Anda di halaman 1dari 59

UNIVERSITAS INDONESIA

PROPOSAL SURVEI
MASALAH KESEHATAN GIGI DAN MULUT

Disusun oleh:
Aisyah Mauludia 1206207792
Anisa Savitri 1206207804
Cymilia Gityawati 1206207741
Hafshah Samrotul M 1206256610
Hastinefia Putri 1206207823
Ranny Rahaningrum H 1206208012

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN GIGI MULUT-PENCEGAHAN


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS INDONESIA
2017
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................5
1.3 Tujuan Survei....................................................................................................................5
1.4 Manfaat Survei..................................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................7
2.1 Survei Kesehatan...............................................................................................................7
2.1.1 Survei.............................................................................................................................7
2.1.2 Surveillance.................................................................................................................18
2.1.3 Rancangan Survei Kesehatan Gigi dan Mulut............................................................25
2.1.4 Karakteristik Khusus Penyakit Mulut.........................................................................25
2.1.5 Indeks Usia dan Kelompok Usia9................................................................................26
2.1.6 Pathfinder Survey........................................................................................................27
2.2 Karies Gigi......................................................................................................................34
BAB III VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL.............................................................47
BAB IV METODE SURVEY.......................................................................................................51
4.1. Jenis Survei.....................................................................................................................51
4.2. Lokasi dan Waktu Survei................................................................................................51
4.3. Subjek Survei..................................................................................................................51
4.3.1. Cara Pengambilan Sampel...........................................................................................51
4.3.2. Kriteria Inklusi............................................................................................................52
4.3.3. Kriteria Eksklusi..........................................................................................................52
4.3.4. Besar Sampel...............................................................................................................52
4.4. Pengumpulan Data..........................................................................................................52
4.4.1. Pemeriksaan Klinis......................................................................................................52
4.4.2. Pengisian Kuisioner.....................................................................................................53
4.4.3. Alur Kerja....................................................................................................................54
4.5. Pengolahan Data.............................................................................................................55
4.5.1. Data Klinis...................................................................................................................55
4.5.2. Data Kuisioner.............................................................................................................55
4.6. Rencana Operasional Survei...........................................................................................55
4.6.1. Perizinan......................................................................................................................55
4.6.2. Susunan Personil/Petugas............................................................................................55
4.6.3. Biaya............................................................................................................................56
4.6.4. Jadwal..........................................................................................................................56
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................59
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit gigi dan mulut merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama
bagi masyarakat Indonesia. Penyakit gigi dan mulut yang mempunyai prevalensi tertinggi
adalah masalah karies gigi. Tingkat keparahan dan prevalensi karies gigi di Indonesia
terus meningkat.1 Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) oleh Departemen
Kesahatan (Depkes) tahun 2004, prevalensi karies gigi di Indonesia mencapai 90,05%
dan berdasarkan hasil RISKESDAS tahun 2013 prevalensi karies yang aktif mencapai
53,2%. Angka prevalensi karies gigi yang aktif ini mengalami peningkatan dari hasil
RISKESDAS dari tahun 2007 sebesar 43,4%. 2
Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013, persentase penduduk Indonesia
berusia sepuluh tahun keatas yang menyikat gigi malam hari sebelum tidur adalah 27,3%
dan yang berperilaku menyikat gigi dengan benar hanyalah 2,3%. Hal ini menunjukkan
masih sangat diperlukan edukasi mengenai pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut.2
Berdasarkan hasil survei Direktorat Kesehatan Gigi menunjukkan status karies
gigi cenderung terus meningkat.3 Hal ini tentu saja menjadi perhatian karena karies yang
tidak dirawat dapat berlanjut hingga mengenai pulpa gigi dan mengakibatkan gigi
menjadi nekrosis dan terkadang gigi harus dicabut. Karies juga dapat menjadi awal untuk
terjadinya infeksi lain.4 Konsekuensi dari karies yang tidak diobati sering menyebabkan
keadaan darurat pada anak-anak. Penelitian menunjukkan bahwa karies yang tidak
diobati dapat memiliki berpengaruh pada pertumbuhan dan kesehatan anak-anak. Data
karies yang telah dikumpulkan di seluruh dunia menggunakan indeks DMFT/deft. Indeks
ini hanya memberikan informasi tentang karies, perawatan restoratif, dan ekstraksi tetapi
tidak memberikan informasi tentang konsekuensi klinis karies gigi yang tidak diobati,
seperti keterlibatan pulpa dan gigi abses, yang mungkin lebih serius daripada karies itu
sendiri. Dengan indeks PUFA dapat diperoleh data tentang Keterlibatan pulpa (P/p),
ulserasi yang disebabkan oleh dislokasi fragmen gigi (U/u), fistula (F/f) dan abses (A/a);
untuk gigi permanen ditandai dengan huruf kapital dan untuk gigi sulung ditandai dengan
huruf kecil. Rata-rata indeks PUFA dihitung secara kumulatif mewakili jumlah gigi yang
memenuhi criteria tersebut.5
Karies dapat mengenai gigi sulung dan gigi tetap, tetapi gigi sulung lebih rentan
terhadap terjadinya karies. Upaya pencegahan karies gigi pada anak dapat dilakukan
dengan memperhatikan faktor penyebab terjadinya penyakit jaringan keras gigi tersebut.
Pada anak usia dini, faktor yang sering menyebabkan terjadinya karies gigi adalah kurang
optimalnya pola asuh orangtua, seperti pemeliharaan kebersihan dan kesehatan gigi mulut
yang belum optimal. Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah karies gigi
pada anak adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran orang tua untuk
memelihara kesehatan gigi dan mulut anaknya.6
1.2 Rumusan Masalah
1. Kejadian karies gigi anak di Indonesia tinggi
2. Kejadian karies gigi anak yang parah di Indonesia tinggi
3. Belum diketahuinya status kesehatan gigi kelompok umur 5 dan 12 di wilayah kerja
Puskesmas Kramat Jati

1.3 Tujuan Survei


1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi masalah kesehatan gigi dan mulut pada kelompok umur 5 dan 12
tahun

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui status kesehatan gigi pada kelompok umur 5 dan 12 tahun
2. Mengetahui prilaku orang tua kelompok umur 5 dan 12 tahun dalam perilaku menjaga
kesehatan gigi dan mulutnya.

1.4 Manfaat Survei


1.4.1 Manfaat untuk Masyarakat
1. Mengetahui kondisi kesehatan gigi dan mulut masing-masing individu.
2. Mendapatkan informasi dan edukasi mengenai kesehatan gigi dan mulut masing-
masing individu.
3. Mendapatkan kesempatan berpartisipasi dalam program peningkatan kesehatan gigi
dan mulut sebagai tindak lanjut survei.

1.4.2 Manfaat untuk Mahasiswa FKG UI


1. Mendapatkan kompetensi mengenai path-finder survei sebagai metode identifikasi
masalah kesehatan gigi dan mulut masyarakat
2. Sebagai sarana pembelajaran dalam mengetahui distribusi penyakit gigi dan mulut
pada masyarakat
3. Membangun kerjasama dengan pihak-pihak yang terkait

1.4.3 Manfaat untuk Puskesmas Kramat Jati


1. Sebagai pedoman dalam menginovasi program peningkatan kesehatan gigi dan mulut
di wilayah kerja
2. Mengetahui data primer untuk identifikasi masalah kesehatan gigi dan mulut
masyarakat
3. Mengetahui data primer untuk menentukan sasaran program dan program
peningkatan kesehatan gigi mulut yang akan direncanakan
1.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Survei Kesehatan
2.1.1 Survei
A. Definisi6
Survei adalah mengambil data pada sebagian orang yang akan diamati atau diukur
dengan teknik sampel.
B. Tujuan6
1. Menentukan status kesehatan gigi masyarakat, baik macam penyakit gigi, prevalensi
penyakit gigi, dan pola penyakit gigi dan mulut
2. Mengumpulkan informasi atau keterangan yang berhubungan dengan kesehatan gigi
sebagai dasar suatu program pencegahan, misalnya kebiasaan makanan, kebersihan,
dan kepercayaan
Pelaksanaan survei kesehatan mulut dasar bertujuan untuk mengumpulkan informasi
tentang status kesehatan mulut dan kebutuhan perawatan dalam suatu populasi tertentu.
Metode-metode yang termasuk di dalamnya dapat digunakan untuk menjelaskan hal-hal
sebagai berikut:
1. Ketersediaan pelayanan kesehatan mulut yang ada dalam memenuhi kebutuhan
pelayanan di lapangan.
2. Pelaksanaan pelayanan kesehatan mulut preventif, kuratif, dan restoratif di lapangan
3. Sumber daya yang dibutuhkan untuk mengadakan, memelihara, mengembangkan,
atau mengurangi program pelayanan kesehatan mulut yang sedang berjalan.
Survei kesehatan mulut dasar ini merupakan tugas dari ketua organisasi kedokteran gigi
dan petugas lain yang bertanggungjawab dalam bidang pelayanan kesehatan umum.

C. Jenis-jenis Survei6
Jenis survei secara garis besar adalah:
1. Survei Deskriptif
Survei yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran situasi. Misalnya survei tentang
penyebab-penyebab penyakit pada kelompok penduduk menurut jenis kelamin, usia,
dan sebagainya.
2. Survei Analitik
Survei yang dilakukan untuk menjelaskan keadaan. Misalnya survei tentang apakah
tindakan pencegahan dapat menurunkan insidensi karies gigi?

D. Macam-macam Survei6
1. Survei Epidemiologi
Survei ini diadakan untuk mendapatkan gambaran tentang penyebran penyakit
atau ciri-ciri penyakit yang terdapat pada masyarakat dan faktor-faktor lain yang
mungkin ada hubungannya dengan penyakit tersebut. Kegunaan survei ini adalah:
Untuk mendapatkan diagnosis status kesehatan masyarakat
Untuk menjelaskan penyebab dan riwayat penyakit, serta perjalanan alamiah
penyakit
Untuk memberikan kontribusi pada evaluasi upaya kesehatan
2. Perencanaan Program Survei
Untuk dapat merencanakan program, kita memerlukan informasi dasar kesehatan
pada kelompok masyarakat tentang status kesehatan dan kebutuhan perawatan
masyarakat tersebut. Dengan demikian usaha yang dijalankan betul-betul dapat
memenuhi kebutuhan tersebut. Pada survei ini kita juga harus mengetahui sejauh mana
kemampuan yang dimiliki masyarakat untuk menjalankan program tersebut.
3. Survei Evaluasi
Survei ini dilakukan untuk menilai sejauh mana upaya pelayanan kesehatan telah
dilaksanakan, apakah sesuai dengan program yang kita rencanakan.

E. Tahapan Survei6
1. Menetapkan Tujuan
Tujuan dibutuhkan untuk menentukan hipotesis yang di tes atau penyakit yang diukur.
Pernyataan tujuan hafris memenuhi syarat
- Harus memenuhi maksud survei
- Tujuan harus dinyatakan jelas, sangat spesifik, dan tidak meragukan apa yang
harus diukur
- Dinyatakan dalam istilah-istilah yang bisa diukur
2. Mendesain Penelitian
Pada tahap ini mendesain penelitian dengan memilih metode atau jenis studi yang
digunakan, dapat berupa studi deskriptif ataupun analitik.

3. Memilih Sampel
Prinsip dalam memilih sampel adalah mendapat informasi maksimal dari suatu
populasi, yang terbebas dari bias. Tujuan diadakannya sampel adalah untuk mengatasi
keterbatasan peneliti (baik yang menyangkut waktu, kemampuan, dana, keterbatasan
metodologik, maupun keterbatasan izin) dalam mencoba mengeksplorasi informasi dari
semua subjek. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil survei yang adekuat, diperlukan
sampel yang baik. Sampel yang baik adalah sampel yang dapat menggambarkan
karakteristik dari populasi yang akan diteliti tersebut. Dengan kata lain, sampel tersebut
harus merepresentasikan populasi.

