Anda di halaman 1dari 8

KRITIK TERHADAP TEORI

PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET DI


SEKOLAH DASAR
Muhammad Nabil Azraqi, Dr. Agus Wedi M.pd
Universitas Negeri Malang , Jl. Semarang No. 5 Malang,
Jawa Timur, Indonesia
E-mail: muhammad.nabil.2301216.@students.um.ac.id

Abstract
Piaget's theory of cognitive development has been an important foundation for many experts, but some of the
concepts he put forward are not aligned and have been criticized. This study aims to critically evaluate Piaget's
theory of cognitive stages, especially at the age stage of elementary school children. The research method used is
descriptive qualitative, involving interviews and observations, and applying data analysis with the stages of
reduction, data presentation, conclusion making, and triangulation testing. The subjects were elementary school
children aged 6-12 years old (concrete operational stage). The results showed that their intellectual development
cannot be homogenized because each child has different cognitive development potential, implying criticism of
Piaget's theory that the process of cognitive development in children is unique and cannot be homogenized.
Keywords: Criticism, Theory of cognitive development, Elementary school age children.

Abstrak
Teori perkembangan kognitif Piaget telah menjadi landasan penting bagi banyak ahli, tetapi beberapa konsep
yang dia kemukakan tidak selaras dan mendapat kritik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kritis teori
tahapan kognitif Piaget, terutama pada tahapan usia anak sekolah dasar. Metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif deskriptif, melibatkan wawancara dan observasi, serta menerapkan analisis data dengan tahapan
reduksi, penyajian data, pembuatan kesimpulan, dan pengujian triangulasi. Subjek penelitian ini adalah anak-
anak SD berusia 6-12 tahun (tahap operasional konkret). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan
intelektual mereka tidak dapat disamakan karena setiap anak memiliki potensi perkembangan kognitif yang
berbeda, menyiratkan kritik terhadap teori Piaget bahwa proses perkembangan kognitif pada anak bersifat unik
dan tidak dapat diseragamkan.
Kata Kunci: Kritik, Teori perkembangan kognitif, Anak usia sekolah dasar.

PENDAHULUAN

Dalam konteks pendidikan, pemahaman terhadap teori perkembangan memiliki nilai yang sangat signifikan.
Mengetahui informasi tentang perkembangan, khususnya dalam konteks pertumbuhan anak, menjadi hal yang
krusial. Pemahaman ini tidak hanya penting bagi anak untuk mengetahui, tetapi juga untuk memahaminya secara
mendalam. Hal ini menjadi landasan dalam menganalisis kepribadian dan kebutuhan anak, bahkan setelah
mereka memasuki usia sekolah dasar. Salah satu aspek perkembangan yang harus dikuasai yakni perkembangan
kognitif anak pada usia sekolah dasar, terutama dalam hal pengetahuan. Aspek kognitif, atau kecerdasan,
merujuk pada kemampuan intelektual yang dipunyai setiap individu, khususnya potensi intelektual dalam
berpikir dan memecahkan masalah (Latifa, 2017). Oleh karena itu, pemahaman terhadap perkembangan kognitif
setiap individu menjadi suatu keharusan karena setiap tahap perkembangannya membawa ciri-ciri khusus yang
perlu dipahami.
Sebagai hasilnya, sebuah teori perkembangan otak dikembangkan, yang meneliti fase-fase pertumbuhan
intelektual manusia dari masa bayi hingga dewasa. Salah satu bidang penelitian yang penting dalam
perkembangan anak adalah perkembangan kognitif. Apabila kemampuan kognitif seseorang dapat ditingkatkan
maka signifikansi aspek kognitif menjadi salah satu faktor keberhasilan pada aspek lainnya, sehingga komponen
kognitif menjadi dasar yang esensial bagi keberhasilan di bidang lainnya (Juwantara, 2019). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan perkembangan intelektual yang melibatkan
kemampuan berpikir seperti daya ingat yang kuat, kapasitas penalaran dan analisis, daya cipta, dan kemampuan
menyelesaikan masalah. Teori kognitif Piaget merupakan salah satu teori yang berkaitan dengan perkembangan
kognitif anak. Menurut teori Piaget, anak-anak mengalami urutan tertentu yang ditentukan oleh tahapan
perkembangan kognitif yang diidentifikasi dalam teori Piaget. Pada setiap tahapan yang dilalui anak, baik
kuantitas maupun kualitas kemampuannya akan meningkat. Konsep ini sejalan dengan keyakinan (Mu'min,
2013) bahwa kemampuan kognitif anak akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu dalam proses
perkembangan.

