Anda di halaman 1dari 26

PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI SAFAWI DI PERSIA

Makalah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Tarikh Al-Hadarah Al-Islamiyyah

Dosen Pengampu:
Dr. Ratu Suntiah, M.Ag.

Disusun Oleh:
Wihandani 2230090026

Program Pascasarjana
Program Studi Pendidikan Bahasa Arab
Universitas Negeri Islam Sunan Dunung Djati Bandung
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya, sehingga dengan usaha penulis serta diiringi takdir dari Nya makalah
ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan
pada junjungan kita Nabi Muhammad saw, keluarga, para sahabat serta
pengikutnya sampai hari kiamat.
Pada kesempatan ini penulis telah menyelesaikan makalah Tarikh Al-
Hadarah Al-Islamiyyah denga judul Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Safawi
di Persia.
Kami berharap makalah yang penulis susun ini dapat bermanfaat. Apabila
terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini, penulis mohom maaf sebesar-
besarnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan
makalah selanjutnya.

Bandung, 17 Oktober 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1
A. Latar Belakang .....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................2
C. Tujun Penulisan ...................................................................................................2
BAB II ISI.........................................................................................................................3
A. Awal Mula Berdirinya Dinasti Safawi ................................................................3
B. Kemajuan Dinasti Safawi ..................................................................................10
1. Bidang Politik dan Pemerintahan .................................................................11
2. Bidang Ekonomi .............................................................................................12
3. Bidang Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Sains..............................................13
4. Bidang Perkembangan Fisik dan Seni ..........................................................14
C. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Safawi ................................................15
BAB III PENUTUP ........................................................................................................21
A. Kesimpulan .........................................................................................................21
B. Saran ...................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setelah khalifah Abbasiyah di Bagdad runtuh akibat serangan tentara
Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah
kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain
bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam
banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Namun, kemalangan
tidak berhenti sampai disitu. Timur Lenk, pemimpin bangsa Mongol saat itu, juga
menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.
Keadaan politik umat Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan
kembali setelah dan berkembangnya tiga kerajaan besar : Usmani di Turki,
Mughal di India, dan Safawi di Persia. Dimasa tiga kerajaan besar ini kejayaan
masing-masing terutama dalam bentuk literatur dan arsitek. Masjid-masjid yang
didirikan kerajaan ini masih dapat dilihat di Istambul, Tibriz dan Isfaham serta
kota-kota lain di Iran dan Delhi. Kemajuan umat Islam di zaman ini lebih banyak
merupakan warisan kemajuan pada masa periode klasik. Perhatian di ilmu
pengetahuan masih kurang. Tentu saja bila dibandingkan kemajuan yang dicapai
pada masa dinasti Abbsyiah, khususnya di bidang ilmu pengetahuan. Namun,
menarik untuk dikaji, karena kemajuan pada masa ini terwujud setelah dunia
Islam mengalami kemunduran beberapa abad lamanya.
Ada dua aspek menarik dari pengkajian sejarah kerajaan Safawi pada
1501-1722 M. Pertama lahir kembali dinasti Safawi adalah kebangkitan kembali
kejayaan Islam, sebelumnya pernah mengalami masa kecemerlangan. Kedua,
dinasti Safawi telah memberikan Iran semacam “Negara Nasional” dengan
identitas baru yaitu aliran Syiah yang menurut G.H. Jansen merupakan landasan
bagi perkembangan Nasionalisme Iran modern.

1
B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini akan dibahas beberapa rumusan masalah, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana awal mula dan perkembangan Dinasti Safawi?
2. Apa saja kemajuan yang terjadi pada masa Dinasti Safawi?
3. Apa saja faktor yang memicu kehancuran dinasti Safawi?

C. Tujun Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, berikut ini adalah tujuan penulisan
makalaj ini:
1. Mengetahui awal mula munculnya Dinasti Safawi.
2. Mengetahui berbagai bidang yang maju pada masa Dinasti Safawi.
3. Mengetahui faktor-faktor yang memicu kemunduran dan kehancuran Dinasti
Safawi.

2
BAB II
ISI

A. Awal Mula Berdirinya Dinasti Safawi


Dinasti Safawi di Persia berkuasa antara tahun 1501-1736 M. yaitu pada
waktu yang hampir bersamaan dengan Daulah Turki Usmani di Asia Kecil.
Dinasti Safawi merupakan kerajaan Islam di Persia yang cukup besar. Awalnya
kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berada di Ardabil
(sebuah kota di Azerbaijan) (Kulsum 2021; Mirda 2016; Muliyani 2018; Suntiah
2019).
Ada dua pendapat yang berbeda tentang asal-usul dari nama Safawi, yaitu
(Muliyani 2018):
1. Amir Ali berpendapat bahwa Safawi berasal dari kata “shafi” yaitu gelar yang
diberikan kepada nenek moyang raja-raja Safawih, yaitu Shafi Ad-Din Ishak
Al-Ardabily (1225 – 1334), seorang pendiri dan pemimpin tarekat Safawiyah.
Ia menyatakan bahwa para musafir, pedagang, dan penulis Eropa selalu
menyebut raja-raja Safawiyah dengan gelar Shafi Agung.
2. P.M. Holt berpendapat bahwa Safawiyah berasal dari kata “safi” yaitu bagian
dari nama Safi Ad-Din Al-Ardabily (Suntiah 2019). Dia merupakan pendiri
dan merupakan keturunan Musa al-Khazhim, imam ketujuh Syi’ah Itsna
‘Asyariyah. Meskipun ia tidak mengemukakan alasan secara gramatika bahasa
Arab, pendapat inilah yang dipandang lebih tepat.

