Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PERADABAN ISLAM DINASTI SYAFAWI DI PERSIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu : Badrus Zaman, M.Pd.I.

Disusun oleh :

Kelompok 10

1. Vina Kusnul Iftitah 23010210069


2. Milha Shafra 23010210075
3. Ersyadi Irfan Maulana 23010210107

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Peradaban Islam Dinasti Syafawi Di Persia” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata pelajaran Sejarah Peradaban Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang peradaban islam dinasti syafawi di persia bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Badrus Zaman, M.Pd.I


selaku Dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Salatiga, 19 November 2022

Penyusun

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Syafawi......................................................


B. Para Khalifah Dinasti Syafawi..............................................................
C. Kemajuan Pada Masa Dinasti Syafawi.................................................
D. Masa Kemunduran Dan Kehancuran Dinasti Syafawi.........................

BAB III PENUTUP.........................................................................................

A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setelah berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin, sejarah peradaban
Islam telah diwarnai dengan berdirinya dinasti-dinasti besar yang berperan
dalam penyebaran agama Islam, dalam perjalanannya kekuatan politik
Islam berkembang semakin pesat. Akan tetapi setelah hancurnya dinasti
Abbasiyah karena serangan dari tentara Mongol, kekuatan politik islam
mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaan islam terpecah
menjadi beberapa kerajaan kecil. Banyak peninggalan budaya dan
perdaban yang hancur. Sampai akhirnya Timur Leng yaitu pemimpin
bangsa mongol menghancurkan pusat-pusat kekuatan islam.
Keadaan politik umat islam secara keseluruhan baru mengalami
kemajuan setelah berkembangnya tiga kerajaan besar. Kerajaan tersebut
adalah Turki Utsmani, Mughol di India, dan Syafawi di Persia. Meskipun
sudah banyak kemajuan yang dicapai seperti dalam bidang pembangunan,
seni dan lainnya akan tetapi kemajuan tersebut pada hakikatnya
merupakan warisan dari kemajuan periode klasik. Kemajuan di bidang
ilmu pengetahuan masih kurang dibandingkan dengan kemajuan pada
masa dinasti Abbasiyah. Kemunculan tiga kerajaan tersbut tidak sebesar
dinasti Abbasiyah, karena mereka tidak menjadikan satu kekhalifahan
dalam memimpin rakyat dan agama Islam, seperti halnya dinasti Safawi di
Iran dan ke dua dinasti lainnya. Lahirnya dinasti Syafawi adalah
kebangkitan kembali kejayaan islam.
Kerajaan Syafawi adalah kerajaan yang berdiri berdasarkan paham
Syi'ah sebagai mazhab negara. Syiah adalah aliran yang dikenal dengan
kemajuannya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Yang menjadi
latar belakang terbentuknya kerajaan syafawi adalah adanya suatu gerakan
tarekat Safawiyah yang dipelopori oleh Safi Al-din di Ardabila pada tahun

IV
1252-1334 M. Seiring berjalannya waktu tarekat Safawiyah ini berubah
menjadi gerakan politik dan akhirnya menjadi sebuah kerajaan yang masih
menggunakan nama Syafawi.
Maka dengan begitu secara singkat makalah ini akan membahas
tentang peradaban Islam pada masa dinasti Syafawi di Persia baik sejarah
berdirinya Dinasti Syafawi, para khalifah, kemajuan sampai kepada
membahas tentang faktor kemunduran dan kehancuran dinasti Syafawi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Berdirinya Dinasti Syafawi?
2. Siapa Saja Para Khalifah Dinasti Syafawi?
3. Bagaimana Kemajuan Pada Masa Dinasti Syafawi?
4. Bagaimana Masa Kemunduran Dan Kehancuran Dinasti Syafawi?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami Sejarah Berdirinya Dinasti Syafawi
2. Mengetahui dan memahami Para Khalifah Dinasti Syafawi
3. Mengetahui dan memahami Kemajuan Pada Masa Dinasti Syafawi
4. Mengetahui dan memahami Masa Kemunduran Dan Kehancuran
Dinasti Syafawi

V
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Syafawi


Dinasti atau kerajaan Syafawi berdiri dari tahun 1503-1722 M.
Pada saat itu, Dinasti Syafawi berdiri di saat Dinasti Utsmani di Turki
telah memperoleh puncak kejayaannya. Dinasti Syafawi berawal dari
gerakan tarekat yang didirikan di Ardabil, yaitu sebuah kota di Azerbaijan
(wilayah Rusia) yang bernama tarekat Syafawiyah. Nama Syafawiyah
diambil dari nama pendirinya Syekh Ishak Safiuddin atau terkenal dengan
nama Safi Al-Din (1252-1334 M) dan nama Syafawi tetap dipertahankan
hingga tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu
dipertahankan setelah gerakan ini berjaya membangun kejayaannya.
Dinasti Syafawi di Persia berbatasan dengan dinasti Utsmani
bagian barat dan Dinasti Mughal bagian timur. Dinasti Syafawi tumbuh
sangat pesat tetapi berulang kali bentrok dengan Turki Utsmani dalam
kemajuannya. Dinasti Syafawi mengungkapkan bahwa Syiah sebagai
mahzab negara, oleh karena itu, Dinasti Syafawi dapat dianggap sebagai
landasan negara Islam Iran.
Safi Al-Din adalah orang kaya dan memilih Sufi sebagai gaya
hidupnya, yang termasuk keturunan dari Imam Syiah keenam Musa Al-
Khazim. Karena sifat alim dan zuhud nya, Safi Al-Din dijadikan menantu
gurunya yang bernama Syekh Taj Al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301 M)
atau dikenal dengan nama Zahid Al-Gilani. Dalam waktu singkat tarekat
ini tumbuh pesat di Persia, Syiria dan Asia Kecil.
Sesudah wafatnya guru atau mertuanya pada tahun 1301 Masehi
itu beliau membangun tarekat Syafawiyah, penganut tarekat ini sangat
berpegang teguh ajaran islam. Awalnya gerakan tarekat Syafawiyah
bermaksud untuk menyerangi orang ingkar dan yang mereka anggap ahlul
bid'ah. Kehadiran tarekat Syafawiyah sangat berarti sesudah berganti dari

