Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi kedokteran dapat membantu dalam tatalaksana


dan penurunan risiko relaps pada pasien dengan malignansi ginekologi. Jumlah
malignansi ginekologi telah meningkatkan pertahanan hidup pasien; di sisi lain,
usia harapan hidup pasien yang lebih tinggi dapat mengakibatkan risiko yang
lebih tinggi untuk terjadi relaps atau rekurensi malignansi. Transisi dari
tatalaksana rumah sakit ke puskesmas dapat mengakibatkan diskontinuitas
penanganan dan surveilans pasien dengan riwayat malignansi ginekologi. 1
Walaupun pengobatan telah berkembang dan peningkatan kesembuhan telah
meningkat seiring berjalannya waktu, risiko relaps dan rekurensi kanker tidak
dapat disingkirkan sepenuhnya. Menurut data yang dikumpulkan oleh Hillesheim
dkk. yang terdiri dari pasien dengan riwayat kanker serviks (Januari 1985 – Juni
2010), relaps tumor pada 17.8% pasien; 46.9% dari pasien relaps tersebut tidak
menunjukkan gejala dan sebagian besar dikonfirmasi relaps dengan pemeriksaan
fisik.2 Pemantauan pasca-tatalaksana merupakan salah satu upaya untuk
mendeteksi relaps atau rekurensi malignansi ginekologi untuk memberikan
penanganan secepat mungkin untuk memperoleh prognosis sebaik mungkin. 2,3
Penanganan yang dilakukan pada kanker stadium awal memiliki prognosis yang
lebih baik serta jumlah komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan kanker
stadium lanjut.4

Di luar dari rekurensi dan relaps kanker, terdapat pemantauan yang perlu
dilakukan terhadap terbentuknya komplikasi pasca-tatalaksana (operasi atau
tatalaksana lainnya seperti kemoterapi dan/atau radioterapi) yang perlu dipantau
dan dapat terbentuk dalam jangka waktu yang lama. Pada pasien dengan kanker
ginekologi yang menerima operasi, fistula merupakan salah satu komplikasi

1
pasca-operasi yang dapat ditemukan (berjarak dari 1 – 2% sampai mencapai
13.9%).5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Evaluasi Kanker Serviks

Evaluasi pasca-tatalaksana pasien kanker serviks diperlukan terkait dengan risiko


rekurensi atau relaps kanker. Pasien dengan stadium kanker yang lebih tinggi
memiliki yang lebih tinggi untuk mengalami relaps dan rekurensi. Insidensi
tahunan pada pasien dengan kanker serviks mencapai 500,000 kasus per tahun
dengan tingkat kematian sekitar 50%; 35% dari seluruh pasien dengan riwayat
kanker serviks memiliki kanker rekuren atau persisten setelah penyelsaian terapio.
Rekurensi ditemukan pada 10 – 20% pasien dengan kanker serviks stage IB – IIA
dengan riwayat tatalaksana reseksi tumor disertai dengan radioterapi. Pasien
dengan kanker serviks metastasis ke nodus limfa memiliki risiko yang sangat
tinggi untuk mengalami rekurensi, yaitu sekitar 70% dari pasien akan mengalami
rekurensi. Faktor-faktor pasien tertentu juga terkait dengan risiko rekurensi;
pasien dengan tumor yang memanjang lebih dari 20% serviks memiliki risiko
rekurensi dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pasien dengan ukuran
tumor yang lebih kecil.6 Klasifikasi campuran menggunakan sistem FIGO dan
TNM dapat digunakan untuk stratifikasi risiko dan penyesuaian penanganan pada
pasien dengan kanker serviks; follow-up untuk pasien kanker serviks akan
disesuaikan dengan penanganan yang didasarkan atas penemuan klinis pasien
pada saat presentasi awal sebelum tatalaksana.7

Tabel 1. Klasifikasi FIGO dan TNM untuk kanker serviks7

TNM FIGO Definisi


T – Tumor primer
TX Tidak dapat dinilai
T0 Tidak ditemukan tumor
Tis Karsinoma insitu

3
T1 I Tumor lokal pada serviks
T1a IA Karsinoma invasif (konfirmasi mikroskop)
T1a1 IA1 Invasi stroma <3.0 mm dan <7.0 mm
penyebaran horizontal
T1s2 IA2 Invasi stroma 3.0 – 5.0 mm dan <7.0 mm
penyebaran horizontal
T1b IB Lesi makroskopis terbatas pada serviks,
penyebaran horizontal >7.0 mm
T1b1 IB1 Ukuran lesi <4.0 cm (panjang, tinggi, atau
lebar)
T1b2 IB2 Ukuran lesi >4.0 cm (panjang, tinggi, atau
lebar)
T2 II Invasi ke organ sekitar
T2a IIA Invasi ke organ sekitar tanpa invasi parametrial
T2a1 IIA1 Ukuran lesi <4.0 cm (panjang, tinggi, atau
lebar)
T2a2 IIA2 Ukuran lesi >4.0 cm (panjang, tinggi, atau
lebar)
T2b IIB Disertai dengan invasi parametrial
T3 III Tumor invasi ke bagian sepertiga bawah
vagina atau melewati dinding pelvis atau
menyebabkan hidronefrosis atau penurunan
fungsi ginjal
T3a IIIA Tumor pada sepertiga bagian bawah vagina
T3b IIIB Tumor ekstensi ke dinding pelvis atau
mengakibatkan hidronefrosis atau penurunan
fungsi ginjal
T4 IVA Tumor invasi mukosa kandung kemih atau
rektum atau menyebar ke organ lain selain
pelvis

4
N – Nodus limfa
NX Tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis ke nodus limfa
N1 Metastasis ke nodus limfa regional
M – Metastasis
M0 Tidak ada metastasis
M1 Metastasis ke organ lain

Follow-up untuk pasien dengan riwayat kanker serviks adalah pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang (kolposkopi dan Pap smear) setiap 3 bulan selama 2
tahun pertama. Frekuensi pemeriksaan dapat dikurangi sesuai dengan profil risiko
pasien. Apabila terdapat hasil pemeriksaan yang mengarah ke terjadinya
rekurensi, maka biopsi sampel vagina dilakukan untuk konfirmasi rekurensi atau
relaps. Belum terdapat konsensus mengenai penggunaan pemeriksaan radiologi
untuk pemeriksaan follow-up pada pasien dengan riwayat kanker serviks oleh
karena masalah biaya dan risiko terkait dengan paparan radiasi. Dalam kondisi
praktis, pemeriksaan radiologi pada pasien dengan riwayat kanker serviks tidak
perlu dilakukan apabila tidak ditemukan kecurigaan klinis terjadinya relaps atau
rekurensi kanker serviks. Beberapa pasien dengan faktor risiko tertentu dapat
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalamim relaps, seperti volume tumor
yang besar, tipe histologi small cell, invasi nodus limfa, FIGO stage >IIB, dan
margin positif. Pada pasien-pasien dengan salah satu faktor risiko tersebut,
pemeriksaan MRI mungkin diperlukan pada setiap 6 bulan selama 2 tahun
pertama. Pasien dengan riwayat rekurensi kanker serviks dapat dievaluasi dengan
menggunakan PET-CT untuk memeriksa penyebaran sel-sel tumor ke bagian
tubuh lainnya.8 Radioterapi (RT) pada pasien dengan kanker serviks
oligometastatik angka pertahanan hidup median 50.7 bulan dimulai dari akhir RT.
Progression free survival (PFS) adalah 21.7 bulan. Angka PFS dalam 1 tahun
adalah 63%; angka PFS dalam 2 tahun adalah 48%. 9 Anjuran praktis klinis untuk
periode follow-up pada pasien dengan riwayat kanker serviks tidak memerlukan