Sebelum menjadi kerajaan, Safawi mengalami dua fase pertumbuhan, fase


pertama bergerak di bidang keagamaan dan fase kedua bergerak di bidang politik
(Muliyani 2018).
Pada tahun 1301 – 1447 M. gerakan Safawi masih murni gerakan
keagamaan dengan tarekat Safawiyah. Sebagai sarana, tarekat ini mempunyai
pengikut yang sangat besar hal ini terjadi karena pada saat itu umat umumnya
hidup dalam suasana apatis dan pasrah melihat anarki politik yang berkecamuk.
Hanya dengan kehidupan keagamaan lewat sufisme, mereka mendapat

3
persaudaraan tarekat dan mereka merasa aman dalam menjalin persaudaraan antar
muslim (Muliyani 2018).
Pada fase pertama ini gerakan tarekat Safawi tidak mencampuri masalah
politik sehingga dia berjalan dengan aman dan lancar baik pada masa Ilkhan
maupun pada masa penjarahan Timur Lenk. Dan dalam fase ini gerakan Safawi
mempunyai dua corak, pertama bernuansa Sunni yaitu pada masa pimpinan
Safiuddin Ishaq (1301 – 1344) dan anaknya Sadruddin Musa (1344 – 1399),
kedua berubah menjadi Syiah pada masa Khawaja Ali (1399 - 1427). Perubahan
ini terjadi karena ada kemungkinan bertambahnya pengikut Safawi di kalangan
Syiah sehingga kepemimpinannya berusaha menyesuaikan diri dengan aliran
mayoritas pendukungnya (Muliyani 2018).
Nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan
politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan
kerajaan, yakni kerajaan Safawi. Shafi Ad-Din berasal dari keturunan orang yang
berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Shafi Ad-Din merupakan
keturunan dari Imam Syiah yang keenam, Musa Al-Kazihim. Gurunya bernama
Syaikh Tajuddin Ibrahim Zahidin (1216 -1301 M.) yang dikenal dengan julukan
Zahid Al-Gilani (Kulsum 2021). Dikarenakan prestasi dan ketekunannya dalam
kehidupan tasawuf, Safi Ad-Din dijadikan menantu oleh gurunya tersebut.
Dalam tarekat ini, apabila terjadi pergantian pemimpin maka dilakukan
dengan sistem penunjukan langsung berdasarkan konsep imamah syi’ah, yaitu
apabila seorang ayah wafat, pimpinan tarekat yang dipimpinnya diambil alih oleh
putranya. Hal ini menjadi tradisi turun-temurun dalam tubuh tarekat (Desky
2016).
Shafi Ad-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru
dan sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. pengikut tarekat ini
sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah
bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang
mereka sebut “ahli-ahli bid’ah” tarekat yang dipimpin Shafi Ad-Din ini semakin
penting terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf

4
murni yang bersifat lokal menjadi gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di
Persia, Syiria, dan Anatolia.
Memanfaatkan kedudukannya sebagai mursyid Safawiyah dan pemimpin
gerakan Safawiyah untuk mengonsolidasikan kekuatan politiknya. Secara
sembunyi-sembunyi, ia menjalin hubungan erat dengan para pengikutnya yang
tersebar luas di mana-mana. Hanya dalam waktu kurang lebih lima tahun, ia
berhasil menyatukan berbagai elemen kekuatan politik yang cukup besar,
sehingga ia mulai mengadakan perhitungan dengan musuh-musuh Safawiyah
selama ini, seperti penguasa Syirwan dan Ak. Kayunlu yang telah membunuh
beberapa orang pemimpin Safawi sebelumnya (Muliyani 2018).
Di negeri-negeri di luar Ardabil, Shafi Ad-Din menempatkan seorang
wakil untuk memimpin murid-muridnya. Wakil tersebut diberi gelar Khalifah.
Kerajaan ini menjadikan Syi’ah sebagai mazhab Negara. Shafi al Din adalah
keturunan dari Imam Syi’ah yang ketujuh Musa Al-Khazim. Oleh karena itu dia
masih keturunan Rasulullah dari garis puterinya Siti Fatimah (Muliyani 2018).
Dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama murid-murid tarekat ini
berubah menjadi tentara-tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan mazhab
Syi’ah dan menentang setiap orang yang tidak bermazhab Syi’ah. Gerakan
Safawiyah selanjutnya bertambah luas dan berkembang sehingga yang pada
mulanya hanya gerakan keagamaan saja berkembang dan bertambah menjadi
gerakan politik (Desky 2016; Kulsum 2021).
Kecenderungan memasuki dunia politik secara kongkret tampak pada
masa kepemimpinan Junaidi (1447 – 1460 M.). dinasti Safawi memperluas
gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan.
Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Junaidi dengan penguasa Kara
Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah
itu. Dalam konflik tersebut Junaidi kalah dan diasingkan ke suatu tempat
(Muliyani 2018).
Di tempat baru ini ia mendapatkan perlindungan dari penguasa Diar Bakr,
Ak. Koyunlu (domba putih), juga suatu suku bangsa Turki. Selama dalam
pengasingannya, Junaidi tidak tinggal diam, ia justru dapat menghimpun kegiatan

