Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH MORFOLOGI JEJAS PADA SEL DAN JARINGAN

Dosen Pengampu:

Kelompok II
Fakultas Farmasi & Ilmu Kesehatan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penting untuk menjelaskan perubahan dasar yang terjadi pada sel yang rusak
sebelum kita membahas mekanisme biokimia yang menyebabkan perubahan ini.
Semua stress dan pengaruh berbahaya mengerahkan efeknya pertama pada tingkat
molekuler atau biokimia. Ada jeda waktu antara stress dan perubahan morfologi
cedera atau kematian sel; durasi penundaan ini dapat bervariasi dengan sensitivitas
metode yang digunakan untuk mendeteksi perubahan ini. Dengan teknik
histokimia atau ultrastruktural, perubahan dapat terlihat dalam hitungan menit
hingga jam setelah cedera; namun, mungkin diperlukan waktu yang jauh lebih
lama ( berjam-jam hingga berhari-hari) sebelum perubahan dapat dilihat dengan
mikroskop cahaya atau pada pemeriksaan kasar. Seperti yang diharapkan,
manfentasi morfologis nekrosis membutuhkan waktu lebih lama untu berkembang
daripada kerusakan revelsibel. Misalnya, pada iskemia miokardium,
pembengkakan sel merupakan perubahan morfologi yang revelsibel yang dapat
terjadi dalam hitungan menit, dan dapat berkembang menjadi irevelsibel dalam
satu atau dua jam. Namun, perubahan kematian sel mikroskopis cahaya yang jelas,
mungkin tidak terlihat sampai 4 hingga 12 jam setelah iskemia total

