PENCEGAHAN INTOLERANSI
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Eco Socio Environment
Dosen Pengampu : Sutriono, S.P., M.Agr
Semester 1 D
Disusun Oleh :
UNIVERSITAS ASAHAN
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat waktu.
Makalah ini berjudul Implementasi Nilai Pancasila Terhadap Pencegahan
Intoleransi.
Selanjutnya kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Sutriono, S.P., M.Agr
sebagai dosen mata kuliah Eco Socio Environment, yang telah memberikan
banyak bantuan, arahan, dan petunjuk yang sangat jelas sehingga mempermudah
kami dalam menyelesaikan tugas ini.
Terima kasih juga kepada teman – teman seperjuangan yang telah mendukung
selesainya makalah ini tepat waktu. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami sangat terbuka pada kritik dan saran
yang membangun, sehingga makalah ini bisa lebih baik lagi. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang
eco socio environment.
Terima kasih,
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
3.1 Kesimpulan..................................................................................................16
3.2 Saran.............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
2
1.3 Tujuan Pembahasan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi, istilah Pancasila berasal dari dua kata dalam bahasa sanskerta:
Panca dan Sila. Panca berarti lima (yang membentuk ke-utuh-an) dan sila berarti
prinsip atau mora- litas (yang melebur dalam ke-utuh-an). Pancasila merupakan
ideologi negara Republik Indonesia yang menjadi value, dimana kelima sila yang
ada terintegrasi satu dengan lainnya. Pemaknaan pada setiap nilai-nilai yang
dimiliki dalam setiap sila bersifat holistik dan netral (tidak berpihak pada
golongan tertentu). Implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep,
kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberi
dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan maupun nilai,
dan sikap. Dalam Oxford Advance Learner’sDictionary dikemukakan bahwa
implementasi adalah “Put something intoeffect”, (penerapan, sesuatu yang
memberikan efek atau dampak). Sedangkan nilai nilai Pancasila adalah nilai
nilai yang terdapat dalam lima sila Pancasila yaitu nilai ketuhanan, nilai
kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan sosial. Jadi
implementasi nilai pancasila adalah sebuah proses penerapan, ide konsep,
kebijakan untuk menerapkan atau mengaplikasikan lima nilai Pancasila dalam
kehidupan individu, sosial kemasyarakatan dan kebangsaan.
4
salah, haram, dan harus dimusuhi, diperangi, dan dimusnahkan (Projo Prastowo,
2006 : 31).
Banyak faktor yang dapat menimbulkan sikap dan perilaku intoleran, akan tetapi
agama bukan merupakan sumber dari penyebab intoleran itu sendiri melainkan
pemahaman yang bersifat intrisik terhadap ajaran agama itu sendiri. Sikap
eksklusifisme yang berlebihan menimbulkan gerakan-gerakan yang mengarah
kepada perbuatan intoleran.
5
adalah penolakan aktifitas keagamaan umat tertentu, sulitnya perijinan rumah
ibadah, terlalu cepat mengkafirkan orang yang tidak seagama dengannya, dan
“menghalalkan” darah orang yang tidak seiman dengannya. Ditambah lagi dengan
adanya Perda-Perda yang diterbitkan oleh pemerintah daerah yang cenderung
mendiskreditkan umat tertentu, termasuk membawa politik identitas ke dalam
ranah politik, untuk mendulang keuntungan pribadi maupun elit politik tertentu
dalam kontestasi politik.
