Anda di halaman 1dari 214

1

DAFTAR ISI

Bab I Pendidikan Tinggi Hukum 1


Bab II Manusia, Masyarakat dan Kaidah 16
Bab III Klasifikasi Kaidah 25
Bab IV Pengertian Kaidah Hukum 30
Bab V Tujuan Hukum 40
Bab VI Hukum dan Sikap Batin 43
Bab VII Kesadaran Hukum 47
Bab VIII Hukum dan Sanksi 55
Bab IX Perbedaan dan Hubungan Antar Kaidah 64
Bab X Penggolongan Hukum 68
Bab XI Beberapa Pengertian Pokok Dalam Hukum 79
Bab XII Sumber Hukum 84
Bab XIII Penemuan Hukum 97
Bab XIV Sistem Hukum dan Asas Hukum 113

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lamp. 1 Studi dan Profesi Hukum Hanya Untuk Orang Bodoh 122
Lamp. 2 Mengenai Buruknya Mutu Sarjana Hukum 125
Lamp. 3 Ilmu Hukum 128
Lamp. 4 Nasihat Kepada Seorang Anak Muda Yang Berminat
Pada Profesi Hukum 140
Lamp. 5 Tujuan Hukum 141
Lamp. 6 Hubungan Aspek Hukum dan Aspek Kehidupan Lain 147
Lamp. 7 Analisis Kaidah Hukum 164
Lamp. 8 Hukum dan Moralitas 194
Lamp. 9 Pengertian Elementer Tentang Hukum 199
BAB I
PENDIDIKAN TINGGI HUKUM

Untuk menjadi pengemban hukum diperlukan orang yang memiliki


kemampuan berpikir yang tajam dan memiliki rasa kesusilaan yang tinggi.
B Arief Sidharta

1. PENDIDIKAN TINGGI
Pendidikan Tinggi adalah kegiatan yang bersifat ilmiah untuk menumbuhkan
kemampuan berfikir ilmiah dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu. Kata “ilmiah” yang
merupakan kata sifat dari kata “ilmu” menunjukkan pada sifat cara mengerjakan sesuatu
yaitu mengerjakan sesuatu secara sistematis logis: secara runtut, teratur dan bertujuan,
dengan mematuhi aturan-aturan atau asas-asas logika, sedemikian sehingga secara rasional
dapat dipertanggungjawabkan. Jadi kegiatan menyelenggarakan pendidikan tinggi berarti
kegiatan mentransfer ilmu-ilmu pengetahuan tertentu secara sistematis logis dan sekaligus
menumbuhkan kemampuan berpikir dan berkarya secara ilmiah dalam kerangka cabang
ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
Dengan demikian pendidikan tinggi hukum adalah kegiatan pendidikan yang
berusaha secara sistematis logis mentransfer ilmu pengetahuan hukum dan menumbuhkan
kemampuan berfikir yuridis secara ilmiah. Yang dimaksud dengan berpikir yuridis adalah
berfikir secara sistematis logis dalam kerangka tertib kaidah-kaidah hukum sehingga orang
mampu menghadapi, memahami dan memecahkan masalah-masalah hukum yang timbul
dalam pergaulan hidup sehari-hari, sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat, dan dengan demikian mampu secara berkeahlian mengemban profesi hukum
dan/atau mengembangkan ilmu hukum,
Fakultas hukum adalah unit penyelenggara program studi (UPPS) bidang hukum
pada suatu lembaga pendidikan tinggi yang berbentuk universitas. Pendidikan tinggi
(hoger onderwijs, higher learning) adalah jenjang pendidikan formal di atas dan
merupakan kelanjutan sekolah menengah umum. Lembaga tempat diselenggarakannya
pendidikan tinggi itu disebut Perguruan Tinggi. Penyelenggara pendidikan pada umumnya
dan pendidikan tinggi diatur dengan peraturan perundang- undangan. Di Indonesia, pada
masa kini, penyelenggaraan pendidikan tinggi pada umumnya diatur dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5336), dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5500), dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Menurut Pasal 4 UU Nomor 12 Tahun 2012 diatur bahwa Pendidikan Tinggi
memiliki fungsi: a. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; b.
mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya
saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan c. mengembangkan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora.

1
Sedangkan menurut Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2020 Pendidikan Tinggi bertujuan: a.
berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; b. dihasilkannya lulusan
yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi
kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; c. dihasilkannya Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai
Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan
kesejahteraan umat manusia; dan d. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis
penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan Tridharma, yang
meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Menurut Pasal 8 (1)
UU Nomor 12 Tahun 2012 tersebut dalam penyelenggaraan Pendidikan dan
pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan
mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Kebebasan akademik merupakan kebebasan
Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
Kebebasan mimbar akademik merupakan wewenang profesor dan/atau Dosen yang
memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung
jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.
Otonomi keilmuan merupakan otonomi Sivitas Akademika pada suatu cabang Ilmu
Pengetahuan dan/atau Teknologi dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan,
dan/atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan
budaya akademik.
Istilah pendidikan mencakup dua pengertian. Yang pertama adalah membina
pribadi manusia atau pendidikan dalam arti sempit, yakni kegiatan membina kesusilaan
dan kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri pada masyarakat agar mampu bergaul
dengan sesamanya dan menjalani kehidupan di dalam masyarakat secara wajar dan
bermartabat (kemampuan adaptasi), serta membina kepribadian manusia yang etis
bertanggungjawab dengan menumbuhkan keutuhan pribadi (personal integrity). Kegiatan
membina kemanusiaan dari manusia itu meliputi kegiatan menumbuhkan: kesusilaan yang
tinggi (luhur), keberanian moral (moral courage) untuk membela kebenaran dan keadilan,
ketabahan menghadapi berbagai peristiwa, kemampuan mengendalikan emosi dan naluri-
naluri primitif (naluri alamiah), kemampuan mengemban tanggung jawab sosial yang
berakar dalam kesadaran bahwa dirinya adalah warga masyarakat dan memiliki kewajiban
terhadap sesamanya atau masyarakat (civic consciousness), dan daya adaptasi sosial. Arti
yang kedua dari perkataan pendidikan adalah pengajaran, yakni kegiatan secara sadar dan
sitematis untuk menumbuhkan kemampuan bekerja (berkarya) dan menjalankan fungsi
tertentu di dalam masyarakat. Hal ini dilakukan dengan secara sistematis memberikan
(mentransfer) pengetahuan dan menumbuhkan keterampilan (kemahiran) atau keakhlian
menggunakan pengetahuannya dalam bidang tertentu. Kegiatan pengajaran ini diarahkan
untuk menghasilkan tenaga praktisi dan tenaga teoretisi (ilmuwan) dalam bidang tertentu.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan itu tadi, maka kegiatan pendidikan dan
pengajaran secara sistematis itu dijalankan berdasarkan suatu kurikulum. Pada dasarnya
kurikulum adalah suatu rencana pelajaran atau rencana tentang studi pada suatu perguruan,

2
atau rencana kerja dalam melaksanakan kegiatan pemberian pelajaran. Secara utuh
kurikulum tidak hanya berupa susunan mata kuliah akan tetapi juga menyangkut rumusan
Capaian Pembelajaran Program Studi (CPPS), sistem rencana pembelajaran, sistem
penilaian dan sebagainya. Perkataan ”rencana” mengandung arti penetapan jangka waktu,
tahapan kegiatan dan penentuan tujuan tertentu. Jadi, perkataan ”rencana” dalam konteks
kalimat ”rencana pelajaran pada suatu perguruan” mengandung arti penentuan jangka
waktu tertentu serta pentahapan dalam jangka waktu itu dengan penetapan tentang
kegiatan- kegiatan apa yang harus dijalankan dalam tahap- tahap itu untuk mewujudkan
tujuan tertentu, yakni tujuan untuk apa perguruan itu didirikan. Dalam jangka waktu itu
ditetapkan kegiatan- kegiatan apa yang harus atau akan dijalankan secara teratur menurut
pentahapan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Perkataan ”pelajaran” atau ”studi”
menunjuk pada upaya untuk memperoleh penguasaan atas pengetahuan atau kemampuan
tertentu. Pengetahuan atau kemampuan tertentu itu dapat dipecah ke dalam bagian-bagian.
Bilamana semua bagian itu dikuasai, maka berarti menguasai pengetahuan atau
kemampuan tertentu itu secara utuh. Bagian- bagian itu dapat disusun sedemikian rupa,
sehingga orang dapat mulai mempelajarinya dari bagian yang paling mudah sampai pada
bagian-bagian yang (paling) sukar, atau disusun berdasarkan unsur-unsur yang
mewujudkan sistem dari pengetahuan atau kemampuan yang bersangkutan. Tiap bagian
itulah yang disebut mata- pelajaran atau mata- kuliah. Jika dirumuskan kembali,
KURIKULUM pada suatu perguruan adalah rencana kerja tentang pelaksanaan pemberian
pelajaran atau upaya menjalankan kegiatan studi pada pada suatu perguruan yang meliputi
susunan sejumlah mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan lainnya yang oleh perguruan yang
bersangkutan ditetapkan harus dijalani oleh orang yang belajar pada perguruan tersebut
utnuk memungkinkan terwujudnya tujuan pengadaan perguruan itu. Penyusunan
kurikulum ini diperlukan untuk mencapai tujuan pemberian pelajaran secara efektif dan
efisien.
Pendidikan tinggi adalah kegiatan yang bersifat ilmiah untuk menumbuhkan
kemampuan berpikir ilmiah dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut. Perkataan ”ilmiah”,
sebagai kata sifat dari ilmu, menunjuk pada sifat cara mengerjakan sesuatu, yakni
mengerjakan sesuatu secara sistematis-logis. Sistematis-logis berarti secara runtut teratur
dan bertujuan dengan mematuhi aturan-aturan serta asas-asas logika sedemikian rupa
sehingga secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, kegiatan menyelenggarakan
pendidikan tinggi berarti kegiatan mentransfer ilmu pengetahuan tertentu secara sistematis-
logis dan sekaligus menumbuhkan kemampuan berpikir dan berkarya secara ilmiah
(sistematis-logis) dalam kerangka cabang ilmu pengetahuan yang bersangkutan.

2. PENDIDIKAN TINGGI HUKUM


Dengan demikian, pendidikan tinggi hukum adalah kegiatan pendidikan yang
berupaya secara sistematis-logis mentransfer ilmu pengetahuan hukum dan menumbuhkan
kemampuan berpikir yuridis secara ilmiah. Yang dimaksud dengan berpikir yuridis adalah
berpikir secara sistematis-logis dalam kerangka tertib kaidah – kaidah hukum sehingga
dengan mengacu cita- hukum (Rechtsidee) mampu menghadapi, memahami dan
memecahkan masalah-masalah hukum yang timbul dalam pergaulan hidup sehari-hari
sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, dan dengan demikian mampu
secara berkeakhlian yang berkelimuan mengemban profesi hukum dan/atau
mengembangkan ilmu hukum. Cara berpikir yuridis ini dikarakterisasi oleh tujuan yang

3
mau dicapainya, yakni menetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban hukum para pihak
dalam suatu hubungan kemasyarakatan tertentu dalam kenyataan konkret, dan oleh metode
yang digunakannya, yakni penalaran hukum.
Lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tinggi hukum secara terorganisasi,
yakni perguruan tinggi hukum, di Indonesia dalam kerangka perundang-undangan yang
berlaku adalah Sekolah Tinggi Hukum dan Fakultas Hukum. Sekolah Tinggi Hukum
adalah perguruan tinggi hukum yang berdiri sendiri, sedangkan Fakultas Hukum adalah
perguruan tinggi hukum yang secara organisatoris merupakan bagian (subsistem) dari
sebuah Universitas. Universitas adalah lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan berbagai rumpun ilmu dan/atau teknologi. Berdasarkan apa yang telah
dikemukakan di atas, maka Sekolah Tinggi Hukum atau Fakultas Hukum pada hakikatnya
adalah lembaga pendidikan tinggi yang bertujuan untuk secara sistematis-logis membina
manusia susila yang memiliki rasa keadilan dan sikap adil, serta memiliki kemampuan
berpikir yuridis sehingga mampu mengemban profesi hukum dan/atau mengembangkan
ilmu hukum. Jadi, Sekolah Tinggi Hukum atau Fakultas Hukum, dipandang dari sudut
fungsi pendidikannya, bertujuan untuk menghasilkan tenaga praktisi hukum (pengemban
profesi hukum) dan tenaga teoretisi hukum (ilmuwan dan dosen hukum) yang
berkesusilaan tinggi.
H.F.M. Crombag, seorang psikolog Belanda yang bekerja pada Bureau Onderzoek
van Onderwijs van de Rijksuniversiteit te Leiden (Biro penelitian Pendidikan Universitas
Leiden), dalam makalah berjudul ”Notities over de juridische opleiding” (catatan tentang
pendidikan hukum), mengemukakan bahwa profesi hukum itu meliputi empat bidang atau
lingkungan karya hukum. Yang pertama adalah penyelesaian konflik secara formal, yakni
menyelesaikan konflik antarwarga masyarakat melalui peradilan (Rechtspraak). Bidang
karya hukum ini pada dasarnya melibatkan profesi hakim dan profesi advokat serta
kejaksaan. Yang kedua adalah pencegahan konflik antarwarga masyarakat (prevensi).
Lingkungan karya hukum ini meliputi perundang- undangan, pembuatan peraturan internal
di lingkungan swasta (perusahaan, perkumpulan, yayasan), pembuatan kontrak, pemberian
nasehat hukum. Yang ketiga adalah penyelesaian konflik secara informal, tidak melalui
proses peradilan, misalnya melalui perundingan (negosiasi) secara damai. Yang keempat
adalah penerapan hukum diluar konflik, misalnya pelaksanaan tugas administrasi negara
seperti bagian hukum sebuah departemen, kepala atau sekretaris daerah, pengurus yayasan,
membuat perjanjian, dan sebagainya (in house lawyer). Lingkungan karya hukum kedua,
ketiga dan keempat melibatkan profesi hukum dan para sarjana hukum lainnya yang
bekerja pada pemerintahan dan swasta lainnya.
Untuk dapat mengemban profesi hukum dengan baik, diperlukan orang yang selain
memiliki pengetahuan tentang hukum yang berlaku, juga memiliki kualitas intelektual
yang tinggi, yang meliputi kemampuan berpikir secara tajam, cepat dan lincah, serta
kecermatan dan ketekunan. Di samping itu, juga memiliki komitmen moral yang sejati,
serta mempunyai pengetahuan yang luas dan penghayatan yang mendalam tentang
keseluruhan kebudayaan dan peradaban masyarakat. Demikianlah, Oliver Wendell Holmes
Jr. dalam ”The Profession of the law” mengatakan bahwa “The law is the calling of
thinkers” (profesi hukum adalah pergaulan hidup para pemikir), dan Felix Frankfurter
dalam sebuah surat mengatakan bahwa hanya “a well-read person” (orang yang luas
bacannya) dan “a cultivated man” (orang yang berbudaya dan berkeadaban) saja yang
dapat menjadi akhli hukum (lawyer) yang kompeten (berkewenangan karena keakhlian dan

4
pengetahuannya). Jadi, hanya orang yang memiliki kecerdasan dan berpengetahuan luas
serta berakhlak tinggi dan beriman saja yang dapat menjadi akhli hukum dan pengemban
profesi hukum yang baik. Sebab, hukum yang hendak diwujudkan dan ditegakkan dalam
kenyataan sehari- hari adalah produk proses kemasyarakatan yang merupakan hasil
tertinggi yang dicapai oleh peradaban manusia pada tingkat perkembangan tertentu (Lon
L. Fuller dalam ”Anatomy of the law”). Sebagai demikian, maka hukum itu merupakan
sublimasi dari proses interaksi antara berbagai faktor kenyataan kemasyarakatan yang
diendapkan secara padat dalam suatu sitem pengendalian masyarakat untuk mewujudkan
ketertiban yang adil secara manusiawi di dalam masayarakat. Dengan demikian, dapat juga
dikatakan bahwa hukum itu merupakan pengabdian suatu tahap perjuangan manusia atau
masyarakat manusia dalam menghadirkan diri ke dalam dunia dan perjuangan
mempertahankan serta meningkatkan martabat kemanusiaan. Sebab, ketertiban yang adil
dan manusiawi adalah kondisi yang perlu bagi manusia untuk dapat secara wajar menjalani
kehidupannya sesuai dengan martabat dan harkatnya sebagai manusia dalam keutuhannya
tanpa harus tergantung pada kekuatan fisik maupun finansial. Karena itu, dapat dikatakan
bahwa hukum adalah institusi (pranata) yang sangat esensial bagi realisasi kodrat
kemanusiaan. Yang dimaksud dengan institusi sosial adalah pola hubungan antar manusia
yang terorganisasikan secara ajeg untuk mewujudkan kepentingan dan tujuan hidup
manusia. Karena itu, sebagai produk proses-proses kesejarahan masyarakat yang
memunculkannya, dalam hukum kita dapat membaca refleksi kehidupan serta aspirasi
manusia, baik pada masa sekarang maupun pada masa lampau. Demikianlah, Oliver
Wendell Holmes Jr. dalam ”THE LAW” mengatakan: ”What a subject is this in which we
are united,- this abstraction called the law, wherein, as in a magic mirror, we see reflected,
not only our own lives, but the lives off all men that have been!”. (betapa luar biasa obyek
ini yang di dalamnya kita dipersatukan , - abstraksi ini yang disebut hukum, yang di
dalamnya, seperti dalam sebuah cermin ajaib, kita melihat dicerminkan, bukan hanya
kehidupan kita sendiri, melainkan kehidupan dari semua orang yang pernah ada atau
pernah hidup!). Berdasarkan apa yang telah dikemukakan tadi, jelaslah bahwa untuk dapat
menghasilkan para pengemban profesi hukum yang kompeten maka diperlukan pendidikan
tinggi hukum.
Secara singkat, uraian tadi dapat disimpulkan sebagai berikut. Sekolah Tinggi
Hukum atau Fakultas Hukum adalah lembaga untuk menyelenggarakan pendidikan secara
ilmiah, yakni secara sistematis-logis mentransfer ilmu pengetahuan hukum, kemampuan
berpikir yuridis, dan kemahiran hukum, di samping menumbuhkan kemampuan berpikir
kritis-kreatif-kontekstual, rasa keadilan dan sikap menghormati martabat manusia.

3. PENDIDIKAN TINGGI HUKUM DI INDONESIA


Pendidikan hukum secara formal mulai dikenal masyarakat Indonesia pada tahun
1909 dengan dibentuknya “RECHTSSCHOOL” (Sekolah hukum) oleh Gubernur Jenderal
J.B. van Heuts dan dioperasikan dengan memberlakukan “Reglement voor de
Opleidingsschool voor Inlandsche Rechtskundigen” (Reglemen untuk sekolah pendidikan
akhli hukum pribumi), diundangkan dalam Stb. No. 93/1909. Dilatar-belakangi Ethische
Politiek dan perkembangan ekonomi Belanda yang memaksa pemerintah Belanda
membuka wilayah jajahannya untuk penanaman modal swasta, pembentukan Rechtsschool
itu dimaksudkan untuk mendidik orang- orang Indonesia agar dapat menjadi hakim
Landraad yang merupakan pengadilan sehari-hari (tingkat pertama) bagi golongan Pribumi

5
dan yang disamakan. Jadi, tujuan pendidikannya adalah untuk menghasilkan teknisi atau
akhli hukum. Tetapi makna atau tujuan politik pendirian Rechtsscool itu pada dasarnya
adalah demi kepentingan Belanda sendiri yang memerlukan terpeliharanya ketertiban dan
keamanan (rust en orde) di wilayah jajahannya untuk melancarkan penanaman modal dan
mengembangkan industri. Namun, menurut H.T. Colenbrander (dalam koloniale
Geschiedenis, 1926:122), yang men-”trigger” pembentukan Rechtsschool adalah peristiwa
berikut ini. Pada tahun 1905, Bupati Serang (R. Toemenggung Achmad Djajadiningrat)
menanyakan kepada Pemerintah Hindia Belanda tentang kemungkinan bagi adiknya (R.
Hoesein Djajadiningrat) jika ia telah selesai belajar hukum di negeri Belanda untuk bekerja
di lingkungan kekuasaan kehakiman. Ia memperoleh jawaban bahwa tidak seorang pun
pribumi, jika ia memenuhi persyaratan undang- undang, yang dikecualikan dari
kemungkinan menduduki jabatan kehakiman hanya karena ia adalah seorang pribumi.
Jawaban itu kemudian diberitakan di surat kabar. Empat tahun kemudian (1990), di Jakarta
didirikan Rechtsschool. Tentang latar belakang pembentukan Rechtsschool ini, lihat lebih
jauh Mardjono Reksodiputro ”Pembinaan Pendidikan Tinggi Hukum dalam Pembangunan
Jangka Panjang (PJPT II)”, Lampiran II,1995.
Rechtsschool bukanlah perguruan tinggi, melainkan sekolah menengah kejuruan.
Masa studinya adalah enam tahun yang terbagi dalam dua bagian, yakni bagian Persiapan
(voorbereidende afdeeling) selama tiga tahun, dan bagian Keakhlian Hukum
(rechtskundige afdeeling) untuk masa tiga tahun berikutnya. Yang dapat diterima menjadi
murid Rechtsschool adalah lulusan Sekolah Dasar yang harus masuk bagian Persiapan.
Bagi lulusan Sekolah Menengah Umum (MULO) dan Sekolah Menengah Pamongpradja
(MOSVIA) langsung diterima pada bagian Keakhlian Hukum. Pada bagian Persiapan
diberikan mata pelajaran: Bahasa Belanda. Bahasa Perancis, Sejarah Umum, Matematika,
dan Pengetahuan Alam. Pada bagian Keakhlian Hukum diberikan mata pelajaran:
Pengantar Ilmu Hukum, Tata Negara Belanda, Tata Negara Hindia Belanda, Hukum
Pidana, Hukum Perdata, dan Hukum Dagang, Hukum Rakyat (Volksrecht, Hukum Adat),
Inlandsch Reglement (Hukum Acara), Bahasa Melayu, dan Bahasa Belanda.
Pendidikan Tinggi Hukum baru diselenggarakan mulai tahun 1924. Berdasarkan
Hooger Onderwijs-ordonnantie (Ordonansi Pendidikan Tinggi), Stb. No. 456/1924,
Gubernur Jenderal D. Fock pada tanggal 9 Oktober 1924 menetapkan Reglemen van de
Rechtshoogeschool (Reglemen Sekolah Tinggi Hukum, Stb. No.457/1924) yang mulai
berlaku efektif pada saat dibukanya Rechtshoogeschool itu adalah Prof. Mr. Paul Scholten,
guru besar dari Universitas Amsterdam. Pembukaan resmi dilaksanakan pada tanggal 28
Oktober 1924 oleh Gubernur Jenderal D. Fock. Pada kesempatan itu Prof. Mr. Paul
Scholten mengucapkan pidato ilmiah tentang pendidikan dan hukum dengan judul
”Onderwijs en Recht” (Bataviasche Studenten Almanak 1931: 141). Kurikulum serta pola
pengajarannya mengacu pada apa yang berlaku dalam pendidikan tinggi hukum di negeri
Belanda (pola kontinental atau model kuliah) dengan penyesuaian pada kondisi di Hindia
Belanda pada waktu itu. Hoogeronderwijs Ordonantie dan Reglemen van de
Rechtshoogeschool tahun 1924 itu kemudian diperbaharui pada tahun 1946, yakni dengan
Hoogeronderwijs Ordonantie 1946 (Stb. No. 471/1947) dan Universiteitreglement 1946
(Stb. No. 170/1947). Sebagaimana halnya dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi
hukum di Belanda, juga pada Rechtshogeschool, kurikulumnya lebih menitik beratkan
pada pendidikan akademiknya (academic schooling), dan kurang memperhatikan
”professional schooling” –nya (Mochtar Kusumaatmadja).

6
Sesudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, pada tahun 1945
didirikan Perguruan Tinggi Hukum di Malang (Wirjono Prodjodikoro). Pada tahun 1946
di Yogyakarta berdiri Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Gadjah Mada, dan pada tanggal
22 Oktober 1946 berdiri Perguruan Tinggi Hukum Dan Sastera di Jakarta. Pada masa kini
hampir di semua provinsi terdapat perguruan tinggi hukum PTN (Perguruan Tinggi Negeri)
dan/atau PTS (Perguruan Tinggi Swasta). Pada permulaan, kurikulum dan pola pengajaran
dalam penyelenggaraan pendidikan hukum di Indonesia merupakan kelanjutan atau sangat
dipengaruhi kurikulum dan pola pengajaran Rechtshogeschool. Tetapi kemudian, para
penyelenggara pendidikan tinggi hukum di Indonesia mulai berupaya secara sadar
menumbuhkan kurikulum dan pola pengajaran yang berkarakter nasional, antara lain
dengan mulai mengembangkan pengajaran kemahiran hukum (Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran misalnya sejak tahun 1958 mengembangkan pendidikan klinis
hukum).
Sekembalinya dari Amerika Serikat, setelah menyelesaikan studinya di Yale
University (1956), Mochtar Kusumaatmadja, yang berkarya di lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Padjajaran, dengan bertolak dari pandangan bahwa terdapat perbedaan
kurikulum dan cara pengajaran dalam pendidikan tinggi hukum pada masyarakat kolonial
dan pada masyarakat nasional sehubungan dengan perbedaan fungsi ahli hukum dalam
negara kolonial dan dalam negara nasional, berupaya untuk memacu ikhtiar menyesuaikan
kurikulum dan proses pendidikan/ pengajaran hukum pada kebutuhan riil masyarakat
nasional Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, melalui rapat- rapat Panitya Ahli
Dep.Dik.Bud, dekan-dekan Fakultas Hukum PTN serta Sub-Konsorsium Hukum. Selain
itu, Mochtar Kusumaatmadja juga menguji-cobakan gagasan- gagasannya dengan a.l.
melaksanakan pendidikan klinis hukum di Fakultas hukum Universitas Padjajaran, dan
merintis penelitian yurisprudensi dengan lokasi penelitian di Wilayah Jawa Barat, serta
merintis metode pengajaran hukum yang baru. Ikhtiar ini mulai memperlihatkan bentuknya
yang lebih jelas pada dan sesudah ”Simposium Pembaharuan Pendidikan Hukum Dan
Pembinaan Profesi Hukum” tahun 1975 di Lembang, Badung. Simposium ini dalam intinya
sesungguhnya bertema reorientasi pendidikan tinggi hukum, yakni mempersoalkan tentang
perlunya dan bagaimana mengubah pendidikan tinggi hukum yang lebih berorientasi pada
"academic schooling” menuju pada pendidikan hukum profesional tanpa menghilangkan
atau mengurangi bobot akademiknya/ keilmiahannya (demikian sering dikemukakan oleh
Mochtar Kusumaatmadja). Pada simposium ini misalnya diperkenalkan pendidikan klinis
hukum yang dikembangkan dalam lingkungan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
Pada tahun 1983, perkembangan pemikiran tentang pendidikan tinggi hukum
menghasilkan ditetapkannya Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan no. 30/DJ/Kep/1983 tentang ” Kurikulum Inti Program
Pendidikan Sarjana Bidang Hukum” (SK Dirjen Dikti no. 30/1983). Pada tahun 1993, SK
Dirjen Dikti no. 30/1983 itu diganti dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan no. 17/D/0/1993 tentang ” Kurikulum yang berlaku secara nasional
Pendidikan Tinggi Program Sarjana Bidang Ilmu Hukum”. Keputusan Mendikbud ini
kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no.
0325/U/1994 tentang ”Kurikulum yang berlaku secara nasional Program Sarjana Ilmu
Hukum” (SK Mendikbud no. 325/1994). Berdasarkan penelusuran sejarahnya, dapatlah
dikatakan bahwa SK Mendikbud no. 17/1993 yang disempurnakan dengan SK. Mendikbud
no. 325/1994 itu, yang dapat disebut Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum 1993/1994

7
(disingkat Kurikulum 93/94), adalah langkah definitif pertama untuk secara nasional
mewujudkan gagasan-gagasan yang dimunculkan dan dikembangkan pada dan sejak
Simposium 1975 itu. Kemudian pada tahun 2000 dilakukan sedikit perubahan dengan
Keputusan Mendikbud No. 232/U/2000. Perubahan pokok dari kurikulum bukan pada
substansinya melainkan lebih pada perubahan penamaan materi muatan kurikulum
nasional menjadi kurikulum inti, dan kurikulum lokal menjadi kurikulum institusional.
Saat ini kebijakan tentang kurikulum pendidikan tinggi hukum adalah bahwa
pemerintah tidak lagi mengatur secara rinci sampai menentukan matakuliah-matakuliah.
Fakultas Hukum dan STH diberi kebebasan merancang dan melaksanakan kurikulum
sesuai dengan visi misi dan potensi yang dimiliki masing-masing. Secara subtansi
pemerintah hanya mengatur tentang kewajiban menyelenggarakan beberapa mata kuliah
umum wajib seperti Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia. Oleh
karena itu setiap Fakultas Hukum dan STH memiliki kebebasan untuk meramu
kurikulumnya sesuai dengan kekhasannya yang akan menjadi keunggulannya. Kebijakan
pengaturan yang dilakukan pemerintah sekarang dalam bentuk penetapan standar-standar
mutu pendidikan yang harus dipenuhi sebagaimana dirumuskan dalam Standar Nasional
Pendidikan Tinggi. Pengukuran keterpenuhan standar tersebut diukur melalui Sistem
Penjaminan Mutu Internal maupun Sistem Penjaminan Mutu Eksternal yang disebut
akreditasi. Program studi yang tidak terakreditasi pada Badan Akreditasi Nasional (BAN
PT) tidak boleh meluluskan mahasiswa.

4. KURIKULUM PRODI SARJANA FAKULTAS HUKUM UNPAR

Saat ini Fakultas Hukum UNPAR mengelola tiga program studi ilmu hukum pada
strata atau jenjang yang berbeda, yakni: (i) program sarjana, (ii) program magister, dan
(iii) program doktor. Ketiga program studi tersebut merupakan pendidikan akademis. Para
lulusan program sarjana yang hendak menekuni profesi hukum tertentu setelah lulus harus
menempuh pendidikan profesi sesuai minatnya. Pendidikan profesi hukum ini ada yang
deikelola oleh fakultas hukum (yaitu kenotariatan) dan ada yang dikelola oleh lembaga
atau asosiasi profesi hukum (misalnya: Pendidikan Khusus Profesi advokat / PKPA,
Pendidikan dan Pembentukan Jaksa, Pendidikan dan Pembentukan Hakim).
Bagi Indonesia pada masa kini, yang diperlukan adalah ilmuwan hukum dan
pengemban profesi hukum yang mampu menjalankan fungsinya dalam masyarakat yang
sedang menjalani perubahan sosial yang cukup mendasar dan luas lingkupannya. Masalah
dan kehidupan hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang berubah adalah sangat
majemuk dan rumit. Masyarakat Indonesia masa kini memerlukan sarjana hukum yang
mampu menjalankan dan menggunakan hukum baik sebagai sarana pengabdi kepentingan
umum dan sarana pengendalian masyarakat maupun sebagai sarana pembaharuan
masyarakat dan sarana pendidikan masyarakat, serta mampu berpartisipasi dalam upaya
menumbuhkan tata hukum yang sesuai dengan tuntutan zaman yang sedang berubah itu.
Proses penyusunan kurikulum tidak lagi dilakukan dengan mengumpulkan
matakuliah-matakuliah yang kemudian dsisusun dalam suatu struktur kurikulum berupa
daftar matakuliah. Sekarang unit pengelola program studi (UPPS) merumuskan terlebih
dahulu Profil Lulusan dan Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL-PS) berdasarkan visi,
misi, tujuan yang telah ditetapkan dan analisis atas kekuatan, kelemahan, peluang, dan
tantangan yang dihadapi. Setelah itu baru kemudian diidentifikasi materi-materi ajar yang

8
dinilai penting dan relevan untuk mewujudkan Profil Lulusan CPL-PS tersebut. Kemudian
berbagai materi ajar tersebut diorganisasikan ke dalam mata kuliah-mata kuliah, ditentukan
statusnya (wajib/pilihan), bobot SKS, alur prasyarat, dan disusun dalam struktur
berdasarkan semester. Mulai Semester Ganjil 2018/2019 Fakultas Hukum UNPAR
memberlakukan kurikulum baru untuk program sarjana (selanjutnya disebut Kurikulum
2018). Kurikulum 2018 disahkan dan diberlakukan berdasarkan Peraturan Rektor
Universitas Katolik Parahyangan Nomor: III/PRT/2018-07/074 tentang Kurikulum 2018
Program Studi Sarjana Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan.
Dalam Kurikulun 2018 tersebut ditetapkan rumusan Profil Lulusan dan CPL yang
mencakup aspek Sikap, Ketrampilan Umum, Ketrampilan Khusus dan Pengetahuan
sebagai berikut:

A. Profil Lulusan
1. Sarjana Hukum yang akan mengemban profesi hukum melalui program (pada)
pendidikan profesi hakim, jaksa, advokat, dan notaris.
2. Sarjana Hukum yang akan menjalankan pekerjaan bukan sebagai professional
hukum, yang bertugas merancang dan/atau menerapkan hukum untuk
menyelesaikan persoalan atau menjawab pertanyaan hukum, baik pada badan
pemerintah atau non pemerintah, badan usaha atau non-badan usaha, badan hukum
atau non-badan hukum.
3. Sarjana Hukum yang akan memperdalam pengetahuan dan kemampuan akademik
pada jenjang pendidikan magister Ilmu Hukum.

B. Capaian Pembelajaran Lulusan


1. SIKAP
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu menunjukkan sikap
religius.
b. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam menjalankan tugas berdasarkan
agama, moral, dan etika;
c. Berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban berdasarkan pancasila;
d. Berperan sebagai warga Negara yang bangga dan cinta tanah air, memiliki
nasionalisme serta rasa tanggungjawab pada Negara dan bangsa;
e. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, agama, dan kepercayaan,
serta pendapat atau temuan orisinal orang lain;
f. Bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian terhadap
masyarakat dan lingkungan;
g. Taat hukum dan disiplin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
h. Menginternalisasi nilai, norma, dan etika akademik;
i. Menunjukkan sikap bertanggung jawab atas pekerjaan di bidang keahliannya
secara mandiri;
j. Menginternalisasi semangat kemandirian, kejuangan, dan kewirausahaan.
k. Menjadi cendekia yang menjunjung tinggi kebenaran, kebaikan dan keindahan;
l. Mampu melakukan pemberdayaan masyarakat di bidang sosial, budaya,
ekonomi, dan hukum;

9
m. Menunjukkan sikap jujur, luhur, dan setia dalam menjalankan profesi dan
pekerjaannya
n. Menunjukkan sikap saling percaya, saling melayani, dan menjunjung tinggi
kesataraan dalam profesi dan pekerjaannya

2. KETERAMPILAN UMUM LULUSAN SARJANA


a. Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis dan inovatif dalam
konteks pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi
yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan
bidang keahliannya;
b. Mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu dan terukur;
c. Mampu mengkaji implikasi pengembangan atau implementasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan nilai
humaniora sesuai dengan keahliannya berdasarkan kaidah, tata cara dan etika
ilmiah dalam rangka menghasilkan solusi, gagasan, desain atau kritik seni;
d. Mampu menyusun deskripsi saintifik hasil kajian tersebut di atas dalam bentuk
skripsi atau laporan tugas akhir, dan mengunggahnya dalam laman perguruan
tinggi;
e. Mampu mengambil keputusan secara tepat dalam konteks penyelesaian
masalah di bidang keahliannya, berdasarkan hasil analisis informasi dan data;
f. Mampu memelihara dan mengembangkan jaringan kerja dengan pembimbing,
kolega, sejawat baik di dalam maupun di luar lembaganya;
g. Mampu bertanggung jawab atas pencapaian hasil kerja kelompok dan
melakukan supervisi serta evaluasi terhadap penyelesaian pekerjaan yang
ditugaskan kepada pekerja yang berada di bawah tanggung jawabnya;
h. Mampu melakukan proses evaluasi diri terhadap kelompok kerja yang berada
di bawah tanggung jawabnya, dan mampu mengelola pembelajaran secara
mandiri;
i. Mampu mendokumentasikan, menyimpan, mengamankan, dan menemukan
kembali data untuk menjamin kesahihan dan mencegah plagiasi.

3. KEMAMPUAN KERJA/KETERAMPILAN KHUSUS


Lulusan mampu:
a. Menerapkan asas, prinsip, dan norma Hukum Positif Indonesia termasuk
Hukum Internasional, dalam memecahkan masalah atau kasus hukum, serta
mampu menganalisis dan mengevaluasi hasilnya secara akademis, mandiri, dan
bertanggung jawab;
b. Bernalar dan berpikir yuridik dalam memecahkan masalah atau kasus hukum
sehingga dapat menyusun konsep penyelesaian masalah atau kasus hukum;
c. Mengenali problem atau masalah pokok dalam Hukum Positif Indonesia dalam
memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat, serta upaya untuk
mewujudkan Sistem Hukum Nasional Indonesia berdasarkan nilai-nilai dalam
Pancasila;
d. Merancang dokumen elementer hukum sesuai dengan jenis kebutuhan hukum
dari masyarakat, baik dalam konteks penyelesaian sengketa ataupun bukan
sengketa, di dalam maupun di luar pengadilan, bersifat regulatif maupun non-

10
regulatif, nasional maupun transnasional terutama hukum yang berlaku di
kawasan Asia Pasifik.
e. Merumuskan ide, pendapat, analisis, atau argumentasi yuridis, melalui proses
meneliti dan berpikir yuridik, serta mengkomunikasikannya secara tertulis dan
lisan berdasarkan prinsip etika akademik;
f. Bekerjasama dengan sejawat, berlandaskan pada sikap humanistis, demokratis,
etis, taat hukum, saling menghormati, dan berwawasan kebangsaan.

4. PENGETAHUAN
Lulusan:
a. Menguasai konsep teoritis dari Ilmu Hukum, Tradisi atau Sistem Hukum, dan
Ilmu Sosial tertentu yang berkaitan erat dengan hukum agar dapat memahami
penerapan dan perkembangan Hukum Positif Indonesia dan Hukum
Internasional terutama Hukum di wilayah Asia Pasifik.
b. Menguasai pengetahuan tentang sejarah, sumber, asas, prinsip, dan norma
hukum dari seluruh Hukum Positif Indonesia dan Hukum Internasional, serta
kebutuhan untuk mewujudkan Sistem Hukum Nasional Indonesia yang utuh,
sistemik, dan komprehensif; serta pengetahuan tentang Hukum yang berlaku di
kawasan Asia Pasifik.
c. Menguasai pengetahuan tentang prinsip, langkah, dan teknik penyusunan
konsep penyelesaian masalah atau kasus hukum dengan menggunakan metode
penalaran hukum atau metode berpikir yuridik dan pengetahuan tentang Hukum
Positif Indonesia;
d. Menguasai asas dan metode penelitian serta penulisan hukum, terutama yang
bersifat monodisipliner, untuk menghasilkan penulisan dokumen elementer
hukum dan/atau esai akademik di bidang hukum, sesuai dengan karakteristik
Ilmu hukum dan prinsip etika akademik;
e. Menguasai pengetahuan tentang teknik berkomunikasi baik lisan maupun
tertulis, untuk keperluan di dalam maupun di luar pengadilan, serta untuk
menjalin kerjasama dengan sejawat;
f. Menguasai konsep umum pengetahuan tentang Filsafat Hukum, Sosiologi
Hukum, Perbandingan Hukum, Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, Etika Profesi, dan
Estetika, untuk dapat lebih memahami dan mengenali problematika dalam
penerapan dan perkembangan Hukum Positif Indonesia.

Pada tahun 2020 ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan


kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MB-KM) yang salah satunya dengan
menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Kebijakan tersebut memberikan
HAK kepada mahasiswa untuk menempuh 20 SKS mata kuliah di luar program studinya
di dalam lingkungan universitas, dan 40 SKS di luar universitas termasuk magang dan/atau
research pada berbagai kelembagaan. Karena merupakan hak maka mahasiswa boleh
menggunakannya, akan tetapi juga boleh menyelesaikan studi sepenuhnya di program
studinya. 1

1
Fakultas Hukum UNPAR saat ini sedang menyusun peraturan yang mengatur pelaksanaan kebijakan
Kampus Merdeka tersebut.

11
5. ARTI, KEDUDUKAN DAN FUNGSI PENGANTAR ILMU HUKUM

Istilah “Pengantar Ilmu Hukum” biasa disingkat PIH sudah digunakan pada
perguruan tinggi di Indonesia setelah merdeka, sebagai nama dari matakuliah dasar (basis
leervak) yang diberikan pada tahun pertama. Pada kurikulum Sekolah Tinggi Hukum
(Rechtshogeschool)- biasa disingkat “RH”) yang didirikan pada tahun 1924 di Jakarta oleh
Pemerintah Belanda tercantum matakuliah yang sama dengan nama “Inleiding tot de
Rechtswetenschap”, yang digunakan juga pada fakultas-fakultas hukum di Belanda.
Di Belanda sendiri, sebelumnya digunakan istilah Encyclopedie der Rechtswetenschap,
sedangkan di Jerman pada waktu itu sudah digunakan istilah EinfÜhrung in die
Rechtswetenschap. Tampaknya karena pengaruh dari Jerman, maka istilah Encyclopedie
der Rechtswetenschap itu diganti dengan istilah Inleiding tot de Rechtswetenschap. Tetapi
sekarang di Belanda ada beberapa Fakultas Hukum yang menggunakan lagi istilah
Encyclopedie. Vrije Universteit van Amsterdam menggunakan istilah Encyclopedie der
Rechtswetenschap, sedangkan Universiteit van Amsterdam menggunakan istilah
Encyclopedie der Rechtsgeleerdheid. Digunakannya lagi istilah Encyclopedie itu tidak
sekedar perubahan nama, melainkan mencakup perubahan dalam tujuan, sifat dan
materinya.
Pengantar ilmu hukum bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Pengantar Ilmu Hukum
adalah matakuliah dasar (basisleervak) untuk memberikan gambaran atau pemandangan
umum tentang ilmu hukum secara keseluruhan, dengan memberikan pengetahuan ringkas
tentang Ilmu Hukum sebagai suatu kesatuan. Jadi Pengantar Ilmu Hukum itu dapat
diumpamakan dengan peta atau maket Ilmu Hukum. Bagian penting dari materi Pengantar
Ilmu Hukum adalah ajaran hukum umum diantaranya pengertian, hakikat, dan unsur-
unsur yang ada pada semua sistem hukum. Misalnya akan dibahas tentang sanksi karena
sanksi merupakan unsur yang ada pada semua sistem hukum. Pembahasan tentang sanksi
akan mencakup pengertian dan hakikat sanksi, cara bekerjanya sanksi, jenis-jenis secara
umum, bukan sanksi menurut suatu sistem hukum tertentu atau sanksi pada bidang hukum
tertentu. Meskipun setiap sistem hukum atau cabang hukum memiliki jenis sanksi yang
berbeda tetapi pada hakikatnya sama sebagai sanksi. Dengan kata lain materi-materi
Pengantar Ilmu Hukum berpretensi mampu menjelaskan hakikat segala fenomena tentang
hukum di manapun. Meskipun dangan sudut pandang yang berbeda sebenarnya materi
Pengantar Ilmu Hukum di sekolah-sekolah hukum di dunia ini relatif sama.
Pengantar Ilmu Hukum adalah matakuliah pendahuluan yang bersifat teoretis-
analitis, sebagai landasan untuk mempelajari cabang-cabang ilmu hukum. Teoretis-
Analitis artinya memberikan uraian atau pelajaran yang bersifat abstrak, dan kerena itu
berlaku umum, tentang pengertian-pengertian mengenai hal-hal tertentu serta hubungan
antara pengertian-pengertian itu. Dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum program studi
sarjana matakuliah Pengantar Ilmu Hukum berfungsi untuk: (i) memperkenalkan ilmu
hukum dalam garis besar, (ii) menumbuhkan sikap adil, dan (iii) membangkitkan minat
untuk mempelajari ilmu hukum.
Di atas dikemukakan bahwa matakuliah Pengantar Ilmu Hukum dimaksudkan
untuk memperkenalkan ilmu hukum. Apakah Ilmu Hukum itu? Tentu saja ilmu hukum
adalah Ilmu. Apakah yang dimaksud dengan ilmu itu? Jawaban sederhananya adalah : Ilmu

12
adalah cara manusia untuk memperoleh pengetahuan dengan mempergunakan akal
budinya. Dr. Mohammad Hatta2 mengemukakan adanya tiga cara untuk memperoleh
pengetahuan, yaitu: Pertama: Berdasarkan cerita dari orang lain. Nilai kebenaran
pengetahuan yang diperoleh dengan cara demikian adalah lemah, karena akan sangat
bergantung pada apakah pengetahuan yang disampaikan orang itu benar atau tidak, dan
apakah orang tersebut dapat dipercaya atau tidak. Kedua: Memperoleh pengetahuan
berdasarkan pengalaman (sendiri). Yang dimaksud dengan pengalaman adalah kontak atau
hubungan antar subyek, khususnya akal budi dari subyek yang bersangkutan, dengan dunia
dan kenyataan diluar subyek itu melalui panca inderanya. Pengetahuan yang diperoleh
melalui pengalaman itu juga tidak terlalu kuat, walaupun lebih kuat dari cara yang pertama,
karena kebenaran akan bergantung pada daya tangkap dari panca indera. Ketiga:
Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan keterangan, yakni dengan menjelaskan duduk
perkara sesuatu hal (obyek yang diketahui) serta dengan memahami mengapa hal itu
demikian. Cara memperoleh pengetahuan yang demikian itulah yang disebut ilmu.
Kebenaran pengetahuan yang dihasilkannya adalah jauh lebih kuat daripada yang diperoleh
dengan cara yang pertama atau yang kedua.
Berdasarkan penjelasan Hatta dalam buku tersebut di atas, maka secara umum dapat
dikatakan bahwa ilmu adalah:
“…kegiatan akal budi manusia yang secara sistematis, metodis dan kritis
berusaha memperoleh pengetahuan yang benar tentang sesuatu hal
(bidang), serta mencoba menyusun keseluruhan hasil usaha itu ke dalam
sesuatu yang dapat difahami.”

Sistematis disini berarti bekerja atau berfikir secara teratur, dengan urut-urutan jalan
fikiran yang runtut, tidak melompat-lompat dan tidak acak-acakan;
Metodis menunjuk pada cara memahami atau mendekati sesuatu (obyek yang dipelajari
atau yang hendak diketahui) dengan pola atau prosedur tertentu sehingga dapat dikaji atau
diuji ketepatan dalam memperoleh pengetahuan; dalam perkataan prosedur sudah
terkandung pengertian caa melakukan sesuatu yang terencana dan teratur;
Kritis, berarti mempertanyakan mengapa sesuatu itu begitu, apakah ada kemungkinan lain.
Dengan bekerja secara sistematis, metodis dan kritis itu, cara yang ditempuh dalam
memperoleh pengetahuan itu dapat ditelusuri, dan dengan demikian dapat dikaji dan
ditentukan nilai kebenaran dari pengetahuan yang diperoleh atau yang dihasilkan;
Bersistem artinya bagian-bagian atau unsur-unsur dari suatu obyek disusun dalam
perkaitan antara yang satu dengan lainnya sehingga mewujudkan suatu kesatuan yang
relative utuh;
Rasional, artinya masuk akal atau dapat diterima oleh akal. Setiap ilmu mempunyai obyek.
Obyek dari ilmu mencakup obyek material dan obyek formal.
Obyek Material dari ilmu adalah segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta yang
dapat dipelajari oleh manusia secara rasional.
Obyek formal (metode) suatu ilmu adalah obyek material yang dipandang dari sudut
pandang tertentu.
Ilmu hukum adalah ilmu yang obyeknya adalah gejala sosial yang disebut hukum.
Hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan manusia dalam hubungannya antara yang
satu dengan yang lainnya. Dalam hubungan antar manusia itu maka setiap manusia yang
2
Dalam buku Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan

13
terlibat dalam hubungan itu mempunyai hak dan kewajiban tertentu terhadap manusia
lainnya. Terlaksananya hak dan kewajiban itu secara langsung berkaitan dengan
terselenggaranya ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat. Hal menentukan bahwa
orang tertentu dalam hubungannya dengan orang lain memiliki hak dan kewajiban tertentu
adalah suatu penilaian. Penialaian yang sedemikian itu disebut penilaian hukum.
Jadi, obyek dari ilmu hukum adalah realitas dipandang dari sudut hubungan antara
manusia dalam kaitannya dengan keadilan dan ketertiban. Sehubungan dengan yang
dikemukakan tadi, R. Kranenburg 3 menyatakan bahwa ilmu hukum berfungsi untuk
menata gejala-gejala dalam bidang penilaian hukum, menganalisisnya secara sistematis,
metodis dan kritis, sehingga keseluruhan gejala penilaian itu dapat dipandang sebagai suatu
keseluruhan yang saling berkaitan dan secara rasional dapat difahami.

6. HUBUNGAN ANTARA PENGANTAR ILMU HUKUM DAN PENGANTAR


HUKUM INDONESIA

Disamping Pengantar Ilmu Hukum, dalam kurikulum Fakultas Hukum dan STH di
Indonesia terdapat juga matakuliah Pengantar Hukum Indonesia. Secara sistematis logis
matakuliah Pengantar Ilmu Hukum merupakan pendahuluan untuk memudahkan
mempelajari matakuliah Pengantar Hukum Indonesia. Pengantar Ilmu Hukum
menguraikan Ilmu Hukum pada umumnya yang bersifat universal, sedangkan obyek
Pengantar Hukum Indonesia adalah hukum yang berlaku di Indonesia. Sehingga yang
paling ideal sebenarnya matakuliah Pengantar Hukum Indonesia baru ditempuh setelah
mahasiswa lulus matakuliah Pengantar Ilmu Hukum. Bagaimana bisa memahami hukum
Indonesia kalau mahasiswa belum memahami hukum? Mata Kuliah Pengantar Hukum
Indonesia bertujuan untuk:
a. Memperkenalkan (perkembangan) hukum positif Indonesia;
b. Memberikan gambaran umum atau pengetahuan ringkas tentang keseluruhan
tata hukum di Indonesia dalam garis besarnya; memaparkan sistem hukum
Indonesia termasuk sistem kekuasaan kehakiman dan sistem peradilan
Indonesia;
c. Memperlihatkan ciri-ciri dan sifat-sifat khas dari tata hukum di Indonesia
(Sistem Hukum Indonesia).

Matakuliah Pengantar Hukum Indonesia lebih bersifat deskriptif-analitis. Yang


dimaksud dengan “deskriptif analitis” adalah cara menggambarkan sesuatu (obyek)
dengan memaparkan sesuatu atau obyek tersebut sebagaimana adanya dengan
menjabarkannya kedalam bagian-bagian atau unsur-unsurnya serta dengan
memperlihatkan tempat dan perkaitan antara bagian-bagian atau unsur-unsur itu tadi
sehingga keseluruhan bagian-bagian atau unsur-unsur tampak mewujudkan suatu kesatuan
yang dapat difahami.
Yang dimaksud dengan Hukum Positif adalah: kaidah hukum pada suatu waktu
tertentu di tempat tertentu berlaku sebagai hukum bagi orang-orang tertentu. Jadi yang
dimaksud dengan Hukum Positif Indonesia dalam kaitannya dengan istilah Pengantar
Hukum Indonesia adalah kaidah-kaidah yang pada saat sekarang di sini (di Indonesia)
berlaku sebagai hukum bagi orang-orang tertentu, orang-orang yang ada di wilayah
3
Dalam buku yang berjudul “ De Grondslagen der Rechtswetenschap” (1995), Hal.23.

14
Indonesia dan/ atau orang-orang Indonesia dimanapun ia berada. Sinonim dari perkataan
“Hukum Positif” adalah “Ius Constitutum” atau “de lege lata” (Latin); dalam bahasa
Belanda disebut Positief Recht atau stellig recht. Antonim dari perkataan “Hukum Positif”
atau Ius Constitutum adalah Ius Constituendeum atau de lege ferenda, yakni kaidah hukum
yang dicita-citakan. Yang dimaksud dengan tata hukum atau rechtsstelsel (Belanda) atau
legal system (Inggris) adalah: Keseluruhan keidah-kaidah hukum positif yang tersusun
sebagai suatu sistem.

************

15
BAB II
MANUSIA, MASYARAKAT DAN KAIDAH

Hukum yang menjadi objek studi Ilmu Hukum adalah hukum yang mengatur
tingkah laku atau perilaku manusia di dalam hubungan antara yang satu dengan yang
lainnya. Jadi, bukan hukum yang menyatakan hubungan kausal secara deterministik antara
dua hal atau dua peristiwa alamiah seperti yang dipelajari dalam Ilmu-ilmu Alam atau
matematika. Yang dimaksud dengan hubungan kausal secara deterministik adalah
hubungan sebab-akibat yang secara alamiah berlaku dengan keniscayaan yang mutlak dan
tidak bergantung pada kemauan manusia. Misalnya, jika besi dipanaskan niscaya atau pasti
akan memuai. Sedangkan objek Ilmu Hukum adalah hukum yang berkenaan dengan
perilaku manusia dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. 4
Wujud hukum ini adalah berupa kaidah-kaidah perilaku manusia yang
mempertautkan hubungan sebab-akibat tidak secara kausal deterministik, melainkan
berdasarkan asas tanggung-jawab manusia-manusia yang perilakunya terlibat dalam
hubungan yang diatur oleh kaidah hukum. 5 Keberlakuan kaidah- kaidah dari hukum yang
demikian itu tidak berlangsung begitu saja mengikuti asas kausal deterministik. Hukum
yang demikian bersumber pada dorongan hasrat dan kemauan manusia yang dipengaruhi
oleh pelbagai faktor sosial termasuk lingkungan, serta persepsi manusia-manusia yang
bersangkutan terhadap faktor-faktor itu dan terhadap dirinya sendiri. Sebab, seperti yang
dikatakan oleh Sunaryati Hartono6, manusia itu mempunyai akal, perasaan dan kemauan
sendiri (1984: 18). Dengan kata lain kaidah hukum bersifat kausal normatif, artinya kaidah
hukum bersifat mengharuskan subyek hukum yang diatur untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Apa yang diatur oleh hukum tersebut adalah ”yang seharusnya terjadi”
akan tetapi tidak selalu terjadi demikian. Apabila kaidah hukum menetapkan orang tidak
boleh membunuh orang lain, maka secara normatif berarti ”seharusnya orang tidak
membunuh orang lain”. Dalam kenyataan tetap saja ada kemungkinan seseorang yang
membunuh orang lain. Kausalitas dalam kaidah hukum tidak mungkin bersifat
deterministik karena subyek yang diatur oleh hukum adalah manusia yang memiliki
kehendak bebas. Meskipun kaidah hukum sudah menentukan orang tidak boleh membunuh
orang lain akan tetapi setiap orang selalu memiliki kehendak bebas untuk memutuskan
apakah akan mentaati kaidah hukum tersebut atau tidak. Tentu saja perbuatan mentaati atau
tidak mentaati kaidah hukum akan memiliki konsekwensi atau akibat hukum yang
berbeda.
Hukum yang menjadi obyek Ilmu Hukum itu adalah hukum yang pada dasarnya
dibuat oleh manusia untuk mengatur kehidupan manusia dalam pergaulan
kemasyarakatannya dan demi kepentingan manusia itu sendiri. Ini berarti juga bahwa
hukum mengungkapakan atau mencerminkan cara manusia menjalani kehidupannya, cara
manusia menghadirkan dirinya dalam kebersamaan dengan sesamanya di dalam dunia.
Cara manusia menjalani kehidupannya untuk sebagian besar ditentukan oleh cara
bagaimana manusia mempersepsi (memandang, menghayati, dan memahami) dirinya
sendiri serta nilai- nilai yang didukungnya. Karena itu, utnuk memperoleh gambaran atau

4
Soediman Kartohadiprodjo, 1967: 16.
5
Hans Kelsen, 1970: 75-76.
6
Sunaryati Hartono, 1984: 18.

16
pengetahuan yang tepat tentang hukum yang menjadi obyek Ilmu Hukum, maka kita harus
bertitik tolak pada pengertian kita tentang manusia dan kehidupan manusia. Ini berarti
bahwa sesungguhnya studi hukum harus dimulai dengan pertanyaan ”apakah manusia
itu?”.
Tetapi pertanyaan ”apakah manusia itu?” sebenarnya pertanyaan yang termasuk
bidang refleksi filsafat. Dalam lingkungan filsafat, misalnya Max Scheler (1975:5),
seorang filsuf dari Jerman tokoh aliran Fenomenologi, mempersoalkan: ”was ist der
Mensch, und was ist seine Stellung im Sein ?” (apakah manusia itu, dan bagaimana
kedudukannya di dalam alam semesta ?).
Pertanyaan ini sudah menghasilkan pelbagai jawaban yang sudah diungkapkan
dalam pelbagai karya tulis filsafat. Keseluruhan usaha untuk menjawab pertanyaan yang
fundamental itu mewujudkan diri sebagai suatu disiplin yang disebut Antropologi Filsafat
atau Filsafat Manusia. Dalam disiplin ini terdapat pelbagai alirandan pandangan yang
memberikan jawaban yang berbeda-beda tentang pertanyaan tersebut di atas. Karena itu,
untuk keperluan kita sekarang, pertanyaan itu tadi tidak akan dijawab dari sudut
pendekatan filsafat. Yang akan dilakukan adalah mencoba menggambarkan manusia
sebagaimana ia dalam kehidupan sehari- hari tampak secara empiris dalam pengamatan
kita; jadi, mencoba memperoleh gambaran tentang apa manusia itu dengan pendekatan
sosiologis.
Dalam pengamatan empiris demikian, tampak bahwa manusia adalah realitas yang
berupa makhluk hidup. Sebagai makhluk hidup, memperlihatkan dua aspek yang tidak
dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Aspek yang satu adalah sebagai manusia
individual, aspek yang lainnya adalah sebagai anggota masyarakat atau kebersamaan
dengan manusia- manusia individual lainnya.
Prof. Soediman Kartohadiprodjo 7 mengemukakan bahwa makhluk hidup manusia
itu tersusun atas empat unsur dasar atau unsur esensial. Pertama- tama adalah unsur
jasmaninya, yakni badan manusia sebagaimana yang dipelajari dalam Biologi; unsur ini
disebut Raga dari manusia. Manusia dapat merasa bertanggung- jawab, cinta, benci,
senang, sedih, berhasrat, puas, baik, buruk/ indah, adil, tidak adil, mengingini, menolak,
acuh, dan sebagainya; kesemuanya ini adalah aspek afektif (rasa suka atau tidak suka) dan
konatif (kemauan, hasrat) yang bersumber atau mewujudkan unsur Rasa dari manusia.
Manusia memiliki kemampuan untuk memperoleh pengetahuan objektif, membedakan
satu hal dari hal lain, menetapkan batas sesuatu hal, membandingkan, memahami hubungan
dan menghubungkan antara hal satu dan hal lainnya, semuanya berdasarkan atau sesuai
dengan hukum-hukum logika; ini adalah aspek kognitif yang kesemuanya bersumber atau
mewujudkan unsur Rasio (akal budi) dari manusia. Dalam pengamatan terhadap
keberadaan manusia, juga tampak jelas bahwa manusia selalu hidup berkelompok, besar
ataupun kecil. Hidup berkelompok itu memungkinkan manusia bekerjasama dalam
memenuhi kebutuhan hidup masing- masing untuk mewujudkan kehidupan berbahagia.
Hanya dalam hidup berkelompok manusia dapat mempertahankan keberadaannya sebagai
suatu jenis makhluk hidup. Dalam hidup berkelompok itu, hidup setiap manusia terlindung,
merasakan keakraban dengan sesama, dan dapat menghayati serta mengembangkan
kemanusiannya secara wajar. Hanya dalam hidup berkelompok manusia apat menjadi
manusia. Kesemuanya ini adalah unsur Rukun dari manusia. Unsur rukun ini adalah aspek
sosialitas dari manusia. Unsur raga, rasa dan rasio di bawah pengaruh unsur rukun
7
1965: 81

17
mewujudkan watak yang menyebabkan tiap manusia individual memiliki kepribadian atau
individualitas yang membedakan manusia yang satu dari manusia yang lainnya. Interaksi
dalam jangka waktu yang lama secara turun-temurun di bawah pengaruh lingkungan
alamiah yang sama mewujudkan watak (kepribadian) umum yang sama tanpa
menghilangkan watak khas (kepribadian) masing- masing pada semua anggota kelompok
yang membedakannya dari watak (kepribadian) umum kelompok lain. Sebagai makhluk
hidup, tiap manusia individual menjalani dan mengalami proses- proses perubahan yang
terus menerus. Tiap manusia individual mengalami tahap-tahap; janin, masa bayi, masa
anak-anak, masa remaja, masa dewasa, masa tua, dan mati. Dalam diri setiap manusia
terjadi pelbagai proses alamiah dan kimiawi, seperti peredaran darah, metabolisme, dan
sebagainya.
Pengamatan dan penghayatan terhadap kehidupan manusia menunjukkan bahwa di
dalam diri manusia terdapat naluri self- preservasi, yakni naluri untuk mempertahankan
eksistensinya atau kehadiran manusia di dunia, baik sebgai manusia individual maupun
sebagai jenis makhluk hidup. Naluri self-preservasi ini dalam kenyataan kehidupan sehari-
hari selalu berhadapan dengan atau dihadapkan pada pelbagai bahaya yang mengancam
eksistensi manusia, bahaya yang dapat melenyapkan manusia individual atau manusia
sebagai suatujenis makhluk hidup. Bahaya yang mengancam eksistensi manusia itu dapat
dibedakan dalam dua golongan.
Yang pertama adalah bahaya yang timbul dari dalam diri manusia itu sendiri,
misalnya proses-proses alamiah berupa lapar dan haus, atau proses psiklogis yang berupa
dorongan untuk membunuh diri. Yang kedua adalah bahaya yang berasal dari luar diri
manusia individual, misalnya bencana alam, binatang liar, kuman, dan yang paling
berbahaya: sesama manusia8.
Karena di dalam dirinya terdapat naluri self- preservasi, maka setiap manusia akan
terdorong melakukan pelbagai usaha untuk menghindari atau melawan dan mengatasi
bahaya- bahaya itu. Untuk dapat menghindari atau melawan bahaya- bahaya itu, manusia
akan memerlukan makanan, minuman, pakaian, perumahan, dan alat-alat lain termasuk
segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk dapat mempertahankan eksistensinya
disebut kebutuhan. Demikianlah manusia itu mempunyai pelbagai kebutuhan. Apa yang
dapat memenuhi kebutuhan manusia itu oleh manusia dinilai penting bagi dirinya. Karena
itu, kebutuhan itu dinamakan juga kepentingan. Perkataan ”kebutuhan” lebih
menonjolkan aspek konkretnya. Sedang perkataan ”kepentingan” lebih mengungkapkan
abstraksi dari kebutuhan itu. Kepentingan dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni
kepentingan jasmani dan kepentingan rohani. Untuk dapat memenuhi kebutuhannya,
manusia harus melakukan pelbagai perbuatan atau tingkah laku (perilaku). Bahkan
secara umum dapat dikatakan bahwa menjalani kehidupan pada hakikatnya berarti
bertingkah laku atau melakukan pelbagai kegiatan.
Aspek lain dari eksistensi manusia adalah bahwa manusia itu selalu berada
dengan sesamanya. Paul Vinogradoff dalam buku ”Common Sense in Law” (1956: 47)
mengatakan ”no human being stands entirely isolated in this world.” (Tidak ada manusia
yang kehidupannya sepenuhnya terisolasi atau terasing dari segala realitas lain, termasuk
sesama manusia di dunia ini). Dapat dikatakan bahwa eksistensi manusia itu secara
struktural adalah ko-eksistensi, yakni ada dalam kebersamaan dengan sesamanya 9.

8
Soediman Kartohadiprodjo, 1967: 17-18.
9
Drijarkara, 1969 (?) : 138.

18
Demikianlah, Sunaryati Hartono mengatakan bahwa manusia adalah serempak
individu dan anggota masyarakat atau makhluk sosial; manusia sebagai individu dan
manusia sebagai makhluk sosial dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan (1982: 77).
Aristoteles mengatakan bahwa manusia itu adalah Zoon Politikon. Hans Kelsen, menurut
Soediman kartohadiprodjo (1965: 38) pernah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
”zoon politikon” adalah ”man is a sosial and political being” , artinya manusia itu adalah
makhluk sosial yang berarti makhluk yang dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan
sesamanya dalam masyarakat, dan makhluk yang terbawa oleh kodrat sebagai makhluk
sosial itu selalu berorganisasi.
Kehidupan dalam kebersamaan itu (ko-eksistensi) tidak berarti hanya sekedar
bahwa yang satu ada di samping yang lain. Hidup dalam kebersamaan itu selalu berarti
adanya hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Hubungan-hubungan
antar manusia itu disebut hubungan sosial (sosial relation, relasi sosial). Yang dimaksud
dengan hubungan sosial atau relasi sosial adalah hubungan antarsubjek (antarorang atau
antarmanusia) yang saling menyadari kehadirannya masing- masing. Kesadaran pada
kehadiran subjek atau subjek- subjek lain itu mempengaruhi perasaan, pikiran dan perilaku
yang bersangkutan10. Dalam hubungan sosial itu selalu terjadi interaksi sosial. Jenis
hubungan antarsubjek yang demikian itu sangat bermacam-ragam, sehingga keseluruhan
interrelasi dan interaksi sosial itu mewujudkan sebuah jaringan relasi-relasi sosial (a
web of sosial-relationships) yang disebut masyarakat. Jaringan relasi dan interaksi sosial
itu bagi kehidupan manusia berfungsi:
a. secara fisik masyarakat itu memungkinkan dilakukannya kerjasama dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik yang tidak mungkin dicapai secara
bersendiri, serta mempertahankan eksistensi manusia sebagai suatu jenis makhluk
hidup.
b. Secara psikis untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan psikis manusia yang terbawa
oleh kodrat sebagai makhluk sosial, seperti kebutuhan berkomunikasi dengan
sesamanya.

Di atas telah dikemukakan bahwa menjalani kehidupan berarti selalu berperilaku


atau melakukan pelbagai kegiatan. Karena kehidupan manusia selalu berlangsung di dalam
kebersamannya, maka setiap perbuatan atau perilaku manusia selalu terjadi di dalam
kerangka jaringan interrelasi dan interaksi sosial atau masyarakat. Karena selalu
berlangsung di dalam masyarakat, maka setiap perilaku manusia dapat menimbulkan akibat
atau pengaruh terhadap orang atau orang- orang lain. Akibat dari perilaku yang
ditimbulkan itu dapat bersifat negatif jika merugikan orang lain, atau bersifat positif bila
menguntungkan orang lain.
Dalam kenyataan tidak ada seorang pun yang senang dirugikan atau dibahayakan,
lebih- lebih oleh perbuatan orang lain. Karena tidak ada seorang pun yang mau dirugikan,
maka di dalam masyarakat pada setiap orang timbul harapan yang kemudian berkembang
menjadi tuntutan yang menghendaki agar orang di dalam masyarakat berperilaku dengan
cara tertentu sehingga tidak merugikan atau membahayakan dirinya.
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, kita juga dapat mengamati bahwa
kehidupan manusia selalu dihadapkan pada ketidakpastian, termasuk ketidakpastian yang
berkenaan dengan perilaku sesamanya dalam hubungan dengan kepentingan dirinya.
10
Logemann, 1954: 3.

19
Keadaan yang demikian adalah keadaan yang tidak menyenangkan, bahkan sering
merugikan atau membahayakan. Karena itu, setiap manusia membutuhkan adanya
kepastian. Ini berarti bahwa kepastian menjadi kebutuhan atau kepentingan manusia.
Untuk memenuhi kebutuhan itulah manusia mencoba menciptakan patokan- patokan yang
dapat dijadikan pegangan, sehingga secara rasional dapat meramalkan (mempredik)
kemungkinan yang dapat terjadi. Dengan perkataan lain, manusia mencoba menyatakan
dan menciptakan prediktabilitas (hal yang dapat diramalkan atau diperhitungkan terlebih
dahulu). Dalam hubungan antar manusia, sehubungan dengan kebutuhan pada kepastian
perihal perilaku dari sesama yang dapat diharapkannya, maka usaha untuk mewujudkan
prediktabilitas dilakukan dengan mengharapkan atau menuntut cara berperilaku tertentu
pada sesamanya dalam hubungan dengan dirinya setiap kali terjadi situasi sosial tertentu.
Selain dari apa yang sudah dikemukakan di atas, dalam diri setiap manusia juga terdapat
suara batin atau hati nurani (gewetwn, conscience). Hati nurani itu selalu mengatakan
kepada manusia yang bersangkutan itu sendiri bahwa manusia itu mempunyai martabat,
yakni martabat kemanusiaan (human dignity). Hati nurani itu juga selalu mengatakan
dan bahkan menuntut agar manusia selalu bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan
martabat kemanusiaannya demi kesempurnaan dirinya sebagai manusia. Sikap dan
perilaku itu mencakup baik yang hanya menyangkut dirinya sendiri maupun yang berkaitan
dengan atau terhadap manusia lain. Jadi, hati nurani manusia itu selalu menuntut cara
tertentu dalam bersikap dan berperilaku dalam situasi tertentu.
Dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan, tuntutan cara berperilaku dalam
hubungan antara yang satu dengan yang lainnya seperti yang digambarkan diatas, melalui
proses objektivasi, berkembang dan kemudian memperoleh kekuatan objektif. Artinya,
tuntutan cara berperilaku itu memiliki daya berlaku secara umum, berlaku bagi setiap orang
yang berada dalam situasi sosial yang sama; artinya semua orang yang berada dalam situasi
sosial yang sama dituntut untuk melakukan cara berperilaku tertentu itu. Tuntutan
berperilaku dengan cara tertentu yang mempunyai kekuatan berlaku secara objektif itu
disebut kaidah atau norma.
Kaidah atau norma itu pada dasarnya berfungsi sebagai pedoman bagi perilaku
manusia dalam masyarakat, di dalam hubungan antara dirinya dengan sesamanya. Kaidah
itu selalu berisi atau memuat ketentuan tentang keharusan berperilaku dengan cara tertentu.
Isi dari kaidah itu adalah berupa ketentuan tentang perilaku apa dan/atau bagaimana yang
boleh, yang tidak boleh (dilarang) dan yang harus dijalankan oleh manusia di dalam
pergaulan hidup dengan sesamanya.
Di atas telah dikemukakan bahwa manusia secara struktural adalah realitas yang
keberadaanya selalu dalam kebersamaan dengan sesamanya. Kebersamaan dengan
sesamanya atau sosialitas (Drijarkara, 1962) itu adalah kodrat alamiahnya, ia diciptakan
dengan kodrat sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat itu menurut hakikatnya
tidak dibuat oleh manusia, melainkan sudah melekat secara alamiah pada manusia sebagai
unsur esensial dari eksistensinya. Dengan perkataan lain, kebersamaan dengan sesama atau
sosialitas itu adalah salah satu aspek dari eksistensi manusia. Di dalam kebersamaan itu
berlangsung pergaulan hidup yang terarah untuk memungkinkan setiap manusia
mengembangkan diri dalam usaha mewujudkan kehidupan yang berbahagia. Demikianlah,
Soediman Kartohadiprodjo mengatakan bahwa manusia itu adalah realitas yang terdiri atas
empat unsur esensial, yakni: raga, rasa, rasio, dan rukun. Empat unsur esensial dari manusia
yang dikemukakan oleh Soediman Kartohadiprodjo itu dapat kita bedakan dalam dua

20
kelompok yang masing- masing merupakan aspek-aspek dari eksistensi manusia yang tidak
dapat dilepaskan yang satu dari yang lainnya. Unsur raga, rasa, rasio adalah aspek
individualitas dari manusia, sedangkan rukun adalah aspek sosialitas dari manusia.
Karena manusia itu adalah makhluk sosial yang terbawa oleh kodratnya ada dalam
kebersamaan dan pergaulan dengan sesamanya, maka dengan sendirinya kehidupan
manusia itu memerlukan pengaturan kehidupan bersamnya itu, betapa pun sederhananya.
Mengatur kehidupan bersama itu berarti mengorganisasi kebersamannya itu. Demikianlah,
tadi di atas sudah dikemukakan, Hans Kelsen menjelaskan bahwa yang dimaksud
Aristoteles dengan ”Zoon Politikon” adalah ”man is a sosial being” (manusia adalah
makhluk yang berorganisasi). Organisasi adalah kerjasama antar manusia dengan
pembagian tugas dan petugas yang saling kait-mengkait untuk mewujudkan tujuan tertentu.
Pembagian tugas berarti juga pembagian kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh setiap manusia yang terlibat dalam organisasi yang bersangkutan.
Kewajiban adalah keharusan untuk menjalankan perilaku tertentu. Dengan
perkataan lain, untuk mewujudkan kehidupan berorganisasi diperlukan adanya dan dengan
itu penciptaan kaidah- kaidah.
Demikianlah, ditinjau dari pelbagai aspek kehadiran manusia di dunia, manusia
adalah makhluk yang membutuhkan dan yang karena itu menciptakan pelbagai kaidah
untuk memungkinkan setiap manusia menjalankan kehidupannya secara wajar. Kaidah-
kaidah yang mengatur perilaku manusia itu pada umumnya diciptakan oleh manusia
melalui proses-proses interaksi antarmanusia di dalam pergaulan kemasyarakatan.
Walaupun demikian, segera setelah kaidah itu tercipta, maka kaidah-kaidah itu akan
menguasai hidup manusia. Ini berarti bahwa kaidah-kaidah itu mempunyai kekuatan
objektif, yakni berlaku secara umum bagi semua orang yang ada dalam lingkungan
masyarakat yang bersangkutan, jadi setelah kaidah tercipta, maka manusia perseorangan
(individu) tidak lagi bebas untuk begitu saja menyimpang dari ketentuan yang tercantum
dalam kaidah itu.
Proses pembentukan serta isi konkret kaidah-kaidah yang mengatur perilaku
manusia itu dipengaruhi oleh pelbagai faktor kenyataan kemasyarakatan yang riil. Faktor-
faktor kenyataan kemasyarakatan itu meliputi kamauan dan aspirasi manusia, keyakinan
keagamaan, kondisi sosial ekonomi dan sosial politil, serta kondisi kebudayaan dan
peradaban pada umumnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa kaidah- kaidah itu adalah
produk dari proses dorong-mendorong yang terus-menerus antara pelbagai faktor
kenyataan kemasyarakatan yang berkonfrontasi dengan kesadaran dan penghayatan
manusia terhadap kenyataan – kenyataan kemasyarakatan itu serta kepentingan dan
kebutuhan riil manusia11.
Adanya kaidah-kaidah, kepatuhan para anggota masyarakat pada kaidah- kaidah
itu, dan penegakkan kaidah- kaidah secara nyata akan mewujudkan ketertiban di dalam
masyarakat. Ketertiban masyarakat itu terwujud dalam perilaku anggota masyarakat yang
berlangsung dengan cara tertentu, yakni yang mematuhi kaidah- kaidah. Ketertiban
masyarakat ini pun adalah kebutuhan riil manusia. Hanya dalam masyarakat yang tertib,
manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar sebagai manusia. Ketertiban adalah
kondisi yang diperlukan untuk memungkinkan manusia secara wajar mengembangkan
dirinya, memenuhi kebutuhan- kebutuhannya, dan berusaha mewujudkan hasrat serta
kebahagiannya. Sebagai sarana yang relatif mutlak diperlukan bagi terwujudnya ketertiban
11
cf. C. van Vollenhoven, 1931: 3.

21
agar manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar, maka kaidah juga termasuk
kebutuhan pokok manusia yang riil.
Secara skematik, hubungan antar manusia, masyarakat dan kaidah yang diuraikan
di atas dapat digambarkan dengan skema pada Ragaan 1. Perhatikan juga Daftar Indeks
untuk memudahkan anda mempelajari skema tersebut dalam kaitannya dengan uraian di
atas.

KEPUSTAKAAN:

1. Drijarkara, N. : SOSIALITAS SEBAGAI EKSISTENSIAL.


P.T. Pembangunan, Jakarta, 1962.
2. Drijarkara, N. : KUMPULAN KARANGAN.
Basis, Yogyakarta, 1969 (?).
3. Kartohadiprodjo, Soediman : KUMPULAN KARANGAN.
P.T. Pembangunan, Jakarta, 1965.
4. Kartohadiprodjo, Soediman : PENGANTAR TATA HUKUM DI INDONESIA.
P.T. Pembangunan, Jakarta, 1967.
5. Logemann, J.H.A. : OVER DE THEORIE VEN EEN STELLIG STAATSRECHT.
P.T. Saksama, Jakarta, 1954.
6. Kelsen, Hans : THE PURE THEORY OF LAW.
University of California Press, 1970.
7. Scheler, Max : DIE STELLUNG DES MENSCHEN IM KOSMOS.
Francke Verlag, Bern, (1982) 1975.
8. Sunaryati Hartono : CAPITA SELECTA PERBANDINGAN HUKUM.
Alumni, Bandung, 1982.
9. Sunaryati Hartono : KEMBALI KE METODE PENELITIAN HUKUM.
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 1984.
10. Vinogradoff, Sir Paul : COMMON SENSE IN LAW.
Oxford University Press, 1956.
11. Vollenhoven, C. Van : HET ADATRECHT VAN NEDERLANDSCHINDIE.
Deel I, 1931.

22
MANUSIA, MASYARAKAT & KAIDAH
UTK MEWUJUDKAN
KETERTIBAN
KEADILAN
KETERATURAN
DLM. MASYARAKAT

4 UNSUR : KEBUTUHAN YANG DIPEROLEH PREDIKTABILITAS


KETIDAKPASTIAN AKAN DARI PERILAKU
RAGA
RASA KEPASTIAN MASYARAKAT MANUSIA
RASIO
NORMA /
RUKUN
KAIDAH

BAHAYA-BAHAYA

PEMENUHAN
MEMPER- PELBAGAI KEBUTUHAN
TAHANKAN KEBUTUHAN & DIWUJUDKAN DALAM
KEPENTINGAN PERILAKU/TINGKAH
EKSISTENSI MELAHIRKAN
LAKU/PERBUATAN
PEDOMAN
INDIVIDU TINGKAH
NALURI PRESERVASI LAKU

DIRI BERAKIBAT
POSITIF THD
ORANG LAIN
JASMANI ROHANI

KEINGINAN BAHAGIA
MAKHLUK
MANUSIA

HIDUP

PERILAKU TUNTUTAN TENTANG PROSES


MARTABAT MANUSIA DALAM
NURANI / NILAI-NILAI CARA BERTINGKAH LAKU OBYEKTIVASI
CONSCIENCE KEMANUSIAAN MASYARAKAT DAPAT DI DALAM MASY.

MAKHLUK

SOSIAL

BERAKIBAT

NEGATIF THD

ORANG LAIN
ORGANISASI
- ADA BERSAMA MEMBENTUK :
RELASI-
- KO EKSISTENSI INTERAKSI PERGAULAN HIDUP,
RELASI
- ZOOM POLITIKON
SOSIAL MASYARAKAT,
SOSIAL
JARINGAN REL. SOSIAL
KENYATAAN
SOSIAL,
LINGKUNGAN
DAFTAR KATA- KATA

Akibat Raga
Rasa
Bahaya Rasio
Relasi sosial
Empat unsur dasar Rohani
Rukun
Hati nurani
Selalu berada dengan sesamanya
Individual
Interaksi Tingkah laku
Interrelasi Tuntutan

Jaringan relasi- relasi sosial Zoon politikon


Jasmani

Kebutuhan
Kepastian
Kepentingan
Ketertiban
Ketidakpastian
Ko- eksistensi

Makhluk hidup
Makhluk sosial
Manusia
Martabat kemanusiaan

Naluri self- preservasi


Negatif

Organisasi

Perbuatan
Perilaku
Positif
Prediktabilitas
Proses Objektivasi

24
BAB III
KLASIFIKASI KAIDAH

Sudah kita pelajari bahwa kaidah atau norma adalah pedoman perilaku manusia. Wujudnya
konkretnya adalah berupa penetapan tentang cara berperilaku dalam situasi kemasyarakatan
tertentu. Isi dari setiap kaidah adalah berupa ketentuan tentang perilaku apa dan bagaimana yang
boleh, atau dilarang, atau diharuskan dijalankan oleh orang di dalam masyarakat. Ditinjau dari
fungsinya kita bisa membedakan kaidah menjadi tiga macam, yaitu: (i) kaidah perilaku: kaidah
yang menetapkan apakah suatu perilaku diperintahkan atau dilarang, (ii) kaidah kewenangan:
kaidah yang mengatur lembaga atau pejabat yang berwenang melaksanakan dan/atau menegakkan
kaidah perilaku, dan (iii) kaidah sanksi: kaidah yang mengatur sanksi apa yang digunakan sebagai
sarana untuk menegakkan atau memaksakan berlakunya kaidah perilaku. Kaidah perilaku
merupakan kaidah pokok sedangkan keberadaan dari kaidah kewenangan dan kaidah sanksi
merupakan konsekwensi dari keberadaan kaidah perilaku. Ditinjau dari isinya, kaidah perilaku
dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu: (i) larangan, (ii) perintah, (iii) izin, dan (iv)
dispensasi. Kaidah izin bersifat menderogasi atau mengesampingkan kaidah larangan, sedangkan
kaidah dispensasi bersifat menderogasi atau mengesampingkan kaidah perintah.

