Gesit Purnama
Departemen Kesehatan THT – KL
Fakultas Kedokteran Universitas Isalam Indonesia
Yogyakarta
2021
Deviasi septum
2
hidung
Faringitis akut 4 Furunkel pada
4
Faringitis kronik 3A hidung Sinusitis akut 4
Rhinitis akut 4 Sinusitis frontal akut 2
Tonsilitis akut 4
Rhinitis vasomotor 4 Sinusitis maksilaris
Tonsilitis kronik 3A 3A
Rhinitis alergika 4 akut
Laringitis akut 4 Rhinitis kronik 3A Sinusitis kronik 3A
Laringitis kronik 3A Rhinitis medikamentosa 3A Benda asing 3B
Hipertrofi adenoid 2 Epistaksis 4
Abses peritonsillar 3A Polip 2
Sindroma Croup 3B LPRD Fraktur nasal 3A
Karsinoma laring 2 Stomatitis Tumor sinonasal 2
Karsinoma nasofaring 2 Kepala dan Leher
Fistula dan kista
Trakea
brankial lateral dan 2
Trakeitis 2 medial
Aspirasi 3B Higroma kistik 2
Benda asing di Tortikolis 3A
3B
trakea Tumor colli 2
Abses Bezold 3A
Rinitis Atrofi
Istilah lain :
• Ozaena
• Dry Rhinitis
• Rhinitis Sicca
• Open-nose syndrome
Etiologi
Primary atrophic rhinitis
• Hereditary factors
• Infections and infectious agents –Klebsiella sp.
• Nutritional deficiency
• Phospholipid deficiency
• Autonomic disorders
• Endocrine imbalances
• Allergy and immune disorders.
Dutt, S., & Kameswaran, M. (2005). The aetiology and management of
atrophic rhinitis. The Journal of Laryngology & Otology, 119(11), 843-852
Etiologi
Skunder
• Komplikasi operasi sinus
• Komplikasi radiasi
• Trauma hidung
• Penyakit granulomatosa
• Sarcoid
• Kusta
• Rhinoscleroma
• Tuberkulosis
• Sipilis Dutt, S., & Kameswaran, M. (2005). The aetiology and management of
atrophic rhinitis. The Journal of Laryngology & Otology, 119(11), 843-852
Patologi
Perubahan mukosa hidung Rongga hidung menjadi luas
Furunkel
• Kompres hangat
• Antibiotik topical dan sistemik
• Pustula matang : insisi drainase
• Tidak boleh dimanipulasi dan diinsisi jika pustula
belum matang meningkatkan resiko intrakranial
Terapi
Vestibulitis
Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 126-127.
Etiologi
• Trauma
• Ketidakseimbangan pertumbuhan
Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 126-127.
Klasifikasi
• Deviasi septum menurut Mladina
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih
belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih
normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan
rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.
Baumann I, Baumann H. A New Classification of Septal Deviations. Department of
Otolaryngology, Head and Neck Surgery, University of Heidelberg : Germany.
Journal of Rhinology, 2007; 45 : 220-223.
Deviasi septum menurut Mladina
Jin HR, Lee JY, Jung WJ. New Description Method and Classification System for
Septal Deviation. Department of Otorhinolaryngology, Seoul National University,
College of Medicine, Boramae Hospital : Seoul. Journal Rhinology, 2007; 14 : 27-
31
Jin HR, Lee JY, Jung WJ. New Description Method and Classification System for
Septal Deviation. Department of Otorhinolaryngology, Seoul National University,
College of Medicine, Boramae Hospital : Seoul. Journal Rhinology, 2007; 14 : 27-
31
Gejala
♣ Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
♣ Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
♣ Perdarahan hidung (epistaksis)
♣ Infeksi sinus (sinusitis)
♣ Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan
postnasal drip.
♣ Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama
pada bayi dan anak
Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 126-127.
Diagnosis
• Inspeksi langsung pada batang
hidungnya.
• Rinoskopi anterior
• Radiologi
Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 126-127.
Tatalaksana
♣ Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu
dilakukan tindakan koreksi septum.
♣ Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
♣ Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan
hidung.
♣ Pembedahan
Bull PD. The Nasal Septum. In : Lecture Notes on Diseases of The Ear, Nose and
Throat. Ninth Edition. USA : Blackwell Science Ltd. 2002 : p. 81-85.
POLIP HIDUNG
• Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak
cairan dalam rongga hidung, warna putih keabuan, yang dapat
terjadi akibat inflamasi mukosa. Diduga predisposisi polip
adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin
banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para
ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi
masih belum diketahui dengan pasti.
Hafil AF, Sosialisman, Helmi. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala & leher. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2012.
Tatalaksana
Hafil AF, Sosialisman, Helmi. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala & leher. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2012.
Corpus Alienum Tenggorok,
Trakhea, Esofagus
Faktor predisposisi :
1. Personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi social,
tempat tinggal)
2. Kegagalan mekanisme proteksi normal (tidur, penkes,
epilepsy)
3. Faktor fisik (kelainan anatomis dan neurologis)
4. Proses menelan yang belum sempurna
5. Faktor kecerobohan
Etiologi
Viabilitas:
Hidup dan mati
Asal : Radiologis :
eksogen dan
Benda
lusen dan
endogen Asing opak
Jenis :
Organik dan
anorganik
Diagnosa
• Anamnesis
• Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan Radiologi
• Pemeriksaan Endoskopi
Gejala dan Tanda
Observasi
Pemeriksaan
Radiologi Endoskopi
fisik
Observasi
Tatalaksana
• Evakuasi korpal
• Terapi antibiotik dan simptomatik
• Oksigenasi
• Tindakan Back Blow dan Hilmich manuver (5 & 5)
• Rujuk dengan stabilisasi jalan nafas
Tatalaksana
• Orofaring dan
hipofaring : evakuasi
menggunakan foreign
body forceps
• Trakhea : evakuasi
menggunakan
bronkoskopi
• Esofagus : evakuasi
menggunakan
esofagoskopi rigid
Refluks Laringofaring (RLF)
Refluks laringofaring (RLF) didefinisikan sebagai pergerakan
retrograd atau aliran balik isi lambung ke laring, faring, dan
traktus aerodigestif atas.
The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck
Surgery mengambil nama “Laryngopharyngeal Reflux” pada
tahun 2002 untuk menggambarkan aliran balik isi lambung
tersebut.