang bahan yang dibelinya, pembayaran rekening listrik,

air minum yang diperlukan dalam proses produksi dan sebagainya. Kewajiban

tersebut dapat ditutup dari alat-alat likuid yang dimiliki perusahaan. Adapun

alat likuidnya yang paling likuid adalah uang kas (Indriyani, 2009). Dalam

penelitian Almila,et al (2003) dan Fitdini (2009) berhasil menunjukkan bahwa

semakin likuid suatu perusahan maka perusahaan tersebut semakin terhindar

dari ancaman mengalami financial distress. Namun tidak sejalan dengan hasil

penelitian Hong-xia Lie., et al (2008).

Platt (2002) menganggap financial distress sebagai tahap penurunan

kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun

likuidasi. Artinya financial distress dapat dijadikan sinyal atau tanda bahwa

perusahaan sedang terancam kebangkrutan yang tentu saja akan sangat

8
merugikan perusahaan yang mengalaminya. Oleh sebab itu, model sistem

peringatan untuk mengantisipasi adanya financial distress perlu untuk

dikembangkan, karena dapat digunakan sebagai sarana untuk

mengidentifikasikan bahkan memperbaiki kondisi perusahaan sebelum sampai

pada kondisi krisis atau kebangkrutan.

Selain itu dengan isu global yang tengah berkembang saat ini mengenai

wabah pandemi virus Corona Covid-19 juga ikut serta memberikan pengaruh

tersendiri terhadap pertumbuhan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Hal ini

terbukti dengan banyaknya karyawan perusahaan yang dirumahkan atau juga

harus bekerja dari rumah (Working From Home) sehingga aktivitas normal

yang biasanya terjadi di perusahaan harus terhambat dengan kondisi tersebut.

Penelitian ini menggunakan beberapa variabel penelitian, yaitu rasio

keuangan perusahaan, tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance),

dan kebijakan hutang. Sementara itu, perbedaannya adalah adanya

penambahan variabel yaitu proporsi komisaris independent sebagai komponen

corporate governance, ukuran perusahaan, dan direktur turnover. Penelitian ini

tidak memasukan variabel komite audit dalam komponen corporate

governance karena keberadaannya dalam perusahaan saat ini sudah diwajibkan

untuk setiap perusahaan, sehingga tidak dapat dijadikan ukuran yang dapat

mempengaruhi terjadinya financial distress pada perusahaan. Penelitian ini

menggunakan sampel perusahaan manufaktur financially distressed yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2014-2018.

9
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas adapun rumusan masalah pada

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Rasio Likuiditas pada perusahaan manufaktur sektor aneka

industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia ?

2. Bagaimana Rasio Profitabilitas pada perusahaan manufaktur sektor aneka

industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia ?

3. Bagaimana Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance) pada

perusahaan manufaktur sektor aneka industri yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia ?

4. Bagaimana Kebijakan Hutang pada perusahaan manufaktur sektor aneka

industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia ?

5. Bagaimana Financial Distress pada perusahaan manufaktur sektor aneka

industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia?

6. Seberapa besar pengaruh Rasio Likuiditas terhadap kemungkinan terjadinya

financial distress ?

7. Seberapa besar pengaruh Rasio Profitabilitas terhadap kemungkinan

terjadinya financial distress ?

8. Seberapa besar pengaruh Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate

Governance) terhadap kemungkinan terjadinya financial distress ?

9. Seberapa besar pengaruh kebijakan hutang terhadap kemungkinan

terjadinya financial distress ?

10
10. Seberapa besar pengaruh Rasio Likuiditas, Profitabilitas, Tata Kelola

Perusahaan (Good Corporate Governance), dan kebijakan hutang terhadap

kemungkinan terjadinya financial distress ?

1.3. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan Rasio Likuiditas pada perusahaan manufaktur sektor aneka

industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

2. Menjelaskan Rasio Profitabilitas pada perusahaan manufaktur sektor aneka

industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

3. Menjelaskan Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance) pada

perusahaan manufaktur sektor aneka industri yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia.

4. Menjelaskan Kebijakan Hutang pada perusahaan manufaktur sektor aneka

industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

5. Menjelaskan Finansial Distress pada perusahaan manufaktur sektor aneka

industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

6. Menganalisis dan menjelaskan seberapa besar pengaruh Rasio Likuiditas

terhadap kemungkinan terjadinya financial distress.

7. Menganalisis dan menjelaskan seberapa besar pengaruh Rasio Profitabilitas

terhadap kemungkinan terjadinya financial distress.

11
8. Menganalisis dan menjelaskan seberapa besar pengaruh Tata Kelola

Perusahaan (Good Corporate Governance) terhadap kemungkinan

terjadinya financial distress.

9. Menganalisis dan menjelaskan seberapa besar pengaruh kebijakan hutang

terhadap kemungkinan terjadinya financial distress.

10. Menganalisis dan menjelaskan seberapa besar pengaruh Rasio Likuiditas,

Profitabilitas, Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance), dan

kebijakan hutang terhadap kemungkinan terjadinya financial distress.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut :

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan literatur untuk

sumber referensi pada penelitian selanjutnya, sehingga dapat menambah

pengetahuan pembaca mengenai financial distress pada perusahaan dan apa

saja yang dapat mempengaruhi terjadinya financial distress dalam

perusahan.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi

manajemen perusahaaan mengenai kemungkinan terjadinya financial

distress sehingga manajemen dapat mengetahui faktor yang dapat

12
menyebabkan terjadinya financial distress dan dapat menghindarkan

perusahaan yang ia kelola dari kejadian financial distress.

13
BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

Kajian pustaka dalam penelitian ini memuat berbagai teori dari para ahli,

hasil penelitian orang lain dan publikasi umum yang berhubungan dengan

masalah-masalah penelitian. Sugiyono (2013:58) mengemukakan bahwa

kajian pustaka merupakan kegiatan mendalami, mencermati, menelaah dan

mengidentifikasi pengetahuan-pengetahuan. Penelitian ini menggunakan

berbagai sumber dan literature baik berupa buku maupun referensi lain sebagai

dasar teori dalam analisis perhitungan.

2.1.1. Rasio Likuiditas

2.1.1.1. Pengertian Rasio Likuiditas

Menurut Fahmi (2012:59) likuiditas adalah kemampuan suatu

perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya secara tepat waktu,

contohnya pembayaran gaji karyawan, listrik, telepon, PDAM, dan

sebagainya. Karena itu rasio likuiditas sering disebut dengan short term

liquidity. Perusahaan yang mampu memenuhi atau membayar kewajiban

keuangan tepat pada waktunya disebut likuid, yaitu apabila aktiva lancar lebih

besar daripada hutang lancar. Sedangkan perusahaan yang tidak mampu

14
memenuhi atau membayar kewajiban keuangan tepat pada waktunya disebut

illikuid. Untuk mengukur rasio likuditas dalam penelitian ini menggunakan

beberapa rasio keuangan yaitu sebagai berikut :

1. Rasio Lancar (Current Ratio)

Current Ratio merupakan perbandingan antara jumlah aktiva lancar

dengan hutang lancar. Rasio ini menunjukkan bahwa nilai menunjukkan

bahwa nilai kekayaan lancar (yang segera dapat dijadikan uang) ada

sekian kalinya hutang jangka pendek. Current Ratio ini menunjukkan

tingkat keamanan (margin of safety) kreditor jangka pendek, atau

kemampuan koperasi untuk membayar hutang-hutang tersebut. Current

Ratio yang tinggi menunjukkan kelebihan uang kas atau aktiva lancar

lainnya dibandingkan dengan yang dibutuhkan sekarang atau tingkat

likuditas yang rendah daripada aktiva lancar dan sebaliknya.

2. Rasio Cepat (Quick Ratio)

Quick ratio merupakan penjelasan lebih lanjut dari current ratio.

Penghitungan quick ratio hanya menggunakan aktiva lancar yang paling

likuid untuk dibandingkan dengan kewajiban lancar. Inventaris tidak

termasuk ke dalam perhitungan quick ratio karena sulit untuk ditukar

dengan kas, sehingga quick ratio jauh lebih ketat dari current ratio.

3. Rasio Kas (Cash Ratio)

Cash rasio menujukkan hubungan antara perbandingan kas dan setara kas

dengan hutang lancar yang dimiliki oleh koperasi. Rasio ini digunakan

15
untuk mengukur kemampuan kas yang sesungguhnya untuk memenuhi

hutang-hutangnya tepat pada waktunya.

4. Rasio Perputaran Kas (Cash Turnover Ratio)

Perputaran kas ialah perputaran dari sejumlah modal kerja yang

tersimpan dalam kas dan juga bank dalam satu periode akuntansi.

Bambang Riyanto (2010: 92) menjelaskan pengertian perputaran kas

bahwa :

“Perputaran kas menggambarkan kamampuan kas perusahaan dalam


menghasilkan pendapatan sehingga dapat diketahui berapa kali kas
berputar dalam satu periode tertentu.”

Tingkat perputaran kas menunjukkan kecepatan perubahan kembali aset

lancar menjadi kas melalui penjualan. Artinya, dengan rasio cash

turnover ini investor atau pun kreditor ingin mengetahui seberapa besar

penjualan yang bisa dihasilkan dari kas rata-rata yang dimiliki

perusahaan. Makin tinggi tingkat perputaran kas, persediaan muapun

piutang maka akan menunjukkan tingginya volume dari penjualan

perusahaan.

5. Rasio Modal Kerja Terhadap Total Aset (Working Capital to Total Asset

Ratio)

Setiap perusahaan perlu menyediakan modal kerja, perusahaan

yang bergerak dibidang apapun baik itu perusahaan jasa maupun

perusahaan produksi barang selalu membutuhkan modal kerja untuk

membiayai kegiatan usahanya, dengan harapan dana yang telah

16
dikeluarkan dapat kembali masuk ke dalam perusahaan dalam jangka

yang relatif pendek.

Menurut Haharap (2009:299),

Modal kerja adalah aktiva lancar dikurangi utang lancar. Modal

kerja ini merupakan ukuran tentang keamanan dari kepentingan

kreditur jangka pendek.Modal kerja bisa juga dianggap sebagai dana

yang tersedia untuk di investasikan dalam aktiva lancar atau untuk

membayar utang tidak lancar.

2.1.1.2. Tujuan dan Manfaat Rasio Likuiditas

Menurut Kasmir (2017:132) tujuan dan manfaat rasio likuditas adalah

sebagai berikut :

a. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban atau

utang yang segera jatuh tempo pada saat ditagih. Artinya, kemampuan

untuk membayar kewajiban yang sudah waktunya dibayar sesuai

jadwal batas waktu yang ditetapkan.

b. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka

pendek dengan aktiva lancar secara keseluruhan. Artinya, jumlah

kewajiban yang berumur di bawah satu tahun atau sama dengan satu

tahun, dibandingkan dengan total aktiva lancar.

c. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka

pendek dengan aktiva lancar tanpa memperhitungkan sediaan atau

17
piutang. Dalam hal ini aktiva lancar dikurangi sediaan utang yang

dianggap likuiditasnya lebih rendah.

d. Untuk mengukur atau membandingkan antara jumlah sediaan yang ada

dengan modal kerja perusahaan.

e. Untuk mengukur seberapa besar uang kas yang tersedia untuk

membayar utang.

f. Sebagai alat perencanaan ke depan, terutama yang berkaitan dengan

perencanaan kas dan utang.

g. Untuk melihat kondisi dan posisi likuditas perusahaan dari waktu ke

waktu dengan membandingkannya untuk beberapa periode.

2.1.1.3. Indikator Rasio Likuditas

Menurut Kasmir indikator atau pengukuran rasio likuditas adalah

sebagai berikut :

Tabel 2.1
Pengukuran Rasio Likuiditas
Standar Rasio Standar Keterangan
Likuditas Industri
Current Ratio 2 kali Baik

Quick Ratio 1,5 kali Baik

Cash Ratio 0,5 kali Baik

Cash Turnover 1 kali Baik

Sumber : Kasmir, hal 143 tahun 2013

18
2.1.2. Rasio Profitabilitas

2.1.2.1. Pengertian Rasio Profitabilitas

Menurut Kasmir (2017:196) rasio profitabilitas merupakan rasio untuk

menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga

memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan.

Menurut Soemarso (2012:397) rasio profitabilitas adalah hasil dari

berbagai keputusan dan kebijakan yang dijalankan perusahaan. profitabilitas

dapat diukur melalui kemampuan perusahaan menghasilkan laba.

Menurut Fahmi (2013:135) rasio profitabilitas merupakan rasio yang

mengukur efektivitas manajemen secara keseluruhan yang ditujukan oleh

besar kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh dalam hubungannnya

dengan penjualan maupun investasi.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa rasio

profitabilitas adalah rasio untuk menilai kemampuan perusahaan atau

mengukur efektivitas manajemen dalam mencari keuntungan dalam

hubungannnya dengan penjualan maupun investasi.

2.1.2.2. Fungsi dan Tujuan Rasio Profitabilitas

Menurut Kasmir (2017:198) fungsi dan manfaat penggunaan rasio

profitabilitas adalah untuk :

a. Mengetahui besarnya tingkat laba yang diperoleh perusahaan dalam

suatu periode.

19
b. Mengetahui posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun

sekarang.

c. Mengetahui perkembangan laba dari waktu ke waktu.

d. Mengetahui besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri

e. Mengetahui produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang

digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri.

Sedangkan tujuan rasio rentabilitas menurut kasmir (2017:197), yaitu :

a. Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh perusahaan

dalam suatu periode tertentu.

b. Untuk menilai posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun

sekarang.

c. Untuk menilai perkembangan laba dari waktu ke waktu.

d. Untuk menilai besrnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri.

e. Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang

digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri.

f. Untuk mengukur produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang

digunakan baik modal sendiri.

2.1.2.3. Metode Analisis Rasio Profitabilitas

Menurut Fahmi (2013:135) rasio profitabilitas terdiri dari dari :

a) Gross Profit Margin adalah mengukur kemampuan perusahaan untuk

mengendalikan biaya persediaan atau biaya operasi.

20
b) Net Profit Margin adalah mengukur laba yang dicapai dibandingkan

dengan penjualan.

Keterangan :

Laba bersih = keuntungan yang diperoleh perusahaan

Penjualan = kegiatan pemasaran yang langsung berhubungan dengan

konsumen, pengguna atau pemakai langsung.

2.1.2.4. Tahapan Analisis Rasio Profitabilitas

Menurut Fahmi (2013:12) langkah-langkah analisis rasio solvabilitas,

yaitu :

a. Tentukan Tujuan Analisis.

b. Pelajari tentang di mana perusahaan bergerak dan hubungan iklim

industri dengan proyeksi pengembangan ekonomi.

c. Kembangkanlah pengetahuan mengenai perusahaan dan kualitas

manajemen.

d. Evaluasi laporan keuangan.

e. Ikhtisarkan temuan-temuan atas dasar suatu analisis dan ambil

kesimpulan berkenaan dengan sasaran yang ditetapkan.

2.1.2.5. Indikator Rasio Profitabilitas

Menurut Kasmir indikator atau pengukuran rasio profitabilitas adalah

sebagai berikut :

21
Tabel 2.2
Standar Rasio Profitabilitas

Standar Rasio Standar Keterangan


Profitabilitas (%) Industri (%)
Gross Profit >20 Baik
Margin
Net Profit Margin >30 Baik
Return on
investment >40 Baik

Sumber : Kasmir, hal 208

Keterangan :

a. Jika hasil perhitungan GPM, NPM, ROI di atas rata-rata standar

industri maka dikatakan kondisi rasio rentabilitas baik.

b. Jika hasil perhitungan GPM, NPM, ROI di bawah rata-rata standar

industri maka dikatakan kondisi rasio rentabilitas kurang baik.

(Kasmir, 2017:208-209).

2.1.3. Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance)

Pengertian Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance)

menurut Daniri (2014:5) adalah sebagai berikut :

“Struktur dan proses (Peraturan, Sistem dan Prosedur) untuk


memastikan Prinsip TARIF bermigrasi menjadi kultur,
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan untuk
mewujudkan pertumbuhan berkelanjutan, meningkatkan nilai
tambah dengan tetap memperhatikan keseimbangan
kepentingan stakeholders yang sesuai dengan prinsip korporasi
yang sehat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

22
Good Corporate Governance mempunyai banyak definisi yang

dinyatakan oleh berbagai organisasi maupun pendapat seseorang. Berikut ini

dituliskan berbagai definisi good corporate governance dari sumber-sumber

yang berbeda :

1. Good Corporate Governance (GCG) menurut Komite Nasional

Kebijakan Governance (KNKG) adalah salah satu pilar dari sistem

ekonomi pasar yang berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap

perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di

suatu negara.

2. Setiawan (2011) mendefinisikan Good corporate governance sebagai

konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan dapat

meminimalkan masalah agensi antara principal dan agen dengan

memberikan keyakinan terhadap pihak principal terhadap kinerja

manajemen. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para

investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi

mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri atau menggelapkan

atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak

menguntungkan.

3. Walsh dan Seward (1990) menurutnya corporate governance adalah

sebuah aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak

yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan

kontrol/pengawasan terhadap keputusan tersebut. Lebih lanjut, walsh

dan steward (1990) membagi mekanisme corporate governance

23
menjadi mekanisme pengendalian internal dan mekanisme

pengendalian eksternal. Mekanisme pengendalian internal didasarkan

pada pengendalian oleh pasar dapat digunakan untuk membantu

menselaraskan kepentingan manajer dengan shareholder.

4. Center for European Policy Studies (1999) mendefinisikan GCG

sebagai seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses,

serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen

perusahaan.

Keseluruhan pengertian good corporate governance di atas memiliki

inti yang sama, yaitu sebagai konsep yang dapat memberikan manfaat positif

bagi perusahaan, yaitu berupa arahan pada pengelola perusahaan bagaimana

cara mengatur perusahaan dengan baik agar tercapainya suatu tujuan

perusahaan yang telah ditetapkan guna peningkatan kinerja perusahaan dan

menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan

pada kerangka peraturan. Pelaksanaan good corporate governance pada

perusahaan di Indonesia mendapat pengawasan dari Komite Nasional

Kebijakan Governance (KNKG). KNKG mengeluarkan Pedoman Umum

Good Corporate Governance Indonesia untuk digunakan oleh perusahaan

sebagai acuan dalam pengelolaan perusahaan yang baik, yang selanjutnya

disebut Pedoman GCG. Menurut KNKG fungsi penerapan good corporate

governance bagi perusahaan adalah :

24
1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui

pengelolaanyang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas,

responsibilitas,independensi serta kewajaran dan kesetaraan.

2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing

organperusahaan, yaitu Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum

PemegangSaham.

3. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan

anggotaDireksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan

tindakannyadilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan

terhadap peraturanperundang-undangan.

4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan

terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di

sekitarperusahaan.

5. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengantetap

memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.

6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional

maupuninternasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar

yangdapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi

nasionalyang berkesinambungan.

Penerapan good corporate governance harus didasarkan pada prinsip-

prinsip tertentu agar pelaksanaanya sesuai dengan aturan dan rencana yang

telah ditetapkan. Prinsip-prinsipdasar dari good corporate governance yang

25
telah dituliskan dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance

Indonesia adalah :

1) Transparency (keterbukaan informasi), yaitu perusahaan harus

menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang

mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan

harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah

yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal

yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham,

kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

2) Accountability (akuntabilitas), yaitu Perusahaan harus dapat

mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar.

Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai

dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan

kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.

3) Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu Perusahaan harus

mematuhi peraturan perundang-undangan serta

melaksanakantanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan

sehingga dapat terpeliharakesinambungan usaha dalam jangka panjang

dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

4) Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan

dikelola secara professionalsecara independentanpa benturan

kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak

26
sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan

prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

5) Fairness (kesetaraan dankewajaran), yaitu dalam melaksanakan

kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikankepentingan

pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas

kewajaran dan kesetaraan.

Penggunaaan prinsip perlu mendapatkan sokongan dari personel

perusahaan untuk mengoptimalkan pelaksanaan good corporate governance

dengan baik. Hal ini diperjelas dalam Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta

Nomor : Kep-305/BEJ/07-2004 Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek

Bersifat Ekuitas di Bursa,perusahaan yang menyelenggarakan pengelolaan

yang baik (good corporate governance) wajib memiliki :

1. Komisaris independen yang yang jumlahnya secara proporsional

sebanding denganjumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang

Saham Pengendali dengan ketentuan jumlah Komisaris Independen

sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh

komisaris.

2. Komite Audit.

3. Sekretaris perusahaan.

Penerapan good corporate governance (GCG) dapat didorong dari dua

sisi, yaitu etika dan peraturan. Dorongan dari etika (ethical driven) datang dari

kesadaran individu-individu pelaku bisnis untuk menjalankan praktik bisnis

yang mengutaman kelangsungan hidup perusahaan, kepentingan stakeholders,

27
dan menghindari cara-cara menciptakan keuntungan sesaat. Di sisi lain,

dorongan dari peraturan (regulatory driven) “memaksa” perusahaan untuk

patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua

pendekatan ini memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing dan

seyogyanya saling melengkapi untuk menciptakan lingkungan bisnis yang

sehat. Untuk membuktikan ada tidaknya pengaruh positif atas dilaksanakanya

good corporate governance, maka penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan elemen-elemen dari good corporate governance. Elemen-

elemen yang digunakan dalam pengukuran struktur corporate governance

adalah :

1. Kepemilikan institusional

2. Kepemilikan manajerial

3. Keberadaan Komisaris independen dalam perusahaan

4. Jumlah Dewan Direksi dalam perusahaan

Pemilihan elemen-elemen corporate governance sebagai variabel

independen dikarenakan elemen-elemen tersebut dianggap mempunyai

pengaruh yang besar terhadap kondisi perusahaan. Sebagaimana kita ketahui

komisaris berfungsi sebagai pengawas jalannya pengelolaan perusahaan yang

dijalankan oleh direksi perusahaan, sementara pemilik berfungsi memberikan

arahan strategi pada pengelola perusahaan dalam hal ini dikoordinatori oleh

direksi perusahaan tersebut.

28
2.1.3.1. Indikator Tata Kelola Perusahaan

Indikator dari Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)

merupakan bentuk pengawan dari komponen organisasi seperti komisaris

independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan dewan

direksi. Menurut Sutedi (2012:24) Berikut penjelasan dari masing – masing

indikator :

1. Dewan Direksi

Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan

yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek

maupun jangka panjang. Dewan direksi juga merupakan salah satu indikator

dalam pelaksanaan corporate governance yang bertugas dan bertanggung

jawab untuk menjalankan manajemen perusahaan. Adapun rumus untuk

mengukur dewan direksi adalah :

Ukuran Dewan Direksi = ∑ Anggota Dewan Direksi

2. Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional adalah jumlah proporsi saham perusahaan

yang dimiliki oleh institusi atau badan usaha atau organisasi. Kepemilikan

institusional merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja sebuah

perusahaan, karena dalam hubungannya dengan fungsi

monitoring,kepemilikan institusional diyakini memiliki kemampuan yang

lebih baik daripada kepemilikan individu (Hartas, 2011). Fungsi monitoring

29
yang dilakukan oleh pemilik institusional tersebut akan membuat perusahaan

lebih efisien dalam penggunaan aset sebagai sumber daya perusahan dalam

operasinya, walaupun pengawasan yang dilakukan investor sebagai pemilik

perusahaan dilakukan dari luar perusahaan. Dengan adanya pengawasan

seperti ini, keputusan manajemen senantiasa menjadi lebih rapi, lebih

bertanggungjawab, dan lebih berpihak pada kepentingan pemilik sehingga

dapat menghindarkan perusahaan dari kesalahaan pemilihan strategi yang

dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan sendiri.

Tingkat kepemilikan saham oleh pihak institusional yang tinggi akan

menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor

institusional sehingga bisa dapat menghalangi perilaku opportunistic. Menurut

Malla, Praveen B (2013:51). Adapun formula yang dapat digunakan untuk

menghitung kepemilikan instittusional dapat dirumuskan sebagai berikut :

Kepemilikan Institusional = Jumlah Saham Institusi x 100%


Jumlah Saham Beredar di Pasar

Nuraeni (2010) mengungkapkan hal yang senada, menurutnya

kepemilikan institusional merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi kinerja perusahaan karena dengan adanya kepemilikan oleh

investor institusional dapat mendorong peningkatan pengawasan yang lebih

optimal terhadap kinerja manajemen. Selain itu,kepemilikan saham merupakan

perwakilan suatu sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung

kinerja perusahaan ke arah yang lebih baik. Lebih lanjut, Nuraeni (2010)

30
menjelaskan pengawasan terhadap perusahaan tidak hanya terbatas dilakukan

oleh pihak dalam perusahaan, tetapi juga dapat dilakukan dari pihak eksternal

perusahaan yaitu dengan adanya pengawasan melalui investor-investor

institusional.

Jadi, ketika kepemilikan institusi dalam perusahaan itu besar, maka

keadaan tersebut akan mendorong pengawasan yang lebih efektif, karena

institusi merupakan profesional yang memiliki kemampuan dalam

mengevaluasi kinerja perusahaan. Semakin besar kepemilikan oleh institusi

keuangan maka akan semakin besar kekuatan suara dan dorongan institusi

keuangan untuk mengawasi manajemen dan akibatnya akan memberikan

dorongan yang lebih besar untuk mengoptimalkan nilai perusahaan sehingga

kinerja perusahaan juga akan meningkat.

3. Kepemilikan Manajerial

Kepemilikan manajerial adalah saham perusahaan yang dimiliki oleh

manajemen atau pengelola perusahaan tersebut. Terkadang saham perusahaan

dimiliki oleh direksi, komisaris, sekretaris perusahaan atau bahkan karyawan

perusahaan tersebut. Akan tetapi, kepemilikan oleh komisaris perusahaan tidak

dimasukan sebagai kriteria kepemilikan manajerial dalam penelitian ini,

karena komisaris bukan sebagai organ pengelola perusahaan, tetapi komisaris

bertugas untuk mengawasi pengelolaan yang dilakukan manajemen

perusahaan yang dipimpin oleh direksi perusahaan. Kepemilikan saham oleh

manajer dalam perusahaan membuat manajermempunyai fungsi ganda, yaitu

31
sebagai pemilik perusahaan sekaligus sebagai pengelola perusahaan

tersebut.Sehingga manajer pemilik saham tersebut akan mempunyai hak untuk

memberikan tekanan atau saran bagi perusahaan untuk berjalan ke arah yang

dikehendakinya.

Kepemilikan manajerial merupakan mekanisme corporate governance

yang efektif sebagai salah satu sarana monitoring yang dapat membawa pada

kualitas pelaporan yang lebih baik (Setiawan, 2011). Hal ini dikarenakan

pemilik yang biasanya bertindak sebagai pengawas pengelolaan perusahaan

ikut terjun dalam kegiatan pengelolaan hingga proses pembuatan laporan

keuangan. Sehingga pemilik seperti membuat laporan yang berisi seluruh

kegiatan yang telah dilakukan olehnya terhadap perusahaan. Sehingga,

kepemilikan manajerial dapat meningkatkan kefektifan kerja manajemen

sekaligus mengurangi kecurangan kerja dari manajemen perusahaan yang

dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Hal ini terjadi karena

manajemen sendiri merupakan pemilik perusahaan yang bersangkutan,

sehingga manajemen akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak melakukan

kesalahan dalam pengambilan keputusan yang berakibat fatal bagi

perusahaannya sendiri. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan kinerja

perusahaan, kepemilikan manajerial yang semakin tinggi akan semakin

menambah usaha manajemen untuk membawa perusahaan ke arah yang lebih

baik yang lebih menguntungkan bagi pemilik, dimana manajemen tersebut

merupakan pemilik perusahaan yang bersangkutan.

32
Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Demsey & Laber (1993)

dalam Nuraeni (2010) yang menyatakan masalah keagenan banyak

dipengaruhi oleh insider ownership. Insider ownership adalah pemilik

perusahaan sekaligus menjadi pengelola perusahaan. Semakin besar insider

ownership, maka perbedaan kepentingan antara pemegang saham (pemilik)

dengan pengelola perusahaan (manajemen) semakin kecil karena mereka akan

bertindak dengan lebih hati-hati karena manajer juga ikut menanggung

konsekuensi dari tindakan yang dilakukan. Apabila kepemilikan insider

ownership kecil berarti hanya sedikit jumlah pemegang saham yang ikut

terlibat dalam mengelola perusahaan sehingga semakin tinggi pula

kemungkinan munculnya masalah keagenan karena adanya perbedaan

kepentingan antara pemegang saham dengan pengelola perusahaan yang

semakin besar. Dengan demikian kepemilikan saham oleh insider merupakan

insentif untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Hal ini senada dengan

pendapat Linoputri (2010) bahwa kepemilikan manajerial akan menyejajarkan

kepentingan manajemen dan pemegang saham,sebab dengan besarnya saham

yang dimiliki, pihak manajemen diharapkan akan bertindak lebih hati-hati

dalam mengambil keputusan.

Kepemilikan manajerial merupakan pemilik perusahaan sekaligus

menjadi pengelola perusahaan. Semakin besar proporsi kepemilikan

manajerial maka semakin kecil peluang terjadinya konflik, karena jika pemilik

bertindak sebagai pengelola perusahaan maka dalam pengambilan keputusan

akan sangat berhati-hati agar tidak merugikan perusahaan. Menurut Intan

33
Candradewi dan I Bagus Sedana (2016) Apabila kepemilikan manajerial kecil

maka semakin sedikit pula pemegang saham yang terlibat dalam pengelolaan

perusahaan, sehingga semakin tinggi munculnya masalah keagenan

dikarenakan perbedaan kepentingan yang semakin besar. Kepemilikan

manajerial dapat dirumuskan sebagai berikut :

Kepemilikan Manajerial = Jumlah Saham oleh pihak manajemen x 100%


Jumlah Saham Beredar

2.1.3.2. Komisaris Independen

Dewan Komisaris merupakan dewan pengawas dalam perusahaan yang

bertugas mengawasi perilaku manajemen dalam pelaksanaan strategi

perusahaan dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan

bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan

memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan

melaksanakan good corporate governance. Namun demikian, dewan komisaris

tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Sesuai dengan

Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, pelaksanaan tugas

dewan komisaris perlu dipenuhi prinsip-prinsip berikut :

1. Komposisi dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan

keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak

independen.

2. Anggota dewan komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan

memiliki kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan

34
baik termasuk memastikan bahwa direksi telah memperhatikan

kepentingan semua pemangku kepentingan.

3. Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dewan komisaris mencakup

tindakan pencegahan, perbaikan, sampai kepada pemberhentian

sementara.

Dewan komisaris dapat terdiri dari komisaris yang tidak berasal dari

pihak terafiliasi yang dikenal sebagai komisaris independen dan komisaris

yang terafiliasi. Yang dimaksud dengan terafiliasi adalah pihak yang

mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham

pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, serta dengan perusahaan

itu sendiri. Mantan anggota direksi dan dewan Komisaris yang terafiliasi

sertakaryawan perusahaan, untuk jangka waktu tertentu termasuk dalam

kategoriterafiliasi.

Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia memberikan

aturan bahwa jumlah komisaris independen harus dapat menjamin agar

mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dan salah satu dari komisaris independen harus

mempunyai latar belakang akuntansi atau keuangan. Keberadaan komisaris

independent diperlukan dalam perusahaan untuk menengahi atau mengurangi

dampak yang ditimbulkan akibat benturan berbagai kepentingan yang

mengabaikan kepentingan pemegang saham publik (pemegang saham

minoritas) serta stakeholder lainnya, terutama pada perusahaan di Indonesia

35
yang menggunakan dana masyarakat di dalam pembiayaan usahanya (KNKG,

2006).

Sesuai dengan ketentuan di Pasar Modal dalam Surat Direksi PT. Bursa

Efek Jakarta Nomor : KEP-399/BEJ/07-2001 tentang Ketentuan Umum

Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa poin C yang mengatur hal-hal

mengenai komisaris independen, komite audit, dan sekretaris perusahaan,

menjelaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perisahaan

yang baik (good corporate governance), perusahaan tercatat wajib memiliki

komisaris independen yang jumlahnya secara proposional sebanding dengan

jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan

ketentuan jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah

seluruh anggota komisaris.

Kriteria komisaris independen yang telah diatur dalam peraturan BEJ,

Kep-316/BEJ/062000 tanggal 30 Juni 2000 adalah :

1. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan

pemegang saham mayoritasatau pemegang saham pengendali

(controlling shareholders) perusahaan tercatat yang bersangkutan;

2. Komisaris independen tidak memiliki hubungan dengan direktur

dan/atau komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan;

3. Komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada

perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang

bersangkutan;

36
4. Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-

undangan di bidang pasar modal;

5. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham

minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali

(bukan controlling shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang

Saham (RUPS).

Terdapat tiga elemen penting yang akan mempengaruhi tingkat

efektivitas dewan komisaris, yaitu independensi, kompetensi, dan komitmen.

Independensi diharapkan timbul dengan keberadaan komisaris independen.

Kompetensi tercipta dengan adanya komite-komite yang dibentuk dewan

komisaris, terutama komite audit. Keberadaan komisaris independen

dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang lebih obyektif dan independen,

dan juga untuk menjaga ”fairness” serta mampu memberikan keseimbangan

antara kepentingan pemegang saham mayoritas dan perlindungan terhadap

kepentingan pemegang saham minoritas, bahkan kepentingan para stakeholder

lainnya (Setyapurnama dan Norpratiwi, 2004).

2.1.3.3. Ukuran Dewan Direksi

Direktur diposisikan sebagai kepala atau orang yang memiliki

kekuasaan penuh untuk memimpin kegiatan operasi dalam perusahaan. Direksi

bertugas dan bertanggungjawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan.

Masing-masing anggota Direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil

keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya. Namun,

37
pelaksanaan tugas oleh masing-masing anggota direksi tetap merupakan

tanggung jawab bersama.. Agar pelaksanaan tugas direksi dapat berjalan

secara efektif, perlu dipenuhi prinsip-prinsip berikut sesuai dengan Pedoman

Umum Good Corporate Governance Indonesia:

1. Komposisi direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan

pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat

bertindak independen.

2. Direksi harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman

serta kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya.

3. Direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan agar

dapat menghasilkan keuntungan (profitability) dan memastikan

kesinambungan usaha perusahaan.

4. Direksi mempertanggungjawabkan kepengurusannya dalam RUPS

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Fama dan Jensen (1983) direktur memiliki dua fungsi utama,

yaitu :

1) Berfungsi sebagai pembuat keputusan manajemen (strategi perusahaan

dalam jangka pendek, kebijakan investasi dan keuangan),

2) Berfungsi dalam mengendalikan keputusan (kompensasi manajerial,

pengawasan alokasi modal). Struktur dewan direksi pada suatu

perusahaan akan mempengaruhi kualitas keputusan dan pemilihan

strategi yang dijalankan, yang secara tidak langsung juga akan

mempengaruhi jumlah pendapatan yang diperkirakan akan diterima

38
perusahaan. Pengaruh ini terjadi karena peranan yang sangat penting

yang ditanggung oleh dewan direksi dimana dewan harus benar-benar

dapat mempertimbangkan untung dan rugi dari pemilihan keputusan

dengan melihat arahan dari pemilik modal.

Akan tetapi dengan wewenang kekuasaan yang dimiliki tidak

menjadikan direktur dapat bertindak sesuai dengan keinginannya, karena

diatas direktur masih terdapat dewan komisaris yang selalu mengawasi semua

tindakan dan keputusan yang dibuat dan direncanakan oleh direktur

perusahaan. Peran komisaris ini diharapkan akan meminimalisir permasalahan

agensi yang timbul antara dewan direksi dengan pemegang saham. Oleh karena

itu dewan komisaris seharusnya dapat mengawasi kinerja dewan direksi

sehingga kinerja yang dihasilkan sesuai dengan kepentingan pemegang saham.

Dalam beberapa perusahaan mungkin ditemukan kondisi dimana jajaran

dewan komisaris mengangkat beberapa orang menjadi jajaran direksi, bahkan

hampir di setiap perusahaan saat ini dipimpin tidak hanya satu direktur saja,

tetapi beberapa direktur yang membentuk dewan direksi. Dewan direksi dalam

suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi

perusahaan tersebut secara jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan

peran dewan komisaris dalam suatu perusahaan lebih ditekankan pada fungsi

monitoring dari implementasi kebijakan direksi.

2.1.3.4. Ukuran Perusahaan

39
Ukuran perusahaan adalah skala yang menunjukkan besar kecilnya

perusahaan yang dapat diukur dengan berbagai cara, antara lain : total aset, log

size, nilai pasar saham, dan lain-lain. Namun, pada dasarnya ukuran

perusahaan hanya terbagi dalam 3 kategori yaitu perusahaan besar (large firm),

perusahaan menengah (medium-size), perusahaan kecil (small firm) (Fitdini,

2009).

Logika yang dapat kita simpulkan adalah semakin perusahaan itu besar,

maka akan menghasilkan laba yang lebih besar dari pada perusahaan kecil.

Januarti (2008) menambahkan, perusahaan besar akan lebih mampu untuk

menyelesaikan masalah keuangan yang dihadapi dan mempertahankan

kelangsungan hidup usahanya. Akan tetapi, semakin besar suatu entitas

semakin banyak juga ancaman masalah yang menghadang. Masalah pada

perusahan besar yang sering terjadi adalah masalah keagenan yang lebih besar

(Karena lebih sulit dimonitor) sehingga membutuhkan corporate governance

yang lebih baik. Di sisi lain, perusahaan kecil dapat memiliki kesempatan

bertumbuh yang tinggi, sehingga membutuhkan dana eksternal, dan tentunya

membutuhkan mekanisme corporate governance yang baik juga.

2.1.3.5. Direksi Turnover

Perusahaan tentunya mempunyai kebijakan pergantian direksi, baik

dalam jangka waktu yang telah ditetapkan atau pun dalam keadaan tertentu

dimana dewan komisaris selaku pengawas jajaran direksi merasa perlu

dilakukan perubahan dalam jajaran direksi. Hal ini dapat terjadi karena

40
beberapa faktor, misalnya kinerja yang ditunjukan oleh jajaran direksi

mungkin tidak sesuai harapan dewan komisaris, kesehatan direksi terganggu,

kontrak direksi dengan perusahaan telah habis, dll.

Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia memberikan

aturan bahwa anggota direksi dipilih dan diberhentikan oleh RUPS melalui

proses yang transparan. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek,

perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan

mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan

oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap

kelestarian lingkungan, proses penilaian calon anggota direksi dilakukan

sebelum dilaksanakan RUPS melalui Komite Nominasi dan Remunerasi.

Pemberhentian anggota direksi dilakukan oleh RUPS berdasarkan alasan yang

wajar dan setelah kepada yang bersangkutan diberi kesempatan untuk

membela diri. Seluruh anggota Direksi harus berdomisili di Indonesia, di

tempat yang memungkinkan pelaksanaan tugas pengelolaan perusahaan

sehari-hari.

Gilson (1989) dalam wardhani (2006) menyatakan bahwa perusahaan

yang beroperasi dalam kondisi kebangkrutan akan memiliki tekanan yang

sangat tinggi bagi manajemennya, sehingga menghasilkan perbedaan yang

signifikan dalam hal tingkat turnover dari manajemen antara perusahaan yang

melakukan reorganisasi karena kebangkrutan (bankruptcy reorganization)

dengan perusahaan yang melakukan restrukturisasi bukan karena

kebangkrutan (non-bankruptcy restructuring).

41
2.1.4. Kebijakan Hutang

2.1.4.1. Pengertian Kebijakan Hutang

Pengertian kebijakan hutang menurut Bambang Riyanto (2011:98)

adalah sebagai berikut :

“Kebijakan hutang merupakan keputusan yang sangat penting


dalam perusahaan. Dimana kebijakan hutang merupakan salah
satu bagian dari kebijakan pendanaan perusahaan. Kebijakan
hutang adalah kebijakan yang diambil pihak manajemen dalam
rangka memperoleh sumber daya pembiayaan bagi perusahaan
sehingga dapat digunakan untuk membiayai aktivitas
operasional perusahaan.”

Kebijakan hutang perusahaan merupakan tindakan manajemen

perusahaan yang akan mendanai operasional perusahaan dengan

menggunakan modal yang berasal dari hutang. Hal ini berkaitan erat dengan

struktur modal yang dipilih perusahaan. Struktur modal adalah perimbangan

antara modal asing atau hutang dengan modal sendiri. Pemilik perusahaan

lebih menyukai perusahaan menggunakan hutang pada tingkat tertentu agar

harapan pemilik perusahaan dapat tercapai. Disamping itu perilaku manajer

dan komisaris perusahaan juga dapat dikendalikan. Dalam (Hasni, 2013).

Kebijakan hutang sering diukur dengan debt to equity ratio (DER) yaitu

perbandingan antara total hutang jangka panjang dengan modal sendiri.

Semakin rendah DER berarti semakin kecil tingkat hutang yang dimiliki dan

kemampuan untuk membayar hutang akan semakin tinggi pula. Dalam

(Pakpahan, 2012).

42
2.1.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengarui Kebijakan Hutang

1. Menurut Brigham dan Houston (2006) menyatakan bahwa Teori

Keagenan (agency theory), Hubungan untuk mengurangi konflik

antara berbagai kelompok yang memiliki kepentingan dalam

perusahaan. Pemegang saham lebih menyukai tindakan perusahaan

yang akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar, sehingga

mereka akan memperoleh dividen atas saham yang mereka miliki juga

akan meningkat. Namun pemegang hutang perusahaan tidak

memperdulikan berapa besar tingkat keuntungan perusahaan, karena

pay-off pemegang hutang perusahaan akan tetap sebesar bunga yang

telah ditentukan.

2. Menurut Brealey, et all (2006) teori pecking order berbunyi manajer

keuangan tidak memperhitungan tingkat hutang secara optimal.

Kebijakan pendanaan ditentukan oleh tingkat kebutuhan investasi.

Jika perusahaan memperoleh kesempatan untuk investasi maka

perusahaan akan mencari dana untuk mendanai inevestasi tersebut.

Manajemen perusahaan akan menentukan kebijakan pendanaan itu

dengan dana internal, baru kemudian dengan dana eksternal termasuk

hutang. Jika dana internal sudah mencukupi maka manajemen tidak

perlu menggunakan kebijakan hutang untuk memperoleh dana dari

luar. Namun sebaliknya jika investasi yang dilakukan tidak cukup jika

hanya menggunakan sumber dana dari internal, maka manajemen

perusahaan harus menggunakan kebijakan hutang sebagai salah satu

43
alternatif untuk memperoleh dana dari luar disamping dengan

menerbitkan saham.

Setyawati (2014) Tujuan dalam penelitian Setyawati adalah

mengetahui bagaimana kebijakan hutang dan biaya modal mampu

memaksimalkan nilai perusahaan dan berusaha mencari kebijakan hutang yang

optimal untuk tahun yang akan datang. Modal merupakan hasil produksi yang

digunakan untuk memproduksi lebih lanjut. Sedangkan kebijakan hutang

adalah pembelanjaan permanen yang mencerminkan perimbangan antara utang

jangka panjang dengan modal sendiri. Berdasarkan pada konsep cost of capital

maka kebijakan hutang yang optimum adalah struktur modal yang dapat

meminimumkan biaya penggunaan modal rata-rata. Kebijakan hutang yang

optimal adalah kebijakan hutang yang meminimumkan biaya penggunaan

modal dan memaksimalkan nilai perusahaan. Tujuan penelitian ini adalah

mengetahui bagaimana kebijakan hutang dan biaya modal mampu

memaksimalkan nilai perusahaan dan berusaha mencari kebijakan hutang yang

optimal untuk tahun yang akan datang.

Menjelaskan bahwa dengan membuat hutang yang proporsinya

semakin besar dalam kebijakan hutang, maka hasil atas pengembangan modal

sendiri akan sangat meningkat, karena tingkat keuntungan jauh lebih baik

daripada bunga yang baru dibayarkan. Kebijakan hutang adalah jumlah hutang

jangka panjang dibagi Equity. ( Hasni, 2013)

44
2.1.4.3. Dividen

Dalam Sudana (2011) berbagi pendapat teori tentang kebijakan

dividen, yaitu :

1. Teori Dividend Irrelevance menurut (Modligliani dan Miller) MM

Menurut MM (Modligliani dan Miller) dengan asumsi kebijakan

deviden tidak mempengaruhi harga saham perusahaan atau nilai

perusahaan. Nilai perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan

perusahaan untuk menghasilkan pendapatan (erning power) dan resiko

bisnis, sedangkan bagaimana membagi arus pendapatan menjadi

deviden dan laba ditahan tidak mempengaruhi nilai perusahaan.

2. Teori “The Bird in the Hand”

Gordon dan Lintner menyatakan bahwa biaya modal sendiri

perusahaan akan naik, jika Divident Payout Ration (DPR) rendah

karena investor lebih suka menerima dividen dari capital gains.

3. Teori Tax Preference

Litzenberger dan Ramaswamy. Mereka menyatakan bahwa adanya

pajak terhadap dividen dan capital agains para investor lebih menyukai

capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak. Oleh karena itu

investor mensyaratkan suatu tingkatan keuntungan-keuntungan yang

lebih tinggi pada saham yang memberikan devidend yield tinggi. Jika

pajak atas dividen lebih besar dari pajak atas capital gains.

Dividen sering dianggap sebagai bagian dari keputusan pembelanjaan,

khususnya pembelanjaan internal. Hal ini terjadi karena besar kecilnya dividen

45
yang dibayarkan perusahaan akan mempengaruhi sumber dan internal

perusahaan yaitu laba ditahan, dan sebaliknya. Penentuan besarnya bagian laba

bersih perusahaan yang akan dibagikan sebagai dividen merupakan kebijakan

manajemen perusahaan, serta akan mempengaruhi nilai perusahaan dan harga

pasar saham (Sudana, 2011).

Dividen ini untuk dibagikan kepada para pemegang saham sebagai

keuntungan dari laba perusahaan. Apabila perusahaan penerbit saham mampu

menghasilakan laba yang besar maka ada kemungkinan pemegang sahamnya

akan menikmati keuntungan dalam bentuk dividen yang besar pula. Dividen

diartikan sebagai pembagian laba kepada para pemegang saham perusahaan

sebanding dengan jumlah saham yang dipegang oleh masing-masing pemilik.

(Rozeff, 2009) menyatakan bahwa pembayaran dividen kepada

pemegang saham akan mengurangi sumber-sumber dana yang dikendalikan

oleh manajer, karena semakin tinggi dividen yang dibayar kepada pemegang

saham maka free cash flow dalam perusahaan akan kecil sehingga manajer

harus memikirkan untuk memperoleh sumber dana dari luar yang bisa saja

berupa hutang.

Kebijakan dividen yaitu menentukan seberapa besar atau proposi laba

yang akan dibagikan sebagai dividen, dalam mengimplementasikan kebijakan

tersebut, terdapat trade off yang harus diperhatikan. Kebijakan terhadapa

permbayaran dividen merupakan keputusan yang sangat penting dalam suatu

perusahaan. Kebijakan ini akan melibatkan dua pihak yang mempunyai

kepentingan yang berbeda, yaitu pihak pertama para pemegang saham dan

46
pihak kedua perusahaan itu sendiri. Dividen diartikan sebagai pembayaran

kepada pemegang saham oleh pihak perusahaan atas keuntungan yang

diperolehnya (Leli, 2011).

Kebijakan dividen akan memiliki pengaruh terhadap tingkat

penggunaan hutang suatu perusahaan. Kebijakan dividen yang stabil

menyebabkan adanya keharusan bagi perusahaan untuk menyediakan sejumlah

dana yang guna membayar dividen adalah suatu bagian dari minotoring

perusahaan. Dalam kondisi demikian, perusahaan cenderung untuk membayar

dividen lebih besar jika insider memiliki proporsi saham yang lebih rendah

(Desyyana, 2013).

2.1.4.4. Keputusan Investasi

Menurut PSAK Nomor 13 dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK)

1 Oktober 2004, investasi adalah suatu asset yang digunakan perusahaan untuk

pertumbuhan kekayaan melalui distribusi hasil investasi Bunga, royalti,

dividen dan bunga sewa untuk apresiasi nilai investasi atau manfaat lain bagi

perusahaan seperti manfaat yang diperoleh dari melalui perdagangan. Dengan

demikian investasi dapat didefinisikan sebagai bentuk pengelola dana guna

memberi keuntungan dengan cara menempatkan dana tersebut pada alokasi

yang diperkirakan akan memberikan tambahan keuntungan (Fahmi, 2012).

Menurut Fahmi (2012) keputusan investasi meliputi investasi pada

aktiva jangka pendek dan aktiva jangka panjang. Aktiva jangka pendek

biasanya didefinisikan sebagai aktiva dengan jangka waktu kurang dari satu

47
tahun atau kurang dari satu siklus bisnis, dalam hal ini dana yang di

investasikan pada aktiva jangka pendek diharapkan akan diterima kembali

dalam waktu dekat atau kurang dari satu tahun dan diterima sekaligus. Tujuan

perusahaan berinvestasi pada aktiva jangka pendek adalah untuk digunakan

sebagai modal kerja atau operasional perusahaan. Contoh aktiva jangka pendek

adalah persediaan, piutang, dan kas.

Sedangkan aktiva jangka panjang didefinisikan sebagai aktiva dengan

jangka waktu lebih dari satu tahun, dalam hal ini dana yang ditanamkan pada

aktiva jangka panjang akan diterima kembali dalam waktu lebih dari satu tahun

dan kembalinya secara bertahap. Contoh aktiva jangka panjang, dalam bentuk

tanah, gedung, kendaraan, mesin, peralatan produksi, dan aktiva tetap lainnya.

Tujuan perusahaan berinvestasi pada aktiva jangka panjang adalah untuk

meningkatkan nilai perusahaan.

Riyanto (2010) menyatakan bahwa investasi merupakan sejumlah dana

yang ditempatkan untuk memperoleh keuntungan dimasa yang akan datang

Keputusan investasi yang dibuat perusahaan dipengaruhi oleh kemampuan

perusahaan menghasilkan kas yang dapat memenuhi kebutuhan jangka

panjang maupun jangka pendek atau disebut likuiditas perusahaan. Perusahaan

harus menjaga likuiditas agar tidak terganggu kelancaran aktivitas perusahaan

untuk melakukan investasi dan tidak kehilangan kepercayaan diri dari pihak

luar.

Esensi pertumbuhan bagi suatu perusahaan adalah adanya kesmpatan

investasi yang menghasilkan keuntungan. Jika terdapat kesempatan investasi

48
yang menguntungkan, maka manejer berusaha mengambil peluang-peluang

tersebut untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham karena

semakin besar kesempatan investasi yang menguntungkan maka investasi yang

dilakukan akan semakin besar (Devi, 2014).

Menurut Afzal (2012) Keputusan investasi tidak dapat diamati secara

langsung oleh pihak luar. Investment Opportunities Set (IOS) merupakan nilai

perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaran-pengeluaran yang

ditetapkan manajemen dimasa yang akan datan, dimana pada saat ini

merupakan pilihan-pilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan

return yang besar. IOS didefenisikan sebagai nilai perusahaan yang nilanya di

proksi melalui IOS. IOS tidak dapat diobservasi secara langsung, sehingga

dalam perhitungannya menggunakan proksi (Kallapur dan Trombley, 1999)

dalam Hasnawati (2005).

Keputusan investasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Price

Earning Ratio (PER), dimana ratio ini menunjukan perbandingan antara harga

saham (closing price) dengan laba per lembar saham (earning per share)

(Martono dan Harjito, 2005). Bagi para investor semakin tinggi rasio harga

terhadap laba (PER) maka pertumbuhan laba yang diharapkan juga akan

mengalami kenaikan ( Fahmi, 2012). Pada dasarnya PER memberikan tentang

jangka waktu yang diperlukan untuk pengambilan dana pada tingkat harga

saham dan keuntungan perusahaan pada suatu periode tertentu. Oleh karena itu

rasio ini menggambarkan kesediaan investor membayar suatu jumlah tertentu

untuk setiap perolehan laba perusahaan (Wijaya dan Wibawa, 2010).

49
2.1.5. Financial Distress

2.1.5.1. Pengertian Financial Distress

Pengertian kesulitan keuangan (financial distress) menurut Nagar

(2016:15) adalah sebagai berikut :

“Financial distress represents a state where firms are facing financial

difficulties with respect to poor cash flows and profitability and is a condition

where a company cannot meet, or has difficulty paying off, its financial

obligations to its creditors, typically due to high fixed costs, illiquid assets or

revenues sensitive to economic downturns”.

Financial distress adalah kondisi yang menggambarkan keadaan

sebuah perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan, artinya

perusahaan berada dalam posisi yang tidak aman dari ancaman kebangkrutan

atau kegagalan pada usaha perusahaan tersebut. Emrinaldi (2007) menyatakan

kondisi yang paling mudah dilihat dari perusahaan yang mengalami financial

disstres adalah pelanggaran komitmen pembayaran hutang diiringi dengan

penghilangan pembayaran dividen terhadap investor. Namun, menurut

Whitaker (1999), financial distress terjadi saat arus kas perusahaan kurang dari

jumlah porsi hutang jangka panjang yang telah jatuh tempo. Intinya, financial

distress terjadi ketika perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial

difficult) yang dapat diakibatkan oleh bermacam-macam akibat. Salah satu

penyebab kesulitan keuangan menurut Brigham dan Daves (2003) dalam

Anggarini (2010) adalah adanya serangkaian kesalahan, pengambilan

50
keputusan yang tidak tepat, dan kelemahan-kelemahan yang saling

berhubungan yang dapat menyumbang secaralangsung maupun tidak langsung

kepada manajemen serta tidak adanya atau kurangnya upaya mengawasi

kondisi keuangan sehingga penggunaan uang tidak sesuai dengan keperluan.

Hal ini memberikan kesimpulan bahwa tidak menjamin perusahaan besar dapat

menghindari masalah ini, sebab financial distress berkaitan dengan keuangan

perusahaan dimana setiap perusahaan pasti akan beurusan dengan keuangan

untuk menjaga kelangsungan operasinya.

Financial distress dapat diukur dengan beberapa cara yang berbeda,

seperti yang dituliskan oleh Kurniasari (2009), yaitu :

1. Lau (1987) dan Hill et al. (1996) financial distress dilihat dengan

adanya pemberhentian tenaga kerja atau menghilangkan

pembayaran deviden.

2. Asquith, Gertner dan Scharfstein (1994) melakukan pengukuran

financial distress menggunakan interest coverage ratio untuk

mendefinisikan financial distress.

3. Hofer (1980) dan Whitaker (1999) mendefinisikan financial

distress jika tahun perusahaan mengalami laba operasi bersih

negative.

2.1.5.2. Dampak Financial Distress

Salah satu dampak financial distress adalah dapat membawa

perusahaan mengalami kesulitan dalam membayarkan kewajiban yang

51
ditanggung. Menurut Anggarini (2010), perusahaan yang mengalami financial

distress (kesulitan keuangan) akan menghadapi kondisi :

a) Tidak mampu memenuhi jadwal atau kegagalan pembayaran

kembali hutang yang sudah jatuh tempo kepada kreditor.

b) Perusahaan dalam kondisi tidak solvable

(insolvency).Sedangkan pendapat lain dikemukakan oleh

Gitman (2002), menurutnya ada tiga hal yang paling terlihat

ketika perusahaan mengalami financial distress, yaitu :

1. Business Failure (kegagalan bisnis), dapat diartikan sebagai :

a. Keadaan dimana realized rate of return dari modal yang

diinvestasikan secara signifikan terus menerus lebih kecil

dari rate of return pada investasi sejenis.

b. Suatu keadaan dimana pendapatan perusahaan tidak dapat

menutupi biaya perusahaan.

c. Perusahaan diklasifikasikan kepada failure, perusahaan

mengalami kerugian operasional selama beberapa tahun

atau memiliki return yang lebih kecil dari pada biaya

modal (cost of capital) atau negative return.

2. Insolvency (tidak solvable), dapat diartikan sebagai :

a. Technical insolvency timbul apabila perusahaan tidak

dapat memenuhi kewajiban pembayaran hutangnya pada

saat jatuh tempo.

52
b. Accounting insolvency, perusahaan memiliki negative

networth, secara akuntansi memiliki kinerja buruk

(insolvent), hal ini terjadi apabila nilai buku dari

kewajiban perusahaan melebihi nilai buku dari total harta

perusahaan tersebut.

3. Bankruptcy, yaitu kesulitan keuangan yang mengakibatkan

perusahaan memiliki negative stockholders equity atau nilai pasiva perusahaan

lebih besar dari nilai wajar harta perusahaan.

Dari tiga macam kategori financial distress di atas, penelitian ini

menggunakan poin pertama untuk mengkategorikan perusahaan yang

dianggap mengalami financial distress, yaitu ketika perusahaan mengalami

kegagalan bisnis yang terlihat dari pendapatan perusahaan yang tidak dapat

menutupi biaya perusahaan yang timbul. Berarti jika terjadi hal demikian,

perusahaan sedang mengalami kerugian, yang berimbas pada kewajiban

perusahaan untuk menutupi kekurangan biaya yang terjadi dengan sumber-

sumber pendanaan yang lain.

2.1.5.3. Faktor Penyebab Financial Distress

Financial distress dapat timbul karena adanya pengaruh dari dalam

perusahaan sendiri (internal) maupun dari luar perusahaan (eksternal).

Damodaran (2001) menyatakan, faktor penyebab financial distressdari dalam

perusahan lebih bersifat mikro, faktor-faktor dari dalam perusahaan tersebut

adalah :

53
1. Kesulitan arus kas

Terjadi ketika penerimaan pendapatan perusahaan dari hasil operasi

perusahaan tidak cukup untuk menutupi bebab-beban usaha yang timbul atas

aktivitas operasi perusahaan. Kesulitan arus kas juga disebabkan adanya

kesalahan manajemen ketika mengelola aliran kas perusahan untuk

pembayaran aktivitas perusahaan yang memperburuk kondisi keuangan

perusahaan.

2. Besarnya jumlah hutang

Kebijakan pengambilan hutang perusahaan untuk menutupi biaya yang

timbul akibat operasi perusahaan akan menimbulkan kewajiban bagi

perusahaan untuk mengembalikan hutang di masa depan. Ketika tagihan jatuh

tempo dan perusahaan tidak mempunyai cukup dana untuk membayar tagihan-

tagihan yang terjadi maka kemungkinan yang dilakukan kreditur adalah

mengadakan penyitaan harta perusahaan untuk menutupi kekurangan

pembayaran tagihan tersebut.

3. Kerugian dalam kegiatan operasional perusahaan selama beberapa

tahun

Kerugian operasional perusahaan menimbulkan arus kas negatif dalam

perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena beban operasional lebih besar dari

pendapatan yang diterima perusahaan.

Jika perusahaan mampu menutupi atau menanggulangi tiga hal

permasalahan di atas, belum tentu perusahaan tersebut dapat terhindar dari

financial distress. Karena masih terdapat faktor eksternal perusahaan yang

54
menyebabkan financial distress. Menurut Damodaran (2001) faktor eksternal

perusahaan lebih bersifat makro,dan cakupannya lebih luas. Faktor eksternal

dapat berupa kebijakan pemerintah yang dapat menambah beban usaha yang

ditanggung perusahaan, misalnya tarif pajak yang meningkat yang dapat

menambah beban perusahaan. Selain itu masih ada kebijakan suku bunga

pinjaman yang meningkat, menyebabkan beban bunga yang ditanggung

perusahaan meningkat.

2.1.5.4. Macam-Macam Cara Memprediksi Financial Distress dengan

Analisis Rasio Keuangan

Ada berbagai macam cara yang bisa digunakan untuk memprediksi

financial distress hingga kebangkrutan. Analisis rasio keuangan merupakan

cara yang paling sering digunakan untuk memprediksi financial distress.

Banyak penelitian dilakukan untuk menemukan rasio keuangan yang bisa

digunakan untuk memprediksi financial distress. Beberapa model yang

digunakan untuk memprediksi financial distress menurut Patricia (2010) yaitu:

1. Model Z-ScoreModel ini dikembangkan oleh Altman pada tahun 1968.

Altman menggunakan 5 rasio keuangan untuk memprediksi corporate failure.

(Fachrudin, 2008).Model Z-Score yang dikembangkan Altman yaitu :

a)Untuk perusahaan go public:

Z = 0,012X1 + 0,014X2 + 0,033X3 + 0,006X4 + 0,999X5

Keterangan:

55
X1 = working capital to total assets

X2 = retained earning to total assets

X3 = earning before interest and taxes to total assets

X4 = market value of equity to book value of total debt

X5 = sales to total assets

Z = overall index

b) Untuk perusahaan yang tidak go public :

Z = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,998X5

Keterangan:

X1 = Working Capital to Total Assets

X2 = Retained Earning to Total Assets

X3 = Earning Before Interest and Taxes to Total Assets

X4 = Market Value of Equity to Book Value of Total Debt

X5 = Sales to Total Assets

Z = Overall Index

Nilai cut-off adalah Z < 1,81 perusahaan masuk katagori bangkrut; 1,81

< Z < 2,67 perusahaan masuk wilayah abu-abu (grey areaatau zone of

ignorance); dan Z > 2,67 perusahaan tidak bangkrut.(Patricia, 2010).

56
2. Model Zeta

Model ini dikembangkan pada tahun 1977 oleh Altman dan Zeta

Service Inc., sebuah perusahaan keuangan dimana model ini lebih akurat

dalam mengklasifikasikan kebangkrutan.Variabel yang masuk dalam model

Zeta antara lain return on assets, stability of earnings,debt service, cumulative

profitability, liquidity/current ratio, capitalization (five years average of total

market value),dan size (total tangible assets). (Jones,2002 dalam Fachrudin,

2008).