VI
tarekat kecil yang berjiwa lokal membentuk kegiatan keagamaan yang
besar artinya di Persia, Syria, serta Anatolia. Di luar wilayah Ardabil, Safi
Al-Din menetapkan wakil yang mendidik murid-muridnya dengan gelar
"khalifah".
Ajaran agama yang dianut secara berpegang teguh cenderung
membangkitkan keinginan untuk memerintah dalam diri penganutnya.
Alhasil, dalam waktu yang tidak terlalu lama, murid-murid tarekat ini
berubah menjadi tentara yang tertib, berpegang teguh dengan mazhab
Syi'ah dan berperang melawan siapa saja yang tidak mengikuti mazhab
Syi'ah. Gerakan Syafawiyah meluas dan berkembang sehingga yang
semula hanya gerakan keagamaan berkembang dan berlipat ganda menjadi
gerakan politik. Hal ini ditandai dengan keinginan kuat mereka untuk
memerintah karena mereka dapat dengan kuat meneruskan ajaran agama
yang mereka yakini (ajaran Syi'ah).
Keinginan untuk terjun ke dunia politik terlihat nyata pada saat
kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Dinasti Syafawi meningkatkan
gerakannya dengan memperbanyak kegiatan politik pada kegiatan
keagamaan. Peningkatan kegiatan ini mengakibatkan pertikaian antara
Juneid dan pemimpin Koyunlu (domba hitam), salah satu masyarakat
Turki yang mendominasi wilayah tersebut. Pada pertikaian itu, Juneid
kalah dan dikucilkan ke suatu daerah. Di daerah itu dia memperoleh
pertolongan dari pemimpin Diyar Bakr, AK-Koyunlu (domba putih). Dia
tinggal di istana Uzun Hasan, yang berkuasa di sebagaian Persia saat itu.
Sepanjang pengucilan itu, Junaed tidak tinggal diam. Dia bahkan berhasil
menyatukan kekuatan untuk kemudian membentuk gabungan politik
bersama Uzun Hasan. Ia pun beruntung menikahi adik Uzun Hasan. Pada
tahun 1459 Masehi, Juneid berusaha menaklukkan Ardabil namun gagal.
Pada tahun 1460 Masehi dia berusaha untuk menaklukkan Sircassia,
namun rombongan yang diketuainya dicegat oleh pasukan Sirwan. Dia
sendiri tewas dalam peperangan. Saat itu, putra Juneid, Haidar, masih kecil
dan diasuh oleh Uzun Hasan. Akibatnya, kepemimpinan ini tidak bisa

VII
diberikan kepadanya sampai tahun 1470 Masehi. Hubungan Uzun Hasan
dan Haidar bertambah dekat ketika Haidar menikahi putri Uzun Hasan.
Dari pernikahan tersebut hadirlah Ismail yang setelah itu sebagai pendiri
Dinasti Syafawi di Persia.
Itulah kisah lahirnya dinasti Syafawi yang awalnya merupakan
aliran keagamaan berideologi Syiah. Kemudian membentuk dinasti besar
yang berperan penting dalam kemajuan peradaban Islam, meskipun pada
masa kejayaannya tidak dapat menandingi Dinasti Abbasiyah di Bagdad,
Dinasti Bani Umayyah di Spanyol dan Dinasti Fatimah di Mesir.
(Lhathifah dkk, 2021: 55-56).
B. Para Khalifah Dinasti Syafawi
Pada tarekat syafawiyah, jika terjadi perubahan kepemimpinan
dilaksanakan melalui penunjukan secara langsung, yaitu jika seorang ayah
meninggal dunia, penguasa tarekat yang dikuasainya diambil alih oleh
anak laki-lakinya. Hal ini sudah menjadi tradisi yang diwariskan dalam
tubuh tarekat. Setelah kematian Safi al-Din, dia digantikan oleh putranya
Sadr al-Din (1334-1399 M), kemudian Khawaja Ali (1399-1427 M) dan
selanjutnya Ibrahim (1427-1447 M). Mereka tampaknya dipengaruhi oleh
konsep Imamah Syiah bahwa Imam diangkat secara langsung hingga
turun-temurun (Desky, 2016: 124).
Adapun para khalifah atau penguasa dinasti syafawi yaitu sebagai
berikut:
1. Syah Ismail I (Tahun 1501-1524 M)
Kemudian Ismail memproklamasikan berdirinya dinasti Syafawi,
Ismail menobatkan dirinya menjadi raja sah dari dinasti Syafawi.
Ismail (selanjutnya disebut Ismail I) memulai beberapa upaya untuk
mendirikan dinasti Syafawi. Setidaknya ada dua kebijakan utama yang
ditetapkan oleh Ismail I, yaitu yang pertama, menetapkan Syiah
sebagai ideologi resmi dinasti Syafawi dan yang kedua, melakukan
pengembangan ke berbagai daerah di sekitar dinasti Syafawi.

