Oleh : Kelompok 3
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. i
Kata Pengantar..................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................iii
BAB I. Pendahuluan.....................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................. 5
B. Rumusan Masalah.............................................................................5
C. Tujuan............................................................................................... 5
D. Manfaat.............................................................................................6
BAB II. Pembahasan......................................................................................7
A. Pengertian Dan Konsep Hukum Jaminan......................................... 7
B. Jenis-jenis Jaminan............................................................................8
C. Perjanjian Jaminan Hak Tangungan.................................................. 9
D. Perjanjian Jaminan Hipotik...............................................................11
E. Jaminan Fidusia.................................................................................13
BAB III. Penutup.............................................................................................16
A. Kesimpulan........................................................................................16
B. Saran..................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
mempertahankan setiap benda yang dimiliki saat hendak dirampas oleh pihak
lain secara paksa. Bahkan banyak juga kisah yang melegenda tentang
perjuangan anak manusia untuk memperoleh benda yangdiinginkan guna
menunjang hegenomi kekuasaan yang diinginkan, atauuntuk meraih singgasana
agar dapat memegang tampuk tertinggi sebuah kekuasaan. Putaran sejarah
manusia sudah banyak mengisahkan betapa gigihnya manusia berjuang untuk
memperoleh benda sebagai kelengkapan profesinya, bahkan hikayat itu tidak
pernah lekang oleh panas ataupun lapuk oleh guyuran hujan sampai peradaban
moderen sekalipun.2
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai :
1. Apa yang dimaksud dengan Pengertian Dan Konsep Hukum Jaminan ?
2. Apa saja Jenis Jaminan?
3. Apa Yang Dimaksud Dengan Jaminan Hak Tanggungan?
4. Apa Yang Dimaksud Dengan Jaminan Hipotik?
5. Apa Yang Dimaksud Dengan Jamian Fidusia?
C. Tujuan Penulisan
2
H. Moch. Isnaeni, Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan, Revka Petra Media, Surabaya, 2016,
5
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Pengertian Dan Konsep Hukum
Jaminan;
2. Untuk mengetahui apa saja Jenis Jaminan;
3. Untuk mengetahui Yang Dimaksud Dengan Jaminan Hak Tanggungan;
4. Untuk mengetahui Yang Dimaksud Dengan Jaminan Hipotik;
5. Untuk mengetahui Yang Dimaksud Dengan Jamian Fidusia;
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat bagi penulis dalam penulisan makalah ini adalah untukmenambah ilmu
pengetahuan dan wawasan mengenai aspek hukum Jaminan;
2. Manfaat bagi pembaca dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai acuan atau
sarana untuk lebih megetahui tentang aspek hukum jaminan, serta sebagai salah
satu referensi dalam sistematika penulisan makalah.
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
kebendaan tertentu sebagai (benda) jaminankepada penerima
jaminan (kreditur)
3. Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur.
4. Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan
dimaksudkansebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan utang
tertentu
B. Jenis Jaminan
Jaminan umum : Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh
undang/undang.
Jaminan Khusus : Jaminan yang lahir karena perjanjian
Jaminan Khusus dibagi 2.
o Jaminan kebendaan : Jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu
benda yang mempunyai ciri/ciri, yaitu mempunyai hubungan
langsung atas benda daridebitur, dapat dipertahankan terhadap
siapapun, selalu mengikuti bendanya,dan dapat diperalihkan.
o Jaminan perorangan : Jaminan yang menimbulkan hubungan
langsung pada perseorangan, hanya dapat dipertahankan terhadap
debitur, terhadap hartakekayaan debitur semuanya.
Jaminan kebendaan di bagi 2.
Objek benda bergerak
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas waktu
kebendaan bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang
debitur dan seoranglain atas nama debitur yang memberikan
kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara di dahulukan dari padakreditur lainnya,
atau dapat disbut kreditur pre:eren (kreditur yang didulukan).
Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud atautidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat di bebani hak
tanggungan sebagai mana yang dimaksud dalam UU No 4
1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam
penguasaan pemberi Fidusia sebagai agunan bagi pelunasan
8
utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.
Objek benda tidak bergerak/benda tetap
Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak
untuk mengambil pergantian daripadanya bagi pelunasan bagi
suatu perikatan.
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang di bebankan pada hak
atas tanah.
C. Perjanjian Jaminan Hak Tanggungan
Pengertian hak tanggungan adalah salah satu bentuk jaminan yang
digunakan dalam transaksi bisnis dan perbankan di Indonesia. Pada
praktiknya, fungsi hak tanggungan sering kali digunakan sebagai jaminan
dalam pengajuan kredit atau pinjaman oleh individu maupun perusahaan.
Namun, meskipun begitu, masih banyak orang yang belum sepenuhnya
memahami apa itu hak tanggungan dan bagaimana penerapannya dalam
hukum di Indonesia. Oleh karena itu, bunyi UU Hak Tanggungan sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang No.4 Tanggal 9 April 1996 Pasal 1
Ayat 1 adalah:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor
lain.”
Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah
adat yang tadinya tidak tertulis kedua-duanya lalu diganti dengan hukum
tertulis sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 yang intinya
memperkuat adanya unifikasi hukum tersebut.Sebelum berlakunya UUPA
(Undang-Undang Pokok Agraria), dalam hukum dikenal lembaga-lembaga hak
jaminan atas tanah yaitu: jika yang dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti
Hak Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya adalah
Hipotek, sedangkan Hak Milik dapat sebagai objek Credietverband.
9
Dengan demikian mengenai segi materilnya mengenai Hipotek dan
Credietverband atas tanah masih tetap berdasarkan ketentuan-ketentuan
KUHPerdata dan Stb. 1908 Nomor 542 jo Stb. 1937 Nomor 190 yaitu
misalnya mengenai hak-hak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan
hukum itu mengenai asas-asas Hipotek, mengenai tingkatan-tingkatan Hipotek
janji-janji dalam Hipotek dan Credietverband3.
Dengan berlakunya UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960) maka dalam
rangka mengadakan unifikasi hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas
tanah baru yang diberi nama Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga
Hipotek dan Credietverband dengan Hak milik, Hak Guna Usaha dan Hak
Guna Bangunan sebagai objek yang dapat dibebaninya Hak-hak barat sebagai
objek Hipotek dan Hak Milik dapat sebagai objek Credietverband tidak ada
lagi, karena hak-hak tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak baru
yang diatur dalam UUPA.
Negara harus mengatur segala sesuatunya yang berkaitan dengan tanah
(merupakan bagian dari bumi) tersebut, agar digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Sehingga mengenai penggunaan dan penguasaan
tanah tersebut, telah dituangkan pengaturannya dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria dan lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok
Agraria (selanjutnya disingkat UUPA).
Dengan demikian jelaslah tujuan pemberlakuan UUPA tersebut adalah
untuk menghilangkan sifat dualisme dalam hukum tanah nasional, yang berarti
terciptanya unifikasi hukum tanah nasional dan terciptanya kepastian hukum
mengenai hak atas tanah, disamping tercapainya fungsi tanah secara optimal
sesuai dengan perkembangan kebutuhan rakyat Indonesia. Untuk itu
diperlukan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan
kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat mengenai hak tersebut, maka lahirlah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah
3
Sri Soedewi Masjehoen, Hak Jaminan Atas Tanah, Liberty, Yogyakarta, 1975,
10
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, selanjutnya disingkat
UUHT4.