3. Model O-Score

Ohlson pada tahun 1980 menemukan tujuh rasio keuangan yang

mampu mengidentifikasi perusahaan yang pailit dengan menggunakan regresi

logistik, di mana tingkat ketepatan yang mendekati hasil penelitian Altman.

4. Model Zmijewski

Zmijewski pada tahun 1984 melakukan penelitian untuk memprediksi

kebangkrutan yang tidak dilakukan dalam industrispesifik sehingga dapat

diterapkan secara universal lintas industri. Berikut formula model Zmijewski:

b = 4,803 3,6ROA + 5,4FNL 0,1LIQ

Keterangan:

b*menunjukkan kemungkinan bangkrut, semakin besar nilainya

menunjukkan kemungkinan bangkrut yang lebih besar.

ROA = net income to total assets

FNL = total debt to assets

57
LIQ = current assets to current liabilities.

(Fachrudin, 2008).

5. Rasio CAMEL

Merupakan rasio keuangan yang digunakan untuk menilai kinerja

perusahaan perbankan. Penilaian kinerja ini menggunakan lima aspek

penilaian yaitu : 1)capital; 2) assets; 3) management; 4) earnings; 5) liquidity,

yang disebut CAMEL. Almilia dan Herdiningtyas (2005) menguji faktor-

faktor yang menentukan kebangkrutan di sektor perbankan dengan

menggunakan rasio CAMEL, di mana hasil penelitian menunjukkan bahwa

CAMEL memiliki daya klasifikasi atau daya prediksi untuk kondisi bank yang

mengalami kesulitan keuangan dan yang mengalami kebangkrutan. (Patricia,

2010).

2.1.5.5. Diskriminan Altman (Z-Score)

Prediksi kebangkrutan berfungsi untuk memberikan panduan bagi

pihak-pihak tentang kinerja keuangan perusahaan apakah mengalamikesulitan

keuangan atau tidak di masa depan.Seorang professor di New York University,

Edward I. Altman, melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan

perusahaan yang sehat. Hasil penelitiannya dirumuskan dalam suatu rumus

matematis yang disebut dengan rumus Altman Z-Score. Rumus ini

menggunakan komponen dalam laporan keuangan sebagai prediksi terhadap

kemungkinan bangkrut tidaknya perusahaan (Darsono dan Ashari, 2005:105).

58
Metode Z-Score (Altman) menggunakan berbagai rasio untuk

menciptakan alat prediksi kesulitan. Karakteristik rasio tersebut digunakan

untuk mengidentifikasi kemungkinan kesulitan keuangan masa depan.

Kesulitan keuangan tersebut akan tergambar pada rasio-rasio yang telah

diperhitungkan. Terdapat lima rasio-rasio keungan yang digunakan dalam

metodeini. Rasio-rasio keuangan yang digunakan dalam metode Z-Score

(Altman), salah satu diantaranya dikemukakan oleh Darsono, dkk. (2004:106)

di bawah ini:

a. WCTA (Working capital to total asset atau modal kerja dibagi total aset)

b. RETA (Retained earning to total assetatau laba ditahan dibagi total

aktiva)

c. EBITTA (Earning before interest and taxes to total asset atau laba

sebelum pajak dan bunga dibagi total aktiva)

d. MVEBVL (Market value of equity to book value of liability atau nilai

pasar sekuritas dibagi dengan nilai buku utang)

e. STA (Sales to total asset atau penjualan dibagi total aktiva).

Rasio-rasio ini digunakan khusus untuk perusahaan manufaktur yang go

public. Perubahan rasio terjadi pada rasio MVEBVL (Market value of equity

to book value of liability atau nilai pasar sekuritas dibagi dengan nilai buku

utang) menjadi BVEBVL (Book Value of equity to book value of liability atau

nilai buku modal dibagi dengan nilai buku utang) yang digunakan untuk

perusahaan manufaktur yang tidak go public, karena perusahaan jenis ini tidak

memiliki nilai pasar untuk ekuitasnya.(Darsono. dkk, 2004).

59
Rumus Altman Z-Score :

Z = 0.717 WC/TA+0.847 RE/TA+3.107 EBIT/TA+0.420 MVE/BVD+0.998

S/TA

Keterangan:

WC: Working Capital

RE: Retained Earnings

TA: Total Assets

EBIT: EarningsBefore Interest and Tax

MVE: Market Value of Equity

BVD: Book Value of Debt

S: Sales

 Z > 2,99: Kondisi Sehat / Tidak Bangkrut

 1,23< Z < 2,99: Kondisi Rawan (Grey/Abu-abu)

 Z < 1,23: Kondisi Financial Distress

2.1.6. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian ini penulis melakukan study pustaka pada beberapa

penelitian terdahulu yang fokus terhadap pengaruh strategi analisis rasio

keuangan guna mengukur kinerja keuangan pada perusahaan yang terdaftar di

BEI selama kurun 5 periode akuntansi.

60
Tabel 2.1.
Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

Puspitasari (2010) Analysis of Financial Untuk Analisa Likuiditas


Statement To Measure perusahaan tahun 2007
Financial Performance dan 2008 cukup baik
of PT Astra namun pada tahun 2006
International Tbk terjadi beda penyajian
laporan keuangan yang
mengakibatkan analisa
rasio likuiditas perusahaan
terlihat tidak baik. Beda
penyajian ini dikarena
semua piutang
pembiayaan masuk pada
aset tidak lancar
sedangkan pada tahun
2007 dan 2008 untuk
piutang pembiayaan ada
yang masuk sebagai asset
lancar dan ada juga yang
masuk sebagai asset tidak
lancar.

Intan Zakiyatul ANALISIS FINANCIAL Hasil penelitian


Muflihah (2017) DISTRESS menunjukkan bahwa uji
PERUSAHAAN keseuaian regresi
MANUFAKTUR DI logistik signifikan, hal ini
INDONESIAdengan menunjukkan bahwa
REGRESI LOGISTIK regresi logistik mampu
memprediksi financial
distress perusahaan
manufaktur pada
periode penelitian.
Hasil uji hipotesis
menunjukkan bahwa
variabel yang berpengaruh
terhadapfinancial distress
perusahaan adalah Debt
ratiodanReturn on
assetsedangkan variabel
yang tidak berpengaruh
terhadap financial
distress perusahaan
adalah Sales
growthdanCurent ratio.

61
Revinta Dara Regina ANALISIS Kinerja keuangan PT.
(2017) PROFITABILITAS, Unilever Indonesia, Tbk
LIKUIDITAS, DAN pada tahun 2011 sampai
AKTIVITAS 2015 berdasarkan net
TERHADAP KINERJA profit margin mengalami
KEUANGAN PT. penurunan. Return On
UNILEVER Asset pada tahun 2011
INDONESIA, Tbk sampai 2013
mengalamipeningkatan,
Return on asset tahun
2014 dan 2015
mengalami penurunan.
Kinerja keuangan
berdasarkan return on
equity pada tahun 2011
sampai 2013 mengalami
peningkatan, return on
equitypada tahun 2014
dan 2015 mengalami
penurunan.

2.2. Kerangka Pemikiran

Laporan keuangan suatu perusahaan menggambarkan bagaimana kondisi

keuangan perusahaan tersebut. Dengan rasio keuangan dapat dilakukan analisis

bagaimana kondisi keuangan perusahaan apakah mengalami keuntungan atau

kerugian. Rasio keuangan ini pula yang dapat memberikan kita gambaran apakah

suatu perusahaan mengalami financial distress atau tidak. Selain itu factor tata

kelola perusahaan yang baik atau yang dikenal dengan Good Corporate

Governance turut serta mendukung perusahaan agar tidak mengalami kesulitan

keuangan (financial distress). Kebijakan hutang merupakan keputusan penting

yang sangat berpengaruh terhadap kebijakan kondisi suatu perusahaan. Pada

dasarnya kebijakan hutang akan menentukan nilai perusahaan. Hal ini berkaitan

dengan pendanaan yang diperoleh melalui hutang. Hutang dapat sangat membantu

62
dalam mengatasi masalah pendanaan, akan tetapi perlu dipertimbangkan risiko

akan terjadinya kebangkrutan pada penggunaan hutang dalam jumlah yang besar.

Dari penjelasan tersebut, maka dapat dibuat kaitan antara rasio keuangan

perusahaan, tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance), dan kebijakan

hutang terhadap financial distress dengan kerangka pemikiran pada gambar sebagai

berikut.

2.2.1. Hubungan Likuiditas Dengan Profitabilitas

Pada umumnya, tingkat likuiditas suatu perusahaan, bisa ditunjukkan dalam

angka-angka tertentu, seperti angka rasio cepat, angka rasio lancar, dan angka rasio

kas. Likuiditas artinya kemampuan perusahaan dalam melakukan pembayaran

hutang atau kewajibannya. Di mana, semakin tinggi tingkat likuiditas perusahaan,

maka semakin tinggi juga kinerja perusahaan tersebut. Selain itu, biasanya

perusahaan dengan tingkat likuiditas tinggi akan memiliki kesempatan lebih baik

untuk mendapatkan berbagai dukungan dari banyak pihak, mulai dari lembaga

keuangan, kreditur, maupun pemasok.

Current Ratio (CR) atau rasio lancar dihitung dengan membagi aset lancar

dengan kewajiban lancar. Rasio ini menunjukkan sampai sejauh mana

kewajiban lancar ditutupi oleh aset yang diharapkan akan menjadi kas dalam

waktu dekat (Brigham dan Houston, 2010). Nilai CR yang tinggi menunjukkan

bahwa perusahaan melakukan penempatan dana yang besar pada sisi aktiva

lancar. Penempatan dana yang besar pada aktiva lancar bisa menyebabkan

likuiditas perusahaan semakin membaik. Apabila likuiditas perusahaan

63
membaik, tentunya akan berdampak pada semakin meningkatnya profitabilitas

perusahaan tersebut.

Total Assets Turnover merupakan rasio perbandingan antara penjualan

yang dihasilkan dengan total aktiva yang dimiliki perusahaan. Semakin tinggi

perputaran suatu aktiva perusahaan, maka akan semakin efektif perusahaan

dalam mengelola asetnya dan semakin baik tingkat efesiensi penggunaan

aktiva dalam menunjang penjualan (Kasmir, 2015). Perputaran asset yang

meningkat akan dapat meningkatkan volume penjualan untuk mendapatkan laba

yang maksimal sehingga semakin cepat tingkat perputaran aktiva maka semakin

cepat peningkatan laba yang dihasilkan. Atau juga penjualan yang meningkat

akan berdampak pada meningkatnya profitabilitas sebuah perusahaan.

Profitabilitas atau lebih dikenal dengan rentabilitas suatu perusahaan

menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang

menghasilkan laba tersebut (Riyanto, 2013). Rasio profitabilitas merupakan rasio

yang mengukur tingkat efektivitas manajemen secara keseluruhan yang ditujukan

oleh besar kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh dalam hubungannya

dengan penjualan maupun investasi. Semakin baik rasio profitabilitas

maka semakin baik menggambarkan kemampuan tingginya perolehan

keuntungan perusahaan (Irham Fahmi, 2014).

Menurut (Brigham dan Houston, 2006) Adapun rasio profitabilitas

(profitability ratio) menunjukkan pengaruh gabungan dari likuiditas,

manajemen aktiva, dan manajemen utang pada hasil operasi. Rasio ini meliputi

64
margin laba bersihatas penjualan, rasio kemampuan dasar untuk menghasilkan

laba, tingkat pengembalian atas total aktiva, dan tingkat pengembalian

ekuitas saham biasa. Perusahaan dengan likuiditas yang semakin tinggi memiliki

profit yang semakin tinggi (Sari & Haryanto, 2013).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa likuiditas berpengaruh

terhadap profitabilitas perusahaan. Menurut Van Horne dalam Nugroho (2012)

semakin tinggi likuiditas perusahaan maka kemampuan perusahaan untuk

menghasilkan laba semakin rendah. Hal ini dikarenakan rasio lancar yang terlalu

tinggi menunjukkan kelebihan aktiva lancar yang menganggur.

2.2.2. Hubungan Likuiditas Dengan Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate

Governance)

Likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya

yang sudah jatuh tempo, baik kewajiban kepada pihak ketiga (Kasmir,

2012:129). Likuiditas merupakan tingkat kemampuan suatu perusahaan dalam

memenuhi kewajiban keuangan yang berjangka pendek tepat pada waktunya.

Yang diukur dengan quick ratio. Tingkat likuiditas yang tinggi memperkecil

kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansial jangka pendek

kepada kreditur dan berlaku pula sebaliknya. Tinggi rendahnya rasio ini akan

mempengaruhi minat investor untuk menginvestasikan dananya. Makin besar

rasio ini maka makin efisien perusahaan dalam mendayagunakan Asset lancar

perusahaan. (Munawir, 2001: 72).

65
Perusahaan dengan tingkat likuiditas yang tinggi menandakan bahwa

perusahaan memiliki kemampuan yang besar untuk membayar kewajiban

jangka pendeknya tepat waktu. Perusahaan yang dapat dengan segera memenuhi

kewajiban keuangannya berarti menandakan memiliki kinerja keuangan yang

baik sehingga perusahaan memiliki kesempatan untuk melakukan

pengungkapan informasi yang lebih luas, seperti informasi lingkungan dan

sosial, dan menciptakan image positif yang dapat memungkinkan pihak

Stakeholder untuk selalu berada pada pihak perusahaan atau mendukung

perusahaan tersebut (Prastiwi, 2011).

Tingkat likuiditas atau ketersediaan dana untuk memenuhi kewajiban

jangka pendek perusahaan juga harus menjadi perhatian oleh manajer

keuangan. Perusahaan yang memiliki tingkat likuiditas yang tinggi

mengindikasikan kesempatan bertumbuh perusahaan cenderung tinggi. Semakin

tinggi tingkat likuiditas perusahaan, maka akan meningkatkan kepercayaan

investor untuk menanamkan dananya.

Sehingga berkaitan dengan likuiditas yang merupakan tingkat

kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan yang

berjangka pendek tepat pada waktunya.Perusahaan yang memiliki tingkat likuiditas

yang tinggi mengindikasikan kesempatan bertumbuh perusahaan cenderung

tinggi. Semakin tinggi tingkat likuiditas perusahaan, maka akan meningkatkan

kepercayaan investor untuk menanamkan dananya. Good Corporate Governance

yang baik akan membuat tingkat kepercayaan investor semakin tinggi karena

mampu memberikan jaminan keamanan atas dana atau aset yang tertanam pada

66
perusahaan. Serta Ukuran Perusahaan yang merupakan salah satu variabel yang

dipertimbangkan dalam menentukan nilai suatu perusahaan dan Kinerja

keuangan perusahaan salah satu faktor yang dilihat oleh calon investor untuk

menentukan investasi saham.

Likuiditas merupakan konsep kehati-hatian untuk menjaga agar laba dan

aset tidak dinyatakan terlalu tinggi serta beban dan utang dinyatakan tidak terlalu

rendah sehingga laporan keuangan yang disajikan memiliki kualitas informasi

keuangan tinggi dan selanjutnya akanmempengaruhi nilai perusahaan dan

good corporate governence, mencerminkan pemilik perusahaan yang

kredibilitas, berkualitas, kapabilitas, atau kekuatan untuk menimbulkan

kepercayaan kepada publik atau investorjuga mempengaruhi nilai perusahaan.

Likuiditas menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi

kewajiban jangka pendek. Dengan melakukan penerapan yang baik dalam

Corporate Governance di suatu perusahaan maka semakin meningkat kemampuan

perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Hal ini dapat

memberikan sinyal kepada para investor yang akan menginvestasikan hartanya

kepada suatu perusahaaan, karena posisi likuiditas perusahaan merupakan salah

satu faktor penting dalam mepertimbangkan kebijakan dividen. Penelitian ini

didukung oleh Puspaningsih, dkk. (2017) yang mengatakan likuiditas berpengaruh

positif terhadap GCG.

67
2.2.3. Hubungan Likuiditas Dengan Kebijakan Hutang

Likuiditas adalah determinan utama bagi kelangsungan perusahaan, namun

dipandang bagai dua sisi mata uang dengan profitabiltas (Irawan dan Faturohman,

2015). Likuiditas mencirikan kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban

finansialnya ketika ditagih dan dibutuhkan (Panigrahi, 2014). Likuiditas merupakan

alat untuk menilai kinerja keuangan perusahaan dengan cara mengukur kemampuan

suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Salah satu rasio

likuiditas yaitu current ratio (CR) yang merupakan perbandingan antara aktiva

lancar dengan hutang lancar (Munawir, 2012: 72).

Tingkat likuiditas yang tinggi menunjukkan kuatnya kondisi keuangan

perusahaan (Sudiyatno, 1997:29). Rasio yang rendah mengindikasikan perusahaan

kekurangan modal kerja untuk memenuhi kewajiban yang segera jatuh tempo,

sedangkan rasio yang tinggi menandakan bahwa investasi yang dilakukan tidak

menghasilkan returnyang optimal. Rasio lancar sebesar 2 dianggap sebagai

posisi nyaman dalam keuangan perusahaan. Rasio lancar sebesar 2 kali

dianggap dapat diterima atau acceptable, nilai yang kurang dari 1 kali

menunjukkan perusahaan mungkin mengalami kesulitan untuk memenuhi

kewajiban lancarnya (Saleem dan Rahman, 2011).

Menentukan kebijakan utang ada faktor likuiditas yang menjadi bahan

pertimbangan manajemen. Menurut Ozkan (2001), likuiditas mempengaruhi

kebijakan utang karena aktiva lancarnya memberikan kemudahan dalam

pengembalian utang. Hasil penelitian (Ramlall, 2009, Paydar dan Bardai, 2012)

68
membuktikan bahwa likuiditas berpengaruh negatif signifikan terhadap

kebijakan utang, hasil ini berarti semakin likuid suatu perusahaan maka

semakin kecil utang perusahaan. Hasil yang berbeda diperoleh (Sabir dan

Malik, 2012) menemukan bahwa likuiditas berpengaruh positif signifikan

terhadap kebijakan utang, hasil ini berarti semakin likuid suatu perusahaan

makan akan semakin mudah perusahaan memperoleh utang dari kreditur. Menurut

Ozkan (2001) bahwa perusahaan yang memiliki current ratio tinggi berarti

memiliki aktiva lancar yang cukup untuk mengembalikan kewajiban lancarnya.

Likuidnya suatu perusahaan, berarti mempunyai kemampuan membayar utang

jangka pendek, sehingga cenderung akan menurunkan total utangnya. Sesuai

dengan teori pecking order yang menetapkan suatu urutan keputusan pendanaan

dimana para manajer pertama kali akan memilih untuk menggunakan laba

ditahan, utang dan penerbitan saham sebagai pilihan terakhir (Mamduh, 2004).

Penelitian yang dilakukan Ramlall (2009), Paydar dan Bardai (2012)

menunjukkan hubungan negatif signifikan antara likuiditas terhadap kebijakan

utang

2.2.4. Hubungan Profitabilitas Dengan Tata Kelola Perusahaan (Good

Corporate Governance)

Profitabilitas adalah indikator penting untuk menilai kinerja perusahaan

dalam memperoleh keuntungan dan tingkat pengembalian harapan bagi investor

(Kasmir, 2012, h.196). Seiring perkembangan zaman, persaingan global yang

semakin ketat menuntut perusahaan untuk terus meningkatkan profitabilitasnya.

Berbagai upaya dilakukan olehmanajemen perusahaan untuk meningkatkan

69
profitabilitasnya, salah satunya adalah dengan menerapkan tata kelola yang

baik (Good Corporate Governance) di dalam perusahaan. Good Corporate

Governance merupakan seperangkat peraturan dalam rangka pengendalian

perusahaan untuk menghasilkan value added bagi para stakeholders (Wicaksono,

2014). Menurut penelitian Tjondro dan Wilopo (2012) terdapat hubungan positif

antara GCG dan profitabilitas. Semakin baik penerapan GCG maka akan

semakin kuatdorongan bagi manajemen untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas pada perusahaan sehingga terjadi peningkatan pada kinerja perusahaan.

GCG (Good Corporate Governance) akan bermanfaat untuk

mempermudah memperoleh modal, cost of capital jadi lebih rendah, dan

berpengaruh baik pada harga saham. Dengan demikian penerapan GCG (Good

Corporate Governance) dimungkinkan mampu meningkatkan kinerja perusahaan

baik terhadap Net Profit Margin (NPM) maupun Return on Assets (ROA) yang

menjadi sinyal yang direspon para investor mempengaruhi nilai perusahaan.

Teori keagenan (Sutedi, 2011:13) menyatakan bahwa pemegang saham

menginginkan pengembalian yang lebih besar dan secepat-cepatnya atas investasi

yang mereka tanamkan sedangkan manajer menginginkan kepentingannya

diakomodasi dengan pemberian kompensasi atau insentif yang sebear-besarnya

atas kinerjanya dalam menjalankan perusahaan.

Mekanisme corporate governance memiliki kemampuan pengendalian

yang dapat mensejajarkan perbedaan kepentinganantara prinsipal dan agen,

sehingga dapat menghasilkan suatu laporan keuangan yangmemiliki kandungan

70
informasi laba yang berkualitas. Good Corporate Governance yang mengandung

lima unsur penting yaitu transparency, accountability, responsibility, independency

dan fairness, diharapkan dapat menjadi suatu jalan dalammengurangi konflik

keagenan serta nilai perusahaan akan dapat dinilai dengan baik olehinvestor.

Corporate governance merupakan salah satu elemen kunci dalam

meningkatkanefisiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara

manajemen perusahaan,dewan komisaris, para pemegang saham, dan

stakeholderslainnya. Corporate governance dapat menciptakan nilai tambah bagi

semua pihak yang berkepentingan (stakeholder). Nilai tambah yang dimaksud

adalah perlindungan efektif terhadap investor dalam memperoleh

Kembali investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi. Ada beberapa

mekanisme yang sering dipakai dalam berbagai penelitian mengenai good

corporate governance diantaranya kepemilikan institusional, kepemilikan

manajerial, proporsi dewan komisaris independen dan komite audit.

Menurut Muliawati (2015), profitabilitas dikatakan sebagai indikator yang

tepat untuk mengukur kinerja suatu perusahaan karena memfokuskan

kemampuan perusahaan untuk memperoleh earning dalam operasi perusahaan dan

dapat diketahui apakah perusahaan telah menjalankan usahanya secara efisien.

Kinerja keuangan yang baik salah satunya ditandai dengan adanya peningkatan

profitabilitas, sehingga keberhasilan kinerja keuangan suatu perusahaan dapat

dilihat dari profitabilitas perusahaan tersebut (Munawir, 2012 : 81).

Menurut R. Agus Sartono (2010) Profitabilitas adalah kemampuan

perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva

71
maupun modal sendiri. Rasio profitabilitas mempunyai tujuan dan manfaat, tidak

hanya bagi pihak pemilik usaha atau manajemen saja, tetapi juga bagi pihak di luar

perusahaan, terutama pihak-pihak yang memiliki hubungan atau kepentingan

dengan perusahaan

Salah satu cara pengukuran berhasil atau tidaknya penerapan GCG

yakni dengan melihat kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan merupakan suatu

gambaran tentang kondisi keuangan suatu perusahaan yang dianalisis dengan alat-

alat analisis keuangan, sehingga dapat diketahui mengenai baik buruknya

keadaan keuangan suatu perusahaan yang mencerminkan prestasi kerja dalam

periode tertentu (Safitri & Yulianto, 2015). Penerapan GCG berpengaruh positif

terhadap profitabilitas.

Menurut Anwar dan Mulyadi (2015), Good Corporate Governance

adalah suatu cara yang digunakan bertujuanuntuk mengatur hubungan

antaraberbagai pihak-pihak yang berkepentingan ( stakeholder ) agar kesalahan-

kesalahan yang signifikan dapat diperbaiki ataupun diminimalisir. Mekanisme

praktik Good Corporate Governance merupakan alat yang digunakan

manajemen dalam meningkatkan pengendalian dan transparansi atas

operasional perusahaan sehingga pihak pengguna informasi, contoh investor

menjadi lebih yakin atas pengembalian dana investasi yang mereka serahkan.

2.2.5. Hubungan Profitabilitas Dengan Kebijakan Hutang

Menurut Myers (1984), perusahaan menggunakan hutang sebagai alternatif

untuk melakukan penghematan pajak. Sun Yi (1987:159) menyatakan bahwa

72
menggunakan hutang dapat mengurangi masalah keagenan, dikarenakan kebijakan

hutang dapat membuat pemegang saham yakin bahwa manajer membiayai

usahanya tidak dengan menggunakan kekayaan yang dimilikinya. Sementara

itu manajer dapat meningkatkan kinerja perusahaan tanpa kendala

keterbatasan pembiayaan. Dengan demikian tujuan keduanya dapat tercapai tanpa

terjadi konflik kepentingan. Pembiayaan kegiatan usahadengan penggunaan hutang

menyebabkan terjadinya pergeseran pengawasan manajer atas sumber pembiayaan

yang semula dilakukan oleh pemegang saham berpindah ke kreditur, dengan

kata lain debt to equity ratio (DER) berpengaruh positif terhadap profitabilitas.

Menurut Murhadi (2013), Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan

untuk menghasilkan keuntungan atau laba. Menurut Narita (2012), Semakin

tinggi profit yang diperoleh perusahaan maka akan semakin kecil penggunaan

hutang yang digunakan dalam pendanaan peru-sahaan karena perusahaan dapat

menggunakan modal sendiri yang diperoleh dari laba ditahan terlebih dahulu.

Apabila kebutuhan dana belum tercukupi, perusahaan dapat menggunakan hutang.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Purnaningrum (2012)

yang menunjukkan hasil profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap

kebijakan hutang.

2.2.6. Hubungan Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance)

Dengan Kebijakan Hutang

Good corporate governance (GCG) merupakan konsep yang diajukan demi

peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja

73
manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan

mendasarkan pada kerangka peraturan (Priyadi, 2013). Corporate governance

memiliki dua unsur, yaitu internal perusahaan dan eksternal perusahaan

(Wahyudin & Solikhah, 2017). Praktik corporate governance (CG) belum bisa

dikatakan baik apabila belum menerapkan struktur perusahaan dan prinsip-prinsip

good corporate governance (GCG).

Kebijakan hutang adalah kebijakan perusahaan dalam menentukan seberapa

besar kebutuhan pendanaan perusahaan dibiayai oleh hutang. Kebijakan

hutang merupakan kebijakan pendanaan perusahaan yang sumbernya berasal

dari eksternal perusahaan.Darmawan(2012:65)

Tingginya rasio utang perusahaan akan mengakibatkan prinsipal

meningkatkan tekanan kepada manajemen sebagai agen untuk meningkatkan

kinerja perusahaan agar rasio utang semakin berkurang. Dengan adanya kesadaran

dari manajemen sebagai agen untuk mengurangi rasio utang, maka mekanisme

GCG yang dilakukan oleh perusahaan akan menghasilkan skor dan penilaian GCG

yang semakin tinggi. Penelitian ini didukung oleh Adnan, dkk (2014), Aprilia, dkk.

(2018) dan Puspaningsih, dkk. (2017).

Investor menanamkan sahamnya bergantung pada kebijakan deviden dari

suatu perusahaan. kebijakan dividen (dividend payout ratio) adalah keputusan

apakah yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai

dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di

74
masa datang (Sartono 2011). Pertimbangan yang diperlukan dalam membuat

keputusan dividen adalah kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan.

Berkaitan dengan kebijakan dividen tersebut, terlihat adanya konflik

kepentingan antara pemegang saham dan manajemen perusahaan itu sendiri. Oleh

karena itu, diperlukan suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik yaitu

penerapan Good Corporate Governance (GCG) untuk menghindari adanya konflik

wewenang antara pihak manjemen dengan kepentingan saham ( Susilowati, 2010).

2.2.7. Pengaruh Likuiditas, Profitabilitas, Tata Kelola Perusahaan (Good

Corporate Governance), dan Kebijakan Hutang Terhadap Financial

Distress

Peningkatan kinerja keuangan berarti perusahaan dapat mencapai tujuan

dari didirikannya perusahaan tersebut. Salah satu cara dalam menganalisis

kinerja keuangan yakni dengan mengunakan analisis rasio keuangan. Rasio

keuangan bermanfaat dalam memprediksi kebangkrutan bisnis untuk periode

satu sampai lima tahun sebelum bisnis tersebut benar-benar bangkrut

(Hapsari,2012).

(Sugiyanto dan Fitri 2017) mengkaji kepailitan ke dalam beberapa

pengertian, pertama, economic distress, berarti perusahaan kehilangan

uang,pendapatan tidak mampu menutup biaya sendiri karena tingkat laba yang

lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang,arus kas perusahaan lebih

kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas perusahaan sebenarnya jauh

di bawah arus kas yang diharapkan atau tingkat pendapatan atas biaya historis

75
dan investasinya lebih kecil daripada biaya modal perusahaan yang dikeluarkan

untuk sebuah investasi. Kedua,kepailitan berarti kesulitan dana untuk menutup

kewajiban perusahaan atau kesulitan likuiditas yang diawali dengan kesulitan

ringan sampai pada kesulitan yang lebih serius, yaitu jika hutang lebih besar

dibandingkan dengan aset.

Gejala financial distress terjadi sebelum perusahaan mengalami masah

kebangkrutan. Kebangkrutan suatu perusahaan merupakan kondisi yang paling

buruk dari financial distress. Perusahaan perlu mengetahui kondisi financial

distress sejak dini sehingga perusahaan dapat meminimalisir terjadinya financial

distress yang lebih buruk. Financial distress dapat dikenali melalui laporan

keuangan dengan melakukan analisis pada laporan keuangan.

Menurut Imam dan Reva (2012) financial distress dapat diukur melalui

laporan keuangan dengan cara menganalisis laporan keuangan. Salah satu cara

dalam menganalisis laporankeuangan dengan melakukan perhitungan rasio

keuangan. Analisis laporan keuangan perlu dilakukan agar informasi laporan

keuangan mudah dipahami sebagai pengambilan keputusan (Kanya et al.,

2014).

2.2.8. Pengaruh Likuiditas Terhadap Financial Distress

Likuiditas membandingkan aktiva lancar dengan hutang lancar. Semakin

besar perbandingan aktiva lancar perusahaan dengan hutang lancarnya maka

semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban

jangkapendeknya (Sofyan, 2015 : 301). Menurut Ni Wayan dan Ni Ketut (2014)

76
bahwa semakin likuid suatu perusahaan maka perusahaan tersebut semakin

terhindar dari ancaman mengalami financial distress. Perusahaan yang semakin

likuid akan mampu untuk melunasi hutang tersebut dan tidak akan

menumpuk sehingga hal tersebut dapat memberikan sinyal positif kepada

pihak luar bahwa perusahaan mampu untuk melunasi hutang lancarnya dan

terhindar dari masalah keuangan. Penelitian terdahulu yang dilakukan I

Gusti dan Ni Ketut(2015) dan Kanya et al.(2014) menunjukkan adanya pengaruh

antara likuiditas terhadap financial distress.

