Anda di halaman 1dari 8

KECENDERUNGAN OVER-GENERALIZE PENGGUNAAN

PRINSIP KOLOM UDARA/PIPA ORGANA DALAM ANALISIS


FREKUENSI SUMBER BUNYI

Sutopo
Jurusan Fisika FMIPA UM
Email: sutopo1909@gmail.com, sutopo@fisika.um.ac.id

Abstrak: Bunyi merupakan fenomena fisika yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari
siswa. Karena itu, bunyi merupakan topik fisika yang dipandang penting untuk dipelajari
siswa di berbagai jenjang pendidikan dasar dan menengah, bahkan juga oleh mahasiswa.
Namun demikian, pelaksanaan pembelajaran topik tersebut nampaknya mengantarkan
munculnya miskonsepsi siswa/mahasiswa akibat kecenderungan mereka untuk menggunakan
prinsip pipa organa atau resonansi kolom udara dalam menganalisis frekuensi bunyi yang
dihasilkan oleh sumber bunyi yang memuat kolom udara; misalnya botol berisi air. Makalah
ini menyajikan sejumlah bukti empiris adanya kecenderunagn tersebut dan mencoba
menganalisis apa penyebabnya serta mengusulkan alternatif pemecahannya.
Kata kunci: sumber bunyi, kolom udara, miskonsepsi

PENDAHULUAN
Topik bunyi merupakan salah satu pokok bahasan fisika (IPA) yang dipelajari siswa Indonesia
di semua jenjang pendidikan, mulai SD sampai SMU, dengan cakupan dan kedalaman yang
disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual siswa (Permendiknas RI no 22 tahun 2006,
tentang standar isi). Hal serupa juga terjadi di negara maju, misalnya Amerika serikat (NRC, 2012).
Beberapa alasan pentingnya topik tersebut dijadikan bahan kajian di sekolah antara lain sebagai
berikut. Pertama, topik tersebut sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa sehingga berpotensi
meningkatkan sikap positif siswa terhadap fisika. Kedua, tersedia bahan ajar yang melimpah di
sekitar siswa sehingga memungkinkan siswa dapat mengembangkan kemampuan berfikir ilmiahnya
melalui kegiatan mengamati, mengidentifikasi, melakukan percobaan, dan menerapkan pengetahuan-
nya untuk memahami/menjelaskan fenomena di sekitarnya. Namun demikian, jika tidak dikelola
dengan cermat, potensi tersebut bisa berubah menjadi bumerang. Misalnya, jika pengetahuan yang
diperoleh siswa ternyata tidak cocok dengan fakta, atau tidak dapat digunakan untuk memahami
fenomena sehari-hari, hal ini bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan siswa terhadap fisika. Selain
itu, pembelajaran topik-topik yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari berpotensi terganggu
oleh prekonsepsi siswa yang seringkali bersifat miskonsepsi (Singh &Schunn, 2009). Jika hal ini
tidak diantisipasi dengan baik, sangat mungkin siswa tetap berpegang pada prekonsepsinya.
Pemahaman konsep siswa tentang topik bunyi telah menarik sejumlah peneliti dalam beberapa
tahun terakhir. Tongchai et al. (2011) meneliti kekonsistenan konsepsi siswa SMA dan mahasiswa
fisika tahun kedua tentang perambatan gelombang bunyi dan menemukan adanya kecenderungan
ketidak-konsistenan pemahaman dalam menyelesaikan beberapa soal yang berbeda tetapi tentang
konsep yang sama. Caleona dan Subramaniama (2010) meneliti pemahaman siswa kelas 10 (di
Singapura) tentang bunyi dan perambatannya. Mereka menemukan bahwa pada umumnya siswa berfikir
bahwa frekuensi bunyi bergantung pada medium, bukan pada frekuensi getaran sumber. Eshacha dan
Schwartz (2006) meneliti pemahaman siswa SMP (di Israel) tentang konsep bunyi dan mendapati