Teori kognitif mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses pembelajaran, sehingga pembelajaran di
Indonesia pada umumnya cenderung lebih bersifat kognitif (intelektualisme atau orientasi kognitif). Artinya,
orang yang lulus pendidikan atau pelatihan vokasi adalah orang yang kaya secara intelektual namun lemah
akhlaknya. Proses pembelajaran harus menjaga keseimbangan antara peran kognitif dan peran emosional,
sehingga peserta didik setelah lulus mempunyai kualitas kepribadian intelektual dan moral yang seimbang.
Gagasan di balik teori pertumbuhan intelektual Piaget adalah bagaimana anak-anak menggambarkan dan
beradaptasi dengan lingkungan mereka. Selain mengklasifikasikan sistem dan siklus pertumbuhan intelektual
manusia yang dimulai dari tahap awal pemikiran, Piaget juga membagi masa dewasa dan remaja ke dalam
kategori yang berbeda. Teori kognitif Piaget tentang pertumbuhan kecerdasan pada dasarnya bertujuan untuk
menggambarkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi cara di mana kapasitas kognitif berkembang
(Khiyarusoleh, 2016).

Mengetahui elemen-elemen ini dapat membantu Anda mengubah tingkat kemampuan agar lebih sesuai dengan
gaya pendidikan anak. Gagasan yang mendasari teori perkembangan kognitif Piaget adalah bagaimana anak-anak
menggambarkan dan beradaptasi dengan hal-hal yang terjadi pada mereka. Selain itu, Piaget mengklasifikasikan
fase dan siklus perkembangan intelektual manusia, dimulai dari fase awal pemikiran dan terus berlanjut hingga
remaja dan dewasa. Pada dasarnya, tujuan dari teori perkembangan intelektual kognitif Piaget adalah untuk
menggambarkan berbagai komponen yang dapat mempengaruhi pematangan kemampuan kognitif (Khiyarusoleh,
2016).

Memahami faktor-faktor yang disebutkan di atas dapat membantu Anda memodifikasi tingkat kemampuan
sehingga lebih sesuai dengan gaya pendidikan anak Anda. Berbagai tahap perkembangan kognitif yang
dikemukakan Piaget tidak selalu sesuai dengan apa yang diterapkan dan menjadi fokus utama yang sering
dikritik, meskipun para ahli pendidikan sering menggunakan teori perkembangan kognitif Piaget. Penting untuk
dicatat bahwa dalam penerapan teori ini oleh pendidik dalam proses pembelajaran, tidak semua prinsipnya dapat
diterapkan pada setiap siswa. Oleh karena itu, terdapat beberapa inkonsistensi yang membuat teori ini layak
untuk dikritik.

Secara khusus, para pengkritik teori Piaget berpendapat bahwa beberapa kapasitas kognitif berkembang lebih
dulu daripada yang diyakini oleh Piaget. Sebagai contoh, penelitian tradisional oleh Mc. Garrigle dan Donalson
menyatakan bahwa anak-anak yang lebih muda dapat memahami gagasan pelestarian ekologi daripada yang
dilakukan oleh Profesor Piaget. Lebih khusus lagi, Piaget menyatakan bahwa anak-anak tidak mengembangkan
kemampuan untuk menghemat angka hingga mereka berusia 7 tahun, namun hal ini sudah terlihat pada anak
berusia 3 tahun. Kritik ini menyoroti pandangan Piaget tentang kebutuhan untuk melatih kemampuan penalaran
tingkat tinggi, seperti tahap pra operasional, di mana anak dilatih pada tahapan operasional tertentu. Menurut
Piaget, pendekatan ini dapat menimbulkan tantangan dan masalah serta dianggap tidak efektif.