Kaidah- kaidah yang mengatur perilaku manusia itu pada umumnya diciptakan oleh manusia
sendiri melalui proses-proses interaksi antarmanusia di dalam pergaulan kemasyarakatan.
Walaupun kaidah-kaidah itu diciptakan oleh manusia, namun segera setelah kaidah itu tercipta,
maka ia akan menguasai hidup manusia. Ini berarti bahwa kaidah itu mempunyai kekuatan
objektif, yakni berlaku secara umum. Jadi, setelah kaidah itu tercipta, maka manusia perseorangan
tidak lagi bebas untuk menyimpang dari ketentuan yang tercantum dalam kaidah itu. Dalam proses
pembentukkannya, isi dan bentuk kaidah itu dipengaruhi oleh pelbagai faktor kenyataan
kemasyarakatan yang saling terjalin dan berinteraksi.

Keseluruhan kaidah-kaidah yang menguasai hidup manusia di dalam masyarakat itu jumlahnya
tidak dapat dihitung. Walaupun demikian, keseluruhan kaidah- kaidah itu dapat dikelompokkan
atau diklasifikasi dalam beberapa kelompok, sehingga secara rasional dapat dipahami.
Metode klasifikasi merupakan cara yang lazim digunakan dalam ilmu pengetahuan dalam rangka
memahami suatu obyek yang kompleks. Cara mengklasifikasi kaidah- kaidah dapat berbeda- beda
tergantung pada patokan atau kriteria yang digunakan. Kriteria ini menentukan hasil klasifikasi.
Klasifikasi dapat dilakukan apabila berdasarkan kriteria tertentu obyeknya tidak bersifat homogen.
Kita tidak bisa, atau setidak-tidaknya tidak berguna, mengklasifikasi para pemain sepak bola dari
suatu kesebelasan berdasarkan kriteria jenis kelamin karena semua anggotanya homogen. Berbeda
kalau kita mengklasifikasi berdasarkan kriteria umurnya, berat badannya, posisi mainnya dan
sebagainya. Dengan melakukan klasifikasi selain memiliki pengetahuan umum tentang obyek
tersebut, kita juga akan lebih memahami karakteristik setiap kelompok yang membedakannnya
dengan kelompok lainnya. Dengan pemahaman yang lebih baik terhadap obyek yang dihadapi,
kita bisa mengambil tindakan yang tepat apabila diperlukan.

25
A. BEBERAPA KLASIFIKASI KAIDAH

1. Klasifikasi J. H. P. Bellefroid.
Dalam buku ”INLEIDING TOT DE RECHTSWETENSCHAP IN NEDERLAND” 12
karya Bellefroid kita temukan klasifikasi kaidah berdasarkan klasifikasi dari J.H.E.J.
Hoogveld dalam buku berjudul ”RECHTFILOSOFIE” (1934) yang membagi kaidah-
kaidah ke dalam dua golongan besar, yakni:
I. Kaidah abadi (eeuwige wetten) atau Kaidah Ilahi yang abadi.
II. Kaidah yang tidak abadi (tijdelijk wetten):
A. Kaidah Kesusilaan Alamiah (Natuurlijke zedenwet), yang mencakup juga
pengertian Hukum Alam ( Natuurrecht).
B. Kaidah Positif:
1. Kaidah Ketuhanan Positif (positief goddelijke) atau Kaidah Agama
2. Kaidah Positif yang dibuat manusia:
a. Kaidah yang ditetapkan organisasi keagamaan.
b. Hukum Positif yang dibuat oleh negara.

2. Klasifikasi J. Van Kan.


J. van Kan dalam bukunya yang berjudul ”INLEIDING TOT DE RECHTSWETEN-
SCHAP” (Pengantar Ilmu Hukum) membagi keseluruhan kaidah- kaidah ke dalam
empat kelompok sebagai berikut:
1. Kaidah Agama (Godsdlenstige normen), yakni peraturan-peraturan hidup yang
oleh penganut agama tertentu diakui sebagai perintah-perintah dari Tuhan.
2. Kaidah Kasusilaan (Zedelijke normen), yakni peraturan-peraturan hidup yang
digariskan oleh suara hati (geweten).
3. Kaidah Kesopanan (Fatsoenlijke normen), yakni peraturan-peraturan hidup yang
timbul dalam kelompok- kelompok tertentu mengenai cara bergaul dalam
kehidupan sehari- hari.
4. Kaidah Hukum (Rechtsvoorschriften atau Rechtsnormen).

3. Klasifikasi Soediman Kartohadiprodjo.


Soediman Kartohadiprodjo membagi kaidah- kaidah dalam dua kelompok besar, yakni Kaidah
Sosial dan Kaidah Bukan Kaidah Sosial.
Yang dimaksud dengan Kaidah Sosial di sini adalah kaidah- kaidah yang bangkit dari dan di
dalam, serta disebabkan oleh pergaulan hidup manusia. Kaidah sosial ini terdiri atas: Kaidah
Kesopanan, Kaidah Kesusilaan, dan Kaidah Hukum. Kaidah Bukan Kaidah Sosial adalah
kaidah- kaidah yang datang dari luar, jadi yang tidak disebabkan oleh pergaulan hidup manusia.
Yang termasuk dalam Kaidah Bukan Kaidah Sosial adalah Kaidah Agama.

4. Klasifikasi W. L. G. Lemaire.
W. L. G. Lemaire dalam bukunya yang berjudul ”HET RECHT IN INDONESIE” (1955),
berdasarkan sudut pandangan Sosiologi, membagi keseluruhan kaidah yang menguasai hidup
manusia dalam dua kelompok besar, yakni:
I. Golongan Kaidah Hukum.
12
1953: 1

26
II. Golongan Kaidah Bukan Kaidah Hukum, yang terdiri atas:
1. Kaidah Agama (regels van religie).
2. Kaidah Budi Nurani (regels van gewetensmoraal).
3. Kaidah Moral Positif (regels van positieve moraal).
4. Kaidah Kesopanan (regels van fatsoen).
5. Kaidah Kebiasaan (regels van gewoote).
Eugene Ehrlich, pelopor aliran Sociological Jurisprudence dan Studi Sosiologi Hukum,
menyebut golongan kaidah bukan kaidah hukum dengan istilah ”ausserrechtliche
gesellschafitliche Normen” dalam bukunya yang berjudul ”GRUNDDLEGUNG DER
SOZIOLOGIE DES RECHTS” (Landasan Sosiologi hukum).

B. KAIDAH BUKAN KAIDAH HUKUM

1. Kaidah Agama
Menurut esensinya (hakikatnya) agama itu bukan gejala sosial (fenomena sosial). Yang
dimaksud dengan gejala sosial adalah segala sesuatu atau peristiwa yang terjadi dan hanya dapat
terjadi di dalam dan disebabkan oleh hubungan antarmanusia. Agama pada hakikatnya adalah
hubungan antarmanusia individual dengan tuhan atau sesuatu yang mengatasi manusia (Dunia
Transenden, Dunia Supranatural). Karena itu, tadi dikatakan bahwa agama adalah bukan
fenomena sosial. Adanya agama tidak disebabkan oleh hubungan antarmanusia. Hubungan
antara Tuhan dan manusia itu tidak diciptakan oleh manusia, melainkan oleh tuhan itu sendiri,
yang pada umumnya terjadi atau dilakukan melalui wahyu (revelasi) kepada Nabi. Tentu saja,
apa yang dikemukakan tadi hanya diyakini oleh atau berlaku bagi orang yang mempercayai
adanya Tuhan. Bagi yang tidak mempercayai adanya Tuhan, maka agama itu dipandang sebagai
gejala sosial atau gejala kultural saja. Bagi yang memercayai agama atau beragama, maka
agama dihayati sebagai karunia dari Tuhan yang telah menciptakan relasi religius antara diri-
Nya dengan manusia. Relasi- relasi religius itu diwujudkan atau diaturdalam bentuk kaidah-
kaidah agama. Kaidah agama mengatur hubungan individual antara Tuhan dengan manusia.
Karena itu, manusia yang beragama, yang karena sesuatu hal hidup terisolasi (terasing) dari
sesama manusia, kehidupannya dapat tetap berlangsung secara religius. Manusia yang hidupnya
terisolasi itu akan tetap merasa berkewajiban untuk melaksanakan kaidah- kaidah agama yang
dipeluknya, dan akan terdorong untuk melaksanakannya. Sebaliknya pada umumnya manusia
itu selalu hidup dalam kebersamaan dengan sesamanya. Karena itu, kehidupan beragama juga
berkembang dalam kelompok- kelompok sekepercayaan (belijdenis gemeenschap). Tuhan
sendiri menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Karena itu, kaidah agama dalam
menentukan hubungan antara Tuhan dan manusia memuat juga peraturan – peraturan yang
menyangkut hubungan antarmanusia. Maksudnya, Tuhan juga menurunkan kaidah- kaidah
agama yang memuat aturan- aturan yang harus menjadi pedoman bagi perilaku manusia dalam
hubungan- hubungan kemasyarakatannya.

2. Kaidah Budi Nurani.


Dalam diri setiap manusia terdapat budi nurani (conscience, geweten). Budi nurani adalah
sesuatu dalam diri manusia yang selalu menilai dan menyatakan penilaian apa yang baik dan
apa yang buruk tentang sikap dan perilaku manusia yang bersangkutan sendiri. Budi nurani
memunculkan ukuran untuk menentukan apa yang baik dan apa yang buruk tentang sikap dan

27
perilaku manusia , yakni kaidah- kaidah budi nurani. Kaidah budi nurani, yang timbul dari budi
nurani manusia, bertujuan untuk membuat manusia menjadi manusia yang ideal atau sempurna.
Dengan kata lain, kaidah budi nurani itu timbul dari budi nurani manusia demi kesempurnaan
manusia yang bersangkutan itu sendiri. Karena itu, kaidah- kaidah budi nurani tidak secara
langsung ditujukan untuk mengatur hubungan – hubungan sosial (kemasyarakatan). Meskipun
demikian, sebagian besar dari kaidah- kaidah budi nurani mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap pelbagai hubungan antarmanusia.
Sebab, meningkatkan manusia menjadi manusia yang ideal berarti juga meningkatkan manusia
yang bersangkutan sebagai makhluk sosial yang ideal dalam hubungan- hubungan dengan
sesamanya. Dengan demikian, kaidah- kaidah budi nurani pada tingkat pertama hanya
menyangkut diri sendiri, tetapi (baru) pada tahap pelaksanaannyamenyangkut orang lain.
Bahwa sebenarnya objek kaidah budi nurani bukan hubungan antarmanusia secara langsung,
ternyata dari adanya kaidah-kaidah budi nurani yang mengatur hubungan antara manusia
dengan yang bukan manusia. Sanksi terhadap pelanggaran Kaidah Budi Nurani adalah perasaan
penyesalan (wroeging). Kaidah budi nurani bersifat otonom, yakni berasal atau timbul dari
dalam diri sendiri dan ditegakkan oleh diri sendiri.

3. Kaidah Moral Positif.

Kaidah moral positif adalah kaidah-kaidah yang pada suatu waktu tertentu dalam suatu
masyarakat tertentu dalam kenyataan sungguh- sungguh dihayati dan dipatuhi sebagai aturan-
aturan kesusilaan. Yang menentukan berlakunya kaidah moral positif itu adalah pendapat
masyarakat. Jadi, yang menentukan bukanlah apa yang ditetapkan oleh budi nurani
perseorangan secara bersendiri, melainkan pendapat umum dari masyarakat tentang apa yang
menurut budi nurani menjadi kewajiban manusia. Ini berarti bahwa kaidah moral positif
mempunyai kekuatan objektif, yakni berlaku bagi setiap orang terlepas dari keyakinan dan
perasaan pribadi. Jadi, kaidah moral positif itu berlaku secara umum. Kaidah moral positif itu
terbentuk dari budi nurani manusia, yang melalui proses interaksi antarmanusia mengalami
proses objektivasi. Kaidah moral positif ini disebut positif, karena kaidah moral ini tampak
dalam perilaku para anggota masyarakat dalam kehidupan sehari- hari pada suatu waktu di
tempat tertentu. Sebagian dari kaidah- kaidah moral positif itu dinamakan kode etik. Yang
dimaksud dengan kode etik adalah seperangkat kaidah moral positif yang berlaku dalam suatu
kelompok anggota masyarakat yang memiliki ciri- ciri atau kesamaan dalam hal- hal tertentu,
seperti lingkungan profesi tertentu, misalnya Kode Etik Kedokteran, Kode Etik Advokat, Kode
Etik Wartawan, dsb. Sanksi terhadap pelanggaran Kaidah Moral Positif adalah pengucilan.
Kaidah Moral Positif termasuk kaidah yang bersifat otonom tetapi sudah memperlihatkan
banyak sifat- sifat heteronom.

4. Kaidah Kesopanan.

Kaidah kesopanan adalah kaidah- kaidah pergaulan antar manusia yang timbul dari kebutuhan
manusia pada kesamaan bentuk serta kebutuhan pada keramah- tamahan dan keluwesan dalam
mewujudkan hubungan- hubungan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari- hari. Kaidah-
kaidah ini labih diarahkan pada bentuk- bentuk luar dari perilaku manusia, dan bertujuan untuk
menghindarkan adanya perasaan yang tersinggung. Faktor yang mendukung dipatuhinya
kaidah- kaidah kesopanan adalah pendapat umum (public opinion). Sanksi terhadap

28
pelanggaran kaidah kesopanan adalah celaan. Kaidah kesopanan termasuk kaidah yang bersifat
heteronom.

5. Kaidah Kebiasaan.

Kaidah kebiasaan adalah tuntutan untuk melakukan perilaku tertentu semata- mata karena di
masa lalu setiap kali terjadi situasi kemasyarakatan yang sama, orang selalu melakukan perilaku
yang sama yang dituntut itu tadi. Yang dimaksud dengan kebiasaan adalah perulangan perilaku
yang sama setiap kali terjadi situasi kemasyarakatan yang sama. Karena kebiasaan terjadi atau
terbentuk oleh perulangan perilaku, maka kebiasaan itu juga akan hilang karena perulangan
penyimpangan terhadap kebiasaan yang bersangkutan. Proses menghilangnya suatu kebiasaan
tertentu disebut juga ”desuetudo”. Contoh kebiasaan dalam bidang hukum adalah dipatuhinya
asas ”sub judice”, yakni kebiasaan jika suatu peristiwa sudah menjadi perkara hukum, yaitu
sudah dalam tahap pemeriksaan oleh hakim dalam persidangan pengadilan, maka pers tidak
akan mengulas atau memberikan komentar terhadap peristiwa itu. Maksudnya adalah untuk
tidak mempengaruhi putusan hakim. Pers hanya bertugas memberitakan jalannya persidangan
saja. Contoh lain dalam kehidupan sehari- hari adalah kebiasaan memberikan ”tip” kepada
pelayan di restoran atau hotel besar. Kaidah kebiasaan bersifat heteronom.

Pemahaman dan kesadaran tentang keberadaan berbagai macam kaidah yang mengatur atau
mempedomani perilaku manusia dalam masyarakat ini sangat penting, juga bagi para mahasiswa
yang akan mulai belajar tentang hukum. Para mahasiswa harus paham dan selalu menyadari bahwa
hukum bukan merupakan satu-satunya kaidah tetapi hanya salah satu dari berbagai kaidah. Semua
jenis kaidah tersebut berperan penting dalam mewujudkan ketertiban masyarakat. Kaidah hukum
penting akan tetapi tidak lebih penting dari jenis kaidah lain. Kita tidak boleh berpikir bahwa kita
bisa menggantikan kaidah-kaidah lain dengan kaidah hukum. Apabila demikian maka bukan
ketertiban dan keadilan yang akan terwujud akan tetapi kekacauan dan ketidakadilan. Misalnya
perilaku cara berpakaian yang lebih cocok diatur oleh kaidah kesusilaan atau kesopanan biarlah
diatur oleh kaidah kesusilaan atau kesopanan, tidak perlu membuat peraturan perundang-undangan
(baca: kaidah hukum) tentang tatacara berpakaian. Hal yang sama berlaku untuk orang yang
mempelajari dan mendalami kaidah lainnya misalnya kaidah agama, harus memahami dan
menyadari bahwa kaidah agama hanya salah satu jenis kaidah disamping kaidah-kaidah lain yang
sama pentingnya.

29
BAB IV
PENGERTIAN KAIDAH HUKUM

Setelah kita pelajari bahwa kahidupan manusia dikuasai oleh pelbagai akidah, yakni kaidah-
kaidah hukum dan kaidah- kaidah bukan hukum. Sesudah kita mempelajari berbagai jenis dan arti
dari masing- masing kaidah bukan hukum, maka kini haruslah kita pelajari apa yang dimaksud
dengan kaidah hukum. Usaha memperoleh pengertian tentang kaidah hukum berarti mengajukan
pertanyaan ”apakah hukum itu ?” atau dalam bahasa Latin pertanyaan tadi sering diungkapkan
dengan pertanyaan ”Quid ius ?”
Dalam bahasa sehari- hari, pertanyaan yang demikian itu menghendaki sebuah definisi sebagai
jawaban. Pertanyaan itu sudah ratusan tahun diajukan orang dan dicoba dijawab dengan sebuah
definisi. Namun, hingga sekarang belum menghasilkan sebuah definisi tentang hukum yang dapat
diterima secara umum, jadi belum ada ”communis doctorum” tentang definisi hukum. Beberapa
contoh definisi tentang hukum akan dapat memberikan gambaran umum tentang kenyataan belum
adanya definisi hukum yang dapat diterima secara umum.
1. Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam ” DE LEGIBUS” mengatakan :
Hukum adalah akal tertinggi (the highest reason) yang ditanamkan oleh alam dalam
diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
2. Hugo Grotius (Hugo de Groot) dari Belanda dalam ” DE IURE BELLI AC PACIS” (Hukum
Perang dan damai), 1625, mengatakan:
Hukum adalah aturan tentang tindakan moral yang mewajibkan apa yang benar.
3. Thomas Hobbes (Inggris) dalam ”LEVIATHAN”, 1651, mengatakan:
Hukum adalah perintah- perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk
memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain.
4. Rudolf von Jhering (Jerman) dalam ”DER ZWECK IM RECHT”, 187701822, mengatakan:
Hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa (compulsory rules) yang berlaku
dalam suatu negara.
5. Oliver Wendell Holmes Jr. (Amerika Serikat) dalam ’THE PATH OF THE LAW”, 1897,
mengatakan:
Hukum adalah ramalan (profecies) tentang apa yang akan diputuskan oleh
pengadilandalamkenyataan yang sungguh- sungguh.

30
6. Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Uni Soviet Rusia, dalam pasal 590 menetapkan:
Hukum adalah suatu sitem hubungan- hubungan sosial yang mengabdi pada
kepentingan- kepentingan dari kelas yang berkuasa dan dengan demikian didukung
oleh organisasi kekuasaannya.
7. Hazairin (Indonesia) dalam ” KESUSILAAN DAN HUKUM”, 1952, mengatakan:
Adat adalah renapan kesusilaan dalam bermasyarakat............hukum berurat kepada
kesusilaan.
8. Mochtar Kusumaatmadja (Indonesia) dalam ”HUKUM. MASYARAKAT DAN PEMBINAAN
HUKUM NASIONAL” (1976: 15) mengatakan:
Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai
suatu perangkat kaidah da asas- asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes0
yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.

Dari beberapa contoh definisi tentang hukum di atas, tampak bahwa usaha untuk merumuskan
pengertian hukum dalam sebuah definisi hingga sekarang belum menghasilkan jawaban yang
dapat diterima umum. Perbedaan dalam perumusan definisi hukum itu disebabkan oleh perbedaan
sudut pandangan dari mana pertanyaan tentang arti hukum itu didekati. Perbedaan sudut
pandangan ini terutama dipengaruhi oleh perbedaan dalam pengalaman dan lingkungan hidup
masing- masing. Selain itu, juga dipengaruhi oleh perbedaan dalam pandangan hidup dan cara
berpikir yang dianut, serta oleh kenyataan bahwa hukum itu, sebagai cara pengaturan pelbagai
bidang kehidupan manusia, mencakup bidang yang sangat luas. Karena mencakup bidang
kehidupan manusia yang sangat luas dan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan
kebudayaan dan peradaban manusia, maka sangat sulit untuk merumuskan hukum dalam sebuah
definisi yang pendek.
Setiap orang dapat memiliki persepsi dan definisi sendiri tentang hukum, sangat tergantung pada
pengalamannya saat berhubungan dengan hukum. Oleh karena itu sampai kapanpun tidak mungkin
diperoleh jawaban yang sama tentang pengertian dari hukum, bahkan diantara para ahli hukum.
Setiap kita menemukan atau menghadapi definisi tentang hukum yang paling penting adalah
berusaha memahami latar belakangnya mengapa seseorang memberikan pengertian atau definisi
demikian. Dari contoh di atas definisi dari Rudolph van Jhering sangat berbeda dengan definisi
dari Oliver Wendel Holmes Jr karena mereka hidup di negara dengan sistem hukum yang berbeda.
Jhering merupakan orang Jerman yang menganut civil law system yang mengakui perundang-
undangan (yang dibuat negara) sebagai sumber hukum utama. Sedangkan Holmes Jr adalah
seorang hakim agung di Amerika Serikat yang menganut common law system yang mengakui
putusan pengadilan atau yurisprudrensi sebagai sumber hukum utama. Dengan menelusuri latar
belakangnya kita menjadi dapat memahami suatu definisi tentang hukum. Memahami tidak berarti
harus menyetujui.

31
Dari uraian tadi, tampak bahwa pertanyaan ”Quid ius ?” pada dasarnya tidak dapat dijawab dengan
satu jawaban yang sama. Karena itu, orang menggeser pertanyaannya dari ”Quid ius ?” menjadi
”Quid iuris ?”, yang berarti ”apa yang di sini sekarang berlaku sebagai hukum ?”, atau ”apa
yang berlaku sebagai hukum positif ?” Usaha untuk menjawab pertanyaan ini pun telah
menghasilkan pelbagai jawaban yang berbeda. Dari jawaban yang berbeda-beda tersebut dapat
dikelompokkan menjadi jawaban:
1) Kelompok yang berpendapat bahwa yang berlaku sebagai hukum hanya peraturan
perundang-undangan, kelompok ini disebut sebagai penganut Aliran Legisme.
2) Kelompok yang berpendapat bahwa yang berlaku sebagai hukum adalah hanya apa yang
diputuskan oleh pengadilan dalam kasus konkrit, kelompok ini disebut sebagai penganut
Aliran Hukum Bebas (freie rechtslehre).
3) Kelompok yang berpendapat bahwa yang berlaku sebagai hukum bisa berasal dari
beberapa hal: peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, bahkan kebiasaan.
Kelompok ini disebut sebagai penganut Aliran Modern,

Ketiga aliran tersebut sering disebut sebagai aliran-aliran besar dalam hukum karena sangat kuat
mempengaruhi cara berpikirnya para ahli hukum dan sangat mempengaruhi corak hukum negara-
negara di dunia. Ketiga aliran tersebut secara kronologis muncul berurutan dalam sejarah, bahkan
aliran yang satu merupakan reaksi terhadap suatu keadaan atau aliran yang lain.

Aliran Legisme
Pada abad 18 di Eropa timbul sebuah aliran yang dalam menjawab pertanyaan ”Quid iuris?”
sampai pada jawaban bahwa hukum yang berlaku adalah keseluruhan perundang- undangan yang
sudah ada. Aliran ini terkenal dengan nama Aliran Legisme. Menurut aliran ini, hukum itu identik
dengan undang- undang. Yang dimaksud dengan undang- undang di sini adalah perundang-
undangan, yakni peraturan tertulis yang dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditentukan untuk pembuatan peraturan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu dan
dirumuskan dalam bentuk yang telah ditentukan untuk itu.
Aliran Legisme ini timbul sebagai reaksi terhadap paham Absolutisme di Eropa yang telah
menimbulkan ketidakpastian hukum dan kemelaratan. Dalam paham Absolutisme, maka hukum
itu adalah pernyataan kehendak dari penguasa. Pokok- pokok ajaran Aliran Legisme adalah
sebagai berikut :
1. Hukum terbentuk semata- mata melalui proses perundang- undangan.

2. Kebiasaan hanya akan memiliki kekuatan sebagai hukum jika secara tegas (eksplisit) oleh
undang-undang dinyatakan sebagai peraturan hukum. Tentang hal ini di Indonesia (dan
Belanda) dapat dibaca dalam pasal 15, 20 dan 21 A.B. (Algemene Bepalingen van
Wetgeving = Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan).

3. Para hakim terikat pada undang- undang. Peradilan adalah penerapan ketentuan undang-
undang secara mekanis pada kasus- kasus (peristiwa- peristiwa) konkret. Jadi, dalam
32
menyelesaikan suatu kasus konkret, maka kasus konkret tersebut disubsumsi pada
ketentuan undang- undang yang sesuai dengan kasus konkret tersebut; cara berpikir
(metode penyelesaian) yang digunakan adalah silogisme. Montesquieu dalam bukunya
yang berjudul ”l’ESPRIT E LOIS” (Jiwa undang- undang) mengatakan bahwa hakim itu
adalah ’ la bouche de la lois” (mulut undang- undang).

4. Sangat menitik-beratkan pada tujuan hukum untuk menciptakan dan menjamin kepastian
hukum (rechtszekerheid).

Aliran Legisme ini berpengaruh sangat kuat hingga permulaan Abad 20 sebagaimana dapat dilihat
pada pertimbangan dan putusan dalam Zutphense Waterleiding Arrest (1910),13 sebagai berikut:
Kasus posisi (duduk perkara) dari Arres Pipa Airledeng (”Zutphense Waterleidingarrest”, HR 10-
6-1910) itu adalah sebagai berikut :
1. Di kota Zutphen terdapat sebuah rumah berlantai dua. Lantai pertama digunakan sebagai
gudang untuk menyimpan kulit oleh Nyhof, sedangkan lantai kedua disewa oleh nona De
Vries sebagai tempat tinggal.

2. Kran utama pipa air ledeng dalam rumah itu terletak pada lantai dua.

3. Pada suatu malam yang dingin di bulan Januari 1909, pipa air ledeng dalam gudang kulit
(pada lantai satu dari rumah itu) pecah. De Vries menolak permintaan Nyhof untuk menutup
kran utama, sehingga sebagian besar dari kulit di gudang itu rusak karena terendam air.

4. Kerugian Nyhof ditanggung oleh perusahaan asuransi. Kemudian perusahaan asuransi


tersebut menuntut ganti rugi kepada De Vries lewat pengadilan ex (berdasarkan) pasal 1401
BW (= pasal 1365 KUHPerd).

Perkara ini pada akhirnya sampai pada tingkat pemeriksaan kasasi di Hoge Raad Belanda.
Dalam putusan (arrest) tertanggal 6 Juni 1910, Hoge Raad memutuskan menolak gugatan
perusahaan asuransi tersebut, dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Kerugian yang dikemukakan oleh penggugat, yakni perusahaan asuransi itu, memang
benar-benar terjadi (terbukti).
2. Kerugian itu terjadi sebagai akibat dari terendamnya kulit oleh air yang berasal dari
pipa air ledeng yang pecah.
3. Pecahnya pipa air ledeng tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada siapa pun.
4. Kerugian yang dialami penggugat memang dapat dikurangi, jika kran utama ditutup
tepat pada waktunya.
5. Sebaliknya, di dalam perundang-undangan tidak terdapat satu pun ketentuan yang
mewajibkan tergugat (penghuni rumah lantai dua) untuk menutup kran utama.

13
Arrest adalah putusan Hoge Raad / Mahkamah Agung Belanda.

33
6. Karena itu, penghuni rumah lantai dua tersebut tidak melanggar hak orang lain dan juga
tidak melanggar kewajiban hukum yang ditetapkan oleh undang-undang kepadanya.
7. Dengan demikian, penghuni rumah lantai dua itu tidak melakukan perbuatan
melanggar hukum.
8. Karena itu, gugatan harus ditolak.

Pertimbangan Hoge Raad dalam kasus Pipa Airledeng itu jelas memperlihatkan jalan pikiran yang
dipengaruhi Ajaran Legisme. Keputusan tersebut menimbulkan reaksi yang hebat dari pelbagai
pihak karena dianggap menimbulkan ketidakadilan. Timbul usaha-usaha untuk mengganti
rumusan pasal 1401 BW atau 1365 KUHPerd tersebut dengan rumusan lain. Namun, usaha itu
selalu gagal.
Sebenarnya, kalangan perguruan tinggi dan ilmuwan hukum di Belanda sudah lama mengusulkan
perubahan terhadap pasal 1401 BW itu.14 Semua usaha itu tidak berhasil mempengaruhi para
Pembuat Undang-undang. Sementara itu perkembangan pemikiran tentang hukum berkembang
terus. Perkembangan pemikiran tentang hukum disebut sosialisasi hukum (socialisering van het
recht)15. Kritik yang keras terhadap aliran legisme tersebut tidak serta merta menjadikan aliran
legisme ini ditinggalkan. Tentang hal tersebut kita bisa amati dalam pertimbangan dan putusan
dalam Drukkersarrest atau Drukpers-arrest atau yang dikenal juga dengan Lindenbaum-Cohen
Arrest (1919), sebagai berikut:
Kasus posisi perkara Lindenbaum – Cohen adalah sebagai berikut :

 Lindenbaum dan Cohen adalah pemilik-pemilik perusahaan percetakan yang bersaing.


Dalam persaingan itu, Cohen menyogok pegawai Lindenbaum untuk memberikan
kepadanya informasi tentang perusahaan Lindenbaum, khususnya tentang daftar harga dan
langganan (spionase perusahaan).
 Setelah mengetahui hal ini, Lindebaum menuntut ganti rugi ex pasal 1401 BW (1365
KUHPerd). (ex = berdasarkan).

Gerechtshof Amsterdam menolak tuntutan ganti rugi, dengan pertimbangan bahwa betul
pegawai Lindenbaum telah melanggar kewajiban hukumnya (pasal 1639d dan 1639p sub 9 BW),
tetapi Cohen tidak.
Pertimbangan dan putusan hakim Gerechtshof Amsterdam ini nyata-nyata masih dipengaruhi
pimikiran aliran legisme, meskipun diambil pada tahun 1919 (artinya 9 tahun setelah aliran
legisme mendapat kritik keras sejak 1910). Perkembangan pemikiran dalam bidang hukum ini

14
Tokoh-tokohnya a.l. H.J. Kist (OVER DE VERBINTENIS DIE UIT ONRECHTMATIGE DAAD ONTSTAAN,
disertasi, 1861), G. Belifante (dalam THEMIS, 1865), W. Thorbeck (IETS OVER DE VERBINTENIS TOT
SCHADEVERGOEDING WEGENS ONRECHTMATIGE DAAD, disertasi, 1867), dan yang paling berpengaruh
W.L.P.A. Molengraaff (DE “ONEERLIJKE CONCURRENTIE” VOOR HET FORUM VAN DEN
NEDERLANDSCHEN RECHTER, dalam majalah RECHTSGELEERD MAGAZIJN, 1887).
15
Tokoh-tokohnya a.l. H.L. Drucker, Ph.A.N. Houwing, W.L.P.A. Molengraaff.

34
akhirnya mempengaruhi Hoge Raad sebagaimana tampak dalam arrest H.R. 31 Januari 1919,
sebagai berikut:
 Hoge Raad dalam putusan tanggal 31 Januari 1919 menyatakan Cohen bersalah dan
mewajibkannya membayar ganti rugi kepada Lindenbaum.
 Di dalam pertimbangannya, Hoge Raad mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
”perbuatan melanggar hukum” (onrechtmatige daad) adalah perbuatan atau kealpaan yang:
1. melanggar hak orang lain sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang;
2. bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelaku sebagaimana yang ditetapkan oleh
undang-undang;
3. bertentangan dengan kesusilaan;
4. bertentangan dengan keseksamaan yang layak dalam pergaulan antarmanusia
terhadap orang lain atau benda milik orang lain.

Dari putusan Hoge Raad tahun 1919 itu tampak bahwa dalam hukum juga digunakan ukuran-
ukuran yang termasuk dalam bidang kesusilaan. Perbuatan yang melanggar kesusilaan
dikualifikasi sebagai melanggar hukum, artinya hukum tidak semata-mata berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang tertulis. Hal ini karena praktek kehidupan hukum
memperlihatkan kenyataan kemasyarakatan yang berbeda dengan ajaran Legisme. Praktek hukum
menunjukkan bahwa di dalam masyarakat tumbuh kenyataan-kenyataan kemasyarakatan dan
kebutuhan hukum yang tidak atau belum ada pengaturannya secara eksplisit di dalam perundang-
undangan. Kenyataan dan kebutuhan itu dalam dinamika kehidupan bermasyarakat memunculkan
kaidah-kaidah yang oleh para anggota masyarakat dirasakan sebagai hukum, dan oleh hakim
diterapkan sebagai hukum, sekalipun tidak ada pengaturannya di dalam perundang-undangan.
Akan tetapi apakah setelah arrest 1919 aliran legisme benar-benar ditinggalkan? Ternyata tidak.
Hal tersbut dapat kita lihat dalam pertimbangan dan putusan ”Bierbrouwerij Arrest” (Arrest
Perusahaan Bier), H.R. 25 Januari 1929, sebagai berikut:
Kasus-posisi perkara Perusahaan Bier tersebut adalah sebagai berikut:
 Pada tanggal 8 Agustus 1924, P. Bos, seorang pemilik restoran atau warung kopi
(koffiehuis) di Sneek, memperoleh pinjaman dari Pabrik Bier Heineken sebesar f. 6.000,-
dengan jaminan hipotek ke 4. Untuk memperkuat jaminan utang itu, maka diadakan
perjanjian jual-beli barang inventaris restoran milik Bos kepada Heineken seharga f.
2.000,-, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Bos tidak akan menuntut pembayaran jual-beli inventaris restoran sebelum ia melunasi
utangnya kepada Heineken.
b. Heineken meminjam-pakaikan inventaris tersebut kepada Bos.
c. Bos berhak membeli kembali barang inventaris tersebut jika utangnya (yang f. 6.000,-
itu) sudah dilunasi.
d. Hak membeli kembali itu akan hilang, jika hubungan pinjam-pakai barang inventaris
itu diputuskan dan kemudian dijual oleh Heineken kepada orang lain.
e. Hubungan pinjam-pakai barang inventaris itu hanya dapat diputuskan jika Bos
melalaikan kewajiban yang ditimbulkan oleh utang kepada Heineken, atau jika Bos
dinyatakan pailit.

35
 Tanggal 18 Agustus 1924, Bos dinyatakan pailit (= oleh pengadilan dinyatakan tidak
mampu lagi membayar utang-utangnya; bila seseorang dinyatakan pailit, maka pengadilan
yang bersangkutan akan menunjuk seorang kurator yang mewakili kepentingan orang yang
dinyatakan pailit dan para krediturnya, dan orang yang dinyatakan pailit itu disebut
kurandus).
 Setelah Bos dinyatakan pailit, Heineken menyatakan bahwa hubungan pinjam-pakai
(bruiklening) inventaris restoran dengan Bos diputuskan, dan meminta kepada kurator agar
menyerahkan inventaris itu kepadanya.
 Kurator menolak permintaan Heineken. Karena itu, Heineken menuntut ke Pengadilan
disertai dengan tuntutan sita revindikator atas barang inventaris restoran tersebut.

Pertimbangan dan putusan Hakim pada Pengadilan tingkat Pertama, Rechtsbank di Leeuwaarden
(4 November 1926) : Menolak tuntutan Heineken dengan pertimbangan:
a. Perjanjian jual-beli yang terjadi adalah suatu perbuatan hukum semu (schijnhandeling);
b. Sebenarnya para pihak bermaksud melakukan perjanjian gadai;
c. Perjanjian gadai itu dinyatakan tidak sah dan dianggap tidak ada karena bertentangan
dengan pasal 1198 ayat 2 BW (ps. 1152 KUHPerd.).

Pertimbangan dan putusan Hakim di Pengadilan tingkat Banding, Gerechtshof di Leeuwaarden


(18 Januari 1928) : Membatalkan vonis Pengadilan tingkat Pertama, dan Mengabulkan tuntutan
Heineken dengan pertimbangan :
a. Pengadilan tingkat Pertama melanggar atau keliru menerapkan pasal-pasal yang
digunakannya (termasuk ps. 1198 BW) dengan mempersoalkan keabsahan perjanjian
antara Heineken dan Bos;
b. Perjanjian jual-beli antara Heineken dan Bos adalah sah.

Di tingkat kasasi, Hoge Raad di Den Haag (25 Januari 1929) memberikan pertimbangan sebagai
beikut:

a. Perjanjian jual-beli inventaris restoran dimaksudkan hanya untuk memperoleh lebih


banyak jaminan bagi utang Bos (pinjaman uang);
b. Inventaris restoran Bos dijadikan jaminan bagi utang Bos (f. 6.000,-) kepada Heineken; ini
adalah ”sebab” (yang berarti tujuan) dari diadakannya perjanjian ”jual-beli” tersebut;
c. Tujuan perjanjian tersebut tidak dilarang oleh undang-undang (niet ongeoorloofd);
d. Tujuan itu secara langsung tidak bertentangan dengan undang-undang;
e. Dalam perjanjian tersebut tidak terjadi tindakan ”wetsontduiking” (penyelundupan
undang-undang).
f. Dalam perjanjian tersebut tidak terdapat hal yang bertentangan dengan kesusilaan (goede
zeden).

Dengan pertimbangan seperti yang dikemukakan di atas, Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda)
menegaskan bahwa yang sesungguhnya telah terjadi adalah pinjam-meminjam uang dengan
jaminan berupa benda bergerak yang bukan hubungan gadai. Hubungan utang-piutang yang
demikian itu dinamakan ”FIDUCIA” (FIDUCIAIRE EIGENDOMSOVERDRACHT) atau

36
PENYERAHAN HAK MILIK SEBAGAI JAMINAN UTANG (Eigendomsoverdracht tot
zekerheid). Pada saat itu tentang Fiducia ini belum ada pengaturannya secara tertulis (belum ada
undang-undangnya). Namun di dalam praktek sebagaimana yang tampak dalam yurisprudensi
diakui sebagai lembaga hukum, dan oleh masyarakat memang dirasakan sebagai hukum. Perkataan
”fiducia” secara harafiah berarti ”kepercayaan”. Sehingga sejak saat itu secara hukum dikenal ada
tiga jenis jaminan yang sah yaitu: hipotik, gadai, dan fidusia. Hipotik dan gadai adalah lembaga
jaminan yang diciptakan atau diatur dalam undang-undang, sedangkan fiducia merupakan lembaga
jaminan yang diciptakan doleh pengadilan (tidak berdasarkan undang-undang). Berdasarkan
perkembangan dalam yurisprudensi yang semakin konsisten dan mantap tentang kaidah-kaidah
yang mengatur jaminan fidusia tersebut maka saat ini telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Apabila kita analisis pertimbangan dan putusan hakim tingkat pertama tersebut masih dipengaruhi
aliran legisme karena menilai keabsahan perbuatan para pihak semata-mata hanya berdasarkan
kategori atau kualifikasi yang dikenal diatur dalam undang-undang yaitu jaminan gadai. Oleh
karena itu dinyatakan sebagai bukan gadai yang sah secara huku karena tidak sesuai dengan
ketentuan undang-undang. Padahal putusan ini diambil tahun 1926, artinya 16 tahun setelah kritik
terhadap legisme, dan 7 tahun setelah putusan Hoge Raad dalam kasus Lindenbaum-Cohen tahun
1919 yang sudah meninggalkan aliran legisme. Meskipun putusannya bertolak belakang tetapi
pertimbangan dan putusan hakim tingkat banding juga masih dipengaruhi aliran legisme karena
menilai keabsahan perbuatan para pihak semata-mata berdasarkan bentuk formal perjanjian
diantara para pihak, dengan mengabaikan maksud sebenarnya dilakukannya perbuatan tersebut.
Oleh karena dinilai sebagai perbuatan jual beli maka perbuatan para pihak dianggap sah, meskipun
sebenarnya para pihak tidak bermaksud untuk melakukan jual beli. Padahal putusan ini diambil
tahun 1928, artinya 18 tahun setelah kritik terhadap legisme, dan 9 tahun setelah putusan Hoge
Raad dalam kasus Lindenbaum-Cohen tahun 1919 yang sudah meninggalkan aliran legisme
Pertimbangan dan putusan Hoge Raad 1929 yang secara konsisten menunjukkan sikap untuk
meninggalkan aliran legisme dengan mengakuinya kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari luar
undang-undang.
Dengan menelusuri perkembangan putusan-putusan pengadilan tersebut kita dapat menarik suatu
pendapat bahwa ajaran Legisme tidak dapat dipertahankan sepenuhnya. Akan tetapi ternyata
pengaruh aliran legisme tidak sama sekali hilang, bahkan dapat dikatakan sampai saat ini masih
sangat kuat mempengaruhi pemikiran para sarjana hukum di Indonesia. Mereka pada umumnya
menyangkal sebagai pengikut aliran legisme, akan tetapi cara berpikirnya sebenarnya masih
dipengaruhi aliran legisme. Beberapa hal yang dapat diajukan untuk mendukung pendapat tersebut
diantaranya:

 Pasal 1 ayat (1) KUHP hanya mengakui perundang-undangan sebagai dasar untuk
menjatuhkan pidana (asas legalitas). Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini benar-
benar merupakan ”anak kandung” aliran legisme. Ternyata banyak ahli hukum yang
menentang rencana untuk memperbaharui KUHP dengan merumuskan bahwa selain
hukum tertulis, hukum tidak tertulis juga dapat berlaku sebagai dasar menjatuhkan pidana.
 Kasus Nenek Minah yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana melakukan tindak
pidana pencurian berdasarkan Pasal 362 KUHP karena perbuatannya mengambil beberapa

37
batang pohon kakao semata-mata karena perbuatannnya mencocoki atau memenuhi
rumusan Pasal 362 KUHP (PN Banyumas, 2009). Padahal perbuatan nenek Minah tersebut
menurut kebiasaan dalam masyarakat desa yang agraris-komunal (baca: menurut hukum
tidak tertulis) merupakan perbuatan yang lazim dilakukan, dapat diterima, dan tidak
disebut sebagai pencurian.

Aliran Hukum Bebas (FreirechtsLehre)


Karena kelemahan-kelemahan pemikiran dalam aliran legisme, maka sebagai reaksinya timbul
aliran hukum yang disebut Aliran Hukum Bebas atau ”FREIRECHTSLEHRE”, yang juga sering
disebut aliran ”INTERESSENJURISPRUDENZ”. Aliran ini berpendapat bahwa undang-undang
tidak pernah lengkap. Karena itu, undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum. Tujuan
hukum adalah semata-mata mewujudkan keadilan. Yang dimaksud dengan keadilan di sini adalah
kegunaan sosial atau manfaat sosial yang sebesar-besarnya. Karena itu, para hakim dan pejabat
lain memiliki kebebasan yang luas dalam menemukan hukum. Jika perlu, hakim dan pejabat lain
dapat menyimpang dari undang-undang. Artinya, hakim dan pejabat lain itu memiliki
”FREIESERMESSEN”, yakni kebijaksanaan untuk mengambil keputusan yang dianggapnya
perlu untuk mewujudkan manfaat sosial sebesar-besarnya. Tokoh aliran Freirechtslehre a.l. :
Hermann Kantorowicz (Gnaeus Flavius) dan Ernst Fuch.

Pokok-pokok ajaran Aliran Freirechtslehre adalah :

1. Hukum hanya terbentuk oleh peradilan (rechtsspraak).


2. Undang-undang dan kebiasaan hanyalah sarana pembantu bagi hakim dalam menemukan
hukum untuk menyelesaikan perkara-perkara atau kasus-kasus konkret; undang-undang
atau kebiasaan hanya berfungsi sebagai ”frame of reference” atau kerangka orientasi.
3. Titik berat dalam mewujudkan hukum adalah kegunaan sosial (sociale doelmatigheid).

Terhadap aliran Freirechtslehre diajukan kritik bahwa jalan pikiran aliran ini dapat mengakibatkan
ketidak-pastian hukum, sebab jika terlalu menitik beratkan faktor kegunaan sosial, maka aspek
kepastian hukum akan terabaikan. Sedangkan unsur atau aspek kepastian ini adalah unsur yang
sangat penting, baik untuk menegakkan ketertiban hukum maupun untuk mewujudkan keadilan.

Aliran Modern
Karena aliran Legisme dan aliran Freirechtslehre masing-masing memperlihatkan kelemahan yang
menyebabkan aliran-aliran itu sukar untuk diterima, maka dalam dunia Ilmu Hukum muncul aliran
baru yang dapat disebut Aliran Modern. Aliran Modern ini dapat dipandang sebagai sintesa dari
Aliran Legisme dan Aliran Freirechtslehre (Aliran Hukum Bebas).
Pokok-pokok ajaran Aliran Modern :

1. Hukum terbentuk melalui beberapa cara.


2. Pertama-tama hukum terbentuk sebagai hasil karya pembuat undang-undang (wetgever).
Pembentuk undang-undang menetapkan aturan-aturan umum. Sehubungan dengan produk
perundang-undangan ini, maka hakim harus menerapkan undang-undang.

38
3. Penerapan undang-undang tidak dapat berlangsung secara mekanis, yakni hanya dengan
cara subsumsi kasus pada aturan; penerapan undang-undang sering menuntut penafsiran
(interpretasi), dan karena itu bersifat kreatif. Subsumsi artinya meletakkan suatu kasus di
bawah suatu aturan, dan berdasarkan kecocokan antara kasus dan aturan tersebut dibuat
sebuah keputusan yang sesuai dengan apa yang tercantum dalam aturan itu.
4. Perundang-undangan (wetgeving) tidak pernah dan tidak mungkin lengkap sempurna;
perundang-undangan sering menggunakan istilah-istilah yang kabur. Karena itu, hakim
harus atau bertugas untuk menentukan arti istilah-istilah yang kabur dan mengisi
kekosongan (leemte) dalam undang-undang.
5. Di samping oleh undang-undang dan peradilan, hukum juga terbentuk melalui kebiasaan
(gewoonte).
6. Kasasi berfungsi untuk memelihara kesatuan hukum atau ”rechtseenheid”. Dalam
pemeriksaan kasasi, tugas atau apa yang dilakukan oleh hakim adalah menentukan apakah
pengadilan yang lebih rendah dalam menyelesaikan suatu perkara telah menggunakan
peraturan yang benar atau tidak, dan kemudian menentukan apakah cara penggunaan
aturan yang digunakan oleh hakim yang lebih rendah itu sudah benar atau tidak. Secara
harafiah, ”mengkasasi” artinya ”menolak”.

Dalam praktek kehidupan hukum, Aliran Modern ini telah mempengaruhi yurisprudensi, a.l.
seperti yang tampak dalam Arrest Cohen-Lindenbaum (H.R. 31 Januari 1919) dan Bierbrouwerij-
Arrest. Dalam bidang perundang-undangan, pengaruh Aliran Modern ini misalnya tampak dalam
pasal 1 Schweizerisches Zivilgesetzbuch (Kitab Undang-undang Hukum Perdata Swiss), tahun
1912 yang menetapkan : ”Setiap undang-undang berlaku untuk semua persoalan hukum, sejauh
undang-undang tersebut memuat ketentuan untuk itu, sebagaimana yang dapat dimengerti secara
harafiah atau lewat penafsiran. Bila dalam undang-undang tidak terdapat ketentuan yang
diperlukan, hakim akan memutuskan persoalan itu dengan mendasarkan diri pada hukum
kebiasaan, dan bila hal ini juga tidak mungkin, maka ia akan bertindak sebagai pembentuk undang-
undang. Dalam hal yang terakhir ini ia berpedoman pada ajaran-ajaran dan preseden-preseden
yang sudah teruji.” Tokoh Aliran Modern a.l. : Paul Scholten, W. L. P. A. Molengraaff.

Dari aliran-aliran yang mencoba menjawab pertanyaan ”Quid iuris?”, tampak bahwa usaha-usaha
tersebut telah menghasilkan pelbagai jawaban yang berbeda. Kebenaran dari masing-masing
jawaban tersebut tampak sangat terikat pada faktor waktu atau zaman. Dengan kata lain, aliran-
aliran itu juga belum mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Tampaknya jawaban yang
memuaskan tidak akan pernah dihasilkan. Karena itu, untuk mempelajari hukum secara ilmiah,
akan lebih baik jika kita berusaha untuk memperoleh gambaran sejelas mungkin tentang
pengertian hukum katimbang berusaha merumuskan sebuah definisi tentang hukum. Untuk itu,
kita akan mempelajari beberapa aspek dari hukum, yakni : tujuan hukum, hubungan sikap batin
dan hukum, kesadaran hukum, sanksi hukum atau hubungan antara hukum dan kekuasaan,
perbedaan serta hubungan antara kaidah hukum dan kaidah bukan hukum.

39
BAB V

TUJUAN HUKUM16

Tentang tujuan hukum, seperti juga tentang pelbagai aspek lain dari hukum, terdapat banyak
pendapat atau teori. Namun, dalam pelbagai pendapat atau teori tentang tujuan hukum itu dapat
kita temukan adanya dua teori dasar tentang tujuan hukum yang melandasi pelbagai teori atau
pendapat yang dimaksud tadi, yakni teori etis dan teori utilitas. Teori-teori yang lainnya itu
merupakan varian atau kombinasi dari teori etis dan/atau teori utilitas. Rumusan tujuan hukum
menurut suatu teori sangat erat atau bahkan berhubungan secara timbal balik dengan suatu aliran
yang telah dipelajari pada bab sebelumnya.

1. Teori etis

Teori etis berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan
(rechtsvaardigheid atau gerechtigheid, justice). Yang pertama mengemukakan teori etis
adalah Aristoteles dalam buku ”ETHICA NICOMACHEA” dan ”RHETORICA”.

Menurut Aristoteles, keadilan berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
bagian atau haknya (ius suum cuique tribuere). Bagian atau hak setiap orang itu tidak selalu
sama. Jadi keadilan tidak selalu berarti bahwa tiap orang memperoleh hak atau bagian yang
sama. Dengan kata lain adil adalah memperlakukan hal yang sama secara sama, dan
memperlakukan hal yang berbeda secara berbeda. Sebaliknya ketidakadilan terjadi pada saat
memperlakukan hal yang sama secara berbeda dan memberi perlakuan sama terhadap hal yang
berbeda.

Aristoteles membedakan adanya dua jenis keadilan, yakni keadilan distributif dan keadilan
komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang bagian
atau jatah yang sesuai dengan jasanya. Yang menjadi asas pada keadilan distributif bukanlah
persamaan bagian, melainkan kesebandingan. Keadilan distributif adalah asas yang
menguasai atau mengatur hubungan antara warga masyarakat dengan masyarakat sebagai
kesatuan (negara). Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang
bagian yang sama banyak tanpa memperhatikan jasanya. Yang menjadi asas dalam keadilan
komutatif adalah asas persamaan. Keadilan komutatif adalah asas yang menguasai atau
melandasi hubungan antarwarga masyarakat secara perseorangan, misalnya dalam hubungan
jual-beli atau tukar menukar.

Teori etis ini bekerja dengan pendekatan yang mengidividualisasi yakni bahwa untuk setiap
hal atau peristiwa harus ditetapkan sendiri bagaimana hukumnya. Terori ini menolak cara
berpikir yang menggeneralisasi, karena dengan menggenarilasi berarti memperlakukan secara
sama terhadap hal atau peristiwa yang berbeda. Hal demikian dianggap sebagai suatu

16
Untuk memahami isi bab ini secara lebih lengkap, Mahasiswa wajib mempelajari pula tulisan J. E. Spruit tentang
Tujuan Hukum, yang terjemahannya terlampir pada Lampiran 5 buku ini.

40
ketidakadilan. Sebagai konsekwensinya teori etis akan menolak perundang-undangan sebagai
sumber hukum karena perundang-undangan selalu mengatur dengan menggeneralisasi. Oleh
karena itu pada umumnya teori etis ini didukung para penganut aliran hukum bebas.

2. Teori Utilitas

Hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau berguna (doelmatig) bagi
orang, yakni mewujudkan kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi sebanyak mungkin orang.
Hanya dalam ketertiban setiap orang mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan
sebanyak-banyaknya. Tujuan seperti itu hanya dapat diwujudkan kalau hukum dapat
menciptakan ketertiban masyarakat. Untuk mewujudkan masyarakat yang tertib diperlukan
kaidah hukum yang ditetapkan dalam perundang-undangan dan dilaksanakan secara
konsisten. Karena itu, teori ini sangat mementingkan faktor kepastian hukum yang
memerlukan adanya peraturan-peraturan yang berlaku umum. Karena sangat mementingkan
kepastian hukum, maka berlakulah ungkapan ”lex dura, sed tamen scripta” (terjemahan
bebas: hukum itu seringkali dirasakan keras/kejam, tetapi memang begitulah bunyinya). Pada
umumnya teori utilitas ini didukung para penganut aliran legisme. Pelopor teori utilitas adalah
Jeremy Bentham yang a.l. menulis buku ”INTRODUCTION TO THE PRINCIPLES OF
MORALS AND LEGISLATION” (1780).

3. Teori Pengayoman

Kedua teori di atas mengandung kelemahan yang sama, yakni terlalu berat sebelah. Karena
sangat mementingkan keadilan, maka teori etis mengabaikan kepastian hukum. Jika
kepastian hukum diabaikan, maka ketertiban terganggu. Justru hanya dalam ketertiban
keadilan dapat diwujudkan dengan baik. Jika tujuan hukum hanya didasarkan pada teori etis,
maka akan berlaku ungkapan ”summum ius summa inuria” (terjemahan bebas: kepastian
hukum tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi). Sebaliknya, teori utilitas mengabaikan
keadilan. Jika keadilan diabaikan, maka hukum akan identik dengan kekuasaan padahal
keadilan adalah inti dari hukum. Ada ungkapan ”ius quia iustum” (terjemahan bebas: menjadi
hukum karena adil, maka kalau tidak adil ia bukan hukum) dan ”iustum est lex legum”
(terjemahan bebas: keadilan adalah hukumnya hukum). Tentang kritik terhadap teori etis dan
teori utilitas, silakan baca buku karya Apeldoorn.
Sehubungan dengan kelemahan kedua teori itu tadi, maka banyak penulis berusaha
mengkombinasikan kedua teori itu, misalnya Apeldoorn, Bellefroid, van Kan, Subekti.

Menurut teori pengayoman hukum bertujuan untuk memberikan pengayoman atau untuk
mengayomi manusia, yang berarti melindungi manusia dalam arti pasif dan aktif.
Melindungi secara pasif artinya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak.
Melindungi secara aktif artinya meliputi pelbagai usaha untuk menciptakan kondisi
kemasyarakatan yang membuka jalan seluas mungkin serta mendorong manusia untuk terus
menerus memanusiakan diri. Maksudnya, hukum bertujuan untuk menciptakan kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan proses-proses kemasyarakatan
berlangsung secara wajar, sehingga secara adil setiap manusia memperoleh kesempatan yang
luas untuk mengembangkan seluruh potensi (bakat dan kemampuan) kemanusiaannya secara
utuh.

41
Termasuk dalam pengertian rumusan tadi adalah tujuan untuk memelihara dan
mengembangkan budi pekerti kemanusiaan serta cita-cita moral rakyat yang luhur
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (lihat penjelasan UUD 1945). Usaha mewujudkan
pengayoman itu mencakup usaha mewujudkan :
1. ketertiban dan keteraturan.
2. kedamaian sejati (kedamaian yang berketenteraman).
3. keadilan yang meliputi : keadilan distributif, keadilan komutatif, keadilan vindikatif, dan
keadilan protektif.
4. kesejahteraan dan keadilan sosial.
5. pemeliharaan dan pengembangan akhlak (budi pekerti dan cita-cita moral yang luhur)
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kedamaian sejati akan terwujud bila para warga masyarakat dapat merasakan ketenteraman
di dalam batin. Ketenteraman akan ada jika para warga masyarakat merasa yakin bahwa :
a. kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada kekuatan belaka (fisik
maupun nonfisik).
b. sepanjang tidak melanggar hak dan merugikan orang lain. Tanpa rasa khawatir para warga
masyarakat :
1. secara bebas dapat menjalankan apa yang diyakininya sebagai benar.
2. secara bebas dapat mengembangkan bakat dan kesenangan-kesenangannya.
3. merasa selalu akan mendapat perlakuan secara wajar, berkemanusiaan, adil dan
beradab, juga pada waktu ia telah melakukan kesalahan.

Beberapa catatan:

Definisi umum tentang keadilan : ”Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique
tribuere”, artinya : keadilan adalah secara sukarela tetap dan terus menerus memberikan kepada
setiap orang apa yang sudah menjadi bagian atau haknya.
Keadilan komutatif adalah kesenilaian antara prestasi dan kontraprestasi (antara jasa dan imbalan
jasa) dalam hubungan antarwarga masyarakat.
Keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan (organisasi) masyarakat untuk memberikan
kepada para warga masyarakat beban sosial, fungsi-fungsi, imbalan, balas jasa dan kehormatan
secara proporsional atau seimbang sesuai dengan kecakapan dan jasanya.
Keadilan vindikatif adalah memberikan ganjaran atau hukuman yang sesuai dengan kesalahan
yang dilakukan.
Keadilan protektif adalah memberikan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang
pun akan mendapat perlakuan sewenang-wenang.

*************************

42
BAB VI

HUKUM
DAN
SIKAP BATIN

Dari uraian tentang tujuan hukum tampak bahwa kaidah-kaidah hukum bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang ideal. Masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tertib dan
tenteram. Ketertiban sosial diwujudkan melalui perilaku manusia dalam interrelasi dan
interaksi antar sesamanya. Karena itu, cara yang ditempuh oleh hukum untuk mencapai
tujuannya adalah dengan jalan mengatur perilaku manusia.

Jadi, setiap kaidah hukum memuat ketentuan tentang cara berperilaku. Mengatur cara berperilaku
itu diwujudkan melalui perintah-perintah dan larangan-larangan. Yang diperintahkan dan
yang dilarang itu adalah perilaku manusia. Pada prinsipnya hukum hanya bisa mengatur dan
mempedomani perilaku manusia.

Memerintah atau melarang suatu perilaku pada hakikatnya berarti meletakkan kewajiban-
kewajiban tertentu, yakni memberikan keharusan-keharusan. Memerintah berarti mewajibkan
untuk melakukan suatu perilaku. Malarang artinya mewajibkan untuk tidak melakukan perilaku
tertentu. Karena itu hukum disebut bersifat normatif.

Meletakkan kewajiban kepada orang tertentu selalu berarti memberikan hak kepada orang lain.
Karena setiap kaidah hukum juga selalu memberikan hak kepada setiap orang atau orang tertentu
dengan meletakkan kewajiban kepada orang atau orang-orang tertentu yang lain, maka hukum juga
disebut bersifat atributif.

Karena dengan meletakkan kewajiban-kewajiban itu hukum bertujuan untuk mewujudkan


ketertiban, maka yang menjadi sasaran dari tiap-tiap kaidah hukum adalah perilaku manusia.
Hukum tidak dapat mengatur (melarang atau memerintahkan) sikap batin. Sikap batin merupakan
suatu yang subyektif, ada pada diri seseorang. Orang lain tidak dapat mengetahui bagimana sikap
batin seseorang. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa sikap batin manusia sama sekali
tidak diperhitungkan, sebab pada dasarnya perilaku manusia mencerminkan sikap batin
(gezindheid) manusia yang bersangkutan. Bahkan dapat dikatakan, bahwa sikap batin adalah aspek
subjektif dari perbuatan manusia. Sedangkan perilaku adalah aspek obyektifnya. Jadi, perilaku dan
sikap batin adalah segi-segi (aspek-aspek) dari hal yang sama. Perilaku dan sikap batin adalah ”the
sides of the same coin” (sisi-sisi dari sekeping mata uang logam yang sama). Jadi, kedua hal itu
(perilaku dan sikap batin), walaupun dapat dibedakan dan bahkan harus dibedakan satu sama lain,
namun tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan. Dengan perkataan lain, perilaku itu adalah
manifestasi dari sikap batin.

Karena itu, hukum harus memberi tempat yang wajar pada sikap batin. Artinya, hukum juga harus
memperhitungkan sikap batin dalam menilai perbuatan manusia. Penilaian terhadap suatu

43
peristiwa hanya dari aspek obyektifnya atau perbuatanya saja tidak lengkap dan utuh dan dapat
menyesatkan. Banyak peristiwa yang apabila hanya dilihat dari perbuatan dan akibatnya sama
persis, akan tetapi secara hakiki sebenarnya beberapa peristiwa tersebut berbeda karena dilandasi
sikap batin yang berbeda. Secara teknis yuridis hukum seringkali memberikan kualifikasi yang
berbda atas perbuatan dan akibat yang sama karena adanya perbedaan sikap batin.

Perhatikan beberapa rumusan pasal dalam KUHP berikut ini sebagai ilustrasi:
 Pasal 338 KUHP: Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain dipidana karena
pembunuhan dengan pidana maksimum 15 tahun penjara.
 Pasal 351 ayat (3) KUHP: Penganiayaan yang menyebabkan matinya orang lain diancam
dengan pidana maksimum 7 tahun penjara.
 Pasal 359 KUHP: Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain
diancam dengan pidana maksimum 5 tahun penjara.

Apabila terjadi suatu peristiwa A mengemudi mobil dan menabrak B yang menyebabkan matinya
B, ketentuan mana yang sesuai untuk diterapkan terhadap peristiwa tersebut? Hanya dengan
menilai perbuatan (yaitu mengemudi dan menabrak) dan akibat (yaitu matinya B) kita belum bisa
menentukan ketentuan mana yang sesuai dengan peristiwa tersebut. Ketiga ketentuan di atas
merumuskan perbuatan dan akibat yang sama. Perbedaan dari ketiga ketentuan di atas adalah pada
bentuk sikap batin dari pelakunya: Pasal 338 KUHP mensyaratkan pelakunya memiliki sikap batin
sengaja (menghendaki) kematian korban, Pasal 351 ayat (3) KUHP mensyaratkan pelakunya
memiliki sikap batin sengaja menganiaya korban tetapi akibatnya korban mati (jadi pelaku tidak
memiliki kehendak untuk matinya korban), sedang Pasal 359 KUHP mensyaratkan pelakunya
memiliki sikap batin berupa kealpaan atau ketidakhati-hatian sehingga menyebabkan matinya
korban (matinya korban bukan suatu yang dikehendaki oleh pelaku). Oleh karena itu kita baru
akan bisa menentukan ketentuan yang tepat untuk diterapkan atas peristiwa tersebut apabila kita
juga sudah megetahui sikap batin pelaku. Bahkan dalam ilmu hukum pidana secara ketat berlaku
prinsip apabila tanpa kesalahan maka tidak dapat dipidana meskipun perbuatannya melanggar
hukum (asas culpabilitas = nulla poena sine culpa = tiada pidana tanpa kesalahan).

Demikian juga dalam bidang hukum perdata, orang dapat diminta pertanggungjawaban secara
hukum tidak semata-mata karena perbuatan mengakibatkan kerugian pada orang lain. Perhatikan
rumusan Pasal 1365 KUHPerdata sebagai berikut: ”Tiap perbuatan melanggar hukum yang
menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan
kerugian tersebut untuk mengganti kerugian tersebut.” Seseorang yang melakukan perbuatan
melanggar hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain dapat dihukum untuk membayar
ganti rugi hanya apabila pada dirinya ada kesalahan. Kesalahan adalah bentuk hubungan antara
sikap batin dan perbuatan. Hal ini disebut sebagai asas pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan
(liability based on fault). Apabila di bagian lain dimungkinkan ada pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability without fault) maka itu merupakan suatu pengecualian.

Dengan kata lain pada hukum yang pertama-tama dinilai adalah perilakunya, sedangkan sikap
batin akan turut dinilai hanya demi kepentingan kelengkapan dalam penentuan nilai
perbuatan seseorang secara menyeluruh (lengkap). Maksudnya, di dalam hukum maka sikap
batin seseorang dalam kenyataan yang sungguh-sungguh baru akan ikut dipertimbangkan jika
sudah terjadi tindakan yang bertentangan dengan hukum. Artinya, jika sudah terjadi tindakan

44
yang bertentangan dengan hukum, maka barulah akan diselidiki atau perlu ditentukan apakah
tindakan itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari sikap batin dari si pelaku.

Jadi, sikap batin bagi hukum baru akan mempunyai arti yang relevan jika sudah menjadi tindakan
yang melawan hukum. Sebaliknya selama sikap batin (niat) belum diwujudkan dalam bentuk
perilaku, maka selama itu belum timbul persoalan bagi hukum. Karena itu, niat jahat untuk
melakukan kejahatan yang belum diwujudkan dalam bentuk tindakan pelaksanaan belum dapat
dihukum. Dalam bahasa latin, asas ini diungkapkan dalam adagium : ”Cogitationis poenam nemo
patitur” (pikiran seseorang tidak dapat dihukum). Dalam bahasa Belanda : ”Gedachten zijn
tolvrij” (pikiran seseorang bebas dari pajak). Sebaliknya hukum tidak akan menyelidiki dan
menilai sikap batin sesorang apabila perbuatannya tidak melanggar hukum (taat). Dalam hukum
tidak relevan menilai sikap batin perbuatan yang taat terhadap hukum.

Bagaimana menilai sikap batin ?

Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa untuk meminta pertanggungjawaban
secara hukum tidak cukup apabila hanya dibuktikan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan
melanggar hukum (dan menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum). Seseorang dapat diminta
pertanggungjawaban hanya apabila pada dirinya ada kesalahan, yaitu perbuatannya merupakan
manifestasi dari sikap batinnya. Dengan demikian maka kesalahan atau sikap batin tersebut harus
dinilai dan dibuktikan. Bagaimana kita bisa menilai bentuk kesalahan atau sikap batin seseorang,
karena keslahan atau sikap batin bersifat subyektif, ada pada diri orang tersebut. Yang bisa dilihat,
didengar atau dialami orang lain adalah perbuatannya atau akibatnya. Dalam peristiwa ilustratif X
menampar Y saksi-saksi hanya melihat perbuatan menampar, mendengar suara tamparan, dan Y
mengalami kesakitan akibat ditampar. Tidak ada yang tahu bagaimana sikap batin X saat
menampar Y, kecuali X sendiri.

Pembuktian kesalahan atau sikap batin dalam hukum tidak boleh digantungkan pada pengakuan
pelaku, karena apabila pelaku tidak jujur (kecenderungannya akan demikian) maka hukum akan
salah menilai suatu peristiwa secara utuh. Perhatikan uraian tiga ketentuan dalam KUHP tentang
perbuatan yang menyebabkan matinya orang lain di atas, apabila bentuk kesalahan atau sikap batin
digantungkan pada pengakuan pelaku maka semua pelaku akan mengatakan bahwa ia alpa telah
melakukan perbuatan yang menyebabkan matinya orang lain supaya diterapi pasal 359 KUHP
yang ancamannya paling rendah. Tidak ada yang akan mengaku memiliki sikap batin sengaja
sehingga dapat diterapkan Pasal 338 KUHP. Dalam sejarah Hukum Acara Pidana pernah diatur
pengakuan pelaku sebagai alat bukti, akibatnya terjadi praktik penyiksaan dalam proses
penyidikan untuk memperoleh pengakuan pelaku.

Pembuktian kesalahan atau sikap batin tersebut harus diobyektifkan dan dinormatifkan
Diobyektifkan artinya dinilai atau disimpulkan dari fakta-fakta (perbuatan dan akibat) yang
obyektif. Dinormatifkan artinya keberadaan dan bentuk kesalahan atau sikap batin pelaku diukur
dan dinilai dengan menggunakan ukuran menurut orang pada umumnya. Dengan kata lain sikap
batin yang subyektif diukur menggunakan ukuran yang ada pada kepela orang pada umumnya.
Pada instansi terakhir ukuran menurut ”kepala” hakim yang diangap sebagai ukuran orang pada
umumnya. Dalam ilmu hukum ini disebut sebagai ajaran kesalahan normatif.

45
Ilustrasi sederhana ini dapat menjelaskan tentang hal tersebut. K dengan menggunakan pistol berisi
peluru menembak kepala L dari jarak satu meter. Akibatnya L meninggal dunia seketika. Dari
fakta-fakta tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa pasti pada diri si K ada sikap batin sengaja
untuk menimbilkan kematian pada L. Meskipun L mengatakan dia tidak sengaja menyebabkan
matinya L tetapi dari pengalaman orang pada umumnya dan menggunakan ukuruan orang pada
umumnya menembak dengan pistol dari jarak satu meter tepat di kepala tersebut pasti dilandasi
sikap batin sengaja untuk menimbilkan kematian.

*************

46
BAB VII

KESADARAN HUKUM

Dalam pengertian hukum sudah terkandung adanya pengertian kesadaran hukum. Karena itu,
usaha lain untuk memperoleh gambaran tentang pengertian hukum yang lebih jelas meliputi juga
pemahaman mengenai pengertian tentang kesadaran hukum. Peristilahan yang biasa digunakan
untuk menunjuk pada pengertian kesadaran hukum a.l. adalah :

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bah. Indonesia ! Bah. Belanda ! Bah. Jerman


----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kesadaran hukum ! Rechtsbewustzijn ! Rechtsbewustsein


Keyakinan hukum ! Rechtsovertuiging ! Rechtsuberzeugung
Perasaan hukum ! Rechtsgevoel ! Rechtsgefuhl
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam bahasa Perancis : Sentiment juridique


Dalam bahasa Inggris : sense of justice, legal consciousness

Usaha untuk memperoleh pengertian tentang kesadaran hukum dapat kita lakukan dengan jalan
menganalisis pengertian Hukum Kebiasaan. Antara hukum kebiasaan dan kebiasaan terdapat
hubungan tertentu. Kedua pengertian itu memperlihatkan adanya persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah dua-duanya merupakan kaidah tidak tertulis, yakni bentuk penampilannya
berupa perulangan (herhaling) perilaku yang sama setiap kali terjadi situasi kemasyarakatan yang
sama. Perbedaannya adalah bahwa pada hukum kebiasaan terdapat unsur yang tidak ada dan tidak
perlu ada pada kebiasaan. Unsur yang membedakan hukum kebiasaan dari kebiasaan itu adalah
faktor kesadaran hukum.

Istilah yang biasa digunakan dalam bahasa asing untuk menunjuk pengertian hukum kebiasaan
adalah : ”customary law” (Inggris); ”gewoonterecht” atau ”gebruiksrecht” (Belanda);
”Gewohnheitsrecht” (Jerman); ”droit coutumier” (Perancis).

Hukum kebiasaan terdiri atas dua unsur, yakni :

1. Unsur materiil atau unsur fakta.

Unsur materiil dari hukum kebiasaan adalah kebiasaan yang sudah berlangsung lama sekali
(immemorial). Adanya unsur ini tampak dari perulangan perilaku dalam arti
kemasyarakatan setiap kali terjadi situasi sosial yang sama.

2. Unsur intelektual atau unsur psikologis.

47
Unsur ini adalah unsur kesadaran hukum, yakni keyakinan bahwa bertindak sesuai dengan
kebiasaan tertentu itu dirasakan sebagai suatu tuntutan keadilan atau dirasakan sebagai
keharusan (kewajiban). Unsur ini dalam bahasa Latin disebut : ”opinio iuris necessitatis”
(kadang-kadang disebut ”opinio iuris” saja atau ”opinio necessitatis” saja).

Sebenarnya memang unsur kesadaran hukum ini adalah unsur esensial dari setiap hukum positif
pada umumnya. Artinya, hukum positif atau tata hukum harus mencerminkan atau dijiwai oleh
kesadaran hukum. Karena itu, tata hukum atau hukum positif yang tidak mencerminkan kesadaran
hukum atau yang tidak didukung oleh kesadaran hukum pada hakikatnya bukanlah hukum,
melainkan hanya pernyataan kekuasaan belaka, atau lebih buruk lagi hanya pernyataan kekuatan
belaka. Bahwa kesadaran hukum adalah faktor esensial dari tata hukum atau hukum positif,
misalnya akan nampak dalam proses-proses pembentukan undang-undang atau dalam
yurisprudensi (keputusan pengadilan). Dalam proses pembentukan undang-undang hampir selalu
dikemukakan bahwa undang-undang yang akan dibuat itu adalah sesuai atau merupakan tuntutan
kesadaran hukum. Juga dalam vonis-vonis hakim sering diajukan kesadaran hukum dalam
pertimbangan untuk mendukung keputusan yang diambil.

Dalam dunia Ilmu Hukum, salah satu aliran yang pertama-tama secara konsekuen
mengembangkan teori tentang kesadaran hukum adalah Aliran Sejarah atau Historische
Rechtsschule. Tokoh-tokoh utamanya adalah : Carl Friedrich von Savigny, Georg Friedrich
Puchta, dan Gustav Hugo. Aliran Sejarah ini timbul pada pertengahan abad ke 19 di Jerman
sebagai reaksi terhadap Semangat Revolusi Perancis dan Filsafat Rasionalisme. Revolusi Perancis
itu sendiri, yang meletus pada tahun 1789 (dimulai dengan penyerbuan terhadap penjara Bastille
pada tanggal 14 Juli 1789), terjadi sebagai reaksi terhadap Kekuasaan Mutlak (Absolutisme) yang
sewenang-wenang. Masa kekuasaan mutlak itu tadi (terutama di Perancis) ditandai oleh ciri-ciri :

1. Tidak adanya kepastian hukum (rechtszekerheid)


2. Tidak adanya kesatuan hukum (rechtseenheid)
3. Kehidupan sosial ekonomi sangat kacau
4. Kemelaratan di kalangan massa rakyat

Situasi yang demikian itulah yang dengan sendirinya menyebabkan Revolusi Perancis berusaha
menciptakan keadaan yang sebaliknya. Usaha ini mulai terwujud setelah jatuhnya Robespierre.

Usaha untuk menciptakan kesatuan dan kepastian hukum di Perancis mulai dilaksanakan di bawah
pimpinan Napoleon Bonaparte. Untuk melaksanakan usaha itu, Napoleon membentuk sebuah
panitia pembentuk (penyusun) tata hukum Perancis yang baru. Panitia itu, yang dibentuk pada
tanggal 12 Agustus 1800, terdiri atas sejumlah sarjana hukum Perancis, antara lain : Portalis,
Tronchet, Bigot de Preameneu, Malleville.

Dasar pikiran yang melandasi para anggota panitia itu adalah bahwa tujuan yang hendak dicapai
itu (yakni : kepastian dan kesatuan hukum) harus dilakukan melalui kodifikasi hukum. Hanya
dengan kodifikasi itu saja dapat diwujudkan unifikasi hukum (kesatuan hukum) dan kepastian
hukum (rechtszekerheid). Yang dimaksud dengan kodifikasi itu adalah penyusunan kaidah-kaidah
hukum secara menyeluruh lengkap dan sistematis mengenai bidang-bidang hukum tertentu dalam
satu undang-undang yang berbentuk dan diberi nama Kitab Undang-undang (dalam bahasa

48
Belanda disebut Wetboek). Usaha panitia tersebut di atas dalam waktu singkat menghasilkan
beberapa Kitab Undang-undang. Keseluruhan kodifikasi hukum Perancis yang terdiri atas
sejumlah Kitab Undang-undang (Code) yang dihasilkan oleh panitia itu terdiri atas :

1. Code Civil (C.C.), 1804 = Kitab Undang-undang Hukum Perdata.


2. Code de Commerce (C.d.C.), 1807 = Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
3. Code Penal (C.P.), 1810 = Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
4. Code de Procedure Civile, 1806 = Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata.
5. Code d’Instruction Criminelle, 1808 = Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Pada tahun 1807, setelah diadakan beberapa perubahan, ketika Napoleon telah mencapai
kedudukan sebagai kaiser Perancis, Code Civil des Francais itu diundangkan kembali, dan diberi
sebutan ”Code Napoleon” (Bellefroid, 1953 : 89).
Setelah Napoleon memperoleh kedudukan yang kuat di Perancis, ia kemudian berusaha untuk
melebarkan pengaruhnya ke seluruh Eropa. Tujuannya adalah untuk menyebarkan idea-idea
(gagasan) dan semangat Revolusi Perancis. Dengan sendirinya usaha itu menimbulkan peperangan
di Eropa yang terkenal dengan nama Perang Koalisi. Sebenarnya Perang Koalisi adalah
manifestasi dari konfrontasi antara 2 (dua) idea, yakni:

1. Idea perubahan atau pembaharuan (Aufklarung) yang menghendaki struktur tata kehidupan
yang baru.
2. Idea Ancient Regime, yang menghendaki struktur tata kehidupan yang lama dipertahankan.

Usaha penyebaran gagasan-gagasan Revolusi Perancis ini juga disertai dengan penyebar-luasan
hasil-hasil Revolusi Perancis, antara lain kodifikasi hukum yang mulai mempengaruhi kalangan
intelektual (cendekiawan) di Eropa. Kodifikasi Hukum Perancis (Code Napoleon) ini sangat
dikagumi kalangan intelektual, terutama karena dasar pikirannya adalah Rasionalisme.

Usaha penyebaran gagasan Revolusi Perancis menimbulkan reaksi dari pelbagai bangsa di Eropa,
antara lain reaksi yang menentang gerakan atau usaha Napoleon. Gerakan yang menentang usaha
Napoleon itu ditunjang oleh gerakan yang menentang Rasionalisme. Secara umum dapat dikatakan
bahwa reaksi terhadap gerakan ekspansionisme Napoleon itu berupa semangat nasionalisme.
Gerakan yang menentang semangat Revolusi Perancis dan Rasionalisme itu antara lain terjadi di
Jerman. Reaksi nasionalistik di Jerman terhadap semangat Revolusi Perancis dan Rasionalisme
dalam bidang hukum menimbulkan dua pandangan yang berbeda, yaitu :

1. Pandangan pertama adalah pandangan yang menghendaki diadakannya kodifikasi Hukum


Jerman yang akan berlaku di seluruh wilayah Jerman. Salah seorang tokoh dari pandangan
yang pertama ini adalah Prof. A. F. J. Thibaut dari Universitas Heidelberg, yang diilhami
Code Napoleon dan terpengaruh oleh gerakan persatuan nasional Jerman, memperjuangkan
rasionalisasi dan unifikasi pelbagai sistem hukum yang berlaku pada pelbagai daerah di
Jerman. Thibaut mengusulkan agar di Jerman diciptakan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (Burgerliches Gesetzbuch) yang berlaku di seluruh Jerman untuk mengakhiri
keberanekaan (pluralisme) hukum di Jerman, dengan mencontoh dan bermodelkan Code
Civil Perancis (1804) dan Burgerliche Gesetzbuch Austria (1811). Tujuannya adalah untuk
membina persatuan dan kesatuan bangsa Jerman agar mampu menghadapi kekuatan

49
ekspansif Perancis. Prof. Thibaut mengemukakan pandangannya dalam tulisan berjudul
”Uber die Notweindigkeit eines allgemeinen Burgerlichen Gesetzbuches fur Deutschland.”
(1814).

2. Pandangan yang kedua adalah pandangan yang menolak kodifikasi hukum Jerman
berdasarkan Code Napoleon dan Filsafat Rasionalisme. Pandangan yang kedua ini juga
dijiwai dengan semangat nasionalisme Jerman, yang pada dasarnya anti semangat Revolusi
Perancis, anti Rasionalisme serta anti usaha-usaha ekspansi Perancis. Pandangan yang
kedua inilah yang menimbulkan Aliran Sejarah (Historische Rechtsschule) di bawah
pimpinan C.F. von Savigny, guru besar Universitas Berlin, yang meneliti dan menulis
tentang Hukum Romawi Abad Pertengahan dan Hukum Romawi Modern. Sebagai
tanggapan terhadap tulisan Thibaut tersebut di atas, pada tahun itu juga (1814) von Savigny
menulis ”Vom Beruf unserer Zeit fuer Gezetzgebung und Rechtswissenschaft.”

Dalam usahanya melawan Semangat Revolusi Perancis, Rasionalisme dan ekspansi Perancis,
Aliran Sejarah mengajukan dalil-dalil sebagai berikut :

1. Hukum itu tidak dibuat, melainkan tumbuh sendiri di dalam masyarakat. Demikianlah, von
Savigny mengatakan :
”Das Recht wird nicht gemacht, aber es ist und wird mit dem Volke.”

2. Hukum adalah pencerminan dari ”jiwa bangsa” (Volksgeist).

3. Yang melandasi tata hukum adalah keyakinan rakyat secara umum yang mewujudkan
perasaan yang sama tentang keadilan yang menutup kemungkinan bagi kesewenang-
wenangan. Keyakinan inilah yang dinamakan ”kesadaran hukum.”

4. Hukum berkembang (tumbuh) tanpa disadari.

Berdasarkan dalil-dalil pokok tersebut di atas itu, von Savigny menarik kesimpulan sebagai
berikut :

1. Hukum itu tidak dibuat, melainkan ditemukan. Karena itu pada dasarnya perkembangan
dari hukum berlangsung secara tidak disadari dan secara organik. Karena itu juga, maka
perundang-undangan tidak sedemikian penting jika dibandingkan dengan kebiasaan.

