Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN ANESTESIOLOGI REFLEKSI KASUS

RSU ANUTAPURA 21 Juni 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKAIRAAT
PALU

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS


PRE-EKLAMSIA BERAT MENGGUNAKAN TEKNIK REGIONAL ANESTESI

Disusun Oleh:
Ida Ayu Putri Herdayanti, S.Ked
14 18 777 14 309

Pembimbing :
dr. Muhammad Rizal, Sp. An

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Ida Ayu Putri Herdayanti


No. Stambuk : 14 18 777 14 309
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Alkhairaat Palu
Judul REFKA : Manajemen Anestesi Pada Pasien Dengan Diagnosis Pre-Eklamsia Berat
Menggunakan Teknik Regional Anestesi

Bagian Anestesiologi
RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, Juni 2021


Pembimbing Mahasiswa

dr. Muhammad Rizal, Sp. An Ida Ayu Putri Herdayanti, S,Ked


BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : Ny. Liliana
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 81 kg
Tinggi badan : 149 cm
Alamat : Jl. bantilan
Pekerjaan : PNS
Agama : islam
Diagnosa pra bedah : GIV PIII A0 gravid aterm + PEB belum inpartu, Riwayat SC 1
kali (tahun 2017)
Jenis pembedahan : SC TP
Tanggal operasi : 14 juni 2021
Jenis anestesi : Regional Anestesi Subarachnoid Unilateral
Anestesiology : dr. Muhammad Rezza. Sp.An
Ahli bedah : dr. Abd. Faris, Sp.OG (K)

A. S-O-A-P
1. Subjektif :
 Keluhan Utama : Nyeri perut tembus ke belakang
 Riwayat penyakit sekarang : Pasien usia 35 tahun datang ke RS dengan keluhan nyeri
pada perut atas bagian tengah tembus ke belakang yang dirasakan sejak tadi malam.
Nyeri dirasakan hilang timbul. Pusing (+), keluhan Mual (+), Muntah (-), demam (-).
BAB dan BAK lancar.
 Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat penyakit hipertensi (+), Riwayat HT kehamilan anak ke tiga.
- Riwayat penyakit asma (-)
- Riwayat alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat trauma atau kecelakaan (-)
- Riwayat merokok (-)
- Riwayat operasi (+) pada tahun 2017 dengan tehnik anestesi SAB
- Riwayat konsumsi obat (+) : Biocombin , Procalma (vit B12) dan Nifedipine 10 mg
- Riwayat Kejang (-)

 Riwayat penyakit keluarga :


- Riwayat penyakit DM : tidak ada
- Riwayat penyakit alergi : tidak ada
- Riwayat penyakit asma : tidak ada
- Riwayat penyakit darah tinggi : tidak ada
- Lain-lain : tidak ada

2. Objektif :
 Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
 B1 (Breath)
- Gigi Palsu (+) pada incivus superior, Gigi Goyang (-)
- Mallampati Score : 1, leher pendek (-)
- Thyroid Mandibular Distanced (-)
- Pernapasan regular, pengembangan dada kiri dan kanan simetris
- Bunyi pernapasan vesikuler ++
- Suara napas tambahan, Rhonki -/- , Wheezing -/-
- RR 20 x per menit

 B2 (Blood)
- Tekanan darah : 160/90 mmHg
- Nadi : 80 x per menit. Reguller, kuat angkat
- konjungtiva : anemis -/-
- Akral : hangat
- CRT : < 2 Detik

 B3 (Brain)
- Kesadaran : Compos Mentis, GCS : E4 M6 V5
- Mata : sclera ikterik (-/-), reflex cahaya (+/+)
- Suhu : 36,7oc
- VAS :2

 B4 (Bladder)
- Buang Air Kecil lancar
- Urine berwarna kuning

 B5 (Bowel)
- Nyeri perut (+), mual (+), muntah (-)
- Defence Muscular (-)
- Distensi abdomen (+)
- Nyeri Perut (+)
- Peristaltik (+) kesan normal
- BAB Lancar

 B6 (Back & Bone)


Tulang Belakang
- Fraktur (-)
- Lordosis (-)
- Kifosis (-)
- Skoliosis (-)
- Infeksi pada kulit daerah insersi (-)
Ekstremitas
- Fraktur (-)
- Dislokasi (-)
- Pergerakan terbatas (-/-)
- Edema extremitas (+/+)

 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium

Tabel 1. Hasil Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 13 Juni 2021

Hasil Rujukan
Hemoglobin 10,5 11,7-15,5 g/dl
RBC 3,9 106/ul
Eritrosit 4,3 3,8-5,2 x 106/ul
Hematokrit 31 35-47%
Trombosit 273 150-440 x 103/ul
GDS 82 80-199 mg/dl
Waktu
8’00” 4-10 m.det
pembekuan
Waktu
3’00” 1-5 m.det
perdarahan

Table 2 pemeriksaan SARS CoV, Tanggal 13 Juni 2021


No JENIS PEMERIKSAAN HASIL KETERANGAN
SARS CoV-2 Antigen NEGATIF immunochromatografi

Table 3 Pemeriksaan darah tanggal 13 Juni 2021


No JENIS PEMERIKSAAN HASIL KETERANGAN
HBsAg NON REAKTIF ICT / rapid
ANTI HIV NON REAKTIF ICT / rapid
Table 4, Pemeriksaan urine tanggal 13 Juni 2021
No PEMERIKSAAN URINE HASIL NILAI RUJUKAN