5
untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan, seorang amir di
daerah tersebut dan tinggal di isitananya. Ia juga berhasil mempersunting salah
seorang saudara perempuan Uzun Hasan.
Usaha Junaidi mengalami kegagalan dalam meraih ambisinya karena
dihadang oleh tentara Syirwan sehingga gagal dalam menaklukkan beberapa
daerah seperti Ardabil dan Chircasia karena. Pada tahun 1460 M dia mati
terbunuh dalam pertempuran tersebut (Desky 2016).
Kemudian Junaidi digantikan anaknya yang bernama Haidar. Ketika itu
usia Haidar baru berumur 10 tahun, ia di didik oleh Uzun Hasan sampai ia dewasa
dan sanggup memegang tampuk pemerintahan pusaka ayah dan nenek
moyangnya. Untuk mempererat hubungannya dengan Uzun Hasan, ia juga
menikahi putrinya. Dari hasil perkawinannya itu lahir tiga orang putera yaitu Ali,
Ismail dan Ibrahim. Pada masa pemerintahannya, ia membuat lambang baru untuk
para pengikutnya, yaitu serban merah dengan 12 jambul, yang pasukannya itu
dikenal dengan nama “Qizilbasy” (pasukan baret merah).
Pada masa pemerintahan Haidar, ia melanjutkan persekutuan ayahnya
dengan AK.Koyunlu untuk melawan Kara Koyunlu. Dan Ia berhasil mengalahkan
Kara Konyunlu. Akan tetapi persekutuannya dengan AK. Koyunlu berantakan dan
berakhir bahkan sampai bermusuhan. AK.Koyunlu menganggap Safawi sebagai
rival politiknya dalam meraih kekuasaan. Oleh karena itu AK.Koyunlu berusaha
melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Safawi. Dan pada tahun 1488,
ketika pasukan Haidar menyerang wilayah Sircasia dan pasukan AK.Koyunlu
memberikan bantuan militer kepada pasukan Syirwan, sehingga pasukan Haidar
kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut (Desky 2016).
Kekalahan dan kematian Haidar, tidak membuat pasukannya putus asa.
Mereka berkumpul di Ardabil dan membaiat Ali, putra sulung Haidar, sebagai
pemimpin mereka. Akan tetapi, karena ketidak senangan AK.Koyunlu, dibawah
kepemimpinan Ya’kub, Ali beserta ibu dan kedua adiknya ditangkap dan
dipenjarakan selama 4,5 tahun (1489-1493 M). Pada tahun 1493 M, mereka
dibebaskan dengan syarat Ali harus membantu Rustam, putra mahkota AK.
Koyunlu untuk menyingkirkan rival politiknya (sepupunya sendiri) dalam

6
menduduki tahta kekuasaan. Setelah itu Ali kembali ke Ardabil. Karena khawatir
akan pengaruh Ali semakin meluas. Rustam menyerang Ali (1494) dan dalam
serangan tersebut Ali terbunuh.
Sebelum meninggal, Haidar menunjuk adiknya yang paling kecil bernama
Ismail (Muliyani 2018). Kekuatan gerakan Safawi bangkit kembali setelah
dipimpin oleh Ismail bin Haidar (1501-1524 M), yang sebelumnya ditunjuk oleh
Ali. Pada saat tentara AK.Koyunlu menyerang Safawi (1494), Ismail meloloskan
dirinya dan lari ke Ghilan. Di tempat persembunyiannya ia menghimpun kekuatan
dan memelihara hubungan baik dengan para pengikutnya di Azerbijan, Syria dan
Anatolia selama lima tahun ia bersiap siaga dengan pasukan Qizilbasy nya yang
bermarkas di Gilan. Pada tahun 1501, pasukannya berhasil mengalahkan pasukan
AK.Koyunlu, dengan menaklukkan Tybriz, pusat kekuasaan AK.Koyunlu. Di
kota inilah Ismail memproklamirkan dirinya sebagai Syah Ismail I, penguasa I
kerajaan Safawi. Dan sepuluh tahun kemudian, kerajaan Safawi menguasai
seluruh Persia. Dengan demikian semakin tegaklah
Kerajaan Safawi secara resmi berdiri di Persia pada 1501 M/907, tatkala
Syah Ismail (disebut juga Ismail I) memproklamasikan dirinya sebagai raja atau
syah di Tabriz, dan menjadikan Syiah Itsna Asyariah sebagai ideologi negara
(Suntiah 2019).
Namun kejadian sejarah yang penting ini tidaklah berdiri sendiri. Peristiwa
itu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya dalam rentang waktu yang
cukup panjang yakni kurang lebih dua abad. Pada tahun 1501 M., pasukan
Qizilbasy di bawah pimpinan Ismail menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu
(domba putih) di sharur dekat Nakh Chivan. Qizilbasy terus berusaha memasuki
dan menaklukkan Tabriz, yakni ibu kota AK Koyunlu dan akhirnya berhasil dan
mendudukinya (Muliyani 2018).
Dia berkuasa kurang lebih 23 tahun antara 1501 – 1524 M. Pada sepuluh
tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, Buktinya ia dapat
menghancurkan sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamadan (1503 M.),
menguasai provinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504 M), Diyar
Bakr (1505-1507 M) Baghdad dan daerah Barat daya Persia (1508 M), Sirwan

7
(1509 M) dan Khurasan. Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah
kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur
(Fertile Crescent) (Muliyani 2018).
Kerajaan Safawi mempunyai pola pemerintahan yang teokratis, sebab para
penguasa bukan saja mengaku sebagai keturunan Ali, namun juga mengklaim
berstatus sebagai titisan para Imam Syi’ah, bahkan Ismail I mengaku sebagai
penjelmaan Tuhan, sinar ketuhanan dari imam yang tersembunyi, dan imam
Mahdi. Ia memakai gelar Bayangan Tuhan di Bumi, meniru gelar yang dipakai
oleh raja-raja Persia. Dengan sistem teokrasi ala Syi’ah tersebut, kemudian
dipadukan dengan sistem tarekat, kerajaan Safawi memiliki kemudahan dalam
melakukan konsolidasi pemerintahan. Akan tetapi, dengan sistem itu pula ia
menghadapi persoalan yang cukup krusial (Muliyani 2018).
Dalam menjalankan tugasnya, kepala Negara terutama pada masa-masa
awal memiliki kemudahan-kemudahan tertentu, di samping menghadapi persoalan
yang cukup krusial. Ini berkaitan dengan posisi mereka. di satu sisi ia adalah
mursyidi kamil (pembimbing spiritual yang sempurna) dan di sisi lain adalah
padisyah (raja). Ketundukan dari para bawahan dan rakyatnya sebagai pengikut
tarekat, sebagaimana terjadi dalam tarekat lain, hampir tanpa reserve (cadangan).
Hal ini sangat memudahkan raja dalam melakukan konsulidasi pemerintahannya.
Sementara itu, dalam kepercayaan tarekat kesempurnaan yang ada pada murisyidi
kamil tak tergoyahkan.
Bahkan tidak sampai di situ saja, ambisi politik mendorongnya untuk terus
mengembangkan wilayah kekuasaan ke daerah-daerah lainnya seperti Turki
Usmani. Ismail berusaha merebut dan mengadakan ekspansi ke wilayah kerajaan
Usmani (1514 M.), tetapi dalam peperangan tersebut pasukan Qizilbasy
dikalahkan oleh pasukan Turki Usmani pada pertempuran di Chaldiran pada tahun
1514 M sehingga Sultan Salim dapat menduduki Tabriz (Muliyani 2018).
Kekalahan itu membuat para pengikut tarekat tidak dapat menerima
kenyataan ketika pemimpinnya dikalahkan oleh lawannya. Mereka mengalami
shock keagamaan yang berat, karena menurut kepercayaan mereka pemimpin
mereka tak bisa terkalahkan (Muliyani 2018).