Representativitas Sampel
Dalam pemilihan sampel perlu diperhatikan representativitas sampel. Sampel
yang representatif adalah:
Sampel yang dari tiap kesatuan atau unit analisisnya identik dengan semua
karakteristik dalam populasi
Setiap kejadian atau perubahan yang terjadi pada subjek-subjek sampel (baik
karena perlakuan maupun tidak), juga identik dengan kejadian atau perubahan
pada populasi.
Apabila didapatkan kedua kondisi diatas, maka didapatkan sampel yang
representatif. Representativitas sampel itu sendiri ditentukan oleh:
Homogenitas populasi
Jumlah (besar) sampel yang dipilih
Banyaknya karakteristik subjek yang akan dipelajari
Adekuatitas teknik pemilihan sampel
Rancangan Sampel
Rancangan sampel mempunyai dua acuan pokok, yaitu:
Randomisasi terhadap keadaan populasi yang sudah homogen
Homogenisasi populasi kedalam sub populasi untuk tiap karakteristik populasi

a. Randomisasi Sampel
Randomisasi sampel adalah suatu teknik pemilihan sampel dimana
setiap subjek dalam populasi mendapat kemungkinan yang sama untuk
terpilih. Terdapat dua tipe randomisasi sampel yaitu teknik random sederhana
dan teknik random sistematik. Pada random sederhana, setiap sampel dari
individu dipilih secara acak tanpa ada ketentuan tertentu. Sedangkan, pada
random sistematik, hanya individu pertama saja yang dipilih secara random,
sementara individu berikutnya terpilih menurut aturan yang telah ditetapkan.
Teknik random murni lebih bunggul dibandingkan random sistematik dalam
memperoleh subjek yang representatif.

b. Homogenisasi Populasi
Homogenisasi populasi dilakukan pada populasi yang heterogen
sebelum randomisasi dimulai. Hal ini dikarenakan randomisasi subjek hanya
dapat dilakukan setelah populasi homogen.

Desain Sampel
Sebelum melakukan pemilihan sampel, pelaksana survey harus memutuskan apakah
surveynya akan dilakukan dalam lingkuo lokal, regional, atau nasional. Selain itu juga
harus menentukan variabel yang akan di periksa dalam survey serta kelompok usia yang
akan dilibatkan.
a. Simple random sampling
- Tiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk diseleksi
sebagai sampel, karena tiap anggota populasi memiliki karakteristik yang
sama sehingga tiap pemilihan individu tersebut tidak akan mempengaruhi
individu yang lain.
- Peneliti dapat menggunakan teknik ini jika perbedaan gender, status
kemakmuran, dan kedudukan dalam organisasi, serta perbedaan-perbedaan
lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang penting dan mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian.
- Jika besar sampel yang diinginkan berbeda-beda, maka besar kesempatan
bagi tiap satuan elementer untuk terpilih pun berbeda-beda.
- Prosedurnya :
Susun sampling frame,
Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil,
Tentukan alat pemilihan sampel, dan
Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi.
- Tekniknya terbagi menjadi dua, yaitu dengan mengundi anggota populasi
(lottery technique) atau teknik undian, dan dengan menggunakan tabel
bilangan atau angka acak random number).

Pada simple random sampling, kita hitung terlebih dahulu jumlah subyek dalam
populasi (terjangkau) yang akan dipilih subyeknya sebagai sampel penelitian. Setiap
subyek diberi bernomor dan dipilih sebagian dari mereka dengan bantuan table angka
random.
Contoh:
Misalnya kita akan pilih 20 dari 200 subyek pada populasi dengan cara simple
random sampling. Ke-200 subyek tersebut kita beri nomor urut, dari 1 sampai dengan
200. Karena ada 200 subyek, maka kita ambil angka yang terdiri atas 3 digit. Oleh
karena angka tertinggi yang akan diambil adalah 200, maka yang diambil hanya angka
200 dan angka yang lebih dari 200 diabaikan (dalam contoh angka 053, 025, 173,).
Bila ada angka yang sama, maka angka yang muncul kemudian diabaikan. Demikian
seterusnya sampai diperoleh 20 nomor. Agar obyektif, maka pemilihan angka awal
dilakukan secara acak misalnya dengan cara menjatuhkan pinsil sambil memejamkan
mata; angka yang terdekat dengan jatuhnya ujung pinsil dipilih sebagai angka awal.
Pembacaan tidak harus kiri ke kanan, namun dapat juga ke kiri, atas, atau bawah, dan
sekali telah ditetapkan arah pembacaan harus tetap taat-asas.
Tabel random (dalam kelompok 5 digit)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 32388 44437
2 05300 19746
3 66523 59847
4 44167 87820
5 47914 86820
6 63445 46920
7 89917 99378
8 92648 66078
9 20979 16834
10 81959 34191

Pemilihan subyek secara acak ini dipermudah dengan tersedianya program computer. Banyak
program computer yang menyediakan pemilihan subyek secara random (random sampling atau
random selection). Biasanya computer meminta input kepada kita, berapa jumlah subyek
penelitian yang tersedia (misalnya 200), dan berapa banyak yang akan dipilih sebagai sampel
(misalnya 40), serta nomor urut pasien dari yang terkecil sampai yang terbesar untuk dipilih
(misal dari nomor 1 sampai 200). Dengan perintah khusus, maka computer akan menunjuk 40
nomor urut pasien yang harus dipilih. Bila input yang sama diulang, maka computer akan
member 40 nomor pasien yang sama sekali berbeda dengan hasil sebelumnya. Dengan demikian
peneliti tidak dapat memprediksi nomor berapa saja yang akan terpilih bila prosedur pemilihan
subyek ini diulang.
- Keuntungan:
1. Sampling error dapat ditentukan secara kuantitatif
2. Ketepatan yang tinggi dan probabilitas yang sama
- Kerugian :
1. Bila tidak ada sampling frame, populasi tersebar dan luas
2. Butuh tenaga, waktu dan biaya yang cukup banyak

b. Systematic sampling
Teknik ini merupakan modifikasi dari simpel random sampling. Teknik ini
digunakan jika peneliti dihadapkan pada jumlah populasi yang banyak dan tidak
memiliki alat pengambil data secara random.
Dilakukan pemilihan satu orang pertama secara random dalam suatu daftar,
kemudian memilih orang-orang selanjutnya berdasarkan angka kelipatan tertentu.
Angka kelipatan dipilih dengan mempertimbangkan jumlah sampel yang diinginkan
dengan jumlah populasi total.
Secara singkat, cara yaitu dengan membagi jumlah anggota populasi dengan
perkiraan jumlah sampel yang diinginkan, hasilnya adalah interval sampel. Sampel
diambil dengan membuat daftar elemen atau anggota populasi secara acak antara 1
sampai banyaknya anggota populasi. Kemudian membagi dengan jumlah sampel yang
diinginkan, jika intervalnya adalah X, maka yang menjadi sampel adalah setiap
kelipatan X tersebut.
Contoh dari penggunaan teknik systematic sampling yaitu, apabila terdapat 1800
lansia dalam suatu populasi dan sampel yang ingin diperiksa sebanyak 200 lansia, maka
angka kelipatannya adalah 9. Untuk menentukan orang pertama, pilih angka di antara
0-9 secara random, misalkan angka 3. Kemudian orang-orang selanjutnya, adalah setiap
orang ke sembilan dari angka sebelumnya. Jadi dalam hal ini yang akan terpilih adalah
orang ke-3, ke-12, ke-21, dst.
Contoh lainnya adalah dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan
diambil adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua,
dan seterusnya adalah...
N (Jumlah Populasi) : 5000 rumah (Rumah 1,2,3,4,....,5000)
n (Sampel) : 250 rumah
I (Intervalnya) : 5000/250 = 20.
Maka anggota populasi yang terkena sampel adalah rumah dengan nomor kelipatan
20, nomor awal ditentukan secara random (biasanya dengan undian) misalnya dimulai
dari no.2, maka nomor interval berikutnya adalah 22, 42, 62, dst sampai mencapai 250
anggota sampel.
Keuntungan :
- Sampling frame tidak mutlak dibutuhkan karena daftar responden dapat dilakukan
bersamaan dengan pengambilan sampel
- Cara ini relatif mudah dan dapat dilakukan oleh petugas lapangan
- Cara ini sangat praktis bila populasi dalam bentuk kartu
- Variasi akan lebih kecil jika dibandingkan dengan cara lain
- Membutuhkan waktu dan biaya yang lebih rendah jika dibandingkan dengan simple
random sampling
Kerugian :
- Setiap unit sampel tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai
sampel karena telah ditentukan interval

c. Stratified sampling
Dalam teknik ini, setiap populasi digolongkan sehingga menghasilkan beberapa
subkelompok atau strata. Kemudian sampel diambil dari setiap subkelompok yang ada
menggunakan teknik random sampling. Total dari sampel yang diambil dalam suatu
subkelompok disebut dengan stratified random sample. Jika komposisi penduduk
diketahui sehubungan dengan sejumlah variabel spesifik, misalnya usia, jenis kelamin
dan kelompok etnis,sampel dapat dipilih agar sesuai dengan komposisi ini.
Teknik stratified sampling adalah teknik yang tepat untuk memperoleh perkiraan
parameter untuk masing-masing subkelompok secara terpisah. Teknik stratified
sampling yang tepat membutuhkan identifikasi data dari masing-masing subkelompok.
Apabila hal ini tidak ada, maka teknik ini tidak bisa dilakukan. parameter untuk setiap
subkelompok.
Teknik pengambilan sampel ini dapat digunakan jika suatu populasi terdiri dari unit
yang memiliki karakteristik berbeda-beda atau heterogen. Misalnya peneliti ingin
mengetahui sikap ibu hamil terhadap kesehatan janinnya, peneliti menduga bahwa ibu
hamil dengan pendidikan tinggi cenderung positif sikapnya terhadap kesehatan janin.
Untuk menguji dugaan ini maka sampelnya terdiri atas ibu hamil dengan pendidikan
tinggi, menengah, dan rendah.
Hal ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi karakteristik umum dari anggota
populasi, kemudian menentukan strata atau kelompok dari karakteristik tersebut.
Penentuan strata dapat didasarkan oleh tingkatan sosial ekonomi, tingkat keparahan
penyakit, umur, dsb. Setelah strata ditentukan selanjutnya dari masing-masing strata
diambil sampel yang dapat mewakili strata tersebut secara acak.
Langkah-langkah pengambilan sampel secara stratified:
- Menentukan populasi penelitian
- Mengidentifikasi segala karakteristik dari anggota populasi, misalnya tingkat
pendidikan, ekonomi, dsb.
- Mengelompokkan anggota populasi yang memiliki karakteristik umum yang sama
dalam suatu strata atau kelompok, misalnya strata tingkat pendidikan (rendah,
menengah, dan tinggi)
- Mengambil sebagian anggota populasi dari masing-masing strata sebagai perwakilan
strata tersebut.
- Teknik pengambilan sampel dari masing-masing strata dapat dilakukan secara random
maupun non random.
- Sebaiknya dalam pengambilan sampel dari strata dilakukan berdasarkan pertimbangan
(proporsional).

Misalnya: populasi suatu penelitian adalah ibu-ibu hamil di kelurahan paseban.