1 PH 7,0 4,8 - 8,0

2 BJ 1.015 1.003 – 1.022

3 PROTEIN Negatif Negatif

4 REDUKSI Negative Negative

5 UROBILINOGEN Negative Negative

6 BILIRUBIN Negative Negative

7 KETON Negative Negative

8 NITRIT Negative Negative

9 BLOOD Negative Negative

10 LEUKOSIT Negative Negative

Table 5, Pemeriksaan Glukosa darah tanggal 13 Juni 2021

No PEMERIKSAAN DARAH HASIL NILAI RUJUKAN

1 DIABETES

1. Glucosa sewaktu 88 60-199 mg/dl

2. Glucose puasa

3. GD2PP

4. TtGO

5. hbA1c
3. Assesment
 Status fisik ASA PS kelas II
 Rencana anestesi : Regional Anestesi
Diagnosis pra-bedah : GIV PIII A0 gravid aterm + PEB belum inpartu, Riwayat SC 1
kali

4. Persiapan pasien preoperatif :


a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Pasien dipuasakan minimal 6-8 jam pre-operasi
c. Pemasangan Infus

5. Persiapan Premedikasi :
- Diberikan obat anti emetic yaitu ondansentron injeksi 4 mg via (iv)
6. Persiapan di kamar operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Komponen STATICS (Tabel 6)
 Mesin anestesi
 Obat-obat anastesia
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; epinefrine, atropine, lidocain 2% dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse Oxymeter” dan
“Capnograf”.
 Kartu catatan medik anesthesia
 Evaluasi status anesthesi

Tabel 6. Komponen Statics


Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
S Scope Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
7. dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

Pipa LMA, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini


T Tubes
digunakan laryngeal mask airway ukuran 3 mm

Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa


hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini menahan
A Airways
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.

Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


T Tapes
tercabut.

Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)


I Introducer yang mudah dibengkokkan untuk pemandu. Pada pasien
ini tidak digunakan introducel atau stilet.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.

S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Prosedur Subarachnoid Blok (SAB) :


 Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kanan dengan cairan ringer
laktat
 Memasang monitor untuk melihat tekanan darah, heart rate, saturasi oksigen dan laju
respirasi.
 Spinal Anestesi : posisi RLD, Indentifikasi Interspace Vert. L 3-4 Desinfektan.
 Insersi Spinocan nomor 26 G , LCS (+) mengalir, darah (-), barbotage (+).
 Injeksi Bupivacain 0,5 % 10 mg Via Spinocan
 Kembali ke posisi supine, Test Otonom, Prick Test Sensorik setinggi T6, Test
motoric. Bromagr score : 3, tidak dapat mengangkat kaki sama sekali.
 Maintenance : O2 2-4L/menit
 Pasien di transfer recovery room

8. Postoperatif :
Pemantauan di Recovery Room
Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik. Pada pasien tekanan darah 114/81 mmhg, nadi 82

x/menit, dan laju respirasi 20x/menit. bromage score 0 maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

Bromage Score (Spinal Anestesi) Skor ≤ 2 boleh pindah ruangan. Pada pasien didapatkan skor
0.

No Kriteria Skala Skor

Dapat mengangkat tungkai bawah 0 0


1

Tidak dapat mengangkat tungkai bawah tetapi 1 -


2 masih dapat menekuk lutut

Tidak dapat menekuk lutut tetapi dapat 2 -


3 mengangkat kaki

Tidak dapat mengangkat kaki sama sekali 3 -


4
Post OP pain

- Diberikan fenthanyl 75 mg + ketamin 25 mg dalam cairan infus ringer laktat 500 cc

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pre Operatif

Pada kasus ini seoran wanita usia 37 tahun dengan diagnosis G IV PIII A0 gravid aterm +

PEB belum inpartu dan Riwayat SC 1 kali.Tindakan anestesi yang digunakan pada kasus adalah

SAB ( sub arachnoid blok ). Sebelum dilakukan tindakan anestesi, terlebih dahulu dilakukan tindakan

pra-anestesi yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Untuk menentukan

status fisik ASA dan resiko operasi. Pada pasien ini termasuk dalam ASA PS kelas II. American

Society of Anestesiology (ASA) 2020 membuat klasifikasi status fisik pra-anestesi menjadi 6 kelas

yaitu :

Contoh Dewasa, Contoh Anak,


Klasifikasi Contoh Kehamilan,
Definisi Termasuk, tapi Termasuk, tapi
ASA Termasuk, tapi tidak
tidak terbatas tidak terbatas
terbatas pada:
pada: pada:
ASA I Pasien sehat Sehat, tidak
Sehat (tidak ada
yang normal merokok, tidak/atau
penyakit akut atau
penggunaan alcohol
kronis),
yang minimal
BMI normal
persentil untuk
usia
ASA II Pasien Hanya Penyakit Penyakit jantung
Kehamilan normal *,
dengan ringan tanpa batasan bawaan
HTN kehamilan yang
Penyakit substantif asimptomatik,
terkontrol,
sistemik fungsional. disritmia yang
preeklamsia terkontrol
yang ringan perokok, sosial terkontrol dengan
peminum alkohol, baik, tanpa gambaran yang