Para pelaku teror yang selama ini melakukan aksi terorisme memiliki ideologi
radikal yang cenderung tidak toleran terhadap keberbedaan, menentang
hetergonitas, dan anti kebhinekaan. Persebaran paham radikal dan intoleran
memang sudah marak terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia, hal ini dapat
membahayakan, karenanya harus segera mengambil langkah untuk dapat
menangkalnya. Menurut lembaga kajian Leimena Institute, bahwa paham radikal
6
sudah masuk ke sekolah- sekolah dan mempengaruhi siswa-siswa (BBC.com,
2017). Sikap yang tidak mau berbeda, menganggap dirinya yang paling benar,
memahami bahwa hanya agamanya yang paling benar, dan bahkan menganggap
bahwa dirinya memiliki otoritas kebenaran, sehingga meniadakan orang lain,
menganggap keyakinan orang lain salah, serta memaksakan kehendak agar supaya
orang lain sama keyakinannya dengan dirinya, merupakan cerminan sikap
intoleran, yang akan mengarah pada perilaku radikal. Indonesia dewasa ini
dihadapkan dengan persoalan dan ancaman radikalisme, terorisme dan
separatisme yang kesemuanya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan
konstitusi. Radikalisme, terorisme dan separatisme merupakan ancaman terhadap
ketahanan ideologi dan lebih jauh akan berdampak terhadap ketahanan nasional.
Untuk itu segala upaya untuk menangkal penyebaran paham radikal harus menjadi
komitmen dan gerakan bersama seluruh komponen bangsa. Radikalisme
diwujudkan dengan melakukan pengrusakan, penistaan, pengkafiran, dan
pembakaran terhadap fasilitas, benda, orang maupun sarana prasarana yang
dianggap berbeda dan bertentangan dengan keyakinannya.
Sikap intoleran, perilaku radikal, dan aksi terorisme merupakan mata rantai yang
saling berkaitan satu dengan yang lain. Agar supaya mampu memberantas aksi
terorisme, maka diperlukan upaya untuk meredam perilaku radikal. Perilaku
radikal hanya bisa dicegah dengan cara menghapus sikap intoleran di tengah
masyarakat. Sikap-sikap toleransi, kebersamaan, harmoni, kebhinekaan, yang
terbungkus dalam ideologi Pancasila harus dikedepankan di semua lapisan
masyarakat agar supaya mampu mengikis dan menghilangkan sikap intoleran.
Penanaman rasa toleransi keberagaman harus terpatri pada masyarakat Indonesia
sejak dini, khususnya sejak jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi.
Bahkan pendidikan dalam keluarga sejak balita harus dilakukan secara gencar
oleh orang tua agar supaya setiap orang Indonesia memahami keberagaman,
hetergonitas, dan kebhinekaan secara terbuka, berpikiran terbuka, dan modern
dalam berpikir, bertindak dan berbuat, sebagaimana amanat dalam Pancasila.
7
2.3 Masalah yang Timbul Akibat Ketidakpahaman Implementasi Nilai
Pancasila terhadap Pencegahan Intoleransi
Saat ini tidak terlihat ketegasan dalam penerapan nilai-nilai pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa penerapan pancasila
merupakan suatu keharusan karena merupakan cita-cita bangsa. Nilai-nilai
Pancasila selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman bagi pengambil
kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
karena pancasila bersifat sebagai ideologi terbuka. Akan tetapi pada pada saat ini
implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat semakin terkikis
karena minimnya pemahaman masyarakat tentang makna dan arti dari nilai-nilai
pancasila yang berketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Adil dan Beradab
dan Keadilan Sosial. Minimnya pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai
Pancasila banyak mengakibatkan terjadinya tindakan kekerasan, ketidakadilan,
pelecehan, penganiayaan dan tindakan radikal yang menjadikan agama sebagai
alasan untuk melakukan tindakan kekerasan. Oleh karena itu perlunya dilakukan
tindakan khusus dari pemerintah untuk memberikan penekanan dan sosialisasi
nilai-nilai Pancasila agar masyarakat bisa lebih memahami arti dari nilai-nilai
Pancasila tersebut serta dapat terciptanya kehidupan yang rukun, damai dan
tentram. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa Pancasila cenderung
diabaikan di Tengah masyarakat yang modern, di era globalisasi, dan di era
revolusi industri 4.0. perkembangan media sosial dan dunia maya yang sangat
masif memungkinkan setiap manusia mendapatkan akses informasi secara cepat
melalui gadget pribadi sehingga berdampak buruk pada pola pikir dan gaya hidup
generasi muda, khususnya generasi milenial (Y) dan generasi Z yang serba
konsumeris, hedonis, individualis, dan liberalis. Selain itu, muncul perilaku
anarkis, radikalis, dan fanatisme tertentu akibat perkembangan informasi di media
sosial yang belum tentu kebenarannya, dan bahkan cenderung berita fake atau
hoax. Pancasila sebagai ideologi negara cenderung ditinggalkan oleh masyarakat
Indonesia, khususnya generasi muda, digantikan oleh ideologi-ideologi lain yang
bertentangan dengan Pancasila. Hasil survei Cyrus Network tahun 2019 tentang
Persepsi Publik terhadap penerimaan masyarakat pada ideologi Pancasila
8
menunjukkan bahwa ditemukan ada 4,7 persen responden yang secara terang-
terangan mendukung terbentuknya khilafah dan 13 persen menyatakan Indonesia
harus berlandaskan syariat Islam karena merasa Islam adalah agama mayoritas.
