Anda di halaman 1dari 95

BROMHIDROSIS

Bagian/ KSM IK Kulit dan Kelamin FK UNS/


RSUD dr. Moewardi

i
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982

Tentang Hak Cipta


1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii
BROMHIDROSIS

SEBELAS MARET UNIVERSITY PRESS

iii
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Muh.Eko Irawanto, dkk


Bromhidrosis. Cetakan 1. Surakarta. UPT UNS Press. 2015
viii + 88Hal.; 24.5 cm

BROMHIDROSIS
Hak Cipta ©Muh. EkoIrawanto, dkk.2015

Penulis

Muh. EkoIrawanto Moerbono Mochtar


Arie Kusumawardani Harijono Kariosentono
Nugrohoaji Dharmawan Nurrachmat Mulianto
Endra Y Ellistasari Suci Widhiati
Indah Julianto Danukusumo

Editor
Moerbono Mochtar
Indah Julianto Danukusumo
Endra Y Ellistasari

Ilustrasi Sampul
UPT UNS Press

Penerbit&Percetakan
UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)
Jl. Ir. Sutami No. 36 A Surakarta, Jawa Tengah , Indonesia 57126
Telp.(0271) 646994 Psw. 341 Fax. 0271-7890628
Website: www.unspress.uns.ac.id
Email: unspress_uns.ac.id

Cetakan 1, Edisi1, April 2015


Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
All Right Reserved

ISBN 978-979-498-…..

iv
PRAKATA

Bromhidrosis merupakan kondisi klinis yang ditandai dengan bau


badan yang dirasakan sangat menyengat, berasal dari interaksi antara
kelenjar apokrin dan mikroorganisme. Pada orang Asia, khususnya pada
wanita, bau badan menyengat terutama pada aksila sering menimbulkan
gangguan dalam fungsi sosial dan psikologis pada kehidupan sehari-hari,
seperti malu dan rendah diri. Berbagai upaya dilakukan untuk terapi
bromhidrosis aksila mulai dari terapi non bedah seperti sabun anti bakteri,
topikal antiperspirants, parfum, diodoran, antibiotik ataupun
iontoporesis. Berbagai terapi tersebut hanya bersifat sementara dan
terbatas sehingga kurang memberikan kepuasan kepada penderita.
Tindakan pembedahan merupakan pengobatan yang dilakukan
dengan cara invasif, seperti subcutaneous shaving, sedot lemak
superfisial atau ultrasonik, laser ablatif dan eksisi jaringan en bloc.
Modalitas terapi tersebut mungkin merupakan terapi yang paling
memuaskan hasilnya, tetapi memiliki peningkatan risiko morbiditas,
termasuk komplikasi, dan perlu waktu dalam pemulihan pasca operasi.
Untuk mengurangi berbagai risiko tersebut, maka diperlukan tindakan
yang cukup aman dan efektif sebagai terapi.
Penatalaksanaan bromhidrosis aksila yang tepat sesuai dengan
tingkat keparahan yang diderita pasien sangat diperlukan. Tindakan
kombinasi sedot lemak dan kuretase dengan menggunakan anestesi lokal
tumescent merupakan salah satu terapi yang cukup aman, relatif mudah
dan efektif. Pada saat akan melakukan terapi, diperlukan pemahaman
tentang persiapan dan tehnik operasi dengan baik, komunikasi efektif
pada penderita untuk menghindari harapan yang tidak realistis. Kondisi
tersebut diharapkan pada saat pelaksaanan tindakan bedah dapat
dilakukan dengan baik, diharapkan hasil yang tercapai dapat optimal,
mampu menghindari komplikasi yang berbahaya serta mengurangi angka
kekambuhan, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup penderita.
Penulisan buku ini diharapkan dapat menjadi suatu panduan dalam
penatalaksanaan bromhidrosis aksila dengan tehnik kombinasi sedot
lemak dan kuretase dengan menggunakan anestesi lokal tumescent.
Dalam buku ini kami juga mencoba telaah sistematik untuk melihat
angka keberhasilan berbagai terapi bromhidrosis aksila.

v
DAFTAR ISI

Prakata ............................................................................................... v
Daftar Isi ........................................................................................... vi

Bromhidrosis: Anatomidan Fisiologi Kelenjar Keringat............. 1


Muh. Eko Irawanto

Pre-Operative Assessement............................................................... 11
Arie Kusumawardani

Alat dan Bahan................................................................................. 21


Nugrohoaji Dharmawan

Anestesi Tumescent .......................................................................... 27


Endra Y Ellistasari

Bromhidrosis: Biological Pathogenesis and Management ............ 39


Indah Julianto Danukusumo

Tehnik Operasi pada Bromhidrosis ............................................... 53


Moerbono Mochtar

Monitoring Pasca Operasi pada Tindakan Bedah Bromhidrosis 65


Harijono Kariosentono

Komplikasi Penatalaksanaan Bromhidrosis ................................. 71


Nurrachmat Mulianto

Tindakan Intervensi pada Penanganan Bromhidrosis dan


Osmidrosis: Suatu Telaah Sistematik ............................................ 77
Suci Widhiati

vi
Bromhidrosis

Bromhidrosis: Anatomi dan


Fisiologi Kelenjar Keringat
Muh. Eko Irawanto
Bagian/ KSM IK Kulit dan Kelamin FK UNS/RSUD dr. Moewardi

PENDAHULUAN
Bau badan, yang biasanya berasal dari bau aksila dan bau kaki sering
tidak disadari oleh orang yang mengalaminya. Ketika diberitahu hal
tersebut, akibatnya menjadi malu dan kepercayaan diri menurun.
Keringat berlebih atau hiperhidrosis, khususnya pada aksila, menyebab-
kan bau yang tidak enak yang dapat menyebabkan malu dan rendah diri,
khususnya pada wanita. Hiperhidrosis disebabkan oleh sekresi keringat
yang berlebih. Oleh karena adanya jumlah air yang berlebih dimana
bakteri dapat tumbuh, hiperhidrosis sering disertai bromhidrosis.1
Bromhidrosis didefinisikan sebagai bau badan yang sangat berbau.2
Berbagai usaha digunakan untuk mengatasi bau badan
(bromhidrosis) tersebut. Untuk dapat memilihkan jenis tindakan yang
dapat dilakukan dan mendapatkan hasil yang maksimal, maka operator
harus mengerti anatomi dan fisiologi kelenjar keringat secara mendetail.
Penulisan di sini bertujuan untuk memudahkan dan menambah
pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi kelenjar keringat sebagai
panduan dalam terapi bromhidrosis khususnya pada saat akan dilakukan
tindakan bedah sedot lemak (BSL) kombinasi dengan kuretase sebagai
pilihan terapi.

1
Bromhidrosis

BROMHIDROSIS
Bromhidrosis didefinisikan sebagai bau badan yang sangat berbau.2
Bromhidrosis juga disebut sebagai osmidrosis dan hiperhidrosis. Nama
umumnya bau badan.3 Bromhidrosis terjadi akibat biotransformasi
sekresi keringat natural yang tidak berbau menjadi berbau yang erat
berkaitan dengan keringat berlebih.2
Dekomposisi bakteri pada sekresi keringat oleh mikroorganisme
flora normal terjadi ketika keringat mencapai permukaan kulit dan hal ini
yang menyebabkan sekresi berbau yang khas.4 Stafilokokus, mikrokokus,
corynebacterium dan propionibacterium sering ditemukan pada orang
yang mengalami bromhidrosis.2 Terdapat dua jenis bromhidrosis yaitu
bromhidrosis ekrin dan bromhidrosis apokrin (Tabel 1).5Meskipun kedua
jenis bromhidrosis dapat terjadi pada orang-orang dari semua ras, jenis
kelamin dan usia, terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya.
Bromhidrosis Ekrin
 Terjadi pada semua ras
 Mungkin jarang disebabkan oleh gangguan metabolisme, gangguan
asam amino misalnya (trimetilaminuria [sindroma bau ikan]),
sindroma kaki berkeringat, bau sindroma kucing
 Mungkin disebabkan oleh konsumsi makanan atau obat-obatan
tertentu
 Bromhidrosis disebabkan oleh degradasi bakteri pada protein keratin
kulit yang dapat dikaitkan dengan maserasi dan keratin lembab yang
tebal pada kulit
 Peran sekresi kelenjar ekrin yang berlebihan (hiperhidrosis) dalam
menyebabkan bromhidrosis belum jelas. Hiperhidrosis dapat
menyebabkan penyebaran keringat apokrin dan menyebabkan lebih
lanjut pertumbuhan bakteri dan dekomposisi, atau hiperhidrosis
mungkin memperbaiki gejala bromhidrosis dengan membilas keringat
apokrin yang lebih bau.
BromhidrosisApokrin
 Mungkin terkait dengan riwayat keluarga yang positif
 Hanya terjadi setelah pubertas, oleh karena kelenjar apokrin tidak aktif
sampai pubertas tercapai
 Lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, yang mungkin sebagai
refleksi dari aktivitas kelenjar apokrin yang lebih besar pada pria
dibandingkan pada wanita

2
Bromhidrosis

 Kulit biasanya terlihat normal kecuali bila bromhidrosis dikaitkan


dengan kondisi kulit bersamaan seperti eritrasma
 Spesies corynebacterium adalah bakteri yang paling sering ditemukan
di ketiak dan telah terbukti menghasilkan asam lemak yang sangat
berbau.3
Tabel 1. Jenis bromhidrosis.5
Jenis Bromhidrosis

Ekrin Apokrin
 Keratogenik  Aksilaris
o Plantar
o Intertriginosa
 Metabolik
o Fenilketonuria (bau apek atau
“tikus”)
o Maple syrup disease (bau gula)
o Defisiensi adenosiltransferase
metionin (bau “kubis matang”)
o Sindroma malabsorbsi metionin
(oasthouse syndrome)
o Trimetilaminuria (bau ikan)
o Defisiensi dehidrogenase
dimetilglisin (bau ikan)
o Asidemia isovalerik (bau kaki
berkeringat)
 Eksogen
o Makanan (bawang putih, asparagus,
kari)
o Obat (penisilin, bromida)
o Bahan kimia (dimetil sulfoksida
[DMSO])

3
Bromhidrosis

ANATOMI dan FISIOLOGI KELENJAR KERINGAT


Kelenjar keringat manusia secara umum ada dua yaitu kelenjar ekrin dan
kelenjar apokrin.6 Ukuran dan kepadatannya bervariasi tergantung pada
lokasi anatominya. Struktur dan fungsinya juga berbeda (Tabel 2).7
Kelenjar ekrin tidak mengalami perubahan sitologi selama sekresi. Pada
kelenjar apokrin ketika sekresi terjadi dekapitasi dimana bagian sel
terlepas di dalam lumen.6 Kelenjar ekrin menghasilkan ekskresi berasa
asin dan bening yang berperan dalam hiperhidrosis. Sementara itu,
kelenjar apokrin dengan sekresi pekatnya berperan terhadap timbulnya
bau dan warna pada pakaian.8
Kelenjar Ekrin
Struktur
Total jumlah kelenjar ekrin pada permukaan tubuh sekitar 2-5 juta, dan
jumlahnya sama pada orang kulit hitam dan kulit putih.9 Kelenjar ekrin
terdistribusi pada seluruh permukaan kulit (kecuali saluran telinga luar,
tepi bibir, klitoris dan labia minora) dan aktif sejak lahir.7
Kelenjar ekrin jumlahnya paling banyak di telapak tangan, telapak
kaki, dahi dan aksila.10 Terdapat dua bagian yang membentuk kelenjar
ekrin, koil sekretori dan duktus. Koil sekretori mengeluarkan sekresi
isotonik, dan duktus meresorbsi Na dan Cl yang kemudian menghasilkan
keringat untuk mendinginkan tubuh.11
Tabel 2. Perbedaan Kelenjar Keringat.7

Kelenjer Keringat
Ekrin Apokrin
Lokasi Seluruh kulit tubuh, Aksila, anogenital,
paling banyak pada periumbilikus, puting
telapak tangan dan susu dan aerola
kaki mamae
Morfologi Duktus tipis, panjang, Duktus tebal,
bermuara pada pendek, bermuara
permukaan kulit pada bagian atas
folikel rambut
Koil sekretori Lumen sempit Lumen lebar
Jenis sel pada sel Sel bening yang Epitel (khas kuboid)
sekretori besar, sel gelap, dan dan sel mioepitel
sel mioepitel

4
Bromhidrosis

Inervasi utama Serabut simpatis Belum jelas


Neurotransmiter Asetilkolin Kemungkinan efek
humoral dari agonis
reseptor β-adrenergik
Perkembangan Sudah ada sejak lahir Sudah ada sejak lahir
Hubungan dengan Tidak berhubungan Berhubungan pada
folikel rambut bagian atas folikel
rambut
Fungsi Termoregulasi Belum jelas, diduga
berperan sebagai
komunikasi indera
penciuman
Peran dalam Berperan pada Berperan pada
penyakit hiperhidrosis, penyakit Fox-
hipohidrosis, Frordyce,
bromhidrosis ekrin bromhidrosis apokrin

Unit sekretori ekrin terdiri dari bagian sekretori berbentuk koil


pada bagian proksimal yang terletak pada dermis profunda dan jaringan
subkutis. Bagian ini mengalirkan sekret melalui duktus kecil yang
panjang dan melalui bagian apeks (akrosiringia) yang terbuka langsung
ke permukaan kulit (Gambar 1). Koil sekretori mengandung 2 jenis sel
yang terdapat dalam satu lapisan sel: (1) sel bening besar yang berfungsi
mengeluarkan sekresi kelenjar berupa elektrolit dan air; dan (2) sel gelap
berisi granula basofilik, yang fungsinya belum diketahui. Kedua sel
tersebut dikelilingi sel mioepitel, yang kemungkinan berfungsi memompa
pengeluaran keringat ke permukaan kulit. Epitel duktus terdiri dari dua
atau lebih lapisan sel kuboid tanpa dikelilingi mioepitel.
Kelenjar ekrin diinervasi oleh serabut simpatis post ganglion
dengan neurotransmiternya asetilkolin (Tabel 3). Serabut simpatis ini
dikendalikan oleh pusat keringat hipotalamus. Pusat keringat berespons
terhadap suhu tubuh dan rangsangan saraf dari perifer.

Fungsi
Sekresi kelenjar ekrin merupakan cairan elektrolit encer yang steril yang
terutama mengandung NaCl, kalium dan bikarbonat. Komponen lainnya
yaitu peptida antimikrobial (seperti dermcidin), enzim proteolitik,
glukosa, piruvat, laktat, urea, amonia, kalsium, asam amino, epidermal

5
Bromhidrosis

growth factor, sitokin dan imunoglobulin. Zat organik lain dan logam
berat juga disekresi dalam keringat. Kuantitas dan kualitas sekresi
kelenjar ekrin sangat bervariasi, tergantung rangsangan emosional dan
lingkungan.

Gambar 1. Unit pilosebasea dengan kelenjar apokrin dan kelenjar


ekrin.7

Sekresi keringat secara kontinyu berperan dalam mekanisme


termoregulasi melalui hilangnya panas secara evaporasi,
mempertahankan keseimbangan elektrolit dan menjaga stratum korneum
tetap lembab. Fungsi ekskretori kelenjar keringat yaitu memfasilitasi
pengiriman obat sistemik ke stratum korneum.7

6
Bromhidrosis

Sekresi fisiologi keringat disebabkan oleh banyak faktor dan


diperantarai oleh inervasi kolinergik. Panas merupakan rangsangan utama
peningkatan keringat, tetapi rangsangan fisiologis lain seperti stres
emosional juga berperan.10
Pada individu sehat, sekresi kelenjar ekrin tidak berbau. Bau badan
(bromhidrosis) dapat berkembang akibat maserasi stratum korneum yang
disertai degradasi keratin oleh bakteri.5 Banyak keringat dapat
menyebabkan overhidrasi dan bahkan maserasi kulit. Hal ini dapat
disertai infeksi sekunder bakteri dan jamur. Aktivitas proteolitik oleh
flora normal kulit dapat menghasilkan bahan-bahan yang menimbulkan
bau (seperti amoniak dan asam lemak rantai pendek); hal ini yang disebut
bromhidrosis ekrin.7 Hal ini sering terjadi pada kaki dan intertriginosa,
terutama inguinal.5
Tabel 3. Inervasi dan profil reseptor pada kelenjar keringat.
Ekrin Apokrin
Serabut saraf dekat kelenjar + ±
Reseptor muskarinik (M3) ++ ±+
kolinergik
Reseptor α1-adrenergik + -
Reseptor β2- > β3-adrenergik + +
Reseptor Purinergik + +

Kelenjar Apokrin
Struktur
Kelenjar apokrin terdapat pada aksila, anogenital, periumbilikal, areola,
puting susu dan tepi bibir. Ukurannya lebih besar daripada kelenjar
ekrin.7 Kelenjar apokrin terdiri dari bagian koil sekretori dan duktus
eksretori.12 Kelenjar apokrin bagian sekretori terletak pada dermis
profunda dan lemak subkutis. Duktus berakhir pada bagian atas saluran
folikel rambut (Gambar 1).
Unit sekretori berupa saluran berbentuk koil dengan sel epitel satu
lapis (khas kolumner) yang dikelilingi sel mioepitel. Duktus terdiri dari
sel kuboid berlapis ganda dan sel mioepitel yang menyokong pergerakan
sekresi ke permukaan kulit.7 Seperti pada kelenjar ekrin, sel mioepitel
mempunyai fungsi ganda sebagai penyokong struktural dan sebagai
pemompa sekresi keringat ke permukaan kulit.

7
Bromhidrosis

Fungsi
Kelenjar apokrin belum berfungsi sebelum pubertas.11 Mereka
menjadi aktif ketika pubertas, sebagai akibat peningkatan aktivitas
hormon.13 Kelenjar apokrin tidak mempunyai fungsi termoregulasi pada
manusia, meskipun mungkin berperan untuk komunikasi indera
penciuman.9
Kelenjar apokrin secara kontinyu mengeluarkan sekresi cairan
berminyak dalam jumlah yang sangat sedikit. Keringat ini bersifat steril,
tidak berbau dan pekat. Kelenjar ini kaya akan prekursor bahan-bahan
yang menimbulkan bau seperti kolesterol, trigliserid, asam lemak, ester
kolesterol, skualen. Selain itu juga mengandung androgen, karbohidrat,
amonia dan ion besi. Pada hewan, kelenjar apokrin merupakan sumber
feromon, yang berfungsi sebagai sinyal kimia yang memicu respon
perilaku hewan seperti daya tarik seksual. Pada manusia, kelenjar apokrin
belum jelas fungsinya tetapi mungkin berperan pada komunikasi indera
penciuman.
Meskipun kelenjar apokrin pada awalnya steril dan tidak berbau,
bakteri pada permukaan kulit memodifikasi dan mendegradasi bahan
yang disekresi, yang menyebabkan bau badan yang khas (bromhidrosis).
Ketika dilakukan biopsi, kelenjar apokrin pada pasien bromhidrosis
jumlahnya lebih banyak dan lebih besar ketika dibandingkan dengan
kontrol. Perbedaan histologi ini dapat merefleksikan peningkatan
produksi kelenjar apokrin dan dapat membantu menjelaskan
bromhidrosis.7

RINGKASAN
Kelenjar keringat terdiri dari kelenjar ekrin dan apokrin. Kelenjar
ekrin berperan dalam hiperhidrosis. Sementara itu, kelenjar apokrin
berperan terhadap timbulnya bau dan warna pada pakaian. Kelenjar
apokrin pada awalnya steril dan tidak berbau, tetapi bakteri pada
permukaan kulit akan memodifikasi dan mendegradasi bahan yang
disekresi, yang menyebabkan bau badan yang khas (bromhidrosis).
Terdapat dua jenis bromhidrosis yaitu bromhidrosis ekrin dan
bromhidrosis apokrin, sehingga tindakan yang dilakukan untuk terapi
bromhidrosis aksila sebaiknya dapat merusak/ mengambil kelenjar ekrin
dan apokrin dengan BSL dilanjutkan kuretase pada daerah aksila (ketiak).

