Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN MAKALAH

BLOK V.3 “MALOCCLUSION”

SKENARIO 1

Dosen Fasilitator :

drg. Fredy Rendra Taursia Wisnu, M.Kom.

KELOMPOK TUTOR 7 :

1. DELA ANGGINA (NPM : 2110070110007)


2. LOVENIKHLASI RADIANTI (NPM : 2110070110023)
3. KEVIN RICARDO LUBIS (NPM : 2110070110028)
4. DEA IGNACIA M (NPM : 2110070110032)
5. PARASTIA WARANI (NPM : 2110070110046)
6. TASYA FAUZIAH UTARI (NPM : 2110070110055)
7. WILDA DWI ZULFA (NPM : 2110070110062)
8. SANDI NAYOAN (NPM : 2110070110072)
9. SHEVIRA REVA HALIZA (NPM : 2110070110078)
10. ASTRID RISAL (NPM : 2110070110085)
11. FAHRUL ROZI AKASUMA (NPM : 2110070110093)
12. TARA JOULY AGRANDA (NPM : 2110070110095

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami


kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti - nantikan syafaatnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan


nikmat sehat-Nya, baik sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah blok V.3 (Malocclusion)
skenario 1

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1) drg. Fredy Rendra Taursia Wisnu, M.Kom.


2) Semua pihak yang berkontribusi dalam penulisan makalah ini

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini bermanfaat. Terima kasih.

Padang, 21 November 2023

Kelompok Tutorial 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................4
1.1 Latar Belakang...........................................................................................4
1.2 RUMUSAN MASALAH...........................................................................4
1.3 TUJUAN PEMBELAJARAN...................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................6
2.1 Klasifikasi Istilah...................................................................................6
2.2 Menetapkan Permasalahan/Define The Problems.................................7
2.3 Curah Pendapat (Brainstorming)...........................................................7
2.4 Analisis Masalah..................................................................................10
2.5 Menetapkan Tujuan Pembelajaran.......................................................10
2.6 Hasil Belajar Mandiri..........................................................................11
BAB III PENUTUP................................................................................................25
3.1 KESIMPULAN......................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................26
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gigi geligi adalah rangkaian gigi yang berada pada rongga mulut.
Pada umumnya jumlah gigi geligi pada anak 20 gigi, sedangkan pada
orang dewasa terdapat sekitar 32 gigi. Rata-rata gigi pertama anak-anak
sudah dimulai tumbuh Ketika menginjak usia 6 bulan dan berhenti
mengalami perubahan pada usia sekitar 25 tahun. Gigi adalah bagian keras
yang terdapat didalam mulut dari banyak vertebrata. Gigi memiliki struktur
yang bervariasi yang memungkinkan untuk melakukan banyak tugas
(Ciptadent,2016).
Untuk itu, informasi mengenai tumbuh kembang gigi sangat
bermanfaat terlebih dalam membantu menegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan yang akan dilakukan, jika terjadi gangguan termasuk
gangguan erupsi gigi. Variasi gangguan perkembangan gigi-geligi, baik
gigi sulung maupun gigi permanen biasanya baru dapat dilihat bentuk
kelainannya setelah gigi tersebut erupsi. Keberagaman perkembangan
gigi termasuk erupsi gigi sulung dan permanen yang dapat berjalan
normal, terlalu cepat, atau terlambat dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.

Oleh karena itu, hal ini menjadi penting untuk dipahami oleh
seorang dokter gigi agar dapat menjelaskan kepada orang tua anak, faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi setiap tahap perkembangan gigi, baik
ketika masih dalam kandungan maupun ketika dalam perkembangan
setelah anak lahir.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa penyebab gigi taring pada anak belum tumbuh?


2. Apakah riwayat keluarga mempengaruhi kasus di scenario?
3. Bagaimana perawatan kasus pada di scenario?
4. Apakah ada pemeriksan penunjang lainnya pada scenario selain panoramic
tersebut?
5. Apakah keterlambatan gigi kaninus di scenario tergolong normal?
6. Apa factor yang mempengaruhi tumbuh kembang gigi pada anak?
7. Apa diagnosis kasus pada scenario?
8. Bagaimana urutan erupsi gigi permanen?
9. Bagaimana bentuk gambaran akar gigi kaninus atas yang sempurna pada
ronsen panoramic
10. Apa hubungan kasus di scenario dengan terjadinya maloklusi?
11. Apa akibat jika tidak dilakukan perawatan pada scenario?

1.3 TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan periode erupsi gigi pemanen


2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi pada scenario
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan (objective,
subjective, penunjang) pada scenario
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan diagnosis & rencana
perawatan pada scenario
BAB II
PEMBAHASAN

SKENARIO 1

Jumlah Gigiku kok Kurang…?

Paisen laki-laki usia 13 tahun dating Bersama ibunya ke RSGM untuk


memeriksakan giginya. Ibunya mengeluh gigi taring atas anaknya belum tumbuh,
sementara rata-rata teman-temannya sejak usia 12 tahun sudah tumbuh. Dari
analisis radiologi (ronsen panoramic) terlihat akar gigi kaninus atas permanen
pasien sudah terbentuk sempurna.

2.1 Klasifikasi Istilah

1) Rontgen Panoramic
Suatu alat penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
kasus,seperti fraktur rahang,evaluasi TMJ,atau kedalaman karies secara 2
dimensi.