2. Hukum berkembang dari keadaan yang sangat sederhana pada masyarakat-masyarakat


yang ”primitif” (masyarakat sederhana) yang tumbuh semakin lama semakin majemuk,
sehingga menjadi sulit untuk dipahami oleh orang awam. Karena itu di dalam masyarakat
akan dibutuhkan adanya para ahli hukum (profesional) yang akan merumuskan secara jelas
ketentuan-ketentuan hukum yang hidup di dalam masyarakat.

3. Tiap hukum tidak memiliki daya berlaku secara umum, artinya setiap bangsa atau
masyarakat pada setiap waktu memiliki hukumnya sendiri-sendiri.

50
Timbulnya Aliran Sejarah ini memunculkan aspek kesadaran hukum sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi isi dan wujud tata hukum. Faktor lainnya yang mempengaruhi wujud tata hukum
adalah politik hukum yang dijalankan dalam negara yang bersangkutan. Demikianlah, Prof.
Soediman Kartohadiprojo mengemukakan bahwa corak hukum dalam suatu negara dipengaruhi
oleh dua faktor pokok, yakni :

a. kesadaran hukum dari pergaulan hidup dalam negara itu.

b. politik hukum, yakni sikap dan tindakan negara serta alat-alat perlengkapannya dalam
melaksanakan dan mengarahkan penyelenggaraan kehidupan hukum dalam kaitan dengan
usaha mewujudkan tujuan negara. Politik hukum yang dapat ditujukan pada isi maupun
pada bentuk hukum, meliputi tiga aspek, yakni melaksanakan atau menerapkan hukum,
mempengaruhi perkembangan hukum, dan menciptakan hukum.

Pada tahap perkembangan sekarang, organisasi negara adalah hasil perkembangan yang tertinggi
dalam bidang pengaturan kehidupan bermasyarakat manusia. Dalam kehidupan bernegara,
kesadaran hukum itu menampakkan diri dalam dua bentuk, yaitu :

1. berupa kebiasaan, yakni berupa pelaksanaan secara nyata dalam bentuk perilaku para
warga masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

2. berupa perundang-undangan, yakni berupa peraturan-peraturan tertulis yang dibuat dengan


sengaja oleh badan-badan khusus yang diciptakan dengan sengaja untuk membuat
peraturan-peraturan itu.

3. yurisprudensi.

Dari jalan pikiran tadi nampak jelas bahwa kebiasaan bukanlah sumber hukum materiil, melainkan
ciri dari hukum positif.

Selain Aliran Sejarah, juga aliran-aliran Sosiologis (Sociological Jurisprudence) pada dasarnya
mendasarkan diri pada pengertian kesadaran hukum. Salah seorang pelopornya adalah Eugen
Ehrlich yang a.l. menulis buku berjudul ”Grundlegung der Soziologie des Rechts” (1913). Tokoh-
tokoh penting lainnya yang mengembangkan teori kesadaran hukum adalah H. Krabbe dan R.
Kranenburg (penganut Ajaran Kedaulatan Hukum atau Leer der Rechtssouvereniteit). Krabbe dan
Kranenburg dua-duanya adalah guru besar di Universitas Leiden.

H. Krabbe menulis antara lain :

1. Die Lehre der Rechtssouverenitat.


2. Die Moderne Staatsidee.

Kedua buku itu sengaja ditulis dalam bahasa Jerman, karena dimaksudkan untuk melawan ajaran
hukum yang berpengaruh di Jerman pada waktu itu, yaitu Staatssouverenitatslehre (Ajaran
Kedaulatan Negara). Tokoh-tokoh ajaran Kedaulatan Negara a.l. : Paul Laband dan Georg Jellinek.

51
R. Kranenburg menulis antara lain :

1. Positiefrecht en Rechtsbewutzijn.
2. Algemene Staatsleer (Ilmu Negara Umum).
3. De Grondslagen der Rechtswetenschap (Dasar-dasar Ilmu Hukum).

Dalam tulisan-tulisannya Kranenburg mengemukakan bahwa ukuran untuk membedakan adil dan
tidak adil adalah dalil atau asas keseimbangan (evenredigheidspostulaat).

Krabbe berpendapat bahwa tata hukum itu diciptakan dan didukung oleh keyakinan hukum.
Karena itu Pemerintah harus berfungsi sebagai juru bicara atau penyambung lidah dari keyakinan
hukum itu. Dengan demikian sebenarnya pemerintah tidak berkuasa. Yang berkuasa adalah rakyat
sendiri. Sebab, menurut Krabbe, keyakinan hukum rakyat akan menyatakan diri dengan cara lain
jika peraturan perundang-undangan atau tindakan-tindakan Pemerintah tidak lagi mencerminkan
kesadaran hukum dari rakyat itu. Contoh :

- Perundang-undangan (tata hukum) pada zaman Louis XIV menyebabkan terjadinya


Revolusi Perancis.

- Peradilan penjahat perang di Nurmberg dan Tokyo setelah Perang Dunia ke II yang pada
dasarnya bertentangan dengan asas Nullum Delictum, namun mendapat dukungan rakyat
dimana-mana. (Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali = Tiada perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah
ada sebelum perbuatan itu dilakukan).

- Tata pemerintahan kolonial di Indonesia menyebabkan terjadinya Proklamasi dan Perang


Kemerdekaan Indonesia.

- Keputusan-keputusan MPR(S) pada masa Demokrasi Terpimpin menyebabkan munculnya


”MPR jalanan”.

- Politik hukum pemerintah jaman Orde Baru (1966 – 1998) yang penuh korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN), dan menjamin kepentingan para penguasa dan kroninya serta
mngabaikan kesejahteraan rakyat telah menimbulkan gerakan reformasi 1998 yang
menyebabkan jatuhnya pemerintah Orde Baru.

Yang dimaksud dengan kesadaran hukum di sini adalah proses-proses dalam kesadaran atau
kejiwaan manusia yang di dalamnya berlangsung penilaian bahwa orang seharusnya bersikap dan
bertindak dengan cara tertentu dalam situasi kemasyarakatan tertentu, karena hal itu adalah adil
(memenuhi rasa keadilan) dan perlu bagi terselenggaranya ketertiban masyarakat atau kondisi
kemasyarakatan yang memungkinkan manusia menjalani kehidupan secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabatnya. Jadi, orang yang memiliki kesadaran hukum memahami bahwa :

1. ada kaidah yang mengatur perilakunya

52
2. kepatuhan pada kaidah hukum secara langsung berkaitan dengan terwujudnya ketertiban
dan keadilan
3. seyogianya ia mematuhi kaidah hukum
4. kepatuhan dan tuntutan kepatuhan pada kaidah hukum itu adil, perlu, dan sesuai dengan
martabat manusia
5. adanya dan tuntutan kepatuhan pada kaidah hukum itu berakar dalam penghormatan atas
martabat manusia.

Kesadaran hukum dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni :

1. Kesadaran hukum pribadi (kesadaran hukum individual).


2. Kesadaran hukum yang umum (kesadaran hukum rakyat).

Kedua kesadaran itu tidak selalu identik. Dalam menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku umum, maka yang harus menjadi ukuran adalah kesadaran hukum rakyat. Kesadaran
hukum pribadi akan berfungsi sebagai faktor yang secara spontan menimbulkan kesadaran
(penghayatan) tentang adil dan tidak adil dalam diri seseorang. Kesadaran hukum pribadi akan
berfungsi pada waktu orang harus mengambil keputusan-keputusan hukum.

Sudah kita pelajari bahwa kesadaran hukum rakyat akan mempengaruhi berlakunya tata hukum di
dalam masyarakat. Kesadaran hukum rakyat ini akan mempengaruhi wujud dan bentuk tata hukum
itu. Walaupun demikian tidak berarti bahwa kesadaran hukum rakyat itu akan dengan sendirinya
mewujudkan diri sebagai kaidah hukum yang secara sah mengikat sebagai kaidah hukum.
Misalnya di Indonesia pada saat sekarang asas Habeas Corpus belum dirumuskan menjadi kaidah
hukum. Asas Habeas Corpus artinya asas bahwa warga masyarakat dapat meminta kepada hakim
agar hakim memerintahkan seseorang segera dihadapkan kepadanya untuk ditentukan apakah
terdapat cukup alasan orang yang bersangkutan dikenakan tahanan (sementara).

Dari yang sudah kita pelajari, kita lihat bahwa kesadaran hukum adalah salah satu faktor yang
penting di dalam pengertian hukum kebiasaan. Kita sudah mengetahui bahwa kebiasaan terdiri
atas dua unsur :
1. unsur materiil (unsur fakta), yakni berupa kebiasaan.
2. unsur intelektual (psikologis), yakni kesadaran hukum.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana tersusunnya kedua unsur itu tadi. Terhadap pertanyaan
ini muncul dua jawaban.
Golongan pertama berpendapat bahwa unsur kebiasaan (unsur materiil) muncul terlebih dahulu,
kemudian dengan berjalannya waktu timbul unsur intelektualnya, yakni unsur kesadaran hukum.
Dengan perkataan lain, sifat normatifnya timbul kemudian setelah adanya unsur materiil
berlangsung cukup lama. Tokoh yang menganut aliran ini a.l. adalah H. Capitant dan P. W.
Kamphuisen. Kamphuisen misalnya menjelaskan sebagai berikut : Di dalam masyarakat terlebih
dahulu muncul kebiasaan tertentu. Kemudian kebiasaan itu memperoleh kekuatan mengikat atau
memperoleh sifat obligatoir. Artinya, di dalam masyarakat timbul keyakinan bahwa mematuhi
kebiasaan itu adalah suatu ”dictamen rationis” (tuntutan akal). Jadi menurut pendapat ini, hukum
kebiasaan adalah kebiasaan yang memperoleh atau memiliki kekuatan hukum (rechtskracht).

53
Pertanyaannya sekarang adalah : bila suatu kebiasaan memperoleh kekuatan hukum dan dengan
demikian menjadi hukum kebiasaan? Dalam perundang-undangan di Indonesia pertanyaan ini
dijawab dengan pasal 15 A.B. yang menentukan bahwa kebiasaan hanya akan menjadi hukum jika
secara tegas oleh undang-undang ditunjuk sebagai (kaidah) hukum. A.B. adalah singkatan
Algemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, disingkat
: K.U.)

Golongan kedua berpendapat bahwa kedua unsur dari hukum kebiasaan itu muncul atau terjadi
pada waktu yang bersamaan. Menurut pandangan ini, kebiasaan itu bukanlah sebab atau sumber
dari timbulnya hukum, melainkan ciri dari adanya hukum. Penganut pendapat ini a.l. Prof J. H. A.
Logemann yang antara lain menulis buku yang berjudul : ”Over de Theorie van een Stellig
Staatsrecht” (1954).

****************

54
BAB VIII

HUKUM DAN SANKSI

1. Pengertian Sanksi

Membahas masalah hubungan antara hukum dan sanksi (hukum) pada dasarnya
mempermasalahkan hubungan antara hukum dan kekuasaan. Sebab, sanksi hukum secara
langsung berkaitan dengan masalah efektivitas hukum, yakni kemampuan kaidah hukum
mempengaruhi perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang berakar dalam kemauan
manusia yang bersangkutan; sedangkan kekuasaan adalah kemampuan memaksakan kemauan
sendiri pada kemauan orang lain. Dengan kata lain peran sanksi sangat dipengaruhi kekuasaan
yang mendukungnya. Semakin kuat kekuasaan akan semakin efektif menerapkan sanksi
dalam penegakan hukum, demikian juga sebaliknya. Sanksi penting tetapi bukan satu-satunya
faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum atau ketaatan terhadap hukum17. Faktor lainnya
yang juga penting adalah kesadaran hukum (Lihat kembali Bab tentang Kesadaran Hukum).
Sanksi merupakan faktor eksternal, sedang kesadaran hukum merupakan faktor internal.

Sanksi juga sering dilihat sebagai indikator atau tanda yang paling jelas tentang keberadaan
dan bekerjanya hukum, Orang sering baru menyadari tentang adanya hukum pada saat
sanksinya benar-benar diterapkan. Pada saat sanksi diterapkan orang seringkali baru
menyadari bahwa hukum benar-benar bekerja.

Yang dimaksud dengan sanksi adalah akibat tertentu yang timbul atau yang dapat
ditimbulkan oleh perilaku manusia yang dapat dikenakan kepada pelaku yang
bersangkutan berkenaan dengan keharusan untuk mematuhi kaidah perilaku. Jadi
hakikatnya sanksi adalah sarana atau alat untuk memaksa agar orang taat hukum, sanksi bukan
tujuan dan tidak boleh digunakan sebagai tujuan dari keberadaan suatu kaidah hukum.

Wujud konkret dari sanksi itu bermacam-macam tergantung pada jenis hakikat substansi
sanksi dan pada kaidah (jenis kaidah) yang bersangkutan. Berdasarkan hakikat substansi dari
sanksi, dapat dibedakan adanya sanksi positif (berupa akibat-akibat yang menyenangkan atau
menguntungkan seperti imbalan, pujian, rasa senang atau ketenteraman batin, perlindungan,
pengukuhan) dan sanksi negatif (berupa akibat-akibat yang merugikan, menderitakan, atau
tidak menyenangkan seperti teguran, penjara, denda, kewajiban membayar ganti rugi).

Yang membedakan sanksi hukum dengan sanksi norma lain sanksi hukum bersifat
terorganisasikan dan diterapkan atau ditegakkan oleh masyarakat sebagai kesatuan yang
terorganisasi (persekutuan hukum, negara). Penerapan dan penegakan sanksi bukan hukum
pada umumnya tergantung pada pihak-pihak yang bersangkutan atau masyarakat (kelompok)
tanpa pengaturan yang pasti. Contoh dari sanksi bukan hukum, misalnya perasaan menyesal
yang mendalam (nurani yang terusik) atau perasaan senang (tenteram) atau ”clear conscience”
17
Efektivitas hukum merupakan sisi lain ketaatan terhadap hukum. Apabila dilihat dari sisi hukum kita
menggunakan istilah efektivitas hukum, sedangkan apabila dilihat dari sisi perilaku kita menggunakan istilah
ketaatan terhadap hukum.

55
sebagai akibat dari tindakan yang berkenaan dengan keharusan untuk mematuhi kaidah
kesusilaan. Contoh lain : boycotte sebagai sanksi terhadap pelanggaran kaidah kesopanan;
sanksi di akhirat karena tidak mematuhi kaidah agama.

Wujud konkret dari sanksi hukum juga bermacam-macam. Dalam bidang Hukum
Administrasi Negara misalnya berupa diapkir (afgekeurd). Dalam bidang Hukum Perdata
dikenal sanksi berupa penentuan sah atau tidak sahnya suatu perbuatan hukum (keabsahan
suatu perbuatan hukum); kewajiban untuk membayar ganti rugi, atau melakukan perbuatan
tertentu, atau tidak melakukan perbuatan tertentu. Dalam bidang Hukum Pidana dikenal sanksi
berupa pengenaan penderitaan tertentu terhadap orang yang tidak mematuhi apa yang dilarang
atau diharuskan oleh kaidah Hukum Pidana. Biasanya sanksi pidana disebut juga hukuman 18.
Sanksi hukum harus diatur atau ditetapkan berdasarkan hukum, diterapkan berdasarkan
hukum, dan dilaksanakan berdasarkan hukum.

2. Kedudukan Sanksi dalam Hukum:

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sanksi memiliki kedudukan penting dalam
hukum. Akan tetapi apakah keberadaan sanksi bersifat esensial dalam hukum ? Esensial itu
lebih dari penting, bersifat menetukan keberadaan atau eksistensi (conditio sine qua non).
Artinya apakah untuk disebut sebagai hukum harus ada sanski, atau sebaliknya apakah kalau
tidak ada sanksinya menjadi bukan hukum? Terhadap hal ini ada dua pandangan, yaitu:

1. Sanksi Bersifat Esensial dalam Hukum, sebagaimana tercermin dalam pendapat


beberapa ahli/penulis di bawah ini:

J. van Kan19 mengatakan bahwa hukum itu bersifat memaksa (Het recht dwingt). Prof. van
der Pot mengatakan bahwa yang membedakan kaidah hukum dari kaidah-kaidah sosial
lainnya adalah sifat memaksa dari kaidah-kaidah hukum itu. Sifat memaksanya ini
diwujudkan dalam bentuk sanksi hukum.

Sejalan dengan itu, Snouck Hurgronje (pakar Islamologi dan Hukum Adat) dalam bukunya
yang berjudul ”De Atjehers” mengatakan bahwa Hukum Adat adalah adat yang
mempunyai sanksi hukum. Jadi yang membedakan ”adat” dan ”hukum adat” adalah
keberadaan sanksinya.

Jadi, menurut pandangan ini, yang membuat suatu kaidah menjadi kaidah hukum adalah
faktor sanksi. Dengan perkataan lain, faktor sanksi memberikan cap atau etiket pada suatu
kaidah yang membuat kaidah itu menjadi kaidah hukum. Pendapat-pendapat yang menitik-
beratkan faktor sanksi sebagai unsur yang membedakan kaidah hukum dari kaidah bukan
hukum pada dasarnya dapat dikembalikan pada pandangan yang dikemukakan oleh
Thomas Hobbes20. Thomas Hobbes berpendapat bahwa hukum adalah peraturan-peraturan

18
Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menetapkan empat jenis hukuman pokok, yakni : 1.
Hukuman mati; 2. Hukuman penjara; 3. Hukuman kurungan; 4. Hukuman denda
19
Dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de Rechtswetenschap.” (Pengantar Ilmu Hukum)
20
a.l. menulis buku “Leviathan” dan “De Cive”

56
perilaku manusia yang diperintahkan dan dipaksakan oleh penguasa. Jelas, bagi Hobbes
inti dari hukum itu adalah sanksinya.

2. Sanksi Tidak Bersifat Esensial dalam Hukum

Kelompok ini menolak pandangan kelompok pertama dengan membantah argumen


kelompok pertama sebagai berikut:
a. Tidak benar bahwa sanksi merupakan esensial yang membedakan hukum dengan
bukan hukum, karena pada dasarnya semua jenis kaidah juga memiliki sistem sanksi
untuk mendukung ketaatannya.
b. Tidak benar bahwa sifat memaksa dari hukum semata-mata karena adanya sanksi,
karena faktor kesadaran hukum juga menimbulkan paksaan yakitu paksaan internal.
c. Menyatakan sanksi bersifat esensial sangat berbahaya karena akan membawa
konsekwensi mengidentikkan hukum dengan kekuasaan.
d. Adalah suatu kesesatan berpikir menyatakan sanksi menentukan keberadaan hukum,
karena yang benar justru hukum yang menentukan keberadaan sanksi, Segala sesuatu
tentang sanksi mulai dari keberadaannya, jenisnya, berat-ringannya, prosedur
penerapannya, pelaksnaaannya harus diatur oleh hukum.

Secara lebih rinci untuk mendukung pandangan bahwa sanksi itu penting tetapi tidak
esensial dalam hukum kelompok kedua ini mengembangkan analisis, baik secara normatif
maupun sosiologis. Normatif dan sosiologis adalah cara pandang atau kacamata atau
metode yang digunakan untuk melihat, menganalisis, dan memahami suatu hal atau
persoalan. Jadi normatif dan sosiologis bukan substansi persoalannya itu sendiri. Dua
macam analisis ini bisa digunakan untuk menelaah semua hal atau permasalahan hukum.
Analisis normatif melihat, menganalisis, dan memahami suatu hal atau permasalahan dari
sudut normanya atau kaidahnya. Sedangkan analisis sosiologis melihat, menganalisis dan
memahami suatu hal atau permasalahan dari kenyataan tentang hal atau permasalahan
tersebut sebagai fenomena dalam masyarakat.

a. Analisis Normatif

Di atas sudah dikemukakan bahwa hukum itu bersifat memaksa atau mempunyai
kekuatan memaksa. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa apa yang tercantum di
dalam kaidah-kaidah hukum itu dengan sendirinya terwujud di dalam kenyataan.
Maksudnya : kaidah-kaidah hukum itu tidak memiliki daya berlaku seperti ”hukum”
dalam pengertian Ilmu-ilmu Alam, misalnya ”hukum jatuh” dari Ilmu Alam (hukum
gravitasi). Karena itu, perkataan ”memaksa” di sini harus diberi makna sebagai ”dapat
dipaksakan”.

Cara memaksakan berlakunya kaidah-kaidah hukum itu terjadi melalui kemungkinan


atau ancaman kemungkinan pengenaan akibat-akibat hukum tertentu yang disebut
sanksi hukum kepada orang tertentu (pelaku perbuatan tertentu). Jadi, sanksi hukum
adalah akibat hukum tertentu yang (dapat) dikenakan kepada seseorang atau
sekelompok orang berkenaan dengan perbuatan yang mematuhi atau tidak mematuhi
kaidah hukum. Peranan sanksi hukum di dalam penerapan hukum mempunyai arti

57
(pengaruh) yang besar. Sehubungan dengan itu, banyak orang yang cenderung
berpendapat bahwa sanksi hukum adalah unsur esensial dari kaidah-kaidah hukum.
Yang dimaksud ”unsur esensial” di sini adalah ”unsur konstitutif”, yakni unsur yang
menyebabkan sesuatu menjadi sesuatu.

Karena sanksi hukum memang dimaksudkan untuk memaksa orang mentaati kaidah
hukum, maka pendapat yang melihat sanksi hukum sebagai unsur esensial dari kaidah
hukum, cenderung untuk mengidentikan hukum dengan kekuasaan. Atau, pendapat
yang menyatakan bahwa sanksi hukum adalah unsur yang esensial dari kaidah hukum
mengimplikasikan pendapat yang mengidentikan hukum dengan kekuasaan. Sebab,
kekuasaan pada hakikatnya adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak kepada
orang lain, sehingga orang lain itu mau atau tidak mau terdorong melakukan perbuatan
yang dikehendaki itu. Dan, hukum lewat sanksi hukum (mampu) memaksakan
kehendaknya agar orang mentaati kaidah-kaidah hukum. Jadi, hukum identik dengan
kekuasaan. Masalahnya adalah : apakah benar hukum itu identik dengan kekuasaan?
Apa implikasinya? Masalah tentang sanksi hukum pada hakikatnya adalah masalah
tentang hubungan antara hukum dan kekuasaan.

Masalah hubungan antara hukum dan kekuasaan atau tentang kedudukan sanksi hukum
di dalam hukum, harus kita dekati dari sudut tinjauan tentang tujuan hukum dalam
kaitannya dengan kemungkinan reaksi manusia terhadap kaidah-kaidah hukum.

Dalam diri setiap manusia terdapat kemauan bebas (vrije wil, free will). Artinya , di
dalam diri manusia terdapat atau berlangsung proses-proses rokhaniah yang akan
melakukan pilihan sendiri tentang apa yang diinginkannya dan tentang apa yang akan
dilakukannya. Dengan perkataan lain, setiap saat manusia akan menentukan sendiri
caranya berperilaku.

Di satu pihak, kaidah-kaidah hukum tumbuh di dalam masyarakat untuk memenuhi


kebutuhan manusia pada ketertiban yang adil. Jadi, kaidah-kaidah hukum bertujuan
untuk membina dan mempertahankan ketertiban. Ketertiban di dalam masyarakat
secara konkret diwujudkan dalam bentuk perilaku manusia yang tertentu. Karena itu,
setiap kaidah hukum secara langsung diarahkan pada perilaku manusia. Artinya, tiap
kaidah hukum memuat penetapan tentang cara bagaimana orang harus berperilaku
dalam situasi kemasyarakatan tertentu. Dengan perkataan lain, tiap kaidah hukum itu
mencoba untuk mengatur perilaku manusia dengan menentukan perilaku apa dan
bagaimana yang boleh, tidak boleh (dilarang) atau harus dijalankan oleh manusia.

Di lain pihak, seperti telah dikemukakan di atas, di dalam diri setiap manusia terdapat
kemauan bebas yang ingin menentukan sendiri caranya berperilaku. Ini berarti, bahwa
setiap kaidah hukum yang dikenakan pada manusia, oleh setiap manusia yang
bersangkutan akan dihadapkan pada kemauan bebasnya. Artinya, kemauan bebas itu
setiap kali akan menentukan, apakah kaidah hukum itu akan ditaati atau tidak. Padahal
timbulnya kaidah-kaidah hukum itu justru untuk memenuhi kebutuhan manusia yang
selalu memerlukan tata tertib, khususnya ketertiban hukum. Ketertiban hukum ini
diperlukan untuk memungkinkan setiap manusia menjalani kehidupannya secara wajar

58
sesuai dengan kodrat dan martabatnya. Dengan perkataan lain, terwujudnya ketertiban
hukum itu adalah sangat esensial bagi eksistensi manusia itu sendiri. Sedangkan
ketertiban hukum itu hanya akan terwujud, jika manusia (para warga masyarakat)
mematuhi atau menaati kaidah-kaidah hukum.

Dengan demikian, konsekuensi dari kebutuhan pada ketertiban hukum itu adalah
bahwa mau tidak mau hukum positif itu akan menampilkan dirinya sebagai ketertiban
yang memaksa.

Sehubungan dengan adanya kemauan bebas pada manusia, demi terwujudnya


ketertiban hukum, maka penaatan terhadap kaidah-kaidah hukum itu tidak dapat
sepenuhnya diserahkan pada kemauan bebas para anggota masyarakat atau para
yustisiabel (pencari keadilan). Sebab, kemauan bebas para yustisiabel dalam
menentukan akan mematuhi atau tidak mematuhi kaidah hukum akan sangat
dipengaruhi oleh kepentingan pribadinya. Sedangkan tujuan hukum hanya akan
terwujud, jika kaidah-kaidah hukumnya ditaati oleh para yustisiabel. Karena itu,
hukum harus dapat mempengaruhi kemauan bebas manusia, sedemikian rupa
sehingga kemauan bebas itu cenderung terdorong untuk memutuskan menaati
kaidah-kaidah hukum. Dengan demikian, hukum memerlukan daya upaya yang
mampu mendorong kemauan bebas manusia untuk mematuhi kaidah-kaidah hukum.
Untuk itulah hukum menciptakan sanksi hukum yang berupa penetapan (kemungkinan)
pengenaan akibat-akibat tertentu kepada orang sehubungan dengan perilakunya yang
menaati atau tidak menaati kaidah hukum. Jadi, adanya sanksi hukum itu dimaksudkan
untuk menghadapi dan mempengaruhi kemauan bebas manusia.

Sanksi hukum itu ada, karena diciptakan oleh hukum. Bentuk, jenis dan isi sanksi
hukum ditetapkan oleh hukum itu sendiri. Hakikat dari sanksi hukum adalah berupa
ketentuan hukum yang menetapkan apa yang seharusnya terjadi jika syarat-syarat
tertentu dipenuhi. Karena itu, walaupun adanya sanksi hukum itu memang diperlukan,
namun pada hakikatnya sanksi hukum bukanlah unsur esensial dari hukum,
artinya bukan unsur konstitutif yang menyebabkan hukum ada. Justru sebaliknya,
hukumlah yang menciptakan sanksi hukum dengan tujuan untuk menghadapkan
kemauan bebas manusia pada pilihan yang berupa kemungkinan menerima atau tidak
menerima akibat-akibat tertentu dengan memutuskan untuk mematuhi atau tidak
mematuhi kaidah hukum. Dengan cara demikian, dapat diharapkan bahwa hukum akan
mempunyai kemampuan untuk mengarahkan cara manusia berperilaku. Kemampuan
untuk mempengaruhi seseorang melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan
tertentu disebut : kekuasaan (macht, power).

Jadi, dalam kenyataan hidup sehari-hari, hukum dapat memaksa orang untuk
berperilaku atau melakukan perbuatan tertentu menurut cara yang tertentu. Hukum
melakukan paksaan itu lewat sanksi hukum dengan menggunakan alat-alat kekuasaan,
misalnya : polisi, jaksa, tentara, dsb. Kenyataan bahwa tata hukum dapat memaksa
orang melakukan perilaku tertentu dengan menggunakan alat-alat kekuasaan tidaklah
berarti bahwa kekuasaan diberi tempat tertinggi. Sebab, normaliter, kekuasaan tidak
menciptakan hukum, dan juga hukum tidak sepenuhnya bergantung pada

59
kekuasaan. Yang benar adalah bahwa kekuasaan itu diciptakan oleh hukum dan
mempunyai fungsi mengabdi pada hukum. Paksaan, yakni pernyataan dari
kekuasaan itu, dijalankan sekedar diperlukan untuk mewujudkan hukum. Jadi, paksaan
atau kekuasaan itu bukanlah sebab dari adanya hukum, melainkan akibat dari adanya
hukum.

Paksaan hukum yang berupa pelaksanaan sanksi hukum itu harus dibedakan dari
tindakan menjalankan kekuasaan atau kekerasan semata-mata secara sewenang-
wenang. Sebab, pada paksaan hukum yang terjadi adalah konkretisasi dari penilaian
hukum atau perwujudan nilai hukum ke dalam kenyataan riil. Karena itu, sanksi hukum
diatur dan ditetapkan oleh hukum sendiri. Artinya : hukum akan menetapkan isi dan
bentuk konkret akibat-akibat yang akan dikenakan kepada manusia sehubungan dengan
perilakunya yang mematuhi atau tidak mematuhi kaidah hukum, dan juga akan
mengatur tentang cara-cara melaksanakannya serta menetapkan pula siapa saja atau
pejabat yang mana saja yang berwenang untuk mengenakan akibat-akibat itu. Jika
terjadi pengenaan sanksi yang tidak didasarkan pada kaidah hukum, maka tindakan
pengenaan sanksi yang demikian itu disebutkan ”tindakan main hakim sendiri” atau
”tindakan menghakimi sendiri” atau ”eigenrichting” (taking the law into one’s own
hand). Dalam hukum, demi tujuan mewujudkan ketertiban hukum, maka tindakan
menghakimi sendiri itu tidak dikehendaki.

Dari apa yang sudah dikemukakan, tampak bahwa sanksi bukanlah unsur pokok
untuk membedakan kaidah hukum dari kaidah-kaidah lainnya. Sanksi hukum
bukanlah unsur pokok atau unsur esensial dari hukum. Sebab, tujuan akhir dari hukum
adalah untuk mewujudkan keadilan, untuk mewujudkan ketertiban atau kondisi
kemasyarakatan yang memungkinkan keadilan diwujudkan. Menetapkan sanksi hukum
sebagai ciri pokok atau unsur esensial dari hukum akan mengaburkan unsur keadilan
yang menjadi dasar dari hukum positif. Jika unsur keadilan dalam hukum dikaburkan,
maka hukum menjadi identik dengan kekuasaan, hukum menjadi perwujudan
(manifestasi) dari kekuasaan semata-mata; kaidah-kaidah hukum positif atau tata
hukum menjadi alat belaka untuk menyatakan dan mempertahankan kekuasaan atau
kedudukan berkuasa.

Walaupun sanksi hukum bukan unsur esensial dalam arti ”unsur konstitutif” dari
hukum, dan kekuasaan bukan sumber dari hukum, namun dalam kenyataan konkret
hukum memerlukan penggunaan sanksi hukum, dan dengan demikian berarti
memerlukan kekuasaan. Sehubungan dengan kenyataan itu, tentang hubungan antara
hukum dan kekuasaan ini, seorang filsuf dari Perancis yang bernama Blaise Pascal21
mengatakan bahwa : ”keadilan (hukum) tanpa kekuatan (kekuasaan) adalah tidak
berdaya, sebaliknya, kekuatan (kekuasaan) tanpa keadilan (hukum) adalah tirani”.
(Justice without might is helpless; might without justice is tyrannical).

21
dalam bukunya “Pensees” pada butir 298.

60
b. Analisis Sosiologis

Penelaahan masalah hubungan antara hukum dan sanksi dari sudut tinjauan atau studi
Sosiologi Hukum pada dasarnya berintikan analisis tentang peran sanksi dalam
masalah efektivitas hukum.

Di atas sudah dikemukakan bahwa sanksi hukum diadakan, dan dirumuskan dalam
bentuk kaidah hukum, dengan tujuan untuk mengefektifkan kaidah-kaidah hukum.
Masalah efektivitas hukum adalah salah satu masalah pokok dalam studi Sosiologi
Hukum. Dari uraian tentang tujuan hukum, dapat disimpulkan bahwa salah satu fungsi
yang penting dari hukum adalah mempedomani perilaku. Karena itu, hukum
dikatakan efektif jika mampu mempengaruhi perilaku manusia ke arah yang
dikehendaki, artinya, jika para warga masyarakat yang dikenai kaidah hukum itu
mematuhinya, yakni menyesuaikan perilakunya pada hukum. Jadi, masalah efektivitas
hukum pada dasarnya berintikan : dalam kondisi apa orang akan bereaksi terhadap
hukum atau menggunakan hukum? Dalam kondisi apa mereka akan melawan,
menyalahgunakan atau mengabaikan hukum? Penelaahan terhadap pertanyaan-
pertanyaan tadi akan memunculkan syarat-syarat yang kondusif bagi tumbuhnya
kecenderungan (disposisi) pada para warga masyarakat untuk mematuhi hukum.

Studi Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa agar hukum itu dapat mempengaruhi
perilaku para warga masyarakat dalam kenyataan sungguh-sungguh, maka ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi22.

Pertama, pada dasarnya setiap kaidah hukum memuat pesan dari pembuatnya kepada
para warga masyarakat untuk berperilaku dengan cara tertentu. Karena itu, agar efektif,
maka pesan itu harus disampaikan kepada para warga masyarakat yang bersangkutan.
Ini adalah masalah teknik mengkomunikasikan isi pesan agar pesan itu dapat diterima
dan dimengerti oleh para warga masyarakat sebagai penerima pesan. Yang sangat
penting dalam hal ini adalah kejelasan bahasa yang digunakan. Dalam kaitan ini, sangat
penting peranan para aparat pemerintah dalam menterjemahkan dan mentransmisikan
isi pesan kepada para warga masyarakat.

Kedua, apa yang dikehendaki (isi pesan) adalah sesuatu yang memang dapat
dilaksanakan oleh penerima pesan.

Ketiga, harus ada sesuatu yang dapat menumbuhkan disposisi (sikap, kecenderungan,
dorongan) pada para warga masyarakat untuk mematuhi kaidah hukum yang
bersangkutan.

Berkaitan dengan yang disebut terakhir (syarat ketiga), C.J.M Schuyt23,


mengemukakan dua teori tentang kepatuhan hukum, yaitu :

22
(Lawrence M. Friedman, THE LEGAL SYSTEM, 1975 : 56).
23
dalam bukunya “RECHTSSOCIOLOGIE. Een terrain verkenning.” (1971 : 144-152)

61
Pertama, teori paksa (dwangtheorie) yang menyatakan bahwa kepatuhan itu
dipaksakan dengan sanksi; eksponen teori ini adalah Max Weber dan Th. Geiger.

Kedua, teori konsensus yang menjelaskan bahwa kepatuhan itu berakar pada
persetujuan terhadap kaidah hukum yang bersangkutan; penganutnya a.l. Bertrand
Russell, Eugen Ehrlich, Hermann Kantorowicz, A.V. Dicey, Julius Stone, Benjamin
Cardozo.

Dari analisis Schuyt, tampak bahwa masing-masing teori itu tidak sepenuhnya dapat
menjelaskan kepatuhan pada hukum. Kedua teori itu lebih komplementer (saling
melengkapi) daripada saling mengecualikan.

Friedman24 mengemukakan bahwa terdapat banyak cara untuk mempengaruhi


perilaku para warga masyarakat. Kemudian, ia menyebutkan tiga kategori : sanksi
negatif maupun positif (ancaman hukuman dan imbalan), lingkungan sosial dan
perilaku para elit, dan nilai-nilai internal. Tiga hal ini tidak saling mengecualikan, dan
karena itu, tiga-tiganya harus dimanfaatkan secara proporsional.

Pada dasarnya, sanksi dapat dipandang sebagai rangsangan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu. Karena itu, efektivitas penggunaan saksi dalam mempengaruhi
perilaku akan dipengaruhi oleh karakteristik ancaman atau harapan, karakteristik
manusia yang terkena sanksi, dan karakteristik perilaku yang harus dikendalikan.
Berkaitan dengan sifat dari sanksinya, faktor yang akan menentukan adalah apakah
sanksinya itu berupa imbalan atau hukuman, serta berat atau ringannya. Karakteristik
manusianya berkaitan dengan persepsi orang terhadap resiko yang akan diterimanya.
Tentang hal ini, yang akan menentukan adalah faktor kepastian akan terjadinya resiko
itu; apakah resiko itu dihayati sebagai sesuatu yang nyata atau tampak nyata. Faktor
kecepatan penerapan sanksi akan sangat menentukan. Faktor karakteristik perilaku
yang diatur berkaitan dengan taraf kesulitan untuk dideteksi, serta tuntutan masyarakat
terhadap pengaturan perilaku yang bersangkutan; yang terakhir ini maksudnya adalah
apakah pengaturan perilaku tertentu itu sudah dibutuhkan masyarakat atau belum.

Kehidupan orang tidak terisolasi dari interaksi dengan sesamanya. Karena itu,
lingkungan sosial akan sangat mempengaruhi perilaku orang, termasuk kepatuhannya
pada hukum. Lingkungan sosial ini meliputi keluarga batih, keluarga kekerabatan,
kelompok elit, dan komunitasnya. Untuk mendorong para warga masyarakat mematuhi
hukum, maka perlu ditumbuhkan lingkungan sosial yang kondusif untuk itu, a.l.
melalui pendidikan (formal, informal dan nonformal) dan pengadaan sarana serta
kondisi fisik yang diperlukan.

Faktor nilai-nilai internal meliputi sikap menghormati dan mendahulukan kepentingan


umum (civic mindedness), moralitas, sikap adil, kepercayaan terhadap pejabat, dan
legitimasi (kepercayaan terhadap prosedur dan kewenangan pejabat dalam
pembentukan peraturan). Masalah penumbuhan sikap mendahulukan kepentingan
umum, moralitas dan sikap adil adalah masalah pendidikan dalam arti luas. Masalah
24
1975 : 69

62
penumbuhan kepercayaan kepada pejabat dan legitimasi keputusan-keputusan adalah
masalah struktur dan proses-proses ketatanegaraan dan politik.

Dari uraian analisis Sosiologi Hukum tentang sanksi dan efektivitas hukum di atas,
tampak bahwa faktor sanksi hukum bukanlah satu-satunya faktor dalam
mengefektifkan hukum. Sanksi hukum hanyalah salah satu faktor saja, dan dalam
aplikasinya memerlukan dukungan faktor-faktor lainnya. Hanya dengan mendasarkan
diri pada faktor sanksi dan kekerasan saja, maka demonstrasi mahasiswa di Birma dan
Korea Selatan, perlawanan para pengungsi Palestina terhadap penguasa Israel, dan
perlawanan terhadap politik Apartheid di Afrika Selatan, tidak dapat dipadamkan.

****************

Kepustakaan

1. Friedman, Lawrence M. : THE LEGAL SYSTEM (1975).


2. Schuyt, C.J.M. : RECHTSSOCIOLOGIE. Een terreiverkenning (1972).
3. Soekanto, Soerjono : PENEGAKAN HUKUM (1983).
4. Soekanto, Soerjono : EFEKTIVIKASI HUKUM DAN PERANAN SANKSI.

63
BAB IX

PERBEDAAN DAN HUBUNGAN


ANTAR-KAIDAH

Penelaahan tentang perbedaan dan hubungan antara kelompok kaidah hukum dan kelompok
kaidah bukan hukum dapat membantu memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian
kaidah hukum.

1. PERBEDAAN KAIDAH HUKUM DAN KAIDAH BUKAN HUKUM

1.1.Perbedaan kaidah hukum dan kaidah agama

1.1.1. Kaidah agama diciptakan oleh Tuhan dan diwahyukan kepada manusia
melalui Nabi. Kaidah hukum diciptakan manusia lewat interaksi
antarmanusia.
1.1.2. Kaidah agama bertujuan untuk memberikan jalan agar manusia dapat
kembali ke-”asal”-nya. Hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
yang adil agar tiap orang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya
secara wajar.
1.1.3. Sanksi terhadap pelanggaran kaidah agama pada dasarnya akan diwujudkan
di akhirat. Sedangkan dalam hukum, sanksinya dimaksudkan untuk secara
nyata dilaksanakan pada masa yang bersangkutan masih hidup di dunia.

1.2.Perbedaan kaidah hukum dan kaidah kesusilaan

1.2.1. Kaidah kesusilaan bertujuan untuk mewujudkan manusia yang ideal


(sempurna). Karena itu, sasaran utama dari tiap kaidah kesusilaan adalah
sikap batin (gezindheid) dari orang yang bersangkutan. Kaidah Hukum
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang ideal (sempurna).
Masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang memperlihatkan ketertiban
yang ideal. Ketertiban masyarakat terwujud dalam perilaku para warga
masyarakat. Karena itu, pada dasarnya kaidah hukum lebih diarahkan pada
perilaku manusia.

1.2.2. Kaidah kesusilaan menuntut cara berperilaku tertentu demi kepentingan


pelaku itu sendiri. Misalnya, larangan membunuh dalam kaidah kesusilaan
dimaksud agar orang jangan menjadi pembunuh. Pada kaidah hukum, orang
dituntut berperilaku dengan cara tertentu demi untuk melindungi
kepentingan orang lain. Misalnya, kaidah hukum yang melarang membunuh
dimaksudkan agar jangan ada korban pembunuhan.

1.2.3. Pada kaidah kesusilaan, dalam menilai baik-buruknya seseorang, maka yang
menentukan adalah langsung sikap batin yang bersangkutan. Pada kaidah
hukum, yang pertama dinilai adalah perilakunya, sedangkan sikap batin baru

64
dan hanya akan dinilai jika sudah terjadi perilaku yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan yang dikehendaki oleh hukum, jadi kalau sudah terjadi
perilaku yang ”melanggar” kaidah hukum.

1.2.4. Sanksi pada kaidah kesusilaan tidak terorganisasikan. Sanksi pada kaidah
hukum ditetapkan dan diterapkan secara terorganisasikan.

1.3.Perbedaan kaidah hukum dan kaidah kesopanan

Kaidah hukum dan kaidah kesopanan sebenarnya mempunyai tujuan yang kurang
lebih sama. Dua-duanya menghendaki terwujudnya ketertiban dalam masyarakat.
Bedanya adalah bahwa yang dikehendaki oleh kaidah kesopanan hanya semata-
mata ketertiban saja. Pelaksanaan dan penegakan kaidah kesopanan sepenuhnya
diserahkan kepada kemauan bebas masing-masing. Sedangkan, pada kaidah hukum
yang dikehendaki adalah ketertiban yang memenuhi rasa keadilan. Pelaksanaan dan
penegakan kaidah hukum tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada kemauan
bebas para warga masyarakat (justiciabel = pencari keadilan). Dengan kata lain,
pada kaidah hukum tidak dikehendaki terjadinya ”eigenrichting” (menghakimi
sendiri). Sanksi pada kaidah kesopanan tidak terorganisasikan. Sanksi pada kaidah
hukum ditetapkan dan ditegakkan (diterapkan) secara terorganisasikan.

2. HUBUNGAN KAIDAH HUKUM DAN KAIDAH BUKAN HUKUM

Sudah kita pelajari bahwa kehidupan manusia dikuasai oleh pelbagai kaidah yang meliputi
kaidah hukum dan bukan kaidah hukum. Dengan mudah dapat kita pahami bahwa antara
dua kelompok kaidah itu pasti terdapat perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu meliputi
perbedaan-perbedaan dalam : sifat, materi yang diatur, fungsi kaidah, dan daya kerjanya.

Meskipun kaidah-kaidah itu pada saat sekarang secara jelas dapat kita bedakan ke dalam
dua kelompok kaidah tersebut, namun tidak pada setiap waktu (zaman) setiap masyarakat
memperlihatkan adanya pembedaan yang demikian itu. Sejarah umat manusia
menunjukkan bahwa diferensiasi atau pembedaan ke dalam dua kelompok kaidah itu
sangat tergantung pada taraf perkembangan kebudayaan dan tingkat keadaban masyarakat
yang bersangkutan. Misalnya, di Eropa pada Abad Pertengahan tidak terdapat diferensiasi
yang jelas antara kaidah hukum dan kaidah agama. Hal ini dapat disimpulkan dari fakta
sejarah bahwa pada waktu itu Ilmu Hukum dan Teologi bercampur baur. Pada zaman
Romawi terkenal ucapan Celsus yang mengatakan ”ius est ars boni et aequi”, yang berarti
”hukum adalah seni kebaikan dan kepatutan”. Ungkapan ”boni et aequi” adalah pengertian
kesusilaan. Ucapan Celsus itu menunjukkan bahwa pada zaman Romawi tidak terdapat
diferensiasi yang jelas antara kaidah hukum dan kaidah kesusilaan. Perkembangan di
dalam masyarakatlah yang menyebabkan terjadinya proses diferensiasi yang
mengelompokkan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia ke dalam kelompok
kaidah hukum dan kelompok kaidah bukan hukum.

Walaupun sudah terjadi diferensiasi itu, namun antara dua kelompok kaidah tersebut masih
memperlihatkan adanya kaitan-kaitan antara yang satu dengan yang lainnya.

65
Hubungan antara dua kelompok kaidah itu adalah :

2.1.Hubungan yang saling melemahkan

Hal ini akan terjadi jika apa yang diwajibkan oleh satu kelompok kaidah justru
dilarang oleh kelompok kaidah yang lainnya.
Misalnya, ketentuan hukum tentang wajib militer bertentangan dengan kaidah
agama tentang larangan membunuh dengan alasan apapun menurut agama
tertentu.

2.2. Hubungan yang saling menguatkan daya berlaku kaidah dari masing-masing
kelompok kaidah

Sekurang-kurangnya ada tiga kemungkinan terjadinya hubungan saling


menguatkan itu, sebagai berikut di bawah ini :

2.2.1. Hubungan saling memperkuat daya berlaku antarkelompok kaidah itu akan
terjadi jika kelompok-kelompok kaidah itu mengatur masalah yang sama
dan menggunakan ukuran yang sama pula. Contoh : perbuatan membunuh
atau mencuri misalnya adalah perbuatan yang dilarang baik oleh kaidah
hukum maupun oleh kaidah kesusilaan dan kaidah agama. Dengan mentaati
suatu kaidah orang juga sekaligus mentaati kaidah yang lain.

2.2.2. Hubungan yang saling memperkuat juga akan terjadi jika dalam kelompok
kaidah yang satu terdapat ketentuan yang mewajibkan orang untuk
mematuhi kelompok kaidah yang lain, misalnya kaidah agama yang
memerintahkan penganut agama yang bersangkutan untuk mematuhi
kaidah-kaidah hukum, dan juga sebaliknya. Pasal 2 (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan: “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu” adalah contoh kaidah hukum yang memerintahkan
orang untuk mentaati kaidah agama atau kepercayaannya tentang
perkawinan, karena agar perkawinan tersebut sah secara hukum maka
perkawinan harus dilaksanakan menurut tatacara agama atau
kepercayaannya.

2.2.3. Hubungan saling memperkuat juga akan terjadi, jika ketentuan-ketentuan


dari kelompok kaidah yang satu menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku
dalam kelompok kaidah yang lain, misalnya dalam kelompok kaidah
hukum terdapat ketentuan yang menunjuk pada ukuran yang digunakan
dalam kelompok kaidah bukan hukum. Beberapa contoh:
 Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (disingkat KUHPerd)
yang menetapkan : ”Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang atau bila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum.”

66
 Pasal 1338 ayat 3 KUHPerd yang menyatakan bahwa semua perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik (goede trouw). Pengertian ”itikad
baik” adalah pengertian kesusilaan.
 Perkembangan penafsiran terhadap pasal 1365 KUHPerd (1401 BW),
khususnya tentang arti istilah Perbuatan Melanggar Hukum
(onrechtmatige daad) sebagimana pertimbangan dan putusan Hoge
Raad dalam kasus Lindenbaum – Cohen atau Drukpers Arrest (1919),
dan kasus Bos - Heineken atau Bierbrouwerij Arrest 1929). Dalam dua
perkara tersebut Hoge Raad pada pokoknya menyatakan perbuatan yang
bertentangan dengan kesusilaan dikualifikasi sebagai perbuatan
melanggar hukum. Artinya untuk menyatakan sebagai perbuatan
melawan hukum ukurannya bukan hanya melangar undang-undang,
akan tetapi juga bila perbuatan tersebut melanggar kesusilaan. (Baca
lagi Bab tentang Pengertian Kaidah Hukum).

Sudah kita pelajari bahwa antara kelompok kaidah hukum dan kelompok kaidah bukan
hukum itu terdapat hubungan yang saling memengaruhi. Dari hubungan antara dua
kelompok kaidah itu dapat ditarik pelajaran sebagai berikut :

1. Dalam menyusun undang-undang, maka para pembentuk undang-undang sebaiknya


berusaha untuk mencari landasan dalam kaidah-kaidah bukan hukum.

2. Kaidah-kaidah hukum yang sama sekali tidak memperoleh dukungan dalam kaidah-
kaidah bukan hukum, dan sepenuhnya hanya mengandalkan pada unsur kekuasaan atau
sanksi saja, tidak akan mampu bertahan lama.

3. Sebaliknya kaidah hukum yang secara keseluruhan mau mengatur semua bidang
kehidupan manusia dengan sepenuhnya menggantikan kaidah-kaidah bukan hukum,
misalnya dengan menetapkan semua kaidah perilaku manusia dinyatakan dan
ditegakkan sebagai kaidah hukum, juga tidak akan mampu bertahan lama.

**************

67
BAB X

PENGGOLONGAN HUKUM

PENDAHULUAN

Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya telah diketahui bahwa pemahaman lengkap


tentang kaidah hukum sulit diperoleh hanya dari upaya menyusun suatu definisi tentang
hukum. Telah disinggung pula usaha orang untuk mencoba memahami pengertian hukum
melalui tinjauan yang bersifat sosiologis, dengan melihat bagaimana kaidah-kaidah hukum itu
menggejala di dalam masyarakat.

Upaya lain yang dapat dilakukan orang untuk berusaha memahami hukum adalah dengan
membuat penggolongan-penggolongan (klasifikasi) hukum. Dalam melakukan
penggolongan atau klasifikasi harus menggunakan suatu ukuran atau kriteria. Melalui proses
penggolongan atau klasifikasi semacam itu akan diperoleh pemahaman karakteristik setiap
golongan hukum yang berbeda dengan golongan lainnya. Ukuran atau kriteria apa saja yang
dipilih sangat tergantung dari pandangan dan kepentingan dilakukannya penggolongan atau
klasifikasi tersebut. Hans Kelsen (Austria) melakukan penggolongan hukum dengan
menggunakan empat kriteria yakni: (i) menurut waktu waktu (sphere of time): bilamana
kaidah hukum itu berlaku, (ii) menurut ruang (sphere of space): di mana kaidah hukum itu
berlaku, (iii) menurut personal (personal sphere): kepada siapa kaidah hukum itu berlaku,
dan (iv) menurut material (material sphere): apa objek atau materi yang diatur oleh kaidah
hukum itu. Sejalan dengan pandangan Kelsen, Prof. J.H.A. Logemann menyebutkan
klasifikasi semacam itu dengan istilah-istilah Tijdsgebied, Ruimtegebied, Personensgebied,
dan Zakengebied. Setiap penulis dapat menetapkan jumlah dan jenis ukuran atau kriteria yang
akan digunakan untuk melakukan penggolongan atau klasifikasi hukum.

Dalam tulisan ini akan digunakan delapan ukuran atau kriteria untuk melakukan
penggolongan hukum, yakni:
1. sumber-sumber hukum (akan dibahas dalam suatu pokok bahasan tersendiri)
2. wilayah/tempat berlakunya kaidah hukum
3. bentuk kaidah hukum
4. sifat kaidah hukum
5. waktu/masa berlaku kaidah hukum
6. isi kaidah hukum
7. fungsi/bidang pengaturan kaidah hukum
8. wujud kaidah hukum

1. PENGGOLONGAN BERDASARKAN SUMBER-SUMBER HUKUM

Mengingat penting dan luasnya lingkup pembahasan ini, maka masalah ini akan dibahas
dalam suatu pokok bahasan tersendiri secara lebih mendalam (Lihat Bab tentang Sumber
Hukum).

68
2. PENGGOLONGAN BERDASARKAN WILAYAH BERLAKUNYA KAIDAH
HUKUM

Berdasarkan wilayah berlakunya kaidah hukum, dikenal beberapa penggolongan/klasifikasi.


Pandangan tradisional yang umumnya digunakan adalah penggolongan ke dalam :
1. Hukum Nasional, yaitu hukum yang berlaku di dalam wilayah suatu negara tertentu, yang
dapat dibedakan lagi menjadi:
a. yang berlaku di seluruh wilayah negara, misalnya: undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan presiden, dan sebagainya.
b. yang berlaku di bagian dari wilayah negara, misalnya: peraturan daerah, peraturan
gubernur, peraturan desa, dan sebagainya.
2. Hukum Internasional, yaitu hukum yang berlaku dalam mengatur hubungan-hubungan
yang berlangsung dengan melampaui batas-batas wilayah negara.
a. dari cakupan wilayah berlakunya dapat dibedakan menjadi Hukum Internasional
Global dan Hukum Internasional Regional.
b. dari jumlah negara yang menjadi pihak dalam perjanjian, dapat dibedakan menjadi
Hukum Internasional yang bersumber dari Perjanjian Internasional Bilateral dan
Perjanjian Internasional Multilateral.

Sarjana lain, yaitu Prof. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka menganggap bahwa
dengan kriteria ”wilayah berlaku suatu aturan hukum” orang dapat membuat klasifikasi kaidah
hukum ke dalam :

a. Kaidah Hukum Alam, yaitu kaidah-kaidah hukum yang dianggap ada dan mengatasi
hukum positif, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai tentang keadilan yang bersifat
mutlak dan universal;

b. Kaidah Hukum Positif, yaitu kaidah-kaidah hukum yang ada dan berlaku di tempat tertentu
dan pada waktu tertentu.

3. PENGGOLONGAN BERDASARKAN BENTUK KAIDAH HUKUM

Dengan menggunakan ”Bentuk Kaidah” sebagai ukuran, maka kaidah hukum umumnya dapat
dibedakan ke dalam :

1. Hukum Tertulis, yaitu kaidah-kaidah hukum yang dinyatakan dengan tegas dalam bentuk
peraturan perundang-undangan tertulis dan yang ditetapkan oleh badan atau lembaga yang
berwenang untuk itu.
Hukum Tertulis ini dapat dibedakan ke dalam :

1.1. Hukum Tertulis yang dikodifikasikan, yaitu sekumpulan kaidah hukum yang
dihimpun dan disusun secara sistematis di dalam suatu Kitab Hukum atau Kitab
Undang-undang;
1.2. Hukum Tertulis yang Tidak dikodifikasikan, yaitu kaidah-kaidah hukum tertulis
yang tidak dihimpun di dalam kitab Hukum atau kitab UU tertentu, melainkan
tersebar di dalam pelbagai peraturan perUUan.

69
2. Hukum Tidak Tertulis, yaitu kaidah-kaidah hukum yang dalam kenyataan diterima, diakui
dan mengikat masyarakat, walaupun tidak dituangkan dalam bentuk tertulis. Kaidah-
kaidah hukum semacam ini biasanya tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan di dalam
masyarakat dan diterima oleh masyarakat sebagai hukum.

4. PENGGOLONGAN BERDASARKAN SIFAT DAN KEKUATAN SANKSINYA

Berdasarkan kriteria ini dapat dibedakan antara25 :

4.1. Kaidah Hukum Yang Memaksa (dwingendrecht, compulsary law), yaitu kaidah-
kaidah hukum yang berisi ketentuan-ketentuan hukum yang dalam keadaan apapun pada
kenyataannya tidak dapat dikesampingkan melalui perjanjian individual yang
dibuat di antara fihak-fihak. Dengan kata lain, kaidah-kaidah hukum semacam ini
dalam keadaan apapun harus ditaati dan daya ikatnya bersifat mutlak.

Contoh :
 Pasal 338 KUHPidana menetapkan bahwa : ”Barangsiapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain dipidana karena pembunuhan dengan pidana
maksimum 15 tahun penjara”.

 Pasal (2) Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 menetapkan bahwa ”Suatu


perkawinan adalah sah bila dianggap sah berdasarkan agama masing-masing fihak
dan dicatat oleh Pegawai Catatan Sipil”

Dalam perundang-undangan tidak pernah dinyatakan apakah suatu kaidah hukum


bersifat dwingenrecht atau aanvullenrecht, sehingga saat membaca rumusan kaidah
hukum kita harus menentukan. Kemampuan menentukan secara tepat mengenai apakah
suatu kaidah hukum merupakan dwingenrecht atau aanvullendrecht ini penting sekali
karena akan menentukan apakah terhadap dapat dilakukan penyimpangan dengan
perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Suatu perjanjian yang isinya bertentangan
dengan kaidah dwingenrecht menjadi batal demi hukum (dianggap tidak pernah ada
perjanjian). Berikut ini beberapa pedoman untuk mengenali dwingenrecht:
 Kaidah hukum publik secara apriori merupakan dwingenrecht;
 Kaidah hukum privat/perdata yang mengatur keabsahan sesuatu merupakan
dwingenrecht, misalnya: keabsahan perkawinan, keabsahan penjaminan,
keabsahan pengangkatan anak, bahkan keabsahan perjanjian secara umum, dan
sebagainya26.

25
Ada pendapat yang mengatakan bahwa istilah “Memaksa” dan “Mengatur” tidak terlalu tepat karena dwingenrecht
itu isinya juga mengatur suatu perbuatan, dan sebaliknya aanvullenrcht juga bersifat memaksa bila para pihak
tidak membuat pengecualian. Oleh karena itu, dwingwnrecht diterjemahkan sebagai kaidah hukum yang memaksa
absolut dan aanvullendrecht sebagai kaidah hukum yang memaksa relatif.
26
Dengan demikian Pasal 1152 KUHPerdata tentang Gadai merupakan dwingenrecht karena mengatur tentang syarat
keabsahan jaminan gadai. Apabila tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam pasal tersebut maka BUKAN
merupakan gadai yang sah. Dalam yurisprudensi disebut sebagai fidusia yang merupakan jaminan yang sah,
tetapi bukan jaminan gadai.

70
4.2. Kaidah Hukum Mengatur (aanvullendrecht)

Yaitu kaidah-kaidah hukum yang dalam kenyataannya dapat dikesampingkan oleh


para fihak dengan membuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan khusus di
dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri. Kaidah-kaidah hukum semacam ini
baru akan berlaku (dan karena itu jadi memaksa) dalam hal para fihak tidak menetapkan
peraturan-peraturan sendiri di dalam perjanjian yang mereka adakan.
Ada yang menamakan kaidah-kaidah hukum semacam ini dengan istilah Hukum
Pelengkap (aanvullendrecht) atau Hukum Penambah/Hukum Pelengkap.

Contoh : Dalam perjanjian jual-beli, menurut KUHPerdata, pada saat penjual


menyerahkan barang, pembeli seharusnya juga melakukan pembayaran harga
barangnya. Tetapi dalam praktik, para fihak dalam jual-beli dapat saja mengatur hal ini
dengan cara yang berbeda, sesuai kebutuhan. Penyimpangan itu misalnya, bahwa :

- Barang dapat tetap diserahkan kepada pembeli, walaupun pembayaran dilakukan


secara berangsur
- Pembayaran dilunasi seluruhnya oleh pembeli, tetapi barang tetap dikuasai dan
dimanfaatkan oleh penjual untuk suatu waktu tertentu
- Pembayaran dilakukan secara bertahap, dan baru setelah pembayaran tahap terakhir
barang akan diserahkan kepada pembeli.

Penyimpangan-penyimpangan semacam itu akan tetap dianggap sah oleh hukum


(sejauh tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang memaksa), dan kaidah-
kaidah hukum perdata yang bersifat mengatur akan dianggap tidak berlaku. Kaidah-
kaidah hukum semacam ini baru akan berlaku bila para fihak ternyata tidak membuat
aturan sendiri di dalam perjanjian yang mereka adakan.

5. PENGGOLONGAN BERDASARKAN WAKTU/MASA BERLAKU

Berdasarkan kriterium atau ukuran ini, kaidah-kaidah hukum dapat digolongkan ke dalam :

5.1. Ius Constitutum atau Lex Lata, yaitu hukum yang berlaku dewasa ini, di dalam suatu
masyarakat tertentu, dan di wilayah tertentu. Kaidah-kaidah hukum semacam ini
seringkali disebut dengan Hukum Positif atau Tata Hukum.

5.2. Ius Constiuendum atau lex Ferenda, yaitu hukum yang dicita-citakan atau yang
diharapkan/direncanakan akan berlaku di masa depan.

Ada yang menambahkan satu jenis kaidah hukum lagi pada penggolongan ini, yaitu :

5.3. Hukum Alam atau Hukum Asasi, yaitu hukum yang dianggap berlaku sepanjang masa,
di manapun dan terhadap semua orang.

71
6. PENGGOLONGAN BERDASARKAN ISI KAIDAH HUKUM

Umumnya, berdasarkan ”isi kaidahnya” orang membuat klasifikasi kaidah hukum ke dalam
dua golongan besar, yaitu :

6.1.Kaidah Hukum Publik dan


6.2.Kaidah Hukum Privat (sipil).

Banyak perbedaan pendapat yang timbul mengenai penggolongan hukum ke dalam hukum
publik dan hukum privat ini dan yang sampai sekarang belum menghasilkan suatu
kesepakatan.

Prof. Bellefroid membagi kaidah-kaidah hukum ke dalam Hukum Publik dan Hukum Privat
sebagai berikut :

(6.1.) Hukum Publik adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hal-hal ketatanegaraan,
khususnya yang menyangkut cara-cara :

- badan-badan/lembaga-lembaga negara menjalankan tugas dan wewenangnya;


- perwujudan hubungan hukum antara pemerintah (negara) dengan masyarakat;
- perwujudan hubungan hukum antarlembaga negara/pemerintahan.

(6.2.) Hukum Privat mengatur tata tertib masyarakat yang menyangkut kepentingan
individual/perseorangan para warga masyarakat, khususnya dalam urusan-urusan
tentang :

- hubungan kekeluargaan
- pengurusan kekayaan pribadi
- hubungan-hubungan antarindividu/perorangan di dalam masyarakat
- hubungan-hubungan yang menyangkut para anggota masyarakat dengan
pemerintah/negara (yang berkedudukan sebagai individu/perorangan)

Prof. van Apeldoorn berpandangan bahwa yang harus digunakan sebagai ukuran untuk
membedakan antara hukum publik dan hukum privat adalah ”Kepentingan apa yang hendak
dilindungi oleh suatu kaidah/peraturan hukum”. Berdasarkan ukuran ini maka :

(6.1.) Hukum Publik adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur kepentingan umum
(publik)
(6.2.) Hukum Privat adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan
khusus/istimewa.

Prof. Paul Scholten membedakan antara hukum publik dan hukum privat berdasarkan : asas-
asas hukum apa yang mendasari masing-masing jenis kaidah hukum itu. Dengan kriteria ini,
maka :

72
(6.1.) Hukum Privat adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur masalah-masalah hukum
biasa (umum) dihadapi manusia dalam hidupnya. Jadi hukum privat memuat asas-asas
yang bersifat umum.

(6.2.) Hukum Publik adalah hukum istimewa karena memuat asas-asas yang
khusus/istimewa untuk membatasi kekuasaan hukum privat, walaupun tidak
menghilangkan hukum privat itu.

Drs. E. Utrecht, SH beranggapan bahwa perbedaan antara Hukum Publik dan Hukum Privat
itu bukanlah perbedaan yang bersifat mendasar atau fundamental. Perbedaan di antara
keduanya hanya akan tampak sebagai berikut :

Kaidah-kaidah Hukum Publik sudah a priori bersifat memaksa, sedangkan kaidah-kaidah


hukum privat tidak a priori memaksa, sebab kaidah yang belakangan disebut itu
memberikan kebebasan bagi para subyek hukum untuk menyelesaikan hubungan-
hubungan hukum mereka berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang mereka adakan
sendiri. Tetapi apabila para fihak ternyata tidak mau atau tidak mampu menggunakan
kebebasan itu, maka kaidah hukum privat itupun jadi memaksa sifatnya.

Utrecht menyimpulkan bahwa pembedaan ke dalam hukum privat atau hukum publik pada
dasarnya sejalan dengan pembagian kaidah hukum atas dasar kaidah hukum yang
memaksa dan mengatur (lihat butir 4 di atas).
Hal utama yang menurut Utrecht menentukan apakah suatu kaidah termasuk ke dalam hukum
publik atau hukum privat akan tergantung dari besarnya kepentingan negara/pemerintah
yang hendak diatur dan dipenuhi dengan pemberlakuan suatu kaidah hukum. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa semakin besar kepentingan negara dalam pemberlakuan suatu kaidah
hukum, semakin besar pula kadar hukum publik dalam suatu kaidah hukum.

Ditinjau dari isi kaidahnya, menurut Utrecht, klasifikasi kaidah hukum akan tampak sebagai
berikut :

1. Hukum Publik, terdiri atas :

1.1. Hukum Publik dalam arti sempit (atau Hukum Tatanegara dalam arti luas), yang
terdiri atas :

1.1.1. Hukum Tatanegara dalam arti sempit


1.1.2. Hukum Tatausaha Negara/Hukum Administrasi Negara

1.2. Hukum Pidana


Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, dalam arti bahwa ada yang
menganggap bahwa hukum pidana merupakan bidang hukum tersendiri di luar
hukum publik.

73
1.3. Hukum Acara, yang meliputi :

1.3.1. Hukum Acara Tatausaha Negara


1.3.2. Hukum Acara Perdata
1.3.3. Hukum Acara Pidana

1.4. Hukum Perburuhan


1.5. Hukum Pajak
1.6. Hukum Internasional Publik.

2. Hukum Privat, yang terdiri atas :

2.1. Hukum Perdata


2.2. Hukum Dagang

3. Hukum Perselisihan, yang terdiri atas :

3.1. Hukum Perselisihan Nasional, yang dapat dibedakan lagi ke dalam :

3.1.1. Hukum Antar Golongan (Hukum Intergentil)


3.1.2. Hukum Antar Daerah (Hukum Interlokal)
3.1.3. Hukum Antar Wilayah (Hukum Interregional)
3.1.4. Hukum Antar Agama
3.1.5. Hukum Antar Waktu

3.2. Hukum Perselisihan Internasional, yang disebut juga dengan nama Hukum Perdata
Internasional

4. Hukum Ekonomi.

7. PENGGOLONGAN BERDASARKAN FUNGSI KAIDAHNYA

Dengan menggunakan kriterium ini, kaidah-kaidah hukum dapat diklasifikasikan ke dalam :

7.1. Kaidah Hukum Material, yaitu kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang isi
hubungan antarmanusia atau yang menetapkan perbuatan atau tingkah laku apa yang
diharuskan/dilarang/diperbolehkan, termasuk akibat-akibat hukum dan ancaman-
ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
Yang dapat digolongkan ke dalam kaidah hukum material ini, misalnya :
- KUHPidana
- KUHPerdata dan KUHDagang
7.2. Kaidah Hukum Formal, yaitu kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata cara yang
harus ditempuh dalam mempertahankan/menegakkan kaidah-kaidah hukum
material, khususnya (bila terjadi perselisihan/perkara hukum) dalam upaya
penyelesaian perselisihan dengan bantuan Hakim/pengadilan.
Contoh kaidah formal adalah :

74
- Kaidah-kaidah hukum di dalam Kitab UU Hukum Acara Pidana
- Hukum Acara Perdata.

Kebijakan legislasi atau penyusunan peundang-undangan di Indonesia saat ini seringkali


mengatur hukum materiil dan hukum formal tentang sesuatu hal dalam satu undang-undang.
Misalnya dalam UU Perkawinan diatur tentang syarat-syarat perceraian yang merupakan
hukum material tetapi diatur sekaligus prosedur perceraian yang merupakan kaidah hukum
formil. Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan ancaman pidananya yang merupakan kaidah hukum material, diatur juga alat
bukti yang merupakan kaidah hukum formal.

8. PENGGOLONGAN BERDASARKAN WUJUD KAIDAH HUKUM

Dengan kriterium ini orang membedakan kaidah hukum ke dalam :

1. Hukum Obyektif, yaitu kaidah-kaidah hukum dalam suatu masyarakat yang berlaku
umum dan tidak dimaksudkan untuk mengatur perilaku orang-orang tertentu saja.
Kaidah hukum dalam arti obyektif ini merupakan peraturan-peraturan yang mengatur
secara umum hubungan-hubungan hukum di antara dua orang atau lebih di dalam
masyarakat.

2. Hukum Subyektif adalah kaidah hukum yang timbul karena adanya hukum obyektif
yang diberlakukan terhadap seseorang atau lebih tertentu. Dalam arti ini, hukum
diartikan sebagai hak dan kewajiban seseorang yang timbul karena perbuatan atau
hubungan atau tingkah laku yang telah diatur oleh hukum obyektif.

Penjelasan lebih lanjut :

Hukum dimaksudkan untuk mengatur hubungan antarmanusia dengan menetapkan batas-


batas hak dan kewajiban tiap orang (siapapun juga) terhadap ”lawan bergaulnya”. Pengaturan
ini diwujudkan, antara lain, dengan penetapan aturan-aturan. Aturan-aturan ini pada
dasarnya hendak meletakkan hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan antarmanusia.
Hubungan-hubungan semacam itu dinamakan Hubungan Hukum.

Dalam kaitan tersebut, istilah ”Hukum” dapat digunakan untuk :

a. menyatakan aturan atau kaidah hukum yang sengaja dibuat untuk mengatur suatu
hubungan antarmanusia tertentu. Dalam arti ini ”Hukum” harus difahami sebagai kaidah
yang berlaku umum (bagi siapa saja) dan tidak dimaksudkan untuk mengatur orang-
orang tertentu saja. Dalam arti inilah maka hukum disebut sebagai Hukum Obyektif.

b. menyatakan hubungan atau relasi antarmanusia yang menjadi hubungan hukum


karena adanya pengaturan di dalam hukum obyektif tersebut di atas. Hubungan (hukum)
itu menerbitkan hak dan kewajiban tertentu kepada fihak-fihak yang terlibat di
dalamnya.

75
Pengertian ”hukum” di sini, selalu dikaitkan dengan subyek hukum tertentu yang
memiliki hak dan kewajiban tertentu berdasarkan hukum obyektif. Hukum dalam arti
inilah yang disebut Hukum Subyektif.

Jadi, pengertian ”Hukum Obyektif” tidaklah sama/identik dengan pengertian ”hukum


subyektif”, walaupun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Artinya, dalam suatu
peristiwa, hubungan, atau perbuatan hukum, selalu dapat dilihat adanya :

- hukum obyektif sebagai kaidah/peraturan hukum yang bersifat umum, dan


- hukum subyektif, dalam wujud hak dan kewajiban yang terbit bagi seseorang (atau lebih)
tertentu yang terlibat dalam peristiwa atau hubungan atau perbuatan hukum yang telah
diatur oleh hukum obyektif tadi.

Catatan :

Pada mulanya, berdasarkan ajaran atau filsafat individualisme yang berkembang sejak abad
ke-16 di Eropa, orang cenderung mengartikan Hukum Subyektif hanya sebagai hak
individual (hak perorangan) yang dilindungi oleh Hukum Obyektif. Tetapi dalam
perkembangannya sikap semacam itu ditinggalkan orang.
Menurut pandangan yang muncul belakangan, hal yang harus diutamakan dalam kehidupan
manusia adalah masyarakat dan bukan individu atau perorangan. Manusia sebagai individu
sebenarnya tidak memiliki hak, melainkan memiliki tugas tertentu di dalam masyarakat
(fungsi sosial). Adanya fungsi sosial inilah yang seharusnya menjadi dasar dari suatu tertib
hukum.
Setiap orang memiliki kewajiban (tugas) untuk mengembangkan diri sebaik-baiknya demi
kepentingan masyarakat. Kaidah-kaidah Hukum Obyektif dibuat dengan tujuan agar setiap
manusia dapat melaksanakan tugas sosialnya itu demi kepentingan masyarakat.
Inilah pandangan yang dikenal dengan sebutan Teori Fungsi Sosial, yang dipelopori oleh
seorang ahli hukum Perancis, yaitu Leon Duguit.

Tetapi, menurut Prof. van Apeldoorn ajaran Fungsi Sosial ini harus dikritik dari dua aspek,
yaitu :

a. ajaran ini tidak sesuai dengan kenyataan (realitas) kehidupan hukum di dalam masyarakat,
sebab ajaran ini :

- hanya melihat fungsi kaidah hukum sebagai peraturan tentang cara bertingkah laku
saja, tetapi
- dengan mengabaikan kenyataan bahwa kepentingan dan hak perorangan pada
kenyataannya selalu diakui dan dilindungi oleh Hukum Obyektif

b. sadar atau tidak sadar, ajaran ini tetap mengakui adanya pengertian ”hukum subyektif”
dalam arti ”Hak”, sebab pada dasarnya Fungsi Sosial adalah juga merupakan hak yang
dilindungi oleh Hukum Obyektif.

76
Prof van Apeldoorn beranggapan bahwa sebenarnya setiap manusia adalah pendukung hak
dan kewajiban, walaupun hal itu tidak semata-mata untuk kepentingannya sendiri melainkan
juga untuk kepentingan dirinya sebagai anggota masyarakat agar ia dapat mengembangkan
dirinya untuk diabdikan demi kepentingan masyarakat itu.

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa di dalam pengertian ”Hukum


Subyektif” sudah terkandung pemikiran tentang Hak dan Kewajiban (sekaligus hak dan fungsi
sosial) dan adanya kewajiban untuk menggunakan hak-hak, tanpa mengabaikan
kepentingan masyarakat.

Sehubungan dengan hal di atas, maka di sini akan disinggung sedikit tentang pengertian
Penyalahgunaan Hak yang dikenal di dalam ilmu hukum.

PENGERTIAN ”PENYALAHGUNAAN HAK”

Dalam perkembangannya, konsep Hukum Subyektif diberi pengertian ”hak dan kewajiban”,
yang tidak saja dimaksudkan untuk pemenuhan kepentingan individual manusia semata, tetapi
juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan pemikiran itu, orang juga menarik kesimpulan bahwa penggunaan hak
individual secara bertentangan dengan kepentingan masyarakat adalah sesuatu yang
tidak dapat dibenarkan.
Sikap inilah yang melahirkan pemikiran dan konsep tentang Penyalahgunaan Hak atau
Misbruik van Recht (Belanda), atau Abus de Droit (Perancis).
Prof. van Apeldoorn berpendapat bahwa : Penyalahgunaan Hak terjadi apabila seseorang
menggunakan haknya dengan cara yang bertentangan dengan tujuan sosial (tujuan
kemasyarakatan) dari hak itu. Bila hukum dimaksudkan untuk mempertahankan atau
melindungi kepentingan-kepentingan, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan hak
tanpa adanya kepentingan yang pantas (patut) harus juga dianggap sebagai misbruik van
recht. Terlebih lagi bila penggunaan hak itu dapat dibuktikan semata-mata dimaksudkan untuk
merugikan orang lain.

Kasus klasik tentang Penyalahgunaan Hak, adalah Putusan Pengadilan Kota Colmar
(tanggal 12 Mei 1855).
Kasus Posisinya adalah sebagai berikut :

- A dan B hidup bertetangga


- Rumah A terletak di atas tanah yang lokasinya lebih tinggi dari rumah dan tanah milik B
- Rumah A memiliki jendela yang dapat memberikan pemandangan melalui atap rumah B
- Untuk sekedar mengesalkan si A dengan cara menghalangi pemandangan melalui
jendelanya itu, B membuat sebuah cerobong asap palsu
- A menggugat ke Pengadilan, dan menuntut agar B diperintahkan untuk membongkar
cerobong asap itu
- Pengadilan di kota Colmar memutuskan untuk memenangkan gugatan A, dan
memerintahkan B untuk membongkar cerobong asap tersebut. Oleh pengadilan si B
dinyatakan bersalah karena telah menyalahgunakan haknya.

77
Penyalahgunaan hak itu tidak hanya terjadi di bidang hukum perdata saja, tetapi juga dapat
dilakukan orang di bidang hukum publik, khususnya di bidang hukum tatausaha negara/
hukum administrasi negara.
Seorang pejabat negara mungkin melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh Hukum
Publik karena jabatannya (ex officio), tetapi dengan cara atau tujuan yang bertentangan dengan
tujuan pemberian kewenangan itu, atau bertentangan dengan aturan hukum yang tidak tertulis.
Penyalahgunaan wewenang semacam itu dinamakan Detournement de Pouvoir.

*****************

78
BAB XI

BEBERAPA PENGERTIAN POKOK ATAU KONSEP INTI


DALAM HUKUM
1. Pengertian Konsep Yuridis

Dalam tiap ilmu selalu terbentuk berbagai konsep atau pengertian yang ditunjuk atau
diungkapkan dengan sebuah istilah atau kombinasi beberapa istilah berupa sebuah perkataan
atau beberapa perkataan. Biasanya dipilih perkataan atau kata-kata dari bahasa sehari-hari,
namun tidak jarang dipilih kata-kata dari bahasa yang sudah tidak digunakan dalam
percakapan sehari-hari (misalnya bahasa Latin atau Jawa Kuno) atau diciptakan perkataan
baru. Terhadap tiap istilah itu ditetapkan arti dan batasan makna setajam dan sejelas mungkin
dan arti tersebut diupayakan berlaku secara ajeg yang dirumuskan dalam sebuah definisi.
Pembentukan konsep-konsep ini dimaksudkan terutama untuk memudahkan penataan,
pemahaman, dan penguasaan atas bahan-bahan dari obyek yang dipelajari dalam bidang
tertentu sehingga tersusun bangunan pengetahuan dalam bidang tersebut yang mewujudkan
sebuah sistem yang secara rasional dapat dipelajari dan dipahami, serta untuk memudahkan
dan memproduktifkan komunikasi dalam komunitas penstudi bidang studi yang bersangkutan.
Selain itu, adanya konsep-konsep yang terdefinisi secara cermat dan ajeg akan dapat
memudahkan berlangsungnya dialog-dialog lintas batas bidang studi dengan para penstudi
berbagai bidang studi lain. Tiap konsep menunjuk pada, atau mengungkapkan dengan kata-
kata, suatu ihwal tertentu.

Dalam hukum dan Ilmu Hukum juga telah terbentuk berbagai pengertian atau konsep untuk
menyusun secara sistematis fakta-fakta mengenai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum menjadi suatu kesatuan (lihat halaman 6). Konsep atau pengertian dalam bidang
hukum itu dapat kita sebut konsep yuridis (legal concept), yakni konsep konstruktif dan
sistematis yang digunakan untuk memahami sebuah aturan hukum atau sistem aturan hukum,
misalnya konsep-konsep hak, kewajiban, perjanjian, perikatan, sah, kebatalan, undang-
undang, perseroan terbatas, yayasan, jual-beli, jaminan, perkawinan, delik, pencurian,
peradilan, vonis, dsb. Dalam bab ini akan dikemukakan beberapa konsep yuridis yang paling
pokok dalam bidang hukum yang dapat kita sebut konsep inti dalam hukum (basic legal
concept). Beberapa konsep yuridis yang paling pokok tersebut adalah: subyek hukum, obyek
hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum. Keempat konsep tersebut disebut konsep pokok
(inti) karena pasti menjadi bagian sentral dalam hukum. Tidak mungkin mengabaikan
keempat konsep yuridis tersebut saat berpikir, berbicara, berdiskusi, menulis tentang hukum.
Keempat konsep inti tersebut adalah: subyek hukum, obyek hukum, peristiwa hukum, dan
akibat hukum.

79
2. Subyek Hukum
a. Manusia
Pada bab-bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kaidah hukum berfungsi mengatur atau
memberikan pedoman kepada manusia untuk berperilaku dalam situasi sosial tertentu. Jadi
menjadi sasaran pengaturan kaidah hukum adalah perilaku manusia. Pada dasarnya hukum
tidak mungkin perilaku selain perilaku manusia. Peraturan tentang perlindungan satwa liar
misalnya tidak mengatur perilaku satwa liar tetapi mengatur perilaku manusia terhadap satwa
liar. Hukum secara normatif menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu. Secara atributif,
kaidah hukum memberikan hak kepada orang tertentu dengan menetapkan kewajiban pada
orang tertentu yang lain. Pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum tersebut disebut
sebagai subyek hukum. Jadi, pertama-tama yang menjadi subyek hukum adalah manusia
(natuurlijk persoon).
Dalam tatanan hukum modern semua orang atau manusia merupakan subyek hukum, bahkan
janin yang masih ada dalam kandungan seorang wanita sudah dipandang sebagai subyek
hukum sepanjang kepentingannya memerlukan pengakuan dan perlindungan hukum.
Kedudukan setiap manusia sebagai subyek hukum tersebut dengan alasan apapun tidak dapat
dicabut sebagaimana ternyata dari ketentuan Pasal 3 KUHPerdata yang menyatakan ”tidak
ada seorangpun yang, karena suatu hukuman, dapat dinyatakan mati secara perdata”.
Artinya, tidak ada seorangpun (di dalam hukum perdata), yang dicabut seluruh hak dan
kewajibannya sebagai pribadi. Demikian juga dalam hukum pidana sesorang yang dijatuhi
pidana penjara maka yang dicabut adalah hanya haknya atas kemerdekaannya, sedangkan hak-
hak lainnya tetap ada (misalnya hak untuk menyatakan pendapat, hak politik, hak ekonomi
dan sebagainya), kecuali hak-hak tertentu yang dinyatakan dicabut berdasarkan keputusan
pengadilan.

