Anda di halaman 1dari 16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Kebijakan
2.1.1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
a. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
1. Pasal 1 ayat 1, “Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang

atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,

pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi

dalam jangka waktu sementara”

2. Pasal 1 ayat 3, “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung

berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,

Pemerintah, dan Pemerintah Daerah”

3. Pasal 1 ayat 4, “Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan

pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud

kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat

setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha”.

4. Pasal 1 ayat 5, “Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,

keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan

hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan”

5. Pasal 1 ayat, “10 Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki

fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang

mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan

ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung

lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan”.

Jadi dari ketentuan umum tersebut sangat jelas sekali bahwa Museum Keris Nusantara

Kota Surakarta merupakan tempat wisata yang memiliki keunikan daya tarik wisata

melalui Koleksinya yang didukung juga oleh Pemerintah Daerah serta stakeholder yang
nantinya berhubungan erat dengan pengembangan Kawasan stategis pariwisata di Kota

Surakarta.

b. Bab II Asas, Fungsi dan Tujuan Pasal 2, menyebutkan bahwa kepariwisataan

diselenggarakan berdasarkan asas. Asas yang mendasari berdirinya Museum Keris

Nusantara Kota Surakarta adalah asas manfaat, kelestarian, berkelanjutan, kesataraan

dan kesatuan.

c. Bab VII Hak, Kewajiban dan Larangan bagian kedua Kewajiban pasal 23 poin C

disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban “memelihara,

mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya Tarik wisata dan

asset potensial yang belum tergali”. Dijelaskan bahwa peran pemerintah daerah untuk

memelihara, mengembangkan dan melestarikan sudah sangat jelas, dalam hal ini

Pemerintah Daerah Kota Surakarta yaitu dengan mendirikan Museum Keris Nusantara

Kota Surakarta. Selain itu, pada pasal 26 juga disampaikan mengenai kewajiban setiap

pengusaha pariwisata yang salah satunya adalah “memberikan informasi yang akurat

dan bertanggungjawab”. Harapannya hasil kajian ini nantinya dapat memberikan

informasi yang akurat dan bertanggungjawab.

d. Bab VIII Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pasal 32 ayat 1,

“Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan dan penyebarluasan

informasi kepada masyarakat untuk kepentingan pengembangan kepariwisataan”.

2.1.2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-

undang Republik Indonesia Nomor: 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Dijabarkan dalam lampiran Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah, pembagian urusan pemerintahan konkruen antara

pemerintah pusat dan Daerah Povinsi dan Daerah Kabupaten/Kota pada kolom V.

Pembagian urusan Pemerintahan Bidang Kebudayaan terkait wewenang daerah

kabupaten/Kota terkait dengan Permuseuman adalah “Pengelolaan Museum


Kabupaten/Kota”. Dalam hal ini dijelaskan mengenai pembagian pengelolaan museum

ditingkat kabupaten/kota.

2.1.3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025

a. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 8,”Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu

yang memiliki keunikan, keindahan,dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan

alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan

wisata.”

Koleksi keris di Museum Keris Nusantara Kota Surakarta menjadi salah satu daya tarik

wisata Indonesia. Karena koleksi yang berada di museum ini memiliki keunikan dan

keindahan yang tidak ada duanya. Keris-keris tersebut merupakan tinggalan

kebudayaan yang tak ternilai harganya dan merupakan hasil karya buatan manusia,

dalam hal ini ahli besi (pande besi) atau empu keris.

2.1.4. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 Tentang

Pendaftaran Usaha Pariwisata

a. Bab I Ketentuan Umum Pasal 2,”Usaha daya Tarik Wisata adalah usaha pengelolaan

daya Tarik wisata alam, daya Tarik wisata budaya, dan/atau daya Tarik wisata/binaan

manusia”.

b. pasal 6,”usaha pengelolaan Museum adalah usaha penyediaan tempat dan fasilitas,

serta kegiatan pameran cagar budaya, benda seni,koleksi dan/atau replica yang

memiliki fungsi edukasi, rekreasi dan riset untuk mendukung pengembangan pariwisata

dengan memperhatikan nilai pelestarian, dengan tujuan untuk memnperoleh

keuntungan”.