Berdasarkan pendataan dari Puskesmas, terdapat 250 orang ibu hamil (N=250). Sampel
yang dianggap representatif sesuai dengan perhitungan statistik adalah 60 orang ibu
hamil (n=60). Cara pengambilan sampel berdasarkan strata pendidikan yaitu
pendidikan rendah, menengah, dan tinggi. Maka sampel yang akan diambil dari
masing-masing strata adalah 20 orang ibu hamil (pendidikan rendah = 20 orang,
pendidikan menengah = 20 orang, dan pendidikan tinggi = 20 orang)
d. Cluster sampling
Pada teknik ini sampel bukan terdiri dari unit individu melainkan terdiri dari
kelompok atau gugusan (cluster). Kelompok atau gugusan yang diambil sebagai sampel
terdiri dari unit geografis (desa, kecamatan, kabupaten, dsb), unit organisasi (klinik,
PKK, LKMD, dsb).
Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasi, di mana tiap
unsur dalam stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A=semua laki-laki,
stratum B=semua perempuan), dalam sampel gugus/cluster, tiap gugus boleh
mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda atau heterogen (jenis kelamin
berbeda, tingkat pendidikan berbeda, dst.
Peneliti tidak membuat daftar semua anggota populasi tetapi hanya membuat daftar
banyaknya kelompok/gugus yang ada dalam populasi tersebut. Kemudian mengambil
beberapa sampel dari masing-masing gugus tersebut.
Misalnya: Penelitian tentang kesinambungan imunisasi anak balita di Kecamatan X,
dan menurut laporan Puskesmas jumlah anak balitanya 1.500 orang ( N=1.500). Sampel
yang akan diambil sebesar 20% (n=300), dengan teknik gugus adalah dengan
mengambil 3 kelurahan dari 15 kelurahan yang ada di kecamatan X tersebut secara
random. Kemudian semua anak balita yang berdomisili di tiga kelurahan yang menjadi
sampel tersebut yang akan diteliti.
e. Multistage cluster sampling
Ketika sampel yang diambil adalah seluruh individu dalam cluster-cluster yang
dipilih, maka disebut dengan teknik cluster sampling. Namun apabila sampel diambil
dari masing-masing cluster yang dipilih, maka disebut dengan teknik two-stage
sampling. Teknik ini juga bisa didesain sebagai three-stage sampling atau multistage
sampling, tergantung dari jumlah tingkatan cluster yang digunakan dalam pengambilan
sampelnya.
Pengambilan sample dilakukan berdasarkan tingkat wilayah secara bertahap. Teknik
ini dilakukan jika populasi terdiri dari bermacam-macam tingkat wilayah.
Pelaksanaannya dengan membagi wilayah populasi ke dalam sub-sub wilayah, dan tiap
sub wilayah dibagi ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, dan seterusnya. Kemudian
menetapkan sebagian dari wilayah (sub wilayah) sebagai sampel. Dari sub wilayah
yang menjadi sampel ditetapkan pula bagian-bagian dari sub wilayah sebagai sampel,
dan dari bagian-bagian yang lebih kecil tersebut ditetapkan unit-unit yang terkecil
diambil sebagai sampel.
Proses pengambilan sampel multistage:
- Tentukan area populasi berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi, Kabupaten,
Kecamatan atau Kelurahan, atau karakter lain (pedesaan-perkotaan, pantai-pegunungan,
dan sebagainya).
- Dari area populasi tersebut diambil sampel gugus dibawahnya secara random (misalnya
apabila area populasinya provinsi maka area gugus di bawahnya kabupaten).
- Dari area gugus tersebut diambil area gugus yang dibawahnya lagi (misalnya
kecamatan), dst.
- Akhirnya semua anggota populasi dari gugus terkecil (paling bawah) misalnya RT
diambil sebagai sampel.
Contoh dari penggunaan teknik ini yaitu memilih cluster terbesar dalam suatu
negara, yaitu negara bagian. Kemudian memilih second level-cluster, misalkan sekolah-
sekolah dalam negara bagian tersebut. Lalu memilih third level-cluster yaitu kelas-kelas
di dalam sekolah. Terakhir, memilih sampel murid-murid. Multicluster sampling dapat
menghasilkan perhitungan yang tidak presisi. Teknik ini digunakan untuk survey yang
membutuhkan jumlah populasi yang besar.
Misalnya pelaksanaan suatu penelitian di suatu wilayah kabupaten. Mula-mula
diambil beberapa kecamatan sebagai sampel, dari kecamatan-kecamatan yang menjadi
sampel ini diambil beberapa kelurahan sebagai sampel, selanjutnya dari kelurahan-
kelurahan yang menjadi sampel diambil beberapa RW sebagai sampel, dan dari
beberapa RW sampel diambil lagi beberapa RT sebagai sampel, dan akhirnya dari RT
yang menjadi sampel diambil beberapa atau seluruh unit sebagai sampel.
f. Probability proportional to size sampling
Pada teknik ini, probabilitas individu untuk menjadi sampel proporsional dengan
jumlah total individu pada masing-masing subkelompok. Jadi semakin rendah
prevalensi, semakin banyak jumlah sampel yang dibutuhkan. Untuk dapat
menggunakan teknik ini, harus ada daftar-daftar data dari seluruh subkelompok.
4. Pengujian Komponen Survey
Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pengujian adalah metode pemeriksaan,
kriteria diagnosis, indeks, persetujuan dari sampel, dan pemilihan pemeriksaan.
5. Analisis Data
Setelah data terkumpul, dilakukan perhitungan status dan analisis perawatan yang
dibutuhkan oleh populasi tersebut. Kebutuhan perawatan pada individu menurut dibagi
menjadi:
1) Kelas 1
Tidak ada perawatan yang dibutuhkan sesuai dengan jenis pemeriksaan yang
dilakukan
2) Kelas 2
Membutuhkan perawatan namun tidak darurat seperti:
a) Kalkulus sedang
b) Kasus prostetik
c) Kasus-kasus yang tidak berat
d) Penyakit periodontal yang tidak berat
e) Kondisi-kondisi lain yang tidak butuh koreksi atau hanya preventif saja
3) Kelas 3
Membutuhkan perawatan awal seperti:
a) Kalkulus berat
b) Kasus berat
c) Infeksi oral kronis
d) Penyakit periodontal berat
e) Pulpitis kronis atau infeksi periapikal
f) Prosedur pembedahan yang butuh pencabutan gigi
4) Kelas 4
Membutuhkan perawatan segera atau darurat seperti:
a) Trauma
b) Infeksi akut (periodontal/periapikal abses, gingivitis akut, stomatitis akut
c) Kondisi-kondisi yang dirasa sangat sakit oleh pasien
6. Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan harus berhubungan dengan studi yang dilakukan dan membuktikan
hipotesis.
7. Publikasi Hasil
Publikasi hasil harus jelas, sedehana dan disertakan rekomendasi untuk survei
selanjutnya.
2.1.2 Surveillance
Surveilans kesehatan adalah koleksi sistematis, analisis, dan interpretasi data
kesehatan penting yangs sedang berjalan untuk merencanakan, implementasi, dan
evaluasi aktivitas kesehatan masyarakat.7 Surveilans perlu dikaitkan dengan penyebaran
data, sehingga aksi yang efektif dapat dilakukan untuk mencegah penyakit. Mekanisme
surveilans mencakup pemberitahuan wajib terkait penyakit spesifik, penyakit spesifik
berdasarkan populasi atau rumah sakit, survey populasi secara terus menerus atau
berulang dan data pasti yang menunjukan tren dari pola konsumsi dan aktivitas ekonomi.8

Cakupan Surveilans
Cakupan surveilans sangatlah luas, dari sistem peringatan awal untuk respons
segera pada kasus penyakit menular hingga respons yang direncanakan pada kasus
penyakit kronis yang pada umumnya memilikiwaktu jeda yang lebih lama antara paparan
dan penyakit.8 Kebanyakan negara memiliki peraturan untuk melaporkan dengan wajib
daftar penyakit. Daftar ini berisi berbagai penyakit termasuk penyakit yang daoat
dihindari dengan vaksin seperti polio, measles, tetanus difteri dan juga penyakit menular
seperti tuberculosis, hepatitis, meningitis, dan kusta. Laporan dibutuhkan unutk kondisi
yang tidak menular, seperti kematian maternal, cedera dan penyakit akibat pekerjaan dan
lingkungan seperti keracunan pestisida. Laporan wajib untuk kondisi spesifik merupakan
turunan dari surveilans.
Tujuan Surveilans
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah
kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.8 Tujuan khusus surveilans:
(1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit; (2) Mendeteksi perubahan mendadak
insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak; (3) Memantau kesehatan populasi,
menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi; (4) Menentukan
kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan
evaluasi program kesehatan; (5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program
kesehatan; (6) Mengidentifikasi kebutuhan riset.
Kegunaan surveilans
Surveilans merupakan fitur penting dari praktik epidemiologis yang berguna untuk:
Mengenali kasus terisolasi atau clustered
Menilai dampak kesehatan masyarakat dari event dan menilai tren
Mengukur faktor kausal dari penyakit
Memonitori efektivitas dan mengevaluasi dampak dari pencegahan dan pengukuran
kontrol, strategi intervensi dan perubahan kebijakan kesehatan
Perencanaan dan penyediaan perawatan

Prinsip Surveilans
Prinsip kunci yaitu mengikutsertakan kondisi khusus dimana surveilans bisa secara
efektif menciptakan pencegahan. Prinsip penting lainnya yaitu sistem surveilans harus
mencerminkan beban penyakit secara umum dari sebuah komunitas. Kriteria lain dalam
pemilihan penyakitnya8 yaitu:
Insidensi dan prevalensi
Perbandingan case-fatality
Tingkat mortalitas dan mortalitas premature
Indeks kehilangan produktivitas
Harga perawatan medis
Preventability
Potensi epidemic
Jarak informasi pada penyakit baru
Jenis Surveillans8
Terdapat beberapa jenis surveilans yaitu (1) Surveilans individu; (2) Surveilans
penyakit; (3) Surveilans sindromik; (4) Surveilans Berbasis Laboratorium; (5) Surveilans
terpadu; (6) Surveilans kesehatan masyarakat global.
1. Surveilans Individu Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan
memonitor individuindividu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya
pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan
dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang
dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional
yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah
terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina
adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi.
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS.
Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total
membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa
inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial
membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat
kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan
untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus
bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pos-pos
lainnya tetap bekerja. Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan
dengan masalah legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, intervensi
Informasi 61 akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk
mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).
2. Surveilans Penyakit Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit,
melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan
penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans
penyakit adalah penyakit, bukan individu. Di banyak negara, pendekatan surveilans
penyakit biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program
surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans
vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik
dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans
penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya,
menggunakan fungsi penunjang masingmasing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya
masingmasing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan
inefisiensi.
3. Surveilans Sindromik Syndromic surveillance (multiple disease surveillance)
melakukan pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit,
bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-
indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi
diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti
pola perilaku, gejalagejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari
aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional.
Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan
kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip
influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam
surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan skrining pasien
berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk 4 atau sakit tenggorok) dan
membuat laporan mingguantentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok
umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut
berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu
burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan
sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004;
Sloan et al., 2006). Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit
tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi
tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel
merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan
sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).
4. Surveilans Berbasis Laboratorium Surveilans berbasis laboartorium digunakan
untuk mendeteksi dan menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang
ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium
sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak
penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan.
5. Surveilans Terpadu Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan
memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/
kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu
menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit.
Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan
data khusus penyakit-penyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang surveilans sebagai
pelayanan bersama (common services); (2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk;
(3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan sinergi antara
fungsi inti surveilans (pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi
pendukung surveilans (pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi,
manajemen sumber daya); (5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian
penyakit. Meskipun menggunakan 63 pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap
memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO,
2002).
6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global Perdagangan dan perjalanan
internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang serta organisme,
memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah
yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan
bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya
jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan,
peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit
menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali
(reemerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging
diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang
komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan
keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).