Pandangan tersebut tentu belum relate dengan kenyataan saat ini, yang mana dizaman sekarang anak anak
sekolah dasar sudah mulai diajarkan agar bisa berpikir dan bernalar tingkat tinggi/ higher order thinking
skills(HOTS). HOTS bisa membantu kemampuan kognitif siswa sekolah dasar dengan dibekali keterampilan
berpikir analitis dan logis. Memang benar, siswa sekolah dasar sering disebut sebagai “masa kanak-kanak
menengah” dan menunjukkan tanda-tanda mulai berkembang dalam kesadaran diri, pengendalian emosi, dan
kemampuan mengambil keputusan yang memerlukan pemahaman tentang sebab dan akibat sosial (Anisah,
2015).

Dapat dibayangkan bahwa kemampuan otak berkembang lebih lambat daripada yang diantisipasi oleh Piaget,
yang menunjukkan bahwa kapasitas kognitif dapat menjadi lebih cepat atau lebih lambat daripada yang
diprediksi oleh Profesor Piaget. Salah satu permasalahan yang timbul adalah banyak remaja yang masih berada
pada tahap operasional konkrit dan belum mencapai tingkat aktivitas formal yang diharapkan sesuai dengan
usianya. Bahkan, beberapa orang dewasa juga mungkin belum mencapai kemampuan berpikir operasional
formal. Dengan demikian, setiap individu menunjukkan variasi dalam perkembangan kognitif mereka, tidak
dapat disamakan. Piaget menekankan bahwa "perkembangan kognitif adalah suatu kesatuan struktur berpikir”.
Namun, kenyataan di masa kini memiliki keunikan tersendiri, yaitu konsep-konsep sering kali muncul secara
bersamaan dalam kegiatan konkret (Murniati, 2020). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, teori Piaget telah
dikritik karena tidak dapat menjelaskan data dunia nyata, sehingga para ahli berpendapat bahwa perkembangan
kognitif anak sering kali tidak sesuai dengan teorinya.

Ada empat tahap pertumbuhan intelektual, menurut teori kognitif Piaget. Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Basri (2018), anak-anak di sekolah dasar berada di tahap ketiga dalam perkembangan kognitif.
Anak-anak telah diyakini mampu menggunakan logika untuk mengontrol komponen pada usia ini. Sebagai
contoh, anak-anak yang berusia antara 6 hingga 12 tahun adalah mereka yang berpartisipasi di sekolah dasar.
Anak-anak saat ini berada dalam tahap perkembangan konkret dan berjalan. Dengan demikian, teori ini
menyatakan bahwa kapasitas intelektual siswa sekolah dasar dibatasi pada konsep-konsep yang nyata dan nyata.

Namun, pada kenyataannya, anak-anak usia sekolah dasar juga memiliki kemampuan berpikir abstrak. Temuan
ini didukung oleh hasil penelitian pada anak-anak kelas 4 SD, di mana guru mengembangkan metode
pembelajaran yang merangsang kemampuan berpikir abstrak anak. Proses pembelajaran dimulai dengan
menggunakan objek konkret yang kemudian direpresentasikan secara abstrak. Oleh karena itu, anak-anak dapat
terbantu dalam memahami ide-ide dasar dari mata pelajaran yang abstrak melalui penggunaan pendekatan
pembelajaran seperti itu (Kholiyati, 2018). Hal ini berbeda dengan teori Piaget yang menyatakan bahwa anak-
anak pada tahap operasional konkret belum berkembang untuk mencapai tingkat pemikiran abstrak.

Dari justifikasi di atas, jelas terlihat bahwa teori kognitif yang dikemukakan oleh Piaget sering dikritik.
Namun, berdasarkan penelitian sebelumnya, kritik-kritik ini hanya dikemukakan sebagai perdebatan
tanpa memberikan dasar yang kuat dalam bentuk temuan penelitian. Oleh karena itu, penulis tertarik
untuk menyelidiki teori-teori perkembangan yang berkaitan dengan kemampuan kognitif anak usia
sekolah dasar. Penelitian ini akan menguji kemampuan kognitif siswa di SDN 1 Nirwana, terutama
dalam hal kemampuan berpikir konkrit dan abstrak, dengan harapan bahwa hasil penelitian ini dapat
menjadi dokumen yang mendukung kritik terhadap teori perkembangan intelektual Critique Piaget.