824
bahwa pemahaman siswa pada umumnya bersifat terpotong-potong dan tidak terkonseksi dengan
kuat. Hrepic, Zollman, dan Rebello (2010) meneliti model mental mahasiswa tentang perambatan
gelombang bunyi. Sejauh ini, penulis belum menemukan penelitian yang mengungkapkan
pemahaman siswa tentang sumber bunyi.
Makalah ini memaparkan adanya miskonsepsi tentang frekuensi bunyi yang dihasilkan oleh
sumber bunyi yang di dalamnya memuat kolom udara, semisal botol berisi air. Miskonsepsi tersebut
terjadi pada berbagai kalangan, mulai dari siswa SMP, siswa SMA, mahasiswa, guru fisika, bahkan di
kalangan dosen. Berbagai kemungkinan penyebab timbulnya miskonsepsi beserta alternatif
pemecahannya juga dikemukakan.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal yang dilakukan secara informal selama lebih
dari lima tahun, dari 2005 sampai 2011. Dikatakan informal karena pengumpulan data tidak
dilakukan secara sistematis dengan menerapkan desain penelitian yang ketat. Melainkan, melalui
“kegiatan sampingan” yang penulis lakukan di berbagai kesempatan, seperti ketika menjadi juri
olimpiade fisika yang, memberi kuliah, menjadi nara sumber PLPG atau pertemuan MGMP fisika,
dan melalui diskusi informal dengan sejumlah dosen. Sebagian data juga diperoleh dari Subag
Informasi UM tentang respon siswa SMA yang berkunjung ke UM terhadap kuis fisika yang selalu
disajikan pada setiap penyambutan kunjungan siswa. Karena itu, penelitian tidak diarahkan untuk
mengumpulkan data kuantitatif semisal berapa banyak siswa yang mengalami miskonsepsi.
Melainkan lebih difokuskan pada aspek kualitatif pemahaman responden tentang suatu konsep, dalam
hal ini adalah konsep nada (frekuensi bunyi) yang dihasilkan oleh suatu sumber bunyi.
Responden mencakup berbagai kalangan, meliputi siswa SMP, siswa SMA, mahasiswa, dan
guru fisika sebagaimana tertuang pada Tabel 1. Responden diminta memecahkan satu persoalan
seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Persoalan tersebut juga pernah penulis kemukakan kepada
sejumlah dosen, 5 di antaranya adalah dosen teknik fisika dan teknik elektro sebuah institut teknik
terkenal di Jawa Timur.
Tabel 1. Subjek (Responden) Penelitian
Kategori Deskripsi Jumlah
Siswa SMP Finalis Olimpiade Fisika Se Jatim yang dilenggarakan 7 siswa, dari empat
oleh HMJ Fisika UM tahun 2011 sekolah
Siswa SMA Siswa dari berbagai SMA di Jatim yang berkunjung (studi Total lebih dari
wisata) ke UM sejak tahun 2005 sampai 2011 1000 siswa
Guru Fisika Peserta PLPG yang diselenggarakan UM pada September 30 guru
SMA 2010, sebagian besar telah memiliki pengalaman mengajar
lebih dari 20 tahun
Guru IPA Peserta diklat peningkatan kompetensi guru Fisika (IPA) 15 guru
(Fisika) SMP SMP di wilayah Srengat Kab Blitar, tahun 2011
Mahasiswa Mahasiswa Pendidikan Fisika UM semester V peserta 28 mahasiswa
matakuliah Kapita Selekta Fisika Sekolah, semester gasal
2011/2012 dan panitia (tim soal) olimpiade fisika 2011

Soal ditayangkan dalam bentuk presentasi multimedia menggunakan power point. Sebelum
dihadapkan pada soal tersebut, kepada responden disajikan demonstrasi (berupa video, yang disajikan
pada slide sebelumnya) bagaimana gelas piala tersebut bisa menghasilkan bunyi dengan nada yang
cukup jelas (seperti yang dihasilkan oleh sebuah garpu tala). Setelah responden menjawab, bahkan
berdebat antar pendukung jawaban yang berbeda, tayangan dilanjutkan untuk menunjukkan jawaban
yang benar.

