Anda di halaman 1dari 4

Merebaknya Food Waste sebagai dampak Konsumerisme Tradisi Ramadhan-

Lebaran masyarakat Indonesia

Najata Hammada Jakti

2014036066

2104036066@student.walisongo.ac.id

Pendahuluan

Sebagaimana penduduk di wilayah urban pada umumnya, masyarakat Indonesia sendiri


memiliki tingkat Konsumerisme yang tinggi terhadap suatu barang. Seperti yang kita tahu,
konsumerisme adalah suatu hasrat yang berlebihan dalam mengkonsumsi suatu barang namun
tidak sesuai dengan kebutuhan dasarnya. Seperti contohnya mengkonsumsi makanan cepat saji
secara berlebihan atau membeli pakaian, peralatan digital dan aksesoris mahal yang bahkan
belum tentu akan dipakai setiap hari.

Mengkonsumsi komoditas yang berlebihan seperti ini menurut penduduk dengan


peradaban maju seolah-olah menjadi sebuah budaya yang sangat dibutuhkan agar seorang
individu memiliki identitas yang jelas dan pada akhirnya tidak dapat dipisahkan dengan
kepribadian individu tersebut.

Dalam kajian humaniora, perilaku konsumerisme dapat dipandang dari dua sisi. Dari
kacamata ekonomi, perilaku konsumerisme dianggap menguntungkan dan memiliki dampak
positif bagi jalannya perekonomian. Karena dengan naiknya permintaan konsumen (demand)
maka angka penawaran dan penjualan dari produsen (supply) juga bertambah, sehingga
mengakibatkan bertambahnya jumlah untung yang didapat oleh produsen dan secara singkat
menaikkan angka PDB. Hal inilah yang dikehendaki oleh elit politik dan pemerintahan agar roda
ekonomi stabil dan kesejahteraan penduduk meningkat.

Hal ini dapat terlihat menjelang Hari Raya keagamaan dimana banyak sekali harga
komoditas baik pangan maupun non pangan yang mulai meningkat seiring banyaknya
masyarakat yang melakukan permintaan. Bahkan beberapa komoditas yang tidak seimbang
antara angka demand dan angka supply-nya, sehingga memicu lonjakan tinggi harga dan
ketidakseimbangan neraca perdagangan.

Sementara itu, dalam kajian moral dan etis, konsumerisme dipandang sebagai suatu
budaya yang lebih banyak Madharat-nya dibanding manfaatnya. Pasalnya seseorang yang
berperilaku konsumen biasanya hanya mementingkan ego, gaya hidup dan kepuasan nafsunya
sendiri. Pengidap konsumerisme juga memiliki ciri-ciri seperti mengutamakan dan mempunyai
pritoritas terhadap materi dan harta bendanya, sedangkan tidak memperhatikan nilai-nilai
keadilan sosial yang terjadi di masyarakat, tidak lagi mementingkan kebahagiaan bersama karena
hanya mengejar kebahagiaannya sendiri, sehingga pada ahirnya melahirnkan perilaku
Materialistis

Tentu hal tersebut berdampak juga pada persoalan ekologis dan lingkungan. Kelestarian
alam akan terganggu, akibat supply and demand tadi, sumber daya yang dibutuhkan untuk
menghasilkan suatu barang juga bertambah lagi, seperti penggunaan bahan bakar, fosil, air, dan
energi-energi terbarukan. Hasil dari kegiatan-kegiatan memproduksi komoditas tersebut juga
pastinya akan menghasilkan polusi dan pencemaran yang berakibat pada rusaknya ekosistem air
dan tanah.