Manajemen Surveillans
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1) fungsi inti; dan (2) fungsi
pendukung. Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan
langkahlangkah intervensi kesehatan masyarakat.8 Kegiatan surveilans mencakup deteksi,
pencatatan, pelaporan data, analisis data, konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris,
umpan-balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan masyarakat mencakup respons
segera (epidemic type response) dan respons terencana (management type response).
Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan, supervisi, penyediaan sumber
daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi (WHO, 2001;
McNabb et al., 2002). Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi
kesehatan. Karena itu sifat dari masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan
implementasi sistem surveilans. Sebagai contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran
penyakit infeksi akut, misalnya SARS, maka manajer program kesehatan perlu
melakukan intervensi kesehatan 64 dengan segera. Karena itu dibutuhkan suatu sistem
surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik dan
laboratorium. Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti
kebiasaan merokok, berubah dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan
hanya perlu memonitor perubahan-perubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu.
Sebagai contoh, sistem surveilans yang menilai dampak program pengendalian
tuberkulosis mungkin hanya perlu memberikan informasi sekali setahun atau lima tahun,
tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa diperoleh dari survei rumah
tangga.

Pendekatan Surveilans
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2)
Surveilans aktif (Gordis, 2000). Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan
menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di
fasilitas pelayanan kesehatan.8 Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk
dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit
infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis
perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif
dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung
underreported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal.
Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu
petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di
fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen
pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas. Surveilans aktif menggunakan petugas
khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik
pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan
tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus
(case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.8 Kelebihan surveilans aktif, lebih
akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang
dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat
mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit
untuk dilakukan daripada surveilans pasif. Sistem surveilans dapat diperluas pada level
komunitas, disebut community surveilance. Dalam community surveilance, informasi
dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan
pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat
membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable cases)
ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih
menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium.
Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu.
2.1.3 Rancangan Survei Kesehatan Gigi dan Mulut
Metode yang digunakan untuk membuat rancangan survey kesehatan gigi dan mulut,
yaitu:
a. Distribusi dan keparahan kondisi dan penyakit mulut yang paling sering ditemui
b. Populasi mana yang memerlukan perluasan program-program kesehatan mulut dan
kebutuhan terhadap pencegahan penyakit dan promosi kesehatan
c. Sifat dan urgensi intervensi kesehatan mulut yang diperlukan.

2.1.4 Karakteristik Khusus Penyakit Mulut


Penyakit mulut yang paling sering terjadi adalah karies dan penyakit periodontal.
Terdapat beberapa pertimbangan khusus mengenai 2 penyakit mulut yang paling sering
terjadi, karies dan penyakit periodontal, yaitu:
a. Penyakit tersebut sangat berhubungan dengan usia
b. Penyakit tersebut terjadi pada seluruh populasi, hanya berbeda prevalensi dan
keparahannya
c. Salah satu penyakitnya, yaitu karies, bersifat irreversible, sehingga informasi yang
terdapat pada status terkini tidak hanya menyediakan data penyakit yang ada saat ini,
tetapi juga pengalaman penyakit sebelumnya
d. Terdapat banyak laporan mengenai variasi profil penyakit mulut di antara populasi
dengan tingkat sosio-ekonomi yang berbeda, karakteristik perilaku, dan kondisi
lingkungan
e. Pengukuran standard untuk setiap subjek membutuhkan beberapa pengamatan;
contohnya pada karies untuk tiap gigi dan untuk penilaian status periodontal untuk
tiap gigi yang ada di mulut, kecuali kehilangan perlekatan yang hanya menggunakan
6 sekstant.
2.1.5 Indeks Usia dan Kelompok Usia9
Usia dan kelompok usia yang direkomendasikan adalah :
- 5 tahun : usia ini menjadi perhatian dalam kaitannya dengan tingkat karies di gigi
sulung yang mungkin menunjukkan perubahan dalam waktu yang singkat daripada
gigi permanen di indeks usia lainnya.
- 12 tahun : merupakan usia yang penting, dimana anak-anak meninggalkan sekolah
dasar, dan pada kebanyakan Negara merupakan usia terakhir yang merupakan
sampel reliable yang dapat diperoleh melalui sistem sekolah. Dan juga merupakan
usia dimana semua gigi permanen erupsi, kecuali gigi molar tiga. Karena alasan
tersebut, usia 12 tahun telah dipilih sebagai the global monitoring age untuk karies
untuk perbandingan internasional dan pengawasan tren penyakit. Namun, pada
beberapa Negara, banyak anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Dalam
keadaan seperti ini, sebuah upaya harus dilakukan yaitu mensurvei 2 sampai 3
kelompok yang bukan murid dari berbagai daerah untuk dibandingkan dengan
status kesehatan mulut anak-anak yang masih bersekolah.
- 15 tahun : saat berusia 15 tahun, gigi permanen telah terkena lingkungan mulut
selama 3 sampai 9 tahun. Oleh karena itu, penilaian prevalensi karies pada remaja
mungkin relevan. Kelompok usia ini juga penting dalam penilaian penyakit
periodontal pada remaja. Pada negara-negara di mana sulit untuk mendapatkan
sampel yang reliable dari kelompok usia ini, ada kebiasaan untuk memeriksa
individu (usia 15 tahun) dalam dua sampai tiga wilayah saja, di ibu kota atau kota
besar lain dan satu di daerah pedesaan.
- 35 44 tahun (rata-rata = 40 tahun) : kelompok usia ini merupakan kelompok usia
standar untuk pengawasan kondisi kesehatan mulut pada orang dewasa. Dengan
menggunakan data untuk kelompok usia ini, perencana dan pengambil keputusan
dapat menilai efek penuh dari karies gigi, tingkat keterlibatan periodontal yang
parah, dan efek umum dari perawatan kesehatan mulut yang tersedia. Sampling
pada subyek dewasa seringkali sulit. Namun sampel diambil dari kelompok
terorganisir, seperti pekerja kantoran atau buruh pabrik. Sampel juga bisa diambil
dari kelompok yang mudah diakses, misalnya di pasar, untuk mendapatkan sampel
yang cukup representatif dalam situasi di mana pengambilan sampel benar-benar
representatif tidak dapat diperoleh. Pengambilan sampel membutuhkan ketelitian
untuk menghindari bias seleksi, contoh: sampel pasien di fasilitas perawatan
medis.
- 65 74 tahun (rata-rata = 70 tahun) : kelompok usia 65-74 tahun telah menjadi
lebih penting dengan perubahan dalam distribusi usia pada populasi dan
peningkatan usia hidup di seluruh dunia. Dalam kelompok usia ini, sangat
mungkin untuk memperkirakan manifestasi penyakit mulut dari perspektif
perjalanan hidup. Data untuk grup ini diperlukan baik untuk perencanaan
intervensi yang tepat untuk orang tua dan untuk penilaian efek akhir dari program
kesehatan mulut dalam suatu populasi. Mendapatkan sampel dan memeriksa
anggota perwakilan dari kelompok usia ini tidak sesulit untuk kelompok usia yang
lebih muda, karena orang tua lebih mungkin berada di atau dekat rumah mereka,
atau daycare center dan dapat diperiksa di siang hari.
2.1.6 Pathfinder Survey
Metode pathfinder survey merupakan teknik stratified cluster sampling yang bertujuan
untuk melibatkan subkelompok penting dalam suatu populasi, yaitu yang memiliki tingkat
keparahan penyakit yang berbeda.9 Metode ini merupakan metode yang direkomendasikan
sebagai pedoman dasar dalam survey kesehatan gigi dan mulut untuk merencanakan suatu
program, surveillance, dan evauasi program. Metode ini cocok untuk digunakan untuk
memperoleh informasi-informasi sebagai berikut :
Prevalensi penyakit gigi dan mulut dan kondisi yang mempengaruhi populasi tersebut
Variasi tingkat keparahan penyakit di subkelompok-subkelompok dalam suatu populasi.
Hal ini dapat mengidentifikasi kelompok yang membutuhkan perawatan tertentu
Profil usia dalam penyakit gigi dan mulut. Hal ini dapat digunakan untuk menilai
kebutuhan intervensi pada setiap kelompok usia, untu mengetahui tingkat keparahan
dan kelanjutan penyakit pada setiap kelompok usia, dan menilai apakah penyakit
tersebut semakin parah atau semakin membaik seirin meningkatnya usia.
Jenis Pathfinder Survey
Berdasarkan jumlah dan tipe lokasi sampel (sampling sites), serta grup usia yang terlibat,
pathfinder survey dapat dibagi menjadi dua8 :
a. Pilot survey
Hanya melibatkan subgrup yang paling signifikan atau paling penting saja dalam
suatu populasi
Hanya mencakup satu atau dua grup usia (biasanya 12 tahun dan satu grup usia lain)
Data yang didapatkan hanya data minimum untuk memulai perencanaan program,
sehingga perlu pengumpulan data tambahan untuk implementasi dan monitoring
program kesehatan oral.
b. National-level systematic survey / comprehensive systematic survey
Melibatkan uji-uji yang cukup untuk meliputi semua subgroup penting dalam suatu
populasi yang mungkin memiliki tingkat penyakit atau kebutuhan intervensi yang
berbeda
Paling sedikit melibatkan tiga grup usia yang direkomendasikan oleh WHO
Desain ini cocok untuk mengumpulkan data untuk tujuan perencanaan dan
memonitor program kesehatan oral pada seluruh negara terlepas dari tingkat
penyakit, ketersediaan sumber daya, dan kekompleksitas perawatan.

B. Subgroup
Sampling sites biasanya dipilih untuk mendapatkan informasi pada populasi yang
kemungkinan memiliki tingkat penyakit mulut yang berbeda berdasakan daerah
administratif suatu negara, misalnya ibu kota, pusat kota, kota kecil, dan daerah
pedesaan. Jumlah dan distribusi sampling sites tergantung pada tujuan khusus penelitian.
Untuk pathfinder survei nasional, biasanya digunakan 10-15 sampling sites. Namun
apabila dalam suatu negara terdapat banyak area urban, mungkin dibutuhkan beberapa
tambahan sampling sites di kota-kota ini.

C. Jumlah Subjek
Jumlah subjek tergantung pada teknik yang digunakan untuk menentukan sample
size, jangkauan survei, dan sumber yang tersedia. Pada metode path finder sampling,
jumlah subjek yang biasa digunakan untuk tiap indeks usia berkisar antara 25-50 untuk
tiap sampling site, tergantung pada prevalensi dan keparahan penyakit mulut yang
diharapkan. Contoh perhitungan jumlah subjek sebagai berikut:
Daerah urban : 4 sites di kota metropolitan (4x25= 100 orang)
2 sites di kota besar (2x2x25 = 100 orang)
Daerah rural: 1 site di 4 desa di regio yang berbeda (4x25=100 orang)
Sehingga total 12x 25 subjek = 300 subjek.
Apabila ada 4 kelompok usia, maka 4x300 = 1200 subjek.
Akan tetapi 25 orang subjek hanya berlaku pada derajat karies rendah atau rendah
sekali saja. Apabila derajat dental karies moderate atau sever, maka bisa digunakan subjek
sebanyak 45- 50 orang. Apabila level karies di suatu populasi tidak diketahui, harus
memperkirakan estimasi tingkat penyakit sebelum memulai survei. Cara yang cepat dan
efektif adalah dengan membedakan kelompok subjek sebagai bebas karies atau tidak
bebas karies. Apabila memungkinkan, periksa 2-3 kelas dari kelompok usia 12 tahun
dengan derajat sosial ekonomi yang berbeda pada 2-3 sekolah yang mudah diakses. Jika:
Lebih dari 50% anak yang diperiksa caries-free = prevalensi karies rendah
Kurang dari 20% anak yang diperiksa caries-free = prevalensi karies tinggi
Kurang dari 5% anak yang diperiksa caries-free = high