Sebagai subyek hukum maka semua orang atau manusia memiliki kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum. Bayi yang baru lahir, anak-anak yang belum dewasa, dan orang-
orang dewasa yang karena suatu keadaan kejiwaan tidak cakap mengurus dirinya pun
merupakan subyek hukum. Akan tetapi, demi menjaga kepentingan mereka dan demi
memberikan perlindungan hukum kepada mereka, hukum mengatur bahwa mereka hanya
dapat melakukan perbuatan hukum dengan diwakili atau didampingi orang dewasa yang cakap
yang ditunjuk menjadi wali atau pengampunya. Bayi dan anak yang belum dewasa dlam
melakukan perbuatan hukum harus diwakili atau didampingi walinya, sedangkan orang
dewasa yang tidak cakap mengurus dirinya harus diwakili atau didampingi oleh
pengampunya. Perbuatan hukum yang dilakukan tanpa diwakili atau didampingi wali atau
pengampu dapat dipersoalkan keabsahannya.

b. Badan Hukum

Dalam perkembangannya untuk kepentingan manusia dan masyarakat hukum mengakui


badan hukum, sesuatu yang bukan manusia alamiah sebagai subyek hukum. Badan hukum
bukan manusia tetapi oleh hukum dianggap sama atau diperlakukan sama seperti manusia

80
yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam bahasa Belanda badan
hukum sering disebut sebagai rechtspersoon. Oleh karenanya hal ini sering disebut sebagai
sebuah fiksi hukum.
Ciri-ciri dari suatu badan hukum adalah :
a. memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya
b. memiliki hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya sebagai
pribadi
c. memiliki sifat berkesinambungan (kontinyu) karena hak dan kewajiban Badan Hukum
tetap ada walaupun anggotanya berganti

Suatu badan hukum dapat berbentuk :


a. Korporasi (corporation), yaitu sekumpulan orang yang, untuk hubungan-hubungan
hukum tertentu, sepakat untuk bertindak dan bertanggung jawab sebagai satu subyek
hukum tersendiri;
Contohnya : Perseroan Terbatas (PT), Partai Politik, dan sebagainya.
b. Yayasan (foundation), yaitu kekayaan yang bukan milik seseorang atau suatu badan
hukum, yang diberi tujuan tertentu. Yayasan tidak memiliki anggota, yang ada adalah
pengurus yayasan.

3. Obyek Hukum
Obyek Hukum adalah sesuatu yang bermanfaat bagi subyek hukum, dapat dikuasai oleh
subyek hukum, dan dapat dijadikan pokok (obyek) dalam suatu hubungan hukum.

Yang umumnya dianggap sebagai obyek hukum itu adalah urusan-urusan (zaken) dan benda-
benda (goederen). Pengertian benda dapat dibedakan, antara lain, ke dalam :

a. Benda Berwujud atau Benda Tidak Berwujud


Benda berwujud yaitu segala sesuatu yang konkrit dan dapat dilihat; misalnya, mobil,
rumah, beras, dan sebagainya. Sedangkan benda tidak berwujud yaitu segala macam hak
seperti hak cipta, hak merk, dan sebagainya.
b. Benda Bergerak atau Benda Tetap
Pembedaan ke dalam benda bergerak atau tetap dapat dilakukan atas dasar :
- sifat benda yang bersangkutan (dapat dipindahkan atau tidak)
- tujuan pemanfaatan dari benda yang bersangkutan (khusus untuk benda tetap)
- penetapan oleh Undang-undang.

4. Peristiwa Hukum
a. Peristiwa Hukum adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat yang dapat
menimbulkan akibat-akibat yang diatur oleh kaidah-kaidah hukum.
Menurut Prof. van Apeldoorn : ”Peristiwa Hukum adalah peristiwa yang berdasarkan
hukum menerbitkan atau menghapuskan hak dan atau kewajiban”.

81
Peristiwa Hukum dapat dibedakan antara :

b. Peristiwa hukum yang merupakan Perbuatan Subyek Hukum, yaitu :


Semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia atau badan hukum yang dapat
menimbulkan akibat hukum.

c. Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum, yaitu :


Semua peristiwa hukum yang tidak timbul karena perbuatan subyek hukum atau badan
hukum, tetapi dapat menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu bila terjadi.

Perbuatan Subyek Hukum dapat dibedakan antara :

d. Perbuatan subyek hukum yang merupakan Perbuatan Hukum, yaitu perbuatan-perbuatan


subyek hukum yang menimbulkan akibat-akibat hukum dan akibat-akibat hukum itu
memang dikehendaki timbulnya oleh si pelaku perbuatan.
Jadi unsur ”kehendak” menjadi unsur esensial dari perbuatan itu.

e. Perbuatan subyek hukum yang bukan perbuatan hukum, yaitu perbuatan subyek hukum
yang, walaupun menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu, tetapi akibat hukum itu
tidak dikehendaki oleh pelakunya, atau setidak-tidaknya unsur ”kehendak” dianggap
relevan.

Perbuatan Hukum dapat dibedakan antara :

f. Perbuatan Hukum yang Bersegi Satu, yaitu perbuatan-perbuatan hukum yang akibat
hukumnya timbul karena kehendak dari satu subyek hukum (satu pihak) saja, yaitu si
pelaku perbuatan sendiri.
Misalnya :

- Pembuatan surat wasiat (testamen)


- Penerimaan atau penolakan warisan
- Hak untuk melepaskan hak atas harta perkawinan.

g. Perbuatan Hukum Bersegi Dua, yaitu perbuatan hukum yang akibat-akibat hukumnya
timbul karena kehendak dari dua atau lebih subyek hukum yang melakukan perbuatan
itu.
Setiap perbuatan hukum bersegi dua disebut Perjanjian (overeenkomst)

Perbuatan subyek hukum yang Bukan Perbuatan Hukum dapat dibedakan menjadi :

h. Perbuatan yang tidak melawan hukum, yaitu : Perbuatan-perbuatan yang akibat-


akibatnya diatur oleh hukum walaupun akibat-akibat hukumnya tidak dikehendaki oleh
pelakunya, namun perbuatan ini tidak melanggar kaidah dan asas-asas hukum dan bagi
hukum ”kehendak” si pelaku tidak dipersoalkan.

82
Misalnya : ”Zaakwaarneming” yang diatur oleh pasal 1354 KUHPerdata, atau Pasal-pasal
di dalam UU Perkawinan yang menyangkut ”Kekuasaan Orang Tua”

i. Perbuatan yang merupakan perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige daad),


yaitu : Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah atau asas-asas hukum
atau bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan, yang dapat menimbulkan akibat-akibat
hukum tertentu bagi pelakunya.

5. Akibat Hukum

Akibat hukum adalah akibat-akibat yang diatur oleh hukum sebagai akibat dari suatu peristiwa
hukum. Sesuai dengan sifat hukum yang atributif maka bentuk dari akibat hukum tersebut
adalah hak dan kewajiban.
Hak adalah hukum yang dikaitkan dengan seorang manusia atau subyek hukum tertentu, dan
karena itu mewujudkan diri menjadi ”kekuasaan”, ”kemampuan”, atau ”kewenangan” tertentu
untuk atau atas sesuatu. Contohnya : Orang dikatakan memiliki ”hak milik” atas suatu benda,
atau orang dikatakan memiliki ”hak sewa” atas sebuah mobil. Dengan diberikannya hak
semacam itu oleh kaidah hukum, maka orang dianggap oleh hukum telah memiliki ”ijin”,
kekuasaan, atau wewenang untuk melakukan hal-hal tertentu atas pelbagai obyek hukum. Hak
merupakan akibat diterapkannya kaidah hukum yang berlaku umum (hukum obyektif) ke
dalam peristiwa hukum konkret tertentu. Oleh karenanya, hak juga sering disebut sebagai
hukum subyektif. Sedangkan kewajiban merupakan sisi lain dari hak, artinya pada saat hukum
memberikan suatu hak kepada seseorang maka pada saat yang sama hukum membebankan
kewajiban pada seseorang yang lain. Sebagai ilustrasi: apabila seseorang secara hukum
memiliki hak untuk menerima pembayaran maka pada saat yang sama pasti ada orang lain
yang memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran, sebaliknya apabila ada orang yang
secara hukum memiliki kewajiban untuk menyerahkan sesuatu maka pada saat yang sama
pasti ada orang lain yang mempunyai hak untuk menerima penyerahan tersebut.

Pengertian Hak dapat dibedakan ke dalam :


a. Hak Mutlak
adalah hak yang memberikan kewenangan atau kekuasaan tertentu kepada seseorang
untuk melakukan perbuatan, yang dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Ada
tiga macam hak mutlak, yaitu: hak-hak asasi manusia, hak publik mutlak, hak keperdataan
mutlak.
b. Hak Nisbi (relatif)
adalah hak yang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada seseorang tertentu untuk
menuntut agar seseorang lain memberikan, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu.
Hak-hak relatif umumnya terbit dari persetujuan-persetujuan dalam hukum perdata.

**************

83
BAB XII

SUMBER HUKUM

1. ARTI SUMBER HUKUM

Istilah sumber hukum mempunyai beberapa pengertian. L.J. van Apeldoorn menyebutkan
adanya empat pengertian sebagai berikut :

1.1. Sumber hukum dalam arti sejarah.

Dalam arti sejarah, istilah sumber hukum mempunyai dua makna :

a. Sumber hukum dalam arti sumber untuk mengetahui hukum apa yang berlaku pada
suatu waktu di tempat tertentu. Dalam arti ini Apeldoorn juga menyebutnya sebagai
sumber pengenalan hukum (kenbron). Sumber pengenalan hukum dalam arti sejarah
ini meliputi semua jenis tulisan, misalnya : dokumen-dokumen, inskripsi-inskripsi,
dan piagam-piagam yang meliputi antara lain peraturan perundang-undangan, vonis-
vonis, kontrak-kontrak tertulis, karya-karya tulis para ahli hukum, novel-novel, dan
tulisan-tulisan lain.
b. Sumber-sumber darimana pembentuk undang-undang memperoleh bahan-bahan yang
digunakan untuk membentuk undang-undang. Termasuk dalam pengertian ini adalah
penggunaan sistem-sistem hukum yang berlaku di negara lain.

1.2. Sumber hukum dalam arti sosiologis.

Yang dimaksud di sini adalah faktor-faktor sosial yang secara riil menentukan atau
mempengaruhi isi kaidah hukum positif. Faktor-faktor sosial ini meliputi situasi dan
sistem sosio-ekonomi, keyakinan keagamaan, dan kondisi kebudayaan pada umumnya.
Sumber hukum dalam arti sosiologi ini dapat juga dinamakan sumber hukum materiil.
Studi tentang sumber hukum materiil ini memerlukan pendekatan multidisiplin dan
interdisiplin.

1.3. Sumber hukum dalam arti filsafat

Dalam arti filsafat, perkataan sumber hukum juga mempunyai dua makna :

a. Dalam arti sumber dari isi hukum dipandang dalam konteks pertanyaan ”Bila suatu
hukum atau aturan hukum dapat dikatakan baik? Ukuran (kriteria, norma kritik) apa
yang dapat digunakan untuk menguji aturan hukum atau sistem hukum tertentu?”
b. Sumber hukum dalam arti sumber kekuatan mengikat dari hukum. Dalam konteks ini
pertanyaannya adalah : ”Atas dasar apa warga masyarakat wajib mematuhi kaidah
hukum?”

84
1.4. Sumber hukum dalam arti formal.

Yang dimaksud adalah peristiwa-peristiwa dari mana atau dengan apa terbentuk kaidah
hukum yang berlaku (kaidah hukum positif). Yang penting di sini adalah cara, yakni
prosedur terbentuknya serta bentuk yang di dalamnya kaidah hukum tersebut dirumuskan.
Dapat dikatakan juga, bahwa sumber hukum dalam arti formal itu adalah sumber yang di
dalamnya kita dapat menemukan kaidah hukum positif. Secara umum (tradisional)
sumber hukum dalam arti formal itu meliputi :
a. Perundang-undangan.
b. Kebiasaan.
c. Traktat.
d. Yurisprudensi.

Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa penulis yang
menambahkan sumber hukum dalam arti formal yang kelima, yakni Doktrin, misalnya
E. Utrecht dalam bukunya yang berjudul ”Pengantar dalam Hukum Indonesia.”

Yang dimaksud dengan Doktrin adalah pendapat dari pakar atau akhli hukum yang
terkenal dan terkemuka serta dalam bidangnya dikenal dan diakui wibawanya di
lingkungan dunia ilmu hukum, sehingga pandangannya sering digunakan orang untuk
memberi dasar ilmiah dari atau bagi keputusan-keputusan hukum yang diambil.

Prof. van Apeldoorn menganggap bahwa Doktrin itu bukan sumber hukum formal,
sebab dalam kerangka perundang-undangan yang ada, tidak terdapat ketentuan yang
mewajibkan hakim atau seseorang untuk terikat pada pandangan seorang akhli hukum.
Sebaliknya, Utrecht menganggap bahwa Doktrin itu adalah sumber hukum formal, sebab
dalam praktek ternyata bahwa doktrin itu sering dijadikan dasar dari suatu keputusan
hukum. Di samping itu, dalam Hukum Internasional, peranan doktrin itu sangat penting
dan diakui sebagai salah satu dasar yang harus digunakan sebagai alat pembantu hakim
dalam usaha menemukan asas-asas dan aturan-aturan hukum yang harus diberlakukan di
dalam suatu perkara.

Secara umum dapat kita bedakan adanya dua sumber hukum, yakni sumber hukum materiil
dan sumber hukum formal.

Yang dimaksud dengan ”sumber hukum materiil” adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
atau turut menentukan isi dari hukum atau kaidah hukum. Faktor-faktor yang menentukan isi
hukum itu dapat dibedakan dalam faktor-faktor idiil dan faktor-faktor kemasyarakatan.
Faktor-faktor idiil adalah patokan-patokan yang tetap (tidak berubah), yang harus dipatuhi
oleh pembentuk undang-undang dan badan-badan pembentuk hukum lainnya dalam
menjalankan tugas masing-masing, yakni keadilan, asas-asas kesusilaan yang paling dasar,
dan kesejahteraan masyarakat. Faktor-faktor kemasyarakatan menunjuk pada kenyataan
masyarakat yang aktual dan yang menjadi landasan pengaturan kehidupan kemasyarakatan.
Fakta-fakta kemasyarakatan itu bukanlah aturan hukum, melainkan material yang oleh
pembentuk undang-undang dan pembentuk hukum lainnya diolah menjadi kaidah-kaidah
hukum dengan bersaranakan faktor-faktor idiil. Faktor-faktor kemasyarakatan itu meliputi

85
struktur dan kondisi ekonomi, struktur dan proses politik, kebiasaan, tata hukum yang ada,
tata hukum dari negara lain, pandangan hidup, keyakinan keagamaan, keyakinan kesusilaan,
keyakinan atau kesadaran hukum dan opini publik pada umumnya.

Sumber hukum dalam arti sejarah, sosiologis dan filsafat yang dimaksud van Apeldoorn
bersama-sama mewujudkan sumber hukum materiil atau sumber hukum dalam arti materiil.
Studi tentang sumber hukum materiil perlu memanfaatkan hasil-hasil studi dan penelitian
Sosiologi Hukum, Filsafat Hukum, Sejarah, Sejarah Keagamaan (Agama), Psikologi,
Antropologi dan Ilmu Ekonomi.

Sumber hukum formal atau sumber hukum dalam arti formal menunjuk pada wujud atau
bentuk-bentuk penampilan dari kaidah-kaidah hukum positif. Dengan kata lain sumber
hukum formal adalah sumber dimana kita bisa menemukan kaidah-kaidah hukum positif
(hukum yang berlaku) tentang suatu hal tertentu. Dalam dunia praktik hukum biasanya istilah
sumber hukum identik dengan sumber hukum dalam arti formal, karena para pengemban
hukum praktis sehari-hari bekerja memecahkan kasus berdasarkan kaidah-kaidah hukum
positif. Untuk selanjutnya hanya akan dibicarakan sumber hukum dalam arti formal.

2. SUMBER HUKUM FORMAL

2.1. PERUNDANG-UNDANGAN.

Perundang-undangan adalah peraturan (regel) yang merupakan salah satu bentuk produk
hukum tertulis yang dihasilkan oleh pemerintah. Selain perundang-undangan produk
hukum tertulis yang dihasilkan oleh pemerintah adalah penetapan (beschiking) dan
putusan badan peradilan (vonis) 27. Secara lebih rinci ketiganya adalah sebagai berikut:

1. Peraturan (regel), yakni keputusan pemerintah yang isinya berlaku atau mengikat
secara umum; jadi, berlaku bagi umum, dan karena itu tidak ditujukan bagi orang
tertentu. Pada dasarnya peraturan itu mengatur keadaan pada waktu sekarang dan
yang akan datang; jadi tidak mengatur keadaan pada masa lampau, dan karena itu
pada dasarnya tidak berlaku surut.

2. Penetapan atau ketetapan (beschikking), yakni keputusan pemerintah yang hanya


berlaku bagi orang atau orang-orang tertentu saja; jadi tidak dimaksudkan untuk
berlaku bagi umum atau mengikat umum.

27
Kata pemerintah disini diartikan dalam pengertian yang luas yang meliputi segala kegiatan badan-badan publik
yang meliputi kegiatan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara. Sedangkan
Pemerintah dalam ari sempit adalah segala kegiatan badan-badan publik yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif.
(C.F. Strong).

86
3. Vonis, yakni keputusan badan peradilan (hakim) yang menetapkan apa hukumnya
bagi kasus konkret tertentu untuk menyelesaikannya.

Istilah ”perundang-undangan” sudah meliputi seluruh jenis dan hirarkhi peraturan


(regel) tertulis. Istilah ”perundang-undangan” identik dengan istilah ”undang-undang
dalam arti materiil”. Sedangkan istilah ”undang-undang” hanya meliputi jenis
peraturan (regel) yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat yang diberi nama ”undang-undang”. Istilah ”undang-undang” identik dengan
istilah ”undang-undang dalam arti formal”. Oleh karena itu sebaiknya kita
menggunakan istilah tersebut secara konsisten. Kalau yang dimaksud adalah semua
jenis dan hirarkhi peraturan (regel) maka kita gunakan istilah ”perundang-undangan.
Sebaliknya istilah ”undang-undang” kita gunakan kalau yang dimaksud adalah
peraturan (regel) yang bernama ”undang-undang”.

Perundang-undangan tersusun dalam suatu bangunan hirarkhi dari yang tertinggi


sampai yang terendah28. Hirarkhi suatu jenis perundang-undangan merupakan
konsekwensi dari hirarkhi kekuasaan lembaga atau pejabat yang menerbitkan
perundang-undangan tersebut. Perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga
dengan kekuasaan yang lebih tinggi maka hirarkhinya juga lebih tinggi dibanding
perundang-undangan yang diterbitkan oleh klembaga yang memiliki kekuasaan yang
lebih rendah. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomer 12 Atahun 2011 tersebut
mengatur bahwa ”Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”. Artinya jenis perundang-undangan
yang yang hirarkhinya lebih tinggi lebih kuat dibanding yang hirarkhinya lebih rendah.

Dalam kenyataan praktik perundang-undangan di Indonesia suatu hal atau urusan


seringkali diatur dalam berbagai jenis perundang-undangan dengan hirarkhi yang sama
dan/atau berbeda. Sehingga seringkali ditemukan bahwa berbagai perundang-undangan
tersebut isinya saling bertentangan: perundang-undangan yang lebih rendah
bertentangan dengan yang lebih tinggi, perundang-undangan yang lebih baru
bertentangan dengan yang lama, dan perundang-undangan yang khusus bertentangan
dengan yang bersifat umum. Bagi orang awam hal seperti itu ibarat belantara
perundang-undangan yang bisa membingungkan dan menyesatkan. Orang bisa salah
menetapkan yang mana diantara perundang-undangan yang saling bertentangan tersebut
yang berlaku. Untuk menetapkan secara tepat perundang-undangan yang berlaku dalam

28
Susunan hierarkhi perundang-undangan di Indonesia pada saat sekarang diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, yang dalam Pasal 7 (1)
menyatakan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

87
situasi seperti itu kita menggunakan tiga asas perundang-undangan, yaitu: (i) Asas lex
superior derogat legi inferiori, (ii) Asas lex posterior derogat legi priori, dan (iii) Asas
lex specialis derogat legi generali.

Asas lex superior derogat legi inferiori

Asas lex superior derogat legi inferiori ini merupakan konsekwensi logis dari adanya
hirarkhi perundang-undangan, yang berarti : perundang-undangan yang lebih tinggi
mengesampingkan perundang-undangan yang lebih rendah. 29 Dalam struktur hirarkhi
perundang-undangan peraturan yang lebih rendah berfungsi untuk melaksanakan (atau
mengoperasionalkan) lebih lanjut peraturan yang di atasnya. Karena fungsinya untuk
melaksanakan maka secara logis tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Maksudnya adalah bahwa jika dalam perundang-undangan terdapat
beberapa peraturan yang mengatur objek yang sama tetapi isi dari peraturan-peraturan
itu saling bertentangan, maka yang berlaku adalah peraturan yang kedudukannya lebih
tinggi. Dengan demikian, jika hakim dihadapkan pada kasus yang berkaitan beberapa
peraturan yang isinya berbeda (bertentangan), maka hakim harus menerapkan ketentuan
yang tercantum dalam peraturan yang lebih tinggi dengan mengesampingkan ketentuan
yang tercantum dalam peraturan yang lebih rendah, atau dengan menyatakan ketentuan
yang tercantum dalam peraturan yang lebih rendah itu tidak berlaku atau tidak sah atau
tidak mengikat. Tindakan yang disebut terakhir ini dinamakan tindakan menguji
peraturan.

Tindakan menguji peraturan adalah tindakan menyatakan suatu ketentuan yang


tercantum dalam sebuah peraturan tidak berlaku atau tidak mengikat berdasarkan
ketentuan yang tercantum dalam peraturan yang kedudukannya lebih tinggi.

Kewenangan menguji peraturan tersebut dinamakan Hak Menguji Peraturan atau Hak
Menguji Perundang-undangan (Toetsingsrecht). Hak Menguji Perundang-undangan
ini ada dua macam, yakni :
a. Hak menguji peraturan secara formal (formeletoetsingsrecht), artinya menentukan
keabsahan suatu peraturan berdasarkan kewenangan pembentuk peraturan,
prosedur pembentukan serta bentuk peraturan.
b. Hak menguji peraturan secara materiil (materieletoetsingsrecht), artinya
menentukan keabsahan suatu peraturan berdasarkan isinya, yakni dengan
menentukan apakah isi suatu ketentuan yang tercantum dalam suatu peraturan
bertentangan atau tidak dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan yang
lebih tinggi. Dalam bahasa hukum Inggris, pengujian peraturan secara materiil ini
disebut Judicial Review.

Apabila semua pihak sepakat bahwa perundang-undangan yang lebih rendah


substansinya bertentangan dengan yang lebih tinggi maka tidak ada persoalan, otomatis
yang berlaku perundang-undangan yang lebih tinggi. Akan tetapi ada kemungkinan

29
Menderogasi = mengesampingkan berlakunya suatu peraturan tanpa secara eksplisit mencabut peraturan yang
bersangkutan.

88
terjadi ”sengketa” atau perbedaan pendapat: ada pihak yang berpendapat bahwa
peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih
tinggi, sebaliknya lembaga atau pejabat yang menerbitkan perundang-undangan yang
lebih rendah tersebut berpendapat bahwa tidak ada pertentangan. Untuk menyelsaiakan
”sengketa” seperti itu maka dibentuklah lembaga dan prosedur yang disebut judicial
review tersebut.

Sampai sebelum dilakukan perubahan ketiga terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di


Indonesia berlaku prinsip ”Undang-undang tidak dapat diganggu-gugat” (De wet is
onschendbaar). Pengadilan hanya memiliki kewenangan menguji perundang-undangan
yang hirarkhinya di bawah undang-undang. Setelah perubahan ketiga Undang-Undang
Dasar 1945 saat ini terdapat dua lembaga peradilan yang berwenang melakukan
pengujian secara materiil terhadap perundang-undangan yaitu:

1. Mahkamah Agung30

Mahkamah Agung menurut Pasal 24 A ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-undang


Dasar 1945, mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap
peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang. Mahkamah Agung dapat
menyatakan tidak sahnya peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan berlaku (formeletoetsingsrecht).

Pengambilan keputusan yudicial review oleh Mahkamah Agung di atas dapat


berupa pemeriksaan pada tingkat kasasi, artinya melalui pemeriksaan perkara pada
jenjang pengadilan, maupun berdasarkan permohonan langsung melalui
Mahkamah Agung. Yudicial review dapat dilaksanakan terhadap satu butir, satu
pasal, satu paragraph, satu bagian, satu bab, satu buku bahkan satu perundang-
undangan secara keseluruhan.

Pada saat Mahkamah Agung melakukan yudicial review maka peraturan


perundang-undangan yang sedang diuji tetap berlaku sebelum adanya keputusan
Mahkamah Agung (judicial act). Apabila permohonan dikabulkan, maka
konsekuensinya perundang-undangan yang dimaksud tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, serta Mahkamah Agung akan segera meminta kepada pejabat
pembentuk perundang-undangan yang dimaksud untuk segera melakukan
perubahan atau pencabutan.

2. Mahkamah Konstitusi31
Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang melakukan pengujian
terhadap Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar seperti ditegaskan oleh
Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini semakin
mengukuhkan bahwa dalam sistem perundang-undangan di Indonesia tidak lagi

30
Lihat Pasal 31 – 34 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
31
Lihat Pasal 50-60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

89
mengenal asas “Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat” (De wet is
Onschendbaar). Undang-Undang yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi
adalah undang-undang yang diundangkan setelah Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945, hal ini kemudian mengakibatkan dilematis terhadap Undang-Undang
yang lahir sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

Selain judicial review oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dalam sistem
hukum Indonesia masih dikenal satu lagi jenis pengujian yakni administrative review.
Menurut Pasal 251 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pembatalan perda provinsi ditetapkan dengan
keputusan menteri dan pembatalan perda kabupaten/kota ditetapkan dengan keputusan
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Kesan sentralisk semakin terasa pada
ketentuan Pasal 251 ayat (3) yang dinyatakan bahwa menteri berwenang untuk
membatalkan perda kabupaten/kota apabila gubernur sebagai perwakilan pemerintah
pusat dak melakukan kewajibannya itu. Kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh
pemerintah pusat terhadap perda yang disahkan oleh pemerintah daerah sebagai upaya
pelaksanaan otonomi daerah tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Akan tetapi melalui Putusan (MK) 137/PUU-XIII/2015 dan 56/PUU-XIV/2016


Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan
peraturan daerah, dan menetapkan bahwa kewenangan untuk melakukan review
terhadap peraturan daerah ada pada Mahkamah Agung.

Asas lex posterior derogat legi priori.

Asas lex posterior derogat legi priori berarti : perundang-undangan yang kemudian
mengesampingkan perundang-undangan yang terdahulu (perundang-undangan yang
lebih baru mengesampingkan perundang-undangan yang lama). Syarat berlakunya asas
ini adalah:
a. Dua atau lebih perundang-undangan tersebut memiliki hirarkhi yang sama. Apabila
hirarkhinya berbeda maka berlaku asas lex superior derogat legi inferiori.
b. Dua atau lebih perundang-undangan tersebut mengatur masalah yang sama.

Berdasarkan asas ini, maka jika terdapat dua atau lebih peraturan perundang-undangan
yang setingkat yang isinya saling bertentangan atau berbeda, maka hakim harus
menerapkan peraturan atau ketentuan yang tercantum dalam undang-undang atau
peraturan yang paling baru. Asas ini menyangkut aspek waktu dari perundang-
undangan. Pada dasarnya peraturan perundang-undangan itu berlaku untuk suatu masa
tertentu, jadi tidak berlaku untuk selamanya. Dengan demikian, keberlakuan peraturan
perundang-undangan itu mempunyai saat dimulai dan saat berakhir. Menurut Pasal 87
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku
dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain
di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

90
Sedangkan masa berlakunya peraturan perundang-undangan berakhir apabila dipenuhi
salah satu syarat atau keadaan di bawah ini:

a. Pada saat habisnya masa berlaku peraturan yang bersangkutan sebagaimana yang
secara eksplisit disebutkan dalam peraturan tersebut;
b. Jika peraturan tersebut dicabut dengan peraturan yang sederajat (dalam batas
kewenangan pembentuknya) atau yang lebih tinggi;
c. Peraturan itu akan berakhir daya berlakunya (kekuatan mengikatnya) pada saat
berlakunya peraturan baru yang sederajatnya atau yang lebih tinggi yang isinya
bertentangan atau berbeda dengan peraturan termaksud (berdasarkan asas Lex
Posterior dan Lex Superior);
d. Jika objek yang diatur oleh peraturan yang bersangkutan sudah tidak ada.

Asas Lex specialis derogat legi generali.

Asas lex specialis derogat legi generali berarti : ketentuan atau peraturan khusus
mengesampingkan ketentuan atau peraturan umum. Dapat terjadi adanya beberapa
peraturan yang sederajat dan mulai berlaku pada waktu bersamaan atau pada waktu yang
berbeda serta mengatur masalah yang sama, namun isinya berbeda atau bertentangan.
Hal ini terjadi karena ketentuan atau peraturan yang satu merupakan pengaturan secara
khusus, sedangkan yang lainnya memuat ketentuan-ketentuan umum. Dalam hal ini,
maka yang berlaku adalah ketentuan atau peraturan khususnya. Jadi, ketentuan khusus
mengesampingkan ketentuan umum. Ketentuan atau peraturan yang khusus ini selalu
merupakan pengecualian terhadap ketentuan atau peraturan yang lainnya itu, yakni yang
umum. Misalnya : ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam dalam Kitab Undang-
undang Hukum Dagang berkedudukan sebagai lex specialis terhadap ketentuan-
ketentuan yang tercantum dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang
berkedudukan sebagai lex generalisnya, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi merupakan lex specialis daru Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2.2. KEBIASAAN

Sebagai sumber hukum formal, perlu dibedakan antara pengertian ”kebiasaan” dan
pengertian ”adat”.

Kebiasaan adalah perulangan perilaku yang sama di dalam masyarakat setiap kali terjadi
situasi kemasyarakatan yang sama. Suatu kebiasaan baru menjadi Hukum Kebiasaan
apabila kebiasaan itu diyakini oleh masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum karena
dirasakan sesuai dengan tuntutan keadilan. 32

Hukum kebiasaan tidak dibentuk oleh negara, melainkan oleh masyarakat atau oleh
kelompok-kelompok yang berkepentingan di dalam masyarakat. Jadi, pada dasarnya
hukum kebiasaan itu bukan hukum negara, melainkan ”hukum rakyat” atau ”volksrecht”
yang kemudian diakui dan ditegakkan oleh negara.

32
Lihat Bab tentang Kesadaran Hukum.

91
Secara umum dapat dibedakan adanya tiga jenis Hukum Kebiasaan, yaitu :

1. Hukum Kebiasaan Umum yang berlaku untuk seluruh wilayah negara. Dalam
suatu negara dengan wilayah seluas negara Republik Indonesia dengan
penduduknya yang sudah mencapai lebih dari 170 juta, praktis tidak mungkin atau
sulit sekali akan terbentuk jenis Hukum Kebiasaan Umum ini.

2. Hukum Kebiasaan Setempat yang berlaku dalam lingkungan wilayah yang lebih
kecil, misalnya dalam satu Propinsi atau Kabupaten, yang sering kali pula
memperlihatkan perbedaan dari tempat ke tempat, meskipun memperlihatkan ciri-
ciri pokok yang sama.

3. Kebiasaan Khusus atau Kebiasaan Kelompok yang berlaku dalam lingkungan


kelompok orang-orang tertentu, misalnya Hukum Kebiasaan di kalangan profesi
tertentu (hukum, kedokteran, jurnalistik) atau lingkungan dunia perdagangan dan
kerajinan, seperti Hukum Kebiasaan di kalangan pedagang efek atau komoditi
pertanian, perusahaan bangunan, dsb. Pada masa sekarang, Hukum Kebiasaan
Kelompok ini yang paling penting.

Adat adalah sekumpulan kaidah yang secara tradisional dan turun-temurun hidup di
dalam masyarakat dan dimaksudkan untuk mengatur tata tertib masyarakat yang
bersangkutan. Suatu adat dapat menjadi Hukum Adat jika adat tersebut diberi sanksi
hukum. Sanksi hukum adat itu pada umumnya diterapkan dalam putusan penguasa adat
setempat.

2.3. PERJANJIAN INTERNASIONAL

Dalam penegertian umum dan luas, perjanjian internasional yang dalam Bahasa
Indonesia sering juga disebut persetujuan, atau traktat, ataupun konvensi, adalah: “kata
sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau
masalah tertentu yang dirumuskan secara tertulis dengan maksud untuk membentuk
hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
internasional.”33 Perjanjian Internasional yang merupakan salah satu sumber hukum
formal ialah perjanjian internasional dalam ruang lingkup hukum publik yakni perjanjian
internasional yang dibuat oleh Negara.

Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain:
treaty, convention, agreement, memorandum of understanding, protocol, charter,
declaration, final act, arrangement, exchange of notes, agreed minutes, summary record,
process verbal, modus vivendi, dan letter of intent. Pada umumnya bentuk dan nama
perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki
bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum,
perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di

33
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1 (edisi revisi), Mandar Maju, Bandung, 2018.
halaman 1r.

92
dalam suatu perjanjian internasional bagi perjanjian internasional, pada dasarnya
menunjukkan keinginan dan maksud pada pihak terkait serta dampak politiknya bagi
para pihak tersebut.34

Ditinjau dari jumlah negara yang menjadi pesertanya, perjanjian internasional dapat
dibedakan menjadi perjanjian bilateral, yaitu perjanjian antara dua negara saja, dan
perjanjian multilateral yang melibatkan lebih dari dua negara.

Pihak yang dapat membuat perjanjian internasional adalah subjek-subjek Hukum


Internasional. Yang diakui sebagai subjek Hukum Internasional adalah 35 :
1. Negara
2. Negara Bagian
3. Tahta Suci atau Vatikan
4. Wilayah Perwalian
5. Organisasi Internasional
6. Kaum Belligerensi/ kelompok yang sedang berperang
7. Bangsa yang sedang memperjuangkan haknya

Terdapat beberapa pendapat tentang tahap-tahap pembentukan perjanjian internasional,


diantaranya adalah:
a. Dengan mengutip pandangan klasik dari Francoi, E. Utrecht mengemukakan bahwa
penbentukan perjanjian internasional dilakukan melalui empat tahap, yakni:
a. Tahap penetapan :
Pada tahap ini, isi perjanjian ditetapkan oleh para utusan masing-masing negara
di dalam suatu konperensi internasional. Konperensi ini, pada tahap pertama
menghasilkan suatu konsep perjanjian yang disebut Traktat atau Perjanjian
Konsep.
b. Tahap Persetujuan :
Pada tahap ini, Pemerintah negara peserta menyampaikan traktat konsep kepada
Lembaga Perwakilan Rakyat Negara yang bersangkutan untuk dipelajari dan
disetujui, sebelum disahkan atau diratifikasi oleh pemerintah negara tersebut;
c. Tahap Ratifikasi
Pada tahap ini, konsep yang telah disetujui Lembaga Perwakilan Rakyat kemudian
disahkan dalam bentuk peraturan yang mengikat di dalam negeri (misalnya dalam
bentuk Undang-undang atau peraturan lainnya). Pengesahan ini dinamakan
RATIFIKASI. Traktat dianggap berlaku sejak tahap ratifikasi, dan sejak saat itu
pulalah isi perjanjian itu menjadi bagian dari hukum positif negara yang
bersangkutan;
d. Tahap pelantikan :
Pada tahap ini terjadi tukar menukar piagam perjanjian atau traktat di antara
negara-negara peserta, sebagai tanda penerimaan isi perjanjian oleh semua pihak.

b. Menurut Mochtar Kusumaatmadja pembentukan perjanjian internasional yang


materi penting biasanya dilakukan dalam tiga tahap yakni: perundingan atau

34
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
35
Ibid.,Halaman 19

93
negosiasi, penandatanganan, dan ratifikasi. Sedangkan perjanjian internasional yang
isinya tidak terlalu penting dilakukan melalui dua tahap, yakni: perundingan atau
negosiasi dan penandatanganan.

c. Di dalam hukum internasional terdapat konvensi yang khusus mengatur masalah


Perjanjian Internasional, yaitu Konvensi Wina tahun 1969 36. Menurut konvensi ini
proses pembentukan suatu perjanjian internasional harus melalui tahap-tahap sebagai
berikut :
1) Negosiasi
Tahap paling awal dalam proses pembentukan perjanjian internasional adalah
Negosiasi atau perundingan oleh para pihak yang akan merumuskan perjanjian.
Perundingan diawali dari penunjukkan wakil-wakil negara dan tahap pembuktian
adanya kewenangan wakil-wakil negara peserta perjanjian untuk mewakili
negaranya dalam proses pembuatan suatu perjanjian internasional, (full powers/
kuasa penuh)
2) Adoption of the text (Penerimaan naskah perjanjian)
Yaitu tahap di mana masing-masing wakil negara peserta menyetujui isi
rancangan perjanjian setelah melalui proses perundingan/negosiasi.
3) Authentication of the text (Pengotentikasian naskah perjanjian)
Masing-masing wakil negara peserta, pada tahap ini, memeriksa apakah teks
perjanjian sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati. Naskah perjanjian
dinyatakan sebagai naskah yang final dan definitif sehingga tidak dapat lagi
diubah oleh kesepakatan para pihak. Sekalipun dinyatakan sebagai naskah yang
final dan definitif, dalam tahapan ini naskah perjanjian tetap belum mengikat para
pihak.
4) Consent to be Bound by a Treaty (Persetujuan untuk terikat pada perjanjian)
Pernyataan secara tegas dari negara-negara peserta untuk terikat pada isi
perjanjian. Terdapat beberapa cara untuk menyatakan persetujuan untuk terikat
pada suatu perjanjian, yaitu dengan penandatanganan, pertukaran instrumen yang
membentuk perjanjian, ratifikasi, akseptasi, persetujuan atau aksesi, atau dengan
cara lain yang disepakati oleh para pihak.

Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional mengandung
dua aspek yaitu aspek eksternal dan aspek internal. Aspek eksternalnya adalah
keterikatan negara yang bersangkutan terhadap perjanjian, dalam hubungannya dengan
negara lain yang juga sama-sama terikat pada perjanjian tersebut. Perjanjian itu akan
melahirkan hak dan kewajiban baik secara bersama-sama maupun secara timbal balik
antar negara-negara yang sama-sama telah menyatakan persetujuannya untuk terikat.
Aspek internalnya, berkenaan dengan masalah dalam negeri dari negara yang
bersangkutan. Dimana perjanjian internasional tersebut akan masuk menjadi bagian dari
hukum nasional negara tersebut (the law of the land). Mekanisme pemberlakuannya
dapat berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Di Indonesia saat ini diatur
dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

36
Vienna Convention on The Law of Treaties 1969.

94
2.4. YURISPRUDENSI

Yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah keputusan hakim (vonis) dalam suatu
kasus yang dijadikan dasar untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa di kemudian hari.
Biasanya hal ini akan terjadi jika telah terjadi beberapa kali kasus yang serupa, dan untuk
kasus-kasus itu hakim selalu memberikan keputusan dengan cara yang kurang lebih
sama. Perulangan itu menimbulkan rasa keharusan untuk memutuskan dengan cara yang
sama setiap kali kasus yang serupa terjadi. Dengan demikian terbentuk hukum melalui
keputusan hakim (hukum-hakim, rechtersrecht, judge-made-law).

Di samping keputusan (vonis) dari Badan Peradilan Tertinggi (Mahkamah Agung), juga
vonis dari Badan Peradilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri) dan vonis dari Badan
Peradilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) dapat menjadi yurisprudensi.

Dalam suatu putusan hakim terdapat bagian yang berisi pertimbangan hakim yang
dibedakan menjadi:
a. Obiter Dicta atau pertimbangan hakim tentang fakta. Pada bagian ini hakim
memberikan pertimbangan tentang fakta apa saja yang dianggap terbukti dan fakta
mana saja yang dianggap tidak terbukti bsberdasarkan alat-alat bukti dan barang
bukti yang diperiksa di muka persidangan.
b. Ratio Decidendi atau pertimbangan hakim tentang hukum. Pada bagian ini hakim
akan memberikan pertimbangan tentang bagaimana hukumnya suatu kasus
berdasarkan pertimbangan tentang fakta.
Pertimbangan hakim yang dapat diambil oleh hakim lain sebagai yurisprudensi dalam
mengadili kasus berikutnya yang memiliki permasalahan hukum sama atau relatif sama
adalah bagian ratio decidendi ini. Pertimbangan dalam bagian obiter dicta hanya dapat
berlaku untuk kasus tersebut, artinya tidak dapat digunakan oleh hakim berikutnya
sebagai yurisprudensi.
Di negara-negara Anglo-Saksis (Inggris, Amerika Serikat) berlaku asas Stare Decicis
(hukum preseden), yakni para hakim terikat pada keputusan-keputusan dari hakim yang
lebih tinggi dan keputusan-keputusan terdahulu dari ia sendiri atau dari pengadilan di
mana ia berfungsi. Dalam hukum di Indonesia, asas Stare Decicis ini tidak berlaku.
Meskipun demikian, dapat saja terjadi pembentukan hukum (rechtsvorming) oleh
peradilan. Proses pembentukan hukum melalui proses peradilan itulah yang disebut
yurisprudensi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan hukum oleh peradilan sehingga terjadi


yurisprudensi di Indonesia adalah :

1. Pembentuk undang-undang (Wetgever) tidak memiliki kemampuan untuk


mengetahui segala hal secara lengkap, dan juga tidak mungkin dapat mengetahui
semuanya tentang apa yang dapat terjadi di kemudian hari. Karena itu, dalam
perundang-undangan sering digunakan istilah-istilah umum sehingga maknanya
menjadi kabur. Selain itu, tidak jarang di dalam perundang-undangan terdapat
kekosongan (leemte); dalam hal ini maka hakim berkewajiban untuk menetapkan apa

95
yang menjadi hukum jika kepadanya dihadapkan kasus yang berkaitan dengan
peraturan yang tidak jelas atau terdapat kekosongan.

2. Pembuat undang-undang tidak selalu dapat mengikuti kecepatan proses


perkembangan dari masyarakat yang menciptakan kekosongan yang harus diisi oleh
hakim melalui kasus yang ditanganinya.

3. Dalam praktek ternyata penerapan ketentuan perundang-undangan akan selalu


menuntut penafsiran (interpretasi), dan penafsiran selalu mengandung unsur
penciptaan atau penambahan hal (yakni : ketentuan hukum) baru.

4. Hal yang dianggap patut dan masuk akal dalam suatu kasus tertentu secara rasional
seharusnya juga berlaku bagi kasus-kasus lain yang sama sejenis.

5. Adanya peradilan kasasi oleh Mahkamah Agung. Karena terhadap semua kasus pada
dasarnya dapat dimintakan pemeriksaan pada tingkat banding dan akhirnya pada
tingkat kasasi, maka pada para hakim ada kecenderungan untuk menyesuaikan
keputusan-keputusannya pada pendapat Mahkamah Agung seperti yang terungkap
dalam keputusan-keputusan Mahkamah Agung terhadap kasus serupa di masa lalu.

*******************

96
BAB XIII

PENEMUAN HUKUM

1. PENDAHULUAN

Dalam pembahasan tentang sumber-sumber hukum telah dijelaskan bahwa hakim melalui
keputusan-keputusannya (yurisprudensi) dapat dianggap sebagai salah satu sumber hukum
formal. Dalam hubungan ini dapat pula dikatakan bahwa putusan-putusan hakim itu
merupakan salah satu faktor pembentukan hukum (rechtsvorming).

Secara yuridik-formal, hal itupun dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan perundang-
undangan, yaitu :

a. Pasal 22 AB 37 yang berlaku pada jaman Hindia Belanda, dan telah diperbaharui oleh,
b. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.

Secara umum, kedua ketentuan di atas menetapkan bahwa :

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu


perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Jadi, dalam hal perundang-undangan belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu
hakim dalam penyelesaian suatu perkara, maka hakim harus bertindak atas inisiatifnya
sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Artinya, hakim harus mampu
berperan dalam menetapkan/menentukan apa yang akan merupakan hukum (dan apa yang
bukan hukum), walaupun peraturan UU yang ada tidak dapat membantunya. Tindakan
hakim dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian Penemuan
Hukum atau Rechtsvinding. Akan tetap harus diperhatikan bahwa di bidang Hukum Pidana
kewenangan hakim untuk melakukan penemuan hukum tersebut dibatasi oleh asas legalitas
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan: ”Tiada suatu perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan”.

Prof. L.J. van Apeldoorn beranggapan bahwa : sebagai salah satu faktor pembentukan
hukum, seorang hakim pada dasarnya memiliki dua tugas/fungsi utama, yaitu :

a. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit


(perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan
selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang
hidup di dalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri.

37
Algemene Bepalingen van Wetgeving

97
Hal ini perlu dilakukan oleh hakim karena perundang-undangan pada dasarnya tidak
selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada di dalam masyarakat.
Pembentuk perundang-undangan hanya dapat mengatur hal-hal tertentu secara umum
saja. Pembentuk perundang-undangan tidak bisa menghindari menggunakan istilah-
isitlah yang bersifat umum sehingga menjadi relatif tidak jelas dan oleh karenanya harus
ditafsirkan.

b. Hakim senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi


peraturan Perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi
di dalam masyarakat; Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat perundang-
undangan (wetgever) tertinggal oleh perkembangan-perkembangan di dalam
masyarakat.

Yang masih menimbulkan pertanyaan adalah : Di manakah letak perbedaan antara tugas
seorang Hakim dengan tugas Pembuat Undang-undang?
Menurut Pasal 27 AB :

”Seorang hakim tidak dapat memberikan keputusan yang bersifat umum, atau
keputusan yang berlaku sebagai ketentuan yang mengikat umum”

Sejalan dengan itu Pasal 1917 ayat (1) KUHPerdata, juga menetapkan bahwa :

”Kekuasaan Keputusan Hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan


dalam keputusan itu”38

Dari isi ketentuan-ketentuan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perbedaan antara tugas
seorang hakim dengan tugas pembuat UU (walaupun kedua-duanya adalah ”pembentuk
hukum”) adalah sebagai berikut : Bila di satu fihak, hakim menetapkan hukum yang hanya
mengikat fihak-fihak yang bersangkutan dalam perkara tertentu saja, maka, di lain fihak,
tugas pembuat UU adalah menetapkan hukum yang mengikat secara umum.

Pertanyaan lain yang dapat diajukan di sini adalah : Mengapa seorang hakim perlu diberi
wewenang untuk melakukan penemuan hukum?

Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat diberikan sebagai berikut : Telah disadari bahwa
(1) Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap, dan (2) Pembuat UU seringkali
tertinggal oleh hal-hal baru yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Karena itu,
dalam pelaksanaan hukum, khususnya pelaksanaan perundang-undangan, harus selalu
dibuka kemungkinan bagi hakim untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian terhadap
hal-hal konkrit yang ada di dalam masyarakat.

Di sinilah hakim perlu diberi keleluasaan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian


tersebut, dengan tujuan agar hakim dapat selalu menjalankan fungsinya dengan semestinya,

38
Maksudnya adalah bahwa ; Keputusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya merupakan hukum yang
mengikat masalah, fihak-fihak, serta obyek yang berkaitan dengan perkara itu saja.

98
yaitu: memberikan keputusan yang adil, dan secara tidak langsung memberikan kepastian
hukum pula di dalam masyarakat.

Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa :

a. adakalanya pembuat perundang-undangan – sengaja atau tidak sengaja – menggunakan


istilah-istilah atau pengertian-pengertian yang sangat umum sifatnya, sehingga dapat
diberi lebih dari satu pengertian/pemaknaan39;

b. adakalanya, istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan


perundang-undangan ternyata tidak jelas lagi arti atau maknanya, atau tidak dapat
diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan
di dalam masyarakat 40;

Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang Hakim harus dapat


menemukan dan juga menentukan apa yang dapat dijadikan hukum. Bahkan, bila dikaitkan
lagi dengan ketentuan pasal 22 AB atau Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009, dapat pula disimpulkan bahwa Penemuan Hukum (rechtsvinding) merupakan
kewajiban hukum bagi seorang hakim, sebab dalam hal peraturan perundang-undangan
tidak dapat digunakan dalam penyelesaian suatu perkara, maka Hakim harus menemukan
hukum sendiri.

Karena alasan-alasan di ataslah maka dalam ilmu hukum orang berusaha menemukan dan
mengembangkan beberapa metoda/cara penemuan hukum, yang secara skematik dapat
dibedakan sebagai berikut :

39
Misalnya, istilah-istilah “Itikad Baik” atau “Itikad Buruk”, “Bertentangan dengan Kesusilaan”, atau “Bertentangan
dengan Kepentingan Umum”, dsb
40
Misalnya, pengertian “Pencurian”, “Pembajakan”, “Subversi” dan sebagainya

99
METODE PENEMUAN
HUKUM

1. Penafsiran Hukum 2. Konstruksi/Komposisi


(Rechtsinterpretatie) Hukum
(Rechtsconstructie)

2.1. Analogi
1.1.Gramatikal
1.2.Historis 2.2. Penghalusan Hukum
1.3.Sistematis
1.4.Sosiologis 2.3. Argumentum a
1.5.Otentik (tambahan) Contrario

Perbedaan antara metode penafsiran dan metode konstruksi adalah titik berangkatnya.
Metode penafsiran digunakan apabila ada perundang-undangan yangA mengatur
2.3. Argumentum Contratio suatu hal
akan tetapi tidak jelas. Sedangkan metode konstruksi digunakan bila terjadi kekosongan
hukum yang mengatur tentang suatu hal. Sementara itu, bila ditinjau dari segi luasnya
tindakan penemuan hukum oleh seorang hakim, orang membedakan pula antara
penemuan hukum yang restriktif dan penemuan hukum yang ekstensif.

2. PENAFSIRAN HUKUM (Rechtsinterpretatie)

Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang


dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, hakim tidak dapat bertindak sewenang-wenang.
Prof. J.H.A. Logemann berpendapat bahwa :

”Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang hakim diwajibkan untuk mencari


maksud dan kehendak Pembuat Undang-undang, dan ia tidak dapat melakukan
penafsiran terhadap UU sedemikian rupa sehingga menyimpang dari apa yang
dikehendaki oleh Pembuat UU itu.”

100
Jadi dalam melakukan penafsiran hukum, hakim dibatasi oleh kehendak pembuat Undang-
undang.
Yang masih menjadi masalah adalah :

- apa yang dapat dianggap sebagai ”Kehendak Pembuat Undang-undang” itu?


- bagaimana halnya jika Pembuat Perundang-undangan itu tidak menyatakan
kehendaknya dengan jelas atau tegas di dalam peraturan perundang-undangan yang
dibuatnya?

Prof. Logemann menganggap bahwa kehendak pembuat Perundang-undangan itu


adalah:

”Segala sesuatu yang, berdasarkan cara penafsiran yang baik, dapat


disimpulkan secara logikal sebagai kehendak pembuat Undang-undang”.

Dalam usaha mencari dan menentukan ”kehendak pembuat UU” itulah maka dalam ilmu
hukum dikembangkan beberapa metoda atau cara menafsirkan peraturan perundang-
undangan (metode penafsiran/ interpretatie methoden), yang dapat digunakan seorang
hakim, yaitu :

2.1.Penafsiran berdasarkan arti kata/gramatikal (taalkundige interpretatie)


2.2.Penafsiran sejarah/historis (Historische Interpretatie)
2.3.Penafsiran Sistematis (systematische interpretatie)
2.4.Penafsiran Sosiologis (Sociologische/teleologische interpretatie), dan
2.5.(tambahan) Penafsiran Resmi/Otentik (Authentike/Officiele interpretatie)

Masing-masing cara penafsiran itu akan dibahas satu persatu di bawah ini :

1.1. Penafsiran Gramatikal

yaitu : penafsiran yang dilakukan terhadap peristilahan/ kata-kata, atau tata kalimat
yang digunakan Pembuat UU di dalam peraturan perundang-undangan tertentu
Metode penafsiran ini pada dasarnya bersifat paling sederhana (walaupun tidak berarti
kurang penting artinya), dan umumnya digunakan pertama kali sebelum cara-cara penafsiran
lain digunakan. Alasannya adalah karena ”bahasa” pada dasarnya merupakan satu-satunya
media komunikasi bagi si pembuat UU untuk menyatakan maksudnya.

Pada tahap pertama, seorang hakim wajib mencari dan berusaha menemukan arti/makna
peristilahan, kata-kata, atau kalimat di dalam UU, sebab adakalanya pembuat UU tidak
menggunakan istilah atau tata kalimat yang lugas dan tegas maknanya dan hal ini dapat
membuka kemungkinan pemberian pelbagai arti/makna atas sebuah istilah atau pengertian
tertentu.

Bagaimana seorang hakim menjalankan metoda penafsiran gramatikal ini? Pada dasarnya,
seorang hakim harus menemukan fakta, arti dari kata-kata/istilah/kalimat di dalam UU

101
sesuai dengan pengertian yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari atau
makna yang sesuai dengan kaidah-kaidah berbahasa yang berlaku.

Contoh : Pasal 1140 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut :

”Seseorang yang menyewakan rumah dan tidak menerima pembayaran uang sewa,
mempunyai hak yang didahulukan untuk menjual benda-benda yang gunanya... dst...
dengan tidak memperdulikan apakah barang-barang itu milik si penyewa atau
bukan”

Yang dapat menjadi masalah dalam suatu perkara adalah : fihak penyewa berkeberatan
atas tindakan fihak yang menyewakan, karena fihak yang terakhir ini ternyata hendak
menjual benda-benda di dalam rumah yang ternyata bukan milik si penyewa, dan
pada saat perjanjian sewa-menyewa dibuat, fihak yang menyewakan telah diberitahu
bahwa benda-benda itu adalah bukan milik si penyewa.

Persoalan yang dihadapi hakim adalah : apakah dalam keadaan ini pasal 1140
KUHPerdata masih diberlakukan sepenuhnya? Melalui penafsiran gramatikal, hakim
dapat saja menetapkan bahwa hak dari fihak yang menyewakan untuk menjual benda-
benda itu tetap ada, walaupun ia telah mengetahui bahwa benda-benda itu bukanlah
milik si penyewa. Penafsiran hakim terhadap bunyi pasal 1140 KUHPerdata (terutama
anak kalimat yang terakhir) dalam hal ini dilakukan sesuai dengan makna yang
diperolehnya dari segi tata bahasa.

1.2. Penafsiran Sejarah (Historische Interpretatie)

Penafsiran historis dilakukan terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan dengan


meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan/terjadinya peraturan UU yang
bersangkutan.

Penafsiran ini dijalankan karena seringkali peristilahan/kata/menentukan/terjadinya


peraturan UU yang bersangkutan.
Penafsiran ini dijalankan karena seringkali peristilahan/kata/pengertian yang digunakan
pembuat UU ternyata belum jelas maknanya melalui penafsiran gramatikal saja. Melalui
penafsiran sejarah hakim berusaha mendapatkan gambaran tentang kemungkinan adanya
maksud-maksud tertentu atau makna khusus yang dikehendaki pembuat UU, sejalan dengan
situasi pada saat pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Dikenal dua macam penafsiran sejarah, yaitu :

a. Penafsiran Sejarah Perundang-undangan (Wetshistorisch Interpretatie)


b. Penafsiran Sejarah Hukum (Rechtshistorisch Interpretatie)

102
ad.a. Penafsiran Sejarah Perundang-undangan (PSPU)

Disebut juga penafsiran sejarah dalam arti sempit. Di sini Hakim hendak menemukan apa
”kehendak pembuat UU”, dengan mempelajari sejarah penetapan suatu peraturan
perundang-undangan tertentu.
Caranya : dengan menyelidiki atau mempelajari dokumentasi atau laporan-laporan yang
pernah dibuat dan yang menyangkut proses penetapan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, misalnya laporan-laporan notulensi yang dibuat pada saat berlangsungnya
sidang-sidang di parlemen, proses dan hasil perdebatan-perdebatan di Parlemen, hasil
dengar-pendapat serta surat-menyurat antara badan legislatif dan badan eksekutif.

Contoh : Untuk dapat memahami masalah ”mengapa UU No. 1/1974 tentang Perkawinan di
Indonesia menganut asas ”Monogami tidak mutlak”, maka hakim menyelidiki kembali fakta-fakta
sejarah yang ada pada saat rancangan UU tersebut berada dalam proses pembentukannya di Dewan
Perwakilan Rakyat.

ad.b. Penafsiran Sejarah Hukum (PSH)

Disebut juga penafsiran sejarah dalam arti luas. Dalam hal ini hakim berusaha menemukan
”maksud pembuat UU”, dengan menyelidiki asal-usul suatu peraturan perundang-
undangan, dikaitkan dengan suatu sistem/tata hukum yang pernah berlaku atau yang masih
berlaku.
Contoh : Di dalam KUHPerdata terdapat dua pasal/ketentuan yang erat kaitannya satu sama
lain, yaitu Pasal 1459 dan pasal 1460.
Pasal 1459 KUHPerdata menyatakan :

”Hak Milik atas suatu benda dalam jual beli baru beralih kepada fihak pembeli sejak
saat dilakukannya penyerahan”

Pasal 1460 KUHPerdata menetapkan :

”Dalam jual-beli benda-benda yang sudah tertentu, maka sejak saat pembelian, risiko
harus sudah ditanggung oleh pembeli, walaupun barang belum diserahkan kepadanya”

Bila kedua ketentuan di atas dikaitkan satu sama lain, maka tampak bahwa kedudukan
pembeli dapat dirugikan, sebab ada kemungkinan bahwa ia harus menanggung risiko atas
suatu benda yang secara hukum belum menjadi miliknya (pasal 1460), karena hak milik
baru beralih kepadanya sejak penyerahan kekuasaan secara nyata (pasal 1459).
Persoalannya : bagaimana mungkin pertentangan semacam itu dapat terjadi di dalam satu
peraturan perundang-undangan (KUHPerdata). Melalui penafsiran sejarah hukum, hakim
akan menyelidiki fakta-fakta sejarah yang ada pada masa pertumbuhan KUHPerdata di
Negeri Belanda (atau Perancis) di abad ke 19.

103
Pasal 1459 KUHPerdata Indonesia ternyata disalin dan diterjemahkan bulat-bulat dari
Burgerlijke Wetboek Negeri Belanda, sedangkan ketentuan yang sama di dalam BW – tidak
seperti umumnya ketentuan-ketentuan BW lainnya – ternyata tidak disalin/diterjemahkan
begitu saja dari Code Civil Perancis. Ketentuan ini merupakan aturan tentang Peralihan Hak
Milik dalam Jual-Beli yang khas BW.

Di lain fihak, di dalam Code Civil Perancis, hak milik atas suatu benda dalam jual-beli
sebenarnya sudah beralih kepada pembeli sejak saat perjanjian jual-beli dibuat
(walaupun bendanya belum diserahkan kepada pembeli). Sedangkan pasal 1460
KUHPerdata, yang juga disalin begitu saja dari BW Belanda, ternyata juga disalin dari
ketentuan tentang peralihan risiko yang ada di dalam Code Civil Perancis dalam suatu
himpunan peraturan-peraturan.

Dari penyelidikan secara historis ini dapat diketahui apa yang melatar belakangi
inkonsistensi antara pasal 1459 dengan pasal 1460 KUHPerdata ini. Hal ini tampaknya
terjadi karena kesalahan pembuat UU di Negeri Belanda.

Menyadari kenyataan semacam ini, hakim dapat – misalnya – menetapkan bahwa pasal
1460 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku dan peralihan risiko atas suatu benda
dianggap terjadi setelah hak milik beralih kepada pembeli.

1.3. Penafsiran Sistematis (Systematische Interpretatie)

yaitu Penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan, dengan cara


menyelidiki suatu sistem tertentu yang terdapat di dalam suatu tata hukum.

Suatu peraturan hukum, umumnya merupakan bagian dari suatu keseluruhan sistem yang
tidak berdiri sendiri. Artinya, suatu kaidah hukum selalu memiliki kedudukan tertentu di
dalam suatu himpunan kaidah-kaidah hukum yang mengatur suatu hal tertentu.
Misalnya : Ketentuan tentang ”Jual-Beli” merupakan bagian dari suatu kelompok kaidah
hukum tentang perjanjian, atau ketentuan perundang-undangan tentang ”Perceraian”, atau
”Kedudukan Anak terhadap Orang Tua” adalah ketentuan-ketentuan yang merupakan bagian
dari kelompok kaidah-kaidah hukum perkawinan, atau hukum keluarga.

Jadi, dalam suatu sistem hukum, umumnya dapat dijumpai adanya sekumpulan peraturan
hukum yang memiliki obyek pengaturan yang sama, atau memiliki unsur-unsur yang
sama.
Kumpulan peraturan hukum semacam itu akan membentuk suatu Lembaga Hukum
(Rechtsinstituut/legal institution) tertentu.
Misalnya orang mengenal adanya Lembaga Hukum Perjanjian, perkawinan, Lembaga
Hukum Pidana, dsb.

Setiap lembaga hukum umumnya memiliki Asas-asas Hukum (legal principles/


Rechtsbeginselen) nya masing-masing. Asas-asas hukum inilah yang menjadi dasar dari

104
suatu lembaga hukum dan yang berfungsi dalam menjaga keselarasan dan kesesuaian di
antara peraturan-peraturan hukum yang terhimpun di dalamnya.

Contoh : Di dalam lembaga hukum Perjanjian dikenal asas Kebebasan Berkontrak, di


dalam Lembaga Hukum Perkawinan dikenal asas Monogami, di dalam Hukum Acara
Pidana dikenal asas Praduga Tak Bersalah, dan sebagainya.

Asas-asas hukum semacam itulah yang dinamakan Sistem Material dalam suatu sistem
hukum/lembaga hukum (het materiele systeem van het recht).

Persoalan yang dihadapi adalah : adakalanya Sistem Material dari suatu aturan hukum yang
hendak digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara, ternyata tidak dinyatakan dengan
tegas/jelas di dalam peraturan yang bersangkutan. Dalam situasi semacam ini, hakim harus
berusaha menemukan sistem material yang dimaksudkan oleh pembuat UU. Untuk
dapat menemukan sistem material ini, hakim dapat melakukan perbandingan antara pelbagai
ketentuan hukum (di dalam suatu lembaga hukum) yang dianggap memiliki kesamaan-
kesamaan tertentu.

Perlu disadari bahwa di dalam suatu lembaga hukum, aturan-aturan hukum yang ada di
dalamnya akan membentuk suatu jaringan yang memperkecil kemungkinan adanya
pertentangan di antara kaidah-kaidah hukum yang dihimpun di dalamnya. Jaringan semacam
itu dinamakan Sistem Formal dari suatu sistem hukum (het Formele systeem van het recht)

Contoh : Pasal 279 KUHPidana Indonesia menyatakan bahwa :

”Diancam dengan pidana penjara 5 tahun barangsiapa mengadakan hubungan


perkawinan, padahal ia seharusnya menyadari bahwa perkawinan yang sudah ada
merupakan penghalang baginya untuk menikah lagi.”

Yang menjadi masalah bagi hakim : Bagi siapakah ketentuan hukum itu akan diberlakukan?
Apakah ketentuan ini berlaku bagi golongan masyarakat tertentu yang mengakui adanya
kemungkinan bagi seorang pria untuk beristeri lebih dari satu orang?
Bila hakim membandingkan ketentuan tersebut dengan ketentuan-ketentuan lain di dalam
tatahukum Indonesia, maka kaidah hukum yang menunjukkan kesamaan asas dengan pasal
279 KUHPidana itu adalah ketentuan pasal 27 KUHPerdata yang menyatakan bahwa :

”Dalam waktu yang sama, seorang pria hanya boleh memiliki satu orang isteri
dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu orang suami”.

Dari pembandingan itu hakim dapat menemukan asas/sistem material yang melandasi
kedua ketentuan di atas, yaitu asas monogami mutlak. Karena sistem perkawinan
KUHPerdata41 sebenarnya hanya berlaku untuk orang-orang Eropa dan orang Indonesia
yang beragama Kristen, maka dapat disimpulkan bahwa Pasal 279 KUUHPidana juga hanya

41
Sebagian besar dari ketentuan-ketentuan Hukum Perkawinan di dalam KUHPerdata sekarang tidak berlaku lagi
sejak diberlakukannya UU No. 1/1974 tentang Perkawinan.

105
berlaku untuk golongan itu saja, dan tidak berlaku bagi golongan penduduk yang tunduk
pada – misalnya – Hukum Perkawinan agama Islam.

Kesimpulan semacam itu dapat dibuat setelah hakim melakukan Penafsiran Sistematis.

1.4. Penafsiran Sosiologis

Seringkali dinamakan juga Penafsiran Teleologis (teleo = tujuan).


Sejalan dengan pandangan Prof. L.J. van Apeldoorn, maka salah satu tugas utama hakim
adalah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal konkrit yang ada di
dalam masyarakat. Di samping itu, telah diketahui pula bahwa setiap kaidah hukum
dimaksudkan untuk mengatur suatu hubungan sosial tertentu.
Masalahnya : Tujuan sosial suatu peraturan perundang-undangan ternyata tidak selalu
dirumuskan dengan jelas di dalam redaksi peraturan ybs. Dalam situasi seperti inilah,
ditambah kenyataan bahwa cara-cara penafsiran yang terdahulu ternyata belum dapat
memberikan hasil yang memadai, maka hakim wajib berusaha untuk mencari dan
menemukan tujuan sosial dari peraturan tersebut sesuai apa yang dikehendaki oleh
pembuat UU.

Seringkali hakim menghadapi kenyataan bahwa kehendak pembuat UU itu ternyata tidak
sesuai lagi dengan tujuan sosial yang seharusnya diberikan pada peraturan UU itu
dewasa ini.

Perubahan semacam ini dapat terjadi karena perkembangan-perkembangan yang terjadi di


dalam masyarakat. Singkatnya, tujuan sosial yang dimaksudkan oleh pembuat UU, selain
adakalanya tidak jelas, seringkali juga ternyata tidak sama/sesuai lagi dengan tujuan
sosial/kebutuhan sosial dewasa ini.

Dalam situasi semacam inilah hakim harus mencari tujuan sosial baru dari peraturan
perundang-undangan ybs, melalui penafsiran sosiologis. Melalui cara penafsiran ini hakim
berusaha mendekatkan perbedaan-perbedaan yang ada di antara ”sifat-sifat positif” dari
Undang-undang/hukum, dengan ”kenyataan-kenyataan hukum” (antara rechtspositiviteit
dengan rechts-werkelijkheid).

Contoh-contoh :
a. Penafsiran terhadap pengertian Onrechtmatige daad (pasal 1365 KUHPerdata) dalam
perkara Cohen v. Lindenbaum. Dalam perkara ini hakim menganggap bahwa ”Perbuatan
Melawan Hukum” harus ditafsirkan secara luas dan meliputi juga perbuatan-perbuatan
yang dianggap melanggar kesusilaan dan kepatutan (jadi tidak hanya perbuatan yang
melanggar UU saja).

Di sini pengertian yang termuat di dalam suatu peraturan perundang-undangan diperluas


(penafsiran ekstensif) mengingat adanya perkembangan kebutuhan di dalam masyarakat.
Dengan perkataan lain, pasal 1365 KUHPerdata diberi suatu tujuan sosial baru sesuai
dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.

106
b. Penafsiran terhadap Pasal 534 KUHPidana, khususnya bila dikaitkan dengan upaya
pelaksanaan Program Keluarga Berencana di Indonesia.
Pasal 534 KUHPidana menetapkan bahwa :

”Seseorang yang dengan sengaja dan secara terbuka mempertunjukkan cara-cara


pencegah kehamilan dan atau menawarkan cara atau pertolongan pencegahan
kehamilan ... dst ..., diancam hukuman penjara maksimum 2 bulan.”

Ketentuan ini pada mulanya (abad ke 19) dibuat dengan tujuan sosial untuk
menghindarkan tindakan-tindakan yang dianggap melanggar kesusilaan. Tetapi bila
dewasa ini dikaitkan dengan pentingnya keberhasilan Program Keluarga Berencana serta
manfaat sosial dari program tersebut, maka Hakim dapat saja – melalui penafsiran
sosiologis – memberikan tujuan sosial baru pada pasal 534 itu. Kemudian hakim dapat
menetapkan, misalnya bahwa ketentuan itu dinyatakan tidak berlaku bagi petugas-
petugas propaganda KB yang dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari harus melakukan
hal-hal yang sebenarnya dilarang oleh Hukum Pidana.

Di sini pengertian yang ada di dalam peraturan perundang-undangan dipersempit luas


lingkupnya (penafsiran restriktif).

1.5. Penafsiran Otentik (tambahan)

yaitu penafsiran terhadap kata, istilah atau pengertian di dalam peraturan perundang-
undangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Pembuat UU sendiri.

Hal ini sebenarnya sulit dikategorikan sebagai salah satu metode penafsiran hukum dalam
arti yang sebenarnya, sebab dengan adanya tafsiran resmi yang dibuat oleh Pembuat UU,
berarti hakim atau fihak lain tidak diperkenankan membuat penafsiran-penafsiran dengan
cara lain.
Pengertian-pengertian yang telah mendapatkan suatu tafsiran otentik/resmi ini akan
memiliki sifat yang mengikat umum, seperti UU biasa.

Contoh-contoh :
a. Pasal 101 KUHPidana membatasi pengertian ”Ternak” hanya dalam arti hewan yang
berkuku satu, hewan yang memamah biak dan babi.
b. Pasal 98 KUHPidana membatasi pengertian ”Malam Hari” dalam hukum pidana dalam
arti ”waktu antara matahari terbenam sampai dengan matahari terbit”.
c. Pasal 95 KUHPidana yang membatasi pengertian ”Kapal Indonesia” sebagai kapal yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki surat-surat untuk
dapat berlayar.

107
3. KONSTRUKSI/KOMPOSISI HUKUM (Rechtsconstructie)

Dalam usaha menyelesaikan suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah belum
adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk
menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah
digunakan.
Sebagai jalan keluar, hakim dapat melakukan konstruksi hukum.

Langkah-langkah dalam Konstruksi Hukum :

a. hakim meninjau kembali sistem material yang mendasari lembaga hukum yang
dihadapinya sebagai pokok perkara (ingat penafsiran sistematik) ;

b. berdasarkan sistem itu, hakim kemudian berusaha membentuk suatu pengertian


hukum (rechtsbegrip) baru dengan cara membandingkan beberapa ketentuan di dalam
lembaga hukum yang bersangkutan, yang dianggap memiliki kesamaan-kesamaan
tertentu;

c. setelah pengertian hukum itu dibentuk, maka pengertian hukum itulah yang digunakan
sebagai dasar untuk mengkonstruksi suatu kesimpulan dalam penyelesaian perkara.

Pada dasarnya, konstruksi hukum dinamakan Analogi, tetapi di dalam ilmu hukum
dikembangkan beberapa bentuk konstruksi hukum yang sebenarnya merupakan variasi dari
analogi itu, yaitu konstruksi Penghalusan Hukum dan konstruksi Argumentum a Contrario.

3.1. Konstruksi Analogi

Dalam upaya memutus suatu perkara hukum, adakalanya hakim menghadapi kenyataan
bahwa perkara tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cara mendasarkandiri pada
peraturan perundang-undangan yang ada. Tetapi dari fakta-fakta di dalam perkara itu
hakim melihat adanya kesamaan-kesamaan unsur/anasir dengan perkara atau fakta-fakta
yang dapat diselesaikan langsung oleh peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

Dari adanya kesamaan unsur itu hakim kemudian berusaha membentuk/mengkonstruksi


suatu pengertian hukum baru. Pengertian hukum itu dianggap sebagai asas hukum yang
akan menjadi dasar bagi semua perkara yang memiliki kesamaan-kesamaan unsur itu.
Berdasarkan anggapan dasar itulah hakim kemudian memberlakukan/menerapkan
peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada perkara yang sedang dihadapinya.

Jadi, dengan Analogi, hakim sebenarnya memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup
pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak
dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan.
Konstruksi Analogi dapat digambarkan sebagai berikut :

- pembuat UU menetapkan peraturan X yang dapat langsung digunakan hakim untuk


menyelesaikan perkara-perkara A

108
- hakim menghadapi perkara B
- melalui Analogi hakim kemudian menggunakan peraturan X itu untuk juga
menyelesaikan masalah B yang sedang dihadapinya.

Contoh : Hakim menghadapi perkara di mana ia harus memutuskan ”Apakah karena proses
pewarisan, suatu perjanjian sewa-menyewa yang sedang berlangsung dapat
diputuskan/diakhiri ?”

A menyewakan rumahnya pada B untuk jangka waktu dua tahun. Pada saat perjanjian baru
berjalan satu tahun, A mewariskan rumahnya kepada C. C kemudian hendak menggunakan
rumah itu untuk kebutuhannya sendiri, dan minta agar hubungan sewa-menyewa rumah
dengan B diputuskan. B merasa dirugikan karena ia masih berhak menempati rumah itu
selama satu tahun lagi. B menolak untuk mengosongkan rumah.

Tidak ada satu peraturan perundang-undangan pun yang mengatur masalah ini secara tegas.
Karena itu, hakim kemudian menyelidiki pelbagai peraturan perundang-undangan yang
mengandung unsur ”pemutusan hubungan sewa-menyewa” (sebagai unsur yang sama
dengan apa yang ada di dalam perkara yang dihadapi hakim).
Ternyata yang dapat ditemukan hakim adalah ketentuan Pasal 1576 KUHPerdata, yang
menetapkan bahwa :

”Perjanjian Jual Beli tidak dapat memutuskan sewa menyewa (terkenal dengan istilah
Koop breekt geen Huur)

Hakim kemudian berusaha menemukan kesamaan unsur antara ketentuan pasal 1576
KUHPerdata dengan pokok perkara yang sedang dihadapinya. Dalam kaitan ini hakim
beranggapan bahwa antara peristiwa pewarisan dengan jual-beli terdapat kesamaan unsur
tertentu42

Apakah kesamaan unsur itu? Kesamaan unsur itu tampak dari kenyataan bahwa di setiap
perbuatan hukum itu terdapat unsur pengalihan hak milik atas suatu benda dari satu
fihak kepada fihak lain.
Berdasarkan kesamaan unsur itulah hakim kemudian melakukan konstruksi hukum sebagai
berikut :

”Bila pasal 1576 KUHPerdata menetapkan bahwa jual-beli tidak dapat memutuskan
hubungan sewa-menyewa, maka hal itu seharusnya berlaku juga terhadap perbuatan/
hubungan hukum lain yang memiliki kesamaan unsur dengan jual beli (yaitu peralihan
hak milik atas suatu benda), termasuk pewarisan (dan juga tukar-menukar dan
pemberian)”

Alasannya, semua peristiwa hukum itu memiliki kesamaan unsur, yaitu adanya peralihan
hak milik atas suatu benda. Berdasarkan kesimpulan itu, hakim kemudian membentuk suatu
pengertian hukum, yaitu bahwa ”Tindakan-tindakan hukum yang dimaksudkan untuk

42
Kesamaan unsur itu bahkan tampak pula pada perbuatan/hubungan hukum tertentu lainnya, yaitu tukar-menukar
dan Pemberian.

109
mengalihkan hak milik atas suatu benda tidak dapat mengakibatkan putusnya suatu
hubungan sewa-menyewa yang sedang berlangsung”.
Karena itu, melalui analogi, pasal 1576 KUHPerdata diberlakukan juga terhadap peralihan
hak milik yang terjadi karena pewarisan. Dengan kata lain, pewarisan tidak dapat
memutuskan sewa-menyewa.

3.2. Konstruksi Penghalusan Hukum (Rechtsverfijning)

Adakalanya hakim beranggapan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara, peraturan


perundang-undangan yang ada dan yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan
perkara, ternyata tidak dapat digunakan.
Menurut pandangan Hakim, hal ini dapat terjadi karena penggunaan peraturan yang
bersangkutan justru akan menimbulkan ketidakadilan atau justru menciptakan pertentangan
dengan kenyataan-kenyataan sosial yang ada.
Karena itu Hakim mengeluarkan masalah yang dihadapinya sebagai perkara dari lingkup
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Tindakan ”mengeluarkan” suatu perkara dari lingkup berlaku UU (yang seharusnya berlaku)
inilah yang dinamakan tindakan ”menghaluskan hukum” (rechtsverfijning).
Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi Analogi, sebab
bila di satu fihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan,
maka, di lain fihak, Penghalusan Hukum justru mempersempit lingkup berlaku suatu
peraturan perundang-undangan (bersifat restriktif).

Contoh : Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata menetapkan bahwa :

”Untuk benda-benda bergerak (yang bukan berbentuk piutang), maka orang


yang menguasai barang-barang itu akan dianggap sebagai pemiliknya” (dikenal
sebagai asas ”Bezit geldt als volkomen titel”).

Jadi bagi UU, seseorang akan dianggap telah cukup membuktikan bahwa dirinya
mempunyai hak milik atas suatu benda, dengan menunjukkan bahwa ia menguasai
(bezitter) benda itu seperti seorang pemilik.

Ketentuan UU ini diadakan dengan tujuan untuk memperlancar arus lalulintas


perdagangan (dalam jual-beli), khususnya untuk melindungi kepentingan
pembeli. Maksudnya, agar dalam perdagangan benda-benda bergerak, seorang
pembeli tidak harus selalu menyelidiki dahulu status pemilikan penjual atas benda-
benda yang dijualnya. Penjual cukup menunjukkan adanya bezit (menguasai benda
sebagai seorang pemilik sejati) atas benda tsb.
Yang menjadi masalah adalah : apakah tujuan memperlancar arus lalulintas barang
itu juga berlaku di dalam hubungan-hubungan hukum lain yang :

- juga menyebabkan peralihan hak milik atas suatu benda, tetapi,

110
- bukan perjanjian jual beli (seperti pewarisan, hadiah/pemberian, atau tukar-
menukar)?

Misalnya : A menghadiahkan suatu benda bergerak kepada B (”pemberian”). B


menerima pemberian itu dengan anggapan bahwa A memang pemilik sejati benda
itu. Sesuai isi pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata, A memang merupakan pemegang
Bezit atas benda itu.

Bila kemudian muncul si C yang menuntut benda tersebut dari B karena benda
tersebut adalah milik C, maka pertanyaannya adalah : apakah B dilindungi oleh
pasal 1977 ayat (1), karena ia dianggap telah memperoleh benda itu dengan itikad
baik?

Dengan cara berpikir yang hampir sama dengan Analogi, maka hakim dapat saja
menganggap bahwa Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata itu berlaku juga untuk semua
peristiwa atau hubungan hukum yang memiliki unsur ”peralihan hak milik atas
suatu benda”, seperti pewarisan, hibah/pemberian, dan tukar-menukar. Tetapi,
bukan hal ini yang terjadi di dalam Rechtsverfijning.

Hakim justru beranggapan bahwa ia melihat kenyataan sosial apabila semua orang
yang ”menguasai benda bergerak (bezitter) harus dianggap sebagai pemilik” seperti
di dalam perdagangan atau jual beli, maka akan ada konsekuensi tertentu yang
merugikan kepentingan-kepentingan lain di dalam masyarakat (misalnya
kepentingan si C yang memang benar-benar pemilik sejati atas barang yang
diperoleh si B dari A).

Berdasarkan pertimbangan itu, hakim dapat menetapkan bahwa lingkup berlaku


pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata perlu dihaluskan dan hanya meliputi tindakan-
tindakan pengalihan hak milik atas benda bergerak yang terjadi di dalam
perdagangan saja.
Tindakam hakim inilah yang dimaksud dengan Konstruksi ”Penghalusan
Hukum”.

3.3. Argumentum A Contrario

Adakalanya, dalam menyelesaikan suatu perkara, suatu peraturan perundang-undangan yang


ada dan secara tegas dimaksudkan untuk mengatur sesuatu hal tertentu, digunakan secara
negatif oleh hakim untuk dapat dijadikan dasar dalam penyelesaian perkara yang
bersangkutan.
Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang
ada seperti pada kegiatan Analogi, yaitu menerapkan suatu peraturan pada perkara yang
sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diselesaikan oleh peraturan itu.

111
Beda dari Analogi adalah : Bila dalam Analogi hakim menghasilkan suatu kesimpulan yang
positif, dalam arti bahwa ia menerapkan suatu aturan pada masalah yang sedang
dihadapinya, maka pada konstruksi Argumentum a Contrario ia sampai pada kesimpulan
yang negatif, artinya ia justru tidak mungkin menerapkan aturan tertentu dalam perkara yang
sedang dihadapinya.

