Anda di halaman 1dari 14

KAIDAH KULLIYAH SUGHRA

(Kaidah-Kaidah Yang Umum)


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyyah
Dosen pembimbing: Ade Irma, Lc, M.HI

Oleh : Kelompok 9
Rasyiqah Qamarani (2102050013)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DAAR
AL ULUUM ASAHAN
2023/2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya,
atas anugerah hidup serta kesehatan yang telah saya terima, dan petunjuk-Nya
sehingga saya bisa menyusun makalah ini. Di makalah ini, saya sebagai penyusun
hanya sebatas ilmu yang bisa saya sajikan dengan judul “Kaidah Kulliyah
Sughra”.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Asahan, 05 Desember 2023

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

BAB I PEMBAHASAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Al Ijtihad La Yunqad Bil Ijtihad..................................................................2

B. Idza Ijtama’a Amrani Min Jinsin Wahidin Wa Lam Yakhtalif


Maqsuduhuma Dakhala Ahaduhuma Fil Akhiri Ghaliban...........................3

C. At-Tabi Tabi’; dan At-tabi’u Yasquthu Bisuquthi Al-Matbu’....................3

D. At-Tabi’ La Yataqaddam ‘Ala Al-Matbu’; At-Tabi’ La Yufarridu Bil


Hukmi; dan Yughtafau Fi At-Tawabi’ Ma La Yughtafar Fi Ghairihi.........5

E. Ar-Ridha Bi Asy’-Ssyai Ridha Bi Ma La Yatawalladu Minhu...................6

F. La Yunsabu ila Saqit Qaulun Wa Lakinna Sukut Fi M’radhi al Hajat ila


al’Bayani Bayanun; dan Al-Wajib La Yutraku Illa bil Wajib.....................7

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum
kully(menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Manfaat
keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah menyediakan pedoman yang lebih praktis
yang diturunkan dari teks dan jiwa nash dari al-Qur'an dan al-Hadis yang
digeneralisasi dengan teliti oleh para ulama terdahulu dengan memperhatikan
beragam kasus fiqh yang pernah terjadi, sehingga hasilnya mudah diterapkan
kepada masyarakat luas.

MenurutMusthafa al-Zarqa, Qawaidul Fiqhiyyah adalah dasar-dasar fiqh


yang bersifat umum dan ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-
hukum syara' yang umum terhadap beragam peristiwa hukum yang termasuk
dalam ruang lingkup kaidah tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Al Ijtihad La Yunqad Bil Ijtihad?
2. Apakah pengertian Idza Ijtama’a Amrani Min Jinsin Wahidin Wa Lam
Yakhtalif Maqsuduhuma Dakhala Ahaduhuma Fil Akhiri Ghaliban?
3. Apakah pengertian At-Tabi Tabi’; dan At-tabi’u Yasquthu Bisuquthi Al-
Matbu’?
4. Apakah pengertian At-Tabi’ La Yataqaddam ‘Ala Al-Matbu’; At-Tabi’ La
Yufarridu Bil Hukmi; dan Yughtafau Fi At-Tawabi’ Ma La Yughtafar Fi
Ghairihi?
5. Apakah pengertian Ar-Ridha Bi Asy’-Ssyai Ridha Bi Ma La Yatawalladu
Minhu?
6. Apakah pengertian La Yunsabu ila Saqit Qaulun Wa Lakinna Sukut Fi
M’radhi al Hajat ila al’Bayani Bayanun; dan Al-Wajib La Yutraku Illa bil
Wajib?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al-Ijtihad La Yunqadhu Bil Ijtihad

‫االجتها ذ الىنقض ب الجتهاذ‬

“Ijtihad tidakdapat dibatalkandengan ijtihad”

