PROPOSAL SURVEI
MASALAH KESEHATAN GIGI DAN MULUT
Disusun oleh:
Aisyah Mauludia 1206207792
Anisa Savitri 1206207804
Cymilia Gityawati 1206207741
Hafshah Samrotul M 1206256610
Hastinefia Putri 1206207823
Ranny Rahaningrum H 1206208012
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................5
1.3 Tujuan Survei....................................................................................................................5
1.4 Manfaat Survei..................................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................7
2.1 Survei Kesehatan...............................................................................................................7
2.1.1 Survei.............................................................................................................................7
2.1.2 Surveillance.................................................................................................................18
2.1.3 Rancangan Survei Kesehatan Gigi dan Mulut............................................................25
2.1.4 Karakteristik Khusus Penyakit Mulut.........................................................................25
2.1.5 Indeks Usia dan Kelompok Usia9................................................................................26
2.1.6 Pathfinder Survey........................................................................................................27
2.2 Karies Gigi......................................................................................................................34
BAB III VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL.............................................................47
BAB IV METODE SURVEY.......................................................................................................51
4.1. Jenis Survei.....................................................................................................................51
4.2. Lokasi dan Waktu Survei................................................................................................51
4.3. Subjek Survei..................................................................................................................51
4.3.1. Cara Pengambilan Sampel...........................................................................................51
4.3.2. Kriteria Inklusi............................................................................................................52
4.3.3. Kriteria Eksklusi..........................................................................................................52
4.3.4. Besar Sampel...............................................................................................................52
4.4. Pengumpulan Data..........................................................................................................52
4.4.1. Pemeriksaan Klinis......................................................................................................52
4.4.2. Pengisian Kuisioner.....................................................................................................53
4.4.3. Alur Kerja....................................................................................................................54
4.5. Pengolahan Data.............................................................................................................55
4.5.1. Data Klinis...................................................................................................................55
4.5.2. Data Kuisioner.............................................................................................................55
4.6. Rencana Operasional Survei...........................................................................................55
4.6.1. Perizinan......................................................................................................................55
4.6.2. Susunan Personil/Petugas............................................................................................55
4.6.3. Biaya............................................................................................................................56
4.6.4. Jadwal..........................................................................................................................56
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................59
BAB I
PENDAHULUAN
C. Jenis-jenis Survei6
Jenis survei secara garis besar adalah:
1. Survei Deskriptif
Survei yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran situasi. Misalnya survei tentang
penyebab-penyebab penyakit pada kelompok penduduk menurut jenis kelamin, usia,
dan sebagainya.
2. Survei Analitik
Survei yang dilakukan untuk menjelaskan keadaan. Misalnya survei tentang apakah
tindakan pencegahan dapat menurunkan insidensi karies gigi?
D. Macam-macam Survei6
1. Survei Epidemiologi
Survei ini diadakan untuk mendapatkan gambaran tentang penyebran penyakit
atau ciri-ciri penyakit yang terdapat pada masyarakat dan faktor-faktor lain yang
mungkin ada hubungannya dengan penyakit tersebut. Kegunaan survei ini adalah:
Untuk mendapatkan diagnosis status kesehatan masyarakat
Untuk menjelaskan penyebab dan riwayat penyakit, serta perjalanan alamiah
penyakit
Untuk memberikan kontribusi pada evaluasi upaya kesehatan
2. Perencanaan Program Survei
Untuk dapat merencanakan program, kita memerlukan informasi dasar kesehatan
pada kelompok masyarakat tentang status kesehatan dan kebutuhan perawatan
masyarakat tersebut. Dengan demikian usaha yang dijalankan betul-betul dapat
memenuhi kebutuhan tersebut. Pada survei ini kita juga harus mengetahui sejauh mana
kemampuan yang dimiliki masyarakat untuk menjalankan program tersebut.
3. Survei Evaluasi
Survei ini dilakukan untuk menilai sejauh mana upaya pelayanan kesehatan telah
dilaksanakan, apakah sesuai dengan program yang kita rencanakan.
E. Tahapan Survei6
1. Menetapkan Tujuan
Tujuan dibutuhkan untuk menentukan hipotesis yang di tes atau penyakit yang diukur.
Pernyataan tujuan hafris memenuhi syarat
- Harus memenuhi maksud survei
- Tujuan harus dinyatakan jelas, sangat spesifik, dan tidak meragukan apa yang
harus diukur
- Dinyatakan dalam istilah-istilah yang bisa diukur
2. Mendesain Penelitian
Pada tahap ini mendesain penelitian dengan memilih metode atau jenis studi yang
digunakan, dapat berupa studi deskriptif ataupun analitik.
3. Memilih Sampel
Prinsip dalam memilih sampel adalah mendapat informasi maksimal dari suatu
populasi, yang terbebas dari bias. Tujuan diadakannya sampel adalah untuk mengatasi
keterbatasan peneliti (baik yang menyangkut waktu, kemampuan, dana, keterbatasan
metodologik, maupun keterbatasan izin) dalam mencoba mengeksplorasi informasi dari
semua subjek. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil survei yang adekuat, diperlukan
sampel yang baik. Sampel yang baik adalah sampel yang dapat menggambarkan
karakteristik dari populasi yang akan diteliti tersebut. Dengan kata lain, sampel tersebut
harus merepresentasikan populasi.
Representativitas Sampel
Dalam pemilihan sampel perlu diperhatikan representativitas sampel. Sampel
yang representatif adalah:
Sampel yang dari tiap kesatuan atau unit analisisnya identik dengan semua
karakteristik dalam populasi
Setiap kejadian atau perubahan yang terjadi pada subjek-subjek sampel (baik
karena perlakuan maupun tidak), juga identik dengan kejadian atau perubahan
pada populasi.