c. Bab II usaha Pariwisata bagian kedua Pasal 7 poin D tentang bidang usaha daya

Tarik Wisata salah satunya adalah “Pengelolaan museum”

2.1.5. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 28

Tahun 2014 Tentang Standar Usaha Jasa Penyelenggaraan Pertemuan, Perjalanan

Insentif, Konferensi, dan Pameran


Dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonnomi Kreatif Republik Indonesia

Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Standar Usaha Jasa Penyelenggaraan Pertemuan,

Perkalanan Insentif, Konferensi, dan Pameran tidak dijabarkan secara khusus terkait

dengan museum dan cagar budaya. Lebih banyak menjelaskan mengenai standar usaha

jasa penyelenggaraan pertemuan,perjalanan insentif, konferensi, dan pameran.

2.1.6. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 Tentang

Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

Dalam peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia No 14 tahun 2016 tentang

Pedoman Destinasi pariwisata Berkelanjutan juga dijelaskan mengenai Daya Tarik Wisata.

Dimana daya Tarik wisata yang memiliki nilai-nilaki luhur harus senantiasa dilestarikan untuk

meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan kebanggaan nasional,

memperkokoh persatuan bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai

arah kehidupan bangsa.

Pemerintah daerah dalam membuat pedoman daya Tarik wisata harus sesuai

dengan indicator United nation World Tourism Organization (UNWTO) dan mendapatkan

pengakuan dari Global Sustainable Tourism Council (GSTC), sehingga harapannya dapat

mensinergikan, memperkuat tradisi dan kearifan local masyarakat yang multicultural dalam

mengelola daya tarik lingkungan alam dan budaya di destinasi pariwisata secara terpadu

dan berkelanjutan. Karena daya tarik wisata terutama Museum Keris Nusantara kota

Surakarta memiliki keunikan, keindahan, nilai budaya, dan hasil buatan manusia yang

menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

2.1.7. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2016 tentang Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kota Surakarta Tahun 2016-2026

Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 tahun 2016 tentang Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan Tahun 2016-2026.

1, Museum Keris Nusantara termasuk kedalam Kawasan Strategis Pariwisata Daerah

Sriwedari, termasuk didalamnya Museum Radya Pustaka - Museum Ndalem wuryaningratan


- Loji Gandrung_ Museum PON 1 Stadion Sriwedari – Jalan bhayangkara – Taman

Sriwedari.

Kawasan Pariwisata Strategis daerah adalah (KSPD) adalah Kawasan yang memiliki

fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata Daerah

yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan

ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan

hidup, serta pertahanan dan keamanan.

2.2. Tinjauan Konseptual

2.2.1. Sejarah Perkembangan Keris

Sudah menjadi kenyataan bahwa karya tosan aji yang paling menonjol adalah keris

yang merupakan senjata penusuk pendek yang terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian

bilah dan ganja yang melambangkan lingga dan yoni. Dalam falsafah jawa yang memiliki

akar kuat pada falsafah agama Hindu, persatuan lingga dan yoni merupakan perlambang

harapan atas kesuburan, keabadian (kelestarian) dan kekuatan (Hasrinuksmo, 2008; 8-10).

Keris juga dapat diartikan sebagai senjata tikam yang bentuknya indah, asimetris (baik lurus

maupun luk), dan terbuat dari dua, tiga, atau beberapa macam logam yang ditempa menjadi

satu (Haryoguritno, 2006; 26). Data prasasti membuktikan bahwa pndai wsi (pandai besi)

sudah ada di abad X (Jones, 1984; 50), bukti-bukti penggunaan senjata terbuat dari logam

pada candi-candi abad VIII-IX tentunya dapat menjadi asumsi bahwa para pande pada abad

X sudah sangat terampil membuat senjata-senjata yang menjadi cikal bakal dari keris yang

kita kenal sekarang.

Keris sebagai salah satu karya budaya masyarakat Nusantara dalam bidang

teknologi tempa logam, tentunya memiliki keberagaman corak yang diperkirakan mulai

berkembang pada abad VI atau VII. G.B. Gardner dalam Hasrinuksmo menyatakan bahwa

keris adalah perkembangan bentuk dari senjata tikam masa prasejarah, sedangkan A.J.

