Anda di halaman 1dari 25

PENGURANGAN DAMPAK LIMBAH B3 INDUSTRI

TERHADAP LINGKUNGAN KERJA

Dosen Pengampu :

Dr. Sri Hastuti M,pd.

Disusun Oleh :

Mohammad Lifran Khoiriawan

V8122057/B

PROGRAM STUDI D4 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan industri adalah bidang kegiatan yang berfungsi untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Kehadiran industri
yang bertambah mulai dari ragamnya maupun jumlahnya tentu akan membantu
kehidupan manusia, mulai dari kebutuhan hidupnya yang terpenuhi
dikarenakan industri bisa menghasilkan apa yang kita butuhkan. Adanya
industrialisasi juga membantu perekonomian masyarakat sekitar karena juga
dapat membantu mengurangi pengangguran. Beragamnya dan banyaknya
industri memang memunculkan dampak yang banyak. Dampak yang dihasilkan
ini selain dampak positif yang diberikan juga terdapat dampak negatif yang
dihasilkan oleh adanya industri, salah satu dampak negatifnya adalah limbah.
Limbah merupakan hasil samping dari industri yang tidak dapat dipungkiri,
setiap industri pasti memiliki limbah sebagai hasil samping dari proses
produksi. Limbah tersebut terdapat bahan yang mengandung bahan berbahaya
dan beracun yang selanjutnya disebut Limbah B3.

Lingkungan dan manusia adalah hubungan yang saling membutuhkan dan


melengkapi, lingkungan yang bersifat pasif dan manusia bersifat aktif yang
berarti manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga dan merawat lingkungan
sebagai hubungan saling menguntungkan. Lingkungan masyarakat yang dekat
dengan kawasan industri tidak dipungkiri lagi akan terkena dampak dari
keberadaan limbah B3. Limbah B3 sendiri akan tidak berbahaya dibuang ke
lingkungan jika pengolahannya sesuai dengan standar dan memenuhi kriteria
limbah yang aman, namun fakta yang terjadi di lapangan banyak pelaku
industri yang tidak memandang limbah B3 sebagai permasalahan yang penting.
Masih banyak Limbah B3 terbuang ke lingkungan dengan keadaan belum
memiliki standar dan belum memenuhi kriteria yang secara cepat atau lambat
akan memengaruhi kualitas atau lingkungan kerja, mulai dari unsur darat,
udara, dan air semua akan terpengaruh dengan Limbah B3 jika tidak diolah
dengan
benar. Selain dari pengolahan limbah itu sendiri juga diperlukan pengolahan
dari lingkungan itu sendiri sebagai tindakan mengahadapi adanya limbah yang
masuk ke lingkungan. Dengan demikian dampak limbah B3 dapat berkurang
terhadap lingkungan kerja.

Menurut Undang-Undang No 32 Tahun (2009) Tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengamanatkan kepada setiap orang yang
akan menjalankan suatu kegiatan atau usaha wajib melakukan Perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Ditambah Peraturan Pemerintah Nomor
101 Tahun 2014 tentang pengelolaan Limbah bahan Berbahaya dan Beracun
serta peraturan terkait lainnya memperjelas dan memperkuat lagi bahwa
Limbah B3 harus dikelola dengan baik oleh pelaku industri sendiri atau yang
berkaitan sesuai yang di atur oleh regulasi. Maka diperlukannya tindakan atau
pergerakan untuk melakukan pengurangan atau peminimalisiran dampak
limbah B3 terhadap lingkungan kerja. Tidak hanya limbah B3 yang harus
diolah saja yang disebutkan didalam peraturan juga ditegaskan bahwa
lingkungan juga harus diolah sebagai tempat buangan limbah agar kiranya
tidak merusak keseimbangan di dalamnya. Sebagai manusia yang bertindak
aktif terhadap lingkungan kerja maka pengurangan atau peminimalisiran
dampak limbah B3 ini akan dilakukan oleh manusia terkhusus pelaku industri
atau yang terkait sesuai regulasi yang berlaku.

Oleh karena itu, peneliti memilih penelitian pengurangan dampak Limbah


B3 terhadap lingkungan kerja sebagai upaya untuk tetap menjaga lingkungan
kerja. Peneliti tidak hanya merumuskan atau meneliti dampak limbah B3
terhadap lingkungan kerja, namun peneliti juga meneliti atau mencari solusi
untuk mengurangi dampak tersebut. Di masa kini banyaknya dan beaneka
ragamnya Industri juga harus diimbangi dengan upaya pengurangan yang lebih
terbarukan yaitu seperti mengadakan pemugaran lingkungan dampak Limbah
B3.

Kasus mengenai buangan limbah B3 atau mengenai dampak limbah B3


sangat mudah ditemui, rata rata kasus ini adalah berasal dari limbah industri
daripada limbah rumah tangga. Kasus yang dapat dilihat adalah kasus yang
bersumber dari situs https://jabar.antaranews.com yaitu “Ribuan ikan mati di
Sungai Cileungsi diduga akibat limbah B3” merupakah salah satu contoh kasus
terjadinya dampak limbah B3 yang di buang ke sungai menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan lingkungan kerja khususnya di air yang menyebabkan
ekosistem yang ada didalamnya menjadi rusak dibuktikan dengan matinya ikan
ikan yang ada di sungai Cileungsi yang diduga sumber pencemaran limbah di
antara jembatan Leuwikaret, Klapanunggal dengan jembatan Wika. Hal itu
menegaskan bahwa limbah B3 tidak cukup hanya dalam pengolahannya saja,
namun juga perlu memperhatikan tempat pembuangannya apakah merusak
lingkungan kerjanya atau tidak.

Berdasarkan jurnal penelitian (Nursabrina et al., 2021) yang berjudul


“Kondisi Pengelolaan Limbah B3 Industri Di Indonesia Dan Potensi
Dampaknya” menyebutkan bahwa berdasarkan hasil pemantauan
pengelolaan limbah B3 tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral
Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya, total jumlah
limbah B3 dari kegiatan industri di Indonesia mencapai 44.939.612,36 ton.
Dari total tersebut, limbah yang dikelola sebanyak 44.883.734,20 ton (99,80%)
dan limbah tidak dikelola sebanyak 285.410,30 ton (0,2%). Limbah B3 yang
tidak terkelola berasal dari limbah B3 yang diolah tanpa izin (open landfill),
diserahkan kepada pihak ketiga yang tidak memiliki izin dan dibuang tanpa
izin (open dumping). Dalam beberapa waktu ke depan, permasalahan dibidang
pengelolaan limbah khususnya limbah B3 industri akan semakin serius dan
perlunya penanganan yang tepat. Menurut data yang telah ada, limbah B3
sebagian besar sudah memiliki pengelolaan yang baik, namun masih terdapat
pengelolaan limbah B3 yang bersifat ilegal dan dapat saja membesar pada
waktu tertentu yang mengancam lingkungan kerja.

