Anda di halaman 1dari 50

DERMATITIS NUMULARIS

DEFINISI Peradangan kulit yang bersifat klinis ditandai dengan lesi berbentuk uang koin, batas tegas, dengan efluoresensi
berupa papulovesikel yang mudah pecah.
ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT

ANATOMI/HISTOLOGI
Kulit terdiri dari 3 lapisan:
1. Epidermis
- Stratum Korneum  mengalami keratinisasi
- Stratum Lusidum  banyak pada kulit tebal (telapak kaki dan tangan)
- Stratum Granulosum  memiliki tight junction untuk mencegah hilangnya cairan dan membantu
difusi ke lapisan dermis dibawahnya
- Stratum Spinosum  terdapat sel Langerhans
- Stratum Basale  terdiri dari sel yang aka berdeferensiasi
2. Dermis
- Tersusun atas sel fibroblast (produksi kolagen), folikel rambut dan kelenjar keringat, ujung saraf /
reseptor raba + nyeri
- Lapisan:
 Pars Papilare : Terdiri atas jaringan ikat longgar , kolagen tipe I dan III, fibroblas, sel mast, sel
dendritik, leukosit.
 Pars Retikulare : Terdiri atas jaringan ikat padat (kolagen tipe I), folikel rambut, kelenjar
keringat dan sebum, serta deep plexus
3. Hipodermis/Subkutis
- Lapisan lemak, terdapat juga pembuluh darah dan limfe, follikel rambut, kelenjar keringat, ujung
saraf tepi / reseptor suhu + tekanan

FISIOLOGI
1. Fungsi Proteksi: proteksi fisik (stratum korneum, keratin cytoskeleton, adhesi sel), proteksi dari panas
dan dingin (regulasi aliran darah, keringat, cadangan panas pada lemak, termoregulasi), proteksi sinar
UV, proteksi zat kimia, proteksi mikroba
2. Fungsi Absorsi: contohnya absorbsi obat-obat topical
3. Fungsi Ekskresi: kelenjar keringat mengeluarkan sisa-sisa metabolisme dan air, sebum keluarkan asam-asam
lemak yang tidak diperlukan
4. Fungsi Persepsi: ada ujung-ujung saraf
5. Fungsi termoregulasi: suhu tubuh tinggi  keluarkan keringat, suhu tubuh rendah  tahan keringat
keluar
6. Keratinisasi (perlindungan secara mekanik)
7. Fungsi pembentukan vitamin D: provitamin D dihasilkan di hati lalu diubah jadi vitamin D di kulit dengan
bantuan matahari)
8. Fungsi pigmen
ETIOLOGI Idiopatik (sampai saat ini belum diketahui)
Faktor predisposisi:
1. Infeksi Staphylococcus  lewat mekanisme hipersensitivitas
2. Kelembapan kulit menurun (kulit kering)  dapat terbentuk fissure yang akan menjadi port de entry
untuk alergen
3. Trauma fisik/kimia  contoh: trauma local seperti gigitsn serangga
4. Konflik emosional
5. Kontak bahan tertentu  kontak dengan bahan kimia bisa menyebabkan trauma fisik sehingga
memudahkan allergen untuk masuk
TANDA DAN GEJALA KLINIS  Tanda khas: lesi bentuk nummular/koin
- Lesi akut: plak eritematosus, bentuk koin, batas tegas, terbentuk dari papulovesikel yang
berkonfluens, ukuran 1 – 3 cm
- Lesi kronik: (1 – 2 minggu) plak kering  krusta kekuningan, berskuama, likenifikasi
 Gejala utama: sangat gatal karena ada peningkatan jumlah mast cell  pelepasan histamin
 Cenderung berulang
 Lesi 1/multiple
 Effloresensi : papulovesikel berkonfluens, vesikel pecah jadi krusta kekuningan, batas tegas
 Predileksi:
- Ekstremitas atas + punggung tangan  cewe
- Ekstremitas bawah  cowo
PATOFISIOLOGI
Notes:
1. Adanya fissura pada permukaan kulit yang kering dan gatal dapat menyebabkan masuknya alergen dan
mempengaruhi terjadinya peradangan pada kulit.
2. Barrier pada kulit yang lemah pada kasus ini menyebabkan peningkatan untuk terjadinya dermatitis
kontak alergi oleh bahan-bahan yang mengandung metal.
3. Adanya peningkatan jumlah mast cell pada area lesi  gatal
4. Peran neurogenik  menyebabkan inflamasi pada dermatitis numular dan dermatitis atopik  pelepasan
histamin dan mediator inflamasi lainnya dari mast cell yang kemudian berinteraksi dengan neural C-
fibers dapat menimbulkan gatal.
5. Substansi P dan kalsitonin terikat rantai peptide meningkat pada daerah lesi  Neuropeptida ini
dapat
menstimulasi pelepasan sitokin lain sehingga memicu timbulnya inflamasi.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 1. Pityriasis Rosea
Hearld patch, christmas three, gambaran klinisnya bisa menyerupai dermatitis nummular tetapi
umumnya terdapat sebuah lesi yang besar yang mendahului terjadinya lesi yang lain.
2. Dermatitis Kontak Alergi
Biasanya lokal dan ditemukan riwayat kontak sebelumnya. Untuk membedakan dapat dilakukan
pemeriksaan patch test (+) atau prick test.
3. Tinea Korporis
Infeksi jamur disebabkan oleh dermatofita. Bentuk lesi dengan pinggir aktif dan central healing.
Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan KOH (+).
4. Dermatitis Seboroik
Berada pada daerah seboroik.
TATALAKSANA Non-farmakoterapi
1. Menemukan, mengatasi, dan menghindari etiologi yang mendasari/memicu terjadinya dermatitis.
2. Pelembab/emolien
Edukasi kepada pasien untuk menjaga kulit agar selalu lembab.
3. Melindungi kulit dari trauma (garukan).
Farmakoterapi
1. Kortikosteroid topikal menengah-kuat krim/salep (kurangi reaksi inflamasi)
2. Preparat ter (liquor carbonis detergen 5- 10%)
3. Calcineurin inhibitor  takrolimus/pimekrolimus (kurangi reaksi inflamasi)
4. Antibiotik (jika diduga ada infeksi bakteri)
5. Kortikosteroid sistemik (jika kasus berat)  metil prednisolone.
6. Antihistamin oral (untuk gatal)  cetirizin, loratadine
7. Fototerapi jika berat
PROGNOSIS Cenderung sering berulang.
 Quo ad vitam : bonam (mati/hidup)
 Quo ad function : bonam (fungsi)
 Quo ad sanationam : bonam (kosmetik)
PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Histopatologi
a. Lesi akut
b. Lesi subakut
c. Lesi kronik
2. Tes tempel (patch test): untuk DD Dermatitis Kontak Iritan/Alergi.
3. Tes KOH : untuk DD tinea korporis.
4. Tes Kultur bakteri: untuk DD staphylococcus yang lain.
KOMPLIKASI 1. Gangguan tidur akibat rasa gatal yang hebat
2. Infeksi sekunder oleh bakteri
EPIDEMIOLOGI Secara epidemiologi laki-laki, usia dewasa, jarang pada anak-anak,
PITYRIASIS ROSEA
DEFINISI Erupsi papuloskuamous yang bersifat akut dan diawali dengan munculnya macula/plak eritem dengan skuama
halus
(herald patch) disusul lesi yang lebih kecil di badan/ekstremitas proksimal yang tersusun seuai lipatan kulit
(Christmas tree)
ANATOMI DAN FISIOLOGI [SAMA]
ETIOLOGI Idiopatik
Diduga karena:
1. Virus HHV-6 dan HHV-7 (paling sering)
Hal ini dinilai dari penemuan partikel virus intranuklear dan intrasitoplasma, serta peningkatan kadar
cluster of differentiation 4 (CD4) dan sel langerhans di dermis kulit penderita PR yang menandakan
adanya infeksi oleh virus
2. Erupsi obat (bismuth, barbiturate, kaptopril, dan lain-lain )
3. Agen Biologik
4. Vaksinasi (vaksinasi cacar)
5. Trauma
6. Nutrisi
TANDA DAN GEJALA KLINIS TANDA
1. Lesi Primer
Herald Patch/Mother Plaque  plak bersisik besar. Umumnya lesi ini berada di badan, soliter, berbentuk
oval dan anular, diameternya kurang lebih 2-5 cm. Ruam terdiri dari eritema dan skuama halus di
pinggir. Lamanya beberapa hari hingga beberapa minggu.
2. Lesi Sekunder  muncul setelah 4 – 10 hari
Gambaran khas sama dengan lesi pertama namun lebih kecil, susunannya mengikuti lipatan kulit di
bagian trunkus atau sejajar kosta dan ekstremitas atas (Langer’s line). Pola distribusi lesi ini menyerupai
pohon cemara terbalik (Christmas-tree).

