Kaidah Kulliyah Sughra-1
Kaidah Kulliyah Sughra-1
Oleh : Kelompok 9
Rasyiqah Qamarani (2102050013)
Segala puji bagi Allah SWT. Karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya,
atas anugerah hidup serta kesehatan yang telah saya terima, dan petunjuk-Nya
sehingga saya bisa menyusun makalah ini. Di makalah ini, saya sebagai penyusun
hanya sebatas ilmu yang bisa saya sajikan dengan judul “Kaidah Kulliyah
Sughra”.
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I PEMBAHASAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
a. Kesimpulan................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum
kully(menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Manfaat
keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah menyediakan pedoman yang lebih praktis
yang diturunkan dari teks dan jiwa nash dari al-Qur'an dan al-Hadis yang
digeneralisasi dengan teliti oleh para ulama terdahulu dengan memperhatikan
beragam kasus fiqh yang pernah terjadi, sehingga hasilnya mudah diterapkan
kepada masyarakat luas.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Al Ijtihad La Yunqad Bil Ijtihad?
2. Apakah pengertian Idza Ijtama’a Amrani Min Jinsin Wahidin Wa Lam
Yakhtalif Maqsuduhuma Dakhala Ahaduhuma Fil Akhiri Ghaliban?
3. Apakah pengertian At-Tabi Tabi’; dan At-tabi’u Yasquthu Bisuquthi Al-
Matbu’?
4. Apakah pengertian At-Tabi’ La Yataqaddam ‘Ala Al-Matbu’; At-Tabi’ La
Yufarridu Bil Hukmi; dan Yughtafau Fi At-Tawabi’ Ma La Yughtafar Fi
Ghairihi?
5. Apakah pengertian Ar-Ridha Bi Asy’-Ssyai Ridha Bi Ma La Yatawalladu
Minhu?
6. Apakah pengertian La Yunsabu ila Saqit Qaulun Wa Lakinna Sukut Fi
M’radhi al Hajat ila al’Bayani Bayanun; dan Al-Wajib La Yutraku Illa bil
Wajib?
1
BAB II
PEMBAHASAN
Makna dari ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad adalah ijtihad
yang sudah disepakati sebelumnya tidak dapat diganggu-gugat atas ijtihad
yang baru sebab kedudukan masing-masing hasil ijtihad sama, dan masing-
masing ijtihad tidak ada yang istimewa. Juga, masing-masing ijtihad tidak bisa
saling membatalkan.
Hukum hasil ijtihad terdahulu tidak batal karena adanya hukum hasil
ijtihad kemudian, sehingga salah semua perbuatan yang berdasarkan ijtihad
terdahulu, tetapi untuk perbuatan kemudian hukumnya telahberubah dengan
adanya hukum hasil ijtihad yang baru. Demikian ini karena: Pertama, nilai
ijtihad adalahsama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari hasil
ijtihad pertama. Kedua, apabila suatu ketetapan hukum hasil ijtihad dapat
dibatalkan oleh ijtihad yang lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian
hukum.
Contohnya: seseorang yang berhadas kecil dan berhadas besar
kemudian ia mandi untuk menghilangkan hadas besar, maka kedua hadas
tersebut sudah hilang. Karena kedua masalah tersebut sama, yang besar dapat
mengikuti yang kecil, tetapi sebaliknya tidak. Demikian juga dengan
seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis kemudian di tujuh hari pertama
bulan syawal berpuasa, maka kedua puasa itu dianggap sah dan mempunyai
dua pahala. Atau apabila seseorang memasuki sebuah masjid kemudian ia
langsung melaksanakan shalat fardhu, maka shalat tahiyyatul masjid sudah
tercakup.1
1
Ade Gumelar,dkk, Kaidah Kulliyah Sughro 1-12, Fakultas Syariah dan Hukum, (2018),
hlm. 3-4.
2
B. Idza Ijtama’a Amrani Min Jinsin Wahidin Wa Lam Yakhtalif
Maqsuduhuma Dakhala Ahaduhuma Fil Akhiri Ghaliban
إذااجاتمعأمرادمنجانسواحدالميجتالفمقصودهمادخاالاحدهمافياآلخا
رغاالبا
"Apabila dua perkara sejenis berkumpul serta tidak berbeda maksudnya, maka
yang satu dimasukkan kepada yang lain menurut kebiasaannya"
Contoh: Seseorang yang berhadas kecil dan berhadas besar kemudian ia
mandi untuk menghilangkan hadas besar, maka kedua hadas tersebut sudah hilang
Karena kedua masalah tersebut sama, yang besar dapat mengikuti yang kecil,
namun Sebaliknya tidak demikian ketika dengan seseorang yang terbiasa puasa
senin kamis kemudian di tujuh hari pertama bulan Syawal puasa, maka puasa
kedua itu dianggap sah dan mendapat dua pahala.2
َالَّتاِبُع َتاِبٌع.