5
pemeriksaan penunjang dan radiologi yang rutin dikarenakan keterbatasan
efektivitas terkait dengan biaya; pemeriksaan fisik dan anamnesis mengenai tanda
dan gejala terkait dengan rekurensi penyakit lebih penting untuk menemukan
bukti rekurensi sedangkan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang berfungsi sebagai
alat konfirmasi rekurensi tersebut. Jadwal follow-up yang dianjurkan adalah
mengunjungi dokter setiap 3 – 4 bulan dalam 2 tahun pertama dan diturunkan
menjadi setiap 6 – 12 bulan pada tahun 3 – 5 pasca-tatalaksana. Pemeriksaan
dapat dialihkan ke fasilitas pelayanan kesehatan primer dengan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan pelvis setelah periode follow-up lebih dari 5 tahun tanpa
rekurensi.10 Keputusan untuk menentukan durasi follow-up tersebut didasarkan
atas beberapa penelitian, salah satunya adalah penelitian yang menemukan bahwa
sebagian besar rekurensi kanker serviks dapat ditemukan dalam 3 tahun pasca-
tatalaksana (87%); pemeriksaan fisik spesifik pada pelvis dan konfirmasi
menggunakan CT dapat mendeteksi hampir semua dari kasus-kasus relaps kanker
serviks tersebut (85%).11

Gambar 1. Algoritma tatalaksana kanker serviks7

6
Pemeriksaan radiologi pada pasien dengan riwayat kanker serviks juga dapat
digunakan untuk menentukan prognosis pasca tatalaksana, terutama pada pasien
dengan riwayat rekurensi. Beberapa gambaran MRI dapat terkait dengan
prognosis yang lebih baik pada pasien kanker serviks yang mengalami rekurensi:
penurunan volume tumor dalam 2 bulan setelah terapi, peningkatan nilai ADC
pada pemberian obat minggu kedua, dan perubahan parameter DCE-MRI pada
terapi radioterapi terkait dengan prognosis yang lebih baik. Rekurensi dapat
bersifat lokal (serviks atau vagina setelah histerektomi radikal), regional (pelvis
dan organ sekitarnya), atau distal (paru, liver, dan nodus limfa di luar rongga
abdomen). Pada kecurigaan metastasis, pemeriksaan CT atau MRI dapat
digunakan untuk penilaian prognosis dan pemilihan tatalaksana untuk relaps atau
rekurensi.8 Surveilans rutin menggunakan PET-CT bermanfaat untuk mendeteksi
kanker serviks, namun tergolong mahal; analisis cost-effectiveness berdasarkan
cost per quality-adjusted life year (QALY) mencapai lebih dari 1 juta Euro per
QALY.12

Pasien-pasien dengan kanker serviks rekuren direkomendasikan untuk diperiksa


menggunakan pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pasien
dengan rekurensi kanker serviks akan menunjukkan tanda dan gejala yang
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Analisis cost-effictiveness oleh FIGO tidak
merekomendasikan pemeriksaan sitoskopi, proktoskopi, atau urografi intrevena
pada pasien kanker serviks stage IB. Pemeriksaan MRI pada pasien kanker serviks
stage IB disarankan oleh karena akurasi yang lebih tinggi dari pemeriksaan
tersebut dapat bersamaan menghemat penggunaan biaya kesehatan terkait dengan
pemeriksaan tersebut.6

Pemeriksaan ronsen toraks dapat digunakan untuk mendeteksi kasus-kasus kanker


serviks rekuren yang tidak memiliki gejala. Hampir setengah dari pasien-pasien
dengan kanker serviks dengan metastasis ke paru tidak menunjukkan gejala.
Deteksi rekurensi kanker serviks yang lebih dini dapat berperan dalam
meningkatkan pertahanan hidup pasien; pasien tanpa gejala yang terdeteksi lebih
dini memiliki median pertahanan hidup sekitar 3 tahun dan pasien yang telah

7
menunjukkan gejala memiliki median pertahanan hidup yang lebih pendek, yaitu
sekitar 1 tahun. Gambaran radiografis CT scan pada pasien dengan rekurensi
kanker serviks adalah massa heterogen; gambaran radiografis MRI pada pasien
degan rekurensi kanker serviks adalah massa intensitas tinggi pada lapang T2.
Pemeriksaan menggunakan CT scan memiliki jumlah kontraindikasi yang lebih
sedikit dan hasil dapat diperoleh dengan relatif lebih cepat dibandingkan dengan
MRI. Penggunaan MRI memiliki kelebihan berupa pemeriksaan yang lebih
akurat; pemeriksaan CT tidak dapat membedakan gambaran antara rekurensi
dengan fibrosis pasca-radioterapi. Massa yang menyebar ke jaringan otot pelvis
lebih mudah dideteksi dengan menggunakan MRI dibandingkan dengan deteksi
menggunakan CT.6

Gambar 2. Pemantauan pasca-tatalaksana pada pasien dengan kanker


serviks13
2.2. Evaluasi Kanker Ovarium

Kanker ovarium merupakan salah satu malignansi ginekologi yang relatif langka
dan memiliki prognosis yang relatif buruk. Angka kejadian kanker ovarium pada
tahun 2011 diperkirakan sekitar 204,000 dan terkait dengan 125,000 kematian
pada tahun yang sama.14 Hanya 44.2% yang bertahan hidup lebih lama dari 5
tahun. Hal tersebut juga terkait dengan kecenderungan pasien untuk terdiagnosis
dengan kanker ovarium stadium lanjut sebelum sempat dilakukan terapi; 75% dari

8
pasien dengan kanker ovarium yang baru terdiagnosis telah memasuki kanker
ovarium stadium lanjut. Terkait dengan tingginya jumlah pasien baru yang
terdiagnosis dengan kanker ovarium stadium lanjut, evaluasi dini dengan skrining
merupakan salah satu upaya untuk memberikan tatalaksana yang lebih cepat.
Modalitas skrining yang dapat memberikan hasil yang cepat serta akurat adalah
dengan pemeriksaan cancer antigen 125 (CA-125) disertai dengan pemeriksaan
ultrasonografi (USG) pelvis atau transvaginal.14,15