Contoh : Pasal 34 KUHPerdata menetapkan bahwa :

”Seorang wanita tidak boleh menikah lagi sebelum lewat jangka waktu 300 hari
setelah perceraiannya dari suami yang pertama”

Ketentuan ini dimaksudkan agar dalam jangka waktu 300 hari tersebut tidak
dilahirkan seorang anak dari wanita tersebut, yang mungkin akan menimbulkan
masalah terhadap status anak yang bersangkutan.

Masalah yang mungkin dihadapi hakim dalam suatu perkara adalah :


Apakah ketentuan di atas berlaku juga bagi seorang pria yang baru mengalami perceraian,
dalam arti apakah ia juga harus menunggu selama 300 hari setelah perceraiannya dari isteri
yang pertama, sebelum ia dapat menikah kembali?

Melalui konstruksi Argumentum a Contrario, hakim kemudian membentuk suatu pengertian


hukum bahwa : Ketentuan pasal 34 KUHPerdata dimaksudkan untuk melindungi status
seorang anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, dan karena seorang pria tidak mungkin
melahirkan seorang anak, maka secara a contrario hakim menyimpulkan bahwa pasal 34
KUHPerdata tidak berlaku bagi seorang pria.

******************

112
BAB XIV

SISTEM HUKUM DAN ASAS HUKUM

1. Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam lima dekade terakhir telah menunjukkan bahwa
banyak hal yang ada di dalam alam semesta ini dapat dipandang atau digambarkan sebagai
suatu sistem. Apa yang digambarkan sebagai suatu sistem dapat secara sungguh-sungguh
mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Dalam hal ini maka sistem yang digambarkan itu
tepat sesuai dengan kenyataan. Dapat juga terjadi, sistem yang digambarkan itu berbeda
dengan atau tidak tepat mencerminkan kenyataan. Hal itu akan tergantung pada daya
pengamatan dan kemampuan mengungkapkan secara eksplisit suatu sistem yang secara
implisit sudah ada dalam dunia kenyataan.

Di lain pihak, berdasarkan pengetahuan tentang teori sistem, kita dapat dengan sengaja
menciptakan suatu sistem. Misalnya pada waktu kita mendirikan suatu organisasi atau
membuat suatu mesin seperti sebuah mobil. Disadari atau tidak, dengan mendirikan suatu
organisasi atau membuat sebuah mesin, betapa sederhana pun, berarti kita menciptakan
sebuah sistem. Dapat terjadi bahwa sistem yang diciptakan itu tepat sesuai dengan yang
direncakan; dapat juga berbeda sehingga menghasilkan suatu sistem lain dari yang
direncakan semula. Dapat terjadi bahwa apa yang hendak diciptakan itu gagal. Patokannya
adalah efektivitas dan efisiensi yang diukur menurut tujuan yang telah ditetapkan terlebih
dahulu.

Ketika para pemimpin bangsa Indonesia berjuang, memikirkan, menyusun dan menetapkan
berdirinya Negara Republik Indonesia, maka pada hakikatnya yang terjadi adalah
diciptakannya sebuah sistem. Struktur dasar organisasinya dirumuskan dalam Undang
Undang Dasar 1945 yang disusun berdasarkan Filsafat Pancasila. Sebagai organisasi negara
yang merdeka dan berdaulat, sistem yang dibangun itu adalah sistem tentang
penyelenggaraan kehidupan nasional dari suatu bangsa yang sederajat dengan bangsa-
bangsa lain di dunia ini. Penyelenggaraan kehidupan nasional yang tersusun dalam
organisasi negara itu dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yakni
penyelenggaraan kehidupan kemanusiaan yang wajar bagi para warganya. Cita-cita bangsa
itu melalui pembentukan negara nasional ditransformasi menjadi cita-cita atau tujuan
nasional, dan dirumuskan secara padat dalam alinea keempat Pembukaan Undang Undang
Dasar 1945. Diarahkan atau tidak, karena interaksi dan proses-proses yang berlangsung di
dalamnya, penyelenggaraan kehidupan nasional akan mewujudkan diri menjadi suatu gejala
yang dapat dipandang dan dipelajari sebagai suatu sistem yang dapat disebut Sistem
Nasional.

113
2. Pengertian Sistem

Studi tentang sistem secara eksplisit dimulai pada tahun 1932 oleh Ludwig von Bertalanffy
(1901-1972), seorang biolog kelahiran Austria. Sejak usaha perintisan oleh Bertalanffy, para
ilmuwan yang mengkhususkan diri pada bidang studi tentang sistem telah berusaha untuk
merumuskan pengertian sistem dalam sebuah definisi. Usaha itu telah menghasilkan
bermacam-macam definisi tentang sistem yang berbeda-beda. Banyaknya jumlah definisi
yang bermacam ragam itu memperlihatkan adanya perbedaan pengertian dan penghayatan
tentang sistem, dan, hingga derajat tertentu juga memperlihatkan adanya kekaburan tentang
objek studi itu. Karena itu, tidak terlalu mengherankan, jika Dr Keuning mencantumkan
kalimat ”een systematiserende verkenningstocht door de systems jungle ...” (penjelajahan
pengenalan medan sambil mensistematisasi melalui rimba sistem) sebagai anak judul dari
bukunya yang berjudul ”ALGEMENE SYSTEEMTHEORIE, SYSTEEMBENADERING EN
ORGANISATIETHEORIE” (1973). Di dalam bukunya itu, ia menulis ”gebaande wegen
bestaan in een jungle nu eenmaal niet” (dalam rimba tidak terdapat sarana jalan lalu lintas).

Walaupun usaha untuk memperoleh pengertian tentang sistem itu berarti menjelajahi
”systems jungle” yang belum memiliki ”gebaande wegen” (jaringan jalan beraspal), namun
perkembangan studi tentang sistem memperlihatkan bahwa gejala-gejala dalam dunia
kenyataan dapat dipelajari sebagai sistem. Mempelajari suatu gejala atau objek sebagai suatu
sistem berarti menggambarkan secara sederhana gejala atau objek itu sebagai suatu kesatuan
yang tersusun atas sejumlah unsur tertentu. Jadi, sistem adalah gambaran sederhana dari
suatu gejala atau objek dalam dunia kenyataan. Gambaran sederhana itu diperoleh dengan
jalan mengabstraksi gejala atau objek yang bersangkutan. Karena itu, sistem dari suatu objek
tidak identik dengan objek itu sendiri. Sistem dari suatu objek hanyalah suatu gambaran
sederhana yang disusun dengan cara tertentu untuk memudahkan pemahaman tentang objek
itu. Dengan demikian, pengertian sistem adalah suatu sarana abstrak untuk mengungkapkan
dan mempelajari gejala-gejala konsepsional, konkret atau abstrak.

Telah dikemukakan bahwa sistem adalah gambaran sederhana suatu objek atau gejala
sebagai suatu kesatuan dari sejumlah unsur atau bagian atau komponen. Dalam peristilahan
studi tentang sistem, unsur atau bagian atau komponen dari sistem sering dinamakan
subsistem. Tiap subsistem juga merupakan suatu sistem yang tersusun atas beberapa bagian
yang dinamakan subsubsistem; dan demikian seterusnya. Antara bagian-bagian dari suatu
sistem itu terdapat perkaitan (interrelasi) dan interaksi sedemikian rupa sehingga bersama-
sama mewujudkan suatu kesatuan. Tiap bagian (subsistem) menempati kedudukan tertentu
di dalam perkaitan keseluruhan bagian-bagian yang mewujudkan sistem sebagai suatu
totalitas. Interrelasi dan interaksi antarbagian itu selalu berarti interrelasi dan interaksi antara
bagian-bagian dari satu kesatuan (totalitas). Jadi, interrelasi dan interaksi itu tidak dapat
dilepaskan dari kedudukan dan perkaitannya sebagai komponen dari suatu keseluruhan
(totalitas) yang meliputinya.

Digambarkan sebagai suatu sistem, maka antara komponen-komponen dari suatu


keseluruhan terdapat interrelasi dan interaksi. Antara komponen dan keseluruhan juga
terdapat interrelasi dan interaksi. Jadi, tiap komponen menempati kedudukan tertentu di
dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, serta antara tiap komponen dan

114
keseluruhan. Makna tiap komponen ditentukan oleh kedudukan di dalam dan hubungannya
dengan keseluruhan. Jadi, kebermaknaan dari subsistem ditentukan oleh kedudukan dan
peranannya di dalam sistem yang meliputinya. Ini berarti bahwa menggambarkan suatu
gejala atau objek sebagai suatu sistem berarti memperlihatkan susunan terorganisasi dari
keseluruhan bagian-bagian yang mewujudkan gejala atau objek itu. Atau, meletakkan
bagian-bagian itu dalam suatu susunan yang berstruktur. Dengan demikian, secara umum
dapat dikatakan bahwa sistem adalah gambaran abstrak dari sebuah gejala atau objek, dan
gejala atau objek itu digambarkan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri atas sejumlah
bagian atau komponen yang saling berkaitan, yang secara organisatoris tersusun dalam suatu
struktur.

Rusadi Kantaprawira dalam buku berjudul ”APLIKASI PENDEKATAN SISTEM DALAM


ILMU-ILMU SOSIAL” (1987) mengemukakan bahwa sebuah sistem memperlihatkan ciri-
ciri sebagai berikut (h. 12) : keterintegrasian, keteraturan, keutuhan, keterorganisasian,
keterlekatan komponen satu sama lain, keterhubungan komponen satu sama lain, dam
ketergantungan komponen satu sama lain. Berkaitan dengan ciri-ciri tadi, maka tiap sistem
mempunyai batas-batas (boundaries) yang membedakan atau memisahkan unsur-unsur yang
merupakan komponen dari sistem yang bersangkutan dari unsur-unsur yang bukan
komponen sistem tersebut, melainkan komponen dari sistem lain. Tiap sistem selalu berada
dalam suatu lingkungan tertentu. Lingkungan (environment) dari suatu sistem adalah sistem-
sistem lain. Keseluruhan sistem-sistem itu bersama-sama mewujudkan sebuah sistem yang
lebih besar yang meliputi sistem-sistem itu yang masing-masing berkedudukan sebagai
subsistem dari sistem yang lebih besar itu yang disebut suprasistem. Suprasistem ini pun
merupakan sebuah sistem, yang mungkin juga merupakan sebuah subsistem dari sistem yang
lebih besar lagi.

3. Pendekatan Sistem

Pendekatan sistem adalah suatu metode, yakni cara (kerangka, pola pikir) untuk mempelajari
suatu gejala atau objek tertentu. Dalam pendekatan sistem, gejala yang dipelajari itu dengan
cara yang beraturan disederhanakan dengan tujuan agar dapat lebih baik memahami gejala
itu. Suatu gejala atau objek akan dapat lebih baik dipahami jika dapat diketahui unsur-unsur
yang mewujudkannya, beserta dengan tata susunan dan interrelasi antara unsur-unsur itu.
Jadi, pendekatan sistem berusaha untuk mengeksplisitkan cara pengorganisasian komponen-
komponen yang mewujudkan suatu gejala atau objek sebagai keseluruhan. Dengan
mengungkapkan secara eksplisit sistem-sistem dari pelbagai gejala, maka akan terbuka
kemungkinan untuk memahami relasi-relasi majemuk dari gejala-gejala itu. Hal ini akan
dapat membantu di dalam pengambilan langkah-langkah yang kebih tepat dalam situasi
konkret. Jadi, berdasarkan pengertian sistem, dapat dikatakan, bahwa pendekatan sistem
adalah metode studi atau cara pandang untuk mengeksplisitkan organisasi suatu keseluruhan
ke dalam jaringan saling berkaitan antarkomponen, sedemikian rupa sehingga keseluruhan
yang majemuk itu menjadi jelas.

Jika kita mempelajari suatu gejala dengan pendekatan sistem, maka gejala itu dibagi habis
(exhaustive) ke dalam sejumlah subsistem sebagai komponen-komponennya. Tiap

115
komponen memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat yang membedakan komponen yang satu dari
komponen yang lainnya. Jadi, yang menentukan suatu satuan sebagai komponen atau
subsistem adalah ciri-ciri atau sifat-sifatnya. Dalam pendekatan sistem, yang relevan adalah
ciri-ciri atau sifat-sifat yang menentukan kedudukan dan peranan dari suatu komponen di
dalam sistem yang bersangkutan sebagai keseluruhan serta yang menentukan hubungan
antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya dalam kerangka keseluruhan.
Pendekatan sistem mengandaikan adanya susunan berstruktur dari komponen-komponen,
yakni relasi tiap komponen dengan keseluruhan yang berkualitas sistem. Karena itu, tidak
setiap kumpulan satuan dapat dengan sendirinya menghasilkan suatu keseluruhan. Dalam
pendekatan sistem berlaku asas efek-sinergistik, yakni suatu keseluruhan mempunyai makna
yang lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaturan
atau organisasi di dalam keseluruhan. Keseluruhan menunjuk pada kumpulan satuan-satuan
yang terorganisasikan atau diorganisasikan. Sedangkan sistem menunjuk pada organisasinya
itu sendiri, yakni cara pengaturan dari satuan-satuan sebagai bagian-bagian dari suatu gejala
atau objek. Karena itu, di atas dikemukakan bahwa sistem adalah sesuatu yang berada dalam
dunia pikiran, suatu cara pandang dengan kerangka berpikir yang logis-konsepsional; sistem
bukanlah objek konkret. Sedangkan pendekatan sistem adalah cara pandang untuk
memahami sesuatu objek atau gejala dengan jalan mengungkapkan secara eksplisit
organisasi yang ada dalam objek yang dipelajari.

4. Sistem Hukum

Aspek hukum dari kehidupan masyarakat juga dapat dipandang dan dipelajari sebagai suatu
sistem yang memperlihatkan suatu struktur dan di dalamnya berlangsung proses-proses
tertentu. Dipandang sebagai suatu sistem, maka keseluruhan aspek hukum kehidupan
masyarakat itu dinamakan sistem hukum. C.J.M Schuit, gurubesar Sosiologi Hukum di
Belanda, dalam buku berjudul ”RECHT en SAMENLEVING” (1983) mengemukakan bahwa
sistem hukum itu dipandang tersusun atas tiga unsur atau komponen (subsistem), yakni :

1. unsur idiil yang meliputi keseluruhan aturan-aturan, kaidah-kaidah dan asas-asas


hukum, yang dalam peristilahan teori sistem dapat dicakup dengan istilah sistem makna-
makna atau sistem lambang atau sistem referensi (sistem rujukan); sistem makna-makna
pada bidang hukum ini dapat kita sebut sistem makna yuridik. Aturan-aturan bukanlah
pencerminan sesuatu yang ada dalam kenyataan, melainkan menyatakan gagasan
tentang bagaimana orang secara idealnya seyogianya berperilaku, seyogianya harus
berperilaku. Aturan-aturan adalah lambang-lambang yang memberikan kesatuan dan
makna pada kenyataan majemuk dari perilaku manusia. Dengan lambang-lambang itu
maka kita akan dapat mengerti dan memahami kemajemukan dari perilaku manusia itu,
dan kita akan dapat memberikan arti pada perilaku manusia, sehingga kesemuanya itu
memungkinkan terjadinya interaksi antarmanusia yang bermakna (komunikasi).

2. unsur operasional yang mencakup keseluruhan organisasi-organisasi, lembaga-lembaga


dan pejabat-pejabatnya; unsur ini meliputi badan-badan eksekutif, legislatif dan
yudikatif dengan aparat-aparatnya seperti birokrasi pemerintahan, pengadilan,

116
kejaksaan kepolisian, serta juga lembaga swadaya masyarakat seperti advokatur dan
kenotariatan.

3. unsur aktual yang mencakup keseluruhan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan


(perilaku), baik dari para pejabat maupun dari para warga masyarakat, sejauh keputusan-
keputusan dan tindakan-tindakan itu berkaitan atau dapat ditempatkan dalam kerangka
sistem makna yuridik yang dimaksud dalam butir 1 di atas.

Ketiga komponen tersebut tadi itu saling berkaitan. Tiap komponen tersebut juga merupakan
suatu keseluruhan yang bersifat majemuk dan tersusun atas sejumlah subkomponen
(subsistem) yang saling berkaitan. Selanjutnya Schuit mengemukakan bahwa tujuan dari
suatu sistem hukum adalah :

1. mewujudkan ketertiban sosial.


2. memberikan penyelesaian konflik tanpa kekerasan.
3. memberikan jaminan pengembangan diri dan otonomi para warga masyarakat.
4. mewujudkan seadil mungkin distribusi atau pembagian barang-barang langka di dalam
masyarakat.
5. mengkanalisasi perubahan sosial.

Pandangan yang dikemukakan oleh Schuit tentang pengertian sistem hukum itu sesuai
dengan pengertian hukum yang telah dikemukakan sepuluh tahun sebelumnya oleh Mochtar
Kusumaatmadja, gurubesar Filsafat Hukum dan Hukum Internasional pada Universitas
Padjadjaran. Di dalam karya-karyanya yang berjudul ”PEMBINAAN HUKUM DALAM
KERANGKA PEMBANGUNAN NASIONAL” (1972 : 11) dan ”HUKUM, MASYARAKAT
DAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL” (1976 : 15), Mochtar Kusumaatmadja
mengemukakan bahwa ”hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan azas-azas dan kaidah-
kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula
lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya
kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.” Berdasarkan konsep hukum tersebut, Mochtar
Kusumaatmadja mengemukakan bahwa fungsi hukum itu adalah sarana untuk menjamin
ketertiban dan kepastian hukum, serta sarana untuk pembaharuan masyarakat. Bertolak dari
konsep tentang hukum dan fungsi hukum itu tadi, ia berpendapat bahwa pembinaan hukum
nasional di Indonesia harus diarahkan pada usaha-usaha terencana untuk :

1. memperbaharui peraturan-peraturan hukum termasuk penciptaan yang baru dengan


menyesuaikannya pada tuntutan perkembangan zaman tanpa mengabaikan kesadaran
hukum dalam masyarakat.
2. menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum sesuai proporsinya masing-masing.
3. meningkatkan kemampuan dan kewibawaan para penegak hukum.
4. membina kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan
para pejabat pemerintah ke arah penegakan hukum, keadilan, serta perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai
dengan Undang Undang Dasar 1945.

117
Komponen pertama dari sistem hukum itu, yakni keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang
berlaku dalam suatu masyarakat atau negara tidaklah terlepas yang satu dari yang lainnya,
melainkan saling berkaitan sehingga bersama-sama mewujudkan satu kesatuan yang utuh
yang dapat dipandang sebagai suatu sistem, dan dinamakan sistem hukum positif atau Tata
Hukum.

Jadi, sistem hukum positif atau tata hukum adalah suatu keseluruhan kaidah-kaidah hukum
yang saling bertautan dan yang tertata berdasarkan asas-asas tertentu sehingga mewujudkan
suatu kesatuan yang relatif utuh. Unsur-unsur (komponen, subsistem) dari sistem hukum
positif itu adalah kaidah-kaidah hukum dan asas-asas hukum. Ilmu Hukum bertugas untuk
mensistematisasi unsur-unsur itu, yakni berdasarkan asas-asas tertentu menata dan
menyusun unsur-unsur itu hingga keseluruhannya mewujudkan sebuah sistem yang dapat
dipelajari dan dipahami secara sistematis-rasional.

Dipandang sebagai suatu sistem dan pengelompokan kaidah-kaidah hukum, maka


keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam suatu negara (sistem hukum)
tersusun atas sejumlah subsistem sebagai komponen-komponennya, misalnya subsistem
Hukum Perdata, subsistem Hukum Tata Negara, subsistem Hukum Administrasi Negara,
subsistem Hukum Pidana, subsistem Hukum Antarwewenang, dan subsistem Hukum Acara.
Masing-masing subsistem hukum itu tersusun atas sejumlah subsubsistem hukum, misalnya
subsistem Hukum Perdata tersusun atas subsubsistem Hukum Orang, Hukum Keluarga,
Hukum Kekayaan dan Hukum Waris; dan demikian seterusnya. Tentu saja ada cara lain
untuk membagi sistem hukum ke dalam subsistem-subsistemnya, tergantung a.l. pada
peringkat analisis, tujuan serta patokan yang digunakan.

5. Asas Hukum

Dari kaidah hukum konkret yang mengatur perilaku konkret tertentu dapat diangkat atau
diabstraksikan sebuah kaidah yang lebih umum yang lingkup berlakunya lebih luas atau
lebih umum dari kaidah hukum konkret itu tadi. Kaidah yang lebih umum itu dapat
diabstraksikan lagi sehingga diperoleh kaidah yang lebih umum lagi yang tentu saja lingkup
keberlakuannya lebih luas lagi. Kaidah pokok (norma dasar) yang paling umum pada bidang
tertentu yang tidak dapat diabstraksikan atau dibuat lebih umum lagi disebut ”asas hukum”
yang mengandung nilai-etis tertentu. Oleh karena itu asas hukum juga serig disebut sebagai
”meta kaidah”. Misalnya dari kaidah hukum konkret yang berbunyi ”Jualbeli sebuah benda
tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa atas benda tersebut.” dapat dimunculkan asas
hukum ”pengalihan hak milik atas sebuah benda tidak memutuskan hubungan sewa-
menyewa atas benda tersebut”. Asas hukum adalah dasar umum yang merupakan dasar
pikiran dan ”ratio legis” dari kaidah hukum. Kaidah hukum adalah konkretisasi asas hukum.
Satu asas hukum dapat dikonkretkan (dijabarkan) ke dalam satu atau lebih kaidah hukum.
Sebaliknya, dari satu atau beberapa kaidah hukum dapat diabstraksikan sebuah asas hukum.
Asas-asas hukum itu menyebabkan keseluruhan kaidah hukum tersusun sebagai suatu sistem
yang relatif utuh. Pengetahuan tentang asas-asas hukum sangat penting dalam setiap
pengambilan keputusan hukum.

118
Kaidah hukum secara normatif menetapkan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang
dilarang dan suatu perbuatan lain sebagai perbuatan yang diperintahkan. Secara umum
kriteria yang digunakan untuk menetapkan isi kaidah tersebut adalah tentang baik dan
buruk.. Suatu perbuatan yang dianggap buruk oleh suatu masyakat maka ditetapkan sebagai
perbuatan yang dilarang. Sebaliknya perbuatan yang dianggap baik ditetapkan sebagai
perbuatan yang diperintahkan atau setidaknya diperbolehkan untuk dilakukan. Penilaian
baik dan buruk bersumber dari sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Oleh karena
itu isi kaidah hukum pada suatu mayarakat dapat berbeda dengan isi kaidah hukum pada
masyarakat lain, karena perbedaan sistem nilai yang dianut. Jadi isi kaidah hukum itu
bersifat relatif, yang diperintahkan oleh kaidah hukum suatu mayarakat mungkin dilarang
menurut kaidah hukum masyarakat yang lain. Akan tetapi tentu saja ada nilai-nilai yang
bersifat relatif universal pada sebagian besar atau seluruh masyarakat sehingga kita juga bisa
mengenali adanya kaidah hukum yang isinya relatif sama pada masyarakat yang berbeda.

Sistem nilai yang dianut suatu masyarakat sifatnya sangat abstrak dan belum operasional
memberikan pedoman perilaku konkrit. Sementara kaidah-kaidah hukum harus berupa
pedoman perilaku yang konkrit dan operasional. Sehingga proses penetapan kaidah hukum
sebenarnya merupakan proses konkretisasi sistem nilai yang abstrak ke dalam pedoman
perilaku yang harus bersifat konkrit dan operasional. Jarak antara sistem nilai yang abstrak
dan kaidah hukum yang konkrit tersebut bisa sangat lebar, sehingga orang bisa sepakat
tentang sistem nilai yang dianut tetapi berbeda tentang isi kaidah hukum yang harus
dirumuskan. Sebagai ilustrasi, dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia semua
orang sepakat nilainya adalah Pancasila akan tetapi orang berbeda pendapat tentang
fungsionalisasi pidana mati. Satu kelompok menyetujui untuk mempertahankan pidana mati
karena dianggap sesuai dengan Pancasila, sedangkan kelompok lain menghendaki
penghapusan pidana mati karena dianggap bertentangna dengan Pancasila.

Dalam proses perumusan kaidah hukum, asas hukum dapat digunakan untuk menjembatani
jarak yang lebar antara sistem nilai dengan kaidah hukum yang harus konkrit tersebut. Nilai
dari suatu sistem nilai diturunkan ke dalam rumusan asas yang masih berifat umum. Asas
ini kemudian diturunkan lagi menjadi asas yang relatif lebih konkrit. Asas ini kemudian
diturunkan lagi menjadi rumusan asas yang lebih konkrit lagi. Demkian secara bertingkat-
tingkat sehingga menjadi semakin konkrit. Pada tahap terakhir dirumuskan menjadi norma
hukum yang harus relatif konkrit dan operasional sebagai pedoman perilaku. Bahkan
seringkali kaidah hukum ini harus dikonkretisasi ke dalam kaidah hukum yang lebih konkrit
lagi sebagai peraturan pelaksanaan. Melalui proses konkretisasi bertingkat tersebut maka
kita dapat mengenali ada asas hukum yang masih sangat abstrak mendekati nilai (misalnya:
asas perlindungan hak asasi manusia), dan ada asas hukum yang relatif konkrit mendekati
kaidah hukum (misalnya: asas perlindungan hak-hak tersangka dan terdakwa), dan ada asas
hukum yang tingkat abstraksinya berada diantara dua asas tersebut (misalnya: asas praduga
tidak bersalah). Rumusan kaidah dari nilai dan asas-asas tersebut dalam bidang Hukum
Acara Pidana misalnya adalah: ”Dalam setiap pemeriksaan tersangka dan terdakwa berhak
didampingi penasihat hukum”. Contoh asas-asas hukum dan kaidah hukum tersebut
merupakan hasil proses konkretisasi nilai Pancasila khususnya sila Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab di bidang Hukum Acara Pidana.

119
Sebaliknya dalam kegiatan penerapan hukum sehari-hari para pengemban profesi hukum
berhadapan dengan rumusan-rumusan kaidah, yang seringkali tidak sangat jelas sehingga
terhadap kaidah tersebut harus dilakukan proses penemuan hukum melalui penafsiran.
Penafsiran merupakan proses untuk menemukan makna, arti, atau maksud pembentuk
perundang-undangan. Sehingga asas-asas hukum tersebut (secara berjenjang dari yang
relatif konkrit ke yang lebih abstrak) dapat membantu para pengemban hukum menemukan
arti, maksud, atau makna kaidah yang sedang dihadapi sesuai dengan nilai yang melandasi
dirumusakannya kaidah tersebut oleh pembentuk perundang-undangan. Dari rumusan
kaidah ”Dalam setiap pemeriksaan tersangka dan terdakwa berhak didampingi penasihat
hukum” di atas ternyata dalam praktik pernah terjadi peerbedaan penafsiran. Ada pihak yang
berpendapat karena didampingi penasihat hukum adalah ”hak” tersangka atau terdakwa,
maka pemeriksaan yang tidak didampingi penasihat hukum tetap sah. Sehingga ada
kecendrungan penyidik melakukan pemeriksaan pada saat dan situasi dimana pendampingan
oleh penasihat hukum sulit dilakukan. Dipihak lain ada yang berpendapat bahwa tujuan pasal
itu adalah untuk kepentingan tersangka atau terdakwa sesuai asas perlindungan hak-hak
tersangka atau terdakwa dan asas perlindungan hak asasi manusia sesuai nilai sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Oleh karena itu yang menentukan untuk didampingi
penaihat hukum atau tidak adalah tersangka atau terdakwa. Artinya apabila pemeriksaan
yang dilakukan oleh penyidik tanpa ada pendampingan oleh penasihat huku padahal
tersangka atau terdakwa menghendaki ada pendampingan oleh penasihat hukum maka
pemeriksan tersebut menjadi tidak sah.

Dua fungsi asas tersebut dapat digambarkan dalam skema di bawah ini:

SISTEM NILAI

K P
O E
N N
K ASAS HUKUM E
R M
E U
TI A
S ASAS HUKUM
N
A
SI

ASAS HUKUM H
U
K
U
M

KAIDAH-KAIDAH HUKUM

Di bawah ini diberikan beberapa contoh asas hukum:

1. audiatur et altera pars atau audi et alteram partem, juga pihak lain harus didengar

120
2. clausula rebus sic stantibus, suatu perjanjian tidak lagi berlaku akibat terjadi perubahan
keadaan yang mendasar.
3. cogitationis poenam nemo patitur, orang tidak dapat dihukum untuk apa yang ada dalam
pikirannya
4. ex injuria non oritur jus, dari hal melawan hukum tidak timbul hak (bagi pelaku)
5. in dubio pro reo, jika ada keraguan maka harus diberlakukan ketentuan yang paling
menguntungkan bagi terdakwa
6. nemo plus juris transfere potest quam ipse habet, orang tidak memberikan hak yang lebih
besar dari hak yang dimilikinya
7. nullum crimen, noela poena sine lege, tidak ada kejahatan, tidak ada hukuman tanpa
undang-undang
8. unus testis nullus testis, kesaksian satu orang bukanlah kesaksian
9. pacta sunt servanda, perjanjian mengikat para pihak
10. equality before the law, kasus sama harus diperlaku dengan cara yang sama pula.

*******************

121
Lampiran 1

STUDI DAN PROFESI HUKUM


HANYA
UNTUK ORANG BODOH ?43

1. Makna Profesi

Dalam percakapan sehari-hari, istilah ”profesi” pada umumnya diartikan ”pekerjaan”, yakni
kegiatan tertentu untuk memperoleh nafkah atau penghasilan.
Dirjen, Guru, Pedagang, Tukang Beca, pelayan , bahkan pengemis dan perampok termasuk
pengertian profesi dalam arti sehari-hari.

Dalam arti teknis, yang dimaksud dengan ”profesi” adalah pekerjaan yang menuntut
keakhlian dan keterampilan yang memerlukan pendidikan tertentu terlebih dahulu. Pengertian
profesi dalam arti yang lebih sempit itu berkaitan dengan ilmu. Profesi adalah praksis dari
ilmu dalam mewujudkan suatu fungsi di dalam masyarakat. Karena itu fungsi sosialnya, maka
dari setiap fungsi dituntut pelaksanaan fungsi dan kualitas yang setinggi-tingginya sesuai
dengan perkembangan ilmu dan peradaban serta kebudayaan yang didukung oleh rasa
tanggung jawab sosial yang setingginya pula. Tuntutan pelaksanaan fungsi yang berkualitas
tinggi adalah masalah kehormatan dan martabat para pengemban profesi itu sendiri.

Profesi dalam arti teknis adalah panggilan hidup di mana dorongan hati nurani demi
pertimbangan kemanusiaan yang diwujudkan dalam mutu karya dan hasil karya lebih
menonjol daripada dorongan semata-mata untuk memperoleh keuntungan material atau
finansial belaka. Karena itu, dalam lingkungan setiap profesi tumbuh dan hidup seperangkat
kaidah yang dinamakan Kode Etik. Selain untuk memelihara standar dan kualitas
pelaksanaan profesi demi untuk melindungi konsumen dan menjaga martabat profesi yang
bersangkutan, kode etik juga bertujuan untuk meletakkan landasan bagi terselenggaranya
semangat solidaritas antar sesama rekan seprofesi. Kesemuanya ini demi untuk
menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.

Dalam arti teknis itu, maka yang secara tradisional termasuk profesi adalah : kedokteran,
jurnalistik, akuntansi, advokatur, musik, guru, politisi. Tetapi pekerjaan sebagai pelayan toko
atau karyawan perusahaan ekspor-impor, misalnya, bukanlah profesi dalam arti teknis-
tradisional.

2. Pendidikan dan Profesi Hukum

Fakultas Hukum atau Sekolah Tinggi Hukum adalah lembaga-lembaga pendidikan tinggi
hukum untuk mempersiapkan orang-orang yang akan mengemban profesi hukum.

43
Oleh B. Arief Sidharta, SH ; Kompas, 8 Oktober 1979

122
Sebagaimana halnya dengan profesi lain, sebenarnya juga profesi hukum mempunyai fungsi
yang sangat penting dalam masyarakat, dan karena itu (seharusnya) mempunyai kedudukan
yang terhormat.

Malahan Oliver Wendell Holmes Jr, bekas Hakim Agung pada Mahkamah Agung Amerika
Serikat, mengatakan bahwa dari semua profesi duniawi, maka profesi hukum memiliki standar
yang paling tinggi.
Profesi hukum juga menuntut keakhlian dan keterampilan yang berkualitas keilmuan. Untuk
itu diperlukan pendidikan tinggi yang memenuhi persyaratan akademik yang sama seperti
yang dituntut pada pendidikan tinggi yang mempersiapkan pengemban profesi lain, misalnya
fakultas ekonomi, fakultas kedokteran, fakultas teknik, dsb.

3. Pandangan Masyarakat Indonesia

Tetapi di dalam masyarakat Indonesia pada saat sekarang terdapat pandangan yang berbeda.
Masyarakat di Indonesia berpendapat bahwa, studi hukum hanyalah merupakan kegiatan
menghafalkan di luar kepala saja. Untuk studi hukum hanya diperlukan daya ingat dan daya
hafal yang kuat. Jadi, untuk studi hukum tidak diperlukan kemampuan berfikir yang tinggi.
Hampir setiap permulaan tahun kuliah penulis didatangi oleh orang tua calon mahasiswa yang
meminta tolong agar anaknya diterima di Fakultas Hukum, dengan alasan : ”Saya tidak
memperjuangkan agar anak saya masuk ke Fakultas Ekonomi atau Teknik, tetapi hanya ke
Fakultas Hukum saja, karena saya tahu bahwa anak saya bodoh.”

Nampaknya pandangan yang demikian itu disebabkan oleh bekerjanya beberapa faktor, antara
lain, : masyarakat awam menganggap hukum identik dengan Undang-undang atau peraturan
hukum; awam menganggap ilmu pengetahuan sosial dan kebudayaan hanya soal hafalan saja;
cara pengajaran pada SMA Jurusan IPS tidak tepat; cara pengajaran pada Fakultas Hukum
kurang atau tidak mendorong pengembangan kemampuan berfikir imajinatif-kreatif; kondisi
sosial ekonomi yang mendorong orang cenderung semakin berorientasi materialistis dan lekas
ingin hidup mewah; perubahan sosial dengan pergeseran nilainya yang menyebabkan hukum
terlepas dari kenyataan sosial.

Pandangan yang hidup dalam masyarakat di Indonesia seperti digambarkan tadi adalah keliru
dan membawa pengaruh yang merugikan masyarakat sendiri. Sebab pandangan yang keliru
itu akan menyebabkan hanya orang-orang yang (merasa atau dianggap) bodoh atau yang
sebenarnya tidak mempunyai motivasi yang positif dan merasa terpaksa saja yang akan
menjadi mahasiswa Fakultas Hukum.
Akibatnya, di kemudian hari profesi hukum akan dijalankan oleh orang-orang bodoh, yang
tidak mempunyai minat yang berkesungguhan hati, dan yang mengidap penyakit inferioritas.
Jika, dengan demikian, maka kualitas penyelenggaraan kehidupan hukum di tanah air kita
akan semakin merosot. Dan harapan akan terwujudnya kehidupan hukum yang bermutu,
yang berkeadilan dan yang bersifat pengayoman, hanya akan menjadi impian saja. Padahal,
seperti yang dikatakan Henry Sidgwich, dalam menentukan derajat kedudukan suatu bangsa
dalam peradaban politik, tidak ada batu ujian yang lebih menentukan selain daripada derajat
di mana keadilan, sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum, dalam kenyataan sungguh-
sungguh diwujudkan dalam penyelenggaraan peradilannya.

123
4. Studi dan Profesi Hukum yang Sejati

Sebenarnya profesi hukum menuntut kemampuan berpikir yang tajam dan perasaan kesusilaan
yang halus untuk mengakomodasikan pelbagai kepentingan yang ada dan berpengaruh dalam
masyarakat. Holmes mengatakan bahwa profesi hukum adalah panggilan hidup dari para
pemikir. Karena itu Felix Frankfurter berpendapat bahwa hanya ”a well read person” yang
memiliki kebiasaan berfikir jernih dan memiliki kemampuan imajinatif saja yang dapat
menjadi pengemban profesi hukum yang baik. Dan hanya ”a cultivated person” saja yang
dapat menjadi akhli hukum yang kompeten secara sungguh-sungguh.

Jadi, untuk menjadi pengemban profesi hukum yang baik, bukan hanya kepintaran saja,
melainkan juga dituntut pengetahuan dan penghayatan yang mendalam mengenai keseluruhan
aspek kebudayaan dan peradaban dari masyarakat di mana ia mengemban profesinya itu; jadi,
dituntut kualitas intelektual yang tinggi dan komitmen moral yang sejati. Sebab,
sesungguhnya hukum adalah hasil tertinggi yang dicapai oleh peradaban manusia pada tingkat
perkembangan tertentu. Hukum adalah sublimasi dari proses interaksi antar pelbagai faktor
kenyataan sosial yang diendapkan secara padat dalam suatu sistem pengendalian sosial.
Hukum adalah pengabadian dari tahap sejarah perjuangan manusia atau masyarakat dalam
mewujudkan diri di dunia dan perjuangan mempertahankan serta meningkatkan martabat
kemanusiaan; jadi suatu institusi sosial yang sangat esensial bagi realisasi kodrat
kemanusiaan.
Karena itu Holmes mengatakan bahwa di dalam hukum kita melihat direfleksikannya tidak
hanya hidup kita sendiri, tetapi juga kehidupan dari semua manusia yang pernah hidup. Ini
berarti, bahwa sesungguhnya studi dan mengemban profesi hukum secara sejati hanya dapat
dilakukan dengan cara mengerahkan seluruh kemampuan manusiawi yang dimiliki orang.
Karena itu, mereka yang setelah memulai mempelajari hukum, kemudian memalingkan
mukanya tanpa merasa terpesona oleh hukum, melakukan hal itu atau karena mereka telah
tidak mendapat kesempatan untuk memandang dan menghayati keanggunan dari hukum, atau
karena mereka tidak memiliki hati dan semangat juang yang cukup tinggi untuk menjalani
perjuangan yang demikian berat dan mulia (Holmes).

***************

124
Lampiran 2

MENGENAI BURUKNYA MUTU SARJANA HUKUM44

Oleh : Stefanus Haryanto

Berita bahwa Menteri Kehakiman Ismail Saleh semakin prihatin dan khawatir akan mutu sarjana
hukum yang dihasilkan oleh sistem pendidikan tinggi hukum kita (Kompas, 26/12/1990), bukanlah
hal yang mengejutkan, karena gejalanya memang sudah terasa dalam masyarakat. Ismael Saleh
mengatakan, bahwa sejak pertengahan tahun 1960-an, sudah terdengar keluhan-keluhan dari
masyarakat tentang makin merosotnya mutu sarjana hukum. Para lulusan fakultas hukum dinilai
tidak memenuhi keperluan minimal untuk melaksanakan fungsi-fungsi pokok, yang layaknya
dapat dilakukan oleh seorang sarjana hukum.

Bagi fakultas-fakultas hukum, berita ini tentunya tidak boleh dianggap sebagai ”angin lalu”, tetapi
haruslah dianggap suatu masalah yang mendesak untuk dipikirkan, dan sedapat mungkin dicarikan
jalan keluarnya. Meskipun pernyataan yang nadanya mirip dengan apa yang dikatakan oleh
Menteri Kehakiman ini, sudah sering kita dengar, tapi sampai sekarang belum nampak tanda-tanda
adanya perbaikan mutu dari produk yang dihasilkan oleh fakultas-fakultas hukum kita.

Sebagai seorang dosen fakultas hukum, saya melihat, bahwa ketidakmampuan fakultas hukum
untuk meningkatkan mutu lulusannya sebagian besar disebabkan oleh dianutnya asumsi-asumsi
yang keliru dan adanya lingkaran setan (vicious circle) yang sangat sulit untuk diatasi. Misalnya
saja, umumnya orang mengasumsikan, bahwa belajar hukum adalah mudah, karena semata-mata
hanya tinggal menghafalkan peraturan perundang-undangan saja.

Pandangan Masyarakat.

Asumsi bahwa belajar hukum itu mudah, menimbulkan pandangan dalam masyarakat, bahwa
fakultas hukum itu cocok untuk orang ”bodoh”. Karena itu, tidak heran kalau setiap tahun ajaran
baru, kita mendengar ucapan ”polos” dari orangtua calon mahasiswa yang mengatakan, bahwa dia
hanya berharap anaknya diterima di fakultas hukum, karena dia sadar bahwa anaknya memang
bodoh.

Pandangan masyarakat, bahwa fakultas hukum hanya cocok untuk orang bodoh, membuat banyak
lulusan SMA yang pandai enggan untuk masuk ke fakultas hukum. Sebagai akibatnya, meskipun
adanya beberapa perkecualian, umumnya calon-calon mahasiswa yang mendaftar dan diterima di
fakultas hukum adalah orang-orang yang agak inferior dibandingkan orang-orang yang diterima
di fakultas teknik atau ekonomi. Di fakultas hukum swasta, situasinya lebih gawat lagi, karena
mereka hanya kebagian sisa dari orang-orang yang tidak diterima di fakultas hukum negeri.

44
Kompas, Rabu, 23 Januari 1991

125
Lingkaran Setan.

Karena ”bahan dasarnya” memang jelek, sangat sulit bagi fakultas hukum untuk mencetak sarjana
hukum yang bermutu. Seorang pakar hukum menggunakan ungkapan garbage-in, garbage-out,
untuk menggambarkan situasi yang dihadapi fakultas-fakultas hukum kita. Situasi ini bahkan
mungkin diperburuk lagi dengan rendahnya mutu dosen, yang misalnya hanya mengajar
berdasarkan diktat usang yang dipakai selama bertahun-tahun, tanpa ada pengembangan materi
sedikitpun.

Sarjana hukum yang merupakan produk dari situasi semacam ini, tentu saja tidak memiliki cukup
keterampilan untuk melaksanakan profesi hukum dengan semestinya. Karena itu, tidak heran kalau
untuk menutupi kelemahannya, banyak ”oknum” sarjana hukum yang akhirnya menggunakan
cara-cara nonhukum, bahkan ilegal dalam menjalankan profesinya.

Berita-berita negatif tentang pengemban profesi hukum, macam santernya isu tentang ”mafia
peradilan”, membuat citra sarjana hukum semakin suram. Terjadinya perkelahian dalam munas
Ikadin, membuat citra pengemban profesi hukum yang sudah buruk, menjadi semakin kelam. Pada
gilirannya, hal ini makin menguatkan pandangan masyarakat, bahwa studi dan profesi hukum
memang hanya cocok untuk orang-orang yang ”kurang berotak” tapi ”berotot”. Akibatnya,
muncullah lingkaran setan yang hanya bisa diatasi dengan tindakan simultan oleh semua pihak
yang terlibat.

Peningkatan Citra.

Lingkaran setan sekitar mutu sarjana hukum berasal dari rendahnya kualitas sumber daya manusia
dan mutu fakultas-fakultas hukum kita. Oleh karena itu, terapi terbaik yang harus dilakukan untuk
”mengobati” fakultas hukum kita adalah, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia
yang akan dididik di fakultas hukum, dan ”mengamputasi” fakultas-fakultas hukum yang hanya
akan menimbulkan borok dalam masyarakat.
Kualitas sumber daya manusia yang hendak dididik menjadi sarjana hukum akan meningkat, kalau
citra profesi hukum dalam masyarakat juga meningkat. Di negara-negara maju macam Amerika
Serikat dan Kanada, pelamar ke fakultas hukum adalah orang-orang pandai, karena di samping
harus lulus beberapa tes, seperti LSAT (Law School Admission Test) dan wawancara, mereka juga
disyaratkan memiliki gelar kesarjanaan dari disiplin ilmu lain.

Besarnya minat orang-orang pandai untuk kuliah di fakultas hukum, sedikit banyak didorong oleh
pengakuan masyarakat terhadap profesi hukum sebagai profesi yang luhur dan terhormat.
Oleh karena itu, kalau kita ingin meningkatkan mutu sarjana hukum kita, yang pertama-tama harus
dilakukan adalah, meningkatkan citra pengemban profesi hukum. Polisi, jaksa, hakim, dan
pengacara harus bisa menunjukkan kepada masyarakat, bahwa keadilan dan kebenaran
berdasarkan hukumlah, dan bukannya hal-hal lain, yang menjadi sendi-sendi pokok dalam
pelaksanaan tugas mereka.

Selain itu, langkah konkret lain yang bisa diambil untuk meningkatkan citra pengemban profesi
hukum adalah dengan mendamaikan para advokat, yang dewasa ini terpecah dalam kubu Ikadin

126
dan IPHI. Belum adanya wadah tunggal advokat mempersulit penegakan kode etik, karena seorang
advokat yang merusak kehormatan profesi dan dipecat dari satu organisasi, bisa saja mendaftar
untuk menjadi anggota dari organisasi tandingannya.

Jika wadah tunggal advokat bisa dibentuk, maka peningkatan mutu fakultas hukum bisa dilakukan,
dengan mengadakan kerja sama dengan organisasi tersebut. Di Amerika Serikat dan Kanada,
setiap fakultas hukum memiliki kerja sama yang erat dengan organisasi advokat (bar association)
setempat. Kerja sama ini membuat setiap mahasiswa hukum yang hampir menyelesaikan studinya,
memperoleh kesempatan untuk magang (articling) di kantor-kantor pengacara selama satu tahun.
Praktek magang semacam ini bisa dilakukan di Indonesia, kalau sudah ada wadah tunggal advokat
yang integritasnya dapat dipercaya. Kalau tidak, dunia hukum bisa semakin kacau, karena
mahasiswa hukum bisa jadi mempelajari ”perkeliruan-perkeliruan” yang kini banyak dipraktekkan
oleh beberapa oknum pengacara kita.

Sebagai penutup, perlu disimak, bahwa fakultas hukum kita bukanlah tukang sulap yang dalam
sekejap bisa mengubah sapu tangan menjadi burung. Karena itu, selama lingkaran setan yang
menyelimuti dunia hukum kita belum diatasi, selama itu pula Menteri Kehakiman boleh terus
mengeluh tentang buruknya mutu sarjana hukum kita.

127
Lampiran 3

ILMU HUKUM

1. Filsafat Ilmu.

Kita mengetahui bahwa suatu tugas penting dari teori hukum adalah merefleksi objek dan
metode dari ilmu hukum. Namun, cara hal ini dilakukan sangat tergantung pada titik tolak
filsafat ilmu yang dipilih (digunakan). Karena itu juga dapat dimengerti bahwa terdapat
pelbagai pandangan tentang pengembanan ilmu hukum yang dianut orang. Tentang sudut
tinjauan Filsafat Ilmu ini akan terlebih dahulu kita berikan beberapa catatan. Aliran modern
yang terpenting adalah apa yang dinamakan Rasionalisme Kritis. Pandangan yang terutama
dikembangkan oleh Karl Popper ini bertujuan untuk mengartikulasi suatu metode
pengembanan ilmu empiris. Menurut Popper, ilmu ini berusaha untuk memecahkan
(menjelaskan) masalah-masalah konkret. Untuk itu maka hipotesa-hipotesa dan teori-teori
dikembangkan, yang kemudian dengan bantuan data-data empiris harus diuji. Ini dilakukan
dengan memfalsifikasi teori, artinya dengan memperlihatkan satu kejadian yang bertentangan
dengan teori itu dan dengan itu ia dibantah. Jadi, ilmu itu tidak terutama untuk menegaskan
keberlakuan secara umum dari teori ini dengan bantuan data-data empiris, melainkan lebih
untuk membantahnya. Jadi, menurut teori Popper, tugas dari ilmu adalah justru untuk
membuka kedok (menelanjangi) ”ketidak-benaran”. Dengan cara ini maka yang terjadi
bukanlah hal mengumumkan kepastian-kepastian absolut, tetapi mengetengahkan suatu
model bagi penelitian ilmiah yang memperlihatkan suatu struktur terbuka. Pengemban ilmu
selalu siap untuk berdiskusi dan mengganti keyakinannya dengan yang lebih baik. Dalam
kaitan ini, maka Popper juga membela suatu ”Open Society”, artinya sebuah demokrasi, di
mana setiap orang bersedia bahwa pendirian-pendiriannya setiap kali didiskusikan kembali.

Juga di bawah pengaruh Rasionalisme Kritis ini, filsafat ilmu modern telah mengembangkan
suatu jenis ”gambaran standar” atau ”standaard beeld” (H. Koningsveld, HET
VERSCHIJNSEL WETENSCHAP, 1976; E. Nagel, THE STRUCTURE OF SCIENCE,
1974). Gambaran standar ini terutama dapat diterapkan pada ilmu-ilmu empiris. Ilmu-ilmu ini
ditandai oleh usaha mereka untuk memberikan penjelasan pada gejala-gejala tertentu dari
kenyataan empiris. Untuk itu mereka mengajukan keajegan-keajegan hipotetis, yang dalam
suatu hubungan yang majemuk dapat diolah menjadi teori-teori. Inti dari penelitian ilmiah
terutama terletak dalam hal bahwa orang menguji sejauh mana pemahaman-pemahaman
teoretis ini oleh empiri dapat dibantah. Untuk itu maka eksperimen-eksperimen dapat
memainkan peranan penting.

Sementara itu, ilmu-ilmu empiris bukanlah satu-satunya bentuk ilmu modern, sekali pun
mereka memang memainkan suatu peranan yang sangat penting, yakni dalam ilmu-ilmu alam
dan biologi. Di samping itu kita mengenal ilmu-ilmu formal (logika dan matematika),
humaniora (a.l. sejarah, ilmu kesusasteraan, seni, musik) dan ilmu-ilmu sosial (berkenaan
dengan manusia dan masyarakat). Sebuah pertanyaan inti dari diskusi masa kini adalah sejauh

128
mana ilmu-ilmu yang disebut terakhir itu juga harus dipandang dan diemban sebagai ilmu-
ilmu empiris. Apa yang dinamakan ”perjuangan metode” ini memusatkan diri terutama pada
persoalan bebas nilai dari ilmu.

Tentang hal itu kita akan memberikan komentar pendek. Tentang ilmu empiris dikemukakan
bahwa ia bebas nilai. Itu mengandung arti bahwa ia berdasarkan metodologinya yang ketat
tidak tergantung pada penilaian-penilaian pribadi dari pengemban ilmu tersebut. Penilaian-
penilaian itu hanya memainkan suatu peranan pada seleksi dari objeknya dan juga pada
penjawaban terhadap pertanyaan apa yang harus dilakukan dengan hasil-hasil dari penelitian
ilmiah itu. Hal pemaparan, analisis dan penjelasan dari gejala-gejala empiris dipandang pada
dirinya sendiri adalah sepenuhnya bebas nilai. Pendirian ini tepat, sekali pun harus diberikan
catatan bahwa melalui struktur ilmu empiris yang bebas nilai ini sendiri (dipandang sebagai
demikian) juga nilai-nilai tertentu direalisasikan. Dalam ilmu empiris, ”Zweckrationalitaet”
ditonjolkan, artinya ia menetapkan sarana apa saja yang harus (dapat) digunakan untuk
mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Namun, perihal penetapan tujuan-tujuan ini, ilmu empiris
harus menahan diri (O.D. Duintjer, MODERNE WETENSCHAP EN WAARDEVRIJHEID,
1970).

Diskusi tentang masalah bebas nilai dari ilmu-ilmu sosial dan Geisteswissenschaften
(humaniora) memusat pada dua butir. Kita mengemukakan hal ini, karena ia juga relevan bagi
sifat khas dari ilmu hukum.

Butir pertama baru saja diketengahkan. Ilmu empiris bersifat sangat instrumental. Berkaitan
dengan ilmu-ilmu sosial, hal ini mengandung arti bahwa manusia dan masyarakat hingga
derajat tertentu dipandang sebagai sarana-sarana untuk merealisasikan tujuan-tujuan tertentu.
Dengan cara ini sesungguhnya mereka dalam sifat khas mereka sendiri tidak mencapai sasaran
tembak (vizier). Hal semacam itu berlaku juga bagi Geisteswissenschaft. Suatu fakta historis
atau sebuah produk kesusasteraan adalah lebih dari sekadar hasil dari kekuatan-kekuatan
(yang bekerja secara kausal) tertentu, dan juga lebih katimbang suatu sarana untuk mencapai
tujuan-tujuan lain. Ia adalah ”sesuatu” dalam dirinya sendiri : sifat khas atau ”hakikat” dari
gejala sosial itu (produk rokhaniah) harus dipahami, jika ilmunya ingin memiliki suatu makna.

Dengan itu kita menyentuh butir yang kedua. Ia berkaitan dengan pertanyaan apakah mungkin
fakta empiris itu (yang terhadapnya penelitian ilmiah ditujukan) ditentukan secara bebas nilai
dan netral. Bukankah fakta-fakta itu tidak begitu saja diberikan atau dapat diamati, mereka
harus dikonstruksi, dipikirkan dan -- mendahului penelitian -- secara cermat dipaparkan. Nah,
sejauh mana hal itu mungkin berkenaan dengan gejala-gejala sosial dan produk-produk
rokhaniah? Apakah mungkin mendalami atau memahami perilaku manusia (untuk membatasi
pada hal itu) hanya dari luar, dari suatu sudut pandangan eksternal? Tidakkah kita harus lebih
”menjalankan penghayatan” (inleven) dalam pengalaman pribadi orang-orang lain? Tidakkah
kita sendiri harus memiliki pengalaman dengan pola-pola perilaku, yang ingin kita teliti?
Suatu jawaban mengiyakan terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam ini mengandung arti
bahwa dalam lingkungan ini suatu pemisahan-subjek-objek yang ketat dalam penelitian ilmiah
tidak dapat dipertahankan. Untuk suatu produk rokhaniah berlaku sesuatu yang analog. Sejak
diskusi-diskusi yang dimulai pada abad yang lalu oleh Dilthey tentang sifat khas dari ilmu-
ilmu rokhani (Geisteswissenschaften) orang berbicara dalam hubungan ini tentang

129
”Verstehen” (sebagai pengganti dari ”Erklaeren”). Seperti diuraikan dalam nomor 454 dan
berikutnya, hermeneutika modern melanjutkan tradisi ini. Kita tidak akan mempersoalkan
masalah ini lebih lanjut, walau pun kita masih ingin mengemukakan bahwa sesungguhnya
gejala-gejala sosial dan produk-produk rokhani -- menurut keyakinan kami -- sulit untuk dapat
dijadikan suatu objek penelitian empiris yang murni. Jika orang melakukannya juga, maka ia
akan mereduksi gejala-gejala demikian menjadi objek-objek yang padanya ”sifat manusia”
yang spesifiknya hilang. Hal penentuan apa sesungguhnya ”yang sosial” itu saja, tidak dapat
dilakukan oleh ilmu empiris. Hal itu mendahului tiap penelitian empiris (P. De Bruin, HET
SOCIAAL PROBLEEM, 1956; J.F. Glastra van Loon, FEITEN ZIJN GEEN FEITEN, dalam
: De eenheid van het handelen, 1980; tentang hermeneutika lihat H.G. Gadamer, WAHRHEIT
UND METHODE, 1965; lihat juga J.F. Glastra van Loon, NORM EN HANDELING, 1957).

Apa yang dikemukakan di atas penting untuk ilmu hukum dalam dua hal. Bukankah suatu
bagian penting dalam diskusi-diskusi modern berkenaan dengan pertanyaan apakah juga ilmu
hukum tidak harus diemban sebagai suatu ilmu empiris. Jika orang menjawab pertanyaan ini
dengan mengiyakannya, dengan jawaban demikian itu berarti bahwa juga hukum itu didekati
dari sudut suatu optik instrumental. Hukum itu dijelaskan, ditinjau sebagai suatu sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan lain. Tentang tujuan-tujuan itu ilmu hukum tidak dapat
mengemukakan sesuatu apa pun, padahal sesungguhnya amat penting, demikian dapat
dikemukakan, bahwa juga penjelasan ilmiah diberikan tentang hal yang terhadapnya hukum
itu diarahkan, nilai-nilai apa yang ia coba untuk merealisasikannya. Hukum menstabilisasi
pergaulan hidup, ia merealisasi ketertiban dan perdamaian, ia ingin mewujudkan sesuatu pada
persamaan dan/atau keadilan sosial. Hukum mewujudkan kebebasan, demikian kita akan
mengatakan. Apa yang secara ilmiah dapat dikatakan tentang tujuan-tujuan ini? Sangat
sedikit. Ilmu empiris secara prinsipial tidak melibatkan diri pada persoalan-persoalan ini.
Tentang ”nilai-nilai” sedikit yang dapat ditetapkan secara ilmiah, demikian menurutnya.
Konsekuensinya dengan demikian adalah bahwa ilmu empiris tidak membahas suatu dimensi
hakiki dari hukum. Butir kedua berkaitan dengan batasan diri dari ”hukum” yang menjadi titik
tolak ilmu hukum empiris. Di sini berkaitan dengan hal pengoperasionalisasian pengertian
hukum sedemikian, bahwa ia dibuat terbuka bagi penelitian empiris. Hal itu niscaya
mengandung suatu reduksi dari pengertian hukum yang penuh. Yang terakhir ini kita temukan,
menurut pandangan kami, dalam teori dari Schindler, yang sudah kita uraikan terlebih dahulu.
Di samping momen-momen formal di dalamnya juga momen-momen substansial memainkan
suatu peranan. Nah, momen-momen substansial ini tidak pernah dapat dipandang sebagai
objek penelitian empiris. Dalam isi (substansi) tersebut, subjek dan objek secara hakiki saling
bertautan : tiap pemisahan subjek dan objek -- yang metodis mutlak diperlukan -- dengan
demikian menyangkal pertautan ini. Karena itu, objek dari ilmu hukum empiris itu haruslah
memiliki suatu karakter murni formal. Pengertian hukum dari Hart dan Raz dan juga yang dari
Kelsen dapat berguna untuk itu. Juga ad hoc dapat diberikan ciri-ciri struktural. Tetapi,
pengertian hukum yang demikian tetap memiliki sifat yang telah direduksi. Penilaian kritis
tentang isi dari hukum, yang sebenarnya secara hakiki terletak dalam sifat khas dari hukum,
dalam pengembanan ilmu empiris adalah tidak mungkin, setidaknya secara metodis tidak
diizinkan. Dengan itu tidak berarti bahwa ilmu empiris itu tanpa makna (tidak berguna), tetapi,
sebagaimana yang masih akan dijelaskan, ia mempunyai kedudukan spesifik di samping
wawasan-wawasan lain.

130
2. Jenis-jenis Ilmu Hukum.

Dari apa yang sudah dikemukakan sudah tampak bahwa dapat dibedakan pelbagai jenis ilmu
hukum. Padanya baik metode yang harus diikuti maupun sifat dari objek penelitian,
memainkan suatu peranan. Kita mencukupkan diri dengan suatu daftar pendek. Dalam nomor-
nomor berikutnya kami akan memberikan penjabaran lebih lanjut. Bentuk yang paling penting
tak diragukan lagi adalah Ilmu Hukum Dogmatik. Ilmu ini bertugas untuk memaparkan,
menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang berlaku. Tujuannya adalah
untuk memungkinkan penerapan dan pelaksanaan hukum secara bertanggung-jawab di dalam
praktek. Bentuk ilmu hukum ini menempati posisi sentral dalam pendidikan universiter. Di
sampingnya terdapat Ilmu Hukum Empiris. Ilmu ini lebih banyak ditentukan oleh metodenya
dan primer tidak oleh objeknya. Ia juga tidak hanya relevan untuk Ilmu Hukum Dogmatik,
tetapi juga untuk bentuk-bentuk lainnya. Walaupun demikian, kita membahasnya secara
tersendiri, karena ia, sebagaimana kita sudah melihatnya, dalam diskusi-diskusi modern
menempati posisi aktual. Tentang bentuk-bentuk lain dari ilmu hukum kami sebutkan
Sosiologi Hukum, Sejarah hukum, Perbandingan Hukum dan Psikologi Hukum. Tentang sifat
khas dari disiplin-disiplin ini terdapat, sebagaimana yang akan kita lihat, perbedaan
pandangan yang besar. Grosso modo kita dapat mengkarakterisasi dua kelompok sebagai
berikut. Pada satu pihak para penganut dari (metode) ilmu hukum empiris. Kelompok ini
berpandangan bahwa semua ilmu-ilmu ini harus diemban sesuai dengan ”gambaran standar
ilmu empiris”. Pada pihak lain kita dapatkan para ”tradisionalis” yang bertolak dari pandangan
bahwa penentuan objek dan metode dari disiplin-disiplin ini merupakan kegiatan-kegiatan
yang relatif majemuk, dan dengan demikian pelbagai unsur yang berbeda-beda pada mereka
memainkan peranan. Memandang semua ilmu-ilmu ini sebagai bentuk-bentuk dari ilmu
empiris, dipandang, sebagai terlalu sederhana. Sifat khas dari tiap disiplin harus ditelaah
secara tersendiri. Pada mereka dapat ditemukan pelbagai nuansa. Kita akan kembali pada
masalah itu.

3. Ilmu Hukum Dogmatik.

Menurut pandangan tradisional, Ilmu Hukum Dogmatik adalah ilmu hukum in optima forma
(dalam bentuknya yang optimal). Ia dapat juga kita namakan ”Dogmatika Hukum” (Bahasa
Jerman : ”Rechtsdogmatik”, ”Jurisprudenz”). Dengan istilah ini dicakup semua kegiatan
ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif yang konkret.
Sifat ”dogmatis”-nya itu terletak dalam hal bahwa orang sungguh-sungguh membatasi diri
pada satu sistem hukum spesifik. Orang membatasi diri pada kaidah-kaidah hukum positif
tertentu, dan menutup diri terhadap sistem-sistem hukum yang lain. Sementara itu orang
menemukan dalam kepustakaan pelbagai pendekatan yang berbeda dari Dogmatika Hukum.
Hal itu banyak tergantung pada bagaimana orang memandang sifat khas dari hukum positif
itu (jadi, objeknya). Jika orang menonjolkan sifat normatif dari objeknya itu (sebagaimana
misalnya dilakukan Kelsen), orang akan cenderung untuk memandang ilmu hukum dogmatik
sebagai suatu ”ilmu normatif”. Yang lain menunjukkan bahwa tidak hanya objek dari
dogmatika hukum terdiri atas gejala-gejala normatif, tetapi bahwa ia (dogmatika hukum itu)
sendiri juga menjalankan suatu pengaruh menormakan (mengkaidahi, mengugeri, menetapkan

131
keharusan). Jadi, ilmu hukum dogmatik juga memiliki dimensi politik-praktis (F. Mueller,
JURISTISCHE METHODIK, 1976; H. Ryffel, RECHTS-UND STAATSPHILOSOPHIE,
1969). Itu berarti a.l. bahwa aspek-aspek normatif dan faktual di dalam ilmu hukum berjalan
saling menyilang. Pendirian ini di Belanda a.l. oleh Paul Scholten dalam karyanya
”ALGEMEEN DEEL” (1934, 1974) dipaparkan dengan cara yang meyakinkan. Ilmu hukum
itu, demikian Scholten menjelaskan, mengenal tidak hanya suatu dimensi memaparkan
(beschrijven, deskriptif) tetapi juga suatu dimensi mengkaidahi (voorschrijven, preskriptif).
Pemahaman teoretisnya secara praktis relevan. Dari sini tampak bahwa dogmatika hukum itu
adalah suatu gejala majemuk. Dalam nomor terdahulu sudah kami kemukakan bahwa ia
menyibukkan diri dengan lima tugas, yakni memaparkan, menganalisis, mensistematisasi,
menginterpretasi dan menilai (suatu bagian dari) hukum positif. Ia seolah-olah memadukan
ciri-ciri dari pelbagai ilmu dalam dirinya. Karena itu, menurut kami pertanyaan sejauh mana
ia dapat dipandang sebagai ”ilmu” dalam arti yang ”strikt” (dalam arti apa sesungguhnya?)
adalah pertanyaan yang kurang menarik. Betapa pun, menurut pandangan yang dianut di sini,
ia bukanlah ilmu empiris dalam arti ”gambaran standar”. Ia juga bukanlah begitu saja ilmu
normatif, sebagaimana yang diuraikan oleh Kelsen.

Ilmu hukum dogmatik itu memiliki suatu karakter sendiri, ia adalah sebuah ilmu ”sui generis”,
yang tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan bentuk ilmu lain yang mana pun. Ia
memiliki pelbagai ciri. Kita dapat mengemukakan dan menjelaskan ciri-ciri tersebut sebagai
berikut ini.

a. Pertama-tama, ilmu hukum itu memiliki suatu sifat empiris-analitis. Itu berarti bahwa ia
memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi (dan struktur) dari hukum yang
berlaku. Terkait padanya, ia dapat menggunakan metode-metode empiris, tetapi hal itu
tidak perlu. Yang pasti ia tidak memberikan penjelasan (Erklaeren), meskipun benar ia
memikirkan pelbagai pengertian dalam pertautan antara yang satu dengan yang lainnya.
Untuk itu pengertian-pengertian ini dianalisis dan terutama dicoba untuk mengerti
pengertian-pengertian tersebut (memahami ”makna” mereka) dengan berlatar-belakang
asas-asas yang melandasi mereka. Hal itu tidak mengherankan mengingat apa yang sudah
kami kemukakan terlebih dahulu tentang pentingnya idea-hukum. Keterkaitan pada asas-
asas (hukum) ini terutama dalam kerangka penstudian dan pengembanan hukum perdata
adalah eviden (jelas).

b. Selanjutnya, ilmu hukum mensistematisasi gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan


dianalisis itu. Itu tidak perse (demi dirinya) mengandung arti bahwa suatu ”sistem hukum”
yang logis-konsisten telah dirancang, sebagaimana misalnya terjadi dalam pandangan-
pandangan dari Luhmann atau Raz (meskipun masing-masing dengan cara yang sangat
berbeda !). Ia lebih merupakan pengembangan suatu ”sistem terbuka”, yang berarti bahwa
aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum dipikirkan dalam suatu hubungan yang
relatif bebas antara yang satu dengan yang lainnya. Yang menentukan padanya adalah
bahwa orang mempertautkan kaidah-kaidah hukum ini pada asas-asas yang melandasi
hubungan ini. Dengan latar-belakang asas-asas ini, maka gejala-gejala hukum lain juga
dapat disistematisasi. Justru di dalam hal itu terletaknya sifat ”terbuka” dari
pensistematisasian ini. Ini adalah tugas dari dogmatika-hukum dalam arti sempit.
Sementara itu, pensistematisasian ini tidak sama penting pada semua bagian dari hukum.

132
Untuk hukum perdata (dan dalam derajat yang lebih kurang untuk hukum pidana) ia
memiliki arti lebih besar katimbang misalnya untuk hukum tata negara. Adanya peradilan
mempunyai pengaruh yang besar. Suatu yurisprudensi yang terolah, sebagaimana yang kita
kenal dalam hukum perdata, berdaya stimulatif untuk pemekaran suatu dogmatika-hukum.
Jika yurisprudensi sama sekali tidak ada, maka terdapat bahaya bahwa ilmu hukum hanya
merupakan hal mengungkapkan penataan-penataan dan struktur-struktur yang ada
(misalnya tatanan negara).

c. Ilmu hukum menginterpretasi hukum yang berlaku. Bukankah deskripsi (pemaparan),


analisis dan sistematisasi hukum yang berlaku mengandaikan bahwa arti dari hukum ini
terlebih dahulu -- sekurang-kurangnya dalam arti sementara -- sudah ditetapkan. Lebih dari
itu, kegiatan-kegiatan ini terarah untuk mengartikulasi lebih jauh arti ini. Dalam segi ini,
ilmu hukum memiliki suatu sifat hermeneutis (bdk. no. 454). Itu berarti bahwa di sini
terdapat suatu relasi dengan apa yang dinamakan Ilmu-ilmu Rokhani
(Geisteswissenschaften).

d. Ilmu hukum itu menilai hukum yang berlaku. Dalam arti ini ia relatif bersifat normatif. Itu
mengandung arti tidak hanya bahwa objeknya terdiri atas kaidah-kaidah, tetapi terutama
bahwa pendirian-pendirian, yang ia sendiri ambil, memiliki suatu dimensi pengkaidahan
(menetapkan norma). Jadi, dogmatika hukum tidak bebas nilai. Ia secara langsung
berkaitan dengan idea-hukum, dengan perwujudan ”tujuan” dari hukum. Ilmu hukum
dogmatik itu dalam penilaian-penilaian dan keputusan-keputusannya mau memberikan
sumbangan pada realisasi dari tujuan ini, yakni keadilan atau kebebasan. Padanya ia
memperoleh rasionya, makna dari berfungsinya. Nada dasar penilaian ini melandasi semua
kegiatannya. Bahwa penilaian ini sungguh-sungguh ada, dapat dikonstatasi dalam semua
buku teks atau buku pelajaran (handbook). Juga dari anotasi-anotasi pada vonis-vonis hal
ini tampak dengan jelas. Tetapi penilaian terhadap hukum positif mengandaikan suatu
kriterium, suatu titik tolak kritis. Jika orang merenungkannya ia akan dengan sendirinya
akan sampai pada idea hukum, sebagai dasar dari semua hukum.

e. Ciri yang terakhir berkaitan dengan arti praktis dari ilmu hukum dogmatik. Ini berkaitan
erat dengan dimensi normatif yang baru saja dibicarakan. Antara teori dan praktek
berkenaan dengan dogmatika hukum terdapat perkaitan-perkaitan yang majemuk. Apa
yang dikemukakan oleh Ilmu Hukum Dogmatik pada akhirnya berkaitan dengan penerapan
praktis dari hukum. Untuk itu hukum dipaparkan, dianalisis, disistematisasi dan
diinterpretasi. Pada penerapan praktis itulah juga penilaian normatif terhadap hukum
positif diarahkan. Pada tataran teoretis, ilmu hukum dogmatik itu memberikan
(menyediakan) suatu model bagi perwujudan praktis dari hukum (dan dengan demikian
”tujuan” dari hukum). Model ini direfleksi dan diargumentasi secara teoretis. Sebagai
demikian, jadi sebagai model teoretis, ia relevan secara praktis. Bukankah praksis hukum
itu berorientasi pada model ini. Tanpa pegangan (bimbingan) teoretis ini, praktek tersebut
(misalnya peradilan, advokatur, perundang-undangan) tidak dapat berfungsi. Pada pihak
lain, isi dari praktek hukum memberikan dampak balik pada model teoretis ini : bukankah
teori itu merefleksi praktek hukum itu dan karena itu harus memperhitungkannya. Jadi,
teori dan praktek itu saling berkaitan erat, dan karena itu juga hanya dapat dipikirkan
sebagai suatu keseluruhan (teoretis) dan diwujudkan (secara praktis). Teori memikirkan

133
hubungan-teori-praksis dan praktek merealisasi hubungan-teori-praksis. Di sini letak dari
makna normatif-praktis dari dogmatika hukum. Berdasarkan itu juga maka pandangan
empiris yang murni dari ilmu hukum harus ditolak. Bukankah di dalamnya teori dan
praktek (penerapan praktis) yang satu dari yang lainnya dipisahkan secara tajam.
Pemisahan ini sungguh tidak bermakna, sebab ia menyangkal (keliru memahami) sifat
khas, yang tipikal dari ilmu hukum dogmatik. Pemisahan itu berarti tidak mengakui
(menghargai) karya dalam teori dan praktek yang sudah ribuan tahun dijalankan oleh para
yuris.

Dari apa yang dikemukakan di atas tampak bahwa dogmatika hukum itu juga memiliki suatu
karakter politik. Dengan itu tidak hanya dimaksudkan bahwa ia menjelaskan momen-momen
politik apa yang ikut terlibat dalam teori dan praktek hukum, tetapi terutama juga bahwa ia
sendiri menganut suatu pendirian politik (hukum). Ia juga sesungguhnya memainkan suatu
peranan pada pemikiran dan perancangan pengaturan perundang-undangan, ia mengkritik
yurisprudensi dan mempertahankan penyelesaian-penyelesaian untuk kejadian-kejadian
individual yang (dapat) dihadapkan pada hakim. Dengan kata lain : ia langsung berkaitan pada
dan melandasi pembentukan hukum dan penemuan hukum dalam kenyataan. Jadi, dengan
”politik” dimaksudkan bahwa dogmatika hukum secara aktif terlibat pada penataan
masyarakat (yang paling didambakan). Mungkin saja ia melaksanakan aktivitas politik ini
dengan suatu cara yang berbeda katimbang yang dilakukan oleh partai-partai politik atau para
pejabat pemerintahan atau anggota parlemen, tetapi hal ini tidak mengurangi fakta bahwa
aktivitas-aktivitasnya seyogianya dikualifikasi sebagai ”politik”. Dengan itu sekaligus
dikatakan bahwa suatu pemisahan secara tajam antara hukum dan politik adalah tidak
mungkin. Butir ini di sini tidak dapat dijabarkan lebih lanjut. Kiranya sudah mencukupi
pernyataan bahwa hukum itu selalu merupakan resultat dari suatu proses politik, sedangkan
sebagai demikian ia tetap terlibat dalam proses itu sebagai ”Politikum”. Pada sisi lain, proses
politik itu hampir selalu terarah pada pembentukan hukum. Politik dan hukum mewakili
(mencerminkan) berturut-turut momen dinamis dan statis dari suatu masyarakat yang sedang
mengembangkan diri. Sekarang kita melihat lebih jauh bagaimana pandangan teori hukum
empiris tentang sifat (hakikat) dari ilmu hukum.

4. Ilmu Hukum Empiris.

Wawasan yang diuraikan dalam nomor 444 dan 445 tentang ilmu hukum dogmatis itu sangat
diragukan (dipersoalkan) oleh para penganut suatu teori hukum empiris. Mereka
mengemukakan bahwa dengan cara demikian maka pelbagai tataran disaling silang
menyilangkan (”ditipacorokkeun”) dan bahwa khususnya titik pandang (pendirian) eksternal
dan internal tentang pengembanan hukum dicampur-adukkan. Menurut pandangan kami,
”pencampur-adukkan” ini justru diperlukan, sebab dengan itu maka sifat spesifik dari
dogmatika hukum dapat diungkapkan. Namun bagaimana pun, teori hukum empiris
berpendirian lain. Mereka berpendapat bahwa ilmu hukum, dalam pelbagai bentuknya, harus
diemban sebagai suatu ilmu empiris. Dogmatika hukum itu paling banyak dapat ditunjuk
sebagai sejenis ”seni hukum” atau ”keakhlian hukum”. Ia menurut mereka sesungguhnya
bukanlah ilmu. Sekarang kita terlebih dahulu akan memberikan secara singkat suatu
karakteristik umum dari ilmu hukum empiris (yaitu pandangan teori hukum empiris tentang

134
pengembanan ilmu hukum). Sesudahnya kita akan menguraikan dua pandangan yang sedikit
lebih terinci.

Ilmu hukum empiris membedakan secara tajam antara fakta-fakta dan norma-norma, antara
keputusan-keputusan (proposisi) yang memaparkan (deskriptif) dan yang normatif
(preskriptif). Gejala-gejala hukum dipandang sebagai gejala-gejala empiris (faktual) yang
murni. Mereka adalah ”fakta-fakta kemasyarakatan” yang dapat diamati secara indrawi.
Gejala-gejala ini harus dipelajari dan diteliti dengan menggunakan metode-metode empiris,
sesuai dengan ”gambaran standar”. Itu mengandung arti bahwa hukum yang berlaku itu
dipaparkan, dianalisis dan terutama juga dijelaskan. Jadi, ilmu hukum empiris itu berbicara
dalam keputusan-keputusan deskriptif tentang gejala-gejala hukum, yang untuk sebagian juga
tampil dalam keputusan-keputusan preskriptif. Penelitian empiris faktual terhadap isi dari
hukum dan a.l. terhadap perilaku mereka yang terlibat dengan hukum, di sini dengan demikian
menempati suatu posisi penting. Ilmu hukum yang dipandang dengan cara demikian itu adalah
bebas nilai dan netral. Pengembanannya sama sekali tidak mengambil sikap (pendirian)
menilai atau kritis terhadap gejala-gejala hukum yang ia pelajari dan jelaskan. Hal itu
mengakibatkan bahwa tidak hanya hukum dan etika (moral), tetapi juga hukum dan politik
secara tajam dipisahkan yang satu dari yang lainnya. Bukanlah tugas dari pengemban ilmu
hukum (empiris) untuk menyatakan penilaian etis atau politis tentang sifat atau isi dari hukum
positif. Suatu penilaian (putusan) demikian memiliki -- demikian mereka katakan -- suatu
karakter personal-subjektif. Hal itu harus diserahkan kepada mereka yang ditugaskan untuk
menetapkan putusan-putusan (penilaian) demikian, seperti para advokat, hakim, penasihat
hukum, politisi dan pengemban politik hukum yang lainnya. Yang terakhir ini berarti bahwa
ilmu hukum empiris tidak menyibukkan diri dengan penerapan hukum sebagai demikian. Hal
ini (yakni penerapan hukum itu) tentu saja dapat diteliti secara empiris, tetapi tentang hal ini
ilmu tidak boleh mengambil suatu sikap (pendirian) kritis. Ilmu dan praktek lagi-lagi
dipisahkan secara ”strikt” (ketat).

Dari karakteristik ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa pengemban ilmu hukum empiris
harus dipandang sebagai seorang positivis hukum. Bukankah ia memandang hukum itu
sebagai suatu fakta yang dapat dikonstatasi dan berpendapat bahwa dalam mempelajarinya
harus setajam mungkin dijauhkan dari penilaian (pribadi), penormaan atau kritik. Dalam
nomor 495 kita masih akan melihat bahwa hal ini cocok dalam gambaran dari positivisme
hukum. Bahwa di sini kita dapat berbicara tentang positivisme, juga diakui oleh dua penulis
Belanda (Degenkamp dan Heynen) dalam publikasi bersama mereka (J.Th. Degenkamp/H.M.
Heynen, BESTUDERING VAN HET RECHTS ALS WETENSCHAP, NJB, 1971 : 713).
Mereka berbicara tentang hal tidak mempersoalkan setiap isi dari hukum dan bahwa hukum
hanya dapat diidentifikasi berdasarkan sifat-sifat (ciri-ciri) eksternal dan yang dapat diamati
secara indrawi. Dengan itu maka gejala-gejala hukum ditentukan secara formal, yakni
berdasarkan norma-norma atau aturan-aturan kewenangan yang berdasarkannya gejala-gejala
ini memperoleh sifat hukum mereka. Penulis-penulis yang disebut tadi juga memang
memberikan definisi ilmu hukum sebagai ”suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang
tertata, yang dapat diverifikasi secara logis atau secara empiris, yang di dalamnya diberikan
suatu pemaparan sistematis tentang gejala-gejala hukum”. Kentara sekali bahwa dalam
pandangan ini penilaian dan penerapan praktis dari hukum sama sekali tidak memainkan
peranan. Putusan-putusan tentang isi dari hukum, tentang praksis hukum dalam arti luas,

135
menurut penulis-penulis ini bersifat pribadi (personal) dan untuk itu tidak dapat
dikembangkan kriteria keberlakuan intersubjektif. Dengan itu maka memang ilmu hukum
(empiris) sungguh-sungguh sudah menyatakan segala-galanya. Ia mencukupkan diri dengan
memberikan suatu pemaparan dari gejala-gejala hukum. Bahkan suatu penjelasan ilmiah
terhadapnya tidak ia berikan. Dengan itu memang timbul pertanyaan tentang relevansi praktis
atau makna dari suatu aktivitas yang demikian. Apa arti suatu ilmu hukum (empiris) yang
untuk praktek hukum sama sekali tidak mempunyai kepentingan?

Pandangan tentang ilmu hukum empiris lain yang akan kita berikan perhatian mempunyai
kaitan dengan Rationalisme Kritis dari Karl Popper dan Hans Albert (bdk. no. 432 dan 438).
Di Belanda ia dipertahankan oleh A. De Wild (DE RATIONALITEIT VAN HET
RECHTERLIJK OORDEEL, 1980). Yang sentral di sini adalah dalil bahwa hukum positif itu
sebagai suatu fakta sosial, dipandang di samping fakta-fakta sosial yang lainnya. Hukum
adalah suatu bentuk dari perilaku manusia yang dapat diamati. Tugas dari ilmu hukum
(empiris) adalah tidak hanya memaparkan fakta ini, tetapi juga menjelaskannya dengan
bantuan hipotesa-hipotesa dan keajegan-keajegan. Hal menjelaskan ini dapat dipahami dalam
dua arti. Di satu pihak, fakta-fakta sosial (dalam arti luas) dapat dijelaskan dengan bantuan
hukum. Misalnya, tiap orang mengendarai kendaraan di sebelah kiri karena terdapat aturan-
aturan hukum yang berlaku; tiap orang membayar pajak karena berlaku suatu perundang-
undangan tertentu. Pada pihak lain, kaidah-kaidah hukum (gejala-gejala hukum) dapat
dijelaskan dengan bantuan fakta-fakta sosial (yang lain). Misalnya, berlaku suatu kecepatan
maksimum karena keamanan lalu-lintas menuntut hal itu. Terhadap ini, gambaran standar dari
ilmu empiris dilibatkan untuk menjelaskan suatu rangkaian fakta-fakta sosial dari masyarakat
manusia yang sifatnya saling berbeda. Khususnya dari sudut optik sosiologi hukum, penelitian
ilmiah yang demikian itu dapat sangat bermakna. Demikianlah, dalam aspek ini, model ini
lebih meyakinkan katimbang model yang dikemukakan Degenkamp-Heynen. Ia bahkan dapat
memenuhi suatu peranan tertentu dalam praktek hukum. Bukankah ilmu hukum itu dapat
memberikan suatu model keputusan tertentu kepada pembentuk undang-undang dan hakim.
Misalnya dalam arti bahwa kepada pembentuk undang-undang dapat dikemukakan bahwa
undang-undang ini atau itu mempunyai akibat-akibat (praanggapan-praanggapan) ini dan itu.
Atau : jika orang ingin tujuan ini atau itu tercapai, maka harus diadakan suatu pengaturan
demikian. Hal sejenis berkenaan dengan interpretasi undang-undang dapat diberikan kepada
hakim. Dengan itu mungkin saja ilmu tetap berada dalam kerangka rasionalitas instrumental
(tujuan-sarana), namun meskipun demikian ia hingga derajat tertentu tetap bermanfaat untuk
praktek. Dengan itu hilanglah suatu keberatan serius terhadap ilmu empiris. Namun yang
berikut ini tetap harus diperhitungkan.

