Anda di halaman 1dari 59

PENYAKIT

HIDUNG DAN TENGGOROK

Gesit Purnama
Departemen Kesehatan THT – KL
Fakultas Kedokteran Universitas Isalam Indonesia
Yogyakarta
2021
Deviasi septum
2
hidung
Faringitis akut 4 Furunkel pada
4
Faringitis kronik 3A hidung Sinusitis akut 4
Rhinitis akut 4 Sinusitis frontal akut 2
Tonsilitis akut 4
Rhinitis vasomotor 4 Sinusitis maksilaris
Tonsilitis kronik 3A 3A
Rhinitis alergika 4 akut
Laringitis akut 4 Rhinitis kronik 3A Sinusitis kronik 3A
Laringitis kronik 3A Rhinitis medikamentosa 3A Benda asing 3B
Hipertrofi adenoid 2 Epistaksis 4
Abses peritonsillar 3A Polip 2
Sindroma Croup 3B LPRD Fraktur nasal 3A
Karsinoma laring 2 Stomatitis Tumor sinonasal 2
Karsinoma nasofaring 2 Kepala dan Leher
Fistula dan kista
Trakea
brankial lateral dan 2
Trakeitis 2 medial
Aspirasi 3B Higroma kistik 2
Benda asing di Tortikolis 3A
3B
trakea Tumor colli 2
Abses Bezold 3A
Rinitis Atrofi
Istilah lain :
• Ozaena
• Dry Rhinitis
• Rhinitis Sicca
• Open-nose syndrome
Etiologi
Primary atrophic rhinitis
• Hereditary factors
• Infections and infectious agents –Klebsiella sp.
• Nutritional deficiency
• Phospholipid deficiency
• Autonomic disorders
• Endocrine imbalances
• Allergy and immune disorders.
Dutt, S., & Kameswaran, M. (2005). The aetiology and management of
atrophic rhinitis. The Journal of Laryngology & Otology, 119(11), 843-852
Etiologi
Skunder
• Komplikasi operasi sinus
• Komplikasi radiasi
• Trauma hidung
• Penyakit granulomatosa
• Sarcoid
• Kusta
• Rhinoscleroma
• Tuberkulosis
• Sipilis Dutt, S., & Kameswaran, M. (2005). The aetiology and management of
atrophic rhinitis. The Journal of Laryngology & Otology, 119(11), 843-852
Patologi
Perubahan mukosa hidung Rongga hidung menjadi luas

Menjadi kuboid atau epitel skuamosa infiltrasi seluler kronis,


bertingkat (metaplasia) dengan atau granulasi dan fibros.
tanpa keratinisasi
Atrofi silia, kelenjar
Sekresi mukus sedikit mukosa dan submukosa

Infeksi bakteri sekunder


kerak kuning kehijauan

Dutt, S., & Kameswaran, M. (2005). The aetiology and management of


atrophic rhinitis. The Journal of Laryngology & Otology, 119(11), 843-852
Gejala dan Tanda
• Gangguan penciuman
• Bau busuk (kakosmia)
• Pengerasan kulit hidung yang luas
• Hidung tersumbat
• Pembesaran rongga hidung
• Resorpsi atau tidak adanya turbinat
• Metaplasia skuamosa pada mukosa hidung
• Depresi
Dutt, S., & Kameswaran, M. (2005). The aetiology and management of
atrophic rhinitis. The Journal of Laryngology & Otology, 119(11), 843-852
Diagnosis
• Trias klinis : kakosmia, krusta kehijauan, rongga hidung
lapang.
• Pemeriksaan penunjang :
• Kultur – Klebsiela sp
• Darah lengkap – Gangguan darah dan Imunologi
• Radiologi – Anatomi

Dutt, S., & Kameswaran, M. (2005). The aetiology and management of


atrophic rhinitis. The Journal of Laryngology & Otology, 119(11), 843-852
Terapi
• Nasal irrigation and douches
• Glucose–glycerine nose drops
• Antibiotics and antimicrobials
• Iron, zinc, protein and vitamin (A and D) supplements
• Tindakan bedah