METODE PENELITIAN

TABEL TAHAPAN OPERASIONAL KONKRET DAN OPERASIONAL


FORMAL
Tahapan Karakteristik
Operasional konkret 7-12 1. Reversibility
2. Concervation
3. Seriation
4. Clasification
Operasional formal 12-dewasa 1. Berpikir abstrak (kemampuan bernalar)
2. Mampu bertindak atas sesuatu (self-reflection)
3.Memvisualisasikan peran atau tugas
orang yang telah dewasa
4.kesadaran dan kepedulian terhadap
kepentingan masyarakat

HASIL DAN PEMBAHASAN

Temuan penelitian disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan siswa kelas 6, 5, 2, dan 1 di SDN 1
Nirwana. Metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti melibatkan wawancara dan observasi.
Verifikasi dari hasil wawancara dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan yang memerlukan
pemikiran abstrak kepada siswa tingkat yang lebih tinggi, sementara siswa tingkat yang lebih rendah
melibatkan simulasi.

Dari hasil wawancara dengan siswa kelas 6 mengenai materi matematika kelas 4 tentang perhitungan
pada bilangan bulat, terdapat variasi respons dari siswa, beberapa menyatakan ingat sementara yang lain
tetap diam. Untuk mengingatkan siswa, peneliti mencoba mengarahkan mereka pada perhitungan numerik
yang mereka pelajari, dan setelah itu, semua siswa yang merespons dapat mengingatnya. Selanjutnya,
peneliti mengajukan pertanyaan untuk mengukur kemampuan siswa dalam menalar dan berpikir abstrak
terkait pertanyaan-pertanyaan dalam cerita mengenai kalkulus bilangan bulat. Dari hasil observasi pada
soal sejarah yang diberikan kepada siswa kelas 6, terungkap bahwa 13 siswa menjawab dengan benar.
Mereka mampu menganalisis dan menyelesaikan masalah sejarah dengan menggunakan garis bilangan.
Oleh karena itu, jawaban yang diberikan oleh siswa tersebut dapat direpresentasikan sebagai operasi
bilangan bulat, yaitu -4 + 9 = 5.

Dari jawaban yang benar, terdapat beberapa variasi yang menghasilkan jawaban yang berbeda dari siswa
lainnya, dengan 4 jawaban yang berbeda ditemukan. Siswa yang memberikan jawaban yang salah
berjumlah 9 orang, walaupun mereka dapat menganalisis perhitungan aritmatika, namun jawaban yang
diberikan tidak tepat dan mereka tidak dapat menggambarkan garis bilangan. Sebanyak 3 siswa menjawab
bahwa hasil perhitungan dengan bilangan bulat dalam soal adalah -4 + 9 = 13. Dari jawaban tersebut,
dapat disimpulkan bahwa siswa belum memahami konsep perhitungan bilangan bulat dan tidak dapat
menggambarkan garis bilangan dengan akurat. Selanjutnya, dua siswa tersebut menjawab -4 + 9 = 9.

Mendengar jawaban tersebut peneliti merasa kaget, selain belum memahami cara menghitung bilangan
bulat, anak-anak tersebut juga sudah tidak memahami lagi konsep desimal sehingga menulis ada yang
kurang sempurna ganda. Pada saat itu, terdapat 2 siswa yang memberikan jawaban 4 + 9 = 17. Dari
jawaban tersebut, terlihat bahwa siswa-siswa tersebut kurang melakukan analisis soal secara menyeluruh
dan memberikan jawaban yang tidak tepat. Secara logika, jika siswa memahami konsep dasar berhitung,
seharusnya mereka tidak akan menjawab 4 + 9 = 17. Sebagai gantinya, siswa seharusnya mampu
menjawab 4 + 9 = 13, meskipun pada contoh ini hasil perhitungannya tetap keliru.