Apabila didapatkan kedua kondisi diatas, maka didapatkan sampel yang
representatif. Representativitas sampel itu sendiri ditentukan oleh:
Homogenitas populasi
Jumlah (besar) sampel yang dipilih
Banyaknya karakteristik subjek yang akan dipelajari
Adekuatitas teknik pemilihan sampel
Rancangan Sampel
Rancangan sampel mempunyai dua acuan pokok, yaitu:
Randomisasi terhadap keadaan populasi yang sudah homogen
Homogenisasi populasi kedalam sub populasi untuk tiap karakteristik populasi
a. Randomisasi Sampel
Randomisasi sampel adalah suatu teknik pemilihan sampel dimana
setiap subjek dalam populasi mendapat kemungkinan yang sama untuk
terpilih. Terdapat dua tipe randomisasi sampel yaitu teknik random sederhana
dan teknik random sistematik. Pada random sederhana, setiap sampel dari
individu dipilih secara acak tanpa ada ketentuan tertentu. Sedangkan, pada
random sistematik, hanya individu pertama saja yang dipilih secara random,
sementara individu berikutnya terpilih menurut aturan yang telah ditetapkan.
Teknik random murni lebih bunggul dibandingkan random sistematik dalam
memperoleh subjek yang representatif.
b. Homogenisasi Populasi
Homogenisasi populasi dilakukan pada populasi yang heterogen
sebelum randomisasi dimulai. Hal ini dikarenakan randomisasi subjek hanya
dapat dilakukan setelah populasi homogen.
Desain Sampel
Sebelum melakukan pemilihan sampel, pelaksana survey harus memutuskan apakah
surveynya akan dilakukan dalam lingkuo lokal, regional, atau nasional. Selain itu juga
harus menentukan variabel yang akan di periksa dalam survey serta kelompok usia yang
akan dilibatkan.
a. Simple random sampling
- Tiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk diseleksi
sebagai sampel, karena tiap anggota populasi memiliki karakteristik yang
sama sehingga tiap pemilihan individu tersebut tidak akan mempengaruhi
individu yang lain.
- Peneliti dapat menggunakan teknik ini jika perbedaan gender, status
kemakmuran, dan kedudukan dalam organisasi, serta perbedaan-perbedaan
lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang penting dan mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian.
- Jika besar sampel yang diinginkan berbeda-beda, maka besar kesempatan
bagi tiap satuan elementer untuk terpilih pun berbeda-beda.
- Prosedurnya :
Susun sampling frame,
Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil,
Tentukan alat pemilihan sampel, dan
Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi.
- Tekniknya terbagi menjadi dua, yaitu dengan mengundi anggota populasi
(lottery technique) atau teknik undian, dan dengan menggunakan tabel
bilangan atau angka acak random number).
Pada simple random sampling, kita hitung terlebih dahulu jumlah subyek dalam
populasi (terjangkau) yang akan dipilih subyeknya sebagai sampel penelitian. Setiap
subyek diberi bernomor dan dipilih sebagian dari mereka dengan bantuan table angka
random.
Contoh:
Misalnya kita akan pilih 20 dari 200 subyek pada populasi dengan cara simple
random sampling. Ke-200 subyek tersebut kita beri nomor urut, dari 1 sampai dengan
200. Karena ada 200 subyek, maka kita ambil angka yang terdiri atas 3 digit. Oleh
karena angka tertinggi yang akan diambil adalah 200, maka yang diambil hanya angka
200 dan angka yang lebih dari 200 diabaikan (dalam contoh angka 053, 025, 173,).
Bila ada angka yang sama, maka angka yang muncul kemudian diabaikan. Demikian
seterusnya sampai diperoleh 20 nomor. Agar obyektif, maka pemilihan angka awal
dilakukan secara acak misalnya dengan cara menjatuhkan pinsil sambil memejamkan
mata; angka yang terdekat dengan jatuhnya ujung pinsil dipilih sebagai angka awal.
Pembacaan tidak harus kiri ke kanan, namun dapat juga ke kiri, atas, atau bawah, dan
sekali telah ditetapkan arah pembacaan harus tetap taat-asas.
Tabel random (dalam kelompok 5 digit)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 32388 44437
2 05300 19746
3 66523 59847
4 44167 87820
5 47914 86820
6 63445 46920
7 89917 99378
8 92648 66078
9 20979 16834
10 81959 34191
Pemilihan subyek secara acak ini dipermudah dengan tersedianya program computer. Banyak
program computer yang menyediakan pemilihan subyek secara random (random sampling atau
random selection). Biasanya computer meminta input kepada kita, berapa jumlah subyek
penelitian yang tersedia (misalnya 200), dan berapa banyak yang akan dipilih sebagai sampel
(misalnya 40), serta nomor urut pasien dari yang terkecil sampai yang terbesar untuk dipilih
(misal dari nomor 1 sampai 200). Dengan perintah khusus, maka computer akan menunjuk 40
nomor urut pasien yang harus dipilih. Bila input yang sama diulang, maka computer akan
member 40 nomor pasien yang sama sekali berbeda dengan hasil sebelumnya. Dengan demikian
peneliti tidak dapat memprediksi nomor berapa saja yang akan terpilih bila prosedur pemilihan
subyek ini diulang.
- Keuntungan:
1. Sampling error dapat ditentukan secara kuantitatif
2. Ketepatan yang tinggi dan probabilitas yang sama
- Kerugian :
1. Bila tidak ada sampling frame, populasi tersebar dan luas
2. Butuh tenaga, waktu dan biaya yang cukup banyak
b. Systematic sampling
Teknik ini merupakan modifikasi dari simpel random sampling. Teknik ini
digunakan jika peneliti dihadapkan pada jumlah populasi yang banyak dan tidak
memiliki alat pengambil data secara random.
Dilakukan pemilihan satu orang pertama secara random dalam suatu daftar,
kemudian memilih orang-orang selanjutnya berdasarkan angka kelipatan tertentu.
Angka kelipatan dipilih dengan mempertimbangkan jumlah sampel yang diinginkan
dengan jumlah populasi total.
Secara singkat, cara yaitu dengan membagi jumlah anggota populasi dengan
perkiraan jumlah sampel yang diinginkan, hasilnya adalah interval sampel. Sampel
diambil dengan membuat daftar elemen atau anggota populasi secara acak antara 1
sampai banyaknya anggota populasi. Kemudian membagi dengan jumlah sampel yang
diinginkan, jika intervalnya adalah X, maka yang menjadi sampel adalah setiap
kelipatan X tersebut.