Menurut E. Liliawati Muljono, yang dimaksud dengan Hak
Tanggungan adalah:
11
sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek. Hipotek itu sendiri
artinya adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang tak bergerak,
bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari (pendapatan
penjualan) benda itu. Pengertian hipotek, Hypotheca berasal dari bahasa Latin,
dan hypotheek dari bahasa Belanda, yang mempunyai arti “Pembebanan”. 7
Sedangkan Menurut Pasal 1162 KUHPerdata, hipotek adalah suatu hak
kebendaan atas suatu benda yang tak bergerak, bertujuan untuk mengambil
pelunasan suatu hutang dari (pendapatan penjualan) benda itu. 8 Dalam Buku
“Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan” karangan Hartono
Hadisoeprapto menjelaskan, bahwa hipotek adalah bentuk jaminan-jaminan
kredit yang timbul dari perjanjian, yaitu suatu bentuk jaminan yang adanya
harus diperjanjikan terlebih dahulu.9 Vollmar mengatakan hipotek adalah:
“Sebuah hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak tidak bermaksud untuk
memberikan orang yang berhak (pemegang hipotek) sesuatu nikmat dari suatu
benda, tetapi ia bermaksud memberikan jaminan belaka bagi pelunasan sebuah
hutang dengan dilebihdahulukan”.
Salah satu hak kebendaan sebagai jaminan pelunasan hutang adalah
hipotek. Hipotek di atur dalam Buku II KUH Perdata Bab XXI Pasal 1162
sampai dengan 1232. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) maka Hipotek atas tanah dan segala benda-
benda uang berkaitan dengan benda dengan tanah itu menjadi tidak berlaku
lagi. Namun diluar itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992
tentang Penerbangan, Hipotek masih berlaku dan dapat dijaminkan atas kapal
terbang dan helikopter. Demikian juga berdasarkan Pasal 314 ayat (3) KUH
Dagang dan Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, Kapal
Laut dengan bobot 20 m3 ke atas dapat dijadikan jaminan Hipotek. Oleh
karena itu di dalam tulisan ini Hipotek yang bersumber dari KUHPerdata
7
John Salindeho, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
1994
8
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 25, Intermasa, Jakarta, 1995,
9
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta,
1984, Edisi I,
12
Barat sengaja disinggung sekedarnya saja hanya sebagai latar belakang atau
pebanding dengan Hak Tanggungan menurut UUHT.
Di dalam Pasal 1162 KUHPerdata Hipotek diartikan sebagai: “Hipotek
adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil
penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan”. Pasal 1168
KUHPerdata menyatakan lebih lanjut sebagai berikut: “Hipotek tidak bisa
diletakkan selain oleh siapa yang berkuasa memindah tangankan benda yang
dibebani”. Sedangkan Pasal 1171 KUHPerdata mengatakan: “Hipotek hanya
dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dengan hal-hal yang dengan
tegas ditunjukoleh Undang-Undang”. Kemudian Pasal 1175 KUHPerdata
sebagai berikut: “Hipotek hanya dapat diletakkan atas benda-benda yang
sudah ada. Hipotek atas benda-benda yang akan ada di kemudian hari adalah
batal”. Selanjutnya Pasal 1176 KUHPerdata dinyatakan sebagai berikut:
“Suatu Hipotek hanyalah sah, sekedar jumlah uang untuk mana ia telah
diberikan, adalah tentu dan ditetapkan di dalam akta”. Berdasarkan bunyi-
bunyi pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari jaminan
hipotek adalah sebagai berikut:
a. Harus ada benda yang dijaminkan.
b. bendanya adalah benda tidak bergerak.
c. dilakukan oleh orang yang memang berhak memindahtangankan
benda jaminan.
d. ada jumlah uang tertentu dalam perjanjian pokok dan yang
ditetapkan dalam suatu akta.
e. diberikan dengan suatu akta otentik.
f. bukan untuk dinikmati atau dimiliki, namun hanya sebagai jaminan
pelunasan hutang saja.
Namun jika hutangnya bersyarat ataupun jumlahnya tidak tertentu, maka
pemberian Hipotek senantiasa adalah sah sampai jumlah harga takiran, yang
para pihak diwajibkan menerangkan di dalam aktanya (Pasal 1176 ayat (2)
KUH Perdata).