Dari hasil tersebut terlihat bahwa di antara siswa-siswa kelas 6 berusia 11-12 tahun, terdapat 13 anak
yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi. Mereka mampu menganalisis masalah abstrak dengan
menyelesaikan permasalahan di atas menggunakan dasar operasi aritmatika yang sesuai. Di sisi lain,
terdapat 9 anak yang kemampuan berpikirnya rendah, sehingga mereka tidak mampu berpikir abstrak atau
berpikir logis.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam kemampuan kognitif anak.
Berdasarkan wawancara dan observasi hasil angket siswa kelas 5, penelitian ini menggunakan pertanyaan
serupa untuk mengeksplorasi implikasi teori kognitif Piaget pada tingkat usia yang berbeda, yaitu siswa
kelas 6. Dari hasil penelitian, terlihat bahwa 12 siswa mampu menganalisis soal dan memberikan jawaban
perhitungan aritmatika yang benar. Sebanyak 8 siswa memiliki kemampuan analisis soal yang kurang
baik. Meskipun jawaban yang diberikan benar, namun perhitungan aritmatika yang ditulis oleh 8 siswa
salah, contohnya siswa menulis 4 + 9 = 5. Jika semua siswa menyadari bahwa jawaban akhir adalah 5
karena menyelesaikan masalah pada 'garis bilangan', maka siswa akan memahami bahwa saya tidak
membuat kesalahan dalam menuliskan ikon pada ikon digital. Oleh karena itu, meskipun kita mungkin
berpendapat bahwa anak-anak memahami konsep garis bilangan, siswa kurang cermat dalam menuliskan
konsep operasi aritmatika. Jika siswa lebih teliti, mereka akan menyadari bahwa hasil perhitungan
bilangan yang dicatat bukanlah lima, melainkan tiga belas.

Peneliti menanyakan tentang bilangan bulat, khususnya yang dimulai dengan angka 1, untuk
mendapatkan informasi tentang siswa yang kurang mahir, khususnya kelas satu. Setiap siswa di kelas
mampu menghitung dari 1 sampai 10 dan mengucapkannya dengan lancar. Mengurutkan angka dari yang
terkecil ke yang terbesar adalah hal berikutnya yang mereka pelajari. Ketika peneliti meminta siswa untuk
membandingkan dua angka, mereka mampu menentukan dengan tepat mana yang lebih besar. Secara
bersama-sama, para siswa kelas satu dapat menjawab bahwa angka-angka tersebut berada dalam urutan
terkecil-1, 2, 3, dan seterusnya. Selanjutnya, orang yang melakukan investigasi mengajukan pertanyaan
yang berlawanan: urutkan jumlah angka dalam urutan yang lebih kecil ke yang lebih besar. Semua siswa
yang hadir dapat mengategorikan angka-angka tersebut dari yang terbesar hingga terkecil setelah ditanya
kembali dan diberikan informasi tambahan, meskipun pada awalnya beberapa dari mereka terlihat
bingung dan tidak mengerti. Peneliti kemudian menginstruksikan para siswa untuk mencatatnya secara
tertulis. Individu yang melakukan penelitian harus menjelaskan semuanya kepada setiap siswa secara
individu agar mereka dapat menulis dengan benar karena beberapa dari mereka terus mengajukan
pertanyaan ketika diminta untuk menulis.

Peneliti kemudian memerintahkan para siswa untuk menyusun benda-benda atau barang-barang yang ada
di sekitar mereka sesuai dengan prinsip susunan angka. Dengan menggunakan gagang sapu, peneliti
memotongnya menjadi beberapa batang dengan panjang yang berbeda-beda. Mengurutkan batang-batang
tersebut dari yang terpendek ke yang terpanjang ditugaskan kepada satu siswa. Agar mereka dapat bekerja
sama dan mengorganisasikannya dengan benar, siswa lain membantu peneliti dalam melaksanakan
simulasi tersebut. Hal ini jelas terlihat dibandingkan dengan mengamati siswa kelas satu yang
menemukan bahwa mereka mampu berimajinasi di luar pengalaman mereka selama ini.