kehamilan, obesitas asma tanpa parah,


(30 <BMI <40), eksaserbasi, Diet DM Gestasional
DM / HTN epilepsi yang yang terkontrol.
terkontrol dengan terkontrol dengan
baik, penyakit paru- baik, noninsulin
paru yang ringan diabetes
mellitus, BMI
abnormal
persentil untuk
usia, OSA ringan /
sedang, status
onkologis dalam
remisi, autisme
dengan
keterbatasan
ringan
ASA III Pasien Batasan fungsional Kelainan jantung Preeklamsia dengan
dengan yang substansial; kongenital stabil gambaran berat, DM
Penyakit Satu atau lebih yang tidak gestasional dengan
sistemik penyakit sedang terkoreksi, asma komplikasi atau
yang berat hingga berat. DM dengan kebutuhan insulin yang
atau HTN yang eksaserbasi, tinggi, penyakit
tidak terkontrol, epilepsi yang tidak trombofilikyang
COPD, obesitas terkontrol, membutuhkan
morbiditas (BMI diabetes mellitus antikoagulasi.
≥40), hepatitis aktif, yang tergantung
ketergantungan atau insulin, obesitas
penyalahgunaan morbid,
alkohol, alat pacu malnutrisi, OSA
jantung implan, berat, status
pengurangan fraksi onkologis, gagal
ejeksi sedang, ginjal, distrofi
ESRD yang otot, fibrosis
menjalani dialisis kistik, riwayat
terjadwal secara transplantasi
teratur, riwayat IM, organ, malformasi
CVA (> 3 bulan), otak / sumsum
TIA, atau CAD / tulang belakang,
stent. hidrosefalus
simptomatik, PCA
bayi prematur <60
minggu, autisme
dengan
keterbatasan berat,
penyakit
metabolik,
kesulitan jalan
napas, penggunaan
nutrisi parenteral
jangka panjang.
Bayi cukup bulan
usia <6 minggu.
ASA IV Seorang MI, CVA, TIA atau Kelainan jantung Preeklamsia dengan
pasien CAD / stent terkini kongenital gambaran yang berat
dengan (<3 bulan), iskemia yangbergejala, dipersulit oleh
penyakit jantung yang sedang gagal jantung penyakit HELLP atau
sistemik berlangsung atau kongestif, gejala efek samping lainnya,
berat yang disfungsi katup sisa prematuritas kardiomiopati
merupakan yang parah, aktif, ensefalopati peripartum dengan EF
ancaman pengurangan fraksi hipoksia-iskemik <40, penyakit jantung
seumur hidup ejeksi yang berat, akut, syok, sepsis, tidak terkoreksi /
syok, sepsis, DIC, koagulasi dekompensasi, didapat
ISPA atau ESRD intravaskular atau bawaan.
yang tidak diseminata,
menjalani dialisis defibrilator
terjadwal secara kardioverter
teratur implan otomatis,
ketergantungan
ventilator,
endokrinopati,
trauma berat,
gangguan
pernapasan berat,
keadaan onkologis
lanjut.
ASA V Seorang Aneurisma Trauma masif, Ruptur uteri
pasien yang abdomen / toraks perdarahan
sekarat atau yang pecah, trauma intrakranial
keadaan masif, perdarahan dengan efek
beratdan intrakranial dengan massa, pasien
diperkirakan efek massa, iskemik yang
tidak akan usus saat membutuhkan
selamat tanpa menghadapi ECMO, gagal atau
operasi kelainan jantung henti pernapasan,
yang signifikan atau hipertensi maligna,
disfungsi multi gagal jantung
organ / sistem kongestif /
dekompensasi,
ensefalopati
hepatik, iskemik
usus ataudisfungsi
multi organ /
sistem.
ASA VI Seorang pasien yang terkonfirmasi mengalami kematian batang otak yang
organnya akan diambil untuk tujuan donor

Manajemen pre-operatif

Persiapan pre-operatif antara lain :

- Pemasangan infus dengan abocath 16 G

- Pasien dipuasakan sekurang 6-8 jam

- Persiapan darah untuk mencegah terjadinya syok saat dilakukan operasi maupun post operasi.

Penanganan sebelum dilakukan operasi meliputi kontrol kejang, manajemen

kardiovaskuler dan respirasi, fungsi ginjal, hepar dan koagulasi. Kontrol kejang dapat dilakukan

dengan pemberian agen anti konvulsi atau dengan preparat magnesium sulfat. Pemberian diazepam

sangat terbatas dan kurang disukai karena efek depresi pada janin, sedangkan fenitoin dapat
digunakan dengan dosis 10 mg/kgBB bolus dalam 100 cc salin diberikan 50 mg/menit karena efek

depresinya kecil pada janin. Magnesium bersifat vasodilator serebral yang kuat, dan memberikan

kontrol kejang yang lebih baik daripada pemberian diazepam, dan difenil hidantoin. Dosisnya 40–80

mg/kgBB. Cara kerjanya berdasar blokade influx kalsium pada saluran subtipe glutamat N-metyl- D-

aspartat (NMDA).

Penilaian preoperatif pada pasien pre-eklampsia/eklampsia bertujuan untuk: menilai status

kejang dan fungsi neurologis, terutama peningkatan tekanan intrakranial, pemeliharaan

kebutuhan cairan/ balance cairan, kontrol tekanan darah, oksigenasi yang cukup dan uji laboratorium

meliputi darah rutin, faktor koagulasi dan fungsi hepar.