Tabel 2. Grading kanker ovarium menurut FIGO16


Stadium I: Tumor terbatas pada ovari atau tuba falopi
T1-N0-M0
IA: Tumor terbatas pada 1 ovarium (kapsul utuh) atau tuba falopi; tidak
ada tumor pada permukaan ovarium atau tuba falopi; tidak ada sel ganas
pada ascites atau cucian peritoneum
T1a-N0-M0
IB: Tumor terbatas pada kedua ovarium (kapsul utuh) atau tuba falopi;
tidak ada tumor pada permukaan ovarium atau tuba falopi; tidak ada sel
ganas pada ascites atau cucian peritoneum
T1b-N0-M0
IC: Tumor terbatas pada 1 atau kedua ovarium atau tuba falopi; dengan
salah satu dari berikut:
IC1: Surgical spill
T1c1-N0-M0
IC2: Kapsul pecah sebelum pembedahan atau tumor pada permukaan
ovarium mau pun tuba falopi
T1c2-N0-M0
IC3: Sel ganas pada ascites atau cucian peritoneal
T1c3-N0-M0
Stadium II: Tumor melibatkan 1 atau kedua ovarium atau tuba falopi dengan perluasan
pelvis (di bawah pelvic brim ) atau kanker peritoneum
T2-N0-M0
IIA: Perluasan dan/atau implantasi pada uterus dan/atau tuba falopi
dan/atau ovarium
T2a-N0-M0

9
IIB: Perluasan ke jaringan pelvik intraperitoneal lainnya
T2b-N0-M0
Stadium III: Tumor melibatkan 1 atau kedua ovarium atau tuba falopi, atau kanker
peritoneum, dengan konfirmasi penyebaran sitologis atau histologis pada peritoneum di
luar pelvis dan/atu metastasis hingga nodus limfe retroperitoneum
T1/T2-N1-M0
IIIA1: Nodus limfe retroperitoneum positif (terbukti sitologis atau
histologis):
IIIA1(i) Metastasis hingga 10 mm pada dimensi terbesar
IIIA(ii) Metastasis lebih dari 10 mm pada dimensi terbesar
IIIA2: Keterlibatan mikroskopik peritoneum ekstrapelvik (di atas pelvic
brim) dengan atau tanpa nodus limfe retroperitoneum positif
T3a2-N0/N1-M0
IIIB: Metastasis peritoneum makroskopik di luar pelvis hingga 2 cm pada
dimensi terbesar, dengan atau tanpa metastasis pada nodus limfe
retroperitoneum
T3b-N0/N1-M0
IIIC: Metastasis peritoneum makroskopik di luar pelvis hingga lebih dari 2
cm pada dimensi terbesar, dengan atau tanpa metastasis pada nodus limfe
retroperitoneum (meliputi perluasan tumor di kapsul hepar dan limpa
tanpa keterlibatan parenkim)
T3c-N0/N1-M0
Stadium IV: Metastasis jauh selain metastasis peritoneal
Stadium IVA: Efusi pleura dengan sitologi positif
Stadium IVB: Metastasis parenkim dan metastasis ke organ ekstra-
abdomen (meliputi nodus limfe inguinal dan nodus limfe di luar kavitas
abdomen)
T berapa pun, N
berapa pun, M1

Tatalaksana dari pasien dengan kanker ovarium umumnya memerlukan operasi


dan kemoterapi. Pasien dengan kanker ovarium stage IA atau IB hanya
memerlukan operasi pengangkatan tumor dengan margin yang positif. Pasien
dengan kanker ovarium stage III dan IV akan memerlukan operasi dan terapi

10
adjuvan lainnya untuk memperoleh hasil klinis yang baik; kemoterapi adjuvan
dengan menggunakan agen platinum merupakan modalitas terapi tambahan yang
diberikan pada pasien dengan kanker ovarium stadium lanjut.17

Pada sebagian besar wanita dengan kanker ovarium, bahkan stadium lanjut,
biasanya akan mengalami remisi setelah mendapatkan gabungan antara tindakan
operasi dan kemoterapi (platinum-based). Remisi pada pasien kanker ovarium
adalah pasien dengan pemeriksaan fisik normal, kadar CA125 normal, dan temuan
CT Scan yang normal juga. Namun, sayangnya, 80% dari pasien akan mengalami
relapse pada akhirnya dan kemudian meninggal karena progresivitas penyakit.
Hal ini dikarenakan, pasien remisi biasanya masih memiliki sisa sel tumor yang
resisten terhadap obat dan belum ditemukan adanya intervensi yang memberikan
manfaat besar pada pasien-pasien ini. Oleh karena itu pasien remisi harus tetap
mendapatkan pemantauan seperti yang dijelaskan di atas. Kadar CA125 yang
lebih rendah (satu digit) berhubungan dengan lebih panjangnya masa remisi dan
harapan hidup yang lebih baik

Pasien remisi juga dapat dilakukan second-look surgery. Tindakan ini merupakan
standar emas untuk mengidentifikasi tumor sisa setelah menjalani rangkaian
lengkap pengobatan. Namun, tindakan ini tidak memberikan manfaat klinis yang
berarti pada kelangsungan hidup pasien. Hal lain yang dapat dilakukan untuk
memperpanjang masa remisi adalah kemoterapi rumatan (terapi konsolidasi).
Kanker ovarium memang memiliki angka rekurensi yang tinggi sehingga
penelitian terhadap kemoterapi rumatan sangat gencar dilakukan. Namun masih
terdapat kasus toksisitas yang sangat merugikan pasien dan beberapa penelitian
mendapatkan bahwa kemoterapi rumatan hanya sedikit sekali memperpanjang
masa remisi (dua sampai empat bulan).18

Pasien juga dapat menjalani radioterapi, namun tindakan ini masih kontroversial
terutama pada daerah abdomen karena dapat menimbulkan keracunan radiasi yang
berlebihan sehingga justru mengurangi harapan hidup pasien Peningkatan
bertahap CA125 merupakan tanda pertama dari terjadinya relapse. Tanpa

11
pengobatan, rekurensi akan menjadi jelas secara klinis dalam waktu 2-6 bulan.
Tumor biasanya akan muncul pada lokasi yang berbeda di dalam perut. Pasien
yang mengalami progresifitas selama kemoterapi primer dinyatakan sebagai
refrakter platinum dan memiliki prognosis yang sangat buruk. Pasien yang
mengalami relapse dalam 6 bulan selama terapi disebut sebagai kanker ovarium
resisten platinum. Sedangkan pasien yang relapse dalam >6-12 bulan setelah
terapi disebut sebagai sensitive platinum. Pasien ini biasanya kembali
ditatalaksana dengan kombinasi platinum-based.19–21 Secara umum pasien relapse
biasanya akan mendapatkan kemoterapi (salvage chemotherapy). Pasien akan
dievaluasi setelah 2-4 siklus kemoterapi. Penurunan CA125 dengan atau tanpa
bukti pengecilan ukuran tumor biasanya merupakan tanda untuk tetap
melanjutkan terapi. Jika pasien mengalami resistensi terhadap platinum maka
dapat digunakan terapi dengan Olaparib18,21