Hasil pengamatan di kelas 2 menunjukkan bahwa satu siswa berperan sebagai model dalam observasi
eksperimen untuk mengklasifikasikan benda-benda dari yang terpendek hingga yang terpanjang. Siswa
kelas 2 tidak mengalami kesulitan dan dapat menyelesaikannya dengan cepat dan akurat. Oleh karena itu,
peneliti menyimpulkan bahwa anak-anak berusia 7-8 tahun di kelas 2 SD sudah mampu berpikir
sistematis. Fakta ini menunjukkan bahwa siswa kelas 1 dan 2 berada pada tahap operasional konkrit,
dengan bukti menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan pengurutan yang seharusnya dimiliki
oleh anak-anak yang berusia antara 9 dan 10 tahun (Marinda, 2020). Oleh karena itu, melatih anak-anak
untuk berpikir pada usia yang lebih muda mungkin dapat mempercepat pengembangan keterampilan
kognitif mereka daripada yang seharusnya mereka kuasai pada usia tertentu. Pernyataan ini dapat juga
memperkuat kritik terhadap teori kognitif Piaget. Meskipun anak-anak pada tingkat 1 dan 2 masih berada
dalam tahap operasional konkrit, yang berarti mereka sudah dapat berpikir logis, mengenali fakta-fakta
tertentu, dan mengelompokkan berbagai jenis benda di sekitarnya, sebenarnya anak-anak dapat dilatih
untuk berpikir pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang mungkin diperkirakan berdasarkan usia
mereka.

Hasil penelitian pada siswa kelas 6 menunjukkan bahwa sebagian besar siswa telah mencapai tingkat
berpikir abstrak, meskipun temuan penelitian menunjukkan bahwa tidak semua siswa mencapai tahap
tersebut. Temuan ini konsisten dengan pandangan (Bujuri, 2018), yang menyatakan bahwa pada anak usia
11-12 tahun ke atas, mereka memiliki kemampuan berpikir terhadap kemungkinan-kemungkinan. Pada
tahap ini, anak-anak mulai dapat membuat hipotesis dan berpikir tentang hal-hal yang bersifat abstrak
atau mampu bernalar. Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua siswa kelas 6 mampu
menyelesaikan tes menggunakan kemampuan penalaran mereka. Oleh karena itu, hasil tersebut juga
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir anak tidak seragam, dan tingkat intelektual setiap anak bersifat
unik.

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian di kelas 6, terlihat jelas bahwa siswa di kelas 5 memiliki
kemampuan berpikir abstrak atau logis. Jika dibandingkan dengan kelas 6, jumlah siswa yang mencapai
tahap berpikir abstrak jauh lebih banyak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kapasitas siswa untuk
berpikir abstrak sangat bervariasi, yang bertentangan dengan teori perkembangan kognitif Piaget. Oleh
karena itu, (Khiyarusoleh, 2016) berpendapat bahwa karena fakta bahwa setiap anak itu unik, maka tidak
mungkin untuk secara akurat menilai seberapa baik kapasitas mental seseorang berkembang secara
individual. Tentu saja, kemampuan siswa pada tingkat kognitif akan bervariasi karena terpengaruh oleh
beberapa faktor, seperti lingkungan, budaya, status sosio-demografi, serta lain-lain (Almomani dkk.,
2014).

Oleh karena itu, dapat dijelaskan lebih lanjut dari berbagai variabel yang telah disebutkan sehubungan
dengan perbedaan tingkat psikologis atau kapasitas mental setiap orang bahwa teori Piaget mengaitkan
enam faktor: faktor genetik atau keturunan, lingkungan, tingkat kematangan anak, pembentukan
kepribadian, minat, bakat, dan berbagai aspek kebebasan. Variabel-variabel yang disebutkan di atas
semuanya berkontribusi pada peningkatan kemampuan intelektual anak (Marinda, 2020). Dengan
mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, maka terlihat bahwa perkembangan intelektual anak
dipengaruhi oleh berbagai aspek yang luas, sehingga diperlukan berbagai pendekatan untuk mengelola
dan memfasilitasi perkembangan intelektual anak. Oleh karena itu, orang tua berperan penting dalam
mendukung perkembangan anak selama tahap operasional konkret, karena pada tahap ini anak mulai
memahami teman sebaya, lingkungan, dan dunia di sekelilingnya sebagai fondasi untuk perkembangan
akademisnya (Witasari, 2018).