VIII
Ketika Ismail I mengangkat dirinya menjadi raja yang syah, Ismail
juga memproklamasikan "Syiah Itsna Asy'ariyah" Menjadi agama
resmi dinasti Syafawi. Akan tetapi, karena Persia dulunya ada di
bawah penguasaan Sunni, Syah Ismail I perlu mendatangkan ulama
Syiah dari daerah yang berkuasa untuk menegakkan tradisi Syiah
semisal di Irak, Bahrain khususnya Jabal Amil Lebanon.
Peristiwa yang terjadi pada Dinasti Syafawi dengan menempatkan
syiah sebagai ideologi resminya adalah perkembangan yang
menakjubkan. Sebab sampai saat ini, sebagian besar syi'ah adalah
orang Arab. Terdapat beberapa pusat syi'ah di Iran yaitu: Ray, Kashan
dan Khurasan, juga kota Garnisun tua Qun, tetapi sebagian besar orang
Iran adalah Sunni. Karena itu Ismail I melakukan penghapusan
Sunnisme di Iran, tarekat sufi ditindas, dan ulama dieksekusi dan
dideportasi.
kejadian yang terjadi dalam dinasti Syafawi, yang menetapkan
Syiah menjadi ideologi resmi, merupakan perkembangan yang
mencengangkan. Karena selama ini mayoritas Syiah adalah orang
Arab. Ada beberapa pusat Syiah di Iran, yaitu: Ray, Kashan dan
Khurasan, juga kota garnisun kuno Qun, tetapi kebanyakan orang Iran
adalah Sunni. Akibatnya, Ismail I melakukan penghapusan Sunni di
Iran, sufi ditekan, dan ulama dieksekusi dan dideportasi.
Tindakan Ismail I yang memberlakukan syiah sebagai ideologi
resmi Dinasti Syafawi sesungguhnya bermuatan politis. Hal ini bisa
dipahami jika kita memperhatikan konsekuensi logis dari dianutnya
paham Syiah itu, khususnya konsep tentang kepemimpinan. Syah
Ismail I mengklaim dirinya sebagai manifestasi Tuhan, Cahaya
Ketuhanan dari sang Imam tersembunyi, dan sebagai Al-Mahdi. Syah
Ismail I mengakuii dirinya sebagai "Bayangan Tuhan di Muka Bumi",
Sebagai keturunan Imam Ketujuh, yaitu Musa Al-Kaziim, dari dua
belas imam Syi'ah Itsna Asy'ariyah, seorang pemimpin yang tidak

IX
mungkin salah dan seorang yang terpancar dari wujud ketuhanan,
maka otoritasnya absolute, tidak dapat dibantah.
Dengan klaim tersebut, Syah Ismail I dapat menuntut kepatuhan
mutlak dari pendukung dan rakyatnya. Apabila jika dikaitkan dengan
Dinasti Syafawi sebagai kerajaan yang baru berdiri, maka kepatuhan
tersebut sangat diperlukan untuk memperkokoh eksistensi kerajaan.
Klaim ini juga ditujukan untuk mengontrol kelompok Qizilbasy yang
semakin lama semakin menampakan pengaruhnya dalam kerajaan.
Langkah berikutnya yang dilakukan oleh Syah Ismail I dalam
membangun dan mengembangkan Dinasti Syafawi adalah dengan
melakukan ekspansi ke beberapa wilayah yang berada di sekitar
Dinasti Syafawi. Ismail I berkuasa memimpin Dinasti Syafawi selama
23 tahun (Tahun 1501-1524 M). Dalam sepuluh tahun pertama, Syah
Ismail I mempimpin Dinasti Syafawi telah berhasil menghancurkan
kekuasaan Alaq Koyunlu di Hamadan (Tahun 1503 M), menguasai
Provinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazid (Tahun 1504 M),
Diyar Bakr (Tahun 1505-1507 M), Baghdad dan daerah Barat Daya
Persia (Tahun 1508 M), Syirwan (Tahun 1509 M), dan Khurasan
(Tahun 1510 M). Dengan demikian, hanya dalam waktu sepuluh tahun,
wilayah kekuasaan Dinasti Syafawi sudah meliputi seluruh Persia dan
sebagian timur Bulan Sabit Subur (Fertille Cresent).
Musuh besar yang sangat berbahaya bagi Syah Ismail I adalah
pertama: Kabilah Uzbek yang menguasai Turkistan di sebelah timur
dengan rajanya yang bernama Muhammad Syaibani. Kedua adalah
Kerajaan Turki Utsmani yang dipimpin oleh Sultan Salim. Keduanya
adalah bermadzhab Sunni. Langkah yang ditempuh oleh Syah Ismail I
terhadap Muhammad Syaibani adalah melakukan penyerangan hebat
terhadap kekuasaan yang dipegang oleh Muhammad Syaibani
sehingga terjadi pertempuran pada tahun 1510 M.
Pertempuran yang terjadi pada tahun 1510 M dimaksudkan untuk
menguasai daerah Karman (salah satu tempat suci Syi'ah, tempat