2.2 Menetapkan Permasalahan/Define The Problems

1. Apa penyebab gigi taring pada anak belum tumbuh?


2. Apakah riwayat keluarga mempengaruhi kasus di scenario?
3. Bagaimana perawatan kasus pada di scenario?
4. Apakah ada pemeriksan penunjang lainnya pada scenario selain
panoramic tersebut?
5. Apakah keterlambatan gigi kaninus di scenario tergolong normal?
6. Apa factor yang mempengaruhi tumbuh kembang gigi pada anak?
7. Apa diagnosis kasus pada scenario?
8. Bagaimana urutan erupsi gigi permanen?
9. Bagaimana bentuk gambaran akar gigi kaninus atas yang sempurna pada
ronsen panoramic
10. Apa hubungan kasus di scenario dengan terjadinya maloklusi?
11. Apa akibat jika tidak dilakukan perawatan pada scenario?
2.3 Curah Pendapat (Brainstorming)

1. Apa penyebab gigi taring pada anak belum tumbuh?


 Banyak faktor penyebab gigi belum erupsi sepeti hormon yang
mana laki laki lebih lama erupsi dibandingkan perempuan. Selain
itu ada Faktor genetik,ras,nutrisi,jenis kelamin dan status gizi.
 Karena ukuran rahang anak yang kecil sehingga tidak
memungkinkan bagi tumbuhnya banyak gigi, pertumbuahan gigi
yang tidak beraturan dan trauma pada gigi saat pertumbuhan.

2. Apakah riwayat keluarga mempengaruhi kasus di scenario?


 Faktor yang dapat mempengaruhi dari kasus skenario yaitu
faktor genetik yang dapat mempengaruhi lengkung gigi, ukuran
rahang dan pertumbuhan gigi anak.

3. Bagaimana perawatan kasus pada di scenario?


 Terdapat berbagai macam perawatan gigi terlambat erupsi
seperti, autotransplatasi, ekstraksi gigi impaksi serta surgical
exposure dan perawatan orthodontik .

4. Apakah ada pemeriksan penunjang lainnya pada scenario selain


panoramic tersebut?
 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan selain pemeriksaan
rontgen panoramik yaitu,pemeriksaan rontgen sefalometri.
Rontgen sefalometri adalah radiografi standar yang digunakan
untuk radiografi tulang tengkorak dimana sefalometri digunakan
secara ekstensif dalam ortodonti untuk menilai hubungan gigi
dan rahang pada tulang wajah, analisa konveksitas wajah bisa
dilihat dengan menggunakan rontgen foto sefalometri yang
bertujuan untuk melihat luas lengkung rahang pasien apakah
terdapat kelainan atau tidak.

5. Apakah keterlambatan gigi kaninus di scenario tergolong normal?


 Pada kasus di skenario,keterlambatan pertumbuhan gigi
dikatakan masih tergolong normal. Karena hanya mempunyai
jarak kurang lebih 1 tahun dibanding pertumbuhan biasanya, dan
dikatakan masih tergolong normal.

6. Apa factor yang mempengaruhi tumbuh kembang gigi pada anak?


 Pertumbuhan gigi menjadi kondisi yang ditentukan oleh
beberapa faktor, seperti faktor genetik, asupan kalsium ibu saat
menjalani kehamilan, bayi yang mengalami kekurangan nutrisi,
hingga adanya gangguan kesehatan
 Faktor genetik, faktor hormonal, faktor lokal, ras, jenis kelamin,
status ekonomi, gizi dan pertumbuhan merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi waktu erupsi gigi (Kutesa, et al., 2013).
Gizi merupakan faktor penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan gigi serta rahang.

7. Apa diagnosis kasus pada scenario?


 Dari skenario anak laki-laki sudah berumur 13 tahun dan
analisis radiologi terlihat akar gigi kaninus atas permanen pasien
sudah terbentuk sempurna tetapi belum tumbuh sehingga
diagnosis dari kasus skenario yaitu impaksi gigi pada anak.

8. Bagaimana urutan erupsi gigi permanen?


 Gigi permanen yang pertama erupsi adalah gigi molar pertama
rahang bawah, yaitu saat anak berumur 6 tahun, tetapi kadang-
kadang gigi insisif pertama rahang bawah erupsi bersamaan atau
bahkan mendahului gigi molar pertama tersebut. Setelah itu gigi
9 insisif pertama rahang atas dan gigi insisif kedua rahang bawah
erupsi pada umur 7-8 tahun diikuti gigi insisif kedua rahang atas
pada umur 8-9 tahun. Gigi kaninus rahang bawah erupsi pada
umur 9-10 tahun dan gigi premolar pertama rahang atas pada
umur 10-11 tahun, dan seterusnya (Bagley, 2006).
 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola erupsi gigi permanen
sesuai dengan urutan erupsi adalah 16, 26, 11, 21, 12, 22, 14, 24,
15, 25, 13, 23, 17, 27,sedangkan pada rahang bawah adalah 31,
41, 36, 46, 32, 42, 34, 44, 35, 45, 33, 43, 37, 47. Kesimpulan
penelitian adalah pola erupsi gigi permanen rahang atas dan
bawah tidak sama, yaitu rahang atas lebih dulu daripada bawah.

9. Bagaimana bentuk gambaran akar gigi kaninus atas yang sempurna pada
ronsen panoramic
 Gambaran akar gigi kaninus atas permanen yang terbentuk
sempurna yaitu dengan berakar panjang,kondisi lengkungan akar
terbentuk sempurna ke arah distal dan terdapat gambaran
radiopak yang berbentuk anatomis di gigi kaninus atas permanen
tersebut.