8
Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki
karena terjadi perpecahan di kalangan militer Turki di negerinya. Kekalahan
tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya dia
berubah, dia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan
berburu. Keadaan itu berdampak negatif bagi kerajaan Safawi dan pada akhirnya
terjadi persaingan dalam merebut pengaruh untuk dapat memimpin kerajaan
Safawi antara pimpinan suku-suku Turki, pejabat keturunan Persia dan Qizibash
(Muliyani 2018).
Keadaan ini baru dapat diatasi pada masa pemerintahan raja Abbas I.
Langkah- langkah yang ditempuh oleh Abbas I untuk memperbaiki situasi adalah
(Kulsum 2021; Muliyani 2018):
1. Menghilang dominasi pasukan Qizilbasy atas kerajaan Safawi dengan
membentuk pasukan baru yang beranggotakan budak-budak yang berasal dari
tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia. Kemudian dia harus
menyerahkan 3 wilayahnya, yaitu Azerbijan, Georgia, dan Sebagian
Khuziztan (Suntiah 2019).
2. Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan cara Abbas I
berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar,
Umar, Usman) dalam khutbah Jumatnya.
Usaha-usaha tersebut terbukti membawa hasil yang baik dan membuat
kerajaan Safawi kembali kuat. Setelah itu, dalam kondisi pemerintahannya yang
sudah stabil, Abbas I mulai memusatkan perhatiannya ke luar berusaha
mengambil kembali wilayah-wilayah kekuasaan Safawiyah yang sudah hilang
(Kulsum 2021).
Pada tahun 1597 M Abbas I memindahkan ibu kota Daulah Safawiyah ke
Isfahan, sebagai persiapan untuk melanjutkan langkah melakukan perluasan
wilayah ekspansinya ke daerah-daerah bagian timur, setelah memperoleh
kemenangan-kemenangan di wilayah timur, barulah Abbas I mengalihkan
serangannya ke wilayah barat, berhadapan dengan Turki Usmani (Kulsum 2021).
Kemudian Abbas I meluaskan wilayahnya dengan merebut kembali
daerah yang telah lepas dari Safawi maupun mencari daerah baru. Abbas I

9
berhasil menguasai Herat (1598 M.), Marw, dan Balkh. Kemudian Abbas I mulai
menyerang kerajaan Turki Usmani dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwani,
Ganja, Baghdad, Nakhchivan, Erivan dan Tiflis. Kemudian pada 1622 M Abbas I
berhasil menguasai kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun
menjadi pelabuhan Bandar Abbas (Kulsum 2021; Muliyani 2018).
Berikut adalah raja-raja yang pernah memimpin (Muliyani 2018; Suntiah
2019):
1. Isma'il I (1501 – 1524 M);
2. Tahmasp I (1524 – 1576 M);
3. Isma'il II (1576 – 1577 M);
4. Muhammad Khudabanda (1577 – 1587 M);
5. Abbas I (1587 – 1628 M.);
6. Safi Mirza (1628 1642 M);
7. Abbas II (1642 – 1667 M);
8. Sulaiman (1667-1694 M);
9. Husein I (1694 1722 M.);
10. Tahmasp II (1722 - 1732 M);
11. Abbas III (1732 – 1736 M).

B. Kemajuan Dinasti Safawi


Peran kesejarahan kerajaan Safawi begitu besar. Hal ini dapat dilihat dari
sisi kemajuan dan kejayaannya. Kendati demikian, masa kemajuan kerajaan
Safawi tidak langsung terwujud pada saat Dinasti itu berdiri di bawah Ismail, raja
pertama (1501-1524 M). Kejayaan Safawi yang gemilang baru dicapai pada
pemerintahan Syah Abbas yang Agung (1587 – 1629 M) raja yang kelima.
Walaupun begitu, peran Ismail sebagai pendiri Safawi sangat besar sebagai
peletak pondasi bagi kemajuan Safawi di kemudian hari. Di samping telah
memberikan corak yang khas bagi Safawi dengan menetapkan Syi’ah sebagai
agama Negara, Syah Ismail juga telah memberikan dua karya besar bagi
negaranya, yaitu perluasan wilayah dan penyusunan struktur pemerintahan yang
unik pada masanya (Muliyani 2018).