• Dutt, S., & Kameswaran, M. (2005). The aetiology and management


of atrophic rhinitis. The Journal of Laryngology & Otology, 119(11),
843-852
• Weir N, Golding-Wood DG. Infective rhinitis and sinusitis. In: Mackay
IS, Bull TR, eds. Scott-Brown’s Otolaryngology, 6th edn. Oxford:
Butterworth-Heinemann, 1997;4:4,8,26–8
Folikulitis, Furunkel,
Vestibulitis
Flora normal :
• Staphylococcus koagulase negative
• Differoid aerob
• Staphylococcus aureus
• Streptococcus viridans
• Meningococci
• Moraxxella
Lipschitz, N., Yakirevitch, A., Sagiv, D., Migirov, L., Talmi, Y. P., Wolf, M., & Alon, E.
E. (2017). Nasal vestibulitis: etiology, risk factors, and clinical characteristics.
Diagnostic Microbiology and Infectious Disease, 89(2), 131–134
Patofisiologi
Pertumbuhan bakteri pathogen potensial dan infeksi

Benda Sering Korek


DM
asing sisi hidung
Folikulitis Furunkel
• Peradangan pada folikel • Suatu nodul inflamasi berisi
• , rambut pus yang terletak di sekitar
• Etiologi : infeksius maupun non folikel rambut, biasanya
infeksius merupakan kelanjutan dari
• Gejala : rasa gatal sampai nyeri folikulitis dan dapat
• Tanda : Papula dengan ukuran berkembang menjadi abses
< 5 mm dengan dasar • Keluhan : benjolan nyeri di
eritematous, daerah sentral dalam vestibulum hidung,
tampak rambut/bulu mungkin pecah secara spontan
dan mengeluarkan nanah
• Tanda : pustula dengan dasar
Lipschitz, N., Yakirevitch, A., Sagiv, D., Migirov, L., Talmi, Y. P., Wolf, M., & Alon, E. eritematus
E. (2017). Nasal vestibulitis: etiology, risk factors, and clinical characteristics.
Diagnostic Microbiology and Infectious Disease, 89(2), 131–134
Vestibulitis
• Peradangan atau infeksi pada kulit vestibulum nasi
• Keluhan : kulit vestibulum bisa terasa nyeri dan tebal
• Tanda : krusta dan iritasi pada nares anterior dan
obstruksi nasi
• Vestibulitis bisa kelanjutan dari folikulitis atau furunkel
• Akut : kulit vestibulum dapat tampak kemerahan,
bengkak, terdapat krusta di atas daerah dengan
ekskoriasi
• Kronis : indurasi kulit vestibulum dengan penampakan
fisura dan krusta
Lipschitz, N., Yakirevitch, A., Sagiv, D., Migirov, L., Talmi, Y. P., Wolf, M., & Alon, E.
E. (2017). Nasal vestibulitis: etiology, risk factors, and clinical characteristics.
Diagnostic Microbiology and Infectious Disease, 89(2), 131–134
Terapi
Folikulitis

• Kompres hangat dengan cairan normal saline


• Antibiotik topical (eritromisin atau mupirosin)

Furunkel

• Kompres hangat
• Antibiotik topical dan sistemik
• Pustula matang : insisi drainase
• Tidak boleh dimanipulasi dan diinsisi jika pustula
belum matang meningkatkan resiko intrakranial
Terapi
Vestibulitis

Pembersihan krusta pada kulit vestibulum


dengan aplikator kapas yang dicelupkan
pada hydrogen peroksida
• Aplikasi salep antibiotic dan steroid
• Obat simptomatik
komplikasi : Abses septum nasi dan labialis
oris superior
• Thrombosis sinus cavernosus
• Cellulitis bibir atas Lipschitz, N., Yakirevitch, A., Sagiv, D., Migirov, L., Talmi, Y. P., Wolf, M., & Alon, E.
E. (2017). Nasal vestibulitis: etiology, risk factors, and clinical characteristics.
Diagnostic Microbiology and Infectious Disease, 89(2), 131–134
DEVIASI SEPTUM
• Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan
posisi septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial
tubuh

Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 126-127.
Etiologi
• Trauma
• Ketidakseimbangan pertumbuhan

Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 126-127.
Klasifikasi
• Deviasi septum menurut Mladina
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih
belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih
normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan
rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.
Baumann I, Baumann H. A New Classification of Septal Deviations. Department of
Otolaryngology, Head and Neck Surgery, University of Heidelberg : Germany.
Journal of Rhinology, 2007; 45 : 220-223.
Deviasi septum menurut Mladina

