Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

EKSISTENSI DAN URGENSI PENDIDIKAN ISLAM

Makalah ini dibuat guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Materi PAI Sekolah

Disusun Oleh :
Melda Yanti
0101.21.0041

Dosen Pengampu :
Imam Wahyudi M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFAQQUH FIDDIN DUMAI
2023 M/1445 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa telah memberikan rahmat


dan hidayah-NYA, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“EKSISTENSI DAN URGENSI PENDIDIKAN ISLAM” tepat waktu. Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Materi PAI Sekolah. Semoga
makalah ini dapat menambah wawasan bagi penulis dan pembaca.

Terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Imam Wahyudi, M.Pd.I


selaku dosen mata kuliah Materi PAI Sekolah. Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis makalah.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Dumai, 10 Oktober 2023

Melda Yanti

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2

C. Tujuan Masalah................................................................................................ 2

BAB II .................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

A. Eksitensi Pendidikan Islam .............................................................................. 3

B. Urgensi Pendidikan Islam ...............................................................................11

BAB III ................................................................................................................. 16

PENUTUP ............................................................................................................ 16

Kesimpulan ........................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kata “Pendidikan” ini diletakan kepada Islam telah didefenisikan
secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan, yang banyak dipengaruhi
pandangan dunia namun pada dasarnya, semua pandangan yang berbeda itu,
kemudian bertemu dalam kesimpulan awal yaitu pendidikan merupakan suatu
proses penyiapan generasi untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi
tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efesien.

Pendidikan yang baik dan bermutu itu bukan hanya mencerdaskan


peserta didik dari sisi intelektual saja, tetapi menggabungkan antara ketiga
kecerdasan yaitu: kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Dalam
pembentukan peserta didik agar memiliki kecerdasan intelektual, emosional
dan spiritual maka tentunya harus ditempuh dengan lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan yang ada di Indonesia ada tiga yaitu, sekolah, madrasah
dan pasantren. Hanya pasantren yang berakar dari tradisi asli (indigenous)
Nusantara. Sedangkan sekolah dan madrasah muncul dan lahir dari hasil
interaksi pihak luar. Sekolah dikenal setelah adanya interaksi bangsa
Indonesia dengan penjajah. Sedangkan madrasah lahir sebagai respon umat
Islam di Indonesia, atas gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah.
Sekaligus sebagai counter institution terhadap sekolah yang didirikan
penjajah.

Menurut Abdurrahman al-Nahlawi, pendidikan Islam merupakan


suatu proses penataan individual dan sosial yang dapat menjadikan seseorang
tunduk dan taat sekaligus menerapkan Islam secara sempurna dalam
kehidupan individu dan masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, pendidikan
Islam bertugas membimbing manusia agar dapat menjalankan amanat yang
diembannya. Amanat itu bersifat individual dan sosial.1

1
Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Tiara Wacana, 2006), hal. 47.
1
Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa pendidikan Islam pada hakikatnya adalah suatu proses pendidikan
yang sifatnya menyeluruh dan terpadu yang mengarah pada pembentukan
kepribadian peserta didik baik itu individu maupun sosial yang berdasarkan
pada ajaran Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Eksistensi Pendidikan Islam?

2. Bagaimana Urgensi Pendidikan Islam?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Bagaimana Eksistensi Pendidikan Islam

2. Mengetahui Bagaimana Urgensi Pendidikan Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Eksitensi Pendidikan Islam


Eksistensi berasal dari bahasa latin existere yang atinya muncul, ada,
timbul, dan memiliki keberadaan yang aktual. Eksistensi Merupakan
keberadaan yang dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya suatu usaha sebagai
pembuktian yang telah diakui oleh diri sendiri maupun kelompok. Dalam hal
ini keterkaitan eksistensi sudah terikat dengan keberadaan fisik dan fungsi
yang sudah melekat pada sesuatu obyek. Sehingga dalam konsep eksistensi,
satu-satunya faktor yang menjadi pembeda setiap hal yaitu kebenaran atau
fakta.