 Predileksi : bahu, badan, gluteus, kaki


 Effloresensi : eritema, skuama halus, lesi awal herald patch, lesi kedua muncul 4-10 hari sama dengan
lesi awal tetapi lebih kecil

GEJALA
Umumnya tidak terdapat gejala konstitusional.
1. Bisa ada flu-like syndrome  malaise, nyeri kepala, nausea, demam, penurunan nafsu makan maupun
artralgia. (disebabkan karena infeksi virus)
2. Gatal sekitar lesi (bisa ada, bisa tidak)
PATOFISIOLOGI

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 1. Tinea Korporis


Gambaran klinis memang mirip karena terdapat eritema dan skuama di tepi lesi dan berbentuk anular.
- Hal yang membedakan adalah pada tinea korporis: 1) gatal lebih berat, 2) skuama kasar, 3) pemeriksaan
KOH positif.
2. Sifilis
Pitiriasis rosea tipe papular tanpa plak primer menyerupai sifilis sekunder.
- Sifilis: terdapat riwayat chancre dan tidak ada riwayat herald patch, tampak juga keterlibatan
telapak tangan dan kaki, pembesaran kelenjar getah bening, kondiloma lata dan tes serologic sifilis
positif.
3. Dermatitis Numularis
Plak biasanya berbentuk sirkular, bukan oval. Lesi ditemukan lebih banyak di tungkai bawah atau
punggung tangan (tempat yang jarang ditemukan pada pitiriasis rosea).
TATALAKSANA Self- limiting disease  tatalaksana suportif.
1. Terapi kausatif
a. Virus  acyclovir
2. Terapi simptomatis
a. Antihistamin (untuk pruritus)  cetrizin 1X10 mg, loratadine 1X10 mg
b. Topikal agen keratolisis  bedak as. Salisilat + mentol (untuk pruritus)
c. Flu + kelaianan kulit  acyclovir 5x800 mg/ hari 1 pekan
d. Kelainan luas  UVB : sinar UVB hambat sel langerhans sebagai APC
e. Kortikosteroid topikal & sistemik ( jika lesi luas)
3. Edukasi Pasien
a. Self-limiting disease
b. Pengobatan untuk menurunnkan gejala
c. Menghindari lesi terpapar bahan yang berpotensi mengiritasi kulit, seperti zat pembersih.
PROGNOSIS Prognosis pitiriasis rosea adalah baik  self-limitting sehingga dapat sembuh spontan tanpa sekuele, tanpa
pemberian obat apapun dalam waktu 3 – 8 minggu. Lesi pada pitiriasis rosea memiliki kemungkinan untuk
menjadi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi pascainflamasi tanpa timbulnya jaringan parut.
 Quo ad vitam: bonam
 Quo ad functionam: bonam
 Quo ad sanationam: bonam
EPIDEMIOLOGI Secara epidemiologi laki-laki lebih sering kena, berdasarkan status dermatologi predileksi kasus sesuai dengan
predileksi ptiriasis rosea yakni di daerah trunkus, lengan, tungkai atas, pada effloresensi kasus juga sesuai
dengan
gejala klinik ptiriasis rosea yakni, plak eritem dan skuama halus.
PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN
Tes KOH (+) tinea corporis
Tes serologis (+) sifilis sekunder
KOMPLIKASI Tidak ada komplikasi yang serius  hipo/hiperpigmentasi.
DERMATITIS SEBOROIK
DEFINISI Kelainan papuloskuamosa kronis yang menyerang infantile dan dewasa dan biasanya dihubungkan dengan
produksi
sebum pada scalp, wajah, dan badan.
ANATOMI DAN FISIOLOGI [SAMA]
ETIOLOGI Idiopatik
Diduga karena:
1. Mikroorganisme (Jamur Malassezia spp., Pstyrosporum)
- Malassezia spp.  Produksi lipase dan menginisiasi respons inflamasi melalui pelepasan asam oleat
dan asam arakidonat dari sebum.
- Kandungan lemak sebum penting untuk proliferasi Malassezia spp. dan pembentukan faktor
proinflamasi  Semakin banyak sebum, populasi Malassezia spp. meningkat  faktor proinflamasi
semakin banyak diproduksi sehingga menyebabkan peradangan.
2. Genetik
Gangguan genetik yang dapat memengaruhi imunitas, yaitu mutasi genetik reseptor sel T dan protein
yang penting dalam diferensiasi epidermis, yaitu myelin protein zero like 3 (MPZL3) dan zinc finger
protein 750 (ZNF750)
3. Hormonal
Hormon androgen berperan dalam mekanisme produksi sebum. Fluktuasi aktivitas androgen dan sebum
ini mengalami fluktuasi sesuai usia, aktivitas tertinggi saat neonatus hingga 3 bulan dan pubertas.
4. Imunitas
Peningkatan prevalensi (34-83%) dan manifestasi klinis yang lebih berat pada pasien HIV/AIDS dapat
memperkuat hipotesis terlibatnya respons imun pada DS. Pada pasien HIV/AIDS, munculnya gejala DS
seringkali merupakan tanda awal supresi sel CD4 limfosit T.
5. Faktor neurogenic
Dihubungkan dengan meningkatnya kejadian DS pada penyakit Parkinson dan kelainan neurologik lain
(pasca-cerebro vascular accident, epilepsi, trauma sistem saraf pusat, facial nerve palsy, dan
siringomielia),
dan diinduksi oleh penggunaan obat neuroleptik yang memiliki efek ekstrapiramidal seperti golongan L-
Dopa, buspirone, chlorpromazine, haloperidol, phenothiazine, stanzolol dan thiothixene.
6. Faktor Eksternal (iklim, gangguan nutrisi, stress, obat)
Fluktuasi suhu atau iklim serta kelembaban merupakan faktor yang dapat mencetuskan munculnya DS.