10
Beberapa kemajuan dalam berbagai aspek pada masa pemerintahan
kerajaan Safawi antara lain sebagai berikut (Muliyani 2018):

1. Bidang Politik dan Pemerintahan


Pengertian kemajuan di bidang politik di sini adalah terwujudnya integritas
wilayah Negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang
tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan
peranan dalam percaturan politik internasional (Muliyani 2018).
Sebagaimana lazimnya kekuatan politik suatu Negara ditentukan oleh
kekuatan angkatan bersenjata, Syah Abbas I juga telah melakukan langkah
politiknya yang pertama, membangun angkatan bersenjata dinasti Safawi yang
kuat, besar dan modern. Tentara Qizilbasy yang pernah menjadi tulang punggung
Dinasti Safawi pada awalnya dipandang Syah Abbas tidak diharapkan lagi,
sehingga ia membangun suatu angkatan bersenjata reguler. Inti satuan militer ini
ia ambil dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristen di Georia dan di
Chircassia. Mereka dibina dengan pendidikan militer yang militan dan
persenjataan yang modern. Sebagai pimpinannya ia mengangkat Allahwardi
Khan, salah seorang dari Ghulam (Muliyani 2018).
Berkat kegigihannya Syah Abbas mampu mengatasi kemelut di dalam
negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah
yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa sebelumnya (Muliyani 2018).
Di antara unsur yang menjadikan kuatnya politik Safawi adalah kuatnya
pribadi penguasa Safawi, terutama Syah Abbas I yang digambarkan berpandangan
tajam, bekal kuat, berkemauan besar, berani dan mempunyai semangat yang
tinggi serta tak kenal lelah. Selain itu, unsur yang juga mempunyai pengaruh besar
dalam kekuatan politik Safawi adalah kesetiaan pasukan Qizilbasy kepada raja
Safawi (Muliyani 2018).
Kemampuan Syah (raja) dalam mengatur administrasi negara juga
merupakan unsur kemajuan politik kerajaan Safawi yang tidak bisa diremehkan.
Bentuk administrasi yang dijalankan dalam kerajaan Safawi adalah jenjang

11
tertinggi setelah Syah adalah Azamat al-Daulah yang fungsinya seperti perdana
menteri, jenjang di bawahnya adalah al-Sadr yang fungsinya seperti menteri
Agama, tugasnya antara lain mengurusi masalah peradilan, tempat-tempat ibadah
dan kegiatan ulama serta pelajar (Muliyani 2018).
Jabatan berikutnya adalah al-Nazir yang mirip dengan menteri Bulog.
Lalu Rais al-Khidam sebagai sekretaris menteri-menteri. Jabatan yang lain adalah
Nazr al-Maliah yang bertugas mengurus Baitul Mall serta perpajakan.
Pengawasan Syah pada mereka sangat ketat dan tindakan yang diberikannya
kepada pelanggar tugas sangat keras (Muliyani 2018).

2. Bidang Ekonomi
Kerajaan Safawi pada masa Syah Abbas mengalami kemajuan di bidang
ekonomi, terutama industri dan perdagangan. Stabilitas politik Kerajaan Safawi
pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi,
lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah
menjadi Bandar Abbas. Hal ini dikarenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur
dagang antar Timur dan Barat. Yang biasa direbut oleh Belanda, Inggris, dan
Perancis, sesungguhnya menjadi milik Kerajaan Safawi (Muliyani 2018).
Di antara kemajuan yang tampak dalam bidang ekonomi adalah (Muliyani
2018):
a. Ramainya perdagangan melalui teluk Persi, dan meningkatnya ekspor Safawi,
terutama komoditi sutra.
b. Lancarnya perdagangan dengan luar negeri, terutama dengan Inggris, hingga
menimbulkan iri para niagawan Portugis. Hal ini dapat dilihat dari usaha
Portugis menghalangi kapal-kapal niaga Inggris yang menuju Persia Safawi,
sehingga terjadi pertempuran antara keduanya dan pihak Safawi membantu
Inggris. Dari pertempuran itu pangkalan Hurmuz jatuh ke tangan Safawi
sehingga arus perdagangan ke Safawi semakin deras.
c. Digalakkannya bidang pertanian, terutama yang digunakan untuk peternakan
ulat sutra, sehingga produktivitas pertanian meningkat.

12
Dibangunnya fasilitas perdagangan yang memadai, seperti sarana
transportasi, jembatan-jembatan, pusat-pusat perdagangan dan jalur yang luas
yang menghubungkan daerah sebelah timur laut Kaspia dengan daerah di sebelah
Barat (Muliyani 2018).
Di samping sektor perdagangan, Kerajaan Syaafawi juga mengalami
kemajuan di sektor pertanian, terutama di daerah Bulan Sabit Subur (Fertile
Crescent)103 dan juga telah berhasil memproduksi karpet dan permadani yang
istimewa untuk diperdagangkan (Kulsum 2021).

3. Bidang Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Sains


Dalam sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang
peradaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa Kerajaan Safawi tradisi
keilmuan ini terus berlanjut. Ada beberapa ilmuwan yang selalu hadir di majlis
istana yaitu (Muliyani 2018; Suntiah 2019):
a. Baha’ al-Din al-‘Amili (generasi ilmu pengetahuan).
b. Muhmmad Baqir ibnu Muhammad Damad (w. 1631 M) (filsuf, ahli sejarah,
dan teologi). Beliau pernah melakukan observasi tentang kehidupan lebah.
c. Sadr al-Din al-Syirazi (filsuf) dikenal dengan Mulla Shadr (w. 1641 M).
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Safawi lebih mengalami kemajuan dari
pada kerajaan Mughal dan Turki Usmani. Pada masa Safawi, filsafat dan Sains
bangkit kembali di dunia Islam, khususnya di kalangan orang-orang Persia yang
berminat tinggi pada perkembangan kebudayaan. Perkembangan baru ini erat
kaitannya dengan aliran Syiah yang ditetapkan Dinasti Safawi sebagai agama
resmi Negara (Kulsum 2021; Muliyani 2018).
Dalam Syiah Dua Belas ada dua golongan, yakni Akhbari dan Ushui.
Mereka berbeda di dalam memahami ajaran agama. Pertama, cenderung
berpegang kepada hasil ijtihad para mujtahid Syiah yang sudah mapan. Sedang
kedua mengambil dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits, tanpa terikat
kepada para mujthadi. Golongan Ushuli inilah yang paling berperan pada masa
Safawi (Muliyani 2018).