Kasus mengenai dampak limbah B3 tidak hanya di darat maupun perairan


saja, namun limbah B3 memengaruhi seluruh komponen lingkungan termasuk
udara. Seperti contohnya yaitu kasus kebocoran pabrik pengolahan limbah B3
yang berada di bogor yang bersumber pada situs berita www.merdeka.com
yang
menyebabkan munculnya bau di kawasan pabrik. Kejadian tersebut tentunya
akan menjadikan udara menjadi terpengaruh oleh kandungan limbah B3 yang
tentunya membahayakan masyarakat sekitar. Dalam waktu dekat masyarakat
hanya mengeluhkan bau tidak sedap yang mengganggu, namun dalam waktu
lama akan timbul munculmya penyakit tertentu akibat menghirup udara yang
sudah terkontaminasi kebocoran pabrik pengolahan limbah B3 di Bogor.

Disebutkan juga menurut jurnal Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan


Berbahaya Dan Beracun (B3) Di Indonesia Dan Tantangannya (Kurniawan,
2019) ada salah satu contoh kasus yaitu Tragedi Love Canal (Amerika Serikat).
Proyek pembuatan kanal (dimulai tahun 1893) yang tidak terselesaikan di
kawasan Sungai Niagara menyisakan lubang yang digunakan sebagai tempat
penimbunan limbah bahan-bahan kimia oleh banyak industri. Buangan limbah
tersebut telah mencemari lingkungan, menyebabkan kanker dan kelahiran
dengan cacat fisik dan mental. Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan
yang dikenal sebagai “Hukum Superfund”. Aturan ini bertujuan untuk
mengumpulkan pajak dari perusahaan gas dan kimia yang digunakan secara
langsung untuk membersihkan dan mengolah limbah B3 yang dihasilkan
(Riyanto, 2013: 1-7). Limbah B3 yang telah mengontaminasi lingkungan kerja
seperti kasus yag dijelaskan maka juga akan memengaruhi kesehatan
masyarakat sekitarnya.

Dari kasus kasus yang telah disebutkan peneliti dan diperkuat dengan data
yang ada, maka dampak limbah B3 ini harus segera ditangguangi dengn
berbagai cara seperti mencegah atau mengurangi. Dengan keadaan sekarang
bahwa pabrik industri tidak akan lepas dari yang naanya limbah khususnya
adalah limbah B3 maka yang sangat mungkin bisa dilakukan adalah
pengurangan dampak limbah B3 itu sediri terhadap lingkungan kerja. Oleh
karena itu, peneliti memberikan berbagai solusi yang bisa menjadi acuan
sebagai tindakan dari pengurangan dampak limbah B3.

Pemugaran kembali lingkungan kawasan buangan limbah B3 merupakan


salah satu solusi pengurangan dampak limbah B3 terhadap lingkungan kerja.
Pemugaran memiliki arti pembaharuan atau pemulihan kembali. Dapat
diartikan bahwa pemugaran yang diaksud adalah perbaikan atau pembaharuan
yang dilakukan untuk lingkungan itu sendiri sebagai pemulihan lingkungan
kerja akibat dampak limbah B3. Pemugaran ini sendiri tidak dilakukan secara
asal asalan, namun harus adanya ahli yang terlibat seperti dinas lingkungan
hidup atau pakar yang mendampingi dalam kegiatan pemugaran agar dampak
limbah B3 dapat dikurangi serta lingkungan kerja bisa terjamin untuk
mayarakat yang tinggal atau berada didalamnya.

Memberikan pelatihan atau pembekalan terhadap pelaku industri atau


terkait mmerupakan salah satu contoh berikutnya solusi yang bisa dilakukan.
Peneliti memberikan solusi berupa pelatihan yang bisa diberikan terhadap
pelaku industri atau terkait untuk pengurangan dampak limbah B3. Dalam
pelatihan berisikan bagaimana cara mengolah limbah B3 yang baik atau
bagaimana prosedur yang baik sebelum limbah B3 dibuang yang dapat
membantu dalam proses menjaga lingkungan kerja. Maka dampak limbah B3
bisa diminimalisir karena adanya pengetahuan yang telah diberikan serta juga
diperlukan pengawasan agar pengelolaan limbah B3 ini selalu sesuai prosedur
dan sesuai regulasi yang berlaku.

Mendaftarkan atau melegalkan pengolahan limbah B3 ke pihak yang


berwajib adalah solusi berikutnya. Jika pihak industri dan terkait tidak
memiliki sumber daya yang cukup dalam pengolahan B3 yang sesuai prosedur
dan sesuai regulasi yang berlaku maka yang dapat dilakukan adalah menjalin
kerjasama dengan pihak ketiga dengan pihak yang memiliki kewenangan untuk
mengolah limbah B3 sebelum bercampur di lingkungan. Saat ini banyak pabrik
pengolahan limbah B3 yang telah tersertifikasi dan terakreditasi dengan baik
terkait pengolahan limbah B3. Tetapi jika perusahaan telah memiliki
sumberdaya yanng cukup maka perlu dilakukan pelegalan dengan prosedur
yang berlaku sesuai regulasi yang artinya pelaku industri sudah memiliki izin
dan sudah memiliki kewenangan mengolah limbah B3 sendiri dan juga
pelegalan ini bertujuan untuk memastikan hasil dari pengolahan B3 benar
benar aman jika sudah berada di
lingkungan. Sehingga lingkungan tetap berada dalam kondisi sehat meskipun
adanya limbah B3 di lingkungan tidak memengaruhi kesehatan karena limbah
B3 sudah dinyatakan dalam keadaaan aman.