X
makam Imam Ali Ridha). Dalam pertengahan ini Muhammad Syaibani
dan pasukannya kalah oleh pasukan Dinasti Syafawi yang dipimpin
oleh Syah Ismail I.
Musuh terbesar berikutnya yang dihadapi oleh Dinasti Syafawi
adalah Kerajaan Turki Utsmani yang sangat membenci Syi'ah.
Peperangan yang terjadi antara Dinasti Syafawi dengan Kerajaan Turki
Utsmani terjadi pada tahun 1514 M di Chaldiran dekat Tabriz. Dalam
pertempuran tersebut, pasukan Dinasti Syafawi yang dipimpin oleh
Syah Ismail I mengalami kekalahan yang diakibatkan oleh karena
keunggulan organisasi militer yang dimilki kerajaan Turki Utsmani,
bahkan Kerajaan Turki Utsmani di bawah pimpinan Sultan Salim
berhasil menguasai daerah Tabriz. Namun demikian, Dinasti Syafawi
tetap terselamatkan, karena Sultan Salim pulang kembali ke Kerajaan
Turki Utsmani yang pada saat itu di kerajaan Turki Utsmani sedang
terjadi pergolakan militer di kalangan Kerajaan Turki Utsmani sendiri.
Kekalahan yang dialami oleh Syah Ismal dari Kerajaan Turki
Utsmani yang dipimpin oleh Sultan Salim menjadi pukulan berat bagi
Dinasti Syafawi. Syah Ismai I lebih banyak menyendiri, berburu dan
berhura-hura yang mengkibatkan Dinasti Safawiyah terbengkalai dan
sering terjadi persaingan antar tiga suku, yaitu pimpinan suku-suku
Turki, pejabat-pejabat keturunan Persia dan Qizilbasy dalam upaya
merebut pengaruh untuk memimpin Dinasti Syafawi. Dalam keadaan
Dinasti Safawiyah yang kacau dilanda konflik internal, Syah Ismail I
wafat di Ardabil pada tahun 1524 M dalam usia 38 tahun.
2. Syah Tahmasp (Tahun 1524-1576 M)
Setelah Syah Ismail I wafat pada tahun 1524 M, Dinasti Syafawi
dipimpin oleh puteranya yang bernama Syah Tahmasp yang pada
waktu itu masih berusia 10 tahun. Syah Tahmasp memimpin Dinasti
Syafawi selama 52 tahun. Dalam memimpin Dinasti Syafawi selama
52 tahun, ternyata tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Syah
Tahmasp untuk mengembangkan Dinasti Syafawi, karena Syah

XI
Tahmasp sibuk dengan berbagai peperangan, khususnya peperangan
yang terjadi antara Dinasti Syafawi dengan Kerajaan Turki Utsmani
dan Kerajaan Uzbek. Selain itu juga, disamping peperangan yang
terjadi dengan dua kerajaan tersebut (Kerajaan Turki Utsmani dan
Kerajaan Uzbek), Syah Tahmasp juga sering melakukan penyerangan
terhadap kaum Kristen di Georgia.
Syah Tahmasp sebagaimana ayahnya (Syah Ismail) juga menganut
faham Syi'ah. Di akhir-akhir masa kepemimpinannya di Dinasti
Syafawi, Syah Tahmasp lebih banyak mengurung diri dan yang
berperan dalam menjalankan pemerintahan Dinasti Safawiyah adalah
para pejabat yang berada di bawah kekuasaannya. Syah Tahmasp
wafat pada tanggal 14 Mei Tahun 1576 M.
3. Ismail II (Tahun 1576-1577 Masehi)
Setelah Syah Tahmasp wafat pada tahun 1576 M, Dinasti Syafawi
dipimpin oleh puteranya yang bernama Ismail II. Seharusnya yang
menggantikan kepemimpinan Dinasti Syafawi setelah meninggalnya
Syah Tahmasp adalah putera tertuanya yang bernama Muhammad
Khudabanda. Namun karena, kelompok Qizilbasy lebih suka kepada
adiknya Muhammad Khudabanda yang bernama Ismail II, maka yang
menjadi pemimpin berikutnya setelah Syah Tahmasp adalah Ismail II.
Ismail II resmi menjadi raja Dinasti Syafawi pada tanggal 22 Agustus
Tahun 1576 M sampai 24 Nopember Tahun 1577 M. Dalam masa
yang singkat itu, Raja Ismail II sempat melakukan pembunuhan
terhadap seluruh saudaranya kecuali Muhammad Khudabanda dan
anaknya bernama Abbas yang lolos dari pembunuhan tersebut. Ismail
II juga sempat mengeluarkan larangan mencela tiga khalifah sebelum
khalifah Ali Bin Abi Tholib, yaitu Khalifah Abu Bakar Shiddiq,
Khalifah Umar Bin Khattab dan Khalifah Utsman Bin Affan dalam
setiap khutbah sholat jum'at.
4. Muhammad Khudabanda (Tahun 1577-1587 M)

XII
Setelah raja Ismail II wafat pada tanggal 24 November Tahun 1577
M, Dinasti Syafawi dipimpin oleh kakaknya yang bernama
Muhammad Khudabanda. Muhammad Khudabanda memerintah
Dinasti Syafawi selama 10 tahun yaitu mulai dari tahun 1577 M
sampai dengan Tahun 1587 M. Meskipun memerintah selama 10
tahun, namun tidak ada yang dapat dilakukan oleh raja Muhammad
Khudabanda untuk memajukan dan mengembangkan Dinasti Syafawi.
Hal ini disebabkan oleh kondisi fisiknya yang kurang dapat melihat,
sehingga yang banyak menjalankan roda pemerintahah Dinasti
Syafawi adalah isterinya sehingga Dinasti Syafawi berada dalam masa
disintegrasi dan persaingan antar kelompok.
Melihat Pemerintahan Dinasti Syafawi yang dipimpin oleh Raja
Muhammad Khudabanda dalam kondisi yang sangat lemah, Syah
Abbas I yang merupakan putera dari Raja Muhammad Khudabanda
(yang lolos dari upaya pembunuhan yang dilakukan oleh Ismail II)
melakukan upaya kudeta terhadap ayahnya (Muhammad Khudabanda)
dan berhasil menguasai Dinasti Syafawi.
5. Syah Abbas I (tahun 1588-1628 Masehi)
Setelah Muhammad Khudabanda wafat pada tahun 1588 M,
pemerintahan Dinasti Syafawi dipimpin oleh Khalifah Syah Abbas 1
yang memerintah Dinasti Syafawi mulai dari tahun 1588 M sampai
dengan tahun 1628 M. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Khalifah
Abbas I dalam rangka memulihkan kondisi Dinasti Syafawi adalah
Pertama: Khalifah Abbas I berusaha menghilangkan dominasi pasukan
Qizilbasy dari kekuasaan Dinasti Syafawi dengan cara membentuk
pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak yang berasal
dari para tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia.
Kedua: Khalifah Abbas I mengadakan perjanjian damai dengan
Kerajaan Turki Utsmani. Untuk mewujudkan perjanjian ini, Khalifah
Abbas 1 terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia dan
sebagian wilayah Luristan. Disamping itu, Khalifah Abbas I berjanji