825
Dua gelas piala identik berisi air dengan volume yang berbeda. Gelas A berisi air lebih banyak
daripada gelas B seperti ditunjukkan pada gambar.
Jika kedua gelas tersebut digesek pada bibirnya sehingga
menghasilkan bunyi, bagaimana tinggi nada (pitch) yang
dihasilkan kedua gelas tersebut? Pilih salah satu dari alternatif
berikut:
A. Nada yang dihasilkan gelas A lebih tinggi daripada yang
dihasilkan gelas B
B. Nada yang dihasilkan gelas A lebih rendah daripada yang
dihasilkan gelas B
C. Nada yang dihasilkan gelas A sama tingginya dengan
yang dihasilkan gelas B
Jelaskan alasannya!
Gambar 1. Persoalan tentang pengaruh perbedaan volume air dalam gelas terhadap nada yang
dihasilkan ketika bibir gelas digesek
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum, responden cenderung memilih jawaban A, yaitu nada yang dihasilkan gelas A
(yang berisi air lebih banyak), lebih tinggi daripada yang dihasilkan gelas B. Untuk kelompok siswa
SMP, enam siswa (3 group) memilih jawaban A dan satu siswa lainnya (peserta tunggal) memilih
jawaban B. Distribusi jawaban kelompok siswa SMA serupa dengan jawaban para guru fisika, yaitu
mengumpul pada pilihan A dan B dengan proporsi pemilih A jauh lebih dominan daripada pemilih B.
Respon kelompok mahasiswa sama dengan respon kelompok dosen, semuanya memilih jawaban A.
Berkikut dipaparkan alasan para responden.
Alasan siswa SMP. Dua group (4 orang) siswa SMP yang memilih jawaban A tidak bisa
memberikan alasan. Mereka secara jujur mengatakan “hanya mengikuti insting”. Satu group (dua
siswa) lainnya menjelaskan alasannya dengan menggunakan analogi seruling (pipa organa). Mereka
melihat bahwa udara di atas gelas A lebih sedikit (kolom udaranya lebih pendek) daripada yang di
atas gelas B. Dengan menggunakan analogi seruling, di mana seruling pendek menghasilkan bunyi
dengan nada yang lebih tinggi daripada seruling panjang, mereka menyimpulkan bahwa nada yang
dihasilkan gelas A lebih tinggi daripada yang dihasilkan gelas B. Siswa yang memilih jawaban B
menggunakan pengalaman pribadinya sebagai dasar memilih jawaban, “saya pernah mencobanya,
dan hasilnya demikian; tetapi, jujur saya katakan bahwa saya tidak tahu mengapa demikian”.
Alasan kelompok siswa SMA, guru, mahasiswa, dan dosen lebih kompleks daripada siswa
SMP. Mereka menggunakan dasar teori/konsep fisika yang relefan dan menggunakan lebih dari satu
ragam representasi (pada umumnya diagram dan persamaan matematis). Penjelasan yang
dikemukakan para responden yang memilih jawaban A pada prinsipnya sama untuk semua kelompok
repsonden ini. Yaitu, menggunakan prinsip resonansi kolom udara atau terjadinya gelombang
stasioner pada pipa organa (tertutup). Mereka berangkat dari fakta bahwa panjang kolom udara di
gelas A lebih pendek daripada panjang kolom udara di gelas B. Kemudian membuat pola gelombang
stasioner yang terjadi pada kolom udara di masing-masing gelas seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Dengan sedikit manipulasi matematika, mereka menunjukkan bahwa panjang gelombang (yang
diasosiasikan dengan gelombang stasioner orde pertama) di gelas A lebih pendek daripada di gelas B
Akibatnya, karena frekuensi berbanding terbalik dengan panjang gelombang, maka nada
(frekuensi) yang dihasilkan oleh gelas A lebih tinggi daripada yang dihasilkan oleh gelas B.
Apa alasan guru dan siswa SMA yang memilih jawaban B? Ternyata, hampir semua responden
kelompok ini juga menggunakan prinsip resonansi kolom udara. Namun, mereka salah dalam
membuat model atau dalam bermanipulasi matematik hingga sampai pada kesimpulan bahwa
frekuensi yang dihasilkan gelas B lebih tinggi daripada yang dihasilkan gelas A.