Butir pertama adalah bahwa juga di sini pengertian hukum itu harus dioperasionalisasikan.
Konform dengan sifat (hakikat) ilmu empiris dan pandangan tentang hukum sebagai ”fakta
sosial”, akan sangat diperhatikan ciri-ciri hukum yang formal dapat diamati. Dan itu berarti
suatu abstraksi yang mereduksi terhadap pengertian hukum yang konkret. Butir kedua adalah
bahwa walaupun secara praktis penting, namun tentang penentuan tujuan-tujuan yang harus
dipilih dari misalnya perundang-undangan dan peradilan, model yang disebut terakhir ini
sepenuhnya membiarkan terbuka dan menyerahkan kepada mereka yang secara langsung
mengemban pertanggungjawaban untuk itu. Ilmu memberikan pemahaman-pemahaman yang
terorientasi secara instrumentalistis, tetapi tidak memberikan refleksi apapun tentang tujuan-

136
tujuan itu. Nilai-nilai, kaidah-kaidah dan kritik di sini juga tetap berada di luar medan karya
ilmiah. Karena itu harus dikatakan bahwa ilmu empiris memang dapat ex post memberikan
suatu penjelasan yang bermakna tentang gejala hukum (yang diinterpretasi secara faktual),
tetapi bahwa refleksi-refleksi ini untuk masa depan memiliki hanya suatu makna yang
terbatas. Dan tetap menjadi dalil kita bahwa aksen dari karya yuridis justru terletak pada
dimensi ex ante ini.

5. Jenis-jenis Ilmu Hukum Lain.

Di samping yang sudah disebutkan di atas, kita masih mengenal empat bentuk lain dari ilmu
Hukum, yakni Sosiologi Hukum, Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum dan Psikologi
Hukum. Tentang dua yang disebutkan terakhir, kita akan singkat saja.

Perbandingan Hukum (Rechtsvergelijking) adalah suatu disiplin yang relatif muda, yang
memperlihatkan bahwa isi dari hukum positif berbeda-beda menurut waktu dan tempat. Ia
dapat diemban dari sudut pelbagai optik. Perbandingan Hukum dapat berfungsi sebagai suatu
ilmu bantu bagi Ilmu Hukum Dogmatik, dalam arti bahwa ia mempertimbangkan pengaturan-
pengaturan dan penyelesaian-penyelesaian tertentu dari tatanan-tatanan hukum lain dan
menilai keadekuatan mereka untuk hukum sendiri. Demikianlah kita temukan dalam sejumlah
arrest dari Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) pertimbangan-pertimbangan
perbandingan hukum, sementara itu di Belanda juga jangkauan sasaran dan isi dari Burgerlijk
Wetboek yang baru ditetapkan dengan bantuan penelitian perbandingan hukum. Dalam derajat
yang kurang, hal ini juga berlaku untuk Undang-undang Dasar yang baru. Pada perbandingan
hukum dogmatis ini, orang menelusuri terutama asas-asas yang melandasi pelbagai tatanan
hukum dan kaidah hukum. Dengan latar belakang itu maka pengaturan-pengaturan dan
penyelesaian-penyelesaian tertentu dapat dipikirkan sebagai suatu kesatuan. Dengan cara itu,
maka misalnya dapat dibedakan ”keluarga-keluarga hukum” (rechtsfamilies) tertentu.
Perbandingan Hukum sesungguhnya dapat juga diemban dari sudut sosiologi hukum atau ilmu
kerokhanian. Dalam hal pertama orang memandang hukum sebagai gejala (kemasyarakatan),
yang orang dapat paparkan, mensistematisasi dan seperlunya juga menjelaskan dengan latar
belakang faktor-faktor kultural, kemasyarakatan, politikal, dsb. Dalam hal demikian, maka
Perbandingan Hukum merupakan suatu bagian dari Ilmu Hukum Empiris. Sebagai ilmu
kerokhanian, Perbandingan Hukum itu tidak terutama berkenaan dengan hal menjelaskan
gejala-gejala hukum, tetapi lebih untuk memahaminya. Juga di sini orang akan mencari asas-
asas yang melandasi, dan sering juga sejarah perkembangan hukum dilibatkan dalam
tinjauannya. Di negeri Belanda misalnya, M.C. Burkens (dalam METHODOLOGIE VAN
STAATSRECHTELIJKE RECHTSVERGELIJKING, 1975) mengembangkan suatu
landasan Perbandingan Hukum Tata Negara dengan bersaranakan teori sistem dari Niklas
Luhmann.

Psikologi Hukum masih belum berkembang. Objek dan metodenya sangat tergantung pada
aliran-aliran umum dalam Psikologi yang menjadi pusat orientasinya. Pada satu sisi kita
mengenal misalnya Psikologi Perilaku Empiris, yang juga dapat menyibukkan diri dengan
perilaku para yuris sebagai hakim, advokat dsb. Gejala-gejala hukum dapat ditempatkan di

137
bawah rubrik pola-pola perilaku manusia. Tetapi kita juga mengenal Psikologi Humanistik,
Psiko-analisis dan masih banyak lagi. Dari semua orientasi tersebut, perlu diteliti arti apa yang
dapat mereka berikan untuk penelitian tentang hukum. Namun, kita harus menyerahkan hal
itu pada penilaian para akhli, dan kita akan mencukupkan diri dengan catatan pendek ini
(H.F.M. Crombag, EEN MANIER VAN OVERLEVEN. Psychologische grondslagen van
moraal en recht, 1983).

Selanjutnya kita bicarakan Sosiologi Hukum. Menurut pandangan yang berpengaruh,


Sosiologi Hukum ini harus dipandang sebagai suatu ilmu empiris. Menurut pandangan kami,
justru dalam bentuk Sosiologi Hukum, ilmu hukum empiris itu memperoleh makna. Model
dari Albert-De Wild juga sesuai benar untuk Sosiologi Hukum. Penulis-penulis ini
sesungguhnya memperjuangkan pandangan bahwa Ilmu Hukum itu harus dipandang sebagai
suatu jenis Sosiologi Hukum (empiris). Keberatan-keberatan terhadapnya juga kehilangan
relevansinya, sebab Sosiologi Hukum itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk memiliki arti
praktis. Ia paling jauh dapat merancang model-model keputusan tertentu, seperti yang sudah
kita lihat. Juga disebabkan a.l. oleh hal itu, telah dikembangkan pandangan-pandangan lain
tentang Sosiologi Hukum. ”Pertentangan metode” ini berjalan kurang-lebih paralel dengan
yang berlangsung di dalam Sosiologi pada umumnya. Sejauh mana perilaku manusia dapat
dimengerti sebagai suatu fakta murni? Hingga derajat mana dapat dipertanggung-jawabkan
berkenaan dengan analisis tentang gejala-gejala hukum, dilepaskan dari nilai-nilai dan tujuan-
tujuan? Sosiologi Hukum empiris memandang hukum hanya sebagai fakta dan mengabaikan
semua momen normatif. Dengan itu maka pengertian hukum yang konkret tidak diteliti secara
sosiologis. Suatu tema penting dalam Sosiologi Hukum yang tidak diragukan lagi adalah
penelitian tentang hubungan antara hukum dan masyarakat. Dengan itu kita tidak terutama
memaksudkan hubungan-hubungan antarfakta-fakta kemasyarakatan (seperti yang
dikemukakan dalam pandangan Albert-De Wild), tetapi hal mengembangkan suatu pengertian
dari hubungan-hubungan ini. Di dalam hukum momen kerokhanian dari manusia menyatakan
dirinya, dan di dalam masyarakat a.l. menyatakan diri momen ekonomi yang terarah pada
pemenuhan kebutuhan. Kedua momen itu termasuk unsur hakiki dari keberadaan manusia.
Berdasarkannya harus ditentukan hubungan antara individu dan masyarakat, dan berkaitan
dengan makna ”yang bersifat kemasyarakatan (yang sosial)”. Masalah itu adalah masalah
filsafat (hukum) yang dalam suatu Sosiologi Hukum yang direfleksi harus dihasilkan suatu
penyelesaian. Sosiologi Hukum yang demikian bukanlah Sosiologi Hukum empiris.

Akhirnya beberapa catatan tentang Sejarah Hukum. Penilaian terhadap perkembangan historis
dari hukum baru timbul sejak Aliran Historis dari Von Savigny. Di dalamnya hukum itu
dipahami sebagai suatu gejala yang mengembangkan diri, yang mengalami pengaruh
perubahan-perubahan. Juga sifat dapat berubahnya hukum positif berdasarkan waktu dapat
dipelajari dari pelbagai sudut pandangan. Sama seperti Perbandingan Hukum, juga Sejarah
Hukum dapat dipandang sebagai ilmu bantu untuk kepentingan Dogmatika Hukum. Untuk
perundang-undangan, peradilan dan doktrin sering dapat berguna untuk mengetahui
bagaimana gejala-gejala hukum tertentu telah berkembang, atas dasar-dasar apa mereka telah
timbul atau dirancang. Suatu pengembanan Sejarah Hukum yang mandiri hampir selalu
berada dalam tradisi dari ilmu-ilmu kerokhanian (atau dari Hermeneutika). Suatu
pengembanan Sejarah Hukum secara empiris adalah jarang, dan juga menurut kami
kegunaannya sedikit. Bukankah sejarah itu suatu ”Verstehen” dari apa yang pada suatu waktu

138
”dihayati”, dan untuk itu maka suatu penataan logis dari fakta-fakta saja tidak cukup. Justru
di dalam sejarah ”fakta-fakta bukanlah fakta-fakta!” (J.F. Glastra van Loon, FEITEN ZIJN
GEEN FEITEN, 1980). Karena itu, Sejarah Hukum itu sungguh-sungguh merupakan suatu
disiplin dengan akar-akar abad 19. Di samping, seperti sudah dikatakan, Aliran Historis juga
pengaruh dari Dilthy dan khususnya dari Idealisme telah memainkan peranan besar. Yang
penting tampaknya adalah bahwa perkembangan historis dari hukum positif dipahami sebagai
suatu rangkaian variasi dari satu tema yang sama, yakni perwujudan dari asas-asas primer
tertentu. Dari sudut ide hukum (atau faset-fasetnya), maka formasi-formasi dari hukum positif
yang historis berubah-ubah dapat dipahami secara bermakna. Tetapi hal ini tidak dapat
dilakukan tanpa suatu landasan filsafat (hukum). Itu berarti bahwa juga bentuk ilmu hukum
ini pada akhirnya tidak dapat dipikirkan secara tersendiri, tetapi harus dipahami dari
keseluruhan pengembanan hukum.

*****************

139
Lampiran 4

NASIHAT KEPADA SEORANG ANAK MUDA


YANG
BERMINAT PADA PROFESI HUKUM.

Dalam bulan Mei 1954, seorang anak laki-laki berusia duabelas tahun, yang bernama M. Paul
Claussen. Jr., hidup di Alexandria, Virginia (USA), menulis surat kepada Hakim Agung Felix
Frankfurter (Anggota Federal Supreme Court dari Amerika Serikat).

Anak laki-laki itu menulis bahwa ia berminat untuk memilih profesi hukum sebagai kariernya
(karya pengabdian hidupnya), dan meminta nasihat tentang cara yang sebaiknya untuk memulai
mempersiapkan diri sementara ia masih bersekolah di Sekolah Menengah (Junior High School).
Hakim dan ilmuwan yang terkenal dan berwibawa itu menjawab surat itu sebagai berikut :

Paul yang baik,

Tidak ada seorangpun yang dapat menjadi akhli hukum yang sungguh-sungguh kompeten
kecuali jika ia adalah seorang yang berbudaya (a cultivated man). Andaikata saya adalah
anda, maka saya akan melupakan segala sesuatu yang merupakan persiapan teknis untuk
memasuki bidang hukum. Jalan yang terbaik untuk mempersiapkan diri guna memasuki
bidang hukum atau menjalankan profesi hukum adalah untuk memulai studi hukum
sebagai orang yang banyak membawa (a well read person). Hanya dengan cara demikian
saja orang dapat memperoleh kemampuan untuk menggunakan bahasa lisan dan tulisan
dan dengan kebiasaan berfikir jernih yang hanya dapat diberikan oleh pendidikan yang
sungguh-sungguh bebas. Tidak kurang pentingnya bagi seorang akhli hukum adalah
pembinaan kemampuan imajinatif melalui pembacaan puisi, melihat dan menghayati
lukisan-lukisan bermutu, dalam bentuk orisinalnya atau reproduksi-reproduksinya yang
tersedia, dan mendengarkan musik bermutu. Isilah pikiran anda dengan sebanyak mungkin
bacaan yang baik (good reading), dan perluas serta perdalam perasaan-perasaan anda
dengan mengalami dan menghayati secara intensif sebanyak mungkin rahasia-rahasia
alam semesta yang indah .....

Wassalam

Felix Frankfurter

140
Lampiran 5

TUJUAN HUKUM45
--------------
Oleh : J.E. Spruit.

1. G
2. G
3. G
4. G
5. G
6. G
7. G
8. G
9. G

10. Tujuan Hukum adalah : suatu penataan masyarakat secara damai. Hukum menghendaki
perdamaian. Pandangan ini, yang terutama dikembangkan oleh Filsuf Thomas Hobbes
(1588-1679) dari Inggeris, sudah muncul dalam karya-karya puisi tertua dan sumber-sumber
hukum tertua dari pelbagai bangsa. Pada penyair Hesiodes (abad 7 s.M.) dari Yunani, maka
Irene dan Eunomia -- Dewi Perdamaian dan Dewi Ketertiban Yang baik -- adalah saudara dari
Dike, Dewi dari hukum yang merupakan ”hal yang tertinggi yang diberikan oleh dewa-dewa
kepada manusia-manusia”. Dalam ”Vision dari Yesaya”, hukum atau keadilan dan
perdamaian berkaitan sangat erat. Dan Psalm 85:11 secara puitis menyatakan : ”Keadilan dan
perdamaian saling berciuman.”

Dalam epilog dari salah satu Kitab Undang-undang tertua di dunia yang kita kenal, yakni dari
Hammurabi, raja dari Babilonia (sekitar tahun 2000 s.M.), pembentuk undang-undang ini
mengatakan:

”... in my bossom I have carried the people of the land of Shumer and Accad, they have
become abundantly rich under my guardian spirit, I bear their charge in peace and by my
profound wisdom I protect them. That the strong may not oppress the weak and so to give
justice to the orphan and the widow, I have inscribed my precious words on my monument
...”

11. Pandangan yang sama kita temukan dalam salah satu dari prolog-prolog dari Lex Salica,
hukum rakyat suku Salika- Franka, yang berasal dari permulaan Abad Enam. Apa yang kita
sebut ketertiban hukum (rechtsorde), mereka menyebutnya perdamaian (vrede). Putusan
pengadilan dinamakan putusan perdamaian (vredeban) atau perintah perdamaian
(vredegebod), kejahatan dipandang sebagai gangguan perdamaian (vredebreuk), penjahatnya
dinyatakan tanpa damai atau bebas kedamaian (vredeloos), artinya ditempatkan di luar
perlindungan hukum. Hukum memelihara perdamaian di antara para manusia dengan
melindungi kepentingan-kepentingan manusia tertentu, baik materiil maupun idiil --
kehormatan, kebebasan, nyawa, kekayaan, dsb -- terhadap tindakan-tindakan yang merugikan.

Terutama pada yuris-yuris Amerika kita temukan usaha-usaha untuk memberikan suatu
formulasi dan klasifikasi yang lebih terinci dari kepentingan-kepentingan individual dan sosial
yang, menurut pandangan mereka, seyogianya mendapat perlindungan hukum. Tampak jelas
bahwa dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan kepentingan-kepentingan apa yang
harus dilindungi oleh hukum, penilaian subjektif -- khususnya pandangan-pandangan politik,

45
Diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta dari J.E. Spruit, Doel van het recht, terdapat dalam Apeldoorn-Spruit,
Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht, Bab I par 3, 1985: 10-16.

141
ekonomis, sosial, religius, moral -- memainkan peranan penting, juga jika orang mencari
sebanyak mungkin pertautan berkaitan dengan itu pada pandangan-pandangan yang
berpengaruh dalam suatu masyarakat tertentu atau, lebih umum, dalam masyarakat barat
modern. Penyusunan suatu daftar tentang kepentingan-kepentingan apa yang harus dilindungi
dengan demikian adalah sama saja dengan penyusunan suatu progam politik. Dengan kadar
yang lebih kuat penilaian subjektif meletakkan beban pada timbangan jika berkenaan dengan
hal menimbang-nimbang kepentingan-kepentingan ini, sejauh mereka satu dengan yang
lainnya tidak dapat dipersatukan, dengan kata lain jika harus diputuskan, pada yang mana dari
kepentingan-kepentingan itu harus diberikan prioritas ketimbang yang lannya. Suatu tolok
ukur yang objektif atau absolut yang berdasarkannya persoalan ini dapat diputuskan, tidak
ada.

Karena itu juga tidaklah tepat untuk, seperti para yuris Amerika senang melakukannya,
menggambarkan hukum sebagai ”system of social engineering” (sistem perekayasaan
masyarakat) dan dengan demikian menyamakan (menarik garis paralel antara) tugas dari
pembuat undang-undang dan yuris di satu pihak dan insinyur teknik di lain pihak. Hubungan-
hubungan kemasyarakatan, hasrat-hasrat, keinginan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan yang
hidup dalam masyarakat tidak dapat dianalisis seperti gejala-gejala alamiah. Di antara
pelbagai kelompok orang di dalam masyarakat terdapat perbedaan kepentingan-kepentingan
yang besar, dan di dalam satu kelompok yang sama terdapat bermacam-macam keinginan dan
kebutuhan, yang lebih dari itu sering tidak pasti, kurang dirumuskan secara persis dan dapat
berubah-ubah, sehingga orang tidak dapat berbicara tentang suatu penetapan secara ilmiah
mengenai hal itu.

Tetapi andaikata pun tentang hal itu dapat dicapai kesepakatan dalam lingkungan-lingkungan
yang dominan, masih tetap harus dilakukan suatu pilihan tentang sarana-sarana untuk
mencapai tujuan yang telah diajukan, dan dalam hal ini lagi-lagi penilaian subjektif akan
memainkan peranan. Singkatnya, pengaturan hubungan-hubungan kemasyarakatan itu
bukanlah persoalan teknik atau matematika (ilmu pasti).

12. Fakta bahwa kepentingan-kepentingan materiil dan idiil dari manusia-manusia individual, dan
dari pelbagai kelompok manusia, khususnya juga dari individu dan masyarakat, selalu saling
bertentangan satu terhadap yang lainnya, akan dapat menimbulkan konflik-konflik yang terus
menerus, bahkan suatu peperangan antara semua melawan semua, jika hukum tidak muncul
di tengah-tengahnya untuk mempertahankan perdamaian. Dan ia mempertahankan
perdamaian dengan jalan secara cermat menimbang-menimbang kepentingan-kepentingan
yang saling bertentangan yang satu terhadap yang lainnya dan menciptakan keseimbangan
(evenwicht) di antara kepentingan-kepentingan itu. Sebab ia hanya dapat mencapai tujuannya
-- suatu penataan masyarakat yang damai -- jika ia sebanyak mungkin berusaha mencapai
penataan yang adil, artinya suatu penataan yang di dalamnya terdapat keseimbangan di antara
kepentingan-kepentingan yang dilindungi; yang di dalamnya dengan demikian tiap pihak
memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi haknya.

Begitulah keadilan (rechtvaardigheid) sudah dirumuskan oleh Aristoteles dalam bukunya


”RHETORICA”, yang oleh orang-orang Romawi diterjemahkan sebagai : ”suum cuique
tribuere”, memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Keadilan tidak boleh

142
diidentikkan dengan persamaan. Keadilan tidak berarti bahwa tiap orang memperoleh sama
banyak. Juga tentang hal ini Aristoteles sudah mengajarkannya. Ia membedakan dua jenis
keadilan, yang membagi (distributif) dan yang mengimbali (komutatif)

Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang sesuai dengan
jasanya atau prestasinya. Ia tidak menuntut bahwa tiap orang memperoleh jumlah yang sama,
bukan kesamaan, tetapi kesebandingan. Jika misalnya pasal 3 Undang Undang Dasar Belanda
mengatakan : ”Semua warganegara Belanda atas dasar yang sama mempunyai hak untuk
diangkat dalam jabatan-jabatan publik”, maka hal itu tidak berarti bahwa tiap warganegara
Belanda mempunyai hak yang sama untuk menduduki jabatan Menteri, tetapi ia berarti bahwa
jabatan-jabatan itu harus diberikan kepada orang-orang yang berdasarkan prestasi-prestasi
mereka pantas untuk mendapatkannya. Keadilan distributif menguasai terutama di dalam
hukum publik hubungan-hubungan antara masyarakat dan orang-orang tertentu. Sementara
itu, asas kesebandingan juga di dalam hukum perdata memainkan peranan yang penting.

Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang yang sama
banyaknya, terlepas dari jasa atau prestasi masing-masing. Ia memainkan peranan di antara
orang-orang dalam tukar menukar, pada pertukaran antara barang-barang dan jasa-jasa, yang
sejauh mungkin harus ada kesamaan antara hal-hal yang dipertukarkan. Ia menguasai terutama
di dalam hukum perdata pergaulan antara orang-orang perseorangan.

Jadi, hukum tidak hanya menghendaki perdamaian, ia juga menghendaki keadilan. Dua hal
ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan; hanya penataan (ketertiban) yang adil yang
dalam jangka panjang merupakan suatu penataan (ketertiban) yang damai.

13. Ada yang berpendapat bahwa hukum hanya bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Teori-
teori yang mengajarkan ini disebut teori-teori etis, karena menurut pandangannya isi dari
hukum harus hanya ditentukan oleh keyakinan etis kita tentang apa yang adil dan yang tidak
adil. Teori-teori ini berat sebelah. Mereka terlalu melebih-lebihkan kadar keadilan dari
hukum, karena mereka tidak cukup memperhitungkan kenyataan. Hukum menetapkan aturan-
aturan umum yang harus menjadi acuan orang di dalam pergaulan hidup. Jika ia hanya
menghendaki keadilan, jadi hanya bertujuan untuk memberikan kepada tiap orang yang
menjadi haknya, maka ia tidak akan dapat menetapkan aturan-aturan umum. Dan yang
terakhir ini harus ia lakukan : hal itu merupakan suatu syarat untuk dapat berfungsinya. Suatu
tata hukum tanpa aturan-aturan umum, tertulis atau tidak tertulis, adalah tidak mungkin ada.
Tidak adanya aturan-aturan umum akan berarti ketidak pastian tentang apa yang sesuai dengan
hukum atau apa yang melawan hukum. Dan ketidak pastian itu akan menimbulkan
pertarungan antar-manusia yang terus menerus, jadi kekacauan katimbang ketertiban.

Hukum harus membuat aturan-aturan umum, niscaya harus menggeneralisasi. Keadilan justru
melarang penggeneralisasian, menuntut bahwa tiap kejadian dinilai tersendiri berdasarkan
keadaannya : suum cuique tribuere. Kadang-kadang pembentuk undang-undang memenuhi
tuntutan ini, dengan jalan merumuskan ketentuan-ketentuannya sedemikian rupa sehingga
kepada hakim diberikan keluangan yang besar dalam menerapkan ketentuan-ketentuan
tersebut pada kejadian-kejadian khusus. Demikianlah, pada bidang hukum pidana, sejauh
undang-undang memberikan kebebasan yang luas kepada hakim berkenaan dengan penentuan

143
besarnya (berat ringannya) hukuman (straftoemeting). Begitulah, pada bidang hukum perdata,
jika pembentuk undang-undang menggunakan ”kaidah-kaidah terbuka” atau memerintahkan
hakim untuk memperhitungkan ”kepatutan” (billijkheid) dalam membuat putusan atau ”itikad
baik” (goede trouw), yang kemudian dalam NBW (KUHPerdata Belanda yang baru) disebut
”redelijkheid en billijkheid” (kemasukakalan atau kewajaran atau kepatutan). Aristoteles
sudah mengajukan kepatutan sebagai saran untuk mencegah bahwa penerapan aturan-aturan
umum pada kejadian-kejadian khusus menimbulkan ketidak-adilan. Namun di sini terdapat
lagi ancaman bahaya yang dapat mengurangi kepastian hukum, terutama dalam hubungan
dengan fakta bahwa dalam peradilan kita tampak adanya usaha untuk memperluas ”asas itikad
baik” dan menerapkannya juga untuk kejadian-kejadian yang tidak ditunjuk oleh undang-
undang. Misalnya dalam Arrest H.R. 20 Desember 1946, asas-asas itikad baik dan kepatutan
yang oleh BW (KUHPerdata) diakui hanya untuk bidang hukum perjanjian, juga dinyatakan
dapat diterapkan pada bidang hukum waris. Di Perancis, yang memberikan nilai yang tinggi
pada kepastian hukum, peradilannya tentang hal ini memperlihatkan sikap yang lebih
menahan diri ketimbang di kita.

14. Jadi, di dalam hukum niscaya terdapat suatu pertentangan (antinomi) yang tidak dapat
dielakkan, suatu konflik yang selalu timbul antara tuntutan-tuntutan dari keadilan dan
tuntutan-tuntutan dari kepastian hukum. Sebab, semakin hukum memenuhi tuntutan untuk
adanya suatu pengaturan yang pasti dan tetap, yang menutup pintu bagi ketidak pastian
sebanyak mungkin dan aturan-aturan hukum dirumuskan semakin persis dan tajam, maka
keadilan akan semakin dibahayakan. Sejauh itu ”summum ius” (keadilan setinggi-tingginya)
memang dapat membawa pada ”summa iniuria” (ketidak adilan setinggi-tingginya).
Ungkapan ”summum ius summa iniuria” (dalam keadilan yang setinggi-tingginya terdapat
ketidak-adilan yang setinggi-tingginya) yang terkenal itu berasal dari Cicero dalam bukunya
”DE OFFICIIS I”. Sebagai varian dari ungkapan itu kita temukan ungkapan ”summum ius,
summa malitia” (keadilan setinggi-tingginya, kejahatan setinggi-tingginya) pada karya-karya
klasik dari Terentius (HEAUTON) dan Hieronymus (EPIST. I.).

Ketidak-sempurnaan dari hukum ini di dalam praktek untuk sebagian dapat diatasi dengan
cara para hakim, pada waktu menerapkan hukum pada kejadian-kejadian konkret, sering
dengan interpretasi aturan-aturan secara bebas menemukan sarana untuk meniadakan atau
mengurangi (melembutkan) ketidak-patutan. Tetapi sarana bantu ini lagi-lagi bekerja dengan
merugikan kepastian hukum, dan ia juga tidak selalu bermanfaat. Tidak misalnya untuk
kejadian-kejadian -- yang banyak -- yang tidak dapat diajukan ke hadapan hakim. Lihat saja
pada pengaturan tentang saat kedewasaan, pada pengaturan jangka waktu, pada ketentuan-
ketentuan tentang tarif-tarif, yang untuk semua orang berlaku sama. Juga tidak pada kejadian-
kejadian yang untuknya undang-undang memberikan perintah yang sangat eksplisit dan tidak
meragukan, sebab dengan demikian berlaku : ”lex dura, sed tamen scripta” (Ulpianus dalam
DIGESTAE), artinya : undang-undang itu keras, namun memang demikianlah bunyinya.

Jerome Frank dalam LAW AND THE MODERN MIND (1963) dan COURTS ON TRIAL
(1950) menolak gagasan tentang kepastian hukum. Menurut pandangannya, kepastian hukum
itu tidak mungkin dicapai dan juga tidak diperlukan. Pandangan yang berlebihan tentang hal
ini sama dengan pandangan dari I.H. Hijmans (dalam HET RECHT DER WERKELIJKHEID,
1910). Sebenarnya, bahwa kepastian hukum tidak akan pernah tercapai secara mutlak atau

144
sempurna, bukanlah alasan untuk melepaskan usaha mewujudkan kepastian hukum.
Bukankah kita juga tidak menghapuskan Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanya karena
sampai saat sekarang masih berkeliaran pencuri-pencuri.

Berlawanan dengan pandangan dari Frank adalah pandangan dari Gustav Radbruch : ”Die
Sicherheit des Rechts ist die Voraussetzung aller Kultur”, artinya: kepastian dari hukum
adalah faktor yang menentukan semua kebudayaan (dalam DER GEIST DES ENGLISCHEN
RECHT, 1947). Ia menunjukkan bahwa di Inggeris gagasan tentang kepastian hukum adalah
”die vorherrschende Rechtsidee” (gagasan hukum yang dominan). Di kemudian hari
Radbruch merelatifkan pandangannya secara fundamental (dalam RECHTSPHILOSOPHIE,
Anhang nr. 4 sub III).

15. Jadi, hukum pada dasarnya harus mengorbankan sesuatu dari keadilan pada kehasilgunaan
(doelmatigheid): ia mau tidak mau memiliki sifat kompromistik. Bahkan terdapat sejumlah
aturan hukum yang secara keseluruhan tidak mewujudkan keadilan, tetapi menemukan
dasarnya semata-mata dalam kehasilgunaan, seperti a.l. aturan-aturan hukum yang berkenaan
dengan bukti dan daluarsa, dan yang hingga tertentu bahkan melindungi bezitter terhadap
pemilik demi perdamaian di dalam masyarakat. Orang dapat saja menyesalkan hal ini, tetapi
orang tidak dapat mengubahnya : hukum adalah hasil karya manusia dan sebagai demikian
tidak sempurna. Kita dapat saja membuka mata terhadap ketidak sempurnaan ini, namun
demikian mengagumi hukum itu karena tugasnya yang besar yang ia penuhi sebagai
pemelihara perdamaian di dalam masyarakat.

Tugas ini dalam berbagai masyarakat diungkapkan dengan cara yang berbeda, tetapi
jangkauan dari gagasan tentang apa yang menjadi tujuan dari hukum, dalam hakikatnya sama
saja. Suatu sumber hukum Friesland dari Abad Pertengahan terhadap pertanyaan: ”apakah
hukum itu?” memberikan jawaban a.l. : menyarankan apa yang seyogianya, memerintahkan
apa yang baik, melarang apa yang tidak benar, mengizinkan apa yang adil dan kadang-kadang
juga apa yang tidak adil, karena takut pada sesuatu yang lebih buruk. Berabad-abad
sebelumnya Ulpianus telah merumuskan tiga perintah. Ia menulis : ”iuris praecepta sunt haec:
honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere”, artinya: perintah-perintah dari
hukum adalah sebagai berikut: hidup bermartabat, tidak merugikan sesama manusia dan
memberikan kepada tiap orang apa yang menjadi haknya (bagiannya).

Hukum juga dalam segi-segi lain masih memiliki suatu sifat kompromistis. Ia harus tidak
hanya berusaha mendamaikan keadilan dengan kepastian hukum, tetapi ia harus pada waktu
yang sama memajukan stabilitas dan memberi peluang bagi perubahan-perubahan; ia harus
menjamin kebebasan, tetapi harus mendamaikan kebebasan itu dengan otoritas (kekuasaan
sah); ia harus memberikan kepada manusia individual apa yang menjadi haknya, tetapi juga
kepada negara.

Jika teori-teori yang berpendapat bahwa hukum tidak mempunyai tujuan lain kecuali
mewujudkan keadilan itu adalah berat sebelah dan bertentangan dengan kenyataan, di lain
pihak juga berat sebelah Ajaran Utilitas yang mengatakan bahwa tujuan hukum hanya
kegunaan atau kehasilgunaan. Ajaran ini, terutama berasal dari Jeremy Bentham, bertolak dari
pandangan bahwa hukum bertujuan (menghendaki) menjamin sebanyak mungkin

145
kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang: ”the greatest happiness for the greatest number”
(eudaemonisme atau utilitarisme). Tiap orang adalah bernilai penuh (volwaardig), tidak
seorang pun bernilai lebih: ”everybody to count for one, nobody for more than one”.
Pandangan ini berat sebelah, karena hukum hanya dapat berhasil-guna dan berguna jika ia
sebanyak mungkin berusaha mewujudkan keadilan.

Jadi tujuan hukum adalah penataan masyarakat yang berkedamaian dan berkeadilan.
Mengeluarkan gagasan keadilan dari lingkungan hukum akan mengakibatkan pengidentikan
hukum dan kekuasaan.

************

146
Lampiran 6

HUBUNGAN ASPEK HUKUM


DAN
ASPEK KEHIDUPAN LAIN46
-------------------------------------------------
Oleh : H.J. van Eikema Hommes

Aspek-aspek kehidupan manusia adalah cara-cara kehadiran (zijnswijzen) atau bentuk-bentuk


pengalaman (ervaringswijzen) yang fundamental, yang di dalamnya berfungsi hal-hal, kejadian-
kejadian, hubungan-hubungan kemasyarakatan dsb. dari kenyataan manusia, dan manusia
mengalami hal-hal tersebut. Struktur dari aspek-aspek itu dinamakan struktur modal (istilah modal
berasal dari perkataan latin : modus, cara keberadaan).

Kita tidak pernah menjalani (menghayati) aspek-aspek itu in abstrakto. Tidak ada aspek hukum
atau aspek ekonomi sebagai demikian belaka (artinya : berdiri sendiri). Manusia hanya menghayati
kejadian-kejadian konkrit, seperti : kecelakaan mobil, terjadinya kebakaran, berpidato,
membangun sebuah rumah, dsb. Namun kita mengalami kejadian-kejadian konkrit ini dalam suatu
keseluruhan dari aspek-aspek atau cara kehadiran yang saling berkaitan tanpa dapat diputuskan
(dipisahkan). Dalam pengalaman kita sehari-hari kita memahami aspek-aspek ini tersirat (implisit)
pada kejadian-kejadian konkrit. Ilmu-lah yang mencoba untuk mengeksplisitkan aspek-aspek itu
dan mengabstraksikannya dari dunia pengalaman kita yang konkrit, yang dengan itu mereka
(aspek-aspek itu) menjadi obyek penelitian ilmiah. Tentu saja, hal itu adalah sesuatu yang diadakan
(kunstmatigs).

Kita akan mencoba menjelaskan hal ini dengan menelaah suatu kejadian konkrit, misalnya
penyelenggaraan penampilan Ireng Maulana All Stars di salah satu ruangan dari TIM (Taman
Ismail Marzuki), dan kita mengarahkan perhatian kita pertama-tama pada aspek yuridisnya (aspek
hukum).

Aspek yuridis ini adalah bidang penelitian Ilmu Hukum. Seorang yuris akan menunjukkan segi-
segi hukum dari kejadian itu : musisi menutup (mengadakan) perjanjian untuk melakukan sesuatu
dengan penyelenggara pertunjukan musik (impresario). Yang disebut terakhir menutup perjanjian
sewa-menyewa dengan Pengelola TIM. Para pengunjung menutup perjanjian jual-beli untuk
memperoleh tiket masuk (karcis). Tiket masuk ini dinamakan surat hak kebendaan
(zakenrechtelijk papier) : ia memberi hak untuk masuk dan memperoleh tempat duduk kepada
pemegangnya.

46
Disadur oleh B. Arief Sidharta dari H.J. van Eikema Hommes, ENCYCLOPEDIE DER RECHTSWETENSCHAP
I : Methode der encyclopedie en Hoofdlijnen van de Geschiedenis der Rechts en Staatsfilosofie, W.E.J. Tjeenk
Willink, Zwolle, 1975: 9-26.

147
Seorang yuris juga akan menunjuk pada pelbagai hubungan pemikiran (eigendomsverhoudingen).
Para musisi adalah pemilik dari instrumen mereka, partitur, dsb; yayasan TIM adalah pemilik dari
ruangan yang digunakan, peralatan kursi-meja, dsb.

Andaikan bahwa pada saat penyelenggaraan pertunjukan itu terjadi gangguan oleh sekelompok
pemuda. Secara yuridis perbuatan itu dikualifikasi sebagai peristiwa pidana atau delik
(mengganggu ketentraman), dan dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melanggar hukum (pasal
1365 KUHS) terhadap Yayasan TIM berdasarkan pengrusakan milik secara melawan hukum.

Pelaksanaan pertunjukkan yang tidak mengalami gangguan secara yuridis dikualifikasikan sebagai
pemenuhan kewajiban-kewajiban kontraktual oleh para musisi.

a. Aspek hukum dan aspek estetis.

Selanjutnya kita arahkan perhatian kita pada aspek estetis sebagai aspek bentuk yang indah dan
harmoni. Aspek estetis ini adalah bidang penelitian dari Estetika. Aspek ini menempati kedudukan
istimewa dalam contoh kita.

Aspek hukum dari contoh tadi berkaitan dengan dan berakar dalam aspek estetis. Antara keduanya
pertama-tama terdapat hubungan eksternal. Tata hukum mengatur hak atas hasil karya seni. Hak
Cipta adalah hak dari pencipta (pembuat) karya ilmiah, kesusasteraan dan seni untuk
mengumumkan dan menyebarluaskan (memperbanyak) hasil karya itu (pasal Undang-undang Hak
Cipta tahun 1982).

Hukum juga memainkan peranan dalam karya-karya seni, a.l. dalam ”Antigone” dari Sophocles,
”The Merchant of Venice” karya Shakespeare, ”Crime and Punishment” karya Dovstojevski, ”Les
Gens de Justice” karya Daumier dsb. Benda-benda konkret seperti teks undang-undang dapat
memiliki suatu keindahan tertentu : Stendhal tiap pagi membaca beberapa paragraf dari Code
Civil, ”pour prendre le ton”. Bandingkan Gustav Radbruch, RECHTSPHILOSPOHIE, par. 14
(Aestetik des Rechts).

Jauh lebih penting adalah hubungan organik internal. Hubungan ini menampakkan diri dalam hal,
bahwa kita di dalam struktur modal dari aspek hukum akan berhadapan dengan suatu unsur yang
menunjuk pada aspek estetis tanpa masuk ke dalamnya. Unsur ini adalah suatu sifat dari aspek
hukum itu sendiri (tidak diturunkan dari hal lain), namun memperlihatkan suatu hubungan interval
organik dengan aspek estetika. Unsur dari aspek hukum ini adalah unsur harmoni yuridika atau
keseimbangan (evenredigheid). Sang yuris akan berkata, bahwa harus ada suatu keseimbangan
yuridis antara peristiwa pidana dan hukuman, antara perbuatan melanggar hukum dan ganti rugi.
Itu adalah suatu asas hukum yang fundamental, yang harus diperhitungkan pada semua bidang
hukum. (Lihat H.J. van Eikema Hommes, ELEMENTAIRE GRONDBEGRIPPEN VAN HET
RECHT, hoofdstuk XVIII).

148
b. Aspek hukum dan aspek ekonomi.

Aspek ekonomi adalah aspek cara yang hemat dalam memanfaatkan barang-barang alternatif yang
langka untuk memuaskan secara optimal kebutuhan manusia dalam arti yang seluasnya. Aspek ini
adalah bidang penelitian dari Ilmu Ekonomi. Hukum Gossen secara tajam mengungkapkan aspek
kehidupan ini.

Penyelenggaraan pertunjukan Ireng Maulana All Stars mempunyai aspek ekonomi. Pertunjukan
itu adalah suatu barang langka dan karena itu mahal. Biayanya meliputi a.l. honor untuk musisi,
biaya eksploitasi ruangan itu, biaya perjalanan, dst. Di antara para pencinta musik terdapat
permintaan ekonomis terhadap penyelenggaraan pertunjukan ini dan mereka untuk itu bersedia
membayar harga yang tinggi.

Aspek hukum, seperti juga halnya aspek estetis, berkaitan dengan dan bertumpu pada aspek
ekonomi. Antara kehidupan hukum dan kehidupan ekonomi pertama-tama terdapat suatu
hubungan eksternal. Perkembangan dari kehidupan ekonomi adalah landasan bagi perkembangan
kehidupan hukum (rechtsleven). Perkembangan industri modern mendorong lahirnya undang-
undang baru tentang perjanjian kerja (1909), perseroan terbatas (1928); bdk. J. Valkhoff, EEN
EEUW RECHTSONTWIKKELING, 1949.

Marxisme (historis materialisme) menyangkal kemandirian dari aspek hukum terhadap aspek
ekonomi. Menurut Marx, hukum termasuk: ”das im Menschenkopf umgesetzte und ubersetzte
Materielle” (hukum adalah pencerminan kekuatan produksi dan hubungan produksi secara
ekonomis). Di dalam bukunya yang berjudul Wirtschaft und Recht, R. Stammler mengemukakan
pendapat yang sebaliknya. Ia menyangkal kemandirian dari aspek ekonomi terhadap aspek hukum.
Kedua pendapat itu adalah keliru.

Di samping yang eksternal, terdapat suatu hubungan internal organik. Hubungan internal ini
menampakkan diri dalam unsur ekonomi yuridis. Demikianlah, pembentuk hukum harus
melindungi kepentingan-kepentingan hukum dengan cara yang yuridis hemat, dan tidak mengabdi
suatu kepentingan hukum dengan cara yang eksesif (berlebihan) sehingga merugikan kepentingan-
kepentingan hukum lain yang sederajat atau yang lebih tinggi. Juga ia tidak boleh melampaui
batas-batas wilayah hukumnya dan dengan demikian merugikan kepentingan-kepentingan hukum.
Jika ia melampaui batas wilayah hukumnya, maka dikatakan terjadi ”exces de pouvoir”
(melampaui kewenangan). Juga unsur ini memperlihatkan sifat yang mandiri dari aspek hukum,
tetapi juga mengungkapkan hubungan internal dengan aspek ekonomi tanpa terserap ke dalamnya.
Ekonomi yuridis, seperti juga keseimbangan yuridis, adalah suatu asas hukum yang fundamental,
yang pada semua bidang hukum harus ikut dipertimbangkan.

c. Aspek hukum dan aspek pergaulan sosial.

Aspek pergaulan sosial atau aspek kesopanan (sopan santun, fatsoen, tact, Sitte) adalah bukan
bidang penelitian dari suatu ilmu yang berdiri sendiri. Ia diteliti dalam Sosiologi, Etika, Ilmu
Hukum. Para yuris terkenal yang telah menelitinya a.l. Christian Thomasius (1655 – 1728) dan
Rudolf von Jhering (1818 – 1892). Yang disebut terakhir sangat menekankan sifat normatif dari
aturan-aturan pergaulan; mereka tidak bersifat sewenang-wenang (tidak seenaknya) karena

149
bertumpu di atas asas-asas kepentingan masyarakat. Ia melawan pendapat umum bahwa aturan
pergaulan sosial itu bersifat sewenang-wenang (tanpa patokan umum).

Selama berlangsungnya pertunjukan Ireng Maulana All Stars, para pengunjung yang satu terhadap
yang lainnya dan para musisi mengindahkan bentuk-bentuk pergaulan yang baik. Juga di sini
antara aspek hukum dan aspek pergaulan terdapat suatu hubungan eksternal. Aspek hukum
bertumpu di atas aspek pergaulan. Tanpa dukungan dari kaidah-kaidah pergaulan maka tata hukum
akan menjadi seperti orang tinggi besar namun kakinya lemah. Mengapa orang memenuhi
kewajiban hukumnya? Faktor yang kuat (bukan satu-satunya) : hal tidak memenuhi dianggap
sebagai tidak sopan (tidak patut). Akibatnya dapat berupa : dikucilkan dari suatu lingkungan sosial.
Tertib hukum kadang-kadang memaksakan bentuk-bentuk pergaulan (sopan santun) tertentu :
hormat militer, pakaian jabatan, dsb. Di samping itu sesungguhnya terdapat suatu hubungan
internal organik. Hal ini menampakkan diri dalam gagasan pergaulan secara yuridis (yuridische
verkeersopvattingen), dalam kebiasaan hukum. Bandingkan pasal 1339 dan 1347 KUHS. Juga
sangat ilustratif par. 157 dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata Jerman yang berbunyi :
”Vertrage sind so auszulegen, wie Treu und Glaube mit Ruchsicht auf die Verkehrssitte es
erfordern”, dan par. 242 yang berbunyi : ”Der Schuldner ist verpflichtet die Leistung so zu
bewirken wie Treu und Glaube mit Rucksicht auf die Verkehrssitte es erfordern”.

Ingat juga pada yurisprudensi tentang pasal 1365 KUHS yang berbicara tentang kehati-hatian yang
dituntut dalam lalu lintas hukum (pergaulan hukum); lihat Arrest HR 31 Januari 1919.

Apa yang dituntut oleh itikad baik, kepatutan, kesusilaan? Jawabannya tergantung pada gagasan
pergaulan hukum yang untuk sebagian besar ditentukan oleh yurisprudensi. Hal yang sama juga
berlaku untuk : larangan penyalah gunaan hak, larangan kesewenang-wenangan, perikatan alami
(natuurlijke verbintenis), dsb.

Walaupun pergaulan hukum menunjuk kembali pada hubungan-hubungan pergaulan sosial,


namun ia terhadap yang disebut terakhir memperlihatkan sifat khas dari aspek hukum yang tidak
diturunkan dari sesuatu yang lain. Apa yang dituntut kehati-hatian yuridis dalam pergaulan
kemasyarakatan, adalah tidak identik dengan apa yang dalam suatu cabang dari perindustrian
dipandang sebagai kebiasaan atau dipujikan. Lihat HR 8 Januari 1960 (Scabble-arrest). Dalam
cahaya ini harus juga dilihat pasal 10 bis 2 dari Unieverdrag van Parijs, yang berbunyi : ”Setiap
tindakan persaingan, yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang jujur dalam
perindustrian dan perdagangan, mewujudkan suatu tindakan persaingan tidak jujur.” Lihat tentang
pergaulan yuridis itu lebih lanjut Elementaira Grondbegrippen hal. 441 d.b.

d. Aspek hukum dan aspek bahasa.

Aspek bahasa adalah pemaknaan simbolik atau pemaknaan perlambangan (signifikasi). Aspek ini
adalah bidang penelitian Linguistik. Umumnya dibedakan antara bahasa perkataan (verbal) dan
bahasa tanda.

150
Pertunjukan oleh Ireng Maulana All Stars berlangsung dalam aspek simbolik. Not-not dan tanda-
tanda musik lainnya (kunci, tanda istirahat, dsb. dalam partitur) adalah lambang-lambang musikal.
Para anggota kuartet itu mengikuti petunjuk-petunjuk dari komponis. Pada saat berlangsungnya
pertunjukan, para pemain mengikuti petunjuk-petunjuk dari primarius (dirigen), dst. Juga di sini
pertama-tama terdapat suatu hubungan esternal. Kaidah-kaidah hukum tidak mungkin berlaku
tanpa bahasa perkataan. Dari sudut Ilmu Bahasa, tiap undang-undang dapat dipandang sebagai
suatu proposisi sintaksis. Makna yuridis dari kaidah hukum yang tercantum (terkandung) dalam
undang-undang di dasarkan pada makna menurut Ilmu Bahasa dari perkataan-perkataan yang
digunakan. Makna yuridis dari suatu lampu setopan didasarkan pada tanda-tanda cahaya (signal
cahaya).

Di samping itu terdapat hubungan internal. Hubungan ini menampakkan diri dalam unsur-unsur
bahasa hukum, makna hukum, penafsiran hukum. Unsur-unsur ini memang menunjuk pada aspek
simbolik, namun memiliki struktur yuridis sendiri yang tidak diturunkan (dijabarkan) dari hal lain.
Makna dari istilah-istilah hukum ditentukan oleh kaedah-kaedah hukum dan asas-asas hukum.
Demikianlah HR dengan arrest tertanggal 23 Januari 1928 menetapkan, bahwa ”mengikuti orang
lain secara mengganggu” dalam arti yang dimaksud pasal 493 KUHP (426 bis WvS) juga berarti
mengganggu orang dengan berjalan di depannya. Dalam kedua hal itu (mengikuti orang lain
dengan jalan dibelakangnya atau di depannya) memang kepentingan hukum masyarakat atau
publik (orang berhak untuk ada di jalan umum tanpa mengalami gangguan yang melawan hukum)
terlanggar. Terdapat pelbagai metoda penafsiran yuridis terhadap naskah perundang-undangan,
yakni penafsiran gramatikal, sejarah perundang-undangan dan sejarah hukum, teleologis dan
sistematis.

Untuk sementara dapat diberikan penjelasan sebagai berikut :

1. Penafsiran gramatikal terutama memberikan perhatian pada arti perkataan-perkataan dalam


bahasa sehari-hari. Namun dalam hal inipun maka asas-asas hukumlah yang menetapkan,
keharusan untuk tetap berpegangan pada kata-kata dari undang-undang atau kontrak.
Demikianlah, HR dalam arrest Mark = Mark tertanggal 2 Januari 1931 telah memutuskan,
bahwa pasal 1756 KUHS dengan tegas (ondubbelzinnig) menunjuk siapa dari pihak-pihak pada
perjanjian pinjam-meminjam uang yang harus memikul resiko perubahan nilai mata uang yang
dengannya jumlah yang dipinjamkan itu dinyatakan. Terhadap ini, hakim tidak boleh
menyimpang dengan mendasarkan diri pada kepatutan dan itikad baik (pasal 1338 KUHS).
Asas hukum yang melandasinya adalah asas kepastian hukum (rechtszekerheid).

2. Penafsiran sejarah perundang-undangan (wetshistorische uitleg) mendasarkan diri pada sejarah


terjadinya undang-undang yang bersangkutan. Penafsiran ini, seperti penafsiran gramatikal,
memegang peranan penting dalam peradilan.

3. Penafsiran sejarah hukum (rechtshistorische uitleg) mendasarkan diri pada asas hukum
substansial, yang di dalam perjalanan sejarah hukum melandasi pelbagai cara pembentukan
hukum. Contohnya adalah penafsiran terhadap pasal 1977 ayat 1 KUHS (pasal 2014 ayat 1 BW)
yang disemangati asas hukum Jerman abad pertengahan : ”Hand muss Hand wahren” atau
”Meubles n’ont pas de suite”. Asas ini pada zaman sekarang berarti, bahwa barang siapa secara
sukarela mengeluarkan dari kekuasaannya suatu barang bergerak (dipinjamkan, disimpankan,

151
dsb), maka ia tidak dapat menuntut pengembaliannya kepada pihak ketiga yang telah
memperolehnya dengan itikad baik (derde verkrijger te goeder trouw).

4. Penafsiran teleologis mendasarkan diri pada jangkauan (strekking), tujuan, makna dari
ketentuan itu dan pada sifat dari lembaga hukum (rechtsinstelling) yang bersangkutan.
Demikianlah, dalam arrest tertanggal 20 Januari 1950, HR mendasarkan diri pada tujuan dari
Undang Undang Perumahan tahun 1947, yakni memajukan kesempatan memperoleh
perumahan yang wajar dan efektif.

5. Penafsiran sistematis, kadang-kadang secara salah disebut penafsiran dogmatis, mendasarkan


diri pada sistem, kesatuan yuridis, dari aturan-aturan hukum. Penafsiran ini meliputi penafsiran
analogi dan penafsiran restriktif. Juga di sini asas-asas hukum substansial memberikan
pengaruh yang menentukan. Contoh penerapan undang-undang secara analogi adalah
penerapan pasal 1576 KUHS (jual-beli tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa) pada
hibah dan bentuk-bentuk lain dari pemindahan hak milik. Penafsiran restriktif terutama kita
temukan dalam hukum pidana sehubungan dengan asas : tiada hukuman tanpa ketentuan
perundang-undangan pidana. Begitulah, HR dalam arrest 2 Februari 1971 (kraken van woning
: pendudukan sebuah rumah tempat tinggal) telah mengatakan bahwa kata-kata ”in gebruik”
(yang dipakai) dalam pasal 138 WvS (167 KUHP) hanya dapat diartikan sebagai ”secara faktual
digunakan sebagai tempat tinggal”, sehingga pendudukan (kraken) sebuah rumah yang kosong
tidak tercakup dalam ruang lingkup pasal 138 WvS itu. Contoh yang terakhir juga
memperlihatkan bahwa pelbagai metode penafsiran sering digunakan pada waktu yang
bersamaan dan saling melengkapi. HR mendasarkan diri pada penggunaan bahasa yang normal
dan mengatakan bahwa sejarah undang-undang tidak cukup mendukung pandangan yang
menyimpang dari Gerechtshof (pengadilan banding).
Penafsiran yuridis dari kaidah-kaidah hukum sering disebut penemuan hukum (rechtsvinding).
Di sini berkenaan dengan proses dinamika pembentukan hukum, yang di dalamnya suatu aturan
hukum yang umum dikonkretisasi pada suatu kejadian konkrit. Hal ini hanya mungkin terjadi
dengan penafsiran yuridis.

e. Aspek hukum dan aspek kultur historis.

Aspek kultur historis adalah aspek penguasaan cara pemberian bentuk pada suatu material
berdasarkan suatu perencanaan bebas. Aspek ini meliputi faktor kekuasaan (macht). Aspek ini
adalah bidang penelitian Ilmu-ilmu Sejarah. Perkembangan historis adalah proses perkembangan
yang bersifat sementara (tijdelijk, berlangsung dalam dan terikat pada waktu) dari pembentukan
kekuasaan manusiawi pada semua bidang kehidupan (negara, lembaga keagamaan, kehidupan
ekonomi, teknik, dsb). Pertunjukan oleh Ireng Maulana All Stars berlangsung juga dalam aspek
kultur historis.

Komposisi-komposisi, yang dipertunjukan, berlandaskan pada pemberian bentuk secara teknis-


musikal pada gagasan-gagasan musik (melodi-melodi) dalam suatu partitur. Pertunjukannya
berpangkal pada penguasaan teknis terhadap instrumen-instrumen. Musik menjalani
perkembangan historis.

152
Juga di sini pertama-tama terdapat suatu hubungan eksternal antara aspek hukum dan aspek kultur-
historis. Kejadian-kejadian konkrit seperti perundang-undangan, peradilan mempunyai aspek
kultur-historis. Hal itu memungkinkan adanya sejarah hukum (rechtsgeschiedenis). Perkembangan
kultur historis melandasi perkembangan hukum. Dalam suatu masyarakat dengan kultur historis
tertutup (masyarakat yang belum mengenal diferensiasi), maka kehidupan hukumnya
memperlihatkan sifat tegar (star) dan primitif. Dalam suatu masyarakat dengan kultur historis
terbuka (masyarakat yang berdiferensiasi atau berkembang), kehidupan hukumnya mempunyai
sifat sangat beraneka ragam dan plastis. Dalam masyarakat yang sudah mengenal diferensiasi
terdapat pembedaan antara hukum publik dan hukum perdata; pembedaan ini tidak dikenal dalam
masyarakat tertutup. Juga asas-asas dari kepatutan yuridis, itikad baik, sebab yang sah, kesalahan
dan risiko, dsb, hanya dapat berperan dalam masyarakat dengan kultur-historis tidak tertutup;
dalam tata hukum primitif asas-asas itu tidak dikenal.

Di samping itu terdapat hubungan internal. Hubungan internal ini menampakkan diri dalam unsur
kekuasaan hukum (kewenangan hukum, rechtsmacht) pada pembentukan hukum (rechtsvorming)
atau positivisasi. Unsur ini dapat saja menunjuk pada kekuasaan kultur historis yang asli, namun
ia tetap memiliki struktur yuridis tersendiri. Kekuasaan yuridis adalah kewenangan yuridis untuk
memberikan bentuk pada asas-asas hukum substansial, dan dengan itu maka asas-asas tersebut
dipositifkan menjadi hukum yang berlaku. Semua hukum adalah hukum positif. Kekuasaan hukum
ini dimiliki oleh badan-badan yuridis (misalnya pembentuk undang-undang, hakim, pihak-pihak
pada perjanjian, pengurus perkumpulan, dsb). Kekuasaan hukum tidak boleh diidentikkan dengan
kekuasaan kultur historis.

Akhli Hukum Dagang yang terkenal W.L.P.A. Molengraaff pada tahun 1887 dalam majalah
Rechtsgeleerd Magazijn mempertahankan suatu pengertian Perbuatan Melanggar Hukum (pasal
1365 KUHS) yang lebih luas ketimbang kriteria yang berlaku pada waktu itu, yakni bertentangan
dengan kehati-hatian dalam pergaulan kemasyarakatan.
Uraian itu telah menjalankan pengaruh (kekuasaan) kultur historis yang besar. Pada tahun 1911
telah diajukan rancangan (usul) undang-undang untuk mengubah pasal 1365 KUHS (1401 BW).
Usaha ini ”tersusul” oleh peradilan HR dalam arrest-nya yang terkenal tanggal 31 Januari 1919
(Cohen-Lindenbaum). Baru sejak itu ”kriteria kehati-hatian dalam pergaulan hukum perdata”
berlaku sebagai hukum.

Molengraaff sebagai penulis tidaklah memiliki kekuasaan hukum, sedangkan HR memiliki


kekuasaan hukum.

f. Aspek hukum dan aspek logikal-analitik.

Aspek logikal-analitik dari dunia pengalaman kita berkenaan dengan cara analitik untuk
melakukan pembedaan. Aspek ini adalah bidang studi dari Logika, yakni ilmu tentang penalaran
yang logis-tepat. Hukum-hukum berpikir logikal yang fundamental terdiri dari:

1. Asas identitas (principium identitatis indiscernibilium) : tiap hal adalah sama (identik)
dengan dirinya sendiri.
A = A (misalnya identitas antara pengertian dan definisi).

153
2. Asas ingkar atau asas kontradiksi (principium excludendae contradictionis) : pengakuan dan
pengingkaran dalam suatu pendapat tidak mungkin kedua-duanya benar. A = -A

3. Asas tertutupnya kemungkinan ketiga (principium exclusitertii). Jika A dan non-A sudah
tercakup dalam suatu pembagian, maka tidak ada tempat lagi untuk kemungkinan ketiga.
Misalnya : jika semua pertanggung-gugatan di luar kontrak didasarkan pada kesalahan
yuridis atau resiko, maka suatu kemungkinan ketiga adalah tertutup.

4. Asas landasan yang rasional mencukupi (principium rationissufficientis). Putusan


(proposisi) : ”Semua Jerman adalah Nazi.”, adalah bertentangan dengan asas ini.

Asas-asas ini, dalam kaitan dengan banyak asas-asas logika lain (misalnya asas ekonomi-
berpikir, aturan-aturan silogisme), harus diperhatikan oleh tiap ilmu. Tiap ilmu, demikian
akan kita lihat di bawah ini, bertumpu pada analisis dan hubungan logikal (sintesis) dari
suatu bidang penelitian yang tidak-logis (misalnya aspek hukum, aspek estetis, dsb.). Itu
menjelaskan, mengapa Aristoteles, peletak dasar dari Logika, menjadikan logika sebagai
organon, yakni instrumen dari semua ilmu.

Logika meneliti aspek analitis-logikal dari putusan-putusan manusia dan benda-benda


(objek-objek) yang terkait pada putusan-putusan itu. Berdasarkan aspek analitis-logikal,
putusan-putusan itu disebut proposisi-proposisi. Proposisi tersusun atas term-term. Dengan
bersaranakan term-term tertentu, maka dalam sebuah proposisi sesuatu di-iya-kan
(diafirmasi, dibenarkan) atau disangkal (di-tidak-kan, di-bukan-kan, dinegasi). Misalnya
pernyataan : penganiayaan adalah suatu peristiwa pidana dalam arti pasal 351 KUHP (300
WvS), menurut aspek logikalnya adalah sebuah proposisi, yang terdiri atas sebuah term yang
kita sebut subjek-logikal (penganiayaan), dan sebuah term yang kita sebut predikat-logikal
(peristiwa pidana dalam arti pasal 359 KUHP). Tanda penghubung ”adalah” (yang disebut
kopula), adalah pengiyaan-logikal (afirmasi). Tanda penghubung ”adalah bukan” atau
”adalah tidak”, adalah penyangkalan-logikal (negasi).

Pengiyaan atau penyangkalan logikal disebut kualitas logikal dari proposisi. Sedangkan
jumlah logikal (quantifier), yang menunjukkan jumlah anggota kelas yang berkedudukan
sebagai term subjek, dari proposisi disebut kuantitas logikal. Putusan : ”semua orang adalah
subjek hukum”, adalah universal dalam pengertian logika. Putusan : ”beberapa orang adalah
di bawah umur”, adalah partikular dalam pengertian logika.

Jika sekarang kita kombinasikan kualitas dan kuantitas logikal dari proposisi-proposisi,
maka kita memperoleh empat tipe-logikal proposisi :

A (affirmo) : proposisi universal afirmatif (Semua orang adalah subjek hukum);


E (nego) : proposisi universal negatif (Semua binatang adalah bukan subjek hukum);
I (affirmo) : proposisi partikular afirmatif (Beberapa orang adalah orang di bawah umur);
O (nego) : proposisi partikular negatif (Beberapa orang adalah tidak cakap melakukan
perbuatan hukum).

154
Proposisi-proposisi (yakni putusan-putusan konkret menurut aspek analitis-logikal mereka)
mengandaikan aspek-aspek tidak-logis dan keadaan-keadaan dari dunia pengalaman kita. Putusan
: semua orang adalah subjek hukum, mengandaikan sifat tidak logis dari hukum sipil dan asas-asas
hukum fundamentalnya dari kebebasan dan persamaan tiap manusia, yang berada dalam wilayah
dari negara (pasal 1 KUHPerd.). Tiap orang, yang berada dalam wilayah keberlakuan dari tatanan
hukum perdata kita, adalah subjek hukum dalam arti hukum keperdataan dan sebagai demikian
pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban.

Jika sekarang kita menurunkan (menjabarkan, memunculkan) proposisi-proposisi dari proposisi-


proposisi atau mempertautkan mereka satu sama lain dan berdasarkannya menarik kesimpulan-
kesimpulan, maka kita harus memperhitungkan aspek-aspek tidak-logis dan keadaan-keadaan dari
hal-hal. Ini berlaku juga untuk suatu dunia dongeng. Orang-orang kerdil (liliput) dari Avontur
Gulliver adalah manusia-manusia yang difantasikan (direka, rekaan) dengan suatu masyarakat
rekaan (yang tidak-logis). Cerita dari Swift itu secara logis barulah korek (cermat), jika ia
memperhitungkan keadaan-keadaan dari hal-hal yang tidak-logis di atas pulau fantasi yang
direkanya itu.

Jika kita membuat putusan, maka proposisi-proposisi kita hanyalah benar, jika kita
memperhitungkan baik keadaan-keadaan dari hal-hal (yang sungguh-sungguh ada atau yang
direka) yang tidak-logis maupun asas-asas yang logis (asas-asas logikal). Jika suatu proposisi
bertentangan dengan asas-asas logikal, maka ia tidak akan pernah benar, terlepas dari
hubungannya dengan keadaan-keadaan dari hal-hal yang tidak-logis. Jika saya mengatakan : hanya
kesalahan dan resiko adalah dasar-dasar bagi pertanggung-gugatan yuridis, maka saya pada waktu
yang bersamaan tidak dapat mengajukan kepatutan (billijkheid) sebagai dasar pertanggung-
gugatan. Ini bertentangan dengan asas tertutupnya kemungkinan ketiga. Asas-asas logikal dan
aturan-aturan lain adalah kriteria kebenaran negatif. Berlawanan dengan itu, pelandasan logikal
dari proposisi dalam keadaan-keadaan dari hal-hal (yang sungguh-sungguh atau rekaan) yang tidak
logis adalah suatu fungsi kebenaran yang positif. Untuk itu terutama berlaku asas logikal landasan
yang rasional mencukupi. Dapat kita katakan bahwa asas ini adalah penghubung antara asas
kebenaran logikal yang negatif (kontradiksi, tertutupnya kemungkinan yang ketiga, dsb.) dan
keadaan-keadaan dari hal-hal yang tidak-logis. Jika saya mengatakan : semua Jerman adalah Nazi,
maka ini adalah salah, karena putusan itu tidak bertumpu pada fakta-fakta riil. ”Semua” Jerman
dalam faktualitasnya bukanlah Nazi.

Jika logika meneliti asas-asas dan aturan-aturan logikal dari penurunan (penjabaran) dan hubungan
antar-proposisi yang tepat secara logikal, maka ia mengarahkan diri pada aspek logis-analitis dari
putusan-putusan dan mencoba untuk meletakkan keadaan-keadaan yang tidak logis sebanyak
mungkin antara tanda kurung dan mengabstraksikan dari padanya. Tetapi yang terakhir ini selalu
tetap berada di latar belakang. Suatu Logika, yang melupakan ini dan menalar secara murni logis,
akan sampai pada absurditas. Tentang hal itu, yang dinamakan logika yuridis memberikan pelbagai
contoh. Lihat Elementaire Grondbegrippen, hal. 262 dst.

Aturan-aturan logikal dari penurunan proposisi-proposisi dari proposisi-proposisi lain secara


langsung dan tidak langsung (inferensi langsung dan tidak langsung) yang tepat secara logikal
dapat ditemukan dalam setiap buku pengantar (pelajaran) tentang Logika.

155
Aspek logis-analitis memungkinkan dilakukannya pembagian analitis dari benda-benda, orang-
orang dan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Aspek logis-analitis dari partitur dalam
penyelenggaraan pertunjukan Ireng Maulana All Stars memungkinkan dibuatnya pembagian
logikal dari nada-nada dan tanda-tanda musik lain. Tanpa berpikir logikal orang tidak mungkin
mengkomposisi dan mempertunjukkan musik. Mengakhiri suatu adagio fortissimo dilihat dari
sudut musik adalah tidak logis.

Antara aspek hukum dan aspek logis-analitis juga terdapat suatu hubungan eksternal. Aspek
hukum dilandaskan pada aspek logis-analitis. Ketentuan-ketentuan dalam sebuah undang-undang
harus saling berkaitan secara logis. Sebuah vonis harus memperlihatkan bangunan pertimbangan-
pertimbangan yang tersusun secara logis. Pertentangan logikal dalam sebuah vonis adalah
”pengabaian bentuk” (pasal 99 ayat 1 R.O.), dan berdasarkannya oleh HR (Hoge Raad) dikasasi;
HR 19 Maret 1942, HR 31 Oktober 1972.

Tetapi, di samping itu terdapat suatu hubungan internal. Hal ini menampilkan diri dalam unsur-
unsur dari identitas yuridis, persesuaian dan pertentangan yuridis (berdasarkan hukum dan
melawan hukum), pertanggung-jawaban yuridis, konklusi yuridis. Figur-figur hukum elementer
ini menunjuk kembali pada kesatuan logikal, pertentangan logikal yang asli, tetapi meskipun
demikian mereka memiliki suatu struktur yuridis yang khas yang tidak diturunkan (dijabarkan)
dari sesuatu yang lain, dan dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum dan tidak oleh kaidah-kaidah
logika. Lihat HR 4 Januari 1918. Sebuah perkumpulan kehilangan statusnya sebagai badan hukum
oleh berjalannya waktu (lewat waktu). Jika status sebagai badan hukum diperbaharui, timbul
pertanyaan : apakah di sini terdapat identitas yuridis dengan perkumpulan yang memiliki status
badan hukum yang terdahulu? HR menyatakan tidak ada. E.M. Meijers sependapat dengan itu !
Lihat karyanya DE ALGEMENE BEGRIPPEN VAN HET BURGERLIJK RECHT (1958 : 101).
Pendirian ini tidak tepat. Yuridis terdapat suatu identitas, sebab tatanan hukum internal dan
organisasi yuridis internal dari perkumpulan itu tetap tidak berubah.

Penerapan suatu undang-undang pada suatu kejadian konkret adalah suatu konklusi yuridis.
Montesquieu dan Kant secara salah mengajarkan bahwa di sini terjadi suatu konklusi logikal.
Mereka tidak melihat fungsi pembentukan hukum mandiri dari peradilan (penemuan hukum).
Tentang hal ini, lihat Elementaire Grondbegrippen, bab XII dan XIII.

g. Aspek hukum dan aspek psikis (atau sensitif).

Aspek psikis adalah aspek dari perasaan emosional dan penyadaran indrawi. Ini adalah bidang
penelitian Psikologi. Baik binatang maupun manusia berfungsi subjektif dalam aspek ini. Antara
kehidupan perasaan binatang dan manusia terdapat suatu perbedaan penting. Kehidupan perasaan
binatang adalah tegar dan tertutup. Ia ditentukan oleh naluri dan jenisnya.

Kehidupan perasaan manusia adalah tidak tertutup dan diperdalam oleh fungsi-fungsi normatif.
Perasaan logikal, perasaan kesejarahan, perasaan bahasa, perasaan hukum dsb. adalah
penghayatan-penghayatan emosional, yang mengantisipasi, yakni menjangkau ke depan pada dan
diperdalam oleh aspek-aspek normatif dari kesadaran manusia. Aspek psikis itu sendiri adalah
tidak-normatif, artinya kaidah-kaidah dari perasaan emosional adalah bukan aturan-aturan

156
keharusan, tetapi hukum-hukum alamiah (hukum alam, keajegan-keajegan alamiah). Mereka tidak
dapat dilanggar oleh manusia (atau binatang). Yang terakhir ini hanya dapat terjadi pada kaidah-
kaidah (norma-norma), dan tidak pada hukum alam.

Aturan-aturan dari berpikir logis-analitis, dari pemakaian bahasa, dari pergaulan sosial, pergaulan
hukum dsb. adalah kaidah-kaidah (norma-norma). Mereka tidak diberikan secara alamiah; mereka
harus dipositifkan oleh manusia atas dasar asas-asas normatif yang tidak sewenang-wenang.
Hukum-hukum dari perasaan psikis (pada binatang maupun manusia), dari kehidupan organik, dari
daya energi fisis, gerakan matematikal, hubungan ruang geometrikal dan hubungan-hubungan
angka adalah hukum-hukum alam. Mereka tidak tergantung pada pemberian bentuk oleh manusia.
Manusia menemukan (ontdekt) mereka.

Dengan pembedaan antara hukum-hukum alam dan kaidah-kaidah berjalan paralel pembedaan
antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu normatif. Tidaklah tepat dalil dari Windelband, Rickert dll.
yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu alam itu menggeneralisasi, sedangkan ilmu-ilmu norm itu
mengindividualisasi.

Hal berpikir, berkemauan dan membayangkan (tindakan-tindakan kesadaran konkret) mempunyai


landasan emosional atau psikis, tetapi mereka tidak terserap ke dalam fungsi ini. Suatu tindakan
kemauan konkret (misalnya saya mau minum secangkir kopi, membaca sebuah buku, dsb.)
berfungsi dalam semua aspek (alam dan normatif) dari dunia pengalaman kita. Tindakan kemauan
itu dari segi alaminya (misalnya sisi fisiologis dan emosional atau psikisnya) terikat pada hukum-
hukum alam, tidak bebas. Ini adalah inti yang tepat dari determinisme (ajaran dari kemauan tidak
bebas). Tindakan kemauan dari aspek normatifnya terikat pada kaidah-kaidah, yang dapat
dilanggar, jadi bebas. Ini adalah inti yang tepat dari indeterminisme (ajaran dari kemauan bebas).
Dilema antara determinisme dan indeterminisme tidak dapat dipertahankan. Lihat Elementaire
Grondbegrippen, hal. 237-239. Menurut aspek psikisnya, kemauan itu adalah usaha emosional
yang terarah pada suatu tujuan yang dipilih secara bebas, disertai dengan kesadaran bahwa tujuan
itu dapat diwujudkan dengan aktivitas sendiri yang bebas. Tujuan itu dapat diperbolehkan atau
tidak diperbolehkan, berdasarkan (sesuai) hukum atau melawan hukum. Pada tindakan
mengunjungi konser (pertunjukan oleh Ireng Maulana All Stars) terdapat secara umum landasan
hasrat emosional pada kenikmatan musikal.

Antara aspek psikis dan aspek hukum terdapat hubungan eksternal. Kehidupan hukum
mengandaikan suatu kehidupan perasaan dan kehidupan tindakan manusia yang berkembang
secara normal. Jika kehidupan perasaan dan kehidupan tindakan manusia terganggu oleh
perkembangan yang cacad atau gangguan penyakit pada kemampuan rokhaninya, maka orang itu
tidak dapat dimintakan pertanggung-jawaban. Dengan perkataan lain, karena gangguan pada
fungsi-fungsi emosional maka fungsi-fungsi normatif yang bertumpu di atasnya juga terganggu.
Dengan itu maka perkembangan yang normal dari kemauan bebas hilang dan orang itu tidak dapat
dinyatakan bertanggung jawab untuk perbuatan-perbuatannya yang melanggar hukum. Dengan
demikian maka hukuman tidak dapat dikenakan. Lihat pasal 37 WvS (pasal 44 KUHP). Yang dapat
dikenakan adalah suatu tindakan (maatregel), yakni ditempatkan dalam rumah sakit jiwa.

Hal yang sama berlaku untuk penerapan pasal 1401 BW (1365 KUHPerd). Lihat HR 9 Desember
1960 (Jaguar Arrest). Di sini HR mempertimbangkan : ”bahwa pasal 1401 BW tidak dapat

157
diterapkan, jika pelaku karena sakit jiwa tidak memiliki pemahaman tentang apakah tindakan-
tindakannya diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, seperti juga jika ia oleh sebab-sebab yang
sama berada dalam keadaan tidak dapat berbuat lain selain daripada apa yang telah diperbuatnya”.
Dalam semangat yang sama HR 9 Desember 1966 (Joke Stapper).

Hal tidak dapat dimintakan pertanggung-jawaban (ontoerekeningsvatbaarheid) adalah suatu


pengertian normatif. Akhli (psi-kiater) memaparkan perkembangan bercacad atau gangguan
penyakit dari kemampuan kejiwaan, tetapi hakim atas dasar itu menilai dan menetapkan hal
ketidakmampuan dimintakan pertanggung-jawaban yuridis.

Jika seseorang telah menutup suatu perjanjian di bawah pengaruh paksaan, kekeliruan atau
penipuan (pasal 1320 KUHPerd dst.) artinya pembentukan kemauannya cacad dalam arti
emosional, maka suatu kesepakatan yang sah dalam arti yuridis (cacad kemauan) tidak ada. Lihat
Algra, INLEIDING TOT HET NEDERLANDS PRIVAATRECHT, 1967 : 200 dst.

Di samping itu juga terdapat suatu hubungan internal. Hal ini menampilkan diri a.l. di dalam unsur
dari fungsi kemauan yuridis sebagai titik akhir dari pertanggung-jawaban yuridis normatif dari
perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan hukum dan yang melanggar hukum dari subjek hukum.

Fungsi kemauan yuridis ini memang menunjuk kembali pada aspek psikis dari kemauan konkret,
tetapi ia tetap memiliki suatu struktur yuridis yang khas yang tidak diturunkan dari sesuatu yang
lain (sui generis), sehingga ia tidak boleh dikacaukan dengan fungsi kemauan psikologis. Dalam
arti psikologis, kemauan itu selalu sadar. Namun, kemauan yuridis itu ada pada apa yang
dinamakan delik culpa, jika seseorang karena kelalaian atau ketidak hati-hatian (secara tidak sadar)
melakukan suatu delik dan dalam hal itu kemauan yuridisnya tidak diarahkan pada cara yang
dituntut oleh undang-undang pidana padanya. Karena itu, delik ini dalam arti yuridis tetap
dikehendaki. Kemauan dalam arti psikologis tidak ditujukan pada delik dan akibatnya. Lihat
Elementaire Grondbegrippen hal. 248 d.b.

h. Aspek hukum dan aspek biotik atau kehidupan organis.

Aspek biotik adalah aspek dari kehidupan organis. Bidang penelitian Biologi. Aspek kehidupan
organis hendaknya tidak dikacaukan dengan organisma hidup. Organisma hidup (binatang bersel
satu dsb.) adalah benda-benda konkret, yang dalam asasnya berfungsi dalam semua aspek.
Pertanyaan : bagaimana ”kehidupan itu” timbul? adalah tidak bermakna.

Aspek ini jelas memainkan suatu peranan dalam pertunjukan oleh Ireng Maulana All Stars. Para
pemain dan pengunjung adalah makhluk-makhluk hidup. Instrumen-instrumen musiknya adalah
benda-benda mati.

Antara aspek biotik dan aspek hukum terdapat suatu hubungan eksternal. Tanpa orang-orang yang
hidup tidak mungkin ada tata hukum. Hukum sipil mengatur pelbagai akibat hukum dari kelahiran,
menjadi dewasa dan kematian orang. Ingat saja pada akta-akta dari catatan sipil, kedewasaan sipil,
hukum waris dsb. Beberapa tatanan hukum masih mengenal hukuman mati. Di Belanda, hukuman

158
mati sudah dihapuskan sejak 1870. Noodweer dapat menjadi alasan yang sah untuk menghilangkan
nyawa orang (pasal 49 ayat 1 KUHP).

Tetapi di sampingnya terdapat juga suatu hubungan internal. Hal ini menampilkan diri dalam
unsur-unsur kehidupan hukum dan organ hukum. Unsur-unsur ini memang menunjuk kembali ke
aspek biotik, tetapi tetap memiliki suatu struktur yuridis yang khas yang tidak dijabarkan dari
sesuatu yang lain.

Kehidupan hukum adalah suatu suatu keseimbangan yang labil dari kepentingan-kepentingan
hukum yang diatur oleh kaidah-kaidah hukum, yang dipertahankan oleh karya yang membentuk
hukum dari organ-organ hukum yang berwenang. Keseimbangan yang labil ini dapat terganggu
oleh tindakan-tindakan melawan hukum. Jika hal itu terjadi, maka diperlukan tindakan pemulihan
dalam bentuk penetapan harus memberi ganti rugi, hukuman dsb. Pemulihan ini juga diatur oleh
kaidah-kaidah hukum.

Siapa yang mempositifkan kaidah-kaidah hukum dan menjamin bahwa pemulihan dari
terganggunya kehidupan hukum terjadi sesuai dengan kaidah-kaidah hukum? Organ-organ hukum
itu. Ke dalamnya termasuk a.l. kekuasaan pembentukan undang-undang (Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat), pemerintah daerah, dewan kotamadya, hakim (organ-organ penguasa,
perlengkapan negara). Juga termasuk ke dalamnya rapat umum para anggota dalam suatu
perkumpulan; pengurus dari suatu yayasan; para pihak dalam suatu hubungan kontrak; para waris
pada testamen dsb. (bukan organ hukum kenegaraan). Organ-organ hukum adalah sesuatu yang
berbeda dari organ-organ biotik dalam organisma-organisma hidup. Pengertian organ hukum
bukanlah suatu metafora, tetapi suatu kenyataan yuridis.

Organ hukum adalah seorang atau suatu dewan (college), yang dalam suatu wilayah hukum
mempunyai kewenangan (kompetensi) untuk mempositifkan kaidah hukum resp. turut
berpartisipasi pada kegiatan itu. Lihat Elementaire Grondbegrippen, hal. 227 d.b.

i. Aspek hukum dan aspek fisis-energetik, aspek gerak, aspek ruang dan angka.

Aspek fisis-energetik adalah aspek dari energi dan kekuatan fisis. Bidang penelitian dari Fisika
dan Kimia. Einstein mengatakan bahwa material fisis terdiri atas energi fisis.

Aspek gerak adalah aspek dari eenparige beweging. Bidang penelitian Kinematika (wet van de
traagheid, hukum pelambanan).

Aspek ruang adalah aspek dari keluasan kontinu statis (statische continue uitgebreidheid). Bidang
penelitian Geometri. Aspek angka adalah aspek hal banyak (hoeveelheid) atau kuantitas diskret
(discrete quantiteit). Bidang penelitian Mathesis.

Dalam contoh pertunjukan Ireng Maulana All Stars, kita temukan juga aspek-aspek ini. Bunyi dari
musik adalah suatu bentuk dari energi fisis (frekuensi getaran). Energi bunyi itu terikat pada
hukum dari eenparige beweging. Musik itu harus berbunyi dalam ruang (akustik) dan mempunyai
suatu landasan matematis. (Pythagoras menemukan bahwa interval-interval dalam musik itu

159
dikuasai oleh suatu rangkaian hubungan dari keseluruhan angka-angka. ’Das Wohltemperierte
Clavier’ dari Bach bertumpu pada temperatur yang bergelombang sama, yakni dalam kaitan
dengan pengembanan musik praktis penyimpangan yang tak dapat dielakkan dari penyesuaian
alamiah dari interval-interval.)