Berdasarkan dari hasil anamnesis, dan pemeriksaan fisisk, didapatkan bahwa

pasien ini mempunyai Riwayat hipertensi dan telah mendapat penanganan dengan obat

oral (nifedipine).

Berdasarkan teorinya, pre-eklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu

kehamilan disertai dengan proteinuria. Gejala klinik preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan

dan preeklampsia berat. Preeklampsia berat adalah Preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160

mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria > 5 g/24 jam. Preeklampsia dan

eklampsia dapat timbul pada sebelum, selama, serta setelah persalinan. Tanda-tanda adanya penyakit

iniyaitu adanya hipertensi dan proteinuria.12

Sehingga pada pasien ini diberikan obat antihipertensi (nifedipine) karena tekanan

darah pasien saat awal masuk yaitu 160/90 mmHg, sehingga untuk mengontrol tekanan

darahnya diberikan nifedipine. Nifedipine menjadi pilihan utama pada pasien karena fungsi dari

nifedipine sendiri dapat menurunkan tekanan darah dan juga dapat mengahambat terjadinya kontraksi

pada uterus sehingga mecegah terjadinya kelahiran premature (Schleubner,2013; Gaspar,2013).


Nifedipine merupakan golongan antagonis saluran kalsium yang bekerja efektif sebagai

vasodilator anterial dan biasa digunakan dalam hipertensi, angina pektoris dan penyakit kardiovaskuler.

Nifedipin bekerja dengan menghambat masuknya kalsium kedalam sel-sel otot jantung dan sel-sel otot

polos dinding arteri. Secara farmakokinetika, nifedipin di absorbsi secara cepat setelah pemberian rute

oral. Kadar puncak dalam darah dicapai dalam waktu 20-45 menit dan paruh waktu eliminasinya (t½)

±2,5 jam dengan masa kerja ±8-12 jam, ±95% terikat protein plasma akan tetapi ketersediaan hayatinya

lebih rendah (sekitar 45-75%) dengan dosis lazim yang digunakan yaitu 20-40 mg sehari 8 jam. Sehingga

dapat dikatakan bahwa pasien harus meminum obat 3 kali dalam sehari,dengan regimen yang terlalu

sering tidak jarang kepatuhanpasien dalam penggunaan obat ini tidak berjalan sesuai ketentuan dan

mengakibatkan angka kekambuhan serangan meningkat.

Pre-operasi menjelaskan kepada pasien anastesi yang akan di lakukan tindakan

pembedahan dan menjelaskan kepada keluarga mengenai resiko-resiko dari teknik

anastesi, meminta pasien untuk tidak memakai gigi palsu (jika ada) serta perhiasan,

memasang kateter, memasang cairan infus yaitu Ringer Laktat, menggunakan tranfusi set

dan abbocath 18 G, menyiapkan 2 kantong darah.

Pada persiapan periopeatif dilakukan juga puasa sebelum operasi. Puasa preoperatif pada pasien

pembedahan bertujuan untuk mengurangi volume lambung tanpa menyebabkan rasa haus dan dehidrasi.

Puasa preoperatif yang disarankan menurut ASA adalah 6 jam untuk makanan ringan, 8 jam untuk

makanan berat dan 2 jam untuk air putih. Puasa preoperatif yang lebih lama akan berdampak pada kondisi

pasien preoperatif serta pascaoperatif. Pada pasien ini menjalani puasa sekitar ± 6 jam sebelum

operasi dilakukan. Hal ini sudah sesuai teori dimana anjuran puasa perioperative adalah selama 6-8 jam

sebelum operasi.

Pada saat sebelum operasi, pasien diberikan premedikasi terlebih dahulu.

Premedikasi yang diberikan yaitu Antiemetik Ondansentron injeksi 4 mg (IV). Konsentrasi 4

mg/2ml dalam 1 Ampul 2 ml, dosis 0,05-01 mg/kgBB Ondansentron, sebagai anti emetik, suatu antagonis
selektif 5-HT3, menghambat serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme sentral dan perifer.

Mekanisme sentral dengan mempertinggi ambang rangsang muntah di chemoreceptor trigger zone.

Mekanisme perifer dengan menurunkan kepekaan saraf vagus terminalis di visceral yang menghantar

impuls eferen dari saluran cerna ke pusat muntah.Onset 30 menit, dengan durasi 3 jam. Pada pasien ini

diberikan ondancentron 4 mg (IV) untuk mendapatkan efek emetik sehingga pasien tidak

merasakan mual ataupun muntah saat dilakukan induksi operatif ataupun pasca operatif.

2. Tindakan anestesi

Tipe anestesia dibagi menjadi 3 yaitu anestesia umum, anestesia lokal dan anestesia regional.

Anestesia regional dibagi lagi menjadi 2 teknik yaitu teknik pusat (central technique) seperti anestesia

epidural serta anestesia spinal dan teknik tepi (peripheral technique) seperti blok plexus serta blok saraf

tunggal. Teknik yang sering digunakan dalam operasi seksio sesaria adalah anestesia regional teknik

pusat (anestesia epidural dan anestesia spinal). Anestesia spinal sudah digunakan sejak awal 1900-an

untuk analgesik obstetrik. Teknik ini sudah digunakan selama ratusan tahun tanpa menimbulkan efek

samping yang berarti. Pada tahun 1930- an angka kematian untuk seksio sesaria dilaporkan satu (1) dari

139 dengan anestesia spinal, dan pada tahun 1950-an anestesia spinal dianggap sebagai bentuk anestesia

paling berbahaya dalam obstetrik. Sejak tahun 1960-an sudah banyak berkembang ilmu pengetahuan

untuk meningkatkan keamanan dari anestesia spinal dan anestesia epidural pada pasien obstetrik. Angka

kematian anestesia regional sekarang tujuh belas kali lebih rendah dibandingkan dengan anestesia

umum untuk seksio sesaria.