826
Gambar 2. Gambaran umum bagaimana responden mahasiswa, guru dan dosen memecahkan
persoalan yang dinyatakan pada Gambar 1

Paparan tersebut menunjukkan bahwa hampir semua responden, terutama kelompok siswa
SMA, guru, dan dosen, menerapkan prinsip resonansi kolom udara, atau pembentukan gelombang
stasioner pada pipa organa, untuk memecahkan persoalan tersebut. Data tersebut juga
mengindikasikan bahwa hampir semua responden tidak memiliki pengalaman langsung melalui
percobaan berkaitan dengan fenomena yang diajukan. Hanya ada satu responden, yaitu siswa SMP
finalis olimpiade fisika yang diselenggarakan HMJ Fisika UM tahun 2011, yang pernah mencoba dan
memikirkan, meskipun belum berhasil menemukan jawabannya.
Mengapa hal tersebut terjadi? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dikaji pengalaman belajar
siswa tentang topik bunyi di berbagai jenjang pendidikan. Berdasarkan standar isi kurikulum
nasional, buku-buku ajar yang beredar, serta pengalaman penulis berinteraksi dengan para guru,
pengalaman belajar siswa dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Di sekolah dasar, siswa mulai mempelari bunyi secara kualitatif. Melalui pengalaman
langsung, siswa dibimbing untuk menemukan bahwa bunyi selalu dihasilkan oleh benda bergetar,
bunyi dapat merambat melalui udara, benda cair, dan benda padat, bunyi dapat dipantulkan
(menghasilkan gema dan gaung), dan bunyi merambat memerlukan waktu (memiliki kecepatan
tertentu). Melalui pengalaman langsung, pada umumnya melalui percobaan/demonstrasi ayunan,
siswa juga mempelajari konsep getaran (frekuensi, periode, amplitudo, simpangan). Selain itu,
melalui informasi (pada umumnya), siswa dibantu untuk memahami bahwa perambatan bunyi
memerlukan medium (bunyi tidak bisa melewati ruang hampa), tidak semua getaran dapat
menghasilkan bunyi (hanya getaran yang berfrekuensi dalam rentang frekuensi audio yang bisa
menghasilkan bunyi). Siswa juga dikenalkan konsep infrasonik dan ultrasonik beserta manfaatannya
dalam kehidupan.
Di jenjang SMP, siswa mempelajari kembali konsep-konsep yang telah dipelajari di SD secara
lebih mendalam dengan memasukkan aspek gelombang. Konsep-konsep baru yang dipelajari antara
lain meliputi hubungan antara frekuensi, panjang gelombang, dan cepat rambat bunyi; pemanfaatan
konsep kecepatan bunyi pada echo location, dan konsep resonansi bunyi beserta aplikasinya. Siswa
juga mempelajari pengaruh frekuensi, amplitudo, dan pola getar terhadap “kesan” bunyi
(tinggi/rendah, keras lemah, dan warna bunyi) yang dihasilkan. Namun demikian, kaitan antara
karakteristik sumber bunyi dengan frekuensi yang dihasilkan tidak dibahas, meskipun secara
kualitatif. Percobaan ayunan digunakan untuk menguatkan pemahaman siswa tentang konsep-konsep
pada getaran sekaligus untuk berlatih melakukan penelitian fisika (misalnya menyelidiki faktor-faktor
yang menentukan frekuensi/periode ayuan).