Contoh dari penggunaan teknik systematic sampling yaitu, apabila terdapat 1800
lansia dalam suatu populasi dan sampel yang ingin diperiksa sebanyak 200 lansia, maka
angka kelipatannya adalah 9. Untuk menentukan orang pertama, pilih angka di antara
0-9 secara random, misalkan angka 3. Kemudian orang-orang selanjutnya, adalah setiap
orang ke sembilan dari angka sebelumnya. Jadi dalam hal ini yang akan terpilih adalah
orang ke-3, ke-12, ke-21, dst.
Contoh lainnya adalah dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan
diambil adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua,
dan seterusnya adalah...
N (Jumlah Populasi) : 5000 rumah (Rumah 1,2,3,4,....,5000)
n (Sampel) : 250 rumah
I (Intervalnya) : 5000/250 = 20.
Maka anggota populasi yang terkena sampel adalah rumah dengan nomor kelipatan
20, nomor awal ditentukan secara random (biasanya dengan undian) misalnya dimulai
dari no.2, maka nomor interval berikutnya adalah 22, 42, 62, dst sampai mencapai 250
anggota sampel.
Keuntungan :
- Sampling frame tidak mutlak dibutuhkan karena daftar responden dapat dilakukan
bersamaan dengan pengambilan sampel
- Cara ini relatif mudah dan dapat dilakukan oleh petugas lapangan
- Cara ini sangat praktis bila populasi dalam bentuk kartu
- Variasi akan lebih kecil jika dibandingkan dengan cara lain
- Membutuhkan waktu dan biaya yang lebih rendah jika dibandingkan dengan simple
random sampling
Kerugian :
- Setiap unit sampel tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai
sampel karena telah ditentukan interval
c. Stratified sampling
Dalam teknik ini, setiap populasi digolongkan sehingga menghasilkan beberapa
subkelompok atau strata. Kemudian sampel diambil dari setiap subkelompok yang ada
menggunakan teknik random sampling. Total dari sampel yang diambil dalam suatu
subkelompok disebut dengan stratified random sample. Jika komposisi penduduk
diketahui sehubungan dengan sejumlah variabel spesifik, misalnya usia, jenis kelamin
dan kelompok etnis,sampel dapat dipilih agar sesuai dengan komposisi ini.
Teknik stratified sampling adalah teknik yang tepat untuk memperoleh perkiraan
parameter untuk masing-masing subkelompok secara terpisah. Teknik stratified
sampling yang tepat membutuhkan identifikasi data dari masing-masing subkelompok.
Apabila hal ini tidak ada, maka teknik ini tidak bisa dilakukan. parameter untuk setiap
subkelompok.
Teknik pengambilan sampel ini dapat digunakan jika suatu populasi terdiri dari unit
yang memiliki karakteristik berbeda-beda atau heterogen. Misalnya peneliti ingin
mengetahui sikap ibu hamil terhadap kesehatan janinnya, peneliti menduga bahwa ibu
hamil dengan pendidikan tinggi cenderung positif sikapnya terhadap kesehatan janin.
Untuk menguji dugaan ini maka sampelnya terdiri atas ibu hamil dengan pendidikan
tinggi, menengah, dan rendah.
Hal ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi karakteristik umum dari anggota
populasi, kemudian menentukan strata atau kelompok dari karakteristik tersebut.
Penentuan strata dapat didasarkan oleh tingkatan sosial ekonomi, tingkat keparahan
penyakit, umur, dsb. Setelah strata ditentukan selanjutnya dari masing-masing strata
diambil sampel yang dapat mewakili strata tersebut secara acak.
Langkah-langkah pengambilan sampel secara stratified:
- Menentukan populasi penelitian
- Mengidentifikasi segala karakteristik dari anggota populasi, misalnya tingkat
pendidikan, ekonomi, dsb.
- Mengelompokkan anggota populasi yang memiliki karakteristik umum yang sama
dalam suatu strata atau kelompok, misalnya strata tingkat pendidikan (rendah,
menengah, dan tinggi)
- Mengambil sebagian anggota populasi dari masing-masing strata sebagai perwakilan
strata tersebut.
- Teknik pengambilan sampel dari masing-masing strata dapat dilakukan secara random
maupun non random.
- Sebaiknya dalam pengambilan sampel dari strata dilakukan berdasarkan pertimbangan
(proporsional).
Cakupan Surveilans
Cakupan surveilans sangatlah luas, dari sistem peringatan awal untuk respons
segera pada kasus penyakit menular hingga respons yang direncanakan pada kasus
penyakit kronis yang pada umumnya memilikiwaktu jeda yang lebih lama antara paparan
dan penyakit.8 Kebanyakan negara memiliki peraturan untuk melaporkan dengan wajib
daftar penyakit. Daftar ini berisi berbagai penyakit termasuk penyakit yang daoat
dihindari dengan vaksin seperti polio, measles, tetanus difteri dan juga penyakit menular
seperti tuberculosis, hepatitis, meningitis, dan kusta. Laporan dibutuhkan unutk kondisi
yang tidak menular, seperti kematian maternal, cedera dan penyakit akibat pekerjaan dan
lingkungan seperti keracunan pestisida. Laporan wajib untuk kondisi spesifik merupakan
turunan dari surveilans.
Tujuan Surveilans
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah
kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.8 Tujuan khusus surveilans:
(1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit; (2) Mendeteksi perubahan mendadak
insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak; (3) Memantau kesehatan populasi,
menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi; (4) Menentukan
kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan
evaluasi program kesehatan; (5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program
kesehatan; (6) Mengidentifikasi kebutuhan riset.
Kegunaan surveilans
Surveilans merupakan fitur penting dari praktik epidemiologis yang berguna untuk:
Mengenali kasus terisolasi atau clustered
Menilai dampak kesehatan masyarakat dari event dan menilai tren
Mengukur faktor kausal dari penyakit
Memonitori efektivitas dan mengevaluasi dampak dari pencegahan dan pengukuran
kontrol, strategi intervensi dan perubahan kebijakan kesehatan
Perencanaan dan penyediaan perawatan
Prinsip Surveilans
Prinsip kunci yaitu mengikutsertakan kondisi khusus dimana surveilans bisa secara
efektif menciptakan pencegahan. Prinsip penting lainnya yaitu sistem surveilans harus
mencerminkan beban penyakit secara umum dari sebuah komunitas. Kriteria lain dalam
pemilihan penyakitnya8 yaitu:
Insidensi dan prevalensi
Perbandingan case-fatality
Tingkat mortalitas dan mortalitas premature
Indeks kehilangan produktivitas
Harga perawatan medis
Preventability
Potensi epidemic
Jarak informasi pada penyakit baru
Jenis Surveillans8
Terdapat beberapa jenis surveilans yaitu (1) Surveilans individu; (2) Surveilans
penyakit; (3) Surveilans sindromik; (4) Surveilans Berbasis Laboratorium; (5) Surveilans
terpadu; (6) Surveilans kesehatan masyarakat global.