10. Apa hubungan kasus di scenario dengan terjadinya maloklusi?


 Di skenario kasusnya gigi C yang tidak erupsi sehingga susunan
gigi menjadi tidak teratur yang disebut maloklusi. Dan jika
dibiarkan terus menerus akan memiliki dampak seperti
transposisi karena kosongnya ruang pada gigi tetangganya

11. Apa akibat jika tidak dilakukan perawatan pada scenario?


 Jika tidak dilakukan perawatan akan terganggunya pengunyahan
pada anak, gigi tetangga akan bermigrasi dan akan terganggunya
keestetikan gigi pada anak tersebut.
 Bisa menyebabkan dimana adanya Malposisi atau kesalahan
posisi pada gigi missing rahang, Transposisi atau perpindahan
posisi antara 2 gigi, dan Crossbite dimana satu gigi atau lebih
mengalami malposisi kearah bukal atau lingual terhadap gigi
anatagonisnya.
2.4 Analisis Masalah

2.5 Menetapkan Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan periode erupsi gigi


pemanen
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi pada scenario
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan (objective,
subjective, penunjang) pada scenario
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan diagnosis & rencana
perawatan pada scenario
2.6 Hasil Belajar Mandiri

1) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan periode erupsi gigi


pemanen
Pertumbuhan dan perkembangan gigi sudah dimulai pada saat
kehidupan intrauterin. Tanda perkembangan gigi paling awal dimulai pada
minggu ke-6 dimana lapisan basal epitel rongga mulut membentuk suatu
struktur seperti huruf C yang disebut lamina dentalis. Lamina dentalis
merupakan primordium bagian gigi yang berasal dari ektoderm. Lamina
dentalis ini terbentuk di sepanjang rahang atas dan bawah, kemudian
menghasilkan tunas gigi yang berkembang pada 10 tempat tertentu pada
setiap lamina, sehingga yang nnantinya akan menjadi 20 gigi susu.
Stadium ini disebut juga dengan stadium tunas (bud stage). Permukaan
dalam tunas gigi
Cap stage merupakan stadium pertumbuhan gigi, yang mana
terjadi pembesaran tunas gigi karena terjadi multiplikasi sel yang lebih
lanjut. Maka dari itu, stadium ini juga disebut dengan stadium proliferasi.
Cap stage ini terdiri dari epitel gigi luar sebagai lapisan luar, retikulum
stelatum di bagian tengah, dan epitel gigi dalam sebagai lapisan paling
dalam. Papila dentis berasal dari sel mesenkim pada lekukan "cap"
ini.tersebut nantinya akan mengalami invaginasi menghasilkan cap stage.
Ketika lekukannya semakin dalam, calon gigi ini akan berbentuk
seperti bel. Oleh karena bentuknya seperti bel, stadium ini disebut dengan
bell stage. Pada stadium ini, sel-sel mulai membentuk spesialisasi sehigga
disebut juga dengan stadium histodiferensiasi. Epitel gigi dalam
berdiferensiasi menjadi ameloblas yang kemudian menjadi email,
sedangkan sel mesenkim yang terletak dekat dengan epitel dalam,
berdiferensiasi menjadi odontoblas. Odontoblas inilah yang nantinya
membentuk dentin. Sekelompok sel-sel epitel gigi dalam membentuk
simpul email (email knot) yang mengatur perkembangan gigi awal.
Pembentukan akar gigi dimulai ketika lapisan epitel gigi
menembus mesenkim dibawahnya dan membentuk selubung akar epitel
(selubung Hertwig), Sel mesenkim yang terletak di luar gigi dan
berkontak dengan dentin akan berdiferensiasi menjadi sementoblas yang
kemudian menjadi sementum. Di luar lapisan tersebut, mesenkim
menghasilkan ligamentum periodontal yang berfungsi sebagai peredam
kejut dan mempertahankan gigi pada posisinya. Semakin panjangnya akar
gigi maka semakin terdorong pula mahkota gigi untuk mucul ke
permukaan hingga akhirnya terlihat di rongga mulut.

Erupsi gigi dimulai ketika pembentukan mahkota gigi telah


lengkap dan akar gigi mulai terbentuk dan berlanjut dengan keseluruhan
kelangsungan gigi tersebut di dalam rongga mulut (Newman, 2002).
Waktu erupsi gigi permanen dimulai saat anak berusia 6 sampai 7
tahun, ditandai dengan erupsi gigi molar pertama rahang bawah
bersamaan dengan insisif pertama rahang bawah dan molar pertama
rahang atas. Gigi insisif sentral rahang atas erupsi umur 7 tahun
dilanjutkan dengan gigi insisif lateral rahang bawah. Gigi insisif lateral
rahang atas erupsi umur 8 tahun dan gigi kaninus rahang bawah umur 9
tahun. Gigi premolar pertama rahang atas erupsi umur 10 tahun,
dilanjutkan dengan erupsi gigi premolar kedua rahang atas, premolar
pertama rahang bawah, kaninus rahang atas dan premolar kedua rahang
bawah. Erupsi gigi molar kedua rahang bawah terjadi umur 11 tahun dan
molar kedua rahang atas umur 12 tahun. Erupsi gigi paling akhir adalah
molar ketiga rahang atas dan rahang bawah (McDonald dan Avery, 2000)
Erupsi gigi dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang langsung
maupun tidak langsung. Resorpsi dan aposisi tulang, karakteristik
vaskularisasi periodontal dan perkembangan akar merupakan faktor yang
langsung berhubungan dengan erupsi gigi,14 sedangkan faktor tidak
langsung misalnya nutrisi, ekstraksi dan sebagainya. Erupsi gigi
peramanen yang terlalu awal (premature eruption) bisa terjadi akibat gigi
desidui yang digantikan mengalami karies yang parah sehingga merusak
tulang di koronal gigi permanen pengganti, akibatnya gigi permanen
erupsi terlalu awal meskipun akar baru terbentuk kurang dari 50%.

2) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi pada


scenario
Keterlambatan erupsi yang dimaksud adalah kegagalan erupsi gigi pada
waktu erupsi yang seharusnya. Secara kronologis, keterlambatan erupsi
tersebut dibandingkan dengan waktu erupsi rata-rata gigi pada umumnya.
Keterlambatan erupsi bisa terjadi secara lokal atau menyeluruh. Kondisi
ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain keterlambatan
erupsi yang terjadi secara lokal dan secara menyeluruh.

1) Keterlambatan erupsi yang terjadi secara lokal


Keterlambatan erupsi gigi permanen secara lokal merupakan suatu
bentuk abnormalitas erupsi yang hanya melibatkan satu atau
beberapa gigi. Hal-hal yang dapat menyebabkan keterlambatan
erupsi gigi permanen secara lokal, antara lain trauma dan kelainan
gigi. Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan gangguan
erupsi secara lokal pada gigi permanen. Trauma menyebabkan
kelainan yang dapat memberi efek keterlambatan erupsi gigi.
Kelainan tersebut antara lain
A. ankilosis. gigi permanen yang tidak erupsi sempurna atau
terlambat erupsi ada kemungkinan mengalami ankilosis.
Menurut Franklin, sebab terjadinya ankilosis diawali oleh
adanya trauma atau infeksi kronis yang selanjutnya
mengiritasi jaringan periodontal di daerah akar. Akibat
infeksi (atau trauma), maka jaringan periodontal dan
epitelium yang berada di sekitar gigi tersebut mengalami
kerusakan. Kemudian, sementum pada daerah akar yang
mengalami kerusakan terdeposit lalu terfiksasi pada
tulang alveolar. Selain keadaan tersebut, ankilosis pada
gigi sulung yang disebabkan oleh keterlambatan resorbsi
akar juga dapat menyebabkan keterlambatan erupsi gigi
permanen,
B. dilaserasi. Dilaserasi dapat diartikan sebagai
penyimpangan yang terjadi pada saat perkembangan dan
pertumbuhan gigi yang menyebabkan berubahnya
hubungan aksial antara mahkota dan akar. Dilaserasi
dapat disebabkan oleh trauma selama proses tumbuh
kembang gigi.
C. konkresensi. Kondisi ini dapat terjadi sebagai akibat
adanya trauma pada daerah yang kehilangan tulang
interseptal yang disertai crowding. Selain itu, konkresensi
dapat pula terjadi akibat pengaruh rangsangan patologis
seperti radang periapikal kronis. Akibat selubung
sementum yang menyatu, maka dapat menyebabkan
kedua gigi tersebut tertahan di dalam tulang alveolar,
sehingga dapat menyebabkan keterlambatan erupsi gigi
permanen.
D. kista erupsi. Secara klinis, kista dapat dibuktikan dengan
adanya pembengkakan mukosa di daerah alveolar ridge
sebagai akibat berkembangnya jaringan fibrotik sehingga
terjadi penebalan. Keadaan ini dipercaya sebagai akibat
adanya trauma pada jaringan lunak selama rongga mulut
melaksanakan fungsinya (mastikasi). Perubahan yang
tampak pada mukosa sebagai akibat jaringan fibrotik yang
semakin menebal, dapat mengakibatkan keterlambatan
erupsi.
E. Eksfoliasi prematur gigi-geligi sulung. Eksfoliasi atau
kehilangan gigi-geligi sulung yang terlalu dini, dapat
disebabkan karena berbagai sebab diantaranya karena
trauma, ekstraksi sebagai akibat karies, ataupun karena
letak benih yang salah. Jika gigi-geligi sulung mengalami
eksfoliasi dini sebelum gigi penggantinya memasuki
tahap pra erupsi, maka dapat menyebabkan keterlambatan
erupsi gigi permanen.

Kelainan gigi bisa terjadi pada jumlah, ukuran, dan warna.


Kelainan pada jumlah dan ukuran dapat menyebabkan
keterlambatan erupsi gigi pengganti. Kelainan-kelainan gigi yang
dimaksud adalah
 supernumerary teeth yang menunjukkkan adanya satu atau
lebih gigi yang melebihi jumlah gigi yang normal.
Supernumerary teeth dapat diakibatkan oleh pertumbuhan
benih enamel organ yang terus-menerus atau karena
proliferasi sel yang berlebihan. Supernumerary teeth bisa
tunggal maupun multipel, selain itu beberapa kasus dapat
erupsi namun ada pula yang impaksi. Hal ini dapat
menghalangi erupsi gigi tetangganya;
 regional odontodysplasia (ROD) yang terjadi karena
adanya gangguan pada proses tumbuh kembang gigi.
Pembentukan email dan dentin yang tidak adekuat disertai
dengan kalsifikasi folikel dan pulpa yang tidak sempurna.
Hal ini menyebabkan densitas gigi berkurang karena email
dan dentin yang tipis dan ruang pulpa yang terlalu besar.
Keadaan ini dapat mengakibatkan gigi mengalami
keterlambatan atau bahkan tidak erupsi;
 fusi, yang bentuknya bisa bervariasi tergantung pada
tahapan yang mengalami gangguan. Jika gangguan
dimulai sebelum tahap kalsifikasi, maka fusi meliputi
seluruh komponen gigi termasuk email, dentin, sementum,
dan pulpa. Namun jika gangguan baru terjadi pada tahap 3
akhir perkembangan gigi, maka efeknya dapat berupa
penyatuan di daerah akar saja tanpa disertai penyatuan
mahkotanya. Implikasi klinis adanya fusi yaitu selain
mengganggu estetik, juga dapat berakibat crowding
sehingga dapat menghalangi erupsi gigi tetangganya.3,11