Pendidikan Islam Zaman Penjajahan

a. Pendidikan Islam Zaman Belanda

Sebagai “warisan” kaum penjajah, sekolah mulai berdiri di Indonesia


pada masa VOC (Vereenigle Oost Indishe Compagnie). Tahun 1607 VOC
mendirikan sekolah yang pertama kali di Ambon, lalu dilanjutkan di Batavia
(Jakarta) tahun 1617. Tujuan utama pendirian sekolah tersebut adalah untuk
melenyapkan agama Katolik yang telah disebarkan sebelumnya oleh Portugis
dengan menyebarkan agama Protestan, calvinisme. Setelah VOC diambil alih
oleh Hindia Belanda (1816), pendirian sekolah semakin meluas.2

Penyebaran agama Kristen merupakan salah satu misi yang dibawa


Belanda ke Indonesia. Karena itu, tidak heran jika selama berkuasa di
Indonesia, Belanda banyak membuat kebijakan diskriminatif terhadap umat
Islam. Misalnya, dengan alasan netral dalam urusan agama sebagaimana
tertuang dalam Konstitusi Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) pasal 179
(2) pendidikan agama dilarang diajarkan di sekolah umum milik pemerintah,

2
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Nasional (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), hal. 4-5

3
dan hanya boleh diberikan di luar jam sekolah. Sedangkan di sekolah-sekolah
partikulir (swasta), Belanda mengizinkan pendidikan agama sebagai
tambahan dengan syarat murid bisa bisa tidak mengikutinya apabila orang tua
murid melarang untuk ikut. Dalam praktik, kebijakan Belanda tidak benar-
benar netral. Pemerintah Belanda lebih berpihak pada agama Kristen, baik
dalam hal bantuan dana maupun lainnya. Sekolah-sekolah Kristen didirikan
di setiap karesidenan dan dianggap sebagai sekolah pemerintah serta
mendapat subsidi rutin. Dakwah Islam di daerah animisme dilarang
sedangkan misi Kristen dibiarkan. Pemerintah Belanda juga membiarkan
upaya penghinaan terhadap Islam, dan melarang hal yang sama terhadap
Kristen.

Bukti lain tindakan diskriminatif Belanda terhadap umat Islam adalah


lahirnya Ordonansi Guru tahun 1905 yang isinya mengharuskan adanya izin
tertulis bagi setiap guru agama yang akan mengajar. Ordonansi 1905 ini
kemudian diganti dengan Ordonansi Guru tahun 1925, yang isinya tidak jauh
berbeda dengan sebelumnya. Dalam aturan ini guru agama hanya diwajibkan
untuk memberitahu sebelum mengajar, bukan meminta izin, tetapi ditentukan
sanksi bila melanggar. Pada tahun 1932 keluar lagi peraturan yang dikenal
dengan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie), yang isinya
menyatakan bahwa pemerintah Belanda berwenang memberantas dan
menutup madrasah dan sekolah yang tidak berizin atau memberikan pelajaran
yang tidak disukai pemerintah.

Dengan kebijakan-kebijakan diskriminatif di atas, dapat dipastikan


betapa umat Islam menghadapi kesulitan dalam menyebarkan agamanya
melalui lembaga pendidikan. Sikap dan respon umat Islam dalam menghadapi
kebijakan diskriminatif tersebut dilakukan secara beragam, yang oleh
Maksum dikelompokkan ke dalam dua corak, yaitu defensif dan ofensif.