Pemugaran lingkungan, Pelatihan pengolahan limbah B3, dan Pelegalan


pengolahan limbah B3 merupakan suatu inovasi baru yang dapat
dikembangkan lagi sebagai tujuan utama penelitian yaitu pengurangan dampak
libah B3 sebagai menjaga lingkungan agar tetap sehat. Dari penyelesaian atau
solusi yang dituliskan, peneliti memiliki keinginan atau harapan setlah solusi
terlaksana.

Penyelesaian atau solusi yang telah dituliskan oleh peneliti diharapkan


dapat menjadi referensi bagi pihak pelaku industri atau terkait maupun
masyarakat sebagai acuan untuk menjaga lingkungan kerja. Lingkungan
sebagai tempat untuk mencukupi kebutuhan manusia maka harus tetap dijaga
kesehatannya agar tetap bermanfaat baik bagi manusia itu sendiri. Jika
lingkungan bisa terjaga dengan baik, maka aktivitas atau kebutuhan manusia
juga akan terjamin. Industri dan lingkungan tidak bisa dihilangkan salah satuny
karena saat ini keduanya menjadi pemasok besar sebagai objek untul
mencukupi kebutuhan manusia. Sehingga manusia juga harus bisa menjaga
keduanya dengan cara dapat mengurangi dampak limbah B3 yang merupakan
salah satu hasil samping industri terhadap lingkungan kerja yang bertindak
untuk mencukupi kebutuhan manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dampak limbah B3 industri terhadap lingkungan kerja ?
2. Bagaimana solusi atau penanganan Limbah B3 agar aman bagi
lingkungan?
3. Apa saja hambatan dalam pengurangan limbah B3 industri terhadap
lingkungan kerja dan penyelesaiannya?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah, maka dapat diketahui tujuan dari penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dampak limbah B3 industri terhadap lingkungan
kerja.
2. Untuk mengetahui solusi atau penanganan Limbah B3 agar aman bagi
lingkungan.
3. Untuk mengetahui Apa saja hambatan dalam pengurangan limbah B3
industri terhadap lingkungan kerja dan penyelesaiannya.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah sumber pengetahuan mengenai pengurangan limbah B3
industri terhadap lingkungan kerja.
b. Sebagai sumber informasi bagi penelitian sejenis pada masa yang akan
datang.
c. Berkontribusi di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), khususnya
dalam pengurangan limbah B3 industri terhadap lingkungan kerja.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Program Studi D4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dapat digunakan sebagai studi lebih lanjut dalam acuan pembelajaran
mengenai pengurangan limbah B3 industri terhadap lingkungan kerja.

b. Bagi Pembaca
Menjadi sumber referensi dan informasi agar lebih mengetahui dan
mendalami bagaimana pengurangan limbah B3 industri terhadap
lingkungan kerja.