Pada pasien dengan rencana tindakan SCTP dapat digunakan tehnik anestesi :

General anestesi dan Regional Anestesi. Dimana jesnisnya terbagi menjadi :

1. Intubasi (general anestesi)

Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam trakhea melalui rima glotis,

sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio

trakhea. Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu

memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui

alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.


Alasan tehnik ini tidak digunakan pada pasien ini adalah Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi

antara lain trauma jalan nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT.

2. LMA /laryngeal mask airway ( general anestesi)

LMA adalah suatu alat bantu jalan napas yang ditempatkan di hipofaring berupa balon yang jika

dikembangkan akan membuat daerah sekitar laring tersekat sehingga memudahkan ventilasi spontan

maupun 14 ventilasi tekanan positif tanpa penetrasi ke laring atau esophagus. Alasan tehnik LMA tidak

digunakan pada kasus ini adalah karena memiliki beberpa komplikasi yang bisa terjadi tiba-tiba dan

membahayakn nyawa pasien.

a. Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat) :


 Gagal insersi (0,3 – 4%)
 Ineffective seal (5%)
 Malposisi (20 – 35%)

b. Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar) :


o Tenggorokan lecet/nyeri tenggorokan (0 – 70%)
o Disfagia (4 – 24%)
o Disartria (4 – 47%)
c. Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh) :
o Batuk (2%)
o Muntah (0,02 – 5%)
o Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%)
o Regurgitasi klinik (0,1%)

3. Epidural ( regional anestesi)

Anestesi epidural merupakan teknik anestesi neuroaksial yang

menawarkan suatu penerapan lebih luas daripada teknik anestesi spinal. Blok

epidural adalah blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural

(peridural, ekstradural). Ruang ini berada di ligamentum flavum dan duramater

bagian atas berbatasan dengan foramen magnum di dasar tengkorak dan di bawah selaput

sacrococcigeal. Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm di bagian posterior kedalaman maksimal pada

daerah lumbal. Anestesi epidural dapat dilakukan pada level lumbal, torakal, dan servikal. Teknik

epidural digunakan secara luas pada anestesi, analgesi persalinan, pengelolaan nyeri paska operasi

dan pengelolaan nyeri kronis. Obat anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar

saraf spinal yang terletak di bagian lateral. Awal kerja analgesi epidural lebih lambat dibanding

analgesi spinal, sedangkan kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih lemah.

Blok epidural memiliki beberapa keuntungan, yaitu :

1) Penghindaran obat narkotik sehingga mengurangi kemungkinan penekanan pernapasan

yang lama dan penekanan saraf pusat pada bayi, serta muntah pada ibu.

2) Kesadaran ibu tetap tidak berkabut selama pembiusan.

3) Blok dapat disesuaikan guna memberikan analgesi yang cukup pada persalinan operatif

pasca sectio caesaria.


Epidural anestesi merupakan salah satu tehnik anestesi yang direkomendasikan pada pasien dengan

rencana tindakan SCTP. Tetapi pada kasus ini tidak digunakan karena tidak tersedia di kota palu.

4. Subarachnoid blok / SAB ( regional anestesi )

Anestsi spinal atau subarachnoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok

intratekal. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal adalah jenis obat, dosis obat yang

digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung

tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan pertama, dan penyebaran

obat.

Pada pasien ini dilakukan tehnik anestesi SAB karena adanya beberapa factor yang

dipertimbangkan yaitu :

- Merupakan indikasi dari SAB : pembedahan tungkai bawah, pembedahan obstetric dan

ginekologi ( majid 2011)

- Kurangnya morbiditas dan mortalitas pasien

- Mula kerja dan masa pulihnya cepat, relative lebih mudah, simple dan kualitas blok

motoric dan sensorik yang baik. (jurnal komplikasi anestesi-volume 2 nomor 3, agustus

2015).

- Pada spinal anestesi SAB, pasien tetap sadar dan bisa melihat lahirnya buah hati.

Anestesi /Sub Arachnoid Blok adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat

anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan anagesi setinggi dermatom tertentu dan

relaksasi otot rangka. Spinal merupakan injeksi agen anestesi ke dalam ruang intratekal, secara langsung

ke dalam cairan cerebrospinalis sekitar region lumbal di bawah 1 atau 2 dimana modula spinalis berakhir.

Anestsi spinal atau subarachnoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok

intratekal. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal adalah jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek
vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung tulang belakang, operasi

tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan pertama, dan penyebaran obat.

Derajat anestesi yang dicapai tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikkan, untuk

mendapatkan blokade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak

faktor, anatar lain posisi pasien selama dan setelah penyuntikkan, barisitas dan berat jenis obat. Berat

jenis obat lokal anestesi dapatdiubah-ubah dengan mengganti komposisinya, hiperbarik diartikan bahwa

obat lokal anestesi mempunyai berat jenis yang lebih besar daripada berat jenis cairan secebrospinal, yaitu

dengan menambahkan larutan glukosa, namun apabila ditambahkan NaCl atau aquadest akan menajdi

hipobarik.