Corak defensif dilakukan oleh sejumlah ulama tradisional (khususnya


di Jawa) dengan cara menghindar ke daerah-daerah terpencil yang jauh dari
pantauan Belanda dan mendirikan pesantren di sana. Dengan cara ini para
ulama lebih leluasa membina generasi muda dengan ajaran Islam yang

4
memadai sekaligus mempersiapkan mereka menjadi kader-kader tangguh
yang siap berjihad melawan penjajah. Sedangkan cara ofensif dilakukan
sejumlah tokoh umat Islam, yang dipelopori kalangan reformis, dengan cara
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan model Belanda dengan berbasis
Islam sebagai counter institution terhadap sekolah-sekolah Belanda yang
berbau Kristen. Melalui corak ofensif ini, maka lahirlah lembaga-lembaga
pendidikan Islam modern seperti; Madrasah Adabiyah (1909), Sekolah
Adabiyah (1915), Madrasah Diniyah Zainudin Labay (1916), dan Sumatera
Thawalib (1919). Dalam perkembangan berikutnya, pendirian lembaga-
lembaga pendidikan Islam modern dilakukan secara massif oleh umat Islam
di berbagai penjuru tanah air.3

b. Pendidikan Islam zaman Jepang

Setelah penjajahan Belanda berakhir (1602-1942), ganti Jepang


berkuasa Jepang menduduki Indonesia setelah berhasil mengalahkan pasukan
Belanda dalam perang Asia Timur. Jepang menguasai Indonesia tepatnya
pada tahun 1942 melalui Tarakan dan Minahasa berturut-turut kemudian
wilayah lain di seluruh Nusantara. Awalnya pemerintahan Jepang
menunjukan sikap seakan-akan membela kepentingan Islam sebagai siasat
untuk kepentingan Perang Dunia II. Untuk mendekati umat Islam Indonesia,
mereka mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain:

1) Kantor urusan agama yang pada zaman Belanda disebut kantor Voor
Islamistishe Saken yang dipimpin oleh orientalis Belanda diubah menjadi
Sumubi yang dipimpin ulama Islam, yaitu K. H. Hasyim Asy’ari dari
Jombang dan di daerahdaerah disebut Sumuka.

2) Pondok pesantren yang besar-besar mendapat kunjungan dan bantuan dari


pembesar Jepang.

3) Sekolah-sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik


dengan ajaran agama.

3
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta : Hidakarya Agung, 1996)

5
4) Membentuk barisan Hisbullah yang memberi latihan dasar kemiliteran
pemuda Islam (santri-santri) dipimpin oleh K. H. Zainul Arifin.

5) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam dipimpin oleh K. H. Wahid


Hasyim, Kahar Muzakkir, dan Bung Hatta.

6) Ulama Islam bekerja sama dengan pimpinan nasionalis membentuk


Barisan Pembela Tanah Air (PETA). Organisasi pembela tanah air inilah
yang menjadi inti dari TNI sekarang.

7) Umat Islam mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)


yaitu merupakan komponen penting yang turut membentuk dan mewarnai
corak kehidupan masyarakat Indonesia.4

Meskipun pemerintahan Jepang berusaha mengambil hati umat Islam


dengan memberikan kebebasan dalam melaksanakan praktik agama dan
mengembangkan pendidikan, ulama tidak mudah untuk tunduk pada
pemerintahan Jepang apabila hal tersebut bertolak belakang dengan akidah
Islam. Misalnya perjuangan K. H. Ahmad Dahlan dan para santrinya dalam
menentang kebijakan kufur pemerintahan Jepang yang memerintahkan setiap
orang harus menghadap ke Tokyo setiap pukul 07.00 untuk menghormati
Kaisar Jepang yang mereka anggap keturunan Dewa Matahari. Akibat sikap
tersebut, beliau ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Jepang selama 8
tahun.5

Namun, mencermati kebijakan yang ditunjukkan oleh pemerintahan


Jepang, berkenaan dengan pengembanan pendidikan Islam di Indonesia,
paling tidak memberi gambaran bahwa pelaksanaan pendidikan Islam pada
saat itu lebih dinamis yang berbeda dengan masa penjajahan Belanda. Meski
upaya pembentukan sikap nasioanlisme Islam yang dilakukan oleh
pemerintahan Jepang terhadap masyarakat pribumi memiliki muatan positif,
akan tetapi pada substansinya kebijakan tersebut menekankan kepentingan
4
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia Lintas Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangannya, Cet. 1; Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1995, hal 65
5
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam: Perubahan Konsep, Filsafat, dan Metodologi dari Era
Nabi Muhammad saw. sampai Ulama Nusantara, Cet. I; Jakarta: Kalam Mulia, 2012, hal 345

