Anda di halaman 1dari 18

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA

DINASTI SYAFAWI DI PERSIA


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam

Disusun Oleh :

Wida Siti Weroh (5122050)

Asmaya (5122051)

Dosen Pembimbing :

Dr. Slamet Munawar, M.Pd.I

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmatnya sehingga penulis dapat
menyusun makalah tentang “Perkembangan Peradaban Islam pada masa dinasti syafawi
di persia” dengan sebaik – baiknya. Shalawat serta salam kami haturkan kepada baginda
Nabi agung Muhammad SAW yang kami nantikan syafaatnya di yaumul akhir kelak.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Sejarah Peradaban Islam. Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Slamet
Munawar, M.Pd.I sebagai dosen pembimbing atas bimbinganya sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.

Meskipun kami telah menyusun makalah ini dengan maksimal, akan tetapi tidak
menutup kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca untuk perbaikan selanjutnya.

Kami berharap tulisan ini dapat bermanfaat kepada penulis pada khususnya dan
pembaca pada umumnya.

Bogor, 02 Desember 2022

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………

DAFTAR ISI………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………………………………

B. Rumusan Masalah………………………………………………..

C. Tujuan……………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Syafawi………………………

B. Perkembanagan Kerajaan Syafawi…………………………………

C. Sebab-sebab Mundurnya Kerajaan Syafawi………………………….

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sepeninggal Rasulullah, Islam sudah tersebar di Seantero Jazirah Arab.


Islam terus melakukan ekspansi dibawah kendali pada khalifah Ar-Rasyidin dan
selanjutnya oleh Dinasti Umayyah kemudian Dinasti Abbasiyah. Di akhir
pemerintahan Abbasiyah, Islam semakin merosot selama beberapa abad.
Ditengah-tengah keterpurukan Islam muncullah tiga kerajaan besar, yaitu
Kerajaan Turki Usmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal
di India. Ketika Kerajaan Usmani sudah mencapai puncak kemajuannya, Kerajaan
Safawi di Persia baru berdiri. Kerajaan ini berkembang dengan cepat dan dalam
perkembangannya, Kerajaan Safawi sering bentrok dengan Kerajaan Turki
Usmani. Selain itu, Kerajaan Safawi menyatakan Syi’ah sebagai mazhab
negaranya.

A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang berdirinya Kerajaan Safawi?
2. Bagaimana perkembangan Kerajaan Safawi?
3. Apa yang menjadi penyebab mundurnya Kerajaan Safawi?

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Kerjaan Safawi.
2. Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Safawi.
3. Untuk mengetahui penyebab mundurnya Kerajaan Safawi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Safawi


Dinasti Safawiyah di Persia berkuasa antara tahun 1502-1722 M. Dinasti
Safawiyah merupakan kerajaan Islam di Persia yang cukup besar. Awalnya
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil,
sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, yang
diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi itu
terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu
terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni Kerajaan
Safawi.1
Safi Al-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi
sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah yang keenam, Musa Al-
Kazhim. Gurunya bernama Syaikh Taj Al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301 M)
yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Karena prestasi dan ketekunannya
dalam kehidupan tasawuf, Safi Al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut.
Safi Al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan
sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh
memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan
memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka
sebut “ahli-ahli bid’ah”. Tarekat yang dipimpin Safi Al-Din ini semakin penting,
terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni
yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia,
Syria, dan Anatolia. Di negeri-negeri diluar Ardabil, Safi Al-Din menempatkan
seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar
“khalifah”.2
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerapkali
menimbulkan keinginan dikalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa. Oleh
karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi

1
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 187.
2
Ibid.
tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan, dan menentang setiap orang
bermazhab selain Syi’ah.
Kecenderungan memasuki dunia politik itu dapat terwujud konkretnya
pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas
gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan.
Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara
Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah
itu. Dalam konflik tersebut, Juneid kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Di
tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu
(domba putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang
ketika itu menguasai sebagian besar Persia.3
Selama dalam pengasingan, Juneid tidak tinggal diam. Ia malah dapat
menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun
Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun
Hasan. Pada tahun 1459 M, Juneid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Pada
tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang dipimpin
dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.4
Ketika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam asuhan Uzun
Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan
kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan Uzun
Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini seorang putri Uzun Hasan. Dari
perkawinan ini lahirlah Ismail yang kemudian hari menjadi pendiri Kerajaan
Safawi di Persia.
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kera Koyunlu,
membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai
rival politik oleh AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal,
sebagaimana telah disebutkan, Safawi adalah sekutu AK Koyunlu. AK Koyunlu
berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti Safawi. Karena
itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, AK Koyunlu
mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan
Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu.