Pancasila dianggap kurang menarik bagi masyarakat sehingga mereka lebih
melirik Khilafah, yang tentunya hal ini sangat membahayakan.
Survei Alvara Research Center Tahun 2017 juga menemukan ada sebagian
milenial atau generasi kelahiran akhir 1980-an dan awal 1990-an, yang setuju
dengan konsep khilafah sebagai bentuk negara Indonesia. Survei ini dilakukan
terhadap 4.200 milenial yang terdiri dari 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar SMA
di seluruh Indonesia. Mayoritas milenial memang memilih Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara. Namun ada 17,8 persen
mahasiswa dan 18,4 persen pelajar yang setuju khilafah sebagai bentuk negara
ideal sebuah negara. Survei terhadap kalangan profesional yang melibatkan 1.200
responden ini dapat dimaknai bahwa Pancasila saat ini memang dalam ancaman
sehingga diperlukan berbagai upaya untuk melakukan pembumian Pancasila di
tengah masyarakat.
9
berjihad untuk menegakkan sistem khilafah, yang jelas-jelas bertentangan dengan
Pancasila. Di kelompok mahasiswa menduduki 23,4 persen pada akhir tahun 2017
yang siap mengikuti khilafah. Sedangkan pada tingkat SMA mencapai 23,3
persen. Sebuah angka yang fantastis dan mencengangkan karena kalangan SMA
dan Mahasiswa adalah kalangan milenial yang tergolong sebagai generasi terdidik
di dunia pendidikan.
10
ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan dan keadilan merupakan ide-ide
keseluruhan, manusia yang menjalani kelima nilai tersebut akan memelihara sikap
solidaritas antar manusia dan persatuan akan diletakkan diatas perbedaan. Nilai
yang terkandung dalam sila pertama merupakan induk dari nilai-nilai Pancasila
pada poin berikutnya, nilai ketuhanan memiliki makna kepercayaan kepada Tuhan
yang Maha Esa, kebebasan beragama, toleransi antara umat beragama serta
kecintaan pada semua makhluk ciptaan Tuhan. Praktek pemahaman ketuhanan
yang Maha Esa yang ada dalam nilai Pancasila merupakan keharusan bagi warga
negara untuk memiliki kepercayaan. Saat ini negara Indonesia memiliki 6 (enam)
keyakinan yang diakui oleh negara yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu,
Budha dan Kong Hu Chu.
11
2.5 Peran Pendidikan dalam Meningkatkan Pemahaman Nilai Pancasila dan
Mengurangi Intoleransi
Pendidikan di sekolah adalah salah satu faktor utama yang dapat mempengaruhi
pemikiran anak-anak bangsa. Gillin berpendapat bahwa fungsi pendidikan sekolah
ialah penyesuaian diri anak dan stabilitasi masyarakat. Sekolah memiliki daya
fungsi dalam pembentukan karakteristik siswa dalam bersikap. Salah satunya
adalah fungsi dalam transmisi kebudayaan, perilaku dalam sosial/ integrasi sosial,
perkembangan dan pembentukan pribadi dan lainnya. Sekolah merupakan salah
satu institusi sosial yang mempengaruhi proses sosialisasi dan berfungsi
merumuskan kebudayaan masyarakat kepada anak.