6
Jepang dalam mengatasi Perang Dunia II atau Perang Asia Timur Raya yang
dipimpinnya.

Pendidikan Islam Zaman Kemerdekaan

a. Pendidikan Islam Periode Orde Lama

PadaPenyelenggaraan pendidikan Islam setelah Indonesia merdeka


pada tanggal 17 Agustus 1945 sudah dilaksanakan dan mendapat perhatian
serius dari pemerintah dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan, di
antaranya: pemerintah memberikan penghargaan tinggi bagi pendidikan
agama Islam, termasuk lembaga-lembaga Islam yang sudah ada. Pada tanggal
22 Desember 1945 BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat) mengumumkan (berdasarkan berita RI tahun No. 4 dan 4 hal. 20
kolom 1) bahwa “Memajukan dunia pendidikan dan pengajaran di
langgarlanggar dan madrasah berjalan terus dan diperpesat.” Berikutnya
tanggal 27 Desember 1945 BPKNIP menyarankan agar pendidikan agama di
sekolah mendapatan tempat yang teratur, seksama, dan mendapat perhatian
yang semestinya. Selain itu BPKNIP menyarankan agar lembaga pendidikan
madarasah dan pondok pesantren mendapat bantuan material dari pemerintah
karena madrasah dan pondok pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan
sumber pendidikan yang mencerdaskan rakyat serta sudah berakar dalam
masyarakat Indonesia.

Selanjutnya, pendidikan Islam untuk sekolah umum mulai diatur


secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946 dengan keluarnya
peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan
dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai
kelas IV SR (Sekolah Rakyat) sampai kelas VI. Pada masa itu kondisi negara
belum stabil sehingga SKB dua menteri belum berjalan sebagaimana
mestinya. Kemudian pada tahun 1950 di saat keadaan negara sudah stabil di
seluruh Indonesia, barulah rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah
Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya pantia bersama yang

7
dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi
dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil dari panitia itu adalah
SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951 yang isinya sebagai beriku:

1) Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat.

2) Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya sumatera,


Kalimantan dan lain-lain) maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I
SR dengan catatan bahwa pengetahuan umum tidak boleh kurang
dibandingkan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai
kelas IV.

3) Di sekolah lanjutan pertama dan tingkat atas (umum dan kejuruan)


diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam per minggu.

4) Pendidikan agama diberikan kepada para murid sedikitnya 10 orang dalam


satu kelas dan mendapat izin dari orang tua/walinya.

5) Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi


pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.

Selanjutnya, dalam hal penyempurnaan kurikulum, pemerintah


membentuk panitia yang dipimpin oleh K. H. Imam Zarkasyi dari pondok
Gontor Ponorogo dan disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.
Dengan demikian, poin penting dipahami bahwa penyelenggaran pendidikan
Islam pada masa pemerintahan Orde Lama secara konstitusional sudah
diberlakukan dengan baik. Meski demikian, bila ditelaah lebih mendalam
bentuk kebijakan yang dikeluarkan terdapat indikasi pengelompokkan
pendidikan yakni, pendidikan agama dan pendidikan umum bila dilihat dari
pembentukan departemen yang ditugaskan untuk menyelenggarakan
pendidikan pada saat itu. Kondisi tersebut menegaskan bahwa dualisme
pendidikan di Indonesia yang termanifestasi dalam tugas Kementerian Agama
dan Kementerian Pendidikan saat ini, merupakan warisan sejarah pada masa
pemerintahan Orde Lama.