3
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 139.
4
Ibid, hlm. 139-140.
Ali, putra dan pengganti Haidar, didesak oleh bala tentara untuk menuntut
balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu. Tetapi Ya’kub
pemimpin AK Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama
saudaranya, Ibrahim dan Ismail, dan ibunya, di Fars selama empat setengah tahun
(1489-1493). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota AK Koyunlu,
dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah saudara
sepupu Rustam dapat dikalahkan, Ali bersaudara kembali ke Ardabil. Akan tetapi,
tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara,
dan Ali terbunuh dalam serangan ini (1494 M).
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada ditangan Ismail, yang
saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail bersama pasukannya
bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan
para pengikutnya di Azerbaijan, Syiria, dan Anaotalia. Pasukan yang dipersiakan
tersebut dinamakan Qizilbash (baret merah).5
Di bawah kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash
menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu di Sharus, dekat Nakhchivan. Pasukan
ini terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibu kota AK Koyunlu dan
berhasil merebut dan mendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamirkan dirinya
sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ismail inilah yang yang dipandang sebagai
pendiri yang pertama dari Kerajaan Safawiyah.6

B. Perkembangan Kerajaan Safawi


Ketika gerakan Safawiyah dipimpin oleh Ismail I, eksistensi gerakan ini
semakin kuat. Inilah kemudian ia memproklamirkan dirinya sebagai pendiri
Kerajaan Safawiyah setelah Qizilbash sukses mengalahkan pasukan AK Koyunlu
yang semula sebagai sekutunya, dan akhirnya menjadi rival politiknya, di Sharur
dekat Nakhchivan pada tahun 1501 M dan menguasai Tabriz, pusat kekuasaan
dinasti AK Koyunlu.7
Pemerintahan Ismail I berlangsung selama 23 tahun yaitu sejak 1501-
1524. Sepuluh tahun pertama, dikonsentrasikan untuk ekspansi keluar. Ismail I
sukses menghancurkan sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamdan (1503),

5
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 189.
6
Ibid.
7
Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 224.
menduduki propinsi Kapsis di Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504), Diyar Bakr
(1505-1507), Baghdad dan daerah barat daya Persia (1508), Sirwan (1509) dan
Khurasan (1510). Karena itu, wilayah kekuasaan Ismail I meliputi seluruh Persia
dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent), yaitu di Asia Tengah yang
membentang mulai dari Laut Tengah melalui daerah antara Sungai Tigris dan
Sungai Euphart, hingga ke Teluk Persia. Ini merupakan capaian yang cukup luas
untuk sebuah penguasaan yang berlangsung selama sepuluh tahun.
Sebenarnya, kekuatan besar yang menjadi pesaing Kerajaan Safawiyah
saat itu adalah dua kekuatan penting yaitu Uzbeg di sebelah timur yang dikuasai
oleh Khan Muhammad Syaibani dan Turki Usmani di barat yang dikuasai Sultan
Salim. Ismail melakukan penyerangan terhadap kelompok pertama membawa
kemenangan di pihak Ismail. Tetapi ketika pada peperangan dengan kelompok
kedua, Turki Usmani yang dipimpin Sultan Salim dan kemenangan berada
dipihak Sultan Salim. Pertempuran ini tidak hanya bermotif politis semata, tetapi
juga bermotif agama. Salim benci terhadap orang-orang Syi’ah yang berada di
wilayah kekuasaannya, sehingga ia mengadakan pengejaran terhadap orang-orang
yang dipandangnya telah meninggalkan faham Sunninya. Angkatan perang Turki
yang melangkah ke wilayah Azerbaijan dan Persia Barat akhirnya berhasil
mengalahkan orang-orang Persia. Pada saat itu Turki Usmani memang dalam
masa-masa yang kuat, dan capaian ekspansinya sangat luas, termasuk mileternya
juga tangguh.8
Oleh karena itu, kemenangan Turki Usmani atas Persia ini bisa dibilang
karena sejumlah faktor, diantaranya adalah karena memang jumlah pasukannya
lebih besar dan dilengkapi dengan persenjataan yang cenderung lebih canggih.
Kekalahan dipihak Safawiyah, tetapi tidak sampai menjatuhkan Kerajaan
Safawiyah. Setelah pertempuran tersebut, Sultan Salim dan pasukannya kembali
ke Turki dan dalam tubuh tentaranya terdapat konflik internal yang menimbulkan
perpecahan. Tetapi kondisi demikian tidak bisa dimanfaatkan oleh Ismail karena
kekalahan yang dideritanya dari pasukan tersebut.
Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail.
Akibatnya, kehidupan Ismail I berubah. Ia lebih senang menyendiri, menempuh

