Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

KECANDUAN MEDIA SOSIAL


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah : Psikologi Klinis

Dosen Pengampu :
Andy Chandra S.Psi, M.Psi, Psikolog

Disusun Oleh :
Nama : Pitri Salsabilah Lubis
NPM : 228600171

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MEDAN AREA
T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Kecanduan Media Sosial” tepat pada waktunya, juga sebagai salah satu persyaratan
mengikuti mata kuliah Psikologi : Klinis
.
Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Chandra., S.
Psi., M.Psi., Psikolog., selaku dosen mata kuliah Psikologi : Klinis, yang telah
memberikan tugas makalah kepada mahasiswa/i semester-3 Fakultas Psikologi. Saya
juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang ikut serta membantu dalam
pembuatan makalah ini.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyelesaikan


makalah ini. Karena itu, saya akan sangat menghargai kritik dan saran yang bersifat
Membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik. Demikian
makalah ini saya selesaikan, semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan
keilmuan bagi kita semua.

Medan, 20 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 1
C. Tujuan Makalah ........................................................................................................ 2
D. Manfaat Makalah ...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 3
A. Definisi Kecanduan Media Sosial .............................................................................. 3
B. Aspek;Aspek Kecanduan Media Sosial ..................................................................... 5
C. Faktor-faktor Yang Memicu Kecanduan Media Sosial ............................................... 6
D. Ciri-Ciri Kecanduan Media Sosial .............................................................................. 8
E. Dampak Kecanduan Media Sosial .......................................................................... 10
F. Syarat Seseorang Dapat Dikatakan Kecanduan Media Sosial ................................ 14
G. Pencegahan Terhadap Kecanduan Media Sosial .................................................... 17
H. Intervensi Yang Dapat Dilakukan ............................................................................ 21
I. Haruskah DSM-V Menyebut “Kecanduan Internet” sebagai Gangguan Mental? ..... 24
BAB III PENUTUP............................................................................................................. 34
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 34
B. Saran ...................................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 35

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi di era globalisasi ini memberikan dampak nyata bagi
kehidupan manusia. Dimana manusia dimudahkan dengan adanya sarana dan
prasarana yang semakin canggih dibandingkan dari peradaban sebelumnya dan
semakin dipermudah dengan adanya akses yang semakin meningkat dalam mencari
informasi yang bersifat praktis dan cepat hal ini disebut dengan internet. Internet dapat
diakses oleh semua kalangan dari anak-anak sampai pada orang dewasa. Khususnya
di kalangan remaja, internet sudah bukan hal yang asing lagi sehingga kebanyakan
dari remaja mencari referensi atau keperluan proses belajar mengajar cukup dengan
mengakses internet saja. Internet digunakan untuk memperoleh berbagai informasi
mulai dari ilmu pengetahuan dan pendidikan, kesehatan, berita dan lain sebagainya.

Mudahnya setiap orang untuk berkomunikasi saat ini dimanapun dan kapanpun
membawa dampak besar bagi kehidupan manusia. Salah satunya penggunaan media
sosial yang semakin menjamur dikalangan masyarakat, khususnya kalangan remaja.
Selain berbagai dampak positif yang kita dapat dari kemajuan teknologi saat ini,
terdapat juga dampak negatifnya yang tidak bisa begitu saja diabaikan. Salah satunya
yang sangat berpengaruh adalah perubahan sifat dan karakter seseorang dari
penggunaan alat-alat modern khususnya media komunikasi.

Dalam era modern ini, fenomena kecanduan terhadap media sosial menjadi
semakin meresahkan. Kecanduan media sosial pada merupakan isu yang kompleks
dan menuntut pemahaman mendalam. Fenomena ini telah menjadi perhatian global
karena dampaknya terhadap perkembangan sosial, emosional, dan psikologis.
Dengan meningkatnya penetrasi internet dan perkembangan teknologi, masyarakat
semakin mudah terpapar pada berbagai platform media sosial.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami faktor-faktor yang memicu


kecanduan media sosial pada, seperti tekanan sosial, rasa rendah diri, atau
kurangnya keterlibatan sosial offline. Penelitian mendalam mengenai dampak
psikologis kecanduan media sosial juga perlu dilakukan untuk menyadari potensi
risiko terhadap kesejahteraan mental. Kecanduan media sosial bukan hanya menjadi
isu personal, tetapi juga memengaruhi dinamika sosial secara luas, maka dari itu kita
memerlukan adanya pemahaman mendalam untuk mengatasi tantangan
ini secara efektif.

B. Rumusan Masalah
Apakah penggunaan media sosial dapat menyebabkan kecanduan, dan
bagaimana dampaknya terhadap kesehatan psikologis, sosial, dan fisik individu, apa
saja syarat individu dapat dikatakan kecanduan media sosial, serta bagaimana cara
mengatasi hal tersebut?

1
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui faktor-faktor yang memicu kecanduan media sosial.
2. Mengetahui dampak kecanduan media sosial pada aspek psikologis, sosial,
dan kesehatan fisik.
3. Mengetahui ciri-ciri individu yang dapat dikatakan sebagai kecanduan media
sosial.
4. Merumuskan strategi dan solusi yang dapat membantu individu mengelola
penggunaan media sosial dengan bijak.

D. Manfaat Makalah
Memberikan wawasan tentang dampak negatif kecanduan media sosial terhadap
individu, terutama pada kelompok remaja?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kecanduan Media Sosial


a) Definisi Kecanduan
Adapun definisi kecanduan adalah; menurut Smfart (dalam Santoso, 2013)
kecanduan berasal dari kata candu yang artinya sesuatu yang membuat seseorang
ingin melakukannya secara terus menerus. Istilah lain, kecanduan datang untuk
menggantikan istilah seperti tidak dapat menguasai diri atau seperti dalam keadaan
mabuk dengan kadar alkohol yang berlebihan dan penggunaan opium (Alexander &
Schweighofer, 1988). Menurut Hovart (dalam Tumangkeng, 2016), kecanduan tidak
hanya terhadap zat saja tapi juga aktivitas tertentu yang dilakukan berulang-ulang dan
menimbulkan dampak negatif.

Sedangkan Cooper (2000) berpendapat bahwa kecanduan merupakan perilaku


ketergantungan pada suatu hal yang disenangi. Individu biasanya secara otomatis
akan melakukan apa yang disenangi pada kesempatan yang ada. Orang dikatakan
kecanduan apabila dalam satu hari melakukan kegiatan yang sama sebanyak lima
kali atau lebih. Kecanduan merupakan kondisi terikat pada kebiasaan yang sangat
kuat dan tidak mampu lepas dari keadaan itu, individu kurang mampu mengontrol
dirinya sendiri untuk melakukan kegiatan tertentu yang disenangi. Seseorang yang
kecanduan merasa terhukum apabila tak memenuhi hasrat kebiasaannya.

Kecanduan merupakan kondisi dimana seseorang mengalami ketergantungan


atau keterikatan yang berlebihan terhadap suatu aktivitas, zat, atau subtansi tertentu.
Kondisi kecanduan dapat melibatkan berbagai aspek, termasuk psikologis dan fisik,
dan dapat terjadi dalam konteks perilaku seperti game, media sosial, atau zat-zat
tertentu seperti narkoba. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
kecanduan adalah perilaku ketergantungan pada sesuatu yang disenangi sehingga
individu tersebut akan melakukannya secara berulang-ulang dan kurang mampu
untuk mengontrol dirinya sehingga berdampak negatif terhadap diri individu itu sendiri.
b) Definisi Media Sosial
Definisi media sosial adalah media online yang memungkinkan pengguna untuk
berinteraksi, berbagi konten, dan terhubung dengan orang lain secara global. Kata
media berasal dari kata latin, merupakan bentuk jamak dari kata “medium” yang
secara harfiah kata tersebut mempunyai arti perantara atau pengantar. Beberapa situs
media sosial yang populer sekarang ini antara lain Instagram, Tiktok, Blog, Twitter,
Facebook, Wikipedia, dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Media sosial merupakan fase perubahan bagaimana orang menemukan,


membaca dan membagikan berita, informasi, dan konten kepada orang lain. Media
sosial ialah media online yang digunakan untuk mempermudah dalam berpartisipasi,
berbagi, menciptakan isi blog, jejaring sosial, wiki, forum, dan dunia virtual (Cahyono
& Ageng, 2016). Sedangkan menurut Oberst (2016), media sosial adalah suatu
website yang bersifat virtual, yang memungkinkan seseorang untuk dapat melihat

3
profil, mengganti profil dan melihat profil pengguna lain serta sebagai alat komunikasi
bagi semua orang, terutama sangat terkenal di kalangan remaja.

Media sosial adalah platform online yang memfasilitasi interaksi global, berbagi
konten, dan konektivitas antar pengguna. Definisi media sosial mencakup berbagai
bentuk seperti jejaring sosial, blog, wiki, forum, dan dunia virtual. Kesimpulannya,
media sosial merupakan alat komunikasi virtual yang mempermudah partisipasi dan
berbagi konten di kalangan pengguna secara global. Penggunaan media sosial
membawa dampak positif yaitu memberikan banyak kemudahan bagi manusia
khususnya remaja, seperti sebagai media sosialisasi dan komunikasi dengan teman,
keluarga ataupun guru, media diskusi terkait tugas di sekolah dengan teman dan
mendapatkan informasi terkait kesehatan secara online (O’Keeffe et al., 2011).

Sedangkan menurut Oetomo (2007) media sosial memfasilitasi individu untuk


dapat belajar berbisnis dalam mencari uang melalui e-commerce. Media sosial
memang memberikan banyak dampak positif bagi manusia, tetapi juga memberikan
dampak negatif bagi kehidupan manusia, terutama pada kalangan remaja. Hal
tersebut dikarenakan remaja tidak mampu dalam mengontrol penggunaan media
sosial (Daviz, 2001). Jika tidak mampu dalam mengontrolnya, maka waktu dalam
penggunaannya akan meningkat dan dapat menyebabkan kecanduan terhadap
media sosial (Thakkar, 2006). Individu yang mengalami kecanduan akan menjadi
sangat tergantung terhadap media sosial, sehingga mereka rela menghabiskan waktu
yang lama hanya untuk mencapai kepuasan (Fauziawati, 2015).

Media sosial merupakan platform online yang memungkinkan interaksi global,


berbagi konten, dan konektivitas antar pengguna melalui berbagai bentuk seperti
jejaring sosial, blog, wiki, forum, dan dunia virtual. Meskipun memberikan dampak
positif seperti kemudahan dalam komunikasi, media sosial juga dapat menimbulkan
dampak negatif, terutama pada remaja yang cenderung kehilangan kontrol
penggunaannya, berpotensi mengalami kecanduan, dan menghadapi konsekuensi
negatif dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, perlu kesadaran dan
pengelolaan yang bijak dalam memanfaatkan media sosial untuk mencegah dampak
negatif yang mungkin timbul.

c) Definisi Kecanduan Media Sosial


Kecanduan media sosial adalah perhatian yang berlebihan terhadap media sosial
dimana pemakaiannya yang berkepanjangan atau kecanduan dapat mengganggu
aktivitas sosial lain, seperti pekerjaan, studi, hubungan sosial, kesehatan dan
kesejahteraan psikologi. Kecanduan media sosial juga menyangkut dengan
permasalahan tidur serta dapat menurunkan fungsi kognitif pada individu (Andreassen
& Pallesen, 2015). Hal negatif dari kecanduan media sosial sangat mempengaruhi
individu khususnya remaja yang berakibat pada penurunan prestasi akademik,
permasalahan dalam relasi sosial dengan teman sebaya, hingga dapat terjadinya
gangguan psikologis seperti kesepian dan depresi (Rahardjo et al., 2020).

4
Kejadian kecanduan media sosial disebut juga dengan behavioral addiction,
dimana orang tersebut tidak mampu untuk mengendalikan dirinya ketika
menggunakan media sosial dan banyak menghabiskan waktu untuk mengakses
media sosial yang berakibat pada terganggunya produktivitas sehari-hari untuk
melakukan hal lain yang lebih bermanfaat (Pratama.D et al., 2020). Goldberg (dalam
Saliceti, 2015) menggambarkan kecanduan internet sebagai patologi, gangguan yang
terlalu sering menggunakan teknologi internet, termasuk berbagai perilaku dan
kurangnya kontrol. Kecanduan terhadap internet terlihat dari intensi waktu yang
digunakan seseorang untuk terpaku di depan komputer atau segala macam alat
elektronik yang memiliki koneksi internet, dimana akibat banyaknya waktu yang
mereka gunakan untuk online membuat mereka tidak peduli dengan kehidupan
mereka yang terancam di luar sana (Santoso, 2013) .

Sejalan dengan pendapat Menayes ( 2015) bahwa kecanduan saat online adalah
sesuatu yang hampir tidak dapat dibedakan dengan masalah kecanduan media sosial
yang membedakan keduanya adalah menggunakan perangkat mobile. Perangkat
mobile menyediakan akses mudah ke internet yang bisa digunakan dimanapun dan
kapanpun. Kecanduan media sosial merujuk pada kondisi dimana seseorang
mengalami ketergantungan yang berlebihan terhadap penggunaan platform media
sosial. Jadi dapat disimpulkan kecanduan media sosial seperangkat aplikasi dalam
jaringan internet yang memudahkan penggunanya untuk berpartisipasi dalam
membagi berita, informasi, dan konten kepada orang lain dengan menghabiskan
waktu yang sangat banyak dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online
dan seseorang yang kecanduan merasa terhukum apabila tidak memenuhi hasratnya.

