Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

SKIZOFRENIA

MATA KULIAH : PSIKOLOGI ABNORMAL

Dosen Pengampu: Nur Evira Anggrainy, M.Si

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2

NADILA AMALIA SALAM (20236005)

DIVA PERMATA DEWI (20236006)

TIARA RAHMAWATI BUMULO (20236008)

Program Studi Psikologi Islam

Fakultas Ushuluddin Adab & Dakwah


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah psikologi abnormal. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih juga untuk beberapa
pihak yang telah berkontribusi hingga penyusunan makalah ini selesai .

Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai skizofrenia.
Kami juga sangat berharap semoga informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi yang membaca nya. Tiada yang sempurna di dunia melainkan Allah SWT.
Tuhan yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon krtitik dan saran yang membangun bagi
perbaikan makalah selanjutnya.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun
adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami memohon maaf. Kami
selaku penulis menerima kritik dan saran seluas-luas nya dari pembaca agar bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.

Manado, 11 November 2023

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................3
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................5
A. Latar Belakang.................................................................................................................................5
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................6
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................7
A. Pengertian Skizofrenia.....................................................................................................................7
B. Gambaran Klinis Skizofrenia...........................................................................................................8
C. Positif Simtom...............................................................................................................................12
BAB III PENUTUP...................................................................................................................................25
A. Kesimpulan....................................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................26
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam wacana lama, gangguan ini merupakan bagian dari gangguan psikosis. Gangguan
skizofrenia (schizophrenia) banyak menampilkan perilaku yang menggambarkan adanya
breakdown psikologis yang sangat penting atau berarti. Yang sering memperlihatkan adanya
gangguan pada skizofrenia ini terutama menyangkut di bidang perseptualkognitif, dan
mekanisme pemprosesan informasi, atau secara singkat dapat disebut gangguan dalam proses
berpikir sebagai gangguan primer. Ini berbeda dengan gangguan perasaan, yang didasari secara
primer oleh "mood disorder". Tentulah dalam membedakan kedua jenis gangguan ini, skizofrenia
dan gangguan afek, kita harus sadar betul, bahwa sukar sekali untuk membedakan antara pikiran
dan perasaan dalam kenyataannya. Gangguan ini termasuk perilaku yang paling ekstrim karena
ditemukan dalam perilaku manusia yang melibatkan secara virtual (tidak nyata) semua proses
psikopatologis yang dapat diketahui, ditambah dengan berbagai ciri lainnya. Yang dimaksud
dengan ciri lainnya adalah gambaran keadaan yang tidak dapat didefinisikan, tetapi ekspresinya
terlihat secara lengkap, sangat jelas dalam suatu rentang psikotik. Individu-individu yang
mengalami skizofrenia melibatkan seluruh sisi kepribadiannya dan tidak ada hal yang
tersisihkan. Secara lebih luas, orang-orang dengan gangguan skizofrenia menampilkan
karakteristika yang sangat luas jika dibandingkan dengan tipe-tipe psikosis lainnya.

Stressor yang diidentifikasikan melatarbelakanginya ini, biasanya memang mendorong


timbulnya gejala penyakit tersebut, tetapi penyebab itu tidak dapat digolongkan sebagai satu-
satunya penyebab atau penyebab utama. Terdapat bukti mengenai diatesis yang dipindahkan
secara genetis dan kemudian secara psikososial memiliki latar belakang keluarga. Sub-kelompok
yang signifikan mengenai pasien-pasien ini dapat dihubungkan memiliki anomali yang sifatnya
neurologis. Biasanya, orang-orang yang didiagnosis sebagai schizophrenia memperlihatkan
adanya defense mechanism dari ego dan kecemasan serta panik yang mengiringi gangguan
tersebut. Sering pula gejala-gejala tadi tampil dalam kelemahan fisik yang patogenik terutama
pada fase-fase awal terjadinya gangguan. Kemudian, terdapat keadaan ekstrim dalam suasana
hati yang secara mudah terlihat dalam gangguan dasarnya.
Paranoid, yang biasa disebut sebagai delusional, secara tradisional merupakan bagian dari
proses yang terdapat dalam gangguan skizofrenia, meskipun para pemerhati klinis sejak lama
mencatat adanya kecenderungan pada mereka untuk munculnya gejala-gejala tersebut secara
bersama-sama. Peneliti kontemporer memperkuat pandangan tradisional itu, yaitu bahwa
paranoid membangun cara berpikir yang sering menyertai tipe-tipe gangguan lainnya (seperti
gangguan mood) dan gejala-gejalanya juga muncul dengan keadaan delusional. Oleh karena itu
sering muncul istilah schizophrenia paranoid.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan skizofrenia?
2. Bagaimana gambaran klinis mengenai skizofrenia?
3. Apa yang dimaksud dengan positif simtom?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui yang dimaksud dengan skizofrenia
2. Mengetahui gambaran klinis mengenai skizofrenia
3. Mengetahui yang dimaksud dengan positif simtom
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis atau psikotik yang ditandai terutama
oleh distorsi-distorsi mengenai realitas, juga sering terlihat adanya perilaku menarik diri dari
interaksi sosial, serta disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran dan kognisi
(Carson dan Butcher, 1992). Ada juga ahli yang berpendapat bahwa terdapat perbedaan esensial
antara skizofrenia dengan neurotik, yaitu bahwa penderita neurotik mengalami gangguan
terutama bersifat emosional, sedangkan skizofrenia terutama mengalami gangguan dalam
pikiran. Pendapat ini bisa jadi benar, tetapi tidak menyeluruh.

Skizofrenia merupakan gangguan yang benar-benar membingungkan atau menyimpan


banyak teka-teki. Pada suatu saat, orang-orang dengan skizofrenia berpikir dan berkomunikasi
dengan sangat jelas, memiliki pandangan yang tepat atas realita, dan berfungsi secara baik dalam
kehidupan sehari-hari. Pada saat yang lain, pemikiran dan kata-kata mereka terbalik-balik,
mereka kehilangan sentuhan (touch) dengan realita, dan mereka tidak mampu memelihara diri
mereka sendiri, bahkan dalam banyak cara yang mendasar (Susan Nolen Hoeksema, 2004).

Masih terdapat gejala-gejala yang mengharuskan adanya perbedaan perbincangan antara


skizofrenia pada anak-anak dengan skizofrenia pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena pada
anak-anak gejala-gejala itu tidak jelas, sedangkan pada orang dewasa tampak lebih jelas.
Meskipun gambaran klinis dapat sangat bervariasi pada orang-orang yang didiagnosis
skizofrenia, organisasi pengalaman yang mencirikan episode-episode skizofrenia selama fase
psikotik dapat dilukiskan secara jelas.

Seperti telah diutarakan, gangguan skizofrenik pada suatu waktu tertentu ditandai oleh
adanya "mental deterioration" sejak permulaan kehidupannya. Pada tahun 1860, seorang
psikiater Belgia bernama Morel menggambarkan kasus anak laki-laki berusia 13 tahun. Anak ini
pada awalnya dikenal sebagai siswa yang brilian, tetapi setelah menjalani periode waktu tertentu
ia kehilangan minat dalam studinya, menjadi kurang senang bergaul, seclusive (emosi tidak
berkembang) dan tindakan-tindakannya kurang tangguh. Dia juga mudah sekali melupakan apa
yang baru saja dipelajarinya dan seringkali berbicara tentang keinginan membunuh ayahnya.

Selain itu, terdapat tanda-tanda inaktif yang mengganggu pikirannya sehingga


menampilkan ciri-ciri kebodohan. Morel berpendapat bahwa secara intelektual, moral, dan
fungsi fisik anak tersebut terdeteriorasi sebagai orang yang terkena dampak yang sifatnya
herediter. Karena itu, dia dinyatakan tidak dapat disembuhkan. Pasien ini, olehnya disebut
sebagai pasien yang mengalami dementia precoce, yang berarti gangguan atau deteriorasi mental
pada usia awal atau dini. Penamaan ini dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi dan
membedakannya dari gangguan-gangguan pada orang tua.

Nama Latin dari istilah ini adalah dementia precoxe yang secara sub-sequence diangkat
dari psikiater Jerman, Emil Kraeplin, untuk mengacu pada kelompok kondisi-kondisi yang
tampilannya memiliki gambaran deteriorasi mental pada awal kehidupan.

Akan tetapi, kemudian dikatakan bahwa istilah tersebut tidak tepat atau menyesatkan,
karena masalah-masalah yang biasanya muncul tidak terjadi pada usia anak-anak, melainkan
pada masa remaja atau remaja awal. Sebagai tambahan, tidak ada bukti yang konklusif
(menyimpulkan) mengenai deteriorasi mental yang permanen dengan istilah tersebut. Dengan
demikian, baik Morel maupun Kraeplin salah dalam menggambarkan manifestasi gangguan otak
yang progresif atas deteriorasi psikososial atau fungsi-fungsi psikososial yang bersifat gradual.

Pada tahun 1911, Bleuler & Zugen (Swiss) mengajukan istilah deskriptif yang lebih dapat
diterima untuk penggolongan umum dari gangguan-ganguan ini. la menyebut skizofrenia atau
split mind karena ia berpikir bahwa kondisinya ditandai pertama-tama oleh disorganisasi proses
berpikir, kemudian adanya kelemahan koherensi antara pikiran dan perasaan, dan adanya
orientasi ke dalam diri yang menjauhi (split of) realitas. Keretakan (spliting) tidak melahirkan
kepribadian yang ganda (multiple), tetapi berupa keretakan di dalam sisi intelektual, antara
intelektual dengan emosi, dan antara intelektual dengan realitas eksternal. Skizofrenia
merupakan proses kesatuan atau menyeluruh (unitary). Adanya label diagnostik yang tunggal,
tidak dengan sendirinya melahirkan kesamaan dalam menggarisbawahi organisasi kasus
skizofrenia. Artinya, tidak seperti mengukur tekanan darah dalam gangguan fisik. Saat ini,
banyak psikolog klinis yang meyakini bahwa bisa jadi terdapat berbagai jenis skizofrenia yang
berbeda dari tipe-tipe klasik seperti tipe paranoid dan katatonik.

Skizofrenia muncul di semua masyarakat dan mulai suku Aborigin yang primitif sampai
suku Western Australia, bahkan di negara-negara lain lebih bervariasi lagi.

B. Gambaran Klinis Skizofrenia


Gangguan skizofrenia terkadang berkembang pelan-pelan dan tidak nampak dengan jelas.
Dalam kasus-kasus tertentu, gambaran klinis didominasi oleh seclusiveness (perasaan kurang
hangat), minatnya makin lama makin lemah terhadap dunia lingkungannya, dan melamun yang
berlebihan serta blunting of affect (tidak adanya responsivitas emosional). Akhirnya, respons-
respons yang tidak selaras atau ringan saja tampil, misalnya tidak begitu peduli terhadap properti
sosial (barang-barang umum milik masyarakat).

Faktor-faktor Skizofrenia dari Perspektif Biologis

1. Faktor Genetis. Satu sumber bukti tentang faktor genetis didasarkan pada penelitian
keluarga. Secara keseluruhan keluarga tingkat pertama dari orang-orang yang mengalami
skizofrenia (orang tua atau saudara kandung) memiliki sekitar sepuluh kali lipat resiko yang
lebih besar untuk mengalami skizofrenia dibandingkan anggota populasi umum.

2. Faktor biokimia. Teori dopamin beranggapan bahwa skizofrenia melibatkan terlalu


aktifnya reseptor dopamin di otak yaitu reseptor yang terletak di neuron pascasinaptik, di mana
molekul dopamine terikat.

3. Infeksi virus. Walaupun sudah ada yang meneliti mengenai penyebab dari virus,
namun teori virus dimusim dingin yang dianggap sebagai penyebab skizofrenia masih sangat
tidak meyakinkan.

4. Ketidaknormalan otak. Serangkaian bukti yang layak diperhitungkan menunjukkan


ketidaknormalan korteks prefrontalis dari pasien skizofrenia. Korteks prefrontalis terlibat dalam
pengendalian berbagai fungsi kognitif dan emosional, jenis-jenis fungsi yang sering kali
mengalami hendaya pada orang yang mengalami skizofrenia (Permatasari & Gamayanti, 2016).
Pola-pola simtom ini secara tradisional mengacu pada proses-proses skizofrenia, yaitu
adanya perkembangan yang gradual dari waktu ke waktu dan tidak muncul segera ketika terdapat
ada stressor yang tiba-tiba, serta cenderung untuk berjalan dengan jangka panjang. Hasil dari
proses-proses skizofrenia secara umum dinilai tidak baik, sangat meragukan, karena kebutuhan
untuk mendapatkan penanganan (treatment) biasanya tidak ditemukan sampai pola-pola
perilakunya benar-benar tampak sebagai perilaku sakit.

Awal dari munculnya gangguan-gangguan aktual disebut kronik skizofrenia yang


merupakan istilah alternatif untuk pola ini. Dalam keadaan lainnya, penampakan simtom-simtom
skizofrenia bisa tiba-tiba dan dramatik serta ditandai oleh adanya goncangan emosional yang
kuat (intense) dan kebingungan yang sangat kuat. Pola ini yang biasanya diasosiasikan dengan
sumber-sumber stres yang bersifat aktual yang digunakan mengacu pada reactive schizophrenia
atau juga disebut good premorbid atau acute schizophrenia.

Di sini, simtom-simtomnya sering tampak jelas dalam beberapa minggu. Saat ini,
terutama dalam literatur psikiatri, istilah-istilah simtom skizofrenia negatif dan simtom
skizofrenia positif digunakan untuk mengacu pada pola- pola simtom sendiri dan tampak
tumpang tindih dengan proses dan rancangan yang reaktif seperti yang dikemukakan oleh
Andreason (1985). Dengan negatif simtom dimaksudkan kurangnya atau tidak adanya perilaku
yang biasanya ditampilkan oleh orang-orang normal pada umumnya. Misalnya, ekspresi afektif,
reaktivitas pada lingkungan. Simtom-simtom ini lebih halus dan tidak kelihatan jelas.

Tiga tipe simtom negatif yang diakui dalam DSM-IV sebagai inti dari skizofrenia adalah:
affective flattening, alogia, dan avoilition.

a) Affective Flattening
Affective flattening adalah berbagai bentuk reduksi (penurunan atau
pengurangan), atau bahkan sama sekali hilangnya respons-respons afektif
terhadap lingkungan, terganggu dalam menampilkan reaksi-reaksi emosionalnya.
Sering juga disebut sebagai blunted affect. Raut wajah mereka tetap tidak berubah
untuk waktu yang lama, tak peduli apapun yang terjadi dan bahasa tubuhnya
mungkin tidak responsibel atas apa yang terjadi di lingkungannya. Orang dengan
blunted affect mungkin berbicara dengan nada yang monoton tanpa ada ekspresi
emosi dan mungkin tidak melakukan kontak mata dengan orang lain. Namun kita
harus hati-hati dalam menyatakan bahwa orang yang menampilkan affective
flattening secara aktual mengalaminya tanpa emosi.
Dalam sebuah penelitian, orang-orang skizofrenia dan orang-orang yang
tanpa gangguan ini menonton film yang memacu emosi, sementara ekspresi wajah
mereka diamati dan kondisi-kondisi psikologis mereka dicatat (Kring & Neale,
1996). Orang-orang dengan dengan skizofrenia menunjukkan sedikit respons raut
wajah terhadap film dibandingkan dengan kelompok normal, tetapi dilaporkan
mengalami banyak emosi dan menunjukkan bahkan lebih banyak dorongan-
dorongan (kondisi-kondisi) psikologis.

Selanjutnya, hal tersebut dapat dinyatakan, bahwa orang-orang dengan


gangguan skizofrenia tidak memperlihatkan adanya emosi, namun mungkin saja
menghayati emosi yang kuat, tetapi mereka tidak mampu mengekspresikanya.

b) Alogia
Alogia atau kemiskinan bicara adalah pengurangan atau penurunan
(reduksi) berbicara. Penderita mungkin tidak berinisiatif untuk berbicara dengan
orang lain, dan jika ditanya secara langsung (direct question), ia menjawabnya
dengan singkat dengan isi jawaban yang tidak berbobot. Kurang atau kerusakan
berbicara orang tersebut mungkin menggambarkan kekurangan atau kerusakan
dalam berpikir, meskipun hal itu mungkin untuk sebagian disebabkan oleh
kurangnya motivasi berbicara.

c) Avolition
Avolition adalah ketidakmampuan untuk bertahan pada saat-saat biasa,
atas aktivitas yang mengarah pada pencapaian tujuan, termasuk dalam bekerja,
sekolah dan di rumah. Orang tersebut memiliki masalah besar dalam
menyelesaikan tugas-tugas dan adanya disorganisasi dan ketidakpedulian; nyata
sekali secara penuh tidak termotivasi. Dia dapat duduk sepanjang hari, hampir
tanpa melakukan apapun. Dia mungkin menarik diri dan terisolasi secara sosial.
Kurangnya tingkah laku ini merupakan bagian besar atas stimulus yang
berlebihan (overload) dan masalah-masalah perhatian dalam orang-orang
skizofrenia.

Negatif simtom dari skizofrenia dapat menjadi sulit untuk didiagnosis


secara reliabel. Alasannya, pertama, skizofrenia meliputi ketidakhadiran perilaku,
lebih banyak daripada menghadirkan perilaku tertentu yang dapat didiagnosis.
Kedua, negatif simtom terletak dalam kontinum antara normal dan abnormal,
lebih sedikit dibandingkan perilaku yang jelas-jelas ganjil. Ketiga, negatif simtom
dapat disebabkan oleh faktor dalam lainnya dari skizofrenia, seperti depresi atau
isolasi sosial, atau karena simtom negatif mungkin menjadi bagian dari efek
pengobatan.

Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup Skizofrenia

Penelitian Caron dan kolega (2005) prediktor dukungan sosial memiliki hubungan yang
signifikan dengan kualitas hidup skizofrenia baik pada pengukuran pertama dan kedua.
Penelitian Caron dan kolega ini sesuai dengan penelitian Baker dan kolega (1992, dalam Caron,
dkk., 2005), pada pasien psikotik yang mengalami peningkatan pada dukungan sosialnya
terutama hubungan yang intim maka akan meningkat pula kepuasannya pada berbagai domain
dalam hidup.

Hasil penelitian Browne dan Courtney (2005) menyatakan lingkungan yang sehat dan
mendukung seperti yang diharapkan oleh penderita skizofrenia membantu mereka merasakan
sense of belonging dan rasa aman terhadap lingkungannya. Mereka juga dapat menjalin dan
menjaga hubungan yang berarti saling mendukung dimana mereka dan lingkungan dapat saling
memberikan kontribusi. Rasa saling memiliki inilah yang membantu mereka mengembangkan
sosial yang saling mendukung yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup penderita
skizofrenia, menurunkan kemunculan simtom, dan menurunkan kemungkinan dikembalikan ke
rumah sakit.

Berdasarkan review penelitian Barry dan Zissy (1997) mengenai kualitas hidup pasien
penyakit mental lima belas tahun terakhir, pasien skizofrenia yang setelah dipulangkan dari
rumah sakit kemudian tinggal di tengah-tengah kelompok yang memberikan dukungan positif
memiliki kualitas hidup yang lebih. Mereka mendapatkan akses ke lingkungan, merasa memiliki
kebebasan, dapat mengikuti aktivitas sosial dan menjalin relasi sosial, serta kemandirian yang
meningkat. Secara kualitatif, pasien memiliki tingkat kesejahteraan yang baik.

Menurut penelitian Hsiung dan kolega (2010) di Taiwan, pasien skizofrenia yang
memiliki tingkat dukungan sosial yang tinggi juga memiliki tingkat kualitas hidup yang tinggi
pula. Penelitian ini menunjukkan, selain dukungan sosial, penguasaan diri juga memiliki
hubungan positif dan dampak yang besar terhadap kualitas hidup. Menurut Hsiung dan kolega,
penguasaan diri adalah sejauh mana individu melihat diri mereka dalam kekuatan (forces) yang
mempengaruhi kehidupannya. Semakin baik penguasaan diri individu terhadap dirinya maka
semakin baik pula kualitas hidupnya. Hal ini dapat meningkatkan self-efficacy, self- esteem, dan
pemberdayaan diri penderita.

Dari pembahasan beberapa jurnal di atas dapat dilihat bahwa dukungan sosial memiliki
hubungan yang positif terhadap kualitas hidup. Artinya dukungan sosial yang baik dapat
membuat kualitas hidup penderita skizofrenia menjadi baik pula. Hal ini karena dukungan sosial
membuat penderita skizofrenia merasa diterima keadaannya oleh masyarakat sehingga self-
esteem dan self-efficacy penderita menjadi baik (Kanti & Fajrianti, 2013).

C. Positif Simtom
Positif simtom merupakan simtom-simtom yang berupa "tambahan" terhadap pola-pola
perilaku orang-orang pada umumnya, seperti lonjakan emosional yang kuat, agitasi motorik,
interpretasi kejadian-kejadian yang salah atau menyimpang dan delusional, yang disebut
delusional interpretation. Kalau ia melihat sesuatu kejadian nyata, ia tidak menginterpretasikan
kejadian tersebut sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Misalnya, orang lewat dibelakangnya
dikatakan sebagai hantu yang lewat.

Berikut ini adalah concept review mengenai positif simtom sesuai yang dikemukakan
Susan Nolen-Hoeksema, (2004): Positif simtom skizofrenia meliputi delusi, halusinasi,
disorganisasi pikiran dan pembicaraan serta disorganisasi perilaku atau perilaku katatonik.
Simtom-simtom ini dapat tampil pada gangguan-gangguan lain. Di pihak lain, banyak orang
dengan skizofrenia juga mengalami depresi atau menunjukkan perubahan atau penyimpangan
suasana hati (mood) yang besar sekali (tremendous mood swings). Hal ini dapat membuat
perbedaan antara skizofrenia dengan gangguan mood pada penderita psikosis, yang tampil
menyesatkan. Jika simtom-simtom psikotik muncul hanya selama periode depresi atau mania
yang jelas, maka diagnosis yang memperlihatkan banyak kecocokan adalah gangguan mood
dengan tampilan psikotik. Jika simtom-simtom psikotik terjadi secara substansial tanpa depresi
atau mania, atau jika depresi atau mania tidak sesuai dengan kriteria diagnosis gangguan suasana
hati (mood disorder), maka diagnosis yang lebih tepat adalah schizophrenia atau gangguan
schizoaffective.

a. Delusi
Delusi merupakan gagasan (idea) atau pendapat bahwa seorang individu
meyakini suatu kebenaran, yang kemungkinan besar bahkan hampir pasti, jelas,
tidak mungkin. Tentu saja, banyak orang terkadang memegang keyakinan yang
kemungkinan besar bisa jadi salah, seperti keyakinan akan menang lotre. Self-
deception (penipuan atau pembodohan diri sendiri) semacam ini berbeda dengan
delusi, setidaknya dalam tiga cara atau tiga hal berikut (Strauss, 1969):
Pertama, self-deception tidaklah secara penuh mustahil, sedangkan delusi
memang sering begitu. Memang mungkin memenangi lotre, tetapi tidak mungkin
bahwa tubuh anda menghilang/melarut atau mengambang di udara.
Kedua, orang yang memiliki self-deception ini kadang-kadang
memikirkan keyakinan tersebut, tetapi orang yang mengalami delusi cenderung
terokupasi (dikuasai) keyakinannya sendiri. Orang-orang yang mengalami delusi
mencari bukti-bukti untuk mendukung keyakinan mereka, berusaha untuk
meyakinkan orang lain, dan melakukan tindakan-tindakan yang didasari
keyakinannya itu, seperti mengajukan tuntutan secara hukum melawan orang-
orang yang mereka yakini mencoba mengendalikan pikiran mereka.
Ketiga, orang-orang dengan self-deception secara tipikal (khas) mengakui
bahwa keyakinan mereka bisa jadi salah, tetapi orang-orang yang mengalami
delusi seringkali sangat bertahan untuk mendebat fakta-fakta yang berlawanan
(contradicting) dengan keyakinan mereka. Mereka mungkin memandang argumen
atau pendapat orang lain yang melawan keyakinan mereka sebagai sebuah
konspirasi (persekongkolan) untuk membungkam atau membunuh mereka, dan
sebagai bukti bagi benarnya keyakinan mereka.

Terdapat enam tipe delusi, yaitu delusi yang bersifat penyiksa


(persecutory), referensi (refenrent), kebesaran (grandiose), dan insersi pikiran
(thought insertion). Delusi penyiksaan (persecutory delusion), merupakan
keyakinan yang salah bahwa dirinya atau orang yang dicintainya telah disiksa,
dikuntit, atau menjadi korban konspirasi orang-orang. Misalnya yakin bahwa
agen-agen inteligen dan polisi berkonspirtasi untuk menangkap dirinya dalam
suatu operasi tiba-tiba.
Delusi grandiose (grandiose delusion), merupakan keyakinan yang salah
bahwa ia memiliki kekuatan, pengetahuan, atau bakat yang besar, atau ia
merupakan seorang yang terkenal dan orang yang kuat. Misalnya yakin bahwa
seorang pahlawan bereinkarnasi ke dalam diri seseorang atau dirinya sendiri.
Delusi rujukan (delusion of reference), ialah yakin akan kejadian-kejadian
yang diarahkan pada dirinya. Misalnya, meyakini penyiar berita memberitakan
gerakan-gerakannya.
Delusi diawasi (delusions of being controlled), ialah menyakini pikiran,
perasaan, dan perilakunya dikendalikan oleh kekuatan eksternal. Misalnya yakin
adanya makhluk asing telah menguasai badannya dan mengendalikan
perilakunya.
Meskipun tipe-tipe delusi yang telah dikemukakan memiliki kemungkinan
tampil di setiap kebudayaan, masalah khas (specific content)-nya dapat berbeda
antarbudaya tersebut (Tetayama dkk., 1998). Sebagai contoh, persecutory
delusion (delusi penyiksa) seringkali terpusat pada agen-agen inteligen atau
orang-orang berkuasa dalam kebudayaan orang tersebut.
Urban European Americans (orang-orang Amerika dari Eropa) sangat
takut bahwa Central Intelligence Agency akan menangkap mereka; Afro
Carribeans (orang-orang Afro Karibia) mungkin yakin bahwa orang-orang
membunuh mereka melalui kutukan (Westmeyer, 1993). Penelitian yang
membandingkan orang Jepang yang mempunyai schizophrenia dengan orang
Eropa Barat yang mempunyai schizophrenia telah membuktikannya, di kalangan
orang Jepang, delusi difitnah oleh orang lain dan bahwa orang lain mengetahui
sesuatu yang buruk tentang mereka relatif sering muncul, mungkin karena
penekanan dalam kebudayaan Jepang, dalam hal bagaimana seseorang dipikirkan
oleh orang lain. Kebalikannya, dikalangan orang Jerman dan Austria yang
menderita skizofrenia, mengalami delusi yang bersifat religius bahwa telah
melakukan suatu dosa (contoh, "setan memerintahkan saya untuk menyembahnya;
saya akan dihukum") relatif sering muncul, mungkin karena dipengaruhi oleh
kristianitas di Eropa Barat (Tateyama dkk., 1993).
Beberapa teoritisi berpendapat bahwa keyakinan yang ganjil atau tidak
mungkin, yaitu bagian dari kebudayaan yang sama dengan sistem kepercayaan
tidak dapat dianggap sebagai delusi bila keyakinan ini dipegang oleh individu-
individu dalam kebudayaan tersebut (Fabrega, 1993). Sebagai contoh, jika orang-
orang dari satu kebudayaan meyakini bahwa arwah kematian (spirit of death)
mengintai setiap kehidupan, maka individu-individu dalam kebudayaan yang
memegang keyakinan tersebut tidaklah dianggap mengalami delusi, meskipun
orang-orang di kebudayaan lain menganggapnya sebagai keyakinan yang tidak
benar dan tidak mungkin.
Bagaimanapun, bahkan teoritisi yang mempertahankan posisi relativis
kebudayaan mengenai delusi, cenderung untuk memandang orang-orang yang
memanifestasikan sistem keyakinan budayanya, menganggap bahwa sistem
kepercayaannya adalah delusi. Sebagai contoh, orang yang mempercayai bahwa
kematiannya berhubungan dengan penderitaannya yang disebabkan oleh hati dan
paru-parunya akan dianggap delusi, termasuk jika ia merupakan bagian dari
kebudayaan yang memegang keyakinan bahwa kematian mengelilingi setiap
kehidupan.

b. Halusinasi
Halusinasi adalah gejala di mana seseorang melihat sesuatu yang
sebenarnya tidak ada. Apakah anda pernah mengalami persepsi yang aneh, seperti
pikiran bahwa anda melihat seseorang padahal tidak ada seorang pun di dekat
anda, atau berpikir bahwa anda mendengar suatu suara yang berbicara kepada
anda, atau merasakan suatu pikiran bahwa tubuh anda mengambang di udara? Jika
ya, maka anda tidak sendirian. Artinya, gejala-gejala itu biasa dihadapi orang-
orang pada umumnya. Namun pada penderita skizofrenia, kondisinya sedikit
berlainan.
Sebuah penelitian menemukan bahwa 15% dari mahasiswa universitas
yang memiliki kesehatan mental tercatat beberapa kali atau kadang-kadang
mendengar suara, seperti suara Tuhan yang mengatakan kepada mereka untuk
mengerjakan sesuatu, "kata hati" mereka memberi mereka nasihat atau dua suara
berdebat tentang sebuah topik (Chapman, Edel & Chapman, 1980). Enam persen
dari pelajar meyakini bahwa mereka telah mengirimkan pikiran-pikiran ke dalam
kepala orang lain pada suatu saat. Sebagian besar dari pelajar ini memiliki
kemungkinan tidak akan didiagnosis dengan skizofrenia, karena "halusinasi"
mereka bersifat sekali-sekali dan singkat. Kondisi demikian sering muncul jika
mereka lelah, stres, atau berada dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan, tetapi
tidak mengganggu kehidupan mereka sehari-hari. Halusinasi pada penderita
skizofrenia cenderung banyak yang lebih aneh dan menimbulkan masalah
dibandingkan dengan halusinasi mahasiswa universitas, dan tidak hanya dipicu
oleh kekurangan tidur, stres atau obat-obatan.
Pada tahap awal skizofrenia, perubahan atau pergantian semua sensasi
(sense) secara khusus mencolok, orang jadi diliputi oleh membanjirnya sensasi-
sensasi yang mereka rasakan, sebagaimana halnya jika penyaringan alamiah di
otak mereka tidak lagi bekerja (sulit berkonsentrasi pada pembicaraan karena
mendengar suara-suara lain atau menaruh perhatian pada semua hal). Bagi banyak
orang, perubahan persepsi ini berkembang menjadi full-blown hallucination
(ledakan halusinasi).
Hoeksema (2004) mengemukakan adanya bermacam-macam halusinasi.
Pertama, halusinasi pendengaran (auditory hallucination) dimana orang
mendengar suara-suara, musik, dan lain-lain, yang sebenarnya tidak ada. Ini
merupakan yang paling sering muncul dan rata-rata lebih sering pada perempuan
dibandingkan pada laki-laki. Sering orang mendengar suara-suara yang menuduh
mereka melakukan perbuatan jahat atau mengancam mereka. Suara-suara tersebut
mungkin juga menyuruh mereka melukai seseorang atau diri mereka sendiri.
Orang-orang dengan gangguan skizofrenia mungkin bicara balik membalas suara
tersebut, bahkan sebagaimana mereka mencoba berbicara kepada orang lain yang
secara aktual ada di ruangan bersama mereka.
Halusinasi kedua yang sering muncul adalah (visual hallucination),
seringkali berbarengan dengan halusinasi pendengaran. Sebagai contoh, seseorang
mungkin melihat makhluk gaib berdiri di sisi tempat tidurnya, mengatakan
kepadanya bahwa ia tak berguna dan harus mati. Bagaimanapun juga halusinasi
dapat melibatkan kemampuan sensori untuk melakukan sesuatu.
Berikutnya adalah halusinasi perabaan (tactile hallucination)melibatkan
persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi di luar tubuh seseorang. Sebagai contoh,
hama atau binatang-binatang kecil sedang merayap naik kembali kepada orang
tersebut. Halusinasi yang lainnya adalah halusinasi somatis (somatic
hallucination) melibatkan persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi di dalam diri
seseorang. Contohnya, cacing atau ulat memakan usus orang tersebut. Halusinasi
ini seringkali sangat hebat dan menakutkan.
Sebagaimana halnya delusi, tipe-tipe halusinasi dalam kebudayaan yang
berbeda akan tampil sama, tetapi isi khusus (specific content) dari halusinasi
secara kultural dapat muncul khas. Sebagai contoh, orang-orang Asia mungkin
melihat hantu nenek moyangnya menemui mereka, tetapi hal ini bukan
pengalaman yang lazim dikalangan orang-orang Eropa (Browne, 2001;
Westermeyer, 1993). Sebagaimana halnya delusi, para klinikus harus
menginterpretasikan halusinasi dalam konteks kebudayaan. Sebagai contoh,
wanita-wanita Puerto Rico dapat didiagnosis skizofrenia oleh pewawancara
Amerika dan Eropa karena dia meyakini bahwa dia mempunyai kekuatan khusus
untuk mencegah atau mengantisipasi kejadian-kejadian dan karena dia
menggambarkan sesuatu yang terdengar seperti halusinasi, semacam "Saya
melihat orang suci dan perawan (Bunda Maria) di dalam rumah dan juga melihat
Yesus Kristus dengan mahkota duri dan berdarah".
Interviewer yang mengetahui kebudayaan di Puerto Rico mungkin
menganggap keyakinan-keyakinan dan pengalaman wanita tersebut sesuai dengan
sebuah kelompok spiritual di Amerika Latin, yang percaya pada clairvoyance
(kewaskitaan) dan pandangan-pandangan religius (Guarnaccia, dan kawan-kawan,
1992).
Kesalahpahaman juga bisa terjadi, ketika seorang pendanda salah satu
suku Indian dianggap memiliki kelebihan spiritual, sehingga dihormati seluruh
warga sukunya, ketika ia berkomunikasi dengan dewa yang diyakininya. Namun
oleh pengamat Eropa dan USA perilaku sang pendanda dapat dianggap sebagai
perbuatan skizofrenik.

c. Disorganisasi pikiran dan pembicaraan (disorganized thought and speech)


Disorganisasi dalam berpikir pada orang-orang dengan gangguan
skizofrenia biasa disebut sebagai gangguan berpikir formal (formal thought
disorder). Satu dari banyak kelaziman bentuk disorganisasi dalam skizofrenia,
yaitu kecenderungan untuk melompat dari satu topik kepada topik lain yang
nampak jelas sekali tidak berhubungan, melalui peralihan yang sedikit sekali
masuk akal, sering juga disebut sebagai kehilangan asosiasi (loosing of
association) atau keluar dari rel berpikir (derailment).
Penderita schizophrenia mungkin menjawab pertanyaan dengan komentar
yang sangat sedikit berhubungan dengan isi pertanyaan, atau sama sekali tidak
berhubungan dengan pertanyaan. Sebagai contoh, ketika ditanya mengapa ia di
rumah sakit, seorang penderita skizofrenia menjawab: "Spaghetti terlihat seperti
cacing. Saya benar-benar berpendapat bahwa itu adalah cacing. Tikus tanah
menggali terowongan, tetapi tikus membangun sarang". Pada suatu waktu, orang
berbicara dengan sangat tidak terorganisir sebagai suatu hal yang secara total
incoherent (tidak masuk akal) bagi pendengar, sehingga seringkali diistilahkan
gado-gado (word salad). Orang tersebut mungkin membuat kata-kata yang
memiliki arti tertentu bagi dirinya, yang dikenal dengan neologism. Orang-orang
yang diagnosis skizofrenia mungkin membuat asosiasi antara kata-kata yang
berdasarkan kosa kata dunia, dibandingkan dengan maksud (content) dan ini
dikenal dengan dangs. Sebagai contoh, dalam menjawab pertanyaan "Apakah itu
anjingmu?" seseorang dengan gangguan skizofrenia dapat mengatakan, "Dog.
Dog is SnapFrog. Leap. Heap, steep, creep, deep, gotta go beep" ("Anjing. Anjing
adalah Snap. Katak. Melompat. Menumpuk, curam, merangkak pelan-pelan,
dalam, lalu berbunyi"). Atau orang tersebut mungkin mengulang-ulang
(perseverate) kata-kata atau pernyataan yang sama.
Laki-laki yang menderita gangguan skizofrenia cenderung menunjukkan
penurunan yang lebih hebat dalam berbahasa, dibandingkan dengan perempuan
dengan penderitaan yang sama (Goldstein, dkk, 1998). Beberapa peneliti
berspekulasi bahwa hal ini pada kaum wanita bahasa lebih dikendalikan secara
bilateral -oleh kedua belahan otak-. Demikian, abnormalitas otak yang
diasosiasikan dengan skizofrenia mungkin tidak mempengaruhi kemampuan
berbahasa dan pikiran wanita sebagaimana berpengaruh banyak pada laki- laki,
karena wanita dapat menggunakan kedua belah otak mereka untuk menyelesaikan
masalah-masalah. Sebaliknya, kemampuan bahasa lebih terlokalisasi pada pria,
sehingga jika area otak tersebut dipengaruhi oleh skizofrenia, maka laki-laki tidak
dapat mengimbangi penurunan tersebut.

d) Disorganisasi perilaku atau tingkah laku katatonik (disorganized or catatonic


behavior)
Disorganisasi tingkah laku pada penderita skizofrenia sering mengarahkan
atau membuat orang menjadi takut kepada mereka. Orang-orang skizofrenia
mungkin menunjukkan agitasi yang tidak dapat diprediksikan dan jelas sekali
tanpa pemicu (unpredictable and untrigger agitation). Tiba-tiba berteriak dan
menyumpah-nyumpah, atau berjalan maju mundur dengan cepat di jalanan.
Mereka mungkin melakukan perilaku yang tidak disukai (disetujui) secara sosial
seperti public masturbation (onani di depan umum). Berpakaian tidak rapi dan
jorok, pada suatu waktu menggunakan sedikit pakaian di hari yang dingin dan
mengenakan banyak pakaian di hari yang sangat panas. Pendeknya, dari tingkah
laku yang lebih ganjilnya ini, orang-orang dengan schizophrenia seringkali
memilih masalah dalam mengorganisasikan rutinitas mereka sehari-hari dalam
menjamin atau memastikan bahwa mereka mandi, berpakaian dengan pantas, dan
makan teratur. Hal ini sebagai gejala dimana seluruh konsentrasi mereka harus
dikerahkan untuk menyelesaikan sebuah tugas yang sederhana, seperti
menggosok gigi mereka dan tugas-tugas lain yang belum diselesaikan.
Salah satu bentuk katatonia dalam schizophrenia adalah catatonia
excitement (ketergugahan katatonia), dimana orang menjadi teragitasi dengan liar
untuk sesuatu yang tidak jelas alasannya dan sulit untuk ditaklukkan atau diatasi.
Selama satu periode catatonia excitement, individu mungkin
memperlihatkan beberapa delusi atau halusinasi atau mungkin mengeluarkan
pikiran-pikiran yang sebagian besar tidak masuk akal. Berikut ini dikemukakan
simtom dansindrom yang sering muncul:
1. Disorganisasi pada taraf pemfungsian awal
Yang tampil adalah adanya anomali (tidak bisa melihat
dengan jelas obyek yang bervariasi). Misalnya autisme pada anak
kecil dimana anak tidak pernah terlibat atau dekat dan juga
menampilkan perilaku yang jauh berbeda jika dibanding dengan
perilaku yang biasanya terdapat pada umur-umur anak seusianya.
2. Gangguan bahasa dan komunikasi.
Eugen Bleuler menyebutnya formal thought disorder
(gangguan pemikiran formal) atau gangguan komunikasi, yang
biasanya merupakan indikator pertama pada schizophrenia ini ialah
tidak runtut atau melencengnya cara berpikir dan isi
pembicaraannya kemana-mana. Secara mendasar kehidupan
perasaan yang dialami orang tersebut dalam berkomunikasi jatuh
dalam aturan-aturan semantik, misalnya kesamaan bunyi.
3. Isi pikiran.
Gangguan-gangguan pikiran ini secara tipikal melibatkan
tipe delusi yang baku, misalnya berbicara dengan istilah-istilah
yang isinya tidak betul. Misalnya, pada anak-anak atau remaja
normal, jika ada kata-kata asing yang baru membuat senang atau
dihargai, kata-kata itu bisa jadi dipakai di setiap kesempatan,
sehingga kalau diamati secara tertib akan terlihat sembarangan.
Jika mengatakan misalnya kata "kondusif", maka kata ini secara
dipaksa-paksa digunakan pada banyak kesempatan, termasuk
dalam kalimat yang tidak ada hubungannya.
4. Persepsi yang salah.
Melihat dan mendengar sesuatu yang berbeda dengan
kenyataannya. Penglihatan atau pendengarannya bisa jadi lebih
sesuai dengan keinginan terpendamnya daripada kenyataannya;
terdapat inkonsistensi dan inkoherensi. Misalnya dalam apa yang
disebut "unhedonia" untuk merasakan atau menghayati perasaan
senang atau gembira (blunting) ialah kurang intensitasnya atau
tidak adanya kejelasan tentang sesuatu yang dipikirkannya. Dalam
situasi yang kacau (blunting) ini pemahamannya selalu kabur.
Kadang-kadang juga terjadi seperti berada pada suasana yang tidak
menggembirakan tapi juga tidak pada suasana sedih. Misalnya,
ditempat orang meninggal ia tidak dapat merasakan situasi
bersedih, tidak bisa menghubungkan kesedihan dengan
emosionalitas.
5. Pemahaman diri yang tidak jelas (confuse sense of self).
Penderita gangguan ini tidak mengetahui apakah dirinya
laki-laki atau perempuan; tidak tahu perannya di dalam
lingkungan, tidak menyadari mengenai apa yang telah
dilakukannya. Berhubungan dengan hal itu, sering terjadi alam
perasaan yang mengambang atau tidak mantap.
6. Pemahaman diri yang tidak jelas (confuse sense of self).
Penderita gangguan ini tidak mengetahui apakah dirinya
laki-laki atau perempuan; tidak tahu perannya di dalam
lingkungan, tidak menyadari mengenai apa yang telah
dilakukannya. Berhubungan dengan hal itu, sering terjadi alam
perasaan yang mengambang atau tidak mantap.
7. Destruktif.
Aktivitas yang tertuju hampir selalu terganggu; jika ingin
sesuatu dia lupa karena telah melenceng dari keinginannya. Dia
tidak mampu menyusun jadwal apa yang akan dilakukannya. Ada
yang semacam itu, tapi juga ada yang kebalikannya yaitu oneroid
atau twilight (tahu langkah-langkah dan tempat secara episodik,
tetapi tidak bisa menghubungkannya satu dengan lainnya),
penghayatannya episodik.
8. Putus hubungan dengan dunia luar.
Seolah-olah tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar,
yang dilakukan dengan cara menarik diri dari lingkungan
(terutama) sosialnya. Prosesnya disebut autism (skizofrenia pada
anak-anak, hidup dalam dunianya sendiri) tidak terlatih untuk
memasuki dunia luar.
9. Perilaku motorik yang terganggu.
Simtom ini secara ekstrim terdapat pada jenis katatonik,
dimana seseorang merasa aman jika berada dalam posisi yang
sama, dari pagi seseorang berpose seperti patung (stupa).
Tampilan lain dari skizofrenia adalah kekurangan dalam
keterampilan sosial (impaired social skill) (Hoeksema, 2004).
Tidak mengejutkan, simtom-simtom skizofrenia membuat atau
menjadikannya sulit membangun interaksi yang normal dengan
orang lain. Orang-orang dengan gangguan skizofrenia ini
menunjukkan rentang yang luas dalam impaired social skill ini,
termasuk kesulitan dalam melakukan pembicaraan, memelihara
hubungan, dan dalam mendapatkan pekerjaan. Bisa jadi
mengejutkan pada saat mempelajari kesulitan-kesulitan dalam
social skill (keterampilan sosial) pada mereka lebih cocok kepada
simtom negatif daripada kepada simtom positif gangguan ini.
Meskipun simtom negatif skizofrenia tampak kurang ganjil
dibandingkan dengan simtom positif, gejala itu merupakan
penyebab utama masalah orang- orang schizophrenia dalam
pemfungsiannya di masyarakat. Penderita schizophrenia dengan
simtom negatif, lebih banyak mencapai tingkat pendidikan yang
lebih rendah dan kurang sukses dalam melakukan pekerjaan,
kinerja yang buruk dalam tugas-tugas kognitif dan prognosis yang
kurang bila dibandingkan dengan yang memiliki lebih sedikit
negatif simtom (Andreasen dkk., 1990; Eaton dkk., 1998).
Sebagai tambahan, simtom negatif kurang responsif
terhadap pengobatan dibandingkan simtom positif: orang-orang
dengan schizophrenia berpeluang atau terbuka untuk halusinasi,
delusi dan kekacauan pikiran dengan pengobatan (medication)
tetapi menjadi kurang berpeluang atau terbuka pada effective
flattening, alogia, dan avolition. Demikian, orang tersebut mungkin
secara kronis tidak responsif, tidak termotivasi dan secara sosial
terisolasi, bahkan jika dia bukan benar-benar seorang psikotik
(Fenton & McGlashan, 1994).
Para ahli seringkali menyebut schizophrenia sebagai
"keranjang sampah". Jika tanda-tanda sakit tidak jelas, maka akan
disebut schizophrenia undifferentiated. Ada lima tipe
schizophrenia, yaitu:

a) Tipe Undifferentiated
Tipe undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan
perubahan pola simtom-simtom yang cepat menyangkut semua indikator
schizophrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion),
emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah (emotional tumoil), adanya
delusi referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat
besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang
menunjukkan ketakutan. Beberapa ahli menyatakan bahwa pada orang skizofrenia
jarang terlihat fear atau anxiety, karena kedua hal itu telah muncul dalam bentuk
gejala sakitnya. Jika orang mengalami anxiety yang kuat dan telah meletus,
simtom-simtom anxiety itu hilang.
Umumnya, gambaran ini terlihat pada pasien-pasien yang berada pada
proses yang sedang berada dalam keadaan melemah (breaking down) dan menuju
schizophrenia. Juga sering terjadi jika ada perubahan-perubahan yang besar dalam
memenuhi tuntutan-tuntutan penyesuaian diri yang tidak mampu dihadapi.
Tipe schizophrenia ini cenderung memiliki serangan atau permulaan yang
relatif lebih awal dalam kehidupan dan menjadi kronis sehingga sulit untuk
diobati (Susan Nolen-Hoeksema, 2004).

b) Tipe Paranoid
Simtom-simtom tipe gangguan skizofrenia ini ditandai oleh adanya
pikiran-pikiran yang absurd (tidak ada pegangannya), tidak logis, dan delusi yang
berganti-ganti. Sering juga diikuti halusinasi, dengan akibat kelemahan penilian
kritis- (critical judgemen)-nya dan aneh tidak menentu, tidak dapat diduga, dan
kadang-kadang berperilaku yang berbahaya. Pada kasus-kasus kritis biasanya
perilakunya lebih kurang terorganisasi jika dibandingkan dengan penderitaan pada
tipe skizofrenia lainnya dan dalam menarik diri dari interaksi sosial kurang
ekstrim.
Orang-orang dengan tipe paranoid schizophrenia memiliki halusinasi dan
delusi yang sangat mencolok, yang melibatkan tema-tema tentang penyiksaan dan
kebesaran. Mereka seringkali tidak menunjukkan disorganisasi berbicara dan
disorganisasi perilaku yang terlalu nyata, sebagaimana orang-orang dengan tipe
schizophrenia lainnya. Mereka bisa jadi jelas dan pandai dalam mengemukakan
pikirannya, dengan teliti atau terperinci dalam bercerita mengenai bagaimana
seseorang berkomplot melawan mereka. Mereka bisa jadi juga mampu
mengutarakan dengan jelas nyeri yang mendalam (deep pain) dan kesedihan yang
mendalam atau penderitaan mereka yang berat (anguish) dari keyakinan bahwa
mereka disiksa (Torrey, 1995; Susan Nolen-Hoeksema, 2004).
Orang-orang dengan paranoid schizophrenia secara tinggi melawan
kepada argumen-argumen atau pendapat-pendapat yang melawan delusi mereka
dan bisa menjadi sangat mudah marah terhadap setiap orang yang berdebat
dengan mereka. Mereka mungkin bertindak sangat arogan dan seolah-olah mereka
superior terhadap orang lain, atau mungkin tetap jauh dan mencurigai. Kombinasi
atau gabungan dari delusi Penyiksa dan Kebesaran dapat mengarahkan orang-
orang dengan tipe schizophrenia ini untuk bunuh diri dan bengis atau kejam
kepada orang lain. Prognosis untuk penderita paranoid schizophrenia secara
aktual lebih baik daripada prognosis untuk penderita tipe-tipe schizophrenia
lainnya. Mereka memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk dapat hidup
mandiri, mendapat pekerjaan dan selanjutnya menunjukkan pemfungsian kognitif
dan sosial yang lebih baik (Kendler dkk, 1994).
Serangan awal paranoid schizophrenia cenderung tampil kemudian
(belakangan) daripada serangan pada bentuk schizophrenia lainnya. Episode
psikosis seringkali dipicu oleh stres. Secara umum, paranoid schizophrenia
dianggap penderitan sedang (milder), bentuk schizophrenia yang kurang
membahayakan.

c) Tipe Katatonik
Tipe ini ditandai oleh adanya withdrawl (penarikan diri) dari lingkungan
yang bersifat ekstrim, sehingga dia tidak kenal lagi lingkungan dunianya. Yang
paling terkenal adalah gerakan diam untuk jangka panjang. Dalam reaksi
withdrawl terdapat kejadian yang tiba-tiba saja semua hilang, bisa beberapa saat
saja sampai beberapa hari pada posisi yang sama.
Beberapa pasien sangat suggestible (mudah disugesti) dan secara otomatis
mengikuti perintah atau menirukan tingkah laku (echopraxia) atau kata-kata
(echolalia) orang lain (Hendro Prakoso Budisantoso, 1997).
Orang-orang dengan catatonic schizophrenia menunjukkan berbagai
perilaku motorik dan cara-cara (gaya) berbicara yang dianggap hampir secara
penuh tidak responsif terhadap lingkungan mereka. Diagnosis untuk catatonic
schizophrenia mensyaratkan dua dari simtom-simtom berikut ini:

(a) Catatonic stupor, tetap tidak bergerak untuk periode waktu yang lama);

(b) Catatonic excitement atau kegembiraan, kegemparan (aktivitas motoric yang


berlebihan (eksesif) dan tidak memiliki tujuan atau kegunaan (purposeless);
(c) Menjaga atau memlihara postur yang kaku atau secara lengkap diam untuk
periode waktu yang lama;

(d) Perangai atau lagak yang ganjil, seperti gemeringsing atau bertepuk-tepuk
tangan;

(e) Echolalia, mengulang-ulang (repetition) kata-kata yang diucapkan oleh orang


lain atau echopraxia (meniru berulang-ulang gerakan-gerakan dari orang lain).

d) Tipe Disorganisasi
Carson dan Butcher, 1992, mengemukakan bahwa gangguan skizofrenia
tipe ini biasanya muncul pada usia muda dan lebih awal jika dibandingkan dengan
gangguan-gangguan skizofrenia lainnya; tampilannya pun berupa disintegrasi
kepribadian yang lebih parah. Tipe ini sebelum DSM III disebut tipe skizofrenia
hebefrenik.
Secara tipikal, individual yang terpengaruh memiliki sejarah keanehan,
hati-hati yang berlebihan mengenai hal-hal sepele dan terpreokupasi oleh
masalah-masalah religius dan filosofis. Seringkali, penderita terus-menerus
memikirkan keburukan karena masturbasi atau infraksi minor konvensi-konvensi
sosial. Sementara teman-teman sekolahnya bersenang-senang dengan permainan
dan aktivitas sosial yang normal, penderita secara gradual menjadi lebih seklusif
dan dikuasai fantasi-fantasi. Selanjutnya ia menjadi secara emosional indiferen
dan infantil. Tersenyum tolol dan tidak wajar, tertawa keras untuk suatu situasi
yang tidak sangat lucu atau sama sekali tidak ada situasi demikian sama sekali,
merupakan simtom-simtom yang sering tampil, tanpa ia sendiri tahu apa
sebabnya. Halusinasi merupakan gejala lain, terutama yang bersifat auditori. Yang
terdengar adalah menyangkut tindakan-tindakan imoral dan memanggil dengan
nama-nama busuk. Delusi yang biasanya terjadi adalah hal yang bersifat seksual,
religius, hipokhondriakal, atau siksaan dan mereka secara tipikal dapat berubah,
tidak teratur dan fantastik. Pembicaraan berubah menjadi inkoheren dan
memunculkan baby talk, terkekeh kekanak-kanakan atau mengulang-ulang bunyi
tertentu. Ia dapat menjadi bermusuhan (hostile) atau agresif.
Tidak seperti orang-orang dengan tipe schizophrenia lainnya, orang-orang
dengan disorganized schizophrenia tidak memiliki bentuk delusi atau halusinasi
yang jelas. Pikiran dan tingkah lakunya sangat tidak terorganisir (disorganized).
Orang dengan tipe schizophrenia ini mungkin berbicara dalam kata-kata yang
secara penuh tidak masuk akal bagi orang lain. Mereka cenderung tampil ganjil,
perilaku yang stereotipe. Mereka susah mandi dan tidak mampu berpakaian atau
makan sendiri. Pengalaman dan pengekspresian emosinya kacau atau tidak
bereaksi secara emosinal sama sekali.
Bila mereka berbicara, mereka mungkin saja menampilkan emosi yang
secara nyata sekali tidak berhubungan dengan apa yang mereka katakan, atau apa
yang terjadi di lingkungannya. Misalnya, sambil tertawa terkekeh-kekeh ia
mengabarkan ibunya yang sakit.
Tipe schizophrenia ini cenderung memiliki permulaan yang lebih awal dan
rangkaian terapi (course) yang berkelanjutan, karena tidak responsif terhadap
treatment (pengobatan). Banyak di antara mereka yang menderita tipe
schizophrenia ini lumpuh atau mengalami ketidakmampuan (disable) secara
intelektual.

e) Tipe ResiduaI
Tipe gangguan skizofrenia ini berindikasikan gejala-gejala skizofrenia
yang ringan yang ditampilkan individu mengikuti episode skizofrenik. Jenis
indikasi atau macamnya tidak dapat diidentifikasikan. Tipe ini merupakan
kategori yang digunakan bagi mereka yang dianggap telah terlepas dari
skizofrenia tetapi masih memperlihatkan beberapa tanda gangguannya itu. Orang-
orang dengan residual schizophrenia paling sedikit memiliki satu episode akut
dari positif simtom yang akut dari schizophrenia, tetapi tidak sekarang ini,
memiliki beberapa simtom positif skizofrenia yang mencolok. Mereka juga secara
berkelanjutan memiliki tanda-tanda gangguan ini, termasuk simtom negatif dan
versi atau bentuk sedang dari positif simtom, untuk beberapa tahun.
Selain tipe skizofrenia residual, juga pola skizofrenia lainnya yang dikenal
adalah gangguan bentuk skizofreni (schizophreniform disorder), ialah kategori
untuk psikosis yang seperti skizofrenia yang timbul kurang dari enam bulan
lamanya. Simtomnya bisa jadi seperti simtom skizofrenia lainnya, tetapi juga bisa
jadi bentuk yang tak terdeferensiasikan. Saat ini semua kasus skizofrenia pertama-
tama mendapat diagnosis gangguan bentuk skizofrenia. Dengan diagnosis ini
prognosisnya akan lebih baik daripada diagnosis skizofrenia dan efek pemberian
label yang kejam bisa dieliminasikan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Skizofrenia merupakan gangguan yang benar-benar membingungkan atau menyimpan
banyak teka-teki. Pada suatu saat, orang-orang dengan skizofrenia berpikir dan berkomunikasi
dengan sangat jelas, memiliki pandangan yang tepat atas realita, dan berfungsi secara baik dalam
kehidupan sehari-hari. Pada saat yang lain, pemikiran dan kata-kata mereka terbalik-balik,
mereka kehilangan sentuhan (touch) dengan realita, dan mereka tidak mampu memelihara diri
mereka sendiri, bahkan dalam banyak cara yang mendasar (Susan Nolen Hoeksema, 2004).

Gangguan skizofrenia terkadang berkembang pelan-pelan dan tidak nampak dengan jelas.
Dalam kasus-kasus tertentu, gambaran klinis didominasi oleh seclusiveness (perasaan kurang
hangat), minatnya makin lama makin lemah terhadap dunia lingkungannya, dan melamun yang
berlebihan serta blunting of affect (tidak adanya responsivitas emosional).

Positif simtom merupakan simtom-simtom yang berupa "tambahan" terhadap pola-pola


perilaku orang-orang pada umumnya, seperti lonjakan emosional yang kuat, agitasi motorik,
interpretasi kejadian-kejadian yang salah atau menyimpang dan delusional, yang disebut
delusional interpretation. Kalau ia melihat sesuatu kejadian nyata, ia tidak menginterpretasikan
kejadian tersebut sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Misalnya, orang lewat dibelakangnya
dikatakan sebagai hantu yang lewat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Wiramihardja, Prof. Dr., Sutardjo. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT
Refika Aditama 2015.

Fiona K., dan Fajrianti. “Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Kualitas Hidup Penderita
Skizofrenia”. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol.02 No. 03, Desember 2013.

Permatasari V., dan Gamayanti W. “Gambaran Penerimaan Diri (Self-Acceptance) pada


Orang yang Mengalami Skizofrenia”. Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol. 3, No. 1, Hal:
139 – 152, Juni 2016.

Anda mungkin juga menyukai