D. Prosedur Pathfinder Survey


1. Rencana operasional untuk survei
Perencanaan penting untuk dilakukan untuk menghindari pemborosan sumber daya
yang terbatas. Survei akan meliputi pengisian kuesioner dan pengaturan pemeriksaan
klinis oral dari subjek. Untuk memastikan semua pertanyaan dapat terjawab dan
mencapai sasaran tujuan, sebaiknya dilakukan pengawasan oleh tim survei. Pengisian
terpisah antara orang dewasa dan anak-anak. Orang dewasa sebaiknya mengisi kuesioner
di ruang pemeriksaan, sedangkan anakanak dapat mengisi di ruang kelas
Pengawasan tim survei meliputi :
Penjelasan format kuesioner dan pertanyaan
Memastikan kuesioner yang diisi sesuai dengan alokasi waktu, tersimpan aman,
dan dikembalikan ke kepala peneliti
Secara umum, rencana operasional survei terdiri dari :
a. Fase Presurvei
Sebelum memulai survei pada suatu daerah, peniliti harus melakukan
perencenaan, konsultasi, formasi organisasi untuk kepanitiaan, persetujuan dari
pihak yang berwenang, penggunaan biaya, persiapan tim dan alat-alat yang akan
digunakan serta suplai.
b. Fase Implementasi
Fase implementasi merupakan waktu yang digunakan untuk melakukan
pengumpulan data. Tim survei harus mengetahui waktu yang digunakan untuk
melakukan aktifitas dalam satu harinya.
c. Fase Postsurvei
Fase postsurvei terdiri dari :
Megirimkan surat apresiasi dan pengakuan kepada semua pejabat daerah
daerah survei serta kepada orang-orang yang telah berpartisipasi.
Mengirimkan data survei kepada WHO untuk dianalisis.
Menyatukan laporan persiapan survei (preliminary report) untuk kemudian
didistribusi kepada pejabat daerah setempat. Biasanya harus sudah selesai
dalam jangka waktu 2-3 minggu.
Memeriksa seluruh laporan teknis (dapat menyusul 2-3 bulan), sehingga
tersedian waktu yang cukup untuk menganalisis dan menginterpretasi data
dari WHO. Kemudian ditulis dan dicetak untuk distribusi dan publikasi.
Menunjuk organisasi yang tepat untuk mempublikasikan dalam jurnal ilmiah.
Mempresentasikan hasil survei organisasi lokal dan internasional yang terkait.

2. Pembentukan panitia
Pada tahap ini komposisi panitia disususun sehingga diketahui jumlah, tipe dan
tugas personil yang berpartisipasi.

3. Pelatihan dan kalibrasi


Pelatihan dilakukan untuk orang yang memeriksa (examiners) dan pencatat
(recorders) Penting bagi pemeriksa dan pencatat yang berpartisipasi untuk dilatih
membuat keputusan klinis yang konsisten dan untuk mencatat observasi dengan akurat
dan jelas.
Tujuan dari pelatihan dan kalibrasi adalah :
Memastikan keseragaman interpretasi, pemahaman, dan aplikasi oleh semua
pemeriksa tentang kode dan kriteria untuk berbagai penyakit serta kondisi yang
diobservasia dan juga dicatat.
Memastikan setiap pemeriksa dapat memeriksa secara konsisten dan memberikan
pencatat instruksi yang jelas dalam pencatatan data di lembar pemeriksaan.
Memastikan setiap pencatat mengerti arti dari terminologi dan sistem pengkodean
yang digunakan sehingga kesalahan pasti yang dibuat oleh pemeriksa dapat
diketahui dan membuat data yang dimasukkan jelas sehingga menghindari
kekeliruan antar kode.
Pelatihan akan dilakukan selama 2 hari, 2-3 hari berikutnya dilakukan untuk
kalibrasi. Akan lebih menguntungkan bila terdapat interval beberapa hari antara
hari pelatihan dengan kalibrasi untuk memberikan waktu bagi pemeriksa dan
pencatat menyesuaikan pengetahuan index dan penerapan prosedur.
Kepala peneliti/pemeriksa akan bertanggung jawab dalam melaksanakan pelatihan
dan tes kalibrasi baik untuk pemeriksa dan pencatat. Program pelatihan dan kalibrasi
akan mengandung :
Seminar tentang protokol keseluruhan, prosedur dalam mengumpulkan dan
menyimpan data, sistem pengkodean dan kriteria diagnosis akan dijelaskan lebih
jelas.
Dilakukan percobaan pemeriksaan terhadap 10 subjek oleh setiap pemeriksa.
Subjek sebaiknya dipilih sebelumnya, sehingga mereka dapat memiliki secara
bersamaan. Ini akan memberikan keuntungan untuk membiasakan pemeriksa dan
pencatat dengan proses, kriteria diagnosis dan sistem pengkodean.
Setiap pemeriksa akan memeriksa 10 subjek yang sama sebanyak 2 kali dalam
waktu berturut turut atau dengan interval 30 menit tiap pemeriksaan. Dengan
membandingkan hasil dari 2 pemeriksaan, pemeriksa akan dapat memperoleh
jangkauan dan jenis variabel diagnostik mereka. Secara umun, konsistensi yang
dapat diterima antara 85 95 %. Kepala pemeriksa/peneliti bertanggung jawab
menginterpretasikan hasil dan menyediakan perikiraan konsistensi dan realibilitas
antar peemriksa.
Seminar akhir yang mana semua prosedur akan direview dan kesulitan diskusi dan
harapan terselesaikan
4. Persetujuan dari pihak yang berwenang
Protokol yang diajukan untuk survei kesehatan mulut panduan epidemioligikal
harus mendapat persetujuan dan dikonsultasikan dengan pihak yang berwenang suatu
negara, dalam hal ini Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan. Apabila
anak-anak diikutsertakan dalam survei, penting untuk mendapatkan persetujuan dari
pihak yang berwenang dari sekolah yang dilakukan survei serta orangtua mereka dalam
izin tertulis. Kepala peneliti bertanggung jawab menerangkan sasaran dari survei dan
untuk mendapatkan persetujuan untuk memeriksa subjek.

5. Rencana pretesting
Tahap ini merujuk pada persoalan kuesioner yang telah dibuat terhadap subjek
terpilih yang dimasukkan dalam studi untuk memastikan tiap pertanyaan berisi apa yang
ingin diukur, pemilihan kata dimengerti oleh semua responden dan maknanya sama
untuk semua responden, instruksi pada kuesioner dapat dimengerti oleh semua
responden, semua alternatif yang beralasan tersedia respon yang tepat untuk tiap
responden. Investigator harus memastikan jika pertanyaan yang telah dijawab
dinterpretasi dengan tepat dan diingatkan jika ada hal yang tidak jelas dan
mengalokasikan waktu yang cukup untuk menjawab pertanyaan secara spesifik untuk
dewasa dan anak-anak

6. Perawatan Dental Darurat dan Rujukan


Tim survei harus dilengkapi dengan perawatan dental darurat misalnya untuk
meringankan rasa nyeri dan infeksi. Tim survei juga bertanggungjawab dalam perujukan
subjek dengan kondisi yang mengancam jiwa seperti kanker mulut, atau kondisi parah
lainnya ke fasilitas yang tepat untuk perawatan lebih jauh.

Metode Pengumpulan Data Pathfinder Survei


1. Pemeriksaan Klinis Rongga Mulut
Pengumpulan data kesehatan mulut sebaiknya menggunakan modified WHO assessment
form sehingga WHO dapat membantu dalam pemrosesan dan analisis data. Form
tersebut meliputi:
1) Identifikasi informasi survei
2) Informasi umum
3) Pemeriksaan ekstra oral
4) Pemeriksaan TMJ
5) Pemeriksaan mukosa
6) Hipoplasia
7) Fluorosis gigi
8) Pemeriksaan status periodontal
9) Kehilangan perlekatan
10) Dentition status dan perawatan yang dibutuhkan
11) Status penggunaan protesa
12) Kebutuhanmperawatan prostetik
13) Anomali dentofasial
14) Kebutuhan akan perawatan dan rujukan
15) Catatan

2. Kuesioner
Kuesioner yang telah dibuat harus diperiksa kembali oleh semua panitia yang
bersangkutan dalam survei untuk memastikan ketepatan konten dan pilihan katanya
sehingga hasil dari survei yang didapatkan reliable dan valid. Kuesioner tersebut juga
harus melewati fase pretest seperti yang sebelumnya telah dijelaskan.

3. Sumber Lain
Sumber data lain bisa didapatkan dari buku, artikel, jurnal maupun laporan yang
berhubungan dengan survei tersebut.

Proses, Analisis, dan Interpretasi Data


Pengolahan data meliputi tahap antara lain yaitu pengecekan untuk mendeteksi
kesalahan, pembersihan atau cleaning untuk memperbaiki kesalahan, dan imputation atau
memutuskan data yang hilang sehingga data yang didapat akurat dan berkualitas.
Setelah pengolahan data, kemudian dilakukan analisis dari data yang telah diolah.
Analisis data tersebut meliputi:
1. Mengurutkan data dari nilai terendah ke tertinggi.
2. Membuat tabel distribusi frekuensi.
3. Mengelompokkan data.
4. Membuat tabulasi nilai yang didapatkan dari pengukuran variabel sebelumnya.
5. Mengaplikasikan metode statistik deskriptif dan inferensial yang tepat.
6. Membuat tabel atau grafik.
Interpretasi data dilakukan setelah analisis data untuk menjelaskan makna-makna yang
didapat dari hasil analisis dan pengolahan sehinga dapat dimengerti. Selain itu interpretasi
juga ditujukan untuk mengidentifikasi kemungkinan faktor-faktor lain yang mempengaruhi
variabel.

2.2 Karies Gigi


2.2.1. Etiologi Karies
Faktor etiologi karies gigi dapat dibedakan menjadi 4 bagian, yaitu :
a) Host (gigi)
Faktor host (gigi) terhadap karies dapat berupa komposisi gigi, struktur anatomi /
morfologi gigi, dan posisi gigi menjadi 3 hal yang
cukup berpengaruh dalam terbentuknya karies gigi.
Komposisi gigi

Komposisi gigi terdiri dari email dan dentin.


Sebagai lapisan terluar gigi struktur email
sangat menentukan proses terbentuknya karies
gigi. Struktur enamel gigi terdiri atas susunan
kimia kompleks yang mengandung 97 %
mineral (kalsium, fosfat, karbonat, fluor), 1 % air, dan 2 % bahan organik ; yang
dimana kristal hidroksi apatit dengan rumus kimia Ca10(PO4)6 (OH)2 merupakan
gugus Kristal terpenting. Apatit enamel tersusun atas ion-ion karbonat dan
magnesiumyang memiliki sifat kelarutan yang tinggi bahkan dalam kondisi asam
lemah. Bagian luar enamel mengalami mineralisasi yang lebih sempurna serta
mengandung lebih banyak fluor , fosfat , sedikit karbonat dan air.
Kepadatan Kristal enamel sangat menentukan kelarutan enamel. Semakin banyak
mineral yang terkandung dalam enamel maka Kristal enamel akan semakin padat
dan enamel akan menjadi semakin resisten/tahan terhadap karies. Gigi susu lebih
rentan terserang karies daripada gigi tetap. Hal itu disebakan karena enamel gigi
susu mengandung lebih banyak bahan organik dan air ketimbang mineralnya.
Pemberian fluor sebagai tindakan pencegahan terjadinya karies sangat dianjurkan
karena dengan adanya penambahan fluor maka Kristal hidroksi apatit akan
berubah menjadi Kristal fluoro apatit yang lebih tahan terhadap asam.10
Struktur anatomi / morfologi gigi

Variasi morfologi gigi juga mempengaruhi resistensi gigi terhadap karies.


Morfologi gigi dapat dilihat dari dua permukaan yaitu permukaan oklusal dan
permukaan halus. Pada permukaan gigi yang kasar, memiliki banyak pit serta
fissure; dapat menyebabkan mudahnya sisa makanan yang mengumpul serta
melekatnya plak sehingga jika tidak dibersihkan dapat membantu perkembangan
karies gigi.10
Posisi gigi

Posisi gigi yang tidak terletak dalam lengkung rahang yang baik dapat
mengakibatkan gigi geligi akan tumbuh berjejal (crowding) dan saling tumpang
tindih (overlapping). Hal ini akan memudahkan tertinggalnya sisa makanan dan
terbentuknya plak diantara gigi tersebut sehingga akan mendukung terbentuknya
karies, karena daerah tersebut sulit dibersihkan.10
b) Faktor Agent/ Mikroorganisme

Faktor agent ini adalah mikroorganisme (bakteri) yang berada di dalam mulut dan plak
yang dihasilkannya.
Plak gigi memegang peranan penting dalam menyebabkan karies gigi. Plak adalah
lapisan polisakaraida semitransparan yang melekat kuat ke permukaan gigi dan
mengandung organisme patogen (bakteri) serta produk yang dihasilkannya. Plak gigi
terbentuk melalui beberapa tahapan, yaitu :
Formasi atas pelikel.