Antara aspek hukum dan aspek-aspek yang disebutkan di sini terdapat suatu hubungan eksternal.
Tata hukum hanya dapat berfungsi atas dasar kenyataan alam. Penguasaan manusia atas benda-
benda alam dan tenaga alam (teknik) adalah objek dari penormaan (pengkaidahan) yuridis. Mereka
menjadi objek-objek hukum dari hak-hak kebendaan dan perorangan.

Tetapi di sampingnya juga terdapat hubungan internal. Kaidah-kaidah hukum memiliki kekuatan
hukum, yakni kemampuan untuk mengikatkan akibat-akibat hukum pada peristiwa-peristiwa
hukum, misalnya hukuman pada perwujudan peristiwa pidana. Kekuatan hukum (keberlakuan
hukum) itu memang menunjuk kembali pada kekuatan fisik yang asli, tetapi ia tetap memiliki suatu
struktur yuridis tersendiri yang tidak dijabarkan dari sesuatu yang lain. Ia ditentukan oleh sifat
normatif dari aspek hukum. Ia sama sekali berbeda dari energi fisis, meskipun ada hubungan
internal.

Kaidah-kaidah hukum memperlihatkan suatu dinamika yuridis atau gerak, dalam kerangka asas-
asas hukum substansial dan bentuk-bentuk yuridis yang relatif konstan. Begitulah pasal 1365
KUHPerd memiliki suatu teks (bentuk) yang relatif konstan yang di dalamnya asas ganti rugi
keperdataan yang relatif konstan dipositifkan. Bentuk yang sekarang berlaku sejak 1838 dan
dengan berlakunya Buku 6 Rancangan NBW Belanda akan dihapus. Dalam kerangka yang relatif
konstan ini telah dan sedang berlangsung suatu perkembangan hukum yang besar. (ingat pada
kriteria sifat melawan hukum khususnya sejak 1919).

Perkembangan hukum ini kita sebut proses pembentukan hukum dinamis. Walaupun dinamika atau
gerak yuridis itu menunjuk kembali pada aspek gerak yang asli, namun ia memiliki sifat yuridis
yang khas yang tidak diturunkan (sui generis) dan sama sekali berbeda dari eenparige beweging.

Kaidah-kaidah hukum memiliki suatu daya kerja dalam ruang tertentu, suatu wilayah keberlakuan.
Walaupun unsur ini menunjuk kembali pada aspek ruang asli, namun ia ditentukan oleh sifat
normatif dari aspek hukum, yang berdasarkannya ia memperoleh struktur yuridisnya yang tidak
diturunkan dari sesuatu yang lain. Wilayah keberlakuan itu adalah sesuatu yang sama sekali
berbeda dari keluasan geometrik, walaupun terdapat kaitan internal dengannya.

Kaidah-kaidah hukum memperlihatkan suatu kesatuan yuridis dalam suatu kemajemukan. Tiap
tata hukum atau sistem hukum mengandaikan suatu kesatuan dalam suatu kemajemukan aturan-
aturan hukum. Kontrak adalah suatu kesatuan yuridis dalam suatu kemajemukan (keberbagaian)
pernyataan-pernyataan kehendak yuridis; walaupun kesatuan yuridis menunjuk kembali pada
kesatuan matematik yang asli, ia memperlihatkan suatu sifat yuridis yang khas. Ia adalah suatu
kesatuan yuridis normatif.

160
j. Aspek hukum dan aspek moral.

Hingga kini kita sudah membicarakan hubungan aspek hukum dengan aspek-aspek yang dalam
kenyataan kita yang terikat waktu terletak pada dasar dari aspek hukum dan melandasi yang
disebut terakhir. Aspek hukum akan tidak dapat ada, jika aspek-aspek yang melandasi ini tidak
ada. Jika aspek kultur-historis tidak ada, maka akan tidak ada kultur manusia dan perkembangan
kultur, dan perkembangan hukum – sebagai gejala kultural – tidak mungkin ada. Jika aspek
kehidupan organik tidak ada, maka tidak akan ada makhluk-makhluk hidup dan suatu tata hukum
akan tidak mungkin ada, dst.

Ini menjelaskan bahwa hubungan-hubungan internal dari aspek hukum dan aspek-aspek yang
melandasinya juga bukan merupakan yang terakhir yang dapat tidak ada. Juga tidak dapat
dibayangkan suatu tata hukum, yang di dalamnya tidak memunculkan kesatuan yuridis, yang di
dalamnya tidak terdapat wilayah keberlakuan dari kaidah-kaidah hukumnya, yang di dalamnya
tidak memberikan kekuatan hukum pada kaidah-kaidah hukumnya, yang di dalamnya tidak
terdapat organ-organ hukum yang mempertahankan kehidupan hukum, dst.

Sekarang masih terdapat dua aspek, yang dalam kenyataan kita yang terikat pada waktu, tidak
terdapat sebagai landasan dari aspek hukum, tetapi yang mengikuti (bertumpu) padanya, yakni
aspek moral dan aspek kepercayaan atau aspek pistis. Jadi, aspek-aspek ini berakar dalam aspek
hukum.

Aspek moral adalah aspek dari cinta yang terikat pada waktu. Bidang penelitian dari Etika. Kita
mengenal cinta orang tua, cinta anak, cinta perkawinan, persahabatan, solidaritas rekan sekarya,
cinta tanah air, menghargai sesama manusia, cinta pada musik dst.

Antara aspek hukum dan aspek moral terdapat suatu hubungan eksternal. Tatanan moral
mengandaikan tatanan hukum. Menunjukkan kemurahan-hati terhadap yang lain adalah salah
secara etis, jika anda tidak terlebih dahulu memenuhi kewajiban-kewajiban hukum anda
kepadanya.

Tetapi terdapat juga suatu hubungan internal. Hal ini menampilkan diri dalam moral yuridis atau
asas-asas etis-hukum. Ini adalah asas-asas dari kewajaran dan kepatutan yuridis, itikad baik,
kesusilaan, kesalahan yuridis, resiko, dsb. Asas-asas ini yang muncul dalam pikiran orang jika
orang berbicara tentang keadilan dalam arti yuridis. Penyalah-gunaan hak subjektif adalah
bertentangan dengan asas-asas dari moral yuridis.

Asas-asas dari moral yuridis itu menjangkau ke muka, mengantisipasi pada asas-asas moral dalam
arti kata yang sesungguhnya dari perkataan itu. Namun asas-asas dari moral yuridis memiliki
struktur yuridis tersendiri yang tidak diturunkan dari sesuatu yang lain, sehingga ia tidak boleh
dikacaukan dengan moral dalam arti aslinya.

Hal itu dapat dijelaskan dengan HR 2 Desember 1938 (Lentse schutting). Bangunan pagar halaman
berdasarkan apa yang secara faktual telah ditetapkan oleh Hof adalah bukan penyalah gunaan hak
milik (artinya bukan penggunaan tanpa kepentingan yang masuk akal dengan tujuan yang jelas

161
semata-mata untuk merugikan orang lain). Tetapi tanpa keraguan ia bertentangan dengan kaidah-
kaidah moral yang berlaku dalam pergaulan antar-tetangga. Ia memperlihatkan suatu sikap yang
tidak tepat secara moral dari pemilik terhadap tetangganya.

Karena aspek moral mengikuti aspek yuridis, maka dimungkinkan ada tata hukum, yang di
dalamnya asas-asas dari moral yuridis belum diakui. Inilah yang terjadi pada tatanan-tatanan
hukum primitif yang belum berkembang, seperti hukum Germania kuno atau ius civile Romawi
kuno. Asas-asas dari moral yuridis muncul dalam tatanan-tatanan hukum yang sudah berkembang,
seperti ius gentium Romawi.

k. Aspek hukum dan aspek kepercayaan.

Aspek kepercayaan atau aspek pistik adalah suatu aspek perbatasan dari dunia pengalaman kita.
Itu adalah aspek dari kepastian terakhir dalam waktu tentang suatu kebenaran illahi abadi yang
diwahyukan atau diwartakan (dalam wahyu lisan secara khusus dari Tuhan atau dalam wahyu
umum berwujud penciptaan kenyataan).

Aspek kepercayaan itu ditanamkan dalam kesadaran dari tiap manusia. Juga ”atheis” memiliki
suatu fungsi kepercayaan. Ia mencari kepastian dalam waktu yang terakhirnya itu tidak dalam
suatu ketuhanan di atas manusia, tetapi dalam pikiran, perasaan, kebebasan manusia dsb.

Aspek kepercayaan dalam manusia secara langsung berkaitan, tanpa perantaraan aspek-aspek lain,
dengan hati manusia (nurani manusia). Ini adalah pusat religius yang radikal dari eksistensi
manusia yang fana, yang di dalamnya semua fungsi-fungsi kehidupan yang terikat pada waktu
seolah-olah menyatu (bertemu) pada satu titik api, yang dari dalamnya memancar jalan-jalan dari
kehidupan. Di dalam hati (nurani), manusia itu diraih oleh wahyu illahi. Arah dari fungsi
kepercayaan manusia ditentukan oleh ”keteraihan hati” (de gegrepenheid van het hart).

Fungsi kepercayaan sebagai aspek terakhir dari kenyataan fana kita memberikan bimbingan pada
semua fungsi-fungsi kesadaran kita. Dari dalamnya timbul suatu hubungan eksternal antara aspek
kepercayaan dan aspek hukum. Kepercayaan yang dianut orang-orang mempunyai pengaruh yang
besar pada perkembangan hukum dan institusi-institusi hukum. Begitulah hukum perkawinan pada
negara-negara dengan mayoritas Katolik sangat dipengaruhi oleh ajaran kepercayaan Katolik
tentang perkawinan sebagai sakramen. Putusan hakim di Indonesia ditetapkan ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Juga pengakuan terhadap keberatan nurani dalam
perundang-undangan mengandaikan terutama suatu kepercayaan keagamaan.

Juga terdapat suatu hubungan internal antara aspek kepercayaan dan aspek hukum. Ini
menampilkan diri dalam unsur dari kepercayaan hukum (kepercayaan terhadap hukum), artinya
kepastian batiniah tentang kebermaknaan dan ketinggian dari hukum yang berlaku dan asas-asas
hukum substansial (asas-asas hukum materiil) yang dijelmakan di dalamnya.

Di mana kepercayaan hukum ini melemah dan hukum dipandang sebagai sekedar suatu produk
kekuasaan manusia sewenang-wenang belaka, atau sebagai sekedar suatu sarana teknikal belaka

162
untuk mengabdi kepentingan kemasyarakatan, dan sejenis itu (apa yang dinamakan pandangan
hukum fungsional), maka lambat atau cepat kehidupan hukum akan mengalami kemerosotan.

***************

163
Lampiran 7

ANALISIS KAIDAH HUKUM47


-------------------------------------------------
Oleh : R.J. Jue.

Dalam setiap masyarakat berlaku tata hukum. Tata-hukum itu terdiri atas seperangkat kaidah-
kaidah hukum, yang juga biasa disebut aturan-aturan hukum, sebagian terdapat dalam perundang-
undangan, keputusan-keputusan birokrasi pemerintahan dan putusan-putusan pengadilan (vonis).
Aturan-aturan hukum ini mengkaidahi perilaku dari para peserta dalam pergaulan hidup, yakni
para warga masyarakat. Kaidah-kaidah hukum menetapkan bagaimana kita harus berperilaku
dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, dan apa yang dapat kita saling harapkan.
Kaidah-kaidah itu menetapkan apa yang boleh kita lakukan dan terutama apa yang harus tidak kita
lakukan. Selanjutnya mereka menetapkan bagaimana kita dapat mempertahankan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban kita berkenaan dengan mereka yang telah melakukan pelanggaran
terhadapnya. Dengan cara demikianlah tata hukum menjaga agar pergaulan hidup kita dapat
berlangsung secara teratur dan bahwa goncangan-goncangan yang terlalu besar dapat dibatasi
hingga derajat yang minimum. Setidak-tidaknya, itu adalah tugasnya, terlepas dari terjadinya
sejumlah kekecewaan di dalam kenyataan.

Pada umumnya kita tidak menyadari atau tidak merasakan keberadaan tata-hukum itu. Dalam
kehidupan sehari-hari, hukum itu lebih merupakan dekor latar belakang yang hampir tidak tampak.
Sesungguhnya hampir tiap hari kita melakukan perbuatan-perbuatan yang berkenaan dengan
sesama kita tanpa kita sadari menyentuh hukum, atau kita mendasarkan diri pada hukum. Misalnya
tiap kali kita membeli atau menjual sesuatu, naik kendaraan umum, menutup asuransi, bekerja,
meminta SIM, dsb. Hukum mulai tampak lebih jelas jika terjadi atau akan terjadi konflik, misalnya
jika terjadi pemutusan hubungan kerja atau bea-siswa tiba-tiba dihentikan. Atau seseorang harus
berurusan dengan polisi karena pencurian kecil di supermarket (mengutil). Jika konflik-konflik ini
tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah, maka tersedia kaidah-kaidah hukum yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan konflik itu. Tidak jarang bantuan para akhli hukum dilibatkan.
Kita meminta mereka untuk memberikan nasihat tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban kita.
Namun, jika hal itu juga tidak menolong kita untuk mencapai kesepakatan, maka akan dilibatkan
hakim untuk menyatakan apa hukumnya (mengadilinya). Hakim akan secara definitif menetapkan
siapa yang menurut hukum benar. Abstraksi yang aman dari kaidah-kaidah hukum dan tata hukum
menghilang dan memberi tempat bagi tampilnya pengalaman yang hidup dari kenyataan hukum:
”bahasa-mandarin” hukum, bahan-bahan tertulis, prosedur-prosedur, advokat-advokat, hakim-
hakim, ruang sidang pengadilan. Mungkin saja kita dapat mengalami sampai sejauh itu, namun
bagi kebanyakan dari kita hal itu akan lebih merupakan kekecualian katimbang yang biasa kita

47
Disadur oleh B. Arief Sidharta dari R.J. Jue : GRONDBEGINSELEN VAN HET RECHT, Hoofdstuk I
Rechtsnormenleer (hal. 15-44), Wolter Noordhof, Groningen, 1990.

164
alami. Pada tingkat pertama, hukum bagi kita menjalankan fungsi yang tidak begitu terasa; tidak
karena kita selalu mematuhi hukum, tetapi karena pelanggaran-pelanggaran kita terhadap hukum
tidak membawa kita pada konflik-konflik terbuka.

Kaidah-kaidah hukum yang jumlahnya amat banyak itu bersama-sama mewujudkan tata-hukum.
Mereka memuat preskripsi-preskripsi (perintah, keharusan, pedoman) untuk perilaku kita,
kebanyakan tanpa kita mengetahuinya. Kaidah-kaidah hukum itu tidak hanya terdapat dalam
undang-undang saja. Hukum juga timbul dari praktek pemerintahan atau keputusan-keputusan
hakim. Selain itu juga terdapat hukum tidak tertulis, misalnya apa yang dinamakan hukum
kebiasaan. Hukum itu berbentuk jamak dan majemuk sama seperti pergaulan hidup itu sendiri yang
telah menimbulkannya.

Di bawah ini akan dipaparkan struktur dan sistematik dari kaidah-kaidah hukum. Pertama-tama
akan diperkenalkan dua tipe utama kaidah hukum, yakni kaidah-perilaku dan kaidah-kewenangan.
Tentang dua tipe ini akan dikemukakan penjabaran lebih lanjut. Dengan pemaparan ini diharapkan
dapat diperoleh gambaran lebih banyak tentang ciri-ciri kaidah hukum. Lebih lanjut akan tampak
bahwa kaidah-kaidah hukum itu tidak berdiri sendiri-sendiri yang satu terlepas dari yang lainnya,
melainkan memperlihatkan hubungan saling berkaitan. Analisis kita akan memperlihatkan bahwa
dalam hal tertentu satu kaidah hukum mengecualikan yang lain, dalam hal lain satu kaidah hukum
justru mengimplikasikan kaidah hukum yang lainnya, bahwa satu kaidah hukum dapat ekuivalen
dengan yang lainnya atau bahwa satu kaidah hukum mewujudkan syarat mutlak bagi yang lainnya.
Singkatnya, akan dipaparkan apa kaidah hukum itu dan bagaimana mereka saling berkaitan satu
dengan yang lainnya.

KAIDAH-KAIDAH PERILAKU.

Tipe pertama kaidah hukum yang dapat kita kenali dalam hukum adalah kaidah-perilaku. Tipe
kaidah hukum ini mempreskripsi (menetapkan) bagaimana kita harus atau boleh berperilaku.
Kaidah-kaidah ini merupakan unsur elementer dalam tiap tata hukum. Kaidah-kaidah ini bertugas
untuk menjamin bahwa tata hukum akan dapat menjalankan fungsinya, yakni menata (meregulasi,
mengatur) perilaku orang-orang di dalam masyarakat.
Setiap orang dalam hidupnya sering bersentuhan dengan kaidah-kaidah perilaku ini.

Demikianlah jika kita membeli sesuatu, misalnya membeli buku. Hal membeli buku menimbulkan
kewajiban-kewajiban yuridis. Penjual berkewajiban menyerahkan buku yang dijualnya itu dalam
keadaan baik kepada pembeli. Berhadapan dengan itu, pembeli meletakkan kewajiban kepada
dirinya sendiri kewajiban untuk membayar harga dari buku tersebut. Dengan kata lain, perjanjian
jual-beli memunculkan dua kaidah-perilaku : kewajiban dari penjual untuk menyerahkan buku itu
dan kewajiban dari pembeli untuk membayar harganya.

Contoh lain. Seseorang mencuri sepeda. Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
menetapkan (meskipun secara implisit; tentang hal ini nanti akan dijelaskan) bahwa pencurian itu
dilarang dan dapat dikenakan (dijatuhi) hukuman denda atau penjara. Juga di sini terdapat suatu
kaidah perilaku yang berupa kewajiban untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang disebut
mencuri.

165
Contoh terakhir. Pada umumnya orang suatu saat akan berurusan dengan dinas pajak. Berdasarkan
undang-undang perpajakan, dinas ini akan mengenakan kepada kita pajak penghasilan atau
pertambahan nilai. Juga penetapan pajak ini terdiri atas suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu,
yakni untuk membayar jumlah yang dikenakan.

PERINTAH dan LARANGAN.

Bertolak dari contoh-contoh ini, tampak bahwa ciri dari kaidah-kaidah perilaku adalah bahwa
mereka meletakkan atau membebankan kewajiban-kewajiban. Di satu pihak kewajiban-kewajiban
untuk melaksanakan suatu perilaku tertentu (menyerahkan sepeda, membayar harga pembelian,
membayar pajak); di pihak lain terdapat kewajiban-kewajiban untuk menjauhi atau tidak
melakukan perilaku tertentu (mencuri). Kaidah-kaidah yang menetapkan bahwa hal menjalankan
suatu perbuatan adalah suatu kewajiban disebut perintah. Kaidah-kaidah yang menentukan bahwa
suatu perbuatan harus tidak dilakukan disebut larangan. Kedua kewajiban berperilaku itu dapat
diungkapkan dengan menggunakan perkataan ”harus” sebagai berikut :

Memerintah  menetapkan harus melakukan


Melarang  menetapkan harus tidak melakukan

Kita dapat saja menggunakan lambang-lambang tertentu untuk menunjuk kaidah-kaidah


kewajiban tersebut di atas. Di sini kita akan menggunakan huruf besar ”O” untuk menunjuk pada
kewajiban (harus). Huruf ”O” ini adalah huruf pertama dari perkataan ”Obligatio” dalam bahasa
Latin yang berarti kewajiban. Perkataan ”melakukan” (perbuatan) kita lambangkan dengan huruf
pertamanya, yakni huruf ”m”. Untuk penyangkalan (hal menyatakan tidak) kita menggunakan
lambang ”-” (baca : min). Konvensi (kesepakatan) ini menghasilkan hal berikut:

Perintah = harus melakukan -------- > Om (harus membayar hargabeli)


Larangan = harus tidak melakukan --- > O-m (harus tidak mencuri)

Konvensi tersebut di atas, yang dipinjam dari logika-kaidah, dapat kita lengkapi dengan konvensi-
konvensi berikut:

 objek-kaidah = perbuatan yang dikaidahi dalam kaidah perilaku;


 modus-kaidah = operator-kaidah = cara bagaimana objek kaidah dikaidahi, misalnya berupa
penetapan kewajiban (hal harus);
 subjek-kaidah = orang yang terhadapnya kaidah hukum itu ditujukan, yakni orang yang
perilakunya dikaidahi.

Tiap kaidah dapat dijabarkan ke dalam tiga unsur ini. Tiga unsur tersebut menentukan struktur dari
kaidah perilaku.

Mengapa kita menggunakan konvensi ini? Dengan bantuan konvensi-konvensi yang sudah
disebutkan dan yang berikutnya kita akan dapat lebih baik menerobos sampai pada struktur dari
kaidah-kaidah hukum. Konvensi-konvensi ini bersama-sama membentuk suatu bahasa formal

166
sendiri yang memungkinkan kita untuk mengungkapkan secara lebih jernih dan singkat kaidah-
kaidah hukum yang dirumuskan dalam bahasa alamiah dari praktek hukum (bahasa teknis yuridis,
de juridische vaktaal) dalam undang-undang, vonis-vonis, buku-buku karya ilmuwan hukum.
Dalam bahasa yang diformalkan itu maka kaidah hukum yang tercantum dalam undang-undang
direkonstruksi. Tujuan dari rekonstruksi itu adalah sekaligus untuk mereformulasi kaidah hukum
secara lebih persis (cermat, akurat) dan lebih bermakna tunggal, karena bahasa dari praktek hukum
sering kabur, bermakna ganda, berputer-puter (terlalu panjang).

Yang menggembirakan dan mungkin mencengangkan adalah bahwa kita tidak hanya dapat
mengungkapkan kaidah-kaidah perilaku yang menetapkan perintah-perintah dan larangan-
larangan (kewajiban-kewajiban) dengan bantuan kata kerja ”mengharuskan” (moeten). Juga kata
kerja ”membolehkan” (mogen) dapat kita gunakan untuk itu. Itu akan berhasil asal saja kita
menggunakan tanda negasi secara tepat. Perhatikan saja hal berikut ini.

Pencurian itu dilarang. Kaidah larangan ini telah kita bahasakan dengan kata kerja
”mengharuskan” (harus) sebagai berikut: harus tidak melakukan (lengkapnya: mengharuskan
untuk tidak melakukan), dilambangkan : O-m. Dalam bahasa percakapan biasa juga sudah menjadi
kebiasaan untuk berbicara tentang pencurian dengan mengatakan bahwa hal itu tidak boleh.
Dengan cara demikian maka kaidah larangan itu juga dapat diungkapkan dengan: tidak boleh
melakukan. Jika kita bersepakat bahwa untuk ”boleh” (mogen) kita menggunakan lambang P
(yang merupakan huruf pertama dari perkataan Latin ”permissio” yang berati diizinkan atau
dibolehkan), maka kaidah larangan itu akan tampak sebagai berikut: -Pm.

Analisis ini membawa kita pada kesimpulan bahwa ”tidak boleh melakukan” (-Pm) dan ”harus
tidak melakukan” (O-m) adalah ekuivalen. Dua-duanya menyatakan satu kaidah larangan.

Transformasi yang sama dari ”istilah-harus” ke dalam ”istilah-boleh” dapat diterapkan pada
perintah. Hanya saja di sini akan terdengar agak kurang alami (janggal). Tetapi hal tampaknya ini
menipu kita, sebab hal itu mungkin saja. Kewajiban untuk membayar harga beli (perintah) dapat
juga, meskipun sedikit berputer, dinyatakan sebagai: adalah tidak boleh bahwa harga beli tidak
dibayar. Kaidah ”harus membayar” (Om) adalah ekuivalen dengan kaidah ”tidak boleh tidak
membayar” (-P-m). Dalam dua formulasi itu dinyatakan satu perintah, dalam yang satu dengan
bersaranakan modus kaidah O, dalam formulasi yang lainnya dengan bersaranakan modus kaidah
P.

Pengalihan atau transformasi dari kaidah-kaidah O ke dalam kaidah-kaidah P ini adalah


dimungkinkan dengan bersaranakan negasi. Aturannya adalah bahwa O dari suatu kaidah dapat
disubstitusi dengan suatu p, jika pada waktu yang bersamaan juga diterapkan suatu negasi untuk
modus kaidah maupun untuk objek kaidahnya.

Jika kita menerapkan aturan transformasi maka akan dihasilkan bagan kaidah-kaidah kewajiban
berikut:

167
Peristilahan Harus Peristilahan Boleh

Perintah = harus melakukan (Om) = tidak boleh tidak melakukan (-P-m)

Larangan = harus tidak melakukan (O-m) = tidak boleh melakukan (-Pm)

Kita harus menyadari bahwa suatu penyangkalan ganda (- -) sama seperti dalam ilmu hitung
menghasilkan pengiyaan. Larangan (O-m) mengalami transformasi sebagai berikut:

O-m = -P- -m = -Pm.

IZIN dan PEMBEBASAN.

Hingga kini kita untuk tipe kaidah-kaidah perilaku sudah berkenalan dengan dua eksemplar, yakni
perintah dan larangan. Kedua eksemplar tersebut tercakup dalam satu istilah yang meliputinya.
Mereka adalah kaidah-kaidah yang menetapkan kewajiban-kewajiban. Mereka dapat dinyatakan
baik dalam peristilahan mengharuskan maupun dalam peristilahan pembolehan.

Sekarang kita akan melihat dua jenis lain dari tipe kaidah-kaidah perilaku. Mereka adalah kaidah-
kaidah yang menetapkan izin (juga dapat disebut permisi) dan pembebasan (juga dapat disebut
dispensasi). Juga kedua kaidah itu dapat dicakup dalam satu istilah yang meliputi mereka. Mereka
menetapkan kehalalan perilaku (geoorloofdheid van gedrag).

Jika kepada seseorang diberikan izin, maka hal itu berarti bahwa suatu perbuatan tertentu boleh
dilakukan. Sesuai dengan konvensi lambang-lambang yang telah dibuat, izin ini dapat dinyatakan
dengan Pm. Kita juga dapat membolehkan orang untuk tidak melakukan perbuatan tertentu, yakni
dengan memberikan pembebasan atau dispensasi. Kaidah yang memberikan pembebasan ini dapat
kita lambangkan dengan tanda P-m.

Izin (Pm) mewujudkan pengecualian dari suatu larangan. Kaidah yang di dalamnya izin diberikan,
di dalam hukum sering tampil dalam sosok sebuah lisensi (vergunning). Jika seseorang
memperoleh lisensi untuk suatu perbuatan tertentu maka berarti sejauh menyangkut ia, sebuah
larangan yang berlaku bagi perbuatan tersebut ditiadakan. Sebuah contoh. Undang-undang
minuman keras (Drank- en Horecawet) memuat dalam pasal 3 suatu ketentuan bahwa kecuali ada
lisensi dilarang menyajikan minuman keras di tempat umum (O-d). Misalkan seorang pemilik
sebuah restoran telah mengajukan permohonan dan memperoleh lisensi tersebut. Maka sejak saat
itu berlaku baginya bahwa ia boleh menyajikan minuman keras di restorannya (Pm). Dengan
demikian maka lisensi itu (Pm) mengandung suatu izin dalam kejadian individual sebagai
pengecualian atas suatu larangan yang berlaku umum. Tentu saja, setidak-tidaknya dipandang dari
sudut Drank- en Horecawet itu, pemilik restoran itu diperbolehkan untuk menyajikan minuman
ringan. Izin ini sesungguhnya mempunyai sifat yang sama sekali berbeda dengan yang disebut
terdahulu. Izin untuk menawarkan minuman non-alkohol bukanlah suatu pengecualian terhadap
suatu larangan untuk melakukan hal itu. Hal menawarkan dan menyajikan minuman non-alkohol
dalam Drank- en Horecawet tidak dilarang, dan karena itu bebas-larangan (verbodsvrij). Perbuatan

168
bebas-larangan yang demikian itu dalam bahasa percakapan sehari-hari memang disebut juga izin
(diizinkan), tetapi izin ini tidak didasarkan pada suatu kaidah hukum yang mengungkapkannya,
tetapi pada fakta bahwa terhadapnya tidak ada suatu kaidah larangan; semua yang tidak secara
eksplisit dilarang adalah diperbolehkan. Karena itu, ”persetujuan” atau ”izin” ini, dalam arti bebas-
larangan, tidak kita masukkan ke dalam kaidah hukum yang menyatakan persetujuan atau yang
memuat izin untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, sebagai pengecualian terhadap suatu
larangan melakukan perbuatan tersebut. Izin dalam arti bebas-larangan ini disebut ”permisi lemah”
(zwakke permissie). Izin yang meniadakan suatu larangan disebut ”permisi kuat” (sterke
permissie).

Pembebasan (vrijstelling), P-m, mewujudkan pengecualian terhadap suatu perintah. Undang-


undang Wajib Militer (Dienstplichtwet) memuat kaidah yang menetapkan bahwa pemuda-pemuda
dari kategori usia tertentu diharuskan (diperintahkan) menjalankan dinas militer dalam angkatan
bersenjata (Om). Beberapa pemuda, sebagaimana diketahui, antara lain dengan alasan penghasil
nafkah utama, ketiadaan lolos butuh pribadi (persoonlijke onmisbaarheid), broederdienst (lihat
pasal .. Undang-undang Wajib Militer) dapat memperoleh pembebasan dari kewajiban
menjalankan wajib militer. Jika pembebasan ini diperoleh maka bagi yang bersangkutan berlaku
P-m, yang berarti bahwa baginya kewajiban untuk berdinas dalam angkatan bersenjata ditiadakan
(opgegeven). Ia diperbolehkan (veroorloofd) untuk tidak menjalankan dinas militer.

Juga di sini kita harus mengemukakan apa yang disebut ”pembebasan” yang bukan pembebasan
dalam arti yuridis. Dalam hal itu tidak terdapat suatu kaidah hukum yang menyatakan bahwa
pembebasan itu sebagai pengecualian terhadap suatu perintah. Perbuatan itu adalah bebas-perintah
(gebodsvrij). Kita bersepakat bahwa apa yang dinamakan pembebasan ini tidak memuat kaidah
hukum. Kita berbicara tentang suatu ”pembebasan yang kuat” (sterke vrijstelling) jika suatu kaidah
hukum mewujudkan pengecualian terhadap suatu perintah. Sebaliknya akan terdapat suatu
”pembebasan yang lemah” jika tidak ada suatu perintah.

Kita sepakati bahwa jika kita untuk selanjutnya berbicara tentang izin (persetujuan, permisi) atau
pembebasan (dispensasi), maka yang kita maksudkan adalah bentuk-bentuk yang kuatnya dari
mereka, dan tidak menunjuk pada yang lemahnya.

Izin dan pembebasan telah kita tampilkan dalam peristilahan-boleh (mogen-termen). Cara
pengungkapan demikian dapat diubah ke dalam peristilahan-harus (moeten-termen). Operasi ini
dapat dilaksanakan dengan menerapkan teknik-transformasi yang sudah dilakukan di atas: ganti P
dengan O dan pada saat yang sama menegasi baik modus-kaidah maupun objek-kaidahnya.
Hasilnya adalah sebagai berikut:

Izin = boleh melakukan  Pm = -O-m


Pembebasan = boleh tidak melakukan  P-m = -Om

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, maka tentang kaidah-kaidah hukum kita dapat
mengenali bahwa tipe kaidah perilaku itu ada empat jenis:

169
Larangan O-m = -Pm
Kaidah kewajiban (harus/tidak boleh)
Perintah Om = -P-m

Izin Pm = -O-m
Kaidah pembolehan (boleh/tidak harus)
Pembebasan P-m = -Om
(dispensasi)

SEGI-EMPAT OPOSISI KAIDAH (Normenkwadraat)

Perintah dan larangan, izin (permisi) dan pembebasan (dispensasi) adalah kaidah-kaidah perilaku
yang berada dalam berbagai hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan-hubungan
ini dapat diikhtisarkan dalam suatu skema yang dapat disebut Segiempat Oposisi Kaidah. Kita
akan terlebih dahulu mengemukakan unsur-unsur dari skema tersebut dengan mengintroduksi
berbagai hubungan antar-kaidah perilaku. Setelah itu kita akan mempresentasikan mereka dalam
sebuah skema.

Hubungan pertama yang tampak mencolok adalah hubungan antara perintah (Om) dan izin (Pm),
dan sejalan dengan itu hubungan antara larangan (O-m) dan dispensasi (P-m). Secara umum dapat
dikemukakan bahwa suatu kewajiban melakukan atau tidak melakukan mengimplikasikan
diperbolehkannya untuk itu (geoorloofdheid daartoe). Jadi, perintah (Om) mengimplikasikan
izin/permisi, dan larangan mengimplikasikan dispensasi.

Bagaimana hubungan antara perintah (Om) dan larangan (O-m)?


Perintah dan larangan saling mengecualikan. Itu berarti bahwa suatu perbuatan tertentu tidak
mungkin secara bersamaan diperintahkan dan dilarang. Juga dalam hubungan antara perintah (Om)
dan dispensasi (P-m) terdapat suatu pertentangan (tegenstrijdigheid). Adalah tidak mungkin untuk
pada waktu yang bersamaan memerintahkan suatu perbuatan tertentu dan mengizinkan bahwa
perbuatan itu juga boleh tidak dilakukan. Hal yang sama berlaku untuk hubungan antara larangan
(O-m) dan izin/permisi (Pm). Adalah tidak mungkin melarang suatu perbuatan dan pada waktu
yang bersamaan menyetujui bahwa perbuatan itu dilakukan.

Perhatikan: kita telah mengatakan bahwa hal itu adalah tidak mungkin, tetapi dalam suatu arti
khusus dari perkataan itu. Tentu saja, secara faktual hal itu mungkin saja dilakukan, hanya saja
bahwa putusan-putusan itu menjadi tidak bermakna, sama seperti jika kita mengklaim bahwa hari
ini hujan dan hari ini tidak hujan. Putusan-putusan itu saling bertentangan dan karena itu irrasional.
Begitulah, adalah irrasional untuk memerintahkan sesuatu kepada seseorang dan pada saat yang
sama mengizinkan ia melakukan apa yang dilarang itu.

Resume: perintah dan larangan, perintah dan dispensasi, larangan dan izin (permisi) adalah
pasangan-pasangan yang saling mengecualikan.

170
Kita melihat bahwa hubungan-hubungan antara tiga tipe kaidah itu sejauh ini sifatnya sama.
Sesungguhnya terdapat juga suatu perbedaan penting antara hubungan perintah-larangan dan dua
hubungan lainnya. Perbedaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Apakah mungkin bahwa untuk
suatu perbuatan tidak berlaku untuk suatu perintah (Om) maupun suatu larangan (O-m). Itulah
yang terjadi jika untuk suatu perbuatan berlaku baik suatu dispensasi (P-m) maupun suatu izin
(Pm). Jadi, kaidah-kaidah itu tidak saling menggigit. Dengan demikian, berkenaan dengan satu
perbuatan tertentu dapat ditetapkan bahwa orang memiliki kebebasan untuk memilih sendiri
apakah akan melakukan perbuatan itu atau tidak. Dalam hal itu maka perbuatan tersebut tidak
dilarang maupun diperintahkan.

Suatu pertentangan yang di dalamnya tertutup kemungkinan bahwa dua kaidah secara bersamaan
berlaku, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa kaidah-kaidah itu dalam keseluruhannya tidak
berlaku karena terdapat kemungkinan ketiga, disebut oposisi kontraris. Antara perintah (Om) dan
larangan (O-m) terdapat suatu pertentangan/oposisi kontraris. Antara perintah (Om) dan dispensasi
(P-m) di satu pihak dan antara larangan (O-m) dan izin (Pm) di lain pihak berlaku suatu
pertentangan/oposisi kontradiktoris.

Apa bedanya dengan oposisi kontraris? Perbedaannya terletak dalam hal bahwa bukan hanya tidak
mungkin bahwa dua-duanya berlaku pada waktu yang bersamaan, tetapi bahwa lebih dari itu tidak
mungkin bahwa kedua kaidah itu dua-duanya tidak berlaku pada waktu yang bersamaan. Dengan
kata lain: salah satu dari keduanya selalu berlaku. Hal ini dapat diperlihatkan dengan contoh
berikut.

Untuk ”bukti” kita, maka kita akan bertolak dari suatu tatanan kaidah (normenstelsel) yang di
dalamnya perilaku m dengan suatu cara dikaidahi. Itu dapat saja berupa: Pm, P-m, Om, O-m. Titik
tolak ini diperlukan agar pembuktian kita dapat berhasil. ”Anders gooien zwakke permissies en
zwakke vrijstellingen roet in het eten”.

Misalkan, kita mengkonstatasi bahwa tentang perilaku m tidak berlaku larangan. Berdasarkan titik
tolak kita, maka kita akan mengatakan: -O-m. Dan itu ekuivalen dengan Pm; artinya ”boleh
melakukan”. Karena itu: jika tidak berlaku suatu larangan, maka berlaku permisi/izin. Yang
sebaliknya juga berlaku. Misalkan bahwa untuk suatu perbuatan m tidak berlaku suatu dispensasi.
Maka kita akan mengatakan: -P-m. Itu ekuivalen dengan Om, yang berarti: ”harus melakukan”.
Karena itu: jika tidak berlaku suatu dispensasi, maka berlaku suatu perintah. Dengan demikian
maka tidaklah mungkin bahwa tiada satu pun dari kedua-duanya yang berlaku (bahwa dua-duanya
tidak berlaku). Hubungan oposisi yang demikian disebut kontradiktoris (kontradiksi).

Akhirnya kita harus mendalami lebih jauh hubungan antara izin atau pembolehan (Pm) dan
dispensasi (P-m). Kita sudah melihat bahwa mereka tidak saling mengecualikan. Jadi, adalah
mungkin tentang suatu perbuatan tertentu kita mengatakan bahwa perbuatan itu boleh dilakukan
dan bahwa ia boleh tidak dilakukan. Hal itu dapat kita sebut ”izin bilateral” atau ”indiferensi”.
Tipe kaidah ini untuk selanjutnya akan kita tunjuk sebagai ”kebebasan” (vrijheid) yang dapat
dilambangkan dengan Pm^P-m (tanda ”^” berarti : dan).

171
Sekarang, apakah dalam suatu situasi kemasyarakatan tertentu dimungkinkan bahwa terhadap
suatu perbuatan tertentu tidak berlaku (tidak dapat diterapkan) baik suatu izin maupun suatu
dispensasi? Tidak, hal itu tidak mungkin.

Misalkan kita menerima bahwa suatu izin (Pm) tidak dapat diterapkan. Maka akan berlaku -Pm.
Itu ekuivalen dengan O-m. Tetapi sementara itu kita tahu juga bahwa O-m memiliki P-m sebagai
implikat (O-m mengimplikasikan P-m). Dikatakan secara lain : jika suatu permisi/izin tidak
berlaku, maka berlaku suatu larangan (yang mengimplikasikan suatu dispensasi).
Hal yang sama berlaku untuk suatu situasi yang di dalamnya tidak berlaku suatu dispensasi. Dalam
hal itu berlaku suatu perintah, yang pada dirinya sendiri mengimplikasikan suatu izin/permisi.
Hubungan antara izin/permisi dan dispensasi ini disebut hubungan oposisi subkontraris.

Ringkasan dari hubungan-hubungan oposisi itu adalah sbb :

Perintah – larangan : oposisi kontraris


Perintah – izin : hubungan implikatif atau subaltern
Larangan – dispensasi : hubungan implikatif atau subaltern
Perintah – dispensasi : oposisi kontradiktoris
Larangan – izin : oposisi kontradiktoris
Izin – dispensasi : oposisi subkontraris

Hubungan-hubungan tersebut di atas dapat diungkapkan secara skematis dalam suatu Diagram
Segiempat Oposisi berikut :

Diagram Segiempat Oposisi Kaidah

Perintah / Larangan
Om < -- > -P-m O-m < -- > -Pm
| |
| |
| |
| |
| |
Izin/Permisi V Dispensasi
Pm < -- > -O-m P-m < -- > -Om

Diagram di atas menggunakan lambang-lambang :

< -- > : ekuivalen dengan


/ : kontraris

172
V : subkontraris
------- > : implikasi (subaltern)
> ------ < : kontradiktoris

Skema di atas memaparkan semua tipe kaidah perilaku dalam hubungan-hubungan logikalnya. Ini
adalah bahan dasar yang digunakan dalam karya yuridik, yang dengannya hukum bekerja. Apa
yang dapat kita lakukan dengan informasi baru ini? Banyak, sebab pada hakikatnya semua debat
yuridis pada akhirnya berkenaan dengan pertanyaan terhadap perbuatan apa orang berkewajiban,
dan dalam keadaan apa hal boleh melakukan perbuatan tertentu ada sebagai pengecualian dari
suatu kewajiban. Pertanyaan ini adalah inti dari misalnya adu argumentasi dalam suatu sidang
peradilan atau debat tentang kebijaksanaan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat (Badan
Pembentuk Undang-undang) tentang isi suatu ketentuan perundang-undangan.

SKEMA HOHFELD Pertama.

Segiempat Oposisi Kaidah adalah sarana yang sangat baik untuk membedakan berbagai kaidah
perilaku dari hubungan-hubungan logikal antartipe kaidah-kaidah itu. Namun, ada dua catatan
pinggir perlu ditempatkan pada skema itu. Yang pertama berkaitan dengan hubungan antara harus
dan boleh (izin). Kaidah-kaidah perilaku dihadirkan sebagai, atau selalu dijabarkan dari, perintah-
perintah (komando, command). Sebab, walaupun dari sudut logika kaidah modalitas harus dan
modalitas boleh sepenuhnya bernilai sama, namun hal boleh di dalam hukum baru memperoleh
wujudnya (relief) pada umumnya dari sudut hal harus. Izin dan pembebasan mewujudkan
pengecualian dari kewajiban-kewajiban.

Catatan pinggir kedua menunjukkan suatu kelemahan yang melekat pada Segiempat Oposisi
Kaidah itu. Kaidah-kaidah perilaku ditampilkan dalam sosok yang absolut. Mereka (kaidah-kaidah
itu) diperuntukkan bagi orang-orang (pribadi-pribadi) dipandang dalam dirinya sendiri terlepas
dari hubungan mereka dengan orang-orang lain. Kaidah-kaidah hukum yang terbanyak justru baru
menarik (bermakna), jika mereka ditampilkan dalam wajah relasional mereka. Itu berarti bahwa
mereka dibuat menjadi tampak bahwa suatu kaidah perilaku bagi seseorang (subjek kaidah)
berlaku dalam hubungannya dengan seseorang lain atau orang-orang lain. Kewajiban yang timbul
dari suatu perjanjian jual-beli, misalnya kewajiban untuk menyerahkan sebuah sepeda, berlaku
bagi seorang penjual. Kewajiban ini dipandang pada dirinya sendiri tidaklah relevan. Ia baru
relevan jika sudah jelas bahwa kewajiban untuk menyerahkan sepeda itu berlaku dalam kaitannya
dengan pembelinya. Mutatis mutandis, hal yang sama berlaku untuk kewajiban dari pembeli. Ia
berkewajiban untuk membayar harga pembeliannya. Kewajiban ini memperoleh makna normatif
jika sudah pasti terhadap siapa pembeli itu telah meletakkan kewajiban bagi dirinya.

Bagian terbanyak dari kewajiban-kewajiban menciptakan tidak hanya perintah-perintah sepihak


bagi subjek kaidah. Dalam banyak kejadian mereka menetapkan suatu hubungan hukum
(rechtsbetrekking) antara pihak yang dibebani kewajiban (subjek kaidah) dan mereka yang
terhadapnya kewajiban itu berlaku. Yang disebut terakhir ini memiliki suatu tuntutan (aanspraak)
atau hak (recht) atas pemenuhan kewajiban oleh subjek kaidah itu.

173
Dalam pasal 7.1.1.1.NBW, jual beli dipaparkan sebagai suatu perjanjian yang menyatakan bahwa
yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu benda (objek) dan yang lainnya mewajibkan
dirinya untuk membayar harga untuk hal itu.

Kalimat pertama pasal 7.1.2.1. berbunyi:

”Penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dengan hal-hal yang melekat padanya
dalam pemilikan.”

Kalimat pertama pasal 7.1.4.1. berbunyi:

”Pembeli berkewajiban membayar harganya.”

Dalam pasal-pasal ini ditetapkan kewajiban-kewajiban untuk berturut-turut pembeli dan penjual.
Kewajiban-kewajiban ini berlaku berturut-turut dalam hubungannya terhadap penjual dan
pembeli. Kewajiban untuk menyerahkan berlaku bagi penjual (A) dalam hubungannya dengan
pembeli (B); kewajiban untuk membayar berlaku bagi pembeli (B) dalam hubungannya dengan
penjual (A). Pasal-pasal yang baru saja dikutip itu, dengan demikian, menciptakan (menetapkan,
vestigen) tidak hanya kewajiban-kewajiban bagi seorang subjek kaidah, melainkan kewajiban bagi
seorang subjek kaidah (A) dalam hubungan dengan seorang subjek kaidah lain (B). Jadi, mereka
menetapkan suatu hubungan hukum antara A dan B (lebih sering disebut perikatan). Hubungan
hukum ini terwujud atas suatu kewajiban (plicht) bagi A terhadap B (untuk menyerahkan apa yang
dibelinya, dan suatu tuntutan/aanspraak (atau hak) dari B terhadap A (atas penyerahan dari apa
yang dibelinya). Selain itu, hubungan hukum ini juga bertimbal-balik, sebab dari perjanjian jual-
beli itu timbul juga suatu kewajiban bagi B terhadap A (untuk membayar harga pembelian), dan
suatu tuntutan dari A terhadap B (atas harga pembelian).

Pemahaman (inzicht) ini memungkinkan kita untuk merumuskan kembali (berformulasi) pasal-
pasal 7.1.2.1. (kalimat pertama) dan 7.1.4.1. (kalimat pertama) sebagai berikut:

”Pembeli memiliki hak atas pengalihan hak milik dan penyerahan barang dengan hal-hal yang
melekat padanya.
Penjual memiliki hak atas pembayaran dari harganya.”

Digambarkan dalam skema, perikatan yang timbul dari perjanjian jual-beli itu, jika A penjual dan
B pembelinya, akan tampak sebagai berikut:

kewajiban menyerahkan tuntutan atas pembayaran


----------------- > ------------------ >
A B A B
< ---------------- < -----------------
kewajiban membayar tuntutan atas penyerahan

Suatu kaidah perilaku yang menetapkan suatu kewajiban dari A terhadap B, pada saat yang sama
menetapkan suatu hak dari B kepada A. Hak dari B ini mempunyai hubungan dengan pemenuhan

174
kewajiban dari A. Jika dalam suatu kaidah hukum ditentukan bahwa A mempunyai hak terhadap
B, maka ketentuan ini membawa juga dalam dirinya bahwa pada B terdapat suatu kewajiban yang
sesuai. Suatu kaidah perilaku yang di dalamnya ditentukan suatu kewajiban dari A terhadap B,
dengan demikian dapat ditransformasi ke dalam suatu kaidah hukum yang di dalamnya B diberikan
suatu hak sesuai dengan kewajiban dari A. Yang sebaliknya juga dapat. Dengan cara ini maka hak-
hak dari A dan B serta kewajiban-kewajiban dari A dan B saling mengimplikasikan, dan karena
itu mereka adalah ekuivalen.

Jika analisis itu sudah sejauh ini, maka garis (-pikiran logika kaidah) itu juga dapat ditarik terus.
Sebab jika dipikirkan bahwa A mempunyai suatu kewajiban terhadap B, maka juga dapat
dipikirkan bahwa dalam kejadian-kejadian lain A tidak mempunyai kewajiban terhadap B. Dalam
hal terakhir, maka kita dalam peristilahan Segiempat Oposisi Kaidah akan dapat mengatakan
bahwa bagi A berlaku suatu izin atau suatu dispensasi. Sekarang bagaimana kita akan dapat
menyatakan (mengungkapkan) situasi demikian, jika hal itu berkenaan dengan suatu kaidah yang
menciptakan suatu hubungan hukum antara A dan B?

Pada permulaan Abad 20 ini, seorang yuris Amerika Serikat, Lesley Newcombe Hohfeld,
mengembangkan skema yang dengannya kaidah-kaidah perilaku yang menetapkan hubungan-
hubungan hukum secara simbolis dapat diungkapkan. Skema tersebut adalah sebagai berikut.

Skema Hohfeld Pertama.

Duty (A-B) < ----- > Claim (B-A)

| |
| |
| |

Privilege (A-B) < ----- > No-claim (B-A)

”Duty” adalah istilah cakupan untuk perintah dan larangan. Itu dapat berarti suatu tuntutan (atau
hak) untuk melakukan atau untuk tidak melakukan, tergantung pada isi dari kewajiban pada sisi
kiri.

”Privilege” (juga disebut ”Liberty”) adalah istilah cakupan untuk izin dan dispensasi. Itu berarti
bahwa ”no-claim” dapat berarti tidak ada tuntutan untuk melakukan atau untuk tidak melakukan
sesuai dengan isi dari ”privilege” pada sisi kiri. Kita dapat menterjemahkan ”privilege” dengan
”kebebasan” yang dapat disimbolisasikan dengan Pm^P-m (juga dapat disebut ”izin bilateral” atau
”indiferensi”).

Terhadap Skema Hohfeld itu (setidaknya berkenaan dengan privilege – no claim) telah diajukan
keberatan bahwa ia dengan cara ini memandang hal tidak adanya suatu kewajiban sebagai adanya
suatu tidak-wajib. Hal ini sedikit menyerupai teknik dari filsuf Jerman Hegel yang juga seorang

175
akhli untuk membangun penalaran-penalaran yang sangat mistis berdasarkan pikiran bahwa ”hal
tidak ada” dapat diajukan sebagai ”hal ada dari suatu yang negatif” katimbang ”hal tidak adanya
sesuatu yang positif”. Sesungguhnya terdapat suatu pendekatan yang lebih pragmatis. Maksudnya:
pendekatan yang mengacu pada kegunaan praktis dari skema ini adalah mungkin.

Kita dapat membayangkan bahwa tentang suatu perjanjian jual-beli telah diajukan gugatan di
hadapan hakim karena pembeli B menolak untuk membayar harga belinya kepada penjual A, yang
sementara itu telah menyerahkan bendanya (objek jual-beli itu) kepada B. Misalkan bahwa hakim
telah memenangkan gugatan dari penjual A itu. Ia meletakkannya dalam sebuah vonis. Dalam
vonis itu dinyatakan bahwa B berkewajiban untuk membayar harga beli kepada A. Tidaklah sulit
untuk melihat bahwa putusan hakim yang menyatakan bahwa B mempunyai kewajiban terhadap
A untuk membayar harga beli sebagai suatu kaidah (duty) bagi B dan bahwa kewajiban ini
berkorespondensi dengan hak dari A terhadap B atas pembayaran dari harga beli itu.

Kita juga dapat membayangkan kemungkinan bahwa hakim yang sama dalam vonis yang
mengikat para pihak memutuskan bahwa B tidak berkewajiban untuk membayar harga beli itu
kepada A. Ini juga bukan suatu pernyataan begitu saja dari orang yang sewenang-wenang. Juga di
sini dinyatakan suatu kaidah, yakni kaidah bahwa B diizinkan untuk tidak melakukan pembayaran
harga beli itu kepada A : ”privilege” (B-A). Ini dalam Skema Hohfeld mengimplikasikan kaidah
penetapan hakim bagi A untuk melepaskan upaya hukum dan upaya-upaya lain untuk memperoleh
harga beli itu dari B; ”no-claim” (A-B).

Demikianlah kita melihat bahwa sifat-sifat (kekhususan-kekhususan) dari debat yuridis


mengharuskan kita untuk tidak hanya mempersoalkan tentang hal tidak adanya entitas-entitas
(unsur-unsur) positif saja, melainkan lebih dari itu juga tentang hal adanya entitas-entitas negatif.

Sebuah contoh lain:

Misalkan bahwa sebuah Dewan (Pemda) Kotamadya memutuskan untuk mensubsidi sebuah Balai
Pertemuan. Keputusan ini menetapkan sebuah kaidah yang dengannya Dewan (Pemda)
Kotamadya mewajibkan dirinya untuk memberikan subsidi tersebut. Kaidah ini adalah ekuivalen
dengan hak yang dimiliki Balai Pertemuan itu terhadap Pemda Kotamadya setelah dikeluarkannya
keputusan itu atas dipenuhinya kewajiban itu: pembayaran subsidi itu. Dalam hal itu dapat
dikatakan bahwa terdapat suatu hubungan hukum antara Pemda Kotamadya dan Balai Pertemuan
yang berwujud sebuah kewajiban dan hak yang terkait padanya. Jika sebaliknya Pemda
Kotamadya menolak permohonan subsidi itu, maka tidak timbul kewajiban pada Pemda
Kotamadya untuk memberikan (membayar) subsidi itu. Dalam peristilahan Hohfeld maka dalam
hal itu juga terdapat hubungan hukum. Hubungan hukum ini berupa suatu kebebasan bagi Pemda
Kotamadya itu terhadap Balai Pertemuan itu di satu pihak, dan tidak adanya hak (tuntutan,
aanspraak) bagi Balai Pertemuan terhadap Pemda Kotamadya di lain pihak.

STRUKTUR KONDISIONAL.

Kaidah-kaidah perilaku seperti larangan, perintah, izin dan pembebasan (dispensasi) dapat
diuraikan ke dalam berbagai unsur. Di atas telah dikemukakan tiga unsur, yakni :

176
 objek-kaidah, yaitu perbuatan yang oleh kaidah dikaidahi.
 subjek-kaidah, yaitu orang yang perbuatannya dikaidahi.
 modus-kaidah, yang dengannya diungkapkan dengan keharusan apa perbuatan itu dikaidahi

Sebagai ilustrasi akan diuraikan sebuah kaidah perilaku. Kita pilih kaidah perilaku yang tercantum
dalam pasal 362 KUHP. Secara harafiah, pasal 362 KUHP itu berbunyi :

”Barang siapa mengambil suatu barang, yang sama sekali atau sebagiannya
termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu, dihukum,
karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 9000,-.”

Pasal ini mengimplikasikan suatu kaidah perilaku yang tidak dirumuskan sebagai demikian yang
di dalamnya perbuatan yang disebut mencuri itu dilarang. Jadi pasal itu memuat secara implisit
suatu kaidah perilaku dari tipe O-m. Jika dalam penguraian kaidah kita bertolak dari ketentuan
larangan ini, maka hasilnya adalah sebagai berikut ini.

Objek kaidah dari ketentuan ini adalah: menjauhi (tidak melakukan) perbuatan mencuri; subjek
kaidah adalah: tiap orang; modus kaidah: wajib. Tiga unsur kaidah perilaku ini menjadi tampak
jelas jika kita menuliskannya kembali sebagai berikut:

Tiap orang harus tidak melakukan perbuatan mencuri


atau
Tiap orang dilarang (untuk) mencuri

Tiga unsur ini bersama-sama mewujudkan inti dari kaidah perilaku itu. Tiga unsur tersebut
dinamakan akibat hukum atau ketentuan akibat hukum dari kaidah perilaku. Cara yang dengannya
ketentuan akibat hukum dari kaidah perilaku itu dirumuskan akan menentukan apakah kita
berurusan dengan perintah, larangan, izin atau pembebasan.

Di samping tiga unsur ini, sering masih dikemukakan suatu unsur keempat pada kaidah perilaku.
Hal ini khususnya pada kaidah-kaidah hukum yang dicantumkan dalam perundang-undangan.
Komponen keempat ini memuat kondisi-kaidah (normconditie). Dalam kondisi-kaidah ini
diuraikan (dipaparkan) syarat-syarat yang harus dipenuhi jika kaidah itu (atau lebih tepatnya:
ketentuan akibat-akibat hukum) hendak diterapkan. Jadi, jika seseorang ingin mengetahui apakah
terhadap perbuatannya atau perbuatan yang akan dilakukannya, kaidah larangan x (atau kaidah
perintah y, dst) dapat diterapkan, maka ia harus meneliti apakah ia dengan melakukan perbuatan
tertentu itu memenuhi kondisi-kaidah dari kaidah larangan (atau kaidah perintah, dst). Jika ya,
maka larangan (perintah, dst) itu memang dapat diberlakukan terhadapnya.

Bersama-sama dengan kondisi-kaidah ini, struktur dasar dari suatu kaidah-perilaku kondisional
tampak sebagai berikut:

”Jika dipenuhi ... (kondisi-kaidah), maka berlaku ... (ketentuan akibat hukum).”

177
Jika kita tentukan kembali ketentuan larangan dari pasal 362 KUHP dalam struktur dasar
kondisional ini, maka kita dapat merumuskan kembali larangan mencuri itu sebagai berikut:

”Jika dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: oleh seseorang telah dilakukan suatu
perbuatan yang dengannya suatu benda tertentu yang seluruhnya atau sebagiannya
milik orang lain telah diambil dengan tujuan untuk memilikinya secara melawan
hukum, maka berlaku: perbuatan ini harus tidak dilakukan oleh orang itu.”

Kondisi-kaidah dari suatu kaidah hukum sering juga disebut sebagai peristiwa-hukum (rechtsfeit),
atau lebih cermat sebagai uraian peristiwa hukum (rechtsfeitomschrijving).

Seperti sudah dikatakan, sebagian besar kaidah-kaidah perilaku dalam perundang-undangan dapat
dikembalikan pada suatu struktur kondisional. Rekonstruksi ini menunjukkan bahwa kaidah
hukum terdiri atas dua bagian kalimat. Jadi, kalimat yang mengungkapkan kaidah hukum tersusun
atas dua bagian. Bagian kalimat pertama dimulai dengan kata-kata: ”Jika dipenuhi ...”, dan memuat
uraian peristiwa hukum. Di dalam bagian kalimat kedua dari kaidah itu ditautkan suatu ketentuan
akibat-hukum pada uraian peristiwa hukum tersebut, yang dimulai dengan kata-kata: ” ..., maka
berlaku ...”. Ketentuan akibat hukum menunjuk (indiceert) subjek-kaidah, objek kaidah dan
operator-kaidah. Uraian peristiwa hukum memuat, bertolak dari contoh di atas tentang larangan
mencuri, uraian ciri-ciri dari subjek-kaidah dan dari objek-kaidah. Uraian subjek-kaidah dalam
contoh ini tidak begitu mencolok karena berkaitan dengan tiap orang. Uraian tentang perbuatan
yang disebut pencurian memerlukan lebih banyak perkataan.

Rekonstruksi suatu kaidah yang ada dalam praktek hukum dilaksanakan dalam suatu bahasa yang
lebih diformalkan atau bahasa buatan (kunstmatige taal) yang terdiri atas sejumlah konvensi. Di
atas, bahasa ini sudah dikualifikasi sebagai bahasa analitik. Ditulis ulang dengan cara demikian,
maka berbagai unsur dari kaidah hukum dapat menempati kedudukan tetap masing-masing.
Dengan teknik formalisasi ini maka struktur dasar dari kaidah-kaidah hukum dapat dibuat tampak
lebih jelas katimbang penggunaan bahasa yuridis yang biasa. Tujuan dari teknik analitik ini adalah
agar lebih eksak, katimbang yang dapat dilakukan dalam praktek bahasa, dalam menunjukkan
peristiwa-peristiwa hukum apa yang ditetapkan dalam kaidah-kaidah hukum dan akibat-akibat
hukum apa yang ditautkan oleh kaidah-kaidah itu pada peristiwa-peristiwa hukum ini. Khusus
pada kaidah-kaidah yang lebih majemuk yang baginya berlaku lebih banyak syarat-syarat, analisis
yang demikian itu dapat membantu untuk memahaminya lebih baik dan lebih memungkinkan
(memudahkan) untuk penerapan.

Sebagai penutup akan diberikan lagi satu contoh yang di dalamnya suatu kaidah perilaku tercantum
dalam perundang-undangan ditulis ulang dalam suatu bahasa yang diformalisasikan.

Ayat pertama dari pasal 6 h Undang-undang Panti Wredha Belanda (Wet op de Bejaar-denoorden)
memuat ketentuan berikut:

”Pengelola suatu panti wredha dilarang menampung seorang wredawan


(manula) dalam suatu panti wredha kecuali oleh suatu komisi yang dimaksud dalam

178
pasal 6 j dari Kotamadya di mana manula tersebut bertempat tinggal, secara tertulis
telah diberikan rekomendasi untuk menampungnya.”

Rekonstruksi dari ketentuan-larangan (verbodsbepaling) ini menghasilkan formulasi sebagai


berikut:

Jika syarat-syarat berikut dipenuhi: pengelola suatu panti wredha memutuskan untuk menampung
seorang manula dalam suatu panti wredha dan tidak ada rekomendasi dari suatu komisi kotamadya
untuk melaksanakan penampungan itu, maka berlaku: pengambilan keputusan ini oleh pengelola
tersebut adalah dilarang.

Uraian peristiwa hukum dalam hal ini adalah lebih luas katimbang contoh pasal 362 KUHP. Dalam
uraian peristiwa hukum dari pasal 6 h Undang-undang Panti Wredha itu, objek-kaidah dan subjek-
kaidahnya ditetapkan lebih jelas. Tidak hanya itu. Dalam uraian peristiwa hukum tersebut
tercantum juga suatu syarat adisional (tambahan) yang harus dipenuhi agar akibat hukumnya dapat
diterapkan. Syarat adisional ini adalah berupa rekomendasi untuk menampung dari suatu komisi
kotamadya. Karena syarat ini, maka pasal 6 h itu mengimplikasikan suatu kaidah perilaku kedua
yang menyatakan suatu izin sebagai pengecualian terhadap suatu larangan. Direkonstruksi dalam
struktur dasar kondisional, maka kaidah ini berbunyi:

Jika syarat-syarat berikut dipenuhi: pengelola dari suatu panti wredha memutuskan untuk
menampung seorang manula dalam panti wredha yang dikelolanya dan ada rekomendasi untuk
menampungnya dari suatu komisi kotamadya, maka berlaku: pengambilan keputusan yang
demikian oleh pengelola itu diizinkan.

Perhatikan, bahwa tidak diciptakan suatu kewajiban bagi pengelola itu untuk benar-benar
menampung manula itu. Yang terjadi hanyalah bahwa suatu halangan yuridis (suatu larangan)
telah ditiadakan. Bagi manula tersebut juga tidak timbul suatu hak untuk ditampung setelah adanya
rekomendasi positif dari komisi kotamadya. Dengan perkataan lain, antara pengelola suatu panti
wredha dan manula itu tidak terdapat hubungan hukum dalam arti suatu kewajiban dan suatu
tuntutan (aanspraak) atau hak.

KAIDAH-KAIDAH SANKSI.

Dalam bagian pengantar sudah dikemukakan bahwa kita harus memperhitungkan bahwa kaidah-
kaidah dilanggar (tidak dipatuhi). Kadang-kadang kita melanggar suatu perintah atau suatu
larangan tanpa kita menyadari hal itu. Dalam peristiwa (situasi) tertentu kita secara sadar bahkan
dengan sengaja melakukan pelanggaran itu. Hal itu dapat terjadi karena berbagai alasan, tetapi
sekarang ini masalah itu tidak menjadi pusat perhatian kita. Yang akan dipersoalkan sekarang ini
adalah reaksi yuridis apa yang dapat kita harapkan akan kita hadapi (alami) jika sudah sejauh itu.
Konsekuensi yuridis dari perbuatan melawan hukum itu, di antaranya a.l. pelanggaran terhadap
suatu perintah, atau suatu larangan, dirumuskan dalam kaidah hukum sama seperti perintah dan
larangan. Kaidah hukum yang demikian itu mengkaitkan pada pelanggaran kaidah suatu sanksi
sebagai akibat hukum. Berdasarkan akibat hukum ini, maka tipe kaidah-kaidah hukum ini disebut
kaidah-sanksi. Kaidah-kaidah sanksi memperlihatkan ”gigi dari hukum”.

179
Kaidah-kaidah sanksi menjadi dipandang demikian penting sehingga dalam berbagai undang-
undang kaidah larangan atau kaidah perintah yang melatar belakanginya tidak lagi dirumuskan
secara terpisah (tersendiri). Hanya kaidah sanksinya yang dinyatakan dalam suatu pasal. Jadi
dipandang bahwa dalam kaidah sanksi itu sudah diimplikasikan kaidah larangan atau kaidah
perintah yang disanksionisasi. Contohnya sudah kita lihat dalam KUHP. Uraian peristiwa pidana
sebagai peristiwa hukum dalam undang-undang ini tidak diikuti dengan perumusan
(pengungkapan) dari larangan itu sebagai akibat hukum. Tanpa melambung (omwegen) sanksinya
secara langsung sebagai akibat hukum dipertautkan pada uraian delik (delictsomschrijving).
Akibat hukum dari sanksi itu meliputi kewajiban untuk menjalani suatu hukuman. Hukumannya
dapat berupa membayar denda uang atau hukuman perampasan kemerdekaan. Dalam kaidah
sanksi hukum pidana ini dengan demikian kaidah larangan atau kaidah perintah yang melatar
belakanginya diandaikan. Sebuah contoh sebagai ilustrasi. Dalam pasal 344 KUHP (art. 293
WvSr) dirumuskan ketentuan berikut:

”Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-
lamanya dua belas tahun.”

Pasal ini secara harafiah memuat hanya satu kaidah sanksi. Dalam kaidah sanksi itu pada
hakikatnya pelanggaran terhadap suatu kaidah larangan yang dalam undang-undang tidak
dieksplisitkan diberikan suatu sanksi (disanksionisasi). Namun kaidah-kaidah ”yang
disembunyikan” ini, yang di dalamnya euthanasia dilarang, dianggap ada. Ia mewujudkan
landasan atau makna dari sanksi hukum pidana itu. Ia juga merupakan bagian dari tata hukum.

Dalam hukum terdapat berbagai jenis kaidah-sanksi. Di atas kita sudah berkenalan dengan sanksi
hukuman (strafsanctie) yang dapat dijatuhkan pada pelanggaran kaidah (hukum pidana). Di
samping itu terdapat kaidah sanksi lain yang sering muncul (terjadi), yang menetapkan bahwa pada
pelanggaran suatu kaidah kewajiban ditautkan suatu kewajiban untuk membayar ganti-rugi.
Kaidah sanksi ini dalam hukum perdata menempati posisi sentral. Ia berkenaan dengan suatu
perbuatan dari seorang warga dalam hubungan dengan sesama warga yang dengan perbuatan itu
suatu kaidah terlanggar yang menimbulkan kerugian. Situasi yang demikian itu dapat terjadi jika
penjual A tidak tepat waktu menyerahkan rumah yang dijual B, yang menyebabkan B menderita
kerugian. Pasal 6.1.8.1. NBW memberikan sanksi pada pelanggaran terhadap kewajiban yang telah
disepakati, dan menetapkan bahwa A berkewajiban untuk mengganti kerugian dari B. Contoh lain
tentang kewajiban untuk mengganti kerugian yang telah ditimbulkannya adalah jika terjadi apa
yang dinamakan perbuatan melanggar hukum. Kita misalnya dapat membayangkan kejadian
seorang pejalan kaki yang tertabrak pengendara sepeda, karena ketika membelok ke kanan ia
kurang cukup melihat ke belakang. Berdasarkan undang-undang lalu lintas ia berkewajiban
melakukan hal itu. Hal tidak memenuhi kewajiban ini bagi pejalan kaki yang bersangkutan
menyebabkan kerugian. Pasal 6.3.1.1. NBW (1365 KUHPerd) menetapkan:

”Barang siapa melakukan perbuatan melanggar hukum terhadap orang lain, yang
dapat dipersalahkan kepadanya, berkewajiban mengganti kerugian yang diderita oleh
orang lain itu karena perbuatannya itu.”

180
Ketentuan ini adalah khas sebuah kaidah-sanksi. Atas pelanggaran terhadap suatu kewajiban
hukum (rechtsplicht), dalam pasal itu dinamakan perbuatan melanggar hukum, ditetapkan sanksi
berupa suatu kewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita karena perbuatan itu.

Kaidah-kaidah sanksi dalam hakikatnya mencakup juga kaidah-kaidah perilaku, meskipun


memiliki suatu ciri (sifat) yang khusus. Mereka adalah kaidah-kaidah perilaku karena terdapat
penetapan kewajiban-kewajiban, misalnya kewajiban untuk membayar ganti-rugi atau kewajiban
untuk menjalani suatu hukuman. Kekhususan dari kaidah-kaidah ini adalah bahwa mereka
mewujudkan reaksi terhadap pelanggaran atas kaidah-kaidah perilaku yang dirumuskan atau tidak
dirumuskan secara eksplisit. Jadi, mereka adalah sekunder dalam hubungan dengan kaidah-kaidah
perilaku primer. Ciri ini tampak jelas dalam struktur kondisional dari kaidah sanksi. Uraian
peristiwa hukumnya terdiri atas pelanggaran terhadap suatu kaidah perintah atau kaidah larangan
tertentu (yang ada), yang terhadapnya dikaitkan akibat hukum berupa sanksi itu. Akibat hukum ini
terdiri atas suatu kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Menurut struktur
dasar kondisionalnya, kaidah-sanksi itu dapat diungkapkan sebagai berikut:
Jika syarat dipenuhi: A melanggar suatu kewajiban hukum, maka berlaku: A harus membayar
ganti-rugi atau harus menjalani hukuman, dst.

RESUME AKHIR PERTAMA

Pengenalan kaidah-kaidah perilaku ini menghasilkan gambaran berikut:

Segiempat Oposisi Kaidah Skema Hohfeld Pertama


------------------------------------- --------------------------------------
Larangan
Harus < ----- > Kewajiban - Hak
Perintah

Izin
Boleh < ----- > Kebebasan – Tidak ada hak
Pembebasan

KAIDAH-KAIDAH KEWENANGAN.

Pada analisis terakhir, hukum itu berkenaan dengan pengaturan perilaku manusia. Untuk
mewujudkan pengaturan itulah keberadaan dari kaidah-kaidah perilaku, yang menetapkan
perintah-perintah dan larangan-larangan dan yang meniadakan kewajiban-kewajiban demikian
dengan memberikan izin atau pembebasan. Tetapi, siapa yang menetapkan aturan-aturan ini? Siapa
yang menentukan bahwa pajak harus dibayar, bahwa untuk membangun rumah diperlukan izin
(vergunning), atau bahwa kita mempunyai hak atas pekerjaan dan imbalan yang layak?
Pertanyaan-pertanyaan ini bersifat mengkonstatasi. Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
ini kita dapat menemukannya dalam diri kita sendiri atau mendasarkan diri pada pengetahuan dan
pengalaman orang lain. Kita juga dapat seperti orang lain mengamati siapa yang dalam kenyataan
menetapkan kaidah-kaidah ini bagi kita. Tidak terlalu sulit bagi kita untuk menetapkan bahwa

181
pemerintah (overheid) yang menetapkan dan memberlakukan undang-undang, dan mungkin kita
setelah sedikit berpikir bahkan dapat mengatakan jabatan-jabatan yang mana dari pemerintah yang
paling berperan dalam menetapkan undang-undang: pemerintah (eksekutif), parlemen, dewan
kotamadya, dsb. Pada penelaahan lebih lanjut kita juga akan mampu memberikan jawaban-
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan, jika kita menyadari bahwa kita juga
dapat memberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Kita ingat saja pada perjanjian kerja dan
perjanjian sewa-menyewa, kontrak-kontrak yang rumit yang di dalamnya terdapat banyak
ketentuan tentang apa yang boleh, harus atau tidak boleh dilakukan.

Sebuah pertanyaan dari tatanan yang sangat berbeda adalah siapa yang berhak menetapkan kaidah-
kaidah bagi kita yang terhadapnya kita harus mengacu. Dalam hakikat, pertanyaan ini lebih
menarik katimbang pertanyaan terdahulu, khususnya jika kita memandang bahwa kita adalah suatu
bangsa yang tidak akan membiarkan pihak mana pun menetapkan undang-undang bagi kita. Orang
yang mau membatasi kebebasan kita dengan jalan menetapkan bagi kita apa yang menjadi hak-
hak dan kewajiban-kewajiban kita, haruslah mempunyai landasan yang kuat untuk itu. Jika ia tidak
memiliki dokumen-dokumen yang tepat, maka kita secara langsung siap untuk mengabaikannya.
Kita akan menjalani kehidupan kita tanpa memperdulikannya.

Karena itu, pertanyaan yang baru saja diajukan termasuk tatanan yang berbeda, karena ia tidak
berkaitan dengan kenyataan-kenyataan kemasyarakatan, melainkan bersifat normatif. Bukan
bagaimana dalam kenyataan berlangsungnya sesuatu hal, melainkan bagaimana hal itu seharusnya
(seyogianya) berlangsung, itulah yang menjadi persoalan. Karena itu juga maka penjawaban
terhadap pertanyaan normatif itu tidak dijabarkan (diderivasi) dari pengalaman, melainkan dari
kaidah. Kaidah-kaidah ini juga merupakan bagian dari hukum, dan dengan demikian juga
merupakan kaidah-kaidah hukum. Tata hukum tidak hanya terdiri atas kaidah-kaidah perilaku,
tetapi juga atas kaidah-kaidah yang menetapkan siapa yang berhak atau berwenang untuk
menetapkan dan memberlakukan kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah yang demikian, untuk
membedakannya dari kaidah-kaidah perilaku, disebut kaidah-kewenangan (bevoegdheidsnorm).
Kaidah-kaidah perilaku dan kaidah-kaidah kewenangan bersama-sama mewujudkan inti dari tata
hukum. Fungsi-fungsi pengkaidahan mereka mutlak diperlukan: fungsi dari kaidah perilaku adalah
untuk menata perilaku orang; fungsi dari kaidah kewenangan adalah untuk menetapkan siapa yang
berwenang untuk mengkaidahi perilaku orang. Suatu tata hukum tanpa kaidah perilaku tidaklah
dapat dibayangkan; hal yang sama berlaku bagi kaidah-kewenangan.

SEBUAH PENGOLAHAN.

Kaidah-kaidah hukum tidak begitu saja turun dari langit. Tidak setiap pernyataan (keputusan)
normatif adalah kaidah hukum yang begitu saja harus kita patuhi. Jika seseorang, yang untuk
gambangnya kita sebut saja A, terhadap seseorang yang lain, yang bernama B, mengatakan:
”Pergi!”, maka jelas bahwa A memberikan pernyataan yang bersifat normatif kepada B. Dengan
ucapan itu A mempunyai intensi (tujuan) untuk mempengaruhi perilaku dari B. Kita tidak akan
mengalami kesulitan untuk melihat suatu kaidah perintah dalam pernyataan dari A itu. Tetapi,
apakah kaidah perilaku yang diucapkan oleh A itu adalah juga suatu kaidah hukum yang harus
dipatuhi oleh B? Hal itu belum tentu dengan sendirinya akan begitu. ”Pergi!” adalah sebuah kaidah
hukum hanya jika orang yang telah mengucapkan putusan normatif itu mempunyai kewenangan

182
untuk melakukan hal itu. Dirumuskan lebih tajam: jika orang yang memberlakukan kaidah itu telah
melaksanakannya sesuai dengan (berdasarkan) suatu kaidah hukum yang memberikan
kewenangan untuk itu kepadanya. Misalkan bahwa A dengan kata-kata itu mengusir B dari
rumahnya karena ia tidak menyukai kunjungan B. Dalam hal itu A memiliki kewenangan untuk
menyuruh seseorang keluar dari rumahnya. Hak milik dari A memang mengimplikasikan
kewenangan yang demikian itu (bandingkan pasal 5.1.1. NBW dst). Tetapi, bagaimana jika A
duduk dalam sebuah bioskop dan di depannya duduk Ny. B yang topinya mengganggu pandangan
A. Apakah A meminta dengan ramah atau membentak nyonya itu dengan kasar, hal itu tidak ada
bedanya. Perintah yang diberikan oleh A kepada B dalam situasi itu tidak bertumpu pada suatu
kewenangan, sehingga B dapat mengabaikannya. Halnya akan berbeda jika A melibatkan
pimpinan perusahaan (manajemen) dari bioskop itu yang meminta nyonya itu untuk pindah ke
kursi lain yang memungkinkannya menonton layar perak dengan tetap memakai topinya tanpa
terganggu (atau mengganggu orang lain). Pemimpin perusahaan itu akan dapat saja mendasarkan
kewenangan untuk melakukan hal itu pada aturan rumah tangga dari bioskop itu. Nyonya B dalam
hal itu akan harus mematuhi petunjuk-petunjuk dari pemimpin perusahaan itu. Juga jika A adalah
seorang polisi dan telah menyuruh agar orang-orang yang menonton (bystanders) perkelahian
massa di jalan untuk jalan terus (menyuruh pergi), maka A dapat mendasarkan diri untuk perintah
tersebut pada suatu kaidah hukum, yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan
hal itu. Ketentuan ini dapat ditemukan dalam undang-undang tentang kepolisian. Di Belanda, pasal
28 dari Politiewet memuat landasan yuridis untuk perintah semacam itu.

Misalkan bahwa masyarakat suatu lingkungan hendak mencegah bahwa sebuah villa yang sudah
bertahun-tahun kosong diubah dan akan digunakan sebagai bordil. Lingkungan masyarakat itu
tentu saja selalu dapat mempertimbangkan usaha untuk dengan sangat menyarankan orang yang
mau membuka usaha tersebut agar membatalkan niatnya. Tetapi mereka sendiri tidak dalam
kedudukan untuk dapat menerbitkan larangan yang sah untuk menggunakan villa itu untuk
keperluan tersebut. Untuk hal itu mereka tidak memiliki kewenangan yang diakui oleh hukum.
Hanya Pemerintah Daerah setempat yang memiliki kewenangan untuk melakukan hal itu. Pemda
dapat melakukannya dengan menolak menerbitkan Surat Izin Mendirikan Bangunan yang
diperlukan untuk merehabilitasi villa itu. Berdasarkan undang-undang tentang bangunan, Pemda
memiliki kewenangan tersebut. Jika SIMB ditolak atau permohonan untuk memperoleh SIMB itu
sama sekali tidak diajukan, maka hal mendirikan atau merehabilitasi bangunan adalah dilarang
(Undang-undang ...).

Contoh-contoh ini memperlihatkan dengan jelas fungsi mengkaidahi dari kaidah-kaidah


kewenangan. Ia dapat dinyatakan dengan berbagai cara.

Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa kaidah-kaidah kewenangan memunculkan pemilahan


antara berbagai pernyataan normatif yang telah dilakukan. Mereka hanya mengidentifikasi
pernyataan-pernyataan normatif sebagai kaidah-kaidah hukum, jika mereka dinyatakan (dibuat)
sesuai dengan kaidah kewenangan. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka pernyataan normatif yang
telah dibuat itu bukanlah kaidah hukum, melainkan kaidah sembarangan yang begitu saja. Karena
itu, kaidah-kaidah kewenangan juga disebut aturan/kaidah identifikasi (identificatieregels).
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa mereka adalah aturan penerimaan (toelatingsregel). Bukankah
mereka memberikan kriteria yang berdasarkannya dapat ditetapkan apakah kaidah yang telah
dinyatakan itu dapat termasuk atau tidak termasuk ke dalam tata hukum sebagai kaidah hukum

183
atau harus hilang dari tata hukum. Mereka mencerminkan dinamika dari tata hukum, karena
mereka menentukan bagaimana tata hukum itu dapat diubah. Cara ketiga untuk
menamakan/menunjukkan fungsi mengkaidahi dari aturan-aturan kewenangan itu adalah bahwa
mereka menentukan bila kaidah-kaidah yang lain adalah kaidah-kaidah yang sah (rechtsgeldig).
Kaidah-kaidah yang ditetapkan sesuai dengan suatu kaidah kewenangan adalah sah. Jika tidak
demikian halnya, maka mereka adalah tidak sah.

SATU KEWENANGAN?

Untuk menutup perkenalan pertama tentang sifat kaidah kewenangan ini, masih harus
dikemukakan hal berikut ini. Dapat saja terjadi bahwa terdapat signal tentang adanya diskrepansi
antara penggunaan bahasa secara praktis dari para yuris (dalam suatu undang-undang atau tulisan
lain) dan bahasa formal (yang diformalkan) yang kita pergunakan di sini. Sebagaimana sudah kita
katakan dalam bab ini, kita merekonstruksi pengungkapan suatu kaidah hukum di dalam praktek
dengan maksud agar ciri-ciri esensial dari kaidah hukum dapat kita kenali lebih baik.

Di dalam praktek hukum kadang-kadang sesuatu disebut kewenangan yang pada penelaahan lebih
lanjut pada hakikatnya tidak layak untuk disebut demikian. Dalam hal ini, istilah ”kewenangan”
tidak menunjuk kemampuan untuk menciptakan kaidah yang sah, melainkan digunakan untuk
menunjuk suatu kaidah-perilaku dari tipe Pm (persetujuan/izin untuk melakukan).

