KAJIAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Kebijakan
2.1.1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
a. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
1. Pasal 1 ayat 1, “Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi
2. Pasal 1 ayat 3, “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud
kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat
4. Pasal 1 ayat 5, “Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan
hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan”
5. Pasal 1 ayat, “10 Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki
fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang
mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan
ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung
Jadi dari ketentuan umum tersebut sangat jelas sekali bahwa Museum Keris Nusantara
Kota Surakarta merupakan tempat wisata yang memiliki keunikan daya tarik wisata
melalui Koleksinya yang didukung juga oleh Pemerintah Daerah serta stakeholder yang
nantinya berhubungan erat dengan pengembangan Kawasan stategis pariwisata di Kota
Surakarta.
dan kesatuan.
c. Bab VII Hak, Kewajiban dan Larangan bagian kedua Kewajiban pasal 23 poin C
mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya Tarik wisata dan
asset potensial yang belum tergali”. Dijelaskan bahwa peran pemerintah daerah untuk
memelihara, mengembangkan dan melestarikan sudah sangat jelas, dalam hal ini
Pemerintah Daerah Kota Surakarta yaitu dengan mendirikan Museum Keris Nusantara
Kota Surakarta. Selain itu, pada pasal 26 juga disampaikan mengenai kewajiban setiap
pengusaha pariwisata yang salah satunya adalah “memberikan informasi yang akurat
2.1.2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-
pemerintah pusat dan Daerah Povinsi dan Daerah Kabupaten/Kota pada kolom V.
ditingkat kabupaten/kota.
a. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 8,”Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu
alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan
wisata.”
Koleksi keris di Museum Keris Nusantara Kota Surakarta menjadi salah satu daya tarik
wisata Indonesia. Karena koleksi yang berada di museum ini memiliki keunikan dan
kebudayaan yang tak ternilai harganya dan merupakan hasil karya buatan manusia,
dalam hal ini ahli besi (pande besi) atau empu keris.
2.1.4. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 Tentang
a. Bab I Ketentuan Umum Pasal 2,”Usaha daya Tarik Wisata adalah usaha pengelolaan
daya Tarik wisata alam, daya Tarik wisata budaya, dan/atau daya Tarik wisata/binaan
manusia”.
b. pasal 6,”usaha pengelolaan Museum adalah usaha penyediaan tempat dan fasilitas,
serta kegiatan pameran cagar budaya, benda seni,koleksi dan/atau replica yang
memiliki fungsi edukasi, rekreasi dan riset untuk mendukung pengembangan pariwisata
keuntungan”.
c. Bab II usaha Pariwisata bagian kedua Pasal 7 poin D tentang bidang usaha daya
2.1.5. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 28
Perkalanan Insentif, Konferensi, dan Pameran tidak dijabarkan secara khusus terkait
dengan museum dan cagar budaya. Lebih banyak menjelaskan mengenai standar usaha
2.1.6. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 Tentang
Pedoman Destinasi pariwisata Berkelanjutan juga dijelaskan mengenai Daya Tarik Wisata.
Dimana daya Tarik wisata yang memiliki nilai-nilaki luhur harus senantiasa dilestarikan untuk
Pemerintah daerah dalam membuat pedoman daya Tarik wisata harus sesuai
dengan indicator United nation World Tourism Organization (UNWTO) dan mendapatkan
pengakuan dari Global Sustainable Tourism Council (GSTC), sehingga harapannya dapat
mensinergikan, memperkuat tradisi dan kearifan local masyarakat yang multicultural dalam
mengelola daya tarik lingkungan alam dan budaya di destinasi pariwisata secara terpadu
dan berkelanjutan. Karena daya tarik wisata terutama Museum Keris Nusantara kota
Surakarta memiliki keunikan, keindahan, nilai budaya, dan hasil buatan manusia yang
2.1.7. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2016 tentang Rencana Induk
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 tahun 2016 tentang Rencana Induk
Sriwedari.
Kawasan Pariwisata Strategis daerah adalah (KSPD) adalah Kawasan yang memiliki
fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata Daerah
yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan
ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan
Sudah menjadi kenyataan bahwa karya tosan aji yang paling menonjol adalah keris
yang merupakan senjata penusuk pendek yang terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian
bilah dan ganja yang melambangkan lingga dan yoni. Dalam falsafah jawa yang memiliki
akar kuat pada falsafah agama Hindu, persatuan lingga dan yoni merupakan perlambang
harapan atas kesuburan, keabadian (kelestarian) dan kekuatan (Hasrinuksmo, 2008; 8-10).