8
b. Pendidikan Islam Orde Baru

Sejak ditumpasnya pemberontakan PKI pada tanggal 1 Oktober


1965, bangsa Indonesia telah memasuki fase baru yang dinamakan Orde
Baru. Pemerintahan Orde Baru bertekad sepenuhnya untuk kembali
kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan melaksanakannya secara murni.
Pemerintah dan rakyat membangun manusia seutuhnya untuk masyarakat
Indonesia seluruhnya yakni membangun aspek rohani dan jasmani
individu untuk kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Untuk
merealisasikan tekad tersebut, pemerintah Orde Baru menetapkan
beberapa kebijakan kaitannya dengan pelaksanaan pendidikan agama,
antara lain: 1) Memperkokoh kehidupan beragama dan pendidikan agama
dalam struktur organisasi pemerintah maupun masyarakat. Melalui sidang-
sidang MPR yang menyusun GBHN pada tahun 1973-1978 dan 1983
ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di
setiap sekolah negeri dalam semua jenjang pendidikan. 2) Ditetapkannya
peraturan pola umum PELITA IV bidang agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa yang dinyatakan sebagai berikut:

Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan,


maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa harus semakin diamalkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun
kehidupan sosial masyarakat.

Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan


bagi pengembangan kehidupan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa termasuk pendidikan agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum di
sekolahsekolah mulai dari sekolah dasar sampai universitas-universitas
negeri. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa
penyelenggaraan pendidikan Islam pada pemerintahan masa Orde Baru
bila dilihat dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan pada intinya
menekankan pada penguatan secara konstitusional serta menyempurnakan
pelaksanaan pendidikan Islam pada masa Orde Lama.

9
c. Pendidikan Islam Era Revolusi Industri 4.0

Revolusi industri 4.0 pada masa ini menempati dudukan teratas dan
sedikit meninggalkan pendidikan islam diposisi jauh dibelakangnya.
Pendidikan dihadapkan dengan dua pilihan pada masa sekarang ini, yaitu
memilih untuk bertahan pada posisi yang sekarang atau mau melakukan
perubahan ke arah yang lebih baik agar mampu bersaing dengan era 4.0
ini. Jika pendidikan islam mau melakukan suatu perubahan yang lebuh
baik, ia harus mampu menerima segala konsekuensi yang ada pada era
revolusi ini.

Pendidikan Islam untuk menangani permasalahan tersebut perlu


mengadakan pembaharuan. Pembaharuan tersebut harus di sertai dengan
pandangan ilmu pengetahuan. Dalam mengadakan pembaharuan ini,
tentunya akan mengalami paling tidak kegagalan dan mengalami beberapa
hambatan dalam upaya pembentukan pembaharuan jika salah dalam
memiliki rujukan ilmu pengetahuan. Jika ditarik kembali ke beberapa
tahun yang silam pada abad pertengahan mengalami kemunduran karena
pandangannya terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomis dan sempit.
Pandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan yang seperti dterakan
pada lembaga-lembaga pendidikan yang tradisional seperti pesantren ini
menciptakan lulusan yang dikatakan sekarang tidak memiliki akses dengan
dunia kerja yang lebih luas lagi.

Keadaan yang seperti itu, maka yang ada pada kurikulum dalam
pendidikan islam hanya menjadikan lulusannya hanya pandai mengaji dan
membaca al-qur’an saja dan sebagai pelengkap dari formalitas, tetapi
dalam kenyataan yang ada mereka tidak dbisa mengamalkannya dan
mencapai tujuan yang diberikan. Keadaan yang seperti inilah, maka
pembaharuan islam dalam mencapai tujuan tersebut harus membutuhkan
bantuan ataupun dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
seperti pada masa revolusi industri 4.0 saat ini.