Evaluasi efektivitas kemoterapi dapat menggunakan beberapa kriteria klinis yang


memerlukan informasi dari pemeriksaan klinis follow-up dan pemeriksaan
penunjang. Response Evaluation Criteria in Solid Tumours (RECIST) adalah
pedoman standar untuk menilai respon tumor pada sebagian besar uji klinis dalam
onkologi. Evaluasi respons didasarkan pada perbandingan antara pengukuran
beberapa target sebelum dimulainya perawatan baru dan pengukuran target yang
sama pada waktu tertentu selama perawatan baru. Evaluasi RECIST tidak
memperhitungkan karakteristik pertumbuhan tumor dan terutama komponen pra-
perawatannya. Dengan demikian, kategorisasi respon tumor menurut kriteria
RECIST mungkin tidak mencerminkan kemampuan pengobatan antikanker untuk
memodifikasi pertumbuhan tumor dengan menginduksi beberapa derajat regresi
tumor atau dengan memperlambat pertumbuhan tumor.

Kriteria RECIST telah memberikan kerangka kerja standar untuk membaca dan
menafsirkan kemanjuran pengobatan, tetapi tidak sesuai untuk evaluasi organ
tertentu (hati, tulang) dan beberapa pengobatan. Selain itu, ambang batas yang
dipilih (-30% untuk tanggapan dan 20% untuk perkembangan) dipilih secara
sewenang-wenang tanpa validasi yang menunjukkan bahwa ambang tersebut

12
mencerminkan hasil pasien (misalnya kelangsungan hidup secara keseluruhan).
Ambang batas (respon atau perkembangan) untuk memprediksi perbedaan
kelangsungan hidup pada pasien yang dirawat mungkin berbeda sesuai dengan
jenis pengobatan dan jenis kanker. Misalnya, molekul yang ditargetkan seperti
anti-VEGF atau anti-EGFR seringkali hanya menyebabkan perubahan ukuran
kecil, sedangkan kelangsungan hidup pasien secara signifikan diperpanjang.
Demikian pula, kriteria ini sama sekali tidak sesuai untuk menilai respons
terhadap terapi fokus yang dipandu gambar (ablasi frekuensi radio,
kemoembolisasi, dan lainnya.), yang sering meninggalkan bekas luka dengan
ukuran yang sama atau lebih besar dari lesi awal. 1 Kriteria respon reatment
lainnya telah dikembangkan yang didasarkan pada ambang respon yang berbeda,
pengukuran atenuasi yang mencerminkan nekrosis tumor, pengukuran bagian
yang dapat hidup saja, atau pencitraan fungsional (perfusi, difusi) dan kriteria
metabolik (kriteria PERCIST atau penanda PET baru). Selain itu, kriteria khusus
untuk penyakit atau perawatan tertentu juga telah dikembangkan oleh kelompok
kerja, seperti untuk mesothelioma dan imunoterapi (Immune-related Response
Criteria [irRC]). Pada dasarnya, respons lesi target didefinisikan seperti yang
dilaporkan berupa; respons komplit yaitu hilangnya semua lesi target non-nodal.
Selain itu, setiap kelenjar getah bening yang dicurigai sebagai lesi target harus
mengalami penurunan sumbu pendek menjadi 5 mm. Selain itu, setiap kelenjar
getah bening yang dicurigai ditetapkan sebagai lesi target harus memiliki
pengurangan sumbu pendek menjadi <10 mm. Respon parsial Sedikitnya
penurunan 30% dalam jumlah diameter semua lesi dibandingkan dengan baseline.
Penyakit progresif adalah setidaknya 20% peningkatan jumlah diameter dari
semua lesi target yang diukur, dibandingkan dengan jumlah terkecil dari diameter
semua lesi target yang tercatat pada atau setelah baseline (jumlah tersebut harus
menunjukkan peningkatan absolut> 5 mm). Penyakit yang stabil didefinisikan
sebagai tidak ada penyusutan yang cukup untuk mengukur respons parsial atau
respons komplit atau peningkatan lesi yang memenuhi syarat untuk penyakit
progresif. Lesi yang tidak diketahui telah dinilai dengan menggunakan metode
radiologi yang berbeda dari pada awal.22,23

13
Gambar 3. Pemantauan pasca-tatalaksana pasien kanker ovarium24
2.3. Evaluasi Kanker Endometrium

Evaluasi kanker endometrium memerlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan


penunjang untuk memeriksa stadium penyakit disertai dengan mendeteksi
metastasis. Klasifikasi stadium kanker endometrium pada pasien menggunakan
sistem klasifikasi dari FIGO. Modalitas diagnosis non-invasif dapat dilakukan
terlebih dahulu untuk memeriksa derajat penyakit dari pasien, yaitu terdiri dari
pemeriksaan toraks x-ray, pemeriksaan klinis, pemeriksaan ginekoloogi, dan
pemeriksaan darah lengkap. Indikasi untuk pemeriksaan CT pada pasien adalah
untuk konfirmasi adanya penyebaran kanker ke organ sekitar. Apabila terdapat
kecurigaan penyebaran kanker ke pelvis, pemeriksaan menggunakan MRI dapat
digunakan untuk menilai penyebaran kanker ke bagian serviks. Keuntungan dari
pemeriksaan MRI adalah mampu menilai derajat invasi miometrium dengan
akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan modalitas diagnosis radiologi
lainnya. Walaupun penggunaan USG dapat mendeteksi derajat penyebaran sel
kanker dengan baik, akurasi diagnosis dari USG akan tergantung dari kemampuan
operator dalam mengoperasikan alat tersebut (dengan akurasi yang bervariasi
mulai dari 77% sampai dengan 91%). Pada pasien dengan kecurigaan metastasis
pada organ-organ lain seperti paru, deteksi dengan positron emission tomography
(PET) dapat digunakan bersamaan dengan CT scan untuk memeriksa lokasi
metastasis.25

14
Secara histopatologis, kanker endometrium terbagi menjadi tipe 1 (endometrioid
dan dependen estrogen) dan tipe 2 (non-ednometrioid dan non-dependen
estrogen). Kanker endometrium sebagian besar terdiri dari kanker endometrium
tipe 1 (80%) dan umumnya memiliki gambaran histopatologis dengan diferensiasi
yang baik. Beberapa anomali genetik dapat berkontribusi terhadap peningkatan
risiko munculnya sel-sel atipikal yang terkait dengan prognosis yang lebih buruk
(oleh karena grade yang lebih tinggi). Pasien-pasien dengan mutasi gen beta-
catenin memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum untuk
mengalami kanker tersebut. Karsinoma serosa merupakan prototipe dari kanker
tipe 2 yang disebabkan oleh mutasi p53 dan instabilitas kromosom. Clear-cell
carcinoma merupakan salah satu bentuk karsinoma yang langka dan memiliki
karakteristik dari kanker tipe 1 dan tipe 2.25