B. Aspek;Aspek Kecanduan Media Sosial


Adapun aspek kecanduan media sosial yang digunakan dalam skala alat ukur
Menayes (2015) yang diadaptasi dari IAT (Internet Addiction Test) Young (1996)
disesuaikan dengan konteks kecanduan media sosial yang mengacu pada dimensi
kecanduan internet :
a) Social Consequences (Konsekuensi sosial)
Social Consequences atau konsekuensi sosial merupakan cerminan dari
penggunaan media sosial yang mempengaruhi kegiatan seseorang dalam kehidupan
sehari-hari, seperti mengabaikan teman dan akademik yang memburuk.
b) Time Displacement (Pengalihan Waktu)
Time displacement atau pengalihan waktu merupakan cerminan waktu yang
digunakan oleh pengguna media sosial, seperti : penggunaan media sosial yang
berlebihan, mengabaikan tugas yang harus dilaksanakan, dan peningkatan waktu
yang digunakan dalam bermedia sosial.
c) Compulsive Feelings (Perasaan Kompulsif)
Compulsive Feelings atau perasaan kompulsif merupakan kecenderungan
yang mencerminkan perasaan pengguna media sosial. Misalnya perasaan bosan
ketika tidak menggunakan media sosial dan dorongan untuk terus menerus
menggunakan media sosial.

5
Berdasarkan penjelasan diatas maka terdapat tiga aspek kecanduan media
sosial yaitu, social consequences (konsekuensi sosial), time displacement
(pengalihan waktu), dan compulsive feelings (perasaan kompulsif).

C. Faktor-faktor Yang Memicu Kecanduan Media Sosial


Menurut Young (2012) kecanduan media sosial termasuk dalam Internet Addiction
yang termasuk dalam Cyber-Relational Addiction (kecanduan terhadap situs
pertemanan di dunia maya) yang ditimbulkan oleh adanya beberapa faktor, antara
lain:
a) Gender
Gender mempengaruhi jenis aplikasi yang digunakan dalam internet dan
penyebab kecanduan internet. Laki-laki lebih cenderung kecanduan dengan game
online, situs pornografi, dan perjudian online, dan wanita lebih cenderung
kecanduan dengan chatting dan belanja online.

b) Kondisi Psikologis
Survei di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 50% individu yang
mengalami kecanduan internet juga mengalami kecanduan pada hal lain seperti
obat-obatan terlarang, alkohol, rokok serta seks. Kecanduan internet juga timbul
akibat masalah-masalah emosional seperti depresi dan gangguan kecemasan
dan sering menggunakan dunia fantasi di internet sebagai pengalihan secara
psikologis terhadap perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan atau situasi
yang menimbulkan stress. Berdasarkan hasil survei ini juga diperoleh bahwa 75%
individu yang mengalami kecanduan internet disebabkan adanya masalah dalam
hubungannya dengan orang lain, kemudian individu tersebut mulai menggunakan
aplikasi-aplikasi online yang bersifat interaktif seperti chat room dan game online
sebagai cara untuk membentuk hubungan baru dan lebih percaya diri dalam
berhubungan dengan orang lain melalui internet (need of relatedness).

c) Kondisi Sosial Ekonomi


Kesulitan dalam melakukan komunikasi yang mengalami permasalahan dalam
sosial individu menyebabkan penggunaan internet yang akan berlebihan. Hal
tersebut akan menyulitkan dalam melakukan komunikasi secara langsung karena
individu lebih menyukai melakukannya secara online, sehingga individu akan lebih
memilih menggunakan internet untuk melakukan komunikasi mereka
menganggap bahwa lebih aman dan lebih mudah dari pada dilakukan secara tatap
muka. Rendahnya dalam kemampuan komunikasi menyebabkan rendahnya
harga diri, mengisolasi diri dari lingkungan sekitar menyebabkan permasalahan
dalam hidup seperti kecanduan terhadap internet ini akan ketergantungan.
Individu yang telah bekerja memiliki kemungkinan lebih besar mengalami
kecanduan internet dibandingkan dengan individu yang belum bekerja. Hal ini
didukung bahwa individu yang telah bekerja memiliki fasilitas internet dikantornya
dan juga memiliki sejumlah gaji yang memungkinkan individu tersebut memiliki
komputer dll.

6
d) Tujuan dan Waktu Penggunaan Internet
Tujuan menggunakan internet seperti menggunakan media sosial akan
menentukan sejauh mana individu tersebut akan mengalami kecanduan internet,
terutama dikaitkan terhadap banyaknya waktu yang dihabiskannya sendirian di
depan komputer dan smartphone. Individu yang menggunakan internet untuk
tujuan pendidikan, misalnya pada pelajar dan mahasiswa akan lebih banyak
menghabiskan waktunya menggunakan internet. Umumnya, individu yang
menggunakan internet untuk tujuan pendidikan mengalami kemungkinan yang
lebih kecil untuk mengalami kecanduan internet. Hal ini diakibatkan tujuan
penggunaan internet bukan digunakan sebagai upaya untuk mengatasi atau
melarikan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya di kehidupan nyata atau
sekedar sebagai hiburan.

Adapun pendapat Monteg & Reuter (2015) bahwa kecanduan media sosial
dapat melibatkan beberapa faktor antara lain :
a) Faktor Sosial
Kesulitan dalam melakukan komunikasi interpersonal atau individu yang
mengalami permasalahan sosial dapat menyebabkan penggunaan media sosial
yang berlebih. Hal tersebut di sebabkan individu merasa kesulitan dalam
melakukan komunikasi dalam situasi face to face, sehingga individu akan lebih
memilih menggunakan jejaring sosial untuk melakukan komunikasi karena
dianggap lebih aman dan juga lebih mudah dari pada dilakukan secara face to
face. Rendahnya kemampuan komunikasi dapat juga menyebabkan rendahnya
harga diri, mengisolasi diri menyebabkan permasalahan dalam hidup seperti
kecanduan terhadap jejaring sosial.

b) Faktor Psikologis
Kecanduan media sosial dapat disebabkan karena individu mengalami
permasalahan psikologis seperti depresi, kecemasan, obsessive compulsive
disorder (OCD), penyalahgunaan obat-obatan terlarang serta beberapa sindrom
yang berkaitan dengan gangguan psikologis. Media sosial memungkinkan individu
untuk melarikan diri dari kenyataan, menerima hiburan dan juga rasa senang dari
media sosial. Hal ini akan menyebabkan individu terdorong untuk lebih sering
menggunakan jejaring sosial sebagai pelampiasan dan akan membuat
penggunanya menjadi kecanduan.

c) Faktor Biologis
Penelitian yang dilakukan oleh Montag & Reuter (2015) dengan menggunakan
functional magnetic resonance image (FMRI) menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan fungsi otak antara individu yang mengalami kecanduan media sosial
dengan yang tidak mengalami kecanduan media sosial. Individu yang mengalami
kecanduan media sosial menunjukkan bahwa dalam memproses informasi jauh
lebih lambat, kesulitan dalam mengontrol dirinya serta memiliki kecenderungan
kepribadian depresif. Sedangkan pada individu yang tidak mengalami kecanduan

7
pada internet akan mudah menangkap informasi, tidak ketergantungan pada
media sosial.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kecanduan media sosial


atau internet dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk gender, kondisi
psikologis, kondisi sosial ekonomi, tujuan dan waktu penggunaan internet, serta faktor
sosial, psikologis, dan biologis. Kesimpulannya, kecanduan media sosial dapat
muncul sebagai respons terhadap berbagai kondisi seperti masalah emosional,
kesulitan dalam komunikasi interpersonal, dan permasalahan psikologis. Faktor
biologis juga dapat memainkan peran dengan perbedaan fungsi otak pada individu
yang mengalami kecanduan media sosial. Oleh karena itu, pemahaman mendalam
terhadap faktor-faktor tersebut penting untuk mengatasi dan mencegah kecanduan
media sosial.

D. Ciri-Ciri Kecanduan Media Sosial


1. Susah Berkonsentrasi
Salah satu ciri dari kecanduan medsos adalah susah berkonsentrasi. Sebuah
artikel menyebutkan bahwa keseringan scrolling media sosial bisa membuat
individu terpapar dengan banyak informasi dalam waktu yang singkat dalam waktu
yang bersamaan. Nah, media sosial sendiri sudah menyediakan begitu banyak
informasi. Jika dilakukan bersamaan dengan kegiatan lain yang sedang dilakukan,
keduanya bikin otak jadi multitasking. Karena terlalu banyak yang di-handle, otak
jadi bingung memilih prioritas. Output yang bisa dirasakan adalah susah
berkonsentrasi.

2. ‘Nelangsa’ Tanpa Media Sosial


Individu yang suka scrolling media sosial mungkin bisa merasa baik-baik aja
tanpa pacar, tetapi bakal nelangsa jika seharian tidak bisa buka media sosial.
Dilansir dari banyak sumber, hal ini bisa menjadi salah satu pertanda kalau
individu kecanduan media sosial. Sama seperti kondisi sakau pada orang yang
kecanduan obat terlarang, orang yang kecanduan media sosial juga akan merasa
nelangsa jika tidak bisa cek media sosial. Kondisi ini disebabkan karena otak kita
sering kali mengasosiasikan media sosial sebagai sumber hiburan. Karena
menimbulkan rasa senang, hormon dopamin pun dihasilkan. Hormon inilah yang
dapat membahayakan diri jika diproduksi berlebihan. Pasalnya, kita jadi ingin
terus-menerus melakukan hal yang bikin senang itu. Di sisi lain, kebanyakan
hormon ini justru bisa membuat individu semakin mudah stres, apalagi tidak
menuruti dorongan untuk buka media sosial. Alhasil, individu merasa nelangsa
tanpa media sosial.

3. Procrastination
Ciri yang satu ini sudah jelas; jika kamu adalah orang yang kecanduan media
sosial, biasanya individu jadi suka menunda-nunda pekerjaan. Ternyata, hal ini

8
bukan hanya dialami segelintir orang saja. Salah satu survei bahkan menyebutkan
bahwa 51% responden mereka jadi suka menunda pekerjaan karena adanya
distraksi media sosial. Ditambah lagi, 44% dari responden tersebut mengaku
bahwa mereka khawatir kualitas pekerjaan mereka menurun gara-gara media
sosial. Bagaimanapun juga, bagi banyak orang, scrolling media sosial dapat
memberikan hiburan sesaat bagi mereka di tengah sibuknya aktivitas. Hanya saja,
kontrol diri yang kurang bisa mengakibatkan mereka cenderung lupa waktu saat
mengakses media sosial.
4. Harga Diri Rendah
The Conversation menyebutkan bahwa kita memang memiliki kecenderungan
untuk membandingkan diri dengan orang lain. Hal inilah yang bisa membuat kita
bisa berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih baik daripada orang lain. Akan
tetapi, jika terlalu sering membandingkan diri dengan orang yang kehidupannya
lebih baik, maka kita akan rentan merasa inferior. Inilah yang bisa membuat kita
jadi minder dan merasa worthless sebagai manusia. Padahal, itu hanya asumsi
kita saja.
5. Produktivitas Menurun
Ciri yang satu ini berkaitan dengan ciri-ciri kecanduan media sosial pada poin
3, yaitu prokrastinasi alias menunda-nunda. Nah, jika individu sering menunda-
nunda pekerjaan, bukan hal yang aneh jika produktivitas juga ikut menurun.
Sebab, makin banyak rencana yang tidak terselesaikan karena sering buka media
sosial.
6. Impulsive Uploads
Menurut KBBI, impulsivitas dapat didefinisikan sebagai tindakan yang
dilakukan dengan cepat, tiba-tiba berdasarkan kehendak hati. Impulsive uploads
dapat diartikan sebagai tindakan upload (atau update) status, foto, dsb. ke media
sosial secara berlebihan (terlalu sering). Ini merupakan salah satu ciri khas orang
yang kecanduan media sosial. Menariknya, terlalu sering upload di media sosial
ini tak hanya bikin orang lain jenuh dengan postingan kita. Sebagai pihak yang
mengunggah, terlalu banyak upload ke media sosial tentu bisa membuat kita
makin tergantung dengan media sosial. Bentuk ketergantungan itu biasanya hadir
dalam bentuk peningkatan frekuensi cek media sosial. Secara tidak sadar, kita
juga mengharapkan respons yang baik atas postingan yang diunggah. Jika
respons audiens kurang sesuai dengan keinginan, bisa jadi hal ini menimbulkan
stres.
7. Berkurangnya Interaksi Sosial
Karena disibukkan dengan akses media sosial, tidak jarang individu jadi lupa
sama real life. Berkurangnya interaksi sosial ini juga bisa menjadi ciri kecanduan
media sosial yang diakibatkan karena menurunnya harga diri, sebagaimana yang
disebutkan sebelumnya. Karena makin jarang berinteraksi sosial, tidak heran jika
rasa kesepian bisa muncul pada orang yang kecanduan media sosial. Hal ini dapat

9
berakibat buruk jika berlangsung dalam waktu lama, bahkan bisa mengakibatkan
gejala antisosial. Gejala gangguan kejiwaan depresi juga bisa hadir karena
kesepian dalam jangka waktu lama ini.