Keris juga dapat diartikan sebagai senjata tikam yang bentuknya indah, asimetris (baik lurus
maupun luk), dan terbuat dari dua, tiga, atau beberapa macam logam yang ditempa menjadi
satu (Haryoguritno, 2006; 26). Data prasasti membuktikan bahwa pndai wsi (pandai besi)
sudah ada di abad X (Jones, 1984; 50), bukti-bukti penggunaan senjata terbuat dari logam
pada candi-candi abad VIII-IX tentunya dapat menjadi asumsi bahwa para pande pada abad
X sudah sangat terampil membuat senjata-senjata yang menjadi cikal bakal dari keris yang
Keris sebagai salah satu karya budaya masyarakat Nusantara dalam bidang
teknologi tempa logam, tentunya memiliki keberagaman corak yang diperkirakan mulai
berkembang pada abad VI atau VII. G.B. Gardner dalam Hasrinuksmo menyatakan bahwa
keris adalah perkembangan bentuk dari senjata tikam masa prasejarah, sedangkan A.J.
Barnet Kempers menduga prototype keris merupakan perkembangan bentuk dari senjata
penusuk pada zaman perunggu (Hasrinuksmo, 2008;27). Ma Huan mencatat bahwa keris
mencapai puncaknya pada masa Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu kemampuan membuat
keris telah menyebar sampai Palembang, Riau, Semenanjung Malaya, Brunai Darussalam,
Filipina Selatan, Kamboja, Campa, bahkan sampai ke Surathani dan Pathani di Thailand
bagian selatan (Hasrinuksmo, 2008; 27). Dijelaskan oleh Ma Huan dalam laporannya bahwa
di Jawa setiap laki-laki sejak umur 3 tahun sampai dengan orang tua, baik orang
kebanyakan atau berada, mengenakan keris yang pegangannya diukir indah, terbuat dari
emas, cula badak, atau gading gajah. Apabila mereka bertengkar, maka dengan cepat
masing-masing telah siap dengan kerisnya (Direktorat Peninggalan Purbakala, 2006; 30).
tetap bertahan pada era selanjutnya. Contohnya unsur arsitektural bentuk atap tumpang,
seni ukir sulur-suluran, tumbuhan melata (kalpatala), penataan halaman istana menjadi tiga,
termasuk pembuatan senjata jenis keris yang semakin anggun bentuknya (Direktorat
Peninggalan Purbakala, 2006; 33). Jenis kerispun semakin berkembang dan menyebar ke
berbagai daerah di Nusantara pada masa Demak, Mataram, dan masa-masa berikutnya.
Sebagai karya budaya bersifat material, keris dapat dipandang sebagai objektivitas
ide, nilai, norma, peraturan, maupun perilaku masyarakat yang diwujudkan ke dalam bentuk
tertentu. Hal ini, mencerminkan budaya masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, wujud
keris di suatu daerah akan berbeda dengan wujud keris yang dihasilkan di daerah lain.
Perbedaan tersebut tidak secara kebetulan semata, akan tetapi memiliki latar belakang
pemikiran yang menghasilkan karakteristik khusus menurut kebutuhan budayanya. Hal ini,
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti letak geografis, kepercayaan adat-istiadat, tatanan
sosial, gaya hidup, dan kepercayaan, serta tentunya dipengaruhi pula oleh masa atau waktu
ketika keris itu dibuat (tangguh). Keris yang memiliki jenis dan kegunaan yang sama
sekalipun akan menampilkan citra bentuk yang berbeda, hal ini merupakan pencitraan
Kata kris berate “menghunus” (Haryoguritno, 2006: 30). Senada dengan pendapat
tersebut, kusni memberikan penjelasan bahwa istilah keris sebagai artefak berasal dari
gabungan dua suku kata, yaitu ke dari asal kata “kekeran” dan ris dari asal kata “aris”. Arti
kata “kekeran” sendiri memiliki arti “pagar, penghalang, peringatan, atau pengendalian”,
sedangkan “aris” mempunyai arti “tenang, lambat, atau halus” (Kusni 1979: 108). Munculnya
istilah keris ini diperkirakan bermuara dari bahasa Jawa Ngoko yang terbentuk melalui
proses jarwadosok . Dalam pemahaman ini terlihat bahwa keris sebagai senjata tajam yang
olah kata seperti itu. Tersimpan harapan di dalam penghalusan itu bahwa keris dapat
berfungsi untuk melindungi pemiliknya dari ancaman yang bersifat fisik ataupun nonfisik
(Arifin, 2006:15: Lumintu, 2002:10). Sebagai pelindung itu pengameng-ameng, keris juga
memberikan pengertian berikut bahwa kata “aris” atau “haris” berarti kelakuan atau tindak-
tanduk yang tenang, sabar, lemah lembut, halus. Ia mencontohkan istilah anharis, inaris,
dengan hati-hati (baik hati, dengan lemah lembut), dengan mesra, dan kasih sayang.