XIII
tidak akan menghina tiga khalifah pertama yaitu Khalifah Abu Bakar
Shiddiq, Khalifah Umar Bin Khatab dan Khalifah Utsman Bin Affan
dalam setiap khutbah-khutbah sholat jum'at. Sebagai jaminan atas
syarat-syarat perjanjian Dinasti Syafawi dengan Kerajaan Turki
Utsmani, Khalifah Abbas I menyerahkan saudara sepupunya yang
bernama Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul.
Usaha-usaha yang dilakukan Khalifah Abbas I tersebut berhasil
membuat Dinasti Syafawi kuat kembali. Langkah selanjutnya,
Khalifah Abbas I mulai memusatkan perhatiannya ke luar dengan
berusaha merebut kembali wilayah kekuasaan Dinasti Syafawi yang
hilang. Pada tahun 1598 M, Khalifah Abbas I menyerang dan merebut
daerah Heart, Marw dan Balkh.
Setelah kekuatan Dinasti Syafawi terbina dengan baik, Khalifah
Abbas 1 berusaha mendapatkan kembali wilayah-wilayah Dinasti
Syafawi yang telah dikuasai oleh Kerajaan Turki Utsmani. Rasa
permusuhan antara dua dinasti yang berbeda aliran keagamaan ini
memang tidak pernah padam sama sekali. Pada Tahun 1602 M,
Khalifah Abbas I mengerahkan pasukannya untuk menyerang
Kerajaan Turki Utsmani. Pada saat Turki Utsmani dipimpin oleh
Sultan Muhammad III, pasukan Dinasti Syafawi yang dipimpin oleh
Khalifah Abbas I menyerang pasukan Turki Utsmani dan berhasil
menguasai wilayah Tabriz, Wilayah Sirwan dan Baghdad. Pada tahun
1622 M, Khalifah Abbas I berhasil menguasai wilayah Kepulauan
Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar
Abbas.
Dengan demikian, masa kekuasan Khalifah Abbas I merupakan
puncak kejayaan Dinasti Syafawi. Secara politik, Khalifah Abbas I
mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri Dinasti Syafawi
serta berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut
oleh dinasti-dinasti lain pada masa khalifah-khalifah Dinasti Syafawi
sebelumnya.

XIV
Kekhalifahan Dinasti Syafawi dibawah kepemimpinan Khalifah
Abbas I mencapai kekuasaan politik yang tertinggi. Hal ini dapat
terlihat dari adanya sistem pemerintahannya yang stabil dan dinamis.
Sistem pemerintahan yang dlaksankan Khalifah Abbas I merupakan
sebuah pemerintahan keluarga yang sangat dihormati dengan seorang
penguasa (pemimpin) yang didukung oleh sejumlah para pejabat
dilingkungan Dinasti Syafawi dan kekuatan militer. Khalifah Abbas I
memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dan dianggap sebagai
pemimpin Dinasti Syafawi yang terbesar dan mampu membawa
Dinasti Syafawi mencapai puncak kejayaannya.
6. Safi Mirza (Tahun 1628-1642 M)
Khalifah Safi Mirza naik tahta Dinasti Syafawi meggantikan
Khalifah Syah Abbas I. Safi Mirza (cucu Khalifah Abbas I) adalah
seorang pemimpin yang sangat lemah. Khalifah Safi Mirza sangat
kejam terhadap para pembesar karena sifat "pencemburunya".
Kemajuan Dinasti syafawi yang pernah dicapai oleh Khalifah Syah
Abbas I mengalami penurunan yang sangat drastis. Kota Qandahar
(sekarang termasuk wilayah Afghanistan) lepas dari Dinasti Syafawi
dan diduduki oleh Kerajaan Mughal India yang ketika itu dipimpin
oleh Sultan Syah Jehan. Sementara Baghdad yang pernah dikuasai oleh
kekhalifahan Dinasti Syafawi berhasil direbut oleh Kerajaan Turki
Utsmani.
7. Syah Abbas 11 (Tahun 1642-1667 M)
Khalifah Abbas II naik tahta kekhalifahan Dinasti Syafawi
menggantikan Khalifah Safi Mirza. Khalifah Abbas II adalah raja atau
khalifah yang suka minum-minuman keras, sehingga Khalifah Abbas
II jatuh sakit dan meninggal. Meskipun demikian, pada masa Khalifah
Abbas II dengan dibantu para wazirnya, kota Qandahar berhasil
direbut kembali oleh kekhalifahan Dinasti Syafawi dari kekuasaan
Dinasti Mughal India.
8. Sulaiman (Tahun 1667-1694 M)