c. Bagi Peneliti Lain


Karya ilmiah ini dapat berfungsi sebagai rujukan dan panduan praktis bagi
peneliti lain yang tertarik untuk pengurangan limbah B3 industri terhadap
lingkungan kerja. Mereka dapat mempelajari konsep, prinsip, dan
metodologi yang digunakan dalam penulisan ini untuk mengembangkan
penelitian mereka.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Limbah B3
1.1 Pengertian Limbah B3
Menurut Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999, Limbah adalah sisa
suatu usaha atau kegiatan. Limbah ini dapat berbentuk padat, cair ataupun gas,
baik yang termasuk B3 ataupun yang bukan. Hal yang menjadi perhatian dari
limbah adalah dampak dari limbah tersebut baik yang secara langsung ataupun
tidak langsung. Sehingga limbah dikelompokkan ke dalam beberapa jenis
berdasarkan dampak atau sifatnya, salah satunya apa yang disebut dengan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun atau biasa disebut dengan Limbah B3 ialah zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak
lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta
kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain. Kekhawatiran akan limbah
menjadi perhatian penting pemerintah sebagai bentuk perlindungan pada
masyarakatnya. Berbagai regulasi baik ditingkat internasional hingga sub-
nasional pun dibuat untuk mengatur dan mengendalikan limbah B3 yang
berasal dari segala bidang di masyarakat.
Menurut Peraturan Pemerintah no. 18 tahun 1999, tentang Pengelolahan
limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah suatu usaha
dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya atau beracun yang
karena sifat atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan atau merusakkan lingkungan
hidup dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) didefinisikan sebagai limbah
atau kombinasi limbah yang karena kuantitas, konsentrasi, atau sifat fisika dan
kimia atau yang memiliki karakteristik cepat menyebar, mungkin yang
merupakan penyebab meningkatnya angka penyakit dan kematian, juga
memiliki potensi yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan
ketika tidak sesuai pada saat diperlakukan, dalam penyimpanan, transportasi,
atau dalam penempatan dan pengolahan (Anonim, 2006).
1.2 Sifat dan Karakteristik Limbah B3
Limbah Beracun adalah limbah yang mengandung pencemar yang bersifat
racun bagi manusia dan lingkungan yang dapat menyebabkan kematian atau
sakit yang serius apabila masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, kulit, dan
mulut. Indikator racun yang digunakan adalah TCLP (Toxicity Characteristics
Leaching Pocedure) seperti tercantum dalam PP No. 101 tahun 2014 pasal 5
yang menjelaskan tentang karaktersitik limbah B3 ada 6, yaitu :
a. Mudah meledak
b. Mudah terbakar
c. Reaktif
d. Infeksius
e. Korosif
f. Beracun
Limbah B3 dibedakan berdasarkan karakteristiknya sebagai berikut
(Padmaningrum, 2010) :
a. Mudah terbakar (Flamable).
Buangan ini apabila dekat dengan api/sumber api, percikan,
gesekan mudah menyala dalam waktu yang lama baik selama
pengangkutan, penyimpanan atau pembuangan. Contoh jenis ini buangan
Bahan Bakar Minyak (BBM) atau buangan pelarut (benzena, toluen,
aseton).
b. Mudah meledak (Explosive)
Buangan yang melalui reaksi kimia menghasilkan ledakan dengan
cepat, suhu, tekanan tinggi mampu merusak lingkungan. Penanganan
secara khusus selama pengumpulan, penyimpanan, maupun pengangkutan.
Berdasarkan penjelasan PP No.85 Tahun 1999 Tentang Perubahan PP
No.18 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun, limbah dengan sifat ini merupakan limbah yang pada suhu
tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi
kimia atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi
yang dengan cepat dapat merusak lingkungan sekitarnya. Limbah B3
dengan sifat mudah meledak yang paling berbahaya adalah limbah B3
peroksida organik karena bersifat oksidator dan tidak stabil. Senyawa ini
sangat sensitif terhadap guncangan, gesekan dan panas, serta
terdekomposisi secara eksotermis dengan melepaskan energi panas yang
sangat tinggi.
c. Menimbulkan karat (Corrosive)
Buangan yang pH nya sangat rendah (pH 12,5) karena dapat
bereaksi dengan buangan lain, dapat menyebabkan karat besi dengan
adanya buangan lain, dapat menyebabkan karat baja/besi. Contoh: sisa
karat besi/ logam, dan limbah baterai/ aki.
d. Menimbulkan penyakit (Infectious Waste)
Buangan yang dapat menularkan penyakit. Contoh: tubuh manusia,
cairan tubuh manusia yang terinfeksi, limbah bengkel yang terinfeksi
kuman penyakit yang dapat menular.
e. Menimbulkan beracun (Toxic waste)
Buangan berkemampuan meracuni, menjadikan cacat sampai
membunuh mahluk hidup dalam jangka panjang ataupun jangka pendek.
Sebagai contoh logam berat (seperti Hg, Cr), pestisida, pelarut, halogenida.
1.3 Klasifikasi Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Klasifikasi limbah Peraturan Pemerintah RI Pasal 1 No. 101 Tahun 2014
tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Limbah B3
berdasarkan sumbernya dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Limbah dari sumber spesifik. Limbah B3 ini merupakan sisa proses suatu
industri kegiatan tertentu.
b. Limbah dari sumber yang tidak spesifik. Untuk limbah B3 ini berasal
bukan dari proesutamanya, misalnya dari kegiatan pemeliharaan alat,
pencucian, inhibitor, korosi, pelarut perak, pengemasan dan lain-lain.
c. Limbah B3 dari bahan kadaluarsa, tumpahan, sisa kemasan, atau buangan
produk yang tidak memenuhi spesifikasi. Limbah jenis ini tidak
memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat dimanfaatkan
kembali, sehingga memerlukanpengelolaan seperti limbah B3 lainnya.
Selain berdasarkan sumber, limbah B3 dibedakan atas jenis buangan yaitu:
a. Buangan radioaktif, buangan yang mengemisikan radioaktif berbahaya,
persisten untuk periode waktu yang lama
b. Buangan bahan kimia, umumnya digolongkan lagi menjadi: (a) synthetic
organics; (b) anorganik logam, garam-garam, asam dan basa; (c) flamable
dan (d) explosive.
c. Buangan biological, dengan sumber utama: rumah sakit, penelitian
biologi. Sifat terpenting sumber ini menyebabkan sakit pada mahluk
hidup dan menghasilkan toxin.
1.4 Teknologi Pengolahan limbah B3
Terdapat banyak metode pengolahan suatu limbah B3 di industri, tiga
metode yang paling populer di antaranya ialah chemical conditioning,
solidification/Stabilization, dan incineration.
a. Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical
conditioning. Tujuan utama dari chemical conditioning ialah :
i. Menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam
lumpur
ii. mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
iii. mendestruksi organisme pathogen
iv. memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih
memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses
digestion
v. mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan
aman dan dapat diterima lingkungan
Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:
1) Concentration thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan
diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang
umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid
bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal
sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering
selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan
centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses
flotation pada tahapan awal ini.
2) Treatment, stabilization, and conditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan
menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui
proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian
secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan
bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika
berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid
dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi
berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim
dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah
lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment,
polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
3) De-watering and drying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau
mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur.
Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan
filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press,
centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
4) Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses
yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air
oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3
umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.
b. Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification /
stabilization juga dapat sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan
tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar
dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan
solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya
dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait
sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses
solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6
golongan, yaitu :
1) Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam
limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
2) Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi
bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada
tingkat mikroskopik
3) Precipitation
4) Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara
elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
5) Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan
menyerapkannya ke bahan padat
6) Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi
senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang
sama sekali.
Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur
(CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan
ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan
mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-
03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep- 04/BAPEDAL/09/1995.
c. Proses Pembakaran (Inceneration) Limbah B3
Limbah B3 kebanyakan terdiri dari karbon, hydrogen dan oksigen.
Dapat juga mengandung halogen, sulfur, nitrogen dan logam berat.
Hadirnya elemen lain dalam jumlah kecil tidak mengganggu proses
oksidasi limbah B3. Struktur molekul umumnya menentukan bahaya dari
suatu zat organic terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Bila molekul
limbah dapat dihancurkan dan diubah menjadi karbon dioksida (CO2), air
dan senyawa anorganik, tingkat senyawa organik akan berkurang. Untuk
penghancuran dengan panas merupakan salah satu teknik untuk mengolah
limbah B3. Inceneration adalah alat untuk menghancurkan limbah berupa
pembakaran dengan kondisi terkendali. Limbah dapat terurai dari senyawa
organik menjadi senyawa sederhana seperti CO2 dan H2O. Incenerator
efektif terutama untuk buangan organik dalam bentuk padat, cair, gas,
lumpur cair dan lumpur padat. Proses ini tidak biasa digunakan limbah
organik seperti lumpur logam berat (heavy metal sludge) dan asam
anorganik. Zat karsinogenik patogenik dapat dihilangkan dengan sempurna
bila insenerator dioperasikan I. Incenerator memiliki kelebihan, yaitu dapat
menghancurkan berbagai senyawa organik dengan sempurna, tetapi
terdapat kelemahan yaitu operator harus yang sudah terlatih. Selain itu
biaya investasi lebih tinggi dibandingkan dengan metode lain dan potensi
emisi ke atmosfir lebih besar bila perencanaan tidak sesuai dengan
kebutuhan operasional
1.5 Unsur Senyawa Yang Digunakan Pengolahan Limbah B3
Senyawa kimia adalah zat kimia murni yang terdiri dari dua atau beberapa
unsur yang dapat dipecah-pecah lagi menjadi unsur-unsur pembentuknya
dengan reaksi kimia tersebut. Contohnya, dihydrogen monoksida (air, H2O)
adalah sebuah senyawa yang terdiri dari dua atom hidrogen untuk setiap atom
oksigen. Umumnya, perbandingan ini harus tetap karena sifat fisikanya, bukan
perbandingan yang dibuat oleh manusia. Oleh karena itu, material seperti
kuningan, superkonduktor YBCO, semikonduktor "aluminium galium
arsenida", atau coklat dianggap sebagai campuran atau aloy, bukan senyawa.
Ciri-ciri yang membedakan senyawa adalah adanya rumus kimia. Rumus
kimia memberikan perbandingan atom dalam zat, dan jumlah atom dalam
molekul tunggalnya (oleh karena itu rumus kimia etena adalah C2H4 dan
bukan CH2. Rumus kimia tidak menyebutkan apakah senyawa tersebut terdiri
atas molekul; contohnya, natrium klorida (garam dapur, NaCl adalah senyawa
ionik. Senyawa dapat wujud dalam beberapa fase. Kebanyakan senyawa dapat
berupa zat padat. Senyawa molekuler dapat juga berupa cairan atau gas.
Semua senyawa akan terurai menjadi senyawa yang lebih kecil atau atom
individual bila dipanaskan sampai suhu tertentu (yang disebut suhu
penguraian). Setiap senyawa kimia yang telah dijelaskan dalam literatur
memiliki nomor pengenal yang unik, yaitu nomor CAS.. Berikut beberapa
senyawa yang digunakan sebagai proses pengolahan limbah B3
(http://id.wikipedia.org/ wiki/Senyawa_kimia 2104) :
a. Kalsium hidroksida Ca(OH)2
Adalah senyawa kimia dengan rumus kimia Ca(OH)2. Kalsium
hidrokida dapat berupa kristal tak berwarna atau bubuk putih. Kalsium
hidroksida dihasilkan melalui reaksi kalsium oksida (CaO) dengan air.
Senyawa ini juga dapat dihasilkan dalam bentuk endapan melalui
pencampuran larutan kalsium klorida (CaCl2) dengan larutan natrium
hidroksida (NaOH). Dalam bahasa Inggris, kalsium hidroksida juga
dinamakan slaked lime, atau hydrated lime (kapur yang di-airkan). Nama
mineral Ca(OH)2 adalah portlandite, karena senyawa ini dihasilkan melalui
pencampuran air dengan semen Portland. Suspensi partikel halus kalsium
hidroksida dalam air disebut juga milk of lime (Bahasa Inggris:milk=susu,
lime=kapur). Larutan Ca(OH)2 disebut air kapur dan merupakan basa
dengan kekuatan sedang. Larutan tersebut bereaksi hebat dengan berbagai
asam, dan bereaksi dengan banyak logam dengan adanya air. Larutan
tersebut menjadi keruh bila dilewatkan karbon dioksida, karena
mengendapnya kalsium karbonat. Pada 512 °C, kalsium hidroksida terurai
menjadi kalsium oksida dan air.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kalsium_hidroksida 2014)
b. Natrium hidroksida (NaOH)
Juga dikenal sebagai soda kaustik, soda api, atau sodium
hidroksida, adalah sejenis basa logam kaustik. Natrium Hidroksida
terbentuk dari oksida basa Natrium Oksida dilarutkan dalam air. Natrium
hidroksida membentuk larutan alkalin yang kuat ketika dilarutkan ke dalam
air. Ia digunakan di berbagai macam bidang industri, kebanyakan
digunakan sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu dan kertas,
tekstil, air minum, sabun dan deterjen. Natrium hidroksida adalah basa
yang paling umum digunakan dalam laboratorium kimia. Natrium
hidroksida murni berbentuk putih padat dan tersedia dalam bentuk pelet,
serpihan, butiran ataupun larutan jenuh 50% yang biasa disebut larutan
Sorensen. Ia bersifat lembap cair dan secara spontan menyerap karbon
dioksida dari udara bebas. Ia sangat larut dalam air dan akan melepaskan
panas ketika dilarutkan, karena pada proses pelarutannya dalam air
bereaksi secara eksotermis. Ia juga larut dalam etanol dan metanol,
walaupun kelarutan NaOH dalam kedua cairan ini lebih kecil daripada
kelarutan KOH. Ia tidak larut dalam dietil eter dan pelarut non-polar
lainnya. Larutan natrium hidroksida akan meninggalkan noda kuning pada
kain dan kertas. ( http://id.wikipedia.org/wiki/Natrium_hidroksida 2014)
c. Tawas (Alum)
Adalah kelompok garam rangkap berhidrat berupa kristal dan
bersifat isomorf. Kristal tawas ini cukup mudah larut dalam air, dan
kelarutannya berbeda-beda tergantung pada jenis logam dan suhu. Alum
merupakan salah satu senyawa kimia yang dibuat dari dari molekul air dan
dua jenis garam, salah satunya biasanya Al2(SO4)3. Alum kalium, juga
sering dikenal dengan alum, mempunyai rumus formula yaitu
K2SO4.Al2(SO4)3.24H2O.[1] Alum kalium merupakan jenis alum yang
paling penting. Alum kalium merupakan senyawa yang tidak berwarna dan
mempunyai bentuk kristal oktahedral atau kubus ketika kalium sulfat dan
aluminium sulfat keduanya dilarutkan dan didinginkan. Larutan alum
kalium tersebut bersifat asam. Alum kalium sangat larut dalam air panas.
Ketika kristalin alum kalium dipanaskan terjadi pemisahan secara kimia,
dan sebagian garam yang terdehidrasi terlarut dalam air.
Tawas telah dikenal sebagai flocculator yang berfungsi untuk
menggumpalkan kotoran-kotoran pada proses penjernihan air. Tawas sering
sebagai penjernih air ,kekeruhan dalam air dapat dihilangkan melalui
penambahan sejenis bahan kimia yang disebut koagulan. Pada umumnya
bahan seperti Aluminium sulfat [Al2(SO4)3.18H2O] atau sering disebut
alum atau tawas, fero sulfat, Poly Aluminium Chlorida (PAC) dan poli
elektrolit organic dapat digunakan sebagai koagulan. Untuk menentukan
dosis yang optimal, koagulan yang sesuai dan pH yang akan digunakan
dalam proses penjernihan air, secara sederhana dapat dilakukan dalam
laboratorium dengan menggunakan tes yang sederhana (Alearts & Santika,
1984). Prinsip penjernihan air adalah dengan menggunakan stabilitas
partikel-partikel bahan pencemar dalam bentuk koloid. Tawas sebagai
koagulan di dalam pengolahan air maupun limbah. Sebagai koagulan alum
sulfat sangat efektif untuk mengendapkan partikel yang melayang baik
dalam bentuk koloid maupun suspensi. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tawas
2014 )
d. Polimer
Polimer didefinisikan sebagai substansi yang terdiri dari molekul-
molekul yang menyertakan rangkaian satu atau lebih dari satu unit
monomer. Polimer merupakan molekul raksasa (makromolekul) yang
merupakan gabungan dari monomer - monomer. polimer mempunyai massa
molekul relatif yang sangat besar, yaitu sekitar 500-10.000 kali berat
molekul unit ulangnya. istilah polimer berasal dari bahasa yunani, polys =
banyak dan meros = bagian, yang berarti banyak bagian atau banyak
monomer. Dua jenis polimerisasi :
1) Polimerisasi adisi: polimer yang terbentuk melalui reaksi adisi dari
berbagaimonomer Contoh polimer adisi: Yang termasuk ke dalam
polimer adisi adalah polistirena (karet ban), polietena (plastik),
2) Polimerisasi kondensasi: polimer yang terbentuk karena monomer-
monomer saling berikatan dengan melepaskan molekul kecil. Contoh:
pembentukan plastik stirofoam tersusun dari dua monomer berbeda
yaitu urea dan metanal. Dua molekul metanal bergabung dengan satu
molekul urea menjadi suatu molekul disebut dimer.