Kebalikan dari aris atau haris adalah tan haris atau tan aris yang artinya keras, kasar,
bengis, sengit, dan galak (1997:340). Istilah pendukung lainnya dijumpai dalam istilah akris
artinya menggunakan keris yang anris, kinkris, silih keris yang artinya menusuk dengan
menggunakan keris (1997:520). Akan tetapi G.P.H Hadiwidjojo berpendapat bahwa kata
keris yang berasal dari bahasa jawa kuno sebenarnya tumbuh dari akar kata kres dalam
Istilah keris juga dijumpai pada prasasti-prasasti kuno sebagai sumber data
arkeologis. Data tertua yang menyebutkan istilah keris diperoleh dari lempengan prasasti
perunggu asal Karang Tengah berangka tahun 748 saka (842 Masehi) yang ditemukan di
menyebutkan beberapa sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak. Sesaji
itu antara lain berupa kres, wangkiul, tewek punukan, wsi penghatap (Hasrinuksmo,
2008:24). Demikian pula yang tertulis dalam prasasti Tukmas tahun 748 saka (842 Masehi)
dan prasasti Humanding tahun 797 saka (875 Masehi) yang ditemukan di Kelurahan
Krapyak, Kec. Kenaren, Kalasan Yogyakarata. Isi prasasti Humanding tersebut antara lain:
[….] mas ma 4 wdihan ranga yu 4 wadun 1 rinwas 1 patuk 1 kres 1 lukai rwak
punukan 1 landuk 1 lingis n[…].
Artinya :
[…] emas ma pola rangga 4 yu, sebilah wedung, sebilah kapak penebang
kayu, sebilah beliung, sebilah keris Sebilah parang, sebilah parang dengan kapak
dibelakang bilahnya, sebuah cangkul dan sebuah linggis […] (Timbul Haryono,
2001).
Prasasti Rukam (829 saka atau 907 Masehi) mengelompokkan keris sebagai alat
atau dan senjata yang terbuat dari besi. Isi prasasti tersebut menyebutkan bahwa :
[…] segala keperluan yang dibuat dari besi berupa kapak perimbas, beliung,
sabit, tampilan, linggis, pahat, mata bajak, keris, tombak, pisau, ketam, kampit, jarum
[…] (Timbul Haryono, 2001).
Data arkeologis lain yang menyebutkan istilah keris terdapat pada prasasti Jurungan
yang berangka tahun 798 Saka (876 Masehi), prasasti Taji 823 Saka (901 Masehi), prasasti
Poh 827 Saka (905 Masehi), prasasti Wakajana 829 Saka (907 Masehi), dan prasasti
Sanggaran 850 Saka (928 Masehi), dan prasasti Bulian 1103 Saka (1181 Masehi) (Neka
dan Yuwono, 2010:33-38). Selain itu, ditemukan juga beberapa prasasti yang menceritakan
keberadaan juru pande, antara lain prasasti Sukawana A1 tahun 804 Saka (882 Masehi),
prasasti Pura Kehen C tahun 1126 Saka (1204 Masehi), prasasti Tambelingan 1 dan 2
tahun 1306 dan 1320 Saka (1384 dan 1398 Masehi) (Neka dan Yuwono, 2010:38).
Catatan dalam prasasti tersebut menunjukkan bahwa keris telah dikenal pada
kisaran awal abad VIII, dan istilah kris telah cukup popular di masyarakat pada masa itu.