E. Konsep Jaminan Fidusia
Pasal 1 angka 2 UUJF menyatakan bahwa “Jaminan fidusia adalah hak
jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani
13
jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
kreditor lainnya.”
“Sejak lahirnya jaminan fidusia ini sangat kental dengan rekayasa. Sebab
dalam sistem hukum Belanda tempo dulu, oleh karena juga di Indonesia untuk
jaminan barang bergerak hanya dikenal gadai, sedang barang tidak bergerak
dikenal dengan hipotek”.10
Dalam praktek untuk menjaminkan barang bergerak, tetapi tanpa
penyerahan barang secara fisik. Untuk maksud tersebut tidak dapat digunakan
lembaga gadai (yang mensyaratkan penyerahan benda) dan juga dapat
digunakan hipotek yang hanya diperuntukkan terhadap barang tidak bergerak
saja. Karena itu dicarikanlah jalan untuk dapat menjaminkan barang bergerak
tanpa penyerahan fisik barang tersebut akhirnya muncul rekayasa untuk
memenuhi kepentingan praktek seperti itu dengan jalan pemberian jaminan
fidusia yang akhirnya diterima dalam praktek dan diakui oleh yurisprudensi
dan diundangkan pada tahun 1999.
Rekayasa tersebut dalam bentuk globalnya disebut dengan constitutum
possessorium (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda
sama sekali).
Bentuk rincian dari constitutum possessorium dalam Fidusia ini
dilakukan melalui proses tiga fase, yaitu:
1) Fase pertama yaitu : Fase perjanjian obligatoir (obligatoir
overeenkomst). Proses jaminan fidusia diawali oleh adanya suatu
perjanjian obligatoir (obligatoir overeenkomst). Perjanjian
(overeenkomst) tersebut berupa perjanjian pinjam uang dengan
jaminan fidusia diantara pihak pemberi Fidusia (debitor) dengan
pihak penerima Fidusia (kreditor).
2) Fase kedua yaitu : Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst).
Selanjutnya diikuti oleh suatu perjanjian kebendaan (zakelijke
overeenkomst). Perjanjian kebendaan tersebut berupa penyerahan
hak milik dari debitor kepada kreditor, dalam hal ini dilakukan
10
Oey HoeyTiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, 1983,
14
secara constitutum prosessorium, yakni penyerahan hak milik tanpa
menyerahkan fisik benda.
3) Fase ketiga yaitu : Fase Perjanjian pinjam pakai. Dalam fase ketiga
ini dilakukan pinjam pakai, dalam hal ini benda objek Fidusia yang
hak miliknya sudah berpindah kepada pihak kreditor
dipinjampakaikan kepada pihak debitor, sehingga praktis benda
tersebut setelah diikat dengan jaminan fidusia tetap saja dikuasai
secara fisik oleh pihak debitor.11
Dasar hukum dari Fidusia adalah suatu perjanjian yakni perjanjian
fidusia perikatan yang menimbulkan fidusia ini mempunyai karakteristik
sebagai berikut : Antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia terdapat
suatu hubungan perikatan, yang menerbitkan hak bagi kreditor untuk meminta
penyerahan barang jaminan dari debitor (secara constitutum posessorium).
Perikatan tersebut adalah perikatan untuk memberikan sesuatu karena debitor
menyerahkan suatu barang (secara constitutum posessorium) kepada kreditor .
Perikatan dalam rangka pemberian fidusia merupakan perikatan yang
assessoir, yakni merupakan perikatan yang membuntuti perikatan lainnya
(perikatan pokok) berupa perikatan hutang-piutang. Perikatan fidusia
tergolong kedalam perikatan dengan syarat batal, karena jika hutangnya
dilunasi, maka hak jaminannya secara fidusia menjadi hapus. Perikatan fidusia
tergolong perikatan yang bersumber dari suatu perjanjian yaitu perjanjian
fidusia. Perjanjian fidusia merupakan perjanjian yang tidak disebut secara
khusus dalam KUH Perdata. Karena itu, perjanjian ini tergolong dalam
perjanjian tak bernama (onbenoem de overeenkomst). Perjanjian fidusia tetap
tunduk pada ketentuan bagian umum dari perikatan yang terdapat dalam KUH
Perdata.
Objek jaminan adalah benda bergerak contoh : mobil, sepeda motor,
perabot rumah tangga. benda yang akan menjadi jaminan masih tetap dikuasai.
Aturan hukumyang mengaturnya disebut lembaga fidusia.
Benda yang akan menjadi jaminan tapi tidak dikuasainya maka aturan
hukum yang mengaturnya disebut penggadaian
BAB III
11
Munir Fuady, op.cit.,
15
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dasar filosofis lembaga jaminan fidusia, digunakan untuk menampung
kebutuhan masyarakat akan pentingnya tambahan modal berupa dana dalam
melakukan kegiatan usaha di bidang ekonomi dengan tetap menguasai benda
modalnya itu digunakan dalam mempertahankan kegiatan usaha, sebagai
agunan/jaminan memperoleh bantuan dana. Mengingat kedua lembaga jaminan
yang ada dalam KUHPerdata yaitu gadai dan hipotek, tidak memberikan ruang
dan tempat bagi masyarakat yang mengembangkan usaha dengan perolehan dana
dari lembaga keuangan. Kalaupun jaminan dalam bentuk gadai, maka
persyaratan utama bagi debitor untuk memperoleh dana harus menyerahkan
benda kepada kreditor, hal ini debitor tidak dapat menggunakan benda tersebut
untuk menjalankan aktifitas usaha yang berakibat tidak dapat melakukan
pelunasan utang kepada kreditor, karena benda sebagai alat untuk menjalankan
usaha harus diserahkan kepada kreditor.
Keberadaan UUJF apabila diteliti dan dicermati ternyata tidak
mengandung kepastian hukum baik secara internal maupun eksternal. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: faktor sejarah perkembangan peraturan
jaminan fidusia, faktor tidak didaftarkannya jaminan fidusia dan faktor
penormaan. Berdasarkan teori kepastian hukum dari Lon Fuller, UUJF dalam
rumusan pasal-pasalnya terdapat tumpang tindih, menjadikan tidak terwujudnya
kepastian hukum yang berakibat adanya pemahaman norma yang berbeda dalam
pelaksanaanya. UUJF sebenarnya merupakan peraturan perundang-undangan
yang tidak dapat berdiri sendiri, karena di dalamnya dimasukkan juga ketentuan
undang-undang hak cipta sebagai jaminan, Undang-undang Perumahan dan
Kawasan Permukiman. Tetapi manakala dicermati berdasarkan asas spesialitas
dan asas publisitas sudah menghasilkan suatu proses yang dapat melahirkan
kepastian hukum yang prima dan adil.
B. Saran
Menurut sejarahnya fidusia dilahirkan dari munculnya sengketa hukum
yang dalam penyelesaian hukumnya dilakukan dengan dasar yurisprudensi, yang
merupakan hasil penemuan hukum oleh hakim dalam memutus suatusengketa,
kemudian diadopsi menjadi UUJF. Dalam pasal-pasal UUFJ tersebut terdapat
16
berbagai tumpang tindih di dalam pelaksanaanya. Karena itu penulis
menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan pembaharuan UUJF, supaya
dapat memberikan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam
penggunaan UUJF, sehinggadapat mewadahi kebutuhan masyarakat bisnis
utamanya kebutuhan dana, khususnya kalangan usaha mikro, usaha kecil, dan
usaha menengah yang hingga saat ini merupakan kalangan usaha yang mampu
bertahan dan bersaing dengan kalangan usaha besar.
DAFTAR PUSTAKA
17
Sudikno Mertokusumo. (1991). Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,
Yogyakarta.
Sri Soedewi Masjehoen. (1975). Hak Jaminan Atas Tanah, Liberty, Yogyakarta.
Purwahid Patrik dan Kashadi. (2006). Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT,
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
John Salindeho. (1994). Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta.
18