2) Keterlambatan erupsi gigi yang terjadi secara menyeluruh


Keterlambatan erupsi gigi permanen secara menyeluruh
merupakan suatu bentuk abnormalitas erupsi yang melibatkan
banyak gigi atau bahkan secara keseluruhan. Hal-hal yang dapat
menyebabkan keterlambatan erupsi gigi permanen secara
menyeluruh antara lain gangguan endokrin, gangguan nutrisi dan
penyakit sistemik.
A. Sistem endokrin merupakan salah satu komponen penting
bagi kelangsungan hidup manusia selain sistem saraf
pusat. Beberapa keadaan pada gangguan endokrin yang
berkaitan dengan keterlambatan erupsi gigi yaitu
hipotiroid, hipoparatiroid, dan hipoptituarism. Pada kasus
yang parah, gigi sulung tidak mengalami resorbsi dan ada
kemungkinan tetap tertahan di dalam gingiva selama
hidupnya. Akibatnya, gigi permanen yang berada di
bawahnya tetap mengalami tumbuh kembang meski tidak
dapat erupsi.
B. Gangguan nutrisi sebagai penyebab keterlambatan erupsi
gigi yang terjadi secara menyeluruh, antara lain
disebabkan oleh defisiensi protein, defisiensi vitamin D,
dan defisiensi kalsium dan fosfor. Defisiensi protein;
selain karbohidrat, protein juga dibutuhkan oleh tubuh
kita untuk menghasilkan energi. Keberadaan protein
dalam tubuh sangat berperan terutama pada saat tahap
perkembangan termasuk periode prenatal dan pascanatal.
Selama tumbuh kembang gigi, defisiensi protein terutama
dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan ukuran
gigi molar yang lebih kecil, keterlambatan perkembangan
mandibula, dan keterlambatan erupsi yang nyata.
Defisiensi vitamin D; vitamin D membantu tubuh dalam
penyerapan dan regulasi kalsium. Fungsi utamanya yaitu
mineralisasi tulang dan gigi. Vitamin D sangat erat
kaitannya dengan kalsium dan fosfor. Vitamin D
mengatur kadar kalsium dan fosfor dalam darah. Selain
itu, fungsi lain vitamin D yang dibantu oleh hormon tiroid
dan paratiroid yaitu mengatur absorbsi dan penyediaan
kalsium dan fosfor dalam tulang termasuk tulang alveolar.
Trabekula pada tulang alveolar menjadi lemah
diakibatkan menurunnya fungsi vitamin D yang
berinteraksi dengan osteoblas (sel pembentuk jaringan
tulang baru). Defisiensi vitamin D mengakibatkan
gangguan dalam struktur tulang yaitu kalsifikasi menjadi
tidak sempurna karena absorbsi kalsium dan fosfor tidak
adekuat, sehingga menyebabkan keterlambatan erupsi,
baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa.
Defisiensi kalsium dan fosfor; kalsium dan fosfor
berfungsi menyimpan dan mempertahankan level serum
dalam jumlah yang dibutuhkan. Level serum kalsium dan
fosfor memiliki hubungan timbal balik. Maksudnya
adalah jika level kalsium meningkat, maka level fosfor
menurun, begitupun sebaliknya. Hubungan ini berperan
sebagai sebuah mekanisme proteksi untuk mencegah
tingginya konsentrasi dari kombinasi keduanya yang
selanjutnya dapat mempengaruhi kalsifikasi jaringan
lunak dan formasi jaringan 4 keras. Ketika defisiensi
kalsium terjadi, maka dapat mempengaruhi jumlah
kalsium yang terkandung dalam tulang alveolar yang
selanjutnya berpengaruh pada proses penggantian gigi
sulung dan keterlambatan erupsi gigi permanen. Sama
halnya saat defisiensi fosfor terjadi pada saat
perkembangan gigi, maka proses kalsifikasi tidak
sempurna dan dapat berdampak pada keterlambatan
erupsi.
C. Penyakit sistemik juga berperan dalam menyebabkan
keterlambatan erupsi gigi secara menyeluruh. Terdapat
beberapa penyakit yang telah dikenal. Hemifacial
hyperthropy dan odontomaxillary dysplasia; penderita
hemifacial hyperthropy dan odontomaxillary dysplasia
memiliki manifestasi pada rongga mulut berupa relative
generalized macrodontia, yang menunjukkan suatu
kondisi rahang atas, rahang bawah, ataupun keduanya
berukuran lebih kecil sedangkan gigi berukuran normal,
sehingga gigi tampak lebih besar dan menyebabkan gigi
berjejal baik bersifat lokal maupun regional. Sindroma
Down; sindroma trisomi 21 (Down syndrome [DS])
merupakan salah satu kelainan kongenital yang sering
terjadi dan cukup dikenal di kalangan masyarakat umum.
Diagnosis DS pada anak-anak tidak terlalu sulit
disebabkan bentuk wajah yang khas pada penderita ini.
Achondroplastic dwarfism; merupakan suatu jenis
sindroma yang belum diketahui etiologinya secara pasti,
namun yang jelas ada gangguan pada sel autosom dan
jarang sekali diakibatkan oleh mutasi secara spontan.
Tricho-Dento-Osseus-Syndrome (TDO); penderita TDO
memiliki karakteristik berupa adanya gangguan yang
terjadi pada proses perkembangan rambut, gigi, dan
tulang. Penderita memiliki tinggi tubuh yang normal,
namun terjadi gangguan remodeling tulang karena
aktivitas osteoklas menurun. Hal tersebut menyebabkan
keterlambatan erupsi baik pada gigi sulung maupun gigi
permanen.

3) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan


(objective, subjective, penunjang) pada scenario
●Pemeriksaan subjektif/anamnesis.
Anamnesis adalah salah satu cara pengumpulan data status pasien yang
didapat dengan cara operator mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan keadaan pasien. Anamnesis meliputi :
a) Keluhan Utama (chief complain/main complain) :
Keluhan utama adalah alasan/motivasi yang menyebabkan pasien
datang untuk dirawat. Dari keluhan yang telah dikemukakan itu
akan dapat diketahui:
 Apa sebenarnya yang pasien inginkan untuk mendapat
perbaikan dari operator/dokter gigi
 Apakah keluhan itu memungkinkan untuk ditanggulangi
dengan perawatan ortodontik ?
 Apakah keluhan itu menyangkut faktor estetik atau
fungsional (bicara , mengunyah)?
 Keluhan utama biasanya diikuti oleh keluhan sekunder yaitu
keluhan yang baru disadari setelah mendapat penjelasan dari
operator: Apakah ada keadaan lain yang tidak disadari oleh
pasien yang merupakan suatu kelainan yang memungkinkan
untuk dirawat secara ortodontik ?
Jika ada ini perlu dijelaskan dan dimintakan persetujuan untuk
dirawat.

b) Riwayat Kasus (Case History)


Disini dimaksudkan agar operator dapat menelusuri riwayat
pertumbuhan dan perkembangan pasien yang melibatkan
komponen dentofasial sampai terjadinya kasus maloklusi seperti
yang diderita pasien saat ini. Riwayat kasus dapat ditelusuri dari
beberapa aspek :
 Riwayat Gigi-geligi (Dental History):
Anamnesis riwayat gigi-geligi dimaksudkan untuk
mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan gigi-
geligi pasien sampai keadaan sekarang sehingga dapat
diketahui mulai sejak kapan dan bagaimana proses
perkembangan terbentuknya maloklusi pasien. Meliputi
riwayat pada :
- Periode gigi susu (Desidui Dentition) : Untuk
mengetahui adakah proses pertumbuhan dan
perkembangan maloklusi pasien dimulai pada
periode ini
- Periode gigi campuran (Mixed Dentitition) :
Adakah proses pergantian dari gigi susu ke gigi
permanen ini sebagai penyebab terjadinya
maloklusi? Perlu diketahui kemungkinan adanya
persistensi / prolonged retensi bahkan premature
loss.
- Ketika gigi-gigi susu mulai goyah apakah
dicabutkan kedokter gigi secara teratur ? -
Adakah gigi-gigi yang sampai kesundulan /
persistensi? Di daerah mana ? - Adakah gigi-gigi
permanen yang terlambat tumbuh (terlalu lama
ompong)
- Periode gigi permanen (Permanent Dentition) :
Untuk mengetahui apakah maloklusi pasien
dimulai pada periode ini - Adakah gigi tidak bisa
tumbuh / impaksi ? Apakah sudah dicabut atau
agenese ?

c) Riwayat Penyakit (Disease History) :


Anamnesis Riwayat penyakit tujuannya untuk mengetahui :
Adakah penyakit yang pernah / sedang diderita pasien dapat
mengganggu proses pertumbuhan, perkembangan rahang dan
erupsi normal gigi-geligi, sehingga diduga sebagai penyebab
maloklusi. - Adakah penyakit yang diderita pasien dapat
mengganggu / menghambat proses perawatan ortodontik yang
akan dilakukan. - Adakah penyakit yang kemungkinan dapat
menular kepada operator - Perlu diketahui pada umur berapa dan
berapa lama penyakit itu diderita pasien dan apakah sekarang
masih dalam perawatan dokter, dokter siapa ? - Penyakit yang
dimaksud antara lain :
o Penyakit kekurangan gizi pada masa kanak-kanak
o Tonsilitis atau Adenoiditis
o Hipertensi atau penyakit Jantung
o Hepatitis atau Lever
o Asthma
o Tuberculosis
o HIV atau AIDS
o Alergi terhadap obat tertentu dll

d) Riwayat keluarga (Family History) :


Tujuan dari anamnesis riwayat keluarga adalah untuk mengetahui
apakah maloklusi pasien merupakan faktor herediter (keturunan)
yang diwariskan dari orang tua. Untuk itu perlu ditanyakan
keadaan gigi-geligi kedua orang tua dan saudara kandung pasien.
e) Kebiasaan buruk (Bad habit ) :
Anamnesis bad habit dimaksudkan untuk mengetahui etiologi
maloklusi pasien apakah berasal dari suatu kebiasaan buruk yang
telah / sedang dilakukan pasien. Untuk itu tanyakan kepada
pasien atau orang tuanya tentang : - Jenis : Bad habit apa yang
telah dilakukan ? - Kapan : Umur berapa bad habit dilakukan,
apakah sekarang masih dilakukan ? - Durasi : Dari sejak kapan
sampai kapan dilakukan ? - Frekuensi : Berapa kali per jam /
perhari dilakukan ? - Intensitas : Seberapa kuat / keras
dilakukan ? - Posisi : Bagaimana dan di bagian mana dilakukan ?
- Apakah ada hubungan antara bad habit yang dilakukan dengan
keadaan maloklusi pasien