827
Di jenjang SMA, siswa mendalami lagi konsep-konsep bunyi melalui pembahasan gelombang
mekanis secara analitis matematis. Siswa juga mempelajari pembentukan gelombang stasioner pada
kolom udara (pipa organa terbuka/tertutup) dan pada dawai (senar gitar) serta mengkaitkan ragam
gelombang yang dihasilkan dengan frekuensi (nada) yang dapat dihasilkannya. Siswa juga
mempelajari getaran harmonis sampai menemukan rumusan frekuensi alami osilator √ .
Namun demikian, jarang (tidak ada) diskusi yang mengkaitkan konsep osilator harmonis dengan
konsep bunyi.
Di perguruan tinggi, mahasiswa mempelajari lagi gelombang bunyi pada dawai dan pipa
organa serta resonansi kolom udara melalui perkuliahan fisika dasar, baik secara teori maupun
praktikum. Biasanya, topik tersebut dibahas setelah pembahasan cepat rambat gelombang mekanik
dalam berbagai medium (gas, cair, padat). Merujuk pada matakuliah praktikum fisika dasar di UM,
topik-topik tersebut juga dipelajari memalui kegiatan praktikum.
Berdasarkan pengalaman belajar tersebut, sebenarnya siswa (lulusan SMA) telah memiliki
sejumlah pengetahuan prasyarat yang diperlukan untuk menganalisis persoalan di depan. Yaitu, bunyi
dihasilkan oleh getaran (benda yang bergetar), tinggi rendah nada ditentukan oleh frekuensi getaran
sumber bunyi, dan setiap benda (sumber bunyi) memiliki frekuensi alami tertentu (misalnya, osilator
pegas-massa memiliki frekuensi alami √ , dan dawai memiliki frekuensi alami yang
merupakan kelipatan bulat dari √ ). Namun demikian, tampaknya mereka tidak memiliki
pengalaman belajar yang cukup untuk mengkaitkan ketiga pengetahuan dasar itu; khususnya untuk
memikirkan faktor-faktor yang menentukan frekuensi suatu sumber bunyi, meskipun secara kualitatif.
Berdasarkan perbincangan dengan mahasiswa dan guru responden, hal itu juga tidak terjadi pada
perkuliahan fisika dasar di perguruan tinggi. Mereka juga tidak pernah memikirkan adanya kesamaan
karakteristik antara cepat rambat bunyi pada satu medium dengan medium yang lain. Padahal,
kecepatan gelombang bunyi, secara umum, bergantung pada sifat elastisitas dan inersia medium
menurut hubungan (Serway & Jewett, 2010)

Mengapa ada kecenderungan umum untuk menggunakan prinsip pipa organa atau resonansi
kolom udara dalam memecahkan persoalan tersebut? Pada umumnya, responden siswa SMA, guru,
mahasiswa, dan dosen langsung mengkaitkan masalah tersebut dengan percobaan resonansi kolom
udara karena keduanya memiliki struktur (komposisi bahan) yang sangat mirip, yaitu suatu wadah
(bejana) yang berisi sejumlah air dan terdapat kolom udara di atasnya. Karena itu, mereka berfikir
bahwa bunyi tadi dihasilkan oleh kolom udara yang ada di atas air, dan persoalan tersebut dapat
dipecahkan dengan merujuk pada prinsip resonansi kolom udara.
Penjelasan lebih lanjut dapat ditarik dari hasil diskusi (tanya-jawab) dengan responden guru,
mahasiswa, dan dosen. Terdapat bukti kuat bahwa mereka tidak memikirkan apa yang berperan
sebagai sumber bunyi pada sistem tersebut. Terlihat pula bahwa mereka tidak memikirkan kapan
(bagaimana) suatu kolom udara bisa tereksitasi sehingga menghasilkan bunyi. Setelah ditunjukkan
bahwa gelas tidak berbunyi jika bersamaan dengan penggesekan tersebut badan gelas dipegang erat-
erat, mereka mulai ragu bahwa yang bergetar (dan menghasilkan bunyi) ternyata bukan udara di
dalam gelas, melainkan badan gelas beserta isinya.
Untuk merangsang responden memikirkan hal itu, penulis mendemonstrasikan percobaan
sederhana (di hadapan responden guru dan mahasiswa) untuk menghasilkan bunyi dari botol berisi air
dengan cara meniup dan memukul. Ada dua macam fenomena yang responden dapati. Pertama,
melalui cara meniup, botol tetap berbunyi nyaring meskipun dipegang erat-erat; sebaliknya bunyi
yang dihasilkan sangat lemah (teredam kuat) ketika dipukul sambil dipegang erat. Femomena ini
mengantarkan responden pada kesimpulan bahwa kolom udara akan tereksitasi melalui cara ditiup.
Kedua, tinggi nada yang dihasilkan dengan cara dipukul berbalikan sifat dengan yang dihasilkan