Makna dari ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad adalah ijtihad
yang sudah disepakati sebelumnya tidak dapat diganggu-gugat atas ijtihad
yang baru sebab kedudukan masing-masing hasil ijtihad sama, dan masing-
masing ijtihad tidak ada yang istimewa. Juga, masing-masing ijtihad tidak bisa
saling membatalkan.
Hukum hasil ijtihad terdahulu tidak batal karena adanya hukum hasil
ijtihad kemudian, sehingga salah semua perbuatan yang berdasarkan ijtihad
terdahulu, tetapi untuk perbuatan kemudian hukumnya telahberubah dengan
adanya hukum hasil ijtihad yang baru. Demikian ini karena: Pertama, nilai
ijtihad adalahsama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari hasil
ijtihad pertama. Kedua, apabila suatu ketetapan hukum hasil ijtihad dapat
dibatalkan oleh ijtihad yang lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian
hukum.
Contohnya: seseorang yang berhadas kecil dan berhadas besar
kemudian ia mandi untuk menghilangkan hadas besar, maka kedua hadas
tersebut sudah hilang. Karena kedua masalah tersebut sama, yang besar dapat
mengikuti yang kecil, tetapi sebaliknya tidak. Demikian juga dengan
seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis kemudian di tujuh hari pertama
bulan syawal berpuasa, maka kedua puasa itu dianggap sah dan mempunyai
dua pahala. Atau apabila seseorang memasuki sebuah masjid kemudian ia
langsung melaksanakan shalat fardhu, maka shalat tahiyyatul masjid sudah
tercakup.1
1
Ade Gumelar,dkk, Kaidah Kulliyah Sughro 1-12, Fakultas Syariah dan Hukum, (2018),
hlm. 3-4.

2
B. Idza Ijtama’a Amrani Min Jinsin Wahidin Wa Lam Yakhtalif
Maqsuduhuma Dakhala Ahaduhuma Fil Akhiri Ghaliban

‫إذااجاتمعأمرادمنجانسواحدالميجتالفمقصودهمادخاالاحدهمافياآلخا‬
‫رغاالبا‬
"Apabila dua perkara sejenis berkumpul serta tidak berbeda maksudnya, maka
yang satu dimasukkan kepada yang lain menurut kebiasaannya"
Contoh: Seseorang yang berhadas kecil dan berhadas besar kemudian ia
mandi untuk menghilangkan hadas besar, maka kedua hadas tersebut sudah hilang
Karena kedua masalah tersebut sama, yang besar dapat mengikuti yang kecil,
namun Sebaliknya tidak demikian ketika dengan seseorang yang terbiasa puasa
senin kamis kemudian di tujuh hari pertama bulan Syawal puasa, maka puasa
kedua itu dianggap sah dan mendapat dua pahala.2

C. At-Tabi Tabi’; dan At-tabi’u Yasquthu Bisuquthi Al-Matbu’


1. At-Tabi Tabi’

‫َالَّتاِبُع َتاِبٌع‬.

Artinya: “Sesuatu yang ikut harus mengikuti.”

Maksud kaidah ini bahwa segala sesuatu yang keberadaannya ikut bersama
barang lain maka status hukumnya sama dengan yang diikuti (matbu’). Status
yang diberlakukan terhadap induk yang diikuti juga berlaku sama terhadap yang
mengikuti. Keterikutan sesuatu terhadap sesuatu yang lain dapat digambarkan
dalam tiga bentuk. Pertama, memang menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan, seperti kulit dengan binatang ternak, bangunan dengan
temboknya. Kedua, dapat dipisahkan secara mandiri, namun menjadi keharusan
yang wajib ada sebagai satu paket, seperti kunci dan gemboknya, keris dan
gagang juga warangkanya. Ketiga, memang menjadi lahan yang mesti ditempati,
seperti pohon dan tanahnya.

2
Studocu, Qawaidh Fiqhiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, (2018), hlm. 7.

3
Aplikasi kaidah ini diantaranya:

a. Anak hewan yang berada dalam kandungan induknya tidak butuh


disembelih ketika induknya sudah disembelih sesuai aturan syar’i, karena
sembelihan janin status hukumnya mengikuti sembelihan induknya.
b. Ketika membeli sebuah mobil, semua kelengkapan yang menjadi bagian
dari mobil include dalam akad, tanpa harus disebutkan oleh kedua belah
pihak, seperti kursi mobil, ban, setir dan lain-lain.
c. Ketika seseorang mengaku bahwa keris yang ada di tangannya adalah
milik orang lain, maka warangka dan pegangan juga include dalam ikrar
tersebut.
d. Perkembangan dan hal baru yang terjadi pada hewan yang menjadi objek
jual beli (mabi’), sebelum terjadinya serah terima, menjadi milik pembeli,
misal bertambah gemuk atau malah hamil. Karena status pertambahan itu
mengikuti hewan yang sudah diperjual-belikan. Demikian juga jual beli
yang dikembalikan karena ada cacat, jika terjadi perkembangan dan hal
baru, maka diikutkan mabi’ untuk dikembalikan pada penjual.

