Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional
berfungsi efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal,
sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan
stabilitas perekonomian nasional.
Stabilitas Keuangan memegang peran yang sangat penting untuk menjaga stabilitas
perekonomian. Krisis global 2008/2009 mengajarkan kepada kita semua bahwa dengan semakin
menguatnya keterkaitan makrofinansial (macrofinancial-linkages) maka sistem keuangan yang
tidak berfungsi dengan baik akan menurunkan efektivitas kebijakan moneter, mengganggu
kelancaran kegiatan perekonomian, dan dapat berakibat pada perlambatan pertumbuhan hingga
kontraksi ekonomi. Oleh karena itu, terwujudnya stabilitas sistem keuangan merupakan tanggung
jawab bersama di antara otoritas sektor keuangan, termasuk Bank Indonesia.
Di sisi lain, Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas
sistem keuangan terkait dengan fungsi sebagai Lender of Last Resort (LoLR), yaitu otoritas yang
berwenang menyediakan likuiditas pada saat krisis.
Dalam pelaksanaan mandat dan wewenang untuk menjaga SSK, Bank Indonesia memiliki
beberapa payung hukum sebagai berikut:
Dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan Indonesia dari dampak Pandemi
COVID-19 melalui sinergi dan bauran kebijakan yang tepat dan terukur, Pemerintah telah
menempuh kebijakan luar biasa (extraordinary measure) dengan memberikan penguatan
kewenangan kepada anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yaitu Bank Indonesia,
Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Langkah kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam
Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan, yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun
2020. Dalam kondisi pandemi COVID-19, UU ini hadir melengkapi UU Nomor 9 Tahun 2016
tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) sebagai landasan
hukum dalam melakukan manajemen krisis.
Bagi Bank Indonesia, penguatan kewenangan yang diamanatkan meliputi: (i) penanganan
permasalahan bank melalui pemberian Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek/Pembiayaan
Likuiditas Jangka Pendek Syariah (PLJP/PLJPS) untuk bank sistemik dan bank selain bank
sistemik; (ii) pemberian Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) kepada bank sistemik yang
mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan PLJP/PLJPS yang dijamin oleh
Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK; (iii) pembelian Surat Utang Negara
(SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana
untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional,
termasuk untuk tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi COVID-19; (iv)
pembelian/repo SBN milik LPS untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas bank
sistemik dan bank selain bank sistemik; (v) mengatur kewajiban penerimaan dan penggunaan
devisa bagi penduduk termasuk ketentuan mengenai penyerahan, repatriasi, dan konversi devisa
untuk menjaga kestabilan makroekonomi dan system keuangan; dan (vi) pemberian akses
pendanaan kepada korporasi/swasta dengan cara repo SUN/SBSN yang dimiliki
korporasi/swasta melalui perbankan. UU ini menjadi landasan hukum bagi Bank Indonesia untuk
memperkuat langkah dan kebijakan menjaga untuk stabilitas ekonomi dan sistem keuangan dari
dampak pandemi COVID-19, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari program Pemulihan
Ekonomi Nasional (PEN).