Anak-anak pada kelas 1 dan 2, yang berusia antara 7 dan 8 tahun, memang berada pada tahap operasional
konkrit, namun ada kemungkinan bahwa siswa-siswa di kelas tersebut, termasuk siswa kelas 1 dan kelas
2, dapat memiliki kemampuan untuk berpikir secara abstrak. Temuan dari penelitian di kelas satu
menunjukkan bahwa anak-anak pada tahap ini dapat diajar di tingkat yang lebih tinggi. Terdapat bukti
bahwa siswa kelas satu memiliki keterampilan menulis berurutan. Attunement, dalam konteks ini,
merujuk pada kemampuan anak untuk mempersepsikan unsur-unsur kuantitatif, seperti urutan panjang,
perbedaan warna, berat, dan sebagainya (Santrock, 2011).

Berlandaskan temuan penelitian, dapat disimpulkan bahwa setiap kelompok usia dan tingkat kelas anak
menunjukkan tingkat intelektual yang beragam. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi usia dan
tingkat kelas, kemampuan intelektual anak cenderung meningkat. Penting untuk diingat bahwa tidak
dapat diabaikan kemungkinan bahwa kemampuan kognitif anak pada usia yang lebih muda mungkin
sebenarnya lebih tinggi daripada pada kelas yang lebih tinggi, seperti kelas 5, dan mungkin setara atau
lebih tinggi daripada di kelas 6. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwasanya anak-anak usia 6 hingga
12 tahun memiliki tingkat kemampuan kognitif yang beragam.

Berdasarkan usia, anak-anak memiliki variasi kemampuan yang mencakup logika, ingatan, hafalan,
pemahaman, dan kemampuan analisis. Pengamatan ini sejalan dengan pandangan bahwa setiap tahap
perkembangan intelektual memiliki ciri khasnya sendiri dan memengaruhi tingkat intelektual seseorang,
yang cenderung semakin kompleks seiring bertambahnya usia. Menurut Sutarto (2017), proses
pembelajaran akan lebih efektif jika disesuaikan secara bertahap dengan perkembangan tingkat intelektual
atau kognitif siswa. Oleh karena itu, pernyataan Piaget mengindikasikan bahwa anak-anak pada rentang
usia tertentu akan memiliki tingkat kemampuan serupa sesuai dengan tahapan operasional yang
diidentifikasi oleh Piaget.
Selain itu, kebanyakan psikolog sepakat dan menerima aspek umum hipotesis Piaget yang menyatakan
bahwa penalaran anak-anak pada dasarnya berbeda dengan penalaran orang dewasa dan bahwa penalaran
ini akan mengalami perubahan seiring bertambahnya usia. Namun, beberapa ahli juga mengevaluasi
temuan Piaget, termasuk batasan usia di mana anak dapat melakukan tugas eksplisit (Ibda, 2015). Namun
demikian, terdapat komponen-komponen yang berbeda di hampir setiap teori pada titik yang berbeda.
Pendapat para ahli tentang suatu teori tidak selalu benar, dan dugaan boleh saja dilakukan selama
didasarkan pada prinsip-prinsip yang diakui dan berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Ketika
menerapkan temuan teori, kondisi dan situasi harus dipertimbangkan dan diperhitungkan, terutama jika
pendidik menggunakan temuan tersebut untuk mengembangkan materi pembelajaran (Indrawan, 2021).

Dengan demikian, para pengkritik teori Piaget menunjukkan bahwa setiap anak berkembang secara
filosofis dengan cara yang berbeda karena berbagai alasan dan bahwa anak-anak benar-benar dapat
melakukan prosedur pemikiran abstrak meskipun faktanya mereka tidak berada pada tahap operasional
tertentu.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap kapasitas kognitif siswa SDN 1 Nirwana, dapat
disimpulkan bahwa karena setiap anak terlahir dengan kapasitas kognitif atau intelektual yang unik, maka
perkembangan kognitif setiap anak cenderung bervariasi dan tidak selalu dapat disamakan. Perkembangan
intelektual anak-anak bervariasi tergantung pada sejumlah faktor, termasuk bahwa pada saat mereka
memasuki kelas satu, yang berlangsung dari usia 6 hingga 12 tahun, mereka mampu berpikir abstrak dan
konkret. Oleh karena itu, kritik terhadap teori perkembangan kognitif yang diajukan oleh Piaget dapat
dilakukan dengan menggunakan temuan ini. Teori Piaget mengasumsikan bahwa anak-anak berkembang
secara konsisten, terutama ketika mereka mencapai usia sekolah dasar dan tidak hanya pada tahap
operasional konkret tetapi juga dapat mencapai tahap operasional formal.