Barnet Kempers menduga prototype keris merupakan perkembangan bentuk dari senjata

penusuk pada zaman perunggu (Hasrinuksmo, 2008;27). Ma Huan mencatat bahwa keris
mencapai puncaknya pada masa Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu kemampuan membuat

keris telah menyebar sampai Palembang, Riau, Semenanjung Malaya, Brunai Darussalam,

Filipina Selatan, Kamboja, Campa, bahkan sampai ke Surathani dan Pathani di Thailand

bagian selatan (Hasrinuksmo, 2008; 27). Dijelaskan oleh Ma Huan dalam laporannya bahwa

di Jawa setiap laki-laki sejak umur 3 tahun sampai dengan orang tua, baik orang

kebanyakan atau berada, mengenakan keris yang pegangannya diukir indah, terbuat dari

emas, cula badak, atau gading gajah. Apabila mereka bertengkar, maka dengan cepat

masing-masing telah siap dengan kerisnya (Direktorat Peninggalan Purbakala, 2006; 30).

Lebih lanjut mengenai perkembangan keris, Ma Huan memberikan keterangan

bahwa setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran diberbagai bidang, kebudayaan

tetap bertahan pada era selanjutnya. Contohnya unsur arsitektural bentuk atap tumpang,

seni ukir sulur-suluran, tumbuhan melata (kalpatala), penataan halaman istana menjadi tiga,

termasuk pembuatan senjata jenis keris yang semakin anggun bentuknya (Direktorat

Peninggalan Purbakala, 2006; 33). Jenis kerispun semakin berkembang dan menyebar ke

berbagai daerah di Nusantara pada masa Demak, Mataram, dan masa-masa berikutnya.

Sebagai karya budaya bersifat material, keris dapat dipandang sebagai objektivitas

ide, nilai, norma, peraturan, maupun perilaku masyarakat yang diwujudkan ke dalam bentuk

tertentu. Hal ini, mencerminkan budaya masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, wujud

keris di suatu daerah akan berbeda dengan wujud keris yang dihasilkan di daerah lain.

Perbedaan tersebut tidak secara kebetulan semata, akan tetapi memiliki latar belakang

pemikiran yang menghasilkan karakteristik khusus menurut kebutuhan budayanya. Hal ini,

dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti letak geografis, kepercayaan adat-istiadat, tatanan

sosial, gaya hidup, dan kepercayaan, serta tentunya dipengaruhi pula oleh masa atau waktu

ketika keris itu dibuat (tangguh). Keris yang memiliki jenis dan kegunaan yang sama

sekalipun akan menampilkan citra bentuk yang berbeda, hal ini merupakan pencitraan

identitas dari daerah masing-masing (Neka dan Yuwono, 2010: 28-30).

Kata kris berate “menghunus” (Haryoguritno, 2006: 30). Senada dengan pendapat

tersebut, kusni memberikan penjelasan bahwa istilah keris sebagai artefak berasal dari
gabungan dua suku kata, yaitu ke dari asal kata “kekeran” dan ris dari asal kata “aris”. Arti

kata “kekeran” sendiri memiliki arti “pagar, penghalang, peringatan, atau pengendalian”,

sedangkan “aris” mempunyai arti “tenang, lambat, atau halus” (Kusni 1979: 108). Munculnya

istilah keris ini diperkirakan bermuara dari bahasa Jawa Ngoko yang terbentuk melalui

proses jarwadosok . Dalam pemahaman ini terlihat bahwa keris sebagai senjata tajam yang

kategorinya termasuk ‘piranti’ untuk kekerasan, pengertiannya kemudain diperhalus melalui

olah kata seperti itu. Tersimpan harapan di dalam penghalusan itu bahwa keris dapat

berfungsi untuk melindungi pemiliknya dari ancaman yang bersifat fisik ataupun nonfisik

(Arifin, 2006:15: Lumintu, 2002:10). Sebagai pelindung itu pengameng-ameng, keris juga

diharapkan dapat berperan sebagai penolak bala (Jiwa, 2007:23).