13
Menurut Hodhson, ada dua aliran filsafat yang berkembang pada masa
Safawi tersebut. Pertama, aliran filsafat “Perifatetik” sebagaimana yang
dikemukakan oleh Aristoteles dan Al-Farabi. Kedua filsafat Isyraqi yang dibawa
oleh Syaharawadi pada abad ke XII. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di
perguruan Isfahan dan Syiraj. Di bidang filosof ini muncul beberapa orang filosof
di antaranya Muhammad Baqir Damad (W. 1631 M) yang dianggap guru ketiga
sesudah Aristoteles dan Al-Farabi, tokoh lainnya misalnya Mulla Shadra yang
menurut sejartah ia adalah seorang dialektikus yang paling cakap di zamannya
(Muliyani 2018).

4. Bidang Perkembangan Fisik dan Seni


Para penguasa kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota Kerajaan yang
sangat indah. Di sana terdapat bangunan-bangunan besar dan indah seperti masjid,
rumah sakit, jembatan raksasa di atas Zende Rud dan Istana Chilil Sutun. Kota
Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik.
Ketika Abbas I wafat di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 Akademi, 1802
penginapan, 162 caravanseris, dan 273 pemandian umum dibangun oleh Abbas I
dan dilanjutkan Abbas II (Suntiah 2019).
Di bidang seni, kemajuan tampak begitu kentara dalam gaya arsitektur
bangunan-bangunannya seperti terlihat pada mesjid Shah yang dibangun tahun
1611 M dan mesjid Syaikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni
lainnya terlihat pula adanya peninggalan berbentuk kerajinan tangan, keramik,
karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya
(Muliyani 2018).
Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Raja Tahmasp I. Pada taun 1510 M
sekolah seni Lukis Timuriah dipindahkan dari Herat ke Tibriz. Di sekolah ini
diterbitkan buku Syarah Maneh (buku tentang raja-raja) yang memuat lebih dari
250 lukisan (Muliyani 2018; Suntiah 2019).
Demikian puncak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Safawi, kemajuan
yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar
Islam yang disegani oleh lawan-lawannya, terutama dalam bidang politik dan

14
militer. Kerajaan ini telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban Islam
melalui kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan,
peninggalan seni dan gedung-gedung bersejarah (Muliyani 2018).

C. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Safawi


Masa Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi dimulai sejak Raja
Abbas I telah tiada, sepeninggal Abbas I kerajaan Safawi berturut-turut diperintah
oleh enam raja, yaitu:
1. Shafi Mirza (1628 – 1642 M),
2. Abbas II (1642 – 1667 M),
3. Sulaiman (1667 – 1694 M),
4. Husen (1694 – 1722 M),
5. Tahmasp II (1722 – 1732 M),
6. Abbas III (1732 – 1736 M).
Pada masa raja-raja tersebut, kondisi Kerajaan Safawi tidak menunjukkan
grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang
akhirnya membawa kepada kehancuran, karena kerajaannya ketika itu diperintah
oleh raja-raja yang lemah dan memiliki perangai dan sifat yang buruk. Hal ini
menyebabkan rakyat kurang respons dan timbul sikap masa bodoh terhadap
pemerintahan.
Kehancuran rezim ini juga disebabkan sejumlah perubahan yang luar biasa
dalam hal hubungan negara dan agama. Safawiyah semula merupakan sebuah
gerakan, tetapi setelah berkuasa rezim ini justru menekan bentuk millenarian
Islam sufi seraya cenderung kepada pembentukan lembaga ulama negara.
Safawiyah menjadikan Syiisme sebagai agama resmi Iran, dan mengeliminir
pengikut sufi mereka sebagai mana yang dilakukannya terhadap ulama sunni
(Muliyani 2018).
Dengan demikian bentuk-bentuk institusi kenegaraan, kesukuan dan
institusi keagamaan Safawiyah yang diciptakan oleh Abbas I telah mengalami
perubahan secara mencolok pada akhir abad tujuh belas dan awal abad ke delapan
belas. Krisis abad 18 mengantarkan kepada berakhirnya sejarah Iran pramodern.

15
Hampir di seluruh wilayah muslim, periode pramodern yang berakhir dengan
Intervensi, penaklukan bangsa Eropa, dan dengan pembentukan beberapa rezim
kolonial, maka dalam hal ini konsolidasi ekonomi dan pengaruh politik bangsa
Eropa telah didahului dengan kehancuran Imperium Safawiyah dan dengan
liberalisasi ulama (Muliyani 2018).
Demikian, Rezim Safawiyah telah meninggalkan warisan kepada Iran
modern berupa tradisi Persia perihal sistem kerajaan yang agung, yakni sebuah
rezim yang dibangun berdasarkan kekuatan umat atau unsur kesukuan yang
utama, dan mewariskan sebuah kewenangan keagamaan syiah yang kohesif,
monopolitik dan mandiri (Muliyani 2018).
Raja Safi Mirza (cucu Abbas I) juga menjadi penyebab kemunduran
Safawi karena dia seorang raja yang lemah dan sangat kejam terhadap pembesar-
pembesar kerajaan. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu yang akhirnya
mengakibatkan mundurnya kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh dalam
pemerintahan sebelumnya (Abbas I). Kota Qandahar lepas dari kekuasaan
kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu diperintah oleh
Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh kerajaan Usmani.
Abbas II adalah raja yang suka minum minuman keras sehingga ia jatuh
sakit dan meninggal. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia
bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya rakyat
bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yang alim.
Ia memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering
memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini
membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka
berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi.
Pemberontakan bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali tahun 1709 M
di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar.
Pemberontakan lainnya terjadi di Heart, suku Ardabil Afghanistan berhasil
menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia dapat
mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga ia mampu
merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi.