XV
Khalifah Sulaiman naik tahta Dinasti Syafawi menggantikan
Khalifah Abbas II. Sebagaimana Khalifah Abbas II, Khalifah Sulaiman
juga seorang pemabuk. Khalifah Sulaiman bertindak sangat kejam
terhadap para pembesar Dinasti Syafawi yang dicurigainya. Akibatnya
rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintahan Dinasti Syafawi di
bawah kepemimpinan Khalifah Sulaiman.
9. Syah Husein (Tahun 1694-1722 M)
Khalifah Syah Husein naik tahta Dinasti Syafawi menggantikan
Khalifah Sulaiman. Khalifah Syah Husein memberikan kekuasaan
yang besar terhadap para ulama syi'ah yang sering memaksakan
pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan
kemarahan golongan sunni di Afganistan, sehingga mereka
memberontak dan berhasil menguasai Dinasti Syafawi pimpinan Shah
Husein.
Pemberontakan bangsa Afganistan terhadap Dinasti Syafawi terjadi
pertama kali pada tahun 1709 M dibawah pimpinan Mir. Vays dan
berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di
Heart, Suku Ardabil berhasil menduduki Mahad. Mir. Vays digantikan
oleh Mr. Mahmud sebagai penguasa Qandahar. Mir. Mahmud berhasil
mempersatukan pasukan Qandahar dengan pasukan Ardabil. Dengan
kekuatan ini, Mir. Mahmud berusaha mempersatukan wilayah
kekuasaannya dengan merebut negeri-negeri Afganistan dari
kekuasaan Dinasti Syafawi.
Karena desakan dan ancaman Mir. Mahmud, khalifah Syah Husein
akhirnya mengakui kekuasaan Mir. Mahmud dan mengangkatnya
sebagai Gubernur di Qandahar dengan gelar Husein Quli Khan.
Dengan pengakuan ini, Mir. Mahmud menjadi lebih leluasa bergerak.
Pada tahun 1721 M, Mir. Mahmud berhasil merebut wilayah Kirman,
Isfahan dan memaksa Syah Husein untuk menyerah tanpa syarat. Pada
tanggal 25 Oktober 1722 Masehi Khalifah Shah Husein menyerah
kepada Mir. Mahmud.

XVI
10. Tahmasp II (Tahun 1722-1732 M)
Tahmasp II yang merupakan salah satu putera Khalifah Shah
Husein dengan penuh dukungan Suku Qazar dari Rusia
memproklamasikan dirinya sebagai khalifah yang syah dan berkuasa
atas Persia dengan pusat kekuasaannya di Astarabad. Pada Tahun 1726
Masehi, Khalifah Tahmasp II bekerjasama dengan Nadhir Khan dari
Suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afganistan yang
berhasil menduduki Isfahan. Asyraf yang menggantikan Mr. Mahmud,
yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan
Nadhir Khan pada tahun 1729 M. Dalam pertempuran ini, Asyraf
terbunuh. Dengan demikian, Dinasti Syafawi kembali berkuasa.
11. Abbas III (Tahun 1732-1736 M)
Pada Bulan Agustus Tahun 1732 M, Khalifah Tahmasp II dipecat
oleh Nadhir Khan dan digantikan oleh Khalifah Abbas III yang
merupakan anak Tahmasp II. Khalifah Abbas III naik tahta Dinasti
Syafawi masih berusia sangat kecil. Empat tahun setelah pengangkatan
Khalifah Abbas III menjadi Khalifah Dinasti Syafawi, pada tanggal 8
Maret 1736 M, Nadhir Khan mengangkat dirinya sebagai khalifah
pengganti Khalifah Abbas III. Dengan demikian berakhirlah riwayat
Dinasti Syafawi di Persia (Abidin, 2020: 220-228).
C. Kemajuan Pada Masa Dinasti Syafawi
Pada masa pemerintahan Ismail, Syafawi berhasil mengembangkan
wilayah kekuasaannya sampai kedaerah Nazandaran, Gurgan, Yazd, Diyar
Bakr, Baghdad, Sirwan dan Khurasan hingga meliputi ke daerah bulan
sabit subur (fortile crescent). Kemudian ia beruasaha mengembangkan
wilayahnya sampai ke Turki Utsmani tetapi mengadap kekuatan besar dari
Kerajaan Turki Utsmani tetapi menghadapi kekuaatan besar dari kerajaan
Turki Utsmani yang sangat membenci golongan Syi’ah. Dalam perebutan
wilayah ini Syafawi mengalami kekalahan yang menyebabkan Ismail
mengalami depresi yang meruntuhkan kebanggaan dan rasa percaya
dirinya sehingga ia menempuh kehidupan dengan cara menyepi dan hidup

XVII
hura-hura. Hal ini berpengaruh pada stabilitas politik dalam kerajaan
Syafawi. Contohnya adalah terjadinya perebutan kekuasaan antara
pimpinan suku-suku Turki, Pejabat-pejabat keturunan Persia dan
Qizilbash.
Keadaan ini baru dapat diatasi pada masa pemerintahan raja
AbbasI. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Abbas I untuk memperbaiki
situasi adalah:
a. Menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi
dengan membentuk pasukan baru yang beranggotakan budak-budak
yang berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan
Sircassia.
b. Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan cara
Abbas I berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam
Islam (Abu Bakar Shiddiq, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan)
dalam khutbah Jumatnya.

Usaha-usaha tersebut terbukti membawa hasil yang baik dan membuat


kerajaan Syafawi kembali kuat. Kemudian Abbas I meluaskan wilayahnya
dengan merebut kembali daerah yang telah lepas dari Syafawi maupun
mencari daerah baru. Abbas I berhasil menguasai Herat (1598 M), Marw
dan Balkh. Kemudian Abbas I mulai menyerang kerajaan Turki Usmani
dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwani, Ganja, Baghdad, Nakhchivan,
Erivan dan Tiflis. Kemudian pada 1622 M Abbas I berhasil menguasai
kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan
Bandar Abbas.