Baumann I, Baumann H. A New Classification of Septal Deviations. Department of


Otolaryngology, Head and Neck Surgery, University of Heidelberg : Germany.
Journal of Rhinology, 2007; 45 : 220-223.
Deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya keluhan :
• 1) Ringan Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan
belum ada bagian septum yang menyentuh dinding lateral
hidung.
• 2) Sedang Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi
ada sedikit bagian septum yang menyentuh dinding lateral
hidung.
• 3) Berat Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh
dinding lateral hidung
Jin HR, Lee JY, Jung WJ. New Description Method and Classification System for
Septal Deviation. Department of Otorhinolaryngology, Seoul National University,
College of Medicine, Boramae Hospital : Seoul. Journal Rhinology, 2007; 14 : 27-
31
Bentuk dari deformitas septum
nasi
• Spina dan Krista Merupakan penonjolan tajam tulang atau
tulang rawan septum yang dapat terjadi pada pertemuan vomer
di bawah dengan kartilago septum dan atau os ethmoid di
atasnya.
• Bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila
sangat runcing dan pipih disebut spina. Tipe deformitas ini
biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi vertikal.

Jin HR, Lee JY, Jung WJ. New Description Method and Classification System for
Septal Deviation. Department of Otorhinolaryngology, Seoul National University,
College of Medicine, Boramae Hospital : Seoul. Journal Rhinology, 2007; 14 : 27-
31
Jin HR, Lee JY, Jung WJ. New Description Method and Classification System for
Septal Deviation. Department of Otorhinolaryngology, Seoul National University,
College of Medicine, Boramae Hospital : Seoul. Journal Rhinology, 2007; 14 : 27-
31
Gejala
♣ Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
♣ Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
♣ Perdarahan hidung (epistaksis)
♣ Infeksi sinus (sinusitis)
♣ Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan
postnasal drip.
♣ Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama
pada bayi dan anak
Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 126-127.
Diagnosis
• Inspeksi langsung pada batang
hidungnya.
• Rinoskopi anterior
• Radiologi

Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 126-127.
Tatalaksana
♣ Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu
dilakukan tindakan koreksi septum.
♣ Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
♣ Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan
hidung.
♣ Pembedahan

Bull PD. The Nasal Septum. In : Lecture Notes on Diseases of The Ear, Nose and
Throat. Ninth Edition. USA : Blackwell Science Ltd. 2002 : p. 81-85.
POLIP HIDUNG
• Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak
cairan dalam rongga hidung, warna putih keabuan, yang dapat
terjadi akibat inflamasi mukosa. Diduga predisposisi polip
adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin
banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para
ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi
masih belum diketahui dengan pasti.

Mangunkusumo, Endang. Wardani, Retno S. 2007. Polip Hidung dalam Soepardi,


Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Patogenesis
• Teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat
peradangan atau turbulensi udara, kemudian prolaps
submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan
kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium
oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga
terbentuk polip.
• Teori peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi
vaskular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel
mast, yang akan menyebabkan edema dan lama kelamaan
menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung
dengan membentuk tangkai. Mangunkusumo, Endang. Wardani, Retno S. 2007. Polip Hidung dalam Soepardi,
Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Gejala
• Hidung tersumbat ringan sampai berat,
• Rinore mulai jernih sampai purulen,
• Hiposmia atau anosmia.
• Bersin
• Post nasal drip
• Suara sengau
• Halitosis
• Gangguan tidur
Mangunkusumo, Endang. Wardani, Retno S. 2007. Polip Hidung dalam Soepardi,
Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tanda
Rinoskopi anterior terlihat sebagai massa
warna pucat yang berasal dari meatus
medius dan mudah digerakkan.

Pembagian stadium polip menurut Mackay


dan Lund (1997),
• Stadium 1: terbatas di meatus medius
• Stadium 2: polip sudah keluar dari
meatus medius, tampak di rongga hidung
tapi belum memenuhi rongga hidung
• Stadium 3: polip yang masif
Mangunkusumo, Endang. Wardani, Retno S. 2007. Polip Hidung dalam Soepardi,
Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pemeriksaan Penunjang
• CT sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas apakah ada
proses radang, kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada
kompleks ostiomeatal.
• Nasoendoskopi
Tatalaksana