16
Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya
mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi gubernur di
Qandahar dengan gelar Husei Quli Khan (budak Husein). Dengan pengakuan ini,
Mir Mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun 1721 M, ia merebut Kirman
dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan memaksa Shah Husein
menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M Shah Husein menyerah
dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
Kemunduran terjadi ketika dipimpin oleh Sulaiman. Dalam
kepemimpinannya dia melakukan penindasan dan pemerasan terhadap ulama
Sunni dan melaksanakan ajaran Syi’aj kepada mereka (Muliyani 2018).
Penindasan berlanjut menjadi lebih parah para zaman sultan Husain. Dia
memaksa dan menindas penduduk Afgan (sebelumnya bagian dari Iran) agar
menjadi pengikut Syi’ah. Penenindasan tersebut mengakibatkan pemberontakan
yang dipimpin oleh Mahmud Khan (Amir Kandahar) sehingga menguasai Herat,
Masyhad, dan Isfahan (1772 H) (Suntiah 2019).
Salah seorang putra Husein, bernama Tahmasp II, mendapat dukungan
penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang
sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahun
1726 M, Tahmasp II bekerja sama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk
memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf,
pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh
pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan
itu. Dengan demikian Dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan
Agustus 1732 M, Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas
III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu,
tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja
menggantikan Abbas III. Hal tersebut terjadi karena dia mendapat dukungan dari
suku Zand di Iran Barat. Dalam kepemimpinannya dia memadukan Sunni-Syi’ah
untuk mendapatkan dukungan dari Afgan dan Turki Utsmani; dan dia
mengusulkan agar mahad fiqih Ja’fari (Syi’ah) dijadikan mazhab hukum yang
kelima oleh ulama sunni. Dengan demikian berakhir kekuasaan Dinasti Safawi di

17
Persia. Kemudian kepemimpinannya ditaklukkan oleh Dinasti Qajar (Muliyani
2018; Suntiah 2019).
Setalah kejadian tersebut Dinasti Safawi diserang oleh Turki Utsmani dan
Rusia. Akibatnya Turki Utsmani merebut Arnnenia dan Azerbaijan direbut oleh
dan Rusia merebut beberapa wilayah provinsi laut Kaspia di Jilan, Mazandaran,
dan Asterbad (Suntiah 2019).
Hanya satu abad setelah ditinggal Abbas I, kerajaan ini mengalami
kehancuran. Faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya kerajaan Safawi
(Muliyani 2018):
1. Faktor Internal
a. Pada masa Safi Mirza dan Shah Abbas II, administrasi pemerintahan
diubah beberapa propinsi kaya dibawahi oleh pemerintahan pusat,
diperintah langsung oleh Shah. Kebijaksanaan ini membawa akibat negatif
bagi kerajaan yaitu; melemahkan kelompok Qizilbass yang menguasai
daerah provinsi-provinsi sehingga kerajaan kehilangan kekuatan, karena
kelemahan tersebut tidak segera ditanggulangi dan kekuatan Ghulam
(budak-budak) yang tidak memiliki mutu tempur seperti kelompok
Qizilbash.
b. Terjadinya perebutan kekuasaan dalam kerajaan yang disebabkan oleh
tradisi penunjukan raja.
c. Dekadensi moral para raja-raja dan watak mereka yang kejam, seperti Safi
Mirza yang tidak segan-segan membunuh pembesar-pembesar kerajaan.
Abbas dan Sulaiman yang pemabuk dan tidak terlalu memperhatikan
kondisi kerajaan, akibatnya rakyat bersikap apatis terhadap pemerintah.
d. Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I tidak memiliki
semangat perang yang tinggi seperti Qilzibash (baret merah) hal ini
dikarenakan pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak
melalui proses pendidikan rohani. Seperti yang di alami oleh pasukan
Qilzibash sementara anggota pasukan Qilzibash yang baru tidak memiliki
militansi dan semangat yang sama dengan anggota Qilzibash sebelumnya.
e. Pengaruh raja-raja yang berkuasa:

18
1) Raja Shafi Mirza memerintah pada tahun 628 – 1642 M sebab
kemunduran dan kehancuran pemerintahannya jiwa kepemimpinannya
lemah, sangat kejam terhadap para pembesar kerajaan, memiliki sifat
cemburu terhadap para pemimpin kerajaan, dan kota Qandahar lepas
dan diduduki kerajaan Mughal serta Baqdad direbut Turki Utsmani.
2) Raja Abbas II memerintah pada tahun 1642 – 1667 M sebab
kemunduran dan kehancuran pemerintahannya Abbas II mempunyai
sifat dan moral yang jelek dia suka bermabuk-mabukan dengan
minum-minuman keras.
3) Raja Sulaiman memerintah pada tahun 1667 – 1694 M sebab
kemunduran dan kehancuran pemerintahannya karena raja Sulaiman
merupakan raja yang sangat kejam terhadap para pembesar kerajaan
apalagi terhadap para pembesar kerajaan yang dicurigainya, oleh
karena sifatnya tersebut sehingga rakyat tidak bersimpatik kepadanya.
4) Raja Husen memerintah pada tahun 1694 1722 M sebab kemunduran
dan kehancuran pemerintahannya memberi kekuasaan yang besar
kepada para ulama syiah namun para ulama syiah menyalahgunakan
wewenang yang diberikan dan ulama syiah juga sering kali
memaksakan pendapatnya kepada kelompok aliran sunni hal itu
mengakibatkan orang-orang sunni marah dan sering terjadi konflik
yang mengakibatkan pada tidak stabilnya pemerintahan.
5) Raja Tahmasp II memerintah pada tahun 1722 – 1732 M sebab
kemunduran dan kehancuran pemerintahannya adalah Tahmasp II
menduduki pemerintahan atas dukungan suku Qazar Rusia yang
memproklamirkan diri sebagai raja yang berkuasa atas Persia dan
menjadikan pusat pemerintahan di Astarabad, kemudian ia bekerja
sama dengan Madhir Khan untuk memerangi bangsa Afghan yang
menduduki kota Isfahan, Isfahan berhasil direbut dan Safawi kembali
berdiri. Kemudian Tahmasp II dipecat oleh Nadhir Khan pada 1732 M.
6) Raja Abbas III memerintah pada tahun 1732 – 1736 M, sebab
kemunduran dan kehancuran pemerintahannya dikarenakan pada masa