Pada masa Abbas I inilah kerajaan Syafawi mengalami masa kejayaan


yang gemilang. Diantara bentuk kejayaannya adalah:

1) Bidang Politik dan Pemerintahan


Pengertian kemajuan di bidang politik disini adalah terwujudnya
integritas wilayah Negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan
bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat,

XVIII
serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik
internasional.
Sebagaimana lazimnya kekuatan politik suatu Negara ditentukan
oleh kekuatan angkatan bersenjata, Syah Abbas I juga telah melakukan
langkah politiknya yang pertama, membangun angkatan bersenjata
Dinasti Syafawi yang kuat, besar dan modern. Tentara Qizilbash yang
pernah menjadi tulang punggung Dinasti Syafawi pada awalnya
dipandang Syah Abbas tidak diharapkan lagi, sehingga ia membangun
suatu angkatan bersenjata reguler. Inti satuan militer ini ia ambil dari
bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristern di Georia dan di
Chircassia. Mereka dibina dengan pendidikan militer yang militan dan
persenjataan yang modern. Sebagai pimpinannya ia mengangkat
Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam.
Berkat kegigihannya Syah Abbas mampu mengatasi kemelut di dalam
negeri yang mengganggu stabilitas negara danberhasil merebut
wilayah-wilayah yang pernah disebut oleh kerajaan lain pada masa
sebelumnya.
2) Bidang Ekonomi
Kerajaan Syafawi pada masa Syah Abbas mengalami kemajuan di
bidang ekonomi, terutama industri dan perdagangan. Stabilitas politik
Kerajaan Syafawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu
perkembangan perekonomian Syafawi, lebih-lebih setelah kepulauan
Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar
Abbas. Hal ini dikarenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur
dagang antar Timur dan Barat. Yang biasa diperebut oleh Belanda,
Inggris, dan Perancis, sesungguhnya menjadi milik Kerajaan Syafawi
Selain itu, Syafawi juga mengalami kemajuan sektor pertanian
terutama di daerah Bulan Sabit Subur (fortile crescent).
3) Bidang Pendidikan
Sistem pendidikan pada masa ini didominasi oleh jenis-jenis
pendidikan yaitu:

XIX
a. Pendidikan Indokritatif
Yaitu pendidikan yang diarahkan untuk mewujudkan
patriotisme terhadap negara. Dalam hal ini doktrin yang digunakan
ialah doktrin yang terkait dengan teologi syi’ah selaku faham yang
dianut oleh negara. Rasa ajaran syi’ah begitu kental mewarnai
pemerintahan syafawi. Karena keberhasilan pemerintahan syafawi
banyak ditentukan oleh interistik dan seruan keagamaan.
b. Pendidikan Estetika
Pendidikan ini menekankan pada seni karya yang
diharapkan mampu menjadi komuditi perdagangan Dinasti
Syafawi. Dalam sejarahnya, Dinasti Syafawi telah mengenal
perdagangan internasional dan bahkan telah melakukan kerjasama
perdagangan dengan bangsa-bangsa eropa semisal Portugis,
Prancis dan Inggris. Maka tidak salah jika Dinasti Syafawi
berharap banyak terhadap rakyatnya agar mampu mengembangkan
aspek perdagangan dengan membekali mareka kemampuan-
kemampuan terkait dengan perdagangannya.
c. Pendidikan Militer Dan Manajemen Pemerintahan
Sebagai kerajaan yang besar dan memiliki tanah kekuasaan
yang luas, sudah sewajarnya Dinasti Syafawi mengembangkan
kekuatan militer mereka guna mempertahankan kekuasaannya.
Sedangkan diperlukan pula orang-orang yang ahli dalam bidang
pengelolaan pemerintahan secara internal.
d. Bidang Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Sains
Dalam sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa
yang peradaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada
masa Kerajaan Syafawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
Ada beberapa ilmuwan yang selalu hadir di majlis istana
yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi (generalis iptek), Sadr Al-Din Al-
Syaerazi (filosof), dan Muhammad Baqir bin Muhammad Damad

XX
(teolog, filosof, observatory kehidupan lebah-lebah). Dalam bidang
ilmu pengetahuan, Syafawi lebih mengalami kemajuan dari pada
kerajaan Mughal dan Turki Utsmani. Pada masa Syafawi Filsafat
dan Sains bangkit kembali di dunia Islam, khususnya dikalangan
orang-orang Persia yang berminat tinggi pada perkembangan
kebudayaan. Perkembangan baru ini erat kaitannya dengan aliran
Syiah yang ditetapkan Dinasti Syafawi sebagai agama resmi
negara.
Dalam Syiah Dua Belas ada dua golongan, yakni Akhbari
dan Ushui. Mereka berbeda didalam memahami ajaran agama.
Yang pertama cenderung berpegang kepada hasil ijtihad para
mujtahid Syiah yang sudah mapan. Sedang kedua mengambil dari
sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits, tanpa terikat kepada
para mujthadi. Golongan Ushuli inilah yang paling berperan pada
masa Syafawi.
Menurut Hodhson, ada dua aliran filsafat yang berkembang
pada masa Syafawi tersebut. Pertama, aliran filsafat “Perifatetik”
sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Al-Farabi.
Kedua filsafatI “syraqi” yang dibawa oleh Syaharawadi pada abad
ke XII. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di perguruan
Isfahan dan Syiraj. Di bidang filosof ini muncul beberapa orang
filosof diantaranya Muhammad Baqir Damad (Tahun 1631 M)
yang dianggap guru ketiga sesudah Aristoteles dan Al-Farabi,
tokoh lainnya misalnya Mulla Shadra yang menurut sejarah ia
adalah seorang dialektikus yang paling cakap di zamannya.
Sejumlah ilmuan yang selalu hadir di majlis istana yaitu
Baha Al-Din Al-Syaerazi (generalis ilmu pengetahuan), Sadr Al-
Din Al-Syaerazi (filosof), dan Muhammad Al-Baqir Ibn
Muhammad Damad (filosof, ahli sejarah, teolog dan seorang yang
pernah mengadakan observasi tentang kehidupan lebah).
e. Bidang Perkembangan Fisik dan Seni

XXI
Para penguasa kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota
Kerajaan yang sangat indah. Disana terdapat bangunan-bangunan
besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, jembatan raksasa
diatas Zende Rud dan Istana Chilil Sutun. Kota Isfahan juga
diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik.
Ketika Abbas I wafat di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 Akademi,
1802 penginapan dan 273 pemandian umum.
Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam
gaya arsitektur bangunan-bangunannya seperti terlihat pada mesjid
Syah yang dibangun tahun 1611 M dan mesjid Syaikh Lutf Allah
yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat pula
adanya peninggalan berbentuk kerajinan tangan, keramik, karpet,
permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda
senilainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Raja Tahmasp I.