8
Bromhidrosis

REFERENSI
1. Kanlayavattanakul M, Lourith N. Body malodours and their topical
treatment agents. Int J Cosmet Sci2011; 33(4): 298-311.
2. Perera E, Sinclair R. Hyperhidrosis and Bromhidrosis: A guide to
assessment and management. Aust Fam Physician 2013; 42(5): 266-
9.
3. Ngan V. Bromhidrosis. 2014 [terkini 07 Dec 2014; diakses 12 Feb
2015]. Diakses dari: http://www.dermnetnz.org/hair-nails-
sweat/bromhidrosis.html
4. Gregoriou SG, Rigopoulos D, Chiolou Z, dkk. Treatment of
bromhidrosis with a glycine-soja sterocomplex topical product.
J Cosmet Dermatol 2011; 10: 74–7.
5. Miller JL. Diseases of the Eccrine and Apocrine Sweat Glands.
Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editor. Dermatology.
Edisi Ke-3. China: Elsevier Inc; 2012. h. 587-602.
6. McGrath JA, Uitto J. Anatomy and Organization of Human Skin.
Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editor. Rook’s
textbook of dermatology. Edisi ke-8. Singapore: Blackwell Publishing
Ltd; 2010. h. 3.1-53.
7. Schaller M, Plewig G. Structure and Function of Eccrine, Apocrine
and Sebaceous Glands. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV,
editor. Dermatology. Edisi ke-3. China: Elsevier Inc; 2012. h. 539-
59.
8. Lee JC, Kuo HW, Chen CH, dkk. Treatment for axillary osmidrosis
with suctionassisted cartilage shaver. Br J Plast Surg 2005; 58: 223–
7.
9. Coulson IH. Disorders of Sweat Glands. Dalam: Burns T, Breathnach
S, Cox N, Griffiths C, editor. Rook’s textbook of dermatology. Edisi
ke-8. Singapore: Blackwell Publishing Ltd; 2010. h. 44.1-22.
10. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ diseases of the skin:
clinical dermatology. Edisi ke-11. China: Elsevier Inc; 2011.
11. Mauro TM. Biology of Eccrine and Apocrine Glands. Dalam:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff
K, editor. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-8.
New York: The McGraw-Hill Companies Inc; 2012. h. 929-35.
12. Mao GY, Yang SL, Zheng JH. Etiology and management of axillary
bromidrosis: a brief review. Int J Dermatol2008; 47: 1063–8.
13. Kim SW, Choi IK, Lee JH, et al. Treatment of axillary osmidrosis
with the use of Versajet. J Plast Reconstr Aesthet Surg 2013; 66:
e125-8.

9
Bromhidrosis

Pre-Operative Assessement
Arie Kusumawardani
Bagian/ KSM IK Kulit dan Kelamin FK UNS/RSUD dr. Moewardi

PENDAHULUAN
Bromhidrosis aksilar adalah kelainan pada aksila (ketiak) yang ditandai
dengan bau tidak sedap (specific mal odour), akibat hiperfungsi kelenjar
apokrin yang berinteraksi dengan mikroorganisme. Sekresi dari kelenjar
apokrin tidak menimbulkan bau pada saat mencapai permukaan kulit,
tetapi dalam beberapa jam dapat timbul bau yang khas akibat pelepasan
asam lemak oleh bakteri. Kelainan ini dapat menyebabkan disfungsi
psikologis dan okupasional sehingga menurunkan kualitas hidup dan rasa
percaya diri.1,2
Berdasarkan survei nasional di Amerika, prevalensi bromhidrosis
didapatkan pada 2,8% dari populasi. Kejadian ini banyak ditemukan
pada usia pubertas, tetapi pada beberapa penelitian dikatakan dapat
mengenai usia 25 sampai dengan 64 tahun, wanita dan pria memiliki
insiden yang sama. Riwayat yang sama pada keluarga yang dilaporkan
pada pasien bromhidrosis menunjukkan adanya transmisi genetik.3
Terapi topikal sering kali digunakan tetapi hanya bermanfaat pada kasus-
kasus yang ringan. Prosedur operasi yang sederhana, efektif dan aman
diperlukan pada beberapa pasien dengan gejala yang berat.4
Prosedur operasi yang baik memerlukan perencanaan yang matang
untuk menghindari harapan pasien yang tidak realistis, meminimalisasi
efek samping dan komplikasi. Perencanaan operasi tersebut mencakup
penilaian kualitas hidup, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
penunjang untuk melihat tingkat keparahan bromhidrosis serta pemilihan
tehnik tindakan yang akan diambil.

10
Bromhidrosis

EVALUASI dan DIAGNOSIS


Hiperhidrosis primer merupakan kelainan keringat yang berlebihan,
fokal, visible, yang berlangsung minimal 6 bulan, tanpa penyebab yang
jelas, ditambah dengan salah satu gejala dibawah ini:3
 bilateral dan simetris
 menimbulkan gangguan aktifitas sehari-hari
 frekuensi minimal satu episode tiap minggu
 onset usia < 25 tahun (pubertas )
 adanya riwayat keluarga dengan kondisi yang sama
 adanya penurunan kuantitas pada waktu tidur

Pengukuran kelenjar keringat saat ini dapat menggunakan beberapa alat


ukur, baik secara obyektif maupun subyektif. Pengukuran secara
obyektif yaitu: 3,4,5,6
1. Gravimetric testing
2. The minor starch –iodine test, merupakan aplikasi tepung dan iodine
pada aksila. Hasil postif apabila terjadi perubahan warna ungu gelap
dalam 5 menit pasca pengolesan.
3. Ninhydrin test, dimana prinsipnya adalah ninhidrin bereaksi dengan
asam amnino yang terdapat pada keringat, sehingga menghasilkan
warna merah bata.
4. Pengukuran langsung kehilangan air dengan mengukur
transepidermal water loss dengan menggunakan tewameter

Gambar1. Starch-iodine-test 7

11
Bromhidrosis

Metode lain untuk evaluasi hyperhidrosis secara subyektif adalah


hyperhidrosis disease severity index. Metode ini menggunakan kuesioner
yang di desain untuk menilai seberapa parah efek terhadap kehidupan
sehari-hari. Respon dibagi menjadi empat skala.3
1. Tidak terlihat, tidak menganggu
2. Nyata, masih dapat ditoleransi, kadang-kadang menganggu
3. Masih dapat di toleransi, sering menganggu
4. Tidak dapat ditoleransi, selalu menganggu

Skor yang tinggi menunjukkan dampak yang berat pada QOL ( quality of
live ). Skala ini sebaiknya dinilai sebelum memberikan terapi dan dapat
juga digunakan untuk menilai pengaruh atau efektivitas terapi. Apabila
pasien merasa efek terapi memberikan perbaikan satu level (misalnya dari
level 4 ke level 3), menunjukkan adanya perbaikan 50%, dimana apabila
terjadi kenaikan dua level, menunjukkan adanya perbaikan
80%.Sedangkan skala subyektif yang lain diantaranya Dermatology Life
Quality Index (DLQI) danVisual Analog Scale (VAS).3,6
Skala lain yang selama ini telah banyak digunakan adalah
modifikasi Dermatology Quality Life Index, yang merupakan penjabaran
dari skala sebelumnya. Setiap pasien bromhidrosis diberikan kuesioner
sebelum dan sesudah dilakukan pembedahan. Skala dibagi menjadi 4
katagori: “tidak signifikan”, ‘ringan’, ‘sedang’ dan ‘signifikan’. Kualitas
hidup pasien dinilai berdasarkan modifikasi dari Dermatology Life
Quality Index, dimana terdapat 10 item kuesioner tentang pengukuran
/penilaian kualitas hidup. Terdapat 4 kemungkinan jawaban, untuk setiap
pertanyaan: tidak, ringan, sedang, dan berat, dengan skor masing-masing
dimulai dari 0, 1, 2 dan 3. Total skor mulai dari 0 sampai 30, skor yang
tinggi menunjukkan rendahnya kualitas hidup. Pasien dianjurkan untuk
dilakukan tindakan bedah apabila skor total lebih dari 5 .1

12
Bromhidrosis

Tabel 1. Modifikasi dermatology life quality index 1

No PERTANYAAN T R S B

1. sebelum pembedahan apakah dirasakan,


gatal, nyeri, rasa menyengat, atau tidak
nyaman?

2. sebelum pembedahan, apakah problem ini


menyebabkan rasa malu?

3. sebelum pembedaha, apakah problem ini


memberikan gangguan pada saat belanja
atau melakukan kegiatan sehari-hari di
rumah?

4. sebelum tindakan pembedahan, apakah


problem ini menganggu fashion yang
digunakan?

5. sebelum pembedahan, apakah


mempengaruhi waktu luang atau kegiatan
sosial ?

6. sebelum pembedahan apakah menganggu


kegiatan olah raga ?

7. sebelum pembedahan, apakah menganggu


waktu untuk belajar ?

8. sebelum pembedahan, apakah


memberikan gangguan hubungan dengan
patner atau teman dekat?

9. sebelum pembedahan, apakah


memberikan gangguan hubungan seks?

10. sebelum pembedahan, seberapa besar


masalah ini menganggu kehidupan?

Keterangan: T=tidak; R=ringan; S=sedang; dan B=berat

13
Bromhidrosis

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan bromhidrosis ada beberapa metode mulai dari agen
topikal, iontoforesis, injeksi dengan botolinum toxin, sampai dengan
tindakan bedah ekstensif.1,2
Sejak tahun 1962 Skoog dan Thyresson mengemukakan terapi
bedah sebagai pilihan terapi untuk hiperhidrosis aksilaris. Saat ini metode
bedah sedot lemak (BSL) dengan kuretase telah ditetapkan menjadi terapi
standar hyperhidrosis aksilaris yang resisten terhadap terapi konservatif.2
Terapi ini dapat dilakukan dengan anestesi lokal dengan atau tanpa
sedasi, dan hanya memerlukan waktu sehari perawatan (one day care).4
Menurut Htheryo, angka rekurensi dari metode operasi ini adalah 20%
sampai dengan 40%, tetapi melalui metode dan instrumen yang terbaru
dimungkinkan penurunan angka rekurensi kurang dari 6%. Pada
penelitian yang dilakukan pada 168 pasien dan dilakukan observasi
selama 12 bulan didapatkan bahwa volume keringat pasien menurun
sampai 80%.2,3
Sebelum melakukan tindakan bedah pada pasien bromhidrosis
perlu dilakukan persiapan pre-operatif. Anamnesis, pemeriksaan klinis
dan labotarorium yang mendetail penting dilakukan, penyebab sekunder
harus dieklusi. Prosedur pembedahan sebaiknya dilakukan setelah
pubertas, hal ini berhubungan dengan kondisi psikologis. 4

PERSIAPAN OPERASI
Keadaan Umum
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan operasi, mulai
dari kondisi umum pre-operatif, apakah pasien dalam keadaan sakit, sakit
ringan, atau ada kelainan bawaan. Keadaan umum seperti demam, adanya
edema anasarka, hipoalbuminemia, anemia, sepsis, dan kondisi sistemik
lainnya akan berpengaruh terhadap out come yang dihasilkan. Faktor lain
yang besar pengaruhnya adalah perawatan post operatif. Edukasi dari
dokter hendaknya disampaikan secara sistematis dan lengkap sesuai
dengan tingkat pemahaman dari pasien dan keluarganya, hal-hal yang
penting sebaiknya dilakukan secara tertulis dan diberikan pada pasien.
Status gizi dan higiene seringkali luput dari perhatian operator. Infeksi
sistemik akut ataupun kronis, kelainan sistemik bawaan ataupun didapat
yang berpengaruh terhadap hemostasis, dan reaksi hipersensitivitas,
misalnya hemofili, ITP, penyakit kolagen, alergi terhadap obatsistemik
ataupun topikal dapat mempengaruhi proses penyembuhan. Status gizi
memiliki pengaruh yang besar yang akan terlihat dalam proses
penyembuhan luka dan kerentanan terhadap infeksi post operatif.8

14
Bromhidrosis

Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:7-10


1. Kelainan Hemostasis
Kelainan hemostasis penting sekali untuk diperhatikan dengan seksama
karena dapat mengakibatkan risiko yang serius selama ataupun setelah
operasi. Perlu ditanyakan riwayat kelainan perdarahan, antara lain:
o Riwayat perdarahan yang lama setelah luka.
o Riwayat kulit mudah membiru jika terkena benturan ringan.
o Riwayat perdarahan lama setelah cabut gigi atau gigi tanggal.
o Riwayat gosok gigi sering berdarah.
o Riwayat perdarahan yang lama pada keluarga jika luka.
o Riwayat perdarahan pada operasi sebelumnya.
Perlu diperhatikan juga penyakit lain yang berpengaruh terhadap sistem
hemostatis, misalnya penyakit hati, gagal ginjal dan penyakit
mieloproliperatif. Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan: Tanda
kecenderungan perdarahan (hematom, petekhie, purpura, ekimosis).
Deformitas sendi atau hemartrosis. Hepato dan atau spenomegali.
sebaiknya dilakukan pemeriksaan lab waktu perdarahan (BT, CT atau
PT/APTT). Pasien yang mengkonsumsi obat pengencer darah seperti
aspirin, sebaiknya diberhentikan satu minggu sebelum pelaksanaan
operasi.

2. Diabetes Mellitus
Adakah polidipsi (sering minum), poliuri (sering kencing), polifagi
(sering makan), pruritus (gatal-gatal), parestesi (sering kesemutan), dan
riwayat kencing manis pada keluarga.

3. Riwayat Penyakit Menular


Untuk menghindari penularan akibat kontak dengan darah atau cairan
tubuh lainnya, ataupun penularan melalui instrumen (iatrogenik) perlu
dicari adanya penyakit menular. Penyakit yang perlu disingkirkan,
misalnya hepatitis B, hepatitis C, HIV dan AIDS.

4. Riwayat Alergi Obat


Adakah reaksi gatal-gatal, panas, kemerahan pada kulit, pusing, atau
pingsan setelah memakan/disuntik obat-obatan tertentu. Atau dapat juga
terjadi setelah pengolesan obat lokal, seperti iodin. Jika terdapat alergi
iodin, dapat digunakan savlon sebagai antiseptiknya.

15
Bromhidrosis

5. Riwayat Penyakit Jantung dan Paru


Berkaitan dengan proses anestesi jika dilakukan dalam narkose/bius
umum. Sebelum tindakan operasi dapat dilakukan pemeriksaan foto
thoraks atau jika perlu dilakukan EKG.

6. Status Gizi
Status gizi berkaitan dengan proses wound healing. Makin buruk status
gizi maka kita harus berpikir untuk optimalisasi asupan zat gizi dan
pemeliharaan luka operasi yang lebih baik. Kadar protein yang rendah
misalnya albumin dan protein total sebagai indikator, akan menghambat
proses penyembuhan luka.

7. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah akan berpengaruh terhadap tahapan
hemostasis. Sebaiknya tekanan darah tidak lebih 140 mmHg untuk
systole dan dibawah 100 mm Hg untuk diastol.

8. Riwayat Penyakit Lain


Adakah penyakit yang sewaktu-waktu dapat kambuh, misalnya asma
bronkhiale, dan epilepsi. Informasi ini berguna agar kita dapat
mempersiapkan berbagai kelengkapan, termasuk obat-obatan apabila
penyakit tersebut kambuh.

9. Kondisi lokal
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa daerah sekitar lapangan operasi.
Jika infeksi sekitar daerah operasi dapat mempengaruhi aliran darah
setempat atau jika luka operasi dapat menyebabkan penyebaran infeksi
secara hematogen (port the entry) maka proses infeksi harus diatasi
dahulu.

10. Riwayat adanya keloid


Penting untuk pengelolaan luka akibat operasi.

11. Informed Consent/ Persetujuan Tindakan


Penjelasan kepada pasien mutlak diperlukan. Penjelasan seputar operasi
dengan berbagai teknik dan komplikasinya usahakan agar benar-benar
dipahami. Penjelasan yang disampaikan harus benar, akurat, dan lengkap.

16
Bromhidrosis

Aspek hukum yang berkaitan dengan informed concent sangat erat


kaitannya dengan undang-undang praktek hukum. Penjelasan yang
disampaikan sekurang-kurangnya mencakup:
o diagnosis dan tata cara tindakan medis
o tujuan tindakan medis yang dilakukan
o alternatif tindakan lain dan risikonya
o risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
o prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Periksa kembali apakah informed concent telah dilakukan dengan
lengkap dan dipahami oleh pasien. Syarat-syarat informed concent
adalah:
o dilakukan dalam suasana yang terbuka
o tidak mendikte atau menggurui
o disampaikan dengan bahasa yang dapat dipahami
o cek ulang sebelum mengakhiri apakah pasien atau keluarganya
memahami apa yang telah disampaikan
o dibaca oleh pasien/keluarganya.

12. Pendekatan Psikologis


Pendekatan kepada pasien dilakukan untuk memberikan rasa aman.
Pendekatan dilakukan agar rasa cemas, takut, dan stress bisa diminimal-
kan. Ruang operasi dibuat nyaman dan diiringi musik yang lembut karena
pasien dalam kondisi sadar pada saat tindakan.

RINGKASAN
Bromhidrosis merupakan salah satu kelainan kelenjar keringat
yang dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi sosial di masyarakat
dan psikologis. Diperlukan penatalaksanaan yang tepat dan sesuai dengan
tingkat keparahan yang diderita pasien. Tindakan sedot lemak dengan
kuretase merupakan salah satu terapi yang cukup aman, relatif mudah dan
efektif. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang persiapan operasi
dengan baik, komunikasi yang efektif, sehingga dapat dilakukan tindakan
bedah dengan baik, diharapkan hasil yang tercapai sesuai dengan yang
diharapkan sehingga akan memperbaiki kualitas hidup penderita dan
mengurangi angka kekambuhan.

17
Bromhidrosis

DAFTAR PUSTAKA
1. He J, wang M, Dong J. Excision of apocrine glands and axillary
superficial fascia as a single entity for treatment of axillary
bromhidrosis. JEADV 2012;26:704-709.
2. Rezai K. Suction curettage of the sweat glands-an update. J Dermatol
Surg 2009;35:1126-1129.
3. Gontijo DT, Gualberto GV, Madureira NA. Axillary hyperhidrosis
treatment up date. Surg Cosmet Dermatol 2011;3(2):147-151.
4. Or CK. Sub epidermal liposuction: a safe therapy for axillary
hyperhidrosis. Pearls in dermatology. HKDermatol Venereal Bull
2004;12:143-146.
5. Schwartz R. Hyperhidrosis treatment and management. Medscape
May 2014.
6. Muslimin, Soejoto, Paulus, Kabulrachman, Binarso I, Subakir.
Hiperhidrosis aksilaris. Dermatologi Bedah Kulit 2007.
7. Kenneth B, dan Hillary O. Axillary chromhidrosis: report of a case,
review of the literature and treatment consideration. J Cosmet
Dermatol 2010;9:318-320.
8. King MS. Preoperative evaluation. Am fam Physician
2000;15;62(2);387- 396.
9. Verma MYL, Hartle, Alladi VR, Rollin AMG, Struther RC,
Johnston, Rivett, Hurley. Preoperative assassement and patient
preoperation. The role of anesthetist. The association of anasesthetists
of great Britain and Ireland 2010. Diunduh dari: www.aagbi.org
10. What is presurgica and critical care 2015. Diunduh dari:
www.stockport.nhs.uk

18
Bromhidrosis

19
Bromhidrosis

Alat dan Bahan


Nugrohoaji Dharmawan
Bagian/ KSM IK Kulit dan Kelamin FK UNS/RSUD dr. Moewardi

I. ALAT:
a. Spuit 1 cc
b. Spuit 10 cc
c. Kanula infiltrasi
d. Kanula suction
e. Kanula V dissector
f. Pisau scalpel no 11
g. Handle mesh
h. Sendok kuret
i. Mangkuk steril untuk mencampur cairan tumescent
j. Spidol steril
k. Duk bromhidrosis
l. Pinset
m. Kasa steril
n. Duk klem

II. BAHAN:
a. Lidokain/ xylocaine
b. NaCl 0.9%
c. Epinefrin 1/1000

20
Bromhidrosis

d. Sodium bikarbonat 8,4%


e. Povidone iodine
f. Amilum/tepung kanji
g. Antibiotik topikal.

Keterangan:
 Spuit 1 cc dipergunakan untuk anastesi sebelum membuat lubang
insisi menggunakan mata pisau no 11 selebar 2-3 mm.1
 Spuit 10 c digunakan untuk alat suction/ infiltrasi disambungkan
dengan kanula suction/ infiltrasi.
 Kanula infiltrasi: untuk memasukkan cairan anastesi tumescent.
Kanula infiltrasi dengan diameter kecil ini sangat penting untuk
kenyamanan pasien.2

Gambar 1. Kanula Infiltrsi

 Kanula Suction: kanula ini disambungkan dengan spuit 10 cc dan


yang dipergunakan adalah kanula diameter 3mm (dengan 1 atau 3
lubang).3

21
Bromhidrosis

Gambar 2. Kanula Suction

Selain itu ada beberapa tipe kanula yang sering digunakan, antara lain
kanula Gilliland Etching dan kanula Fatemi.

Gambar 3. Kanula Gilliland Etching.4

Kanula Fatemi memiliki semacam gerigi pada setiap lubangnya.5


Kanula Fatemi memiliki diameter 3mm, dengan panjang 20cm. Kanula
ini berkerja selain sebagai kanula suction juga sebagai alat kuretase.
Kekurangan kanula ini adalah memiliki lubang yang terlalu kecil
sehingga sering tersumbat.2

Gambar 4.Kanula Fatemi

22
Bromhidrosis

Kanula lain yang digunakan adalah kanula Capistrano. Bentuknya


hampir mirip dengan kanula Fatemi, tetapi gerigi pada tiap lobangnya
tidak terlalu tajam dan menonjol.2

Gambar 5. Kanula Capistrano.6

 Kanula V dissector

Gambar 6. Kanula V Dissector

23
Bromhidrosis

 Sendok Kuret
Bisa digunakan beberapa jenis sendok kuret.