1. Surveilans Individu Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan
memonitor individuindividu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya
pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan
dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang
dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional
yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah
terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina
adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi.
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS.
Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total
membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa
inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial
membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat
kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan
untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus
bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pos-pos
lainnya tetap bekerja. Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan
dengan masalah legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, intervensi
Informasi 61 akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk
mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).
2. Surveilans Penyakit Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit,
melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan
penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans
penyakit adalah penyakit, bukan individu. Di banyak negara, pendekatan surveilans
penyakit biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program
surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans
vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik
dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans
penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya,
menggunakan fungsi penunjang masingmasing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya
masingmasing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan
inefisiensi.
3. Surveilans Sindromik Syndromic surveillance (multiple disease surveillance)
melakukan pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit,
bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-
indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi
diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti
pola perilaku, gejalagejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari
aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional.
Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan
kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip
influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam
surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan skrining pasien
berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk 4 atau sakit tenggorok) dan
membuat laporan mingguantentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok
umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut
berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu
burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan
sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004;
Sloan et al., 2006). Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit
tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi
tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel
merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan
sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).
4. Surveilans Berbasis Laboratorium Surveilans berbasis laboartorium digunakan
untuk mendeteksi dan menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang
ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium
sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak
penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan.
5. Surveilans Terpadu Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan
memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/
kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu
menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit.
Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan
data khusus penyakit-penyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang surveilans sebagai
pelayanan bersama (common services); (2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk;
(3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan sinergi antara
fungsi inti surveilans (pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi
pendukung surveilans (pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi,
manajemen sumber daya); (5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian
penyakit. Meskipun menggunakan 63 pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap
memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO,
2002).
6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global Perdagangan dan perjalanan
internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang serta organisme,
memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah
yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan
bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya
jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan,
peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit
menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali
(reemerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging
diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang
komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan
keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).
Manajemen Surveillans
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1) fungsi inti; dan (2) fungsi
pendukung. Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan
langkahlangkah intervensi kesehatan masyarakat.8 Kegiatan surveilans mencakup deteksi,
pencatatan, pelaporan data, analisis data, konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris,
umpan-balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan masyarakat mencakup respons
segera (epidemic type response) dan respons terencana (management type response).
Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan, supervisi, penyediaan sumber
daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi (WHO, 2001;
McNabb et al., 2002). Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi
kesehatan. Karena itu sifat dari masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan
implementasi sistem surveilans. Sebagai contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran
penyakit infeksi akut, misalnya SARS, maka manajer program kesehatan perlu
melakukan intervensi kesehatan 64 dengan segera. Karena itu dibutuhkan suatu sistem
surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik dan
laboratorium. Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti
kebiasaan merokok, berubah dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan
hanya perlu memonitor perubahan-perubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu.
Sebagai contoh, sistem surveilans yang menilai dampak program pengendalian
tuberkulosis mungkin hanya perlu memberikan informasi sekali setahun atau lima tahun,
tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa diperoleh dari survei rumah
tangga.
Pendekatan Surveilans
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2)
Surveilans aktif (Gordis, 2000). Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan
menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di
fasilitas pelayanan kesehatan.8 Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk
dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit
infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis
perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif
dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung
underreported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal.
Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu
petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di
fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen
pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas. Surveilans aktif menggunakan petugas
khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik
pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan
tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus
(case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.8 Kelebihan surveilans aktif, lebih
akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang
dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat
mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit
untuk dilakukan daripada surveilans pasif. Sistem surveilans dapat diperluas pada level
komunitas, disebut community surveilance. Dalam community surveilance, informasi
dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan
pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat
membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable cases)
ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih
menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium.
Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu.
2.1.3 Rancangan Survei Kesehatan Gigi dan Mulut
Metode yang digunakan untuk membuat rancangan survey kesehatan gigi dan mulut,
yaitu:
a. Distribusi dan keparahan kondisi dan penyakit mulut yang paling sering ditemui
b. Populasi mana yang memerlukan perluasan program-program kesehatan mulut dan
kebutuhan terhadap pencegahan penyakit dan promosi kesehatan
c. Sifat dan urgensi intervensi kesehatan mulut yang diperlukan.
B. Subgroup
Sampling sites biasanya dipilih untuk mendapatkan informasi pada populasi yang
kemungkinan memiliki tingkat penyakit mulut yang berbeda berdasakan daerah
administratif suatu negara, misalnya ibu kota, pusat kota, kota kecil, dan daerah
pedesaan. Jumlah dan distribusi sampling sites tergantung pada tujuan khusus penelitian.
Untuk pathfinder survei nasional, biasanya digunakan 10-15 sampling sites. Namun
apabila dalam suatu negara terdapat banyak area urban, mungkin dibutuhkan beberapa
tambahan sampling sites di kota-kota ini.
C. Jumlah Subjek
Jumlah subjek tergantung pada teknik yang digunakan untuk menentukan sample
size, jangkauan survei, dan sumber yang tersedia. Pada metode path finder sampling,
jumlah subjek yang biasa digunakan untuk tiap indeks usia berkisar antara 25-50 untuk
tiap sampling site, tergantung pada prevalensi dan keparahan penyakit mulut yang
diharapkan. Contoh perhitungan jumlah subjek sebagai berikut:
Daerah urban : 4 sites di kota metropolitan (4x25= 100 orang)
2 sites di kota besar (2x2x25 = 100 orang)
Daerah rural: 1 site di 4 desa di regio yang berbeda (4x25=100 orang)
Sehingga total 12x 25 subjek = 300 subjek.