Adapun hikmah kaidah dalam kehidupan, yakni; Sebagai rakyat tentu


harus mentaati instruksi pemerintah, sebagai warga harus mengikuti aturan
RT/RW dan kepala dusun, kepala desa, dan seterusnya.Sebagai penganut suatu
agama tentu harus mengikuti himbauan tokoh agama. Sebagai pengikut tentu
mengikuti arahan pemimpin, bukan malah bertindak sebagai pemimpin. Konsep
sadar diri akan status dan posisi akan menciptakan kehidupan yang harmoni.

2. At-tabi’u Yasquthu Bisuquthi Al-Matbu’


Kaidah At tabi’u yasquthu bisuquuthi al matbuu’ yang artinya “Pengikut
menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”.
Contohnya: Seseorang yang tidak menjalankan shalat fardhu karena gila,
maka tidak sunnah pula untuk menjalankan shalat rawatib. Karena yang
fardhunya saja gugur, sehingga yang mengikutinya pun menjadi gugur. Tidak
boleh mengawini saudara wanita istri, tapi jika istrinya telah dicerai maka wanita
tersebut boleh dikawininya.

4
D. At-Tabi’ La Yataqaddam ‘Ala Al-Matbu’; At-Tabi’ La
Yufarridu Bil Hukmi; dan Yughtafau Fi At-Tawabi’ Ma La
Yughtafar Fi Ghairihi

1. At-Tabi’ La Yataqaddam ‘Ala Al-Matbu’


Kaidah At taabi’u la ayataqaddamu ‘ala al matbu Artinya “Pengikut itu
tidak mendahului yang diikuti”. Contohnya : tidak sah makmum mendahului
imam.3

2. At-Tabi’ La Yufarridu Bil Hukmi

Kaidah At taabi’ulaayafridu bi al hukmun artinya “hukum sesuatu yang


mengikuti tidak menyendiri” Ini karena hukum sesuatu yang mengikuti dijadikan
untuk mengikuti hukum yang diikutinya. Contohnya :anak kambing di dalam
perut tidak boleh dijual dengan sendirinya, terjualnya induk merupakan terjualnya
anak kambing tersebut.

3. Yughtafau Fi At-Tawabi’ Ma La Yughtafar Fi Ghairihi

Kaidah Yughtafaru fi at tawaabi’ maa laayughtafaru fi ghairihi yaitu


“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidakdimaafkan pada yang
lainnya”.
Penerapan nya yaitu :
a. Seseorang pembeli tidak boleh mewakilkan kepada si penjual dalam
menerima barang yang dijualnya itu, akan tetapi kalau si pembeli itu
memberikan kepada si penjual supaya menimbang dan di situ ia letakkan
makanan yang dijualnya itu dan ia melakukannya, maka itu adalah
penerimaan dari si pembeli tersebut.

3
Ade Gumelar, Op.Cit, hlm. 5.

5
b. Mewakafkan sebidang kebun yang tanaman nya sudah rusak, maka wakaf
itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.

E. Ar-Ridha Bi Asy’-Ssyai Ridha Bi Ma La Yatawalladu Minhu


Keridhaan dengan sesuatua dalah ridha dengan akibat yang terjadi dari
padanya. Dasar qaidah fiqhiyyah :
Dalil Al-Qur’an Al-Qur’an surah al-Nisa ayat 29:

‫َع ْنَتَر اٍض ِّم ْنُك ْم‬


“dengan suka sama-suka di antara kamu”
Pada dasarnya pada akad adalah keridhaan kedua belah pihak yang
mengadakan akad hasilnya apa yang saling di-iltizamkan oleh perakadan itu.
Yaitu bahwa ber muamalah, yang sah adalah bermuamalah yang akadnya
dilandasi dengan suka sama suka masing-masing pihak. Dalam bermuamalah
yang akad nya suka sama suka adalah bermuamalah yang tidak didasari oleh
paksaan salah satu pihak, dan bermuamalah yang di dalamnya tidak ada unsur
penipuan dan kezhaliman yang merugikan salah satu pihak.
Maksudnya ialah bahwa seseorang yang telah ridha (suka) akan sesuatu
atau telah menerima terhadap sesuatu atau mengizinkan terhadap sesuatu, maka
segala akibat atau rentetan masalah yang terjadi dari apa yang telah ia terima
harus ia terima. Dengan kata lain, keridhaannya itu berarti menerima segala resiko
yang akan terjadi dari yang telah ia terima. Karena dalam akad, suatu akad
lazimnya tidak dapat difasakh atau dibatalkan oleh salah satu pihak, seperti akad
jual beli, sewa menyewa dan sebagainya.
Berbeda dengan akad yang tidak lazim seperti akad perwakilan, maka
dilaksanakan dengan terpaksa. Dengan demikian, apabila bermuamalah dengan
cara akad-akad yang ditentukan syariat sebagaimana diuraikan di tersebut atas,
dan ternyata diketahui sesuatu benda itu ada kekurangannya, maka keridhaan
orang yang bermuamalah (misalnya pembeli) akan menanggung akibat dari
keridhaannya.

6
Contoh penerapannya yaitu apabila seseorang yang telah ridha membeli
barang yang telah cacat, maka manakala cacat itu bertambah berat, maka tidak ada
alternatif lain baginya, kecuali harus menerimanya.4

F. La Yunsabu ila Saqit Qaulun Wa Lakinna Sukut Fi M’radhi al


Hajat ila al’Bayani Bayanun; dan Al-Wajib La Yutraku Illa bil
Wajib

1. La Yunsabu ila Saqit Qaulun Wa Lakinna Sukut Fi M’radhi al Hajat ila


al’Bayani Bayanun

Kaidah ini berarti “Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih
banyak manfaat/keutamaan nya.”

Dasar dari kaidah ini adalah sabda Nabi saw kepada Aisyah ra.
Bahwasanya; “Pahalamu adalah berdasar kadar usahamu.”

Sesuai dengan hadits sebagai sumber dasar kaidah, maka dengan


sendirinya yang dimaksud dengan kaidah ini adalah perilaku kebaikan, sehingga
makin banyak diperbuat makin banyak keutamaan nya. Contohnya, Shalat witir
dengan cara diputus lebih utama dibanding dengan cara disambung, sebab dengan
diputus akan tambah niat, takbir, dan salam.

Yang merupakan pengecualian dari kaidah ini adalah beberapa perbuatan,


diantaranya ialah; Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi syarat-
syaratnya, lebih baik daripada shalat dengan tidak qashar.

2. Al-Wajib La Yutraku Illa bil Wajib

Kaidah “alwajibu layutraku illa liwajibin” merupakan salah satu kaidah


fiqhiyah yang penting untuk diketahui. Hal ini dikarenakan kaidah ini

4
Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Quzwini, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar al-Fikr,
juz 2, hlm. 737.

7
mengandung satu ketentuan dalam penentuan hukum fiqih. Arti dari kaidah
tersebut adalah “sesuatu yang wajib itu tidak dapat ditinggalkan kecuali untuk
memenuhi kewajiban itu sendiri”. Dari arti kaidah ini dapat diperoleh kejelasan
bahwa sesuatu yang wajib dapat ditinggalkan asalkan untuk memenuhi kewajiban
itu sendiri.

Dalam beberapa kasus, kaidah ini dapat diterapkan dengan baik. Hal ini
dikarenakan kaidah ini sesuai dengan kondisi yang terjadi. Misalkan beberapa
kasus di bawah ini:

a. Kasus pertama, ada seseorang yang mencuri uang 150 jt. Setelah tidak
lama melakukan pencurian akhirnya pencurinya tertangkap. Sesuai dengan
hukum islam maka hukuman bagi orang yang mencuri adalah dipotong
tangannya. Apabila disesuaikan dengan kaidah ini maka adanya potong
tangan merupakan sebuah keharusan yang harus dilaksanakan karena jika
ditinggalkan maka akan menyalahi hukuman yang telah ditetapkan. Jadi,
dilakukannya hukum potong tangan tidak boleh ditinggalkan karena untuk
memenuhi kebutuhan hukuman yang sesuai dengan apa yang sudah diatur
dalam teks atau nash al-Qur’an.