E. Dampak Kecanduan Media Sosial


Dengan menggunakan internet banyak keuntungan dan kemudahan yang didapat,
agar tetap mendapatkan informasi cukup hanya dengan mengakses internet,
mempermudah komunikasi dengan orang lain baik teman atau keluarga yang
jaraknya jauh, dan dapat juga menambah wawasan dan pengetahuan melalui internet.
Biasanya pengguna internet menggunakan internet lebih dari 8 jam per-hari, hal ini
dapat memberikan dampak yang berbagai macam. Internet dapat menyediakan
informasi dan kesempatan untuk berinteraksi secara sosial bagi orang-orang yang
memiliki hambatan jarak, menurut Malik dan Rafiq (2015) yang menyatakan bahwa
dampak positif dari adanya internet adalah mempeluas jaringan pertemanan, sarana
untuk mengembangkan keterampilan, sebagai media penyebar informasi. Terdapat
dampak negatif yang timbul akibat kecanduan internet, dampak yang timbul baik
secara fisik maupun psikologis.

Dampak yang timbul secara fisik seperti obesitas dikarenakan teknologi yang
semakin tinggi maka seseorang dapat melakukan sesuatu dengan mudah sehingga
menimbulkan kurangnya gerak dalam aktifitas, kemudian kesehatan mata mulai
terganggu dikarenakan terlalu lama melihat layar handphone sehingga menimbukan
rasa sakit. Dampak psikologis yang dihadapi ketika seseorang mengalami kecanduan
internet dapat berdampak depresi dikarenakan merasa putus asa dan internet sebagai
pelarian atas masalah yang dihadapi dengan berkurangnya interaksi maka
berkurangnya aktifitas dan komunikasi terhadap orang lain sehingga terjadi depresi
yang menyebabkan keinginan untuk bunuh diri, kesepian karena kurangnya interaksi
sosial secara langsung kepada orang lain baik teman muapun keluarga. Semakin
banyak jumlah penggunaan internet membawa kepada konsekuensi meningkatnya
kecanduan pada internet atau yang dikenal dengan istilah Internet Addiction.
Kecanduan internet dapat mengakibatkan efek samping yang cukup besar pada
kehidupan remaja, seperti kecemasan, depresi, penurunan fisik dan kesehatan
mental, hubungan interpersonal, dan penurunan kinerja Hakim and Raj (2017).

Berdasarkan fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya


teknologi internet tidak hanya mempunyai dampak positif saja akan tetapi juga
mempunyai dampak negatif yang diberikan. Adanya teknologi internet berdampak
besar bagi kehidupan manusia pada era ini, manusia tidak bisa terlepas dari internet
atau media sosial. Media sosial bisa berdampak buruk jika kehidupan nyata sangat
bergantung pada media sosial. Saat ini semua orang tidak lagi memikirkan ruang
private, tidak adanya batas antara kehidupan nyata dan kehidupan dunia maya.
Fungsi media sosial telah bergeser ke arah negatif, contohnya seperti seseorang tidak
segan mengumbar masalah pribadi mereka ke media sosial, memamerkan apapun
ke media sosial, dan akan gelisah jika salah satu foto hanya mendapatkan like tidak
banyak

10
Dunia seakan-akan tidak memiliki batas ruang dan waktu, sehingga sangat mudah
dijelajahi. Remaja di seluruh dunia begitu lekat dengan media sosial, mereka terus
berkomunikasi lewat media sosial, bahkan pada saat makan, berjalan dan belajar.
Waktu yang dihabiskan untuk media sosial sering kali lebih banyak dibandingkan
dengan waktu yang dihabiskan untuk belajar atau berkumpul bersama keluarga.
Meminta pendapat, menumbuhkan citra, hobi dan untuk menambah teman, Mahendra
(2017).

Terlalu lama menghabiskan waktu untuk scrolling media sosial tanpa tujuan yang
jelas sama saja dengan memenuhi otak dengan informasi yang kurang penting.
Akibatnya, ada banyak dampak negatif media sosial yang bisa memengaruhi
kesehatan. Berikut ini adalah beberapa dampak negatif media sosial bagi para
penggunanya:

1. Menimbulkan ketidakpuasan diri


Ketika sedang scrolling media sosial, kita pasti sering melihat unggahan orang lain
yang menunjukkan wajah atau tubuhnya yang tampak ideal. Jika kita melihat hal
tersebut secara terus-menerus, hal ini dapat menimbulkan dampak negatif media
sosial, seperti ketidakpuasan pada diri sendiri. Mungkin kita saat ini sadar bahwa
unggahan-unggahan yang bertebaran di media sosial sebagian besar adalah hasil
manipulasi dari filter kamera atau aplikasi. Namun, tetap saja muncul standar
kecantikan yang tidak realistis dalam diri, sehingga membuat kita merasa tidak pernah
cukup dan puas. Hal tersebut akhirnya akan menurunkan kepercayaan terhadap diri
sendiri.

2. Meningkatkan kecemburuan sosial


Scrolling media sosial terus-menerus juga dapat menciptakan perbandingan-
perbandingan yang tidak sehat. Misalnya adalah ketika membandingkan barang-
barang yang dimiliki dan tidak dimiliki dengan kepunyaan orang lain. Padahal, apa
yang orang lain unggah di media sosial belum tentu sama indahnya dengan
kenyataan. Sama seperti kita, orang lain juga pasti memiliki masalah dan kesulitan
masing-masing yang mungkin sama atau lebih buruk daripada yang kita hadapi.
Hanya saja, hal tersebut tidak ditampilkan di media sosial. Jika terpengaruh dengan
dampak negatif media sosial yang satu ini, hal ini dapat mengganggu kesehatan
mental dan meningkatkan kecemburuan sosial.

3. Mengganggu waktu tidur


Kualitas tidur yang terganggu juga bisa menjadi salah satu dampak negatif media
sosial. Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan masalah pada
kontrol diri, terutama jika kita mengakses media sosial menggunakan smartphone.
Menggunakan media sosial memang memudahkan kita untuk selalu terhubung
dengan teman atau keluarga. Namun, keuntungan ini juga membawa dampak negatif
berupa perubahan kualitas tidur. Tidak mendapatkan tidur yang cukup bisa

11
menyebabkan kenaikan berat badan, menurunkan konsentrasi, hingga meningkatkan
risiko terkena tekanan darah tinggi dan diabetes.

4. Menyebabkan depresi dan kecemasan


Menggunakan media sosial terlalu sering juga dapat memicu serangkaian emosi
negatif yang menyebabkan kecemasan bahkan depresi, atau memperburuk
gejalanya. Dampak negatif media sosial ini dapat terjadi ketika kita memiliki perasaan
tertekan yang tinggi, seperti ingin selalu up to date atau ingin memiliki unggahan foto
serta tulisan yang sempurna. Semua tekanan tersebut akhirnya menimbulkan
kekhawatiran berlebih dan menjadi gejala dari depresi dan kecemasan.

5. Menyebabkan kecanduan
Media sosial memiliki efek buruk bagi otak. Hal ini karena produksi hormon
dopamin yang memicu rasa senang dan nyaman di otak meningkat saat kita membuka
aplikasi media sosial favorit. Ketika kadar dopamin meningkat setelah menggunakan
media sosial, otak akan mengidentifikasinya sebagai aktivitas bermanfaat yang harus
dilakukan kembali. Akibatnya, menjadi kecanduan media sosial. Efek senang karena
media sosial hanya bersifat sementara. Jadi, saat dopamin yang membuat rasa
nyaman dan senang dalam tubuh hilang, Kita akan kembali melihat media sosial untuk
kembali mendapatkan perasaan tersebut.

6. Menimbulkan phubbing
Ketika mengalami kecanduan media sosial, kita tidak mau lepas atau berjauhan
dari perangkat yang digunakan untuk bermain media sosial. Akibatnya, kita menjadi
abai dengan orang sekitar. Kita bisa tidak memedulikan orang sekitar saat sedang
makan bersama, rapat, atau melakukan aktivitas berkumpul lainnya karena asyik
melihat media sosial. Dampak negatif media sosial berupa tindakan pengabaian ini
disebut dengan phubbing.

7. Menimbulkan FOMO
Dampak negatif media sosial selanjutnya adalah FOMO atau fear of missing out.
Kondisi ini ditandai dengan kecemasan atau ketakutan berlebih akan ketinggalan hal-
hal tertentu. FOMO mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain
bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal-hal
yang lebih baik dari pada diri sendiri. Kondisi ini kemudian memicu kecemasan dan
penggunaan media sosial yang berlebihan. Tak jarang, orang yang menderita FOMO
juga akan memeriksa media sosial setiap saat, terutama ketika muncul notifikasi, demi
mengetahui informasi atau tren yang sedang happening.

8. Meningkatkan risiko terkena cyberbullying


Meskipun perundungan atau bullying lebih umum terjadi saat tatap muka, bullying
juga dapat terjadi di dunia maya, termasuk di media sosial. Kondisi ini dikenal dengan
cyberbullying. Dampak negatif media sosial yang satu ini biasanya dipicu dengan
perbedaan pendapat dalam kolom komentar, yang kemudian berujung pada
perdebatan panjang dan aksi cyberbullying. Ketika hal ini terjadi, korban cyberbullying

12
dapat mengalami gangguan kesehatan mental, seperti stres dan depresi, bahkan
memicu keinginan untuk bunuh diri.

9. Memicu kesalahpahaman
Meskipun media sosial menjadi cara terbaik untuk tetap berkomunikasi dengan
teman atau keluarga yang bertempat tinggal jauh, hal itu tidak sama dengan
komunikasi tatap muka. Saat sedang berkomunikasi melalui pesan teks, kita tidak
akan dapat melihat ekspresi wajah atau mendengar nada suara orang lain secara
online. Akibatnya, kesalahpahaman sangat mudah terjadi. Dampak negatif media
sosial ini menjadi lebih rentan terjadi ketika sedang mencoba melucu atau menyindir
secara online, tetapi orang lain tidak menangkap apa maksud sebenarnya. Akibatnya,
kesalahpahaman tersebut bisa memicu pertikaian, bahkan cyberbullying.

Kecanduan media sosial dapat memiliki dampak serius secara fisik, psikologis,
dan sosial. Secara fisik, terganggunya waktu tidur akibat penggunaan berlebih dapat
menyebabkan masalah kesehatan, seperti peningkatan berat badan dan risiko
penyakit. Dari segi psikologis, media sosial dapat menimbulkan ketidakpuasan diri,
kecemburuan sosial, depresi, dan kecemasan. Sedangkan dari segi sosialnya,
kecanduan media sosial dapat memisahkan individu dari interaksi sosial nyata,
meningkatkan risiko cyberbullying, dan memicu fenomena FOMO. Maka dapat ditarik
kesimpulannya, kecanduan media sosial memiliki dampak yang merugikan secara
holistik terhadap kesehatan baik fisik, psikologis, dan hubungan sosial individu.

Dampak negatif dari penggunaan media sosial adalah dapat membahayakan


kesehatan karena memicu orang untuk mengisolasikan diri. Meningkatnya
pengisolasian diri dapat mengubah cara kerja gen, membingungkan respons
kekebalan, level hormon, fungsi urat nadi, dan merusak performa mental. Selain itu,
dampak negatif dari penggunaan sosial media di kalangan para remaja diantaranya
adalah banyak para remaja yang kecanduan untuk menggunakan media sosial tanpa
mengenal waktu sehingga menurunkan produktifitas dan rasa sosial diantara remaja
pun berkurang. Selain itu, banyak para remaja yang lebih suka berhubungan lewat
media sosial dibandingkan dengan bertemu dengan teman-temannya dan yang lebih
parah lagi mereka yang kecanduan susah untuk berkomunikasi dengan yang lain.
Para pelajar juga lebih sering menggunakan waktu mereka untuk bermain game yang
ada pada salah satu media sosial.

Selain banyaknya hal positif dari internet, banyak juga dampak negatifnya apabila
penggunaannya tidak dibarengi dengan peningkatan kesadaran remaja yang
sebaiknya diawasi agar para remaja berhati-hati. (1) aspek sosial (merasa tidak aman,
meningkatkan model kejahatan cyber crime, prostitusi online, sering kali membuat
seseorang menjadi jauh dengan lingkungan sekitarnya, banyak konten pornografi dan
juga SARA, munculnya informasi hoax, black campaign, meningkatkan peredaran
narkoba, penyebaran paham ekstrimis dan juga menyimpang, tidak ada privasi
melalui media sosial, meningkatkan risiko terjadinya cyber bullying, pencemaran
nama baik, kejahatan hacking dan cracking, pembajakan hak intelektual, seperti

13
pembajakan film, lagu, dan software, individu menjadi orang yang tidak peduli,
membuang– buang waktu.