Apabila ada 4 kelompok usia, maka 4x300 = 1200 subjek.
Akan tetapi 25 orang subjek hanya berlaku pada derajat karies rendah atau rendah
sekali saja. Apabila derajat dental karies moderate atau sever, maka bisa digunakan subjek
sebanyak 45- 50 orang. Apabila level karies di suatu populasi tidak diketahui, harus
memperkirakan estimasi tingkat penyakit sebelum memulai survei. Cara yang cepat dan
efektif adalah dengan membedakan kelompok subjek sebagai bebas karies atau tidak
bebas karies. Apabila memungkinkan, periksa 2-3 kelas dari kelompok usia 12 tahun
dengan derajat sosial ekonomi yang berbeda pada 2-3 sekolah yang mudah diakses. Jika:
Lebih dari 50% anak yang diperiksa caries-free = prevalensi karies rendah
Kurang dari 20% anak yang diperiksa caries-free = prevalensi karies tinggi
Kurang dari 5% anak yang diperiksa caries-free = high
2. Pembentukan panitia
Pada tahap ini komposisi panitia disususun sehingga diketahui jumlah, tipe dan
tugas personil yang berpartisipasi.
5. Rencana pretesting
Tahap ini merujuk pada persoalan kuesioner yang telah dibuat terhadap subjek
terpilih yang dimasukkan dalam studi untuk memastikan tiap pertanyaan berisi apa yang
ingin diukur, pemilihan kata dimengerti oleh semua responden dan maknanya sama
untuk semua responden, instruksi pada kuesioner dapat dimengerti oleh semua
responden, semua alternatif yang beralasan tersedia respon yang tepat untuk tiap
responden. Investigator harus memastikan jika pertanyaan yang telah dijawab
dinterpretasi dengan tepat dan diingatkan jika ada hal yang tidak jelas dan
mengalokasikan waktu yang cukup untuk menjawab pertanyaan secara spesifik untuk
dewasa dan anak-anak
2. Kuesioner
Kuesioner yang telah dibuat harus diperiksa kembali oleh semua panitia yang
bersangkutan dalam survei untuk memastikan ketepatan konten dan pilihan katanya
sehingga hasil dari survei yang didapatkan reliable dan valid. Kuesioner tersebut juga
harus melewati fase pretest seperti yang sebelumnya telah dijelaskan.
3. Sumber Lain
Sumber data lain bisa didapatkan dari buku, artikel, jurnal maupun laporan yang
berhubungan dengan survei tersebut.
Posisi gigi yang tidak terletak dalam lengkung rahang yang baik dapat
mengakibatkan gigi geligi akan tumbuh berjejal (crowding) dan saling tumpang
tindih (overlapping). Hal ini akan memudahkan tertinggalnya sisa makanan dan
terbentuknya plak diantara gigi tersebut sehingga akan mendukung terbentuknya
karies, karena daerah tersebut sulit dibersihkan.10
b) Faktor Agent/ Mikroorganisme
Faktor agent ini adalah mikroorganisme (bakteri) yang berada di dalam mulut dan plak
yang dihasilkannya.
Plak gigi memegang peranan penting dalam menyebabkan karies gigi. Plak adalah
lapisan polisakaraida semitransparan yang melekat kuat ke permukaan gigi dan
mengandung organisme patogen (bakteri) serta produk yang dihasilkannya. Plak gigi
terbentuk melalui beberapa tahapan, yaitu :
Formasi atas pelikel.
Pelikel adalah lapisan glikoprotein yang tebentuk dari saliva ; yang melapisi
permukaan gigi yang telanjang.
Setelah 0-4 jam, sel bakteri akan mengkolonisasi pelikel tersebut. Bakteri yang
pertama melekat ke permukaan gigi adalah Streptococci (S. sanguis, S.oralis,
S.mitis). Selain itu juga terdapat bakteri Acintomyces dan bakteri Gram-
negatif.Bakteri-bakteri yang paling kariogenik adalah Streptococcus (S.mutans, S.
Sabrinus) dan Lactobacillus. Bakteri- bakteri tersebut memulai pembentukan
plak.
Setelah lebih dari 4-24 jam, bakteri yang telah menempel akan berkembang biak
membentuk microcolonies.
Dalam waktu 1-14 hari, bakteri Streptococcus yang mendominasi plak akan
berubah menjadi bakteri Acintomyces. Pertukaran populasi ini dinamakan
microbial succession.11
Subtrat atau diet merupakan faktor penting dalam proses demineralsiasi dan
remineralsasi gigi. Konsumsi makanan dengan karbohidrat tinggi akan meningkatkan
proses demineralisasi karena terjadi metabolisme sukrosa oleh plak bakteri dan menjadi
asam, sedangkan konsumsi makanan dengan karbohidrat rendah, lemak yang tinggi,
protein yang tinggi dan kalsium yang tinggi akan meningkatkan proses remineralisasi.
Hal ini menunjukkan bahwa karbohidrat memgang peranan penting dalam terjadinya
karies.
Faktor subtrat / diet menjadi penting dan berpengaruh terhadap pembentukan
karies karena dapat mempengaruhi pembentukan plak karenan membantu
perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada dipermukaan gigi. slain itu,
faktor subtrat juga dapat mempengaruhi metabolisme bakteri dalam plak dengan
menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk memproduksi asam yang dapat
menimbulkan karies.