Zoetmoelder dan Robson, dalam bukunya “Kamus Jawa Kuno-Indonesia Jilid I”

memberikan pengertian berikut bahwa kata “aris” atau “haris” berarti kelakuan atau tindak-

tanduk yang tenang, sabar, lemah lembut, halus. Ia mencontohkan istilah anharis, inaris,

anharis-haris yang artinya mengerjakan sesuatu dengan hati-hati, memperlakukan sesorang

dengan hati-hati (baik hati, dengan lemah lembut), dengan mesra, dan kasih sayang.

Kebalikan dari aris atau haris adalah tan haris atau tan aris yang artinya keras, kasar,

bengis, sengit, dan galak (1997:340). Istilah pendukung lainnya dijumpai dalam istilah akris

artinya menggunakan keris yang anris, kinkris, silih keris yang artinya menusuk dengan

menggunakan keris (1997:520). Akan tetapi G.P.H Hadiwidjojo berpendapat bahwa kata

keris yang berasal dari bahasa jawa kuno sebenarnya tumbuh dari akar kata kres dalam

bahasa Sansekerta (1950).

Istilah keris juga dijumpai pada prasasti-prasasti kuno sebagai sumber data

arkeologis. Data tertua yang menyebutkan istilah keris diperoleh dari lempengan prasasti

perunggu asal Karang Tengah berangka tahun 748 saka (842 Masehi) yang ditemukan di

Dusun Karang Tengah, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti tersebut

menyebutkan beberapa sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak. Sesaji

itu antara lain berupa kres, wangkiul, tewek punukan, wsi penghatap (Hasrinuksmo,

2008:24). Demikian pula yang tertulis dalam prasasti Tukmas tahun 748 saka (842 Masehi)
dan prasasti Humanding tahun 797 saka (875 Masehi) yang ditemukan di Kelurahan

Krapyak, Kec. Kenaren, Kalasan Yogyakarata. Isi prasasti Humanding tersebut antara lain:

[….] mas ma 4 wdihan ranga yu 4 wadun 1 rinwas 1 patuk 1 kres 1 lukai rwak
punukan 1 landuk 1 lingis n[…].

Artinya :

[…] emas ma pola rangga 4 yu, sebilah wedung, sebilah kapak penebang
kayu, sebilah beliung, sebilah keris Sebilah parang, sebilah parang dengan kapak
dibelakang bilahnya, sebuah cangkul dan sebuah linggis […] (Timbul Haryono,
2001).

Prasasti Rukam (829 saka atau 907 Masehi) mengelompokkan keris sebagai alat

atau dan senjata yang terbuat dari besi. Isi prasasti tersebut menyebutkan bahwa :

[…] wsi-wsi prakara, wedung, rinwas, patuk-patuk, lukai, tampilan, linggis,


tatah, wangkiul, kres, gulumi, kerumbhagi, pamaja, kampi, dom […]
Artinya :

[…] segala keperluan yang dibuat dari besi berupa kapak perimbas, beliung,
sabit, tampilan, linggis, pahat, mata bajak, keris, tombak, pisau, ketam, kampit, jarum
[…] (Timbul Haryono, 2001).

Data arkeologis lain yang menyebutkan istilah keris terdapat pada prasasti Jurungan

yang berangka tahun 798 Saka (876 Masehi), prasasti Taji 823 Saka (901 Masehi), prasasti

Poh 827 Saka (905 Masehi), prasasti Wakajana 829 Saka (907 Masehi), dan prasasti

Sanggaran 850 Saka (928 Masehi), dan prasasti Bulian 1103 Saka (1181 Masehi) (Neka

dan Yuwono, 2010:33-38). Selain itu, ditemukan juga beberapa prasasti yang menceritakan

keberadaan juru pande, antara lain prasasti Sukawana A1 tahun 804 Saka (882 Masehi),

prasasti Pura Kehen C tahun 1126 Saka (1204 Masehi), prasasti Tambelingan 1 dan 2

tahun 1306 dan 1320 Saka (1384 dan 1398 Masehi) (Neka dan Yuwono, 2010:38).