Gambar 7. Sendok Kuret

24
Bromhidrosis

DAFTAR PUSTAKA
1. Mochtar M. Pengobatan bromhidrosis aksilaris dengan sedot lemak
tumescent.CDK 2013;40(6):464-6
2. Rezende RM, Luz FB. Surgical treatment of axillary hyperhidrosis by
suction-curettage of sweat glands. An Bras Dermatol 2014;89(6):940-
54
3. Tsai RY. Treatment of excessive axillary sweat syndrome
(hyperhidrosis, osmosis, bromhidrosis) with liposuction. Dalam:
Shiffman MA, Di Giuseppe A. Liposuction principles and practice.
Springer Verlag: Berlin. Edisi pertama 2006. H. 496-501.
4. Rezai K. Suction curettage of the sweat glands: an update. Dermatol
Surg 2009;35:1126-29
5. Seo SH, Jang BS, Oh CK, Kim MB. Tumescent superficial
liposuction with curettage for treatment of axillary hyperhidrosis.
JEADV 2008;22:30-35.
6. HK Surgical. Dapat diunduh pada:http://www.hksurgical.com/-
capistrano-cannulas.html

25
Bromhidrosis

Anestesi Tumescent
Endra Y Ellistasari
Bagian/ KSM IK Kulit dan Kelamin FK UNS/RSUD dr. Moewardi

PENDAHULUAN
Anestesi tumescent (AT) merupakan salah satu jenis anestesi lokal yang
dilakukan dengan cara memasukkan (infiltrasi) cairan ke kulit dalam
volume besar (pada umumnya normal saline) yang berisi bahan anestesi
dengan konsentrasiyang sangat terdilusi (lidokain), vasokonstriksi
(epineprin) dan bahan tambahan untuk mengurangi rasa nyeri pada saat
penyuntikan (sodium bikarbonat). Penderita dalam keadaan sadar pada
saat dilakukan tindakan pembedahan dengan menggunakan AT.1,2
Anestesi tumescent petama kali diperkenalkan oleh Klein JA2 pada
tahun 1986 dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan dan efikasi
bedah liposuction /sedot lemak (BSL). Tehnik anestesi lokal dengan
tumescent menjadi era revolusi pada BSL karena eliminasi pemakaian
anestesi general atau sedasi intavena dan mengurangi perdarahan pada
saat pelaksanaan prosedur BSL. Pasca kesuksesan tehnik AT untuk sedot
lemak, AT banyak digunakan untuk berbagai macam prosedur bedah
kulit3 seperti bromhidrosis aksila4,5, bedah mohs microgaphic5 dan
berbagai kasus bedah kulit lainnya.
Pada beberapa laporan menyatakan BSL dengan AT memiliki
risiko komplikasi serius, bahkan dapat menyebabkan kematian, tapi tidak
ada data yang menerangkan secara tegas dan lengkap tentang tehnik yang
digunakan, ataupun tindakan yang dilakukan sudah sesuai prosedur
(guidelines). Kematian pada sedot lemak dengan AT pada umumnya
tejadi karena kombinasi AT dengan anestesi umum (general anestesi),
sedasi intravena yang dalam, ataupun anestesi spinal. Kematian dapat

26
Bromhidrosis

terjadi akibat tidak mengikuti prosedur sehingga diperlukan guideline


yang tegas pada saat pelaksanaan.7-9
Pada penulisan makalah ini akan menekankan penggunaan AT
pada tindakan kombinasi BSL dan kuretase sebagai terapi bomhidrosis
aksila dengan melihat tingkat keamanan dan efektifitas.
SEJARAH
Istilah tumescent, tumescence, dan tumesce berasal dari kata latin
“tumere” yang berarti bengkak (swell). Bengkak setelah infiltrasi cairan
AT tersebut akan membuat kulit menjadi tegang dan keras (firm),
sehingga memudahkan operator pada saat pelaksanaan prosedur operasi.
Prosedur AT banyak menggunakan cairan (normal saline) sehingga
sering disebut dengan ‘the wet technique’.1,2
Pada tahun 1986 pertama kali Klein memperkenalkan tehnik
tumescent pada konggres dunia ke-2 bedah sedot lemak (BSL), hasil
karyanya dipublikasikan setahun kemudian. Tehnik tersebut menjadi
pemikiran Klein dengan tujuan meningkatkan keamanan prosedur BSL.
Anestesi pada BSL yang diterapkan oleh Klein murni hanya lokal AT
tanpa tambahan anestesi umum, sedasi untuk mengurangi kesadaran
pasien, ataupun pemberian cairan intra vena.1,2
Penyebab morbiditas dan mortalitas pada penggunaan AT dapat
tejadi akibat dari toksisitas lidokain, pada banyak laporan BSL yang
menggunakan AT murni tanpa tambahan dan mengikuti prosedur dengan
benar tidak dijumpai adanya toksisitas lidokain. Hasil outcome yang tidak
baik tesebut (komplikasi) yang terjadi pada umumnya disebabkan dari
faktor lain seperti overload cairan intra vena, efek dari anestesi umum
ataupun pengunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan toksisitas
lidokain.2,9-11
BAHAN
Untuk meningkatkan tingkat keamanan dan efektifitas AT, maka setiap
operator harus mengetahui farmakologi dan farmakodinamik dari obat-
obatan yang digunakan dalam cairan tumescent. Farmakologi ber-
hubungan dengan absorbsi distribusi, biotransformasi dan eliminasi
sedangkan farmakodinamik meliputi aksi mekanisme obat yang ber-
hubungan dengan konsentrasi obat dan efeknya.12 Apabila operator
mengetahui farmakologi dan farmakodinamik obat, maka komplikasi AT
berupa toksisitas lidokain dapat dihindari. Penggabungan dari beberapa
macam obat dalam AT memberikan interaksi sinergisme saling meng-
untungkan, sehingga didapatkan hasil target final yang diharapkan, yaitu
anestesi lokal yang bisa digunakan secara aman untuk area yang luas.

27
Bromhidrosis

1. Lidokain
Lidokain merupakan salah satu jenis lokal anestesi bertipe amide
sehingga jarang didapatkan reaksi alergi pada pasien. Amide akan di
metabolisme di hepar oleh enzim mikrosomal sitokrom P450 (CYP)
produk metabolit akan diekskresikan lewat renal. Lidokain merupakan
anestesi lokal yang paling sering digunakan dalam kasus bedah kulit
(dermatologi). Lidokain 1-2% (xylocain) bersifat short-acting; sedangkan
apabila dicampur dengan epineprin 1:100.000 atau 1:200.000 bersifat
long-acting.13
Toksisitas lidokain berhubungan secara langsung dengan kadar
konsentrasinya di plasma. Toksisitas yang paling umum ditemukan
adalah drowsiness. Keluhan lain yang dapat terjadi seperti: pusing,
nausea, tremor, tinitus, dan yang berat seperti kejang, depresi
kardiopulmonari, koma, henti nafas dan kematian. Semakin tinggi kadar
lidokain di dalam plasma, maka semakin berat tanda toksisitasnya.
Toksisitas lidokain yang berat tersebut didapatkan karena penggunaan
dosis besar pada jaringan vaskular (contoh: blokade anestesi regional);
atau penggunaan secara langsung ke intravaskular (properti antiaritmia
dan antikonvulsan). Lidokain jika diberikan hanya sebagai anestesi lokal
di kulit jarang menimbulkan toksisitas yang serius.1,2,6,11

Tanda toksisitas sistemik lidokain berdasarkan konsentrasi lidokain di


dalam plasma:1

Serum lidokain
Tanda /gejala toksisitas sistemik
(µg/mL)

1-5 Drowsiness, lightheadedness, confusion, parastesi,tinitus


5-9 Vomitus, tremor, vascikulasi muskular
9-12 Sizures, depresi kardiopulmonari
12-20 Koma, henti jantung

Faktor yang dapat meningkatkan toksisitas lidokain adalah obat


yang dapat mengganggu enzim sitokrom P4501A1 atau P4503A4, usia
tua, pasien kurus, gender laki-laki dan faktor lainnya. Obat-obatan yang
dapat menghambat CYP3A adalah: antifungal triazole, benzodiazepin,
calcium chanel blocker, antibiotik makrolide, inhibitor protease, dan
selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs). Apabila obat-obatan
tersebut tidak dapat dihentikan pada saat dilakukan AT, maka sebaiknya
dosis maksimal lidokain diturunkan. Maksimun dosis aman lidokain
adalah 35mg/kg berat badan.1,2,11

28
Bromhidrosis

2. Epineprin
Epineprin dikenal juga sebagai adrenalin, merupakan salah satu obat yang
berfungsi sebagai vasokonstriktor. Efek hemostatik secara langsung pada
vasokonstriksi perifer terjadi karena stimulasi reseptor alfa pada
pembuluh darah. Penambahan epinefrin pada anestesi lokal memiliki
tujuan untuk mengurangi aliran perdarahan di kulit melalui kontriksi
arteriole-arteriole pembuluh darah, sehingga kehilangan darah pada saat
operasi dapat dikurangi. Epineprin yang digunakan biasanya konsentrasi
1:100.000 atau 1:200.000, tergantung dari lokasi dan kebutuhan untuk
mengurangi perdarahan.1,13
Epinefrin dapat bertahan apabila dalam keadaan asam, pada pH
alkali (basa) kadar epinefrin akan terdegradasi secara perlahan. Sifat
asam tersebut menimbulkan rasa nyeri pada saat dilakukan infiltrasi ke
dalam kulit. Metode yang digunakan untuk mengurangi rasa nyeri
tersebut dengan cara menetralkan kadar asamnya dengan pemberian
sodium bikarbonat. Penambahan tersebut harus dilakukan pada saat akan
dilakukan tindakan karena semakin lama larutan campuran tersebut
dibuat maka epinefrin akan semakin terdegradasi, efek utama epinefrin
sebagai vasokonstriktor akan berkurang dan risiko perdarahan pada saat
dilakukan operasi atau perdarahan pasca operasi akan meningkat.1,2,13
Efek samping epineprin dalam cairan AT dapat menyebabkan
takikardi, tremor, dan ansietas, sehingga hati-hati pada pasien dengan
pengobatan pseudoefedrin untuk dekongesti nasal atau suplemen diet
yang mengandung komponen epedrin-like pada saat akan dilakukan
tindakan dengan mengunakan AT. Dosis epineprin yang bisa digunakan
untuk jaringan fibrosa adalah 1mg/L (daerah perut, punggung dan flank),
sedangkan untuk area lain adalah 0.65 mg/L. Kontra indikasi epineprin
adalah: hipersensitivitas terhadap epineprin, hipertensi berat, penyakit
jantung iskemik, hipertiroid, dan glaukoma narrow-angle.13

3. Sodium Bikarbonat
Sodium bicarbonat (NaHCO3) merupakan bahan yang ditambahkan pada
AT, dengan tujuan utama untuk mengurangi rasa nyeri dengan cara
menetralisir pH pada saat dilakukan infiltrasi AT yang disebabkan karena
sifat asam pada epinefrin. Keuntungan lain yang dapat dicapai adalah
molekul lidokain akan lebih mudah terdistribusi menembus lapisan sel
membran lemak. Hasil tersebut akan mempercepat onset kerja anestesi.
Antibakterial lidokain dapat meningkat pada penambahan sodium
bikarbonat.2,13

29
Bromhidrosis

4. Normal Saline
Volume AT yang paling besar adalah normal saline, sebagai bahan dilusi
lidokain. Normal saline yang paling sering digunakan adalah 0.9%
sodium klorida (NaCl). Penggunaan AT dengan volume yang besar akan
memberikan tekanan hidrostatatik, sehingga memberikan konstribusi
pada lokal anestesi dengan cara kompresi persarafan perifer kulit.
Kompresi AT juga terjadi pada vaskular, sehingga memberikan
keuntungan tambahan sebagai anestesi melalui absorbsi lidokain yang
lebih lambat. Pemberian cairan elektrolit dalam volume besar (AT) pada
jaringan sub kutis dapat menghilangkan kebutuhan penambahan cairan
intravena pada saat dilakukan.2,10

CARA PEMBUATAN dan TEHNIK INFILTRASI


Pembuatan cairan AT tidak memiliki standart atau resep/formula
‘official’ yang selalu sama dalam pembuatannya. Konsentrasi dari
berbagai bahan komponen dalam AT dapat bervariasi, tergantung dari
kondisi klinis yang dibutuhkan, sepanjang masih dalam batas keamanan
yang dapat diterima. Keseimbangan antara konsentrasi efektifitas
minimal dan dosis aman maksimal harus selalu diperhatikan. Untuk
mengurangi potensi toksisitas suatu obat, maka gunakan dosis terendah
suatu obat yang masih mampu untuk mencapai hasil yang diharapkan. AT
yang digunakan oleh ahli bedah kulit pada umumnya memakai lidokain
dengan konsentrasi 0.05-0.15% (500-1.500 mg/L) dengan epinefrin
1:1.000.000 (1mg/L) dan volume maksimal anestesi yang diberikan tidak
boleh melebihi 5L untuk menghindari risiko overload cairan.1,2
Pembuatan AT sebaiknya dilakukan pada saat akan dilakukan
tindakan. Penambahan sodium bikarbonat dengan tujuan mengurangi rasa
nyeri dengan cara mengurangi keasaman epineprin. Kadar pH cairan AT
yang ke arah netral akan menyebabkan epineprin menjadi tidak stabil,
semakin lama cairan AT disimpan maka akan semakin berkurang efek
epineprin. Epineprin akan terdegradasi efek vasokonstriksinya di dalam
AT (karena penambahan sodium bikarbonat), efek akan berkurang 25%
perminggunya. Karena alasan tersebut, maka penambahan sodium
bikarbonat sebaiknya diberikan terakhir pada saat akan dilakukan
tindakan.1,2
Beberapa formula standart pembuatan AT untuk menghasilkan
cairan sebanyak 1 liter (0.1% lidokain dengan 1:1.000.000 epineprin),
akan didapatkan dosis 1mg lidokain setiap 1mL cairan AT yang
diberikan. Beberapa contoh formula yang bisa dibuat:1,2

30
Bromhidrosis

Jumlah
Bahan Kemasan Dosis
(mL)
Normal saline 1L 889 -
1% lidokain 50 mL x2 100 1.000 mg
Epineprin 1:1.000 1 ampul 1 1mg
(1mg/mL)
8.4% sodium bicarbonat 10 mL atau 50 10 10 mEq
(1mEq/mL) mL

Atau:

Jumlah
Bahan Kemasan Dosis
(mL)
Normal saline 1L 890 -
1% lidokain dengan 20 mL x 5 100 1.000 mg
epineprin 1:1.00.000
Epineprin 1:1.000 - - 1mg
8.4% sodium bicarbonat 10 mL atau 10 mEq
(1mEq/mL)

Beberapa formula untuk prosedur kecil dapat menggunakan ‘rule of


four’:14
Bahan Jumlah (mL)
Lidokain 2% 10
Epineprin :1.000 0.4
8.4% sodium bicarbonat (1mEq/mL) 4
Normal saline 40

Atau untuk lebih memudahkan pembuatan dari formula diatas maka


digunakan gelas becker steril dengan ukuran 50 mL sebagai tempat
pembuatan AT:14

31
Bromhidrosis

Bahan Jumlah (mL)


Lidokain 2% 4
Epineprin :1.000 44 tetes (setara 0.2 mL)
8.4% sodium bicarbonat 4
(1mEq/mL)
Normal saline Terakhir dimasukkan dalam gelas
becker sampai batas angka 40

Atau dapat digunakan formula:


 Xylocaine / Lidocaine 2% : 5 ml
 Bicarbonas natricus 8,4% : 2,5 ml
 Epinephrine 1:1000 : 0,1 – 0,2 (ml)
 Na Cl 0,9% : 30 ml.
 Untuk campuran ini biasanya digunakan 300 ml (untuk kedua ketiak).

Formula yang digunakan di Bagian/KSM IK kulit dan kelamin FK


UNS/RSUD dr. Moewardi:
 NaCl 0,9% 300 cc
 Meylon/bicarbonas natricus 12,5 ml
 Adrenalin 1/10000 1 ml
 Xilocain2% 20 ml
 1 flacon gentamisin 40 mg.

Konsentrasi tersebut dapat dirubah untuk kebutuhan-kebutuhan


khusus, seperti AT untuk daerah yang memiliki vaskularisasi lebih
banyak seperti area kepala dan leher akan berpotensial untuk peningkatan
level plasma lidokain lebih tinggi dikarenakan absorbsi yang lebih cepat.
Area tersebut juga lebih sensitif terhadap nyeri, sehingga penyesuaian
dosis AT perlu dilakukan. Konsentrasi pada area tersebut pada umumnya
digunakan dosis lidokain 2 mg tiap 1 mL cairan AT yang diberikan.1,14
Klein merekomendasikan batas tinggi dosis lidokain 50 mg/kg.
Untuk wanita dengan berat badan 60 kg saat BSL dosis maksimal
lidokain yang diberikan adalah 3000 mg, atau 3 L dengan konsentrasi
lidokain 0.1%. Rekomendasi dari Klein dosis maksimum lidokain untuk
AT adalah lidokain kurang dari 0.15% dengan dilusi epineprin 1:

32
Bromhidrosis

1.000.000 pada orang dewasa sehat tanpa gangguan penggunaan obat


lain.1,2

Dosis maximum lidokain


Dengan sedot lemak Tanpa sedot lemak
50 mg/kg 35 mg/kg

Beberapa operator kadang menambahkan beberapa bahan lain


dalam cairan AT, seperti antibiotik untuk profilaksis infeksi,
hialuronidase untuk mempercepat penyebaran cairan anestesi ke dalam
jaringan, ataupun triamcinolon untuk mencegah terjadinya panikulitis.
Untuk mengurangi kecemasan maka pasien sebelum dilakukan tindakan
dapat diberikan obat penenang seperti diazepam.1
Infiltasi anestesi adalah infiltrasi bahan anestesi ke dalam
intradermal atau subkutan baik secara langsung ke area operasi ataupun
ke dalam sekitar lokasi operasi (field block). Tehnik infiltrasi AT ke
dalam jaringan subkutan untuk tindakan BSL, dapat menggunakan kanula
bentuk bevel pendek untuk mengurangi risiko laserasi jaringan yang lebih
dalam. Semakin besar diameter kanula yang digunakan (12 atau 14
gauge) dan semakin berujung tumpul suatu kanula, maka akan semakin
terasa tidak nyaman pada saat infiltrasi cairan AT. Untuk mengurangi
rasa tidak nyaman tesebut, maka pertama dilakukan incisi pada kulit
dengan menggunakan mata pisau ukuran 11 sepanjang 3 mm atau
menggunakan trokar. Infiltrasi dilakukan sampai 2 cm di luar batas yang
diberi marking. Infiltrasi dilakukan dengan gerakan radier. Setelah
tampak membengkak dan mengalami anestesi tunggu 30-60 menit untuk
difusi maksimal. Untuk area area yang lebih sensitif terhadap nyeri
(terutama pada jaringan fibrosa) dapat ditambahkan bahan dan tunggu 10
menit sebelum melanjutkan tindakan.1,2,15
Pada saat pelaksanaan anestesi lokal akan menimbulkan rasa nyeri.
Nyeri tersebut berasal dari jarum yang dimasukkan dan pada saat
infiltrasi, yang disebabkan karena distensi jaringan ataupun kontak dari
bahan anestesinya tersebut. Beberapa cara dapat dilakukan untuk
mengurangi rasa nyeri tersebut.

33
Bromhidrosis

Metode untuk mengurangi rasa nyeri pada saat infiltrasi anestesi:15


Mengurangi nyeri dari jarum suntik:
 Es
 Cryogen cooling
 Anestesi topikal
 Jarum suntik ukuran kecil (28 atau 30 gauge)
 Suntikan pada pori-pori atau folikel
 Metode “one-stick”
Mengurangi nyeri dari infiltrasi:
 Siringe dengan volume kecil
 Injeksi deep dermal
 Infiltrasi secara perlahan
 Anestesi hangat, dan pH netral
 Stimulasi mekanik (dicubit, diusap)
Dukungan psikologi:
 Distraksi verbal
 Berpegangan tangan
 Musik
 Atmosfir yang menenangkan
 Jauhkan pandangan dari jarum suntik
 Pemberian anxiolitik saat dibutuhkan

KELEBIHAN ANESTESI TUMESCENT dan APLIKASI


KLINIS
Anestesi tumescent memiliki berbagai kelebihan/keuntungan seperti:
penggunaan anestesi lokal untuk area yang luas, perdarahan yang lebih
sedikit atau minimal, toksisitas lidokain rendah, risiko infeksi lebih
minimal, efek anestesi bertahan lama, serta dapat dilakukan untuk
tindakan rawat jalan. Efek AT dalam perbaikan hemostasis menyebabkan
risiko perdarahan, memar, hematoma, dan rasa tidak nyaman pada saat
pasca operasi berkurang. Masa perbaikan/recovery peri-operasi juga lebih
cepat. Berbagai kelebihan tersebut meningkatkan keamanan tindakan
dengan menggunakan AT.9,16
Melihat berbagai macam kelebihan tersebut, maka pasca
dikenalkan oleh Klein tahun 1986, AT telah banyak berkembang dalam

34
Bromhidrosis

indikasinya. Indikasi AT pada awal diperkenalkan hanya sebagai anestesi


lokal untuk BSL, sekarang hampir semua tindakan bedah kulit
menggunakan AT. Anestesi tumescent dapat digunakan pada berbagai
macam kasus bedah dermatologi. Kasus yang paling sering adalah BSL.
Kasus-kasus lain di luar BSL seperti: bromhidrosis aksila, Moh’s
microgapic surgery5, face-lift surgery, tindakan laser17,18, transplantasi
rambut, transfer lemak, dermabrasi dan berbagai macam kasus bedah
kulit lainnya.19 Tindakan untuk bromhidrosis aksila dengan AT pada
umumnya menggunakan tehnik BSL kombinasi dengan kuretase ataupun
ekstraksi dengan kuretase.4,5 Dari berbagai kasus tersebut, formula AT
yang digunakan tidak semuanya sama, tergantung dari kebutuhan masing-
masing prosedur, dengan syarat utama tidak melebihi dosis aman
maksimal.