Evaluasi awal dari kanker endometrium umumnya menggunakan grading FIGO


disertai dengan stratifikasi risiko. Kanker endometrium terdiri dari kanker risiko
rendah (Stage IA [G1 dan G2] tipe endometrioid), sedang (stage IA [G3] tipe
endometrioid; stage IB [G1 dan G2] tipe endometrioid) dan tinggi (stage IB [G3]
tipe endometrioid dan semua kanker non-endometrioid). Semua pasien dengan
kanker endoemtrium akan direncanakan untuk resesksi jaringan; prosedur yang
bersifat tissue-sparing akan lebih cenderung dipertimbangkan pada stage yang
lebih rendah dibandingkan dengan kanker stadium akhir terkait dengan jumlah
jaringan yang perlu diambil untuk mencapai gangguan 25

Tabel 3. Grading FIGO pada kanker endometrium26

FIGO Definisi
Tidak dapat dinilai
0 Tidak ditemukan tumor
I Karsinoma insitu
I Tumor lokal pada uterus
IA <50% miometrium
IB invasi >50% miometrium

15
II Invasi stroma serviks, tidak ada invasi di luar uterus
III Penyebaran lokal dan/atau regional
IIIA Invasi lapisan serosa dari uterus dan/atau adneksa
IIIB Invasi vagina dan/atau parametrium
IIIC Metastasis ke pelvis dan/atau nodus limfa paraoarta
IV Invasi mukosa kandung kemih dan/atau usus dan/atau metastasis ke
organ berjauhan
IVA Invasi tumor pada kandung kemih dan/atau usus
IVB Metastasis ke organ berjauhan (seperti intra-umbilikus dan/atau
nodus limfa inguinal)

Gambar 4. Pemantauan pasca-tatalaksana pada pasien dengan kanker


endometrium27
2.4. Evaluasi pada Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN)

Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN) merupakan sebuah spektrum lesi


plasenta yang ditemukan pada ibu hamil. Mola hidatidirorm merupakan bentuk
jinak dari GTN. Sekitar 16% dari mola hidatidiform komplit dan 0.5% mola
hidatidiform inkomplit dapat berkembang menjadi bentuk-bentuk GTN yang
ganas, di antaranya mola invasif, koriokarsinoma, dan plascental site

16
trophoblastic tumor (PSTT) atau disebut juga dengan gestational trophoblastic
tumor (GTT). Variasi epidemiologi dapat ditemukan pada kasus-kasus GTN.
Insidensi di Eropa cukup rendah (0.5 – 1.0 per 1000 wanita) dibandingkan dengan
Asia Tenggara (8 per 1000 wanita). Terdapat beberapa faktor risiko terkait dengan
pembentukan mola hidatidiform, antara lain riwayat mola sebelumnya dan usia
tua (wanita hamil berusia >40 tahun memiliki risiko lebih tinggi sekitar 5 kali
lipat).28

Evaluasi radiologi dari pasien dengan GTN merupakan modalitas diagnosis


konfirmasi untuk pasien dengan GTN; tanda dan gejala GTN kurang lebih identik
dengan kehamilan normal dengan beberapa tanda dan gejala non-spesifik seperti
perdarahan dari vagina dan pembesaran uterus tidak sesuai dengan usia
kehamilan. Progresivitas GTN dapat ditentukan secara kuantitatif, yaitu dengan
menggunakan pemeriksaan kadar serum beta human chorionic gonadotrophin
(hCG). Diagnosis radiologi untuk GTN dapat ditemukan secara non-invasif
dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) computed tomography (CT), dan
magnetic resonance imaging (MRI).28 Pemeriksaan penunjang lain pada lokasi di
luar abdomen (seperti x-ray toraks atau CT scan pada toraks) dibutuhkan untuk
mengevaluasi terjadinya metastasis.29

Tabel 4. Sistem skoring untuk GTN.30

17
Evaluasi klinis dari pasien dengan curiga GTN memerlukan grading serta
stratifikasi risiko yang dapat digunakan sebagai informasi Stratifikasi risiko dibagi
menjadi dua jenis: GTN risiko rendah (stage I, serta stage II dan III dengan skor
<7) dan GTN risiko tinggi (FIGO stage IV dan stage II – III skor >7). Klasifikasi
menurut International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) pada
pasien dengan kanker terdiri dari stage I (lokal; terbatas pada uterus), II
(menyebar dari uterus ke organ genital seperti adneksa, vagina, broad ligament),
III (menyebar ke paru dengan atau tanpa invasi ke organ genital), dan IV
(metastasis luas). Kriteria diagnosis GTN pasca-molar memerlukan salah satu dari
gejala berikut: (1) hCG masih sama dalam 4 kali pemeriksaan dalam kurun waktu
3 minggu; (2) hCG meningkat >10% dalam 3 pemeriksaan dalam kurun waktu 2
minggu; (3) elevasi hCG persisten selama 6 bulan setelah pengangkatan mola; (4)
diagnosis histopatologi konfirmasi koriokarsinoma; atau (5) adanya metastasis.30

Kemoterapi merupakan tatalaksana utama pada pasien dengan GTN; operasi dan
radioterapi merupakan tatalaksana tambahan pada pasien dengan GTN. Pasien
dengan GTN risiko rendah dapat diberikan satu jenis obat (single agent),
metotrexat (dengan atau tanpa asam folat), atau daktinomisin. Penggunaan 5-
fluorouracil (5-FU) telah digunakan secara ekstensif di Cina dan tergolong efektif
dan memiliki risiko efek samping yang rendah. Regimen metotreksat 5 hari dan 8
hari merupakan regimen lini pertama yang sering digunakan di Eropa dan
Amerika. Daktinomisin memiliki risiko efek samping yang lebih tinggi
dibandingkan dengan metotreksat (efek samping seperti alopesia atau nausea),
namun memiliki tingkat penyembuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
metotreksat apabila disesuaikan dari jumlah kejadian efek samping (dengan
menggunakan regimen pulse daktinomisin per 2 minggu). Pada pasien dengan
GTN risiko tinggi, pemberian lebih dari satu jenis obat (multiagent) dibutuhkan
oleh karena risiko yang lebih tinggi mengalami gagal terapi apabila menggunakan
tatalaksana lini pertama. Berbagai regimen telah digunakan sebagai terapi lini
kedua (yang terdiri dari kombinasi obat-obatan lini pertama) seperti EMA/CO
(etoposide, metotreksat, daktionmisi/siklofosfamid, vincristine), MEA