10
Rhenald Kasali memaparkan tiga langkah yang harus diperhatikan
dalam pendidikan islam di era revolusi industri 4.0 ini diantarnya yaitu:
yang pertama, disruptive mindset disini dijelaskan bahwa manusia berfikir
ditentukan dengan pemikiran yang di buat sediri oleh diri individu
sebelum berfikir dan bertindak. Yang kedua, self-driving dalam hal ini
individu diharapkan agar bisa tangkap dan dinamis untuk beradaptasi
dengan era disrupsi ini dan dapet mengendalikan dirinya. Dan yang ketiga,
reshape or create dalam hal ini kalangan umat islam masih memiliki
pemikiran yang begitu populer yaitu geneologi.

Isi dari geneologi tersebut yaitu “mempertahankan yang lama yang


baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”, sesuai dengan era 4.0
dimana pada era ini mobilitas dan kemudahan menjadi suatu tuntutan
manusia. Adanya hal tersebut pendidikan islam dihadapkan dengan dua
pilihan untuk menghadapi era 4.0 ini, pilihan tersebut yaitu reshape atau
create. Pendidikan islam jika menjatuhkan pilihan pada reshape dalam
artian harus tetap mempertahankan pemikiran yang lama dan yang paling
baik untuk digunakan. Akan tetapi, untuk menghadapi era 4.0 ini dalam
mempertahankan pemikiran yang lama saja tidak akan cukup jika tidak
ada modifikafi-modifikasi yang sejalan dengan perkembangan dan
perubahan pada era saat ini. Jika pendidikan memilih jalan lain yaitu
create dengan artian menciptakan sesuatu yang baru dan lebih baik dari
sesuatu yang lama tersebut.

B. Urgensi Pendidikan Islam


Pelaksanaan pendidikan Islam menempati posisi yang sangat urgen
dan strategis dalam menciptakan situasi dan kondisi masyarakat yang
sejahtera, adil, dan makmur. Mengapa demikian? Karena pendidikan Islam
akan membimbing manusia dengan bimbingan wahyu Ilahi, hingga
terbentulmya individu-indjvidu yang memjliki kepribadian yang Islami.
Pendidikan Islam memfasilitasi manusia untuk belajar dan berlatih
mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya, baik yang bersifat fisik
(jasmaniah) maupun nonfisik (rohaniah), yang profilnya digambarkan Allah

11
dalam al-Quran sebagai sosok ulil albab, sebagai manusia muslim paripurna,
yaitu manusia yang beriman, berilmu, dan selalu produktif mengerjakan amal
saleh sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.6

Manusia lahir tidak mengetahui apa pun, tetapi ia dianugerahi oleh


Allah Swt. pancaindra, pikiran, dan rasa sebagai modal untuk menerima ilmu
pengetahuan, memiliki keterampilan dan mendapatkan sikap tertentu melalui
proses kematangan dan belajar terlebih dahulu. Permasalahan-permasalahan
yang dihadapi masyarakat muslim dunia saat ini tidak lepas dari faktor
modernisasi dan globalisasi yang berdampak pada semua aspek kehidupan:
ekonomi, sosial, politik, dan juga pendidikan. Pengaruh modernitas
mempunyai andil best dalam membah gaya dan pola hidup pada hampir
semua lapisan masyarakat, termasuk masyarakat muslim. Tidak bisa
dipungkiri bahwa anak-anak kita belajar sistem nila kebanyakan dari budaya
populer dan media massa. Pengaruh kolonialisme yang membawa bnda :
materialisme dan sekularisme selama berabad-abad telah meninggalkan bekas
yang tak bisa dihapus pada pola pikir dan sistem nilai di dunia muslim saat
ini.7

Oleh sebab itu, dalam upaya merekonstruksi pendidikan Islam kita


perlu memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan Islam, yang meliputi:

1) pendidikan Islam merupakan bagian dari sistem kehidupan Islam, yaitu


suatu proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai moral Islam melalui
sejumlah informasi, pengetahuan, sikap, prilaku dan budaya

2) pendidikan Islam merupakan sesuatu yang in tegrated, artinya


mempunyai kaitan yang membentuk suatu kesatuan yang integral
dengan ilmu-ilmu yang lain