DAFTAR PUSTAKA

Factors related to cognitive function in elementary school students. Scandinavian Occupational Therapy
Journal, 21(3), 191-198. https: //Doi.Org/10.3109/11038128.2013.853098 Anisa, A. S. (2015).

The influence of childhood behavioral disorders and anishtianita on the development of elementary
school children. Elementary Education, 1(2), 1-16. http:
//Jurnal.Untirta.Ac.Id/Index.Php/Jpsd/Article/Download/689/542 Basri, H. (2018).

Cognitive skills that enhance the effectiveness of elementary school students' social studies learning.
Educational Research Journal, 18(1), 1-9. Bouziri, W. A. (2018).

Analysis of elementary school students' cognitive development and its impact on teaching and learning
activities. Literacy (Educational Science Journal), 9(1), 37. https:
//Doi.Org/10.21927/Literasi.2018.9(1.37-50 Ibda, F. (2015). Kognitive Entwicklung: Theorie, Jean Piaget
Writer Intelligence, 3(1), 242904. Indrawan, D. (2021).

The influence of behavioral and cognitive flow on learning development and behavior. Basicedu Journal,
5(3), 1683-1688. https: //Doi.Org/https: //Doi.Org/10.31004/Basicedu.V5i6.1581 Jwantala, R.A. (2019).

Analysis of Piaget's theory of cognitive development in the concrete active stages of children's
mathematics learning from the age of 7 to his 12 years. Al-Adzka: Scientific Journal of Madrasah
Ibtidaiyah Teacher Education, 9(1), 27. https: //Doi.Org/10.18592/Aladzkapgmi.V9i1.3011 44 44
Khiyarusoleh, U. (2016).

Basic concepts of children's cognitive development by Jean Piaget. Pgsd Sector Dialectics, 5(1), 1–10.
Corianti, A. (2018). Elementary school students learn mathematics from concrete to abstract levels while
developing basic concepts of geometry.

1(2), 40-46. Latifah, America (2017). Developmental aspects of elementary school students: problems
and development. Journal of Interdisciplinary Research, 1(2), 185-196. Manulan, M. (2014).

Mathematics learning management. 21(1992), 208-214. Malinda, L. (2020). Development of Jean Piaget's
cognitive theory and its problems in elementary school students. An-N isa': Journal of Women's and
Islamic Studies, Volume 13, 116-152. Moomin, S. A. (2013).

Jean Piaget's theory of cognitive development. Al-Tadib Journal, 6(1), 89-99. https:
//Ejournal.Iainkendari.Ac.Id Murniati, E. (2020).

Jean Piaget's theory of cognitive development, psychosocial development theory, and Kohlberg's moral
theory. It's part of the teaching material. Faculty of Teacher Training and Education, Indonesian Christian
University. Sunrock, J. W. (2011).

child development. Salemba funica. Siddique, F. (2020). Updated Jean Piaget's learning theory of
cognitive development. Pajar Journal (Education and Education), 4(6), 1106-1111. https:
//Doi.Org/10.33578/Pjr.V4i6.8055 Sofian, F. A., Krisna, P., Astuti, M., and Palembang, K. (2020).

We analyzed the difficulty of learning mathematics for 4th grade students. 7, 90-97. strong. (2017).
Cognitive theory and its implications for learning. Islamic Counseling: Islamic Counseling Guidance
Journal, 1(2), 1–26.

https: //Doi.Org/10.29240/Jbk.V1i2.331 Witasari, R. (2018). Analysis of cognitive development achieved


at elementary school age. Magistra: Journal of Basic and Islamic Education, 9 No. 1, 87-108.

https: //www.kompasiana.com/jokowinarto/55186ce7813311cc669def0c/kritik-terhadap-theori-piaget

Anda mungkin juga menyukai