Catatan dalam prasasti tersebut menunjukkan bahwa keris telah dikenal pada

kisaran awal abad VIII, dan istilah kris telah cukup popular di masyarakat pada masa itu.

Berbagai temuan arkeologis tersebut mununjukkan bahwa bila ditekusur ke belakang ada

indikasi bahwa istilah ‘keris’ berasal dari bahasa Sansekerta. Data arkeologis berupa

prasasti tersebut rata-rata menyebut istilah ‘kres’ dalam konteks bahasa Sansekerta yang

kemudian berubah penyebutannya menjadi ‘kris’ dalam bahasa Jawa kuna dan kemudian
menjadi ‘keris’ dalam bahasa Jawa Baru dan yang diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia

(Arifin, 2006: 13-14).

Keris sebagai salah satu puncak karya seni tradisional bidang tempa logam, terdapat

hampir di seluruh Nusantara. Temuan arkeologis dan data sejarah menunjukkan bahwa

keris pada awalnya dibuat di pulau Jawa (Haryoguritno, 2006: 10). Demikian pula dengan

istilah ‘keris’ berasal dari Jawa sebelum menyebar dan popular dipergunakan hampir di

seluruh wilayah Nusantara, kemudian dalam perkembangannya melahirkan istilah-istilah

padanan sesuai daerahnya masing-masing. Istilah padanan tersebut tentunya dikarenakan

menyesuaikan dengan bahasa dan pengertian daerahnya masing-masing. Beberapa istilah

keris di luar Pulau Jawa misalnya di Bali disebut kadutan, di Sumatera Barat disebut karih

atau karieh, di Sulawesi Selatan disebut selle, tappi atau tapping, di Minahasa disebut

kekesur, di Aceh disebut ponok, di Filifina disebut sundang atau sondang, di Lampung

disebut terapang, di Madura disebut kerris, dan lain sebagainya (Sumitarsih dkk, 1990: 2).

Selain itu di Jambi keris juga dikenal dengan istilah koksi (Totok Brojodiningrat, wawancara,

2011).

Selain itu, dapat dijumpai pula dari relief-relief yang tergambar pada badan Candi

Borobudur. Dapat dilihat pada relief Candi Borobudur di sudut bawah bagian tenggara,

tergambar beberapa orang prajurit yang membawa senjata tajam yang mirip dengan keris

yang kita kenal sekarang ini. Di candi Sewu juga terlihat dwarapala (2 arca prajurit) raksasa

yang membawa senjata tajam/tikam yang diselipkan pada pinggang yang mirip dengan

senjata keris.

Sementara itu, edisi pertama dan kedua yang disusun oleh Prof. P. A. Van Der Lith

menyebutkan, sewaktu stupa induk Candi Borobudur yang dahulu dibangun pada tahun 875

M tersebut dibongkar, ditemukan sebilah keris tua. Keris tersebut menyatu antara bilah

dengan hulunya. Tetapi bentuk keris tersebut tidak serupa dengan keris yang tergambar

pada relief candi.

Selain itu, Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java (1817),

pernah menyebutkan bahwa pernah melihat seorang prajurit Jawa yang menyandang tiga
buah keris sekaligus. Disebutkan pula dama bukunya, bahwa tidak kurang dari 30 jenis

senjata yang dimiliki dan digunakan oleh Prajurit Jawa waktu itu, termasuk senjata api, tetapi

dari aneka ragam senjata itu, keris menempati kedudukan yang sangat istimewa.

Kemudian penggambaran yang paling jelas mengenai proses pembuatan keris,

dapat kita jumpai pada relief di Candi Sukuh. Pada Candi Sukuh digambarkan cara

pembuatan keris yang hampir sama dengan proses pembuatan keris pada masa sekarang

ini, baik peralatan kerja, palu dan ububan, maupun hasil karyanya berupa keris, tombak,

kudi, dan senjata lainnya.