8
Ibid, hlm. 225.
kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan ini menimbulkan dampak negatif bagi
Kerajaan Safawi, yaitu terjadinya persaingan segitiga antara pimpinan suku-suku
Turki, pejabat-pejabat keturunan Persia, dan Qizilbash dalam merebut pengaruh
untuk memimpin Kerajaan Safawi.9
Ismail meninggal dunia pada tahun 1524 M. Kendali pemerintahan
kemudian dipegang oleh putranya, Tahmasp I yang berkuasa pada tahun 1524-
1576 M. Meskipun dia seorang pertapa, namun ia juga dikenal sebagai seorang
ahli strategi militer. Hal itu dibuktikan dengan kemampuan Tahmasp I
mematahkan lima serangan orang Uzbeg Khurasan dan empat serangan pasukan
Turki Usmani Azerbaijan. Setelah Tahmasp I wafat, kepemimpinan dipindahkan
kepada Syah Ismail II (1576-1577) dan kemudian dipegang oleh Syah
Muhammad Khudabanda (1577-1587). Tetapi kedua raja ini tidak mampu
mengembalikan kondisi pemerintahan yang begitu memprihatinkan, yang
disebabkan oleh karena sering terjadinya konflik politik dengan Turki Usmani
disamping diperburuk dengan adanya pertentangan internal lingkungan wilayah
Kerajaan Safawi sediri, yang justru merugikan Safawiyah secara politis.
Situasi seperti ini kemudian berakhir ketika Syah Abbas naik menjadi
pimpinan Safawiyah. Ia memerintah dari tahun 1558 sampai dengan 1628 M.
Pada masa inilah Kerajaan Safawi mengalami masa keemasannya, ada kemajuan-
kemajuan pada masa Abbas I, yaitu:10
1. Bidang Politik
Pada saat Abbas I memulai memegang kepemimpinan, sebenarnya kondisi
Safawiyah berada pada situasi yang memprihatinkan. Abbas I kemudian
mengambil sejumlah langkah penting diantaranya:
a. Abbas I membentuk pasukan baru yang direkrut dari para budak dan tawanan
perang yang berkebangsaan Georgia, Armenia dan Sircassia, untuk
menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash. Dalam kenyataannya, ternyata
langkah ini cukup strategis bagi tegaknya kekuasaan Abbas I. Langkah ini
dilakukan karena pasukan Qizilbash merasa telah banyak berjasa sebelumnya,
sekaligus sebagai penguasa pemerintahan. Oleh karena itu rekrutmen