2.2.9. Pengaruh Profitabilitas Terhadap Financial Distress

Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan

laba. Dengan profitabilitas yang tinggi maka perusahaan mampu menghasilkan

laba yang lebih tinggi. Profitabilitas yang tinggi menggambarkan perusahaan

semakin efisien dimana beban-beban yang dikeluarkan perusahaan diminimalisir

dengan baik dan laba perusahaan semakin meningkat. Dari hasil laba yang

dihasilkan, perusahaan dapat mengalokasikan laba tersebut sebagai pendanaan

operasional dan juga dapat membagikan laba tersebut kepada investor. Adanya

kecukupan dana maka kemungkinan perusahaan mengalami financial distress akan

lebih kecil (Okta, 2015). Hal tersebut akan memberikan sinyal positif kepada

pihak eksternal bahwa perusahaan sedang tidak mengalami masalah keuangan. Hal

ini sejalan dengan pernyataan Geng et al.(2015) bahwa dengan melemahnya

profitabilitas dari waktu ke waktu perusahaan dapat mengalami financial

distressatau kebangkrutan. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rendra

77
(2016) dan Al-Khatib dan Al-Horani (2012) menunjukkan bahwa profitabilitas

berpengaruh signifikan terhadap finansial distress.

Profitabilitas yang tinggi menunjukkan perusahaan semakin efektif dalam

penggunaan aktiva untuk menghasilkan keuntungan, sehingga semakin rendah

terjadinya financial distress pada perusahaan (Hanifah,2013). Penelitian oleh

Hapsari (2012)menunjukkan hasil bahwa profitabilitas berpengaruh negatif

terhadap financial distress. Pengelolaan aset yang efektif dan efisien

menyebabkan perusahaan dapat memenuhi seluruh biaya perusahaan untuk

menjalankan usahanya, serta menghasilkan laba yang besar. Penelitian Srikalimah

(2017), juga menunjukkan hasil yang sama bahwa profitabilitas berpengaruh

negatif terhadap financial distress.Jika perusahaan mampu menghasilkan

keuntungan yang tinggi, maka perusahaan dapat menggunakan keuntungan

tersebut untuk membayar biaya operasional dan kewajibannya tepat waktu,

sehingga tidak akan terjadi financial distress.

2.2.10. Pengaruh Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance)

Terhadap Financial Distress

Ukuran perusahaan ditunjukkan dengan seberapa besar penjualan yang

dihasilkan oleh perusahaan dalam satu tahun. Semakin besar total penjualan

maka semakin besar pula ukuran suatu perusahaan (Sri dan Agnes, 2015). Penjualan

yang semakin meningkat menyebabkan perusahaan mendapatkan banyak

pendapatan. Pendapatan tersebut akan digunakan kembali untuk operasional

perusahaan.Oleh karena itu perusahaan yang berukuran besar akan lebih

78
tahan terhadap masalah ekonomi dimana hal tersebut memberikan sinyal

positif bahwa kegiatan operasional perusahaan lancar dan terhindar dari

financial distress. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Wayan dan Ni Ketut (2014)

menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap financial distress.

Kepemilikan institusional merupakan persentase kepemilikan saham

yang dimiliki oleh badan hukum atau institusi keuangan seperti perusahaan

asuransi, dana pensiun, reksadana, bank, dan institusi-institusi

lainnya.Penelitian oleh Cinantya dan Merkusiwati (2015),memperoleh hasil

bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap financial

distress. Pengawasan terhadap manajemen dalam melaksanakan kegiatan

operasionalnya dapat dilakukan oleh pihak institusi, sehingga financial distress

dapat terhindar.

2.2.11. Pengaruh Kebijakan Hutang Terhadap Financial Distress

Hutang menunjukkan sumber modal yang berasal dari kreditur. Dalam

jangka waktu tertentu pihak perusahaan wajib membayar kembali atau wajib

memenuhi tagihan yang berasal dari pihak luar tersebut. Pemenuhan kewajiban

ini dapat berupa pembayaran uang, penyerahan barang atau jasa kepada pihak

yang telah memberikan pinjaman kepada perusahaan.

Kebijakan hutang sering diukur menggunakan debt ratioyang

mencerminkan kemampuan perusahaan dengan menggunakan seluruh

kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang

digunakan untuk membayar hutang. Oleh karena itu, semakin rendah DER

79
(debt to equity ratio), semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk membayar

seluruh kewajibannya. Pada akhirnya peningkatan hutang akan mempengaruhi

tingkat pendapatan bersih yang tersedia bagi pemegang saham termasuk

dividen yang akan diterima. DER yang rendah diharapkan dapat mengurangi

tingkat kebangkrutan dan financial distress.

Menurut Atmini (2005) mengatakan bahwa perusahaan mengalami

financial distress jika perusahaan menghentikan operasinya dan perusahaan

mengalami pelanggaran teknis dalam hutang dan diprediksi akan mengalami

kebangkrutan pada periode yang akan datang. Perusahaan dinilai beresiko apabila

memiliki porsi hutang yang besar dalam struktur modal, namun sebaliknya

apabila perusahaan menggunakan hutang kecil atau tidak sama sekali maka

perusahaan dinilai tidak dapat memanfaatkan tambahan modal eksternal yang

dapat meningkatkan operasional perusahaan (Hanafi, 2004).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998,

kebangkrutan adalah keadaan suatu institusi dinyatakan oleh keputusan

pengadilan bila debitur memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar

sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Financial

distress adalah suatu konsep luas yang terdiri dari beberapa situasi

ketikasuatuperusahaanmenghadapimasalahkesulitan keuangan. Istilah umum untuk

menggambarkansituasi tersebut adalah kebangkrutan, kegagalan, ketidakmampuan

melunasi hutang, dan default. Ketidakmampuan melunasi utang menunjukkan

kinerja negatif dan menunjukkan adanya masalah likuiditas.

80
Gambar 2.1.

Kerangka Pemikiran

Variabel Independen Variabel Dependen

Likuiditas Perusahaan (X1)


- Current Ratio (CR)
- Quick Ratio (QR)
- Cash Ratio (CR)
- Cash Turnover Ratio (CTR)
- Working Capital to Total
Asset Ratio (WCTA)

Kasmir (2014:104)

Profitabilitas Perusahaan (X2)


- Return on Investment (ROI)
- Return on Assets (ROA)
- Return on Equity (ROE)
- Profit Margin Financial Distress (Y)
- Gross Profit Margin
- Net Profit Margin Model Altman’s Z-score

Kasmir (2014:104)

Tata Kelola Perusahaan (Good


Corporate Governance) (X3)
- Dewan Direksi
- Kepemilikan Institusional
- Kepemilikan Manajerial

Sutedi (2012:24)

Kebijakan
- 0:78)Hutang (X4)
- Debt to Equity Ratio (DER)
- Debt to Total Asset Ratio (DAR)
- Long Term Debt to Equity Ratio /
LTDER

Kasmir (2014)
81
2.5. Pengembangan Hipotesis

H1 : Rasio Likuiditas, Profitabilitas, Tata Kelola Perusahaan, dan Kebijakan

Hutang berpengaruh terhadap Financial Distress pada perusahaan manufaktur

sektor aneka industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

H2 : Rasio Likuiditas Perusahaan berpengaruh terhadap Financial Distress pada

perusahaan manufaktur sektor aneka industri yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia.

H3 : Rasio Profitabilitas Perusahaan berpengaruh terhadap Financial Distress pada

perusahaan manufaktur sektor aneka industri yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia.

H4: Tata Kelola Perusahaan (good corporate governance) berpengaruh terhadap

Financial Distress pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

H5 : Kebijakan Hutang berpengaruh terhadap Financial Distress pada perusahaan

manufaktur sektor aneka industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

82
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam

mengumpulkan data penelitiannya. Menurut Suharsimi Arikunto (2010:203)

metode penelitian adalah cara yang digunakan oeh penliti dalam mengumpulkan

data penelitiannya. Metode penelitan menurut Sugiyono (2010:4) adalah sebagai

berikut :

Metode Penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk


mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan,
dibuktikan, dan dikembangkan suatu pengetahuan sehingga pada
gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan
mengantisipasi masalah.

Sedangkan pengertian Menurut Husein Umar (2011:21) metode penelitian

merupakan suatu cara atau jalan pengaturan atau pemeriksaan sesuatu secara benar,

maka dalam riset pun perlu adanya metode-metode.

Dari pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa metode penelitian

merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dalam melaksanakan

penelitian dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan, dan dikembangkan suatu

pengetahuan. Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kuantitatif.

Dengan menggunakan penelitian kuantitatif akan diketahui hubungan yang

83
signifikan antara variabel yang diteliti sehingga menghasilkan kesimpulan yang

akan memperjelas gambaran mengenai objek yang diteliti.

Menurut Sugiyono (2010:14) Penelitian Kuantitatif adalah penelitian dengan

memeperoleh data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan.

Sedangkan menurut Husein Umar (2011:38) Penelitian Kuantitatif adalah

penelitian yang berdasarkan pada data yang dapat dihitung untuk menghasilkan

penaksiran kuantitatif yang kokoh. Adapun Menurut Suharsimi Arikunto (2010:27)

menjelaskan penelitian kuantitatif sebagai berikut :

Penelitian Kuantitatif merupakan penelitian yang dituntut


menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran
terhadap data tersebut, serta penampilan hasilnya dengan disertai
dengan tabel, grafik, bagan, gambar atau tampilan lain.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat dikatakan penelitian

kuantitatif adalah jenis penelitian yang berdasarkan data berupa angka dalam

pengumpulan data. Penulis menggunakan penelitian kuantitatif karena berdasarkan

data yang akan diperoleh berupa informasi atau data kualitatif yang diangkakan.

Dengan menggunakan bantuan pengolahan data statistik, sehingga penulis dapat

mengetahui seberapa besar pengaruh kapasitas sumber daya manusia terhadap

kualitas pelaporan keuangan dan seberapa besar pengaruh kualitas pelaporan

keuangan terhadap kualitas pemeriksaan pajak.

Metode penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam

mengumpulkan data penelitiannya. Metode yang digunakan penulis adalah metode

84
deskriptif dan metode verifikatif. Pengertian metode deskriptif menurut Sugiyono

(2010:147) adalah sebagai berikut :

Metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk


menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya
tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum
atau generalisasi.

Pengertian dari metode deskriptif menurut Travers (1978) dalam Husein

Umar (2011:22) adalah metode yang bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu

yang tengah berlangsung pada riset dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari

suatu gejala tertentu. Sedangkan menurut Juliansyah Noor (2012:34) merupakan

metode yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang

terjadi saat sekarang. Metode ini memusatkan perhatian pada masalah aktual

sebagaimana adanya pada saat penelitian berlangsung.

Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat dikatakan bahwa metode

deskriptif ini merupakan metode yang bertujuan untuk mengetahui sifat serta

hubungan yang lebih mendalam antara tiga variabel dengan cara mengamati aspek-

aspek tertentu secara lebih spesifik untuk memperoleh data yang sesuai dengan

masalah yang ada dengan tujuan penelitian, dimana data tersebut diolah, dianalisis,

dan diproses lebih lanjut dengan dasar teori-teori yang telah dipelajari sehingga data

tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan. Alasan menggunakan metode deskriptif

ini untuk mengetahui sifat masing-masing yang dimiliki sebuah variabel dan

mengetahui hubungan yang lebih mendalam antara tiga variabel dengan cara

mengamati aspek-aspek tertentu secara lebih spesifik untuk memperoleh data yang

85
sesuai dengan masalah yang ada dengan tujuan penelitian agar dapat ditarik menjadi

sebuah kesimpulan.

Menurut Suharsimi Arikunto (2010:14) metode verifikatif yaitu penelitian

yang bertujuan untuk mengecek kebenaran dari hasil penelitian lain. Sedangkan

metode verifikatif menurut Mashuri (2008:45) dalam Umi Narimawati dkk.

(2010:29) menyatakan bahwa:

Metode verifikatif yaitu memeriksa benar tidaknya apabila


dijelaskan untuk menguji suatu cara atau tanpa perbaikan yang telah
dilaksanakan ditempat lain dengan mengatasi masalah yang serupa
dengan kehidupan.

Maka dapat dikatakan metode penelitian verifikatif digunakan untuk

menguji kebenaran teori dan hipotesis yang telah dikemukakan para ahli mengenai

keterkaitan antara kapasitas sumber daya manusia, kualitas pelaporan keuangan dan

pemeriksaan pajak. Serta menguji teori dengan pengujian suatu hipotesis apakah

diterima atau ditolak. Alasan menggunakan metode verifikatif dalam penelitian ini

yaitu untuk menguji suatu kebenaran teori.

3.2. Objek Penelitian

Objek penelitian dalam tesis ini adalah likuiditas, profitabilitas, tata kelola

perusahaan (Good Corporate Governance) dan kebijakan hutang sebagai variabel

independen dan kesulitan keuangan (Financial Distress) sebagai variabel

dependen. Kedua variabel dalam penelitian ini bersifat kuantitatif, yaitu berupa

rasio. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan sektor aneka industri yang terdaftar

di Bursa Efek Indonesia berlokasi di Jl. Jend. Sudirman Kav 52-53

86
Jakarta Selatan 12190, Indonesia. Penulis memilih sektor aneka industri sebagai

objek penelitian karena di sana terdapat fenomena yang layak untuk diteliti yaitu

dari data yang diteliti selama 5 tahun terakhir terdapat kemungkinan sektor ini yang

paling rentan untuk terjadinya financial distress.

3.3. Definisi dan Operasionalisasi Variabel

Menurut Sugiyono (2010:58) mendefinisikan operasional variabel sebagai

berikut: Segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik

kesimpulannya. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (2010:161) variabel

adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.

Adapun pengerian variabel menurut Juliansyah Noor (2012:47) variabel merupakan

kegiatan menguji hipotesis, yaitu menguji kecocokan antara teori dan fakta empiris

di dunia nyata. Hubungan nyata ini lazim dibaca dan dipaparkan dengan berstandar

kepada variabel. Dari pengertian di atas maka dapat dikatakan bahawa variabel

penelitan merupakan Segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh

peneliti atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian untuk menguji

hipotesis.

Operasionalisasi variabel diperlukan untuk mengetahui jenis dan indikator

serta skala dari variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini, sehingga

pengujian hipotesis yang akan dilakukan dengan dibantu oleh alat statistik akan

sesuai dengan variabel-variabel dalam penelitian ini. Untuk menguji hipotesis yang

87
diajukan, maka variabel-variabel yang akan diteliti perlu diberi batasan-batasan

sebagai berikut :

1. Variabel Bebas/Independen (X)

Menurut Sugiyono (2010:61) menyatakan bahwa definisi variabel

independen adalah ariabel bebas yang keberadaannya tidak dipengaruhi oleh

variabel-variabel lain, bahkan variabel ini merupakan faktor penyebab yang akan

mempengaruhi variabel lainnya. Sedangkan menurut Nanang Martono (2014:61)

menyatakan bahwa variabel bebas (independent variabel)

Merupakan variabel yang mempengaruhi variabel lain atau menghasilkan

akibat pada variabel yang lain, yang pada umumnya berada dalam urutan tata waktu

yang terjadi lebih dulu. Keberadaan variabel ini dalam penelitian kuantitatif

merupakan variabel yang menjelaskan terjadinya fokus atau topik penelitian.

Variabel ini biasanya disimbolkan dengan variabel “x”.

Menurut Juliansyah Noor (2012:48) variabel bebas atau independence

variabel merupakan sebab yang diperkirakan dari beberapa perubahan dalam

variabel terikat, biasanya dinotasikan dengan simbol x. Dengan kata lain, variabel

bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan

atau timbulnya variabel teriktat. Maka variabel bebas/independen dalam penelitian

ini adalah Rasio Keuangan, Tata Kelola Perusahaan / Good Corporate Governance

dan Kebijakan Hutang.

2. Variabel Terikat/ Dependent (Y)

88
Variabel terikat menurut Sugiyono (2010:61) menyatakan bahwa Variabel

dependent adalah variabel terkait yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena

adanya variabel bebas. Sedangkan menurut Nanang Martono (2014:61) variabel

terikat merupakan variabel yang diakibatkan atau dipengaruhi oleh variabel bebas.

Keberadaan variabel ini dalam penelitian kuantitatif adalah sebagai variabel yang

dijelaskan dalan fokus atau topik penelitian. Dan menurut Robbins (2009:23) dalam

Juliansyah Noor (2012:49) variabel terikat merupakan faktor utama yang ingin

dijelaskan atau diprediksi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor lain.

Maka variabel terikat/dependent dalam penelitian ini adalah kesulitan

keuangan (financial distress) perusahaan. Dalam penelitian ini adalah perusahaan

yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk sektor pertanian dan aneka industri

periode 2014 s.d periode 2019.

Operasional variabel diperlukan untuk menetukan jenis, indikator, serta

skala dari variabel yang terkait dalam penelitian. Selengkapnya mengenai

operasionalisasi variabel dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 3.1.
Operasional Variabel

Variabel Definisi Variabel Dimensi Variabel Indikator Skala


Penelitian Pengukuran
Rasio “Likuiditas (liquidity Rasio Likuiditas : Rasio
Likuiditas ratio) merupakan rasio  Rasio Lancar CR= (aktiva lancar :
Perusahaan yang menggambarkan (Current Ratio) utang lancar) x 100%
(X1) ataumengukur
kemampuan  Rasio Cepat QR= [(aktiva lancar –
perusahaandalam (Quick Ratio) persediaan) : utang
memenuhi lancar] x 100%
kewajiban(utang) jangka
pendek.Artinya apabila  Rasio Kas (Cash Rasio Kas = Kas dan
perusahaan ditagih, Ratio) Setara Kas / Hutang
perusahaan akan mampu Lancar
untuk memenuhi utang
tersebut terutama utang

89
yang sudah jatuh  Rasio Perputaran CTR = Net Sales /
tempo.” Kas (Cash Working Capital
Kasmir (2014:129) Turnover Ratio)

 Rasio Modal WCTA = Working


Kerja Terhadap Capital / Total Assets
Total Aset
(Working Capital
to Total Asset
Ratio)

Rasio “Rasio profitabilitas Rasio Rasio


Profitabilitas merupakan rasio untuk Profitabilitas :
Perusahaan menilai kemampuan  Return on ROI = (Laba Bersih :
(X2) perusahaan dalam Investment (ROI) Investasi) x 100%
mencari keuntungan.
Rasio ini juga  Return on ROA = (Laba Bersih :
memberikan ukuran Assets (ROA) Total Aktiva) x 100%
tingkat efektivitas
manajemen suatu  Return on ROE = (Laba Bersih:
perusahaan.” Equity (ROE) Total Equity) x 100%
Kasmir (2017:196)
 Profit Margin Profit Margin = (laba
bersih : penjualan) x
100%

 Gross Profit Gross Profit Margin


Margin = (laba kotor :
penjualan bersih) x
100%

 Net Profit Margin Net Profit Margin =


(laba bersih setelah
pajak : penjualan
bersih) x 100%

Tata Kelola “Struktur dan proses  Dewan Direksi Ukuran Dewan Rasio
Perusahaan (Peraturan, Sistem dan Direksi = ∑ Anggota
(Good Prosedur) untuk Dewan Direksi
Corporate memastikan Prinsip
Governance) TARIF bermigrasi
(X3) menjadi kultur,  Kepemilikan Kepemilikan
mengarahkan dan Institusional Institusional =
mengendalikan (Jumlah Saham
perusahaan untuk Institusi :
mewujudkan Jumlah Saham
pertumbuhan Beredar di Pasar) x
berkelanjutan, 100%
meningkatkan nilai
tambah dengan tetap
memperhatikan  Kepemilikan Kepemilikan
keseimbangan Manajerial Manajerial =
kepentingan (Jumlah Saham oleh
stakeholders yang sesuai pihak manajemen :
dengan prinsip korporasi Jumlah Saham
yang sehat dan peraturan Beredar) x 100%
perundang-undangan
yang berlaku". (Daniri,
2014:5)

90
Kebijakan “Kebijakan hutang  Rasio hutang DER = (total utang : Rasio
Hutang (X4) merupakan keputusan terhadap ekuitas modal) x 100%
yang sangat penting (debt to equity
dalam perusahaan. ratio)
Dimana kebijakan
hutang merupakan salah  Rasio hutang DAR = (total utang :
satu bagian dari terhadap total total aktiva) x 100%
kebijakan pendanaan aktiva (debt to
perusahaan. Kebijakan total asset ratio)
hutang adalah kebijakan
yang diambil pihak  Rasio hutang Long Term Debt to
manajemen dalam jangka panjang Equity Ratio =
rangka memperoleh terhadap total Hutang Jangka
sumber daya modal (Long Term Panjang : Total
pembiayaan bagi Debt to Equity Equity
perusahaan sehingga Ratio / LTDER)
dapat digunakan untuk
membiayai aktivitas
operasional
perusahaan.” (Bambang
Riyanto, 2011:98)
Financial “Financial distress Altman’s Z-score atau Zi = 0,717X1 + Rasio
Distress (Y) represents a state where Altman Bankrupty 0,847X2 + 3,107X3 +
firms are facing Prediction Model Z- 0,420X4 + 0,998X5
financial difficulties score
with respect to poor cash Keterangan :
flows and profitability Xl = (Aktiva lancar -
and is a condition where utang lancar)/Total
a company cannot meet, Aset
or has difficulty paying X2 = Laba yang
off, its financial ditahan/Total Aset
obligations to its X3 = Laba sebelum
creditors, typically due bunga dan
to high fixed costs, pajak/Total Aset
illiquid assets or X4 = Nilai pasar
revenues sensitive to saham biasa dan
economic downturns”. preferen/Nilai buku
(Nagar, 2016:15) total utang
X5 = Penjualan/Total
Aset Zi = Nilai Z-
Score

Nilai cut-off adalah Z


< 1,81 perusahaan
masuk kategori
bangkrut; 1,81 < Z-
Score < 2,99
perusahaan masuk
wilayah abu-abu
(grey area atau zone
of ignorance) atau
daerah rawan dan Z
>2,99 perusahaan
tidak bangkrut

Dalam operasionalisasi variabel ini, semua variabel menggunakan skala

rasio. Skala rasio merupakan skala pengukuran yang memiliki semua sifat skala

91
interval ditambah satu sifat lain yaitu memberikan informasi tentang nilai absolut

dari objek yang diukur. Skala rasio merupakan skala pengukuran yang ditujukan

kepada hasil pengukuran yang bisa dibedakan, diurutkan, mempunyai jarak tertentu

dan bisa dibandingkan.Skala ini menggunakan titik baku atau titik nol mutlak. Jadi,

ukuran yang dilihat adalah perbedaan nilai antara objek dengan nilai nol absolut.

3.4. Sumber Data dan Pengumpulan Data

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

Adapun pengertian data sekunder menurut Sugiyono (2012:141) mendefinisikan

data sekunder adalah sebagai berikut :

“Sumber Sekunder adalah sumber data yang diperoleh


dengan cara membaca, mempelajari dan memahami melalui media
lain yang bersumber dari literatur, buku-buku, serta dokumen”.
Menurut Ulber Silalahi (2012:289) bahwa data sekunder adalah :

“Data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau dari sumber-


sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan”.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sumber data sekunder

merupakan suatu cara membaca, mempelajari dan memahami dengan tersedianya

sumber-sumber lainnya sebelum penelitian dilakukan. Data sekunder dalam

penelitian ini peneliti mengumpulkan sendiri data-data yang dibutuhkan yang

bersumber langsung dari data keuangan perusahaan berupa laporan keuangan

perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk sektor pertanian dan aneka

industri selama periode 2014 s.d periode 2019.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis untuk mendapatkan

dan mengumpulkan data adalah menggunakan metode observasi. Metode observasi

92
yaitu pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak

pada objek penelitian. Observasi merupakan metode pengumpulan data yang

menggunakan pengamatan terhadap obyek penelitian yang dapat dilaksanakan

secara langsung maupun tidak langsung. Maka dalam penelitian ini penulis

menggunakan pengamatan tidak langsung terhadap lokasi penelitian yaitu

perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk sektor pertanian dan aneka

industri dengan melakukan analisis terhadap laporan keuangan perusahaan.

3.5. Populasi dan Sampel

3.5.1. Populasi

Menurut Suharsimi Arikunto (2010:173) pengertian populasi yaitu:

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabia seseorang ingin


meneliti semua elemen yang ada dalam wiayah penelitian, maka
peneitiannya merupakan penelitian populasi. Studi atau penelitinya juga
disebut studi populasi atau studi sensus.

Sedangkan menurut Sugiyono (2010:80) mendefinisikan populasi sebagai

berikut :

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang


mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
penelitian untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.

Dan menurut Juliansyah Noor (2012:147) yaitu :

Populasi digunakan untuk menyebutkan seuruh elemen/anggota dari suatu


wiayah yang menjadi sasaran penelitian atau merupakan keseluruhan
(universum) dari objek penelitian.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, populasi merupakan obyek atau

subyek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat tertentu yang

berkaitan dengan masalah dalam penelitian maka yang menjadi populasi sasaran

93
dalam penelitian ini adalah perusahaan Manufaktur yang sudah terdaftar di Bursa

Efek Indonesia pada periode 2014 s.d periode 2019.

3.5.2. Sampel

Pengertian sampel menurut Sugiyono (2010:81) menjelaskan bahwa :

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua
yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana,tenaga dan
waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari
populasi.

Sedangkan menurut Juliansyah Noor (2012:147) sampel adalah sejumlah

anggota yang dipilih dari populasi. Dan menurut Suharsimi Arikunto (2010:174)

sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Adapun teknik

pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive

Sampling. Menurut Sugiyono (2018:85) Purposive Sampling adalah teknik

penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang digunakan

oleh peneliti untuk menentukan sampel adalah dengan menentukan sektor aneka

industri sebagai sampel perusahaan yang akan diteliti.

Menurut Slovin dalam Tatang M. Amirin (2011), pengambilan taraf

kesalahan dalam populasi diizinkan 10% jika besar proporsi sampel sukses 0,5.

Rumus Proporsi Populasi :

p=x
n

Rumus yang digunakan untuk menentukan sampel yaitu menggunakan

rumus Slovin yang dikutip oleh Husein Umar (2010:78), yaitu sebagai berikut :

94
n = N
2
(n . e + 1)

Keterangan:

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

e = Persentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan

sampel dalam penelitian

3.5.3. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat pelaksanaan penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan

dalam penyusunan penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia sektor pertanian dan aneka industri selama periode 2014 s.d 2019.

3.6. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul dilakukan analisis terhadap data yang telah

diuraikan. Menurut Umi Narimawati, dkk (2010:41), metode analisis didefinisikan

sebagai berikut:

Metode analisis adalah proses mencari dan menyusun secara sistematik data

yang telah diproses dari hasil observasi lapangan dan dokumentasi dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,

melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang lebih penting dan

95
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri

sendiri maupun orang lain.

Penulis menganalisis data dengan menggunakan metode deskriptif dan

verifikatif.

3.6.1. Metode Deskriptif

Menurut Umi Narimawati dkk (2010:41) Penelitian deskriptif digunakan

untuk menggambarkan bagaimana tingkat kapasitas sumber daya manusia terhadap

kualitas pelaporan dan pengarunya terhadap pemeriksaan pajak. Data yang

diperoleh kemudian dianalisis untuk memperoleh suatu kesimpulan

Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1) Setelah semua kuesioner terkumpul, data dipilih dan dikelompokkan

menurut kelompok variabel masing-masing, diteruskan dengan memberikan skor

untuk jawaban dari setiap item pertanyaan/pertanyaan yang diajukan.

2) Menyusun data yang sudah diberi skor ke dalam tabel (tabulasi data).

3) Dihitung besarnya tingkat variabel laten dengan melihat jumlah total skor

jawaban variabel laten (skor aktual) yang dibandingkan dengan skor tertinggi yang

dicapai dikalikan dengan jumlah responden (skor ideal).

3.6.2 Metode Verifikatif

Dalam mengungkap variabel-variabel yang diteliti dalam suatu penelitian

diperlukan alat ukur yang valid dan dapat diandalkan, atau dengan kata lain harus

memiliki validitas dan reliabilitas. Hal ini diperlukan agar hasil akhir dan

96
kesimpulan yang dikemukakan peneliti tidak akan keliru dan memberikan

gambaran yang tidak jauh berbeda dengan keadaan yang sebenarnya serta hipotesis

yang digunakan juga akan mengenai sasarannya. Suatu alat ukur yang tidak valid

dan tidak reliabel akan memberikan informasi yang tidak akurat mengenai keadaan

subjek yang dikenai tes tersebut. Untuk itulah maka perlu dilakukan uji validitas

dan uji reliabilitas terhadap alat ukur penelitian ini. Analisis Verifikatif dalam

penelitian ini dengan menggunakan alat uji statistik yaitu dengan uji Model

Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling/SEM) dengan metode

alternatif partial least square (PLS) menggunakan software SmartPLS 3.0.

3.7. SEM Partial Least Square (PLS)

Menurut Imam Ghozali (2006:1) metode Partial Least Square (PLS)

dijelaskan sebagai berikut: Model persamaan strukturan berbasis variance (PLS)

mampu menggambarkan variabel laten (tak terukur langsung) dan diukur

menggunakan indikator-indikator (variable manifest).

Penulis menggunakan Partial Least Square (PLS) dengan alasan bahwa

variabel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel laten (tidak

terukur langsung) yang dapat diukur berdasarkan pada indikator-indikatornya

(variable manifest), serta secara bersama-sama melibatkan tingkat kekeliruan

pengukuran (error). Sehingga penulis dapat menganalisis secara lebih terperinci

indikator-indikator dari variabel laten yang merefleksikan paling kuat dan paling

lemah variabel laten yang mengikutkan tingkat kekeliruannya.

97
Menurut Imam Ghozali (2006:18) Partial Least Square (PLS) didefinisikan

sebagai berikut :

Partial Least Square (PLS) merupakan metode analisis yang


powerful oleh karena tidak mengasumsikan data harus dengan
pengukuran skala tertentu, jumlah sampel kecil. Tujuan Partial
Least Square (PLS) adalah membantu peneliti untuk mendapatkan
nilai variabel laten untuk tujuan prediksi.

Model ini dikembangkan sebagai alternatif untuk situasi dimana dasar teori

pada perancangan model lemah atau indikator yang tersedia tidak memenuhi model

pengukuran refleksif. PLS selain dapat digunakan sebagai konfirmasi teori juga

dapat digunakan untuk membangun hubungan yang belum ada landasan teorinya

untuk pengujian proposisi. Menurut Imam Ghozali (2006:19) PLS dikemukakan

sebagai berikut:

PLS menggunakan literasi algoritma yang terdiri dari seri analisis ordinary

least squares maka persoalan identifikasi model tidak menjadi masalah untuk

model recursive, juga tidak mengasumsikan bentuk distribusi tertentu untuk skala

ukuran variabel. Lebih jauh lagi jumlah sampel dapat kecil dengan perkiraan kasar.