Kondisi tersebut memfasilitasi Malassezia spp. untuk tumbuh dan menyebabkan perubahan distribusi
serta
patogenitas dari mikroorganisme oportunistik patogen ini.
TANDA DAN GEJALA KLINIS  Tanda Khas: muncul di daerah yang banyak kelenjar sebasea
- Khas pada bayi: craddle cap (skuama kekuningan, berminyak, tidak gatal)
- Khas pada dewasa: ada ketombe (ptiriasis sika)
 Gejala Utama: gatal  dewasa
 Predileksi: daerah yang banyak kelenjar sebasea (scalp, dada, punggung, bahu, nasolabial,
retroaurikuler), daerah lipatan (intertriginosa)
 Effloresensi: skuama kuning berminyak, plak eritema, eritema skuama kuning minyak krusta (ptiriasis
steatoides)
PATOFISIOLOGI Kandungan lemak sebum penting untuk proliferasi Malassezia spp. dan pembentukan faktor proinflamasi.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 1. Pityriasis Rosea
DS pada daerah tubuh perlu dibedakan dengan pitiriasis rosea yang memiliki herald/medallion patch dan
distribusi lesinya yang sesuai dengan batang tubuh seperti pola pohon cemara terbalik.
2. Dermatitis Kontak Iritan
Klinisnya sama: eritema dan gatal, DKI  ada riwayat kontak iritan
3. Dermatitis Atopik
DS  onset yang lebih awal, pola distribusi pada daerah yang khas, inflamasi lebih minimal, sisik
umumnya lebih berminyak, dan lain-lain.
DA  ada Riwayat alegi
4. Psoriasis Vulgaris
Klinisnya sama, psoriasis  Koebner (+)
Predileksi: di daerah yang sering
trauma
TATALAKSANA Pengobatan dermatitis seboroik (DS) bertujuan untuk menghilangkan atau memperbaiki tanda dan gejala klinis,
khususnya pruritus, serta mempertahankan remisi. Selain itu, tujuan lain terapi DS adalah memperbaiki fungsi
dan struktur kulit.
1. Sampo anti malassezia : selenium, zinc, pirithion
2. Cuci wajah rutin + sabun lunak
3. Krim as. Salisilat/sulfur (agen keratolisis)
4. Kotikosteroid potensi sedang – topical (antiinflamasi)
5. Antibiotik (metronidazole topikal, benzoil peroksida)
6. Salep litium suksinat 5%
7. Fototerapi Sinar UVB atau ultrakonozole 100 mg/hr per oral 21 hr (kasus berat)
8. Prednisolone 30 mg/hr (sistemik)
PROGNOSIS Sembuh sendiri, membaik saat musim panas
 Quo ad vitam : bonam (mati/hidup)
 Quo ad function : bonam (fungsi)
 Quo ad sanationam : dubia ad
bonam(kosmetik) Bayi  swasirna (akan menghilang)
 bonam
Dewasa  berulang, kronik, residitif
EPIDEMIOLOGI Secara epidemiologi laki-laki lebih sering kena dan lebih sering pada umur 30-50 th, berdasarkan status
dermatologi predileksi kasus sesuai dengan predileksi dermatitis seboroik yakni di daerah yang banyak kel.
sebasea, pada effloresensi kasus juga sesuai dengan gejala klinik dermatitis seboroik yakni, krusta kekuningan,
skuama halus, papul
eritomatous.
PEMERIKSAAN 1. Laboratorium  IgE (bedakan dengan DA)
2. KOH
3. Histopatologi
KOMPLIKASI Dermatitis seboroik jarang menimbulkan komplikasi.
1. Namun, karena terdapat gangguan sawar kulit, risiko terjadinya infeksi misalnya impetigo, dapat
ditemukan pada beberapa kasus.
2. Perjalanan penyakit yang kronik dan berulang berdampak pada kehidupan psikososial, sehingga
menimbulkan gangguan kualitas hidup yang meliputi rasa tidak nyaman, stigmatisasi, kehilangan rasa
percaya diri, dan keterbatasan dalam aktivitas sosial.
3. Eritroderma deskuamativum (leiner disease, biasa pada anak-anak)
ULKUS KORNEA
DEFINISI Ulkus Kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya infiltrat supuratif disertai
defek
kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea dapat terjadi dari epitel sampai stroma.
ANATOMI DAN FISIOLOGI ANATOMI KORNEA
Kornea berada pada 1/6 anterior mata, nonvaskular, transparan, kaya akan suplai saraf (cabang dari
n. Ophtalmica aferen kornea – kaitannya dengan lakrimas-eferen), karena melengkung akan
membantu memfokuskan cahaya. Kekuatan refraksi: 1,37

Kornea mempunyai 6 lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel (yang bersambung dengan epitel
konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, lapisan dua, membran Descement, dan lapisan endotel.
Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea.
1. Epitel selapis gepeng tak bertanduk (melindungi dari benda asing, bisa terjadi difusi dari oksigen
udara bebas)  rusak disini keratitis
2. Membran bowman (terdiri dari jar. Ikat yang kuat fungsinya menjaga stabilitasnya lensa, barier
kornea –wandering cel)  rusak disini ulkus kornea
3. Stroma (lapisan yang paling tebal terdiri dari jar. Ikat)  rusak disini ulkus kornea
4. Lapisan dua
5. Membran descement (jar. Ikat kuat yang elastis berfungsi untuk menahan TIO)  rusak disini
desmatocel
6. Endotel (ada kaitan dengan metabolisme dan nutrisi)

FISIOLOGI KORNEA
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas cahaya menuju retina.
Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi.