Berbagai temuan arkeologis tersebut mununjukkan bahwa bila ditekusur ke belakang ada
indikasi bahwa istilah ‘keris’ berasal dari bahasa Sansekerta. Data arkeologis berupa
prasasti tersebut rata-rata menyebut istilah ‘kres’ dalam konteks bahasa Sansekerta yang
kemudian berubah penyebutannya menjadi ‘kris’ dalam bahasa Jawa kuna dan kemudian
menjadi ‘keris’ dalam bahasa Jawa Baru dan yang diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia
Keris sebagai salah satu puncak karya seni tradisional bidang tempa logam, terdapat
hampir di seluruh Nusantara. Temuan arkeologis dan data sejarah menunjukkan bahwa
keris pada awalnya dibuat di pulau Jawa (Haryoguritno, 2006: 10). Demikian pula dengan
istilah ‘keris’ berasal dari Jawa sebelum menyebar dan popular dipergunakan hampir di
keris di luar Pulau Jawa misalnya di Bali disebut kadutan, di Sumatera Barat disebut karih
atau karieh, di Sulawesi Selatan disebut selle, tappi atau tapping, di Minahasa disebut
kekesur, di Aceh disebut ponok, di Filifina disebut sundang atau sondang, di Lampung
disebut terapang, di Madura disebut kerris, dan lain sebagainya (Sumitarsih dkk, 1990: 2).
Selain itu di Jambi keris juga dikenal dengan istilah koksi (Totok Brojodiningrat, wawancara,
2011).
Selain itu, dapat dijumpai pula dari relief-relief yang tergambar pada badan Candi
Borobudur. Dapat dilihat pada relief Candi Borobudur di sudut bawah bagian tenggara,
tergambar beberapa orang prajurit yang membawa senjata tajam yang mirip dengan keris
yang kita kenal sekarang ini. Di candi Sewu juga terlihat dwarapala (2 arca prajurit) raksasa
yang membawa senjata tajam/tikam yang diselipkan pada pinggang yang mirip dengan
senjata keris.
Sementara itu, edisi pertama dan kedua yang disusun oleh Prof. P. A. Van Der Lith
menyebutkan, sewaktu stupa induk Candi Borobudur yang dahulu dibangun pada tahun 875
M tersebut dibongkar, ditemukan sebilah keris tua. Keris tersebut menyatu antara bilah
dengan hulunya. Tetapi bentuk keris tersebut tidak serupa dengan keris yang tergambar
Selain itu, Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java (1817),
pernah menyebutkan bahwa pernah melihat seorang prajurit Jawa yang menyandang tiga
buah keris sekaligus. Disebutkan pula dama bukunya, bahwa tidak kurang dari 30 jenis
senjata yang dimiliki dan digunakan oleh Prajurit Jawa waktu itu, termasuk senjata api, tetapi
dari aneka ragam senjata itu, keris menempati kedudukan yang sangat istimewa.
dapat kita jumpai pada relief di Candi Sukuh. Pada Candi Sukuh digambarkan cara
pembuatan keris yang hampir sama dengan proses pembuatan keris pada masa sekarang
ini, baik peralatan kerja, palu dan ububan, maupun hasil karyanya berupa keris, tombak,
naskah yang paling lengkap yang memuat mengenai seni tempa keris dari berbagai
aspeknya, yang antara lain mengenai yoga, rerajahan, mantra, teknologi, bentuk keris,
pamor, jenis keris dan tuahnya, banten atau sesaji serta jenis keris dan kecocokannya
dengan pemiliknya. Ilmu kepandean keris sebagai ilmu yang atama atau rahasia antara lain
Artinya ‘demikianlah halnya jangan tidak hati-hati, jangan meremehkan, itu semua
satukan/konsentrasikan pada dirimu. Jangan sampai salah menggunakan ilmu ini oleh
merupakan ilmu yang sangat rahasia. Manuskrip yang memberikan penjelasan hampir sama
terdapat dalam naskah ‘kaweruh empu’ bahwa kacurigan merupakan ilmu kang sinengker
paduwungan/kaweruh kacurigan) dikenal dengan istilah ilmu kang sinengker atau ilmu yang
disembunyikan, mengapa demikian karena tabu untuk dibicarakan secara luas karena
hanya orang-orang dan golongan masyarakat tertentu yang bisa mempelajaarinya. Dunia
perkerisan hanya menjadi monopoli ilmu pengetahuan bagi masyarakat kelas atas dan para
bangsawan (Haryoguritno, 2006: 8). Dampak dari persebaran ilmu perkerisan yang tertutup
tersebut membuat minimnya data tertulis yang ditinggalkan, keadaan ini menyebabkan
sulitnya memperoleh data untuk menguak keagungan keris karena sering terjadi pembiasan
yang terlampau jauh terhadap aspek-aspek tertentu yang berhubungan dengan nilai. Lebih
jauh, dunia keris terdapat aspek yang cukup luas, yaitu aspek etimologis, aspek seni, aspek
bentuk, aspek material, aspek teknologi, aspek filosofis, aspek sejarah dan mistis
(Basuki,2011: 10).