❑ Pemberian kortikosteroid topikal atau


sistemik untuk menghilangkan polip
sebagai polipektomi medikamentosa • Menghilangkan keluhan
❑ Polip tipe eosinofilik berespon lebih baik • Mencegah komplikasi
dibanding neutrofilik. Kasus polip yang tidak • Mencegah rekurensi polip.
membaik dengan terapi medikamentosa
atau polip yang sangat masif
dipertimbangkan untuk terapi bedah

Mangunkusumo, Endang. Wardani, Retno S. 2007. Polip Hidung dalam Soepardi,


Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Corpus Alienum Cavum Nasi
Gejala dan Tanda

Hafil AF, Sosialisman, Helmi. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala & leher. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2012.
Tatalaksana

Hafil AF, Sosialisman, Helmi. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala & leher. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2012.
Corpus Alienum Tenggorok,
Trakhea, Esofagus
Faktor predisposisi :
1. Personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi social,
tempat tinggal)
2. Kegagalan mekanisme proteksi normal (tidur, penkes,
epilepsy)
3. Faktor fisik (kelainan anatomis dan neurologis)
4. Proses menelan yang belum sempurna
5. Faktor kecerobohan
Etiologi
Viabilitas:
Hidup dan mati

Asal : Radiologis :
eksogen dan
Benda
lusen dan
endogen Asing opak

Jenis :
Organik dan
anorganik
Diagnosa

• Anamnesis
• Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan Radiologi
• Pemeriksaan Endoskopi
Gejala dan Tanda

Tenggorok Trakhea Esofagus


o Nyeri o Batuk hilang o Mengganjal
o Mengganjal timbul o Sulit menelan
o Berdehem o Tersedak o Nyeri menjalar
o Tersedak o Sesak nafas kedaerah sternum
o Banyak meludah o Gelisah o Muntah
o Batuk o Stridor inspirasi o Gelisah
o Gelisah o Palpatory thud
o Sesak nafas o Audible snap
o Sianosis
Pemeriksaan

Observasi

Pemeriksaan
Radiologi Endoskopi
fisik

Observasi
Tatalaksana

• Evakuasi korpal
• Terapi antibiotik dan simptomatik
• Oksigenasi
• Tindakan Back Blow dan Hilmich manuver (5 & 5)
• Rujuk dengan stabilisasi jalan nafas
Tatalaksana
• Orofaring dan
hipofaring : evakuasi
menggunakan foreign
body forceps
• Trakhea : evakuasi
menggunakan
bronkoskopi
• Esofagus : evakuasi
menggunakan
esofagoskopi rigid
Refluks Laringofaring (RLF)
Refluks laringofaring (RLF) didefinisikan sebagai pergerakan
retrograd atau aliran balik isi lambung ke laring, faring, dan
traktus aerodigestif atas.
The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck
Surgery mengambil nama “Laryngopharyngeal Reflux” pada
tahun 2002 untuk menggambarkan aliran balik isi lambung
tersebut.

Belafsky, et al., 2001


Patofisiologi
Refluks gaster berisi asam, pepsin, empedu, dan tripsin, melewati
esofagus sebagai RGE dan masuk ke laringofaring sebagai RLF.

▪ Teori 1, melalui kontak langsung dengan asam dan pepsin.


▪ Teori 2, refluks gaster sendiri tidak cukup untuk menyebabkan
luka --> trauma tambahan --> lesi mukosa.
▪ Teori 3, refleks esofageal-bronkial --> asam di esofagus distal
menstimulasi refleks vagal --> batuk kronis --> gejala dan lesi
laringeal

Blumin & Johnston, 2014


Diagnosis
• Riwayat penyakit
dan penilaian klinis
• RSI
• RFS
• Uji diagnostik yang
paling akurat adalah
24-h esophageal pH
monitoring