Secara antomis dipilih segmen L2 kebawah pada permukaan oleh kerna ujung bawah daripada

medulla spinalis setinggi L2 dan ruang intersegmental lumbal ini relative lebih besar dan datar

dibangdingkan dengan segmen-segmen lainnya. Lokasi intersapce ini dicari dengan cara menghubungkan

crista iliaca kiri dan kanan, maka titik pertemuan dengan segmen lumbal merupakan processus spinosus

L4 atau interspace L4-L5 (Morgan, 2013).

Sedangkan pada pasien ini tidak ditemukan adanya kontra indikasi untuk

dilakukannya tehnik anestesi SAB. Adapun kontraindikasi tehnik Anestesi SAB adalah :

Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif


1. Pasien menolak 1. Infeksi sistemik (sepsis,
bakteremia)
2. Infeksi pada tempat suntikan
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Hipovolemia berat
3. Kelainan neurologis
4. Koagulopati atau mendapat
4. Kelainan psikis
terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi 5. Bedah lama
6. Fasilitas resusitasi minim 6. Penyakit jantung
7. Kurang pengalaman atau /
7. Hipovolemia ringan
tanpa didampingi konsultan
anestesi 8. Nyeri punggung kronis

Pada pasien ini, untuk obat anestesinya sendiri diberikan obat Bupivacaine 10 mg

dan Fenthanyl 25 mcg.

Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai berikut : 1-butyl-N-

(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride. Bupivakain adalah derivat butil dari

mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan

disintesa oleh BO af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963 15. Secara komersial bupivakain

tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih menghambat sensoris daripada

motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah.

Lama Kerja Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Isobarik

Mengenai lama kerja anestetik ditentukan oleh kecepatan absorbsi sistemiknya, jenis anestesi

lokal, besarnya dosis, vasokonstriktor dan penyebaran anestesi lokal. Semakin tinggi daya ikat protein

terhadap reseptor semakin panjang lama kerjanya. Dikatakan bahwa lama kerja blokade sensorik dan

motorik bupivakain hiperbarik lebih panjang dibandingkan dengan bupivakain isobarik. Sedangkan

penelitian menemukan fakta yang berlainan yaitu pada 20 sampel yang mendapatkan anestesi spinal

dengan bupivakain 0,5% 10 mg hiperbarik mempunyai lama kerja blokade sensorik dan motorik 2 kali

lebih cepat ( rata-rata 92 menit) dibandingkan isobarik (rata-rata 177 menit).15


Pada spinal anestesi dengan bupivakain 0,5% isobarik mempunyai lama kerja blokade sensorik

dan motorik 2 kali lebih panjang dibandingkan bupivakain 0,5% hiperbarik. Pemberian bupivakain 0,5%

isobarik 15 mg telah dilaporkan dapat menghasilkan efek spinal blok anestesi yang lebih cepat jika

dibandingkan dengan pemberian bupivakain 0,5% 15 mg hiperbarik. Banyak faktor yang dapat

mempengaruhi hasil ini antara lain: umur, tinggi badan, anatomi batang spinal, tehnik injeksi, volume

Cerebro Spinal Fluid (CSF), density CSF dan baricity obat anesthesi, posisi pasien, dosis serta volume

obat anestesi. Bupivakain 0,5% isobarik diberikan secara injeksi akan bercampur dengan CSF (paling

sedikit 1:1), ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat blockade neural meliputi tingkat injeksi,

tinggi badan dan anatomi kolumna vertebralis, Sedangkan bupivakain 0,5% hiperbarik dapat diberikan

tergantung dari area spinal (secara normal T4-T8 dalam posisi telentang).15

Pada tehnik diatas bupivacaine dikombinasikan dengan fenthanyl, dimana kita tau

fenthanyl adalah obat analgesic narkotika.

Penambahan opioid intratekal pada anestesi lokal dianggap meningkatkan kualitas anestesia dan

analgesia. Opioid intratekal secara selektif menurunkan input afferen nosiseptif dari serabut αδ dan serat

C (C fiber) sehingga sinyal nyeri tidak terjadi. Penggunaan opioid lipofilik seperti fentanyl dan sufentanil

mempercepat mula kerja serta durasi kerja anestesi. Mekanisme ini dipercaya didasarkan atas adanya

reseptor opioid di medula spinalis dan mekanisme ini disebut sebagai supraspinal analgesia. Fentanyl

adalah opioid dengan sedikit larut lemak yang sering ditambahkan ke anestesi lokal. Fentanyl

menimbulkan analgesia setelah disuntikan intratekal hanya dengan dosis 10 µg (Hadzic A, 2017;

Butterworth et al.,

2018).

Penambahan fentanyl pada anestesi lokal untuk anestesi spinal memunculkan efek sinergis antara

anestesi lokal dan fentanyl dengan dampak analgesia viseral dan somatic tanpa meningkatkan blokade

simpatik. Sebagai tambahan, penambahan fentanyl menurunkan barisitas dan mungkin akan
mempengaruhi distribusi di CSF. Jadi dosis efektif fentanyl yang dapat ditambahkan ke obat anestesi

lokal yaitu 10-25

µg.

Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika digunakan sebagai

penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM (intramuskular) Fentanyl digunakan untuk

menghilangkan sakit yang disebabkan kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan

menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang

persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap menggunakan analgesik

narkotika15.

Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek

samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat

menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan.

Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah

efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu sebelum

pengobatan dihentikan.

Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB) meningkatkan

kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia pascaoperasi. Durasi biasa pada efek

analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis

injeksi Fentanyl 12,5 µg menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek

apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping15.

Pada saat setelah pemberian Bupivacain dan fenthanyl, terjadi penurunan tekanan

darah (Hipotensi) pada pasien ini. Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi.

Biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur setiap

10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini.
Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan

tekanan darah, maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak.

Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi.

Sehingga untuk mengatasi komplikasi dari bupivacaine itu sendiri, pasien diberikan injeksi efedrin

sebanyak 10 mg. Efedrin merupakan obat yang masuk dalam jenis obat emergensi yang memiliki fungsi

meningkatkan tekanan darah pasien akibat dari efek samping obat anestesi lainnya saat operasi

berlangsung. Dimana untuk penggunannya sendiri efedrin biasanya diencerkan dalam NaCL 0.9% dalam

spoit 10 cc, sehingga didapatkan 5 mg/cc.

Pada pasien ini sempat diberikan tramadol untuk obat analgesiknya. Tramadol

merupakan sintesis analgesik opioid yang memiliki fungsi sebagai analgesik sentral dan penghilang rasa

sakit kronik maupun akut, strukturnya yaitu trans-2 (dimethylaminomethyl)-1-(m-methoxyphenyl )

- cyclohexanol hydrochloride. senyawa ini tersedia dalam bentuk kristal berwarna putih , pahit, dan tidak

berbau. Untuk kelarutannya, Tramadol stabil dalam air dan etanol serta memiliki harga pKa 9,14.

Beberapa kelompok dimetilaminometil tramadol adalah nitrogen ring code dan morfin

yang dimetilasi untuk mengikat MOR. Tramadol memiliki efek dual analgesik dimana bertindak secara

sinergis sebagai agonis opioid dan inhibitor reuptake serotonin dan norepinerfin secara monoaminergik.

Tramadol memiliki 2 pusat kiral dan digunakan sebagai campuran rasemat 1 : 1 diastereomer enansiomer,

R, R – enansiomer ([+] – Tramadol) yang merupakan inhibitor reutake serotonin yang palin poten dan

S, S – enansiomer ([-] – Tramadol) yang paling kuat adalah norepinerfin dan inhibitor reuptake

serotonin, sehingga ketika mereka bekerja sama akan meningkatkan aktivitas noradrenegik dan

serotonergik untuk menghasilakn efekanalgesic system saraf pusat.

5. Post operasi

 Diberikan fenthanyl 75 mg + ketamin 25 mg dalam cairan infus ringer laktat 500 cc


 Kemudian dinilao dengan Visual Analog Scale (VAS) : skor 2

Pada saat setelah selesai dilakukan operasi, ada beberapa hal yang harus kita evaluasi pada pasien

dengan pre-eklamsia berat. Yang perlu kita evaluasi pada pasien PEB post OP adalah :

- Tekanan darah pasien : tekanan darah pasien harus tetap dipantau untuk stabil agar tidak

merusak organ-organ vital pada tubub pasien seperti ginjal, jantung dan organ vital

lainnya.

- Volume urine : volume urin yang dihasilkan oleh pasien harus tetap dipantau untuk

menjaga stabilitas cairan pada tubuh pasien. Ketika volume cairan yang masuk dan cairan

yang keluar dari tubuh pasien tidak balance, berarti perlu dilakukan pemeriksaan

penunjang selanjutnya untuk mencegah terjadinya kerusakan pada fungsi organ ginjal

pasien.

- Kejang : pada pasien PEB biasanya terjadi kejang. Kejang yang terjadi diakibatkan karena

intoksikasi palsenta pasien sendiri. Maka perlu diperhatikan Riwayat kejang pasien saat

post OP.

- Perdarahan : pada pasien dengan hipertensi, volume perdarahan sangat perlu untuk

diwaspadai karena dapat menyebabkan syok. Salah satu cara untuk mencegah syok adalah

dengan menyediakan stok darah post OP bagi pasien sesuai dengan golongan darahnya

minimal 250 cc darah.

- Selalu melaukan pemeriksaan kadar protein pada darah.

Komplikasi Pre-eklamsia Berat (PEB)

Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama adalah melahirkan anak hidup

dari ibu yang menderita pre eklampsia. Komplikasi di bawah ini biasanya terjadi pada pre eklampsia dan

eklampsia.
 Solusio Plasenta : Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita

hipertensi akut dan lebih sering pada preeklampsia.

 Hemolisis Penderita dengan pre eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan

gejala klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti

apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah.

Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsy penderita eklampsia

dapat menerangkan ikterus tersebut.

 Perdarahan Otak : Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal

penderita eklampsia.

 Kelainan Mata : Kehilangan penglihatan untuk sementara yang berlangsung

sampai seminggu dapat terjadi perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal

ini merupakan tanda gawat terjadinya apopleksia serebri.

 Edema Paru-Paru

 Nekrosis Hati : Nekrosis periportai pada pre eklampsia merupakan akibat

vasospasme arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia tetapi juga

pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal

hati terutama pemeriksaan enzim-enzimnya.