Karbohidrat yang kompleks (misalnya pati) cenderung tidak berbahaya karena
tidak dicerna secara sempurna didalam mulut, sedangkan karbohidrat dengan berat
molekul yang rendah seperti sukrosa akan segera meresap kedalam plak dan
dimetabolisme secara cepat oleh bakteri. Pada metabolismenya, karbohidrat (gula) akan
difermentasikan oleh bakteri streptococcus mutans menjadi asam laktat yang berada
dalam rongga mulut. Sukrosa akan dipecah menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa
dengan bantuan S.mutans akan membentuk destran (matriks ekstraseluler yang membantu
bakteri melekat pada enamel gigi). Fruktosa dengan bantuan mikroorganisme plak akan
dipecah menjadi levan (sumber makanan mikroorganisme plak). Sukrosa merupakan gula
yang paling kariogenik karena sintesis polisakarida ekstra sel sukrosa lebih cepat
dibandingkan glukosa, fruktosa, dan laktosa. Selain itu, sukosa merupakan gula yang
paling banyak dikonsumsi sehingga sukrosa menjadi penyebab utama karies. 10
Selain karbohidrat, pengkonsumsian asam juga dapat berpengaruh pada
terbentuknya karies gigi. Makanan-makanan yang bersifat asam (dietary acids) yang
tinggi biasanya terdapat pada soft drink, minuman berenergi (isotonic), jus buah dan yang
lainnya yang dapat menyebabkan suasana mulut bertambah asam sehingga suasana
tersebut sesuai untuk bakteri acidogenik dan aciduric untuk berkembang biak dengan
cepat dan membentuk plak dalam waktu yang cepat.
Plak yang bersifat asam akibat konsumsi makanan-makanan tersebut hanya bersifat
sementara. Awalnya, pH akan turun hingga menjadi sangat asam dalam waktu 0-20
menit. Kemudia pH akan kembali ke pH normal (sekitar 7), dibutuhkan waktu 30-60
menit. Oleh sebab itu, konsumsi yang sering dan berulang-ulang akan tetap menahan pH
plak dibawah normal dan menyebabkan demineralisasi enamel. Hal tersebut dijelaskan
pada kurva Stephan.11
d) Faktor waktu
Faktor waktu yang dimaksudkan disini adalah kecepatan terbentuknya karies serta lama
dan frekuensi substrat menempel pada permukaan gigi. Semakin lama dan semakin
seringnya subtract menempel pada permukaan gigi, maka semakin cepat pula karies gigi itu
terbentuk. Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang
berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan
karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas diperkirakan 6-48 bulan. Karies tidak terjadi
dalam hitungan hari atau minggu akan tetapi bulan atau tahun karena adanya saliva dalam
rongga mulut.10
I. Patogenesis Karies11
a) Pelikel Pada gigi terdapat lapisan pelikel yang merupakan lapisan protein aselular
dan terutama terdiri dari glikoprotein yang diendapkan dari saliva serta terbentuk
segera setelah sikat gigi. Sifatnya sangat lengket dan mampu melekatkan bakteri-
bakteri tertentu pada permukaan gigi.
- Ketebalan mencapai 0,01 1 m dalam waktu 24 jam
- Komponen utama: proline rich protein, glikoprotein (aglutinin saliva),
fosfoprotein (staterin), enzim glikosiltransferase & glukanase (-amilase)
- Memiliki peran penting dalam modifikasi karies dan erosi membatasi
transportasi ion masuk dan keluar jaringan keras gigi
b) Kolonisasi bakteri
Selanjutnya bakteri perintis mulai melekat pada pelikel (0-24 jam). Bakteri yang mula-
mula menghuni pelikel terutama yang terbentuk adalah kokus. Organisme tersebut
tumbuh dan berkembang biak serta mengeluarkan gel ekstra sel yang lengket dan akan
menjerat berbagai bentuk bakteri yang lain. Biofilm merupakan sebuah lapisan lunak
yang terdiri dari 70% koloni bakteri yang tumbuh dan berkembang pada sebuah
permukaan, dan 30% sisanya berupa matriks. Dental plak merupakan salah satu bentuk
biofilm. Dental plak terdiri dari air dan berbagai macam mikroorganisme yang
bekembang biak dalam suatu matrik interseluler yang terdiri dari polisakarida ekstra
seluler dan protein saliva. Dalam beberapa hari, bakteri akan terus bertambah dan
berkolonisasi (4-24 jam). Dan selanjutnya bersuksesi dan koagregasi dengan bertambah
terus hingga terdiri dari berbagai macam mikroorganisme dalam koloni tersebut (1
minggu). Plak ini akan bertambah tebal dan terdiri dari berbagai macam mikroorganisme,
bakteri yang mulanya hanya kokus saja akan berubah menjadi campuran yang terdiri dari
kokus, basil dan spiral. Streptococcus mutans dan lactobacillus merupakan kuman yang
kariogenik karena mampu segera membuat asam dari karbohidrat yang dapat diragikan.
Kuman ini dapat tumbuh subur dalam suasana asam dan dapat melekat pada permukaan
gigi karena kemampuannya membuat polisakarida ekstra sel yang sangat lengket dari
karbohidrat makanan. Polisakarida ini, yang terutama terdiri dari polimer glukosa,
menyebabkan matriks plak gigi mempunyai konsistensi seperti gelatin. Akibatnya,
bakteri-bakteri terbantu untuk melekat pada gigi dan melekat satu sama lain. Dan karena
plak semakin tebal maka hal ini akan menghambat fungsi saliva dalam hal menetralkan
plak tersebut.
Selanjutnya terjadi maturasi biofilm / plak (>1 minggu). Permukaan yang mudah terjadi
retensi plak: pit dan fissure permukaan oklusal gigi M dan P, pit bukal gigi M dan pit
palatal gigi I maksila, permukaan proksimal gigi dibawah titik kontak, daerah servikal
gigi pada margin gingiva, permukaan akar yang terekspos, serta margin restorasi.11
c) Penurunan pH
Ketika keadaan rongga mulut semakin asam, maka pH akan terus menurun. Penurunan Ph
yang berulang-ulang dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi
permukaan gigi yang rentan dan proses karies pun dimulai. Tingkat penurunan pH
tergantung dengan ketebalan plak, jumah bakteri, efisiensi buffer saliva, dan lain-lain. pH
plak akan kembali normal setelah 30 60 menit. Kapasitas buffer saliva sangat berperan
dalam mengembalikan pH menjadi normal, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
individu dengan mulut kering rentan terhadap karies.
Substrat dapat memicu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada
permukaan enamel. Bakteri dalam plak dengan menyediakan bahan-bahan yang
diperlukan untuk memproduksi asam serta bahan lain yang aktif yang menyebabkan
timbulnya karies.