Alur penglihatan:
Gambar/cahaya melalui Bulbus Oculi, sebagai berikut: Cornea  Camera Anterior  Pupil  Camera
Posterior  Lensa  Corpus Vitreus  Retina  N. Opticus  Chiasma Opticum  Tractus Opticus 
area Visualis pada Lobus Occipitalis Cerebri  gambar dilihat / disadari.
ETIOLOGI 1. INFEKSI
a. Bakteri: P. aeroginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella
b. Jamur: fusarium
c. Virus: herpes simplex
d. Acanthamoeba
2. NON-INFEKSI
a. Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung pH
b. Radiasi atau suhu
c. SindromSjorgen
d. Defisiensi vitamin A
e. Obat-obatan (kortikosteroid, idoxiuridine, anestesi topikal, immunosupresif)
f. Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma
g. Pajanan (exposur)
h. Neurotropik.
3. SISTEM IMUN: reaksi Hipersensitivitas
PATOFISIOLOGI
TANDA DAN GEJALA KLINIS Subjektif:
+ MEKANISME GEJALA 1. Mata merah
Antigen masuk  sel-sel radang masuk  ada vasodilatasi a. Perilimbus
2. Nyeri
Kornea memiliki banyak ujung-ujung saraf
3. Penglihatan menurun
kornea rusak  transparansinya bermasalah, Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea
mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina.
4. Fotofobia
kerusakan kornea  penghamburan cahaya bermasalah  mata mengira banyak sekali cahaya
yang masuk  fotofobia
5. Lakrimasi
Terangsang serabut saraf aferen dari kornea  eferen di ductur lakrimal
6. Blefarospasme
cahaya dianggap masuk banyak  kompensasi m. Levator palpebra berkontraksi  spasm
vasodilatasi di kelopak mata  edema  kelopak mata kaku  spasm
7. Sekret  hasil metabolism protein

Objektif:
1. Lesi putih kornea  Ada ulcer di kornea
2. Hipopion
cabang a. Perilimbus post di kornea dan cabang a. Perilimbus ant kamera ant  infiltrasi sel-
sel radang ke kamera ant  karena kamera anterior terdiri dari cairan  bintik putih turun ke
bawah
3. Injeksi siliaris  Vasodilatasi A.siliaris
4. Kemosis  edema di konjungtiva
KLASIFIKASI Berdasarkan etiologi :
1. Infeksi (bakteri-Pseudomonas, Streptococcus, jamur, virus-herpes, varicella, parasit-
Acanthomoeba)
2. noninfeksi (trauma, kimia, radiasi, suhu, obat)
3. imun (reaksi hipersensitivitas)
METABOLISME Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang
berdifusi melalui lapisan air mata.Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi
limbus.
Kornea avaskular, nutrisi & metabolisme dari aquos humour, cairannya dihasilkan dari korpus siliaris
dan disinilah terjadi aliran elketrolit, air, nutrisi disalurkan ke kornea melalui endotel. Suplai oksigen
didapatkan
dr difusi langsung sel-sel epitel ke udara bebas.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 1. Keratokonjungtivitis: ada radang di kornea dan konjungtiva
2. Uveitis anterior: radang di iris dan kor[us siliaris, tidak ada lesi putih di kornea
3. Glaukoma akut: tiba-tiba sel radang menutup trabecula meshwork, TIOnaik
TATALAKSANA NON-MEDIKAMENTOSA
1. Tidak memakai lensa kontak
2. Tidak memegang/menggosok mata
3. Cuci tangan bersih
4. Menghindari asap rokok
5. Tidak boleh dibalut
MEDIKAMENTOSA  Sesuai kausa
1. Sulfas atropin – sikloplegia (antikolinergik) : efeknya midriasis, mengurangi edema
2. Analgesik  mengurangi nyeri
3. Antibiotik spektrum luas (jika belum diketahui etiologinya (bakteri)) : amoxicillin,
sulfonamide, quinolone
4. Antibiotik sesuai etiologi
5. Antiviral, antijamur, anti-acanthamoeba  sesuai etiologi
PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN FISIS
1. Pemeriksaan tajam penglihatan: terjadi penurunan visus, tidak ada perbaikan visus saat pinhole
2. Pemeriksaan TIO  bisa normal, bisa meningkat kalau ada glaucoma
3. Slit lamp : untuk memeriksa segmen anterior

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes flurosensi : epitel bagus tidak menyerap warna, karena ulkus jadi keliatannya warna hijau:
terdapat defek pada epitel kornea
2. Kerokan kornea : untuk deteksi etiologi
PROGNOSIS Tergantung tingkat keparahan, cepat lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme, ada
tidaknya komplikasi
 Quo ad vitam: bonam
 Quo ad visam: dubia et malam
 Quo ad sanationam: dubia et malam
 Quo ad cosmetic: dubia et malam
KOMPLIKASI 1. Buta parsial atau komplit  kalau full sikatriks atau endoftalmitis
2. Desmatocel  ulkus sampai membran descement
3. Prolaps iris  ulkus sampe endotel
4. Glaukoma sekunder  iris ke depan  glaukoma sudut tertutup
SENILE CATARACT
DEFINISI Kekeruhan lensa yang terjadi pada usia > 50 tahun, biasanya mengenai kedua mata, kekeurahan lens aini
mengakibatkan lensa tidak transparan dan mengganggu fungsi penglihatan.
ANATOMI DAN FISIOLOGI
LENSA

ANATOMI
1. Struktur bikonkaf transparan, yang lebih cembung pada bagian posterior
2. Dilapisi oleh kapsul transparan elastis
3. Terletak di antara iris dan corpus vitreous, dan tergantung di belakang pupil oleh zonula ciliare
4. Bentuk diubah oleh m. ciliaris:
- penglihatan dekat: m.ciliaris berkontraksi  lensa membulat
- penglihatan jauh  lensa mendatar, sehingga mata dapat terfokus pada objek yang jauh
5. Sifat Lensa:
- Kenyal
- Lentur
- jernih/transparan (air&protein kristalin, rapat dan homogen)
- lensa tergantung di tempatnya (zonula fibers-penggantung)
FISIOLOGI
Faktor-faktor yang berperan dalam mempertahankan kejernihan lensa adalah
1. Avaskuler
2. Sel-sel lensa yang tersusun rapat satu sama lain
3. Pengaturan protein lensa
4. Kapsul lensa yang semipermeable
5. Mekanisme pompa dari serat lensa yang mengatur keseimbangan elektrolit dan air di dalam lensa

Mata punya 4 media refraksi:


1. Kornea
2. aquos humour
3. lensa
4. vitreus humour

Alur penglihatan:
Gambar/cahaya melalui Bulbus Oculi, sebagai berikut: Cornea  Camera Anterior  Pupil  Camera
Posterior  Lensa  Corpus Vitreus  Retina  N. Opticus  Chiasma Opticum  Tractus Opticus 
area Visualis pada Lobus Occipitalis Cerebri  gambar dilihat / disadari.
ETIOLOGI 1. Belum diketahui secara pasti
2. Genetik  kongential
3. Penuaan  didapat
4. Perubahan Kimia  trauma, metabolic
5. Sinar UV
6. Diet
7. DM, merokok
PATOFISIOLOGI Katarak Senile Kortikal (75%)  (air yang bermasalah)
 bisa terjadi karena gangguan poma Na K, bisa tergadi karena:
- Insipien : belum ada penglihatan terganggu. Ada cuneiform 70% (bentuk baji, membentuk
dari pinggir), ada cupuliform 5%(bentuk piringan membentuk dari korteks)
- Imatur ada penurunan fungsi penglihatan, lensa mulai edema (terjadi hidrasi lensa), iris shadow
+. Komplikasi pachormorphic
- Matur : opasitas kompleks, lensa keruh total
- Hipermatur : Komplikasi pacholitic, pachotoxic
 Morgagni : ada pencairan dari korteks, nukleus warna cokelat dan tidak berada di
tengah, pseudoiris +, lensa seperti kantung susu
 Sklerotik : semakin lama protein di dalam lensa tertumpuk dan air dalam lensa bocor,
jadi terlihat nukleus mengeras
Katarak Senile Nuklear (5%)  : (bermasalah protein) Ada proses sklerosis nuklear karena penuaan

TANDA DAN GEJALA KLINIS 1. Gangguan penglihatan: penurunan tajam penglihatan (visus) tidak dapat dikoreksi
+ MEKANISME GEJALA - Lensa keruh  cahaya tidak masuk sampai ke retina
- Tidak dapat dikoreksi  karena ada gangguan kejernihan
2. TIO meningkat
- ada riwayat meningkat
- Stadium hipermatur
protein lensa keluar ke kamera anterior  menutupi trabekula meshwork  open
angle/fakolitik
- Stadium matur
lensa membesar  iris terdorong  trabekula meshwork terjepit  close angle/fakomorfik
3. Nyeri pada kedua mata
- Lensa keruh  proses pembiasan cahaya terganggu  ada penghamburan cahaya  reaksi
pupil terus menerus (N.III)  nyeri
4. Penglihatan menjadi kabur, penglihat asap, distorsi penglihatan
5. Distorsi penglihatan
6. Rasa silau (glare)
7. Perubahan persepsi warna/kontras
8. Pseudoiris : nukleus turun dianggap bayangan iris
9. Lebih jelas saat malam: berarti katarak tipe nuclear (katarak berada di tengah) saat siang hari 
kekeruhan ditengah  mata miosis  cahata masuk lewat ke bagian keruh
Katarak tipe kortikal (katarak berada di pinggir)  lebih jelas saat siang hari, karena malam hari
 pupil midriasis  daerah korteks/pinggir yang terdapat katarak akan mengaburkan
pandangannya.
KLASIFIKASI JENIS KATARAK:
1. NUKLEAR
2. KORTIKAL
Berdasarkan usia:
1. Kongenital
2. Didapat
Berdasarkan stadium:
1. Insipien
2. Imatur
3. Matur
4. Hipermatur
METABOLISME Lensa mendapat nutrisi dari aquos humour. Pada epitel terdapat pompa Na K untuk menyeimbangkan
tekanan relatif lensa.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 1. Katarak Diabetik
Kekeruhan lensa karena adanya penumpukan sorbitol (beda penyebab dengan katarak senilis
karena usia)
2. Leukoria
Pupil sama-sama putih, tapi leukoria kekeruhan di corpus vitreus
3. Kelainan Refraksi
Visus turun namun tidak ada kekeruhan lensa
4. Retinopati Hipertensi
5. Glaukoma akut
TATALAKSANA 1. Acetozolamide (karboanhidrase inh) : mengurangi produksi aquos humour
2. Operatif:
a. Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE) : Teknik ini sudah ditinggalkan, dan hanya dilakukan
pada kondisi tertentu, seperti dislokasi lensa, terdapat lisis zonula yang besar, yang tidak
memungkinkan pemasangan IOL dalam capsularbag
b. Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE) : teknik ini merupakan teknik operasi katarak
yang lebih maju, yaitu mengeluarkan lensa yang mengalami katarak lewat luka insisi di
limbus dan meninggalkan kapsul lensa, yang diikuti dengan implantasi IOL dalam capsular
bag
c. Fakoemulsifikasi : Teknik ini menggunakan mesin fakoemulsifikasi untuk memecahkan
(emulsifikasi) katarak melalui luka insisi yang kecil (2,5-3 mm) di kornea, juga
meninggalkan kapsul lensa untuk implantasi IOL.
d. Small Incision Cataract Surgery (SICS) : Teknik operasi manual dengan luka nsisi di sklera,
sehingga menurunkan resiko astigmat.
3. Timolol  menurunkan TIO (kalau glaucoma)
PROGNOSIS Katarak dengan teknik operasi yang baik 95% hasilnya bagus. Jika disertai dengan penyakit lain maka
belum bisa ditentukan prognosisnya.
Kalau ada penyakit lain  dubia et malam
 Quo ad vitam: dubia et bonam
 Quo ad visam: dubia et malam
 Quo ad kosmetik: dubia et malam
 Quo ad sanationam: dubia et bonam
KOMPLIKASI  Glaukoma sekunder, uveitis anterior, sublukasi/dislokasi lensa
 Komplikasi dari operasi
- ICCE : edema kornea, ruptur kapsul posterior, perdarahan suprakoroid
- Pasca operasi : prolaps iris, COA dangkal, ruptur kapsul posterior
- Pasca operasi lama : ablasio retina dan endoftalmitis
BASIC THEORY Katarak: menurun visus tapi tidak dapat dikoreksi, dan ada kekeruhan
Senile: pada orang tua (66 th)
Hipermature : pseudoiris + TIO naik : stadium hipermature
RETINOPATI DIABETIC
DEFINISI Gangguan microvascular retina akibat hiperglikemia pada penderita DM.
ANATOMI DAN FISIOLOGI ANATOMI
RETINA

 Retina  Suatu lapisan sel-sel nervosa sebagai FOTORESEPTOR


 Pada bagian dalam posterior (FUNDUS OCULI), terdapat:
- DISCUS OPTICUS  PAPILLA N. OPTICUS (blind spot): terdpt a.centralis retina
- MACULA LUTEA  tonjolan di lateral papilla, oval, terdiri sel CONE, sensitif cahaya
- FOVEA CENTRALIS  lekukan pada central Macula Lutea, paling sensitif cahaya
 Ruang Bulbus Oculi bagian Posterior  isi cairan kental = CORPUS VITREUS
Ada 10 lapisan:
1. Epitel berpigmen retina  epitel kuboid
2. Fotoreseptor  sel batang (peka gelap, lebih banyak dari sel kerucut, dan tersebar) dan sel
kerucut (peka gelombang, peka warn, banyak difovea sentralis)
3. Membrana limitan eksterna  peralihan fotoreseptor dg lapisan inti sel fotoreseptor
4. Lapisan nuklear eksterna
5. Lapisan fleksiform eksterna
6. Lapisan nuklear interna ada sel amakrin (fagositosis), bipolar(2 akson, hubungkan
fotoreseptor dg sel nervus opticus), horizontal (menyatukan sinaps sinaps masuk), ada arteri
reina sentralis
7. Lapisan fleksiform interna (akson sel-sel)
8. Lapisan sel ganglion
9. Lapisan serat saraf
10. Membran limitan interna
ETIOLOGI 1. Hiperglikemia
2. Respon inflamasi
3. Apoptosis sel perisit dan sel endotel kapiler retina
4. Peningkatan VEGF