Pelikel adalah lapisan glikoprotein yang tebentuk dari saliva ; yang melapisi
permukaan gigi yang telanjang.
Setelah 0-4 jam, sel bakteri akan mengkolonisasi pelikel tersebut. Bakteri yang
pertama melekat ke permukaan gigi adalah Streptococci (S. sanguis, S.oralis,
S.mitis). Selain itu juga terdapat bakteri Acintomyces dan bakteri Gram-
negatif.Bakteri-bakteri yang paling kariogenik adalah Streptococcus (S.mutans, S.
Sabrinus) dan Lactobacillus. Bakteri- bakteri tersebut memulai pembentukan
plak.

Setelah lebih dari 4-24 jam, bakteri yang telah menempel akan berkembang biak
membentuk microcolonies.

Dalam waktu 1-14 hari, bakteri Streptococcus yang mendominasi plak akan
berubah menjadi bakteri Acintomyces. Pertukaran populasi ini dinamakan
microbial succession.11

Bakteri-bakteri tersebut ketika menempel pada permukaan gigi akan


menghasilkan produknya yang bersifat asam dalam waktu yang cepat (acidogenik). Tidak
hanya itu, bakteri-bakteri terseebut juga mampu bertahan dalam lingkungan dengan asam
yang tinggi (aciduric). Kedua hal tersebut menyebabkan peningkatannya demineralisasi
pada gigi yang dapat mengakibatkan terbentuknya karies. S.sobrinus merupakan
penghasil asam tercepat, walaupun jumlahnya lebih sedikit dibanding S.mutans.
Sedangkan Lactobacillus merupakan organism yang predominan pada karies dentin.
Plak terbentuk di dalam mulut setiap hari terlepas dari jumlah makanan yang
dimakan. Metabolisme karbohidrat oleh bakteri-bakteri didalam plak ini dapat
menyebabkan menurunnya pH (pH menjadi asam, pH <7) pada permukaan gigi. Derajat
penurunan pH tergantung dari ketebalan plak, komposisi bakteri didalama plak, dan
efisiensi kemampuan buffer saliva. Demineralisasi permukaan gigi sebanding dengan
nilai pH dan durasi pH plak yang rendah pada permukaan gigi. Semakin rendah nilai pH
dan semakin lama keberadaan pH yang rendah tersebut dalam rongga mulut maka
demineralisasi permukaan gigi akan meningkat.12
c) Faktor substrat/diet

Subtrat atau diet merupakan faktor penting dalam proses demineralsiasi dan
remineralsasi gigi. Konsumsi makanan dengan karbohidrat tinggi akan meningkatkan
proses demineralisasi karena terjadi metabolisme sukrosa oleh plak bakteri dan menjadi
asam, sedangkan konsumsi makanan dengan karbohidrat rendah, lemak yang tinggi,
protein yang tinggi dan kalsium yang tinggi akan meningkatkan proses remineralisasi.
Hal ini menunjukkan bahwa karbohidrat memgang peranan penting dalam terjadinya
karies.
Faktor subtrat / diet menjadi penting dan berpengaruh terhadap pembentukan
karies karena dapat mempengaruhi pembentukan plak karenan membantu
perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada dipermukaan gigi. slain itu,
faktor subtrat juga dapat mempengaruhi metabolisme bakteri dalam plak dengan
menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk memproduksi asam yang dapat
menimbulkan karies.
Karbohidrat yang kompleks (misalnya pati) cenderung tidak berbahaya karena
tidak dicerna secara sempurna didalam mulut, sedangkan karbohidrat dengan berat
molekul yang rendah seperti sukrosa akan segera meresap kedalam plak dan
dimetabolisme secara cepat oleh bakteri. Pada metabolismenya, karbohidrat (gula) akan
difermentasikan oleh bakteri streptococcus mutans menjadi asam laktat yang berada
dalam rongga mulut. Sukrosa akan dipecah menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa
dengan bantuan S.mutans akan membentuk destran (matriks ekstraseluler yang membantu
bakteri melekat pada enamel gigi). Fruktosa dengan bantuan mikroorganisme plak akan
dipecah menjadi levan (sumber makanan mikroorganisme plak). Sukrosa merupakan gula
yang paling kariogenik karena sintesis polisakarida ekstra sel sukrosa lebih cepat
dibandingkan glukosa, fruktosa, dan laktosa. Selain itu, sukosa merupakan gula yang
paling banyak dikonsumsi sehingga sukrosa menjadi penyebab utama karies. 10
Selain karbohidrat, pengkonsumsian asam juga dapat berpengaruh pada
terbentuknya karies gigi. Makanan-makanan yang bersifat asam (dietary acids) yang
tinggi biasanya terdapat pada soft drink, minuman berenergi (isotonic), jus buah dan yang
lainnya yang dapat menyebabkan suasana mulut bertambah asam sehingga suasana
tersebut sesuai untuk bakteri acidogenik dan aciduric untuk berkembang biak dengan
cepat dan membentuk plak dalam waktu yang cepat.
Plak yang bersifat asam akibat konsumsi makanan-makanan tersebut hanya bersifat
sementara. Awalnya, pH akan turun hingga menjadi sangat asam dalam waktu 0-20
menit. Kemudia pH akan kembali ke pH normal (sekitar 7), dibutuhkan waktu 30-60
menit. Oleh sebab itu, konsumsi yang sering dan berulang-ulang akan tetap menahan pH
plak dibawah normal dan menyebabkan demineralisasi enamel. Hal tersebut dijelaskan
pada kurva Stephan.11

d) Faktor waktu
Faktor waktu yang dimaksudkan disini adalah kecepatan terbentuknya karies serta lama
dan frekuensi substrat menempel pada permukaan gigi. Semakin lama dan semakin
seringnya subtract menempel pada permukaan gigi, maka semakin cepat pula karies gigi itu
terbentuk. Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang
berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan
karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas diperkirakan 6-48 bulan. Karies tidak terjadi
dalam hitungan hari atau minggu akan tetapi bulan atau tahun karena adanya saliva dalam
rongga mulut.10

I. Patogenesis Karies11
a) Pelikel Pada gigi terdapat lapisan pelikel yang merupakan lapisan protein aselular
dan terutama terdiri dari glikoprotein yang diendapkan dari saliva serta terbentuk
segera setelah sikat gigi. Sifatnya sangat lengket dan mampu melekatkan bakteri-
bakteri tertentu pada permukaan gigi.
- Ketebalan mencapai 0,01 1 m dalam waktu 24 jam
- Komponen utama: proline rich protein, glikoprotein (aglutinin saliva),
fosfoprotein (staterin), enzim glikosiltransferase & glukanase (-amilase)
- Memiliki peran penting dalam modifikasi karies dan erosi membatasi
transportasi ion masuk dan keluar jaringan keras gigi
b) Kolonisasi bakteri

Selanjutnya bakteri perintis mulai melekat pada pelikel (0-24 jam). Bakteri yang mula-
mula menghuni pelikel terutama yang terbentuk adalah kokus. Organisme tersebut
tumbuh dan berkembang biak serta mengeluarkan gel ekstra sel yang lengket dan akan
menjerat berbagai bentuk bakteri yang lain. Biofilm merupakan sebuah lapisan lunak
yang terdiri dari 70% koloni bakteri yang tumbuh dan berkembang pada sebuah
permukaan, dan 30% sisanya berupa matriks. Dental plak merupakan salah satu bentuk
biofilm. Dental plak terdiri dari air dan berbagai macam mikroorganisme yang
bekembang biak dalam suatu matrik interseluler yang terdiri dari polisakarida ekstra
seluler dan protein saliva. Dalam beberapa hari, bakteri akan terus bertambah dan
berkolonisasi (4-24 jam). Dan selanjutnya bersuksesi dan koagregasi dengan bertambah
terus hingga terdiri dari berbagai macam mikroorganisme dalam koloni tersebut (1
minggu). Plak ini akan bertambah tebal dan terdiri dari berbagai macam mikroorganisme,
bakteri yang mulanya hanya kokus saja akan berubah menjadi campuran yang terdiri dari
kokus, basil dan spiral. Streptococcus mutans dan lactobacillus merupakan kuman yang
kariogenik karena mampu segera membuat asam dari karbohidrat yang dapat diragikan.
Kuman ini dapat tumbuh subur dalam suasana asam dan dapat melekat pada permukaan
gigi karena kemampuannya membuat polisakarida ekstra sel yang sangat lengket dari
karbohidrat makanan. Polisakarida ini, yang terutama terdiri dari polimer glukosa,
menyebabkan matriks plak gigi mempunyai konsistensi seperti gelatin. Akibatnya,
bakteri-bakteri terbantu untuk melekat pada gigi dan melekat satu sama lain. Dan karena
plak semakin tebal maka hal ini akan menghambat fungsi saliva dalam hal menetralkan
plak tersebut.
Selanjutnya terjadi maturasi biofilm / plak (>1 minggu). Permukaan yang mudah terjadi
retensi plak: pit dan fissure permukaan oklusal gigi M dan P, pit bukal gigi M dan pit
palatal gigi I maksila, permukaan proksimal gigi dibawah titik kontak, daerah servikal
gigi pada margin gingiva, permukaan akar yang terekspos, serta margin restorasi.11

c) Penurunan pH

Ketika keadaan rongga mulut semakin asam, maka pH akan terus menurun. Penurunan Ph
yang berulang-ulang dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi
permukaan gigi yang rentan dan proses karies pun dimulai. Tingkat penurunan pH
tergantung dengan ketebalan plak, jumah bakteri, efisiensi buffer saliva, dan lain-lain. pH
plak akan kembali normal setelah 30 60 menit. Kapasitas buffer saliva sangat berperan
dalam mengembalikan pH menjadi normal, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
individu dengan mulut kering rentan terhadap karies.
Substrat dapat memicu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada
permukaan enamel. Bakteri dalam plak dengan menyediakan bahan-bahan yang
diperlukan untuk memproduksi asam serta bahan lain yang aktif yang menyebabkan
timbulnya karies.
Demineralisasi
Komponen mineral dari enamel, dentin, dan sementum adalah hidroksiapatit (HA)
yang terbentuk dari Ca10(PO4)6(OH)2. Dalam suasana netral, HA berada dalam
kesetimbangan dengan lingkungan cair lokal (saliva) yang penuh dengan ion Ca 2+
dan PO43-. Meningkatnya frekuensi konsumsi karbohidrat dengan berat molekul
rendah serta menurunnya laju alir saliva dapat membuat pH plak berada di bawah
pH kritis dalam waktu lama. Proliferasi bakteri asidurik dan asidogenik pun
meningkat karena didukung suasana asam dan mengakibatkan produksi asam,
terutama asam laktat, oleh bakteri semakin banyak dan cepat. Asam laktat
membuat pH saliva dan cairan mulut menurun, sehingga keadaan lewat jenuh
terhadap hidroksiapatit berubah menjadi jenuh (saturation), yaitu pada pH kritis
(5,5). Jika keadaan ini dibiarkan, pH dapat turun melewati pH kritis (<5,5)
sehingga menjadi tak jenuh terhadap hidroksiapatit. Saat pH <5,5 hidroksiapatit
akan bersifat reaktif terhadap ion hidrogen (H+). Ion hidrogen (H+) dapat
menurunkan aktivitas ion fosfat (PO43-) dan hidroksil (OH-). Pada pH <5,5, yang
merupakan pH kritis untuk HA, HA reaktif terhadap ion hidrogen dan bereaksi
dengan grup phospat pada saliva yang berada dekat dengan permukaan kristal.
Reaksinya dapat ditulis sebagai berikut PO43- + H+ -> HPO42-. Pada saat yang
sama, ion hidrogen mengalami buffering. Kemudian, HPO42- tidak dapat
berkontribusi pada kesetimbangan normal HA karena mengandung PO43- sehingga
menyebabkan larutnya HA.
Anion laktat, dari asam laktat yang dihasilkan bakteri, juga dapat menurunkan
aktivitas ion kalsium (Ca2+). Turunnya aktivitas ion menyebabkan penurunan
produk aktivitas ion (ion activity product / IAP) untuk pembentukan
hidroksiapatit. Hal inilah yang menyebabkan saliva dan cairan mulut berada pada
keadaan tak jenuh terhadap hidroksiapatit sehingga hidroksiapatit menjadi larut.11