 Pemeriksaan klinis/ pemeriksaan objektif


Umum / General Pemeriksaan klinis secara umum pada pasien dapat
dilakukan dengan mengukur dan mengamati :
Tinggi badan, berat badan Keadaan jasmani, Keadaan mental, Status
gizi : baik / cukup / jelek Maksud pemeriksaan klinis menyangkut
tinggi badan, berat badan, keadaan jasmani serta keadaan gizi pasien
adalah untuk memperkirakan pertumbuhan dan perkembangan pasien
secara umum, sedangkan data keadaan mental pasien diperlukan untuk
menentukan apakah pasien nanti dapat bekerja sama (kooperatif)
dengan baik bersama operator dalam proses perawatan untuk
mendapatkan hasil perawatan yang optimal.
a. Khusus / Lokal :
Luar mulut / Ekstra Oral : • Bentuk muka : simetris / asimetris •
Tipe muka : Menurut Martin (Graber 1972) dikenal 3 tipe muka
yaitu :
- Brahisepali : lebar, persegi
- Mesosefali : lonjong / oval
- Oligosepali : panjang / sempit

b. Dalam mulut /Intraoral : Pemeriksaan intraoral dilakukan dengan


mengamati :
o Kebersihan mulut (oral hygiene / OH)
o Keadaan lidah : normal / macroglossia / microglossia
o Palatum : normal / tinggi / rendah serta normal / lebar /
sempit.
o Gingiva : Normal / hypertrophy / hypotropy Adanya
peradangan pada gingiva bisa ditentukan dengan gingival
indeks (GI)

 Pemeriksaan Penunjang

Analisis Foto Rontgen diperlukan apabila dibutuhkan diagnosis tentang


keadaan jaringan dentoskeletal pasien yang tidak dapat diamati langsung
secara klinis, seperti:
- Foto periapikal : Untuk menentukan gigi yang tidak ada, apakah
karena telah dicabut, impaksi atau agenese. Untuk menentukan
posisi gigi yang belum erupsi terhadap permukaan rongga mulut
berguna untuk menetapkan waktu erupsi, Untuk membandingkan
ruang yang ada dengan lebar mesiodistal gigi permanen yang
belum erupsi.
- Panoramik : Untuk menentukan keadaan gigi dan jaringan
pendukungnya secara keseluruhan dalam satu Ro foto, Untuk
menentukan urutan erupsi gigi. Radiografi panoramik (2D)
merupakan modalitas yang paling umum digunakan secara klinis
sebagai radiografi diagnostik utama untuk menentukan lokasi
impaksi gigi kaninus rahang atas, menentukan rencana perawatan
dan evaluasi hasil perawatan. Validitas dan keakuratan dari
radiografi panoramik (2D) sangat lemah, hal ini disebabkan
karena kesalahan proyeksi distorsi dan dapat mengakibatkan
dalam salah penafsiran.
- Bitewing : Untuk menentukan posisi gigi dari proyeksi oklusal.
- Analisis Sefalometri : Analisis sefalometri sekarang semakin
dibutuhkan untuk dapat mendiagnosis maloklusi dan keadaan
dentofasial secara lebih detail dan lebih teliti tentang: -
Pertumbuhan dan perkembangan serta kelainan kraniofasial - Tipe
muka / facial baik jaringan keras maupun jaringan lunak - Posisi
gigi-gigi terhadap rahang - Hubungan rahang atas dan rahang
bawah terhadap basis kranium
- CBCT : Perencanaan perawatan impaksi gigi kaninus
membutuhkan diagnosis yang tepat sehingga memerlukan
radiograf (3D). CBCT dapat mengatasi keterbatasan radiograf
konvensional. Penentuan posisi impaksi gigi kaninus rahang atas
yang dimasukkan dalam klasifikasi dapat membantu secara cepat
dan tepat dalam penentuan tingkat kesulitan perawatan impaksi
gigi kaninus rahang atas, sehingga berdampak dalam penentuan
strategi perawatan yang tepat (Ardhna, 2009)

4) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan diagnosis & rencana


perawatan pada scenario
Dalam merencanakan perawatan untuk keterlambatan pertumbuhan gigi
permanen ada tiga prinsip yang harus diikuti :
1) Prognosis harus didasarkan pada luasnya displacement dan trauma
bedah yang diperlukan untuk exposure. Makin besar displacement
(ruang yang dibutuhkan/ yang akan dibuat) dan makin besar
trauma, makin buruk prognosis. Ekstraksi gigi impaksi dan
penutupan ruangan secara orthodontik atau penggantian gigi
secara prostodontik merupakan perawatan yang lebih baik dari
pada usaha menarik gigi impaksi tersebut ke oklusi.
2) Jika sudah dilihat poin yang pertama tadi, jika displacement nya
sedikit/kecil maka salah satunya dapat dilakukan surgical
exposure, yaitu tindakan bedah untuk membuka mukosa/tulang
yang menghalangi mahkota gigi/gigi yang terlambat erupsi. Pada
saat surgical exposure, jaringan yang menutupi erupsi gigi harus
dibuang sehingga gigi dapat ditarik.
3) Memastikan ruangan harus tersedia bagi gigi yang akan ditarik
sebelum pembedahan dilakukan.
Ada beberapa pilihan dalam perawatan gigi impaksi, antara lain:
pencabutan atau pengambilan gigi impaksi, reposisi, bedah exposure dan
ortodontik, serta replantasi. Perawatan konvensional untuk gigi anterior
impaksi adalah surgical exposure dan traksi secara ortodontik. Prognosis
untuk keberhasilan penempatan gigi kaninus ektopik sehingga dapat
menempati lengkung gigi yang benar tergantung dari beberapa faktor.
Faktor tersebut meliputi, usia penderita, adanya diastema atau ruang,
adanya gigi yang berdesakan, dimensi vertikal, terbalik atau tidaknya letak
mahkota, inklinasi letak gigi terhadap garis media wajah (tidak lebih dari
45 derajat), mengalami ankylosis atau mempunyai akar yang bengkok.18-
Pada kasus ini, prognosis perawatan baik karena usia pasien masih muda,
adanya ruang untuk erupsinya gigi impaksi kaninus setelah dilakukan
traksi dan juga untuk mengkoreksi gigi-gigi berjejal adalah cukup,
inklinasi gigi kaninus tidak lebih dari 45 ataupun mahkotanya tidak
terbalik dan akar tidak bengkok.