ETIOPATOGENESIS
Hiperglikemia kronik berhubungan dengan:
1. Glukosa dengan bantuan enzim aldose reductase akan diubah menjadi sorbitol, sehingga
NADPH akan menurun dan enzim NADH akan mengubah NADPH menjadi stresk oksidatif
2. Respon inflamasi  perlengketan leukosit, sitokin
Apoptosis sel perisit dan sel endotel kapiler retina
PATOFISIOLOGI

TANDA DAN GEJALA KLINIS TANDA


+ MEKANISME GEJALA 1. Mikroaneurisme
Sel perisit rusak  stabilitas pembuluh darah terganggu
2. Flame shaped (superficial haemorrhages)
Mikroaneurisma pecah di dekat serat saraf
3. Perdarahan blot-dot (Retinal Haemorrhages both deep)
mikroaneurisma pecah di lapisan retina luar
4. Perdarahan hard-eksudat
Hiperlipidemia pada orang DM, mikroaneurisma pecah dan keluarkan lipid.
5. Cotton wool spot
oklusi arteri  arteri tidak ada anastomose  retina iskena khususnya di makula (makula
hanya dapat nutrisi dari a. Koroidalis
6. Abnormalitas vena
Oklusi arteri  vena berdilatasi
7. Neovaskularisasi
Iskemia yang terjadi di retina akan menyebabkan pelepasan VEGF dan akan terbentuk
vaskularisasi baru  mudah rapuh dan pecah  perdarahan
8. Edema Retina
Perisit rusak  permebilitas endotel berlebihan  edema retina
9. Intraretinal Microvaskular Abnormalities (IRMA)

GEJALA
1. Pandangan kabur
obstruksi vaskular  daerah iskemi di retina  fotoreseptor rusak  visus turun
2. Penurunan Visus yang progresif
3. Floatesis
Ada perdarahan pada retina dan sel inflamasi yang menghalangi penglihatan
KLASIFIKASI 1. Non-Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR)
Hanya pada retina, ada mikroaneurisma, hard-eksudat, udem, cotton-woot spots
a. Mild : mikroaneurisma/ perdarahan dengan hard/soft exudates
b. Moderate : mikroaneurisma/ perdarahan dengan hard/soft exudates, ada IRMA ringan
c. Severe : 4-2-1 (1 tanda) -perdarahan & mikroaneurisma pada 4 kuadran -dilatasi vena 2
kuadran
-IRMA 1 kuadran
d. Very Severe : 4-2-1 (2 tanda)
2. Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR)
Terdapat neurovaskularisasi.
a. ada NVD <1/4 daerah diskus dg/tanpa perdarahan vitreus (VH) atau perdaraha preretinal
(PRH)
b. NVD <1/4 area dengan VH/PRH
c. NVE >1/2 area dengan VH/PRH
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 1. Katarak Diabetik
Terjadi kekeruhan lensa
2. Hipertensi Retinopati
Sama-sama ada tanda flame-shaped, hard-eksudat, cotton wool spots, microaneurisme, tapi
ini karena HIPERTENSI
3. Oklusi vena Retina
Ada flame-shaped, unilateral, penglihatan kabur ringan
4. Oklusi cabang vena retina
Ada neurovaskularisasi, floaters
TATALAKSANA 1. Kontrol retina
a. Mild NPDR : setiap 9 bulan
b. Moderate NPDR : setiap 6 bulan
c. Sever NPDR : setiap 2-4 bulan
d. Early PDR : setiap 2 bulan
2. Medical treatment
a. Kontrol gula darah  lewat pengobatan, injeksi insulin, diet + lifestyle
b. Injection VEGF inhibitor  untuk mengurangi neurovaskularisasi
c. Steroid intravitreus (untuk diabetis macular oedema)
3. Fotokoagulasi
a. Macular
b. Panretinal
4. Operasi
Pars plana vitrectomy
PROGNOSIS  Quo ad vitam: dubia et malam
 Quo ad visam: dubia et malam
 Quo ad sanationam: dubia et malam
 Quo ad sanationam: bonam
KOMPLIKASI 1. Ablasio retina : sikatriks di vitreus  vitreus memadat  retina melengket dengan vitreus  retina
ikut tertarik
2. Visual loss : vaskularisasi dan nutrisi di fotoreseptor berkurang sekali
3. Vitreus hemoragik : neovaskularisasi sampe vitreus  neovaskularisasi pecah
4. Glaukoma neovaskular : neovaskularisasi bisa sampe iris  neovaskularisasi pecah 
terpanggil mediator inflamasi  tutup trabecula meshwork  TIO naik
PRESBIKUSIS
DEFINISI Tuli sensorineural pada usia lanjut akibat proses degenerasi organ pendengaran, bersifat simetris,
progresif lambat, dapat dimulai dari frekuensi rendah/tinggi dan tidak ada kelainan lain yang
mendasari.
ANATOMI DAN FISIOLOGI Organa Auditori:
TELINGA DALAM a. Auris externa
- Auricula
- MAE
b. Auris media
- Ossicula Auditori
- Membran dan Cavum Tympani
- Canalis Auditorius
c. Auris interna
- Canalis Semisircularis
- Canalis Cochlea
- Vestibulum

ANATOMI AURIS INTERNA


AURIS INTERNA
1. Terletak dalam pars petrosa os temporalis
2. Terdiri dari:
- LABYRINTHUS OSSEUS, berisi cairan perilymphe
 Koklea
 Ada reseptor pendeteksi gelombang
 Di dalam koklea ada saluran:
a. skala timpani (ada perilimfe-banyak Na)
b. skala vestibuli (ada perilimfe)
c. skala media/duktus cochlearis (ada endolimfe banyak K)
 Canalis Semisircularis
 Vestibulum
- LABYRINTHUS MEMBRANACEUS, berisi carian endolymphe
 Ductus Cochlearis
 Utriculus dan Sacculus
 Ductus Semicircularis