828
melalui cara ditiup. Yaitu, ketika ditiup, botol yang berisi lebih banyak air menghasilkan nada lebih
tinggi. Sebaliknya, nada yang dihasilkan lebih rendah jika dibunyikan dengan cara memukul.
Fenomena ini menyadarkan responden bahwa bunyi yang dihasilkan oleh gelas tadi bukan berasal
dari eksitasi kolom udara, melainkan oleh getaran badan gelas beserta air di dalamnya.
Ada fakta lain yang terungkap melalui tanya-jawab dengan responden mahasiswa dan guru.
Mereka berpendapat bahwa frekuensi nada dasar yang dihasilkan oleh suatu pipa organa hanya
bergantung pada panjang pipa. Pendapat itu didasarkan pada rumus f = v/(2L) untuk pipa organa
terbuka, atau f = v/(4L) untuk pipa organa tertutup, dengan v menyatakan kecepatan bunyi di udara
dan L menyatakan panjang pipa. Mereka juga berpendapat bahwa v di dalam pipa sama dengan v di
luar pipa, karena v pada rumus tersebut menyatakan kecepatan bunyi di udara pada saat dan di sekitar
tempat percobaan dilakukan. Namun, ketika dihadapkan pada pertanyaan mengapa nada yang
dihasilkan seruling besar lebih rendah daripada yang dihasilkan seruling kecil yang sama panjangnya,
mereka mulai ragu dengan pendapatnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan paparan data di depan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran topik bunyi yang
disajikan dari tingkat SD sampai perguruan tinggi selama ini belum mampu mengantarkan siswa
membangun pengetahuan yang utuh (koheren) tentang sumber bunyi. Struktur pengetahuan yang
dihasilkan bersifat parsial dan fragmented sehingga sulit digunakan untuk menjelaskan berbagai
sumber bunyi yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari; bahkan bisa menghasilkan
kesimpulan yang bertentangan dengan fakta. Sebagai misal, seperti yang terungkap melalui penelitian
ini, mereka cenderung menerapkan prinsip pipa organa atau resonansi kolom udara untuk
menjelaskan nada yang dihasilkan oleh sumber bunyi yang memuat kolom udara, dan menghasilkan
kesimpulan yang salah.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penyempurnaan pembelajaran IPA (fisika) terkait dengan
topik bunyi. Beberapa pemikiran berikut kiranya dapat dicobakan.
1) Siswa perlu pengalaman belajar yang cukup untuk mengaitkan prinsip “bunyi dihasilkan oleh
getaran (benda bergetar)”, “setiap benda (sumber bunyi) memiliki frekuensi alami tertentu”, dan
konsep “tinggi rendah nada ditentukan oleh frekuensi bunyi”.
a. Di tingkat sekolah dasar, siswa dapat diajak mengeksplorasi pengetahuan faktual sebanyak
mungkin dengan memanfaatkan sumber belajar yang ada di sekitar siswa, misalnya alat-alat
musik yang sudah dikenal siswa. Perangkat gamelan jawa dipindang sebagai sumber belajar
yang cukup memadai untuk keperluan ini. Cara ini diyakini dapat mengantarkan siswa
mengkonstruksi prinsip dan konsep sains tersebut, bahkan dapat menemukan prinsip baru
bahwa semakin berat (semakin besar massa) benda semakin rendah nada yang dihasilkan.
b. Di tingkat SMP, melalui pembelajaran topik getaran, siswa dapat mendalami lagi prinsip
tersebut melalui percobaan untuk menemukan bahwa frekuensi getaran pada sistem pegas-
massa berbanding terbalik dengan akar massa( √ ) Berdasarkan temuan ini, secara
kualitatif siswa bisa diminta menjelaskan, misalnya, mengapa nada gamelan besar lebih rendah
daripada nada gamelan kecil, nada seruling besar lebih rendah daripada nada seruling kecil, dan
senar (pada gitar) besar menghasilkan nada yang lebih rendah daripada senar kecil. Pemahanan
siswa tentang itu dapat diperkuat melalui percobaan menggetarkan ujung penggaris baja (ujung
lainnya diklem di tepi meja, misalnya) dan mengamati bagaimana pengaruh panjang penggaris
(yang bebas) mempengaruhi nada bunyi yang dihasilkan.
Pada umumnya, pembahasan konsep getaran di SMP dilakukan melalui percobaan ayunan
(bandul matematis). Menurut hemat penulis, percobaan tersebut lebih baik diganti dengan
percobaan getaran sistem pegas-massa berdasarkan berbagai pertimbangan berikut. Pertama,
secara konseptual, gerakan ayunan bukan merupakan contoh yang tepat untuk mewakili konsep
getaran. Kedua, kehadirannya (dalam konteks kurikulum IPA SMP) terkesan asing (beridiri