Secara psikologis siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas adalah individu yang
berada pada masa remaja, dimana masa bergejolak (sturm and drang). Remaja
cenderung bersikap progresif dan terus ingin mencoba dan berubah. Secara
psikologis, siswa yang pada umumnya berumur dari 15- 17 tahun yang tergolong
12
dalam masa remaja awal, biasanya masih memiliki sikap ikut-ikutan menjadi
salah satu sikap positif yang terbentuk dalam sikap tenggang rasa. Sikap ingin
tahu yang memuncul pada siswa dapat memotivasi untuk menjalin hubungan
dengan teman-teman lain yang seagama ataupun beda agama, dan bukan hanya itu
saja, melainkan berbagai perbedaan yang ada di kalangan siswa.
13
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Wawan Purwantokepada
VOA mengatakan Indonesia merupakan salah satu negara tujuan milisi
Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS). Pertimbangannya kata Wawan
diantaranya dikarenakan Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim
terbesar di dunia dan terbukti selama ini banyak militan-militan yang
muncul di Indonesia (Wardah, 2015:http//www.voaindonesia.com). Bahkan
dengan dalih agama membolehkan anarkhis dan terorisme.
14
depan negeri ini bertumpu pada kualitas mereka. Namun ironisnya, kini tak
sedikit kaum muda yang justru menjadi pelaku terorisme. Serangkaian
aksiterorisme mulai dari Bom Bali-1, Bom Gereja Kepunton, bom di JW Marriot
dan Hotel Ritz-Carlton,hingga aksi penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan
Bom di Beji dan Tambora, melibatkan pemuda. Sebut saja, Dani Dwi Permana,
salah satu pelaku Bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang saat itu berusia
18 tahun dan baru lulus SMA. Fakta tersebut diperkuat oleh riset yang dilakukan
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP). Dalam risetnya tentang
radikalisme di kalangan siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di
Jabodetabek, pada Oktober 2010-Januari 2011, LaKIP menemukan sedikitnya
48,9 persen siswa menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait
dengan agama dan moral (Rahman, 2015:http//abdurahman001.blogspot.com).
Untuk membentengi para pemuda dan masyarakat umum dari radikalisme dan
terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggunakan
upaya pencegahan melalui kontra- radikalisasi (penangkalan ideologi). Hal ini
dilakukan dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT)
di daerah, Pelatihan anti radikal-terorisme bagi ormas, Training of Trainer (ToT)
bagi sivitas akademika perguruan tinggi, serta sosialiasi kontra radikal terorisme
siswa SMA di empat provinsi. Hal ini dilakukan untuk mencegah terorisme di
Indonesia yang dimulai dari generasi muda.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
16
Dalam rangka menjaga dan melestarikan nilai-nilai Pancasila, pendidikan
memegang peran kunci, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sekolah, sebagai
lembaga pendidikan formal, memiliki tanggung jawab besar dalam menanamkan
nilai-nilai Pancasila kepada siswa. Hal ini melibatkan pemahaman, pemaknaan,
dan pengamalan nilai-nilai Pancasila agar dapat menjadi panduan hidup dan
melawan pengaruh negatif.
3.2 Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
Baralaska, Sapta, and Utama Siagian. 2020. “Nilai- Nilai Pancasila Dalam
Menangani.” Jurnal Teologi Biblika 5(1): 36–45.
Oktanisa, Silvana, Fransisca Ully Marshinta Ibnu Maja, and Yulianto Wasiran.
2021. “Pemahaman Ideologi Pancasila Pada Aspek Agama.” Jurnal … 1(1):
22–30. http://ojs.politeknikdarussalam.ac.id/index.php/jpkm/article/view/
jpkm4.
18
Radikalisme Dan Terorisme.” Jurnal Rontal Keilmuan PKn 6(1): 10–24.
http://journal.umpo.ac.id/index.php/JPK/article/view/734.
Tanamal, Nini Adelina, and Sapta Baralaska Utama Siagian. 2020. “Pancasila
Sebagai Landasan Visional Bagi Spiritualitas Kehidupan Bangsa Indonesia
Dalam Menangani Intoleransi.” Integritas: Jurnal Teologi 2(1): 35–48.
19