FISIOLOGI
Getaran dari stapes  oval window terketuk  skala vestibuli bergetar  helicotrema diredam
cochlea/round window  Getaran perilimfe  getaran ductus cochlearis  menggetarkan membran
tektoria  sel rambut menekuk  depolarisasi dan hiperpolarisasi
Hasil depolarisasi ini akan menghasilkan enzim cascade, melepaskan transmiter kimia dan kemudian
mengaktivasi serabut saraf pendengaran.
ETIOLOGI Belum diketahui secara pasti.
Faktori resiko:
1. Degeneratif
2. Herediter/Genetik
Mutasi gen C57BL/6J sebagai penyandi saraf ganglion spiral dan sel stria vaskularis pada
koklea.
3. Diabetes Melitus
Pasien DM  glukosa yang terikat pada protein dalam proses glikosilasi akan membentuk
advanced glicosilation end product (AGEP) yang tertimbun dalam jaringan dan mengurangi
elastisitas dinding pembuluh darah (arteriosklerosis).  dinding pembuluh darah semakin
menebal dan lumen menyempit (mikroangiopati)
Mikroangiopati organ koklea  atrofi dan berkurangnya sel rambut  akan menimbulkan
neuropati.
4. Bising
Intensitas bising, frekuensi, lama pajanan per hari, lama masa kerja dengan paparan bising,
kepekaan individu, umur, dan faktor lain yang dapat berpengaruh.  jumlah pajanan energi bising
yang diterima akan sebanding dengan kerusakan yang didapat. Hal tersebut dikarenakan
paparan terus menerus dapat merusak sel-sel rambut koklea.
5. Hipertensi
Hipertensi lama  memperberat resistensi vaskuler yang mengakibatkan disfungsi sel endotel
pembuluh darah disertai peningkatan viskositas darah, penurunan aliran darah kapiler dan
transpor oksigen  kerusakan sel- sel auditori sehingga proses transmisi sinyal mengalami
gangguan yang menimbulkan gangguan komunikasi.
Tuli sensorineural  insufisiensi mikrosirkuler pembuluh darah seperti emboli, perdarahan,
atau vasospasme.
6. Usia
Rata-rata terjadi pada usia 60-65 tahun ke atas
7. Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin pada ambang dengar frekuensi tinggi ini disebabkan laki-laki
umumnya lebih sering terpapar bising di tempat kerja dibandingkan perempuan.
8. Hiperkolesterol
Dapat menyebabkan penumpukan plak/aterosklerosis pada tunika intima. Patogenesis
atherosklerosis adalah arteroma dan arteriosklerosis yang terdapat secara bersama.
9. Merokok
Rokok mengandung nikotin dan karbonmonoksida yang mempunyai efek mengganggu
peredaran darah, bersifat ototoksik secara langsung, dan merusak sel saraf organ koklea.
PATOGENESIS

TANDA DAN GEJALA Tes Penala: Rinne +, swabach memendek


GANGGUAN PENDENGARAN Audiometri: Tuli sensorineural pada frekuensi tinggi
TANDA DAN GEJALA KLINIS 1. Tinnitus
DAN MEKANISME GEJALA sel rambut kaku dan menekuk terus  hiperpolarisasi dan depolarisasi  otak menganggap
ada suara terus menerus
2. Tuli sensorineural
Salah satu penyebab yaitu usia/degenerasi  metabolisme sel rambut berkurang  degenerasi
sel rambut
3. Gangguan pada frekuensi tinggi
Apeks : peka frekuensi rendah, Basal : peka frekuensi tinggi jika terkena etiologi  organon
korti bag. Basal paling duluan kena  organokorti bagian basal lebih peka terhadap frekuensi
tinggi  terganggu
4. Berkurangnya pendengaran progesif
atrofi sel-sel rambut  tuli sensorineural
5. Susah mengerti kata-kata terutama bila diucapkan dengan cepat ditempat dengan latar
belakang yang bising (cocktail party deafness)
huruf konsonan frekuensi tinggi, huruf vokal frekuensi rendah  terganggu pada frekuensi
tinggi
 susah mengerti
6. Nyeri pada intensitas suara tinggi (recruitment)
sel rambut kaku  intesitas tinggi memaksa sel rambut kaku untuk bekerja  ditangkap
sebagai potensi untuk merusak sel rambut  dipersepsi sebagai nyeri
KATEGORI 1. Sensorik (atrofi sel-sel rambut dan penyongkong, ada penurunan ambang frekuensi tinggi)
2. Neural (atrofi sel-sel saraf di koklea, tidak ada penurunan ambang frekuensi tinggi)
3. Metabolik (atrofi stria vaskularis, audiogramturun rata karena efek pada semua organon korti)
4. Mekanik (membran basilaris kaku, audiogram tampak menurun dan simetris)
TATALAKSANA REHABILITASI
1. Hearing Aid (Alat Bantu Dengar)
2. Speech Reading
3. Auditory Training
4. Speech Therapist
OPERATIF: Implan Koklea
MEDIKAMENTOSA
1. Vasodilator (As. Nikotinat)
2. Lipoproteinofilik (heparin)
3. Hormon
4. Vitamin B complex dan Vitamin A
PROGNOSIS Dubia et malam
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 1. Meniere disease
Sama-sama ada tinnitus dan gangguan pendengaran, MENIERE  ada vertigo dan rasa penuh
di telinga
2. Tuli persepsi karena otosklerosis
- Kelainan kongenital (destruksi osikula auditiva).
- Tanda awal tuli konduktif lalu tuli sensorineural.
- Tidak bisa mendengar frekuensi rendah (kalau Presbikusis: frekuensi tinggi)
3. Noise Induced Hearnes
- Tuli karena riwayat kebisingan.
- Gejalanya sama, namun untuk NIH bisa ditemukan pada usia muda
4. Trauma Akustik
PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN FISIS
1. Otoskopi
2. Tes garpu tala: Tuli sensorineural
a. Rinne: +/+
b. Weber: (tidak ada laterisasi karena simetris bilateral)
c. Schwabach: memendek (S/D)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Audiometri
2. Audiometri tutur
3. Laboratorium
SERUMEN OBTURANS
DEFINISI Serumen obturans merupakan salah satu kelainan telinga, dimana pada liang telinga terdapat
sumbatan oleh serumen. Sumbatan yang disebabkan oleh serumen obturans dapat menyebabkan
gangguan
pendengaran. (tuli konduktif bersifat sementara)
ANATOMI DAN FISIOLOGI Organa Auditori:
d. Auris externa
- Auricula
- MAE
e. Auris media
- Ossicula Auditori
- Membran dan Cavum Tympani
- Canalis Auditorius
f. Auris interna
- Canalis Semisircularis
- Canalis Cochlea
- Vestibulum