Dalam Buku 5 titel 4 dari NBW, yang menyandang judul ”Kewenangan-kewenangan dan
kewajiban-kewajiban dari pemilik lahan yang bertetangga” (Bevoegdheden en verplichtingen van
eigenaars van naburige erven), pasal 5.4.10 menetapkan : ”Pemilik dari sebidang tanah pekarangan
(lahan) berwenang untuk menutupnya (memagari).” Akan segera jelas bahwa di sini, tidak
berkenaan dengan suatu kewenangan yang se-sungguhnya, dalam arti kemampuan untuk
menetapkan kaidah-kaidah. Yang dimaksud di sini adalah hal memberikan persetujuan/izin untuk
melakukan suatu perbuatan faktual (memagari lahan). Jadi, pasal 5.4.10 berkenaan dengan suatu
kaidah perilaku. Dan persetujuan/izin ini di dalam teks undang-undang dikacaukan dengan
penyebutan sebagai ”kewenangan”. ”Berwenang” (is bevoegd) dalam pasal 5.4.10 dengan
demikian berdasarkan artinya harus dibaca ”diizinkan” (is toegestaan).

Ayat 1 pasal 5.4.11 NBW memuat ketentuan yang berkenaan dengan kaidah kewenangan yang
sebenarnya. Ia berbunyi:

”leder der eigenaars van aangrenzende erven in een aaneengebouwd gedeelte van een
gemeente kan ten allen tijde vorderen dat de andere eigenaar ertoe meewerkt, dat op de
grens van de erven een scheidsmuur van twee meter hoogte wordt opgericht, (...).”

(Tiap pemilik lahan pekarangan yang berbatasan dengan lahan pekarangan orang lain dalam
bagian berbangunan dari suatu kotamadya setiap waktu dapat menuntut pemilik-pemilik lainnya
untuk ikut bekerja sama untuk mendirikan tembok pemisah pada batas-batas lahan-lahan
pekarangan itu setinggi dua meter, (...).)

184
Ketentuan ini mengimplikasikan bahwa salah satu pemilik dapat meletakkan kewajiban (vorderen)
kepada pemilik lainnya (tetangganya). ”Dapat menuntut ...” (kan ... vorderen) di sini harus
dipahami sebagai ”berwenang untuk meletakkan suatu kewajiban ...” (is bevoegd ... een piicht op
te leggen). Singkatnya, penggunaan bahasa praktis para yuris kadang-kadang sedikit menyesatkan
karena satu perkataan tertentu memiliki dua arti, dan dengan demikian bermakna ganda.
Hendaknya kita tidak dibingungkan oleh hal itu. Dengan bahasa yang kita formalkan kita berusaha
mencegah arti ganda itu. Di dalamnya, perkataan ”kewenangan” hanya mempunyai satu arti, yang
tadi sudah kita bahas: kemampuan untuk mengkaidahi secara sah. Pasal 5.4.11 NBW adalah
contohnya, tetapi pasal 5.4.10 NBW bukan.

JENIS-JENIS KEWENANGAN.

Dalam hukum dikenal berbagai kaidah kewenangan. Secara umum dibagi dalam empat kelompok:
kewenangan berdasarkan hukum publik (kewenangan publik) untuk membentuk undang-undang,
untuk menjalankan pemerintahan dan untuk melaksanakan peradilan (kewenangan kehakiman),
dan kewenangan berdasarkan hukum perdata (kewenangan perdata).

Pertama-tama kewenangan pembentukan undang-undang. Dalam undang-undang secara umum


ditetapkan kaidah-kaidah yang berlaku untuk setiap orang. Dalam tata hukum kita terdapat
sejumlah kaidah yang memberikan kewenangan kepada jabatan-jabatan pemerintahan
(overheidsambten) untuk menetapkan undang-undang (aturan = undang-undang dalam arti
materiil). Pembentuk undang-undang nasional tertinggi biasanya ditetapkan dalam Undang
Undang Dasar (Grondwet). Di Belanda tercantum dalam pasal 81 Grondwet yang menyatakan
bahwa Pemerintah (Kabinet) dan Staten Generaal bersama-sama berwenang untuk menetapkan
undang-undang. Dalam pasal 168 Gemeen-tewet ditetapkan bahwa Dewan Kotamadya
(Gementeraad) diberi kewenangan untuk menetapkan undang-undang (peraturan daerah). Di
Indonesia, pasal 5 UUD 1945 menetapkan bahwa Presiden memegang kekuasaan (seharusnya:
kewenangan) untuk menetapkan undang-undang dengan persetujuan DPR.

Dari kewenangan pembentukan undang-undang harus dibedakan (dipisahkan) kewenangan


pemerintahan (bestuursbevoegdheden). Dalam kaidah-kaidah hukum yang menetapkan
kewenangan-kewenangan pemerintahan dinyatakan bahwa jabatan-jabatan pemerintah
(overheidsambten) berwenang untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum dalam kejadian-kejadian
individual dan konkret. Contohnya adalah hal memberikan izin usaha (vergunning), pemanggilan
untuk dinas militer, memberikan atau menolak subsidi, menyatakan suatu bangunan tidak layak
huni/pakai, memberhentikan seorang pegawai negeri, dst.

Kewenangan kehakiman (rechtsprekende bevoegdheid) meliputi penyelesaian konflik dengan


menyatakan suatu putusan yang mengikat para pihak.

Yang telah dikemukakan di atas berkenaan dengan kewenangan-kewenangan publik, yakni


kewenangan untuk menyatakan hukum (mengadili), untuk menjalankan pemerintahan dan untuk
membentuk undang-undang. Akhirnya kami ingin mengemukakan bahwa kita sebagai warga
masyarakat juga memiliki kewenangan-kewenangan untuk menetapkan kaidah-kaidah, misalnya
atas dasar suatu hak milik anda dapat mengusir seseorang dari lahan tanah anda, atau atas dasar

185
suatu perjanjian kerja anda sebagai pemberi kerja (majikan) dapat menyuruh pekerja untuk
menjalankan perintah-perintah tertentu. Juga kita berwenang untuk menutup perjanjian-perjanjian,
yang dengannya kita dapat meletakkan kewajiban kepada diri sendiri terhadap orang lain, misalnya
untuk melaksanakan pekerjaan tertentu atau untuk menyewakan sebuah rumah. Kewenangan-
kewenangan terakhir ini adalah sedemikian sudah dengan sendirinya sehingga kita cenderung
untuk tidak melihatnya sebagai sesuatu yang ”yuridis”, melainkan sebagai sesuatu yang alamiah.
Namun juga di sini berkenaan dengan suatu kewenangan dalam arti yuridis yang dibicarakan di
atas. Bandingkan pasal 1 Buku 1 BW. Kewenangan-kewenangan yang disebut tadi dapat disebut
kewenangan-kewenangan perdata (private bevoegdheden).

SKEMA HOHFELD Kedua.

Dengan mengikuti pandangan Hohfeld, tentang kaidah-kaidah perilaku kami telah mengemukakan
bahwa kaidah-kaidah ini baru menjadi interesan dalam sosok relatif mereka: jika kita melihat
bahwa mereka berlaku bagi subjek-subjek kaidah dalam hubungan dengan orang-orang lain.
Keterlibatan mereka pada kaidah-kaidah perilaku diimplikasikan. Dipandang dengan cara
demikian maka kaidah-kaidah perilaku menetapkan hubungan-hubungan hukum yang di satu
pihak terdiri atas suatu kewajiban dari A terhadap B, dan yang di lain pihak dapat juga
dikemukakan sebagai suatu hak dari B terhadap A. Pemahaman ini telah membawa pada Skema
Hohfeld kita yang pertama.

Jalan pikiran yang sama telah menginspirasi Hohfeld pada analisisnya tentang kaidah-kaidah
kewenangan, yang ia sebut sebagai ”competence” (kompetensi). Juga kompetensi-kompetensi
memperlihatkan suatu sosok relatif. Kewenangan dari A (subjek kaidah dari kaidah kewenangan)
untuk menetapkan kaidah-kaidah x, mengandaikan eksistensi (potensial) dari B, subjek-kaidah
dari kaidah-kaidah x yang ditetapkan atau akan dite-tapkan oleh A. Dengan demikian kewenangan
dari A mengimplikasikan bahwa B ditundukkan pada kewenangan ini. Penundukan
(onderworpenheid) ini mengandung arti bahwa B harus menyesuaikan diri pada kaidah-kaidah
hukum yang diberlakukan atau akan diberlakukan oleh A sesuai dengan kewenangannya.

Berhadapan dengan kewenangan dari A untuk menetapkan kaidah-kaidah bagi B, dengan


demikian, terdapat wajib-patuh (kewajiban untuk mematuhi) dari B terhadap A. Wajib-patuh atau
penundukan ini oleh Hohfeld disebut ”subjection” (subjeksi).

Marilah kita isi A dan B dengan melihat suatu kaidah kewenangan yang ada.

Pasal 81 Undang Undang Dasar Belanda menetapkan bahwa Pemerintah dan Staten-Generaal
bersama-sama berkewenangan untuk menetapkan dan memberlakukan undang-undang. Dalam hal
ini maka Pemerintah dan Staten-Generaal adalah A. Siapakah yang sekarang adalah B? Karena
undang-undang memuat kaidah-kaidah umum yang berlaku untuk setiap orang, maka B di sini
adalah: tiap orang. Dinyatakan secara lebih spesifik: semua yang berada di dalam wilayah Belanda.
Tiap orang, jadi juga kita sebagai penulis dan pembaca buku ini, dengan demikian ditundukkan
pada kewenangan membentuk undang-undang dari Pemerintah dan Staten-Generaal. Kita harus
menghormati dan menyesuaikan perilaku kita pada undang-undang ini.

186
Pasal 6.d. dari Undang-undang tentang Panti Wreda menetapkan bahwa Gedeputeerde Staten
berkewenangan untuk memberikan keterangan tidak berkeberatan kepada pengelola panti wreda.
Tanpa keterangan ini maka dilarang untuk membangun dan mengelola suatu panti wreda, demikian
pasal ini menambahkan dengan nada mengancam. Pasal ini dengan itu menetapkan suatu kaidah
kewenangan dan sekaligus suatu hubungan hukum. Gedeputeerde Staten (A) dinyatakan
berkewenangan terhadap pengelola panti wreda untuk meniadakan suatu larangan (=
mengizinkan). Berdasarkan kaidah ini maka para pengelola panti wreda (B) ditundukkan pada
kewenangan dari Gedeputeerde Staten (A).

Perhatikan, kedudukan hukum dari B adalah ”subjection” dalam hubungannya dengan A yang
memiliki ”competence”. Kita telah menterjemahkan ”subjection” dengan wajib patuh. Wajib patuh
atau penundukan ini menyandang sifat yang sangat berbeda katimbang suatu wajib berperilaku
(gedragsplicht) dari Skema Hohfeld Pertama atau Segiempat Oposisi Kaidah. Contoh berikut dapat
memberikan kejelasan.

Misalkan bahwa dalam suatu tata hukum terdapat sebuah kaidah yang menetapkan bahwa semua
warga masyarakat diharuskan untuk mematuhi semua perintah dari polisi. Kaidah ini menetapkan
suatu hubungan hukum antara polisi dan para warga masyarakat, yang berdasarkannya polisi
memiliki kewenangan untuk memberikan perintah-perintah dan para warga masyarakat berada
pada kedudukan hukum wajib tunduk. Apa isi dari penundukan diri ini, perintah-perintah apa yang
harus mereka patuhi, baru akan menjadi jelas jika polisi menggunakan kewenangannya dan dengan
tindakan nyata memberikan perintah. Perintah-perintah ini dapat memuat kaidah-kaidah perilaku
seperti perintah yang berbunyi: ”jalan terus!” atau ”berhenti!”; mereka dapat juga
mengimplikasikan suatu kaidah kewenangan, jika seorang polisi memberikan tugas kepada
seorang warga masyarakat untuk membantunya sehingga ia (warga masyarakat itu) juga boleh
memberikan perintah-perintah. Dalam penggunaan/penerapan suatu kewenangan maka wajib-
patuh itu dioperasionalkan. Operasionalisasi terjadi dengan menetapkan kaidah-kaidah perilaku
atau kaidah-kaidah kewenangan. Sebelum saat itu, sesungguhnya wajib-patuh itu sudah ada namun
masih dalam keadaan tidur. Pada saat itu belum ada wajib-perilaku (gedragsplicht); wajib-perilaku
itu hanya mungkin ada sebagai akibat dari penerapan kewenangan (bevoegdheidsuitoefening).

Juga tentang kaidah-kaidah kewenangan, Hohfeld bertolak dari pandangan bahwa aspek positif
dari suatu kewenangan mengenal aspek negatif sebagai lawannya, yakni ketidak-berwenangan
(onbevoegdheid). Kedudukan hukum ini disebutnya ”disability”. Dan sebagai negasi dari
”subjection” ia menggunakan pengertian ”immunity”, yang dapat kita ungkapkan dengan
perkataan imunitas (kedudukan tidak terkena aturan/kewajiban). Ketidakberwenangan A terhadap
B adalah korelat (pasangan) dari imunitas B terhadap A.

Apa yang dimaksud di sini dapat dijelaskan dengan lebih baik, jika kita menalar dari pengertian
imunitas. Seorang pribadi adalah imun terhadap kaidah-kaidah hukum dari orang lain, jika kaidah-
kaidah ini tidak berlaku baginya. Dalam beberapa hal kebebasan pers berdasarkan konstitusi
memberikan imunitas demikian (di Belanda: pasal 7 Grondwet). Misalkan Pemda Kotamadya
melarang untuk pada Sabtu siang mengedarkan barang cetakan, karena hal itu dapat menyebabkan
ketertiban umum terganggu. Jika seorang hakim berhadapan dengan seorang pelanggar terhadap
larangan itu, maka sudah dapat dipastikan bahwa ia akan memutuskan bahwa peraturan daerah itu
tidak mengikat, dan bahwa pelanggarnya dibebaskan dari tuntutan. Sebab larangan demikian itu

187
bertentangan dengan pasal 7 Grondwet yang melarang sensor terhadap pers. Bagi seorang penulis,
pasal konstitusi itu memberikan suatu imunitas. Kita juga dapat mengatakan bahwa suatu Pemda
Kotamadya tidak berkewenangan untuk memberlakukan larangan demikian. Bagi Pemda itu
berlaku suatu ”disability”.

Uraian di atas memunculkan kerangka umum dari Skema Hohfeld yang kedua.

Skema Hohfeld Kedua

Competence < ----- > Subjection


(kompetensi) (penundukan diri)

| |
| |
| |

Disability < ----- > Immunity


(ketidakberwenangan) (imunitas)

STRUKTUR DASAR DARI KEWENANGAN

Analisis terhadap kaidah-kaidah kewenangan memperlihatkan bahwa pada kaidah-kaidah itu juga
ditemukan unsur-unsur yang sama yang ada pada kaidah-kaidah perilaku. Struktur dasar dari
kaidah-kaidah kewenangan tersusun atas unsur-unsur berikut:

 subjek-kaidah, yang di dalamnya ditentukan siapa yang dinyatakan berkewenangan;


 objek-kaidah, yang dengannya diungkapkan berkenaan dengan memberlakukan kaidah-
kaidah apa kewenangan itu berkaitan;
 modalitas-kaidah, yang di dalamnya dikemukakan jenis modus keharusan terhadap objek-
kaidah.

Tiga unsur ini bersama-sama mewujudkan ketentuan akibat hukum dari kaidah kewenangan.
Modalitas-kaidah dari kaidah-kewenangan, kewenangan itu, mencakup untuk menyatakan bahwa
kaidah yang ditetapkan sesuai dengan kaidah kewenangan adalah secara yuridis berlaku
(rechtsgeldig) dan dapat disebut sebagai kaidah hukum. Dengan itu maka kaidah kewenangan itu
berfungsi sebagai kaidah-identifikasi (identificatieregel) atau kaidah-penerimaan (toelatingsregel).
Dalam hal ini, kaidah-kewenangan berbeda secara prinsipiil dari kaidah-perilaku yang menetapkan
izin (persetujuan). Izin memperbolehkan dilakukannya suatu perilaku tertentu yang tanpa izin
tersebut dilarang untuk dilakukan. Kewenangan memberikan predikat berlaku (sah) secara hukum
pada kaidah yang ditetapkan yang tanpa kaidah-kewenangan itu tidak akan diberikan pada kaidah
tersebut. Walaupun tidak ada suatu kaidah-kewenangan, namun tetap dimungkinkan, dengan
demikian setiap orang bebas dan setidaknya secara hukum tidak dilarang, untuk memberlakukan
(menetapkan) suatu kaidah. Kaidah yang dihasilkannya memang adalah sebuah kaidah, namun ia
bukan kaidah hukum. Karena itu ia tidak dimasukkan ke dalam tata hukum.

188
Sebagai komponen keempat dari struktur dasarnya dapat ditunjuk sifat kondisional dari kaidah-
kewenangan. Kondisi-kaidah atau uraian peristiwa hukum memberikan suatu indikasi dari subjek-
kaidah dengan menguraikannya. Ia juga mengandung suatu karakterisasi lebih lanjut dari objek-
kaidah dengan menggariskan berkenaan dengan kaidah-kaidah apa yang secara berkewenangan
dapat ditetapkan. Akhirnya dalam banyak hal ia menambahkan pada dua syarat terdahulu kondisi-
kondisi adisional yang harus dipenuhi jika diinginkan bahwa kewenangan itu dilaksanakan secara
sah menurut hukum atau, dirumuskan dengan cara lain, jika diinginkan bahwa akibat hukum dari
kewenangan itu dapat diterapkan.

Sama seperti pada kaidah-kaidah perilaku, juga kaidah-kaidah kewenangan dapat ditelusuri balik
sampai pada suatu struktur dasar yang tersusun atas suatu uraian dari peristiwa hukum yang
padanya terkait suatu ketentuan tentang akibat hukum:

Jika uraian peristiwa hukum dipenuhi, maka berlaku bahwa ketentuan dari akibat hukum dapat
diterapkan.

Hanya dalam hal itu pelaksanaan suatu kewenangan dapat menghasilkan akibat hukum yang
dikehendaki: suatu kaidah yang sah secara hukum (een rechtsgeldige norm).

Sebuah contoh untuk mengkonkretisasi abstraksi ini.

Pasal 12a ayat 1 Wet op de bejaardenoorden (Undang-undang Panti Wreda) berbunyi:

”Gedeputeerde staten menentukan bahwa suatu panti wreda harus ditutup atau bahwa
kapasitas suatu panti wreda harus diturunkan, jika hal ini diperlukan untuk
melaksanakan rencana itu.”

Sekedar untuk penjelasan, yang dimaksud dengan rencana di sini adalah rencana yang ditetapkan
oleh ”provinciale staten” yang di dalamnya ditetapkan penyebarluasan secara provinsial dan
kapasitas yang diizinkan dari panti-panti wreda.

Rekonstruksi dari kaidah kewenangan ini dengan mengikuti struktur dasar kondisional yang kami
ajukan akan memberikan hasil berikut:

Jika dipenuhi syarat-syarat berikut: suatu kaidah-perilaku telah ditetapkan dengan isi suatu
perintah untuk menutup atau mengurangi kapasitas, ditujukan pada pengelola suatu panti wreda,
dan kaidah ini ditetapkan oleh gedeputeerde staten, dan pemberlakuan perintah ini diperlukan
untuk melaksanakan rencana itu, maka berlaku: gedepuuterde staten berkewenangan untuk
menetapkan dan memberlakukan perintah demikian itu.

Arti dari kewenangan dalam ketentuan akibat hukum dari pasal 12a ayat 1 itu adalah bahwa kaidah
yang ditetapkan dan diberlakukan yang mewajibkan suatu panti wreda ditutup atau mengurangi
kapasitas adalah sah secara hukum (rechtsgeldig). Karena itu, ketentuan dari akibat hukum yang
di dalamnya kewenangan itu dinyatakan, juga dapat diganti dengan kalimat:

189
..., maka berlaku bahwa perintah yang ditetapkan itu sah secara hukum.

Jika kita menerapkan Skema Hohfeld Kedua pada kaidah-kewenangan ini, maka kaidah-
kewenangan itu tanpa kehilangan maknanya dapat diganti dengan kaidah yang menetapkan suatu
kewajiban mematuhi (wajib patuh) berikut ini:

Jika gedeputeerde staten menetapkan bahwa suatu panti wreda harus ditutup atau bahwa kapasitas
suatu panti wreda harus dikurangi, satu dan lain hal diperlukan demi terlaksananya rencana itu,
maka para pengelola panti wreda berkewajiban untuk melakukan hal itu.

ASPEK PERILAKU DARI KEWENANGAN.

Kaidah-kaidah kewenangan dan kaidah-kaidah perilaku harus dibedakan secara tajam. Hal ini dari
uraian terdahulu sudah jelas. Sehubungan dengan kemungkinan tentang hal itu akan timbul lagi
kesalah pahaman, maka kita masih harus mengemukakan suatu faktor yang menimbulkan
komplikasi. Sesungguhnya komplikasi ini sudah ada di depan kita. Sebab, jika kita misalnya
menerima bahwa seseorang atau suatu jabatan memiliki suatu kewenangan, maka dengan cepat
akan muncul pertanyaan apakah orang ini atau jabatan ini harus menggunakan kewenangannya
atau tidak. Dalam hal pertama maka terdapat suatu kewajiban untuk menggunakan kewenangan
itu (Om). Dalam hal terakhir, orang atau jabatan yang memiliki kewenangan itu boleh
menggunakan kewenangannya itu, tetapi juga boleh untuk tidak menggunakannya. Dengan
demikian terdapat kebebasan untuk menggunakan kewenangan itu (Pm^P-m). Pandangan ini
membawa kita pada pemahaman bahwa pada kaidah-kaidah kewenangan juga selalu terkait suatu
aspek perilaku. Aspek perilaku ini berkaitan dengan hal menggunakan kewenangan itu. Ia dapat
dinyatakan dalam suatu kaidah hukum dari tipe Om, tetapi juga terdapat kemungkinan untuk
dinyatakan dalam bentuk Pm^P-m.

Inti dari kaidah-kewenangan itu juga tidak tercakup dalam satu dari kedua perumusan dari kaidah
perilaku. Sebab, pada kaidah-kewenangan dalam hakikatnya tidak berkenaan dengan
memerintahkan atau membolehkan dilakukannya suatu perilaku tertentu, tetapi berkenaan dengan
memberikan suatu kemampuan untuk secara yuridis sah menetapkan kaidah-kaidah. Aspek
keberlakuan secara sah menurut hukum menempati kedudukan sentral. Jika suatu kaidah-
kewenangan sudah memberikan kemampuan ini kepada seseorang atau suatu jabatan, maka baru
timbul pertanyaan yang mengikutinya tentang bagaimana pengaturan mengenai hal pelaksanaan
dari kewenangan tersebut (aspek perilaku). Kaidah-perilaku yang di dalamnya dinyatakan aspek
perilaku ini mengikuti di belakang seperti bayangan dari kaidah-kewenangan itu.

Biasanya aspek perilaku ini sudah dimasukkan dalam perumusan dari kewenangan ini dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dan untuk itu tidak disediakan secara khusus
kaidah hukum terpisah. Untuk mengilustrasikan hal ini diberikan dua contoh berikut.

Pertama-tama kita munculkan kembali dalam ingatan kita pasal 12a ayat 2 Undang-undang Panti
Wreda Belanda. Di dalamnya antara lain gedeputeerde staten dinyatakan berkewenangan untuk
memaksa suatu panti wreda ditutup jika hal ini mutlak diperlukan demi pelaksanaan rencana. Dari

190
ketentuan ini juga dapat dijabarkan aspek perilaku dari kewenangan itu. Ini meliputi bahwa
gedeputeerde staten berkewajiban untuk mewajib-kan suatu panti wreda ditutup, jika hal ini
diperlukan demi pelaksanaan suatu rencana (Om).

Contoh kedua diambil dari pasal 5.4.16a NBW, yang berbunyi:

”Jika oleh ancaman akan robohnya suatu bangunan atau pekerjaan, suatu pekarangan
yang bertetangga dibahayakan, maka pemilik dari pekarangan itu setiap saat dapat
menuntut bahwa dilakukannya tindakan-tindakan untuk meniadakan bahaya tersebut.”

Juga di sini dinyatakan suatu kewenangan. Kaidah-perilaku yang diimplikasikannya berbunyi


bahwa pemilik memiliki kebebasan untuk menuntut dilakukannya tindakan-tindakan demikian
kepada tetangganya (Pm^P-m). Ia berkenaan dengan tetangganya itu diperbolehkan untuk
menggunakan kewenangannya, tetapi ia tidak harus melakukannya. Pasal 5.4.16a tidak
mewajibkan sesuatu.

Dalam contoh pertama kita berurusan dengan apa yang dinamakan kewenangan-publik. Kaidahnya
adalah bahwa suatu kewenangan-publik mengimplikasikan suatu kewajiban-publik. Contoh kedua
memuat suatu kewenangan-perdata. Dan untuk itu pada umumnya berlaku aturan bahwa
kewenangan ini dapat digunakan dalam kebebasan.

KAIDAH-KAIDAH MANDIRI DAN KAIDAH-KAIDAH TIDAK MANDIRI.

Kaidah-kaidah kewenangan dan kaidah-kaidah perilaku disebut juga kaidah-kaidah hukum


mandiri (zelfstandige rechtsnormen). Mereka memiliki makna secara mandiri (karena dirinya
sendiri). Dalam kedua tipe utama dari kaidah-kaidah hukum itu tampil fungsi sentral dari tata
hukum: meregulasi perbuatan-perbuatan dari orang-orang dalam hubungan antara yang satu
dengan yang lainnya. Kaidah-kaidah perilaku melakukannya dengan menetapkan kewajiban
melakukan suatu perbuatan atau justru mengizinkannya; kaidah-kaidah kewenangan memberikan
ketentuan yang menetapkan kapan suatu kaidah yang ditetapkan untuk perbuatan tersebut adalah
kaidah hukum yang terhadapnya orang-orang lain harus tunduk. Itu sebabnya di muka kita
mengemukakan bahwa kedua kaidah itu bersama-sama mewujudkan inti (de kern) dari tata hukum.

Di samping itu di dalam tata hukum terdapat banyak kaidah-kaidah hukum yang dapat disebut
tidak mandiri (onzelfstandig). Kaidah-kaidah tidak mandiri ini mengandung pemaparan perbuatan-
perbuatan, keadaan-keadaan, kejadian-kejadian, sifat-sifat pribadi dan lugas dan sejenisnya, tanpa
menyatakan suatu kaidah perilaku atau kaidah kewe-nangan. Dengan pemaparan dalam kaidah
hukum apa yang dipaparkan itu memperoleh suatu sifat normatif. Pada dirinya sendiri makna
mengkaidahi (normerende betekenis) dari kaidah-kaidah ini adalah tidak pasti. Apa artinya bagi
anda misal pernyataan dalam pasal 1b dari Undang-undang Panti Wreda Belanda bahwa seorang
wredawan adalah orang yang berusia 65 tahun atau lebih tua. Apa arti yang lebih dalam dari pasal
1c undang-undang yang sama yang di dalamnya tertulis bahwa yang dimaksud dengan suatu panti
wreda adalah: ”suatu lembaga (een inrichting) yang di dalamnya diberikan kepada sekurang-
kurangnya lima wredawan perumahan untuk jangka waktu lama disertai dengan pemeliharaan
untuk keseluruhannya atau untuk sebagian”? Nah, mereka baru memperoleh maknanya jika

191
kaidah-kaidah ini dikombinasikan dengan kaidah-kaidah hukum mandiri. Baru dengan demikian
akan tampak bahwa kaidah-kaidah tidak mandiri mengandung uraian lebih lanjut (penjabaran) dari
apa yang dalam garis besar (in rudimentaire vorm) tercantum dalam uraian peristiwa hukum dari
kaidah mandiri itu. Kaidah-kaidah hukum tidak mandiri mengandung, dikatakan secara umum,
suatu penjabaran lebih lanjut dari kaidah-kaidah hukum mandiri. Mereka melengkapi uraian
peristiwa hukum dari kaidah-kaidah hukum mandiri dengan jalan memperinci, mende-finisikan,
mengkhususkan, dsb. Dalam contoh dari pasal 1b dan 1c dari Undang-undang Panti Wreda itu
diberikan definisi yang persis tentang apa yang harus diartikan dengan seorang wredawan. Aturan
ini memperoleh maknanya dari misalnya pasal 6h ayat 2 dari Undang-undang Panti Wreda itu yang
di dalamnya ditetapkan bahwa menampung orang lain yang bukan wredawan dalam panti wreda
adalah dilarang. Pada keterkaitan dengan kaidah hukum mandiri dari pasal 6h ini mereka baru
memperoleh makna normatifnya. Karena makna normatif mereka tergantung pada kaidah hukum
mandiri yang bagi kaidah-kaidah mandiri tersebut mereka memuat ketentuan-ketentuan lebih
lanjut, maka mereka disebut tidak mandiri.

Sejumlah sifat-sifat/keadaan-keadaan pribadi (persoonlijke hoedanigheden) diatur di dalam


hukum perdata; di bawah umur, perwalian, kuratele, akhli waris dsb. Kaidah-kaidah hukum lain
mengaitkan pada keadaan-keadaan ini berbagai akibat hukum. Demikianlah, akhli waris diberikan
hak-hak tertentu, wali dan kurator memiliki kewenangan-kewenangan tertentu dan perbuatan
hukum yang dilakukan oleh orang di bawah umur dapat dibatalkan yang ketidak sahannya dapat
dimintakan oleh wakilnya yang sah.

Sifat dan fungsi melengkapi dari kaidah-kaidah hukum tidak mandiri dapat kita perlihatkan dengan
menunjuk pada tipe kaidah-kaidah tidak mandiri yang penting, yakni kaidah-organisasi
(organisatienorm).

Kaidah-kaidah organisasi adalah kaidah-kaidah hukum yang menetapkan penyusunan dan


penataan suatu jabatan. Dalam kaidah-kaidah kewenangan sering jabatan pemerintahan
(overheidsambt) ditunjuk sebagai subjek-kaidah. Kita misalnya mengenal jabatan-jabatan
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kotamadya/Kabupaten, Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat, sebagai jabatan-jabatan yang berwenang (bevoegde ambten). Dalam kaidah-
kaidah kewenangan ini dibangun lebih jauh berdasarkan keberadaan kaidah-kaidah organisasi
yang demikian itu yang memuat penunjukan-penunjukan lebih lanjut tentang apa yang harus
diartikan dengannya. Undang Undang Dasar untuk bagian terbanyak terdiri atas kaidah-kaidah
hukum ini. Ia memuat ketentuan-ketentuan tentang apa yang harus diartikan dengan Pemerintah,
bagaimana jabatan itu tersusun (Kepala Negara dan para menteri) dan kaidah-kaidah apa yang
berlaku bagi Kepala Negara dan para menteri. Undang Undang Dasar juga mengatur penataan,
penyusunan dan cara kerja Dewan Perwakilan Rakyat. Memuat aturan-aturan organisasi yang
terinci dalam suatu undang-undang hanya ada maknanya jika juga dilengkapi dengan pengaturan
tentang apa yang dilakukannya dengan itu. Juga hanya akan ada maknanya jika jabatan-jabatan ini
muncul dalam kaidah-kaidah hukum mandiri, misalnya sebagai jabatan yang berwenang. Jadi,
kaidah-kaidah hukum mandiri mengandaikan keberadaan kaidah-kaidah organisasi, sedangkan
kaidah-kaidah organisasi disusun berdasarkan pengetahuan bahwa mereka diperlukan untuk
menyempurnakan atau mewujudkan kaidah-kaidah hukum mandiri. Mereka saling membutuhkan
secara bertimbal balik.

192
Analisis tentang kaidah hukum di atas dapat kita akhiri dengan merangkumnya dalam skema
berikut.

Skema Kaidah-kaidah hukum

Kaidah-kaidah Hukum
|
|

| |
| |
Kaidah Mandiri Kaidah Tidak Mandiri
| *organisasi
| *lain-lain
|

| |
| |
Kaidah Perilaku Kaidah Kewenangan

*larangan *kewenangan - penundukan diri


kewajiban - hak
*perintah

*izin *ketidakberwenangan - imunitas


kebebasan – tidak ada hak
*pembebasan
(dispensasi)

193
Lampiran 8

HUKUM DAN MORALITAS

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar perkataan baik dan buruk, benar dan salah,
adil dan tidak adil. Perkataan-perkataan tersebut telah digunakan dalam pelbagai pengertian dan
pada pelbagai peringkat (level of thinking). Di dalam kerangka suatu sistem aturan-aturan hukum
positif yang ada, perkataan baik, benar dan adil berarti sesuai dengan hukum atau sah (lawfull),
dan dengan sendirinya perkataan buruk, salah dan tidak adil berarti melawan hukum atau tidak sah
(unlawfull). Namun kitapun melihat bahwa perkataan-perkataan yang sama juga digunakan untuk
menguji atau menilai kenyataan yuridis tertentu sebagai hal yang baik atau buruk, misalnya
kenyataan yang berupa aturan-aturan hukum positif dan bahkan keseluruhan sistem hukum. Jadi,
tampaknya ada suatu kriteria atau suatu peringkat pemikiran di luar sistem hukum dari mana kita
dapat menguji nilai dari realitas yuridis tertentu. Artinya, dengan kriteria atau peringkat pemikiran
itu kita dapat menetapkan nilai positif dan negatif pada kenyataan yuridis tertentu, misalnya aturan
hukum positif atau sistem hukum positif tertentu. Berdasarkan kriteria atau peringkat pemikiran
itu, misalnya, kita dapat menilai bahwa perbuatan tertentu yang tidak melanggar kaidah hukum
positif sebagai perbuatan yang salah. Berdasarkan patokan tersebut kita dapat menilai bahwa
aturan hukum tertentu adalah tidak adil, misalnya aturan hukum di Inggeris yang berlaku hingga
akhir abad 18 yang menghukum pencurian kecil dengan hukuman mati. Demikian juga kita dapat
menilai suatu sistem hukum tertentu sebagai sangat memuakkan karena membinasakan atau
mendiskriminasi kelompok etnis minoritas. Pertanyaannya adalah : sudut pandangan atau kriteria
atau peringkat pemikiran yang mana yang dapat digunakan untuk menilai kebaikan dan keadilan
dari aturan serta sistem hukum tertentu. Dengan perkataan lain, di mana dan bagaimana kita dapat
menemukan kriteria fundamental untuk menetapkan apakah suatu aturan hukum positif baik dan
adil dalam pengertian yang radikal. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan menunjuk pada
aturan hukum positif atau sistem hukum positif yang lain, karena pertanyaan yang sama dapat
diajukan terhadap aturan hukum positif atau sistem hukum yang digunakan untuk menilai aturan
hukum positif dan sistem hukum tadi. Aliran Positivisme Hukum memang hanya mau
mendasarkan diri pada sistem hukum positif itu sendiri. Secara ekstrim aliran Positivisme Hukum
akan mengatakan : ”Kita harus mematuhi (kaidah) hukum karena ia adalah (kaidah) hukum.”
Aliran ini menolak semua sikap dan refleksi secara kritis terhadap sistem yang ada dan asas-asas
hukumnya yang dominan. Namun sebenarnya suatu Filsafat Hukum tidak dapat mendasarkan diri
pada suatu hukum positif atau sistem aturan hukum positif; sebab, dengan cara demikian maka
Filsafat Hukum akan menyangkal dirinya sendiri sebagai suatu usaha untuk berpikir secara radikal.

Peringkat analisis yang fundamental untuk menentukan baik buruknya aturan atau sistem hukum
adalah peringkat analisis moral. Disiplin filsafat yang mempelajari kategori pada peringkat moral
ini adalah ETIKA (Ethics). Pengertian baik secara moral adalah konsep yang lebih luas dari
pengertian keadilan secara moral. Konsep keadilan berkaitan dengan bagian dari kehidupan
manusia yang bersifat sosial dan terstruktur sebagai suatu kerangka (network) dari hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, dan karena itu diatur oleh aturan-aturan ”hukum non positif” yang
memperlihatkan kesamaan dengan aturan-aturan hukum positif. Sistem aturan-aturan hukum

194
positif itu dibangun berdasarkan aturan-aturan non positif itu. Beberapa teori Etika
memperlakukan atau memandang bagian dari moralitas ini, yakni aturan-aturan non positif itu
sebagai suatu sistem Hukum Alam (Natural Law). Istilah Hukum Alam ini digunakan untuk
membedakannya dari Hukum Positif yang harus dikendalkan dan diuji oleh hukum pra-positif
yang lebih fundamental itu, yang menurut teori-teori Etika itu dapat ditemukan dalam kodrat
manusia (human nature).

Suatu teori tentang keadilan secara moral yang lengkap akan memunculkan unsur-unsur dan
kondisi-kondisi yang perlu bagi suatu kehidupan manusia yang sungguh-sungguh adil. Teori yang
demikian akan meliputi :

1. tentang perilaku pribadi-pribadi individual yang adil. Ini adalah teori tentang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban setiap individu terhadap individu yang lain dan terhadap kolektivitas
(masyarakat) ke dalam mana ia dan mereka termasuk.
2. tentang kehidupan yang adil dan struktur kolektivitas manusia seperti kelompok, komunitas
(paguyuban), bangsa, negara dsb.

Teori keadilan dalam pengertian yang kedua ini adalah teori tentang aspek-aspek normatif dari
suatu kehidupan sosial sebagai suatu kegiatan kolektif. Teori keadilan ini mencoba merumuskan
suatu jenis masyarakat yang ideal. Meskipun demikian, teori ini akan berusaha juga untuk
mempertautkan gagasan-gagasannya dengan kondisi-kondisi empiris dari situasi faktual ke dalam
mana gagasan masyarakat ideal itu hendak diwujudkan. Aspek kedua dari teori keadilan ini
kadang-kadang dipandang sebagai bagian dari Etika. Teori ini dapat juga dipandang sebagai teori
normatif dari Filsafat Sosial yang meliputi juga Filsafat Hukum yang normatif, misalnya dalam
bentuk suatu teori tentang Hukum Alam.

Sudah kita pelajari bahwa kriteria untuk mengevaluasi hukum positif dapat ditemukan dalam
peringkat berpikir moralitas. Peringkat analisis moralitas ini dapat dipahami dengan dua cara,
yakni :

1. Aturan-aturan hukum dapat dipandang secara kritis berdasarkan kaidah-kaidah kesusilaan


yang dominan. Kesadaran kesusilaan ini meliputi opini faktual, kebiasaan dan apresiasi
tentang aturan-aturan dan nilai-nilai dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini, moralitas
dari seseorang, dari kelompok atau suatu bangsa secara empiris dapat diobservasi dan
dipaparkan sebagai suatu fakta dengan metoda-metoda sosiologi dan psikologi. Walaupun
demikian, moralitas yang hidup dalam suatu masyarakat juga harus dievaluasi berdasarkan
asas-asas dan kriteria yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa suara dari masyarakat bukanlah
kata akhir dalam menentukan : ”Apa yang baik (adil) itu dan apa yang jelek (tidak adil) itu
?”

2. Suatu evaluasi yang radikal berdasarkan kriteria yang tertinggi tentang baik dan adil hanya
dimungkinkan berdasarkan pengetahuan yang sejati tentang apa yang secara moral sungguh-
sungguh baik dan adil. Pertanyaan fundamental dalam Etika adalah : bagaimana pengetahuan
yang demikian itu dapat dicapai. Apakah pengetahuan yang demikian itu merupakan hasil
dari suatu studi yang lama dan/atau pengalaman (penghayatan) yang serius ? Apakah ia
diperoleh melalui meditasi atau pemahaman secara orisinal (original insight) berdasarkan

195
intuisi ? Apakah pengetahuan itu diwahyukan lewat agama tertentu atau dijabatkan dari
hakikat manusia ? Atau dapatkah ia dideduksi dari kebenaran-kebenaran moral dan non-
moral lain yang lebih sederhana ? Pertanyaan-pertanyaan tadi adalah pertanyaan-pertanyaan
tentang landasan yang mempersoalkan landasan dari Etika. Terkait pada landasan etika ini
adalah landasan dari hak-hak manusia sebagai bagian dari suatu teori tentnag keadilan yang
juga merupakan bagian dari suatu Filsafat Hukum.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, kita perlu mempelajari beberapa asas dari keadilan
sebagai berikut :

a. Asas keadilan yang menyatakan bahwa setiap manusia individu harus dihormati dan
diperlakukan sebagai suatu nilai yang mutlak (absolute value), atau seperti dikatakan oleh
Kant : manusia harus dipandang sebagai suatu tujuan dalam dirinya sendiri. Karena itu,
manusia tidak dapat direduksi atau diperlakukan sebagai sarana atau suatu unsur dari suatu
realitas atau kenyataan yang lain. Individu harus dipandang sebagai subjek. Doktrin tentang
hak-hak manusia yang tidak dapat diasingkan (inalienable rights) sebenarnya bertumpu pada
asas yang memandang manusia sebagai nilai mutlak. Asas atau doktrin tadi misalnya
dinyatakan dalam ungkapan : kemerdekaan dan persamaan (Liberty, Equality).

b. Asas bahwa setiap individu seyogyanya mendukung (mengabdi) masyarakat sebagai suatu
keseluruhan yang mendukung dan mengabdi kehidupan serta kesejahteraan mereka
(manusia individu selalu hidup dalam masyarakat).

c. Asas yang menyatakan bahwa kolektivitas (masyarakat) seyogyanya membagi kekayaannya


dengan cara yang tidak memberikan privilese (hak istimewa) pada sekelompok orang dan
mendiskriminasi yang lain secara sewenang-wenang. Asas ini telah dibahas secara luas oleh
John Rawls dalam bukunya ”The Theory of Justice”. Asas-asas tentang hak yang
fundamental yang melekat pada setiap individu dengan cara yang tidak dapat diasingkan dari
padanya berpangkal pada otonomi atau kebebasan manusia yang radikal.

Sudah dikemukakan bahwa manusia adalah subjek yang merupakan tujuan dalam dirinya sendiri.
Ini berarti bahwa manusia adalah suatu pribadi. Sebagai pribadi, manusia individu itu memiliki
kepribadian atau ke-diri-an (selfhood).

Jika benar manusia itu memiliki atau ditandai oleh kedirian, maka manusia individu itu harus
diakui dan diperlakukan sebagai demikian oleh setiap orang yang mampu memahami hal itu. Ini
berarti bahwa setiap manusia harus dipandang sebagai pusat dunia yang mempunyai hak penuh
untuk menjadi dirinya sendiri atau menjadikan dirinya sendiri.
Karena itu juga setiap manusia harus dipandang mempunyai hak untuk mengembangkan dirinya
melalui interaksi dengan dunia beserta dengan segala isinya, yakni unsur-unsur, benda-benda,
tanaman, binatang, sesama manusia, planet-planet dan sebagainya.

Setiap individu mempunyai hak dasar untuk menjalani kehidupannya sebagai kehidupannya
sendiri. Jadi, setiap individu adalah miliknya sendiri. Dengan demikian, maka semua hak dari
manusia hanyalah bentuk-bentuk kehadiran atau aspek-aspek dari hak dasar ini. Penampilan utama
dari hak dasar ini adalah kemerdekaan secara fundamental atau otonomi (kemampuan untuk

196
mengambil keputusan sendiri). Tentu saja kenyataan bahwa setiap individu adalah pusat-pusat
yang memiliki otonomi dalam bertingkahlaku dan berinteraksi dengan sendirinya akan
menimbulkan masalah, yakni bagaimana semua pusat-pusat dunia ini dapat dipersatukan ke dalam
suatu keseluruhan ? Apakah pusat-pusat itu tidak saling berkonflik, sehingga suatu peperangan
antara setiap orang melawan setiap orang (universal war) ? Peperangan yang demikian hanya dapat
dihindarkan, jika pribadi-pribadi yang egois itu mau mengurangi egoismenya dengan kesediaan
untuk mengikhlaskan ruang hidup bagi ego-ego yang lain, yang juga pada dasarnya egoistis.
Karena itu, suatu masyarakat yang damai hanya mungkin terwujud jika setiap orang menghormati
setiap orang lain yang memiliki hak yang sama, atau masyarakat sebagai suatu keseluruhan,
misalnya dalam bentuk negara, memaksakan keharusan saling menghormati itu dengan suatu
sistem sosial tertentu, misalnya dengan sistem aturan-aturan hukum yang merumuskan dan
menerapkan hak-hak yang sama itu.

Dengan demikian, hak-hak itu pada hakikatnya adalah suatu pengaturan di mana kemerdekaan
yang satu dihormati dan dibatasi oleh kemerdekaan dari yang lain-lain. Dipandang dari sudut ini,
maka keadilan adalah harmonisasi (rekonsiliasi) dari keseluruhan pusat-pusat yang berusaha
merealisasikan dirinya sendiri. Karena itu juga, ”perdamaian” berarti akhir atau tercegahnya suatu
anarkhi egoistis.

Dari apa yang sudah dibicarakan, dapat dikatakan bahwa pelbagai hak manusia itu sesungguhnya
bertumpu pada tiga asas :

1. Kemerdekaan dalam arti fundamental dari setiap manusia individu, yakni kepribadian atau
otonomi.
2. Fakta antropologis bahwa setiap individu harus mewujudkan kehidupannya sendiri. Karena
itu, tugas utama dari seorang individu adalah secara aktif mengembangkan dirinya sendiri.
3. Fakta bahwa tidak seorang pun yang dapat merealisasikan dirinya jika ia tidak dapat
memiliki bagian tertentu dari dunia dan mengembangkan hubungan-hubungan tertentu
dengan orang-orang, benda-benda, dll.

Yang paling fundamental dari hak-hak manusia sebagai individu adalah haknya untuk
merealisasikan kehidupannya sebagai sejarah dari dirinya sendiri. Dalam sejarah dirinya itu, ia
berinteraksi dengan dunianya dan mengintegrasikan segala sesuatu yang dibutuhkannya untuk
mengembangkan dirinya berdasarkan rencana yang dibuatnya sendiri. Hak atas kebebasan yang
fundamental (otonomi individual) hanya akan ada artinya jika manusia yang bersangkutan mampu
memiliki sarana yang secara mutlak diperlukan bagi pengembangan dirinya. Karena itu, ketidak-
adilan tidak hanya muncul dalam bentuk misalnya perbuatan membunuh seseorang atau pejabat
pemerintah mengistimewakan seseorang karena sukunya, melainkan juga ketidak-adilan itu akan
terjadi jika ada orang yang tidak mampu memperoleh sarana yang paling mutlak diperlukan untuk
dapat menjadi dirinya sendiri. Jika orang mempunyai hak untuk menjadi dirinya sendiri, maka
berarti ia mempunyai hak untuk hidup. Sebab, hal hidup itu adalah kondisi yang mutlak diperlukan
untuk dapat menjadi dirinya sendiri. Jika ia mempunyai hak untuk hidup, maka ia juga mempunyai
hak untuk memiliki sarana yang paling diperlukan untuk itu, misalnya makanan, pakaian,
perumahan yang minimal. Dengan demikian, kemungkinan memiliki berkenaan dengan benda-
benda material pada dasarnya merupakan bagian dari hak utama yang melekat pada setiap manusia.
Dengan jalan pikiran yang sama, dapat kita jabarkan hak untuk ikut serta di dalam proses

197
pengambilan keputusan dalam kaitan dengan kehidupan politik. Maksudnya, setiap individu pada
dasarnya mempunyai hak untuk ikut serta dan diikutsertakan dalam proses pembentukan aturan-
aturan hukum. Sebab, keseluruhan aturan-aturan hukum itu akan menentukan sejauh mana
seseorang dapat menjadi dirinya sendiri dan dapat mengembangkan dirinya sendiri. Realisasi diri
secara konkret hanya mungkin jika yang bersangkutan dapat ikut serta dalam pengaturan dan
pembentukan kehidupan sosial. Jadi, hak untuk menjadi diri sendiri itu meliputi juga hak bagi
partisipasi politik.

Dari apa yang sudah dibicarakan, tampak bahwa hak-hak manusia yang fundamental dijabarkan
dari dan karena itu merupakan bentuk-bentuk penampilan dari hak untuk menjadi dirinya sendiri.
Hak-hak apa yang merupakan bentuk-bentuk penampilan dari hak untuk menjadi diri sendiri yang
diperlukan untuk merealisasikan dirinya harus dijawab oleh Antropologi Filsafat. Secara umum
dapat dikatakan bahwa hak-hak itu meliputi : keamanan, milik, perlindungan terhadap kejahatan,
partisipasi politik, kebebasan berkeyakinan dan beragama, dsb.

************

198
Lampiran 9

PENGERTIAN ELEMENTER
TENTANG
HUKUM48

Bab I. UMUM

1. Fungsi dari Hukum

a. Penertiban (penataan masyarakat, pengaturan pergaulan hidup interrelasi dan interaksi


antar manusia).
b. Penyelesaian pertikaian.
c. Memelihara dan mempertahankan tata-tertib dan aturan-aturan, jika perlu dengan
kekerasan.
d. Pengaturan hal memelihara dan mempertahankan itu.
e. Pengubahan tata-tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian pada kebutuhan-
kebutuhan dari masyarakat.
f. Pengaturan hal pengubahan itu.

Hukum harus mewujudkan (memenuhi) fungsi-fungsi ini dengan cara sedemikian rupa,
sehingga ia memenuhi tuntutan keadilan (rechtsvaardigheid), hasil guna (doelmatigheid),
dan kepastian hukum (rechtszekerheid).

2. Bagaimana terjadinya hukum (baru)

Dua pandangan ekstrim tentang hal ini :

a. Legisme (hingga pertengahan abad 19)

a.1. Hukum terbentuk hanya oleh perundang-undangan (wetgeving) ;


a.2. Hakim secara tegar terikat pada undang-undang, peradilan adalah hal yang
menerapkan secara ”mekanis” dari ketentuan Undang-undang pada kejadian-
kejadian (kasus-kasus) konkrit ;
a.3. Kebiasaan hanya akan memperoleh kekuatan sebagai hukum berdasarkan
pengakuan oleh undang-undang49 ;

48
Tulisan asli oleh : J.F. Glastra Van Loon
Disadur oleh : B. Arief Sidharta
49
Bandingkan pasal-pasal 15, 20, 21 A.B. ; pasal 99 R.O.

199
Belanda : kasasi berdasarkan pelanggaran atau penerapan keliru dari undang-
undang; Cour de cassation sebagai perpanjangan (tangan) dari pembentukan
undang-undang ;
asas kolegialitas dalam peradilan dengan ”sifat rahasia” dari kamar majelis
(raadkamer) : pengadilan sebagai instansi non pribadi ;
a.4. Titik berat pada kepastian hukum.

b. Freirechtslehre (peralihan pada abad 19/20) :

b.1. Hukum terbentuk hanya oleh peradilan (rechtspraak) ;


b.2. Undang-undang, kebiasaan dan sebagainya hanyalah sarana-sarana pembantu
bagi hakim dalam menemukan hukum pada kasus-kasus konkrit ; (juga
ketentuan-ketentuan seperti yang terdapat dalam A.B. tidak dapat mengikat
hakim, ia dapat menggunakan ketentuan-ketentuan itu secara ”bebas” ;
jaminan terbaik terhadap kesewenang-wenangan dalam keputusan-keputusan
adalah bahwa hakim secara pribadi dengan keputusannya tampil kemuka
umum) ;
b.3. Titik berat pada kegunaan sosial (sociale doelmatigheid)

Pandangan-pandangan ekstrim ini kedua-duanya tidak dapat dipertahankan.

c. Ajaran yang berlaku (berpengaruh) sekarang (heersende leer) ;

c.1. Hukum terbentuk melalui beberapa cara ;


c.2. Pertama-tama karena pembentuk undang-undang (wetgever) membuat
aturan-aturan umum; hakim harus menerapkan perundang-undangan ini ;
c.3. Penerapan undang-undang tidak dapat berlangsung secara ’mekanis’ ; ia
menuntut penafsiran (interpretasi) dan karena itu ia sendiri kreatif ;
c.4. Perundang-undangan tidak dapat ’lengkap sempurna’ : kadang-kadang harus
digunakan istilah-istilah yang kabur yang maknanya harus diberikan lebih
jauh oleh hakim, kadang-kadang terdapat ”kekosongan” (leemtes), dalam
undang-undang yang harus diisi oleh peradilan ;
c.5. Di samping oleh perundang-undangan dan peradilan, hukum terbentuk oleh
karena di dalam pergaulan sosial terbentuk kebiasaan yang terhadapnya para
peserta (pelaku) pergaulan sosial itu menganggap saling terikat sekalipun ia
(kebiasaan itu) tidak ditetapkan secara eksplisit oleh siapa pun (usus dengan
opinio necessitatis yang terkait padanya) ;
c.6. Peradilan kasasi berfungsi terutama untuk memelihara kesatuan hukum dalam
pembentukan50

Bahwa hukum dapat berbentuk dengan beberapa (banyak) cara, diungkapkan orang
juga dengan mengatakan bahwa terdapat banyak sumber berlaku (geldingsbronnen)
dari hukum. Sumber berlaku – sumber pengenal (kenbron)

50
Lihat pasal 99 R.O. Belanda

200
3. Keputusan-keputusan Pemerintah (overheidsbesluiten)

a. Undang-undang dalam arti materiil : aturan yang mengikat secara umum yang dibuat
oleh perlengkapan negara (overheid orgaan) yang memiliki kewenangan untuk itu
(menyangkut isi dari suatu keputusan) ;
b. Undang-undang dalam arti formal : keputusan yang dihasilkan oleh kerja sama antar
badan perlengkapan negara sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam undang-
undang Dasar tentang pembentukan undang-undang; di Indonesia berdasarkan pasal 5
ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang dalam arti formal ini adalah hasil
kerja sama antara presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (menyangkut bentuk, yakni
cara terjadinya suatu keputusan)

Tidak setiap undang-undang dalam arti formal adalah juga undang-undang dalam arti
material51.
Keputusan-keputusan pemerintah yang isinya bukan aturan umum dan bukan keputusan-
keputusan dari hakim (untuk menetapkan suatu hukum) dinamakan ketetapan
(beschikking). Misalnya, Keputusan mengenai pengangkatan seseorang. Jadi suatu
keputusan pemerintah dapat merupakan Undang-undang dalam arti formal yang isinya
merupakan suatu ketetapan.

a. undang-undang dalam arti material (peraturan perundang-undangan) :

- yang juga merupakan Undang-undang dalam arti formal, seperti, Undang-undang


tentang Pemerintahan di Daerah, Undang-undang No. 2/1989 tentang Pendidikan
Nasional ;
- yang tidak merupakan Undang-undang dalam arti formal, seperti peraturan daerah.

b. Ketetapan

- Undang-undang dalam arti formal


- bukan Undang-undang dalam arti formal.

c. Vonnis
Yaitu penentuan dari suatu hukum (penentuan apa yang menjadi hukum dalam suatu
kasus konkrit).

Jika orang berbicara tentang Undang-undang sebagai sumber hukum, maka selalu
dimaksudkan undang-undang dalam arti material (yang dapat juga merupakan atau tidak
merupakan UU dalam arti formal). Di Indonesia perundang-undangan itu dapat disusun
secara hierarkik52 sebagai berikut :

51
Misalnya mengenai banyak UU dalam arti material yang bukan undang-undang dalam arti formal, seperti peraturan
daerah ex pasal 38 UU No. 5/1974, Peraturan Pemerintah ex pasal 5 ayat 2 UUD 1945
52
Ex Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 jo. No. V/MPR/1973 jo. No. IX/MPR/1978.

201
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR)
3. Undang-undang (Pasal 5 ayat 1 UUD 1945) dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (pasal 22 UUD 1945)
4. Peraturan Pemerintah ( Pasal 5 ayat 2 UUD 1945)
5. Keputusan Presiden (Kepres)
6. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya, seperti :

a. Peraturan Menteri
b. Instruksi Menteri
c. Dan lain-lain

Di bawah ini dikemukakan beberapa Asas Perundang-undangan yang dianggap penting :

a. Lex Superior Derogat Legi Inferiori : Jika peraturan-peraturan undang-undang yang


mengatur obyek yang sama saling bertentangan, maka hakim harus menerapkan
peraturan undang-undang yang lebih tinggi, dan menyatakan bahwa peraturan yang
lebih rendah tidak mengikat (Hak hakim untuk melakukan hal ini disebut Hak Menguji
atau Toetsingsrecht.)
Undang-undang dalam arti formal, di beberapa negara dinyatakan ”tidak dapat diganggu
gugat” (onschendbaar), yang artinya ”tidak dapat diuji pada Undang-undang Dasar oleh
hakim”. 53

b. Lex Posterior Derogat Legi Priori : Jika peraturan-peraturan perundang-undangan yang


setingkat saling bertentangan, maka hakim harus menerapkan peraturan atau ketentuan
dari undang-undang atau ketentuan yang paling baru.

c. Lex Specialis Derogat Legi Generali : jika ketentuan-ketentuan dari peraturan-peraturan


perundang-undangan yang setingkat dan mulai berlaku pada saat yang bersamaan
(atau ketentuan-ketentuan dari satu undang-undang) saling bertentangan, maka hakim
harus menempatkan ketentuan yang khusus di atas yang umum54

Perjanjian (Traktat)

Traktat adalah perjanjian-perjanjian antar negara yang secara hukum internasional mengikat
negara-negara yang bersangkutan (Asas Pacta Sunt Servanda). Jika suatu traktat memuat
aturan umum, maka ia adalah suatu Undang-undang (dalam arti material).
Suatu traktat dapat mengatur dua jenis hubungan, yaitu :

53
Lihat pasal 95 ayat (2) Undang-undang Dasar Sementara 1950, dan pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pokok
Kehakiman No. 14/1970.
54
Maksudnya, memberlakukan ketentuan yang bersifat khusus dengan mengesampingkan ketentuan yang bersifat
umum.

202
a. Hubungan antar negara (dan subyel-subyek hukum internasional lainnya, misalnya PBB)
b. ia juga dapat secara langsung mengatur hubungan-hubungan yang termasuk kekuasaan
hukum dari satu negara.

4. Yurisprudensi

Dalam hukum Anglosaksis (Inggeris, Amerika Serikat), hakim hakim terikat pada
keputusan-keputusan dari hakim-hakim yang lebih tinggi dan pada keputusan-
keputusan terdahulu dari dirinya sendiri (Doktrin Stare Decisis : Hukum Preseden).
Dalam hukum kita tidak berlaku begitu. Namun demikian, terjadi juga pembentukan hukum
(rechtsvorming) oleh peradilan. Faktor-faktor yang memainkan peranan di sini adalah :

a. Pembentuk Undang-undang tidak dapat mengetahui semua hal terlebih dahulu


(peristilahan yang kabur dan kekosongan dalam Undang-undang) ;
b. Pembuat undang-undang tidak dapat mengikuti kecepatan proses perkembangan dari dan
dalam masyarakat ;
c. Penerapan undang-undang (subsumsi kasus-kasus konkrit di bawah aturan-aturan)
menuntut penafsiran undang-undang ;
d. Apa yang patut dan masuk akal dalam suatu kasus tertentu, berlaku juga bagi kasus-kasus
lain yang sejenis ;
e. Peradilan kasasi oleh Mahkamah Agung.

PENAFSIRAN (Interpretatie) : menentukan arti (makna) suatu teks atau bunyi suatu pasal
berdasarkan konteksnya (perkaitannya).

Metoda-metoda Penafsiran :

a. Gramatikal, konteksnya : hubungan kalimat

b. Sistematis, konteksnya : Sistem dari undang-undang ;

1. penalaran analogi dan penalaran a contrario ;


2. penafsiran ekstensif dan restriktif (bentuk-bentuk yang lemah dari yang terdahulu,
walaupun secara logis tidak ada perbedaan) ;
3. penghalusan hukum (rechtsverfijning) ;

c. Historis :

1. Sejarah Hukum (rechtshistorisch), konteksnya: perkembangan yang telah lalu dari


hukum55
2. Sejarah Undang-undang (wethistorisch), konteksnya, penjelasan-penjelasan dari
pembentuk undang-undang pada pembentukan undang-undang yang bersangkutan.

55
Misalnya, KUHPerdata bersumber pada Burgerlijke Wetboek Belanda, Code Civil, Hukum Perancis Kuno dan
Hukum Romawi.

203
d. Teleologis, konteksnya, pergaulan sosial (ketentuan dari ratio legis yang didasarkan
padanya).

Metoda-metoda penafsiran ini tidak saling menutupi yang satu terhadap yang lainnya, dan
bahkan sebaliknya, sering saling mengisi.

Catatan :

Pandangan tentang penafsiran undang-undang yang diuraikan tadi termasuk


pandangan obyektivistis tentang penafsiran undang-undang. Bertentangan dengan
pandangan obyektif itu, dikenal juga pandangan Subyektivistis tentang penafsiran
undang-undang.

Menurut pandangan subyektif itu, undang-undang adalah tidak lain dari pada
pernyataan kehendak (uitdrukking van de wil) dari pembentuk undang-undang, dan
karena itu hal menentukan arti dari undang-undang adalah usaha menentukan (mencari,
menemukan dan memastikan) kehendak itu.

Jika teks (naskah, redaksi) dari suatu undang-undang sudah jelas sekali, maka penganut
paham subyektif akan membaca kehendak pembuat undang-undang itu secara langsung
dari teks undang-undang itu. Jika tidak demikian halnya, (teks undang-undangnya tidak
jelas), maka ia akan mempelajari atau mengkonsultasi, bukan undang-undang lain,
melainkan naskah-naskah yang merupakan endapan dari pembentukan kemauan yang
mencerminkan proses atau telah memunculkan undang-undang itu56.

Menurut pandangan obyektif, jangkauan dari kehendak pembentuk undang-undang


terbatas hanya sampai pada penentuan perkataan-perkataan dari undang-undang.
Sekali undang-undang itu telah dirumuskan dan mulai berlaku, maka ia menjadi bagian
obyektif dari tertib hukum (rechtsorde, tata hukum), di tengah-tengah yang lain-lainnya.
Maka ia harus dipahami berdasarkan perkaitannya dengan bagian-bagian yang
lain. Bagian-bagian (unsur-unsur) lain itu adalah :

- peraturan peraturan perundang-undangan yang lain


- keputusan-keputusan pengadilan (vonis-vonis dan arrest)

Seorang penganut pandangan obyektif yang tidak ekstrim akan juga menggunakan
bahan-bahan parlementer (menganggap penafsiran sejarah perundang-undangan dapat
dipakai) ; juga bahan ini dapat dianggap sebagai bagian dari tertib hukum obyektif,

56
Misalnya Memori Penjelasan UU (Memorie van Toetlichting), laporan sementara, memori jawaban (memorie van
antwoord), laporan akhir dan laporan (notulasi, risalah) perundingan terbuka secara lisan antara pemerintah dengan
Dewan Perwakilan Rakyat.

Seorang pengikut paham subyektif yang ekstrim bahkan akan menggunakan pendapat-pendapat yang
dikemukakan para menteri dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat di luar prosedur perundang-undangan dalam
melakukan penafsiran.

204
meskipun dengan makna di bawah rumusan undang-undang dan keputusan pengadilan.
Dipandang secara cermat, seorang obyektivis tidak pernah menilai jelas atau tidak
jelasnya suatu rumusan undang-undang (wetstekst) berdasarkan dirinya sendiri,
melainkan selalu dalam perkaitannya dengan rumusan-rumusan undang-undang yang
lain.

Juga, penafsiran undang-undang harus mengabdi pada kepastian hukum


(rechtszekerheid). Karena itu, penafsiran yang aneh atau terlalu dicari-cari harus,
dihindarkan jika penafsiran yang ada sudah lebih memberikan penyelesaian.

Ini menyebabkan bahwa para subyektivis dan obyektivis dalam banyak hal akan
sependapat. Meskipun demikian, perbedaan pandangan mengenai penafsiran ini dapat
mendorong pada hasil-hasil yang mempunyai perbedaan penting. Antara pandangan
legistis tentang hukum dan pandangan subyektif tentang penafsiran undang-undang
terdapat suatu pertalian alamiah karena ”kehendak dari pembentuk undang-undang
adalah undang-undang” ; hakim sebagai badan pelaksana harus mematuhi kehendak ini.
Jadi, penafsiran atau penentuan arti dari undang-undang sepenuhnya harus diarahkan
untuk menetapkan kehendak itu.

5. Kebiasaan

Menurut pasal 15 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving), Kebiasaan tidak mempunyai
kekuatan berlaku sebagai hukum, kecuali jika undang-undang menetapkan kebiasaan
tertentu berlaku sebagai hukum57.

Tiga pertanyaan berkenaan dengan kebiasaan sebagai sumber dari hukum perdata 58 :

a. Apakah kebiasaan hanya menjadi hukum jika ditunjuk oleh undang-undang ?


Legisme : Ya
Ajaran yang berpengaruh : tidak
Kepentingan praktis : dasar-dasar faktual dari dalil-dalil mereka harus diajukan dan
dibuktikan oleh pihak-pihak59.

b. Kebiasaan menjadi hukum kebiasaan, juga jika undang-undang tidak menunjuknya ?


Legisme : Tidak
Ajaran yang berpengaruh : Ya

57
Lihat, misalnya, pasal 1339 KUHPerdata dan pasal 1347 KUHPerdata. Juga berdasarkan pasal 1 KUHPidana, suatu
peristiwa hanya dapat dinyatakan dapat dihukum oleh undang-undang.
58
Bandingkan “Drachtige Koe Arrest”, H.R. 7 April 1932.
59
Untuk dasar-dasar hukum lihat pasal 48 Rv.

205
c. Hukum kebiasaan, juga yang contra legem ?
Legisme : Tidak60
Ajaran yang berpengaruh :
- Kontra hukum yang memaksa (dwingendrecht) : tidak
- Kontra hukum mengatur (regelendrecht, aanvullendrecht) : Ya.

6. Perkaitan Antar Sumber Hukum

Pasal 1 dari Schweizerisches Zivilgesetzbuch dari tahun 1912 menetapkan :

”Das Gesetz findet auf alle Rechtsfragen Anwendung, für die es nach Wort-
laut oder Auslegung eine Bestimmung enthält. Kann dem Gesetz keine Vor-
schrift entnommen werden, so soll das Gericht nach Gewohnheitsrecht und,
wo auch ein solches fehlt, nach der Regel entscheiden, die es als Gesetzgeber
aufstellen würde. Es folgt dabei bewährter Lehre und Überlieferung.”

Ini adalah suatu peraturan (ketentuan) yang jelas dan sesuai dengan pandangan-pandangan
yang sekarang dianut 61.
Juga ketentuan-ketentuan semacam ini yang ditujukan kepada hakim harus ditafsirkan
(dijelaskan maknanya) oleh hakim. Mereka memberikan kepada hakim ruang gerak yang
keluasannya sejajar dengan kekurang-jelasannya.
Demikianlah, maka praktek keadilan di kita sebenarnya sesuai pasal 1 KUHPerdata Swiss.

Dalam Titel Pendahuluan dari Rancangan KUHPerdata Belanda yang baru (Het Nieuwe BW)
dapat dijumpai ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

Pasal 1 ayat (1) : Baik kebiasaan maupun kepatutan (billijkheid) tidak dapat
mengesampingkan penerapan dari undang-undang yang memaksa
(dwingendrecht).

Pasal 2 : Penerapan suatu undang-undang yang mengatur (regelende wet)


dikesampingkan oleh kebiasaan yang bertentangan dengannya.

60
Lihat pasal 5 A.B. Belanda.

Terjemahan dari Pasal 1 Schweizerische Zivilgesetzbuch (1912):

“Undang-undang dapat diterapkan (diberlakukan) pada semua persoalan hukum, sejauh menuruti
arti kata-kata atau berdasarkan penafsiran dimaksudkan untuk mengaturnya. Jika undang-undang
tidak memuat ketentuan yang diperlukan, hakim harus memutuskan berdasarkan hukum kebiasaan,
dan jika hal ini pun tidak ada (maksudnya : jika dalam hukum kebiasaan pun tidak ditemukan
ketentuan yang diperlukan), maka ia harus memutuskan berdasarkan peraturan, yang akan dibuatnya
seandainya ia adalah pembentuk undang-undang. Dalam hal yang terakhir ini ia harus berpedoman
pada ajaran-ajaran dan tradisi (preseden-preseden) yang sudah teruji.”
61
Pasal-pasal 15, 20, 21, 22 A.B. dari tahun 1848 adalah tidak jelas dan tidak sesuai dengan pandangan yang sekarang
berpengaruh

206
Pasal 3 : Suatu undang-undang-undang yang mengatur atau kebiasaan tidak
diterapkan, jika penerapannya dalam kasus tertentu berdasarkan keadaan
khusus akan menjadi sangat tidak patut (tidak layak, tidak adil, onbillijk)

Pasal 4 : jika tidak ada undang-undang yang dapat diberlakukan, maka hukumnya
ditentukan oleh kebiasaan, dan jika kebiasaan yang dapat diberlakukan juga
tidak ada, maka oleh pertimbangan kepatutan (billijkheid).

Dalam ketentuan-ketentuan ini ternyata tidak disebut-sebut yurisprudensi sebagai sumber


hukum. Andaikata yurisprudensi juga ditetapkan sebagai sumber hukum, maka berarti
bahwa diterapkan suatu sistem hukum preseden (stare decisis).

7. Pembentukan Hukum Yang Dinormakan dan Yang Tidak Dinormakan

Perundang-undangan dan hukum preseden berhadapan dengan hukum yurisprudensi, hukum


kebiasaan, hukum darurat, dan sebagainya. Pengaturan secara lengkap tuntas dari
pembentukan hukum adalah tidak mungkin.

a. Keuntungan menempatkan hukum yurisprudensi dan hukum kebiasaan di atas


perundang-undangan : memungkinkan penyesuaian secara lebih bertahap (berangsur-
angsur) dan lebih ”lincah” (soepel) pada keadaan kemasyarakatan yang berubah ;

b. Keuntungan menempatkan perundang-undangan di atas hukum kebiasaan dan hukum


yurisprudensi : Kepastian hukum yang lebih besar karena penentuan yang lebih cermat
tentang :

1. saat mulai dan berakhir berlakunya suatu aturan


2. wilayah (lingkungan berlaku) di dalam mana aturan itu berlaku
3. isi dari aturan.

Dengan suatu kombinasi dari perundang-undangan (yang menyerahkan perincian tepat


dari isi aturan-aturan dalam sejumlah kasus kepada hakim dan memberikan ruang untuk
pembentukan hukum kebiasaan) dan hukum yurisprudensi (yang tidak mengikat hakim
pada preseden), maka keuntungan-keuntungan dari pembentukan hukum, baik yang
dinormakan maupun yang tidak dinormakan, dapat diambil manfaatnya.

207
8. Hukum Tidak Tertulis – Hukum Tercatat – Hukum Tertulis

Hukum primitif (dari masyarakat yang relatif kecil dan status dengan sedikit pembagian
kerja) adalah selalu hukum tidak tertulis (ongeschreven recht) yang meliputi : sebagian
hukum kebiasaan, sebagian hukum yang (pada konflik-konflik) secara ad hoc ditimba dari
sumber-sumber alam gaib (supranatural, bovennatuurlijk).

Karena pelbagai sebab, dalam perkembangan pergaulan hidup dapat timbul kebutuhan akan
pencatatan hukum62. Sejak 1454, atas perintah Karel VII dan pengganti-penggantinya di
Perancis dilakukan pencatatan hukum kebiasaan lokal secara, kurang lebih, agak sistematis
untuk meningkatkan kepastian hukum, kemudian disertai dengan perjuangan
menumbuhkan kesatuan hukum (rechtseenheid, une seule coutume, unifikasi hukum). Jika
pada penulisan hukum yang demikian oleh penguasa diberi kekuatan hukum
(rechtskracht), maka ia dinamakan hukum tertulis (geschreven recht).
Jika tidak, maka yang ada adalah hukum tidak tertulis (ongeschreven recht), misalnya,
Hukum Adat Indonesia yang tercatat oleh van Vollenhoven, dan lain-lain.

Hukum Terkodifikasi (Gecodificeerd recht)

Pencatatan hukum (beschrijving van recht) pada umumnya berlangsung bersamaan dengan
sistematisasi hukum. Dorongan menuju sistematisasi itu mencapai titik puncaknya pada abad
ke 17 dan 18 di bawah pengaruh ajaran Rasionalisme63.
Hasil praktis dari perkembangan ini ditemukan dalam beberapa kodifikasi Jerman64 dan
kodifikasi Perancis 65.

Kodifikasi Perancis telah dijadikan sebagai contoh oleh beberapa pembentuk undang-
undang nasional dari negara-negara lain ; juga kodifikasi di Indonesia yang sekarang masih
berlaku adalah salah satu contohnya.

Gerakan kodifikasi ini didorong oleh keyakinan bahwa manusia, dengan bantuan akal-budi
(rede) akan mampu menemukan dan menentukan asas-asas dasar (grondbeginselen) dari
semua hukum (yang dinamakan Hukum Alam, natuurrecht), dan karena itu dari padanya
dapat dideduksi semua ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang harus berlaku di
dalam suatu pergaulan hidup, yang tersusun secara teratur berdasarkan akal (dengan cara
yang masuk akal). Dari sudut pandangan itu, maka hukum yang terkodifikasi harus
dipandang sebagai suatu hasil dibukukannya Hukum Akalbudi (Rederecht) dan dengan

62
Misalnya, undang-undang XII Meja dari abad 5 S.M., Corpus Iuris dari abad 6 M.
63
Hugo Grotius (1583 – 1645), Inleiding tot de Hollandsche Rechtsgeleerdheid, De Iure Belli ac Pacis ; Jean Domat
(1625 – 1696), Les Lois Civiles Laus Leur Ordre Naturel ; Robert Joseph Pothier (1699 – 1772), pelbagai Traités.
64
Misalnya, Allgemeine Landrecht dari Prusia yang sejak tahun 1794 sampai 1900 berlaku di sebagian besar wilayah
Jerman, Allgemeine BÜrgerliche Gesetzbuch dari Austria yang berlaku sejak 1811.
65
Code Civil, 1804, kemudian berturut-turut : Code du Commerce, Code de procédure, Code Penal dan Code
d’instruction Criminelle, di mana dua yang disebut terakhir mulai berlaku pada tahun 1811.

208
demikian sebagai sesuatu yang tidak dapat diperbaiki dan tidak dapat diubah. Terlepas dari
hal itu, memang nampak jelas sekali superioritas dari hukum yang terkodifikasi katimbang
hukum kebiasaan yang telah dihapuskannya.

Berdasarkan latar belakang ini, maka timbulnya legisme (terutama di Perancis) sebagai
ajaran yang berpengaruh pada masa setengah abad yang pertama dari abad ke 19, dapatlah
dijelaskan66.

Sebagai reaksi terhadap perkembangan ini, di Jerman muncul aliran Sejarah atau
Historische Rechtsschule67.

Aliran ini beranggapan bahwa : Hukum tidak ’dibuat’ oleh pembentuk Undang-undang,
melainkan ’tumbuh’ sebagai unsur organik dari kebudayaan nasional. Pendukung dari
perkembangan itu di dalam masyarakat modern adalah para yuris (yang terdidik secara
akademis) sebagai pengemban (beoefenaar) dari penelitian ilmiah yang bebas. Mereka
berpendapat bahwa saat bagi kodifikasi nasional di Jerman belum tiba. Mereka menyarankan
agar ’Pandekten Wissenschaft’ sebagai persiapan ke arah itu. Penentuan pengertian hukum
yang baru (misalnya : perbuatan hukum) dan usaha sistematisasi. Tahun 1900 mulai berlaku
BGB Jerman, tahun 1912 ZGB Swiss. Terutama di Eropa Tenggara (dan Jepang) diikuti :
’keluarga hukum’ ketiga (di samping ’keluarga hukum’ Latin atau Perancis dan
Anglosaksis).

9. Hukum dan Etika

Bahwa sebuah aturan dibentuk melalui cara yang dinormakan (sesuai dengan prosedur yang
berlaku) tidak menjamin keadilan dari isinya. Dengan bantuan suatu prosedur perundang-
undangan yang diatur dengan baik maka kemungkinan terbentuknya undang-undang yang
jelas tidak adil (wettelijk onrecht) dapat dikurangi ; tetapi kemungkinan itu tidak dapat
sepenuhnya dihapuskan. Sebagaimana halnya dengan peradilan, juga perundang-undangan
tidak dapat diotomatisasikan. Pada tingkat terakhir, kualitas isi dari hukum positif
tergantung pada taraf kesusilaan (zedelijk niveau) dari kelompok-kelompok atau individu-
individu yang mempengaruhi (mewarnai) politik dari masyarakat yang bersangkutan.
Masalah hubungan antara hukum dan etika termasuk dalam bidang garapan dari filsafat
hukum. Banyak yang berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan dari etika juga menjadi asas-
asas dasar dari hukum ; pendapat lain beranggapan bahwa mungkin saja keadilan adalah
suatu kebajikan susila (zedelijke dengd), tetapi hukum mempunyai asas-asas sendiri, yakni
hukum mempunyai objek yang berbeda dari etika. Jika etika berkenaan dengan (nilai)
baiknya seorang manusia sebagai perorangan atau pribadi (a.l. dalam hubungan dengan
orang lain – etika sosial), maka berlawanan dengan itu, hukum berkenaan dengan hubungan
antar manusia (pembagian benda, hukuman dan pahala/imbalan, pengaturan lalu lintas, dsb).

66
Perwujudan dari kodifikasi-kodifikasi itu, untuk sebagian juga tergantung pada adanya raja-raja yang berpikiran
maju (verlichte vorsten) dan absolutisme negara dari Frederik Yang Agung dari Prusia, Josef II dari Austria, dan
Napoleon
67
Friedrich Carl von Savigny (1779 – 1861), Georg Friedrich Puchta (1798 – 1846).

209
Menurut pandangan tertentu, terdapat asas-asas dasar dari hukum yang berlaku secara
universal yang secara langsung dapat dikenali oleh akal budi, yang dari padanya aturan-
aturan dari hukum positif yang lebih konkrit harus dijabarkan secara deduktif (ajaran hukum
alam yang rasionalistik) dan yang terhadapnya hukum positif tidak boleh bertentangan.

Menurut suatu pandangan lain, adil atau tidaknya suatu aturan hanya dapat dinilai (diuji)
dalam pengambilan keputusan pada kasus-kasus konkrit (ajaran ius in causa positum) dan
asas-asas hukum (yang secara historis berubah-ubah) dan berfungsi sebagai penuntut
(leidraad) bagi perundang-undangan yang harus dijabarkan dari padanya secara induktif dan
selalu dikoreksi berdasarkannya. Yang pasti tetap hanyalah, hukum positif dalam suatu
masyarakat (ius constitutum) dan apa yang dapat kita bayangkan sebagai hukum yang baik
(ius constituendum).

10. Hukum dan Moral Positif

Pergaulan sosial selain oleh aturan-aturan hukum, juga dikuasai oleh pelbagai aturan lain,
yang keseluruhannya disebut aturan-aturan moral dan kesopanan (adat dan kebiasaan).

Juga ketaatan pada aturan-aturan ini didukung dengan sanksi-sanksi (negatif atau positif)
terhadap tingkah laku (yang menyimpang atau yang konform). Perbedaan yang paling
penting antara kedua jenis aturan ini adalah bahwa penerapan sanksi dalam hukum juga
dikuasai oleh aturan-aturan dengan isi yang ditetapkan secara relatif cermat (sanksi-sanksi
khusus atau spesifik bagi pelanggaran spesifik terhadap aturan-aturan tertentu, prosedur
untuk menetapkan terjadinya pelanggaran dan penentuan sanksinya – peradilan – dan untuk
melaksanakan keputusan mengenai yang disebut terakhir), sedangkan bagi moral dan
kesopanan tidak demikian halnya.

Perbedaan ini tidak absolut, melainkan relatif. Bahkan secara historis bervariasi ; secara
umum : semakin kurang berarti, semakin suatu masyarakat lebih kecil, lebih terisolasi, lebih
homogin ; semakin besar, semakin meningkatnya taraf pembagian kerja, komunikasi
interlokal, mobilitas sosial dan kecepatan perubahan. Diferensiasi dari hukum dan moral
berlangsung terutama bersamaan dengan perkembangan dari suatu organisasi kewibawaan
tersendiri.

Diferensiasi dari hukum dan moral tidak menghilangkan hubungan antar keduanya. Dari
sejumlah kasus, hukum positif mengkaitkan sanksi-sanksi pada tingkah laku manusia atas
dasar ketentuan-ketentuan menurut aturan-aturan moral dan kesopanan68.

11. Pengertian ’Aturan Hukum’

Bentuk logikal dari aturan hukum adalah :


”Jika ......... (peristiwa hukum), maka ............ (akibat hukum)”.

68
Lihat pasal 1359 ayat (2) KUHPerdata mengenai perikatan alam ; pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan
Melanggar Hukum ; pasal 1338 ayat (3) tentang pelaksanaan perjanjian.

210
Bandingkan : aturan permainan ; peristiwa permainan – peristiwa hukum (misalnya:
pelanggaran permainan – perbuatan melanggar hukum) ; akibat permainan – akibat hukum
(misalnya : tendangan bebas – kewajiban mengganti rugi).

Seperti pada permainan, hasil-hasilnya tidak hanya menjadi tanggung jawab dari perorangan,
melainkan juga dari kesebelasan-kesebelasan, klub-klub dan bahkan dari negara-negara,
demikian juga halnya dalam hukum, akibat-akibat hukum itu dipertanggungjawabkan tidak
hanya pada pribadi-pribadi alam melainkan juga pada badan-badan hukum (sekalipun pada
akhirnya dalam kedua hal itu hanya manusia yang bertindak dalam kenyataannya).

******************

211

Anda mungkin juga menyukai