2. Lingkungan Kerja
2.1 Pengertian Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor penting dalam
menciptakan kinerja karyawan. Karena Lingkungan kerja mempunyai
pengaruh langsung terhadap karyawan didalam menyelesaikan pekerjaan yang
pada akhirnya akan meningkatkan kinerja oragnisasi. Suatu kondisi
lingkungan kerja dikatakan baik apabila karyawan dapat melaksanakan
kegiatan secara optimal, sehat, aman, dan nyaman. Oleh karena itu penentuan
dan penciptaan lingkungan kerja yang baik akan sangat menentukan
keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Sebaliknya apabila lingkungan
kerja yang tidak baik akan dapat menurunkan motivasi serta semangat kerja
dan akhirnya dapat menurunkan kinerja karyawan.
Kondisi dan suasana lingkungan kerja yang baik akan dapat tercipta
dengan adanya penyusunan organisasi secara baik dan benar sebagaimana
yang dikatakan oleh Sarwoto ( 1991 ) bahwa suasana kerja yang baik
dihasilkan terutama dalam organisasi yang tersusun secara baik, sedangkan
suasana kerja yang kurang baik banyak ditimbulkan oleh organisasi yang tidak
tersusun dengan baik pula. Dari pendapat tersebut dapat diterangkan bahwa
terciptanya suasana kerja sangat dipengaruhi oleh struktur organisasi yang ada
dalam organisasi tersebut.
2.2 Jenis Lingkungan Kerja
Menurut Sedarmayanti ( 2001 ) menyatakan bahwa secara garis besar,
jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2 yaitu :
a. Lingkungan Kerja Fisik
Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang
terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik
secara langsung maupun secara tidak langsung ( Sedarmayanti, 2001 ).
Menurut Komarudin ( 2002 ) Lingkungan kerja fisik adalah keseluruhan
atau setiap aspek dari gejala fisik dan sosial - kultural yang mengelilingi
atau mempengaruhi individu. Menurut Alex S. Nitisemito ( 2002 )
Lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para
pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas - tugas
yang dibebankan, misalnya penerangan, suhu udara, ruang gerak,
keamanan, kebersihan, musik dan lain-lain.
Berdasarkan definisi tersebut bahwa lingkungan kerja fisik adalah
segala sesuatu yang ada di sekitar tempat kerja karyawan lebih banyak
berfokus pada benda – benda dan situasi sekitar tempat kerja sehingga
dapat mempengaruhi karyawan dalam melaksanakan tugasnya, Masalah
lingkungan kerja dalam suatu organisasi sangat penting, dalam hal ini
diperlukan adanya pengaturan maupun penataan faktor - faktor lingkungan
kerja fisik dalam penyelenggaraan aktivitas organisasi. Faktor - faktor
lingkungan kerja fisik adalah sebagai berikut :
1) Pewarnaan
Masalah warna dapat berpengaruh terhadap karyawan didalam
melaksanakan pekerjaan, akan tetapi banyak perusahaan yang kurang
memperhatikan masalah warna. Dengan demikian pengaturan
hendaknya memberi manfaat, sehingga dapat meningkatkan semangat
kerja karyawan. Pewarnaan pada dinding ruang kerja hendaknya
mempergunakan warna yang lembut.
2) Penerangan
Penerangan dalam ruang kerja karyawan memegang peranan yang
sangat penting dalam meningkatkan semangat karyawan sehingga
mereka akan dapat menunjukkan hasil kerja yang baik, yang berarti
bahwa penerangan tempat kerja yang cukup sangat membantu
berhasilnya kegiatan-kegiatan operasional organisasi.
3) Udara
Di dalam ruangan kerja karyawan dibutuhkan udara yang cukup, dimana
dengan adanya pertukaran udara yang cukup, akan menyebabkan
kesegaran fisik dari karyawan tersebut. Suhu udara yang terlalu panas
akan menurunkan semangat kerja karyawan di dalam melaksanakan
pekerjaan.
4) Suara bising
Suara yang bunyi bisa sangat menganggu para karyawan dalam bekerja.
Suara bising tersebut dapat merusak konsentrasi kerja karyawan
sehingga kinerja karyawan bisa menjadi tidak optimal. Oleh karena itu
setiap organisasi harus selalu berusaha untuk menghilangkan suara
bising tersebut atau paling tidak menekannya untuk memperkecil suara
bising tersebut. Kemampuan organisasi didalam menyediakan dana
untuk keperluan pengendalian suara bising tersebut, juga merupakan
salah satu faktor yang menentukan pilihan cara pengendalian suara
bising dalam suatu organisasi.
5) Ruang gerak
suatu organisasi sebaiknya karyawan yang bekerja mendapat tempat
yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan atau tugas. Karyawan tidak
mungkin dapat bekerja dengan tenang dan maksimal jika tempat yang
tersedia tidak dapat memberikan kenyamanan. Dengan demikian ruang
gerak untuk tempat karyawan bekerja seharusnya direncanakan terlebih
dahulu agar para karyawan tidak terganggu di dalam melaksanakan
pekerjaan disamping itu juga perusahaan harus dapat menghindari dari
pemborosan dan menekan pengeluaran biaya yang banyak.
6) Keamanan
Rasa aman bagi karyawan sangat berpengaruh terhadap semangat kerja
dan kinerja karyawan. Di sini yang dimaksud dengan keamanan yaitu
keamanan yang dapat dimasukkan ke dalam lingkungan kerja fisik. Jika
di tempat kerja tidak aman karyawan tersebut akan menjadi gelisah,
tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya serta semangat kerja
karyawan tersebut akan mengalami penurunan. Oleh karena itu
sebaiknya suatu organisasi terus berusaha untuk menciptakan dan
mempertahankan suatu keadaan dan suasana aman tersebut sehingga
karyawan merasa senang dan nyaman dalam bekerja.
7) Kebersihan
Lingkungan kerja yang bersih akan menciptakan keadaan disekitarnya
menjadi sehat. Oleh karena itu setiap organisasi hendaknya selalu
menjaga kebersihan lingkungan kerja. Dengan adanya lingkungan yang
bersih karyawan akan merasa senang sehingga kinerja karyawan akan
meningkat.
b. Lingkungan Kerja Non Fisik
Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang
berkaitan dengan hubungsn kerja, baik hubungan dengan atasan maupun
hubungan dengan bawahan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan
bawahan ( Sedamayanti, 2001 ). Lingkungan kerja non fisik ini tidak kalah
pentingnya dengan lingkungan kerja fisik. Semangat kerja karyawan sangat
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan kerja non fisik, misalnya hubungan
dengan sesama karyawan dan dengan pemimpinnya. Apabila hubungan
seorang karyawan dengan karyawan lain dan dengan pimpinan berjalan
dengan sangat baik maka akan dapat membuat karyawan merasa lebih
nyaman berada di lingkungan kerjanya. Dengan begitu semangat kerja
karyawan akan meningkat dan kinerja pun juga akan ikut meningkat.
Ada 5 aspek lingkungan kerja non fisik yang bisa mempengaruhi
perilaku karyawan, yaitu :
1) Struktur kerja, yaitu sejauh mana bahwa pekerjaan yang diberikan
kepadanya memiliki struktur kerja dan organisasi yang baik.
2) Tanggung jawab kerja, yaitu sejauh mana pekerja merasakan bahwa
pekerjaan mengerti tanggung jawab mereka serta bertanggung jawab
atas tindakan mereka.
3) Perhatian dan dukungan pemimpin, yaitu sejauh mana karyawan
merasakan bahwa pimpinan sering memberikan pengarahan, keyakinan,
perhatian serta menghargai mereka
4) Kerja sama antar kelompok, yaitu sejauh mana karyawan merasakan ada
kerjasama yang baik diantara kelompok kerja yang ada.
5) Kelancaran komunikasi, yaitu sejauh mana karyawan merasakan adanya
komunikasi yang baik, terbuka, dan lancar, baik antara teman sekerja
ataupun dengan pimpinan.
B. Penelitian Terdahulu