PROSEDUR ANESTESI TUMESCENT pada TERAPI


BROMHIDROSIS
Prosedur infiltrasi AT pada terapi bromhidrosis dengan tindakan
kombinasi BSL dan kuretase:1,2,4
 Pasien siap dalam posisi operasi dan telah dilakukan tindakan aseptik
antiseptik dan telah terpasang duk steril.
 Pada dua ujung kulit yang telah diberikan penanda, dilakukan
penyuntikan dengan pehakain intra dermal, tempat insisi kulit baik
menggunakan bisturi no 11 atau dapat pula menggunakan trokart
untuk melubangi kulit (± 2 mm) sebagai tempat masuknya kanula
atau kuret.
 Cairan AT yang telah disiapkan diinjeksikan (infiltrasi) ke dalam
intra dermal dan subkutan dengan kanula infiltrasi atau jarum ukuran
22 untuk mengurangi nyeri dan risiko laserasi dengan gerakan radier
dipandu dengan jari tangan yang lain (terutama untuk anestesi lapisan
kulit) secara langsung ke area operasi (ketiak). Infiltrasi AT
dilakukan sampai ketiak terlihat membengkak, kulit aksila meregang.
 Untuk lebih memudahkan dan mempercepat tehnik infiltrasi, maka
dapat menggunakan autonomic infusion pump dengan tekanan positif
dibawah 300 mmHg. Setelah infiltrasi AT, untuk mendapatkan efek
anestesi maka ditunggu 30 menit supaya difusi maksimal sampai
kulit terlihat lebih pucat dari daerah sekitar. Daerah operasi siap
untuk dilakukan tindakan operasi.4

35
Bromhidrosis

KOMPLIKASI
Komplikasi penggunaan AT sangat minimal, terutama pada saat
pelaksanaan tindakan sudah sesuai dengan prosedur yang harus dilakukan
(guideline). Komplikasi utama pada umumnya disebabkan karena
toksisitas lidokain dan epineprin. Kontra indikasi epineprin selalu
diperhatikan pada setiap kasus yang akan menggunakan AT. Toksisitas
lidokain dapat terjadi apabila dalam pembuatan formula AT melebihi
batas aman dosis konsentrasi lidokain, digunakan bersama-sama dengan
obat-obatan yang dapat mengganggu enzim sitokrom P4501A1 atau
P4503A4 dan yang paling utama, komplikasi AT banyak terjadi apabila
dikombinasikan dengan anestesi jenis lainnya.4,9-11

RINGKASAN
Anestesi lokal dengan modifikasi yang dikenal sebagai anestesi
tumescent pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey A. Klein seorang
dermatolog dan farmakolog. Infiltrasi secara langsung cairan berisi
lidokain yang sangat terdilusi (0.05-0.15%) dengan epineprin ke dalam
jaringan lemak, akan menghasilkan absorbsi lidokain sistemik secara
lambat, sehingga toksisitas lidokain dapat dikurangi dan menjadikan AT
sebagai anestesi lokal yang aman. Komplikasi AT sangat minimal apabila
dilakukan dengan prosedur yang benar. Penggunaan AT secara lokal akan
mengeliminasi keperluan pemakaian anestesi general/sistemik.
Keuntungan AT yang memiliki sifat hemostat akan mengurangi jumlah
perdarahan durante dan pasca operasi. Tidak ada resep/formula standart
dalam pembuatan AT. Formula dapat berubah dari satu area lokasi tubuh
dengan area yang lain atau dari prosedur satu dengan prosedur
berikutnya. Perbedaan formula tersebut pada titrasi kadar lidokain dan
epineprin tergantung dengan kebutuhan, dengan syarat tidak melebihi
dosis maksimal. Tidak disarankan untuk menggunakan AT kombinasi
dengan anestesi jenis lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Henghold WB, Moody BR. Tumescent anesthesia. In: Anesthesia and
analgesia in dermatologic surgery. Harahap M, Abadir AR, ed.
Informa healthcare. New York 2008; 107-132.
2. Klein JA. Tumescent technique, tumescent anesthesia and
microcanular liposuction. Mosby. St.Louis, Missouri 2000.

36
Bromhidrosis

3. Behroozan DS, and. Goldberg LH. Dermal tumescent local


anesthesia in cutaneous surgery. J Am Acad Dermatol 2005;53:828-
30.
4. Seo SH, Jang CK, Kon KS, Kim MB. Tumescent superficial
liposuction with curettage for treatment of axillary bromhidrosis. J
Eur Acad dermatol venereol 2007;22:30-35.
5. Rezende RM. Surgical treatment of axillary hyperhidrosis by suction-
curettage of sweat glands. An Bras Dermatol 2014;89(6):940-954.
6. Alam M, Ricci D, Havey J, Rademaker A, Witherspoon J, West DP.
Safety of peak serum lidocaine concentration after Mohs
micrographic surgery: A prospective cohort study. J Am Acad
Dermatol 2010;63:87-92.
7. Platt MS, Kohle LJ, Ruiz R, et al. Deaths associated with liposuction:
case report and review of the literature. J Forensic Sci 2002;7:205-
207.
8. Gilliland MD, and Coates N. Tumescent liposuction complicated by
pulmonary edema. Plast Reconstr Surg 1997;99:215-219.
9. Tierney EP, Kouba DJ, and Hanke CW. Safety of Tumescent and
Laser-Assisted Liposuction: Review of the Literature. J Drugs
Dermatol 2011;10(12):1363-1369.
10. Habbema L. Efficacy of tumescent local anesthesia with variable
lidocaine concentration in 3430 consecutive cases of liposuction. J
Am Acad Dermatol 2010;62:988-994.
11. Habbema L. Safety of liposuction using exclusively tumescent lokal
anesthesia in 3,240 consecutive cases. Dermatol Surg 2009;35:1728-
1735.
12. Hardman JG, Limbird LE, eds. Goodman & Gilman: the
pharmachological basis of therapeutics.10th ed. Ne York: McGraw-
Hill 2001.
13. Haneke E. Local anesthetics and anesthetic solutions: classification,
mode of action and dosages. In: Anesthesia and analgesia in
dermatologic surgery. Harahap M., Abadir AR ed. Informa
healthcare. New York 2008; 1-27.
14. Galdelha AR, Leao TL. Rule of four: a simple and safe formula for
tumescent anesthesia in dermatologic surgical procedures. Surg &
cosmet Dermatol 2009;1(2):99-102.
15. Ammirati CT, Hruza GJ. Local infiltration anesthesia. In: Anesthesia
and analgesia in dermatologic surgery. Harahap M, Abadir AR ed.
Informa healthcare. New York 2008:69-89.

37
Bromhidrosis

16. Jacob CL, Kaminer MS. Tumescent anesthesia. In: Narins RS, ed.
Safe liposuction and fat transfer. New York: Marcel Dekker,
2003:29-40.
17. Gaitan SBS, and Markus R. Anesthesia methods in laser resurfacing.
Plast Surg 2012;26:117–124.
18. Krejci-Manwaring J, Markus JL, Goldberg LH, Friedman PM,
Markus RF. Surgical Pearl: Tumescent anesthesia reduces pain of
axillary laser hair removal. J Am Acad Dermatol 2004;51:290-291.
19. Narins RS. The use of tumescent anesthetic solution for fat transfer
donor and recipient sites. J Drug Dermatol 2002;3:279-282.

38
Bromhidrosis

Bromhidrosis: Biological Pathogenesis


and Management
Indah Julianto Danukusumo
Bagian/ KSM IK Kulit dan Kelamin FK UNS/RSUD dr. Moewardi

PENDAHULUAN
Kulit manusia merupakan bagian tubuh dengan permukaan yang paling
luas, terdapat berbagai macam koloni mikroba yang bersifat komensal.
Koloni berbagai mikroba tersebut mempunyai peran penting untuk
kesehatan kulit, pada perubahan ekologi yang terjadi pada permukaan
kulit akan terjadi perubahan sifat dari mikroba juga terjadi pada
perubahan bau badan baik secara keseluruhan dan terutama di daerah
ketiak, yang biasa disebut sebagai bromhidrosis atau osmidrosis.
Bromhidrosis, diartikan sebagai bau badan dengan awitan pada usia
setelah pubertas, keringat yang dihasilkan pada aksila memberikan warna
kuning kecoklatan pada baju dengan bau yang menyengat.1
Bromhidrosis merupakan kondisi kronis dan dapat terjadi pada
semua ras. Walupun tidak ditemukan morbiditas pada bromhidrosis tetapi
bau badan tidak sedap sering membuat individu yang terkena merasa
malu sehingga mengganggu kualitas hidupnya. Oleh karena itu, perlu
diketahui lebih lanjut mengenai bromhidrosis sehingga diharapakan dapat
menambah pengetahuan mengenai etiologi, manifestasi klinis, cara
menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan bromhidrosis agar dapat
diterapkan guna mencegah komplikasi berupa penurunan fungsi
psikososial individu yang mengalami bromhhidrosis.1
Berbagai penanganan bromhidrosis, telah banyak dilaporkan
dengan hasil yang tidak signifikan, bahkan penggunaan berbagai

39
Bromhidrosis

deodoran serta pengharum berakibat makin menyengatnya bromhidrosis


aksilaris. Dibawah ini dilaporkan penanganan bromhidrosis secara
intervensi yang dapat dilakukan oleh para dokter kulit, penulis akan
melaporkan metode sand which pada penanganan osmidrosis/
bromhidrosis, dengan anestesi tumescent sub kutan dan jaringan lemak
dilakukan kombinasi bedah sedot lemak, pengerokan baik pada kelenjar
ekrin maupun apokrin. Hasil intervensi dilakukan pemeriksaan klinis
maupun histopatologi.

BROMHIDOSIS
Bromhidrosis dapat dibagi menjadi bromhidrosis apokrin dan
bromhidrosis ekrin. Bromhidrosis apokrin diartikan sebagai bau tidak
sedap yang dihasilkan oleh kelenjar apokrin. Keadaan ini biasa terjadi di
aksila. Sekresi kelenjar apokrin berupa cairan berminyak diuraikan oleh
bakteri pada permukaan kulit sehingga menghasilkan ikatan kimia E-3-
methyl-2-hexenoic acid (E-3M2H) dan (RS)-3-methylhexanoic acid
(HMHA), yang dihasilkan melalui aktivasi dari N-alpha-acyl-glutamine
aminoacylase (N-AGA) yang tergantung pada zinc, oleh kuman
corynebacteria menghasilkan odor yang tidak sedap. Sementara itu,
bromhidrosis ekrin dapat disebabkan oleh konsumsi beberapa jenis
makanan seperti bawang putih, alkohol, berbagai jenis obat (penisilin,
bromida), toksin serta gangguan metabolik dan faktor eksterna.
Jenis Kelenjar Keringat dan Fungsinya
Kelenjar keringat ekrin:
 Kelenjar ekrin terdapat di seluruh permukaan tubuh, tidak dijumpai
pada berbagai bentuk modifikasi kulit yang tidak didapatkan kelenjar
seperti sudut vermilion pada bibir, kuku, labium minora, klitoris dan
glans penis, kelenjar ekrin berfungsi sebagai pengatur temperatur
tubuh melalui produksi keringat. Selain temperatur, emosi serta
proses pencernaan memicu sekresi dari ekrin.1
 Terdiri dari tiga segmen: Duktus intra epidermal (akrosyringium),
duktus intra dermal dan saluran sekresi kepermukaan kulit.
 Kumparan kelenjar ekrin basalis terletak pada lapisan dermis dan
bahkan masuk ke jaringan adiposa.
 Keringat yang dihasilkan bisa mencapai 3 liter per jam terdiri
terutama air (99%).2 Pada keadaan istirahat dihasilkan elektrolit
seperti NaCl, K+, HCO3-, Mg 2+ dan SO4 2- dan beberapa molekul
sederhana seperti laktat, amonia, urea, calcium dan logam

40
Bromhidrosis

berat.3beberapa tahun terakhir dilaporkan adanya produk steroid,


peptida antimikroba dan IgA.2
 Pensarafan yang mengatur kelenjar ekrin di bawah pengaruh serabut
simpatetik postganglion, menghasilkan acetylcholine yang berperan
sebagai neurotransmiter dan berpusat pada hipotalamus.2,3
Kelenjar keringat apokrin:
 Banyak yang belum diketahui mengenai kelanjar apokrin, kelenjar ini
tidak memberikan respons untk pengaturan temperatur tetapi
memberikan respons terhadap stressor psiko-emosional.2
 Berkembang dari sarung folikel rambut pada minggu ke 24 embrio.
 Seperti pada ekrin terdiri dari tiga segmen, duktus intra epidermal,
duktus dermal dan saluran sekresi kepermukaan kulit. Duktus awal
apokrin (acrosyringium) dimulai dari folikel pilosebaseus tepat diatas
muara duktus sebacea.
 Kelenjar apokrin didapatkan pada aksila, regio anogenital, saluran
telinga eksterna (kelenjar ceruminous), pada kelopak mata (kelenjar
Moll’s) dan pada buah dada (kelenjar mamma).
 Sekresi apokrin berupa cairan yang mengandung asam lemak dan
berbagai komponen seperti cholesterol skualen, trigliserid, androgen,
ammonia, gula, zat besi dan lain lain.4
 Persarafan diatur oleh serabut saraf simpatetik, juga diduga adanya
efek reseptor agonists humoral β-adrenergik.2,4
Kelenjar keringat apoekrin
Kelenjar apoekrin adalah kelenjar keringat ketiga, belum banyak
diketahui mengenai fungsi kelenjar apoekrin, didapatkan hanya pada usia
pubertas. Kumparan kelenjar apoekrin diketahui sebagai dua macam yaitu
dilatasi dan non dilatasi. Kumparan kelenjar yang berbentuk dilatasi,
bersifat sebagai apokrin sedangkan yang non dilatasi bersifat seperti
kelenjar ekrin, tetapi sekresi kelenjar apoekrin langsung pada permukaan
kulit seperti halnya ekrin. Persarafan kelenjar apoekrin sama dengan
ekrin, disertai adanya stimulasi adrenergik.2

MIKROBIOTA dan PATHOGENESIS


Berbagai mikroorganisme tidak hanya tinggal pada permukaan kulit saja,
tetapi juga pada lipatan-lipatan kulit yang lebih tipis serta berbagai
kelenjar seperti kelenjar sebacea, kelenjar keringat dan folikel rambut.5
Adanya lipatan kulit serta mikrobiome pada kulit, menunjang berbagai
habitat mikro organisme yang berkembang pada kulit dan kelenjarnya.

41
Bromhidrosis

Dalam hal ini faktor host juga berperan meliputi gender, usia, jenis kulit.
Umur merupakan parameter yang penting, oleh adanya perubahan sebum
yang berubah setiap saat berakibat pada fluktuasi kadar bakteri yang
bersifat lipofilik.6 Perbedaan anatomi dan fisiologis antara pria dan
perempuan, seperti kelenjar keringat dan produksi hormon, serta faktor
lingkungan seperti penggunaan kosmetik, obat-obatan dan aktivitas
sehari-hari akan sangat berperan pada mikrobiome kulit manusia.1,7,8
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iklim hanya memberikan
seedikit pengaruh pada mikrobiome kulit, tetapi peranan tangan dan
frekuensi mencuci tangan memberikan hasil yang signifikan pada
mikrobiome kulit.7
Sebagian besar bakteri yang hidup pada lapisan kulit meliputi 4
phyla: Actinobacteria, Firmicutes, Bacteriodes dan Proteobacteria, dan
actinobacteria merupakan phylum yang paling dominan pada lapisan
kulit dan kelenjarnya.2 Pada area yang lembab seperti aksila, spesies
stafilokokus dan corynebacteria yang paling dominan, sedangkan pada
permukaan kulit yang kering species flavobacteriales dan β-
Proteobacteria, lebih dominan. Hal penting lain yang harus diperhatikan
adalah bahwa di daerah aksila juga didapatkan koloni mikrokokus dan
propioni bakteria yang berkembang dengan subur.2 Stapilokok yang
hidup pada lingkungan anaerob, menggunakan urea yang dihasilkan oleh
keringat sebagai sumber nitrogen. Coryne bacteria, merupakan
mikroorganisme yang paling berperan didalam menimbulkan bau badan
tidak sedap pada kelenjar apokrin.9,10 Disamping bakteri, beberapa jenis
jamur merupakan flora normal pada kulit seperti species Malassezia dan
Cryptococcus.2 Bahkan arthropoda seperti demodex juga menjadi bagian
mikroflora dari kulit normal.11,12
Dari berbagai macam mikrobiota tersebut di atas, aksila merupakan
bagian tubuh yang paling sering mengandung berbagai jenis mikro
organisme, bahkan jumlah dan variasi antara aksila kanan dan kiri
berbeda pada masing-masing.13
Berbagai bahan kimia yang berperan pada bau badan.
Bromhidrosis apokrin merupakan jenis dengan prevalensi tertinggi,
dengan berbagai macam bau mulai dari ringan sampai bau sangat
menyengat, dan diakibatkan juga oleh berbagai reaksi kiamiawi yang
dikativasi oleh flora normal kulit.1 Produk asam tersebut berikatan
dengan reseptor protein permukaan kulit seperti apocrine secretion odor
binding proteins, ASOB1 dan ASOB2, diidentifikasi sebagai
apolipoprotein D (apoD).11
Keringat manusia pada saat dihasilkan baik melalui kelenjar ekrin
maupun apokrin, tidak berbau dan masih steril.14 Bau badan manusia

42
Bromhidrosis

diakibatkan oleh karena aktivitas dari berbagai mikroorganisme pada


kulit, terutama coryne bacteria aerob, yang paling berperan pada bau
badan menyengat diketiak.9 Bau badan menyengat tidak saja dikarenakan
oleh berbagai mikroorganisme, tetapi juga oleh karena komposisi dari
keringat baik yang mengandung steroid, volatil fatty acids (VFAs) dan
thioalcohols.15 (Gambar 1)

Gambar 1: Skema proses mikrobiologi dan biokimiawi pada brom


hidrosis. Alurnya: metabolisme asam amino kulit
menghasilkan rantai pendek VFAs (C2-C5) oleh kuman
stapilokok, dan hidrolisis dari Nα – acyglutamines menjadi
rantai medium VFAs (C6-C10) oleh kuman
corynebacterium, serta formasi thioalcohol yang berasal
dari L-cystein dan atau L-cysteinglycine yang mengalami
konjugasi oleh corynebacteria dan stapilokok. (Dikutip dari
Skin Community Interaction, Benjamin Buyschaert, 2013)15

1. Bau badan berbasis steroid


Odoran yang berbasis androgen steroid, yaitu 5-α-androstenol dan 5-α-
androstenone. Apabila mikrobiota aksilaris didominasi oleh bakteri
coryneformis(lipophilic diphteroids), akan dihasilkan acrid odor (bau
yang tengik) dari delta-16 steroids. Sekresi kelenjar apokrin
mengandung steroid yang larut dalam air, secara in vivo akan dihidrolisis
menjadi steroid-ester (menghasilkan bau tidak sedap), oleh enzym yang
dihasilkan kelompok coryne bacteria yaitu enzym β-glucoronidase (β-G)
dan aryl sulfatase (AS).16

43
Bromhidrosis

2. Bau badan berbasis Volatile Fatty Acid (VFA)


Secara umum rantai pendek dari VFA, (C2-C5) dan rantai medium (C6-
C10), sebagai salah satu penyebab timbulnya bau badan menyengat atau
bromhidrosis. Koloni dari propioni bakteri dan stapilokok melakukan
reaksi fermentasi glycerol (yang diproduksi oleh kelenjar sebacea) dan
asam laktat menjadi asam asetat dan asam propioniat. Disamping reaksi
tersebut koloni bakteri stapilokok mampu melakukan fermentasi cabang
asam amino yang terdapat pada lapisan kulit terutama epidermis seperti
L-leucine menjadi asam isovalerat, penghasil bau ketiak sangat
menyengat dari rantai pendek VFA (C2-C5), dan hidrolisis Nα –
acylglutamine oleh corynebacteria, yang menghasilkan rantai medium
(C6-C10).9,15
3. Bau badan berbasis Thioalcohol
Pertama kali bau badan berbasis thioalcohol dilaporkan oleh Natsch dan
kawan-kawan (2004) berupa 3-mercaptopentan-1-ol dan 3-methyl-3-
mercaptohexan-1-ol.17 Reaksi thioalcohol akan menghasilkan bau tengik,
bau seperti bawang bahkan bau seperti buah durian ataupun
nangka.9Thioalcohol yang disekresi oleh kelenjar apokrin pada
permukaan kulit sebagai konjugasi cystein (S-hydroxyalkylcystein, S-
hydroxyalkylcysteinglycines), akan diuraikan oleh enzim C-S β-lyase,
yang dihasilkan oleh kelompok corynebacteria dan stapilokok, dengan
tujuan membersihkan sisa-sisa cystein, sebaliknya proses tersebut
menghasilkan bau menyengat. 9

PENATALAKSANAAN
Non Intervensi
Topikal, merupakan first line terapi, dengan menggunakan aluminium
chlorida (10-15%), digunakan pada malam hari, diawali dengan
pengeringan ketiak sebelum pengolesan obat, alumium chlorida ini hanya
bermanfaat untuk hiperhidrosis derajat ringan sampai sedang, mekanisme
kerjanya: interaksi Aluminium chlorida dengan keratin pada saluran
kelenjar (berfungsi menghambat ekskresi) atau secara langsung pada
epitel kelenjar ekrin dengan tujuan memicu atropi pada sel-sel kelenjar
keringat, terutama ekrin. Aluminium chlorida tidak memberikan manfaat
apapun pada bromhidrosis yang berasal dari kelenjar apokrin.
1. Preparat anti cholinergik
Preparat anticholinergik (glycopyrrolate, methatheline bromide, oxybutin)
dan alpha-adrenergik agonists (clonidine) paling banyak digunakan oleh
para klinisi. Cara kerjanya menghambat produksi keringat secara

44
Bromhidrosis

competitive inhibition dengan acetylcholine pada reseptor muscarinic.