3) pendidikan Islam merupakan life long process

6
Hari Gunawan, Pembelajaran Pendidikan Islam (PT Remaja Rosdakarya) hal
7
Zainuddin, Paradikma Pendidikan Terpadu, (UIN Malang Press 2008) hal 3

12
4) pendidikan Islam berlangsung melalui suatu proses yang dinamis, yakni
harus mampu menciptakan iklim dialogis dan interaktif antara pendidik
dan peserta didik

5) pendidikan Islam dilakukan dengan memberi lebih banyak mengenai


pesanpesan moral pada peserta didik .8

Sangat urgen sekali pendidikan islam bagi manusia, dari masih kecil
hingga dewasa, pendidikan islam sudah harus diterapakan. Sebagaimana
islam mengenal adanya pendidikan sepanjang masa. Manusia selalui
dikelilingi oleh pendidikan, baik itu secara formal, nonformal bahkan
informal. Oleh karena itu, pendidikan sesungguhnya sudah ditanam dari
lingkungan keluarganya sebelum masuk pada tatanan sosial lebih jauh.9

Suksesnya pendidikan islam ini tidak hanya stagnan pada teori dan
tujuan pendidikan islam, melainkan juga didukung dengan sistem yang
seharusnya berkembang untuk mengangkat pontensi fitrah manusia. Dalam
hal ini, pendidikan islam harusnya bisa menyentuk berbagai aspek manusia,
spritualitasnya, intelektual dan Psikomorik harus dibina dengan serangkaan
sistem pendidikan islam secara meyeluruh.10

Pastinya kita bisa memahami pendidikan islam secara definitif melalui


satu kata yang dismbung yaitu Pendidikan Islam secara utuh. Namun
alangkah baiknya jika memahami kata islam secara sekilas yang menjadi
label pendidikan islam. Namun tidak mencakup keseluruhan hanya menjadi
pengantar pemahaman saja. Islam pada dasarnya adalah suatu ajaran atau
agama yang menyatakan bahwa Allah adalah tuhannya, serta segala sesuatu
adalah kehendak dan jalan Allah swt. Dia yang menciptakan segalanya,
menguasai dan mengatur alam semesta ini. Pada dasarnya, Islam sudah
dikenal sebagai ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad dan nabi-nabi

8
Ibid hal 7
9
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2014), hal 17
10
Siswanto, Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam (Surabaya: CV Salsabila Putra Pratama,
2015), hal 66

13
tertahulu. Al-qur’an sebagai kitab sucinya dan ajarannya senantiasa merujuk
pada sumber kitab suci dan as-sunnah. Islam ini yang meyakini bahwa segala
sesuatu yang ada di alam semsta adalah milik Allah semata, karena Dia yang
menguasai seluruh penjuru alam ini.

Jika dipandang secara makna di balik kalimat islam, kita akan


menemukan pemahaman bahwa islam memiliki makna berserah diri,
tawakkal, dan senantiasa mengembalikan seganya pada ketentuan Ilahi. Serta
menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya. Oleh karena itu, dapat
ditarik suatu konsep pemahaman Islam sebagai agama yang mengakui dan
meyakini tuhan satu (Allah) lalu islam juga yang membawa kedamain,
mengajarkan kepatuhan dan memerintahkan menjaga hubungan baik antar
sesama.11

Penanaman ajaran Islam harus diberikan sejak dini, mulai dari usia
kanak-kanak, remaja. Bahkan sampai dewasa. Dalam Islam dikenal dengan
istilah pendidikan sepanjang hayat (long life education). Artinya selama ia
hidup tidak akan lepas dari pendidikan, karena setiap langkah hidup manusia
hakikatnya adalah belajar,“ baik langsung maupun tidak langsung. Jadi
pendidikan agama islam adalah ikhtiar manusia dengan jalan bimbingan dan
pimpinan untuk membantu dan mengarahkan fitrah agama si anak didik
menuju terbentuknya kepribadian utama sesuai dengan ajaran agama.