Remineralisasi
Sebaliknya, jika pH kembali netral dan terdapat ion Ca2+ dan PO4 3- yang cukup,
keadaan dapat kembali lewat jenuh terhadap hidroksiapatit dan terjadi interaksi
antara ion Ca2+, PO43-, dan OH- sehingga IAP untuk hidroksiapatit lebih besar
dibandingkan KSP. Selain itu, simpanan flouride yang terbentuk diawal akan
membentuk flouroapatit (FA). Ketika pH semakin turun dan mencapai 4,5 (pH
kritis untuk FA), FA pun akan larut. Apabila ion hidrogen telah terpakai,
mengalami netralisasi, dan semua ion ditahan, FA akan terbentuk kembali dan
terjadilah remineralisasi. Kemudian HA dan FA akan terbentuk kembali dan akan
mengulangi reaksi yang sama. Pada keadaan inilah remineralisasi mungkin
terjadi. 11

pH 6,8 6,0 5,5 5,0 4,5 4,0 3,5 3

Demineralisasi
H+ bereaksi dengan ion PO4 HA larut FA dan HA larut
dalam saliva dan plak FA terbentuk karena
kehadiran F

Remineralisasi
FA terbentuk kembali Jika H+ habis terpakai dan/
atau terjadi netralisasasi dan
semua ion tertahan
HA dan FA terbentuk

8,0 6,8 6,0 5,5 5,0 4,5 4,0 3,5 3

Kalkulusdapatterbentu Karies dapat Erosi dapat terjadi


Remineralisasi > terjadi
Demineralisasi

d) Pembentukkan kavitas (6 24 bulan)


Apabila ketidakseimbangan demineralisasi remineralisasi terus terjadi, lesi akan
berkembang dan permukaan yang awalnya utuh akan rusak membentuk kavitas. Proses
ini dapat terjadi dalam waktu. Kavitas pada permukaan gigi mengakibatkan area tersebut
akan lebih mudah terjadi retensi plak dan jumlah Lactobacillus akan bertambah.
Pembentukkan plak akan berlanjut di dalam kavitas dan sulit untuk dibersihkan, sehingga
remineralisasi sulit terjadi dan lesi akan terus berkembang. Saat karies email berpenetrasi
ke dentinoenamel junction (DEJ), karies akan berkembang lebih cepat karena dentin
kurang resisten terhadap karies dibandingkan email.11

2.2.2. Klasifikasi karies

2.2.2.1. Klasifikasi menurut G.V. Black

Teori yang dipakai dokter gigi sekarang, awalnya memakai teori dari Black. Tetapi, teori
ini sudah mengalami banyak perubahan karena dirasanya teori ini sudah sangat kaku. Seperti
contohnya adalah jarang dipakainya gambar radiograf, sehingga kavitas harus besar dulu sampai
akhirnya bisa terlihat mata telanjang, baru bisa didiagnosis atau diindikasikan sebagai karies.
Sedangkan, dokter gigi pun tidak tahu seberapa parah karies tersebut di dalam enamel dan
dentin.10
Teori Black mengenai klasifikasi karies adalah10:

Kelas I : area oklusal dan bukal/lingual pit

Kelas II : bagian proksimal gigi posterior

Kelas III : bagian proksimal gigi anterior

Kelas IV : bagian proksimal gigi anterior, tetapi termasuk bagian 1/3 margo
incisalnya, atau telah meluas ke tepi tepi incisal.

Kelas V : 1/3 gingival atau servikal gigi anterior dan posterior

Kelas VI : cusp tip

2.2.2.2 Klasifikasi karies menurut G.J. Mount dan W.R. Hume


Lesi karies hanya terjadi di tiga tempat (sites) pada mahkota atau akar gigi. Oleh karena
itu parameter pertama untuk klasifikasi kavitas ada tiga tempat, yaitu10:

Site 1 : karies terletak pada pit dan fissure


Site 2 : karies terletak pada permukaan proksimal baik gigi anterior maupun posterior
Site 3 : karies terletak pada bagian servikal gigi diikuti dengan akar yang terekspos

Kemudian, ada 5 ukuran lesi :


Size 0
lesi paling dini, merupakan tingkat permulaan demineralisasi, dapat dirawat dengan
mengusahakan terjadinya remineralisasi atau dengan menghilangkan penyebabnya
(perawatan non-invasif) dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut
Size 1
kavitas permukaan masih minim, melibatkan email sampai batas antara email dan dentin,
memerlukan restorasi untuk mengembalikan permukaan yang halus dan mencegah
akumulasi plak lebih lanjut
Size 2
sedikit melibatkan dentin, namun tidak semua enamel memiliki kavitas. Struktur gigi
yang tersisa cukup kuat untuk menyokong restorasi
Size 3
lesi telah membesar, struktur gigi yang tersisa lemah, cusps ataupun sudut insisal (incisal
edge) telah rusak. Perlu dilakukan reparasi kavitas dalam membuat restorasi untuk
melindungi struktur gigi yang tersisa
Size 4
kehilangan struktur gigi dalam jumlah besar, karies membesar hingga mencapai pulpa

Gambar 1: Klasifikasi karies berdasarkan G.J Mount10

Ada juga teori Mount mengenai diagnosis karies:

D0. Tidak ada kelainan.

D1. Lesi kering. Belum ada kavitas.

D2. Lesi basah. Belum ada kavitas.


D3. Karies email.

D4. Karies dentin terbatas.

D5. Karies dentin meluas.

D6. Karies mencapai pulpa.

Ada bermacam-macam klasifikasi karies yang dibedakan berdasarkan:


a. Cara meluasnya karies
Penetrirende Karies karies yg meluas dr email ke dentin, bentuknya kerucut.
Distribusi seperti penetrasi, yaitu merembes ke dalam
Unterminirende karies karies yang meluas dari email ke dentin dengan jalan meluas ke
arah samping, sehingga disebut juga dengan undermind karies.
b. Stadium karies (dalamnya karies)
Karies superficialis karies yang baru menyentuh enamel sedangkan dentin belum
terkena karies.
Karies media karies yang telah mengenai dentin namun belum mencapai hingga
setengah dentin.
Karies profunda karies yang telah mengenai lebih dari setengah dentin dan bahkan
hingga mengenai pulpa. Karies profunda ini dibagi lagi:
Karies profunda stadium I: karies telah melewati setengah dentin dan pulpa belum
meradang.
Karies profunda stadium II: dijumpai lapisan yang membatasi karies dengan pulpa.
Radang pulpa biasanya sudah muncul.
Karies profunda stadium III: karies telah mencapai pulpa dan terjadi radang pulpa.
BAB III
VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL

Kriteria dan
Variabel Definisi Operasional Indeks Ukur Skala
Skoring
Karies Gigi Kerusakan jaringan Indeks 0 = Baik Interval
keras gigi yang ditandai DMF-T 1 = Komponen D
adanya kavitas pada (Decay, 2 = Komponen M
permukaan email, Missing, 3 = Komponen F
dentin, dan pulpa Filling
Tooth) Komponen D/d
(decay) : Gigi
karies (sudah
terjadi kavitas,
gigi ditambal
tetapi memiliki
karies sekunder
atau karies di sisi
lain, gangren
pulpa, enamel
underminded,
tumpatan
sementara.

Komponen M/m
(missing) : Gigi
hilang akibat
karies, gigi yang
indikasi
ekstraksi, dan
hanya tersisa
akar (gangren
radiks), dan gigi
hilang pada usia
yang jauh dari
waktu eksfoliasi
normal.

Komponen F/f
(Filling) : Gigi
yang ditumpat
akibat karies
dengan syarat
tumpatan harus
sempurna (tidak
ada celah,
permukaan
halus, gigi dapat
berfungsi
normal, dan
tidak ada karies.

Apabila kode
kondisi tidak
termasuk kategori
decay, missing,
maupun filling, yang
disebutkan maka
diberi skor nol (0)
Indeks PUFA 0 = tidak terdapat Nominal
keterlibatan PUFA
1= terdapat
keterlibatan PUFA
P/p =
Keterlibatan
pulpa, dicatat
ketika terlihat
adanya kamar
pulpa yang
terbuka atau
ketika struktur
gigi koronal
telah
dihancurkan oleh
proses karies dan
hanya akar atau
fragmen akar
yang tersisa.
Tidak dilakukan
probing untuk
mendiagnosis
keterlibatan
pulpa

U /u = Ulserasi
karena trauma
akibat bagian-
bagian gigi yang
tajam dari gigi
yang dislokasi
dengan
keterlibatan
pulpa atau
fragmen
fragment
menyebabkan
ulserasi akibat
traumatis dari
jaringan lunak
sekitarnya,
misalnya, lidah
atau mukosa
bukal.

F/f = Fistula
dicatat ketika
adanya nanah
yang dikeluarkan
saluran sinus
yang
berhubungan
dengan gigi
dengan
keterlibatan
pulpa.

A/a = Abses
dicatat karena
adanya
pembengkakan
berisi nanah
terkait dengan
gigi dengan
keterlibatan
pulpa
BAB IV
METODE SURVEI

4.1. Jenis Survei


Jenis survei yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan gigi dan mulut
masyarakat kecamatan Kramat Jati adalah pathfinder survei pada kelompok usia 5-6 tahun dan
12 tahun. Survei ini dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai pengetahuan mengenai
kesehatan gigi dan mulut, status kesehatan gigi dan mulut, dan perawatan atau penanganan
terhadap masalah kesehatan gigi dan mulut, serta sebagai langkah dasar dalam perencanaan
program yang sesuai pada kelompok usia tersebut. Survei yang dilakukan adalah survei
kesehatan gigi dan mulut dalam bentuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut pada siswa TK
Kindergarten Islam Nurul Yaqin dan TK Nirmala Puspa dan SDN Kramat Jati 07 pagi dan
SDN Kramat Jati 02, serta dalam bentuk kuisioner untuk mengetahui pengetahuan mengenai
kesehatan gigi dan mulut yang diberikan pada ibu dari orang tua siswa tersebut.

4.2. Lokasi dan Waktu Survei


Survei perencanaan program akan dilaksanakan di TK Kindergarten Islam Nurul Yaqin
dan TK Nirmala Puspa dan SDN Kramat Jati 07 pagi dan SDN Kramat Jati 02. Kegiatan
dilaksanakan pada tanggal 19-21 Juli 2017.

4.3. Subjek Survei


4.3.1. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non-prability sampling yakni purposive
sampling yang mengikutsertakan anak usia 5-6 tahun untuk mengetahui tingkat karies pada
gigi sulung dan kebersihan gigi & mulut anak, serta anak usia 12 tahun sebagai indikator
global kelompok usia untuk perbandingan. Selain itu, juga diikutsertakan ibu dari orang tua
anak tersebut untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan kebiasaan ibu terhadap
kebersihan gigi dan mulut anak.
4.3.2. Kriteria Inklusi
Semua siswa TK Kindergarten Islam Nurul Yaqin dan TK Nirmala Puspa usia 5-6 tahun
11 bulan.
Siswa SDN Kramat Jati 07 pagi dan SDN Kramat Jati 02 usia 12 tahun hingga 12 tahun
11 bulan.
Ibu dari siswa usia 5-6 tahun 11 bulan TK Kindergarten Islam Nurul Yaqin dan TK
Nirmala Puspa.