Demikianlah puncak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan


Syafawi, kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi salah
satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani oleh lawan-lawannya,
terutama dalam bidang politik dan militer. Kerajaan ini telah memberikan
kontribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan-kemajuan dalam
bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan seni dan gedung-gedung
bersejarah (Syauki dkk, 2016: 197-202).

D. Masa Kemunduran Dan Kehancuran Dinasti Syafawi


Sepeninggal Abbas I, Kerajaan Syafawi berturut-turut diperintah
oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M),
Sulaiman (1667-1694 M), Husein (1694- 1722 M), Tahmasp II (1722-
1732 M) dan Abbas III (1733-1736 M). Pada masa raja-raja tersebut
kondisi kerajaan Syafawi tidak menunjukkan kemajuan atau menjadi lebih
baik. Tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa
kepada kehancuran. Para raja tersebut hampir tidak memiliki perhatian
kepada kondisi sosial kemasyarakatan dan kenegaraan (Desky, 2016: 130).

XXII
Raja Safi Mirza (cucu Syah Abbas I) juga menjadi penyebab
kemunduran Syafawi. Karena dia seorang raja yang lemah dan sangat
kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan.
Pada masa Syah Abbas II, kota Qandahar lepas dari kekuasaan
Dinasti Syafawi dan diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu
diperintah oleh Sultan Syah Jehan. Sementara itu, Baghdad direbut oleh
kerajaan Turki Utsmani. Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman
keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal.
Sebagaimana Abbas II, Syah Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia
bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya,
rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Syah
Husain yang alim. Syah Husain ini memberi kekuasaan yang besar pada
ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut
aliran Sunni. Sikap ini pun akhirnya membangkitkan kemarahan golongan
Sunni Afghanistan. Sehingga mereka memberontak dan berhasil
mengakhiri kekuasaan Dinasti Syafawi.
Pemberontakan bangsa Afghan terjadi pertama kali pada tahun
1709 M dibawah pimpinan Mir Vays dan berhasil merebut Qandahar.
Pemberontakan lainnya terjadi di Herat, suku Ardabil Afghanistan berhasil
menduduki Mashad. Mir Vays kemudian diganti oleh Mir Mahmud dan ia
dapat mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil. Dengan
kekuatan penuh Mir Mahmud pun mampu merebut negeri-negeri
Afghanistan dari Syafawi. Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud,
Syah Husain akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan
mengangkatnya menjadi gebernur di Qandahar. Dengan pengakuan ini,
Mir Mahmud semakin leluasa bergerak. Hingga pada tahun 1721 M, Mir
Mahmud merebut Kirman dan tidak lama kemudian ia menyerang Isfahan.
Selanjutnya, Mir Mahmud memaksa Syah Husain menyerah tanpa syarat.
Pada tanggal 12 Oktober 1722 M, Syah Husain menyerah dan 25 Oktober
Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan (Ghazali,
2016: 46-47).

XXIII
Salah seorang putera Husein, bernama Tahmasp II, mendapat
dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya
sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya
di kota Astarabad. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir
Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan
yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa
di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729
M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu, dengan demikian
Dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M,
Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan, dan digantikan oleh Abbas III (anak
Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu,
tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai
raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan
Dinasti Syafawi di Persia (Zubaidah, 2016: 194).
Sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi yaitu
sebagai berikut:
1) Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani.
Berdirinya kerajaan Safawi yang bermadzhab Syi'ah merupakan
ancaman bagi kerajaan Usmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian
antara dua kerajaan besar ini.
2) Terjadinya dekandensi moral yang melanda sebagian pemimpin
kerajaaan Safawi, yang juga ikut mempercepat proses kehancuran
kerajaan ini. Raja Sulaiman yang pecandu narkotik dan menyenangi
kehidupan malam selama tujuh tahun tidak pernah sekalipun
menyempatkan diri menangani pemerintahan, begitu pula dengan
sultan Husein.
3) Pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak
memiliki semangat perjuangan yang tinggi seperti semangat Qizilbash.
Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental karena
tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani.

XXIV
Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap
lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Safawi.
4) Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan
dikalangan keluarga istanaa (Sari, 2015: 101).

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zaenal. 2020. "Dinasti Safawiyah (Tahun 1501 M-1736 Masehi)".


Tsaqofah, Vol. 11, No. 2: 219-232.

Desky, Harjoni. 2016. "Kerajaan Safawi Di Persia dan Mhugal India: Asal Usul,
Kemajuan dan Kehancuran ". Tasamuh: Jurnal Studi Islam, Vol. 8, No. 1:
121-141.

Ghazali, Yusni Amru, 2016. Sejarah Kebudayaan Islam: Pendekatan Saintifik


Kurikulum 2013, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia.

Lathifah, Ismi, dkk. 2021. "Peradaban dan Pemikiran Islam Pada Masa Dinasti
Safawi di Persia". Islamic Education, Vol. 1, No. 2: 54-61.

Sari, Kartika, 2015. Sejarah Peradaban Islam, Bangka Belitung: Shiddiq Press.

Syauqi, Abrari dkk, 2016. Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Aswaja


Pressindo.

Zubaidah, Siti, 2016. Sejarah Peradaban Islam, Medan: Perdana Mulya Sarana.

XXV
XXVI

Anda mungkin juga menyukai