 Kelainan Ginjal : Kelainan ini merupakan endoteliosis glumerulus yaitu

pembengkakan sitoplasma sel endotel tubulus ginjal tanpa kelainan struktur

lainnya.

 Komplikasi Komplikasi lain yang terjadi berupa lidah tergigit dan fraktur karena

jatuh akibat kejang-kejang dan preumonia aspirasi.

 Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin dalam intra uterin


BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan beberapa

hal, sebagai berikut:


 Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis dengan : GIV PIII A0 gravid aterm + PEB belum
inpartu, Riwayat SC 1 kali (tahun 2017) maka dapat disimpulkan status
pasien pra anestesi. American Society of Anesthesiologist (ASA) pada
pasien dikatakan ASA PS kelas 2 karena pasien dengan riwayat hipertensi
yang terkontrol.
 Pada pasien dengan diagnosis PEB banyak hal yang perlu diperhatikan
selama berlangsungnya operasi. Salah satunya adalah tekanan darah
pasien, nadi, selalu control fungsi dari ginjal dan GCS pasien. Tidak
menutup kemungkinan pada saat operasi berlangsung bisa terjadi kejang
akibat komplikasi dari PEB.
 Tindakan anestesi dengan tehnik SAB memberikan blok yang lebih padat
dan tahan lama dengan hipotensi yang lebih sedikit dan analgesia yang
lebih panjang dengan onset kerja yang lebih cepat dan insiden kegagalan
yang lebih rendah. memberikan blok yang lebih kuat pada sisi operasi dan
pemulihan yang dipercepat dari blok saraf.
 Adapun kelebihan dari anestesi SAB adalah :
- Merupakan indikasi dari SAB : pembedahan tungkai bawah, pembedahan obstetric dan

ginekologi ( majid 2011)

- Kurangnya morbiditas dan mortalitas pasien

- Mula kerja dan masa pulihnya cepat, relative lebih mudah, simple dan kualitas blok

motoric dan sensorik yang baik. (jurnal komplikasi anestesi-volume 2 nomor 3, agustus

2015).

- Pada spinal anestesi SAB, pasien tetap sadar dan bisa melihat lahirnya buah hati.

Daftar Pustaka
1. Sibai B, Dekker G, Kupfe

2. rminc M. Pre-eclampsia. Lancet. 2005;365:785–799. [PubMed] [Google Scholar]


3. Pottecher T, Luton D. Prise en Charge Multidisciplinaire de la Prééclampsie. French. Issy Les

Moulineaux, France: Elsevier; Masson SAS; 2009. [Google Scholar]

4. Carty DM, Delles C, Dominiczak AF. Preeclampsia and future maternal health. J Hypertens.

2010;28:1349–1355. [PubMed] [Google Scholar]

5. Duley L. The global impact of pre-eclampsia and eclampsia. Semin Perinatol. 2009;33:130–137.

[PubMed] [Google Scholar]

6. Fisher SJ, McMaster M, Roberts M. Chesley’s Hypertensive Disorders in Pregnancy.

Amsterdam, the Netherlands: Academic Press Elsevier; 2009. The placenta in normal pregnancy

and preeclampsia. [Google Scholar]

7. Duran-Reyes G, Gomes-Melendez MR, Morali De, La Brena G, Mrecado-Pichardo E, Medina-

Navarro R, Hicks-Gomez JJ. Nitric oxide synthesis inhibition suppresses implantation and

decreases CGMP concentration and protein peroxidation. Life Sci. 1999;65:2259–2268.

[PubMed] [Google Scholar]

8. Genbacev O, Difederico E, McMaster M, Fisher SJ. Invasive cytotrophoblast apoptosis in pre-

eclampsia. Hum Reprod. 1999;14:59–66. [PubMed] [Google Scholar]

9. Genbacev O, Difederico E, McMaster M, Fisher SJ. Invasive cytotrophoblast apoptosis in pre-

eclampsia. Hum Reprod. 1999;14:59–66. [PubMed] [Google Scholar]

10. Ahmed A. New insights into the etiology of preeclampsia: identification of key elusive factors for

the vascular complications. Thromb Res. 2011;127(Suppl 3):S72–75. [PubMed] [Google Scholar]

11. Ahmed A. New insights into the etiology of preeclampsia: identification of key elusive factors for

the vascular complications. Thromb Res. 2011;127(Suppl 3):S72–75. [PubMed] [Google Scholar]

12. Lalenob DC, Lalenob H.J, et.al, Anathesia Manaement In Severe Pre-Eclampsia With Impendin

Eclampsia. Departemen Anastesioloi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sam

Ratulani. 2019: Manado.


13. Veering, B. Local Anesthesics. In Regional Anaesthesia and Analgesia. Philadelphia.

WB Saunders company. 2017. Pages 188-197.

14. Stamtiou, G. The Effect of Hyperbaric Versus Isobaric Spinal Bupivacaine on Sensory

and Motor Blockade Post Operative Pain and Analgesic Requiretments for Turp.

Anesthesiology : 43-6

15. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of Family

Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at October 20th 2011.

16. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D, Isbandiati E,

Basori A. Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2020. Hal 170-171.

17. https://jurnalanestesiobstetri-indonesia.id/ojs/index.php/Obstetri/article/view/v4i1.59/55

Anda mungkin juga menyukai