19
diangkat menjadi raja ia masih kecil sehingga tidak berpengalaman
dalam pemerintahan hal ini membuat ia dilengserkan dari tahta
kerajaannya dan kerajaan Safawi diambil oleh Nadhir Khan dengan
demikian berakhir kerajaan Safawi.

2. Faktor Eksternal
a. Konflik panjang dengan kerajaan Turki Usmani. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan mazhab antar kedua kerajaan. Bagi Kerajaan Usmani,
berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman
langsung terhadap wilayah kekuasaannya. Konflik antara kedua kerajaan
tersebut berlangsung lama, meskipun konflik itu pernah berhenti sejenak
ketika tercapai perdamaian antara keduanya pada masa Raja Shah Abbas I,
namun tak lama kemudian Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah
itu dapat dikatakan tidak ada lagi perdamaian antara kedua kerajaan besar
Islam itu.
b. Kelemahan-kelemahan tersebut mengundang keberanian musuh untuk
merampas daerah-daerah kekuasaannya, ditambah lagi dengan banyaknya
daerah dalam wilayah kekuasaan Safawi melepaskan diri dan melakukan
pemberontakan-pemberontakan daerah-daerah yang melepaskan diri
terhadap kerajaan.
c. pada abad 17 beberapa kalangan Ulama Syiah tidak lagi mau mengakui
bahwa Safawiyah telah mewakili pemerintahan sang imam tersembunyi.
Pertama, Ulama mulai meragukan otoritas Syah yang berlangsung secara
turun temurun tersebut sebagai penanggung jawab pertama atas ajaran
Islam Syiah. Kedua, selaras dengan keyakinan Syiah, bahkan semenjak
masa keghaiban besar tahun 941 sang imam tersembunyi tidak lagi
terwakili di muka bumi oleh Ulama. Selanjutnya Ulama menegaskan
bahwasannya Mujtahid menduduki otoritas keagamaan yang tertinggi.

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dinasti Safawi di Persia berkuasa antara tahun 1501-1736 M. yaitu pada
waktu yang hampir bersamaan dengan Daulah Turki Usmani di Asia Kecil.
Dinasti Safawi merupakan Kerajaan Islam di Persia yang cukup besar. Awalnya
kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berada di Ardabil
(sebuah kota di Azerbaijan). Sebelum menjadi kerajaan, Safawi mengalami dua
fase pertumbuhan, fase pertama bergerak di bidang keagamaan dan fase kedua
bergerak di bidang politik. Raja-raja yang memimpin Isma'il I (1501 – 1524 M);
Tahmasp I (1524 – 1576 M); Isma'il II (1576 – 1577 M); Muhammad
Khudabanda (1577 – 1587 M); Abbas I (1587 – 1628 M.); Safi Mirza (1628 1642
M); Abbas II (1642 – 1667 M); Sulaiman (1667-1694 M); Husein I (1694 1722
M.); Tahmasp II (1722 - 1732 M); Abbas III (1732 – 1736 M).
Kemajuan pesat terjadi pada masa kepemimpinan Abas I. Kemajuan
muncul pada bidang politik, pemerintahan, ekonomi, pengetahuan, filsafat sains,
dan seni.
Kemunduran terjadi setelah kepemimpinan Abbas I dan hancur setelah
satu abad setelahnya. Ada dua faktor yang mempengaruhi yaitu faktor internal dan
faktor eksternal kehancuran Dinasti ini ditandai dengan direbutnya dinasti tersebut
oleh Nadir Khan. Kemudian kepemimpinannya ditaklukkan oleh Dinasti Qajar.

B. Saran
Berbagai informasi tentang sejarah perjuangan Islam pada masa lalu,
terutama lahirnya kerajaan-kerajaan Islam sayogyanya generasi Islam masa kini
harus mampu dan peka terhadap semuanya dengan harapan timbul rasa peduli atas
segala perjuangan dan tantangan Islam pada masa lalu. Kemajuan yang diraih dan
kehancuran yang dialami seharusnya akan menjadi catatan sejarah dalam

21
kehidupan generasi sekarang dan dapat dijadikan hikmah/ pelajaran dalam
mengatasi segala persoalan dalam kehidupan Islam masa kini.

22
DAFTAR PUSTAKA

Desky, Harjoni. 2016. “Kerajaan Safawi di Persia dan Mughal di India: Asal Usul,
Kemajuan dan Kehancuran.” Tasamuh: Jurnal Studi Islam 8(1):121–41.
Kulsum, Ummu. 2021. Sejarah Peradaban Islam Klasik dan Pertengahan.
Pamekasan: Duta Media Publishing.
Mirda, Mirda. 2016. “Peradaban Islam Pada Masa Kerajaan Safawi di Persia.”
Muliyani, Seri. 2018. “Sejarah dan Peradaban Islam Dinasti Safawi di Persia.” Al-
Manba 13.
Suntiah, Ratu. 2019. Sejarah Peradaban Islam. Kedua. Bandung: Remja
Rosdakarya.

iii

Anda mungkin juga menyukai