Demineralisasi
Komponen mineral dari enamel, dentin, dan sementum adalah hidroksiapatit (HA)
yang terbentuk dari Ca10(PO4)6(OH)2. Dalam suasana netral, HA berada dalam
kesetimbangan dengan lingkungan cair lokal (saliva) yang penuh dengan ion Ca 2+
dan PO43-. Meningkatnya frekuensi konsumsi karbohidrat dengan berat molekul
rendah serta menurunnya laju alir saliva dapat membuat pH plak berada di bawah
pH kritis dalam waktu lama. Proliferasi bakteri asidurik dan asidogenik pun
meningkat karena didukung suasana asam dan mengakibatkan produksi asam,
terutama asam laktat, oleh bakteri semakin banyak dan cepat. Asam laktat
membuat pH saliva dan cairan mulut menurun, sehingga keadaan lewat jenuh
terhadap hidroksiapatit berubah menjadi jenuh (saturation), yaitu pada pH kritis
(5,5). Jika keadaan ini dibiarkan, pH dapat turun melewati pH kritis (<5,5)
sehingga menjadi tak jenuh terhadap hidroksiapatit. Saat pH <5,5 hidroksiapatit
akan bersifat reaktif terhadap ion hidrogen (H+). Ion hidrogen (H+) dapat
menurunkan aktivitas ion fosfat (PO43-) dan hidroksil (OH-). Pada pH <5,5, yang
merupakan pH kritis untuk HA, HA reaktif terhadap ion hidrogen dan bereaksi
dengan grup phospat pada saliva yang berada dekat dengan permukaan kristal.
Reaksinya dapat ditulis sebagai berikut PO43- + H+ -> HPO42-. Pada saat yang
sama, ion hidrogen mengalami buffering. Kemudian, HPO42- tidak dapat
berkontribusi pada kesetimbangan normal HA karena mengandung PO43- sehingga
menyebabkan larutnya HA.
Anion laktat, dari asam laktat yang dihasilkan bakteri, juga dapat menurunkan
aktivitas ion kalsium (Ca2+). Turunnya aktivitas ion menyebabkan penurunan
produk aktivitas ion (ion activity product / IAP) untuk pembentukan
hidroksiapatit. Hal inilah yang menyebabkan saliva dan cairan mulut berada pada
keadaan tak jenuh terhadap hidroksiapatit sehingga hidroksiapatit menjadi larut.11
Remineralisasi
Sebaliknya, jika pH kembali netral dan terdapat ion Ca2+ dan PO4 3- yang cukup,
keadaan dapat kembali lewat jenuh terhadap hidroksiapatit dan terjadi interaksi
antara ion Ca2+, PO43-, dan OH- sehingga IAP untuk hidroksiapatit lebih besar
dibandingkan KSP. Selain itu, simpanan flouride yang terbentuk diawal akan
membentuk flouroapatit (FA). Ketika pH semakin turun dan mencapai 4,5 (pH
kritis untuk FA), FA pun akan larut. Apabila ion hidrogen telah terpakai,
mengalami netralisasi, dan semua ion ditahan, FA akan terbentuk kembali dan
terjadilah remineralisasi. Kemudian HA dan FA akan terbentuk kembali dan akan
mengulangi reaksi yang sama. Pada keadaan inilah remineralisasi mungkin
terjadi. 11
Demineralisasi
H+ bereaksi dengan ion PO4 HA larut FA dan HA larut
dalam saliva dan plak FA terbentuk karena
kehadiran F
Remineralisasi
FA terbentuk kembali Jika H+ habis terpakai dan/
atau terjadi netralisasasi dan
semua ion tertahan
HA dan FA terbentuk
Teori yang dipakai dokter gigi sekarang, awalnya memakai teori dari Black. Tetapi, teori
ini sudah mengalami banyak perubahan karena dirasanya teori ini sudah sangat kaku. Seperti
contohnya adalah jarang dipakainya gambar radiograf, sehingga kavitas harus besar dulu sampai
akhirnya bisa terlihat mata telanjang, baru bisa didiagnosis atau diindikasikan sebagai karies.
Sedangkan, dokter gigi pun tidak tahu seberapa parah karies tersebut di dalam enamel dan
dentin.10
Teori Black mengenai klasifikasi karies adalah10:
Kelas IV : bagian proksimal gigi anterior, tetapi termasuk bagian 1/3 margo
incisalnya, atau telah meluas ke tepi tepi incisal.
Kriteria dan
Variabel Definisi Operasional Indeks Ukur Skala
Skoring
Karies Gigi Kerusakan jaringan Indeks 0 = Baik Interval
keras gigi yang ditandai DMF-T 1 = Komponen D
adanya kavitas pada (Decay, 2 = Komponen M
permukaan email, Missing, 3 = Komponen F
dentin, dan pulpa Filling
Tooth) Komponen D/d
(decay) : Gigi
karies (sudah
terjadi kavitas,
gigi ditambal
tetapi memiliki
karies sekunder
atau karies di sisi
lain, gangren
pulpa, enamel
underminded,
tumpatan
sementara.
Komponen M/m
(missing) : Gigi
hilang akibat
karies, gigi yang
indikasi
ekstraksi, dan
hanya tersisa
akar (gangren
radiks), dan gigi
hilang pada usia
yang jauh dari
waktu eksfoliasi
normal.
Komponen F/f
(Filling) : Gigi
yang ditumpat
akibat karies
dengan syarat
tumpatan harus
sempurna (tidak
ada celah,
permukaan
halus, gigi dapat
berfungsi
normal, dan
tidak ada karies.
Apabila kode
kondisi tidak
termasuk kategori
decay, missing,
maupun filling, yang
disebutkan maka
diberi skor nol (0)
Indeks PUFA 0 = tidak terdapat Nominal
keterlibatan PUFA
1= terdapat
keterlibatan PUFA
P/p =
Keterlibatan
pulpa, dicatat
ketika terlihat
adanya kamar
pulpa yang
terbuka atau
ketika struktur
gigi koronal
telah
dihancurkan oleh
proses karies dan
hanya akar atau
fragmen akar
yang tersisa.
Tidak dilakukan
probing untuk
mendiagnosis
keterlibatan
pulpa
U /u = Ulserasi
karena trauma
akibat bagian-
bagian gigi yang
tajam dari gigi
yang dislokasi
dengan
keterlibatan
pulpa atau
fragmen
fragment
menyebabkan
ulserasi akibat
traumatis dari
jaringan lunak
sekitarnya,
misalnya, lidah
atau mukosa
bukal.