(mempunyai afinitas untuk reseptor M3 yang terdapat pada target
kelenjar). Efek samping terapi ini berupa xerostomia, mydriasis,
glaucoma, kegelisahan, retensi urine dan konstipasi, mengakibatkan
penggunaan obat ini harus berhati-hati, serta hanya bermanfaat untuk
hiperhidrosis yang ringan sampai sedang.
2. Iontophoresis
Pertama kali digunakan tahun 1952, khususnya untuk hiperhidrosis pada
telapak tangan dan telapak kaki.9
Tindakan Intervensi
Sebelum dilakukan tindakan intervensi pada bromhidrosis, dilakukan
diagnosis yang akurat, dengan metoda yang diusulkan oleh Park dan
Shin.18 Dilaporkan ada empat derajat malodor pada ketiak: dengan cara
mengoleskan kain kasa pada daerah ketiak dan akan didapatkan hasil
sebagai berikut (Tabel 1):
Tabel 1: Dikutip dari Park Yj.,Shin MS.: What is the best method for
treating osmidrosis? 18
Nilai Derajat Bau Badan
0 Tidak didapatkan bau / normal
1 Tidak didapatkan bau pada aktivitas sehari-hari, tetapi pada
peningkatan kegiatan fisik didapatkan bau badan/ (ringan)
2 Didapatkan bau menyengat pada kegiatan sehari-hari, tetapi
tidak tercium pada jarak 1,5 m (sedang)
3 Tanpa pengusapan kasa sudah tercium bau menyengat pada
jarak 1,5 m. ( berat)

1. Botulinum toxin
Botulinum toxin (Botox) yang diproduksi oleh kuman anaerob,
Clostridium botulinum toxin, merupakan neurotoksin kuat yang
menghambat produksi acetylcholine pada presynaptic dan berikatan
dengan reseptor membran posynaptic, kelenjar keringat ekrin mendapat
inervasi dari serabut saraf simpatis kolinergik post ganglion, dimana hal
tersebut merupakan target BOTOX yang efektif. Botox menghasilkan 7
neurotoksin, yaitu tipe A,B,C1,D,E,F dan G, dengan antigen berbeda
tetapi struktur subunit yang homolog.19 Injeksi Botox bersifat sementara
(2-4 bulan) dan harus diulang secara berkala, serta hanya untuk
hiperhidrosis tetapi tidak memberikan hasil yang signifikan apabila
digunakan untuk bromhidrosis.

45
Bromhidrosis

Mekanisme kerja Botox, pada sisi kiri nampak dihasilkan asetil


kolin pada neuromuscular junction, yang dimediasi oleh kompleks
protein Soluble N-ethylmaleimide-sensitive factor activating protein
receptor (SNARE), memungkinkan membran vesikel sinaptik yang
mengandung asetil kolin menyatu dengan membran sel saraf, diikuti oleh
fusi dari asetil kolin. Kompleks SNARE protein termasuk synaptobrevin,
SNAP-25, Syntaxin. (Gambar 2 : sisi kiri)
Pada (gambar 2: sisi kanan), BOTOX berikatan dengan membran
sel dan memasuki neuron dengan cara endositosis, rantai yang ringan
melakukan translokasi melalui membran sel, memotong sisi tertentu pada
SNARE protein, mencegah terjadinya ikatan kompleks yang mengasilan
fusi sinaptik, dengan demikian menghalangi dihasilkannya asetilkolin.
BOTOX tipe B,D,F dan G, membelah synaptobrevin, tipe A,C1 dan E
membelah SNAP-25, tipe C memotong syntaxin.20

Gambar 2: Dikutip dari: Toxins 2013, (Amanda-Amrita D. Lakraj 1,


Narges Moghimi 2 and Bahman Jabbari 1.)20

2. Penggunaan Subcutaneous Pulsed Neodymium:yttrium-aluminium-


garnet (Nd-YAG) laser.
Apabila semua syarat telah dipenuhi dan dilengkapi untuk tindakan
intervensi, dilakukan penentuan tingkatan dari bromhidrosis, dibuat
penanda ± 2 x 2 (cm), dengan pemberian iodine + amylum (untuk
menentukan luas area produksi keringat), pada kedua ketiak dengan
posisi lengan elevasi keatas.

46
Bromhidrosis

Prosedur Tindakan laser:


 Kedua aksila dioles dengan chlorhexadine (0,005%) dan alkohol 70%
 Untuk menenangkan penderitadiberikan 0,2–0,5 (mg)/KgBB
midazolam (Dormicum Roche, Switzerland, 5mg, 5mL).
 Campuran 1: 100,000 epinehrine dan 1% lidocaine dilarutkan pada
cairan NaCl 0,9% dengan ratio 1:1, injeksi sub kutan pada daerah
yang akan dilakukan tindakan laser, dengan menunggu selama 5
menit.
 Buat lubang pada kulit dengan jarum 18 g, untuk tempat masuknya
kanula (1 mm), dan dilakukan pre-tunneling dengan ujung yang
tumpul, kemudian selanjutnya kanula dimasukkan pada lapisan
dermal-subdermal junction, iluminasi transkutaneous mengindikasi-
kan posisi dari kanula laser, yang bekerja untuk menghancurkan
kelenjar apokrine dan ekrin.
 Panjang gelombang yang digunakan 1064 nm, durasi pulse 40 Hz
dengan paparan 150 mj. Paparan yang digunakan, tergantung dari
berat ringannya bau badan, ketebalan kulit serta kepadatan rambut
ketiak penderita. Untuk bau badan ringan dibutuhkan ± 200 – 300
Joule (J), untuk yang berat 500 J, terapi dengan laser harus diulang 2
– 5 kali.
 Setelah pelaksanaan tindakan laser, diberikan salep kulit antibiotika
dapat juga salep antibiotika untuk mata, ditutup semalam saja.21

3. Bedah sedot lemak superfisialis dan Curretage


Bedah sedot lemak (BSL) superfisialis yang diikuti tindakan curretage
untuk kelenjar keringat ekrin dan apokrin, merupakan tindakan yang
aman dan efektif, dapat dikerjakan oleh para Dokter Kulit. Sering
tindakan intervensi ini disebut sebagai sandwich, letak dari kelenjar ekrin
maupun apokrin, pada lapisan dermis, dan sebagian masuk kedalam
jaringan adiposa kulit, hal ini membutuhkan tindakan bertahap, untuk
memberikan hasil yang maksimal.
Prosedur pelaksanaan BSL yang diikuti oleh curretage:
 1 minggu sebelumnya pasien tidak boleh mengkonsumsi obat yang
bersifat mengencerkan darah, seperti aspirin, obat non steroid anti
inflamasi, vitamin E, golongan walfarin, dan sebagainya.
 Apabila perempuan tidak boleh dalam keadaan haid
 24 jam sebelumnya tidak boleh menggunakan deodoran ataupun
mencukur rambut ketiak

47
Bromhidrosis

 Hasil laboratorioum penderita dalam batas normal/tidak ada kelainan


seperti: Hb, jumlah trombosit, waktu pembekuan, waktu perdarahan,
gula darah, fungsi hati dan fungsi ginjal, serta HbS Ag (-) dan HIV (-
).
 Sebelum dilakukan penderita diminta untuk mandi yang bersih, dan
menggunakan pakaian yang longgar serta apabila menggunakan
mobil atau motor tidak boleh mengemudi sendiri. (dua jam sebelum
tindakan penderita tidak diperbolehkan latihan fisik)
 Penderita harus dijelaskan apa yang akan dokter lakukan, serta harus
mengisi inform consent.22
Pengalaman penulis dalam tindakan intervensi bromhidrosis: kombinasi
antara BSL, sedot kelenjar dan kuretase.
Beberapa komposisi cairan anestesi tumescent yang digunakan pada
tindakan intervensi bromhidrosis.
Komposisi (1)
 Xylocaine / Lidocaine 2% : 5 ml
 Bicarbonas natricus 8,4% : 2,5 ml
 Epinephrine 1/1000 : 0,1 – 0,2 (ml)
 Na Cl 0,9% : 30 ml.
 Untuk campuran ini biasanya digunakan 300 ml (untuk kedua
ketiak).9,22

Komposisi (2)
Dapat menggunakan campuran dengan konsentrasi berbeda:
 Epinephrine / adrenalin 1/1000 : 2 ml
 Lidocaine / Xylocaine 2 % : 20 ml
 Sodium hydrogen carbonate 8,4% : 10 ml
 Triamcinolone 40 : 1 ml
 Na Cl 0,9% : 1000 ml

Kebutuhan cairan tumescent disesuaikan dengan kebutuhan, luas area


kelenjar keringat, untuk mendapatkan hasil maksimal, pada tindakan sand
wich (sedot lemak, sedot kelenjar dan curretage ) lebih baik diberikan
banyak cairan, ± 400 ml pada setiap aksila.22,23

48
Bromhidrosis

Penderita disiapkan dalam keadaan aseptik


 Diberikan penanda pada ketiaknya, diikuti oleh pemberian povidone
iodine yang diikuti oleh penaburan amylum, serta pemanasan dengan
lampu, untuk mengetahui batas produksi kelenjar keringat yang akan
kita ambil. Setelah kering nampak daerah yang banyak menghasilkan
keringat akan nampak coklat tua, iodine dan amylum dibersihkan,
setelah itu dilakukan sterilisasi untuk penderita.
 Pada dua ujung kulit yang telah diberikan penanda, dilakukan
penyuntikan dengan pehacaine intra dermal, tempat insisi kulit baik
menggunakan bisturi no 11 atau dapat pula menggunakan trokart
untuk melubangi kulit (± 2 mm) sebagai tempat masuknya kanula
ataupun kuret.
 Cairan tumescent dimasukkan dengan kanula infiltrasi, intra dermal,
dipandu dengan jari tangan yang lain (terutama untuk anestesi lapisan
kulit), kemudian cairan tumescent juga dimasukkan kelapisan
jaringan adiposa kulit, untuk persiapan bedah sedot lemak kelenjar
keringat. Sampai area pre tindakan nampak menggelembung dan
padat. Dibiarkan selama 20 menit, sampai nampak kepucatan pada
permukaan kulit.
 Yang pertama dilakukan bedah sedot kelenjar dengan menggunakan
berbagai macam kanula, tipe Gilliland Etching Cannula (Byron
Medical Inc,Tucson Arizona) (untuk memotong kelenjar keringat
ekrin dan apokrin), bentuk pipih dengan pengait yang tajam (untuk
memotong dan sekaligus mengait kelenjar keluar), bentuk sekali
pakai yang saat ini lebih disukai dengan 4 lubang tepi tajam, untuk
memotong dan menghancurkan kelenjar, sekaligus memotong pada
jaringan adiposa (Metoda Skoog) (Gambar:3)23

Gambar 3: Kanula dengan metoda SKOOG 23


 Setelah selesai dilakukan curretage, dilakukan pembersihan dengan
curretage berbagai ukuran
 Terakhir dilakukan pemijatan ringan dari arah lengan bawah menuju
lubang insisi bertujuan untuk mengeluarkan sisa cairan, debris dan
melancarkan sirkulasi kelenjar getah bening, supaya tidak terjadi
pembengkakan, ataupun ekimosis.
 Terakhir luka diberi salep antibiotik dan ditutup kasa steril, dibebat
dengan bebat elastik yang tidak boleh terlalu kencang. Terapi

49
Bromhidrosis

sistemik yang diberikan adalah antibiotika peroral, anti nyeri serta


roborantia.
 Cairan tetap masih akan keluar, untuk itu setiap 4 jam pada hari
pertama, kasa diganti, apabila luka telah mengering penggantian kasa
hanya setiap hari saja sampai 3 hari.
 Penderita diminta untuk kontrol pada hari ke 3, ke 5, ke 7, dan ke 10.
 Tindakan bromhidrosis dapat dikerjakan oleh para Dokter Kulit,
dengan kompetensi yang sudah ditentukan oleh Kolegium.

RINGKASAN
Telah dibicarakan tentang bromhidrosis, baik patogenesis maupun
penatalaksanaannya. Berbagai macam terapi yang ditujukan untuk brom
hidrosis seperti oral, topikal, botox, tidak memberikan hasil maksimal.
Untuk itu telah dikembangkan beberapa penanganan baru seperti ablasi
pada jaringan kelenjar menggunakan Laser Nd YAG maupun bedah sedot
lemak, sedot kelenjar dan curretage, yang dapat dikerjakan oleh dokter
kulit, dengan syarat harus memenuhi kompetensi yang ditentukan oleh
Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Benjamin B. (2013). Development of the Skin Community
Interaction (SCIN) simulation to examine skin odour formation.
Faculteit Bio-ingenieurswetenschappen. Universiteit Gent.
2. Wilke k, Martin A, Terstegen L. and Biel SS. (2007). A short history
of sweat gland biology. Internat J of Cosmet Science, 29, 169–179.
3. Doodall. First Published online (2013). Innervation and Inhibition of
Eccrine and Apocrine sweating in Man. J Clin Pharmacol.Vol
10,Issue 4:235-240.
4. Catherine Lu and Elaine Fuchs (2014). Sweat Gland Progenitors in
Development, Homeostasis, and Wound Repair. Published by Cold
Spring Harbor Laboratory Press.
5. Leyden JJK, McGenley J, Hölzle E, Labows JN, and Kligman AM.
(1981). The microbiology of the human axilla and its relationship
to axillaryodor. J invest Dermatol 77: 413-416.
6. Fierer N, Hamady M, Lauber CL, and Knight R. (2008). The
influence of sex, handedness, and washing on the diversity of hand
surface bacteria. Proc Natl Acad Sci USA 105(46): 17994-17999.

50
Bromhidrosis

7. Giacomoni PUT, Mammone and Teri M. (2009). Gender-linked


differences in human skin. J Dermatol Sci 55(3): 144-149.
8. Grice EA, Kong HHG,Renaud, Young AC, Program NCS, Bouffard
GG, Blakesley RW, Wolfsberg TG, Turner ML and Segre JL (2008).
A diversity profile of the human skin microbiota. Genome Res 18(7):
1043-1050.
9. Grice EA and Segre JA (2011). The skin microbiome. Nat Rev
Microbiol 9(4): 244-253.
10. Tauch AE, Trost A, Tilker U, Ludewig S, Schneiker A, Goesmann
W, Arnold T, Bekel K, Brinkrolf I, Brune S, Gotker J, Kalinowski
PB, Kamp FP, Lobo P, Viehoever B, Weisshaar F, Soriano M,
Droge, and Puhler A (2008). The lifestyle of Corynebacterium
urealyticum derived from its complete genome sequence established
by pyrosequencing. J Biotechnol 136(1-2): 11-21.
11. Grice EA, Kong HH, Conlan S, Deming SC, Davis JA, Young AC,
Program NCS, Bouffard GG, Blakesley RW, Murray PR, Green ED,
et al (2009). Topographical and temporal diversity of the human
skin microbiome. Science 324(5931): 1190-1192.
12. Gower DB, Holland KT, Mallet AT, Rennie PJ, and Watkins WJ
(1994). Comparison of 16-androstene steroid concentrations in
sterile apocrine sweat and axillary secretions: interconversions of
16-androstenes by the axillary microflora a mechanism for axillary
odour production in man? JSteroid Biochem Mol Biol 48(4): 409-418.
13. Barzantny HI, Brune and Tauch A (2012). Molecular basis of human
body odour formation: insights deduced from corynebacterial
genome sequences. Int J Cosmet Sci 34(1): 2-11.
14. Egert MI, Schmidt HM, Hohne T, Lachnit RA, Schmitz and Breves R
(2011). rRNA- based profiling of bacteria in the axilla of healthy
males suggests right-left asymmetry in bacterial activity. FEMS
Microbiol Ecol 77(1): 146-153.
15. Havlicek J, and Lenochova P (2006). The effect of meat
consumption on body odor attractiveness. Chem Senses 31(8): 747-
752.
16. Taylor DA, Daulby S, Grimshaw G, James J, Mercer and Vaziri S
(2003). Characterization of the microflora of the human axilla. Int J
Cosmet Sci 25(3): 137-145.
17. Natsch AJ, Schmid and Flachsmann F (2004). Identification of
odoriferous sulfanylalkanols in human axilla secretions and their
formation through cleavage of cysteine precursors by a C-S lyase
isolated from axilla bacteria. Chem Biodivers 1(7): 1058-1072.

51
Bromhidrosis

18. Park Yj, and Shin MS (2001). What is the best method for treating
osmidrosis? Ann Surg Plast; 26: 392-6.
19. Damayanti, Diah Mira Indramaya, Putra D, Indira E. (2009). Toksin
Botulinum pada Terapi Wajah Bagian Atas. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit dan KelaminVol. 21 No. 1 April.
20. Amanda-Amrita D, Lakraj, Moghimi N, and Jabbari B (2013).
Hyperhidrosis: Anatomy, Pathophysiology and Treatment with
Emphasis on the Role of Botulinum Toxins. Toxins 2013, 5, 821-840;
doi:10.3390/toxins5040821.
21. Kim D, Junhyung, Hyeonjung, Kwon H, Son D, Han K (2012).
Treatment of Axillary osmidrosis using a Subcutaneous Pulsed Nd-
YAG Laser. APS;39:143-9.
22. Gontijo GT, Gualberto GV, and Madureira NAB (2011). Axillary
hyperhidrosis treatment update. Surg Cosmet Dermatol;3(2):147-51.
23. Rezai K. (2009). Suction Curettage of the Sweat Glands An Update.
Dermatol Surg ;35:1126–1129.