(2) Aspek kesehatan, (merusak mata, lupa waktu, terpapar radiasi, mempengaruhi
kondisi tulang belakang tubuh, jam tidur yang tidak teratur, kelelahan). (3) Aspek
pendidikan, (dapat menurunkan prestasi akademik, menurunkan konsentrasi dan
fokus siswa terhadap mata pelajaran, membuat malas belajar, dapat menghambat
dan juga mengganggu perkembangan moral individu, beberapa kasus malah
membuat seseorang menjadi ketinggalan informasi). (4) Aspek ekonomi, (penipuan
mengatas namakan online shop, meningkatkan perilaku konsumtif, membuat toko
offline secara fisik menjadi menurun, bahkan bangkrut, tidak sesuaian antara produk
yang dipajang di toko online, dengan produk yang sebenarnya, perlindungan
konsumen terhadap e-commerce yang masih minim, pembobolan situs perbankan,
dan penipuan, pembobolan terhadap berbagai macam situs). (5) Aspek keamanan,
(data personal dapat tersebar dengan mudah baik sengaja ataupun tidak, sebagai
lokasi yang sangat rawan terhadap virus untuk menginfeksi komputer, mudah melacak
lokasi seseorang bisa dilacak dengan mudah)

Kesimpulan dari dampak negatif internet pada individu meliputi aspek sosial,
kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan keamanan. Tanpa peningkatan kesadaran pada
individu khususnya remaja dan pengawasan yang tepat, penggunaan internet dapat
menyebabkan masalah seperti kejahatan cyber, penurunan prestasi akademik,
konsekuensi kesehatan, risiko ekonomi, dan potensi masalah keamanan yang
melibatkan privasi dan penipuan. Oleh karena itu, perlunya pendekatan holistik untuk
mendidik remaja tentang penggunaan internet yang bijak.
.
F. Syarat Seseorang Dapat Dikatakan Kecanduan Media Sosial
Gejala kecanduan ini dapat mencakup penggunaan yang berlebihan, kesulitan
untuk menghentikan penggunaan, perubahan mood yang terkait dengan aktivitas
media sosial, dan pengaruh negatif terhadap kehidupan sehari-hari. Kecanduan
media sosial dapat memengaruhi kesejahteraan mental dan sosial seseorang.

Dijelaskan pada (Prasojo et al., 2018) gejala yang paling sering dialami oleh
seseorang yang kecanduan internet adalah sebagai berikut :
a) Mood modification (Adanya kepuasan ketika mengakses media sosial)
Pada aspek ini, individu dapat menggunakan media sosial sebagai salah satu
alasan untuk melupakan masalah. Hal ini mengarah pada pengalaman individu
sendiri, yang menjadi hasil dari bermain media sosial, dan juga dapat dilihat sebagai
strategi coping. Menurut Andersan dan Pallesen (2014), seseorang yang mempunyai
tingkat kecanduan media sosial yang tinggi akan dapat menggunakan media sosial
sebagai jalan keluar untuk mengatasi atau menghilangkan masalah, seperti sikap
kegelisahan bahkan depresi, perilaku mengakses media sosial menyebabkan terjadi
perubahan menjadi lebih tenang. Young mengatakan bahwa ini merupakan membantu
rasa takut dari seseorang yang dengan adiksi internet dimana orang tersebut akan
merasa takut hidupnya menjadi hampa, membosankan dan tidak bahagia jika tanpa
internet.

15
b) Tolerance (Terjadinya peningkatan waktu penggunaan media sosial yang
tinggi)
Menurut Young yaitu menghabiskan lebih banyak waktu untuk online, individu
umumnya sering mengalami peningkatan waktu penggunaan media sosial secara
progresif dan tidak bisa mengatur waktu untuk mengakses media sosial. Durasi dari
penggunaan media sosial bisa dijadikan cara untuk menentukan apakah individu
tersebut mengalami kecanduan media sosial atau tidak. Penggunaan dari media
sosial dalam sehari 1-3 jam dikategorikan recreational user dimana penggunaan
media sosial hanya sebagai pemenuhan kebutuhan dirinya untuk komunikasi, mencari
informasi dan hiburan. Sedangkan mengakses media sosial 4-6 jam dalam sehari
termasuk dalam kategori at-risk user atau pengguna resiko, sementara penggunaan
media sosial di atas 6 jam perhari dikategorikan sebagai addict (Andreassen &
Pallesen, 2014). Menurut Lestari & Winingsih (2020), seseorang yang mengalami
addict (kecanduan media sosial) disebabkan oleh gangguan psikologis yang
diakibatkan karena terlalu lama mengakses media sosial dalam sehari-hari, sehingga
berkurang kegiatan produktifitas dalam kehidupannya. Kegunaan dari media sosial
melahirkan kebiasaan baru yang dilakukan oleh dewasa awal atau disebut compulsive
use (secara terus menerus), sehingga menghabiskan banyak waktu dalam sehari-hari
hanya untuk mengakses media sosial, yang berimplikasi pada menurunnya fokus
terhadap pembelajaran, merasa kebingungan dan bosan jika tidak mengakses media
sosial.

c) Withdrawal symptom (Tidak tenang ketika tidak mengakses media sosial)


Perasaan tidak menyenangkan dan murung ketika sedang tidak online . Biasanya
memiliki sikap pemarah, stress, tegang, atau lebih fisiologis seperti mual, berkeringat,
sakit kepala. Jika dilarang mengakses media sosial, seseorang yang sudah
kecanduan biasanya menjadi stres, gelisah, mudah bermasalah, dan juga menjadi
mudah tersinggung hingga merasa buruk jika mereka tidak dapat mengakses media
sosial. Menurut Pratiwi (2017), pada aspek ini remaja akan mengalami masalah
psikologis ketika tidak mengakses media sosial seperti munculnya perasaan gelisah,
emosi, hingga terjadi penurunan sosialisasi dengan lingkungannya akibat
penggunaan media sosial yang terlalu sering.

d) Conflict/external consequences (Pertentangan muncul baik dalam diri sendiri


maupun dengan orang lain)
Hal ini mengarah pada konflik yang terjadi antara pengguna media sosial dengan
lingkungan sekitarnya (konflik interpersonal), konflik dalam tugas lainnya (pekerjaan,
tugas, kehidupan sosial, hobi) atau konflik yang terjadi dalam dirinya sendiri (konflik
intrafisik atau merasa kurangnya kontrol) yang diakibatkan karena terlalu banyak
menghabiskan waktu bermain media sosial. Pecandu jejaring sosial memberikan
prioritas lebih rendah dari pada hobi, pekerjaan sekolah, kegiatan sehari-hari, dan
olahraga serta mengabaikan pasangan, anggota keluarga, teman mereka karena
sibuk mengakses media sosial. Remaja umumnya merasa bersalah ketika terlalu
lama mengakses media sosial dan muncul konflik dengan keluarga ataupun teman
yang diakibatkan dari mengakses media sosial terlalu sering atau secara berlebihan

15
serta tidak mempedulikan lingkungan sekitar. Tidak hanya konflik internal dan
eksternal, remaja juga dapat mengalami konflik terkait akademik dan sosial yang
diakibatkan dari mengakses media sosial terlalu berlebihan. Ketika mengalami
kecanduan media sosial, prestasi akademik juga dapat menurun (Maulana et al.,
2012).

e) Relapse (Mencoba mengurangi mengakses media namun gagal)


Aspek ini merupakan kecenderungan untuk kembali online atau ketika pecandu
ingin berhenti tetapi tidak berhasil. Mereka yang addict media sosial tidak akan
menghiraukan nasihat orang lain untuk mengurangi waktu yang dihabiskan untuk
mengakses media sosial. Namun, mereka biasanya berusaha untuk mengurangi
media sosial namun hasilnya tidak ada. Ketika mereka memutuskan lebih jarang
menggunakannya tetapi tetap tidak berhasil sehingga aktivitas tersebut kembali ke
pola aktivitas sebelumnya. Hal ini merupakan kecenderungan berulangnya kembali
pola penggunaan jejaring sosial setelah adanya kontrol. Hal tersebut diakibatkan dari
ketidakmampuan mengontrol untuk tetap mengakses media sosial seperti
mengunduh kembali aplikasi yang sudah dihapus dan terus menerus untuk
mengulangi pola perilaku tersebut untuk tetap mengakses media sosial. Kegagalan
dalam hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Sahin (2018), bahwa dewasa awal
selalu berusaha agar dapat tersambung dengan media sosial, dengan tujuan
tercapainya kepuasan pribadi. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Aprilia
et al (2020), bahwa dewasa selalu menyibukkan dirinya setiap saat dengan media
sosial dan menjadikan media sosial sebagai arah pelarian dari segala masalah yang
dihadapi.

f) Craving/Anticipation (Merasa antisipasi ketika sedang online)


Craving atau keinginan kuat untuk menggunakan media sosial bisa muncul
sebagai respons terhadap penggunaan sebelumnya yang memberikan kepuasan atau
sebagai antisipasi terhadap pengalaman positif di masa depan. Faktor-faktor seperti
interaksi sosial, pemberian penghargaan, atau ketertarikan pada konten tertentu
dapat memperkuat craving tersebut.

g) Lying/Hiding use (Menyembunyikan bahwa sedang Online)


Keinginan untuk menyembunyikan status online atau aktivitas media sosial bisa
menjadi salah satu indikator kecanduan. Ini mungkin terkait dengan dorongan untuk
mempertahankan privasi atau ketakutan terhadap tanggapan negatif dari orang lain
terkait penggunaan media sosial yang berlebihan. Orang yang kecanduan media
sosial kadang-kadang merasa malu atau sadar akan fakta bahwa mereka
menghabiskan terlalu banyak waktu online. Oleh karena itu, mereka mungkin
mencoba menyembunyikan aktivitas mereka dengan cara seperti menonaktifkan
status online atau mengatur pengaturan privasi agar orang lain tidak dapat melihat
kapan mereka terakhir online. keinginan untuk menyembunyikan status online atau
aktivitas media sosial bisa menjadi salah satu indikator kecanduan. Ini mungkin terkait
dengan dorongan untuk mempertahankan privasi atau ketakutan terhadap tanggapan
negatif dari orang lain terkait penggunaan media sosial yang berlebihan.

16
h) Salience/Preoccupation (penggunaan media sosial mendominasi pikiran
seseorang)
Hal ini terjadi ketika penggunaan media sosial menjadi aktivitas yang sangat
penting dalam kehidupan individu, mendominasi pikiran individu (preokupasi atau
gangguan kognitif), perasaan (merasa sangat butuh) dan juga tingkah laku
(kemunduran dalam perilaku sosial). Individu akan selalu memikirkan media sosial,
meskipun tidak sedang mengakses media sosial. Merasa sedang online ketika offline,
seperti perasaan menantikan waktu untuk dapat beraktivitas online atau pikiran-
pikiran yang terkait dengan aktivitas online sebelumnya sehingga ingin segera
kembali online.

Young (1996 dan 1999) pada (Soetjipto, 2005) menjelaskan bahwa terdapat
kriteria-kriteria yang dapat membedakan seseorang yang kecanduan internet dengan
seseorang yang tidak sampai candu terhadap internet. kriteria tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Merasa terbuai dan keasyikan ketika bermain internet.
2. Memerlukan waktu tambahan untuk mencapai kepuasan dalam menggunakan
internet.
3. Tidak mampu dalam mengontrol, mengurangi dan menghentikan penggunaan
internet.
4. Cenderung akan merasa gelisah, depresi, murung dan mudah marah ketika
berusaha menghentikan atau mengurangi penggunaan internet.
5. Sering mengakses internet lebih lama dari yang diharapkan.
6. Kehilangan orang terdekat, pekerjaan, melewatkan pekerjaan, tugas karena
terlalu sering bermain internet.
7. Sering berbohong kepada keluarga ataupun orang terdekat ketika bermain
internet.
8. Menggunakan internet sebagai salah satu cara dalam menyelesaikan masalah
atau untuk menghilangkan perasaan bersalah, tidak berdaya, gelisah atau
depresi.

Berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh Prasojo et al. (2018) dan kriteria yang
dijelaskan oleh Young (1996 dan 1999), dapat disimpulkan bahwa kecanduan internet,
khususnya media sosial, memiliki gejala yang mencakup perubahan mood,
peningkatan toleransi terhadap waktu penggunaan, gejala withdrawal ketika tidak
online, konflik internal dan eksternal, kesulitan untuk mengurangi penggunaan
(relapse), keinginan kuat untuk menggunakan (craving), menyembunyikan
penggunaan, serta preokupasi yang mendalam terhadap media sosial. Kriteria
kecanduan internet oleh Young juga menyoroti aspek kehilangan terhadap hubungan
sosial, pekerjaan, dan tanggung jawab lainnya. Dalam konteks ini, kecanduan internet
dapat memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis dan sosial
individu.

G. Pencegahan Terhadap Kecanduan Media Sosial


Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya Kecanduan
seseorang terhadap media sosial. Salah satunya adalah dengan cara melakukan

17
kontrol yang baik terhadap diri pribadi (Self Control). Ketika berinteraksi dengan orang
lain, seseorang akan berusaha untuk menampilkan perilaku yang dianggap paling
tepat bagi dirinya. Kontrol diri diperlukan untuk membantu individu mengatasi
kemampuan yang terbatas dan mengatasi berbagai hal yang merugikan. Self Control
sebagaimana yang dijelaskan oleh Libert (Sutman,2010) merupakan tingkah laku
anak dalam mengendalikan diri atau memonitor gagasan-gagasan atau ide dalam
dirinya dengan berbagai cara, baik pada saat tidak ada tekanan maupun saat terjadi
pertentangan dengan tekanan-tekanan yang ada dalam situasi yang dihadapinya.

Self Control merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan
digunakan individu selama proses-proses yang terjadi pada kehidupan, termasuk
dalam menghadapi kondisi-kondisi yang terdapat pada lingkungan sekitar. Kontrol diri
dapat digunakan sebagai suatu intervensi yang bersifat preventif yang dapat
mereduksi efek-efek psikologis yang negatif dari stres lingkungan. Calhaun dan Ocella
dalam memuaskankan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar tidak
mengganggu kenyamanan orang lain. Kedua, masyarakat medorong individu secara
konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya. Ketika berusaha memenuhi
tuntutan, dibuatkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut
individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang.