AURIS EXTERNA
1. Aurikula terdiri dari cartilago
2. MAE
- Terdiri dari
 1/3 luar, dibentuk Cartilago
 2/3 dalam, dibentuk tulang (pars petrosa os temporalis)
 Dilapisi kulit (epitel bertanduk)
 Terdapat : Rambut-rambut, Glandula Ceruminosa  SERUMEN
 Ujung dalam  MEMBRANA TYMPANI
- Serumen berguna untuk melindungi beda asing dari luar, PH asam, untuk pelumas,
komposisinya sisa epitel dan debu
- Normalnya serumen dikeluarkan oleh silia dan dibantu dengan bantuan mengunyah
(karena duduk temporo mandibular joint).
- Normalnya serumen dihasilkan. Tetapi karena beberapa faktor  penumpukan serumen
- Serumen  terletak di lapisan dermis kulit, dihasilkan kelenjar seruminosa dan kelenjar sebasea
| berisi lipid, peptide, protein, antimikroba
ETIOLOGI 1. Kelainan Anatomi Struktur Liang Telinga
- Liang telinga yang sempit
- Stenosis MAE
2. Radang Kronis pada Liang Telinga
- Misalnya pada otitis eksterna  pembengkakan telinga
3. Hiperproduksi serumen
- Produksi Serumen yang banyak dan kental
4. Corpus Alineum
- Adanya benda asing yang teperangkap
5. Terdorongnya serumen ke telinga yang lebih dalam
- Penggunaan cotton buds
6. Faktor Eksternal
- Berenang  air bisa masuk kemudian akan membuat serumen mengembang dan bisa
berlanjut menjadi otitis eksterna kalau di air ada bakterinya
- Debu  semakin banyak debu semakin banyak volume serumen
- Penggunaan ABD dan Headset  menyebabkan serumen tidak bisa keluar dan bisa makin
masuk
7. Usia
Semakin tua maka bisa terjadi atrofi dari glandula ceruminosa  serumen jadi kering  makin
susah keluar
PATOGENESIS
TANDA DAN GEJALA Tes penala: Rinne (-), Swabach memanjang
GANGGUAN PENDENGARAN Audiometri: Tuli konduktif
TANDA DAN GEJALA KLINIS 1. Otalgia  Rasa nyeri akibat serumen yang menekan telinga
2. Tinnitus
Serumen menekan membrane timpani  tulang pendengaran juga bergetar
3. Rasa penuh pada telinga  karena serumen semakin menumpuk dan semakin parah jika
berenang (serumen mengembang)
4. Gatal  karena ada massa di dalam telinga dan bisa dipicu oleh reaksi inflamasi apabila ada
infeksi
5. Gangguan pendengaran  gangguan hantaran suara (tuli konduktif)
Ada massa yang menghalangi
TATALAKSANA 1. Serumen lunak : kapas dengan aplikator
2. Serumen agak keras: serumen hock/pengait
3. Serumen lunak & dalam : spoiling (air sesuai suhu tubuh)
4. Serumen keras & dalam : karbogliserin 10% 3 tetes 3-5 hari untuk melunakkan serumen
5. Farmako : jika ada inflamasi/nyeri  bisa juga pakai cerumenolytic agents untuk hancurkan
serumen kalau terlalu keras (contoh: acetic-acid, carbamide peroxide)
PROGNOSIS Bonam
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 1. Keratosis Obsturans
KO: Terjadi karena penumpukan deskuamasi keratin di MAE, SO: penumpukan serumen
Tanda dan gejala sama (otalgia, tuli konduktif)
2. Corpus Alineum
Tanda dan gejala yang sama: otalgia, rasa penuh pada telinga, gangguan pendengaran
Ada Riwayat masuknya benda asing
Otorrhea (+)
3. Tumor
Tuli konduktif, otalgia, tinnitus, vertigo
Otorrhea (+)
PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN FISIK
1. Otoskopi
2. Tes garpu tala  TULI KONDUKTIF
a. Rinne: (-/-)
b. Weber: laterisasi ke telinga yang sakit
c. Schwabac: memanjang

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Audiometri
KOMPLIKASI 1. Trauma Membran Tymphani
2. Otitis Eksterna
3. Perdarahan
RHINITIS ALERGI
DEFINISI Rinitis alergi merupakan penyakit berupa inflamasi pada mukosa hidung yang diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE) akibat adanya pajanan alergen, dengan gejala utama berupa bersin-bersin, hidung
meler (rinore), hidung gatal, dan hidung tersumbat.
ANATOMI DAN FISIOLOGI ANATOMI
 Terdiri dari:
- concha superior, concha media, concha inferior
- meatus nasi superior, media, inferior
- rongga hidung: cavum nasi
 Terdapat sinus paranasalis:
- Sinus frontalis
- Sinus maxillaris
- Sinus Spenoidalis
- Sinus ethmoidalis

FISIOLOGI
Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1. fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik local
2. fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu
3. fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas
5. Refleks nasal

Alur penciuman
Fila Olfactoria  Bulbus Olfactorius  Tractus Olfactorius  Striae Olfactorius  bagian
RHINENCEPHALON Cerebri
ETIOLOGI Multifaktorial
1. Faktor Genetik
- Riwayat atopi
- Dilihat dari hubungan fenotipik yang erat antara Rhinits alergi dan asma bronkial (
penyakit diturunkan)  berhubungan antar penyakit atopi (asma, rhinitis alergi, dermatitis
atopic)
2. Lingkungan
Paparan Alergen
- Inhalan: tungau, debu
- Ingestan: telur, susu
- Injektan: hipersenstif terhadap penicillin
PATOGENESIS FASE SENSITISASI
FASE AKTIVASI

TANDA DAN GEJALA KLINIS 1. Bersin dan gatal  histamin rangsang reseptor H1 di ujung saraf vidianus  bersin
DAN MEKANISME GEJALA 2. Rinore : histamin rangsang sel goblet  hipereksresi & vasodilatasi permeabilitas kapiler
3. Hidung tersumbat  vasodilatasi sinusoid, konka edema
4. Alergic salute  gerakan khas menggosok hidung dengan punggung tangan / menggaruk
hidung
5. Alergic crease (garis di dorsum nasi)  karena menggosok hidung
6. Alergic shiner (bayangan kehitaman di bawah kelopak mata)  karena statis vena dan kongesti
periorbital
KLASIFIKASI

TATALAKSANA 1. Menghindari paparan allergen


2. Terapi medikamentosa
a. NaCl fisiologis untuk irigasi nasal
b. Intranasal corticosteroid  beclomethasone
c. Antihistamine
d. Dekongestan
e. Cromlyn
3. Allergen Specific Immunotherapy
4. Pembedahan
PROGNOSIS Bonam, kecuali sanationam  kronis dan bisa kambuh (reccurent)
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 1. Rinitis vasomotor : langsung dari n. Vidianus bermasalah, misal karena suhu dingin
2. Rinitis medikamentosa : karena obat-obatan
3. Rinitis akut : ada riwayat atopi
KOMPLIKASI 1. Polip hidung : edema konka berkepanjangan
2. Sinusitis paranasal : sekretnya bisa sampai sinus
3. Rhinoinusitis : sekretnya bisa sampai sinus
4. Otitis media : jika sekret masuk ke tuba eustachius

Anda mungkin juga menyukai