Menurut Fornell yang dikutip Imam Ghozali (2006:1) kelebihan lain yang

didapat dengan menggunakan Partial Least Square (PLS) adalah sebagai berikut:

SEM berbasis variance atau PLS ini memberikan kemampuan untuk melakukan

analisis jalur (path) dengan variabel laten. Analisis ini sering disebut sebagai kedua

dari analisis multivariate.

Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan di atas, maka diketahui bahwa

model analisis PLS merupakan pengembangan dari model analisis jalur, adapun

beberapa kelebihan yang didapat jika menggunakan model analisis PLS yaitu data

98
tidak harus berdistribusi tertentu, model tidak harus berdasarkan pada teori dan

adanya indeterminancy, dan jumlah sampel yang kecil. Beberapa istilah umum

yang berkaitan dengan SEM menurut Hair et al (1995), diuraikan sebagai berikut:

a) Konstruk Laten

Pengertian konstrak adalah konsep yang membuat peneliti mendefinisikan

ketentuan konseptual namun tidak secara langsung (bersifat laten), tetapi diukur

dengan perkiraan berdasarkan indikator. Konstruk merupakan suatu proses atau

kejadian dari suatu amatan yang diformulasikan dalam bentuk konseptual dan

memerlukan indikator untuk memperjelasnya.

b) Variabel Manifest

Pengertian variabel manifest adalah nilai observasi pada bagian spesifik

yang dipertanyakan, baik dari responden yang menjawab pertanyaan (misalnya,

kuesioner) maupun observasi yang dilakukan oleh peneliti. Sebagai tambahan,

Konstrak laten tidak dapat diukur secara langsung (bersifat laten) dan

membutuhkan indikator-indikator untuk mengukurnya. Indikator-indikator tersebut

dinamakan variabel manifest.

Dalam format kuesioner, variabel manifest tersebut merupakan item-item

pertanyaan dari setiap variabel yang dihipotesiskan.

c) Variabel Eksogen, Variabel Endogen, dan Variabel Error

Variabel eksogen adalah variabel penyebab, variabel yang tidak dipengaruhi

oleh variabel lainnya. Variabel eksogen memberikan efek kepada variabel lainnya.

Dalam diagram jalur, variabel eksogen ini secara eksplisit ditandai sebagai variabel

yang tidak ada panah tunggal yang menuju kearahnya. Variabel endogen adalah

99
variabel yang dijelaskan oleh variabel eksogen. Variabel endogen adalah efek dari

variabel eksogen. Dalam diagram jalur, variabel endogen ini secara eksplisit

ditandai oleh kepala panah yang menuju kearahnya.

d) Variabel Intervening

Variabel intervening adalah Variabel yang secara teoritis mempengaruhi

(memperlemah dan memperkuat) hubungan antara variabel independen dengan

dependen, tetapi tidak dapat diamati dan diukur.

Di dalam PLS variabel laten bisa berupa hasil pencerminan indikatornya,

diistilahkan dengan indikator refleksif (reflective indicator). Di samping itu,

variabel yang dipengaruhi oleh indikatornya diistilahkan dengan indikator formatif

(formative indicator). Adapun penjelasan dari jenis indikator tersebut menurut

Imam Ghozali (2006:7) adalah sebagai berikut :

1) Model refleksif dipandang secara matematis, indikator seolah-olah

sebagai variabel yang dipengaruhi oleh variabel laten. Hal ini mengakibatkan bila

terjadi perubahan dari satu indikator akan berakibat pada perubahan pada indikator

lainnya dengan arah yang sama. Ciri-ciri model indikator reflektif adalah:

a. Arah hubungan kausalitas dari konstruk ke indikator.

b. Antar indikator diharapkan saling berkorelasi (memiliki interval

consistency reliability).

c. Menghilangkan satu indikator dari model pengukuran tidak akan

merubah makna dan arti variabel laten.

d. Menghitung adanya kesalahan pengukuran pada tingkat indikator.

100
2) Model formatif dipandang secara matematis, indikator seolah-olah

sebagai variabel yang mempengaruhi variabel laten, jika salah satu indikator

meningkat, tidak harus diikuti oleh peningkatan indikator lainnya dalam satu

konstruk, tapi jelas akan meningkatkan variabel latennya. Ciri-ciri model indikator

formatif adalah:

a) Arah hubungan kausalitas seolah-olah dari indikator ke variabel laten.

b) Antar indikator diasumsikan tidak berkorelasi.

c) Menghilangkan satu indikator berakibat merubah makna variabel.

d) Menghitung adanya kesalahan pengukuran (error) pada tingkat variabel.

Menurut Imam Ghozali (2006:4) PLS adalah salah satu metode yang dapat

menjawab masalah pengukuran indeks kepuasan karena PLS tidak memerlukan

asumsi yang ketat, baik mengenai sebaran dari perubahan pengamatan maupun

ukuran contoh yang tidak besar. Keunggulan PLS antara lain:

a. PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan

indikator refleksif dan indikator formatif.

b. Fleksibilitas dari algoritma, dimensi ukuran bukan masalah, dapat

menganalisis dengan indikator yang banyak.

c. Sampel data tidak harus besar (kurang dari 100).

Adapun cara kerja PLS menurut Imam Ghozali (2006:19) yaitu:

Weight estimate untuk menciptakan komponen skor variabel laten didapat

berdasarkan bagaimana inner model (model struktural yang menghubungkan antar

variabel laten) dan outer model (model pengukuran yaitu hubungan antara indikator

101
dengan konstruknya) dispesifikasi. Hasilnya adalah residual variance dari variabel

dependen (keduanya variabel laten dan indikator diminimumkan.

Semua variabel laten dalam PLS terdiri dari tiga set hubungan, yaitu: (1)

inner model yang menspesifikasi hubungan antar variabel laten (structural model),

(2) outer model yang menspesifikasi hubungan antar variabel laten dengan

indikator atau variabel manifestnya (measurement model), dan (3) weight relation

dalam mana nilai kasus dari variabel laten dapat diestimasi. Tanpa kehilangan

generalisasi, dapat diasumsikan bahwa variabel laten dan indikator atau manifest

variabel diskala zero means dan unit variance sama dengan satu sehingga parameter

lokasi (parameter konstanta) dapat dihilangkan dalam model.

Adapun langkah-langkah metode Partial Least Square yang dilakukan

dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Merancang Model Pengukuran

Model pengukuran (outer model) adalah model yang menghubungkan

variabel laten dengan variabel manifes. Untuk variabel laten Kapasitas Sumber

Daya Manusia terdiri dari 3 variabel manifes. Kemudian variabel laten Kualitas

Pelaporan Keuangan terdiri dari 4 variabel manifes dan variabel laten Kualitas

Pemeriksaan Pajak terdiri dari 4 variabel manifes.

2) Merancang Model Struktural

Model struktural (inner model) pada penelitian ini terdiri dari satu variabel

laten eksogen (Kapasitas Sumber Daya Manusia) dan dua variabel laten endogen

102
(Kualitas Pelaporan keuangan dan Kuaitas Pemeriksaan Pajak). Inner model yang

kadang disebut juga dengan inner relation structural model dan substantive theory,

yaitu untuk menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan pada

substantive theory, model persamaannya dapat ditulis seperti dibawah ini :

Dimana βji dan γjb adalah koefisien jalur yang menghubungkan prediktor

endogen dan variabel laten eksogen ξ dan ε sepanjang range indeks i dan b dan δj

adalah inner residual variabel.

3) Membangun Diagram Jalur

Hubungan antar variabel pada diagram alur dapat membantu dalam

menggambarkan rangkaian hubungan sebab akibat antar konstruk dari model

teoritis yang telah dibangun pada tahap pertama. Diagram alur menggambarkan

hubungan antar konstruk dengan anak panah yang digambarkan lurus menunjukkan

hubungan kausal langsung dari suatu konstruk ke konstruk lainnya. Konstruk

eksogen dikenal dengan independent variabel yang tidak diprediksi oleh variabel

yang lain. Konstruk eksogen adalah konstruk yang dituju oleh garis dengan satu

ujung panah. Secara lengkap_model struktural pada penelitian ini dapat lihat pada

Gambar di bawah ini :

103
Gambar 3.1.
Struktur Model Analisis Variabel Penelitian Secara Keseluruhan

X1

X2

X3 ξ1

X4

X5

X6

X7

X8 ξ2
ƞ
X9

X10

X11

X12 ξ3

X13

X14

X15
ξ4
X16

X17
104
4) Menjabarkan Diagram Alur ke Dalam Persamaan Matematis

Berdasarkan konsep model penelitian pada tahap dua di atas dapat

diformulasikan dalam bentuk matematis. Persamaan yang dibangun dari diagram

alur yang konversi terdiri atas:

a) Persamaan inner model, menyatakan hubungan kausalitas untuk menguji

hipotesis.

b) Persamaan outer mode (model pengukuran), menyatakan hubungan

kausalitas antara indikator dengan variabel penelitian (latent).

Persamaan model pengukuran :

Exogenous Constructs Endogenous Constructs

X= Λxξ + δ Y = ΛyȠ + ɛ

Sumber : Imam Ghozali (2006)

Persamaan matematis dalam penelitian ini yang telah dijelaskan pada

diagram jalur adalah :

1) Persamaan model struktural (inner model)

η1 = γξ + ζ1

η2 = βη1 + ζ2

2) Persamaan model pengukuran (outer model)

a) Pengukuran Variabel Eksogen

X1.1 = λ1 ξ 1 + 1

X1.2 = λ2 ξ 1 + δ2

105
X1.3 = λ3 ξ 1 + δ3

X1.4 = λ4 ξ 1 + δ4

b) Pengukuran variable Endogen

Y1= λ4η1 + ε1

Y2= λ5η1 + ε2

Y3= λ6η1 + ε3

Y4= λ7η1 + ε4

Z1= λ8η2 + ε5

Z2= λ9η2 + ε6

Z2= λ10η2 + ε7

Interpretasi model atau hasil pengujian pada tahap ini disesuaikan dengan data

teori dan analar. Keterangan simbol disajikan pada sebagai berikut:

Tabel 3.8

Keterangan Simbol-Simbol

Simbol Keterangan Nama


δ Measurement Error Exogenous Indicator Delta
ε Measurement Error Endogenous Indicator Epsilon
ξ Exogenous Latent Variable Ksi
ƞ Endogenous Latent Variable Eta
λ Bobot Faktor antara Latent Variable dengan Lamda
Indikatornya
Ƴ Koefisien pengaruh langsung antara Gamma
Exogenous Latent Variable dan Endogenous
Latent Variable
β Koefisien pengaruh langsung antara Betta
Endegenous Latent Variable dan Endegenous
Latent Variable

106
5) Estimasi

Pada tahapan ini nilai γ dan λ yang terdapat pada langkah keempat

diestimasi menggunakan program SmartPLS. Dasar yang digunakan dalam estimasi

adalah resampling dengan Bootestrapping yang dikembangkan oleh Geisser &

Stone (Imam Ghozali:2006). Tahap pertama dalam estimasi menghasilkan penduga

bobot (weight estimate), tahap kedua menghasilkan estimasi untuk inner model dan

outer model, tahan ketiga menghasilkan estimasi means dan parameter lokasi

(konstanta).

3.8. Uji Kecocokan Model (Goodness of Fit) atau Evaluasi Model

Uji kecocokan model pada structural equation modeling melalui pendekatan

partial least square terdiri dari dua jenis, yaitu uji kecocokan model pengukuran dan

uji kecocokkan model struktural.

a) Uji Kecocokan Model Pengukuran (Outer Model)

Uji kecocokan model pengukuran (fit test of measurement model) adalah uji

kecocokan pada outer model dengan melihat validitas konvergen (convergent

validity) dan validitas diskriminan (discriminant validity).

1) Validitas konvergen (convergent validity) adalah nilai faktor loading

pada laten dengan indikator-indikatornya. Faktor loading adalah koefisien jalur

yang menghubungkan antara variabel laten dengan indikatornya. Validitas

konvergen (convergent validity) dievaluasi dalam tiga tahap, yaitu:

107
a) Indikator validitas: dilihat dari nilai faktor loading dan t-statistic sebagai

berikut:

1) Jika nilai faktor loading antara 0,5-0,6 maka dikatakan cukup, sedangkan

jika nilai faktor loading ≥ 0,7 maka dikatakan tinggi (Imam Ghozali, 2006).

2) Nilai t-statistic ≥ 1,96 menunjukkan bahwa indikator tersebut sahih

(Yamin dan Kurniawan, 2011 dalam Uce Indahyanti, 2013).

b) Reliabilitas konstruk: dilihat dari nilai output Composite Reliability (CR).

Kriteria dikatakan reliabel adalah nilai CR lebih besar dari 0,7 (Yamin dan

Kurniawan, 2011 dalam Uce Indahyanti, 2013).

c) Nilai Average Variance Extracted (AVE): nilai AVE yang diharapkan

adalah lebih besar dari 0,5 (Yamin dan Kurniawan, 2011 dalam Uce Indahyanti,

2013).

2) Validitas diskriminan (discriminant validity) dilakukan dalam dua tahap,

yaitu dengan cara melihat nilai cross loading factor dan membandingkan akar AVE

dengan korelasi antar konstruk/variable laten. Cross loading factor untuk

mengetahui apakah variabel laten memiliki diskriminan yang memadai yaitu

dengan cara membandingkan korelasi indikator dengan variabel latennya harus

lebih besar dibandingkan korelasi antara indikator dengan variabel laten yang lain.

Jika korelasi indikator dengan variabel latennya memiliki nilai lebih tinggi

dibandingkan dengan korelasi indikator tersebut terhadap variabel laten lain, maka

dikatakan variabel laten tersebut memiliki validitas diskriminan yang tinggi (Uce

Indahyanti, 2013). Nilai AVE direkomendasikan ≥ 0,5.

108
b) Uji Kecocokan Model Struktural (Inner Model)

Uji kecocokan model struktural (fit test of structural model) adalah uji

kecocokan pada inner modelberkaitan dengan pengujian hubungan antar variabel

yang sebelumnya dihipotesiskan (Uce Indahyanti, 2013). Evaluasi menghasilkan

hasil yang baik apabila:

1) Koefisien korelasi menunjukkan hubungan (korelasi) antara dua buah

variabel, dimana nilai koefisien korelasi menunjukkan arah dan kuat hubungan

antara dua variabel. Karena data yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan

skala rasio, maka koefisien korelasi yang dipakai adalah Koefisien Korelasi Pearson

Product Moment.

Berikut adalah rumus uji pearson product moment tersebut :

Bentuk dan besarnya koefisien korelasi (r) memiliki nilai -1 sampai dengan +1

yang dapat dikategorikan sebagai berikut:

a) Jika r ≤ 0, berarti hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat

merupakan hubungan negatif. Artinya, jika variabel bebas naik, maka

109
variabel terikat turun. Sebaliknya, jika variabel bebas turun, maka variabel

terikat naik.

b) Jika r > 0, berarti hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat

merupakan hubungan positif. Artinya, jika variabel bebas naik, maka variabel

terikat naik. Sebaliknya, jika variabel bebas turun, maka variabel terikat turun.

c) Jika r = 0, berarti hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat tidak

ada hubungan. Artinya, jika salah satu variabel berubah maka tidak

mempengaruhi variabel lainnya.

d) Jika r = -1 atau 1, berarti antara variabel bebas dan variabel terikat terdapat

hubungan negatif/positif yang kuat sempurna.

Berdasarkan kategori koefisien korelasi di atas, maka kriteria penilaian

koefisien korelasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3.9
Kriteria Penilaian Koefisien Korelasi

Nilai Korelasi koefesien Interfrestasi Tafsiran


> 0,20 Slight correlation; Almost Sangat rendah
negligible relationship
0,20 ≤ r < 0,40 Low correlation; Definite Rendah
but small relationship
0,40 ≤ r < 0,70 Moderate correlation; Sedang/Cukup
Substantial relationship
0,70 ≤ r < 0,90 High correlation; Marked Tinggi
relationshi
0,90 ≤ r ≤ 1,00 Very high correlation; Sangat Tinggi
Very dependable
relationship

110
2) Koefisien hubungan antar variabel tersebut signifikan secara statistik yaitu

dengan nilai t-statistic ≥ 1,645. Taraf nyata atau taraf keberartian (α) dalam

penelitian ini adalah 0,05, dimana di dalam tabel distribusi normal nilainya adalah

1,645. Apabila nilai t-statistic ≥ 1,645 berarti ada suatu hubungan atau pengaruh

antar variabel dan menunjukkan bahwa model yang dihasilkan semakin baik (Uce

Indahyanti, 2013).

3) Nilai koefisien determinasi (R2 atau R-square) mendekati nilai 1. Nilai R2 untuk

konstruk dependen menunjukkan besarnya pengaruh/ketepatan konstruk

independen dalam mempengaruhi konstruk dependen. Nilai R2 menjelaskan

seberapa besar variabel eksogen yang dihipotesiskan dalam persamaan mampu

menerangkan variabel endogen. Nilai R2 ini dalam PLS disebut juga Q-square

predictive relevance. Besarnya R2 tidak pernah negatif dan paling besar sama

dengan satu (0 ≤ R2 ≤ 1). Semakin besar nilai R2, berarti semakin baik model yang

dihasilkan (Uce Indahyanti, 2013). Pengukuran R2 yang digunakan dalam

penelitian ini adalah ukuran Guilford sebagai berikut :

Tabel 3.10
Kriteria Penilaian Koefisien Determinasi
Nilai Koefesien Tafsiran
Determinasi
> 0,40 Sangat rendah
0,40 ≤ R2 < 0,16 Rendah
0,16 ≤ R2 < 0,49 Sedang/Cukup
0,49 ≤ R2 < 0,81 Tinggi
0,81 ≤ R2 < 1,00 Sangat Tinggi
Sumber: Guilford (1956:145)

111
3.9. Pengujian Hipotesis

Setelah kita mendapatkan data dan mengolah data maka pengujian hipotesis

akan sampai pada membuat kesimpulan menerima atau menolak hipotesis tersebut.

Menurut Arikunto (2013:116) di dalam menentukan penerimaan dan penolakan

hipotesis maka hipotesis alternatih (Ha) diubah menjadi hipotesis nol (H0).

Menurut Andi Supangat (2007:265) menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan pengujian hipotesis adalah salah satu cara dalam statistika untul menguji

“parameter” populasi berdasarkan statistik sampelnya, untuk dapat diterima atau

ditolak pada tingkat signifikansi tertentu.

Hipotesis merupakan pernyataan mengenai populasi yang perlu diuji

kebenarannya. Untuk melakukan pengujian dilakukan dengan mengambil sampel

dari populasi, cara ini lebih mudah dibandingkan dengan menghitung seluruh

anggota populasi. Setelah mendapatkan hasil statistik dari sampel, maka hasil

tersebut dapat digunakan untuk menguji pernyataan populasi, apakah bukti empiris

dari sampel mendukung atau menolak pernyataan mengenai populasi. Seluruh

proses tersebut dikenal dengan pengujian hipotesis.

Menurut Suharyadi dan Purwanto S.K. (2009:112), pengujian hipotesis

didefinisikan sebagai berikut :

Pengujian hipotesis adalah prosedur yang didasarkan pada bukti sampel


yang dipakai untuk menentukan apakah hipotesis merupakan suatu pernyataan yang
wajar dan oleh karenanya tidak ditolak, atau hipotesis tersebut tidak wajar dan oleh
karena itu harus ditolak.
Langkah-langkah pengujian hipotesis menurut Surhadi dan Purwanto S.K

(2009:112) adalah sebagai berikut :

112
a) Merumuskan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1). H0

(hipotesis nol) adalah suatu pernyataan mengenai nilai parameter populasi. H1

(hipotesis alternatif) adalah suatu pernyataan yang diterima jika data sampel

memberikan cukup buki bahwa hipotesis nol adalah salah. H0 mempunyai tanda

persamaan =, ≤, ≥, ≠, sedangkan H1 mempunyai tanda persamaan ≠, <, dan >.

b) Menentukan taraf nyata, yaitu probabilitas menolak hipotesis nol yang

benar. Semakin kecil semakin baik. Besar taraf nyata bisa 0,1; 0,05; dan 0,01.

c) Uji statistik dengan menggunakan uji t untuk sampel kecil.

d) Menentukan daerah keputusan, yaitu nilai Z kritis dari taraf nyata. Daerah

keputusan menggunakan uji dua arah.

Gambar 3.2
Daerah Keputusan Hipotesis

e) Menentukan keputusan, yaitu menentukan nilai uji satistik dengan daerah

keputusan. Terdapat dua hipotesis dalam penelitian ini. Kedua hipotesis ini diuji

dengan statistik uji t dengan ketentuan H0 ditolak jika thitung lebih besar dari nilai

kritis untuk α = 0,1 sebesar 1,645.

113
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada perusahaan Manufaktur sektor Aneka Industri

yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019. Jumlah perusahaan yang

menjadi sampel adalah sebanyak 17 perusahaan, sehingga jumlah data yang

digunakan pada penelitian ini sebanyak 102 data.

4.1.1 Gambaran Umum Perusahaan

Penelitian ini dilakukan pada perusahaan Manufaktur sektor Aneka Industri

yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019, terdapat 17 perusahaan

yang terdaftar. Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Purposive Sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang digunakan oleh peneliti untuk

menentukan sampel adalah dengan menentukan sektor aneka industri sebagai

sampel perusahaan yang akan diteliti. Data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah data sekunder yang diperoleh dari Bursa Efek Indonesia, laporan tahunan

perusahaan. Berikut ini akan disajikan profil singkat 17 perusahaan Manufaktur

sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia :

114
1. Astra International Tbk (ASII)

Astra mengawali bisnis sebagai sebuah perusahaan perdagangan umum

dengan nama Astra International Inc. yang didirikan tahun 1957 di Jakarta. Seiring

dengan kemajuan usaha serta sejalan dengan rencana ekspansi, Perseroan

melakukan aksi korporasi menjual saham ke publik dengan mencatatkan saham

perdana di Bursa Efek Indonesia di tahun 1990 sekaligus mengubah namanya

menjadi PT Astra International Tbk. Saham Perseroan dicatat dibursa dengan ticker

ASII.

Skala usaha Astra terus berkembang, sehingga saat ini memiliki 225.580

karyawan pada 183 anak perusahaan, pengendalian bersama entitas dan perusahaan

asosiasi yang menjalankan enam segmen usaha, yaitu Otomotif, Jasa Keuangan,

Alat Berat dan Pertambangan, Agribisnis, Infrastruktur, Logistik dan Lainnya, dan

Teknologi Informasi. Nilai kapitalisasi pasar PT Astra International Tbk di

penghujung

tahun 2014 adalah sebesar Rp 301 triliun (posisi penutupan 30 Desember 2014).

Segmen otomotif sebagai cikal bakal Astra, terus menunjukkan prestasi

membanggakan. Berawal dari distributor Toyota di tahun 1969, segmen ini terus

berkembang dan kini mampu menyediakan beragam pilihan dan model terbaru

kendaraan bermotor sesuai kebutuhan konsumen, mulai dari sepeda motor Honda,

hingga berbagai ukuran mobil dan truk bermerek Toyota, Daihatsu, Isuzu, BMW,

Peugeot dan UD Trucks. Astra juga memastikan kemudahan bagi konsumen untuk

melakukan pembelian, pemeliharaan dan perawatan kendaraan melalui penyediaan

jaringan distribusi dan layanan terluas di Indonesia, didukung oleh jajaran

115
perusahaan pembiayaan Astra yang menawarkan kredit konvensional dan Syariah

yang terjangkau serta variasi jenis suku cadang dan aksesoris otomotif hasil

produksi Astra Otoparts. Komitmen penyediaan produk dan layanan purna jual

yang berkualitas membuat Astra menjadi pemimpin pasar industri otomotif

Indonesia.

Segmen jasa keuangan Astra terdiri dari empat pilar bisnis utama dalam

rangka memberikan cakupan layanan yang menyeluruh untuk menjalankan fungsi

strategis, yaitu menyediakan dukungan finansial dan memperkuat kegiatan

penjualan rantai usaha bisnis lainnya. Keempat pilar bisnis tersebut adalah:

pembiayaan otomotif, yang meliputi pembiayaan sepeda motor Honda dan

pembiayaan mobil Astra dan non Astra; pembiayaan alat berat; asuransi yang terdiri

dari asuransi umum dan asuransi jiwa; serta layanan perbankan. Dengan berfokus

pada penerapan dan pengendalian sistem manajemen risiko yang hati-hati,

menyeluruh dan disiplin, membuat setiap bisnis jasa keuangan Astra berhasil

menjaga, bahkan memperbaiki kualitas aset dan tingkat rasio kredit bermasalah

dalam batas yang sehat.

2. Astra Otoparts Tbk (AUTO)

PT Astra Otoparts Tbk (Astra Otoparts) adalah sebuah grup perusahaan

komponen otomotif terbesar dan terkemuka di Indonesia yang memproduksi dan

mendistribusikan beranekaragam suku cadang kendaraan bermotor roda dua dan

roda empat. Segmen pasar terbesar Perseroan adalah pasar pabrikan otomotif

(OEM/Original Equipment for Manufacturer) dan pasar suku cadang pengganti

116
(REM/Replacement Market). Saat ini Grup Astra Otoparts terdiri dari 7 unit bisnis,

14 anak perusahaan konsolidasi, 18 associates dan jointly controlled entities, 2 cost

companies, serta 11 sub-subsidiary companies yang aktif, yang didukung oleh

37.754 orang karyawan. Dalam rangka memperluas kapasitas, membangun

kompetensi dan meningkatkan daya saing di pasar global, Perseroan menjalin

aliansi strategis dengan mendirikan anak perusahaan patungan bersama-sama

pemasok komponen terkemuka dari Jepang, Eropa, Amerika Serikat, China, dan

Taiwan, seperti Aisin Seiki, Aisin Takaoka, Akashi Kikai Seisakusho, Akebono

Brake, Aktiebolaget SKF, Asano Gear, Daido Steel, Denso, DIC Corporation, GS

Yuasa, Juoku Technology, Kayaba, Keihin Seimitsu Kogyo, Mahle, MetalArt,

NHK Precision, Nippon Gasket, Nittan Valve, Pirelli, SunFun Chain, Toyoda

Gosei, Toyota Industries, dan Visteon.

Di bidang manufaktur, Astra Otoparts memiliki 4 unit bisnis, 12 anak

perusahaan konsolidasi, 18 associates dan jointly controlled entities, 2 cost

companies, serta 11 sub-subsidiary companies yang aktif. Produk komponen

Perseroan dan rangkaiannya (assemblies) didistribusikan secara langsung ke pasar

OEM dan ke pasar REM di dalam dan luar negeri melalui unit bisnis perdagangan

Astra Otoparts. Pabrikan otomotif terkemuka yang menjadi pelanggan Perseroan

diantaranya adalah Toyota, Daihatsu, Isuzu, UD Trucks, Chevrolet, Hino, Honda,

Hyundai, Kia, Mazda, Mercedes-Benz, Mitsubishi, Perodua, dan Suzuki untuk

kendaraan roda empat; dan Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki, dan TVS untuk

kendaraan roda dua.

117
Di bidang perdagangan, Astra Otoparts memiliki unit bisnis domestik, unit

bisnis internasional, dan unit bisnis retail yang mendistribusikan komponen

otomotif ke pasar suku cadang pengganti. Perseroan memiliki jaringan distribusi

domestik yang luas, mencakup 50 main dealers, 23 kantor penjualan, dan 12.000

toko suku cadang yang tersebar di seluruh Indonesia. Produk Perseroan tidak hanya

menguasai pasar dalam negeri tetapi juga telah merambah ke lebih dari 30 negara

di Timur Tengah, Asia Oceania, Afrika, Eropa, dan Amerika, serta memiliki kantor

perwakilan di Dubai. Sejak tahun 1998, Astra Otoparts mengembangkan jaringan

retail otomotif modern pertama di Indonesia dengan konsep bisnis waralaba yang

fokus pada fast moving parts, quick service, dan related service. Jaringan retail yang

dikenal dengan nama Shop&Drive ini terus berkembang hingga akhir tahun 2014,

dan telah memiliki 335 outlet yang tersebar di pulau Jawa, Bali, Kalimantan, dan

Sulawesi.

Pendapatan bersih Perseroan pada tahun 2012 tercatat mencapai Rp 8,28

triliun, terus meningkat menjadi Rp 10,70 triliun pada tahun 2013 dan Rp 12,25

triliun pada tahun 2014. Laba bersih Perseroan yang mencapai Rp 1,05 triliun pada

tahun 2012, mengalami sedikit penurunan menjadi Rp 948 miliar pada tahun 2013,

dan menjadi Rp 872 miliar pada tahun 2014. Keberhasilan Astra Otoparts

mempertahankan konsistensi pertumbuhan pendapatan (net revenue) di tengah

situasi pasar yang penuh tantangan merupakan hasil dari pencapaian dua aspek

penting: kemampuan menghasilkan produk berkualitas dengan efektivitas

pengendalian biaya optimal dan kemampuan mempertahankan tingkat kepuasan

118
pelanggan. Dengan profil keuangan yang sehat dan portofolio bisnis yang beragam,

Perseroan akan terus bertumbuh menjadi pemasok komponen otomotif kelas dunia.

3. Garuda Metalindo Tbk (BOLT)

PT Garuda Metalindo Tbk (“Perseroan”) didirikan di Republik Indonesia

berdasarkan Akta Notaris dari Lenny Budiman, S.H., Notaris di Jakarta No. 28

tanggal 15 Maret 1982. Akta pendirian ini telah disahkan oleh Menteri Kehakiman

Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. C2 - 1488HT.01.01-TH.82

tanggal 29 September 1982 dan diumumkan dalam Berita Negara Republik

Indonesia No. 1335, Tambahan No. 99 tanggal 9 Desember 1988. Mengawali

kegiatan operasi komersialnya sejak tahun 1982, Perseroan memiliki dua lokasi

pabrik masing-masing terletak di Jl. Kapuk Raya No. 23, Jakarta Utara, dan Jl.

Industri Raya III Blok AE No. 23 Jatake, Tangerang. Sesuai dengan Pasal 3

Anggaran Dasar Perseroan, ruang lingkup kegiatan Perseroan adalah di bidang

perdagangan umum, industri, dan jasa. Saat ini Perseroan melakukan kegiatan

usaha di bidang industri komponen dan sub komponen (termasuk mur dan baut)

kendaraan bermotor. Perseroan bersama dengan Entitas Asosiasi merupakan

pemasok komponen-komponen untuk semua jenis kendaraan bermotor, khususnya

kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat. Di awal kegiatan operasionalnya,

Perseroan merupakan produsen mur dan baut untuk berbagai keperluan.