Untuk mencegah kecanduan media sosial dapat diberikan Langkah-langkah


sebagai berikut :
1. Edukasi public
Edukasi public ini dalam rangka membuat adaptasi terhadap adanya teknologi
tentang penggunaan media sosial yang dapat dikatakan sehat. Program ini dapat
dilakukan melalui media massa, sekolah maupun media komunikasi lainnya yang
berhubungan. Program ini juga dapat menjadi tanggung jawab dalam kalangan
masyarakat untuk dapat menggunakan internet dengan selayaknya. Berfokus untuk
menanamkan pemahaman tentang kegunaan media sosial yang seimbang, risiko
terjadinya kecanduan, dan praktik penggunaan yang bijak.

2. Regulasi Bisnis Internet


Regulasi bisnis media sosial ini dapat dikatakan sehat dan etis dengan
memberikan kesempatan konsumen untuk dapat memberikan sebagaimana informasi
yang cukup atas produk internet yang dipakai. Yang bertujuan untuk mendorong bisnis
media sosial untuk beroperasi secara etis dan memberikan informasi yang memadai
kepada konsumen. Dalam hal ini bisa diperankan oleh pemerintah, badan regulasi,
dan organisasi terkait yang dapat mengawasi dan menegakkan regulasi ini.

3. Aktivitas Penggunaan
Aktivitas yang dapat dikembalikan sebagai fungsi-fungsi ruang fisik sesuai dengan
peruntukan dalam upaya meredam gejala media sosial sebagai ruang virtual. Dimana
hal ini bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan antara kehidupan dan fisik.
Dapat di implementasikan dengan mendorong aktivitas di dunia nyata sesuai dengan
fungsi ruang fisik, seperti olahraga, seni, dan interaksi sosial lainnya. Dengan

18
memberikan pelatihan dan dukungan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan
fisik sebagai alternatif untuk waktu yang dihabiskan secara berlebihan di media sosial.

Melalui kombinasi ketiga langkah ini, diharapkan dapat diciptakan lingkungan yang
mendukung penggunaan media sosial yang sehat, meminimalkan risiko adiksi, dan
memastikan bahwa masyarakat dapat mengambil manfaat maksimal dari teknologi ini
tanpa mengorbankan keseimbangan hidup mereka. Solusi yang pertama kali adalah
berusaha untuk membatasi diri, dimana jika para remaja sudah kecanduan dengan
media sosial, maka harus membatasi waktu aksesnya, mulai kurangi bermain game
dan update status. Mulai mencari kesibukan yang lain misalnya seperti bermain
bersama teman-teman dalam dunia nyata, ikut organisasi maupun mengerjakan
tugas-tugas dari sekolah.

Selain penjelasan diatas, Peran orang tua sangatlah penting khususnya pada
remaja, walau orang tua tidak menggunakan media sosial, tetapi orang tua harus lebih
menjaga lingkungan dan pergaulan anaknya dibantu dengan sahabat terdekatnya
sehingga jika ada akhlak dan perilaku dari anak tersebut yang berbeda, maka orang
tua harus tanggap dan mencoba menghubungi sahabat terdekatnya. Mungkin bagi
orang tua yang belum mengerti tentang teknologi internet, mempelajarinya
merupakan tantangan tersendiri. Tetapi, agar dapat memantau anaknya, sedikitnya
para orang tua harus mengerti tentang internet. Belajar tentang bagaimana
menggunakan email, chatting atau memiliki akun media sosial. Dengan
mengetahuinya, para orang tua juga dapat mengajari anaknya tentang hal ini. Bahkan
orang tua dapat menjadi teman anaknya di media sosial, sehingga bisa sekaligus
memantau setiap update yang dilakukan anaknya di media sosial.

Orang tua juga seharusnya memberitahu tentang bahaya yang mengintai dalam
penggunaan media sosial. Orang tua harus mengingatkan anaknya bahwa walaupun
media sosial menarik, mereka harus mewaspadai bahaya media sosial. Salah satu
caranya adalah dengan mengingatkan mereka agar tidak memberitahu data pribadi
secara lengkap kepada orang yang baru dikenal dan jangan mencantumkannya
dalam profil pribadi. Peran orang tua selanjutnya adalah memberitahukan anaknya
agar tidak menerima semua orang yang ingin menjadi teman dalam situs media
sosialnya. Para orang tua juga tidak boleh membiarkan anaknya mengakses internet
tanpa pantauan secara langsung. Tidaklah penting untuk memiliki teman yang banyak
di dunia maya. Karena jika ada orang asing diterima sebagai teman media sosial,
maka orang asing ini dapat lebih mudah mengakses profil dan berbagai informasi para
kaum remaja.

Para remaja tidak boleh pula terlalu akrab dengan teman di internet atau bahkan
menjalin hubungan yang serius hanya karena tertarik pada wajahnya, keahliannya
atau hal lain yang belum tentu benar. Memiliki teman di dunia nyata jauh lebih terjamin
dibanding berteman dengan orang yang mungkin menyembunyikan identitas aslinya
di dunia maya. Beberapa cara lain untuk mengatasi kecenderungan para kalangan
remaja di media sosial antara lain sebagai berikut:

19
1. Mengetahui masalahnya
Bagi sebagian orang saat merasa gundah dan gelisah akan berkurang jika
berinteraksi dengan media sosial. Masalah seperti ini yang harus ditemukan dan
menggantikan dengan hal lain yang lebih positif lagi.
2. Ubah pola kebiasaan online
Jika kebiasaan para kalangan remaja menghabiskan waktu seharian untuk online
di media sosial yang belum tentu arahnya, maka kita harus mulai merubah kebiasaan
itu dengan membuat pola baru dimana misalnya, membaca email sebagai prioritas,
dilanjutkan dengan membaca informasi berita setelah itu kita harus mulai berani untuk
tidak melakukan hal-hal yang tidak menjadi prioritas, namun aturan yang dibuat itu
harus dipatuhi.
3. Atur ulang jadwal rutinitas
Biasanya para remaja yang kecanduan di media sosial tidak mempunyai jadwal
yang teratur dalam kesehariannya. Oleh karena itu, para remaja harus mulai mengatur
ulang jadwal rutinitasnya dengan baik dan seimbang, antara kewajiban dan hak.
Mengatasi kecenderungan remaja di media sosial peran orang tua sangat dibutuhkan,
baik dalam mengontrol, mengawasi, maupun mendidik anaknya. Selain itu, cara
mengatasi kecenderungan remaja di media sosial yaitu mengetahui masalahnya,
ubah pola kebiasaan online dan atur ulang jadwal rutinitas.

Seharusnya ada peran dari sekolah dalam menangani masalah yang terjadi pada
kalangan remaja agar dapat menggunakan media sosial dengan bijak. Serta
keterampilan guru dalam berkomunikasi juga dapat membantu menjelaskan pada
kalangan remaja bagaimana cara menggunakan media sosial agar tidak disalah
gunakan oleh remaja. Menurut (Ermita, 2019) dalam jurnalnya, Sekolah sebagai suatu
organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan akan selalu mendambakan
komunikasi yang harmonis antar sesama personil sekolah baik dalam komunikasi
formal maupun non formal di antara kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru,
guru dengan pegawai (tenaga administrasi) dan guru dengan siswa. Guru merupakan
salah satu komponen penentu dalam menciptakan hubungan yang harmonis dalam
penyelenggaraan tugas dan kegiatan yang berjalan di sekolah, karena gurulah yang
selalu berinteraksi aktif dengan siswa dalam menjalankan segala aktivitas di sekolah.

Untuk itu dalam hal ini guru harus memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik
sebagai sarana dalam menyampaikan segala maksud dan tujuan yang berkenaan
dengan pekerjaan yang harus dikerjakan di rumah. Guru dalam melaksanakan tugas
organisasi (sekolah) memerlukan partisipasi aktif dari seluruh anggota organisasi
(sekolah). Untuk membangkitkan partisipasi siswa tersebut dalam belajar dapat
dilakukan melalui ajakan, perintah atau paksaan yang semua ini melalui terjalinnya
komunikasi yang terjadi antara guru dan siswa. Menurut Nellitawati (2005)proses
komunikasi merupakan proses yang timbal balik karena antara si pengirim dan si
penerima pesan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan demikian akan
terjadinya perubahan tingkah laku di dalam diri individu baik pada aspek kognitif,
afektif, atau psikomotor.

20
H. Intervensi Yang Dapat Dilakukan
Meskipun tidak ada bentuk intervensi psikologis tertentu yang disarankan sebagai
standar emas untuk pengobatannya, pendekatan yang paling sering diselidiki adalah
terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi peningkatan motivasi. Mengingat kebutuhan
akan penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan yang
terkontrol lebih diutamakan daripada pantang total sebagai tujuan pengobatan
kecanduan media sosial. Teknik terapi yang disarankan untuk kecanduan internet
mencakup praktik sebaliknya, menggunakan penghambat eksternal, menetapkan
tujuan, tidak menggunakan aplikasi tertentu secara selektif, menggunakan isyarat,
membuat inventarisasi pribadi, bergabung dengan kelompok pendukung, dan
intervensi terapi keluarga.

Hasil intervensi psikososial mencakup perubahan yang diinginkan dalam tiga


bidang: (1) gejala , termasuk gejala kesehatan fisik dan mental; (2) berfungsinya , atau
pelaksanaan aktivitas, termasuk namun tidak terbatas pada aktivitas fisik, aktivitas
kehidupan sehari-hari, tugas yang diberikan di sekolah dan pekerjaan, menjaga
hubungan intim dan teman sebaya, membesarkan keluarga, dan keterlibatan dalam
aktivitas komunitas; dan (3) kesejahteraan , termasuk spiritualitas, kepuasan hidup,
kualitas hidup, dan peningkatan pemulihan sehingga individu “menjalani kehidupan
yang mandiri dan berusaha untuk mencapai potensi penuh mereka”. 3 Karena
kemajuan teknologi terkini, terdapat kebutuhan untuk mengkonseptualisasikan
intervensi terhadap kecanduan media sosial.

Tidak ada kategorisasi intervensi psikososial yang diterima secara luas. Istilah ini
umumnya diterapkan pada berbagai jenis intervensi, yang mencakup psikoterapi
(misalnya terapi psikodinamik, terapi perilaku kognitif, psikoterapi interpersonal, terapi
pemecahan masalah), pengobatan berbasis komunitas (misalnya pengobatan
komunitas asertif, intervensi psikosis episode pertama) ; rehabilitasi kejuruan, layanan
dukungan sebaya, dan intervensi perawatan terpadu. Setiap orientasi teoritis
mencakup berbagai intervensi (misalnya dalam orientasi psikodinamik terdapat
pendekatan psikologis relasional versus ego; dalam orientasi perilaku terdapat
pendekatan manajemen kognitif dan kontingensi).

Terkait intervensi psikoterapi untuk kecanduan teknologi, tidak ada bentuk


intervensi psikologis tertentu yang dapat dianggap sebagai standar emas
pengobatannya. Namun, pendekatan yang paling sering diselidiki adalah terapi
perilaku kognitif (CBT) dan terapi peningkatan motivasi.

Intervensi psikoterapi juga dapat dilakukan dalam dua konteks – Pantang total dan
Penggunaan Terkendali . Mengingat banyaknya manfaat dan kegunaan positif internet
dalam kehidupan sehari-hari, tidak praktis untuk mencoba model pantang total
(seperti dalam pengobatan gangguan penggunaan narkoba), bahkan pada mereka
yang menderita kecanduan internet. Prinsip panduannya adalah 'penggunaan
moderat dan terkendali'. Dalam model pantang, individu tidak menggunakan aplikasi
internet tertentu (misalnya menggunakan ruang obrolan atau bermain game) dan

21
menggunakan aplikasi lain secukupnya. Model pantang ini direkomendasikan bagi
mereka yang telah mencoba dan gagal membatasi penggunaan aplikasi tertentu.

Mereka yang menyatakan bahwa kecanduan internet (teknologi) pada dasarnya


dipertahankan secara kognitif percaya bahwa terapi perilaku kognitif mungkin
merupakan solusi yang memungkinkan. Kecanduan ini terbentuk ketika mereka
merasa tidak memiliki dukungan sosial dan keluarga, sehingga mengembangkan apa
yang disebut kognisi maladaptif (yang merupakan evaluasi mental atau penyaring
interpretasi) tentang diri mereka sendiri dan dunia. Strategi terapeutik akan mencakup
restrukturisasi kognitif mengenai aplikasi Internet yang paling sering digunakan
seseorang, latihan perilaku, dan terapi pemaparan, di mana individu tersebut tetap
offline untuk jangka waktu yang semakin lama.

Young menyarankan delapan teknik terapi untuk kecanduan internet. Ini termasuk:
1. Praktek sebaliknya : Temukan pola penggunaan internet mereka dan ganggu
pola ini dengan menyarankan jadwal baru. Misalnya, jika klien mengakses
internet segera setelah ia pulang beraktivitas dan tetap online hingga tiba
waktunya tidur, dokter mungkin menyarankan agar ia beristirahat untuk makan
malam, menonton berita, dan hanya lalu kembali ke komputer.

2. Penghenti eksternal : mereka dapat menggunakan peristiwa atau aktivitas


nyata untuk meminta dirinya keluar dari internet. Misalnya saja penggunaan
jam alarm yang berfungsi sebagai peringatan bagi mereka bahwa sudah
waktunya mematikan komputer dan melakukan aktivitas offline lainnya, seperti
berangkat kerja atau sekolah.