b. Kasus kedua, ada seorang muslimah yang tersesat di tengah hutan dan
tidak ada apapun yang bisa dimakan kecuali bangkai babi yang ada
dihadapannya. Sesuai dengan hukum islam yang tertera dalam teks atau
nash maka babi tersebut tidak boleh dimakan karena diharamkan. Akan
tetapi sesuatu yang diwajibkan itu “tidak makan daging babi karena
diharamkan sesuai teks al-Qur’an” dapat ditinggalkan karena perlunya
memenuhi kewajiban yang lain yaitu menjaga eksistensi hidup “Khifdzun
Nafs” seperti yang sering dicantumkan dalam berbagai literatur yang
disebut “Maqasidus Syari’ah al Khamsah”. Hal ini disebabkan juga adanya
sebab khusus dimana menyebabkan Syquthul Khukmi.

c. Kasus ketiga, ada seseorang yang dikhitan. Misalkna Namanya Zain.


Acara khitannya menggunakan cara-cara tradisional seperti yang terjadi di
desa-desa di mana auratnya dibuka. Sesuai dengan hukum islam, menutup

8
aurat adalah sebuah kewajiban. Akan tetapi hal itu dapat ditinggalkan atau
dilanggar dengan alasan memenuhi kewajiban yang lain yaitu untuk
melaksanakan khitan di mana hal tersebut dimaksudkan untuk mensucikan
“pusaka laki-laki” dari segala bentuk najis yang ada. Selain itu, adanya
keharusan untuk itba’ terhadap sunnahnya Nabi Ibrahim as.

Adapun manfaat kita memahami kaidah di atas “Al wajibu La Yutraku Illa
bil wajib” adalah sebagai berikut:

a. Pertama, memperhatikan ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah tersebut


akan menjaga gambaran seorang muslim dari hal-hal yang tidak sesuai
dengan syariat dan sekaligus memantapkan pikirannya tentang gambaran
tersebut. Telah dimaklumi bahwa seorang muslim apabila menghadapi
suatu masalah tanpa kaidah akan terombang-ambing di dalam
perbuatannya. Baik terhadap diri, keluarganya, masyarakat maupun
umatnya. Dari sinilah kita mengetahui pentingnya ketentuan-ketentuan dan
kaidah-kaidah itu karena dia akan mengatur akal seorang muslim didalam
gambaran-gambarannya yang merupakan sumber dari perbuatannya
didalam diri, keluarga, ataupun masyarakatnya.

b. Kedua, memperhatikan ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah tersebut


akan menjaga seorang muslim dari kesalahan, karena kalau dia berjalan
hanya berlandaskan di atas pendapatnya saja didalam menghadapi apa
yang dia temui atau dalam menghadapi suatu masalah. jika telah tampak
dan mencari jalan keluar dengan mengandalkan akal pikirannya saja tanpa
peduli dengan kaidah-kaidah maka dikhawatirkan akan terjerumus
kedalam kesalahan dan jika itu terjadi maka akan berakibat fatal karena
kesalahan ini akan bercabang dan berkembang dan mungkin juga
bertambah.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

9
Hukum hasil ijtihad terdahulu tidak batal karena adanya hukum hasil
ijtihad kemudian, sehingga salah semua perbuatan yang berdasarkan ijtihad
terdahulu, tetapi untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan
adanya hukum hasil ijtihad yang baru. Yang demikian ini karena: Pertama, nilai
ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari hasil ijtihad
pertama. Kedua, apabila suatu ketetapan hukum hasil ijtihad dapat dibatalkan oleh
ijtihad yang lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum.

Kaidah At tabi’u yasquthu bisuquuthi al matbuu’ yang artinya “Pengikut


menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”. Kaidah At taabi’ulaayafridu bi al
hukmun artinya “hukum sesuatu yang mengikuti tidak menyendiri” Ini karena
hukum sesuatu yang mengikuti dijadikan untuk mengikuti hukum yang diikutinya.
Contohnya :anak kambing di dalam perut tidak boleh dijual dengan sendirinya,
terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut. Kaidah Yughtafaru
fi at tawaabi’ maa laayughtafaru fi ghairihi yaitu “Dapat dimaafkan pada hal
yang mengikuti dan tidakdimaafkan pada yang lainnya”.

DAFTAR PUSTAKA

Ade Gumelar,dkk, Kaidah Kulliyah Sughro 1-12, Fakultas Syariah dan Hukum,
(2018).

10
Studocu, Qawaidh Fiqhiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, (2018).

Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Quzwini, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar
al-Fikr, juz 2.

11

Anda mungkin juga menyukai