Kemudian disebutkan pula pada Manuskrip Babad Brahmana Pande merupakan

naskah yang paling lengkap yang memuat mengenai seni tempa keris dari berbagai

aspeknya, yang antara lain mengenai yoga, rerajahan, mantra, teknologi, bentuk keris,

pamor, jenis keris dan tuahnya, banten atau sesaji serta jenis keris dan kecocokannya

dengan pemiliknya. Ilmu kepandean keris sebagai ilmu yang atama atau rahasia antara lain

tercantum dalam kalimat berikut:

“mangkana kramanya haywã tãn prayatna, haywã himã-himã, patitis-aknã ring


ŭarran tã, haywã surup, mãpan bwat ŭttãma karma ka” .

Artinya ‘demikianlah halnya jangan tidak hati-hati, jangan meremehkan, itu semua

satukan/konsentrasikan pada dirimu. Jangan sampai salah menggunakan ilmu ini oleh

karena sangat rahasia (utama).

Demikian pula manuskrip Rerajahan Keris menjelaskan bahwa ilmu kacurigan

merupakan ilmu yang sangat rahasia. Manuskrip yang memberikan penjelasan hampir sama

terdapat dalam naskah ‘kaweruh empu’ bahwa kacurigan merupakan ilmu kang sinengker

(dirahasiakan). Haryoguritno menjelaskan bahwa di zaman dahulu (kaweruh

paduwungan/kaweruh kacurigan) dikenal dengan istilah ilmu kang sinengker atau ilmu yang

disembunyikan, mengapa demikian karena tabu untuk dibicarakan secara luas karena

hanya orang-orang dan golongan masyarakat tertentu yang bisa mempelajaarinya. Dunia

perkerisan hanya menjadi monopoli ilmu pengetahuan bagi masyarakat kelas atas dan para

bangsawan (Haryoguritno, 2006: 8). Dampak dari persebaran ilmu perkerisan yang tertutup
tersebut membuat minimnya data tertulis yang ditinggalkan, keadaan ini menyebabkan

sulitnya memperoleh data untuk menguak keagungan keris karena sering terjadi pembiasan

yang terlampau jauh terhadap aspek-aspek tertentu yang berhubungan dengan nilai. Lebih

jauh, dunia keris terdapat aspek yang cukup luas, yaitu aspek etimologis, aspek seni, aspek

bentuk, aspek material, aspek teknologi, aspek filosofis, aspek sejarah dan mistis

(Basuki,2011: 10).

Keris memiliki pengertian makna simbol secara lebih luas dan lebih mendalam bagi

masyarakat Jawa. Pengertian keris sehari-hari oleh masyarakat secara umum dianggap

sebagai senjata tajam yang bersarung dan berbilah lurus atak berlekuk-lekuk. Dalam

kehidupan masyarakat jawa yang keadannya lebih terbuka, pengertian keris mengalami

pertumbuhan makna sejalan dengan perkembangan dari rasa bahasa dan sistem simbol

yang dipahami masyarakat. Keris dimengerti sebagai kaitan maknawi yang cenderung lebih

abstrak dan mendalam (filosofis), sehingga secara kontekstual mengikuti rasa bahasa

tertentu. Beberapa peribahasa yang berkembang di masyarakat menunjukkan terhadap

adanya gejala-gejala seperti itu. Misalnya peribahasa yang berbunyi “ora keris yen ora

keras” (bukan keris kalau tidak kuat atau tegas). “kekeran karono aris” (menjaga diri denga

keris). Pengetian tentang keris yang seperti itu, menunjukkan bahwa peristilahan keris

sebenarnya mengandung pengertian yang khusus tentang hadirnya kekuatan atau

kemampuan yang tidak berwujud, bersumber dari dalam diri sendiri dan tampilan diri sendiri

pula. Sebagai suatu kekuatan, keris dipandang sebagai faktor instrumental yang berfungsi

dalam keadaan tertentu. Fungsi senjata itu akan efektif menjadi suatu kekuatan juga turut

ditentukan oleh orang yang menggunakannya. Kesadaran tersebut mendorong orang Jawa

untuk mengkaji lebih mendalam, dalam kaitan filosofis dan etik (Arifin, 2006: 14-15).