F/f = Fistula
dicatat ketika
adanya nanah
yang dikeluarkan
saluran sinus
yang
berhubungan
dengan gigi
dengan
keterlibatan
pulpa.
A/a = Abses
dicatat karena
adanya
pembengkakan
berisi nanah
terkait dengan
gigi dengan
keterlibatan
pulpa
BAB IV
METODE SURVEI
4.1.1.1 Kalibrasi
Kalibrasi dalam pemeriksaan klinis dilakukan untuk menentukan kebenaran dan
kesamaan suatu pengukuran dalam pemeriksaan kondisi klinis. Terdapat dua macam kalibrasi
pemeriksaan klinis yang dilakukan yakni inter-examiner dan intra-examiner. Kalibrasi
dilakukan 3 hari sebelum survei dilakukan. Kalibrasi inter-examiner dilakukan oleh enam
pemeriksa yang menghasilkan nilai kappa agreement yang bervariasi dari 0,06 1,0 dengan
standar minimum 0,6 untuk survei. Selain kalibrasi inter-examiner, kalibrasi intra-examiner
juga dilakukan dengan pemeriksaan kedua kalinya pada subjek yang sama yang dilakukan 2
minggu setelah pemeriksaan kondisi klinis pertama.
4.6.3. Biaya
N BAHAN/ALAT JUMLAH TOTAL (Rp)
O
6 Tissue 5 50.000
4.6.4. Jadwal
Tanggal Waktu Kegiatan
13 Juli 2017 08.30 09.30 Perijinan dan pendataan sekolah yang berada
dibawah tanggung jawab wilayah Kramat jati
secara lisan
13 Juli 2017 09.45 11.30 Survei lokasi TK dan SD wilayah Kramat Jati
13 Juli 2017 11.45 13.30 Perkenalan dan perijinan secara lisan untuk
melakukan survei dan program kesehatan gigi dan
mulut di TK Kindergarten Islam Nurul Yaqin dan
TK Nirmala Puspa.
13 Juli 2017 13.30 15.00 Perkenalan dan perijinan secara lisan untuk
melakukan survei dan program kesehatan gigi dan
mulut di SDN Kramat Jati 07 pagi dan SDN
Kramat Jati 02.
17-18 Juli 2017 Persiapan survei
- Fiksasi perencanaan survei
- Pengurusan surat perijinan secara tertulis
- Persiapan alat dan bahan pengambilan data
- Persiapan kartu status pemeriksaan klinis
- Persiapan kuesioner
- Kalibrasi pemeriksaan klinis
- Pengadaan bingkisan bagi guru sekolah terkait.
19 Juli 2017 07.00 08.30 Persiapan ruangan survei di TK Kindergarten Islam
Nurul Yaqin
19 Juli 2017 08.45 11.15 Pelaksanaan survei :
- Pemanggilan subjek survei yang sesuai dengan
kriteria berdasarkan urutan kelas secara bertahap
- Pemeriksaan klinis intraoral dilakukan dengan 4
subjek dalam 1 putaran
19 Juli 2017 11.15 12.30 Penutupan dan pemberian bingkisan untuk TK
Kindergarten Islam Nurul Yaqin
19 Juli 2017 12.30 14.00 Pembersihan alat dan ruangan
20 Juli 2017 07.00 08.30 Persiapan ruangan survei di TK Nirmala Puspa
20 Juli 2017 08.30 11.15 Pelaksanaan survei :
- Pemanggilan subjek survei yang sesuai dengan
kriteria berdasarkan urutan secara bertahap
- Pemeriksaan klinis intraoral dilakukan dengan 4
subjek dalam 1 putaran
20 Juli 2017 11.15 12.15 Penutupan dan pemberian bingkisan untuk TK
Nirmala Puspa
20 Juli 2017 12.30 14.00 Pembersihan alat dan ruangan
21 Juli 2017 07.00 08.00 Persiapan ruangan survei di SDN Kramat Jati 07
pagi
21 Juli 2017 08.00 10.00 Pelaksanaan survei :
- Pemanggilan subjek survei yang sesuai dengan
kriteria berdasarkan urutan secara bertahap
- Pemeriksaan klinis intraoral dilakukan dengan 4
subjek dalam 1 putaran
21 Juli 2017 10.00 11.30 Penutupan dan pemberian bingkisan untuk SDN
Kramat Jati 07 pagi
pemberihan alat dan ruangan
21 Juli 2017 12.00 13.00 Persiapan ruangan survei di SDN Kramat Jati 02
21 Juli 2017 13.00-15.00 Pelaksanaan survei :
- Pemanggilan subjek survei yang sesuai dengan
kriteria berdasarkan urutan secara bertahap
Pemeriksaan klinis intraoral dilakukan dengan 4
subjek dalam 1 putaran
21 Juli 2017 15.00-16.30 Penutupan dan pemberian bingkisan untuk SDN
Kramat Jati 02
pemerihan alat dan ruangan
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007. 2008.
2. Kementrian Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. 2014.
3. Palupi. Status Kesehatan Gigi Pada Anak Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kesehatan Di SDN Karangsoko 3 Trenggalek., 10-31 (2004).
4. Mehta, Bhalla. Assessing consequences of untreated carious lesions using pufa index among
5-6 years old school children in an urban Indian population. 2014.
5. Shanbhog, Godhi, Nandlal, Kumar, Raju, Rashmi. Clinical consequences of untreated dental
caries evaluated using PUFA index in orphanage children from India. 2013;5:1-5.
6. Strippel. Effectiveness of Structured Comprehensive Pediatric Oral Health Education for
Parents of Children Less than Two Years of Age in Germany. Community Dental Health.
2010;27(2):74-80.
7. Bonita R, Beaglehole R, Kjellstrom. Basic Epidemiology. 2nd ed. WHO; 2006.
8. Organization WH. Oral Health Surveys Basic Methods. 5th Ed.; 2013.
9. Mount GJ, Hume WR. Preservation and Restoration of Tooth Structure. 2nd ed.; 2005.
10. Roberson TM, Heymann H, Swift E. Sturdevants Art & Science of Operative Dentistry. 4th
ed.; 2002.