Kemudian pada tahun 1989, Perseroan mulai memasok suku cadang jenis mur dan

baut ke beberapa produsen kendaraan roda dua, disusul pada tahun 1992 Perseroan

mulai memasok mur dan baut untuk kendaraan roda empat ke beberapa produsen

119
kendaraan tersebut. Dari dua pabriknya di Kapuk Kamal Raya (Jakarta Utara) dan

Jatake (Tangerang), kini Perseroan mampu menghasilkan jenis suku cadang

kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat, seperti engine bolts, wheel bolts,

screw, nut and rivets, suspension and brake parts, dan 4T-12T fasteners. Perseroan

dapat memproduksi suku cadang tersebut dengan spesifikasi sesuai pesanan untuk

digunakan pada motor, mobil, truk, bus, dan juga untuk mesin lainnya. Perseroan

menyimpan bahan baku dalam jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan kapasitas

produksi. Dalam menentukan tingkat persediaan minimal, Perseroan memiliki stok

di gudang yang dapat memenuhi kebutuhan untuk 2 bulan pesanan pelanggan, yang

terbagi menjadi 1 (satu) bulan untuk buffer shipping dan 1 (satu) bulan untuk buffer

persediaan. Perseroan tidak memiliki ketergantungan pada satu pemasok dan juga

tidak memiliki ketergantungan terhadap produk dan pelayanan dari pihak tertentu.

Dalam menjalankan kegiatan usaha utamanya, Perseroan tidak memerlukan

waktu lama untuk menyimpan sejumlah besar persediaan barang jadi karena setelah

melewati proses produksi, barang-barang tersebut langsung didistribusikan. Selain

itu, jenis produk yang dihasilkan Perseroan tidak memerlukan pemeliharaan khusus

selama masa penyimpanan yang relatif singkat. Hal ini berkat penerapan proses

electro plating yang dapat mencegah karat/kerusakan yang ditimbulkan oleh

kondisi lingkungan. Untuk persediaan bahan baku, memang diperlukan

pemeliharaan khusus terkait dengan sifat bahan baku utama berupa besi baja, yang

dapat mengalami kerusakan/penurunan kualitas akibat korosi (karat). Oleh karena

itu, Perseroan telah mengatur sistem persediaan dengan metode First-In First-Out,

dan membungkus besi baja dengan kemasan yang dapat mencegah proses oksidasi.

120
Perseroan menerapkan beberapa kebijakan mengenai termin pembayaran kepada

pelanggan. Untuk pelanggan pabrikan otomotif dan komponen, termin pembayaran

adalah rata-rata 45 hari. Untuk pelanggan dari kategori lain, seperti pedagang toko

retail atau produk after market, termin pembayaran akan dievaluasi berdasarkan

kinerja penjualan masing-masing pelanggan. Kelonggaran syarat pembayaran

tersebut didasarkan pada kredibilitas dan reputasi serta track record pembayaran

utang yang relatif lancar.

4. Indo Kordsa Tbk d.h Branta Mulia Tbk (BRAM)

Perseroan didirikan pada tahun 1981 dengan nama PT Branta Mulia sebagai

perusahaan pemasok utama bahan penguat ban premium di kawasan Asia Tenggara.

Dari sejak pendiriannya, Perseroan mempunyai misi untuk memproduksi produk

dengan kualitas nomor satu, kinerja dengan profesionalisme yang tinggi, serta

komitmen yang kuat untuk memberikan pelayanan prima kepada pelanggan.

Dengan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga Perseroan tetap

dapat mempertahankan keberlangsungan usahanya hingga hari ini. Pada tahun

1985, Perseroan memulai operasi pabrik kain ban (TCF) pertama di Citeureup,

Bogor, Jawa Barat. Selanjutnya kegiatan operasi secara komersil dimulai pada

tanggal 1 April 1987. Saham Perseroan mulai tercatat di Bursa Efek Jakarta dan

Bursa Efek Surabaya pada tahun 1990 dengan nama PT Branta Mulia Tbk.

Pada tahun 1997, DuPont Chemical and Energy Operation Inc.

mengakuisisi saham Perseroan sebanyak 19,78% saham. Akuisisi tersebut memberi

angin segar bagi Perseroan karena Kerjasama tersebut menghasilkan aliansi

121
strategis bagi bisnis Perseroan. Kerjasama tersebut berakhir pada tahun 2006 ketika

DuPont menjual seluruh sahamnya kepada beberapa pemegang saham pendiri

Perseroan. Pada tahun 1999, Perseroan mencabut pencatatan sahamnya di Bursa

Efek Surabaya (BES). Pada tahun 2000 Perseroan meningkatkan kepemilikan

sahamnya di Thai Branta Mulia Co Ltd dari 49% menjadi 64,19%. Pada tahun 2006,

Kordsa AS (Kordsa) yang merupakan salah satu anak perusahaan Sabanci Holding

Group, Turki mengakuisisi 51,3% saham Perseroan. Lalu pada tahun 2007, Kordsa

Kembali meningkatkan sahamnya menjadi 60,21%. Perseroan kemudian berganti

nama menjadi PT Indo Kordsa Tbk., sedangkan PT Branta Mulia Teijin Indonesia

berganti nama menjadi PT Indo Kordsa Teijin.

Pada tahun 2008 Perseroan meningkatkan kepemilikan saham Perseroan di

PT Indo Kordsa Teijin menjadi 99,90% dengan membeli saham yang dimiliki oleh

Teijin Fibers Limited, Japan. Sehingga pada tahun 2009, PT Indo Kordsa Teijin

berganti nama menjadi PT Indo Kordsa Polyester (IKP). Di tahun berikutnya

Perseroan terus melanjutkan usaha modernisasi dan efisiensi produksi dan

melakukan ekspansi kapasitas produksi dengan menyelesaikan modernisasi

menyeluruh di pabrik benang nylon, membangun pabrik kain ban No. 2 (TCF 2)

juga ekspansi di pabrik benang polyester. Fasilitas TCF2 dan ekspansi di pabrik

benang polyester tersebut diresmikan pada awal tahun 2015 oleh Menteri

Perindustrian Republik Indonesia, Bapak Saleh Husin dan Bupati Bogor, Ibu

Nurhayanti.

Saat ini pabrik kain Perseroan dapat memproduksi kain ban sampai dengan

60 kilo ton per tahun. Sementara produksi pabrik benang polyester dan nylon adalah

122
sebesar 39 kilo ton dan 24 kilo ton. Pada tahun 2017, Perseroan memfokuskan

kinerjanya dalam memaksimalkan utilisasi kapasitas produksi yang ada selain itu

juga melakukan usaha peningkatan efisiensi melalui inisiatif Total Productive

Maintenance. Secara terperinci, sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga (AD/ART) Perseroan, bidang usaha Perseroan bergerak dalam

industri kain ban, serat/filament buatan, benang Nylon dan benang Polyester.

5. Gajah Tunggal Tbk (GJTL)

Perusahaan memiliki dan mengoperasikan fasilitas produksi ban yang

terintegrasi dan terbesar di Indonesia. Perusahaan didirikan pada tahun 1951

sebagai produsen ban sepeda, dan selama bertahun-tahun memperluas kapasitas

produksi dan awal diversifikasinya dalam pembuatan ban sepeda motor dan ban

dalam, serta akhirnya ke dalam pembuatan ban kendaraan penumpang dan

komersial. Perusahaan mulai memproduksi ban sepeda motor pada tahun 1973 dan

mulai memproduksi ban bias untuk penumpang dan kendaraan komersial pada

tahun 1981. Pada tahun 1993, Perusahaan mulai memproduksi dan menjual ban

radial untuk mobil penumpang dan truk ringan.

Pada tahun 2010, Perusahaan melakukan pengembangan kemampuan

produksi ban TBR. Bisnis utama Perusahaan mencakup pengembangan, pembuatan

dan penjualan ban radial, ban bias, ban sepeda motor, ban dalam, flap dan rim tape,

Perusahaan juga memproduksi serta menjual tali ban dan karet sintetis beserta

olahan, yang merupakan komponen utama yang digunakan dalam pembuatan ban.

Sebagian besar pendapatan Perusahaan adalah dari penjualan ban di Indonesia dan

123
luar negeri. Perusahaan juga mendapatkan pendapatan dari penjualan produk yang

terkait dengan ban, yang terdiri dari kain ban dan karet sintetis. Melalui divisi

produk yang terkait dengan ban, selain menjual kepada pihak ketiga, Perusahaan

juga memproduksi kain ban dan karet sintetis digunakan untuk memproduksi ban

sendiri, hal ini sebagai bagian dari strategi untuk mengintegrasikan secara vertikal

sarana produksi untuk merasionalisasi biaya produksi.

Perusahaan mengoperasikan berbagai pabrik di Indonesia yang

memproduksi ban radial untuk mobil penumpang, ban bias untuk truk dan bus, ban

sepeda motor, ban TBR, dan ban dalam (baik untuk sepeda motor dan automotive

serta aksesoris ban seperti flaps, rim tape dan O-rings) dengan fasilitas pendukung

yang mengolah karet yang direklamasi. Perusahaan juga mengoperasikan dua

pabrik yang memproduksi produk yang terkait dengan ban yaitu kain ban dan karet

sintetis. Pabrik yang memproduksi produk yang terkait dengan ban berlokasi di

Tangerang dan Serang. Perusahaan juga memiliki sekitar 100 hektar tanah di

Karawang, yang rencananya akan digunakan sebagian untuk pengujian desain ban

dan sisanya direncanakan akan digunakan untuk ekspansi dan diversifikasi lini

manufaktur. Pengembangan operasional Gajah Tunggal selalu berpedoman pada

visi dan misi yang membantu Perusahaan tetap fokus dalam meraih pencapaian

keberhasilan. Visi dan misi ini membantu Gajah Tunggal untuk selalu berupaya

mencapai idealisme dengan mengingatkan manajemen serta karyawan bahwa

mereka bekerja sama demi tujuan-tujuan yang sama, yang akan menjadi sumbangan

dalam keberhasilan jangka panjang Perusahaan.

124
6. Indomobil Sukses International Tbk (IMAS)

PT lndomobil Sukses lnternasional Tbk. (Perseroan) merupakan induk dari

suatu kelompok usaha otomotif terpadu yang memiliki beberapa anak perusahaan

yang

bergerak di bidang otomotif yang terkemuka di Indonesia. Perseroan didirikan pada

tahun 1976 dengan nama PT lndomobil Investment Corporation dan pada tahun

1997 dilakukan penggabungan usaha (merger) dengan PT lndomulti Inti lndustri

Tbk. dan berubah namanya menjadi PT lndomobil Sukses lnternasional Tbk.

Perseroan berkantor pusat di Wisma lndomobil I, Lantai 6, Jl. MT. Haryono Kav.

8, Jakarta Timur - 13330.

Bidang usaha utama Perseroan dan anak perusahaan antara lain meliputi:

pemegang lisensi merek, distributor penjualan kendaraan, layanan purna jual, jasa

pembiayaan kendaraan bermotor, distributor suku cadang dengan merek

“lndoParts”, perakitan kendaraan bermotor, produsen komponen otomotif, jasa

persewaan kendaraan, serta usaha pendukung lainnya. Semua produk dipersiapkan

untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan dengan standar kualitas yang

dijamin oleh perusahaan prinsipal serta didukung oleh layanan purna jual yang

prima melalui jaringan 3S (Sales, Service, dan Spare parts) yang tersebar di seluruh

Indonesia. Perseroan melalui anak-anak perusahaannya memegang merk-merk

terkenal dengan reputasi internasional yang meliputi Audi, Datsun, Foton, Hino,

lnfiniti, Kalmar, Manitou, Nissan, Renault, Renault Trucks, Saonon, SDLG,

Suzuki, Volkswagen, Volvo, Volvo Construction Equipment, Volvo Trucks dan

Zoomlion.

125
Produk-produk yang ditawarkan meliputi jenis kendaraan bermotor roda

dua, kendaraan bermotor roda empat, bus, truk, dan alat berat. Sinergi dari seluruh

karyawan yang tersebar di seluruh anak perusahaannya di Indonesia telah mampu

mengantarkan Perseroan menjadi salah satu perusahaan di bidang otomotif yang

terkemuka. Perseroan berupaya secara terus-menerus mengembangkan

kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan para karyawannya serta pemahaman

nilai-nilai yang baik yang dapat memberikan kontribusi positif terhadap Perseroan

melalui program pelatihan, dalam bentuk program konseling, pelatihan, seminar,

dan praktik kerja lapangan (on the job training).

7. Indospring Tbk (INDS)

PT Indospring Tbk (Perseroan) adalah sebuah perusahaan industri yang

memproduksi pegas untuk kendaraan, baik berupa pegas daun maupun pegas keong

yang diproduksi dengan proses dingin maupun panas, dengan lisensi dari

Mitsubishi Steel Manufacturing, Jepang. Didirikan pada 5 Mei 1978, memulai

produksi, operasi dan pemasaran pegas daun pada bulan Januari 1979 dan pegas

keong pada bulan Oktober 1988. Pada bulan Agustus 1990 Perseroan memasuki

pasar modal dengan mencatatkan 15.000.000 saham di Bursa Efek Jakarta dan

Bursa Efek Surabaya. Tahun 1993 saham bonus sejumlah 22.500.000 lembar

dibagikan Perseroan dengan rasio 2 lembar saham lama mendapatkan 3 lembar

saham bonus dengan nominal sama yaitu Rp 1.000,- per lembar. Pada tanggal 10

Mei 1997, PT. Indospring Tbk telah mengadakan Perjanjian Bantuan Teknik dan

Lisensi Murata Spring Co. Ltd., Jepang khusus untuk produksi valve spring. Tahun

126
2011 Perusahaan melakukan Penawaran Umum Terbatas (PUT I) kepada para

pemegang saham Perseroan dalam rangka penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih

Dahulu (HMETD) sebanyak 187.500.000 saham. Setiap pemegang 1 saham berhak

atas 5 HMETD untuk membeli 5 saham baru dengan nominal Rp 1.000,- yang

ditawarkan dengan harga Rp 1.520,-.

Tahun 2012 Perseroan meningkatkan modal ditempatkan dan disetor

sebanyak 90.000.000 lembar saham yang diambil dari kapitalisasi tambahan modal

disetor dengan rasio 5 lembar saham lama mendapatkan 2 lembar saham bonus

dengan nominal Rp. 1.000,- per lembar. Sesuai dengan program pemberdayaan

SDM, pada tahun 2019 PT Indospring Tbk melanjutkan kebijakan optimalisasi

SDM yang salah satunya dilakukannya program inhouse training dan eksternal

training untuk semua karyawan secara bertahap diantaranya adalah managerial

training, technical training dan basic training. Hal tersebut didasarkan pada

kompetensi dan latar belakang pendidikan karyawan yang disesuaikan dengan

keahlian dan tanggung jawab yang diperlukan di setiap jabatan.

Selama tahun 2019 PT Indospring Tbk telah menyelenggarakan 219 (dua

ratus sembilan belas) jenis inhouse training yang diikuti oleh 4.700 karyawan

sebagai peserta. Selain itu sebanyak 1.488 karyawan juga diikutkan pelatihan di

luar (eksternal training) termasuk seminar, lokakarya dan kursus. Dalam upaya

menciptakan etos kerja yang positif, selain faktor kedisiplinan yang sudah menjadi

perhatian sejak Perseroan didirikan, faktor integritas dan tanggung jawab terhadap

pekerjaan juga salah satu perhatian khusus di tahun 2019. Faktor inilah yang

menjadi poin penting dalam penilaian kinerja selain faktor prestasi kerja dan

127
ketrampilan kerja, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kenaikan angka kredit

dan juga pemberian pelatihan baik inhouse training maupun eksternal training. Hal

ini diharapkan dapat memotivasi dan meningkatkan semangat kerja karyawan.

8. Multi Prima Sejahtera Tbk d.h Lippo Enterprises Tbk (LPIN)

PT Multi Prima Sejahtera Tbk. Merupakan Perusahaan publik yang

bergerak didalam Industri manufaktur busi dan suku cadang kendaraan bermotor,

yang didirikan pada tanggal 7 Januari 1982, yang dibuat dihadapan Notaris

Misahardi Wilamarta SH, dengan nomor pengesahan surat keputusan nomor C2

302.H.T.01.01-TH.84 diumumkan dalam lembaran berita Negara nomor 82. Pada

tanggal 27 Juni 2001 Perseroan mengalami beberapa perubahan diantaranya

perubahan nama Perseroan menjadi PT Multi Prima Sejahtera Tbk. yang dibuat

dihadapan Notaris Misahardi Wilamarta SH, dengan nomor akta 137, dengan

pengesahan nomor C-02583.HT.01.04.TH.2001 diumumkan dalam lembaran berita

Negara nomor 8217, dan tambahan nomor 100 pada tanggal 14 Desember 2001.

Kegiatan utama Perseroan memproduksi dan mendistribusi, dan menjual

“busi” dengan merek dagang “Champion”, lisensi yang berasal dari Federal Mogul

Ignition LLC. Amerika Serikat. Berdasarkan Anggaran Dasar Perseroan Ruang

lingkup kegiatan Perusahaan meliputi kegiatan industri busi dan suku cadang

aksesori kendaraan bermotor, melakukan kegiatan perdagangan besar mesin,

peralatan dan perlengkapan lainnya. Selain itu melakukan kegiatan pertanian

tanaman dan pengembangbiakan tanaman. Perusahaan juga melakukan kegiatan

aktivitas professional, ilmiah, dan teknis lainnya serta melakukan kegiatan aktivitas

128
perusahaan holding. Pada tahun 1990 merupakan awal bagi Perseroan untuk

melakukan penawaran umum perdana di Bursa sejumlah 1.250.000 lembar saham,

dengan nilai nominal Rp 1.000.- Pada tahun 1991 Perseroan kembali menerbitkan

lembar saham baru sebanyak 6.375.000 lembar saham, dengan harga nominal yang

sama dengan harga per saham di awal Penerbitan. Hingga pada saat itu tercatat

Perseroan telah menerbitkan 7.625.000 lembar saham. Pada tahun 2019, Perseroan

kembali melakukan pemecahan nilai nominal saham (stock split), dengan rasio 1:4

(satu banding empat) dengan nilai nominal sebelumnya Rp 100.- per lembar saham,

menjadi Rp 25.- per lembar saham, jumlah saham sebelumnya sebanyak

106.250.000 lembar saham menjadi 425.000.000 lembar saham hingga saat ini.

9. Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA)

Perseroan memiliki dan mengoperasikan fasilitas produksi ban yang

terintegrasi dan salah satu terbesar di Indonesia. Perseroan merupakan produsen

ban di Indonesia yang didirikan pada tahun 1988 dengan nama PT Oroban Perkasa

berdasarkan akta Perseroan Terbatas No. 63 tahun 1988. Selanjutnya berdasarkan

akta No. 33 pada tanggal 9 Desember 1996, nama Perseroan diubah menjadi “PT

Multistrada Arah Sarana” (MASA). Selain memproduksi dengan merk sendiri

Achilles dan Corsa, Perseroan juga memproduksi ban untuk perusahaan lain dengan

mereknya sendiri (off-take). Area pemasaran Perseroan meliputi pasar domestik

dan internasional. Pada tahun awal berdiri dengan memanfaatkan area pabrik yang

luas dan didukung teknologi modern, Perseroan secara langsung mendapatkan

129
bantuan teknis berupa desain dan distribusi dari Pirelli-Itali dan Continental GMbh-

Jerman.

Tahun 2019 merupakan perubahan yang cukup besar bagi Perseroan,

dimana Perseroan menerima pemberitahuan dari Para Pemegang Saham Pengendali

di tanggal 22 Januari 2019, yang menginformasikan bahwa para Pemegang Saham

Pengendali, bersama-sama dengan pemegang saham lain dari Perseroan dan

Michelin telah membuat dan menandatangani Agreement for the sale and purchase

of an interest in PT Multistrada Arah Sarana Tbk. Menindaklanjuti perjanjian

tersebut, tepatnya pada tanggal 6 Maret 2019 telah terjadi akusisi sebesar 87,59%

saham Perseroan oleh Compagnie Générale des Etablissements Michelin

(selanjutnya disebut dengan singkat ”Michelin”), dan akusisi saham dilanjutkan

dengan Tender Offer dengan pembelian saham sebesar 1.106.844.271 saham.

Sehingga kepemilikan saham Michelin terhadap Perseroan menjadi 9.149.766.702

saham (99,64%). Dengan terjadinya akuisisi yang dilakukan oleh Michelin, sampai

saat ini Perseroan masih dalam proses transisi dari Manajemen lama ke Manajemen

yang baru tentunya di bawah naungan Michelin.

Tahun 2004 merupakan tonggak kesuksesan Perseroan, dimana dengan

restrukturisasi dan konversi pinjaman menjadi Ekuitas yang kemudian dilanjutkan

dengan penawaran umum saham perdana (Initial Public Offering/IPO). Perseroan

berhasil mendapatkan dana segar untuk ekspansi melalui berbagai inovasi dan

meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi. Sesuai dengan Anggaran Dasar

Perseroan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan adalah usaha dalam

bidang industri ban yang mencakup usaha pembuatan ban dengan bahan utamanya

130
dari karet alam ataupun karet buatan untuk semua jenis kendaraan bermotor, baik

kendaraan roda empat maupun roda dua. Pengembangan terhadap dua merek utama

produk ban kendaraan, yakni Achilles untuk TC, ST maupun PL dan Corsa untuk

2W masih terus dilakukan. Selain itu, Perseroan juga masih memproduksi ban

merek Perusahaan lain dengan menggunakan metode offtake manufacturing.

10. Ever Shine Tex Tbk (ESTI)

Didirikan pada tahun 1973, Perusahaan memulai produksi komersilnya

pada tahun 1974. Melakukan penawaran umum pada bulan Agustus tahun 1992 dan

sahamnya tercatat pada Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak bulan Oktober tahun 1992

dengan kode saham ESTI. PT Ever Shine Tex Tbk dan entitas anak, PT Indo Yong

Tex Jaya dan PT Prima Rajuli Sukses adalah produsen benang dan kain. Dilengkapi

dengan fasilitas laboratorium penelitian dan pengembangan yang terletak didalam

pabrik, Ever Shine Tex saat ini memiliki kapasitas produksi kain tenun sebanyak

80 juta yard kain tenun per tahun dan kain rajut sebesar 1500 ton per tahun. Pabrik

memproduksi kain untuk berbagai kebutuhan pelanggan sesuai design, hand feel,

tampilan, warna dan kenyamanan.

Produk Evershinetex dapat digunakan untuk pembuatan jaket, baju olah

raga, baju anak-anak, baju luar, busana wanita, pita, gaun pengantin, perlengkapan

interior rumah, dekorasi, tas, paying dan lain-lain. Sedangkan entitas anak yakni PT

Prima Rajuli Sukses memproduksi benang nylon dengan kapasitas produksi sebesar

12,000 ton per tahun terdiri dari benang Polyamid nylon 6, textured, twisted dan

micro fi lament yarn untuk berbagai macam pembuatan kain tenun dan kain rajut.

131
Evershinetex memperoleh berbagai sertifikasi mutu termasuk dari Marks &

Spencer, Gemex Trading, Testex of Swiss Textile Testing Institute, ISO 9002 dan

Institute of International testing Association for Apllied UV Protection. PT Ever

Shine Tex Tbk (Perusahaan) didirikan dalam rangka Undang-undang Penanaman

Modal Dalam Negeri No. 6 Tahun 1968 dengan nama PT Ever Shine Textile

Industry pada tanggal 11 Desember 1973 berdasarkan akta notaris Kartini Mulyadi,

S.H No. 82 yang kemudian diubah dengan akta No. 14 tanggal 4 Februari 1974 dan

No.33 tanggal 10 Januari 1975 dari notaris yang sama.

Rasio Lancar per 31 Desember 2014 adalah sebesar 70,6% atau lebih rendah

dibandingkan tahun 2013 sebesar 86,3%. Penurunan rasio lancar terutama

disebabkan oleh turunnya aset lancar berupa kas dan bank turun sebesar US$0,51

juta, piutang usaha turun sebesar US$1,82, pajak dibayar dimuka turun sebesar

US$0,41 juta dan pengklasifi kasian asset tidak lancar tersedia untuk dijual yaitu

tanah dan bangunan (PT Indoyongtex Jaya), yang semula dicatat sebagai aset lancar

menjadi aset tidak digunakan dalam usaha yang dicatat sebagai aset tidak lancar,

senilai US$1.81juta. Rasio profi tabilitas adalah rasio yang menunjukkan

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih, yang antara lain diukur

dari rasio marjin bersih (net margin), imbal hasil aset(return on assets) dan imbal

hasil ekuitas (return on equity). Dengan Rugi komprehensif yang dibukukan

Perusahaan pada tahun 2014, maka semua angka imbal hasilnya negatif. Rasio

marjin bersih tahun 2014 adalah sebesar -13,5% dibandingkan tahun 2013 sebesar

-13,5%. Rasio rugi komprehensif atas total asset tahun 2014 adalah sebesar -9,1%

132
versus tahun 2013 sebesar -9,1% . Rasio rugi komprehensif atas ekuitas tahun 2014

adalah -27,2% versus tahun 2013 sebesar -22,3%.

11. Asia Pasific Investama Tbk (MYTX)

Perseroan didirikan dengan nama PT Mayatexdian Industry berdasarkan

Akta Pendirian No. 105 tanggal 10 Februari 1987. Pada tahun 1995, Perseroan

mengubah nama menjadi PT Apac Centertex Corporation berdasarkan Akta No.

159 tanggal 27 Juni 1995. Selanjutnya, pada tahun 2000, Perseroan berganti nama

menjadi PT Apac Citra Centertex Tbk berdasarkan Akta No. 24 tanggal 8

September 2000. Kemudian, di tahun 2015, Perseroan kembali mengganti nama

menjadi PT Asia Pacific Investama Tbk berdasarkan Akta No. 38 tanggal 19

November 2015.

Sebagai salah satu langkah strategis untuk memperluas jaringan usaha, pada

tahun 1996, Perseroan mengkuisisi 94,12% saham PT Apac Inti Corpora. PT Apac

Inti Corpora kemudian menjadi satu-satunya Entitas Anak Perseroan dan mulai

berproduksi secara komersial pada tahun 1995 dengan menjalankan kegiatan usaha

di bidang industri tekstil dan garmen. Guna memperkuat permodalan, Perseroan

melakukan penawaran umum saham perdana di Bursa Efek Surabaya dan Bursa

Efek Jakarta pada tahun 1989. Langkah-langkah strategis yang dilakukan tersebut

telah mengantarkan Perseroan menjadi salah satu grup tekstil berskala besar di

Indonesia. Hubungan rantai pasokan yang baik dan dapat diandalkan dengan para

pelanggan membuat Perseroan dapat memberikan jaminan ketepatan waktu

pengiriman ke pelanggan. Hal ini membuat Perseroan mampu membangun jaringan

133
yang mapan, tidak hanya di pasar domestik, namun juga di pasar Internasional,

seperti Asia, Timur Tengah, Eropa, Amerika, dan Afrika.

Positifnya kinerja dan pertumbuhan usaha Perseroan dari tahun ke tahun

telah menarik minat investor untuk menanamkan modal. Pada tahun 2017, PT

World Harvest Textile menjadi investor dan Pemegang Saham Utama Perseroan

dengan mengakuisisi 77,53% saham. Kedepannya, Perseroan akan terus menjaga

semangat serta meningkatkan kualitas produk dan jasa. Komitmen ini akan terus

diterapkan secara konsisten untuk memastikan kesinambungan usaha Perseroan

dalam jangka waktu yang lebih panjang lagi. Sesuai Pasal 3 Anggaran Dasar

Perseroan, kegiatan utama Perseroan meliputi industri tekstil dan pakaian jadi.

Kegiatan usaha utama tersebut dijalankan melalui Entitas Anak yang memproduksi

benang, kain mentah lembaran, kain denim, kain rajut, dan pakaian jadi, sedangkan

Perseroan sebagai Entitas Induk berfokus pada manajemen dan pengembangan

Entitas Anak.

12. Pan Brothers Tbk (PBRX)

PT Pan Brothers, Tbk (Perseroan) didirikan berdasarkan akta notaris

Misahardi Wilamarta, S.H, Jakarta No. 96 tanggal 21 Agustus 1980 kemudian

diubah dengan akta notaris No. 58 tanggal 16 Oktober 1980. Akta pendirian

tersebut telah disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam surat

keputusan tanggal 30 Oktober 1980, No.YA/5/500/II serta diumumkan dalam

Lembaran Berita Negara Republik Indonesia No. 59. Anggaran Dasar Perusahaan

telah mengalami beberapa kali perubahan yang terakhir berdasarkan Akta Notaris

134
No. 37 tanggal 23 Desember 2019 Notaris Fathiah Helmi, S.H., dan telah mendapat

pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. AHU-

0108715.AH.01.02.2019 tanggal 26 Desember 2019. Sesuai dengan pasal 3

Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan Perusahaan meliputi

perindustrian, perdagangan hasil usaha industri tersebut, mengimpor alat-alat,

pengangkutan dan perwakilan atau keagenan, jasa pengelolaan dan penyewaan

gedung perkantoran, taman hiburan atau rekreasi dan kawasan berikat. Perusahaan

berkedudukan di Tangerang, dan berusaha di industri garmen. Perusahaan mulai

beroperasi secara komersial pada tahun 1981.

PT. Pan Brothers Tbk dan Entitas Anak yang di bidang garmen

memproduksi berbagai jenis pakaian-jadi dan berkantor pusat di Tangerang dengan

pabrik Perseroan terletak antara lain di Tangerang, Bandung, Boyolali, Sragen,

Ungaran dan Tasikmalaya. Saham Perseroan pertama kali ditawarkan kepada

masyarakat di tahun 1990 dan telah tercatat di Bursa Efek Indonesia sejak tahun

1990. Sampai 31 Desember 2019 saat ini Perseroan memiliki anak perusahaan: PT.

Pancaprima Ekabrothers (PPEB), PT. Hollit International (HI), Continent 8 Pte Ltd.

(C8), PT. Ocean Asia Industry (OAI), PT. Apparelindo Prima Sentosa (APS), PT.

Eco Smart Garment Indonesia (ESGI), Cosmic Gear Ltd (CG), PT. Prima Sejati

Sejahtera (PSS), PT. Teodore Pan Garmindo (TPG), PT. Victory Pan Multitex

(VPM), PT. Berkah Indo Garmen (BIG), PB International BV (PBI) dan PB Island

(PBL). Ekspor Perseroan tersebar ke seluruh Amerika Serikat, Eropa Barat dan

Timur, Kanada, Asia, Australia, New Zealand dan negara-negara lainnya.

135
Sebagai produsen garmen yang berorientasi ekspor, Perseroan telah

memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh pelanggan. Di samping itu, Perseroan

memenuhi seluruh kualifikasi yang meliputi pedoman keselamatan kerja, praktek

kerja yang sehat dan hak asasi manusia. Penjualan Perseroan setelah konsolidasi

untuk tahun 2019 adalah sebesar USD 665.0 juta naik sebesar 8.8 % dibandingkan

dengan penjualan tahun 2018 sebesar USD 611.4 juta. Penjualan tahun 2017 adalah

sebesar USD 549.4 juta. Perseroan juga mulai memproduksi Alat Pelindung Diri

(APD) sejak awal Maret 2020, dimulai dari masker dan dilanjutkan dengan

pembuatan hazmat. Semula untuk dipakai sendiri sehubungan sulitnya

mendapatkan dari pasar dan sebagian untuk didonasikan kepihak tertentu yang

membutuhkan.

13. Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL)

PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex atau Perseroan) berawal dari sebuah

perusahaan perdagangan tradisional yang menjual produk tekstil bernama “Sri

Redjeki” yang berada di Pasar Klewer, Solo, yang didirikan oleh H. M. Lukminto

pada 1966. Sritex berkembang dengan memproduksi kain yang dikelantang dan

dicelup di pabrik pertama yang dibangun di Baturono, Solo, pada 1968. Pada 1978,

“Sri Redjeki” secara resmi berubah menjadi PT Sri Rejeki Isman. Perseroan secara

resmi melakukan Penawaran Saham Perdana pada 2013 yang otomatis mengubah

nama menjadi PT Sri Rejeki Isman Tbk. Saat ini, Sritex telah menjadi produsen

tekstil-garmen terintegrasi dengan lebih dari 17 ribu karyawan yang

136
mengkonsentrasikan sebagian besar operasinya di lahan seluas 79 hektar di

Sukoharjo, Jawa Tengah.

Dengan empat lini produksi mulai dari pemintalan, penenunan, pencetakan,

pencelupan, dan garmen. Perseroan menjadi perusahaan tekstil garmen terpadu

dengan standar kendali mutu yang tinggi. Sritex telah menjelma menjadi

perusahaan modern yang memiliki tenaga-tenaga profesional dari dalam dan luar

negeri, seperti Korea Selatan, Filipina, India, Jerman, maupun Tiongkok. Sritex

juga telah memiliki banyak pelanggan peritel besar dan modern seperti H&M,

Walmart, K-Mart dan Jones Apparel. Hingga tahun 2019, Perusahaan memiliki 4

entitas anak, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, PT Primayudha

Mandiri Jaya dan Golden Legacy Pte Ltd yang mendukung bisnis perusahaan

induk. Asian Development Bank (ADB) memperkirakan perekonomian Indonesia

tumbuh 2,5% pada tahun 2020 lantaran mewabahnya virus Corona alias Covid-19.

Meskipun Indonesia memiliki landasan makroekonomi yang kuat, wabah Covid-19

yang tengah berlangsung ditambah dengan penurunan harga komoditas dan gejolak

pasar keuangan akan berimplikasi negatip bagi perekonomian dunia dan Indonesia

tahun ini. Sementara versi Pemerintah, pertumbuhan ekonomi tahun 2020 dalam

skenario berat hanya tumbuh 2,35% sedangkan skenario sangat berat bisa -0,4%.

14. Star Petrochem Tbk (STAR)

PT. Star Petrochem (STAR), Tbk selanjutnya disebut Perseroan didirikan

berdasarkan akta No. 34 tanggal 19 Mei 2008 dari Pahala Sutrisno Amijojo

Tampubolon, S.H., notaris di Jakarta dengan nama PT. Star Asia International, yang

137
kemudian dengan akta No. 35 tanggal 13 Oktober 2010 dari Yulia, S.H., notaris di

Jakarta, diubah namanya menjadi PT. Star Petrochem, Tbk. Akta pendirian telah

mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia dalam Surat Keputusan No. AHU-32839.AH.01.01. Tahun 2008 tanggal

13 Juni 2008 telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 65

tanggal 12 Agustus 2008, Tambahan Berita Negara No. 14609. Berdasarkan

Anggaran Dasar, Perseroan memiliki kegiatan usaha dibidang Perdagangan Umum

Besar dengan komoditas perdagangan komoditi benang, kapas dan fiber. Pada

tahun 2011 Perseroan melaksanakan Penawaran Umum Saham Perdana (“IPO”),

tepatnya pada tanggal 13 Juli 2011, resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek

Jakarta dengan jumlah saham yang dijual ke masyarakat sebanyak 2.000.000.000

saham, dengan kode Saham "STAR".

SDM adalah komponen yang penting bagi kelancaran kegiatan usaha

Perseroan, sebab itulah Perseroan secara konsisten berupaya untuk terus

meningkatkan keterampilan dan keahlian karyawan melalui program pendidikan

dan pelatihan seperti melalui training, seminar maupun kursus sesuai dengan bidang

kerja yang ditangani oleh masing-masing karyawan. Untuk menunjang

implementasi prinsip-prinsip tata kelola perseroan yang baik (good corporate

governance (GCG)) yaitu prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas

(accountability), pertanggung jawaban (responsibility), kemandirian

(independency), kewajaran (fairness) serta dalam rangka memenuhi peraturan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa, dalam penerapan GCG Perseroan dibantu

138
oleh perangkat implementasinya antara lain, Komisaris Independen, Direktur

Independen, Komite Audit, Internal Audit dan Sekretaris Perseroan.

15. Tifico Fiber Indonesia Tbk (TFCO)

PT Tifico Fiber Indonesia, Tbk semula didirikan dengan nama PT Teijin

Indonesia Fiber Corporation. Persetujuan pendirian diberikan oleh Presiden

Republik Indonesia pada tanggal 25 September 1973 untuk kemudian secara resmi

didirikan pada tanggal 25 Oktober di tahun yang sama. Awal pembangunan dimulai

pada tanggal 15 Juli 1974 dan pada bulan Juli 1976, kegiatan produksi komersial

dimulai. Produk utama Perseroan berupa biji poliester (polyester chip), serat

poliester (polyester staple fiber), dan benang poliester (polyester filament yarn).

Kapasitas produksi saat ini untuk polyester chip 210.000 ton per tahun, polyester

staple fiber 133.000 ton per tahun dan polyester filament yarn mencapai 65.000 ton

per tahun. Pada tanggal 15 April 2010, Perseroan diambil alih (akuisisi) oleh sebuah

konsorsium dan kemudian berganti nama menjadi PT Tifico Fiber Indonesia, Tbk.

Menurut data Biro Administrasi Efek, pemegang saham Perseroan per tanggal 31

Desember 2014 terdiri atas PT Prospect Motor sebesar 33,08 persen, Pioneer

Atrium Holdings Limited sebesar 31,60 persen, PT Hermawan Sentral Investama

sebesar 17,38 persen, PT Wiratama Karya Sejati sebanyak 16,79 persen, dan

Masyarakat sebanyak 1,15 persen. Perseroan dikelola dengan komitmen yang tinggi

pada lingkungan hidup. Kawasan pabrik seluas 62 hektar dikembangkan dengan

memperhatikan secara baik tata letak dan ruang terbuka hijau.

139
Sebagai Perseroan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat,

Perseroan mengambil bagian dalam tanggung jawab sosial dan lingkungan. Hal ini

dilakukan dengan menjaga dan melestarikan ruang terbuka hijau di kawasan pabrik

dan mengimplementasikan program nir limbah (zero waste). Program nir limbah

tersebut diupayakan melalui pemilahan sampah domestik, pelaksanaan prinsip 3R

(reduce, reuse, recycle), pengomposan sampah organik, usaha untuk mengurangi

konsumsi bahan-bahan kimia, pengolahan limbah cair di Waste Water Treatment

yang dikembangkan dan dikelola oleh Perseroan secara terukur dan memenuhi

standar, serta program 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke) yang mampu

membangun perilaku disiplin dalam dunia kerja hingga menjadi kebiasaan atau

budaya dalam Perseroan. Perseroan juga mengelola berbagai sarana dan prasarana

untuk memberikan tingkat kenyamanan dan kesejahteraan bagi karyawan, seperti

halnya menyediakan tempat tinggal bagi sebagian karyawan yang ditempatkan pada

lokasi yang tenang dan nyaman, serta kantin Perseroan yang dikelola dengan baik

dan bersih. Untuk kepentingan kenyamanan karyawan, di bagian lain kawasan

pabrik yang hijau ini juga tersedia berbagai sarana untuk aktivitas dan olahraga

karyawan, seperti lapangan sepak bola, tenis dan lain-lain.

16. Trisula International Tbk (TRIS)

PT Trisula International Tbk didirikan dengan nama PT Transindo Global

Fashion berdasarkan Akta Notaris No. 38 tanggal 13 Desember 2004 dan Akta

Notaris No. 26 tanggal 15 Februari 2005 oleh Achmad Bajumi, SH. Pendirian ini

dimaksudkan untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang manufaktur, distribusi,

140
dan ritel. Seiring dengan perkembangan usaha yang baik, Perseroan mendapatkan

lisensi untuk menggunakan merek “Jack Nicklaus” dari Amerika Serikat dan dapat

meluncurkan merek pakaian sendiri dengan nama “JOBB” di tahun 1995. Didirikan

dengan nama PT Transindo Global Fashion berdasarkan Akta Notaris No. 38

tanggal 13 Desember 2004 dan Akta Notaris No. 26 tanggal 15 Februari 2005 oleh

Achmad Bajumi, SH yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. C-14733 HT.01.01.

TH.2005 tanggal 31 Mei 2005 dan telah diumumkan pada Berita Negara Republik

Indonesia No. 69 tanggal 30 Agustus 2005, Tambahan No. 9315.

Bapak Tirta Suherlan mendirikan perusahaan tekstil bernama PT Daya

Mekar (selanjutnya disebut Perusahaan) di Bandung yang kemudian berubah nama

menjadi PT Trisula Textile Industries. Pada tahun 2012, Perseroan berhasil

mencatatkan saham untuk pertama kalinya di Bursa Efek Indonesia. Aksi korporasi

tersebut diikuti pelaksanaan penawaran umum dengan hak memesan efek terlebih

dahulu (PMHMETD I) di tahun 2019. Hal ini memperkuat struktur dan jumlah

permodalan Perseroan sehingga lebih memadai untuk melakukan pengembangan

produk dan perluasan usaha selanjutnya. Dengan menjunjung filosofi “to Create a

Better Life for All” serta nilai-nilai “quality, care, and commitment”, Perseroan

terus mendiversifikasi bisnis untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional dan

domestik. Sampai saat ini, Perseroan mengoperasikan 4 fasilitas produksi garmen

dan 1 fasilitas produksi tekstil dengan total volume produksi sekitar 4 juta garmen

unit dan 8 juta yard tekstil per tahun.

141
17. Supreme Cable Manufacturing and Commerce Tbk (SCCO)

Perseroan didirikan pada tanggal 9 November 1970, bergerak dalam bidang

industri kabel. Memulai produksi komersialnya pada tanggal 2 Oktober 1972

dengan dukungan teknis dari Furukawa Electric Co., Ltd. Tokyo, Jepang. Pada

tahun 1982, Perseroan telah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta, sekarang

bernama Bursa Efek Indonesia. Penyertaan saham Perseroan pada beberapa

perusahaan antara lain : PT Tembaga Mulia Semanan Tbk, PT Setia Pratama Lestari

Pelletizing dan PT Supreme Decoluxe. Anggaran Dasar Perseroan telah mengalami

beberapa kali perubahan, antara lain dengan Akta No. 138 tanggal 28 April 1997

dari Notaris Poerbaningsih Adi Warsito, S.H., mengenai peningkatan modal dasar

Perseroan, semula sebesar Rp 225 miliar menjadi Rp 500 miliar. Perubahan

Anggaran Dasar tersebut telah disetujui oleh Menteri Kehakiman Republik

Indonesia dalam Surat Keputusan No. C2-5994-HT.01.04. Berdasarkan Pasal 3

Anggaran Dasar Perseroan, maksud dan tujuan Perseroan adalah untuk melakukan

usaha dalam bidang industri dan perdagangan. Untuk mencapai maksud dan tujuan

tersebut, Perseroan melaksanakan kegiatan usaha sebagai berikut :

a. Berusaha dalam bidang industri khususnya memproduksi bermacam-

macam kabel dan produk-produk yang berhubungan dengan itu dan bahan-

bahan bakunya.

b. Memperdagangkan produk-produk tersebut di atas baik di dalam maupun di

luar negeri. Dalam menjalankan kegiatan usahanya tersebut, Perseroan telah

meningkatkan kapasitas dan jenis kabel agar dapat menyediakan produk

yang semakin beragam yang diperlukan oleh masyarakat.

142
4.2 Pembahasan

4.2.1 Analisis Statistik Deskriptif

4.2.1.1. Analisis Rasio Likuiditas pada perusahaan Manufaktur Sektor Aneka

Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019

Rasio Likuiditas dalam penelitian ini mempertimbangkan beberapa

indikator sebagai faktor penyebab variabel penelitian. Dari penelitian ini indikator

yang digunakan antara lain Rasio Lancar (Current Ratio), Rasio Cepat (Quick

Ratio), Rasio Kas (Cash Ratio), Rasio Perputaran Kas (Cash Turnover Ratio),

Rasio Modal Kerja Terhadap Total Aset (Working Capital to Total Asset Ratio).

1. Rasio Lancar (Current Ratio)

Rasio Lancar (Current Ratio) merupakan rasio untuk mengukur

likuiditas perusahaan dalam membayar hutang jangka pendek dengan aset

lancar yang dimiliki perusahaan. Hutang jangka pendek ini merupakan hutang

yang jangka pelunasannya kurang dari satu tahun, seperti hutang dagang,

hutang wesel, dividen, pendapatan diterima di muka, dan hutang biaya. Hasil

penelitian mengenai Rasio Likuiditas pada perusahaan Manufaktur Sektor

Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019 dapat

dilihat pada tabel berikut.

Table 4.1
Rasio Lancar (Current Ratio) pada perusahaan Manufaktur Sektor Aneka
Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019

Dalam persentase (%)


No. Kode 2014 2015 2016 2017 2018 2019 RATA-
RATA
1. ASII 1.32 1.38 1.24 1.23 1.15 1.29 1.27
2. AUTO 1.33 1.32 1.51 1.72 1.48 1.61 1.49
3. BOLT 1.39 4.39 4.14 3.13 1.80 2.01 2.81

143
4. BRAM 1.42 1.81 1.89 2.39 2.15 2.90 2.09
5. GJTL 2.02 1.78 1.73 1.63 1.50 1.49 1.69
6. IMAS 1.03 0.94 0.92 0.84 0.77 0.77 0.88
7. INDS 2.91 2.23 3.03 5.13 5.21 5.83 4.06
8. LPIN 2.16 0.80 0.71 5.21 7.92 13.04 4.98
9. MASA 1.75 1.29 1.05 0.95 1.06 1.78 1.31
10. ESTI 0.71 0.67 1.38 0.94 0.91 1.11 0.95
11. MYTX 0.42 0.35 0.42 0.47 0.43 0.44 0.42
12. PBRX 3.86 3.60 3.76 4.58 6.46 6.51 4.79
13. SRIL 5.33 4.81 3.06 3.68 3.08 4.90 4.14
14 STAR 1.74 1.81 2.00 2.77 2.87 6.45 2.94
14. TFCO 1.84 3.03 3.23 3.39 4.62 5.51 3.60
16. TRIS 2.00 1.89 1.64 1.92 1.61 1.82 1.81
17. SCCO 1.57 1.69 1.69 1.74 1.91 2.09 1.78
RATA-RATA 1.93 1.99 1.97 2.45 2.64 3.50 2.41
NILAI TERTINGGI 5.33 4.81 4.14 5.21 7.92 13.04 6.74
NILAI TERENDAH 0.42 0.35 0.42 0.47 0.43 0.44 0.42

Berdasarkan tabel data penelitian di atas dapat diketahui bahwa rata-rata

Rasio Lancar untuk perusahaan Manufaktur Sektor Aneka Industri yang terdaftar

di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019 berada di angka 2,41 kali. Rasio Lancar

(Current Ratio) tertinggi yaitu pada PT. Multi Prima Sejahtera Tbk, (LPIN) dengan

nilai sebesar 13,04 kali pada tahun 2019. Dan Rasio Lancar terendah yaitu pada PT.

Asia Pasific Investama Tbk, (MYTX) dengan nilai 0,35 kali pada tahun 2015.

Tabel 4.2.
Standar Rasio Industri Likuiditas
No Jenis Rasio Standar Industri
1. Current Ratio 2 kali
2. Quick Ratio 1,5 kali
3. Cash Ratio 50 %
4. Cash Turnover 10 %
5. Inventory to Net Working Capital 12 %
Sumber : Kasmir (2008:143

144
Jika dilihat dari standar Rasio Industri Likuiditas untuk Rasio Lancar

(Current Ratio), perusahaan yang memiliki rasio lancar 2,0 kali atau lebih maka

perusahaan tersebut mempunyai kemampuan yang baik dalam melunasi

kewajibannya. Karena perbandingan aktivanya lebih besar dibanding kewajiban

yang dimiliki. Namun jika rasio lancar yang dimiliki perusahaan nilainya di bawah

2,0 kali, maka kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajibannya masih kurang

baik. Selain itu, jika rasio lancar suatu perusahaan nilainya lebih dari 3,0 kali bukan

berarti perusahaan tersebut dalam keadaan keuangan yang baik. Bisa jadi

perusahaan tersebut tidak mengalokasikan aktiva lancarnya secara optimal, tidak

memanfaatkan aktiva lancarnya secara efektif dan efisien, dan tidak mengelola

modalnya dengan baik sehingga memiliki nilai rasio lancar yang terlalu tinggi.

Berdasarkan data tabel di atas, perusahaan yang memiliki rata-rata tingkat

rasio lancar paling rendah dari tahun ke tahun adalah PT. Asia Pasific Investama

Tbk, (MYTX) dengan nilai 0,42 kali. Artinya perusahaan perlu meningkatkan nilai

aktiva lancarnya untuk meningkatkan nilai rasio lancarnya. Dari data di atas

perusahaan yang memiliki nilai rasio lancar rata-rata dengan nilai tertinggi sebesar

4,98 kali yaitu PT. Multi Prima Sejahtera Tbk, (LPIN). Artinya perusahaan perlu

mengoptimalkan aktiva lancar yang dimilikinya agar memiliki nilai rasio lancar

yang optimal.

2. Rasio Cepat (Quick Ratio)

145
Tabel 4.3
Rasio Cepat (Quick Ratio) pada perusahaan Manufaktur Sektor Aneka
Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019

No. Kode 2014 2015 2016 2017 2018 2019 RATA-


RATA
1. ASII 1.09 1.14 1.04 1.03 0.92 1.05 1.04
2. AUTO 0.89 0.84 0.95 1.01 0.87 1.00 0.92
3. BOLT 0.58 2.07 2.07 1.35 0.66 0.72 1.24
4. BRAM 0.73 0.88 0.88 1.13 1.08 1.54 1.04
5. GJTL 1.30 1.21 1.21 1.06 0.93 1.03 1.12
6. IMAS 0.74 0.72 0.77 0.68 0.59 0.65 0.69
7. INDS 1.48 1.02 1.72 3.37 3.56 3.33 2.41
8. LPIN 0.81 0.58 0.56 3.65 5.15 10.07 3.47
9. MASA 0.84 0.71 0.59 0.49 0.66 0.93 0.70
10. ESTI 0.18 0.15 0.32 0.18 0.16 0.17 0.19
11. MYTX 0.20 0.19 0.18 0.17 0.22 0.13 0.18
12. PBRX 2.95 2.57 2.77 3.33 4.62 4.59 3.47
13. SRIL 3.52 2.79 1.87 2.16 1.64 2.92 2.48
14 STAR 1.44 1.54 1.74 2.55 2.63 6.45 2.73
14. TFCO 0.93 1.37 1.88 2.16 2.69 3.51 2.09
16. TRIS 1.14 1.03 0.97 0.90 0.71 0.83 0.93
17. SCCO 1.23 1.33 1.39 1.35 1.23 1.31 1.31
RATA-RATA 1.18 1.18 1.23 1.56 1.67 2.37 1.53
NILAI TERTINGGI 3.52 2.79 2.77 3.65 5.15 10.07 3.47
NILAI TERENDAH 0.18 0.15 0.18 0.17 0.16 0.13 0.18

Berdasarkan tabel data penelitian di atas dapat diketahui bahwa rata-rata

Rasio Cepat untuk perusahaan Manufaktur Sektor Aneka Industri yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019 berada di angka 1,53 kali. Artinya secara

rata-rata keseluruhan nilai rasio cepat (quick ratio) perusahaan dinilai baik karena

berada di atas nilai standar Quick Ratio untuk industri. Rasio Cepat (Quick Ratio)

tertinggi yaitu pada PT. Multi Prima Sejahtera Tbk, (LPIN) dengan nilai sebesar

10,07 kali pada tahun 2019. Dan Rasio Cepat terendah yaitu pada PT. Asia Pasific

Investama Tbk, (MYTX) dengan nilai 0,13 kali pada tahun 2019.

146
3. Rasio Kas (Cash Ratio)

Tabel 4.4
Rasio Kas (Cash Ratio) pada perusahaan Manufaktur Sektor Aneka Industri
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019

No. Kode 2014 2015 2016 2017 2018 2019 RATA-


RATA
1. ASII 0.284 0.355 0.330 0.320 0.216 0.243 0.29
2. AUTO 0.331 0.270 0.281 0.224 0.219 0.229 0.26
3. BOLT 0.033 0.713 0.715 0.218 0.039 0.031 0.29
4. BRAM 0.049 0.082 0.165 0.069 0.116 0.428 0.15
5. GJTL 0.307 0.173 0.174 0.158 0.116 0.117 0.17
6. IMAS 0.099 0.101 0.125 0.083 0.054 0.065 0.09
7. INDS 0.253 0.189 0.652 1.377 1.130 0.801 0.73
8. LPIN 0.199 0.310 0.347 1.216 3.483 7.386 2.16
9. MASA 0.449 0.018 0.097 0.067 0.036 0.061 0.12
10. ESTI 0.046 0.046 0.056 0.029 0.006 0.004 0.03
11. MYTX 0.015 0.004 0.007 0.011 0.009 0.003 0.01
12. PBRX 1.737 0.853 0.762 0.830 1.037 1.098 1.05
13. SRIL 1.350 1.149 0.490 0.726 0.559 0.922 0.87
14 STAR 0.024 0.027 0.015 0.535 0.034 0.157 0.13
14. TFCO 0.018 0.047 0.700 1.087 0.785 2.074 0.79
16. TRIS 0.250 0.289 0.314 0.183 0.184 0.208 0.24
17. SCCO 0.141 0.415 0.808 0.624 0.320 0.469 0.46
RATA-RATA 0.33 0.30 0.36 0.46 0.49 0.84 0.46
NILAI TERTINGGI 1.74 1.15 0.81 1.38 3.48 7.39 2.16
NILAI TERENDAH 0.02 0.004 0.01 0.01 0.01 0.00 0.01

4. Rasio Perputaran Kas (Cash Turnover Ratio)

Tabel 4.5
Rasio Perputaran Kas (Cash Turnover Ratio) pada perusahaan Manufaktur
Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-
2019

No. Kode 2014 2015 2016 2017 2018 2019 RATA-


RATA
1. ASII 8.50 6.37 8.49 9.13 13.95 8.15 9.10
2. AUTO 9.57 10.01 7.78 6.20 7.89 7.34 8.13
3. BOLT 7.28 2.28 2.42 2.85 4.22 4.09 3.86
4. BRAM 6.47 4.56 4.15 3.57 4.56 3.87 4.53
5. GJTL 4.13 4.49 4.30 5.11 5.34 5.95 4.89

147
6. IMAS 52.29 (21.46) (15.76) (6.00) (3.54) (3.88) 0.28
7. INDS 2.91 3.03 2.49 2.34 2.62 2.63 2.67
8. LPIN 1.54 (2.18) (1.89) 0.95 0.79 0.68 (0.02)
9. MASA 3.97 6.71 29.79 (30.86) 22.97 5.63 6.37
10. ESTI (3.49) (2.90) 4.73 (22.26) (12.8) 9.70 (4.50)
11. MYTX (2.70) (2.02) (2.62) (1.87) (2.16) (2.01) (2.23)
12. PBRX 1.61 1.87 1.70 1.60 1.60 1.49 1.65
13. SRIL 2.12 2.43 2.67 1.62 2.17 1.66 2.11
14 STAR 1.17 1.40 0.67 0.56 0.61 0.16 0.76
14. TFCO 7.01 3.88 3.15 2.90 2.81 2.34 3.68
16. TRIS 3.85 4.27 4.99 4.52 5.16 4.34 4.52
17. SCCO 7.92 6.29 4.54 4.80 4.69 4.28 5.42
RATA-RATA 6.71 1.71 3.62 (0.87) 3.58 3.32 3.01
NILAI TERTINGGI 52.29 10.01 29.79 9.13 22.97 9.70 9.10
NILAI TERENDAH (3.49) (21.46) (15.76) (30.86) (12.8) (3.88) (4.50)

5. Rasio Modal Kerja Terhadap Total Aset (Working Capital to Total Asset Ratio)

Tabel 4.6
Rasio Modal Kerja Terhadap Total Aset (Working Capital to Total Asset
Ratio) pada perusahaan Manufaktur Sektor Aneka Industri yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019

No. Kode 2014 2015 2016 2017 2018 2019 RATA-


RATA
1. ASII 0.10 0.12 0.08 0.08 0.05 0.08 0.09
2. AUTO 0.09 0.08 0.11 0.15 0.12 0.13 0.11
3. BOLT 0.14 0.41 0.36 0.31 0.21 0.23 0.28
4. BRAM 0.10 0.16 0.18 0.22 0.20 0.23 0.18
5. GJTL 0.20 0.17 0.17 0.15 0.15 0.14 0.16
6. IMAS 0.02 (0.03) (0.04) (0.08) (0.12) (0.11) (0.06)
7. INDS 0.28 0.21 0.27 0.35 0.37 0.28 0.29
8. LPIN 0.25 (0.11) (0.16) 0.40 0.40 0.40 0.20
9. MASA 0.11 0.06 0.01 (0.01) 0.02 0.13 0.05
10. ESTI (0.19) (0.22) 0.15 (0.03) (0.05) 0.05 (0.05)
11. MYTX (0.39) (0.48) (0.31) (0.25) (0.29) (0.25) (0.33)
12. PBRX 0.57 0.51 0.55 0.60 0.66 0.68 0.60
13. SRIL 0.37 0.33 0.27 0.39 0.35 0.46 0.36
14 STAR 0.25 0.25 0.28 0.33 0.35 0.84 0.38
14. TFCO 0.12 0.15 0.18 0.23 0.25 0.26 0.20
16. TRIS 0.37 0.35 0.28 0.31 0.26 0.30 0.31
17. SCCO 0.28 0.32 0.34 0.23 0.26 0.30 0.29
RATA-RATA 0.16 0.13 0.16 0.20 0.19 0.24 0.18
NILAI TERTINGGI 0.57 0.51 0.55 0.60 0.66 0.84 0.60
NILAI TERENDAH (0.39) (0.48) (0.31) (0.25) (0.29) (0.25) (0.33)

148
4.2.1.2. Analisis Rasio Profitabilitas pada perusahaan Manufaktur Sektor

Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-

2019

1. Return on Investment (ROI)

Tabel 4.7
Return on Investment (ROI) pada Perusahaan Manufaktur Sektor Aneka
Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019

No. Kode 2014 2015 2016 2017 2018 2019 RATA-


RATA
1. ASII 0.62 0.42 0.42 0.40 0.48 0.35 0.45
2. AUTO 0.24 0.06 0.10 0.09 0.14 0.12 0.13
3. BOLT 60.70 35.98 58.31 0 0 0 25.83
4. BRAM 1.76 1.07 1.96 2.30 1.17 0.77 1.51
5. GJTL 0.27 (0.19) 0.45 (0.14) 0.17 0.36 0.15
6. IMAS (0.02) (0.01) (0.00) 0.50 0.15 (0.01) 0.10
7. INDS 4.56 2.13 2.29 1.85 1.95 4.31 2.85
8. LPIN (0.05) (0.19) (0.60) 1.97 0.23 0.17 0.26
9. MASA 0.71 (2.39) (0.24) (0.86) 0 (1.21) (0.67)
10. ESTI (4,403) (9506) 2,686 (283.97) 118.06 (335.9) (1,954)
11. MYTX (10.07) (16.7) (20.10) 103.69 (126) (257.9) (54.51)
12. PBRX 520.15 543.27 656.47 443.12 863.05 799.39 637.58
13. SRIL 1,623 2005.9 2,118 2,385.9 3,126 2,926 2,364.1
14 STAR 0 0.02 0.00 0.00 0.01 0.01 0.01
14. TFCO (0.62) (0.16) 0.76 0.38 (0.02) (0.58) (0.04)
16. TRIS 6.65 7.29 75.71 77.61 89.93 101.05 59.71
17. SCCO 2.46 2.43 3.57 12.02 1.68 1.74 3.98
RATA-RATA (129.0) (407) 328.4 161.5 239.8 190.5 63.96
NILAI TERTINGGI 1,623 2005.9 2,686 2,385.9 3,126 2,926 2,364.1
NILAI TERENDAH (4,403) -9.506 (20.1) (284.0) (126) (335.9) (1,954)

2. Return on Assets (ROA)

Tabel 4.8
Return on Assets (ROA) pada Perusahaan Manufaktur Sektor Aneka
Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019

149
No. Kode 2014 2015 2016 2017 2018 2019 RATA-
RATA
1. ASII 0.09 0.07 0.08 0.08 0.08 0.07 0.08
2. AUTO 0.08 0.02 0.04 0.03 0.05 0.05 0.05
3. BOLT 0.33 0.12 0.10 0.08 0.07 0.04 0.12
4. BRAM 0.06 0.04 0.08 0.09 0.09 0.06 0.07
5. GJTL 0.02 (0.01) 0.02 (0.01) 0.01 0.02 0.01
6. IMAS (0.00) (0.00) 0.08 0.02 (0.00) 0.02
7. INDS 0.06 0.05 0.06 0.05 0.05 0.16 0.07
8. LPIN (0.02) (0.05) (0.14) 0.71 0.11 0.09 0.12
9. MASA 0.00 (0.05) (0.01) (0.01) (0.03) (0.03) (0.02)
10. ESTI (0.09) (0.18) 0.06 (0.03) 0.02 (0.05) (0.05)
11. MYTX (0.08) (0.15) (0.22) 0.35 (0.04) (0.07) (0.04)
12. PBRX 0.03 0.02 0.02 0.01 0.03 0.02 0.02
13. SRIL 0.06 0.07 0.06 0.06 0.06 0.05 0.06
14 STAR 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
14. TFCO (0.01) (0.00) 0.02 0.01 (0.00) (0.02) 0.00
16. TRIS 0.07 0.07 0.03 0.04 0.03 0.02 0.04
17. SCCO 0.08 0.09 0.14 0.39 0.06 0.07 0.14
RATA-RATA 0.04 0.01 0.02 0.11 0.04 0.03 0.04
NILAI TERTINGGI 0.33 0.12 0.14 0.71 0.11 0.16 0.14
NILAI TERENDAH (0.09) (0.18) (0.22) (0.03) (0.04) (0.07) (0.05)