Lebih jauh lagi, keris bagi orang Jawa memiliki pengertian yang mendalam dan

merupakan benda yang dianggap penting karena memiliki muatan nilai yang menjadi acuan

khusus bagi masyarakat, bahkan mempengaruhi sikap-sikap yang bersifat simbolis. Keris

bukan semata-mata sebagai senjata tajam, namun merupakan sebuah objek yang penuh
makna simbolis dan dipercaya memiliki kekuatan supranatural tersembunyi (Centini Jilid 3,

2008:238-244).

2.2.2. Sejarah Mataram

Kesultanan Mataram (Kerajaan Mataram Islam) merupakan kerajaan Islam di tanah

Jawa yang berdiri pada abad ke-17. Kesultanan ini dipimpin oleh dinasti keturunan Ki Ageng

Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai keturunan penguasa Majapahit.

Asal-usul kerajaan Mataram Islam berawal dari suatu Kadipaten di bawah Kesultanan

Pajang, berpusat di 'Bumi Mentaok' yang diberikan untuk Ki Ageng Pemanahan sebagai

hadiah atas jasa yang diberikannya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya

(Panembahan Senapati), ia adalah putra Ki Ageng Pemanahan.

Kerajaan Mataram Islam pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa

dan Madura. Kerajaan ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin

berkuasanya VOC, namun ironisnya Kerajaan ini malah menerima bantuan VOC pada masa

akhir menjelang keruntuhan.

Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian. Kerajaan ini meninggalkan

beberapa jejak sejarah yang dapat ditemui hingga kini, seperti kampung Matraman di

Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Jawa Barat (Pantura), penggunaan hanacaraka,

serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku sampai sekarang.

a. Masa Awal Mataram

Setelah Sutawijaya merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya ia kemudian

naik tahta dengan gelar Panembahan Senopati. Pada masa itu wilayahnya hanya di

sekitar Jawa Tengah, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan

Kesultanan Mataram berada di daerah Mentaok, wilayah nya terletak kira-kira di selatan

Bandar Udara Adisucipto sekarang (timur Kota Yogyakarta). Lokasi keraton pada masa

awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal

kekuasaan diteruskan oleh putranya, yaitu Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar

Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat yang

disebabkan oleh kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Setelah itu, tahta

pindah ke putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati

Martoputro memiliki penyakit syaraf sehingga tahtanya beralih dengan cepat ke putra

sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang. Pada masa pemerintahan Mas

Rangsang, Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaan.

b. Terpecahnya Mataram

Pada tahun 1647 Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered, tidak jauh

dari Karta. Pada saat itu, ia tidak lagi memakai gelar sultan, melainkan 'sunan' (berasal

dari kata 'Susuhunan' atau 'Yang Dipertuan'). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil

karena banyak yang tidak puas dan pemberontakan. Pernah terjadi pemberontakan

besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat untuk berkomplot

dengan VOC. Pada tahun 1677 Amangkurat I meninggal di Tegalarum ketika mengungsi

sehingga ia dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat

Amral), sangat tunduk pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak suka dan

pemberontakan terus terjadi. Pada tahun 1680 kraton dipindahkan lagi ke Kartasura.

karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.

Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (tahun 1703-1708),

Pakubuwana I (tahun 1704-1719), Amangkurat IV (tahun 1719-1726), Pakubuwana II

(tahun 1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena ia tidak patuh (tunduk)

kepada VOC sehingga VOC menobatkan Pakubuwana I sebagai raja. Akibatnya

Mataram memiliki dua orang raja dan hal tersebut menyebabkan perpecahan internal di

Kerajaan. Amangkurat III kemudian memberontak dan menjadi ia sebagai "king in exile"

hingga akhirnya tertangkap di Batavia dan dibuang ke Ceylon.

Kekacauan politik ini baru terselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah

pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan

Ngayogyakarta (Pada 13 Februari 1755). Pembagian wilayah ini tertuang dalam

Perjanjian Giyanti. Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah.
Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kasunanan

Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta merupakan 'ahli waris' dari Mataram.