3. Menetapkan tujuan : Membantu mereka untuk mencapai tujuan yang spesifik


dan dapat dicapai sehubungan dengan jumlah waktu yang dihabiskan online.
Misalnya, jika mereka tetap online sepanjang hari pada hari Sabtu dan Minggu,
jadwal dengan sesi penggunaan singkat yang diikuti dengan penghentian
singkat, meskipun sering, dapat dirancang.

4. Pantang menggunakan aplikasi tertentu : Anjurkan untuk tidak menggunakan


aplikasi tertentu saja yang mereka tidak dapat kendalikan. Ini berarti bahwa
mereka harus berhenti menavigasi situs web tertentu atau bahkan aplikasi
tertentu (misalnya Instagram, Facebook, game online) yang paling menarik
bagi mereka, menghentikan penggunaan dari waktu ke waktu, beralih ke
bentuk alternatif seperti mengirim dan menerima email, pencarian berita,
sumber bibliografi tugas sekolahnya, dan lain sebagainya.

5. Kartu pengingat : Gunakan isyarat yang terlihat yang mengingatkan mereka


akan dampak dari kecanduan internet dan manfaat dari menghentikan
kecanduan tersebut. Misalnya, sebuah kartu yang berisi lima masalah utama
yang disebabkan oleh kecanduan internet, serta lima manfaat utama dari

22
pengurangan penggunaan (atau pada akhirnya tidak menggunakan aplikasi
tertentu) harus dicantumkan.
6. Inventaris pribadi : Bantu mereka untuk mengenali manfaat menghentikan
kebiasaan mereka dengan menunjukkan kepada mereka semua aktivitas yang
biasa mereka lakukan atau tidak sempat mereka lakukan karena kecanduan
media sosial.

7. Kelompok pendukung : Ini berguna karena banyak pecandu internet dikatakan


menggunakan Internet untuk mengimbangi kurangnya dukungan sosial.

8. Terapi keluarga : Intervensi keluarga diperlukan untuk mengatasi masalah


relasional yang mungkin berkontribusi atau diakibatkan oleh kecanduan media
sosial. Beberapa orang dengan kecanduan media sosial yang mengalami
masalah keuangan mungkin mendapat manfaat dari konseling keuangan.
Konseling pernikahan (atau pasangan) mungkin berguna ketika kecanduan
media sosial pada salah satu anggota pasangan telah mengganggu
hubungan. Young secara khusus merekomendasikan terapi pasangan untuk
kecanduan cyber-seksual. Demikian pula, terapi keluarga mungkin berguna
ketika perilaku bermasalah telah mengganggu unit keluarga. Caldwell dan
Cunningham menyarankan bahwa kombinasi modifikasi perilaku, intervensi
yang berfokus pada emosi, restrukturisasi kognitif, dan manajemen krisis
dapat dipertimbangkan, tergantung pada masalah yang ada.

Terapi Peningkatan Motivasi adalah teknik di mana terdapat upaya kolaboratif dan
non-konfrontatif antara penderita kecanduan internet dan terapis untuk membuat
rencana perawatan individual dan tujuan yang dapat dicapai.

Intervensi juga dilakukan dengan cara mengembangkan media yaitu buku self
help yang berbasis terapi kognitif perilaku. Media ini bertujuan untuk membantu dalam
mengurangi kecanduan media sosial pada remaja. Dimana dengan ini dapat
berkontribusi dalam usaha penanganan dengan mengembangkan buku self help
tersebut. Hal ini sebagai salah satu upaya dalam membantu diri yang dapat digunakan
individu yang memiliki gangguan dengan tingkat gangguan media sosial ringan.
Penanganan ini dapat membantu individu dalam langkah awal untuk sembuh dari
penyalahgunaan internet yang terlalu berlebih sehingga dapat mengganggu kondisi
psikologis individu tersebut.

Ketidakmampuan dalam mengontrol penggunaan media sosial ini akan berakibat


dapat membahayakan individu baik dalam hubungan pekerjaan, studi serta interaksi
terhadap orang lain. Penanganan pada perilaku kecanduan media sosial ini harus
dilakukan karena dampak yang disebabkan dari kecanduan media sosial ini cukup
fatal. Maka dari itu ada salah satu terapi yang mana bisa menangani adiksi pada
internet ini yakni terapi kognitif perilaku (CBT Cognitive Behaviorial Therapy). CBT
atau (Cognotove Behaviior Therapy) adalah sebuah pendekatan teraputik dan
edukaisonal yang mana merupakan kombinasi dari teori dan teknik terapi perilaku dan
terapi kognitif (Fuggle, Dunsmuir, & Curry, 2013; Krarru & Bernstein, & Phares, 2010).

23
Melalui terapi ini seseorang yang mengalami kecanduan pada media sosial
dilakukan memonitoring pemikiran mereka serta mengidentifikasi kondisi perasaan
serta situasional yang dapat memicu perilaku mereka. Oleh karena itu terapi CBT ini
sangat cocok untuk penanganan kecanduan pada media sosial.

I. Haruskah DSM-V Menyebut “Kecanduan Internet” sebagai Gangguan


Mental?
Memang benar bahwa gangguan kejiwaan telah menjamur seperti kelinci dalam
beberapa tahun terakhir, dan tampaknya tidak ada akhir yang terlihat. Banyak orang
di masyarakat umum yang yakin bahwa permasalahan yang dianggap sebagai
“gangguan” kejiwaan diselesaikan secara akademis seperti “ruangan yang dipenuhi
asap”, dengan cara sederhana yaitu “pemungutan suara oleh komite”. Meskipun
pandangan populer ini merupakan distorsi besar dari proses yang hati-hati (meskipun
juga cacat) yang mengarah pada pengembangan Manual Diagnostik dan Statistik
Gangguan Mental (DSM-III dan - IV) edisi ketiga dan keempat, persepsi masyarakat
penting , sejauh mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap psikiatri.

Terdapat kontroversi filosofis yang berkepanjangan mengenai konsep dasar


psikiatri, seperti batasan antara keadaan mental “normal” dan “tidak teratur”; dan
sejauh mana perilaku tertentu mewakili gangguan yang disebabkan oleh faktor
biologis dibandingkan dengan gaya hidup yang dipilih secara bebas. Meskipun isu-isu
yang tidak jelas ini berada jauh di luar cakupan komentar kali ini, isu-isu tersebut
menyentuh pertanyaan yang lebih sempit tentang apa yang dimaksud dengan
“kecanduan” atau “gangguan kecanduan.” Masalah-masalah ini, pada gilirannya,
mempengaruhi posisi kita sehubungan dengan apa yang disebut “kecanduan internet”
(IA) dan apakah hal ini harus ditegakkan sebagai diagnosis dalam DSM edisi kelima
yang akan datang.

Istilah kecanduan tidak digunakan dalam DSM-IV ; sebaliknya, istilah


ketergantungan zat dan penyalahgunaan zat digunakan. Hubungan antara kecanduan
dan perilaku kompulsif atau impulsif tertentu juga merupakan sumber kebingungan
definisi. Oleh karena itu, salah satu definisi kecanduan adalah “… perilaku kompulsif
yang terus berlanjut meskipun terdapat konsekuensi negatif yang serius terhadap
fungsi pribadi, sosial, atau pekerjaan.” Seperti yang akan dibahas dibawah,
penggunaan istilah kompulsif ini agak berbeda dengan pemahaman psikodinamik
klasik mengenai gejala obsesif-kompulsif.

Untuk tujuannya, IA dapat didefinisikan secara luas sebagai “…ketidakmampuan


individu untuk mengontrol penggunaan internet mereka, yang mengakibatkan tekanan
yang nyata dan/atau gangguan fungsional dalam kehidupan sehari-hari.” Beberapa
ahli yang mendukung dimasukkannya IA dalam DSM-V menggambarkan kondisi ini
dalam istilah yang mengarah pada kecanduan berbasis zat, meskipun mereka
mengkonseptualisasikannya dalam istilah lain. Misalnya, dalam editorial baru-baru ini,
Block menulis, “Kecanduan internet tampaknya merupakan gangguan umum yang
layak dimasukkan dalam DSM-V . Secara konseptual, diagnosisnya adalah gangguan

24
spektrum kompulsif-impulsif yang melibatkan penggunaan komputer online dan/atau
offline dan terdiri dari setidaknya tiga subtipe: bermain game berlebihan, keasyikan
seksual, dan email/pesan teks.”

Dalam pandangan Block, ketiga subtipe IA menunjukkan ciri-ciri penggunaan


berlebihan, fenomena penarikan diri, toleransi, dan dampak negatif—ciri-ciri yang
menjadi ciri banyak gangguan penggunaan narkoba, seperti penyalahgunaan opiat
atau obat penenang-hipnotis. Namun, dugaan penghentian obat dan toleransi belum
ditemukan pada subjek IA dengan menggunakan pengukuran fisiologis yang
sebanding dengan yang digunakan, misalnya, pada pasien yang bergantung pada
opiat atau barbiturat. Misalnya, tidak memiliki data sistematis mengenai fungsi saraf
otonom pada subjek yang didiagnosis IA dan dilarang menggunakan internet; dan
dengan demikian, dalam keadaan penarikan yang diduga. Lebih jauh lagi, jika
toleransi diartikan sebagai kebutuhan, dari waktu ke waktu, akan rangsangan berbasis
internet yang semakin intens atau sering untuk menghasilkan efek psikologis spesifik
yang sama, tidak mengetahui adanya penelitian yang memberikan ukuran toleransi
obyektif pada individu yang didiagnosis IA.

Dengan demikian, penerapan istilah penarikan diri dan toleransi pada IA


tampaknya melibatkan penggunaan istilah-istilah ini secara metaforis, atau
penggunaan kriteria perilaku yang cukup kasar, seperti keluhan individu berupa
perasaan mudah tersinggung atau cemas. Meskipun demikian, kita tidak boleh
mengabaikan laporan klinis mengenai tekanan yang hebat, dan mungkin hiperarousal
fisiologis, pada beberapa individu yang didiagnosis IA dan tidak diperbolehkan
menggunakan internet. Misalnya, Block mencatat banyak deskripsi yang konsisten
tentang pasien yang melaporkan mual, gemetar, berkeringat, gemetar, kelelahan,
marah, dan mudah tersinggung “…ketika segera keluar dari komputer 'binge'” (J.
Block, komunikasi pribadi 03/12/08) . Penting untuk melakukan pengukuran fisiologis
(misalnya, tekanan darah, denyut nadi) pada pasien IA yang mengalami gejala
tersebut.

Apapun sifat esensial atau patofisiologi dugaan IA, mereka yang menerima
diagnosis tampaknya memiliki risiko besar. Misalnya, Blok mengutip data terbaru dari
Korea Selatan dan Tiongkok, menunjukkan tidak hanya tingginya prevalensi IA,
namun juga dampak kesehatan masyarakat yang signifikan (misalnya, di Korea
Selatan, sebanyak 24% anak-anak yang didiagnosis dengan IA memerlukan rawat
inap). Ha et al mencatat sejumlah besar masalah yang terkait dengan IA, termasuk
konflik dengan keluarga dan teman; gangguan dalam kegiatan sosial dan kejuruan;
depresi, kecemasan, atau gejala obsesif; dan masalah psikofisiologis, seperti
insomnia, sakit kepala tegang, dan mata kering. Selain itu, seperti yang dicatat oleh
Block, IA yang tidak dikenali sebagai proses komorbiditas pada pasien depresi atau
cemas dapat menyebabkan resistensi pengobatan dan hasil yang buruk (J. Block,
komunikasi pribadi 3/12/08).

Terlepas dari temuan ini, tidak ada kesepakatan universal mengenai kriteria
diagnostik spesifik untuk IA, apakah itu merupakan gangguan mental tersendiri, atau

25
bahkan merupakan suatu gangguan sama sekali. Dengan demikian, Ha dkk
mengamati bahwa IA ditafsirkan secara beragam sebagai “…diagnosis asli,
manifestasi gejala baru dari penyakit yang mendasarinya; atau masalah psikososial
dalam menyesuaikan diri dengan media baru.”

Selain itu, isu komorbiditas psikiatrik menimbulkan dilema diagnostik lainnya.


Dengan menggunakan Skala Kecanduan Internet (IAS) Young dan beberapa alat
penilaian terstruktur, Ha et al menemukan bahwa dari 12 remaja dengan IA, tiga
remaja menderita gangguan depresi mayor, satu menderita skizofrenia, dan satu lagi
menderita gangguan obsesif kompulsif. Temuan ini menimbulkan kesulitan yang
kompleks mengenai penyebab, akibat, dan diagnosis primer vs. sekunder. Misalnya,
Ha dkk berpendapat bahwa, “…perilaku yang berkaitan dengan kecanduan internet
mungkin merupakan gejala gangguan depresi pada remaja.” (cetak miring
ditambahkan) Agak bertentangan dengan ekspektasi teoritis, Ha dkk tidak
menemukan komorbiditas yang tinggi antara IA dan masalah terkait zat; Namun,
mengingat kecilnya jumlah subjek dalam penelitian ini, kesimpulannya harus dilihat
dengan hati-hati.