52
Bromhidrosis

Tehnik Operasi pada Bromhidrosis


Moerbono Mochtar
Bagian/SMF.Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNS, RSUD dr Moewardi

PENDAHULUAN
Bau badan adalah bila bau tidak enak tercium orang yang berada 30 cm di
dekatnya.1 Kelenjar apokrin kebanyakan terletak di jaringan subkutis.
Tidak ditemukan serabut syaraf di sekitar kelenjar apokrin, menunjukkan
bahwa setiap keterlibatan katekolamin adalah melalui efek humoral juga
kelenjar bisa terlibat oleh sub tipe adrenoreseptor β dan purinoseptor
sehingga blokade pada 2 reseptor tersebut akan menghambat sekresi
kelenjar apokrin dengan akibat mengurangi kemungkinan terjadinya
bromhidrosis.2 Sekresi kelenjar apokrin tersebut tidak berbau jika sampai
permukaan kulit. Tetapi dalam beberapa jam akan keluar bau yang khas
bila asam lemak dibebaskan oleh bakteri normal termasuk koloni besar
bakteri lipofilik dan difteroid.1 Beberapa penulis memperkirakan bahwa
kelenjar apokrin ada di subkutis. Beberapa penulis lain memperkirakan di
subkutis dan dermis.3
Untuk mengatasi bromhidrosis telah dilakukan berbagai cara
penanganan dari obat topikal maupun sistemik. Pemberian obat topikal
Astringen, Antiperspirant, atau garam alumunium hanya memberi efek
sementara. Pasien yang gagal diobati secara konvensional diindikasikan
pengobatan dengan cara bedah.4
Penelitian membuktikan bahwa kelenjar apokrin sensitif terhadap
kolinergik ataupun stimulasi adrenergik, sehingga suntikan botox atau
antikolinergik sistemik tidak dapat secara sempurna menghambat sekresi

53
Bromhidrosis

kelenjar apokrin. Terapi dengan laser, microwave, elektrodesikasi, bedah


beku pada umumnya tidak dapat menghancurkan kelenjar apokrin secara
adekuat, oleh karena itu pada kondisi terakhir maka bedah/ operasi
merupakan satu-satunya cara mengatasi bromhidrosis.5

BERBAGAI TEKNIK OPERASI PADA BROMHIDROSIS


Tindakan bedah yang ideal untuk bromhidrosis di tempat praktek adalah
tindakan yang dilakukan dengan anastesi lokal, waktu operasi yang
singkat, penyembuhan yang cepat, dengan komplikasi minimal serta
murah. Sebagian besar dokter (90%) memilih cara bedah dengan hasil
baik pada 90,69% kasus.3 Secara teori tidak ada regenerasi kelenjer
keringat, bila terjadi destruksi menyeluruh kelenjar keringat maka
merupakan solusi permanen.4
Tehnik bedah yang bisa dilakukan:
1. Simpatektomi Torakal
Pada banyak kasus memberikan hasil yang baik, tetapi beberapa kasus
dapat terjadi komplikasi dan morbiditas yang membahayakan, sehingga
membatasi metode ini. Komplikasi yang terjadi berupa hematotoraks,
pneumotoraks, atau sensitivitas papila mammae.6,7 Terapi palmar
hiperhidrosis dengan simpatektomi torakal endoskopi memberikan hasil
90% memuaskan, tetapi terjadi kompensasi pasca operasi berupa
peningkatan keringat di daerah/ area lain.8

2. Pengambilan Sebagian Kulit serta Jaringan Subkutan dan


Subsisi Kelenjar Apokrin9
Yu-Mingfan dkk memakai metode ini pada 43 pasien (32 wanita dan 11
laki-laki) dengan hasil: 95% bagus dan 5% cukup bagus dan tidak
dijumpai kekambuhan. Adapun caranya sebagai berikut:

54
Bromhidrosis

Setelah area ketiak/ aksila disterilkan dan di anestesi, lakukan insisi


elips dengan diameter maksimal 3 cm di daerah aksila sentral, tegak lurus
dengan garis aksila. Kulit dan jaringan subkutan superfisial diangkat pada
daerah elips tadi. Undermining ± 0.5 cm sekitar insisi. Kelenjar apokrin
subkutan dan folikel rambut digunting. Insisi ditutup tanpa hemostasis
maupun drainase. Jahitan dari kulit sampai subkutis untuk menghindari
dead space. Luka dibalut dengan kassa yang tebal. Operasi selesai ± 50
menit untuk 2 aksila. Jahitan dilepas setelah 8-10 hari. Pasien disarankan
untuk tidak abduksi, elevasi maksimal selama 2 minggu. Dianjurkan juga
untuk tidak olahraga berat sampai 1 bulan paska operasi.

3. Eksisi Kelenjar Apokrin dan Fascia Superficialis10


Tahun 2012 dilaporkan dari 126 aksila yang dikerjakan dengan metode
ini bisa dihilangkan bromhidrosisnya pada 112 aksila, sedangkan pada 14
aksila jelas sekali berkurang.
Tehnik:
a. Pasien telentang dalam posisi supinasi dengan lengan diabduksikan
900, tempat tumbuhnya rambut di aksila ditandai.

b. Setelah sterilisasi daerah tersebut, dimasukkan cairan anestesi yang


terdiri dari solusio lidokain 0.4% (1 cc epinefrin 1:1000, 10 cc
lidokain 2%, dan 40 cc NaCl). Tiap sisi axila disuntik 25 cc solusio
tersebut.

55
Bromhidrosis

c. Insisi sekitar 2/3 panjang terlebar diameter tranversal di lipatan axila.


d. Daerah yang longgar antara jaringan dermis dan subkutan yang
mengandung kelenjar apokrin dilakukan undermining secara hati-hati
menggunakan gunting iris, dan kelenjar apokrin dipisahkan dari kulit.

e. Sisa kelenjar apokrin yang melekat di dermis dipotong, sambil


melindungi pleksus pada subdermal.
f. Seluruh kelenjar apokrin axilaris dan kompleks fascia superfisialis
dipisahkan seluruhnya sampai superior dan inferior tepi insisi dengan
memakai elektrokauter.

56
Bromhidrosis

57
Bromhidrosis

g. Pada waktu bersamaan semua perdarahan dihentikan dengan elektro


kauter.
h. Setelah tidak ada sisa kelenjar apokrin, maka kantong sisanya di
irigasi memakai NaCl.
i. Luka dijahit.
j. Pada umumnya tidak perlu dipasang drain.
k. Empat jahitan dibuat sekitar daerah yang ditandai untuk persiapan
mengikat perban. Prosedur ini memerlukan perban yang elastis.
l. Pergerakan tangan dibatasi selama 4 hari paska operasi supaya terjadi
rekonstruksi pembuluh darah.

4. Kombinasi Liposuction (Sedot Lemak) dengan Kuretase7


Tehnik ini merupakan cara yang aman, dengan komplikasi minimal dan
mudah untuk dilakukan.11
Prinsip:
1. Kelenjar apokrin dikeluarkan sebanyak mungkin.
2. Buat Fibrosis Dermal aksila dengan kuret.

Teknik:
a. Aksila dibersihkan, dikeringkan, dan bebas rambut.
b. Beri lodin 3,5% atau Betadine 1%
c. Taburi Aksila dengan tepung kanji, maka akan terlihat warna biru
daerah yang banyak kelenjarnya.

58
Bromhidrosis

d. Tandai dengan spidol atau gentian violet daerah yang akan disedot 1-
2 cm di luar daerah yang banyak kelenjarnya.1
e. Sterilkan daerah operasi.
f. Buat sayatan dari Kranial Lateral dengan “Yelko” atau pisau no. 11
g. Masukkan cairan anestesi tumescent superfisial, sekitar 100cc –
250cc tiap aksila tergantung luas area yang banyak kelenjar
apokrinnya. (NaCI 100cc, Lidokain 0,05%, 12mkr unit Bikarbonas
Natrikus, Epineprin 1: 1.000.000). Maksudnya untuk buffer terhadap
saraf, pembuluh darah, sekaligus anesthesia.
h. Tunggu 15-30 menit supaya terjadi anesthesia dan vasokontriksi.
i. Sedot dengan kanula terlebih dahulu, “Pembimbing” (tangan kiri)
pada daerah setinggi mungkin (Superficial Portion) dari lapisan
Subkutis, karena di situ paling banyak kelenjar apokrin juga
meminimalkan kontak dengan bagian yang lebih dalam. Lubang
kanula menghadap ke atas (dermis). Ambil sebanyak mungkin
kelenjar apokrin aksila, dikombinasikan denga kuretase. Tetap
diingat yang diambil adalah kelenjar apokrin walaupun lemak ikut
terambil. Modifikasi melepas kelenjar apokrin memakai kanula yang
bercabang ujungnya akan memberi hasil yang lebih banyak. Dengan
kanula Fatemi cukup efektif menyedot jaringan subkutan sekaligus
kuretase.1
j. “Scrapping” (Kuret) lapisan dermis untuk membuat fibrosis dan
kerusakan kelenjar apokrin.
k. Keluarkan sisa-sisa lemak dan kelenjar apokrin. Rho, dkk (2008)
melakukan irigasi pada akhir prosedur operasi (12). Operasi selesai
kulit terlihat tipis, dapat dicubit dengan mudah, kulit berwarna putih
sampai purple.1
l. Tutup dengan memakai “pembalut wanita” selama 2-3 hari untuk
mencegah hematoma atau seroma.
m. Pasien disarankan untuk tidak abduksi dan elevasi maksimal selama 2
minggu dan tidak diperbolehkan olahraga berat selama 1 bulan.

Sedot lemak dikombinasikan dengan kuretase ini akan mengangkat


jaringan subkutan dan dermis bawah.11 Dalam waktu 6 minggu paska
operasi 80-90% terlihat perbaikan nyata setelah diuji dengan tepung kanji
dan iodin. Beberapa pasien melaporkan hasil maksimal setelah 8 bulan
paska operasi. Tertundanya hasil ini mungkin oleh karena fibrosis paska
operasi yang akan merusak kelenjar keringat.

59
Bromhidrosis

Peralatan yang dipakai untuk sedot lemak

Aksila yang banyak kelenjar keringatnya

60
Bromhidrosis

5. Operasi Dengan Waterjet


Angka keberhasilan dilaporkan 87% dari 93 pasien selama 3 bulan.
Tehnik:
a. Anestesi tumescent lokal dimasukkan dengan waterjet. Tidak usah
ditunggu langsung dilakukan eksisisi kelenjar memakai waterjet
dengan tekanan yang kuat, maka cairan anestesi akan membersihkan
(debridement) jaringan sekaligus irigasi dan aspirasi jaringan.13
b. Kemudian kelenjar apokrin dikuret. Waterjet ini akan mengeluarkan
lemak subkutan dan kelenjar apokrin serta meninggalkan pleksus
subdermal.
c. Eksisi dengan waterjet ini akan membuar operasi lebih sederhana dan
efisien selama ± 45 menit untuk kedua axila.14

Teknik Menggunakan Sedot Lemak

61
Bromhidrosis

Kelenjar Apokrin yang Dikeluarkan

6. Alat Berbasis Energi


a. Laser
Suatu pilot study pada 6 pasien memakai long pulse Nd Yag (Candela).
Pada hair reduction ternyata terjadi juga pengurangan keringat di axila
sampai 9 bulan tetapi tidak ada perbaikan histologis di kulit axila. Pada
penelitian lain memakai long pulse 800 nm diodalaser (Light Sheer/
Lumenis) dilakukan 5 siklus dengan interval 1 bulan pada 21 pasien. 15
hiperhidrosis teratasi dan 1 orang gagal.

b. Ultrasonic Microfocus
Dilakukan penelitian buta ganda dengan randomisasi pada 20 pasien
hiperhidrosis aksila di mana energinya difokuskan pada kelenjar keringat.
Respon positif didapatkan 50-60%.

c. Microwave
Microwave akan diserap jaringan yang banyak mengandung air, sehingga
akan memanasi jaringan adipose di dermis di mana terletak kelenjar
keringat di dalamnya. Target pemanasan ini adalah termolisis pada

62
Bromhidrosis

kelenjar ekrin. Penelitian pada 31 pasien menunjukkan 90% efisien dan


pasien puas setelah 1 tahun. Keringat pasien berkurang pada 82%. Secara
histologis dalam 11 hari terjadi nekrosis paska operasi dan pengurangan
kelenjar keringat setelah 6 bulan.

RINGKASAN
Banyak cara mengatasi bromhidrosis. Terapi dengan menggunakan zat-
zat kimia baik topikal, sistemik, maupun kemodenervasi (botox) hanya
bersifat sementara. Pemakaian alat-alat berbasis energi (laser, ultrasonic
microfocus, microwave) masih butuh penelitian yang luas, multicenter,
dan melibatkan pasien yang banyak. Sebagian besar (90%) terapi
bromhidosis masih memilih cara bedah. Sesungguhnya sedot lemak
dengan anestesi tumescent sudah terbukti merupakan cara yang aman dan
efektif untuk jangka yang lama. Dalam waktu 6 minggu pasca operasi 80-
90% terlihat perbaikan nyata setelah diuji dengan tepung kanji dan lodin.
Beberapa pasien melaporkan hasil maksimal setelah 8 bulan pasca
operasi. Tertundanya hasil ini mungkin oleh karena fibrosis pasca operasi
yang akan merusak kelenjar keringat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Seo SH, Jang BS, Oh CK, Kwon KS, Kim MB. Tumescent
superficial liposuction with curetage for treatment of axillary
bromhidrosis. JEADV 2008:22:30-5.
2. Lindsay SL, Holmes S, Corbett AD, Harkert M, Bovell DL.
Innervation and receptor profiles of the human apocrine (epitrichial)
sweat gland: routes for intervention in bromhidrosis. Br J Dermatol
2008:159:653-60.
3. Mao GY, Yang SL, Zheng JH. Etiology and management of axillary
bromhidrosis: a brief review. Int J Dermatol 2008 : 47: 1063-8.
4. Sarnoff DS. Therapeutic update on hyperhidrosis. J Drugs Dermatol
2014:Vol 13(8) : 896.
5. Ding Z, Zheng J. A comparison of two different sub-dermal trimming
techniques for the treatment of axillary bromhidrosis. J Plas Reconts
& Aesthe Surg 2013:66:1569-74.
6. Lee KYC, Levell NJ. Turning the tide: a history and review of
hyperhidrosis treatment. J Royal Society of Med 2013:5(1):1-4.
7. Mochtar M. Pengobatan bromhidrosis aksilaris dengan sedot lemak
tumescent. 2 CDK 2013: Vol 40(6):464-6.

63
Bromhidrosis

8. Wang R, Solish N, Murray CA. Primary focal hyperhidrosis:


diagnosis and management. Dermatol Nurs 2008:Vol 26(6):467-70.
9. Fan YM, Wu ZH, Li SF, Chen QX. Axillary osmidrosis treated by
partial removal of the skin and subcutaneous tissue en bloc and
apocrine gland subcision. Int J Dermatol 2001:40:714-6.
10. He J, Wang T, Dong J. Excision of apocrine glands and axillary
superficial fascia as a single entity for the treatment of axillary
bromhidrosis. J Eur Acad Dermatol and Venerol 2012:26:704-9.
11. Perera E, Sinclair R. Hyperhidrosis and bromhidrosis: a guide to
assesment and management. Aust Fam Physic 2013:Vol 22(5):266-9.
12. Rezende RM, Luz FB. Surgical treatment of axillary hyperhidrosis by
suction-curettage of sweat glands. An Bras Dermatol 2014:89(6):940-
54.
13. Kim SW, Choi IK, Lee JH, Rhie JW, Ahn ST, Oh DY. Treatment of
axillary osmidrosis with the use of Versajet. Br Ass Plas Reconst and
Aest Surg 2013:66:125-8.
14. Meyer H. Water-jet assisted sweat gland removal with the body-jet:
gentle procedure with permanent results. 2007.( Cited on 19th
February 2015).

64
Bromhidrosis

Monitoring Pasca Operasi


pada Tindakan Bedah Bromhidrosis
Harijono Kariosentono
Bagian/ KSM IK Kulit dan Kelamin FK UNS/RSUD dr. Moewardi

PENDAHULUAN
Bromhidrosisadalah suatu kondisi keluarnya keringat yang berlebihan
dari kelenjar ekrin, pada keadaan termoregulasi normal
(hiperhidrosis=HH), disertai bau menyengat berasal dari dalam kelenjar
apokrin (osmidrosis). Bromhidrosis merupakan kombinasi dari HH dan
osmidrosis (Mao, Yang & Zheng, 2008). Hiperhidrosis diklasifikasikan
sebagai idiofati (primary HH) dan secondary HH. Hiperhidrosis bias
mengenai seluruh tubuh (general) dan fokal (mengenai anggota badan
tertentu). Hiperhidrosis fokal primer, khususnya pada aksila merupakan
kondisi medis yang umum dan serius yang menyebabkan gangguan psikis
yang berdampak pada aktivitas dan hubungan sosial.
Prevalensi HH di Amerika mendekati 2.8% populasi, terdiri dari
1.4% aksila, 0.5% telapak tangan (Stashak & Brewer, 2014). Prevalensi
terbanyak primary HH mengenai usia 25-65 tahun, namun onset
dipengaruhi oleh region yang terkena. Riwayat keluarga sering dilapor-
kan penderita HH, hal ini menyokong dasar penyebaran genetik pada
penyakit ini (Hurley, 1992).
Walaupun HH bukan suatu kondisi yang fatal namun dapat
berpengaruh pada kualitas hidup penderita akibat dampak/efek psikologis
dan sosial dari penyakitnya. Beberapa penelitian membandingkan
penurunan kualitas hidup (quality of life) penderita bromhidrosis dengan
psoriasis berat, fase akhir dari gagal ginjal, rheumatoid arthritis dan

65
Bromhidrosis

sclerosis multipel. Hiperhidrosis aksila bukan saja kondisi yang


memberikan problem aestetik namun juga merupakan penyakit yang
menyebabkan penderita kurang aktif dan mengalami stress. Oleh karena
itu diperlukan pengobatan/penatalaksanaan yang dapat mengurangi
produksi kelenjar keringat yang berlebihan dan bau yang menyengat
sehingga terhindar dari stress dan beraktifitas normal kembali. Salah satu
pengobatan yang dianjurkan dan cukup efektif adalah tindakan
pembedahan.
Demikian pula perlu diperhatikan melakukan monitor pasca
operasi (post up) setelah pembedahan pada Bromhidrosis untuk
mencegah terjadinya komplikasi operasi atau rekurensi yang mungkin
bisa terjadi dan agar hasil operasi optimal.

ETIOLOGI
Perubahan histologi kelenjar apokrin diduga memberikan kontribusi
paling utama terjadinya bromhidrosis. Selain itu mikroorganisme yang
tinggal di aksila dan sex-hormon juga sebagai factor etiologi
bromhidrosis. Faktor lain adalah keturunan dengan pola autosomal
dominant inheritance. Hal ini disokong dengan banyaknya kasus
bromhidrosis anggota keluarga juga menderita yang sama (Hurley, 1992;
Mao, Yang and Zheng, 2008).
Kelenjar apokrin pada manusia terletak di aksila, areola,
anogenital, kanal auditoris ekstrernal (kelenjar ceruminous), dan kelopak
mata (kelenjar Moll). Selain itu didapatkan pula kelenjar ekrin dan
kelenjar apoekrin yang merupakan tipe ketiga dari sweat gland pada
aksila manusia dewasa. Kelenjar apoekrin ini pertama kali dilaporkan
oleh Sato et al, 1987. Bau khas pada keringat biasanya disebabkan oleh
dekomposisi bakteri yang ada di dalam cairan lemak (oily fluid) yang
disekresi oleh kelenjar apokrin. Salah satu aromanya adalah trans-3-
methyl-2 hexanoic acid (Mao, Yang and Zheng, 2008).
Terdapat beberapa mikroorganisme yang tinggal sebagai residen
dan bersifat sebagai flora normal di aksila seperti Micrococcaceae,
Aerobic diphtheroids, dan Propionicbacteria; namun hanya diphtheroids
yang memberikan bau badan yang khas (Leyden at al, 1981).
Peran hormon pada bromhidrosis disebabkan oleh adanya reseptor
androgen pada nucleus sel epitel apokrin yang mensekresi oily fluid,
sementara reseptor - Beta estrogen pada nucleus sel dan sitoplasma (Beier
et al, 2005).

66
Bromhidrosis

TERAPI
Tujuan dan goal dari terapi bromhidrosis adalah mengurangi jumlah
keringat sampai pada level yang dapat diterima. Terapi dapat diberikan
secara non-surgical maupun dengan tindakan intervensi pada kulit atau
tindakan bedah. Pembedahan pada bromhidrosis dapat dilakukan
beberapa cara, antara lain local eksisi, liposuction-curretage dan
symphatectomy. Pengobatan konservatif non-surgical dapat
menggunakan agen topikal, sistemik dengan oral-anticholinergic atau
dengan penyuntikan toksin botulinum.
Tindakan pembedahan untuk HH dianjurkan dilakukan dengan
prosedur yang aman, dengan sedikit efek samping, komplikasi sedikit
atau tidak terjadi dan pasien dapat segera beraktivitas kembali seperti
semula. Pembedahan HH local pada aksila bertujuan menghilangkan
sebagian besar kelenjar ekrin, sementara sebisa mungkin menjaga
penampakan estetika aksila serta mobilitas lengan.

PASCA OPERASI MONITORING


Bromhidrosis aksila yang dilakukan tindakan operasi, sebagai contoh
dengan kuretase dan sedot lemak (liposuction), sering terjadi komplikasi
pasca operasi hematoma dan seroma yang memudahkan terjadinya
infeksi sekunder, penyembuhan yang lambat, dan terbentuknya skar
hipertrofik serta permukaan kulit yang tak rata. Komplikasi lain pasca
operasi adalah ecchymosis, focal skin necrosis, indurasi, infeksi dan
permanen kontraktur (Seo, Jang,Oh, Kwon & Kim).
Untuk itu diperlukan tindakan monitoring post-op guna
menghindari hal tersebut antara lain:
1. Melakukan large/ bulky compressive bandage dengan di dalamnya
diletakkan cotton balls, yang dipakai 2-3 hari setelah operasi, untuk
mencegah terjadinya hematom dan seroma (lihat gambar 1), untuk
mencegah hematoma dan seroma (Rezende RM, and Luz FB, 2014;
Seo, Jang,Oh, Kwon & Kim, 2007).