829
sendiri) karena tidak berkaitan dengan topik lainnya (termasuk topik gelombang dan bunyi).
Ketiga, frekuensinya tidak bergantung pada massa bandul sehingga tidak dapat dikaitkan
dengan (digunakan untuk mempelari) alat-alat musik mana pun. Keempat, kedua macam
percobaan tersebut memiliki tingkat kesulitan yang setara dan sama efektifnya untuk
mengenalkan konsep periode/frekuensi pada gerak periodik.
c. Di tingkat SMA, siswa dapat mendalami lagi prinsip tersebut secara lebih formal (dengan
menggunakan analisis matematis) melalui pembelajaran topik gelombang stasioner pada dawai
dan pipa organa. Dalam hal ini disarankan beberapa hal berikut. Pertama, perlu ada diskusi
yang cukup untuk mengantarkan siswa pada pemahaman bahwa gelombang stationer (pada tali
misalnya) dapat dipandang sebagai kumpulan getaran dari titik-titik pada tali. Kedua, perlu ada
analisis untuk menunjukkan adanya kesamaan karakteristik antara frekuensi alami dawai
( √ ), pipa organa ( √ ) , dan osilator harmonis ( √ ) . Yaitu, berbanding
terbalik dengan akar massa dari sistem yang bergetar. Ketiga, perlu diskusi yang cukup untuk
memahami perbedaan cara mengeksitasi kolom udara pada pipa organa atau alat-alat musik
tiup lainnya (yaitu melalui tiupan) dan cara mengeksitasi alat musik lainnya (alat musik
petik/gesek/pukul). Keempat, perlu diskusi yang cukup tentang kapan (dalam kondisi apa)
rumusan frekuensi resonansi kolom udara (yang hanya bergantung pada panjang kolom udara)
dapat digunakan.
2) Pengembangan bahan ajar hendaknya mengacu pada, atau tidak bertentangan dengan, rumusan
umum frekuensi alami sumber bunyi,
√ .
Rumusan umum tersebut bisa menjadi rumusan khusus yang berlaku untuk jenis alat musik
(sumber bunyi) tertentu, termasuk pipa organa dan dawai sebagaimana telah disebutkan. Tabel 2
berikut menyajikan rumus frekuensi nada dasar beberapa sumber bunyi lainnya
Tabel 2. Frekuensi nada dasar beberapa sumber bunyi (Nave, 2003)
Sumber bunyi Diagram Frekuensi nada dasar
Batangan yang diklem di
salah satu ujungnya, seperti √
pada penggaris baja

Batangan bebas (seperti pada
beberapa jenis perangkat d: ketebalan, L: panjang, Y:
gamelan) modulus Young, : massa
jenis
Membran

D: diameter membran
T: tegangan membran
: massa per satuan luas

Daftar Pustaka
Caleona, I., & Subramaniama, R. 2010. Development and application of a three-tier diagnostic test to
assess secondary students' understanding of waves. International Journal of Science Education,
32 (7), 939-961.

830
Eshacha, H., dan Schwartz, J.L. 2006. Sound Stuff? Naïve materialism in middle-school students’
conceptions of sound. International Journal of Science Education, 28 (7), 733-764.
Hrepic, Z., Zollman, D.A., dan Rebello, N.J. 2010. Identifying students’ mental models of sound
propagation: The role of conceptual blending in understanding conceptual change. Physical
review special topics - physics education research, 6, 020114.
Nave, C.R. 2003. HyperPhysics, CD version. Atlanta: Department of Physics and Antronomy,
Georgia State University.
NRC-National Research Council. 2012. A framework for K-12 science education: Practices,
crosscutting concepts, and core ideas. Washington, D.C.: National Academy of Sciences.
Serway, R., A. & Jewett Jr., J., W. 2010. Physics for Scientists and Engineers with Modern Physics,
Eighth Edition, 8th ed. Belmont, CA: Brooks/Cole.
Singh, C., & Schunn, C.D. 2009. Connecting three pivotal concepts in K-12 science state standards
and maps of conceptual growth to research in physics education. J. Phys. Tchr. Educ. Online,
5(2), 16-42.
Tongchai et al. 2011. Consistency of students’ conceptions of wave propagation: Findings from a
conceptual survey in mechanical waves. Physical review special topics - physics education
research, 7, 020101.

831

Anda mungkin juga menyukai