4.3.3. Kriteria Eksklusi


Semua siswa TK Kindergarten Islam Nurul Yaqin dan TK Nirmala Puspa dengan usia
dibawah 5 tahun dan diatas 6 tahun 11 bulan.
Semua siswa SDN Kramat Jati 07 pagi dan SDN Kramat Jati 02 dengan usia dibawah 12
tahun diatas 12 tahun 11 bulan.

4.3.4. Besar Sampel


Besar sampel yang digunakan dalam survei ini sesuai dengan ketentuan minimum dari metode
pathfinder survei yakni 50 sampel setiap kelompok usia.

4.4. Pengumpulan Data


4.4.1. Pemeriksaan Klinis
Pengumpulan data dilakukan dengan metode pemeriksaan klinis intra oral pada kedua
kelompok usia 5-6 tahun dan 12 tahun menggunakan indeks deft, DMFT, dan PUFA. Melalui
pemeriksaan klinis intra oral didapatkan data primer status karies gigi pada kedua kelompok usia
tersebut. Skor deft, DMFT menggambarkan status karies gigi, sedangkan skor PUFA
menggambarkan tingkat keparahan dari karies.

4.1.1.1 Kalibrasi
Kalibrasi dalam pemeriksaan klinis dilakukan untuk menentukan kebenaran dan
kesamaan suatu pengukuran dalam pemeriksaan kondisi klinis. Terdapat dua macam kalibrasi
pemeriksaan klinis yang dilakukan yakni inter-examiner dan intra-examiner. Kalibrasi
dilakukan 3 hari sebelum survei dilakukan. Kalibrasi inter-examiner dilakukan oleh enam
pemeriksa yang menghasilkan nilai kappa agreement yang bervariasi dari 0,06 1,0 dengan
standar minimum 0,6 untuk survei. Selain kalibrasi inter-examiner, kalibrasi intra-examiner
juga dilakukan dengan pemeriksaan kedua kalinya pada subjek yang sama yang dilakukan 2
minggu setelah pemeriksaan kondisi klinis pertama.

4.1.1.2 Alat dan bahan


Informed consent
Kaca mulut
Sonde halfmoon
Head lamp
Masker
Sarung tangan
Gelas kumur
Alkohol dan betadine
Air bersih
Tissue
Kartu status
Kantong sampah

4.4.2. Pengisian Kuisioner


Kuesioner yang diberikan kepada ibu orang tua dari siswa terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama merupakan keuesioner yang untuk mengetahui pengetahuan kesehatan gigi dan
mulut. Bagian kedua merupakan kuesioner untuk mengetahui nilai sikap kesehatan gigi dan
mulut. Bagian ketiga adalah kuesioner untuk mengetahui kebiasaan menjaga kesehatan gigi dan
mulut. Kuisioner diberikan kepada orangtua melalui guru sekolah yang dititipkan kepada siswa.
4.1.1.3 Kalibrasi
Kalibrasi dalam pengisian kuesioner dilakukan untuk menguji validitas dan reliabilitas
dengan menggunakan perangkat lunak statistik.

4.1.1.4 Alat dan bahan


Alat tulis
Informed consent
Kuesioner
4.4.3. Alur Kerja
Alur kerja disusun berdasarkan langkah langkah pemecahan masalah (problem solving
cycle), yakni :
1) Identifikasi masalah
Mengumpulkan data data
Menentukan sasaran survei
Membuat proposal survei dan mengurus perizinan ke pihak terkait
Persiapan survei : persiapan alat dan bahan, kalibrasi pemeriksa
Pelaksanaan survei : pemeriksaan klinis dan pengisian kuesioner oleh subjek
Pengumpulan data survei
Pengolahan data survei
Penyajian data survei
2) Menentukan prioritas masalah dan tujuan yang akan dicapai
Menentukan prioritas kelompok usia yang paling bermasalah.
Menentukan prioritas masalah dalam satu kelompok usia dengan menggunakan
matriks kriteria prioritas masalah.
3) Menyusun beberapa alternatif jalan keluar
Merencanakan beberapa program tepat sasaran yang dapat menyelesaikan masalah.
4) Memilih dan menetapkan prioritas jalan keluar
Mempertimbangkan beberapa alternatif program yang ada dengan sumber daya yang
ada.
5) Penyusunan rencana kerja
Membuat susunan kepanitiaan program untuk pembagian tugas.
Membuat daftar kebutuhan untuk pelaksanaan program.
Membuat media sebagai alat untuk menyampaikan pesan program.
Menyusun anggaran dana yang akan dikeluarkan dalam pelaksanaan program.
Membuat alur pelaksanaan program untuk hari H.
Mengurus perizinan untuk pelaksanaan program.
6) Pelaksananaan program
Pelaksanaan program di hari H dijalankan sesuai dengan alur yang telah direncanakan
dengan pembagian tugas masing masing anggota.
Pelaksanaan program di hari H dilakukan dengan menggunakan media dalam
menyampaikan pesan program dengan harapan dapat menyelesaikan masalah yang
ada.
7) Evaluasi program
Evaluasi program dapat dilakukan sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan program
4.5. Pengolahan Data
4.5.1. Data Klinis
Data data pemeriksaan klinis yang berupa skor deft, DMFT, dan PUFA, diolah dan
dianalisis dengan menggunakan program perangkat lunak statistik.

4.5.2. Data Kuisioner


Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, perilaku, dan sikap
subjek terhadap kesehatan gigi dan mulut berdasarkan hasil pengisian kuesioner. Analisis
deskriptif diuji menggunakan program perangkat lunak statistic.

4.6. Rencana Operasional Survei


4.6.1. Perizinan
Perijinan dengan pihak Puskesmas Kramat Jati sebagai penanggung jawab wilayah.
Perijinan dengan pihak TK Kindergarten Islam Nurul Yaqin dan TK Nirmala Puspa.
Perijinan dengan pihak SDN Kramat Jati 07 pagi dan SDN Kramat Jati 02.

4.6.2. Susunan Personil/Petugas


Ketua Umum Anisa Savitri
Penanggung Jawab Perijinan Aisyah Mauludia
Penanggung Jawab Perlengkapan Instrumen Survei Hafshah Samrotul Mahabbah
Penanggung Jawab Kuesioner Hastinefia Putri
Penanggung Jawab Pemeriksaan Klinis Cymilia Gityawati
Ranny Rahaningrum Herdiantoputri

4.6.3. Biaya
N BAHAN/ALAT JUMLAH TOTAL (Rp)
O

1 Fotokopi status 200 lembar 50.000

2 Fotokopi kuisioner 1200 lembar 300.000

3 Bingkisan untuk guru 4 kotak 400.000


4 Sarung tangan 3 pak 150.000

5 Masker 1 pak 25.000

6 Tissue 5 50.000

7 Trash Bag 20 50.000

8 Gelas Kumur 200 100.000

TOTAL BIAYA 1.125.000

4.6.4. Jadwal
Tanggal Waktu Kegiatan
13 Juli 2017 08.30 09.30 Perijinan dan pendataan sekolah yang berada
dibawah tanggung jawab wilayah Kramat jati
secara lisan
13 Juli 2017 09.45 11.30 Survei lokasi TK dan SD wilayah Kramat Jati
13 Juli 2017 11.45 13.30 Perkenalan dan perijinan secara lisan untuk
melakukan survei dan program kesehatan gigi dan
mulut di TK Kindergarten Islam Nurul Yaqin dan
TK Nirmala Puspa.

13 Juli 2017 13.30 15.00 Perkenalan dan perijinan secara lisan untuk
melakukan survei dan program kesehatan gigi dan
mulut di SDN Kramat Jati 07 pagi dan SDN
Kramat Jati 02.
17-18 Juli 2017 Persiapan survei
- Fiksasi perencanaan survei
- Pengurusan surat perijinan secara tertulis
- Persiapan alat dan bahan pengambilan data
- Persiapan kartu status pemeriksaan klinis
- Persiapan kuesioner
- Kalibrasi pemeriksaan klinis
- Pengadaan bingkisan bagi guru sekolah terkait.
19 Juli 2017 07.00 08.30 Persiapan ruangan survei di TK Kindergarten Islam
Nurul Yaqin
19 Juli 2017 08.45 11.15 Pelaksanaan survei :
- Pemanggilan subjek survei yang sesuai dengan
kriteria berdasarkan urutan kelas secara bertahap
- Pemeriksaan klinis intraoral dilakukan dengan 4
subjek dalam 1 putaran
19 Juli 2017 11.15 12.30 Penutupan dan pemberian bingkisan untuk TK
Kindergarten Islam Nurul Yaqin
19 Juli 2017 12.30 14.00 Pembersihan alat dan ruangan
20 Juli 2017 07.00 08.30 Persiapan ruangan survei di TK Nirmala Puspa
20 Juli 2017 08.30 11.15 Pelaksanaan survei :
- Pemanggilan subjek survei yang sesuai dengan
kriteria berdasarkan urutan secara bertahap
- Pemeriksaan klinis intraoral dilakukan dengan 4
subjek dalam 1 putaran
20 Juli 2017 11.15 12.15 Penutupan dan pemberian bingkisan untuk TK
Nirmala Puspa
20 Juli 2017 12.30 14.00 Pembersihan alat dan ruangan
21 Juli 2017 07.00 08.00 Persiapan ruangan survei di SDN Kramat Jati 07
pagi
21 Juli 2017 08.00 10.00 Pelaksanaan survei :
- Pemanggilan subjek survei yang sesuai dengan
kriteria berdasarkan urutan secara bertahap
- Pemeriksaan klinis intraoral dilakukan dengan 4
subjek dalam 1 putaran
21 Juli 2017 10.00 11.30 Penutupan dan pemberian bingkisan untuk SDN
Kramat Jati 07 pagi
pemberihan alat dan ruangan
21 Juli 2017 12.00 13.00 Persiapan ruangan survei di SDN Kramat Jati 02
21 Juli 2017 13.00-15.00 Pelaksanaan survei :
- Pemanggilan subjek survei yang sesuai dengan
kriteria berdasarkan urutan secara bertahap
Pemeriksaan klinis intraoral dilakukan dengan 4
subjek dalam 1 putaran
21 Juli 2017 15.00-16.30 Penutupan dan pemberian bingkisan untuk SDN
Kramat Jati 02
pemerihan alat dan ruangan
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007. 2008.
2. Kementrian Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. 2014.
3. Palupi. Status Kesehatan Gigi Pada Anak Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kesehatan Di SDN Karangsoko 3 Trenggalek., 10-31 (2004).
4. Mehta, Bhalla. Assessing consequences of untreated carious lesions using pufa index among
5-6 years old school children in an urban Indian population. 2014.
5. Shanbhog, Godhi, Nandlal, Kumar, Raju, Rashmi. Clinical consequences of untreated dental
caries evaluated using PUFA index in orphanage children from India. 2013;5:1-5.
6. Strippel. Effectiveness of Structured Comprehensive Pediatric Oral Health Education for
Parents of Children Less than Two Years of Age in Germany. Community Dental Health.
2010;27(2):74-80.
7. Bonita R, Beaglehole R, Kjellstrom. Basic Epidemiology. 2nd ed. WHO; 2006.
8. Organization WH. Oral Health Surveys Basic Methods. 5th Ed.; 2013.
9. Mount GJ, Hume WR. Preservation and Restoration of Tooth Structure. 2nd ed.; 2005.
10. Roberson TM, Heymann H, Swift E. Sturdevants Art & Science of Operative Dentistry. 4th
ed.; 2002.

Anda mungkin juga menyukai