18
(metotreksat, etoposide, daktinomisin), MAC (metotreksat, daktinomisin,
chlorambucil), EMA/EP (etoposide, metotreksat, daktinomisin/etoposide,
cisplatin), dan CHAMOCA (methotrexate, daktinomisin, siklofosfamid,
doxorubicin, melphalan, hydroxyurea, vincristine). Sekitar 90% pasien GTN
risiko tinggi diberikan regimen EMA/CO diikuti oleh salvage therapy
menggunakan kombinasi platinum-etoposide apabila diperlukan. Pemberian
EMA/EP sebagai salvage therapy dapat tingkat penyembuhan sekitar 75% bagi
pasien GTN dengan riwayat resistensi terapi lini pertama, namun terdapat
beberapa efek samping yang cukup signifikan seperti mielosupresi dan
hepatotoksisitas.31

Resistensi atau rekurensi GTN dapat dideteksi dengan evaluasi hCG pada pasien
GTN dalam periode kemoterapi. Kasus-kasus GTN dinyatakan sebagai resisten
terhadap penanganan apabila dalam periode kemoterapi tidak ditemukan
penurunan hCG atau terdapat metastasis yang terbentuk selama masa pengobatan.
Rekurensi GTN didefinisikan sebagai peningkatan hCG yang dikonfirmasi
sebanyak dua kali pada pasien GTN sebelumnya dengan kadar hCG normal dan
tidak sedang hamil. Sekitar 5% dari pasien dengan GTN risiko rendah tanpa
metastasis dan 10 – 15% pasien GTN risiko rendah dengan metastasis mengalami
resistensi terhadap kemoterapi. Pemberian metotrexat umumnya cukup untuk
menangani kurangnya respons terhadap kemoterapi pada pasien dengan GTN
risiko rendah. Terdapat sekitar 20 – 30% pasien GTN risiko tinggi yang tidak
mengalami respons terhadap terapi lini pertama untuk GTN. Penggunaan terapi
lini kedua dapat digunakan untuk kasus-kasus tersebut. Penggunaan normogram
hCG dapat digunakan untuk memantau pasien dengan GTN yang dicurigai
memiliki resistensi atau rekurensi GTN; pada kadar hCG melebihi persentil ke-90,
disarankan untuk menggunakan terapi lini kedua pada terapi pertama
(menggunakan agen kemoterapi mengandung platinum).29

19
Gambar 5. Tatalaksana dan pemantauan pada GTN persisten32

Gambar 6. Follow-up untuk GTN risiko rendah32

20
Gambar 7. Follow-up untuk GTN risiko tinggi32
Evaluasi pasca tatalaksana pada pasien dengan GTN meliputi pemeriksaan hCG
secara rutin. Pasien dinyatakan remisi apabila terdapat tiga hasil pemeriksaan
hCG mingguan berturut-turut dalam batas normal disertai dengan penyelesaian
regimen kemoterapi. Durasi pemantauan disesuaikan dengan stratifikasi risiko
penyakit; pasien dengan GTN risiko rendah dipantau selama 12 bulan dan pasien
dengan GTN risiko tinggi dipantau selama 24 bulan. Risiko rekurensi dalam satu
tahun pertama setelah remisi adalah 3 – 9%; rekurensi setelah melewati 12 bulan
pasca-tatalaksana tergolong langka. Selama periode pemantauan, pasien dihimbau
untuk memakai kontrasepsi dan pemasangan kontrasepsi intrauterine ditunda
sampa kadar hCG tidak terdeteksi. Pasien-pasien dengan GTN risiko rendah
umumnya memiliki prognosis yang baik dalam segi fertilitas maupun usia harapan
hidup. Sekitar 68.2% dari pasien dengan riwayat kemoterapi (single agent atau
multiagent) atas indikasi GTN melahirkan bayi cukup bulan dan sehat. Risiko
terjadinya komplikasi ibu dan janin lebih tinggi dalam 6 bulan pertama setelah
remisi dan penyelesaian kemoterapi.29

21
Gambar 8 Alur evaluasi dan penanganan pasien dengan GTN.28

2.5. Evaluasi pada Vulva

Neoplasma pada vulva dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, di antaranya


fibroma, lipoma, hidradenoma, naevi, endoetriosis, dan terkait dengan
elefantiasis.21 Kanker vulva merupakan salah satu jenis neoplasma vulva yang
relatif jarang ditemukan; terkait dengan peningkatan usia harapan hidup pada

22
massa modern, ditemukan tren peningkatan insidensi kanker vulva sekitar 4.6%
per 5 tahunnya. Kanker vulva terkait dengan 1,200 kematian yang terjadi pada
tahun 2018; terdapat 6,190 kasus baru yang terdiagnosis dalam tahun yang sama.
Tingkat insidensi puncak dari kanker vulva umumnya ditemukan pada pasien
berusia kurang lebih 70-an tahun. Tren terkini mulai menemukan peningkatan
jumlah kejadian squamous cell carcinoma (SCC) pada pasien yang lebih muda.
Kanker SCC pada vulva merupakan jenis histologi kanker yang paling sering
ditemukan (90% dari seluruh kasus kanker vulva) dengan angka kejadian 2 – 7
per 100,000 wanita. Terkait dengan perubahan perilaku seksual pada jaman
modern, terdapat peningkatan SCC vulva; terdapat infeksi human papilloma virus
(HPV) yang ditemukan pada 43 – 60% wanita usia reproduktif dengan diagnosis
SCC vulva. Beberapa faktor risiko pada pasien yang dapat terkait dengan
terjadinya SCC vulva antara lain riwayat merokok, konsumsi alkohol, kanker
serviks, dan kondisi imunosupresi.19,21,33

Kanker vulva menyebar melalui 3 jalur: ekstensi lokal, penyebaran lokoregional


terutama secara limfatik, dan metastasis jauh terutama melalui jalur hematogen.
Namun penyebaran melalui jalur hematogen ini lebih sedikit dari dua cara yang
lainnya. Ekstensi lokal kanker vulva secara umum dengan pola dari distal ke
proksimal, yaitu dari vulva ke distal vagina dan uretra. Penyebaran ke arah lain,
yaitu ke anus, akan memperburuk prognosis dan sudah termasuk dalam stage II
dan III. Kelenjar getah bening yang termasuk regional kanker vulva antara lain
adalah nodus limfa inguinal, nodus limfa femoralis, nodus limfa obturator dan
nodus limfa iliaka eksterna. Risiko keterlibatan nodus limfa inguinofemoral
adalah sekitar 10- 50%, dan pada nodus limfa pelvis sekitar 5%. Penyebaran ke
nodus limfa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ukuran tumor yang besar
(bulky), kedalaman invasi lebih dari 1 mm, dan terdapat invasi saluran limfatik.
Risiko penyebaran ke nodus limfa kontralateral pada pasien-pasien dengan kanker
vulva adalah sebesar 15%. Apabila terdapat jumlah metastasis regional yang besar
(>3 nodus limfa), risiko untuk penyebaran ke organ jauh dari pelvis (seperti paru)
meningkat drastis menjadi 66%.34