Dalam penelitian di Jerman terhadap 30 subjek dengan “penggunaan internet


patologis” (PIU), Kratzer dan Hegerl (2008) menemukan bahwa 27 subjek memiliki
beberapa penyakit penyerta atau gangguan kejiwaan yang mendasarinya (gangguan
kecemasan terlihat pada separuh subjek). Pada subjek kontrol tanpa PIU, hanya 7
dari 31 yang didiagnosis dengan diagnosis psikiatris. Tingginya angka gangguan
kejiwaan lainnya mendorong penulis untuk menyuarakan skeptisisme bahwa IA
adalah “penyakit independen”.

Memang benar, beberapa kritikus IA berargumen bahwa penggunaan internet


yang berlebihan merupakan manifestasi sekunder dari depresi atau gangguan
kepribadian dan mungkin mewakili “penenangan diri” yang adaptif atau penghindaran
ketidaknyamanan antarpribadi yang terkait dengan gangguan yang mendasarinya.
Kritik lain terhadap IA sebagai kelainan tersendiri menunjukkan bahwa “internet”
hanyalah media komunikasi—bukan zat, seperti kokain, atau perilaku yang secara
intrinsik bermanfaat, seperti kleptomania atau perjudian patologis. Para kritikus ini
berpendapat bahwa kebutuhan patologis untuk “mempermainkan” atau melihat
pornografi di internet hanyalah mewakili psikopatologi atau mekanisme pertahanan
yang mendasari yang akan terwujud dalam cara lain, jika internet tidak tersedia.
Kekhawatiran ini tidak bisa diabaikan begitu saja.

Beberapa ahli pengobatan kecanduan tampak sangat skeptis terhadap IA sebagai


gangguan tersendiri. Oleh karena itu, spesialis kecanduan Stuart Gitlow MD
mengamati, “…istilah medis kecanduan tidak boleh diterapkan pada apa pun selain
penggunaan narkoba dan perjudian yang membuat ketagihan. Masyarakat
menggunakan istilah [kecanduan] yang setara dengan penggunaan berlebihan ,
namun definisi medisnya didasarkan pada 'penggunaan meskipun demi kepentingan
terbaik', dan jumlah penggunaan tidak ada hubungannya dengan hal itu… Saya
menduga bahwa [masyarakat]…kita khawatir memiliki penyakit yang mendasarinya

26
mungkin mereka menderita depresi berat atau OCD atau Asperger atau penyakit lain
selain penyakit kecanduan. Atau mungkin mereka benar-benar mengalami
kecanduan, dan hal ini akan menjadi jelas seiring berjalannya waktu dan penelitian
dilakukan.” (S. Gitlow, komunikasi pribadi, 20/11/08).

Bahkan mereka yang mendukung pengakuan IA tidak serta merta mendukung


istilah kecanduan internet . Block, misalnya, mencatat bahwa permasalahan
utamanya bukanlah internet, namun, “…hubungan abnormal dan ketergantungan
pada teknologi…” Lebih lanjut, Block mencatat bahwa kecanduan narkoba dapat
secara langsung atau tidak langsung menyebabkan kematian selama keadaan
mabuk, “… kecanduan perilaku tampaknya tidak membawa risiko seperti itu,
setidaknya pada tahap awal.” (J.Block, komunikasi pribadi 03.12.08).

Baru-baru ini, Bostwick dan Bucci melaporkan kasus kecanduan seks internet
yang menimbulkan pertanyaan menarik mengenai patofisiologi spesifik IA. Pasien
mereka berusia 24 tahun ketika pertama kali mencari bantuan psikiatris karena
“kecanduan seksual”, yang melibatkan keasyikan dengan pornografi internet, serta
“…sesi masturbasi yang berkepanjangan dan kadang-kadang bertemu langsung
dengan kontak dunia maya untuk melakukan hubungan seks spontan, biasanya tanpa
kondom.” Selama tujuh tahun berikutnya, pasien diberi resep antidepresan dan
menjalani psikoterapi individu dan kelompok, serta berpartisipasi dalam Sexual
Addicts Anonymous. Namun, pasien baru menunjukkan perbaikan yang signifikan
setelah obat antagonis opiat, naltrexone, ditambahkan ke sertraline yang sedang
digunakannya. Para penulis mencatat bahwa “…ketika dia menghentikan naltrexone,
keinginannya kembali muncul. Ketika dia meminum naltrexone lagi, hasilnya
berkurang.”

Jelasnya, satu laporan kasus tidak dapat mendukung klaim atau hipotesis apa
pun, mengenai patofisiologi IA. Meskipun demikian, Bostwick dan Bucci memberikan
argumen yang masuk akal yang menunjukkan bahwa sindrom kecanduan pasien ini
mungkin melibatkan mekanisme dopaminergik, gabaergic, dan opiatergic, yang
diyakini berperan dalam perilaku adiktif lainnya. Memang benar, bukti pelepasan
dopamin striatal selama bermain video game terdeteksi dalam studi tomografi emisi
positron.

Baru-baru ini, polimorfisme genetik pada gen transpor serotonin juga ditemukan
pada sekelompok remaja pria dengan “penggunaan internet berlebihan (EIU).”
Dibandingkan dengan kontrol, subjek EIU juga menunjukkan skor yang lebih tinggi
pada Beck Depression Inventory dan ukuran “penghindaran dampak buruk,” yang
menunjukkan kepada penulis bahwa subjek EIU mungkin memiliki sifat genetik dan
kepribadian yang mirip dengan pasien depresi. Penafsiran ini tentu saja tidak
mendukung anggapan bahwa EIU atau IA adalah gangguan jiwa yang terpisah dan
otonom.

Di sisi lain, sangat menarik bahwa, dalam laporan Bostwick dan Bucci, perilaku
seksual maladaptif pasien tidak banyak berubah hanya dengan pengobatan

27
antidepresan atau psikoterapi. Hal ini mungkin membantah keberatan bahwa IA yang
dialami pasien hanyalah sebuah epifenomena dari depresi yang mendasarinya.
Jelasnya, penelitian yang lebih sistematis yang melibatkan sejumlah besar subjek IA
yang ditentukan secara cermat akan diperlukan untuk memperjelas masalah ini.

Apa yang Dianggap sebagai “Penyakit?” Apa yang dimaksud dengan Penyakit
Terpisah?. Dalam esai sebelumnya tentang apakah kefanatikan harus dianggap
sebagai gangguan mental, saya berpendapat, “…konsep kita tentang penyakit
tumbuh dari tradisi kuno yang didasarkan pada pengakuan akan penderitaan dan
ketidakmampuan. Penyakit pada awalnya tidak didiagnosis oleh spesialis medis
menggunakan perangkat pencitraan berteknologi tinggi atau tes laboratorium—
meskipun hal ini dapat membantu menentukan entitas penyakit tertentu. Dalam
psikiatri, seperti halnya kedokteran pada umumnya, sering kali anggota keluarga atau
calon pasienlah yang pertama kali menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Hal ini didasarkan pada persepsi umum kita tentang penderitaan dan
ketidakmampuan tanpa adanya penyebab eksternal yang jelas (seperti luka pisau).”

Singkatnya, penyakit pada dasarnya adalah suatu kondisi penyakit (penderitaan)


yang substansial dan berkepanjangan, disertai dengan gangguan fisik, sosial, atau
kejuruan (ketidakmampuan) yang cukup parah. Saya memenuhi syarat argumen saya
mengenai “penderitaan” dengan menetapkan bahwa penderitaan tidak boleh muncul
semata-mata sebagai konsekuensi dari tanggapan masyarakat yang menghukum
terhadap perilaku pasien. Sebaliknya, setidaknya sebagian dari penderitaan tersebut
pasti merupakan bagian dari kondisi itu sendiri—dicontohkan dalam apa yang saya
sebut, “Ujian di Pulau Gurun.” Misalnya, seorang pasien dengan depresi psikotik
kemungkinan besar akan mengalami penderitaan, meskipun terdampar sendirian di
pulau terpencil. Seseorang dengan gagasan rasis yang kuat kemungkinan besar tidak
akan mengalami hal yang sama, jika semua hal dianggap sama. Atas dasar ini, saya
berpendapat bahwa hanya dalam kasus-kasus tertentu yang sangat terbatas
kefanatikan dapat dianggap sebagai contoh penyakit.

Sekarang, bagaimana pemikiran ini dapat diterapkan pada IA? Intinya, jika
seorang pasien yang didiagnosis dengan IA (berdasarkan serangkaian kriteria
tertentu) mengalami penderitaan dan ketidakmampuan, dan lebih jauh lagi, jika
penderitaan tersebut setidaknya sebagian disebabkan oleh aspek pengalaman
intrinsik dari kondisi yang nyata, maka individu tersebut akan mengalaminya. penyakit
klinis. Di sisi lain, jika pasien yang didiagnosis dengan IA mengalami kesusahan atau
penderitaan hanya ketika masyarakat menerapkan sanksi hukuman (misalnya,
mengadili pasien karena meminta seks menggunakan internet) atau hanya ketika
internet tidak tersedia, maka kriteria “penderitaan intrinsik” akan menjadi tidak
dipenuhi. Dalam kasus seperti ini, kita mungkin setuju bahwa individu tersebut
menunjukkan perilaku maladaptif secara sosial dan kejuruan, namun bukan berarti dia
sedang mengalami penyakit ( dis -ease).

Dalam pandangan saya, literatur mengenai IA belum cukup tepat untuk


memungkinkan penentuan secara rinci. Artinya, tidak jelas apakah sebagian besar

28
pasien dengan IA biasanya mengalami penderitaan sebagai bagian intrinsik dari
kondisi mereka atau apakah diforia dan kesusahan yang mereka alami hanya terjadi—
atau terutama—ketika individu tersebut tidak diberi akses ke internet atau dihukum
karena alasan tertentu. “perilaku buruk.” Singkatnya, kita belum memiliki cukup data
untuk menyimpulkan bahwa IA biasanya merupakan contoh penyakit , seperti yang
saya definisikan sebagai istilah tersebut. Memang benar, kita tidak mungkin
memperoleh data seperti itu sampai kita menyepakati kriteria IA yang tepat dan
berorientasi pada penelitian. Meskipun demikian, kita tidak boleh mengabaikan
kemungkinan bahwa beberapa individu dengan IA (bagaimanapun diagnosisnya)
memang mengalami penyakit yang sebenarnya. Memang benar, penelitian Dr. Block
dan penelitian para peneliti di negara lain menunjukkan bahwa beberapa individu yang
memenuhi kriteria IA menderita dan tidak mampu.

Yang terakhir, hanya karena seseorang tidak memenuhi kriteria penyakit,


(betapapun definisinya), tidak berarti bahwa ia tidak layak menerima bantuan dan
dukungan profesional kita. Kode “V” dari DSM-IV dengan jelas mengakui bahwa
kondisi seperti “masalah hubungan orang tua-anak” dapat menjadi fokus perhatian
klinis, tanpa mencapai ambang batas penyakit atau kelainan. Hal ini sepenuhnya
konsisten dengan praktik medis secara umum: seseorang yang melakukan operasi
kosmetik wajah untuk “meningkatkan penampilan” mungkin tidak memenuhi syarat
sebagai mengidap penyakit, namun akan menjadi fokus perhatian medis dan mungkin
pengobatan.

Tapi sekarang, mari kita tetapkan bahwa seseorang yang didiagnosis dengan IA
memang menderita sebagai akibat langsung dari kondisi tersebut (yaitu, mengalami
penderitaan intrinsik) dan juga mengalami ketidakmampuan hingga tingkat yang
signifikan (misalnya, ia tidak mampu memenuhi kebutuhan sosial atau kejuruan yang
normal. peran, tidak dapat berkonsentrasi, tidak dapat memperoleh tidur yang cukup).
Jika ini merupakan penyakit dalam pengertian umum, penyakit atau kelainan apa yang
mungkin terjadi? Di sini, dalam pandangan saya, kita perlu menyelidiki bidang teori
psikodinamik yang hampir tidak diakui dalam DSM-IV , meskipun sampai taraf
tertentu, teori tersebut termasuk dalam konstruksi gangguan obsesif kompulsif (OCD)
DSM-IV .

Dalam teori psikoanalitik, penting untuk membedakan antara apa yang disebut
pikiran, keinginan, dan impuls ego-alien dan ego-sintonik. Dalam rumusan klasik
OCD, pasien mengalami pikiran atau dorongan obsesif sebagai sesuatu yang
“mengganggu” dan “tidak pantas”—dalam beberapa hal, asing bagi perasaan dirinya
sendiri. Ciri-ciri ini sebenarnya dipertahankan dalam kriteria DSM-IV untuk OCD.
“Perasaan asing” ini tidak dijelaskan dalam sebagian besar gangguan pengendalian
impuls, seperti perjudian patologis. Sedangkan menurut kriteria DSM-IV , penjudi
patologis mungkin merasa “gelisah” atau “mudah tersinggung” ketika mencoba
mengurangi atau menghentikan perjudian, 5 pemikiran tentang perjudian itu sendiri
sebagian besar bersifat ego-syntonic (yaitu, mereka dialami sebagai “diri sendiri”). ”).