Terlebih lagi islam juga mengajarkan untuk mengkonsumsi sesuatu secukupnya dan
jangan berlebihan. Tentunya hal ini seharusnya dapat menjadi pedoman atau pengingat agar
konsumerisme tidak lagi menjadi masalah utama umat manusia. Hal ini telah dikaji di lingkup
keagamaan bahwa pemborosan (Israf) dan membelanjakan harta tanpa tujuan (Tabdzir) tidak
dibenarkan bahkan hingga dilarang karena sampai berimbas kepada lingkungan sekitar.
Perilaku seperti inilah sebenarnya yang disebut sebagai cinta duniawi, karena tidak sesuai
dengan kebutuhan syariat. Dikatakan dalam kitab Minahus Saniyah bahwa cinta duniawi adalah
membelanjakan harta diluar kebutuhan syariat, yang artinya adalah kebutuhan syariat adalah
sesuatu yang benar-benar kita butuhkan seperti kebutuhan pokok, pakaian secukupnya, membeli
dan memakan makanan hanya pada saat kita membutuhkan atau sekedar menghilangkan rasa
lapar.

Selain itu disebutkan juga bahwa cinta dunia bukanlah suatu persoalan material karena
cinta dunia diukur dari hati. Keinginan atau hasrat seringkali dipicu oleh hati yang juga
merupakan sumber nafsu. Sehingga puasa seharusnya dapat dijadikan sebagai penahan agar
perilaku konsumerisme dan pandangan konsumerisme tidak menjangkiti umat manusia. Namun
sama saja jika manusia tidak menjadikan puasa sebagai ibadah dan penahan nafsu, maka ia hanya
mendapat lapar dan haus. Oleh karena itu, permasalahan konsumerisme ini juga bagian dari
permasalahan sikap dan akhlak, sehingga penyelesaian masalahnya tergantung kesadaran
pribadi masing-masing indvidu.

Tradisi Ramadhan-Lebaran dan Food Waste

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa perilaku konsumerisme memicu


masyarakat untuk semakin berlebihan dalam membeli sesuatu, terlebih pada komoditas pangan
yang juga merupakan kebutuhan pokok dan memicu timbulnya sampah makanan atau food
waste. Dimana food waste ini juga berpengaruh besar dalam merusak lingkungan.

Dan masyarakat Indonesia melakukan perilaku konsumerisme cenderung meningkat


menjelang hari raya karena kebutuhan pangan dan non pangannya, terutama pada komoditas
pangan. Sehingga limbah rumah tangga didominasi oleh sisa-sisa bahan makanan baik yang
belum terolah maupun yang sudah diolah. Banyak diantara masyarakat Indonesia yang memasak
makanan dengan jumlah yang besar, sehingga perilaku food waste juga meningkat, karena
bagaimanapun makanan dalam jumlah besar yang tidak dapat terkonsumsi seluruhnya akan
menjadi sampah dapur, sehingga alternatif penyelesaian masalahnya adalah membuang sisa
makanan tersebut.

Sampah dapur yang menggunung juga menimbulkan polemik baru seperti menambah
emisi gas rumah kaca dan karbon yang meingkat hingga 4,4 Giga Ton setiap tahunnya. Dan
negara-negara dengan penduduk yang relatif banyak disinyalir sebagai penyumbang sampah
dapur yang berbanding lurus juga, khususnya Amerika Serikat, Arab Saudi, Indonesia, hingga
China. Di Indonesia, Sampah dapur tersebut belum mendapat perhatian khusus dari rakyat sipil
maupun pemerintah, berbeda dengan negara-negara maju yang notabenenya sudah diusahakan
berbagai alternatif jalan keluarnya.

Limbah yang dihasilkan dari makanan dan dibuang ke pembuangan akhir biasanya
dapat memicu naiknya proses globalisasi karena naiknya suhu udara di sekitar akibat sampah
mengalami dekomposisi dan anaerobik, sehingga ikut menyumbang emisi gas rumah kaca. Dari
gas rumah kaca, efek yangditimbulkan bermacam-macam dan seluruhnya bersifat merusak
lingkungan seperti emisi gas metana, yang meningkatkan suhu pemanasan global sekitar 15%.
Gas metana juga dapat menimbulkan ledakan dan kebakaran jika tidak segera diatasi.

Penumpukkan gas metana juga akan mempengaruhi perubahan iklim, penipisan lapisan
ozon, dan timbulnya hujan asam, yang jika hujan asam tersebut terjadi, maka akan merusak
ekosistem seperti tanah, tanaman, sungai, sumber air menjadi beracun, hingga dapat merusak
bangunan. Karena pada dasarnya hujan asam mengandung tingkat keasaman yang lebih tinggi
daripada hujan pada umumnya, dimana pH yang terdapat di hujan asam kurang dari 5,6.

Sebenarnya, untuk mengatasi permasalahan sampah dapur ini, hanya diperlukan sikap
dan kepedulian mulai dari lingkungan yang paling dekat atau mulai dari diri sendiri. Sikap kita
terhadap makanan dan barang-barang yang sudah dibeli berbanding lurus dengan kepribadian
yang membentuk seorang individu. Sehingga tingkatan religiusitas sebagai seorang muslim juga
sesuai dengan tuntunan ajaran dan literatur keagamaan. Hal itulah yang dinamakan sebagai
kesalehan terhadap lingkungan.

Karena memang lingkungan merupakan tanggung jawab seorang manusia, minimal


menjaga agar jangan sampai membuang makanan secara sia-sia, walaupun sistem pencernaan
manusia juga terbatas, setidaknya makanan sisa yang sekiranya masih dapat dikonsumsi
disimpan dengan baik dan terjaga dari sesuatu yang menimbulkan kebusukan atau penurunan
kualitas. Dan makanan sisa yang sekiranya sudah tidak dapat dikonsumsi di urai kembali seperti
contoh yang paling mudah adalah alih fungsi dan recycling sampah dapur menjadi Kompos. Atau
contoh lain menjadi makanan hewan peliharaan seperti anjing atau kucing.

Jika dilihat dari sudut pandang tasawuf, adanya perilaku konsumerisme merupakan
hasil dari kualitas seorang individu dalam melakukan ibadah selama bulan ramadhan. Ramadhan
diibaratkan sebagai sebuah intitusi untuk menyeleksi kualitas keimanan dan sebagai pengekang
hawa nafsu, setiap individu pasti memiliki nafsu dan ia dapat dikendalikan jika individu itu
sendiri yang melakukan pengorbanan. Misalnya seorang individu melakukan puasa sebagai
ibadah dengan merelakan diri tidak makan minum dari terbit fajar hingga tenggelamnya
matahari, jika ia dapat mengenalikan nafsunya maka ia lulus hingga berakhirnya ramadhan.
Namun jika ia tetap tergoda dengan hawa nafsunya di malam hari atau bahkan di siang hari, maka
sama saja ia tidak mendapatkan apapun kecuali lapar dan haus.

Oleh karena itu ketika seorang individu selesai menjalani proses pengekangan nafsu
dengan sempurna, maka dapat dikatakan puasanya sempurna dan bermanfaat bagi tubuhnya,
sehingga kecenderungan untuk melakukan isrof dan tabdzir di akhir ramadhan dan pasca
ramadhan akan berkurang, Praktik konsumerisme seperti membeli barang yang tidak diperlukan
atau tidak dibutuhkan juga pasti tidak akan muncul dari hati nurani.
Kesimpulan.

Pada dasarnya, manusia memiliki hati nurani untuk peduli pada lingkungan sekitar,
namun seringkali hal-hal sepele seperti membuang sisa makanan seringkali diabaikan. Padahal
hal sederhana tersebut dapat mengakibatkan dampak besar pada lingkungan. Walaupun
konsumerisme secara kulit luarnya saja hanya berfokus pada diri sendiri, namun efek yang terjadi
selanjutnya adalah ekosistem dan kelestarian makhluk hidup.

Terlebih lagi hal ini menyangkut hari besar keagamaan, yang mana dalam agama islam
sendiri melarang sesuatu yang berlebihan. Tidak hanya itu, agama islam juga secara tidak
langsung menganjurkan untuk menahan hawa nafsu lewat perintah Allah SWT berupa kewajiban
berpuasa, sehingga setelah ramadhan, diharapkan umat muslim menjadi pribadi yang lebih baik,
umat muslim yang lebih peduli dengan lingkungan dan lebih bertanggung jawab dalam
pengelolaan sumber daya alamnya.

Anda mungkin juga menyukai