Penatalaksanaan pasien meliputi,


Persiapan alat dan bahan serta surat persetujuan dari orang tua pasien,
maka dilakukan pemasangan alat ortodontik cetak dengan pilihan bracket
adalah Roth slot 0.22 dan kawat awal adalah Niti 0.12 untuk aligning dan
levelling. Setelah 3 minggu maka dilakukan kontrol dan penggantian
kawat menjadi Niti 0.14. Pada saat kontrol berikutnya kawat yang diganti
menjadi SS 16 x 16 dan dilakukan tindakan bedah konservatif untuk
membuka gigi kaninus yang tertutup.

1) Pertama-tama dilakukan injeksi infiltrasi pada regio bukal (Gambar


5.A) kemudian dibuat insisi horizontal menggunakan blade nomor 11
pada area tonjolan di atas gigi insisif (Gambar 5.B).
2) Selanjutkan memisahkan jaringan gusi dengan tulang menggunakan
raspatorium sampai terlihat permukaan gigi kaninus (Gambar 5.C).
3) Setelah gigi terlihat maka ruangan dilebarkan sehingga dapat dilakukan
pemasangan bracket pada gigi kaninus (Gambar 8.A). Selanjutnya
dilakukan pemasangan karet power chain pada gigi 11, 12, 13 (Gambar
8.B).
4) Dilakukan penjahitan 1 kali untuk meminimalisir daerah insisi
(Gambar 8.C).
5) Periodontal pack diaplikasikan untuk mempercepat penyembuhan
pasca insisi (Gambar 8.D).

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Erupsi gigi adalah suatu proses berpindah atau bergeraknya gigi yang
sedang berkembang di dalam dan melalui tulang alveolar serta mukosa yang
menutupi rahang menuju ke dalam rongga mulut dan mencapai dataran oklusal
gigi. Erupsi kaninus yang mengalami keterlambatan terjadi karena posisi awal yang
tidak tepat, kurangnya panjang lengkung rahang hingga menyebabkan gigi menjadi
tumbuh secara ektopik. Untuk mengamati pergerakan gigi kaninus rahang atas dan
menghitung jarak gerakan yang terjadi dengan radiograf panoramik dan
sefalometri. Rencana perawatannya adalah pemasangan alat ortodontik cekat oleh
ahli ortodontik dan dilakukan surgical exposure.
DAFTAR PUSTAKA

1. Becker, A. (2022). Orthodontic Treatment of Impacted Teeth.Willey-


Blackwell.
2. Becker, A. and Chaushu, S. (2015). Etiology of maxillary canine
impaction: A review. American Journal of Orthodontics and Dentofacial
Orthopedics, 148(4), pp.557–567. doi:10.1016/j.ajodo.2015.06.013.
3. Vejdani, J., Heidarzade, A., & Darkhaneh, S. M. (2015). Eruption time of
the first Primary Tooth and its Relationship with Growth Parameters in
Children. Journal of Dentomaxillofacial Radiology, Pathology and
Surgery, 3(4), 15–19. https://doi.org/10.18869/acadpub.3dj.3.4.15
4. Wijaya, S. B., Utomo, R. B. (2014, September). Penatalaksanaan Impaksi
Caninus Permanen Rahang Atas dengan Surgical Exposure. Dental, 47(3),
158-163.
5. Wijaya S. B., Utomo Rinaldi B..2014. Penatalaksanaan impaksi caninus
permanen rahang atas dengan surgical exposure. Yogyakarta – Indonesia
majalah kedokteran gigi volume 47 number 3.

6. Yudiya. T.A.,Dkk.2020. Hubungan Stunting pada Keterlambatan Erupsi


Gigi Kaninus Atas Permanen Anak Pada Usia 11-12 Tahun Jurnal
Kedokteran Gigi. Vol IV. No 3.
7. Himammi,Nurma,Azda,dkk. (2021). KEGUNAAN RADIOGRAGI
PANORAMIK PADA MADA MIXED DENTITION. Jurnal Radiologi
Dentomaksilofasial Indonesia. Volume 5,Nomor 1: 39-43,P-ISSN.2685-
0249.

8. Marjianto, Agus dkk. Jurnal Ilmiah Keperawatan Gigi (JIKG). Volume 3


No 1 2033 114 SLR: FAKTOR PENYEBAB TERLAMBATNYA ERUPSI
GIGI PERMANEN.Jurusan Kesehatan Gigi, Politeknik Kesehatan
Kemenkes Surabaya Noorharsanti ,AT.2014.Universitas padjajaran.
9. RatnaIndriyanti, drg dkk.POLA ERUPSI GIGI PERMANEN DITINJAU
DARI USIA KRONOLOGIS PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 12 TAHUN DI
KABUPATEN SUMEDANG Oleh .Universitas Pajajaran.

Anda mungkin juga menyukai