29
Tidak ada penelitian psikodinamik IA yang cukup untuk mengetahui berapa
persentase pasien yang mengalami keasyikan sebagai ego-alien versus ego-syntonic.
Secara anekdot, Dr. Block telah mengamati bahwa “…penggunaan game (yang
kurang jelas pornografi) selalu bersifat ego-syntonic yang kuat sampai saat mereka
berhenti menggunakan…lalu timbul rasa jijik/marah…” (J. Block, komunikasi pribadi
12/03 /08). Berdasarkan informasi yang sebagian besar bersifat anekdotal, saya
berhipotesis mungkin ada subtipe IA yang obsesif kompulsif/ego-alien dan
impulsif/ego-syntonic—dan mungkin bentuk-bentuk yang menunjukkan ciri-ciri
campuran. Hipotesis ini memerlukan penyelidikan lebih lanjut dan mempunyai
implikasi terhadap penempatan IA dalam kategori DSM-IV yang ada . Tampaknya
juga—seperti kita berbicara tentang “mania sekunder”—ada banyak contoh “IA
sekunder”, yang kondisi utamanya sebenarnya adalah suasana hati, kecemasan, atau
gangguan kepribadian.

J. Studi Kasus.
Nama : Agung Prasetiawan
Umur : 18 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
IDENTITAS Alamat : Jl. Pintu Air IV Gg. Pinang LK VIII
OBSERVE Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Barista
A.P merupakan anak kedua dari 4 bersaudara. A.P memiliki
tingkat pendidikan hanya sampai SMA dan tidak melanjutkan
pendidikannya ke jenjang selanjutnya dikarenakan ekonomi
yang kurang mendukung. Hal ini mendorong A.P bekerja untuk
meringankan orang tuanya, A.P sempat bekerja di nitrogen
SPBU dan beberapa cafe di medan bahkan A.P juga sempat
beberapa kali menjadi seorang pengangguran karena beberapa
alasan tertentu. Tetapi dibalik A.P yang bekerja justru malah
sebaliknya saudara A.P masih tetap aktif kuliah ditengah-tengah
ekonomi yang kurang mendukung. Hal ini membuat membuat
LATAR A.P memiliki kecemburuan terhadap saudaranya.
BELAKANGI
Ketidakpuasan A.P terhadap kondisinya dan kecemburuan
terhadap saudaranya yang masih aktif kuliah semakin diperkuat
oleh kecanduan A.P terhadap media sosial. A.P sering mencari
pelarian dari realitas sulitnya dengan terus-menerus terpaku
pada dunia maya, membandingkan hidupnya dengan
pencapaian dan kebahagiaan yang terlihat di profil saudaranya
dan orang lain di media sosial. Kondisi ini semakin menguatkan
perasaan rendah diri A.P dan memberikan tekanan tambahan
pada kehidupannya.

Kecanduan media sosial semakin meracuni pikiran A.P dengan


gambaran hidup sempurna dan sukses yang sering ditampilkan

30
oleh orang-orang di platform tersebut. A.P, yang sehari-hari
berjuang dalam keterbatasan ekonomi, merasa semakin
terisolasi dan merana ketika melihat saudaranya yang terus
berkembang melalui unggahan-unggahan kehidupan kampus
dan kesehariannya. Media sosial menjadi bukan hanya alat
untuk melupakan kehidupan sehari-hari, tetapi juga sarana yang
memperkuat rasa tidak puas dan kecemburuan A.P terhadap
kehidupan saudaranya.
Berbagai gejala negatif yang dirasakan A.P:
1. termasuk perasaan cemas, rendah diri, dan kurangnya
kepuasan terhadap hidup.
2. A.P juga merasakan tekanan psikologis akibat
perbandingan yang terus-menerus dengan kehidupan
orang lain di media sosial, yang dapat memperburuk
GEJALA YANG kecemburuan dan ketidakpuasan diri.
DIRASAKAN 3. Selain itu, A.P juga mengalami gangguan tidur,
penurunan produktivitas, dan isolasi sosial karena lebih
banyak waktu dihabiskan untuk menjelajahi dunia maya
daripada berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
4. Gejala fisik seperti sakit kepala dan kelelahan juga
muncul akibat penggunaan media sosial yang
berlebihan.
1. Merasa terbuai dan keasyikan ketika bermain internet.
2. Memerlukan waktu tambahan untuk mencapai kepuasan
dalam menggunakan internet.
3. Tidak mampu dalam mengontrol, mengurangi dan
menghentikan penggunaan internet.
4. Cenderung akan merasa gelisah, depresi, murung dan
mudah marah ketika berusaha menghentikan atau
mengurangi penggunaan internet.
DIAGNOSA 5. Sering mengakses internet lebih lama dari yang
diharapkan.
6. Kehilangan orang terdekat, pekerjaan, melewatkan
pekerjaan, tugas karena terlalu sering bermain internet.
7. Sering berbohong kepada keluarga ataupun orang
terdekat ketika bermain internet.
8. Menggunakan internet sebagai salah satu cara dalam
menyelesaikan masalah atau untuk menghilangkan
perasaan bersalah, tidak berdaya, gelisah atau
depresi.

Sejumlah gejala negatif mengarah pada diagnosis kecanduan


media sosial, termasuk perasaan cemas, rendah diri, dan
KESIMPULAN kurangnya kepuasan terhadap hidup. A.P mungkin merasakan
DIAGNOSIS tekanan psikologis akibat perbandingan yang terus-menerus
dengan kehidupan orang lain di media sosial, yang dapat

31
memperburuk kecemburuan dan ketidakpuasan diri. Selain itu,
A.P juga mengalami gangguan tidur, penurunan produktivitas,
dan isolasi sosial karena lebih banyak waktu dihabiskan untuk
menjelajahi dunia maya daripada berinteraksi dengan
lingkungan sekitar. Gejala fisik seperti sakit kepala dan kelelahan
juga mungkin muncul akibat penggunaan media sosial yang
berlebihan.
Terapi Kognitif Perilaku (CBT)
Tujuan :
Membantu individu tersebut mengubah pola pikir dan perilaku
yang merugikan, serta meningkatkan kesejahteraan mentalnya.
Beberapa tujuan spesifik terapi kognitif perilaku untuk
kecanduan media sosial melibatkan:
1. Membantu individu menyadari dampak negatif
kecanduan media sosial terhadap kesejahteraan
mereka dan memahami pola pikir yang mendasarinya.
2. Mengajarkan keterampilan pengelolaan emosi untuk
mengatasi perasaan cemas, rendah diri, dan
kecemburuan yang mungkin muncul akibat interaksi
dengan media sosial.
3. Membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola
pikir negatif atau irasional yang mungkin memperkuat
kecanduan dan merugikan kesehatan mental.
4. Membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola
INTERVENSI pikir negatif atau irasional yang mungkin memperkuat
kecanduan dan merugikan kesehatan mental.
5. Membantu individu merancang jadwal harian yang
seimbang, membatasi waktu yang dihabiskan di media
sosial, dan fokus pada kegiatan yang mendukung
kesejahteraan.
Proses :
Prosesnya melibatkan sesi konseling reguler, tugas rumah untuk
mempraktikkan keterampilan yang dipelajari, dan pemantauan
progres secara teratur. Terapis juga dapat menggunakan teknik
relaksasi, meditasi, atau pola tidur yang sehat sebagai bagian
dari intervensi. Pentingnya melibatkan keluarga dan teman
dalam mendukung perubahan positif juga dapat menjadi
komponen penting dalam terapi.

Terapi Peningkatan Motivasi


Tujuan :
Membantu individu menemukan motivasi intrinsik untuk
mengubah perilaku kecanduan mereka. Beberapa tujuan
spesifik terapi peningkatan motivasi untuk kecanduan media
sosial melibatkan:

32
1. Membantu individu menyadari dampak negatif
kecanduan media sosial terhadap kehidupan pribadi,
sosial, dan pekerjaan mereka.
2. Membantu individu mengidentifikasi nilai-nilai dan tujuan
pribadi mereka yang mungkin terabaikan atau terhambat
oleh kecanduan media sosial.
3. Membantu individu memahami keterkaitan antara
kesejahteraan mental dan pengurangan kecanduan
media sosial, sehingga mereka merasa termotivasi untuk
berubah.
4. Membantu individu memahami keterkaitan antara
kesejahteraan mental dan pengurangan kecanduan
media sosial, sehingga mereka merasa termotivasi untuk
berubah.
5. Bersama-sama dengan individu, merancang rencana
tindakan langkah-langkah konkrit untuk mengurangi
kecanduan media sosial dan menggantinya dengan
aktivitas yang lebih sehat.
Proses :
Prosesnya melibatkan dialog terbuka antara terapis dan individu,
refleksi atas nilai dan tujuan hidup, serta penggunaan teknik
komunikasi yang mendukung, seperti mendengarkan aktif dan
memberikan penguatan positif. Terapis juga dapat
menggunakan skala perubahan untuk mengukur tingkat
kesiapan individu untuk berubah dan merancang strategi yang
sesuai dengan tingkat kesiapannya. Dalam konteks kecanduan
media sosial, pendekatan ini bertujuan untuk merangsang
motivasi intrinsik yang kuat untuk mencapai perubahan positif.

33
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan mengenai kecanduan media sosial mencakup pemahaman
mendalam terhadap fenomena ini. Kecanduan media sosial dapat didefinisikan
sebagai kondisi di mana seseorang kehilangan kendali atas penggunaan platform
tersebut, dengan faktor pemicu seperti kebutuhan akan validasi, rasa takut
ketinggalan informasi, dan tekanan sosial. Dampak kecanduan media sosial
mencakup gangguan kesehatan mental, kurangnya produktivitas, dan kerusakan
hubungan interpersonal. Seseorang dapat dianggap kecanduan media sosial jika
memenuhi kriteria seperti penggunaan yang berlebihan, kehilangan kontrol, dan
dampak negatif pada kehidupan sehari-hari. Pencegahan kecanduan media sosial
melibatkan kesadaran diri, pengaturan waktu, dan penekanan pada interaksi sosial di
dunia nyata. Intervensi yang efektif termasuk dukungan psikologis, pembatasan waktu
penggunaan, dan pembentukan kebiasaan positif.

Dengan pemahaman mendalam tentang kecanduan media sosial, langkah-


langkah preventif, dan intervensi yang efektif, kita dapat membentuk masyarakat yang
lebih sehat secara mental dan mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul dari
penggunaan berlebihan platform tersebut. Kecanduan media sosial juga dapat
merugikan aspek fisik, seperti gangguan tidur akibat penggunaan berlebihan pada
malam hari. Selain itu, fenomena ini menciptakan lingkungan di mana perbandingan
sosial seringkali tidak sehat, memicu rasa tidak puas terhadap diri sendiri.
Ketergantungan pada feedback positif dari media sosial juga dapat menghambat
pengembangan kemandirian dan kepercayaan diri. Oleh karena itu, penekanan pada
literasi digital dan pengembangan kecerdasan emosional menjadi kunci dalam
menghadapi tantangan kecanduan media sosial.

B. Saran
Sebagai penutup, kita perlu mencari keseimbangan yang sehat antara teknologi
dan kesejahteraan pribadi. Kesadaran akan potensi bahaya kecanduan media sosial
harus menjadi landasan bagi tindakan preventif dan intervensi yang efektif. Penting
untuk mempromosikan gaya hidup yang seimbang, di mana penggunaan media sosial
tidak menggantikan interaksi sosial langsung dan tidak mengorbankan waktu untuk
aktivitas produktif dan istirahat yang cukup. Dengan menggali pemahaman
mendalam, masyarakat dapat bersama-sama menciptakan lingkungan digital yang
mendukung perkembangan pribadi, menjaga kesehatan mental, dan memupuk
hubungan interpersonal yang bermakna. Sebagai individu, kita memiliki peran penting
dalam mengelola konsumsi media sosial kita agar tidak mengambil alih kehidupan
kita.

34
DAFTAR PUSTAKA

Aisafitri, L., & Yusriyah, K. (Vol 04 N0. 01 Tahun 2021). Kecanduan Media Sosial
(FOMO) Pada Generasi Milenial. Jurnal Ilmu Komunikasi, 86-106.
Aprilia, R., Sriati, A., & Hendrawati, S. (Volume 3 1 Februari 2020). Tingkat Kecanduan
Media Sosial Pada Remaja. JNC, 41-52.
Fazry, L., & Apsari, N. C. (Vol. 2, No. 2 Agustus 2021). Pengaruh Media Sosial
Tehadap Perilaku Cyberbullying di Kalangan Remaja. Jurnal Pengabdian dan
Penelitian Kepada Masyarakat, 272-278.
Putra, O., & Fitriani, D. R. (September 2019). Fenomena Internet Addiction Disorder
Pada Gen Z. Jurnal Ilmu Komunikasi, 22-25.
Putri, W. S., Nurwati, R. N., & Santoso, M. B. (Vol. 3, No. 1). Pengaruh Media Sosial
Terhadap Perilaku Remaja . 1-154.
Rahayu, F. S., Kristiani, L., & Wersemetawar, S. F. (23 Februari 2019). Dampak Media
Sosial terhadap Perilaku Sosial Remaja di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. 39-
45.
Widowati, I. R., & Syafiq, M. (Volume 9 No. 2 Tahun 2022). Analisis Dampak Psikologis
Pada Pengguna Media Sosial. Jurnal Penelitian Psikologi, 272-282.
Wulandari, R., & Netrawati, N. (Vol. 5, No. 2, 2020). Analisis Tingkat Kecanduan Media
Sosial Pada Remaja. Jurnal Riset Tindakan Indonesia, 41-46.
Yuhfahnur, S., Dineva R, F., & Martina, M. (Volume 6 Nomor 3 Tahun 2022). Adiksi
Media Sosial Pada Mahasiswa. JIM FKep, 08-16.

35

Anda mungkin juga menyukai