Tabel 2.2 Peristiwa dan Periode Pemerintahan


Pada Masa Kerajaan Mataram Yogyakarta
N
TAHUN PERISTIWA
O
Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan
1 1558 Pajang Adiwijaya atas jasanya yang telah mengalahkan Arya
Penangsang
Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau
2 1577
Kotagede
Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat
Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru
(raja) di Mataram, yang sebelumnya sebagai putra angkat Sultan
3 1584
Pajang bergelar "Mas Ngabehi Loring Pasar". Ia mendapat gelar
"Senapati in Ngalaga" (karena masih dianggap sebagai Senapati
Utama Pajang).
Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-
4 1587 poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi, namun
Sutawijaya dan pasukannya selamat.
Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan,
5 1588 bergelar 'Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama' yang artinya
Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang
yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal
6 1601
sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat
berburu di hutan Krapyak
Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran
7 1613 Aryo Martoputro. Karena Pangeran Aryo sering sakit, kemudian
digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang.
Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan
8 1645
Amangkurat I.
1645 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram,
9
1677 yang dimanfaatkan oleh VOC
10 1677 Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan
Amangkurat I meninggal. Putra Mahkota dilantik menjadi
Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang
N
TAHUN PERISTIWA
O
diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah
dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
Susuhunan Amangkurat II memindahkan pusat pemerintahan (ibu
11 1680
kota) ke Kartasura
12 1681 Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered.
Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi
13 1703
Susuhunan Amangkurat III.
Atas pertolongan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai
Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708).
14 1704
Susuhunan Amangkurat III kemudian membentuk pemerintahan
pengasingan.
Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka
15 1708
sampai wafatnya pada 1734
Susuhunan Paku Buwono I meninggal kemudian digantikan putra
16 1719 mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu
Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta Jawa Kedua (1719-1723)
Susuhunan Amangkurat IV meninggal kemudian digantikan Putra
17 1726
Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku
18 1742
Buwana II berada dalam pengasingan.
Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari
tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah
perjanjian yang sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram
19 1743
kepada VOC selama Mataran belum melunasi hutang biaya
perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II
sebagai imbalan atas pertolongan yang diberikan VOC.
Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa
20 1745
Sala di tepian Bengawan Beton.
Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru
yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara
Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus
21 1746
Perang Tahta Jawa Ketiga yang berlangsung lebih dari 10 tahun
(1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua
Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
11 Desember Paku Buwono II menandatangani penyerahan
kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto
Mataram baru ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember
22 1749 Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai
Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. pada 15
Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai
Susuhunan Paku Buwono III.
Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di daerah
23 1752 Pesisiran (daerah pantura) mulai dari Banten sampai Madura.
Perpecahan Mangkubumi-Raden Mas Said
Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian.
Pada tanggal 23 September, Nota Kesepahaman Hartingh-
24 1754 Mangkubumi. 4 November, Paku Buwana III meratifikasi nota
kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain
selain meratifikasi nota yang sama.
25 1755 13 Februari menjadi Puncak perpecahan, hal ini ditandai dengan
Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua,
yaitu Kesunanan Surakarta dan Yogyakarta. Pangeran
N
TAHUN PERISTIWA
O
Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan
gelar 'Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono
Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama
Khalifatullah' atau dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I
Perpecahan kembali melanda Kerajaan Mataram. sehingga
muncul Perjanjian Salatiga, perjanjian yang lebih lanjut membagi
wilayah Kesultanan Mataram yang sudah terpecah,
ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga antara Sultan
26 1757
Hamengku Buwono I, Sunan Paku Buwono III, Raden Mas
Said dan VOC. Raden Mas Said kemudian diangkat sebagai
penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran
yang terlepas dari Kesunanan Surakarta.
27 1788 wafat nya Susuhunan Paku Buwono III
28 1795 wafat nya KGPAA Mangku Nagara I wafat
29 1799 dibubarkan nya VOC oleh Belanda
Akhir perang Diponegoro. Semua daerah kekuasaan Surakarta
dan Yogyakarta dirampas Belanda. Pada 27 September,
Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta
30 1830 dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan
Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem
Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram
secara resmi dikuasai Belanda.

Anda mungkin juga menyukai