Keris memiliki pengertian makna simbol secara lebih luas dan lebih mendalam bagi
masyarakat Jawa. Pengertian keris sehari-hari oleh masyarakat secara umum dianggap
sebagai senjata tajam yang bersarung dan berbilah lurus atak berlekuk-lekuk. Dalam
kehidupan masyarakat jawa yang keadannya lebih terbuka, pengertian keris mengalami
pertumbuhan makna sejalan dengan perkembangan dari rasa bahasa dan sistem simbol
yang dipahami masyarakat. Keris dimengerti sebagai kaitan maknawi yang cenderung lebih
abstrak dan mendalam (filosofis), sehingga secara kontekstual mengikuti rasa bahasa
adanya gejala-gejala seperti itu. Misalnya peribahasa yang berbunyi “ora keris yen ora
keras” (bukan keris kalau tidak kuat atau tegas). “kekeran karono aris” (menjaga diri denga
keris). Pengetian tentang keris yang seperti itu, menunjukkan bahwa peristilahan keris
kemampuan yang tidak berwujud, bersumber dari dalam diri sendiri dan tampilan diri sendiri
pula. Sebagai suatu kekuatan, keris dipandang sebagai faktor instrumental yang berfungsi
dalam keadaan tertentu. Fungsi senjata itu akan efektif menjadi suatu kekuatan juga turut
ditentukan oleh orang yang menggunakannya. Kesadaran tersebut mendorong orang Jawa
untuk mengkaji lebih mendalam, dalam kaitan filosofis dan etik (Arifin, 2006: 14-15).
Lebih jauh lagi, keris bagi orang Jawa memiliki pengertian yang mendalam dan
merupakan benda yang dianggap penting karena memiliki muatan nilai yang menjadi acuan
khusus bagi masyarakat, bahkan mempengaruhi sikap-sikap yang bersifat simbolis. Keris
bukan semata-mata sebagai senjata tajam, namun merupakan sebuah objek yang penuh
makna simbolis dan dipercaya memiliki kekuatan supranatural tersembunyi (Centini Jilid 3,
2008:238-244).
Jawa yang berdiri pada abad ke-17. Kesultanan ini dipimpin oleh dinasti keturunan Ki Ageng
Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai keturunan penguasa Majapahit.
Asal-usul kerajaan Mataram Islam berawal dari suatu Kadipaten di bawah Kesultanan
Pajang, berpusat di 'Bumi Mentaok' yang diberikan untuk Ki Ageng Pemanahan sebagai
hadiah atas jasa yang diberikannya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya
Kerajaan Mataram Islam pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa
dan Madura. Kerajaan ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin
berkuasanya VOC, namun ironisnya Kerajaan ini malah menerima bantuan VOC pada masa
beberapa jejak sejarah yang dapat ditemui hingga kini, seperti kampung Matraman di
serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku sampai sekarang.
naik tahta dengan gelar Panembahan Senopati. Pada masa itu wilayahnya hanya di
Kesultanan Mataram berada di daerah Mentaok, wilayah nya terletak kira-kira di selatan
Bandar Udara Adisucipto sekarang (timur Kota Yogyakarta). Lokasi keraton pada masa
kekuasaan diteruskan oleh putranya, yaitu Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar
Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat yang
disebabkan oleh kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Setelah itu, tahta
pindah ke putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati
Martoputro memiliki penyakit syaraf sehingga tahtanya beralih dengan cepat ke putra
sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang. Pada masa pemerintahan Mas
b. Terpecahnya Mataram
Pada tahun 1647 Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered, tidak jauh
dari Karta. Pada saat itu, ia tidak lagi memakai gelar sultan, melainkan 'sunan' (berasal
dari kata 'Susuhunan' atau 'Yang Dipertuan'). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil
karena banyak yang tidak puas dan pemberontakan. Pernah terjadi pemberontakan
besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat untuk berkomplot
dengan VOC. Pada tahun 1677 Amangkurat I meninggal di Tegalarum ketika mengungsi
Amral), sangat tunduk pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak suka dan
pemberontakan terus terjadi. Pada tahun 1680 kraton dipindahkan lagi ke Kartasura.
(tahun 1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena ia tidak patuh (tunduk)
Mataram memiliki dua orang raja dan hal tersebut menyebabkan perpecahan internal di
Kerajaan. Amangkurat III kemudian memberontak dan menjadi ia sebagai "king in exile"
Kekacauan politik ini baru terselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah
pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan
Perjanjian Giyanti. Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah.
Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kasunanan