9
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 142.
10
Fu’adi, Sejarah Peradaban, hlm. 227.
kelompok budak dan tawanan perang ini dimaksudkan untuk menciptakan
pasukan yang memilki posisi fungsional dan strategis sebagai pasukan inti
dan penjaga garda terdepan dalam pemerintahannya. Pasukan inilah yang
nantinya disebut Ghulam.
b. Jalin hubungan dengan Turki Usmani. Dalam usaha untuk membangun
stabilitas politik negerinya, Abbas I menempuh langkah diplomatik dengan
Kerajaan Turki Usmani. Langkah ini dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengurangi permusuhan dengan pihak lawan. Namun demikian, untuk
kepentingan ini Abbas I harus menyerahkan sebagian kekuasaannya yaitu
Azerbaijan, Georgia dan Luristan kedalam cakupan wilayah Turki Usmani.
Bahkan lebih juh dari itu, sebagai jaminannya Abbas mengirimkan
saudaranya Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul. Satu hal yang agaknya
tidak bisa dilupakan adalah pengorbanan faham Syi’ah yang selama ini salah
satu ajarannya adalah memaki-maki khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman
dalam setiap khutbah, maka dihapuskanlah caci makian tersebut. Sehingga
tidak ada lagi caci makian kepada para sahabat Rasul tersebut kala itu.
c. Aliansi dengan Inggris. Sebagai sebuah pemerintahan besar kala itu, Turki
Usmani memilki sejumlah musuh, diantaranya adalah Inggris yang sulit
dikalahkan. Inggris membuat strategi untuk menghancurkan musuhnya, yaitu
dengan jalan menyulut peperangan antara Safawiyah dan Turki Usmani.
Untuk mewujudkan upayanya, Inggris mengirimkan dua orang utusannya,
yaitu Sir Anthony Shearly dan Sir Robert Shearly untuk memperkenalkan
strategi perang dan pembuatan senjata canggih untuk menghancurkan
lawannya. Ketika terjadi peperangan antara Turki dengan Austria, moment
tersebut dimanfaatkan Abbas untuk mengalahkan Turki Usmani dan berhasil
merebut wilayah Tibbiz, Syirwan, Kaukasus, Balkh, Marw dan Baghdad pada
tahun 1602 M. Sedangkan kota Nachivant, Erivan, Ganja dan Tiflis dikuasai
pada tahun 1605-1606 M. Pada tahun 1622 M, pasukan Abbas I berhasil
merebut kepulauan Hurmuz, basis kekuatan Portugis dan menjadikan
pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas, yang merupakan
pelabuhan penting Kerajaan safawi.