1.2.Rumuhan Masalah

1. Bagaimana jalur lintas umum jejas sel revelsibel dan iveresibel?


2. Bagaimana mekanisme jejas iveresibel?
3. Bagaimana marfologi jejas sel reversible dan kematian sel ?

1.3. Tujuan

1. Untuk saya mengetahui mekanisme jejas irevelsibel


2. Untuk mengetahui tentang jejas sel
3. Untuk mengetahui perubahan dasar sel yang rusak
BAB II
MATERI
1

2.1. Marfologi Jejas Pada Sel dan jaringan


Pembengkakan sel (Gambar. 1–8, B),manifestasi pertama jejas pada sel, ialah perubahan
reversibel yang sulit dikenal pada mikroskop cahaya. tetapi lebih tampak pada tingkat organ.
Apabila keadaan itu mengenai banyak sel pada suatu organ, akan mengakibatkan warna pucat
(akibat dari tekanan pada kapiler), turgor meningkat, dan berat organ akan meningkat. Gambaran
mikroskopik menunjukkan vakuol kecil jernih dalam sitoplasma; menandakan segmen retikulum
endoplasmik (ER) yang melebar dan terlepas. Pola jejas non- letal ini kadang-kadang disebut
degenerasi hidrofik atau degenerasi vakuolar. Degenerasi lemak tampak sebagai vakuol lemak
dalam sitoplasma. Biasanya dijumpai pada sel yang terlibat dalam metabolisme lemak (contoh sel
hati, sel miokardium) dan bersifat reversibel. Sel cedera juga akan menunjukkan pulasan eosinofil
yang bertambah, dan akan lebih menonjol apabila terjadi nekrosis. Perubahan intrasel berkaitan
dengan jejas reversible. (Gambar. 1–6) termasuk (1) perubahan membran plasma seperti
penonjolan, distorsi mikrovilli dan lepasnya unsur intersel; (2) gangguan mitokondria misal nya
pembengkakan dan timbulnya benda amorf mengandungi fosfolipid; (3)
dilatasi ER dan lepasnya ribosom serta disosiasi polisom; dan (4) perubahan inti, berupa
penggumpalan kromatin. Sitoplasma dapat mengandungi massa fosfolipid, disebut benda mielin,
terbentuk dari membran sel yang rusak. Semua stres dan zat berbahaya mula-mula akan
memberikan pengaruh pada tingkat molekuler atau biokimia. Hilangnya fungsi sel terjadi jauh
sebelum kematian sel, dan kelainan morfologi terjadi jauh sesudahnya (Gambar. 1–7). Contoh, sel
miokardium tidak dapat berkontraksi setelah terjadinya iskemia satu sampai dua menit,
walaupun set tersebut baru akan mati 20 sampai 30 menit setelah iskemia terjadi. Dengan
mikroskop elektron, sel tidak tampak mati dalam jangka waktu 2 sampai 3 jam, sedangkan
dengan mikroskop cahaya setelah 6 sampai 12 jam. Kelainan sel pada jejas reversibel dapat
dikoreksi dan apabila stimulus tersebut menghilang maka set dapat kembali menjadi normal.
Cedera yang terus menerus dan berat, akan mengakibatkan sel melampaui "point of no return"
menuju jejas ireversibel dan kematian sel. Keadaan yang mengakibatkan jejas reversibel menjadi
ireversibel dan mengakibatkan kematian sel tetap tidak dimengerti dengan jelas. Relevansi klinis
terhadap keadaan ini sangat penting; karena apabila kelainan biokimia dan molekuler yang
mengakibatkan kematian sel dapat diidentifikasi dengan tepat, maka dapat
diperoleh cara untuk mencegah terjadinya perubahan jejas reversibel menjadi ireversibel.
Walaupun tidak ada kelainan morfologi atau biokimia pasti yang berkaitan dengan ireversibilitas,
dua hal menjadi ciri khas irevisibilitas: pertama ketidakmampuan untuk memperbaiki disfungsi
mitokondria (tidak terjadinya fosforilasi oksidatif dan pembentukan ATP) walaupun telah tetjadi
resolusi jejas asal, dan kedua ialah gangguan pada fungsi membran. Seperti telah dibicarakan
sebelumnya, jejas pada membran lisosom mengakibatkan kerusakan enzim pada sel yang cedera
yang berakhir dengan nekrosis. Seperti telah di bicarakan sebelumnya, berbagai stimulus yang
membahayakan dapat mengakibatkan kematian sel melalui nekrosis atau apoptosis (Gambar 1–6
and Tabel 1–1).
1. Jejas Reversibel
Dua kelainan morfologik penting yang berkaitan dengan jejas reversibel pada sel ialah
pembengkakan sel dan degenerasi lemak. Pembengkakan sel merupakan akibat kegagalan
pompa ion yang tergantung tenaga/ energi dependen pada membran plasma, mengakibatkan sel
tidak mampu mempertahankan homeostasis ion dan cairan. Degenerasi lemak terjadi akibat
jejas hipoksia dan berbagai cedera toksik dan metabolit yang tampak sebagai vakuol kecil atau
besar di dalam sitoplasma. Pada beberapa keadaan, yang berpotensi menimbulkan jejas akan
mengakibatkan perubahan spesifik pada organel sel, seperti ER (endoplasmic reticulum). ER
terlibat dalam metabolisme berbagai zat kimia, dan sel yang mengalami paparan pada zat kimia
tersebut akan menunjukkan hipertrofia ER sebagai upaya adaptasi yang dapat mengakibatkan
perubahan fungsional penting. Contoh, barbiturat di metabolisme di hati oleh sistem gabungan
sitokrom P-450 dan oksidase pada ER normal. Pemakaian barbiturat yang berkepanjangan akan
mengakibatkan keadaan toleransi, sehingga pengaruh obat akan menurun dan dibutuhkan dosis
yang lebih tinggi. Adaptasi ini terjadi karena volume yang bertambah (hipertrofia) dari ER sel
hepar dan peningkatan aktivitas enzim P-450. Walaupun modifikasi yang dimediasi
mengalami cedera
P-450 diperkirakan sebagai upaya "detoksifikasi", banyak komponen
pada proses ini; contoh ialah karbon tetraklorida (CCl4), akan dibicarakan
kemudian. Sebagai tambahan, hasil yang terbentuk akibat metabolisme oksidatif
ini ialah spesies oksigen reaktif (ROS), yang akan mengakibatkan cedera pada sel.
Sel yang mengadaptasi. suatu obat mempunyai kapasitas lebih untuk melakukan
metabolisme komponen lain yang dilakukan oleh sistem yang sama. Jadi apabila
pasien yang menggunakan phenobarbital untuk epilepsi meningkatkan pemakaian
alkohol, mereka dapat mengalami penurunan konsentrasi obat anti kejang hingga
tingkat subterapeutik karena induksi ER dalam merespons kepada
alkohol.