23
Gambar 9. Anatomi vulva dan struktur sekitar35

Evaluasi awal pada pasien dengan kanker vulva adalah dengan pemeriksaan
staging kanker disertai dengan rencana vulvektomi radikal serta diseksi nodus
limfa inguinofemoral. Vulvektomi radikal meliputi reseksi jaringan dari vulva
sampai fasia paha, periosteum tulang pubis, dan fasia interior dari diafragma
urogenital. Operasi tambahan dilakukan untuk menurunkan risiko metastasis lokal
pada pasien dengan kanker vulva, antara lain dengan uretrektomi distal,
vaginektomi, atau anovulvektomi. Kriteria penilaian kanker vulva menggunakan
grading surgikal dan patologis menggunakan kriteria FIGO.35 Keluhan pasien
dengan kanker vulva secara umum adalah nyeri, perdarahan, keputihan, gatal,
kulit menjadi tebal atau kasar, dan adanya benjolan pada vulva. Pada kasus kanker
vulva dengan stadium yang lebih lanjut, di mana ekstensi kanker sudah mencapai
uretra, vagina ataupun anus, pasien dapat datang dengan keluhan seperti gangguan
buang air kecil dan buang air besar, serta gangguan pada saat berhubungan
seksual. Sebagian kecil pasien terdapat keluhan tungkai bengkak, karena
penyumbatan pada nodus limfa inguinal. Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan
pemeriksaan inspeksi, palpasi dan periksa dalam. Pada inspeksi, dapat ditemukan
adanya benjolan pada vulva, dengan ukuran bervariasi, tunggal ataupun multipel,
dapat eksofitik maupun endofitik. Pemeriksaan palpasi dil- akukan untuk menilai
konsistensi tumor, apakah keras atau lunak, mengetahui ekstensi tumor pada
jaringan sekitarnya, yaitu vagina, uretra dan anus, serta adanya pembesaran nodus
limfa inguinal. Pada pemeriksaan dalam

24
dapat diketahui ukuran klinis tumor dan adanya keterlibatan vagina bagian
proksimal serta serviks. Hasil pemeriksaan dalam dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam perencanaan booster radiasi eksterna atau brakiterapi paska
radiasi eksterna, terutama bila tumor yang tampak sudah mengecil atau bahkan
sudah tidak ada lagi.34

Tabel 5. Staging kanker vulva menurut FIGO35

Stage Kriteria

I Tumor lokal (hanya pada vulva)

IA Lesi <2 cm pada vulva atau invasi stroma perineum <1.0 mm


dan tidak ada metastasis nodus limfa

IB Lesi >2 cm atau invasi stroma perineum >1.0 mm terbatas


tanpa metastasis nodus limfa

II Tumor yang menyebar ke struktur lokal (sepertiga bagian


bawah uretra, vagina, atau anus) tanpa penyebaran ke nodus
limfa

III Tumor dengan atau tanpa penyebaran ke struktur lokal


disertai dengan status metastasis nodus limfa positif

IIIA Satu nodus limfa dengan metastasis >5 mm atau satu atau dua
nodus limfa dengan metastasis <5 mm

IIIB Dengan >2 nodus limfa dengan metastasis >5 mm atau


dengan >3 nodus limfa dengan metastasis <5 mm

IIIC Penyebaran nodus limfa secara ekstrakapsular

IV Invasi tumor ke organ lain

IVA Invasi tumor ke uretra atas dan mukosa vagina, kandung

25
kemih, atau rektum; invasi ke tulang pelvis; atau metastasis ke
nodus limfa inguinofemoral

IVB Metastasis ke organ lain seperti nodus limfa pelvis.

Gambar 10. Pemantauan pasca-tatalaksana pada pasien dengan kanker


vulva36

26
BAB III

KESIMPULAN

Evaluasi pasca-tatalaksana pada pasien-pasien malignansi ginekologi


bertujuan untuk diagnosis dan penanganan dini kasus-kasus relaps dan/atau
rekurensi malignansi. Sebagian besar dari kasus-kasus relaps atau rekurensi
tersebut tidak memiliki gejala; pada pasien-pasien yang menunjukkan gejala
terkait malignansi tersebut, tingkat pertahanan hidup pasien lebih rendah
dibandingkan dengan pasien yang ditangani lebih dini dan tidak menunjukkan
gejala terkait relaps dan rekurensi (dengan konfirmasi melalui pemeriksaan fisik).

Pemeriksaan fisik dan anamnesis pada periode follow-up pasca-tatalaksana


merupakan modalitas yang paling sering digunakan dan dapat mendeteksi kasus-
kasus relaps dan/atau rekurensi kanker ginekologi. Penggunaan modalitas
diagnosis seperti USG, CT, dan MRI dapat digunakan untuk membantu
konfirmasi dari relaps/rekurensi tersebut.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Salani R, Backes FJ, Fung Kee Fung M, Holschneider CH, Parker LP,
Bristow RE, et al. Posttreatment surveillance and diagnosis of recurrence in
women with gynecologic malignancies: Society of Gynecologic
Oncologists recommendations. Am J Obstet Gynecol. 2011;204(6):466–78.
2. Hillesheim I, Limone GA, Klimann L, Monego H, Appel M, De Souza A,
et al. Cervical cancer posttreatment follow-up: Critical analysis. Int J
Gynecol Cancer. 2017;27(8):1747–52.
3. Elit L, Fyles AW, Oliver TK, Devries-Aboud MC, Fung-Kee-Fung M.
Follow-up for women after treatment for cervical cancer. Curr Oncol.
2010;17(3):65–9.
4. Iyer R, Gentry-Maharaj A, Nordin A, Burnell M, Liston R, Manchanda R,
et al. Predictors of complications in gynaecological oncological surgery: A
prospective multicentre study (UKGOSOC - UK gynaecological oncology
surgical outcomes and complications). Br J Cancer. 2015;112(3):475–84.
5. Horvath S, George E, Herzog TJ. Unintended consequences: Surgical
complications in gynecologic cancer. Women’s Heal. 2013;9(6):595–604.
6. Zanagnolo V, Ming L, Gadducci A, Maggino T, Sartori E, Zola P, et al.
Surveillance procedures for patients with cervical carcinoma a review of
the literature. Int J Gynecol Cancer. 2009;19(2):194–201.
7. Marth C, Landoni F, Mahner S, Mccormack M, Colombo N, Guidelines E.
Cervical cancer : ESMO Clinical Practice Guidelines for Clinical Practice
Guidelines. ESMO Updat Clin Pract Guidel. 2017;28(Supplement 4):iv72–
83.
8. Bourgioti C, Chatoupis K, Moulopoulos LA. Current imaging strategies for
the evaluation of uterine cervical cancer. World J Radiol. 2016;8(4):342.
9. Ning MS, Ahobila V, Jhingran A, Stecklein SR, Frumovitz M, Schmeler
KM, et al. Outcomes and patterns of relapse after definitive radiation
therapy for oligometastatic cervical cancer. Gynecol Oncol.
2018;148(1):132–8.
10. Elit L, Fyles AW, Devries MC, Oliver TK, Fung-Kee-Fung M. Follow-up
for women after treatment for cervical cancer: A systematic review.
Gynecol Oncol. 2009;114(3):528–35.
11. Sartori E, Pasinetti B, Carrara L, Gambino A, Odicino F, Pecorelli S.
Pattern of failure and value of follow-up procedures in endometrial and
cervical cancer patients. Gynecol Oncol. 2007;107(1 SUPPL.).
12. Auguste P, Barton P, Meads C, Davenport C, Małysiak S, Kowalska M, et
al. Evaluating PET-CT in routine surveillance and follow-up after treatment
for cervical cancer: a cost-effectiveness analysis. BJOG An Int J Obstet
Gynaecol. 2014 Mar;121(4):464–76.
13. Abu-Rustum NR, Yashar CM, Bradley K. NCCN Clinical Practice
Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines®) - Cervical Cancer [Internet].
National Comprehensive Cancer Network. 2020 [cited 2020 Oct 2].