2. Bidang Ekonomi
Sejak dikuasainya kepulauan Hurmuz dan dibukanya Bandar Abbas, maka
Safawiyah akhirnya menjadi pemegang kunci perdagangan Internasional lewat
jalur laut saat itu. Ternyata Bandar Abbas merupakan jalur dagang laut potensial
dan strategi yang posisinya mempertemukan antara timur dan barat yang telah
diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Prancis. Demikian juga jalur daratnya,
arus perdagangannya tetap melewati kota-kota penting yang dikuasai Safawiyah,
seperti Marw dan Baghdad.
Barang-barang yang diperdagangkan waktu itu antara laina adalah rempah-
rempah dan hasil industri Persia yang berupa logam, sutera, permadani dan
keramik. Selain itu, kemajuan juga terjadi di sektor pertanian yang sering disebut
daerah Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent).
3. Bidang Fisik dan Seni
Pada masa Abbas I menjadi penguasa, ia memindahkan kekuasaannya dari
Qazwin ke Isfahan. Kebujaksanaan dilakukan untuk memudahkan pengontrolan
terhadap seluruh daerah kekuasannya serta untuk memperlancar hubungan dengan
pintu perdagangan di Teluk Persia. Sebagai pusat kota Kerajaaan Safawi sekaligus
sebagai lambang kejayaan dan kewibawannya, maka Syah Abbas I melengkapi
dan mempercantik kota Isfahan.
Isfahan sebagai ibu kota Kerajaan Safawi yang indah sesungguhnya juga
didukung keindahan bangunan-bangunan lain seperti masjid, rumah sakit,
sekolah, jembatan raksasa diatas Zende Rud dan istana Chihil Sutun. Kota Isfahan
juga dipercantik dengan taman-taman wisata yang ditata dengan indah. Jumlah
bangunan yang didirikan di Isfahan itu mencapai 162 masjid, 48 akademi, 1802
penginapan, 2073 pemandian umum. Adapun diantara karya seni dengan
arsitektur megah yang monumental adalah masjid Shakh Luthf Allah yang
dibangun pada tahun 1603 M, dan masjid Shah yang didirikan pada tahun 1611
M. Disamping itu, dipugar pula makam Ali al-Ridha di Mashhad. Dengan
demikian Isfahan betul-betul tertopang oleh bangunan-bangunan lain yang indah
yang turut menghiasi keindahan kota ini.
4. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Agama
Dalam sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang
berperadaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan apabila pada masa Kerajaan Safawi, khususnya
ketika Abbas I berkuasa, tradisi keilmuwan terus berkembang.
Berkembangnya ilmu pengetahuan masa Kerajaan Safawi tidak lepas dari
suatu doktrin mendasar bahwa kaum Syi’ah tidak boleh taqlid dan pintu ijtihad
selamanya terbuka. Kaum Syi’ah tidak seperti kaum Sunni yang mengatakan
bahwa ijtihad telah terhenti dan orang mesti taqlid saja. Kaum Syi’ah tetap
berpendirian bahwasannya mujtahid tidak terputus selamanya.11
Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembanagn pemikiran
Islam ini, doktrin keagamaan metafisika Syi’ah dapat dijumpai dalam karya tulis
yang disumbangkan oleh pemikir besar seperti Mir Damad, Baha’ al-Din al-
Amili, salah seoramg Syi’i dari Jabal Amil di Lebanon yang datang ke Persia, dan
Sadr al-Din al-Syirazi yang lebih populer dengan nama Mulla Sadra, seorang
teosof dan filosof muslim yang telah memadukan konsep antara teori Ibnu Arabi,
Al- Suhrawardi, Ibnu Sina dan Nashir al-Din al-Thusi ke dalam perspektif Syi’ah.
Dan semenjak itulah pemikiran-pemikiran Syi’ah terus berkembang di Persia,
Irak, Lebanon dan beberapa daerah di India, dan bisa pula ke wilayah yang lebih
dari itu. Dalam kaitannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan ini, Kerajaan
Syafawiyahlah yang paling maju dibanding dengan kerajaan-kerajaan lain di
masanya.
Pada masa Abbas I, kebijakan keagamaan tidak lagi seperti masa khalifah-
khalifah sebelumnya yang senantiasa memaksakan agar Syi’ah menjadi agama
negara, tetapi ia menanamkan sikap toleransi. Menurut Hamka, terhadap politik
keagamaan beliau tanamkan paham toleransi atau lapang dada yang amat besar.
Paham Syi’ah tidak lagi menjadi paksaan, bahkan orang Sunni dapat hidup bebas
mengerjakan ibadahnya. Bukan hanya itu saja, pendeta-pendeta Nasrani
diperbolehkan mengembangkan ajaran agamanya dengan leluasa sebab sudah
banyak bangsa Armenia yang telah menjadi penduduk setia di kota Isfahan.12

C. Sebab-Sebab Mundurnya Kerajaan Safawi


Sepeninggal Abbas I, Kerajaan Safawi berturut-turut diperintahkan oleh
enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman

11
Dedy Supriadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 257.
12
Ibid, hlm. 256.
(1667-1694 M), Husein (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas
III (1733-1736 M). Pada masa raja-raja tersebut, kondisi Kerajaan Safawi tidak
menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan
kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran.13
Safi Mirza, cucu Abbas I, adalah seorang pemimpin yang lemah. Ia sangat
kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena sifat pencemburunya.
Kemajuan yang pernah dicapai oleh Abbas I segera menurun. Kota Qandahar
(sekarang termasuk wilayah Afghanistan) lepas dari kekuasaan Kerajaan Safawi,
diduduki oleh Kerajaan Mughal yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan,
sementara Baghdad direbut oleh Kerajaan Usmani. Abbas II adalah raja yang
suka minum-minuman keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Meskipun
demikian, dengan bantuan wazir-wazirnya, pada masa itu kota Qandahar dapat
direbut kembali. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia
bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicuranginya. Akibatnya, rakyat
bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yang
alim. Pengganti Sulaiman ini memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama
Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni.
Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga
mereka berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi.
Pemberontakan bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali pada tahun
1709 M dibawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar.
Pemberontakan lainnya terjadi di Herat, suku Ardabil Afghanistan berhasil
menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud sebagai penguasa
Qandahar. Ia berhasil mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil.
Dengan kekuatan gabungan ini, Mir Mahmud berusaha memperluas wilayah
kekuasaannya dengan merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi. Ia
bahkan berusaha menguasai Persia.
Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya
mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya sebagai gubernur di
Qandahar dengan gelar Husein Quli Khan (budak Husein). Dengan pengakuan ini
Mir Mahmud menjadi lebih leluasa bergerak. Pada tahun 1721 M, ia dapat