Judul, Variabel Metode Hasil


Peneliti, dan Penelitian
Tahun Terbit
Pengelolaan Pengelolahan Penelitian Pengelolaan Limbah Padat
Limbah Padat Limbah B3 di dilaksanakan Bahan Berbahaya dan Beracun
Bahan Rumah sakit pada tahun 2017 (B3) Rumah Sakit yang
Berbahaya Dan berdasarkan semester 1. dilakukan di RSUD Dr.Soetomo
Beracun (B3) Menteri Metode analisis Surabaya sudah sesuai dengan
Rumah Sakit Lingkungan data dilakukan persyaratan yang tercantum
Di Rsud Hidup dan dengan Peraturan Menteri Lingkungan
Dr.Soetomo Kehutanan penelitian Hidup dan Kehutanan Republik
Surabaya Republik observasional Indonesia Nomor P.56 Tahun
(Purwanti, A. Indonesia deskriptif yang 2015 mulai dari pengurangan
A. (2018) Nomor P.56 dilakukan secara dan pemilahan limbah B3,
Tahun 2015 cross sectional penyimpanan limbah B3,
melalui pengangkutan limbah B3 dan
pengamatan pengolahan limbah B3.
terhadap
pengelolaan
limbah padat B3
di Rumah
Sakit .Selanjutny
a Pengumpulan
data
menggunakan
metode
pengumpulan
data sekunder
dari instalasi
sanitasi
lingkungan. Data
yang diperoleh
kemudian
dianalisis secara
deskriptif dan
dibandingkan
dengan standar
Peraturan
Menteri
Lingkungan
Hidup dan
Kehutanan
Nomor P.56
tahun 2015
tentang Tata
Cara dan
Persyaratan
Teknis
Pengelolaan
Limbah Bahan
Berbahaya dan
Beracun dari
Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan.
Penerapan Pengelolaan 1. Tahapan 1. Pengelolaan limbah B3 PT.
Pengelolaan Limbah B3, Pelaksanaan Toyota Motor
Limbah B3 Di PT. Toyota Kerja Praktek Manufacturing Indonesia
Pt. Toyota Motor menganut pada peraturan
Motor Manufacturing Dalam nasional di Indonesia yang
Manufacturing Indonesia keseluruhan telah diatur oleh KLH
Indonesia pelaksanaan melalui PP. nomor 18 tahun
(Ratman, C. R. kerja praktek, 1999 j.o PP No. 85 tahun
(2010)) terdapat 2 1999 dan ditunjang
tahapan, yaitu : peraturan - peraturan yang
- Tahap lain. Limbah B3 yang
Pelaksanaan dihasilkan oleh PT. Toyota
Dalam tahap Motor Manufacturing
pelaksanaan ini, Indonesia adalah sludge
hal yang perlu IPAL, kerak cat/sludge
dilakukan adalah painting, phosphat sludge,
mengamati thinner bekas, oli bekas, aki
Pengelolaan bekas, majun bekas, lampu
Limbah B3 di TL bekas, kemasan bekas
PT. Toyota B3 (kaleng cat, jerigen,
Motor kaleng thinner, drum), abu
Manufacturing insinerator, dan limbah
Indonesia dan poliklinik.
mengumpulkan 2. Pengelolaan limbah B3 PT.
data-data yang Toyota Motor
berkaitan dengan Manufacturing Indonesia
Pengelolaan meliputi reduksi, reuse &
Limbah B3 di recycle, pewadahan dan
tempat kerja pengumpulan,
praktek. pengangkutan intern,
inplant treatment,
- Tahap pemanfaatan, penyimpanan
Penyusunan sementara, dan outplant
Laporan, Dalam treatment. Selama ini
penyusunan outplant treatment untuk
laporan kerja limbah B3 dilakukan oleh
praktek, PT. HOLCIM Bogor, PT.
dilakukan Indocement dan PPLI.
analisa dan 3. Sistem pengelolaan limbah
pembahasan B3 dengan menggunakan
mengenai insinerator, nilai DRE yang
keadaan di dihasilkan adalah 80,59 %
tempat kerja masih belum memenuhi
praktek baku mutu peraturan
Kep03/Bapedal/09/1995
2. Metode yaitu 99,99%. Suhu yang
Pengumpulan tidak tercapai dengan
Data optimal menyebabkan
− Metode pembakaran tidak
Observasi sempurna, sehingga
efisiensi DRE kurang dari
− Metode 99%. Hal ini disebabkan
Pengumpulan oleh kurang maksimal
Data Sekunder penggunaan insinerator
− Metode yang seharusnya bisa lebih
Wawancara ditingkatkan lagi
(Interview) kinerjanya.