28
Available from: http://www.nccn.org/
14. Rauh-Hain JA, Krivak TC, Del Carmen MG, Olawaiye AB. Ovarian cancer
screening and early detection in the general population. Rev Obstet
Gynecol. 2011;4(1):15–21.
15. Marcus CS, Maxwell GL, Darcy KM, Hamilton CA, McGuire WP. Current
approaches and challenges in managing and monitoring treatment response
in ovarian cancer. J Cancer. 2014;5(1):25–30.
16. Javadi S, Ganeshan DM, Qayyum A, Iyer RB, Bhosale P. Ovarian cancer,
the revised FIGO staging system, and the role of imaging. Am J
Roentgenol. 2016;206(6):1351–60.
17. Kurman RJ, Visvanathan K, Roden R, Wu TC, Shih IM. Early detection
and treatment of ovarian cancer: shifting from early stage to minimal
volume of disease based on a new model of carcinogenesis. Am J Obstet
Gynecol. 2008;198(4):351–6.
18. Kaufman B, Shapira-Frommer R, Schmutzler RK, Audeh MW, Friedlander
M, Balmaña J, et al. Olaparib monotherapy in patients with advanced
cancer and a germline BRCA1/2 mutation. J Clin Oncol Off J Am Soc
Clin Oncol. 2015 Jan;33(3):244–50.
19. Rouzier R, Haddad B, Plantier F, Dubois P, Pelisse M, Paniel BJ. Local
relapse in patients treated for squamous cell vulvar carcinoma: Incidence
and prognostic value. Obstet Gynecol. 2002;100(6):1159–67.
20. du Bois A, Ewald-Riegler N, de Gregorio N, Reuss A, Mahner S,
Fotopoulou C, et al. Borderline tumours of the ovary: A cohort study of the
Arbeitsgmeinschaft Gynäkologische Onkologie (AGO) Study Group. Eur J
Cancer. 2013 May;49(8):1905–14.
21. Sataloff RT, Johns MM, Kost KM. Shaw’s Textbook of Gynaecology. 16th
ed. Vol. 40, Postgraduate Medical Journal. Elsevier; 2015.
22. Fung-kee-fung M, Dodge J, Elit L, Lukka H. Follow-up after primary
therapy for endometrial cancer : A systematic review. 2006;101:520–9.
23. Bogani G, Matteucci L, Tamberi S, Ditto A, Sabatucci I, Murgia F, et al.
European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology
RECIST 1 . 1 criteria predict recurrence-free survival in advanced ovarian
cancer submitted to neoadjuvant chemotherapy. Eur J Obstet Gynecol.
2019;237:93–9.
24. Armstrong DK, Alvarez RD, Bakkum-Gamez JN, Barrolihet L. NCCN
Clinical Practice Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines®) - Ovarian
Cancer Including Fallopian Tube Cancer and Primary Peritoneal Cancer
[Internet]. National Comprehensive Cancer Network. 2021. Available
from: http://www.nccn.org/
25. Colombo N, Preti E, Landoni F, Carinelli S, Colombo A, Marini C, et al.
Endometrial cancer: ESMO Clinical Practice Guidelines for diagnosis,
treatment and follow-up. Ann Oncol Off J Eur Soc Med Oncol. 2013
Oct;24 Suppl 6:vi33-8.
26. Edey K, Murdoch J, Katharine A, John E. FIGO staging in vulval and
endometrial cancer. Obstet Gynaecol. 2010 Oct 1;12(4):245–9.
27. Abu-Rustum NR, Yashar CM, Bradley K. NCCN Clinical Practice

29
Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines®) - Uterine Neoplasms
[Internet]. National Comprehensive Cancer Network. 2021 [cited 2020 Oct
20]. Available from: http://www.nccn.org
28. Allen SD, Lim AK, Seckl MJ, Blunt DM, Mitchell AW. Radiology of
gestational trophoblastic neoplasia. Clin Radiol. 2006;61(4):301–13.
29. Biscaro A, Braga A, Berkowitz RS. Diagnosis, classification and treatment
of gestational trophoblastic neoplasia. Rev Bras Ginecol e Obs. 2015
Jan;37(1):42–51.
30. Lurain JR. Gestational trophoblastic disease II: Classification and
management of gestational trophoblastic neoplasia. Am J Obstet Gynecol.
2011;204(1):11–8.
31. Alazzam M, Tidy J, Osborne R, Coleman R, Hancock BW, Lawrie TA.
Chemotherapy for resistant or recurrent gestational trophoblastic neoplasia.
Cochrane Database Syst Rev. 2016;2016(1).
32. Abu-Rustum NR, Yashar CM, Bean S, Bradley K, Campos SM, Chon HS,
et al. Gestational Trophoblastic Neoplasia, Version 2.2019, NCCN Clinical
Practice Guidelines in Oncology. J Natl Compr Cancer Netw. 2019
Nov;17(11):1374–91.
33. Tan A, Bieber AK, Stein JA, Pomeranz MK. Diagnosis and management of
vulvar cancer: A review. J Am Acad Dermatol. 2019;81(6):1387–96.
34. Nurhidayat W, Ramli I. Kanker Vulva. Radioter Onkol Indones.
2017;8(1):1–12.
35. Kim KW, Shinagare AB, Krajewski KM, Howard SA, Jagannathan JP,
Zukotynski K, et al. Update on imaging of vulvar squamous cell carcinoma.
Am J Roentgenol. 2013;201(1):147–57.
36. Abu-Rustum NR, Yashar CM, Bradley K. NCCN Clinical Practice
Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines®) - Vulvar Cancer (Squamous
Cell Carcinoma) [Internet]. National Comprehensive Cancer Network.
2020 [cited 2020 Oct 19]. Available from: http://www.nccn.org

30

Anda mungkin juga menyukai