Probelematika yang dihadapi pendidikan islam saat ini tidak lepas dari
faktor modernisasi dan globalisasi yang berdampak pada semua aspek
kehidupan: ekonomi, sosial, dan juga pendidikan. Pengaruh modernisasi
mempunyai andil besar dalam mengubah gaya dan pola hidup masyarakat.
Pendidikan islam merupakan tonggak utama yang dapat dijadikan sandaran
utama dalam membentuk generasi yang siap diterjunkan ke dunia global yang
penuh dengan tantangan. Dari uraian diatas jelaslah betapa penting
pendidikan agama islam, dalam mendidik pribadi-peribadi yang sesuai
dengan syariatnya, apalagi di era globalisasi saat ini, yang semuanya serba

11
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal 49-50

14
cepat dan tepat, tantangan pun tak dapat dihindarkan, sehingga bagaimana
pendidikan islam mempesiapkan generasi yang siap menghadapi era 4.0 yang
berbeda dengan era kita dulu yakni era klasik yang semuanya serba
dikerjakan oleh tangan manusia.

Demikian pula pendidikan Islam yang bercita-cita membentuk insan


kamil yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan sunnah. Secara lebih spesifik
pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan Islam atau sistem
pendidikan yang Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan
serta disusun dari ajaran dan nilai fundamental yang terkandung dalam
sumbernya, yaitu al Qur’an dan Hadits. Sehingga pendidikan Islam dapat
berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri dan
dibangun dari al-Qur’an dan Hadits.

15
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah suatu proses pendidikan yang


sifatnya menyeluruh dan terpadu yang mengarah pada pembentukan kepribadian
peserta didik baik itu individu maupun sosial yang berdasarkan pada ajaran Islam.

Dalam pendidikan Islam, terdapat eksistensi pendidikan Islam dan urgensi


pendidikan Islam. Didalam eksistensi pendidikan Islam atau keberadaan
pendidikan Islam dibagi menjadi 2 zaman, yaitu pendidikan Islam zaman
penjajahan yang berisi zaman Belanda dan Zaman Jepang dan pendidikan Islam
zaman kemerdekaan yang berisi periode orde lama, periode orde baru, dan era
revolusi industri 4.0. Pembagian itu menjelaskan bagaimana keberadaan
pendidikan Islam.

Pelaksanaan pendidikan Islam menempati posisi yang sangat urgen dan


strategis dalam menciptakan situasi dan kondisi masyarakat yang sejahtera, adil,
dan makmur. Karena pendidikan Islam akan membimbing manusia dengan
bimbingan wahyu Ilahi, hingga terbentulmya individu-indjvidu yang memjliki
kepribadian yang Islami. Pendidikan Islam memfasilitasi manusia untuk belajar
dan berlatih mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya, baik yang
bersifat fisik (jasmaniah) maupun nonfisik (rohaniah), yang profilnya
digambarkan Allah dalam al-Quran..

16
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. D. (2013). Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Gunawan, H. (2014). Pendidikan Islam : Kajian Teorotis dan Pemikiran Tokoh.


Bandung: PT Raja Rosdakarya.

Idi, A., & Suharto, T. (2006). Revitalisasi Pendidikan Islam. Tiara Wacana.

Nasution, S. (1995). Sejarah Pendidikan Nasional. Jakarta: Bumi Aksara.

Ramayulis. (2012). Sejarah Pendidikan Islam : Perubahan Konsep, Filasafat, dan


Era Nabi Muhammad saw, sampai Ulama Nusantara. Jakarta: Kalam
Mulia.

Siswanto. (2015). Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam. Surabaya: CV


Salsabila Putra Pertama.

Zainuddin. (2008). Paradigma Pendidikan Terpadu. Malang: UIN Malang Press.

17

Anda mungkin juga menyukai