67
Bromhidrosis

Gambar 1. Bulky compressive bandage


2. Pada hari 1, 7 dan 28 dilakukan starch-iodine test guna mengetahui
adanya keringat yang keluar kembali (reccurent sweating) (Rezende
RM, and Luz FB ,2014).
3. Penderita dianjurkan menghindari gerakan-gerakan lengan yang
mendadak terutama gerakan abduksi dan elevasi untuk 2 minggu
(Rezende RM, and Luz FB ,2014).
4. Olah raga fisik strenuous (olah raga berat) dihindari selama satu
bulan (Rezende RM, and Luz FB ,2014).
5. Bienik, et all (2005) menganjurkan untuk melakukan pengukuran
(pada daerah yang dioperasi): suhu lokal, kekenyalan kulit dengan
melakukan masase, penggunaan gel atau ointment yang mengandung
heparin atau flavonoids. Tindakan dilakukan selama 3 minggu pasca
operasi dan dipertahankan sampai 3 bulan setelahnya, dengan tujuan
mencegah dan memperbaiki terjadinya fibrosis subkutan.
Kontrol atau follow-up paling tidak sampai 4 minggu, diperlukan
untuk melihat performance gravimetric test setelah tindakan bedah.
Sebab 2 minggu pertama biasanya keringat akan berhenti total setelah itu
akan kembali normal (Proebstle et all (2002).

68
Bromhidrosis

Beberapa parameter untuk menentukan bahwa tindakan kuretase


kelenjar ekrin cukup terangkat adalah sebagai berikut (Seo et all, 2008;
Rezende RM and Luz FB, 2014:
1. Kulit menjadi tipis dan mudah dicubit (gambar2A)
2. Warna kulit menjadi pucat keunguan, kadang terlihat beberapa
petechiae (gambar 2B)
3. Kulit aksila komplit terangkat (complete elevation) dari jaringan
selular subkutan
4. Apabila kulit diputar (skin to skin rolling) tidak ada lemak yang
melekat ke dermis
5. Saat skin to skin rolling folikel rambut dapat teraba
6. Rambut aksila mudah dilepas dilepas saat di diangkat/tarik secara
hati-hati (gambar 2D dan E)

Gambar 2. Parameter untuk menilai kueretase: A. kulit tipis, mudah


dicubit, B. warna kulit kepucatan sampai warna violet.

Gambar 2 D dan E: rambut mudah tercabut bila ditarik pelan-pelan.

Operasi dikatakan berhasil apabila outcome yang didapatkan,


penderita dapat mengkontrol (bau) keringatnya dengan menggunakan
antiperspirant dan deodorant konvensional (Swinehart, 2000).

69
Bromhidrosis

RINGKASAN
Telah dibahas cara-cara atau prosedur yang perlu dilakukan setelah
tindakan bedah pada bromhidrosis aksila. Ditekankan pula untuk
mengamati beberapa parameter sebagai tanda bahwa kuretase telah cukup
dilakukan. Dibahas pula etiologi dan cara-cara pengobatan bromhidrosis
secara garis besar.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mao G-Y, Yang SL, Zeng JH. Etiology and management of axillary
bromidrosis: a brief review. Internat J Dermatol 2008; 47:1063-1068.
2. Stashak AB and Brewer JD. Management of hyperhidrosis. Clin,
Cosm and Invest Dermatol 2014; 7: 285-299.
3. Hurley HJ. Diseases of the eccrine sweat glands. Philadelphia: WB
Saunder, 1992.
4. Sato K, Leidal R, Sato F. Morphology and development of an
appoeccrinesweat gland in human axillae. Am J Physiol 1987;21: R1
661-R180.
5. Leyden JJ, Mcginley KJ, Hlozle E et al. The microbiology of the
human axilla and its relationship to axillary odor. J investDermatol
1981: 413-416.
6. Beier K, Ginez I, Schaller H. Localization of steroid hormone
receptors in the apocrine sweat glands of the human axillae.
Histochem Cell Biol 2005; 123: 61 – 65.
7. Seo, SH; Jang BS, Oh CK, Kwon KS and Kim MB. Tumescent
superficial liposuction with curettage for treatment of axillary
bromhidrosis. JEADV 2008,22; 30-35.
8. Rezende RM and Luz FB. Surgical treatment of axillary of
hyperhidrosis by suction-curretage of sweat glands. An Bras
Dermatol. 2014; 89(6): 940-54.
9. Bienik A, Bialyncki-Birula R, Baran W, Kuniewska B, Okulewicz-
Gojlik D, Szepietowski JC. Surgicl treatment of axillary
hyperhidrosis with liposuction equipment: risk and benefits. Acta
Dermatovenerol Croat. 2005; 13:212-8.
10. Proebstle TM, Schneiders V, Knop J. Gravimetrically controlled
efficacy of subcorial curettage: a prospective study for treatment of
axillary hyperhidrosis. Dermatol Surg. 2002; 28: 1022-6.
11. Swinehart JM. Treatment of axillary hyperhidrosis: combination of
the starch- iodine test with the tumescent liposuction technique.
Dermatol Surg. 2000; 26: 392-6.

70
Bromhidrosis

Komplikasi Penatalaksanaan Bromhidrosis


Nurrachmat Mulianto
Bagian/ KSM IK Kulit dan Kelamin FK UNS/RSUD dr Moewardi

PENDAHULUAN
Bromhidrosis diartikan sebagai bau badan dengan awitan setelah usia
pubertas yang berkaitan dengan produksi berlebihan dan berbau dari
kelenjar apokrin di aksila. Hal ini dikaitkan dengan peningkatan jumlah
dan ukuran kelenjar apokrin serta adanya kontaminasi bakteri.1
Bromhidrosis digolongkan menjadi bromhidrosis apokrin dan
bromhidrosis ekrin. Bromhidrosis apokrin dapat diartikan sebagai bau
yang tidak sedap yang dihasilkan kelenjar apokrin, sedangkan
bromhidrosis ekrin dikaitkan dengan produksi keringat berlebih
(hiperhidrosis) dapat disebabkan oleh konsumsi berbagai jenis makanan
seperti bawang putih, alkohol serta gangguan metabolik.2
Berbagai upaya dilakukan sebagai terapi bromhidrosis, baik terapi
topikal sampai tindakan intervensi berupa pembedahan. Semua tindakan
intervensi berupa pembedahan/operasi akan memiliki risiko komplikasi
pada saat durante ataupun pasca operasi. Operator yang akan melakukan
tindakan harus mengetahui tentang anatomi dan fisiologi, persiapan pre-
operasi yang harus dilakukan, jenis tehnik yang akan digunakan dan
kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi secara komprehensif untuk
meminimalisasi komplikasi serta jejas permanen.

71
Bromhidrosis

EPIDEMIOLOGI
Bromhidrosis merupakan kondisi kronis yang dapat terjadi pada semua
ras dan paling sering terjadi pada laki-laki pada etnik orang berkulit
hitam. Bromhidrosis banyak terjadi pada usia setelah pubertas pada
populasi penduduk di Afrika, Amerika dan Asia. Hal ini dipengaruhi oleh
letak geografis, musim dan iklim pada negara tersebut. Dikatakan saat
musim panas ataupun iklim panas dapat memperburuk keadaan
bromhidrosis, disamping itu higienitas seseorang yang buruk juga
merupakan faktor pendukung.3

DIAGNOSIS
Diagnosis bromhidrosis berdasarkan atas keluhan bau tidak sedap yang
terdapat pada daerah aksila, genital, dan kaki. Pada bromhidrosis ekrin
perlu ditanyakan riwayat penggunaan obat (bromide), makanan dan
minuman (bawang putih dan alkohol), serta gangguan metabolik.2
Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan ujud kelainan kulit yang
khas pada penderita bromhidrosis. Namun, individu dengan bromhidrosis
ekrin yang disebabkan degradasi bakteri dari keratin dapat ditemukan
adanya maserasi dan hiperkertosis yang tebal dan lembab pada daerah
plantar dan intertriginosa.4 Pada pemeriksaan laboratorium tidak
didapatkan hasil yang abnormal, sedangkan pada pemeriksaan
histopatologi juga tidak dijumpai abnormalitas kelenjar apokrin. Pada
beberapa penelitian melaporkan bahwa terdapat peningkatan jumlah dan
ukuran kelenjar apokrin pada penderita bromhidrosis.1

PENATALAKSANAANBROMHIDROSISdanKOMPLIKASI
Penatalaksanaan bromhidrosis secara umum dibagi menjadi
penatalaksanaan/terapi non bedah dan terapi pembedahan. Pada
penatalaksanaan bromhidrosis dapat terjadi komplikasi khususnya pada
penatalaksanaan dengan metode pembedahan. Penatalaksanaan dengan
menggunakan obat topikal maupun sistemik hasilnya sering kurang
memuaskan dan hanya bersifat sementara. Pada penggunaan obat
antikolinergik sistemik sering menimbulkan masalah mulut dan mata
kering serta kesulitan dalam buang air kecil.
a. Penatalaksanaan Secara Umum
 Penatalaksanaan dilakukan dengan cara sering mencuci daerah aksila.
 Menggunakan deodoran atau anti perspirant yang mengandung
alumunium klorida 1-2% atau parfum.

72
Bromhidrosis

 Mencukur rambut ketiak dapat membantu mengurangi bau badan


sehingga mengurangi akumulasi bakteri dan keringat pada rambut
ketiak.
 Penggunaan sabun antiseptik dikatakan dapat juga membantu
mengurangi bau badan.
Komplikasi
Pada penatalaksanaan dengan metode ini membutuhkan pemakaian yang
terus-menerus dan hanya dapat mengurangi produksi kelenjar ekrin saja.
Pemakaian dalam jangka panjang dapat menimbulkan reaksi iritasi pada
kulit ketiak atau dermatitis kontak alergika. Pada tindakan mencukur
rambut ketiak dengan menggunakan pisau cukur dapat berisiko terjadi
infeksi sekunder karena terjadi luka pada saat mencukur rambut
ketiak.2,4,5
b. Terapi Non Bedah
1. Injeksi Botulinum Toxin-A (Botox)
Injeksi botox dilaporkan dapat memperbaiki keluhan bromhidrosis ekrin
dan apokrin pada daerah aksila, palmar dan genital. Injeksi Botox dapat
menghambat pengeluaran asetilkolin dari membran prasinaps
neuromuscular junction. Hal ini dapat mencegah rangsangan transmisi
kolinergik neuroreseptor post ganglion. Produksi kelenjar apokrin dan
ekrin dipengaruhi oleh rangsangan kolinergik maka injeksi Botox ini
dapat menghambat produksi keringat berlebih yang dihasilkan kelenjar
ekrin. Namun injeksi Botox ini hanya mampu bertahan 4-8 bulan dan
perlu pengulangan injeksi dan biaya relatif mahal.6Disamping itu, selain
rangsangan kolinergik,kelenjar apokrin juga dipengaruhi oleh adrenergik,
sehingga botox tidak bisa menghambat sekresi kelenjar apokrin secara
sempurna.
2. Terapi dengan menggunakan laser Q-swicthed Nd:YAG
Terapi laser juga efektif mengatasi bromhidrosis apokrin di aksila. Laser
Q-swicthed Nd:YAG ini akan memancarkan energi yang dihasilkan laser
ini akan diserap melanin dan hemoglobin kemudian ditransmisikan ke
kelenjar apokrin yang akan menyebabkan kerusakan pada kelenjar
apokrin tersebut dan mikrosirkulasi.7
Komplikasi terapi non bedah
Komplikasi yang dapat terjadi pada injeksi Botox pada kasus
bromhidrosis biasanya berupa nyeri lokal diikuti eritema, edema dan
hematoma. Pada beberapa kasus dapat terjadi paralisis muskular. Kouris
dan kawan-kawan tahun 2013 melaporkan terjadinya paralisis muskular

73
Bromhidrosis

pada minggu pertama injeksi Botox pada kasus bromhidrosis ekrin pada
palmar dan lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki.6,8
Jung dan kawan-kawan juga melaporkan pada 18 pasien (36 aksila)
dengan bromhidrosis aksila yang dilakukan dengan 1,444 nm laser
Nd:YAG, 20 (56%) aksila muncul ekhimosis tapi membaik setelah
beberapa minggu, 4 (11%) aksila muncul nekrosis superfisial epidermis,
2 aksila muncul skar hipertrofi yang membaik setelah diberi injeksi
triamcinolon, dan 6 aksila terjadi hiperpigmentasi yang hilang secara
spontan setelah 1 tahun.7

c. Terapi Pembedahan
Beberapa pemeriksaan sebelum dilakukan tindakan pembedahan (pre-
operative assessement) merupakan hal yang penting untuk dilakukan
karena berhubungan dengan pembentukan skar setelah operasi, waktu
penyembuhan lama, infeksi dan komplikasi lainnya.
Pengangkatan kelenjar apokrin dengan metode upper thoracal
sympatectomy sudah lama dikerjakan dan memberikan hasil yang efektif
dalam mengatasi bromhidrosis aksila. Tindakan pembedahan dengan
pengangkatan kelenjar apokrin dilakukan melalui pembuangan jaringan
subkutan sampai aksila. Tindakan ini tergantung kedalaman jaringan
yang diangkat, teknik operasi, regenerasi dan kembalinya fungsi
apokrin.9,10
Metode baru dalam penatalaksanaan bromhidrosis aksila adalah
dengan modifikasi liposuction/ bedah sedot lemak (BSL) dan kuretase
dengan anestesi tumescent (AT) (tumescent liposuction and currettage).
Metode ini merupakan pilihan bagi dokter dan pasien karena lebih aman,
mudah dan pasien bisa langsung dikerjakan tanpa rawat inap.
Keberhasilan dengan metode ini sudah pernah dilaporkan oleh Ou dan
kawan-kawan tahun 1998, dimana 95% pasien bromhidrosis aksila
merasa puas dengan metode ini.3,11,12,
Komplikasi pada terapi pembedahan
Komplikasi pembedahan dapat berasal dari anestesi dan dari tehnik yang
digunakan baik saat durante ataupun pasca operasi. Anestesi yang
digunakan oleh dokter kulit pada saat pembedahan, pada umumnya
menggunakan lokal anestesi tumescent (AT). Komplikasi AT
berhubungan dengan toksisitas lidokain dan epineprin (baca di anestesi
tumescent). Komplikasi awal yang sering muncul pada tindakan
pengangkatan kelenjar apokrin adalah hematoma, namun hal ini diatasi
dengan pemasangan drain selama 24 jam. Superficial epidermal

74
Bromhidrosis

necrosisjuga muncul pada 37% pasien paska pembedahan, namun dapat


sembuh spontan setelah pengangkatan jahitan. Luka dehisensi, infeksi
pada luka, granuloma, seroma, dermatitis kontak karena bebat luka juga
merupakan komplikasi yang terjadi pada awal setelah dilakukan tindakan
pembedahan. Untuk komplikasi lanjut (late complication) dapat terjadi
komedo, milia, kista sebasea (atau dengan abses), skar hipertrofi,
pigmentasi sementara.9,10
Dibandingkan dengan upper thoracal sympatectomy, metode
tumescent liposuction and currettage komplikasi yang muncul lebih
minimal. Komplikasi yang sering muncul pada tumescent liposuction and
currettage adalah transient ecchymosis yang sembuh spontan setelah 1
sampai 2 minggu. Hematoma, focal skin necrosis, nyeri dan indurasi juga
merupakan komplikasi yang dapat muncul namun berkurang dengan
pembalutan (dressing) yang tepat. Pada metode ini jarang dijumpai
infeksi lokal, kontraktur permanen, atau kerusakan saraf.3,11,12
Pada tindakan penatalaksanaan bromhidrosis aksila adalah dengan
modifikasi bedah sedot lemak dan kuretase (tumescent liposuction and
currettage) menunjukkan hasil yang nyata dalam 6 minggu pasca operasi,
pada 80-90% terlihat perbaikan nyata setelah diuji dengan tepung kanji
dan iodin. Beberapa pasien melaporkan hasil maksimal setelah 8 bulan
pasca operasi. Tertundanya hasil mungkin karena fibrosis pasca operasi
yang akan merusak kelenjar keringat. Sampai saat ini metode bedah sedot
lemak dan kuretase untuk bromhidrosis aksila merupakan teknik yang
aman dan efektif dengan komplikasi yang minimal bila dikerjakan
operator yang sudah pengalaman mengerjakan BSL di badan dan wajah.12

RINGKASAN
Bromhidrosis diartikan sebagai bau badan yang muncul pada usia
pubertas, berhubungan dengan peningkatan aktivitas kelenjar apokrin.
Bromhidrosis digolongkan menjadi bromhidrosis apokrin dan ekrin.
Penatalaksanaan bromhidrosis terdiri dari penatalaksanaan secara umum,
terapi non bedah dan terapi pembedahan. Pada penatalaksanaan
bromhidrosis dapat terjadi komplikasi khususnya pada penatalaksanaan
dengan metode pembedahan. Tindakan pembedahan untuk bromhidrosis
terdiri atas pengangkatan kelenjar apokrin dengan metode upper thoracal
sympatectomy dan modifikasi BSL dan kuretase (tumescent liposuction
and currettage). Metode BSL dan kuretase untuk bromhidrosis aksila
merupakan teknik yang efektif dengan komplikasi yang minimal, dan
metode ini juga merupakan pilihan bagi dokter dan pasien karena lebih
aman, mudah dan pasien bisa langsung dikerjakan tanpa rawat inap.

75
Bromhidrosis

DAFTAR PUSTAKA
1. Coulson IH. Disorder of sweat glands. In : Burns T, Brrishnack S,
Cox N, Griffith C, editor. Dalam: Rook’s text book of dermatology.
Edisi ke-7. Vol 3. Massachusetts: Blackwell Publ ; 2004. 8–14.
2. Sinclair R. Hyperhidrosis and bromhidrosis. Aust Fam Physi
2013;42(5) ; 266–9.
3. Seo SH, Jang BS, Oh CK, Kim MB. Tumescent superficial
liposuction with curretage of axillary bromhidrosis. J Eur Acad
Dermatol and Venereol 2008 ; 22; 30–35.
4. Mao GY, Yang XL, Zheng JH. Etiology and management
bromhidrosis axillaris. Int J Dermatol 2008 ;47 ; 1063–8.
5. Kanlayavattanakul M, Lourith N. Review article : body malodours
and their topical treatment agents. Internat J of Cosmet Science 2011
; 33; 298–311.
6. He J, Wang T, Dong J. A close positive correlation between malodor
and sweating as a marker for the treatment of axillary bromhidrosis
with botulinum toxin A. J Dermatol Treatment 2012; 23: 461–464.
7. Jung SK, Jang HW, Kim HJ, Lee SG, dkk. A prospective, long-term
follow-up study of 1,444 nm Nd:YAG laser: a new modality for
treating axillary bromhidrosis. An Dermatol 2014; 26 (2) ; 184–7.
8. Kouris A, Vavouli C, Markantoni V, Kontochristopoulos G. Muscle
weakness in treatment of palmar hyperhidrosis with botulinum toxin
type A: can it be prevented?. J of Drugs in Dermatol 2014; 13(11)
;1315–7.
9. Qian JG, dan Wang XJ. Effectiveness and complications of
subdermal excision of apocrine glands in 206 cases with axillary
osmidrosis. J of Plast, Recons&Aesthetic Surg 2010 ; 63 ; 1003–7.
10. He J, Wang T, Dong J. Excision of apocrine glands and axillary
superficial fascia as a single entity for the treatment of axillary
bromhidrosis. J Eur Aca of Dermatol and Venereol. 2012 ; 26 ; 704–
9.
11. Rezende M, Luz F.B. Surgical treatment of axillary hyperhidrosis by
suction-curettageof sweat glands. An Bras Dermatol 2014;89(6):940-
54.
12. Mochtar M. Pengobatan bromhidrosis aksilaris dengan sedot lemak
tumescent. Cermin Dunia Kedokteran 2013;40(6); 464–6.

76
Bromhidrosis

Tindakan Intervensi pada Penanganan


Bromhidrosisdan Osmidrosis:
Suatu Telaah Sistematik
Suci Widhiati
Bagian/ KSM IK Kulit dan Kelamin FK UNS/RSUD dr Moewardi

PENDAHULUAN
Bau badan menyengat sering menimbulkan masalah pada kehidupan
sehari-hari, mulai dari mengganggu percaya diri sampai dengan merusak
baju yang dipakai.1 Berkeringat berlebihan atau hiperhidrosis dapat
disebabkan karena sekresi kelenjar keringat yang berlebihan, terutama
kelenjar ekrin, adanya air yang berlebihan tersebut mempermudah bakteri
untuk mengalami biotrasformasi, terutama Corynebacterium dan
merupakan salah satu penyebab timbulnya bromhidrosis, atau bau
keringat menyengat disertai dengan hiperhidrosis.2 Bila bromhidrosis
terjadi tanpa disertai oleh hiperhidrosis disebut dengan osmidrosis.3,4
Kondisi bromhidrosis dapat ditangani dengan berbagai metode,
mulai dengan mengaplikasikan bahan secara topikal, pengobatan
sistemik, penggunaan botulinum toxin, dan tindakan intervensi.5
Tindakan intervensi merupakan tindakan non-pembedahan namun karena
adanya ‘intervensi’, masih menimbulkan terjadinya perlukaan, sedangkan
tindakan pembedahan merupakan pengobatan yang dilakukan dengan
cara invasif, yaitu menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani
dengan membuat sayatan, setelah bagian yang akan ditangani
ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan
dan penjahitan luka.6

77
Bromhidrosis

Pada keadaan bromhidrosis dan osmidrosis, tindakan intervensi


dan merupakan suatu pilihan, karena dapat mengurangi keringat
berlebihan secara permanen, mempunyai waktu penyembuhan yang
singkat dan hanya meninggalkan skar kecil.7 Hal tersebut disebabkan
karena kelenjar apokrin pada penderita bromhidrosis dan osmidrosis
mempunyai ukuran yang lebih besar dan lebih banyak, dan letak kelenjar
pada daerah subkutis, dekat dengan dermis namun tidak di daerah
dermis, tidak mampu dihilangkan hanya dengan pengobatan topikal.8,9
Telaah sistematik merupakan salah satu desain penelitian tertinggi
untuk mendapatkan simpulan berbasis bukti yang dapat membantu klinisi
untuk membuat suatu pengambilan keputusan yang rasional.10 Makalah
ini akan membahas penanganan intervensi bromhidrosis pada berbagai
literatur, dengan harapan dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan
terapi yang terbaik untuk pasien.