3. Return on Equity (ROE)

Tabel 4.9
Return on Equity (ROE) pada Perusahaan Manufaktur Sektor Aneka
Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019
No. Kode 2014 2015 2016 2017 2018 2019 RATA-
RATA
1. ASII 0.184 0.130 0.142 0.145 0.165 0.125 0.15
2. AUTO 0.113 0.028 0.050 0.042 0.066 0.063 0.06
3. BOLT 0.577 0.149 0.120 0.140 0.125 0.067 0.20
4. BRAM 0.095 0.057 0.114 0.133 0.116 0.081 0.10
5. GJTL 0.049 (0.03) 0.078 (0.025) 0.032 0.058 0.03
6. IMAS (0.001) (0.00) (0.00) 0.282 0.087 (0.00) 0.06
7. INDS 0.070 0.069 0.070 0.052 0.052 0.172 0.08
8. LPIN (0.030) (0.15) (1.258) 0.826 0.125 0.098 (0.06)
9. MASA 0.001 (0.07) (0.019) (0.026) (0.06) (0.062) (0.04)
10. ESTI (0.272) (0.80) 0.194 (0.116) 0.087 (0.208) (0.19)
11. MYTX 0.615 0.521 0.386 3.448 (0.59) (0.884) 0.58
12. PBRX 0.049 0.049 0.056 0.037 0.067 0.059 0.05
13. SRIL 0.192 0.200 0.176 0.149 0.167 0.136 0.17

150
14 STAR 0.001 0.002 0.001 0.001 0.002 0.004 0.00
14. TFCO (0.016) (0.00) 0.021 0.010 (0.00) (0.016) (0.00)
16. TRIS 0.115 0.114 0.063 0.055 0.056 0.028 0.07
17. SCCO 0.169 0.165 0.280 0.573 0.087 0.096 0.23
RATA-RATA 0.11 0.03 0.03 0.34 0.03 (0.01) 0.09
NILAI TERTINGGI 0.62 0.52 0.39 3.45 0.17 0.17 0.58
NILAI TERENDAH -0.272 -0.8 -1.258 -0.116 -0.59 -0.884 (0.19)

4. Profit Margin

Tabel 4.10
Profit Margin pada Perusahaan Manufaktur Sektor Aneka Industri yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019
No. Kode 2014 2015 2016 2017 2018 2019 RATA-
RATA
1. ASII 0.11 0.09 0.11 0.11 0.12 0.10 0.11
2. AUTO 0.09 0.02 0.04 0.03 0.05 0.05 0.05
3. BOLT 0.31 0.13 0.11 0.10 0.08 0.04 0.13
4. BRAM 0.08 0.05 0.10 0.12 0.10 0.07 0.09
5. GJTL 0.02 (0.02) 0.03 (0.01) 0.01 0.02 0.01
6. IMAS (0.00) (0.00) (0.00) 0.17 0.05 (0.00) 0.04
7. INDS 0.07 0.08 0.09 0.06 0.05 0.21 0.09
8. LPIN (0.06) (0.23) (0.46) 1.86 0.36 0.34 0.30
9. MASA 0.00 (0.11) (0.03) (0.03) (0.07) (0.04) (0.05)
10. ESTI (0.14) (0.28) 0.09 (0.05) 0.04 (0.09) (0.07)
11. MYTX (0.08) (0.16) (0.28) 0.73 (0.06) (0.15) 0
12. PBRX 0.03 0.03 0.03 0.02 0.03 0.02 0.03
13. SRIL 0.08 0.09 0.09 0.09 0.08 0.07 0.08
14 STAR 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.02 0.01
14. TFCO (0.02) (0.01) 0.03 0.01 (0.00) (0.02) (0.00)
16. TRIS 0.05 0.04 0.02 0.03 0.02 0.01 0.03
17. SCCO 0.04 0.04 0.09 0.35 0.05 0.05 0.10
RATA-RATA 0.03 (0.01) 0.00 0.21 0.05 0.04 0.06
NILAI TERTINGGI 0.31 0.13 0.11 1.86 0.36 0.34 0.30
NILAI TERENDAH (0.14) (0.28) (0.46) (0.05) (0.07) (0.15) (0.07)

4.2.1.3. Analisis Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance) pada

perusahaan Manufaktur Sektor Aneka Industri yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019

151
1. Kepemilikan Institusional

Tabel 4.14
Kepemilikan Institusional pada Perusahaan Manufaktur Sektor Aneka
Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019

No. Kode 2014 2015 2016 2017 2018 2019 RATA-


RATA
1. ASII
2. AUTO
3. BOLT
4. BRAM
5. GJTL
6. IMAS
7. INDS
8. LPIN
9. MASA
10. ESTI
11. MYTX
12. PBRX
13. SRIL
14 STAR
14. TFCO
16. TRIS
17. SCCO
RATA-RATA
NILAI TERTINGGI
NILAI TERENDAH

4.2.1.4. Analisis Kebijakan Hutang pada perusahaan Manufaktur Sektor

Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-

2019

1. Rasio Hutang Terhadap Ekuitas (Debt to Equity Ratio)

Tabel 4.16
Rasio Hutang Terhadap Ekuitas (Debt to Equity Ratio) pada Perusahaan
Manufaktur Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
tahun 2014-2019

152
No. Kode 2014 2015 2016 2017 2018 2019 RATA-
RATA
1. ASII
2. AUTO
3. BOLT
4. BRAM
5. GJTL
6. IMAS
7. INDS
8. LPIN
9. MASA
10. ESTI
11. MYTX
12. PBRX
13. SRIL
14 STAR
14. TFCO
16. TRIS
17. SCCO
RATA-RATA
NILAI TERTINGGI
NILAI TERENDAH

4.2.1.5. Analisis Financial Distress pada perusahaan Manufaktur Sektor

Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-

2019

Kategori Financial Distress di mana kondisi bangkrut dengan nilai Z-Score

di bawah (<) 1,23. Kemudian kategori gray atau ragu-ragu yaitu dengan nilai Z-

Score di rentang antara 1,23-2,90. Yang terakhir kategori non bangkrut dengan nilai

Z-Score > 2,90.

Tabel 4.19
Analisis Financial Distress (dengan Z-Score) pada Perusahaan Manufaktur
Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun
2014-2019

153
No. Kode 2014 2015 2016 2017 2018 2019 RATA-
RATA
1. ASII 2.69 2.26 2.50 2.40 2.18 1.89 2.32
2. AUTO 3.22 1.83 2.21 2.35 2.21 2.22 2.34
3. BOLT 1.93 6.77 4.81 3.65 3.10 3.07 3.89
4. BRAM 1.61 1.69 2.27 2.64 2.54 3.93 2.45
5. GJTL 1.45 1.04 1.30 1.18 1.12 1.29 1.23
6. IMAS 1.19 0.94 0.66 0.53 0.47 0.43 0.70
7. INDS 2.20 1.11 1.64 2.66 3.75 3.69 2.51
8. LPIN 1.06 0.22 (0.35) 4.98 3.04 3.74 2.12
9. MASA 0.69 0.40 0.43 0.45 0.42 0.74 0.52
10. ESTI 0.50 0.37 1.19 0.68 0.72 0.47 0.66
11. MYTX (0.03) (0.51) (1.00) (0.38) (0.30) (0.49) (0.45)
12. PBRX 2.20 1.95 1.83 1.86 2.07 1.99 1.98
13. SRIL 1.67 1.66 1.50 1.57 1.68 1.64 1.62
14 STAR 0.86 0.98 0.99 2.06 1.90 4.22 1.84
14. TFCO 3.64 5.13 5.77 4.12 4.30 3.66 4.44
16. TRIS 2.80 2.77 2.39 2.63 2.14 2.46 2.53
17. SCCO 3.48 3.29 3.18 2.40 2.57 2.75 2.95
RATA-RATA 1.83 1.88 1.84 2.10 1.99 2.22 1.98
NILAI TERTINGGI 3.64 6.77 5.77 4.98 4.30 4.22 4.44
NILAI TERENDAH (0.03) (0.51) (1.00) (0.38) (0.30) (0.49) (0.45)

4.2.2. Analisis Statistik Verifikatif

Analisis ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel

independent / eksogen (X) terhadap variabel dependent/endogen (Y) dalam

penelitian ini. Pada penelitian ini, pengujian hipotesis menggunakan teknik analisis

Partial Least Square (PLS) dengan program smartPLS 3.0. Berikut ini adalah

skema model program PLS yang diujikan :

154
Sumber : Hasil Pengolahan Data Program PLS

4.2.2.1. Evaluation of Measurement Model (Outer Model)

A. Uji Validitas

Pengertian Validitas menurut Sugiyono (2016:177) menunjukan derajat

ketepatan antara data yang sesungguhnya terjadi pada objek dengan data yang

dikumpulkan oleh peneliti untuk mencari validitas sebuah item, kita

mengkorelasikan skor item dengan total item-item tersebut. Dalam penelitian ini

ada beberapa tahap yang dilakukan dalam melakukan pengujian terhadap validitas

suatu data penelitian antara lain :

155
1. Convergent Validity

a. Loading Factor

Untuk menguji convergent validity digunakan nilai outer loading atau

loading factor. Suatu indikator penelitian dinyatakan memenuhi Convergent

Validity dalam kategori baik apabila nilai outer loading > 0,7. Berikut adalah

nilai outer loading dari masing-masing indikator pada variabel penelitian :

Tabel 4.20
Outer Loading
Variabel Indikator Outer Loading Kesimpulan
LIK1 0,964 Valid
LIK2 0,957 Valid
X1-Likuiditas LIK3 0,796 Valid
LIK4 0,116 Tidak Valid
LIK5 0,83 Valid
PRO1 0,317 Tidak Valid
PRO2 0,945 Valid
X2-Profitabilitas PRO3 0,471 Tidak Valid
PRO4 0,954 Valid
PRO5 0,434 Tidak Valid
PRO6 0,922 Valid
X3-GCG (Good GCG1 0,254 Tidak Valid
Corporate GCG2 0,857 Valid
Governance) GCG3 0,907 Valid
X4-Kebijakan DEBT1 0,754 Valid
Hutang DEBT2 0,837 Valid
DEBT3 0,754 Valid
Y – Financial Y (Z-Score) 1 Valid
Distress

Berdasarkan sajian data dalam tabel 4.19 di atas, diketahui bahwa masing-

masing indikator variabel penelitian banyak yang memiliki nilai outer loading >

0,7. Namun, terlihat masih terdapat beberapa indikator yang memiliki nilai outer

156
loading < 0,7. Sehingga indikator yang tidak memenuhi syarat convergent validity

tersebut tidak dapat dijadikan sebagai indikator penelitian. Dari 18 indikator yang

di uji, ada 13 indikator dinyatakan layak atau valid untuk digunakan dalam

penelitian dan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut.

b. Average Variance Extracted (AVE)

Selain mengamati nilai cross loading, Convergent Validity juga dapat

diketahui melalui metode lainnya yaitu dengan melihat nilai Average Variant

Extracted (AVE) untuk masing-masing variabel dipersyaratkan nilainya harus

> 0,5 untuk model yang baik.

Tabel 4.21
Average Variant Extracted (AVE)
Variabel AVE
Likuiditas 0,802
Profitabilitas 0,917
GCG (Good Corporate 0,818
Governance)
Kebijakan Hutang 0,598
Financial Distress 1

Berdasarkan sajian data dalam tabel 4.3 di atas, diketahui bahwa nilai AVE

variabel Likuiditas, Profitabilitas, GCG (Good Corporate Governance), Kebijakan

Hutang dan Financial Distress > 0,5. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa

setiap variabel dalam penelitian ini telah memenuhi Convergent Validity yang baik.

Berikut ini adalah chart yang menggambarkan kondisi Average Variant Extracted

(AVE) untuk semua variabel dalam penelitian ini.

157
Gambar 4.22
Chart Average Variant Extracted (AVE)

Sumber : Data Pengolahan Program smartPLS 3.0

2. Discriminant Validity

Uji discriminant validity ini dilakukan untuk melihat nilai korelasi antara

indikator dengan variabel maupun nilai korelasi antar variabel.

a. Cross Loading

Pada bagian ini akan diuraikan hasil uji discriminant validity. Uji

discriminant validity menggunakan nilai cross loading. Suatu indikator

dinyatakan memenuhi discriminant validity apabila nilai cross loading indikator

pada variabelnya adalah lebih besar apabila dibandingkan dengan variabel

lainnya. Cross Loading ini dilakukan untuk melihat nilai korelasi antara

indikator dengan variabel penelitian. Berikut ini adalah nilai cross loading

masing-masing indikator :

158
Tabel 4.23
Cross Loading
Variabel
Indikator X1 X2 X3 X4 Y
Likuiditas Profitabilitas GCG Kebijakan Financial
Hutang Distress
LIK1 0.974 0.325 -0.180 -0.427 0.534
LIK2 0.967 0.305 -0.199 -0.386 0.463
LIK3 0.811 0.264 -0.148 -0.277 0.328
LIK5 0.818 0.325 -0.163 -0.519 0.606
PRO2 0.276 0.941 -0.096 -0.272 0.434
PRO4 0.313 0.981 -0.103 -0.230 0.366
PRO6 0.389 0.950 -0.102 -0.344 0.453
GCG2 -0.151 -0.097 0.886 -0.066 -0.167
GCG3 -0.196 -0.094 0.923 -0.071 -0.198
DEBT1 -0.208 -0.091 -0.065 0.727 -0.334
DEBT2 -0.535 -0.368 -0.060 0.859 -0.759
DEBT3 -0.105 -0.050 -0.057 0.725 -0.314
Y (Z-Score) 0.560 0.441 -0.203 -0.713 1
Sumber : Data Pengolahan Program PLS

Berdasarkan sajian data pada tabel 4.21 di atas dapat diketahui bahwa

masing-masing indikator pada variabel penelitian memiliki nilai cross loading

lebih besar pada variabel yang dibentuknya dibandingkan dengan nilai cross

loading pada variabel lainnya. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat

dinyatakan bahwa indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini telah

memiliki discriminant validity yang baik dalam menyusun variabelnya masing-

masing.

b. Fornell Larcker Criterion or HTMT

Sama halnya dengan uji discriminant validity dengan menggunakan nilai

cross loading, uji Fornell Larcker Criterion ini dilakukan untuk melihat nilai

korelasi antara variabel dengan variabel itu sendiri dan variabel dengan variabel

159
lainnya. Berikut ini adalah nilai Fornell Larcker Criterion untuk masing-masing

variabel :

Tabel 4.24
Fornell Larcker Criterion

X1- X2- X3-GCG X4- Y-


Variabel Likuiditas Profitabilitas Kebijakan Financial
Hutang Distress
X1- 0.895
Likuiditas
X2- 0.345 0.958
Profitabilitas
X3-GCG -0.194 -0.105 0.905

X4- -0.467 -0.300 -0.076 0.773


Kebijakan
Hutang
Y-Financial 0.560 0.441 -0.203 -0.713 1
Distress
Berdasarkan sajian data pada tabel 4.22 di atas dapat diketahui bahwa

masing-masing indikator pada variabel penelitian memiliki nilai Fornell Larcker

Criterion lebih besar pada variabel itu sendiri dibandingkan dengan nilai Fornell

Larcker Criterion antar variabel lainnya. Berdasarkan hasil yang diperoleh

tersebut, dapat dinyatakan bahwa variabel-variabel yang digunakan dalam

penelitian ini telah memiliki discriminant validity yang baik.

B. Uji Reliabilitas

Setelah semua tahap Uji Validitas tadi terlewati, artinya seluruh indikator

yang digunakan dalam penelitian ini telah layak / valid untuk dapat mengukur

variabel penelitian ini langkah selanjutnya adalah dengan melakukan tahap Uji

Reliabilitas. Yaitu untuk memastikan bahwa data penelitian yang telah di uji

160
sebelumnya bernilai reliable (dapat dipercaya) atau tidak. Pada penelitian ini uji

reliabilitas ini dilakukan melalui dua tahap yaitu sebagai berikut :

a. Composite Reliability

Yaitu nilai yang menunjukkan bahwa data penelitian ini reliable di mana

nilai yang harus ditunjukkan pada uji ini adalah di atas (>) 0,7.

Tabel 4.25
Composite Reliability

Variabel Composite Reliability


X1-Likuiditas 0.942
X2-Profitabilitas 0.971
X3-GCG (Good Corporate Governance) 0.900
X4-Kebijakan Hutang 0.816
Y-Financial Distress 1
Berdasarkan sajian data pada tabel 4.23 di atas, dapat diketahui bahwa nilai

composite reliability semua variabel penelitian > 0,7. Hasil ini menunjukkan

bahwa masing-masing variabel telah memenuhi composite realibility sehingga

dapat disimpulkan bahwa keseluruhan variabel memiliki tingkat realibilitas yang

tinggi

b. Cronbach’s Alpha

Sama halnya dengan nilai Composite Reliability, pada uji Cronbach’s

Alpha juga harus menunjukkan angka di atas (>) 0,7. Uji realibilitas dengan

composite reability di atas dapat diperkuat dengan menggunakan nilai cronbach

alpha. Suatu variabel dapat dinyatakan reliabel atau memenuhi cronbach alpha

apabila memiliki nilai cronbach alpha > 0,7. Berikut ini adalah nilai cronbach

alpha dari masing-masing variabel. Artinya setiap indikator dalam penelitian ini

161
sudah mampu untuk mengukur variabel-variabelnya sehingga penelitian ini

menjadi bersifat reliable (dapat dipercaya).

Tabel 4.26
Cronbach’s Alpha
Variabel Cronbach’s Alpha
X1-Likuiditas 0.917
X2-Profitabilitas 0.955
X3-GCG (Good Corporate Governance) 0.780
X4-Kebijakan Hutang 0.755
Y-Financial Distress 1

Berdasarkan sajian data di atas pada tabel 4.23, dapat diketahui bahwa

nilai Cronbach’s Alpha dari masing-masing variabel penelitian > 0,7. Dengan

demikian hasil ini dapat menunjukkan bahwa masing-masing variabel penelitian

telah memenuhi persyaratan nilai cronbach alpha, sehingga dapat disimpulkan

bahwa keseluruhan variabel memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi.

4.2.2.2. Evaluation of Structural Model (Inner Model)

Inner Model Test

1. Uji Kebaikan Model (Goodness of Fit)

Yaitu suatu nilai yang menunjukkan seberapa besar pengaruh variabel

independent / eksogen (X) terhadap variabel dependent / endogen (Y) dalam

penelitian ini. Nilai R-Square ini hanya dimiliki oleh variabel dependent /

endogen (Y). Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan dengan

menggunakan program smartPLS 3.0, diperoleh nilai R-Square sebagai

berikut.

162
Tabel 4.27
R-Square
Variabel Nilai R-Square
X2-Profitabilitas 0.119
X3-GCG (Good Corporate 0.039
Governance)
X4-Kebijakan Hutang 0.271
Y-Financial Distress 0.641
Sumber : Data Pengolahan Program PLS

Berdasarkan tabel di atas nilai R-Square sebesar 0,641 itu jika

dipersentasekan sebesar 64% artinya pengaruh variabel independent /

eksogen (X) yaitu Rasio Likuiditas, Profitabilitas, Tata Kelola Perusahaan

(GCG) dan Kebijakan Hutang terhadap variabel dependent / endogen dalam

penelitian ini adalah sebesar 64%, dan sisanya 36% itu dipengaruhi oleh

variabel-variabel lain yang tidak termasuk dalam variabel penelitian ini.

Dengan demikian, dari hasil tersebut maka model penelitian ini dapat

dinyatakan telah memiliki goodness of fit yang baik.

2. Koeffisien Jalur (Path Coefficients)

Adalah nilai yang menunjukkan arah hubungan variabel apakah hipotesis

dalam penelitian ini memiliki arah positif atau negatif. Suatu variabel

dikatakan memiliki arah hubungan yang positif terhadap hipotesis nya jika

nilai Path Coefficients nya memiliki rentang nilai antara 0-1, dan dikatakan

negatif jika Path Coefficients nya bernilai kurang dari (<) 0. Berikut adalah

tabel yang menggambarkan nilai Path Coefficients dalam penelitian ini.

163
Tabel 4.28
Path Coefficients

Variabel X1 X2 X3 X4 Y-
Eksogen Likuiditas Profitabilitas GCG Kebijakan Financial
Hutang Distress
X1- 0.345 -0.179 -0.444 0.187
Likuiditas
X2- -0.043 -0.166 0.180
Profitabilitas
X3-GCG -0.179 -0.192
(Good
Corporate
Governance)
X4- -0.586
Kebijakan
Hutang
Sumber : Data Pengolahan PLS

Berdasarkan tabel di atas dapat kita simpulkan bahwa untuk variabel X1-

Likuiditas memiliki nilai Path Coefficients sebesar 0,187 artinya variabel X1

(Likuiditas) memiliki pengaruh yang positif terhadap variabel endogen (Y)

yaitu Financial Distress sebesar 0,187. Variabel X2-Profitabilitas juga

memiliki pengaruh yang positif terhadap variabel endogen (Y) sebesar 0,180.

Sedangkan untuk variabel X3-GCG (Good Corporate Governance) memiliki

nilai Path Coefficients negatif sebesar -0,192 terhadap variabel endogen (Y).

Kemudian untuk variabel X4-Kebijakan Hutang juga memiliki Path

Coefficients negatif sebesar -0,586 terhadap variabel endogen Financial

Distress. Artinya kedua variabel yang bernilai negatif tersebut memiliki arah

hubungan yang negatif terhadap hipotesis dalam penelitian ini.

164
Tabel 4.29

Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Likuiditas, Profitabilitas,


Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance) dan Kebijakan
Hutang Terhadap Financial Distress

Pengaruh Pengaruh Tidak Langsung Melalui Pengaruh Total


Variabel Langsung Likuiditas Profitabilitas GCG Kebijakan Tidak Pengaruh
Hutang Langsung
Likuiditas 3.50 1.16 0.64 4.87 6.67 10.17

Profitabilitas 3.24 1.16 0.15 1.75 3.06 6.30

GCG 3.69 0.64 0.15 -2.01 (1.22) 2.46

Kebijakan 34.34 4.87 1.75 -2.01 4.60 38.94


Hutang
Total 57.87

Epsilon 42.13
Sumber : Diolah peneliti dengan program PLS (2020)

3. Uji Hipotesis

Berdasarkan olah data yang telah dilakukan, hasilnya dapat digunakan untuk

menjawab hipotesis pada penelitian ini. Uji hipotesis pada penelitian ini

dilakukan dengan melihat nilai T-Statistics dan nilai P-Values. Hipotesis

penelitian dapat dinyatakan diterima apabila nilai P-Values < 0,05. Setelah

melihat arah hubungan variabel langkah selanjutnya adalah dengan

melakukan uji T-Statistic penelitian yaitu untuk melihat seberapa besar nilai

signifikansi dalam penelitian ini. Uji T-Statistic ini dalam aplikasi Smart PLS

dapat dilakukan dengan melakukan Bootstrapping pada menu calculate yang

tersedia pada layar framework yang sudah kita jalankan dalam aplikasi PLS.

165
Berikut ini adalah hasil yang menunjukkan nilai T-Statistic dan P-Values

dalam penelitian ini.

Tabel 4.30
T-Statistics dan P-Values

Hipotesis Standard T-Statistics P-Values Hasil


Deviation
(STDEV)
H1 0,056 3,308 0,001 Diterima
H2 0,057 3,129 0,002 Diterima
H3 0,057 3,367 0,001 Diterima
H4 0,062 9,516 0,000 Diterima

Untuk H1 di mana Rasio Likuiditas memiliki pengaruh terhadap Financial

Distress, H2 di mana Profitabilitas memiliki pengaruh terhadap Financial

Distress, H3 di mana Tata Kelola Perusahaan (GCG) memiliki pengaruh

terhadap Financial Distress, dan H4 di mana Kebijakan Hutang memiliki

pengaruh terhadap Financial Distress. Ke empat hipotesis dalam penelitian

ini semuanya memiliki nilai P-Values < 0,05 sehingga semua hipotesis dalam

penelitian ini diterima. Kemudian nilai T-Statistics dalam penelitian ini masing-

masing untuk setiap hipotesis dan variabel penelitian adalah di mana Rasio

Likuiditas (X1) memiliki nilai 3,308. Kemudian untuk variabel Profitabilitas

(X2) memiliki nilai T-Statistics sebesar 3,129 ; untuk GCG (Good Corporate

Governance - X3) memiliki nilai T-Statistics sebesar 3,367 ; dan untuk variabel

Kebijakan Hutang (X4) memiliki nilai T-Statistics sebesar 9,516. Nilai T-Statistics

ini untuk melihat seberapa besar tingkat signifikansi variabel eksogen (X) terhadap

166
variabel endogen (Y). Variabel independent / eksogen memiliki signifikansi

terhadap variabel dependent / endogen jika nilainya > 1,96, dan dikatakan tidak

signifikan jika nilainya < 1,96. Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa semua

variabel independent / eksogen dalam penelitian ini memiliki tingkat signifikansi

terhadap yang cukup tinggi terhadap variabel dependent / endogen yaitu Financial

Distress.

4. Predictive Relevance

Adalah nilai yang menunjukkan seberapa baik nilai observasi yang

dihasilkan. Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan dengan

menggunakan program smartPLS 3.0, diperoleh nilai Predictive Relevance

dengan melakukan uji Blindfolding yaitu sebagai berikut.

Tabel 4.31
Predictive Relevance

Variabel Eksogen SSO SSE Q² (=1-SSE/SSO)


X1-Likuiditas 408 408
X2-Profitabilitas 306 306
X3-GCG (Good Corporate 204 204
Governance)
X4-Kebijakan Hutang 306 306
Y-Financial Distress 102 40.2 0.60566

Berdasarkan data tabel di atas, nilai Predictive Relevance nya adalah sebesar

0,605. Nilai Predictive Relevance di atas 0 artinya nilai observasi dalam

167
penelitian ini memiliki nilai yang baik, sebaliknya jika nilainya di bawah 0

artinya nilai observasinya kurang baik.

5. Model Fit

Yaitu untuk melihat seberapa baik model yang diteliti dalam penelitian ini.

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan dengan menggunakan

program smartPLS 3.0, diperoleh nilai Model Fit dalam penelitian ini yaitu

sebagai berikut.

Tabel 4.32
Model Fit

Saturated Model Estimated Model


SRMR 0.119 0.119
d_ULS 1.294 1.294
d_G 1.461 1.461
Chi-Square 560.21 560.21
NFI 0.627 0.627
Sumber : Data Pengolahan Program PLS

Berdasarkan tabel di atas, nilai Model Fit nya dapat di lihat di baris NFI yang

mana nilainya sebesar 0,627 (62,7%) artinya model penelian dalam penelitian

ini baik.

4.2.2.3. Analisis Hasil Uji Hipotesis

1. Analisis Pengaruh Rasio Likuiditas Terhadap Financial Distress pada

perusahaan Manufaktur Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia tahun 2014-2019

168
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang dilakukan pada variabel penelitian

Rasio Likuiditas Terhadap Financial Distress di mana Rasio Likuiditas

sebagai variabel independent (eksogen) dan Financial Distress sebagai

variabel dependent (endogen) adalah rasio likuiditas memiliki pengaruh

terhadap financial distress. Di mana nilai P-Value pada hipotesis pertama

(H1) 0,001 artinya di atas 0,05 sehingga hipotesis diterima. Dan nilai T-

Statisticnya sebesar 3,308. NIlainya di atas (>) 1,96 artinya variabel likuiditas

memiliki pengaruh yang signifikan pada terjadinya finansial distress.

2. Analisis Pengaruh Rasio Profitabilitas Terhadap Financial Distress pada

perusahaan Manufaktur Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia tahun 2014-2019

3. Analisis Pengaruh Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance)

Terhadap Financial Distress pada perusahaan Manufaktur Sektor Aneka

Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2019

4. Analisis Pengaruh Kebijakan Hutang Terhadap Financial Distress pada

perusahaan Manufaktur Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia tahun 2014-2019

169
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan dari penelitian

ini yaitu sebagai berikut :

5.2. Saran

170
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno (2011). Petunjuk Praktis Pemeriksaan Akuntan oleh Akuntan

Publik.Jakarta : Salemba Empat

Arens, Alvin A., R. J.Elder, dan M. S. Beasley. (2011). Auditing dan Jasa

Assurance jilid I (Edisi 12), Jakarta : Erlangga.

Darsono dan Ashari. 2005. Pedoman Praktis Memahami Laporan Keuangan.

Yogyakarta: Andi

Dwi Prastowo D., M. A., et al. (2008). Analisis Laporan Keuangan konsep

dan aplikasi edisis ke-2. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen

YKPN.

Fahmi, Irham. 2012. Analisis Laporan Keuangan. Cetakan ke-2.

Bandung: Alfabeta

Gujarati, Damodar, 2003. Ekonometrika Dasar, Jakarta:PT Gelora Aksara

Pertama

HarahapSyafri, Sofyan, 2009.Analisa Kritis atas Laporan Keuangan, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta

Hery.2012, Analisis Laporan Keuangan–Edisi Pertama. Penerbit PT. Bumi

Aksara, Jakarta Horngren.2007, Akuntansi –Jilid Satu Edisi Kesepuluh.

Penerbit Erlangga, Jakarta.

Institut Akuntan Publik Indonesia. 2011.Standar Profesional Akuntan Publik.

Jakarta : Salemba Empat.

171
Ikatan Akuntansi Indonesia.PSAK No. 1 Tentang Laporan Keuangan–edisi revisi

2015. Penerbit Dewan StandarAkuntansi Keuangan: PT. Raja Grafindo

Ikatan Akuntansi Indonesia.PSAK No. 2 Tentang Laporan Arus Kas–edisi revisi

2015. Penerbit Dewan StandarAkuntansi Keuangan: PT. Raja Grafindo

Jonathan Sarwono. 2012. Path Analysis Teori, Aplikasi, Prosedur Analisis Untuk

Riset Skripsi, Tesis, dan Desertasi (Menggunakan SPSS). Jakarta:

ElexMedia Komputindo.

Kasmir 2014. Analisis Laporan Keuangan.Cetakan keenam. Jakarta

Mulyadi.2010, Auditing Buku I (Edisi 6), Jakarta : PT. Salemba Empat.Nachrowi,

D.N , dan Usman H. 2006. Pendekatan Teknik Ekonometrika. Edisi

Revis.Rajawali Press. Jakarta.

Nazir, Mochammad. 2011. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Bogor

Skousen.2001, Akuntansi Keuangan Menengah–Buku Satu. Penerbit

Salemba Empat, JakartaSubramanyan K.R. (2012), Analisis Laporan

Keuangan. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Sugiyono. 2013, Metode Penelitian Bisnis, Bandung : Penerbit AlfabetaSunyoto,

Danang. 2013. Analisis Laporan Keuangan untuk Bisini. Edisi Pertama.

CAPS. Bandung.Smith, J.M., dan J.D,

Skousen. 1994. Intermediate Accounting. Edisi 8. Diterjemahkan oleh

Nugroho Widjajanto. Erlangga, JakartaSyakur,

Ahmad Syafi’i, 2009, Intermediate Accounting Dalam Perspektif Lebih Luas,

Jakarta : AV Publisher.Widarjono,

172
Agus, 2007. Ekonometrika:Teori dan Aplikasi Untuk Ekonomi dan Bisnis,

Yokyakarta:Ekonisia Fakultas Ekonomi UII Winarno,

Wing Wahyu, 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistik dengan Eviews,

Yogyakarta: UPP STIM YKPN

173

Anda mungkin juga menyukai