Yazici, et al., 2010 , Belafsky et al., 2002


Reflux Symptom Index (RSI)
Dalam 1 bulan terakhir, apakah Anda 0 = tidak ada
menderita : masalah 5 =
sangat berat
▪ Serak atau masalah dengan suara 1 2 3 4 5
▪ Mendehem 1 2 3 4 5
▪ Terasa ada dahak atau postnasal drip 1 2 3 4 5
▪ Kesulitan menelan makanan, air, atau pil 1 2 3 4 5
▪ Batuk setelah makan atau setelah 1 2 3 4 5
berbaring
▪ Kesulitan bernafas atau tersedak 1 2 3 4 5
▪ Batuk yang mengganggu 1 2 3 4 5 Dikatakan RLF bila Skor > 13
▪ Sensasi ada sesuatu yang lengket di 1 2 3 4 5 (Belafsky, et al., 2002)
tenggorok atau benjolan di tenggorok
▪ Dada terasa terbakar, nyeri dada, 1 2 3 4 5
gangguan lambung
Woo & Hasselt, 2008; Ma & Cao, 2010;
Hu et al., 2014; Wei & Chua, 2014
1
Reflux Finding Score (RFS)
Edema subglotis 0 = tidak ada 2 = ada
Obliterasi ventrikular 2 = parsial 4 = komplit
Eritema/hiperemia 2 = hanya aritenoid 4 = difus
1 = ringan 2 = sedang
Edema plika vokalis
3 = berat 4 = polipoid
1 = ringan 2 = sedang
Edema larings difus
3 = berat 4 = obstruksi
1 = ringan 2 = sedang
Hipertrofi komisura posterior
3 = berat 4 = obstruksi
Granuloma/ jaringan granulasi 0 = tidak ada 2 = ada
Thick endolaryngeal mucus 0 = tidak ada 2 = ada
TOTAL Dikatakan RLF bila skor >7
(a) pseudosulkus vokalis bilateral (a) ventrikular laring yang terbuka.
(b) sulkus vokalis sejati plika (b) obliterasi ventrikular. Plika
vokalis kanan vokalis sejati dan palsu bengkak.

(a) edema plika vokalis ringan.


(b) edema plika vokalis sedang
(c) edema plika vokalis berat. (a) komisura posterior normal (b)
(d) degenerasi polipoid plika vokalis sejati. hipertrofi komisura posterior
ringan(c) hipertrofi komisura
posterior sedang, (d) hipertrofi
komisura posterior berat

Belafsky, et al., 2001


Tatalaksana
• Modifikasi diet dan gaya hidup
• Proton Pump Inhibitor (PPI)
• Terapi Pembedahan
Stomatitis Aftosa Rekuren

• Suatu peradangan yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya


berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser
tunggal maupun lebih dari satu.
• Menyerang mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa
bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum
lunak dan mukosa orofaring

Strassler HE. Recurrent aphthous stomatitis. Januari 2015


Etiologi
MULTIFAKTORIAL

pasta gigi dan obat kumur Stres


sodium lauryl sulphate (SLS) defisiensi nutrisi
trauma, genetic Hormonal
gangguan immunologi Merokok
alergi dan sensitifitas infeksi bakteri
obat-obatan penyakit sistemik
Strassler HE. Recurrent aphthous stomatitis. Januari 2015
Tahap perkembangan SAR
1. Tahap premonitori, 24 jam pertama, sensasi mulut terbakar
pada tempat dimana lesi akan muncul.
2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama, makula
dan papula akan berkembang dengan tepi eritematus.
Intensitas rasa nyeri akan meningkat

Scully C, Nur FL. The diagnosis and management of recurrent aphthous


stomatitis: A consesnsus approach. JADA 2003; 134: 200-7
Strassler HE. Recurrent aphthous stomatitis. Januari 2015
Tahap perkembangan SAR
3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga
2 minggu, papula akan berulserasi, intensitas nyeri yang
berkurang.
4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke - 4 hingga 35,
ulser tersebut akan ditutupi oleh epitelium. dan lesi baru
berkembang.

Scully C, Nur FL. The diagnosis and management of recurrent aphthous


stomatitis: A consesnsus approach. JADA 2003; 134: 200-7
Strassler HE. Recurrent aphthous stomatitis. Januari 2015
Strassler HE. Recurrent aphthous stomatitis. Januari 2015
Tatalaksana

1. Edukasi bertujuan untuk memberikan informasi mengenai


penyakit yang dialami yaitu SAR agar mereka mengetahui dan
menyadarinya.
2. Instruksi bertujuan agar dapat dilakukan tindakan
pencegahan dengan menghindari faktor-faktor yang dapat
memicu terjadinya SAR.
3. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala yang
dihadapi agar pasien dapat mendapatkan kualitas hidup yang
menyenangkan.

Scully C, Nur FL. The diagnosis and management of recurrent aphthous


stomatitis: A consesnsus approach. JADA 2003; 134: 200-7

Anda mungkin juga menyukai