METODE
a. Kriteria Pencarian
Pencarian jurnal yang relevan menggunakan program software EndNote
X4, Online search PubMed NLM dengan kata kunci bromhidrosis,
osmidrosis dan treatment, artikel tahun 1990-2014. Pencarian di
utamakan pada artikel berbahasa Inggris dan Indonesia dilakukan pada
manusia.
b. Kriteria inklusi dan ekslusi
Yang termasuk kriteria inklusi berupa artikel penelitian bromhidrosis,
osmidrosis, treatment dengan intervention dan surgery. Kriteria eksklusi
adalah artikel bromhidrosis atau osmidrosis yang tidak menjelaskan
dengan baik mengenai prosedur intervensi yang dilakukan, artikel laporan
kasus dan tanpa abstrak
c. Ekstraksi Data
Data diambil dari artikel yang sesuai, kemudian tindakan intervensi
dibagi berdasarkan kriteria Bisbal dkk (1987), informasi jenis tindakan
intervensi, jumlah subyek penelitian, prosentasi keberhasilan, prosentase
komplikasi dicatat dan dimasukan dalam Microsoft Excel.

HASIL
Dari 58 jurnal yang ditemukan, 28 jurnal dapat dilakukan telaah. Bisbal
dkk (1987) membagi tindakan intervensi menjadi 3 bagian besar:

78
Bromhidrosis

i) menghilangkan jaringan subkutan tanpa eksisi kulit, ii) reseksi en bloc


jaringan subkutan dan kulit, iii) eksisi en bloc regio sentral aksila dengan
menghilangkan jaringan subkutan disekitarnya.8 Dalam perkembangan-
nya, Bechara dkk (2007) membagi lagi teknik menghilangkan jaringan
subkutan tanpa eksisi kulit menjadi liposuction superfisial dan suction
curretase11, sehingga Rezende (2014) membagi tindakan intervensi
menjadi tipe 1A: menghilangkan jaringan subkutan seluler tanpa eksisi
kulit (liposuction superfisial) tipe 1B: menghilangkan jaringan subkutan
seluler tanpa eksisi kulit (kuretase/suction), tipe II: reseksi en bloc
subkutan seluler dan kulit sekitarnya, tipe III: eksisi en bloc sebagian
kecil aksila sentral dan menghilangkan area subkutan dan sekitarnya.12
Berbagai artikel yang ditemukan disimpulkan pada tabel 1.
Dari telaah ini tampak bahwa sebagian besar tehnik intervensi yang
dipilih adalah dengan menghilangkan jaringan subkutan tanpa eksisi
kulit, yaitu sebanyak 22 artikel (78,5%). Dari tindakan-tindakan tersebut,
yang banyak dilakukan publikasi adalah tindakan dengan liposuction
yaitu 18% meskipun keberhasilan menghilangkan bau hanya berkisar
antara 80-90%.
Pilihan tindakan intervensi tipe 1 lain yang sering dipublikasikan
adalah pembuangan jaringan subkutan dengan menggunakan laser, yaitu
laser CO2 (13%) dan menggunakan gelombang ultrasonic(13%).
Berdasarkan publikasi yang ditemukan, tindakan yang memberikan
hasil penghilangan bau paling baik dengan menggunakan incisi
transversal dengan penghilangan kelenjar apokrin dengan melihat secara
langsung, yaitu 96-98%.
Komplikasi yang paling sering didapatkan adalah haematoma,
sampai dengan 74% pada tindakan yang dilakukan oleh Yang dkk, 2013.
Tindakan intervensi tipe 2 dan tipe 3 ditemukan pada 21,4%
artikel. Yaitu dengan melakukan eksisi pada sebagian kulit, maupun
menghilangkan kelenjar apokrin secara en bloc. Artikel dengan
menggunakan diseksi rhomboid mempunyai keberhasilan lebih kecil
dibanding dengan artikel yang menggunakan metode lain.

79
Bromhidrosis

Tabel 1. Terapi bromhidrosis dan osmidrosis pada berbagai publikasi

80
Bromhidrosis

81
Bromhidrosis

DISKUSI
Berbagai tindakan intervensi untuk terapi osmidrosis mulai berkembang
setelah Skoog dan Thyresson tahun 1962 mempublikasikan untuk terapi
hiperhidrosis. Prosedur Skoog dilakukan dengan cara melakukan incisi
trasversal pada aksila sentral, kemudian ditambahkan incisi pada
proksimal dan distal dari incisi pertama, sehingga membagi area operasi
menjadi 4 kuadran.38,39 Tindakan ini kemudian dilakukan beberapa
modifikasi untuk mengurangi timbulnya skar dan memperpendek waktu
penyembuhan luka.
Tindakan intervensi bisa dilakukan untuk kasus hiperhidrosis berat
dan bromhidrosis atau osmidrosis, hal ini disebabkan karena dapat
memberikan hasil memuaskan untuk jangka waktu lama, selain itu juga
karena kelenjar apokrin pada pasien dengan osmidrosis ukuran dan
jumlahnya lebih banyak dibandingkan kontrol, sehingga terapi intervensi
diharapkan dapat mengurangi kelenjar apokrin tersebut.23,40
Saat ini, tindakan intervensi minimal telah menggantikan prosedur
eksisi kulit aksila komplit. Berbagai modalitas tindakan intervensi
minimal telah dilakukan dan mengalami berberapa modifikasi yang
beragam keberhasilan dan berkurangnya komplikasi, diantaranya adalah
reseksi kulit parsial, liposuction dan kombinasi liposuction dengan
kuratase sanpai dengan penggunaan instrumen pembantu seperti
unltrasound, laser, dan versajet, serta arthoscopic shaver (tabel 1).
Tindakan minimal invasif lebih banyak dipilih dibandingkan
prosedur eksisi kulit aksila komplit disebabkan karena komplikasi yang
ditimbulkan lebih sedikit22 dan perbaikan klinis yang lebih cepat serta
angka keberhasilan yang tinggi.29 Angka keberhasilan lebih tinggi
didapatkan pada tindakan dengan mekanisme insisi transversal baik satu
maupun dua insisi dengan membalik flap dan menghilangkan kelenjar
apokrin dengan melihat secara langsung.
Pilihan laser, sebagai terapi non pembedahan, baik dengan laser
CO2, Nd:YAG 1,046 nm maupun Nd:YAG 1,444 nm telah dilakukan
untuk menggantikan tindakan invasif. Jung dkk (2014) melaporkan
penggunaan Nd :YAG 1,444 nm, dengan keberhasilan mengurangi bau
dengan penilaian baik 56%, cukup 34% dan kurang 11%. Penggunaan
CO2 dan Nd:YAG laser 1,064 nm kurang efektif mengingat target laser
tidak spesifik pada kelenjar apokrin di lapisan subkutan, selain itu, pasien
lebih sering mengalami rekurensi timbulnya bau. Laser Nd:YAG 1,444
nm dianggap lebih superior dari Nd:YAG 1,064 nm dengan adanya efek
lipolytic karena lebih terabsorbsi di lemak dibanding air. Dibandingkan
metode minimal invasif seperti liposuction atau eksisi kulit, laser
1,444nm mempunyai efek samping yang lebih kecil, namun, laser

82
Bromhidrosis

operator perlu berhati-hati akan terjadinya over-terapi atau over-


koagulasi, karena dapat menyebabkan nekrose kulit dan traumal lain.35
Meskipun demikian, efektifitas Nd.YAG 1,44 nm belum dapat dianggap
lebih baik dibandingkan dengan tindakan liposuction, dengan angka
keberhasilan tindakan liposuction lebih tinggi, yaitu dapat menghilangkan
bau secara baik 95,7%, dan cukup 5,3% pada studi oleh Yang dkk
(2012).32
Penggunaan liposuction untuk terapi bromhidrosis pertama kali
dilaporkan oleh Ou dkk (1998) pada 20 pasien, yaitu dengan membuat
dua incisi kecil dan memasukkan kanula dengan pola crisscross untuk
menghilangkan jaringan subkutan, 90% pasien mendapatkan hasil yang
memuaskan dalam menghilangkan bau.16 Berbagai studi penggunaan
liposuction untuk bromhidrosis dan osmidrosis mempunyai angka
keberhasilan yang bervariasi. Metode liposuction dan kuretase
mempunyai hasil lebih baik dibanding dengan liposuction saja, seperti
yang dilaporkan oleh Tsai dan Lin (2001).21
Yang dkk (2012) melaporkan 4 modifikasi liposuction-kuretase
yang dilakukan, yaitu dengan (i) menggunakan pointed cannula, (ii)
melakukan 5 langkah prosedur liposuction-kuretase, (iii) “mencubit” kulit
dengan tujuan me-wrap-up cannula, (iv) menggunakan compressive
dressing dengan bola kassa diikuti dengan axila elastic bandage.
Langkah pertama dan kedua dari prosedur liposuction-kuretase adalah
melakukan subdermal scrapping pada dua mini incisi dengan lubang
kanula menghadap ke subdermis dan melakukan gerakan stroking, sedang
tangan yang lain menekan kulit agar subdermal scrapping lebih effektif.
Langkah ketiga adalah dengan mencubit kulit seakan-akan membungkus
kanula sambil melakukan gerakan stroking, pada langkah ini kanula
dirotasi sampai dengan 90o untuk memastikan tidak ada daerah yang
tidak dilakukan kuretase (Gambar 1). Langkah ke empat sama dengan ke
tiga, namun dilakukan dari lokasi incisi yang lain. Langkah terakhir
adalah mengulangi langkah awal dan melakukan liposuction-kuratase
tambahan pada area-area yang dirasa kulit masih terasa lebih tebal dari
yang seharusnya.32 Metode Yang dkk (2012) memberikan hasil baik dan
memuaskan pada 94,7% aksila, cukup pada 5,3% aksila, namun
komplikasi yang terjadi mencapai 74,7%, yaitu berupa hematoma.

83
Bromhidrosis

Gambar 1. Diambil dari studi Yang dkk (2012). Gerakan mencubit kulit
dan membungkus kanula
Bila metode liposuction-kuretase dibandingkan efektifitasnya
dengan bedah terbuka eksisi parsial kulit aksila dan jaringan subkutan,
keberhasilan bedah terbuka lebih tinggi 91,18% dibandingkan liposuction
(80,70%), dan pasien yang merasa tidak atau sedikit perbaikan lebih
banyak pada metode liposuction (19,29%) dibandingkan bedah terbuka
(8,82%). Meskipun demikian komplikasi yang terjadi akibat tindakan
liposuction lebih kecil.22
Berbagai studi melakukan modifikasi tindakan minimal invasif
dengan menggabungkan beberapa modalitas terapi dalam satu tindakan.
Park DH (1998) membandingkan tindakan incisi transversal dengan
instrument shaving, manual shaving, intrumen dan manual shaving,17
mendapatkan hasil terbaik dalam mengurangi bau pada modalitas yang
menggabungkan incisi transversal diikuti manual shaving dan intrument
shaving (97,4%). Sedangkan Tsai dan Lin juga melaporkan
berkurangnya bau lebih baik pada teknik liposuction-kuretase (80%)
dibandingkan simple liposuction (10%). Studi Ding dan Zheng (2013)
juga melaporkan efektifitas penggabungan teknik trimming subdermal
diikuti dengan flap elevasi aksila lebih baik (97,8%) dibandingkan
trimming subdermal saja (89,3%).

84
Bromhidrosis

KESIMPULAN
Tindakan minimal invasif masih merupakan pilihan utama untuk
terapi bromhidrosis dan osmidrosis, dengan efektifitas yang bervariasi.
Tindakan minimal invasif akan semakin efektif bila dilakukan dengan
melihat langsung kelenjar apokrin yang akan dibuang. Berbagai
modifikasi yang dilakukan dengan menggabungkan beberapa modalitas
terapi secara bersamaan memberikan angka keberhasilan terapi lebih
tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kanlayavattanakul M, Lourith N. Body malodours and their topical
treatment agents. Int J Cosmet Sci 2011 Aug; 33(4): 298-311.
2. Perera E, Sinclair R. Hyperhidrosis and bromhidrosis - a guide to
assessment and management. Aust Fam Physician 2013 May; 42(5):
266-9.
3. Leyden JJ, McGinley KJ, Holzle E, Labows JN, Kligman AM. The
microbiology of the human axilla and its relationship to axillary odor.
J Invest Dermatol 1981 Nov; 77(5): 413-6.
4. Niiyama S, Aiba S, Katsuoka K, Ito Y, Sumiya N. Treatment of
osmidrosis using the ultrasonic surgical aspirator. Acta Derm
Venereol 2006; 86(3): 238-40.
5. Seo SH, Jang BS, Oh CK, Kwon KS, Kim MB. Tumescent
superficial liposuction with curettage for treatment of axillary
bromhidrosis. J Eur Acad Dermatol Venereol 2008 Jan; 22(1): 30-5.
6. Sjamsuhidajat RJ, W.D. Buku Ajar Ilmu Bedah: EGC; 2005.
7. He J, Wang T, Dong J. Excision of apocrine glands and axillary
superficial fascia as a single entity for the treatment of axillary
bromhidrosis. J Eur Acad Dermatol Venereol 2012 Jun; 26(6): 704-
9.
8. Bisbal J, del Cacho C, Casalots J. Surgical treatment of axillary
hyperhidrosis. Ann Plast Surg 1987 May; 18(5): 429-36.
9. Ding Z, Zheng J. A comparison of two different sub-dermal trimming
techniques for the treatment of axillary osmidrosis. J Plast Reconstr
Aesthet Surg 2013 Nov; 66(11): 1569-74.
10. Mao GY, Yang SL, Zheng JH. Etiology and management of axillary
bromidrosis: a brief review. Int J Dermatol 2008 Oct; 47(10): 1063-8.
11. Bechara FG, Sand M, Hoffmann K. Tumescent liposuction with
dermal curettage for treatment of axillary osmidrosis and
hyperhidrosis. Dermatol Surg 2007 Jan; 33(1): 125.

85
Bromhidrosis

12. Rezende RM, Luz FB. Surgical treatment of axillary hyperhidrosis by


suction-curettage of sweat glands. An Bras Dermatol 2014 Nov-Dec;
89(6): 940-54.
13. Wang HJ, Cheng TY, Chen TM. Surgical management of axillary
bromidrosis--a modified skoog procedure by an axillary bipedicle
flap approach. Plast Reconstr Surg 1996 Sep; 98(3): 524-9.
14. Tung TC, Wei FC. Excision of subcutaneous tissue for the treatment
of axillary osmidrosis. Br J Plast Surg [Review]. 1997 Jan; 50(1):
61-6.
15. Park JH, Cha SH, Park SD. Carbon dioxide laser treatment vs
subcutaneous resection of axillary osmidrosis. Dermatol Surg 1997
Apr; 23(4): 247-51.
16. Ou LF, Yan RS, Chen IC, Tang YW. Treatment of axillary
bromhidrosis with superficial liposuction. Plast Reconstr Surg 1998
Oct; 102(5): 1479-85.
17. Park DH, Kim TM, Han DG, Ahn KY. A comparative study of the
surgical treatment of axillary osmidrosis by instrument, manual, and
combined subcutaneous shaving procedures. Ann Plast Surg 1998
Nov; 41(5): 488-97.
18. Kim IH, Seo SL, Oh CH. Minimally invasive surgery for axillary
osmidrosis: combined operation with CO2 laser and subcutaneous
tissue remover. Dermatol Surg 1999 Nov; 25(11): 875-9.
19. Chung S, Yoo WM, Park YG, Shin KS, Park BY. Ultrasonic surgical
aspiration with endoscopic confirmation for osmidrosis. Br J Plast
Surg. 2000 Apr; 53(3): 212-4.
20. Tung TC. Endoscopic shaver with liposuction for treatment of
axillary osmidrosis. Ann Plast Surg 2001 Apr; 46(4): 400-4.
21. Tsai RY, Lin JY. Experience of tumescent liposuction in the
treatment of osmidrosis. Dermatol Surg 2001 May; 27(5): 446-8.
22. Perng CK, Yeh FL, Ma H, Lin JT, Hwang CH, Shen BH, et al. Is the
treatment of axillary osmidrosis with liposuction better than open
surgery? Plast Reconstr Surg 2004 Jul; 114(1): 93-7.
23. Lee JC, Kuo HW, Chen CH, Juan WH, Hong HS, Yang CH.
Treatment for axillary osmidrosis with suction-assisted cartilage
shaver. Br J Plast Surg 2005 Mar; 58(2): 223-7.
24. Yoo WM, Pae NS, Lee SJ, Roh TS, Chung S, Tark KC. Endoscopy-
assisted ultrasonic surgical aspiration of axillary osmidrosis: a
retrospective review of 896 consecutive patients from 1998 to 2004. J
Plast Reconstr Aesthet Surg 2006; 59(9): 978-82.

86
Bromhidrosis

25. Qian JG, Wang XJ. Radical treatment of axillary osmidrosis by


subdermal excision of apocrine glands: a prospective study in 31
cases. J Plast Reconstr Aesthet Surg 2006; 59(8): 860-4.
26. Ichikawa K, Miyasaka M, Aikawa Y. Subcutaneous laser treatment
of axillary osmidrosis: a new technique. Plast Reconstr Surg 2006
Jul; 118(1): 170-4.
27. Kim SW, Choi IK, Lee JH, Rhie JW, Ahn ST, Oh DY. Treatment of
axillary osmidrosis with the use of Versajet. J Plast Reconstr Aesthet
Surg 2013 May; 66(5): e125-8.
28. Ozawa T, Nose K, Harada T, Muraoka M, Ishii M. Treatment of
osmidrosis with the Cavitron ultrasonic surgical aspirator. Dermatol
Surg 2006 Oct; 32(10): 1251-5.
29. Chern E, Yau D, Chuang FC, Wu WM. Arthroscopic shaver with
refinement for axillary osmidrosis. Int J Dermatol 2010 Jul; 49(7):
813-7.
30. Huang YH, Yang CH, Chen YH, Chen CH, Lee SH. Reduction in
osmidrosis using a suction-assisted cartilage shaver improves the
quality of life. Dermatol Surg 2010 Oct; 36(10): 1573-7.
31. Qian JG, Wang XJ. Effectiveness and complications of subdermal
excision of apocrine glands in 206 cases with axillary osmidrosis. J
Plast Reconstr Aesthet Surg 2010 Jun; 63(6): 1003-7.
32. Yang H, Zhang MY, Ding SL, Li CY, Tan WQ. Modified tumescent
liposuction-curettage through mini incisions for the treatment of
secondary axillary bromhidrosis with subcutaneous scarring. Plast
Reconstr Surg 2012 Dec; 130(6): 916e-8e.
33. Wong LS CE, Yen Y, Wu WM. Use of a purse-string suture method
and blunt-ended dissector in arthroscopic surgery for axillary
osmidrosis. Dermatologica Sinica 2013; 31: 126-9.
34. Wang R, Yang J, Sun J. A Minimally Invasive Procedure for Axillary
Osmidrosis: Subcutaneous Curettage Combined with Trimming
Through a Small Incision. Aesthetic Plast Surg 2014 Dec 5.
35. Jung SK, Jang HW, Kim HJ, Lee SG, Lee KG, Kim SY, et al. A
Prospective, Long-Term Follow-Up Study of 1,444 nm Nd:YAG
Laser: A New Modality for Treating Axillary Bromhidrosis. Ann
Dermatol 2014 Apr; 26(2): 184-8.
36. Wu WH, Ma S, Lin JT, Tang YW, Fang RH, Yeh FL. Surgical
treatment of axillary osmidrosis: an analysis of 343 cases. Plast
Reconstr Surg 1994 Aug; 94(2): 288-94.

87
Bromhidrosis

37. Fan YM, Wu ZH, Li SF, Chen QX. Axillary osmidrosis treated by
partial removal of the skin and subcutaneous tissue en bloc and
apocrine gland subcision. Int J Dermatol 2001 Nov; 40(11): 714-6.
38. al KRHSe. Surgical Treatment of Axillary Hyperhidrosis Tretmant &
Management2014.
39. Skoog T, Thyresson N. Hyperhidrosis of the axillae. A method of
surgical treatment. Acta Chir Scand 1962 Dec; 124: 531-8.
40. Bang YH, Kim JH, Paik SW, Park SH, Jackson IT, Lebeda R.
Histopathology of apocrine bromhidrosis. Plast Reconstr Surg 1996
Aug; 98(2): 288-92.

88

Anda mungkin juga menyukai