Maksud kaidah ini bahwa segala sesuatu yang keberadaannya ikut bersama
barang lain maka status hukumnya sama dengan yang diikuti (matbu’). Status
yang diberlakukan terhadap induk yang diikuti juga berlaku sama terhadap yang
mengikuti. Keterikutan sesuatu terhadap sesuatu yang lain dapat digambarkan
dalam tiga bentuk. Pertama, memang menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan, seperti kulit dengan binatang ternak, bangunan dengan
temboknya. Kedua, dapat dipisahkan secara mandiri, namun menjadi keharusan
yang wajib ada sebagai satu paket, seperti kunci dan gemboknya, keris dan
gagang juga warangkanya. Ketiga, memang menjadi lahan yang mesti ditempati,
seperti pohon dan tanahnya.
2
Studocu, Qawaidh Fiqhiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, (2018), hlm. 7.
3
Aplikasi kaidah ini diantaranya:
4
D. At-Tabi’ La Yataqaddam ‘Ala Al-Matbu’; At-Tabi’ La
Yufarridu Bil Hukmi; dan Yughtafau Fi At-Tawabi’ Ma La
Yughtafar Fi Ghairihi
3
Ade Gumelar, Op.Cit, hlm. 5.
5
b. Mewakafkan sebidang kebun yang tanaman nya sudah rusak, maka wakaf
itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.
6
Contoh penerapannya yaitu apabila seseorang yang telah ridha membeli
barang yang telah cacat, maka manakala cacat itu bertambah berat, maka tidak ada
alternatif lain baginya, kecuali harus menerimanya.4
Kaidah ini berarti “Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih
banyak manfaat/keutamaan nya.”
Dasar dari kaidah ini adalah sabda Nabi saw kepada Aisyah ra.
Bahwasanya; “Pahalamu adalah berdasar kadar usahamu.”
4
Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Quzwini, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar al-Fikr,
juz 2, hlm. 737.
7
mengandung satu ketentuan dalam penentuan hukum fiqih. Arti dari kaidah
tersebut adalah “sesuatu yang wajib itu tidak dapat ditinggalkan kecuali untuk
memenuhi kewajiban itu sendiri”. Dari arti kaidah ini dapat diperoleh kejelasan
bahwa sesuatu yang wajib dapat ditinggalkan asalkan untuk memenuhi kewajiban
itu sendiri.
Dalam beberapa kasus, kaidah ini dapat diterapkan dengan baik. Hal ini
dikarenakan kaidah ini sesuai dengan kondisi yang terjadi. Misalkan beberapa
kasus di bawah ini:
a. Kasus pertama, ada seseorang yang mencuri uang 150 jt. Setelah tidak
lama melakukan pencurian akhirnya pencurinya tertangkap. Sesuai dengan
hukum islam maka hukuman bagi orang yang mencuri adalah dipotong
tangannya. Apabila disesuaikan dengan kaidah ini maka adanya potong
tangan merupakan sebuah keharusan yang harus dilaksanakan karena jika
ditinggalkan maka akan menyalahi hukuman yang telah ditetapkan. Jadi,
dilakukannya hukum potong tangan tidak boleh ditinggalkan karena untuk
memenuhi kebutuhan hukuman yang sesuai dengan apa yang sudah diatur
dalam teks atau nash al-Qur’an.
b. Kasus kedua, ada seorang muslimah yang tersesat di tengah hutan dan
tidak ada apapun yang bisa dimakan kecuali bangkai babi yang ada
dihadapannya. Sesuai dengan hukum islam yang tertera dalam teks atau
nash maka babi tersebut tidak boleh dimakan karena diharamkan. Akan
tetapi sesuatu yang diwajibkan itu “tidak makan daging babi karena
diharamkan sesuai teks al-Qur’an” dapat ditinggalkan karena perlunya
memenuhi kewajiban yang lain yaitu menjaga eksistensi hidup “Khifdzun
Nafs” seperti yang sering dicantumkan dalam berbagai literatur yang
disebut “Maqasidus Syari’ah al Khamsah”. Hal ini disebabkan juga adanya
sebab khusus dimana menyebabkan Syquthul Khukmi.
8
aurat adalah sebuah kewajiban. Akan tetapi hal itu dapat ditinggalkan atau
dilanggar dengan alasan memenuhi kewajiban yang lain yaitu untuk
melaksanakan khitan di mana hal tersebut dimaksudkan untuk mensucikan
“pusaka laki-laki” dari segala bentuk najis yang ada. Selain itu, adanya
keharusan untuk itba’ terhadap sunnahnya Nabi Ibrahim as.
Adapun manfaat kita memahami kaidah di atas “Al wajibu La Yutraku Illa
bil wajib” adalah sebagai berikut:
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
9
Hukum hasil ijtihad terdahulu tidak batal karena adanya hukum hasil
ijtihad kemudian, sehingga salah semua perbuatan yang berdasarkan ijtihad
terdahulu, tetapi untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan
adanya hukum hasil ijtihad yang baru. Yang demikian ini karena: Pertama, nilai
ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari hasil ijtihad
pertama. Kedua, apabila suatu ketetapan hukum hasil ijtihad dapat dibatalkan oleh
ijtihad yang lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ade Gumelar,dkk, Kaidah Kulliyah Sughro 1-12, Fakultas Syariah dan Hukum,
(2018).
10
Studocu, Qawaidh Fiqhiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, (2018).
Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Quzwini, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar
al-Fikr, juz 2.
11