C. Kerangka Berpikir

Limbah B3
 Pengurangan dan Pemilahan
Limbah B3
 Penyimpanan Limbah B3
 Pengangkutan Limbah B3
 Pengolahan Limbah B3

Perjanjian Kerjasama pihak


Pelatihan pengelolaan Limbah
perusahaan dengan pihak
B3
pengelola Limbah B3

Pekerja memiliki sumber daya


yang memadai dalam
pengelolaan Limbah B3 dan
dampak Limbah B3 terhadap
DAFTAR PUSTAKA

Harjanto, N. T., Suliyanto, & Sukesi, E. (2011). Manajemen Bahan Kimia


Berbahaya Dan Beracun Sebagai Upaya Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Serta Perlindungan Lingkungan. Jurnal Pusat Teknologi Bahan Bakar
Nuklir, 04(08), 54–67.
http://jurnal.batan.go.id/index.php/pin/article/download/1126/1079

Kurniawan, B. (2019). Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan


Beracun (B3) Di Indonesia Dan Tantangannya. Dinamika Governance :
Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 9(1).
https://doi.org/10.33005/jdg.v9i1.1424

Kurniawidjaja, L. M., Lestari, F., Tejamaya, M., & Ramdhan, D. H. (2021).


Konsep Dasar Toksikologi Industri. In Fkm Ui.

Lidiawati, M., Fadhil, I., Aisyah, S., & Pida, N. (2022). Dampak Limbah Masker
Bekas Pakai (Medis dan Non Medis) Terhadap Lingkungan dan Kesehatan
Masyarakat di Kota Banda Aceh. Prosiding Seminar Nasional Multi Disiplin
Ilmu UNAYA, 5(1), 56–66.

http://jurnal.abulyatama.ac.id/index.php/semdiunaya56

Maulana, A., Waha, C. J. J., & Pinasang, D. R. (2020). Penegakan Hukum


Lingkungan Pidana Terhadap Perusahaan Yang Melakukan
Dumping
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (Limbah B3). Lex Administratum,
8(5), 25–33.

Norini, & Afrizal. (2017). Peran Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan
Riau Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Terhadap
Limbah B3 Di Kota Batam. Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(2), 153–
165.

Nursabrina, A., Joko, T., & Septiani, O. (2021). Kondisi Pengelolaan Limbah B3
Industri Di Indonesia Dan Potensi Dampaknya: Studi Literatur. Jurnal Riset
Kesehatan Poltekkes Depkes Bandung, 13(1), 80–90.
https://doi.org/10.34011/juriskesbdg.v13i1.1841

Pertiwi, V., Joko, T., & Lanang Dangiran, H. (2017). Evaluasi pengelolaan limbah
bahan berbahaya dan beracun (B3) di Rumah Sakit Roemani
Muhammadiyah Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(3), 420–430.
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm

Purnama, Sang Gede and Purnama, I. G. H. (2017). DIKTAT KULIAH


TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN PARIWISATA. 1–127.

Purwanti, A. A. (2018). The Processing of Hazardous and Toxic Hospital Solid


Waste in Dr. Soetomo Hospital Surabaya. Jurnal Lingkungan kerja, 10(3),
291. https://doi.org/10.20473/jkl.v10i3.2018.291-298

Ratman, C. R. (2010). Penerapan Pengelolaan Limbah B3 Di Pt. Toyota Motor


Manufacturing Indonesia. Jurnal Presipitasi : Media Komunikasi Dan

Pengembangan Teknik Lingkungan, 7(2), 62–70.

Sidik, A. A., & Damanhuri, E. (2012). Studi Pengelolaan Limbah B3 (Bahan


Berbahaya Dan Beracun) Laboratorium Laboratorium Di Itb. Jurnal Tehnik
Lingkungan, 18(1), 12–20. https://doi.org/10.5614/jtl.2012.18.1.2

Sidik, H., Konety, N., & Aditiany, S. (2019). Membangkitkan Semangat Peduli
Lingkungan Melalui Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3)
Rumah Tangga Di Rancaekek. Kumawula: Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat, 1(1), 62. https://doi.org/10.24198/kumawula.v1i1.19485

Sudarmaji Sudarmaji, J. Mukono, C. I. P. (2006). Toksikologi Logam Berat B3 Dan


Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jurnal Lingkungan kerja, 2(23), 129–142.

Uyun, F. N., Siska, F., & Chotidjah, N. (2022). Pengawasan Pemerintah Daerah
terhadap Pengelolaan Limbah B3 Internal Rumah Sakit. Jurnal Riset Ilmu
Hukum, 52–56.

Anda mungkin juga menyukai