13
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 156.
merebut Kirman. Tak lama kemudian, ia dan pasukannya menyerang Isfahan,
mengepungnya selama enam bulan dan memaksa Shah Husein untuk menyerah
tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M, Shah Husein menyerah dan 25
Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
Salah seorang putra Husein, bernama Tahmasp II, dengan dukungan penuh
suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan
berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Pada tahun
1726 M Tahmasp II bekerja sama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk
memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf,
pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh
pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan
itu. Namun pada bulan Agustus 1732 M Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan
digantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil.
Empat tahun setelah itu, tepatnya, 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya
sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan
Dinasti Safawi di Persia.14
Diantara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi ialah
konflik berkepanjangan dengan Kerajaan Usmani. Bagi Kerajaan Usmani,
berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung
terhadap wilayah kekuasaan. Konflik antara dua kerajaan tersebut berlangsung
lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian pada masa
Shah Abbas I. Namun, tak lama kemudian, Abbas meneruskan konflik tersebut,
dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi perdamaian antara dua kerajaan
besar Islam tersebut.
Penyebab lainnya adalah dekadansi moral yang melanda sebagian para
pemimpin Kerajaan Safawi. Ini turut mempercepat proses kehancuran kerajaan
tersebut. Sulaiman, disamping pecandu berat narkotik, juga menyenangi
kehidupan beserta harem-haremnya selama tujuh tahun tanpa sekali pun
menyempatkan diri menangani pemerintahan. Begitu juga Sultan Husein.
Penyebab penting lainnya adalah karena pasukan Ghulām (budak-budak)
yang dibentuk oleh Abbas I tidak memilki semangat perang yang tinggi seperti

14
Ibid. 157-158.
Qizilbash. Hal ini disebabkan karena pasukan tersebut tidak disiapkan secara
terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani seperti yang dialami oleh
Qizilbash. Sementara itu, anggota Qizilbash yang baru ternyata tidak memilki
militansi dan semangat yang sama dengan anggota Qizilbash sebelumnya.15 Tidak
kalah penting dari sebab-sebab diatas adalah seringnya terjadi konflik intern
dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.

15
Ibid, hlm. 158-159.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di
Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat
Safawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334
M) dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi
gerakan politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini
berhasil mendirikan kerajaan, yakni Kerajaan Safawi.
2. Pemerintahan Ismail I berlangsung selama 23 tahun yaitu sejak 1501-1524.
Sepuluh tahun pertama, dikonsentrasikan untuk ekspansi keluar. Ismail I
sukses menghancurkan sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamdan (1503),
menduduki propinsi Kapsis di Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504),
Diyar Bakr (1505-1507), Baghdad dan daerah barat daya Persia (1508),
Sirwan (1509) dan Khurasan (1510). Ketika Syah Abbas naik menjadi
pimpinan Safawiyah dari tahun 1558 sampai dengan 1628 M, Kerajaan
Safawi mengalami masa keemasannya, ada kemajuan-kemajuan pada masa
Abbas I, baik di bidang politik, ekonomi, fisik dan seni, maupun di bidang
ilmu pengetahuan dan agama.
3. Diantara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi ialah
konflik berkepanjangan dengan Kerajaan Usmani. Bagi Kerajaan Usmani,
berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman
langsung terhadap wilayah kekuasaan. Penyebab lainnya adalah dekadansi
moral yang melanda sebagian para pemimpin Kerajaan Safawi.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010.


Fu’adi, Imam. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Yogyakarta:
Teras, 2012.

Supriadi, Dedy. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008. Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Anda mungkin juga menyukai