2. Nekrosis
Nekrosis merupakan jenis kematian sel yang dihubungkan dengan hilangnya
integritas membran dan bocornya isi sel sehingga terjadi kerusakan sel, terutama
akibat pengaruh enzim yang merusak sel yang mengalami jejas fatal. Isi sel yang
bocor keluar akan mengakibatkan reaksi lokal pejamu yang disebut radang
yang merupakan upaya untuk menghilangkan sel yang mati dan memulai proses
perbaikan . Nekrosis ditandai dengan adanya perubahan pada
sitoplasma dan inti sel yang mengalami jejas.
• Perubahan sitoplasma. Sel nekrotik akan menunjukkan peningkatan warna eosin
(contoh warna merah jambu dari zat warna eosin-E pada pulasan hematoksilin dan
eosin [H&E]), terjadi sebagian oleh karena peningkatan ikatan
eosin dengan protein sitoplasma yang mengalami denaturasi dan akibat hilangnya
warna basofil yang biasanya dijumpai pada asam ribonukleat (RNA) pada
sitoplasma (basofil adalah warna biru pada pewarnaan hematoksilin H
pada "H&E"). Dibandingkan dengan sel viabel maka sel ini memberikan
gambaran jernih, homogen terutama akibat hilangnya partikel glikogen. Gambaran
mielin lebih mencolok pada sel nekrotik dibandingkan saat jejas reversibel.
Apabila enzim telah mencerna organel sitoplasmik, sitoplasma bervakuol dan
mirip gambaran seperti "digigit rayap". Dengan elektron mikroskop sel nekrotik
ditandai dengan diskontinuitas pada plasma dan membran organel, dilatasi
mencolok pada mitokondria dengan gambaran benda amorf, kerusakan lisosom
dan gambaran mielin dalam sitoplasma.
• Perubahan inti. Perubahan inti berbentuk satu dari tiga buah pola yang semua
disebabkan oleh kerusakan DNA dan kromatin. Warna basofil dari kromatin akan
memudar (kariolisis), kemungkinan terjadi sekunder akibat aktivitas
deoksiribonuklease (DNase). Gambaran kedua adalah piknosis, berupa inti yang
mengecil dan warna basofil meningkat; DNA berubah menjadi suatu massa padat
melisut. Gambaran ketiga adalah kario reksis, inti piknotik mengalami fragmentasi.
Dalam satu atau dua hari inti sel yang mati akan menghilang. Gambaran mikroskop
elektron menunjukkan perubahan inti yang berakhir dengan disolusi inti.
• Nasib sel nekrotik. Sel nekrotik dapat bertahan beberapa saat tau kemudian
dicerna oleh enzim dan menghilang. Sel mati akan diganti oleh benda mielin yang
akan difagositosis oleh sel lain atau mengalami degradasi menjadi asam lemak.
Asam
emak ini akan mengikat garam kalsium, mengakibatkan sel mati mengalami proses
klasifikasi.
3. Gambaran Nekrosis Jaringan
Ada berbagai gambaran morfologi pada nekrosis jaringan yang dapat menjelaskan
penyebabnya. Walaupun terminologi yang menggambarkan pola ini tidak
menjelaskan mekanisme penyebab,
istilah tersebut lazim digunakan dan dimengerti oleh dokter spesialis patologi dan
dokter spesialis klinis. Umumnya jenis nekrosis ini memberikan gambaran
makroskopik yang jelas; nekrosis fibrinoid dideteksi hanya melalui pemeriksaan
histologis.Keluarnya atau bocornya protein intrasel melalui membran sel yang
rusak dan masuk aliran darah memungkinkan dilakukannya deteksi nekrosis
khusus jaringan dengan pemeriksaan darah atau serum. Otot jantung, misalnya,
mempunyai jenis isoform unik dari enzim keratin kinase dan protein kontraktil
troponin, sedangkan epitel duktus biliaris mengandungi isoform enzim fosfatase
alkali yang resistan terhadap temperatur dan set hepar mengandungi transaminase.
Jejas ireversibel dan kematian set pada jaringan tersebut akan meningkatkan kadar
serum protein terkait dan kadar yang dijumpai dipakai untuk memberikan
gambaran klinis kerusakan pada jaringan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai